Anda di halaman 1dari 10

DASAR TEORI

1. Metode Seismik Refleksi

Metode seismik refleksi adalah metode geofisika aktif yang menggunakan


gelombang seismik pantul untuk mengidentifikasi struktur jebakan hidrokarbon. Metode
seismiki refleksi tersebut menggunakan gelombang buatan yang merambat melalui batuan-
batuan di bawah permukaan bumi. Gelombang tersebut dipantulkan oleh perlapisan-
perlapisan batuan yang ada di bawah permukaan bumi dan selanjutnya gelombang tersebut
ditangkap di permukaan bumi dengan menggunakan geophone untuk di daratan dan
hydrophone untuk di perairan.

Metode seismik refleksi tersebut digunakan sebagai acuan terkait karakteristik batuan
dan perlapisannya dengan melihat pengukuran waktu tiba (penggunaannya terbatas) dan
variasi amplitudo dan frekuensi (Telford, 1976). Dengan kata lain, mempelajari
karakteristik gelombang tersebut dapat mempermudah dalam mengidentifikasi struktur
geologi dan jenis jebakan hidrokarbon di bawah permukaan bumi.

Suatu rekaman seismik adalah hasil konvolusi antara medium bumi (reflektivitas)
dengan suatu masukan sumber sinyal seismik (wavelet). Proses mendapatkan rekaman
seismik merupakan proses pemodelan ke depan (forward modeling). Secara matematis,
Hampson dan Russell (1988) merumuskan rekaman jejak seismik sebagai berikut.

S ( t )=W (t ) R ( t ) + n ( t )

dengan:
S ( t ) : jejak seismik,

W (t) : wavelet
R (t) : koefisien refleksi
n (t) : noise

2. Gelombang Seismik

Gelombang seismik adalah gelombang elastik yang menjalar di bawah permukaan


bumi. Berdasarkan medium rambatnya, tipe gelombang seismik adalah gelombang badan
dan gelombang permukaan.
2.1. Gelombang Badan

2.1.1. Gelombang Primer (Plane Wave)

Gelombang primer atau gelombang P disebut juga sebagai gelombang


kompresi atau gelombang longitudinal dengan gerak partikel yang sejajar
dengan arah rambat gelombang dan dapat merambat melalui medium padat, cair,
maupun gas. Kecepatan gelombang primer tersebut paling tinggi dibandingkan
dengan kecepatan gelombang seismik lainnya. Kecepatan gelombang primer
dapat dirumuskan sebagai berikut.


4
V p=
k+

3 atau V p=
+2

V p=
dengan: kecepatan gelombang primer ( m/s )
k = modulus bulk (Gpa)
=
konstanta lame (Gpa)
= modulus shear/rigiditas (Gpa)
= densitas ( kg /m )

2.1.2 Gelombang Sekunder (Shear Wave)

Gelombang sekunder atau gelombang S adalah gelombang transversal


yang gerak partikelnya tegak lurus dengan arah rambat gelombang dan hanya
dapat merambat melalui medium padat saja. Kecepatan gelombang sekunder
tersebut bernilai nol pada saat merambat melalui medium cair dan gas karena
rigiditasnya bernilai nol. Kecepatan gelombang sekunder dapat dirumuskan
sebagai berikut.


V s=


V s=
dengan: kecepatan gelombang sekunder ( m/s )
= modulus shear/rigiditas (Gpa)
= densitas ( kg /m )
Hubungan kecepatan gelombang primer dan kecepatan gelombang
sekunder dapat dinyatakan dengan persamaan berikut (Abdullah, 2007).
2
( V p /V s ) 2
= 2
2 (( V p /V s ) 1 )

dengan menyatakan possion ratio.

2.2. Gelombang Permukaan

2.2.1 Gelombang Love

Gelombang Love merambat pada permukaan bebas medium berlapis


dengan arah geraknya sama dengan gelombang SH.

2.2.2 Gelombang Rayleigh

Gelombang Rayleigh merambat pada permukaan bebas medium berlapis


maupun medium homogen dengan gerak partikel berbentuk elipsiodal vertikal
yang sejajar dengan arah gerak gelombang.

