KATA SULIT:
Hepatoseluler Karsinoma : Tumor ganas hati yang berasal dari sel hepatosit
AFP : Protein serum normal yang disintesis oleh sel hati fetal, yolksalk yang
digunakan sebagai tanda tumor.
Hepatoprotektor : Senyawa obat yang dapat memberikan perlindungan terhadap hati
dan kerusakan yang ditimbulkan oleh obat, racun, dll.
SGPT : Serum glutamin, piruvat transaminasi, enzim dihati meningkat
apabila ada indikasi gangguan hati
Hepatomegali : Pembesaran hati
Anti-HCV : Test untuk hepatitis c
SGOT : Serum glutamat oksaloasetic transaminase, enzim yang ada diotot,
jantung, dan hati.
PERTANYAAN:
1. Kenapa SGPT SGOT meningkat tapi bilirubin normal ?
2. Kenapa permukaan hati bernodul & terdapat nyeri tekan ?
3. Kenapa BB turun ?
4. Mengapa mual dan selera makan berkurang ?
5. Apa yang menyebabkan hepatoegali ?
6. Apa saja faktor resiko ca carsinoma hepatoseluler ?
7. Adakah hubungan hepatitis dengan penyakit saat ini ?
8. Mengapa AFP meningkat ?
9. Mengapa dianjurkan transplantasi hati ? apakah ada pengobata lainnya ?
10. Bagaimana hukum transplantasi menurut agama islam ?
2
JAWAB:
1. Karena bilirubi belum menyebabkan obstruksi saluran empedu, SGPT & SGOT
meningkat karena adanya kerusakan hati
2. Karena peregangan kapsula glysonic -> nyeri tekan -> sirosis -> inflamasi -> nekrosis
-> nodul.
3. Karena perkembangan sel kanker membutuhkan nutrisi dan reagent dan terjadi
peningkatan metabolisme glikolisis.
4. Karena hepar menekan lambung -> mual, dan selera makan menurun.
5. Karena pertumbuhan sel-sel hepatosit.
6. Hepatitis B, hepatitis C, alkohol, sirosis, diabetes melitus, dan obesitas.
7. Karena peradangan kronis hepatitis.
8. Karena pengaruh alkohol dan penanda karsinoma hepatoseluler.
9. Karena hati sudah tidak berfungsi, pengobatan lainnya tergantung stadiumnya.
10. Boleh, selama tidak membahayakan pendonornya.
HIPOTESA
jelas apakah hal ini disebabkan oleh rentannya laki-laki terhadap timbulnya tumor,
atau karena laki-laki lebih banyak terpajan oleh factor resiko karsinoma hepatoseluler
seperti virus hepatitis dan alcohol.
LO.3 Memahami dan Menjelaskan Etiologi.
Faktor Risiko:
1. Virus Hepatitis B
Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya Karsinoma hepatoseluler
terbukti kuat, baik secara epidemiologis, klinis, maupun eksperimental. Sebagian
besar wilayah yang hiperendemik HBV menunjukkan angka kekerapan karsinoma
hepatoseluler yang tinggi. Di Taiwan pengidap kronis infeksi HBV mempunyai
risiko untuk terjadinya karsinoma hepatoseluler 102 kali lebih tinggi daripada
risiko bagi yang bukan pengidao. Juga ditengarai bahwa kekerapan karsinoma
hepatoseluler yang berkaitan dengan HBV pada anak jelas menurun setelah
diterapkannya vaksinasi HBV universal bagi anak. Umur saat terjadi infeksi
merupakan factor risiko penting karena infeksi HBV pada usia dini berakibat akan
terjadinya persistensi (kronisitas). Karsinogenisitas HBV terhadap hati
mungkinterjadi melalui proses inflamasi kronik peningkatan proliferasi hepatosit,
integrase HBV DNA ke dalam DNA sel pejamu, dan aktivitas protein spesifik
HBV berinteraksi dengan gen hati. Pada dasarnya, perubahan hepatosit dari
kondisi inaktif (quiescent) menjadi sel yang aktif bereplikasi menentukan tingkat
karsinogenesis hati. Siklus sel dapat diaktifkan secara tidak langsung oleh
kompensasi proliferative merespons nekroinflamasi sel hati, atau akibat dipicu
oleh ekspresi berlebihan suatu atau beberapa gen yang berubah akibat HBV.
