TUGAS Mandiri Stephanie E Blok 11 LBM 4
TUGAS Mandiri Stephanie E Blok 11 LBM 4
Stephanie Erlen
31101500545
SGD 5
2. Sefalosporin
Sefalosporin berasal dari fungus Cephalosporium acremonium yang
diisolasi. Fungus ini menghasilkan tiga macam antibiotik, yaitu sefalosporin
P, N dan C. lnti dasar selalosporin C ialah asam 7-aminosefalosporanat (7-
ACA : 7-aminocephalosporanic acid) yang merupakan kompleks cincin
dihidrotiazin dan cincin betalaktam. Sefalosporin C resisten terhadap
penisilinase, tetapi dirusak oleh sefalosporinase.
1
Mekanisme kerja antimikroba sefalosporin ialah dengan menghambat
sintesis dinding sel mikroba. Yang dihambat ialah reaksi transpeptidase
tahap ketiga dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel. Sefalosporin
aktif terhadap kuman gram-positif maupun gram-negatif, tetapi spektrum
antimikroba masing-masing derivat bervariasi.
3. Monobaktam
Monobaktam merupakan suatu senyawa betalaktam monosiklik, dengan
inti dasar berupa cincin tunggal, asam-3 aminobaktamat. Struktur ini berbeda
dengan struktur kimia golongan antibiotika betalaktam terdahulu misalnya
penisilin dan sefalosporin.
5. Kombinasi karbapenem
Contohnya Imipenem dengan natrium silastatin. Bila diberikan bersama
imipenem dalam perbandingan sama, silastatin akan meningkatkan kadar
imipenem aktif di dalam urin dan mencegah efek toksiknya terhadap ginjal.
Mekanisme kerjanya lmipenem mengikat PBP2 dan menghambat sintesis
dinding sel kuman.
a. Golongan Tetrasiklin
Golongan tetrasiklin menghambat sintesis protein bakteri pada ribosomnya.
Paling sedikit terjadi 2 proses dalam masuknya antibiotik ke dalam ribosom
bakteri gram-negatif, pertama yang disebut difusi pasif melalui kanal hidrofilik,
kedua ialah sistem transport aktif. Setelah masuk maka antibiotik berikatan
dengan ribosom 30S dan menghalangi masuknya komplek tRNA-asam amino
pada lokasi asam amino.
b. Golongan Kloramfenikol
2
Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Yang
dihambat ialah enzim peptidil transferase yang berperan sebagai katalisator untuk
membentuk ikatan-ikatan peptida pada proses sintesis protein kuman. Efek toksik
kloramfenikol pada sel mamalia terutama terlihat pada sistem hemopoetik dan
diduga berhubungan dengan mekanisme kerja obat ini. Kloramfenikol umumnya
bersifat bakteriostatik. Pada konsentrasi tinggi kloramfenikol kadang-kadang
bersifat bakterisid terhadap kuman-kuman tertentu.
c. Golongan aminoglikosida
Aktivitas antibakteri gentamisin, tobramisin, kanamisin, netilmisin dan amikasin
terutama tertuju pada basil gram-negatif yang aerobik. Mekanisme kerja
aminoglikosid dimulai dari berdifusi lewat kanal air yang dibentuk oleh porin
proteins pada membran luar dari bakteri gram-negatif masuk ke ruang
periplasmik. Sedangkan transport melalui membran dalam sitoplasma
membutuhkan energi. Fase transport yang dependen energi ini bersifat rate
limiting, dapat diblok oleh Ca2+ dan Mg2+, hiperosmolaritas, penurunan pH dan
anaerobiosis.
d. Golongan lain-lain
1. Eritromisin dan makrolid lain
Aktivitas antimikroba golongan makrolid menghambat sintesis protein
kuman dengan jalan berikatan secara reversibel dengan ribosom subunit 50S,
dan bersifat bakteriostatik atau bakterisid tergantung dari jenis kuman dan
kadarnya
3. Golongan polimiksin
Golongan polimiksin yaitu polimiksin B dan kolistin sekarang hanya
digunakan per oral atau topikal, jarang secara parenteral karena sangat
nefrotoksik. Kedua obat ini aktif terhadap berbagai kuman gram-negatif,
khususnya Ps.aeruginosa. Kuman lain yang peka ialah Escherichia,
Haemophilus, Klebsiella, Enterobacter, Salmonella, Shigella, Pasteurella,
Bordetella dan Vibrio. Obat ini bekerja dengan mengganggu fungsi pengaturan
osmosis oleh membran sitoplasma kuman. Resisten terhadap antibiotik ini
jarang terjadi.
