Anda di halaman 1dari 14

TUGAS MANDIRI LBM 4 BLOK 11

Stephanie Erlen
31101500545
SGD 5

1. Apa saja macam golongan analgesik dan golongan antibiotik ?


Penggolongan berdasarkan struktur kimianya, antibiotik terbagi menjadi:
a. Golongan Beta Laktam
1. Penisilin
Penisilin merupakan asam organik, terdiri dari satu inti siklik dengan satu
rantai samping. lnti siklik terdiri dari cincin tiazolidin dan cincin betalaktam.
Rantai samping merupakan gugus amino bebas yang dapat mengikat berbagai
jenis radikal. Dengan mengikat berbagai radikal pada gugus amino bebas
tersebut akan diperoleh berbagai jenis penisilin, misalnya pada penisilin G,
radikalnya adalah gugus benzil. Beberapa penisilin akan berkurang aktivitas
antimikrobanya dalam suasana asam sehingga penisilin kelompok ini harus
diberikan secara parenteral. Penisilin lain hilang aktivitasnya bila dipengaruhi
enzim betalaktamase (dalam hal ini, penisilinase) yang memecah cincin
betalaktam.

Penisilin menghambat pembentukan mukopeptida yang diperlukan untuk


sintesis dinding sel mikroba. Terhadap mikroba yang sensitif, penisilin akan
menghasilkan efek bakterisid pada mikroba yang sedang aktif membelah.
Mikroba dalam keadaan metabolik tidak aktif (tidak membelah) atau persisfers,
tidak dipengaruhi oleh penisilin, kalaupun ada pengaruhnya hanya
bakteriostatik.

Mekanisme kerja antibiotik betalaktam dapat diringkas dengan urutan


sebagai berikut:
a. Obat bergabung dengan penicillin-binding protein (PBPs) pada kuman.
b. Terjadi hambatan sintesis dinding sel kuman karena proses transpeptidasi
antar rantai peptidoglikan terganggu.
c. Kemudian terjadi aktivasi enzim proteolitik pada dinding sel.
Diantara semua penisilin, penisilin G mempunyai aktivitas terbaik terhadap
kuman gram-positif yang sensitif. Kelompok ampisilin, walaupun spektrum
Amnya lebar, aktivitasnya terhadap mikroba gram-positif tidak sekuat penisilin
G, tetapi efektif terhadap beberapa mikroba gram-negatif dan tahan asam,
sehingga dapat diberikan per oral.

2. Sefalosporin
Sefalosporin berasal dari fungus Cephalosporium acremonium yang
diisolasi. Fungus ini menghasilkan tiga macam antibiotik, yaitu sefalosporin
P, N dan C. lnti dasar selalosporin C ialah asam 7-aminosefalosporanat (7-
ACA : 7-aminocephalosporanic acid) yang merupakan kompleks cincin
dihidrotiazin dan cincin betalaktam. Sefalosporin C resisten terhadap
penisilinase, tetapi dirusak oleh sefalosporinase.

1
Mekanisme kerja antimikroba sefalosporin ialah dengan menghambat
sintesis dinding sel mikroba. Yang dihambat ialah reaksi transpeptidase
tahap ketiga dalam rangkaian reaksi pembentukan dinding sel. Sefalosporin
aktif terhadap kuman gram-positif maupun gram-negatif, tetapi spektrum
antimikroba masing-masing derivat bervariasi.

Sefalosporin terbagi lagi ke dalam beberapa golongan seperti:


a. Sefalosporin generasi pertama
b. Sefalosporin generasi kedua
c. Sefalosporin generasi ketiga

3. Monobaktam
Monobaktam merupakan suatu senyawa betalaktam monosiklik, dengan
inti dasar berupa cincin tunggal, asam-3 aminobaktamat. Struktur ini berbeda
dengan struktur kimia golongan antibiotika betalaktam terdahulu misalnya
penisilin dan sefalosporin.