Koinsidensi infeksi HBV dengan pajanan agen onkogenik lain seperti alfatoksin
dapat menyebabkan terjadinya karsinoma hepatoseluler tanpa memalui sirosis hati
(karsinoma hepatoseluler pada hati non sirotik). Transaktifasi beberapa promoter
selular atau viral tertentu oleh gen-x HBV (HBx) dapat mengakibatkan terjadinya
karsinoma hepatoseluler, mungkin karena akumulasi protein yang disandi HBx
mampu menyebabkan akselerasi proliferasi hepatosit. Dalam hal ini proliferasi
berlebihan hepatosit oleh HBx melampaui mekanisme protektif dari apoptosis sel.
Genotype HBV ditengarai memiliki kemampuan yang berbeda dalam
mempengaruhi proses perjalanan penyakit. Relevansi klinis genotype HBV
semakin jelas diketahui. Sebagai contoh, dibandingkan dengan genotype C,
genotype B dihubungkan dengan serokonvensi HBeAg yang lebih awal, progresi
ke sirosis lebih lambat, serta lebih jarang berkembang menjadi karsinoma
hepatoseluler.
2. Virus Hepatitis C
Diwilyaha dengan tingkat infeksi HBV rendah, HCV merupakan factor risiko
penting dari karsinoma hepatoseluler. Prevalensi anti-HCV pada pasien karsinoma
hepatoseluler di Cina dan Afriks Selatan sekitar 30%, sedangkan di Eropa Selatan
dan Jepang 70-80%. Meta analisis dari 32 penelitian kasus kelola menyimpulkan
bahwa risiko terjadinya karsinoma hepatoseluler pada pengidap infeksi HCV
adalah 17 kali lipat dibandingkan dengan risiko pada bukan pengidap.
Koeksistensi infeksi HCV kronik dengan infeksi HBV atau dengan peminum
alcohol meliputi 20% dari kasus karsinoma hepatoseluler. Diarea hiperendemik
HBV seperti Taiwan, prevalensi anti-HCV jauh lebih tinggi pada kasus karsinoma
hepatoseluler dengan HBsAg negative daripada yang HBsAg positif . ini
menunjukkan bahwa infeksi HCV berperan penting dalam pathogenesis
5
karsinoma hepatoseluler pada pasien yang bukan pengidap HBV. Pada kelompok
pasien penyakit hati akibat transfuse darah dengan anti-HCVpositif, interval
antara saat transfuse hingga terjadinya karsinoma hepatoseluler dapat mencapai 29
tahun. Hepatokarsinogenesis akibat infeksi HCV diduga melalu aktivitas
nekroinflamasi kronik dan sirosis hati.
3. Sirosis hati
Sirosis hati merupakan factor risiko utama karsinoma hepatoseluler di dunia dan
melatarbelakangi lebih drai 80% kasus karsinoma hepatoseluler. Setiap tahun tiga
sampai lima persen dari pasien sirosis hati akan menderita karsinoma
hepatoseluler, dan karsinoma hepatoseluler merupakan penyebab utama kematian
pada sirosis hati. Otopsi pada pasien sirosis hati mendapatkan 20-80% diantaranya
telah menderita karsinoma hepatoseluler. Pada 60-80% dari sirosis hati
makronodular dan tiga sampai sepuluh persen dari sirosis hati mikronodular dapat
ditemukan adanya karsinoma hepatoseluler. Predictor utama karsinoma
hepatoseluler pada sirosis hati adalah jenik kelamin laki-laki, peningkatan kadar
alfa feto protein (AFP) serum, beratnya penyakit dan tingginya aktivitas
proliferasi sel hati.
4. Aflatoksin
Aflatoksin B1 (AFB1) merupakan mikotoksin yang diproduksi oleh jamur
Aspergillus. Dari percobaan bintang diketahui bahwa AFB1 bersifat karsinogen.
Metabolit AFB1 yaitu AFB 1-2-3-epoksid merupakan karsinogen utama dari
klompok aflatoksin yang mampu membentuk ikatan dengan DNA maupun RNA.