2.2.3 Gelombang Stonelly

Gelombang Stonelly merambat pada bidang batas antara dua medium,


yaitu gelombang antar permukaan atau interface wave, dengan gerak
partikelnya sama dengan gelombang SV.

3. Pemantulan dan Pembiasan Gelombang Seismik


Perambatan gelombang seismik antar medium mempunyai sifat fisik yang berbeda-
beda, seperti kecepatan dan densitasnya. Perambatan gelombang seismik tersebut akan
mengalami perubahan arah saat melewati bidang batas antar medium. Sifat fisik dari
medium ditentukan oleh kondisi fisik batuan, seperti jenis batuan, ukuran butir, porositas,
kandungan fluida, saturasi fluida, tekanan dan temperatur. Jika suatu berkas gelombang
primer datang mengenai permukaan bidang pantul antara dua medium yang berbeda, maka
sebagian energi gelombang seismik tersebut akan dipantulkan sebagai gelombang primer
dan gelombang sekunder, dan sebagian yang lain dibiaskan sebagai gelombang primer dan
gelombang sekunder.
Hukum Snellius mencakup perambatan gelombang seismik pada medium berlapis
dengan lapisan-lapisan batuan di bawah permukaan bumi. Bentuk umum hukum Snellius
adalah
sini
= p=konstan
v

dengan: i= sudut datang, sudut pantul, atau sudut bias gelombang


v = kecepatan gelombang pada suatu medium
p= konstanta parameter gelombang.

Hubungan hasil perambatan gelombang seismik yaitu gelombang primer dan gelombang
sekunder yang mengalami refleksi dan transmisi dapat dirumuskan sebagai berikut.
sin 1 sin '1 sin 2 sin 1 sin 2
= = = = =p
V p1 V p1 V p2 V s1 V s2

V p 1=
dengan: kecepatan gelombang primer pada medium A
V p 2= kecepatan gelombang primer pada medium B

V s 1= kecepatan gelombang sekunder pada medium A


V s 2= kecepatan gelombang sekunder pada medium B
1= sudut datang gelombang primer
'
1= sudut pantul gelombang primer

2= sudut bias gelombang primer

1= sudut pantul gelombang sekunder

2= sudut bias gelombang sekunder

p= konstanta parameter gelombang


Jika kecepatan gelombang primer pada medium A lebih kecil daripada kecepatan
1
gelombang primer pada medium B, maka akan ada sudut kritis pertama yaitu . Jika
sudut datang gelombang primer lebih besar atau sama dengan sudut kritis pertama, maka
tidak ada gelombang primer yang masuk ke dalam medium B.
Jika kecepatan gelombang primer pada medium pertama lebih kecil dari kecepatan
2
gelombang sekunder pada medium kedua, maka akan ada sudut kritis kedua yaitu .
Jika sudut datang gelombang primer lebih besar atau sama dengan sudut kritis kedua, maka
tidak ada gelombang sekunder yang masuk ke dalam medium B. Sudut tersebut didapatkan
2=90
jika , sehingga besar sudut kritis adalah
V1
=arcsin .
V2

4. Koefisien Refleksi dan Impedansi Akustik


Metode seismik refleksi adalah metode geofisika yang memanfaatkan gelombang
refleksi dari batuan di bawah permukaan bumi. Refleksi gelombang seismik tersebut
terjadi pada saat ada perubahan impedansi akustik. Impedansi akustik adalah kemampuan
suatu batuan untuk menghambat gelombang seismik. Impedansi akustik dipengaruhi oleh
jenis litologi, porositas, kandungan fluida, kedalaman, tekanan, dan temperatur batuan.
Secara fisis, impedansi akustik merupakan hasil perkalian antara densitas medium dengan
kecepatan gelombang primer, yang dituliskan sebagai berikut.
Z =V

dengan: Z = impedansi akustik medium ( ft /s gr /cc )


