Anda di halaman 1dari 2

Ibu-ibu Kendeng Menjebol Domestifikasi Perempuan

Oleh: Permata Putri Ismah Ariani*


Kabar duka datang dini hari tanggal 21 maret 2017. Seorang ibu pejuang
Kendeng, Mbok Patmi, meninggal dunia dalam perjalanan menuju RS St.
Carolus Salemba. Beliau adalah satu dari puluhan orang yang rela
memasung kakinya dengan semen, demi menuntut keadilan di depan
istana negara.
Tentu saja bukan permasalahan sederhana yang mampu memicu puluhan
petani di sekitar pegunungan Kendeng untuk berangkat ke ibu kota dan
sudah satu minggu lebih bersikeras menunggu Presiden Jokowi dengan
kaki terpasung. Ini bukan pertama kalinya aksi pemasungan kaki
dilakukan oleh para petani Kendeng, tahun lalu, 9 orang ibu-ibu
melakukan aksi yang sama.
Tentu saja melakukan aksi pengecoran kaki dengan semen tidak semudah
yang selama ini digambarkan di media umum. Kebanyakan media hanya
meliput aksi petani Kendeng di depan istana. Tapi dibalik itu ada ratusan
relawan yang terlibat dalam melangsungkan aksi di depan istana negara.
Para petani yang dipasung kakinya tersebut harus dilayani seperti bayi.
Mereka harus dibopong ke kamar mandi, hanya dapat tidur dalam posisi
terlentang, harus melakukan tayyamum jika hendak melaksanakan shalat.
Banyaknya ibu-ibu yang dengan sukarela ikut memasung kakinya demi
menuntut keadilan membuat saya termenung, mengingat perjuangan
yang mereka lakukan begitu berat. Banyak dari ibu-ibu ini yang bahkan
tidak mengenyam pendidikan formal. Keseharian mereka hanya diisi
dengan kegiatan bertani dan mengurus kebutuhan rumah tangga dan
menjadi sangat mengharukan ketika menemukan mereka memeluk erat
bendera merah putih sambil melangsungkan protes di depan istana
negara. Perempuan yang dalam tuntutan masyarakat adat seringkali
diletakkan di wilayah-wilayah domestik, kini berani menyuarakan
tuntutannya atas keadilan.
Pergi jauh dari kampung halaman, meninggalkan anak, suami dan ternak,
ibu-ibu ini menggugat korporasi yang sudah menanamkan modal lebih
dari 5 triliyun rupiah untuk membangun pabrik semen. Mereka bukan
hanya memiliki kesadaran atas ideologi developmentalis yang
mengancam kelestarian alam, tapi mereka secara tegas menyatakan
penolakkannya dan bersungguh-sungguh memperjuangkan keyakinannya.
Ibu bumi wis maringi, ibu bumi dilarani, begitu alunan lagu para petani
kendeng.
Meletakkan bumi sebagai ibu, subjek hidup yang telah memberi banyak
hal untuk mencukupi kebutuhan manusia, membuat mereka bersikeras
memperjuangkan pegunungan Kendeng dari modal-modal kapitalistik
yang hanya akan menimbulkan ketimpangan dan kerusakan alam. Mereka
berpendapat bahwa jika manusia melukai sang ibu, bencana mungkin saja
terjadi. Argumen ini dibangun masyarakat pegunungan Kendeng secara
mandiri, tanpa mengenal apa itu eko-feminisme.
Selama ini masyarakat modern yang menyatakan dirinya terdidik, banyak
mengkritisi posisi perempuan dalam struktur masyarakat tradisional
dalam budaya patriarkis yang hanya diletakkan di wilayah dapur-sumur-
kasur. Hal ini jelas dibantah oleh aksi para kartini kendeng yang menjebol
anggapan domestifikasi perempuan tersebut. Tanpa mengeyam
pendidikan formal, tanpa mengerti apa itu eko-feminisme, tanpa
meneriakkan kesetaraan gender, ibu-ibu petani ini mempraktikkannya.
Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya masyarakat tradisional cukup
memberi ruang yang luas bagi perempuan turut dalam perjuangan dan
mempertahankan hak ekonomi sosial politik mereka. Bahasan tentang
kesetaraan gender memang tidak dikumandangkan dalam masyarakat
tradisional (jawa khususnya), tetapi pada praktiknya ruang tersebut ada
dan memungkinkan perempuan mengeksplorasi dunia selain masak-
macak-manak.
Aksi ibu-ibu ini bukan formalitas semata, atau untuk menunjukkan bahwa
perempuan tidak absen dalam panggung perjuangan. Aksi ini dilakukan
karena kecintaan mereka pada Bumi yang masih akan memelihara anak
cucu mereka. Bahkan kesadaran mereka unutk melawan sampai pada
hembusan nafas terakhir.
Mbok Patmi yang meninggal di medan perjuangan menunjukkan
keseriusan mereka melawan kebiadaban berantai dan mengikat banyak
aparatus pemerintah. Seorang ibu wafat di medan perang dengan sebaik-
baiknya, sehormat-hormatnya.

Anda mungkin juga menyukai