Salah satu mekanisme hepatokarsinogenesisnya adalah kemampuan AFB1
menginduksi mutase pada kodon 249 dari gen suppressor tumor p53. Beberapa
penelitian dengan menggunakan biomarker di Mozambik, Afrika Selatan,
Switzerland, Cina, dan Taiwan menunjukkan bahwa ada korelasi kuat antara
pajanan aflatoksin dalam diet dengan morbiditas dan mortalitas karsinoma
hepatoseluler. Ririko relative karsinoma hepatoseluler dengan aflatoksin saja
adalah 3.4, dengan infeksi HBV kronik risiko relatifnya 7, dan meningkat menjadi
59 bila disertai dengan kebiasaan mengonsumsi aflatoksin.
5. Obesitas
Suatu penelitian kohort prospektif pada lebih dari 900.000 individu di Amerika
Serikat dengan masa pengamatan selama 16 tahun mendapatkan terjadinya
peningkatan angka mortalitas sebasar lima kali akibat kanker hati pada kelompok
individu dengan berat badan tertinggi (Indeks massa tubuh 35-40Kg/m 2)
dibandingkan dengan kelompok individu yang IMT-nya normal. Seperti diketahui,
obesitas merupakan factor risiko utama untuk non-alcoholic fatty liver disease
(NAFLD), khususnya non-alcoholic steatohepatitis (NASH) yang dapat
berkembang menjadi sirosis hati dan kemudian dapat berlanjut menjadi karsinoma
hepatoseluler.
6. Diabetes Melitus
Telah lama ditengarai bahwa DM merupakan factor risiko baik untuk penyakit
hati kronik maupun untuk karsinoma hepatoseluler melalui terjadinya perlemakan
hati dan steatohepatitis non alkoholik (NASH). Diamping itu, DM dihubungkan
dengan peningkatan kadar insulin dan insulin like growth factors (IGFs) yang
merupakan factor promotif potensial untuk kanker. Indikasi kuatnya asosiasi
antara DM dan karsinoma hepatoseluler terlihat dari banyak penelitian, antara lain
penelitian kasus-kelola oleh Hasan dkk. Yang melaporkan bahwa dari 115 kasus
karsinoma hepatoseluler dan 230 pasien non karsinoma hepatoseluler, rasioodd
dari DM adalah 4,3, meskipun diakui bahwa sebagian dari kasus DM sebelumnya
6
sudah menderita sirosis hati. Penelitian kohort bessar oleh El Serag dkk. Yang
melibatkan 173,643 pasien DM dan 650,620 pasien bukan DM menemukan
bahwa insidensi karsinoma hepatoseluler pada kelompok DM lebih dari dua kali
lipat dibandingkan dengan insidensi karsinoma hepatoseluler kelompok bukan
DM. insidensi juga semakin tinggi seiring dengan lamanya pengamatan (kurang
dari lima tahun hingga lebih dari sepuluh tahun). DM merupakan factor risiko
karsinoma hepatoseluler tanpa memandang umur, jenis kelamin, dan ras, dengan
angka risiko 2,16.
7. Alcohol
Meskipun alcohol tidak memiliki kemampuan mutagenic, peminum berat alcohol
(>50-70 g/hari dan berlangsung lama) berisiko untuk menderita karsinoma
hepatoseluler melalui sirosis hati alkoholik. Hanya sedikit bukti adanya efek
karsinogenik langsung dari alcohol. Alkoholisme juga meningkatkan risiko
terjadinya sirosis hati dan karsinoma hepatoseluler pada pengidap infeksi HBV
atau HCV. Sebaliknya, pada sirosis alkoholik terjadinya karsinoma hepatoseluler
juga meningkay bermakna pada pasien dengan HBsAg positif, atau anti-HCV
positif. Ini menunjukkan adanya peran sinergistik alcohol terhadap infeksi HBV
maupun infeksi HCV. Acapkali penyalahgunaan alcohol merupakan predictor
bebas untuk terjadinya karsinoma hepatoseluler pada pasien dengan hepatitis
kronik atau sirosis akibat infeksi HBV atau HCV. Efek hepatotoksik alcohol
bersifat dose dependent, sehingga asupan sedikit alcohol tidak meningkatkan
risiko terjadinya karsinoma hepatoseluler.
8. Faktor risiko lain
Seperti penyakit hati autoimun) hepatis autoimun;PCB/sirosis bilier primer),
penyakit hati metabolic (hematokromatosis genetic, defisiensi antitrypsin alfa1;
penyakit Wilson), kontrasepsi oral, senyawa kimia (thorotrast; vinil klorida;
nitrosamine; insektisida organoklorin; asam tanik), tembakau.