Contoh antibiotik monobaktam yaitu Aztreonam yang bekerja dengan


menghambat sintesis dinding sel kuman, seperti antibiotika betalaktam lain.
Antibiotik ini dengan mudah menembus dinding dan membran sel kuman
gram-negatif aerobik, dan kemudian mengikat erat penicillin-binding-protein
3 (=PBP 3). Pengaruh interaksi tersebut pada kuman ialah terjadi perubahan
bentuk filamen, pembelahan sel terhambat dan mati.

4. Penghambat betalaktamase dengan kombinasinya


Penghambat betalaktamase yang telah digunakan dalam pengobatan ialah
asam klavulanat dan sulbaktam. Penghambat tersebut tidak memperlihatkan
aktivitas antibakteri, sehingga tidak dapat digunakan sebagai obat tunggal
untuk menanggulangi penyakit infeksi. Bila dikombinasi dengan antibiotika
betalaktam, penghambat ini akan mengikat enzim betalaktamase, sehingga
antibiotika pasangannya bebas dari pengerusakan oleh enzim tersebut dan
dapat menghambat sintesis dinding sel bakteri yang dituju. Sifat ikatan
betalaktamase dengan penghambatnya ini umumnya menetap,
penghambatnya seringkali bekerja sebagai suatu suicide inhibitor, karena
ikut hancur di dalam betalaktamase yang diikatnya.

5. Kombinasi karbapenem
Contohnya Imipenem dengan natrium silastatin. Bila diberikan bersama
imipenem dalam perbandingan sama, silastatin akan meningkatkan kadar
imipenem aktif di dalam urin dan mencegah efek toksiknya terhadap ginjal.
Mekanisme kerjanya lmipenem mengikat PBP2 dan menghambat sintesis
dinding sel kuman.

a. Golongan Tetrasiklin
Golongan tetrasiklin menghambat sintesis protein bakteri pada ribosomnya.
Paling sedikit terjadi 2 proses dalam masuknya antibiotik ke dalam ribosom
bakteri gram-negatif, pertama yang disebut difusi pasif melalui kanal hidrofilik,
kedua ialah sistem transport aktif. Setelah masuk maka antibiotik berikatan
dengan ribosom 30S dan menghalangi masuknya komplek tRNA-asam amino
pada lokasi asam amino.

b. Golongan Kloramfenikol

2
Kloramfenikol bekerja dengan menghambat sintesis protein kuman. Yang
dihambat ialah enzim peptidil transferase yang berperan sebagai katalisator untuk
membentuk ikatan-ikatan peptida pada proses sintesis protein kuman. Efek toksik
kloramfenikol pada sel mamalia terutama terlihat pada sistem hemopoetik dan
diduga berhubungan dengan mekanisme kerja obat ini. Kloramfenikol umumnya
bersifat bakteriostatik. Pada konsentrasi tinggi kloramfenikol kadang-kadang
bersifat bakterisid terhadap kuman-kuman tertentu.

c. Golongan aminoglikosida
Aktivitas antibakteri gentamisin, tobramisin, kanamisin, netilmisin dan amikasin
terutama tertuju pada basil gram-negatif yang aerobik. Mekanisme kerja
aminoglikosid dimulai dari berdifusi lewat kanal air yang dibentuk oleh porin
proteins pada membran luar dari bakteri gram-negatif masuk ke ruang
periplasmik. Sedangkan transport melalui membran dalam sitoplasma
membutuhkan energi. Fase transport yang dependen energi ini bersifat rate
limiting, dapat diblok oleh Ca2+ dan Mg2+, hiperosmolaritas, penurunan pH dan
anaerobiosis.

Hal ini menerangkan penurunan aktivitas aminoglikosid pada lingkungan


anaerobik suatu abses atau urin asam yang bersilat hiperosmolar. Setelah masuk
sel, aminoglikosid terikat pada ribosom 30S dan menghambat sintesis protein.
Terikatnya aminoglikosid pada ribosom ini mempercepat transport aminoglikosid
ke dalam sel, diikuti dengan kerusakan membran sitoplasma, dan disusul
kematian sel. Yang diduga terjadi ialah "salah baca" (mis reading) kode genetik
yang mengakibatkan terganggunya sintesis protein. Dalam hal ini, jenis asam
amino yang "salah" (berbeda dari yang seharusnya) disambung pada rantai
polipeptida, sehingga terbentuk jenis protein yang salah.