= densitas medium ( gr /cc )
V = kecepatan gelombang primer medium ( ft /s )
Koefisien refleksi pada batas antara dua medium batuan didefinisikan sebagai
perbandingan amplitudo gelombang terpantul terhadap amplitudo gelombang datang. Nilai
koefisien refleksi berkisar antara 1 dan 1 . Koefisien refleksi tergantung pada
beberapa faktor, yaitu densitas, kecepatan gelombang primer dan sudut datang gelombang
seismik. Koefisien refleksi dapat dianggap sebagai sebuah respon dari wavelet seismik
terhadap sebuah perubahan impedansi akustik di bawah permukaan bumi.
Secara matematis, koefisien refleksi dapat diartikan sebagai nilai yang
mempresentasikan bidang batas antara dua medium dengan impedansi akustik yang
berbeda. Pada saat sudut datang gelombang seismik tegak lurus dengan bidang pantul,
yaitu saat garis gelombang mengenai bidang refleksi pada sudut yang tegak lurus atau
sudut datang bernilai nol, maka koefisien refleksi dapat dihitung menggunakan persamaan
berikut.
V V Z Z i
Ri= i+1 i+1 i i = i+1
i +1 V i+1 + i V i Z i +1+ Z i

Ri=
dengan: koefisien refleksi medium ke- i
i= indeks medium.

Nilai koefisien refleksi pada bidang batas dua medium dapat bernilai negatif atau
positif dan berpengaruh pada polaritas gelombang seismik yang dipantulkan. Ada beberapa
kesepakatan mengenai penggunaan polaritas tersebut, umumnya yang digunakan adalah
kesepakatan dengan koefisien refleksi bernilai positif berupa lembah yang menunjukkan
kenaikan impedansi akustik dan koefisien refleksi bernilai negatif berupa puncak (Brown,
1999).

5. Wavelet
Wavelet adalah kumpulan beberapa gelombang harmonik dengan amplitudo,
frekuensi dan fase yang berbeda-beda. Wavelet merupakan suatu fungsi yang
menggambarkan amplitudo terhadap fungsi waktu dan dapat dinyatakan pula dalam
kawasan frekuensi melalui suatu transformasi (Sismanto, 2006).
Umumnya, terdapat empat jenis wavelet, yaitu zero phase, minimum phase,
maximum phase, dan mixed phase. Pada eksplorasi seismik, jenis wavelet yang umum
dipakai adalah zero phase dan minimum phase (Russel, 1991). Perbedaan keempat wavelet
tersebut terletak pada konsentrasi energinya. Zero phase wavelet mempunyai konsentrasi
maksimum di tengah dan waktu tunda nol dengan gelombangnya simetri terhadap origin.
Wavelet berfase nol biasa disebut wavelet simetris merupakan wavelet yang paling baik
dari semua jenis wavelet dengan spektrum amplitudo yang sama. Wavelet berfase minimum
memiliki energi terkecil pada waktu tundanya. Wavelet berfase maksimum memiliki energi
yang terpusat secara maksimal di bagian akhir. Wavelet berfase campuran merupakan
wavelet yang energi tidak terkonsentrasi di bagian awal maupun akhir dari wavelet
tersebut.
Untuk menghasilkan bentuk penampung seismik dengan resolusi yang baik dan
setiap reflektor dapat terekam tajam pada lokasi yang tepat, maka wavelet yang dapat
memenuhi kriteria tersebut adalah wavelet berfase nol. Setiap reflektor akan digambarkan
pada wavelet tersebut.
6. Polaritas
Polaritas merupakan penggambaran koefisien refleksi sebagai suatu gelombang yang
bernilai positif atau negatif. Polaritas dalam penampang seismik mempunyai dua tipe,
yaitu polaritas SEG dan polaritas Eropa. Kedua polaritas ini saling berkebalikan. Dalam
penelitian ini, polaritas yang digunakan adalah polaritas standar SEG normal dengan
wavelet berfase minimum. Polaritas tersebut berkaitan dengan anomali amplitudo zona
reservoir terutama gas pada penampang seismik.
7. Resolusi Vertikal Seismik
Resolusi vertikal merujuk pada kemampuan untuk memisahkan dua objek berdekatan
pada level kedalaman yang berbeda. Menurut Sukmono (1999), resolusi vertikal seismik
adalah jarak minimum antara dua objek yang dapat terpisah oleh gelombang seismik.
Resolusi berperan penting dalam interpretasi struktur maupun stratigrafi. Range frekuensi
dari seismik berkisar antara 1070 Hz yang secara langsung menyebabkan
keterbatasan resolusi dari seismik. Seismik mempunyai resolusi vertikal yang lebih rendah
dibandingkan dengan resolusi sumur yang hampir mencapai 0,5 ft . Frekuensi dominan
gelombang seismik berperang penting dalam menentukan resolusi vertikal.
Ukuran untuk resolusi vertikal adala panjang gelombang dominan yang didefinisikan
sebagian pembagian antara kecepatan gelombang seismik dengan frekuensi dominannya.
Secara matematis, dapat dituliskan sebagai berikut.
v
=
f