T2 : Tumor < 2cm dengan invasi vascular atau tumor multiple >2cm yang terbatas
pada satu lobus.
T3 : Tumor >2cm dengan invasi vascular atau tumor multiple >2cm yang terbatas
pada satu lobus
T4 : Tumor multiple di dalam dua lobus
N : Kelenjar Limfe Regional
N0 : Tidak terdapat metastasis di dalam kelenjar limfe
N1 : Metastasis di kelenjar limfe
M0 : Tidak terdapat metastasis jauh
M1 : Metastasis jauh
Stadium Ia Tumor tunggal berdiameter 3 cm, tanpa emboli tumor, tanpa metastasis
kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh; Child A
Stadium Ib Tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter gabungan 5cm, di separuh
hati, tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun
jauh; Child A
Stadium IIa Tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter gabungan 10cm, di separuh
hati atau dua tumor dengan diameter gabungan 5cm, di kedua belahan hati
kiri dan kanan, tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal
ataupun jauh; Child A
Stadium IIb Tumor tunggal atau multiple dengan diameter gabungan > 10 cm, di separuh
hati, atau tumor multiple dengan diameter gabungan > 5 cm, di kedua belahan
hati kiri dan kanan, tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe
peritoneal ataupun jauh; Child A
Stadium IIIa Tidak peduli kondisi tumor, terdapat emboli tumor di pembuluh utama vena
porta atau vena cava inferior, metastasis kelenjar limfe peritoneal atau jauh,
salah satu daripadanya; Child A atau B
Stadium IIIb Tidak peduli kondisi tumor, tidak peduli kondisi emboli tumor, metastasis;
Child C
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik umumnya didapatkan pembesaran hati yang berbenjol, keras,
kadang disertai nyeri tekan. Palpasi menunjukkan adanya gesekan permukaan
peritoneum viserale yang kasar akibat rangsangan dari infiltrat tumor ke permukaan
hepar dengan dinding perut. Pada auskultasi di atas benjolan kadang ditemukan suatu
suara bising aliran darah karena hipervaskularisasi tumor. Gejala ini menunjukkan
fase lanjut karsinoma hepatoseluler.
Pemeriksaan Penunjang
1. Penanda tumor
Alfa-fertoprotein (AFP) adalah protein serum normal yang disintesis oleh sel hati
fetal, sel yolk sac dan sedikit sekali oleh saluran gastrointestinal fetal. Rentang
normal AFP serum adalah 0-20 ng/mL. kadar AFP mrningkat pada 60 % sampai
70% dari pasien karsinoma hepatoseluler, dan kadar lebih dari 400ng/mL adalah
diagnostic atau sangat sugestif untuk karsinoma hepatoseluler. Nilai normal dapat
ditemukan juga pada karsinoma hepatoseluler stadium lanjut. Hasil positif palsu
dapat juga ditemukan oleh hepatitis akut atau kronik dan pada kehamilan. Penanda
tumor lain untukkarsinoma hepatoseluler adalah des gamma carboxy prothrombin
(DCP) atau PIVKA-2, yang kadarnya meningkat pada hingga 91% dari pasien
karsinoma hepatoseluler, namun juga dapat meningkat pada defisiensi vitamin K,
hepatitis kronik aktif atau metastasis karsinoma. Ada beberapa lahi penanda
karsinoma hepatoseluer, seperti AFP-L3 (suatu subfraksi AFP), alfa L fucosidase
serum, dll., tetapi tidak ada yang memiliki agregat sensitivitas dan spesifisitas
melebihi AFP, AFP L-3 dan PIVKA 2.
2. Fungsi hati dan sistem antigen antibodi hepatitis B
12
Karena lebih dari 90% hepatoma disertai sirosis hati, hepatitis dan latar belakang
penyakit hati lain, maka jika ditemukan kelainan fungsi hati, petanda hepatitis B
atau hepatitis C positif, artinya terdapat dasar penyakit hati untuk hepatoma, itu
dapat membantu dalam diagnosis.