d. Golongan lain-lain
1. Eritromisin dan makrolid lain
Aktivitas antimikroba golongan makrolid menghambat sintesis protein
kuman dengan jalan berikatan secara reversibel dengan ribosom subunit 50S,
dan bersifat bakteriostatik atau bakterisid tergantung dari jenis kuman dan
kadarnya

2. Linkomisin dan klindamisin


Obat ini pada umumnya aktif terhadap S.aureus, D.pneumoniae,
Str.pyogenes, Str.anaerobic, Str. Viridans dan Actinomyces israelli. Obat ini
juga aktif terhadap Bacteroides fragilis dan kuman anaerob lainnya.

3. Golongan polimiksin
Golongan polimiksin yaitu polimiksin B dan kolistin sekarang hanya
digunakan per oral atau topikal, jarang secara parenteral karena sangat
nefrotoksik. Kedua obat ini aktif terhadap berbagai kuman gram-negatif,
khususnya Ps.aeruginosa. Kuman lain yang peka ialah Escherichia,
Haemophilus, Klebsiella, Enterobacter, Salmonella, Shigella, Pasteurella,
Bordetella dan Vibrio. Obat ini bekerja dengan mengganggu fungsi pengaturan
osmosis oleh membran sitoplasma kuman. Resisten terhadap antibiotik ini
jarang terjadi.

4. Basitrasin

3
Obat ini sekarang hanya digunakan secara topikal untuk berbagai infeksi
kulit dan mata karena pada pemberian sistemik bersifat nefrotoksik.

5. Natrium fusidat
Asam fusidat tersedia dalam bentuk garam natrium untuk mempermudah
kelarutannya obat ini diberikan secara sistemik untuk infeksi stafilokokus yang
resisten terhadap penisilin, khususnya untuk osteomielitis karena obat ini
terdapat dalam tulang dengan kadar cukup tinggi.

6. Mupirosin
Obat ini bekerja dengan menghambat enzim isoleusil-t-RNA sintetase pada
kuman.

7. Spektinomisin
Spektinomisin digunakan bila gonokokus resisten atau penderita alergi
terhadap penisilin G.

8. Vankomisin
Obat ini tidak diserap melalui saluran cerna, dan untuk mendapatkan efek
sistemik harus diberikan lntra Vena karena pemberian lntra Muscular
menimbulkan nekrosis setempat. Obat ini hanya aktif terhadap kuman gram-
positif, khususnya golongan kokus.

9. Golongan kuinolon
Mekanisme kerja golongan kuinolon dimulai dari bentuk double helix DNA
yang harus dipisahkan menjadi 2 utas DNA pada saat akan berlangsungnya
replikasi dan transkripsi. Pemisahan ini selalu akan mengakibatkan terjadinya
puntiran berlebihan (overwinding) pada double helix DNA sebelum titik pisah.
Hambatan mekanik ini dapat diatasi kuman dengan bantuan enzim DNA
girase (topoisomerase ll) yang kerjanya menimbulkan negative supercoilling.
Golongan fluorokuinolon menghambat kerja enzim DNA girase pada kuman
dan bersifat bakterisidal.

Sumber: Nafrialdi, Setawati, A., 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta:
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Pg. 622 685

Analgesik merupakan suatu zat yang digunakan dalam pengobatan untuk tujuan
mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri tanpa menimbulkan efek sedasi
maupun turunnya kesadaran. Penggolongan analgetik atas dasar cara kerja
farmakologisnya dibagi dalam 2 kelompok besar yaitu:

4
a. Analgesik narkotik / opioid
Yaitu analgesik yang digunakan khusus untuk menghalau rasa nyeri hebat,
seperti pada fraktur dan kanker. Ada tiga jenis utama reseptor opioid yaitu mu (),
delta (), dan kappa ().