4. Basitrasin
3
Obat ini sekarang hanya digunakan secara topikal untuk berbagai infeksi
kulit dan mata karena pada pemberian sistemik bersifat nefrotoksik.
5. Natrium fusidat
Asam fusidat tersedia dalam bentuk garam natrium untuk mempermudah
kelarutannya obat ini diberikan secara sistemik untuk infeksi stafilokokus yang
resisten terhadap penisilin, khususnya untuk osteomielitis karena obat ini
terdapat dalam tulang dengan kadar cukup tinggi.
6. Mupirosin
Obat ini bekerja dengan menghambat enzim isoleusil-t-RNA sintetase pada
kuman.
7. Spektinomisin
Spektinomisin digunakan bila gonokokus resisten atau penderita alergi
terhadap penisilin G.
8. Vankomisin
Obat ini tidak diserap melalui saluran cerna, dan untuk mendapatkan efek
sistemik harus diberikan lntra Vena karena pemberian lntra Muscular
menimbulkan nekrosis setempat. Obat ini hanya aktif terhadap kuman gram-
positif, khususnya golongan kokus.
9. Golongan kuinolon
Mekanisme kerja golongan kuinolon dimulai dari bentuk double helix DNA
yang harus dipisahkan menjadi 2 utas DNA pada saat akan berlangsungnya
replikasi dan transkripsi. Pemisahan ini selalu akan mengakibatkan terjadinya
puntiran berlebihan (overwinding) pada double helix DNA sebelum titik pisah.
Hambatan mekanik ini dapat diatasi kuman dengan bantuan enzim DNA
girase (topoisomerase ll) yang kerjanya menimbulkan negative supercoilling.
Golongan fluorokuinolon menghambat kerja enzim DNA girase pada kuman
dan bersifat bakterisidal.
Sumber: Nafrialdi, Setawati, A., 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta:
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Pg. 622 685
Analgesik merupakan suatu zat yang digunakan dalam pengobatan untuk tujuan
mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri tanpa menimbulkan efek sedasi
maupun turunnya kesadaran. Penggolongan analgetik atas dasar cara kerja
farmakologisnya dibagi dalam 2 kelompok besar yaitu:
4
a. Analgesik narkotik / opioid
Yaitu analgesik yang digunakan khusus untuk menghalau rasa nyeri hebat,
seperti pada fraktur dan kanker. Ada tiga jenis utama reseptor opioid yaitu mu (),
delta (), dan kappa ().
Sumber: Nafrialdi, Setawati, A., 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta:
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
5
sinyal nyeri menjadi terhambat/hilang. Hal ini terjadi karena analgetik opioid dan
endogen opioid mempunyai daya penghalang nyeri yang sangat kuat, dengan titik
kerja yang terletak di susunan syaraf pusat (SSP). Dengan timbulnya mekanisme
penghambatan nyeri oleh opioid ini, sel di dalam tubuh membangun suatu
mekanisme pertahanan terhadap penghambatan tersebut dengan cara membangun
kembali kekuatan dari transmisi sinyal nyeri itu, melalui suatu fenomena yang disebut
sebagai toleransi opioid. Toleransi (penurunan efek kerja) terhadap opioid ini dapat
terjadi karena pemakaian secara kontinu dari analgesik opioid.
Sumber: Neal, M.J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis Edisi Kelima. Jakarta :
Penerbit Erlangga. pp. 85
Mekanisme kerja morfina sebagai analgesik terjadi melalui ikatan pada reseptor
opioid terutama pada reseptor opioid yang menyebabkan hambatan transmisi
impuls nyeri lebih lanjut. Penggunaan morfina secara berulang akan menyebabkan
terjadinya toleransi yaitu suatu fenomena dimana obat akan mengalami penurunan
efektivitas atau memerlukan dosis yang lebih tinggi untuk mempertahankan suatu
efek tertentu. Mekanisme perkembangan toleransi analgesik morfina melibatkan
reseptor opioid dimana terjadi desensitisasi reseptor opioid yang akan memicu
sekuestrasi atau internalisasi reseptor sehingga mengurangi jumlah reseptor pada
membran sel. Selain itu, ada hipotesis lain yang menyatakan bahwa aktivasi reseptor
opioid oleh agonis opioid akan menyebabkan terjadinya mekanisme adaptasi yang
mempengaruhi berbagai signaling cascade diantaranya upregulasi adenylil cyclase
cascade serta second messenger lainnya seperti MAP kinase.