3. Biopsi
Pemeriksaan Pencitraan
1. Ultrasonografi abdomen
Untuk meminimalkan kesalahan hasil pemeriksaan AFP, pasien sirosis hati
dianjurkan menjalani pemeriksaan USG setiap tiga bulan. Untuk tumor kecil pada
pasien dengan risiko tinggi USG lebih sensitive daripada AFP serum berulang.
Sensitivitas USG untuk neoplasma hati berkisar antara 70%-80%. Tampilan USG
yang khas untuk karsinoma hepatoseluler kecil adalah gambaran mosaic, formasi
septum, bagian perifer sonolusen (ber-halo) , bayangan lateral yang dibentuk
oleh pseudokapsul fibrotic, serta penyangatan eko posterior. Berbeda dari tumor
metastasis, karsinoma hepatoseluler dengan diameter kurang dari dua sentimeter
mempunyai gambaran bentuk cincin yang khas. USG color Doppler sangat
berguna untuk membedakan karsinoma hepatoseluler dari tumor hepatic lain.
Tumor yang berada dibagian atas belakang lobus kanan mungkin tidak dapat
terdeteksi oleh USG. Demikian juga yang berukuran terlalu kecil dan isoekoik.
Modalitas imaging lain seperti CT-scan, MRI, dan angiografi kadang di[erlukan
untuk mendeteksi karsinoma hepatoseluler, namun karena beberapa kelebihannya,
USG masih tetap merupakan alat diagnostic yang paling popular dan bermanfaat.
2. CT Scan
CT telah menjadi parameter pemeriksaan rutin terpenting untuk diagnosis lokasi
dan sifat karsinoma hepatoseluler. CT dapat membantu memperjelas diagnosis,
menunjukkan lokasi tepat, jumlah dan ukuran tumor dalam hati hubungannya
dengan pembuluh darah, dalam penentuan modalitas terapi sangatlah penting.
Terhadap lesi mikro dalam hati yang sulit ditentukan CT rutin dapat dilakukan CT
dipadukan dengan angiongrafi (CTA), atau ke dalam arteri hepatika disuntikkan
lipiodol, sesudah 1-3 minggu dilakukan lagi pemeriksaan CT, pada waktu ini CT
lipiodol dapat menemukan hepatoma sekecil 0,5 cm. CT scan sudah dapat
membuat gambar karsinoma dalam 3 dimensi dan 4 dimensi dengan sangat jelas
serta memperlihatkan hubungan karsinoma
Gambar 5 : Gambar 6 :
MRI HCC tampak lesi dengan diamer 2,5cm HCC multipel hipervaskular
kecil
Gambar 7:
15
6. Pemeriksaan Lainnya
Pungsi hati mengambil jaringan tumor untuk pemeriksaan patologi, biopsi
kelenjar limfe supraklavikular, biopsi nodul sub-kutis, mencari sel ganas dalam
asites, perito-neoskopi dll. juga mempunyai nilai tertentu pada diagnosis
hepatoma primer.
negatif, MRI dapat membantu diagnosis. Pada tumor metastasis hati, sering
terdapat riwayat kanker primer, zat petanda hepatitis umumnya negatif pencitraan
tampak lesi multipel tersebar dengan ukuran bervariasi. Adenoma hati, umumnya
pada wanita, sering dengan riwayat minum pil KB bertahun-tahun, tanpa latar
belakang hepatitis, sirosis hati, petanda hepatitis negatif. Hiperplasia nodular
fokal, pseudotumor inflamatorik sering cukup sulit dibedakan dari HCC.
tumor kecil namun resektabilitasnya terbatas karena adanya sirosis hati non-Child
A.
Radiofrequency ablation (RFA) menunjukkan angka keberhasilan yang lebih
tinggi daripada PEI dan efikasinya tertinggi untuk tumor yang lebih besar dari 3
cm, namun tetap tidak berpengaruh terhadap harapan hidup pasien. Selain itu,
RFA lebih mahal dan efek sampingnya lebih banyak dibandingkan dengan PEI.
Guna mencegah terjadinya rekurensi tumor, pemberian asam poliprenoik
(polyprenoik acid) selama 12 bulan dilaporkan dapat menurunkan angka rekurensi
pada bulan ke-38 secara bermakna dibandingkan dengan kelompok placebo
(kelompok placebo 49%, kelompok terapi PEI atau resektif kuratif 22%).