Berdasarkan kerjanya pada reseptor, obat golongan opioid dibagi menjadi:


1. Agonis penuh (kuat)
2. Agonis parsial (lemah sampai sedang)
3. Campuran agonis dan antagonis
4. Antagonis
Opioid golongan agonis kuat hanya mempunyai efek agonis, sedangkan
agonis parsial dapat menimbulkan efek agonis, atau sebagai antagonis dengan
menggeser agonis kuat dari ikatannya pada reseptor opioid dan mengurangi
efeknya. Opioid yang merupakan campuran agonis dan antagonis adalah opioid
yang memiliki efek agonis pada satu subtipe reseptor opioid dan sebagai suatu
parsial agonis atau antagonis pada subtipe reseptor opioid lainnya.
Berdasarkan rumus bangunnya obat golongan opioid dibagi menjadi derivat
fenantren, fenilheptilamin, fenilpiperidin, morfinan, dan benzomorfan.

Sumber: Nafrialdi, Setawati, A., 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta:
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.

b. Analgesik perifer / non-narkotik / non opioid


Yaitu analgesik yang terdiri dari obat-obat yang tidak bersifat narkotik dan tidak
bekerja secara sentral. Contohnya analgesik anti inflamasi steroid (SAID) dan
anti inflamasi non-steroid (NSAID).
Sumber: Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja. 2007. Obat-obat Penting Khasiat,
Penggunaan dan Efek-efek Sampingnya Edisi Keenam. Jakarta: Elex Media
Komputindo.

2. Bagaimana mekanisme analgetik bisa tidak mempan terhadap pasien ?


Di dalam tubuh manusia, pada frekuensi pensinyalan normal, sinyal rasa nyeri yang
dibawa oleh neurotransmitter dikeluarkan dari presinaptik dan sinyal tersebut
ditransmisikan di seluruh celah sinaptik. Namun, ketika neuron atau sel saraf
tersebut berada dibawah pengaruh atau kontrol opioid, maka penerusan tranduksi

5
sinyal nyeri menjadi terhambat/hilang. Hal ini terjadi karena analgetik opioid dan
endogen opioid mempunyai daya penghalang nyeri yang sangat kuat, dengan titik
kerja yang terletak di susunan syaraf pusat (SSP). Dengan timbulnya mekanisme
penghambatan nyeri oleh opioid ini, sel di dalam tubuh membangun suatu
mekanisme pertahanan terhadap penghambatan tersebut dengan cara membangun
kembali kekuatan dari transmisi sinyal nyeri itu, melalui suatu fenomena yang disebut
sebagai toleransi opioid. Toleransi (penurunan efek kerja) terhadap opioid ini dapat
terjadi karena pemakaian secara kontinu dari analgesik opioid.

Sumber: Neal, M.J. 2006. At a Glance Farmakologi Medis Edisi Kelima. Jakarta :
Penerbit Erlangga. pp. 85

Mekanisme kerja morfina sebagai analgesik terjadi melalui ikatan pada reseptor
opioid terutama pada reseptor opioid yang menyebabkan hambatan transmisi
impuls nyeri lebih lanjut. Penggunaan morfina secara berulang akan menyebabkan
terjadinya toleransi yaitu suatu fenomena dimana obat akan mengalami penurunan
efektivitas atau memerlukan dosis yang lebih tinggi untuk mempertahankan suatu
efek tertentu. Mekanisme perkembangan toleransi analgesik morfina melibatkan
reseptor opioid dimana terjadi desensitisasi reseptor opioid yang akan memicu
sekuestrasi atau internalisasi reseptor sehingga mengurangi jumlah reseptor pada
membran sel. Selain itu, ada hipotesis lain yang menyatakan bahwa aktivasi reseptor
opioid oleh agonis opioid akan menyebabkan terjadinya mekanisme adaptasi yang
mempengaruhi berbagai signaling cascade diantaranya upregulasi adenylil cyclase
cascade serta second messenger lainnya seperti MAP kinase.

Sumber: Liu, J. and Prather, P.L. (2001) Chronic exposure to -opioid agonist
produces constitutive activation of -opioid receptor in direct proportion to the efficacy
of the agonist used for pretreatment,Molecular Pharmacology, 60, 1, p.53-62.