dengan: = panjang gelombang dominan ( ft )


v = kecepatan gelombang seismik ( ft /s )
f = frekuensi dominan gelombang seismik ( Hz )

Umumnya kecepatan gelombang seismik di dalam bumi bervariasi antara 2000-5000


m/s dan cenderung bertambah terhadap kedalaman, sedangkan frekuensi dominan
gelombang seismik bervariasi antara 20-50 Hz dan menurun terhadap kedalaman. Oleh
karena itu, panjang gelombang seismik biasanya berada dalam kisaran 40-250 m dan
bertambah terhadap kedalaman.
Nilai batas resolusi vertikal yang sering digunakan adalah seperempat panjang
gelombang dominan yaitu / 4 . Persamaan di atas mengindikasikan bahwa frekuensi
dominan yang lebih tinggi diperlukan untuk mendapatkan resolusi vertikal yang lebih baik
(Sheriff dan Geldart, 1995). Penjelasan mengenai resolusi vertikal ditunjukkan oleh
(gambar) dimana nilai / 4 identik dengan ketebalan sebesar 12 ms dan digunakan
wavelet berfase nol. Refleksi di bagian atas merupakan efek dari reflektor tunggal,
sedangkan refleksi di bawahnya dihasilkan oleh suatu model geologi berupa wedge yang
mempunyai nilai impedansi akustik positif di batas atas dan bawah. Even gelombang
refleksi menunjukkan adanya dua reflektor saat tebal wedge melebihi 12 ms ( / 4 ).
Faktor-faktor yang mempengaruhi resolusi vertikal data seismik yaitu frekuensi dan
bandwith. Semakin tinggi frekuensi dengan bandwith yang lebar, maka semakin tinggi pula
tingkat resolusi data seismiknya. Perambatan gelombang yang semakin dalam akan
menyebabkan hilangnya atau teratenuasinya (atenuasi : penurunan tingkat (aras) suatu
besaran, misal intensitas gelombang cahaya) kandungan frekuensi tingginya, sehingga
hanya kandungan frekuensi rendah saja yang mampu merambat lebih dalam. Kontras
impedansi akustik juga mempengaruhi resolusi vertikal data seismik. Semakin besar
kontras impedansinya, maka akan semakin tinggi nilai amplitudonya. Sehingga tingkat
resolusinya akan semakin tinggi dan lebih terlihat.
8. Seismogram Sintetik
Seismogram sintetik adalah rekaman seismik buatan yang dihasilkan dari data log
kecepatan dan densitas. Data kecepatan dan densitas tersebut membentuk fungsi koefisien
refleksi atau stikogram yang kemudian dikonvolusikan dengan wavelet. Seismogram
sintetik disebut juga dengan geogram (Sismanto, 2006). Seismogram sintetik dihasilkan
untuk mengorelasikan antara informasi sumur yaitu litologi, umur, kedalaman, dan sifat
fisik lainnya. Untuk mendapatkan seismogram sintetik yang baik, wavelet yang digunakan
sebaiknya mempunyai karakteristik yang sama, baik fase maupun kandungan frekuensi,
dengan yang digunakan pada data seismik. (gambar) menunjukkan gambaran operasi
seismogram sintetik.
Seismogram sintetik merupakan sarana untuk mengidentifikasi horizon seismik yang
sesuai dengan geologi bawah permukaan yang diketahui dalam suatu sumur hidrokarbon.
Identifikasi permukaan atau dasar formasi pada penampang seismik memungkinkan
ditelusurinya kontinuitas formasi tersebut pada arah lateral.
Peningkatan seismogram sintetik dengan data seismik yang disebut well seismic tie,
dilakukan untuk mengorelasi data sumur dengan data seismik yang membutuhkan data
check shot. Karena adanya perbedaan kawasan, data seismik dalam kawasan waktu
sedangkan data sumur dalam kawasan kedalaman.
9. Filter Berorientasi Struktur
Filter berorientasi struktur (structure-oriented filtering) adalah filter yang digunakan
untuk menghilangkan noise dan menyederhanakan informasi struktural pada data seismik
3D. filter berorientasi struktur dapat meningkatkan signal to noise ratio pada data seismik
yang telah dimigrasi secara signifikan. Tidak seperti dip filter konvensional yang
melewatkan atau meniadakan sekelompok dip pada beberapa titik analisis, filter
berorientasi struktur hanya menerima satu nilai dip azimuth yaitu dari reflektor yang telah
diperkirakan. Dengan demikian filter ini tidak mendapat aliasing yang mengganggu dip
filter konvensional (Chopra dan Marfurt, 2007).
Tujuan filter tersebut adalah untuk menerapkan filter sepanjang event seismik,
menghilangkan random noise, dan meningkatkan kontinuitas lateral. Dasar dari filter
berorientasi struktur tersebut adalah membedakan dip azimuth suatu reflektor dengan
noise. Jika dip dan azimuth telah dapat diperkirakan, filter dapat dilakukan untuk
meningkatkan sinyal sepanjang reflektor. Filter yang paling umum yaitu mean filter,
median filter dan a-trimmed mean filter.
a. Mean Filter
Mean filter merupakan filter yang paling sederhana untuk menghilangkan
random noise dan dasar dari kebanyakan algoritma untuk stacking seismik. Pada
peta, mean filter adalah low pass filter yang secara khusus digunakan sebagai mean
filter window. Nilai keluarannya merupakan rata-rata dari seluruh sampel yang ada
dalam window analisis. Window analisis tersebut biasanya berukuran nomor ganjil,
misal 3 3 . Window analisis tersebut juga dapat berbentuk persegi panjang