4. Terapi Paliatif
Sebagian besar pasien karsinoma hepatoseluler didiagnosis pada stadium
menengah-lanjut (intermediated-advanced stage) yang tidak ada terapi
strandarnya. Berdasarkan meta analisis, pada stadium ini hanya TAE/TACE
(transarterial embolization/chemo embolization) saja yang menunjukkan
penurunan pertumbuhan tumor serta dapat meningkatkan harapan hidup pasien
dengan karsinoma hepatoseluler yang tidak resektabel. TACE dengan frekuensi 3
hingga 4 kali setahun dianjurkan pada pasien yang fungsi hatinya cukup baik
(Child Pugh A) serta tumor multinodular asimtomatik tanpa invasi vascular atau
penyebaran ekstrahepatik, yang tidak dapat diterapi secara radikal. Sebaliknya
bagi pasien yang dalam keadaan gagal hati (Child Pugh B-C), serangan iskemik
akibat terapi ini dapat mengakibatkan efek samping yang berat.
Adapun beberapa jenis terapi lain untuk karsinoma hepatoseluler yang tidak
resektabel seperti imunoterapi dengan interferon, terapi antiestrogen,
antiandrogen, oktreotid, radiasi internal, kemoterapi arterial atau sistemik masih
memerlukan penelitian lebih
lanjut untuk mendapatkan penilaian yang meyakinkan.
Efek samping dari cara pengobatan di atas tersebut dapat berupa demam,
septikemia, perdarahan, trombosis, emboli udara. Kontraindikasi dari kemoterapi
intra-arterial adalah kaheksia, asites yang intraktabel, dan gangguan faal hati
berat.
5. Radiasi
Terapi radiasi jarang digunakan sebagai terapi tunggal dan tidak banyak perannya
sebab carsinoma hati tidak sensitif terhadap radiasi dan sel-sel hati yang normal
sangat peka terhadap radiasi. Terapi radiasi dengan menggunakan 50 Gy untuk
membunuh sel-sel kanker hati dapat menyebabkan radiation induced hepatitis.
Dosis yang diberikan umumnya berkisar antara 30-35 Gy dan diberikan selama 3-
4 minggu. Meskipun demikian, penderita biasanya meninggal dalam kurun waktu
6 bulan. karena survival-nya pendek. Teknik baru yang dengan proton therapy
adalah teknik yang menggunakan partikel bermuatan positif untuk menghantar
energi membunuh sel-sel tumor dengan cedera minimal pada jaringan hati yang
nonneoplastik. Dengan proton therapy dosis 70-80 Gy sangat aman karena sel
target adalah hanya sel tumor. Ukuran tumor dapat berkurang sampai 50% dari
sebelumnya, dan efek samping yang terjadi sangat minimal sehingga memberikan
kualitas hidup yang lebih baik.
6. Tamofixen
Tamofixen digunakan pada penderita-penderita KHS dengan sirosis lanjut, tetapi
tidak meningkatkan survival. Tamofixen dapat dikombinasikan dengan etoposide
dan menunjukkan perbaikan serta memberikan toksisitas rendah dan bermanfaat
sebagai terapi paliatif. Secara in vitro, tamofixen bermakna meningkatkan efek
sitotoksik doxorubisin pada KHS. Kombinasi Antara tamofixen dengan
doxorubisin ternyata tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan
dengan tamofixen tunggal.
7. Injeksi asam asetat perkutaneus
Prinsip dan cara kerja metode ini sama dengan injeksi etanol perkutan, hanya saja
zat yang disuntikkan adalah larutan asam asetat 15-50%. Pemberian pada
penderita KHS dengan tumor yang berdiameter <3 cm menunjukkan survival rate
1 tahun sebesar 93%, 2 tahun sebesar 86%, 3 tahun sebesar 83% dan 4 tahun
sebesar 64%. Efek samping tidak dijumpai.
20
Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder merupakan upaya yang dilakukan terhadap orang yang sudah
sakit agar lekas sembuh dan menghambat progresifitas penyakit melalui diagnosis
dini dan pengobatan yang tepat.
Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier yang dapat dilakukan yaitu berupa perawatan terhadap penderita
kanker hati melalui pengaturan pola makan, pemberian suplemen pendukung
penyembuhan kanker, dan cara hidup sehat agar dapat mencegah kekambuhan setelah
operasi.
yang paling utama adalah menghindarkan infeksi terhadap HBV dan HCV serta
menghindari konsumsi alkohol untuk mencegah terjadinya sirosis.