Keberhasilan terapi analgesik juga dipengaruhi oleh beberapa faktor yang


mempengaruhi variasi kebutuhan analgesik, seperti:
1. Jenis operasi
Tipe nyeri akan berbeda pada tipe operasi yang berbeda juga. Operasi pada
sendi dihubungkan dengan nyeri yang sangat tajam. Sedangkan nyeri pada
operasi abdomen cenderung merasakan nyeri tumpul dan menjadi nyeri yang
lebih tajam bila diinduksi oleh batuk dan pergerakan. Nyeri yang berhubungan
dengan operasi jari mungkin berespon kurang baik bila diberi opioid akan tetapi
sebaliknya bila diberi NSAID.

2. Usia, jenis kelamin, dan berat badan


Kebutuhan analgesik pada pria dan wanita hampir sama pada tipe operasi yang
sama. Akan tetapi akan ada pengurangan kebutuhan analgesik pada
peningkatan usia. Tentu saja, ini sangat penting untuk anesthetis mengurangi
dosis obat opioid pada pasien usia lanjut. Untuk berat badan, tak ada
evidence based yang menyebutkan bahwa terdapat perbedaan kebutuhan
analgesik pada berat badan yang berbeda pada orang dewasa.

3. Faktor psikologis
Kepribadian pasien mampu mempengaruhi persepsi nyeri dan respons obat
analgesik. Sehingga, pasien-pasien dengan anxietas rendah dan score

6
neurocitism rendah pada skala kepribadian menunjukkan nyeri pasca operasi
yang rendah dan membutuhkan dosis rendah opioid daripada pasien yang
berskala tinggi. Pasien dengan skor tinggi mungkin menunjukkan insiden
yang lebih tinggi pada komplikasi operasi. Tingkat anxietas pasien juga
berakibat pada persepsi nyeri. Peningkatan anxietas menghasilkan derajat
nyeri pasca operasi dan kebutuhan opioid yang lebih tinggi.

4. Variabilitas farmakokinetik
Pada beberapa studi sebelumnya, menujukkan bahwa variabilitas
farmakokinetik bisa memberikan respons relatif buruk pada injeksi tunggal
IM yang diberikan pasca operasi setelah ditemukan bahwa beberapa pasien
yang diberi perlakuan sama, konsentrasi puncak plasmanya bisa sangat
berbeda.

5. Variabilitas farmakodinamik
Meskipun ada variasi farmakokinetik yang luas di antara pasien dalam
pemberian opioid, alasan utama untuk variasi dalam sensitivitas opioid
adalah reseptor opioid.

Sumber: Smith G. 2013. Textbook of anaesthesia. Edinburgh: Churchill Livingstone

3. Bagaimana hubungan pemberian analgetik dengan resistensi antibiotik ?


A. Pemberian Analgetik
Analgetik diberikan dalam pengobatan untuk tujuan mengurangi atau
menghilangkan rasa nyeri tanpa menimbulkan efek sedasi maupun turunnya
kesadaran.

- Mekanisme Kerja Analgetik Opioid


Tempat kerja opioid di reseptor sudah ditetapkan secara autoradiografis
menggunakan radioligan berafinitas tinggi dan antibodi terhadap sekuens peptida
yang unik pada tiap subtipe reseptor. Ketika reseptor utama opioid sangat banyak
dijumpai di kornu posterior medulla spinalis. Reseptor-reseptor ini terdapat dalam
neuron penghantar di medulla spinalis dan aferen primer yang
menyampaikan
pesan nyeri pada neuron di medulla spinalis. Agonis opioid menghambat
pembebasan transmiter eksitatorik dari aferen primer penghantar rasa nyeri.
Selain
itu, agonis opioid juga secara langsung menghambat neuron penghantar nyeri di
medulla spinalis. Dengan demikian, opioid memiliki efek analgesik kuat yang
bekerja secara langsung di medulla spinalis. Efek spinal ini telah
dimanfaatkan
secara klinis sebagai analgesik regional melalui pemberian langsung opioid
analgesik pada medulla spinalis; efek ini cenderung lebih sedikit
menimbulkan depresi napas, mual dan muntah, dan sedasi daripada efek
supraspinal yang timbul
melalui pemberian opioid secara sistemik.