ataupun elipsoid. Mean filter pada waktu t didefinisikan sebagai berikut.


n
1
umean ( t )= u (t )
n i=1 i

dengan ui ( t ) merupakan tras ke- i dari n tras dalam window analisis.


b. Median Filter
Median filter adalah salah satu teknik nonlinear dalam pengolahan sinyal dan
gambar yang paling sering digunakan dan secara rutin digunakan untuk memfilter
data VSP. Median filter mengganti setiap sampel tras seismik pada window dengan
median dari sampel-sampel yang berada dalam window analisis. Umumnya median
filter memiliki ukuran window yang ganjil, misal 3 3 . Cara sederhana untuk
mengalkulasi nilai median adalah dengan menyusun semua sampel n dalam

window analisis menggunakan indeks penyusunan k sebagai berikut.


ui (1 ) ( t ) ui ( 2) ( t ) ui ( k ) ( t ) u i( k+1 ) ( t ) u i (n) ( t )

Nilai mediannya adalah


umedian ( t )=ui ( k=(n+1 )/ 2) (t )

c. A-Trimmed Mean Filter


A-trimmed mean filter mengandung sifat dari mean filter dan median filter.
Filter tersebut diaplikasikan untuk stacking data seismik yang mempunyai spike yang
kuat yang merupakan hasil dari seismik daerah lain, noise dan sumber lain yang tidak
ada hubungannya dengan gelombang seismik yang dihasilkan dari sumber pada
survei tersebut. Jika data disusun dengan menggunakan indeks penyusunan k
seperti sebelumnya, maka a-trimmed mean filter dapat didefinisikan sebagai berikut.
( 1 ) n
1
u ( t ) = u (t )
( 12 )( n1 ) +1 k=n +1 i (k )