LI.2 Memahami dan Menjelaskan Transpalantasi Organ Dalam Hukum Islam.
Dalam batas-batas tertentu berbagai jenis transplantasi atau menggunakan anggota
tubuh manusia untuk pengobatan telah menjadi pembahasan para fukaha sejak lama, baik
autotransplantasi, homotransplantasi, atau heterotransplantasi.
Sebagian ulama nampaknya belum memandang perlu mengfatwakan hukum auto-
transplantasi atau replantasi. Barangkali karena telah ada isyarat dalam Sunnah filiyyah,
Nabi pernah melakukannya, berkat mukjizatnya, Nabi saw dapat mengembalikan (melakukan
tindakan sejenis replantasi) mata Qatadah bin al-Numan yang terlepas keluar pada saat
Perang Badar atau Perang Uhud. Juga pernah mereplantasi tangan Muawwidz bin Afra dan
Habib bin Yasaf yang tertebas pedang hingga putus pada saat Perang Badar. Atas dasar itu,
maka fukaha sepakat menetapkan bolehnya mengembalikan anggota tubuh yang terputus
akibat sakit atau sebab lainnya ke tempat semula. Ahmad bin Hanbal dan para pengikutnya
berargumen, karena di dalamnya terkandung roh yang merupakan bagian dari roh tubuh
tersebut.
Fatwa yang komprehensif tentang transplantasi, antara lain, telah dikeluarkan oleh
Majma al-Fiqh al-Islami pada Muktamar ke-4 yang diselenggarakan di Jiddah pada 6-11
Februari 1988 tentang hukum transplantasi menggunakan organ manusia, autotransplantasi
dan homotransplantasi, dari orang hidup maupun orang mati, dengan syarat-syarat yang mesti
ditunaikan. Ada delapan butir keputusan, yaitu sebagai berikut :
1. Bahwa memindahkan organ tubuh seseorang ke bagian lain dari tubuhnya sendiri
(autotransplantasi) hukumnya boleh, dengan ketentuan dapat dipastikan proses
tersebut manfaatnya lebih besar daripada mudarat yang timbul. Disyaratkan juga,
hal itu dilakukan karena organ tubuhnya ada yang hilang atau untuk
mengembalikan ke bentu asal dan fungsinya, atau untuk menutupi cacat yang
membuat si pasien terganggu secara psikologis maupun fisiologis.
2. Memindahkan organ tubuh seseorang ke tubuh orang lain hukumnya boleh, jika
organ tubuh yang dipindahkan itu dapat terus berganti dan berubah, seperti darah
dan kulit. Disyaratkan pula, pendonor organ tubuh tersebut seorang yang sehat,
serta beberapa syarat lainnya yang perlu diperhatikan.
3. Boleh hukumnya memanfaatkan organ tubuh yang tidak berfungsi lagi, karena
sakit misalnya, untuk orang lain. Seperti mengambil kornea dari mata seseorang
yang tidal berfungsi lagi untuk orang lain.
4. Haram hukumnya memindahkan organ tubuh yang sangat vital, seperti hantung
dari seseorang yang masih hidup kepada orang lain.
5. Haram hukumnua memindahkan organ tubuh seseorang yang dapat menyebabkan
hilangnya fungsi organ tubuh yang asasi secara total, meskipun tidak
membahayakan keselamatan jiwanya, seperti memindahkan kedua kornea mata.
Namun jika pemindahan organ tersebut hanya berdampak hilangnya sebagian
fungsi organ tubuh yang asasi (tidak total), maka hal ini perlu pembahasan lebih
lanjut, sebagaimana yang akan disinggung pada poin kedelapan.
6. Boleh hukumnya memindahkan organ tubuh mayit kepada orang hidup yang
sangat bergantung keselamatan jiwanya dengan organ tubuh tersebut, atau fungsi
organ vital sangat tergantung pada keberadaan orang tersebut. Dengan syarat si
mayit atau ahli warisnya mengizinkan. Atau dengan syarat persetujuan pemerintah
23
muslim jika mayit seorrang yang tidak dikenal identitasnya dan tidak memiliki
ahli waris.