Pada berbagai keadaan, opioid biasanya diberikan secara sistemik sehingga


bekerja secara serentak di berbagai tempat, tidak hanya di jaras ascenden
transmisi nyeri, yang berawal dari ujung perifer khusus tempat rangsang
nyeri di transduksi, tapi juga di jaras descenden. Di tempat-tempat ini, begitu juga
di tempat lainnya opioid secara langsung menghambat neuron. Namun, kerja
ini menghasilkan aktivasi neuron inhibitoris descenden yang mengirim

7
proses-proses ke medulla spinalis dan menghambat neuron penghambat
rasa nyeri. Aktivasi ini terbukti terjadi akibat inhibisi neuron inhibitorik di
beberapa tempat. Berbagai interaksi pada tempat-tempat ini secara bersama-
sama meningkatkan efek analgesik keseluruhan milik agonis opioid.

Ketika diberikan secara sistematik, opioid pereda nyeri kemungkinan bekerja


di sirkuit-sirkuit otak yang biasanya diatur oleh peptida opioid endogen. Sebagian
dari efek pereda opiod eksogen ini melibatkan pembebasan peptida opioid
endogen. Suatu agonis opioid eksogen (seperti morfin) mungkin bekerja
terutama dan secara langsung di reseptor , tapi kerja ini dapat
mencetuskan pembebasan opoid endogen tambahan yang bekerja di
reseptor dan .
Jadi, bahkan suatu ligan yang selektif reseptor pun dapat memulai
serangkaian
kejadian kompleks yang melibatkan berbagai macam sinaps, transmiter, dan jenis
reseptor. Studi-studi klinis pada hewan dan manusia membuktikan bahwa
opioid ndogen dan eksogen dapat menghasilkan analgesia yang diperantai oleh
opioid pada tempat-tempat di luar SSP. Nyeri akibat inflamasi tampaknya sangat
peka terhadap kerja opioid di perifer ini. Hipotesis ini juga didukung oleh
penemuan
respetor fungsional pada ujung perifer neuron sensorik. Aktivasi reseptor

perifer mengakibatkan penurunan aktivias neuron sensoris dan pembebasan


transmiter. Pemberian opioid di perifer, contohnya ke dalam lutut sewaktu
prosedur artroskopi lutut menunjukkan manfaat klinis hingga 24 jam pasca
pemberian. Jika memang dapat dikembangkan, opioid yang selektif di berbagai
tempat di perifer akan menjadi tambahan yang bermanfaat bagi terapi nyeri
inflamatorik. Selain itu, dinorfin baru yang bekerja di perifer dapat menjadi terapi
baru untuk nyeri visceral. Senyawa in mungkin memiliki keuntungan tambahan
karena menurunkan efek-efek yang merugikan, seperti konstipasi. Sirkuit batang
otak yang mendasari efek modulasi jaras desenden oleh analgesia yang
diperantai reseptor opioid (MOR). Neuron penghambat rasa nyeri diaktifkan
secara tidak langsung oleh opioid (eksogen atau endogen) yang menghambat
interneuron inhibitorik (GABAergik). Sehingga ini mengakibatkan peningkatan

8
inhibisi proses nosiseptif di kornu posterior medulla spinalis.

9
- Mekanisme Kerja Analgetik Non-Opioid

Sumber: Bourne, H. R. & Zastrow, Mark Von. 2007. Drug Receptors &
Pharmacodynamic. Dalam: Katzung, Bertram G. (2007). Basic & Clinical
Pharmacology, Tenth Edition. United States : Lange Medical Publications

B. Resistensi Antibiotik
Terdapat berbagai mekanisme yang menyebabkan mikroorganisme bersifat
resistan terhadap obat, yaitu:

a. Mikroorganisme menghasilkan enzim yang menghancurkan obat aktif .