Sumber: Liu, J. and Prather, P.L. (2001) Chronic exposure to -opioid agonist
produces constitutive activation of -opioid receptor in direct proportion to the efficacy
of the agonist used for pretreatment,Molecular Pharmacology, 60, 1, p.53-62.
3. Faktor psikologis
Kepribadian pasien mampu mempengaruhi persepsi nyeri dan respons obat
analgesik. Sehingga, pasien-pasien dengan anxietas rendah dan score
6
neurocitism rendah pada skala kepribadian menunjukkan nyeri pasca operasi
yang rendah dan membutuhkan dosis rendah opioid daripada pasien yang
berskala tinggi. Pasien dengan skor tinggi mungkin menunjukkan insiden
yang lebih tinggi pada komplikasi operasi. Tingkat anxietas pasien juga
berakibat pada persepsi nyeri. Peningkatan anxietas menghasilkan derajat
nyeri pasca operasi dan kebutuhan opioid yang lebih tinggi.
4. Variabilitas farmakokinetik
Pada beberapa studi sebelumnya, menujukkan bahwa variabilitas
farmakokinetik bisa memberikan respons relatif buruk pada injeksi tunggal
IM yang diberikan pasca operasi setelah ditemukan bahwa beberapa pasien
yang diberi perlakuan sama, konsentrasi puncak plasmanya bisa sangat
berbeda.
5. Variabilitas farmakodinamik
Meskipun ada variasi farmakokinetik yang luas di antara pasien dalam
pemberian opioid, alasan utama untuk variasi dalam sensitivitas opioid
adalah reseptor opioid.
7
proses-proses ke medulla spinalis dan menghambat neuron penghambat
rasa nyeri. Aktivasi ini terbukti terjadi akibat inhibisi neuron inhibitorik di
beberapa tempat. Berbagai interaksi pada tempat-tempat ini secara bersama-
sama meningkatkan efek analgesik keseluruhan milik agonis opioid.
8
inhibisi proses nosiseptif di kornu posterior medulla spinalis.
9
- Mekanisme Kerja Analgetik Non-Opioid
Sumber: Bourne, H. R. & Zastrow, Mark Von. 2007. Drug Receptors &
Pharmacodynamic. Dalam: Katzung, Bertram G. (2007). Basic & Clinical
Pharmacology, Tenth Edition. United States : Lange Medical Publications
B. Resistensi Antibiotik
Terdapat berbagai mekanisme yang menyebabkan mikroorganisme bersifat
resistan terhadap obat, yaitu:
10
tampaknya disebabkan oleh perubahan membran luar yang mengganggu
transpor aktif ke dalam sel.
Sumber: Jawetz, Melnick, and Adelbergs. 2004. Mikrobiologi Kedokteran, Ed. 23.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Pg. 166 167
4. Bagaimana tata cara pemakaian obat yang rasional dan tata cara perhitungan
dosis ?
Secara praktis, penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria:
1. Tepat Diagnosis
Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat. Jika
diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan terpaksa
mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang diberikan
juga tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya.
4. Tepat Dosis
Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi
obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan
rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek samping.
Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi
yang diharapkan.
11
5. Tepat Cara Pemberian
Obat Antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula antibiotik
tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk ikatan, sehingga
menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan efektivtasnya.
10. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin, serta tersedia
setiap saat dengan harga yang terjangkau.
12
14. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan.
Sumber: Kemenkes RI, 2011. Modul penggunaan obat rasional, Jakarta: Kemenkes
DT
Dan apabila % DM 100%, dosis obat bisa dipakai atau dikonsumsi.
c. Rumus cowling, digunakan apabila umur anak < 12 tahun dan berangka
ganjil
2. Berat Badan
Penghitungan dosis dilakukan dengan menggunakan rumus clark
Sumber: Nafrialdi, Setawati, A., 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta:
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
13
14