7. Perlu diperhatikan bahwa kesepakatan bolehnya memindahkan organ tubuh yang
dijelaskan diata, disyaratkan tidak dilakukan dengan cara jual beli organ tubuh,
karena jual beli organ tubuh tidak diperbolehkan sama sekali. Adapun
membelanjakan uang untuk mendapatkan organ tubuh yang sangat dibutuhlam
saat darurat, hal itu masih perlu pembahasan dan kajian lebih lanjut.
8. Selain bentuk dan kondisi tersebut di atas yang masih ada kaitannya dengan
masalah ini, maka masih perlu penelitian lebih dalam lagi dan selayaknya
dipelajari serta dibahas sejalan dengan kode etik kedokteran dan hukum-hukum
syari.
Demikian juga, Komite Tetap Pengkajian Ilmiah dan Fatwa (al-Lajnah ad-Daimah
lilBuhuts al-Ilmiyyah wal Ifta) telah menetapkan hukum transplantasi khusus untuk kornea
mata. Intinya membolehkan dilakukan transplantasi kornea, dengan syarat pemiliknya benar-
benar telah mati, mendapatkan izin dari yang bersangkutan atau walinya, diprediksikan
secara meyakinkan akan berhasil. Alasan yang dikemukakan, adalah merealisasikan yang
kadar kemaslahatan lebih besar, memilih melakukan yang kadar mudaratnya lebih kecil, dan
lebih mendahulukan kepentingan orang hidup. Bahkan, dibolehkan mengambil mata orang
yang telah divonis harus diambil demi kesehatannya karena diprediksikan membahayakan
baginya, dan tidak berdampak buruk kepada pihak penerimanya.
Kelompok yang membolehkannya transplantasi karena darurat juga ditetapkan oleh
sejumlah lembaga fatwa, antara lain, sejalan dengan hasil Muktamar, konferensi dan yang
sejenisnya yang diselenggarakan di berbagai negara, diantaranya Malaysia pada bulan April
1969, Majma al-Fiqh al-Islami di Mekkah pada 19-28 Januari 1985, Haiat Kibar al-Ulama
Kerajaan Saudi Arabia, tahun 1402 H.Pemerintah Kuwair, Republik Mesir (1989), dan
Republik Aljazair. Juga pendapat sejumlah ulama, diantaranya adalah Syeikh Abd al-rahman
al-Sadi (1307-1367), Syeikh Ibrahim al-Yaqubi (w.1404 H), Syeikh Jad al Haqq (al-Azhar),
Dr. Ahmad Syaraf al-Din (Kuwait), Dr. Rauf Syalabi (al-Azhar), Dr. Abd al-Jalil Syalabi (al-
Azhar), Dr. Mahmud Ali al-Sarthawi (al-Azhar), dan Dr. Hasyim Jamil Abdullah (Ummul
Qura).
Fatwa dari Dar al-Ifta al-Mishriyyah no 88, tahun 1966 tentang diperbolehkannya
melakukan transplantasi organ dengan sejumlah syarat, yaitu :
1. Kondisinya benar-benar darurat
2. Benar-benar matinya pendonor
3. Adanya izin semasa hidupnya atau persetujuan wali setelah meninggal
4. Dari orang muslin untuk orang muslim sesuai tuntunan dalam hadist
5. Pendonor adalah orang yang sudah baligh, berakan, dan cakap, dan dia punya hak
untuk menarik kembali jika dikehendaki
6. Tidak melampaui batasan darurat yang dibenarkan berdasarkan kaidah syariat
Islam.
24
DAFTAR PUSTAKA
HepatocellularCarcinoma. In Clavien P-A, et al. editors. Malignant Liver Tumors, 3rd ed.,
Chichester: Blackwell Publishing Ltd. 2010; P 52-54.
Hepatocellular Fasel JHD, et al. Macroscopic Anatomy of The Liver. In Rods J, et al.
editors. Textbook of Hepatology, 3rd ed., Massachusetts: Blackwell Publishing Ltd. 2007; P.
3-7.
Sudoyo, Aru. W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi V. Jilid III. Jakarta:
InternaPublishing.
Zuhroni. 2012. Hukum Islam Terhadap Berbagai Masalah Kedokteran dan Kesehatan
Kontemporer. Jakarta: Bagian Agama Universitas Yarsi