Dengan nilai dari bervariasi antara 0 sampai 0,5 . Jika =0,5 ,

maka normalisasinya adalah 1 , sehingga diperoleh median filternya. Jika =0


1
, maka normalisasinya adalah n , sehingga diperoleh mean filternya. Jika

=0,25 , diperoleh hasil dengan menghilangkan 25% sampel paling besar dan

25% sampel paling kecil dalam window analisis dan merata-rata 50% sampel yang
mempunyai nilai di sekitar median.
Dengan menggabungkan ketiga filter tersebut, diperoleh filter berorientasi struktur
dengan dua tahap, yang pertama adalah mempertajam dan mempertahankan detail yang
diharapkan dan yang kedua adalah smoothing dengan menghilangkan random noise.
10. Atribut Seismik
Atribut seismik adalah semua informasi yang diperoleh dari data seismik, baik
pengukuran, logika maupun hasil perhitungan analisis (Taner, 2000). Atribut seismik
menyajikan informasi tentang amplitudo, bentuk atau posisi bentuk gelombang seismik.
Atribut seismik diperlukan sebagai alat bantu dalam interpretasi seismik untuk
menunjukkan anomali yang tidak terlihat dengan jelas dari data normal seismik. Dalam
penelitian tersebut atribut yang digunakan adalah atribut amplitudo RMS (Root Mean
Square) dan atribut variance.
a. Atribut Amplitudo RMS
Amplitudo merupakan atribut paling dasar dari jejak seismik. Amplitudo
seismik paling banyak digunakan mengenali anomali amplitudo akibat hidrokarbon.
Selain itu, amplitudo juga digunakan untuk pemetaan fasies dan sifat reservoir.
Perubahan lateral amplitudo sering digunakan pada studi-studi stratigrafi untuk
membedakan satu fasies dengan fasies yang lain. Lingkungan yang kaya akan pasir
umunya mempunyai amplitudo yang lebih tinggi dibandingkan dengan lingkungan
yang kayak akan serpih (Sukmono, 2001).
Jenis amplitudo yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah amplitudo
RMS. Amplitudo jenis tersebut sangat sensitif terhadap nilai amplitudo yang ekstrem,
karena nilai amplitudo yang diperoleh terlebih dahulu dirata-rata sebelum diakar
seperti pada persamaan berikut.


N
1
Amplitudo RMS=
N i=1
a2i

b. Atribut Variance
Menurut Sukmono (2000), atribut didefinisikan sebagai derivatif dari data
seismik hasil pengukuran (Brown, 1999). Informasi dasar yang terkandung dari data
pengukuran seismik adalah waktu, amplitudo, frekuensi dan atenuasi. Semua
informasi tersebut dapat digunakan sebagai dasar klasifikasi atribut. Pada klasifikasi
tersebut, atribut variance merupakan derivatif dari informasi waktu yang
diaplikasikan pada data seismik post-stack.
Pada anaslisi probabilistik, variance adalah ukuran dari persebaran data yang
ada di sekitar nilai rata-ratanya dengan persamaan sebagai berikut.
l

( x i x )2
2= i=1
l
Atribut variance merupakan metode untuk mendeteksi dan menggambarkan
diskontinuitas. Atribut variance dapat diaplikasikan pada data seismik langsung
maupun pada data seismik yang telah mengalami structural smoothing. Ukuran
window merupakan parameter yang sangat penting untuk memperoleh diskontinuitas
sebaik mungkin. Window waktu vertikal mentransformasikan atribut variance dari
sebuah atribut struktural menjadi atribut stratigrafi yang baik, dimana fitur-fitur
geologi, seperti reefs, channels, splays, dan lain-lain, akan diperkuat (Azevedo,
2009).

Anda mungkin juga menyukai