Contoh: Stafilokokus yang resistan terhadap penisilin G menghasilkan p-
laktamase yang menghancurkan obat. B-Laktamase lain dihasilkan oleh
bakteri batang gram negatif. Bakteri gram negatif resistan terhadap
aminoglikosida (disebabkan oleh plasmid) menghasilkan enzim asetilasi,
fosforilasi, atau adeniliiasi yang menghancurkan obat.

b. Mikroorganisme mengubah permeabilitasnya terhadap obat.


Contoh: Tetrasiklin menumpuk pada bakteri yang rentan tetapi tidak pada
bakteri resistan. Resistansi terhadap polimiksin juga dikaitkan dengan
perubahan permeabilitas terhadap obat. Streptokokus mempunyai sawar pe
rme abilitas alami terhadap aminoglikosida. Sebagian keadaan tersebut
dapat diatasi dengan obat yang aktif dinding sel yang simultan, misal,
penisilin. Resistansi terhadap amikasin dan beberapa aminoglikosida lain
dapat bergantung pada kurangnya permeabiiitas terhadap obat-obatan,

10
tampaknya disebabkan oleh perubahan membran luar yang mengganggu
transpor aktif ke dalam sel.

c. Mikroorganisme menyebabkan perubahan target struktural untuk obat.


Contoh: organisme resistan eritromisin mempunyai reseptor yang berubah
pada subunit 50S ribosom, disebabkan oleh metilasi RNA 23S ribosom.
Resistansi terhadap beberapa penisilin dan sefalosporin mungkin diakibatkan
oleh hilangnya atau berubahnya PBP. Resistansi penisilin pada Streptococcus
pneunioniae dan enterokokus disebabkan oleh perubahan PBP.

d. Mikroorganisme menyebabkan perubahan jalur metabolik yang melintasi


reaksi yang dihambat oleh obat.
Contoh: Beberapa bakteri yang resistan terhadap sulfonamid tidak
memerlukan PABA ekstraselular tetapi, seperti sel mamalia, dapat
menggunakan asam folat yang telah dibentuk sebelumnya.

e. Mikroorganisme menyebabkan perubahan enzim yang masih dapat melakukan


fungsi metaboliknya tetapi kurang dipengaruhi oleh obat.
Contoh: Pada bakteri yang resistan trimetoprim, asam dihidrofolat reduktase
dihambat kurang efisien daripada pada bakteri yang rentan trimetoprim

Sumber: Jawetz, Melnick, and Adelbergs. 2004. Mikrobiologi Kedokteran, Ed. 23.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. Pg. 166 167

Jadi, dapat disimpulkan bahwa penggunaan analgesik tidak berhubungan langung


dengan terjadinya resistensi antibiotik

4. Bagaimana tata cara pemakaian obat yang rasional dan tata cara perhitungan
dosis ?
Secara praktis, penggunaan obat dikatakan rasional jika memenuhi kriteria:
1. Tepat Diagnosis
Penggunaan obat disebut rasional jika diberikan untuk diagnosis yang tepat. Jika
diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat akan terpaksa
mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang diberikan
juga tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya.

2. Tepat Indikasi Penyakit


Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifik. Antibiotik, misalnya
diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat ini hanya
dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri.

3. Tepat Pemilihan Obat


Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah diagnosis ditegakkan
dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang memiliki efek
terapi sesuai dengan spektrum penyakit.

4. Tepat Dosis
Dosis, cara dan lama pemberian obat sangat berpengaruh terhadap efek terapi
obat. Pemberian dosis yang berlebihan, khususnya untuk obat yang dengan
rentang terapi yang sempit, akan sangat beresiko timbulnya efek samping.
Sebaliknya dosis yang terlalu kecil tidak akan menjamin tercapainya kadar terapi
yang diharapkan.

11
5. Tepat Cara Pemberian
Obat Antasida seharusnya dikunyah dulu baru ditelan. Demikian pula antibiotik
tidak boleh dicampur dengan susu, karena akan membentuk ikatan, sehingga
menjadi tidak dapat diabsorpsi dan menurunkan efektivtasnya.

6. Tepat Interval Waktu Pemberian


Cara pemberian obat hendaknya dibuat sesederhana mungkin dan praktis, agar
mudah ditaati oleh pasien. Makin sering frekuensi pemberian obat per hari
(misalnya 4 kali sehari), semakin rendah tingkat ketaatan minum obat. Obat yang
harus diminum 3 x sehari harus diartikan bahwa obat tersebut harus diminum
dengan interval setiap 8 jam.

7. Tepat lama pemberian


Lama pemberian obat harus tepat sesuai penyakitnya masingmasing. Untuk
Tuberkulosis dan Kusta, lama pemberian paling singkat adalah 6 bulan. Lama
pemberian kloramfenikol pada demam tifoid adalah 10-14 hari. Pemberian obat
yang terlalu singkat atau terlalu lama dari yang seharusnya akan berpengaruh
terhadap hasil pengobatan.

8. Waspada terhadap efek samping


Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu efek tidak diinginkan
yang timbul pada pemberian obat dengan dosis terapi, karena itu muka merah
setelah pemberian atropin bukan alergi, tetapi efek samping sehubungan
vasodilatasi pembuluh darah di wajah. Pemberian tetrasiklin tidak boleh
dilakukan pada anak kurang dari 12 tahun, karena menimbulkan kelainan pada
gigi dan tulang yang sedang tumbuh.

9. Tepat penilaian kondisi pasien


Respon individu terhadap efek obat sangat beragam. Hal ini lebih jelas terlihat
pada beberapa jenis obat seperti teofi lin dan aminoglikosida. Pada penderita
dengan kelainan ginjal, pemberian aminoglikosida sebaiknya dihindarkan, karena
resiko terjadinya nefrotoksisitas pada kelompok ini meningkat secara bermakna.

10. Obat yang diberikan harus efektif dan aman dengan mutu terjamin, serta tersedia
setiap saat dengan harga yang terjangkau.

11. Tepat informasi


Informasi yang tepat dan benar dalam penggunaan obat sangat penting dalam
menunjang keberhasilan terapi

12. Tepat tindak lanjut (follow-up)


Pada saat memutuskan pemberian terapi, harus sudah dipertimbangkan upaya
tindak lanjut yang diperlukan, misalnya jika pasien tidak sembuh atau mengalami
efek samping.

13. Tepat penyerahan obat (dispensing)


Penggunaan obat rasional melibatkan juga dispenser sebagai penyerah obat dan
pasien sendiri sebagai konsumen. Pada saat resep dibawa ke apotek atau
tempat penyerahan obat di Puskesmas, apoteker/asisten apoteker menyiapkan
obat yang dituliskan peresep pada lembar resep untuk kemudian diberikan
kepada pasien. Proses penyiapan dan penyerahan harus dilakukan secara tepat,
agar pasien mendapatkan obat sebagaimana harusnya. Dalam menyerahkan
obat juga petugas harus memberikan informasi yang tepat kepada pasien.

12
14. Pasien patuh terhadap perintah pengobatan yang dibutuhkan.
Sumber: Kemenkes RI, 2011. Modul penggunaan obat rasional, Jakarta: Kemenkes

Cara perhitungan dosis obat


Tata cara perhitungan dosis, bisa dilihat dari persentase dosis terapi (DT) per dosis
DT DT
maksimal atau % DM . Apabila % DM > 100%, dosis obat harus dikurangi.

DT
Dan apabila % DM 100%, dosis obat bisa dipakai atau dikonsumsi.

Untuk dosis anak bisa dihitung berdasarkan:


1. Umur
Penghitungan dosis dilakukan dengan menggunakan:
a. Rumus young, untuk anak < 8 tahun

b. Rumus dilling, untuk anak > 8 tahun

c. Rumus cowling, digunakan apabila umur anak < 12 tahun dan berangka
ganjil

d. Rumus fired, digunakan untuk bayi yang belum berumur 1 tahun

2. Berat Badan
Penghitungan dosis dilakukan dengan menggunakan rumus clark

3. Luas Permukaan tubuh

Sumber: Nafrialdi, Setawati, A., 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta:
Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

13
14

Anda mungkin juga menyukai