Anda di halaman 1dari 24

1

NYERI PERUT KANAN ATAS


Seorang laki-laki berumur 54 tahun, berobat ke poli penyakit dalam. Pasien
mengeluhkan nyeri pada perut kanan atas yang dialami sejak 6 bulan lalu, hilang timbul
namun dua bulan terakhir nyeri semakin sering. Merasa mual dan selera makan berkurang
sejak 4 bulan lalu sehingga berat badan 15 kg. Dari anamnesis diketahui pasien pernah
terkena hepatitis 15 tahun yang lalu dan sering mengkonsumsi alkohol.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan BB 45 kg dengan TB 165 cm. Tekanan darah dan
tanda vital lainnya normal. Pemeriksaan abdomen hepatomegali, dengan permukaan hati
bernodul, tepi tumpul dan nyeri tekan (+). Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan
peningkatan serum transaminase SGPT dan SGOT dengan bilirubin normal, Alpha Feto
Protein (AFP) 1000 U/L (normal:<10 U/L), anti-HCV positif. Setelah diberikan analgetik dan
hepatoprotektor nyeri mereda. Setelah dilakukan pemeriksaan USG dan biopsi hati pasien
didiagnosis karsinoma hepatoseluler. Pasien dianjurkan untuk menjalani transplantasi hati.
Pasien meminta waktu untuk berkonsultasi dengan seorang ulama.

KATA SULIT:
Hepatoseluler Karsinoma : Tumor ganas hati yang berasal dari sel hepatosit
AFP : Protein serum normal yang disintesis oleh sel hati fetal, yolksalk yang
digunakan sebagai tanda tumor.
Hepatoprotektor : Senyawa obat yang dapat memberikan perlindungan terhadap hati
dan kerusakan yang ditimbulkan oleh obat, racun, dll.
SGPT : Serum glutamin, piruvat transaminasi, enzim dihati meningkat
apabila ada indikasi gangguan hati
Hepatomegali : Pembesaran hati
Anti-HCV : Test untuk hepatitis c
SGOT : Serum glutamat oksaloasetic transaminase, enzim yang ada diotot,
jantung, dan hati.

PERTANYAAN:
1. Kenapa SGPT SGOT meningkat tapi bilirubin normal ?
2. Kenapa permukaan hati bernodul & terdapat nyeri tekan ?
3. Kenapa BB turun ?
4. Mengapa mual dan selera makan berkurang ?
5. Apa yang menyebabkan hepatoegali ?
6. Apa saja faktor resiko ca carsinoma hepatoseluler ?
7. Adakah hubungan hepatitis dengan penyakit saat ini ?
8. Mengapa AFP meningkat ?
9. Mengapa dianjurkan transplantasi hati ? apakah ada pengobata lainnya ?
10. Bagaimana hukum transplantasi menurut agama islam ?
2

JAWAB:
1. Karena bilirubi belum menyebabkan obstruksi saluran empedu, SGPT & SGOT
meningkat karena adanya kerusakan hati
2. Karena peregangan kapsula glysonic -> nyeri tekan -> sirosis -> inflamasi -> nekrosis
-> nodul.
3. Karena perkembangan sel kanker membutuhkan nutrisi dan reagent dan terjadi
peningkatan metabolisme glikolisis.
4. Karena hepar menekan lambung -> mual, dan selera makan menurun.
5. Karena pertumbuhan sel-sel hepatosit.
6. Hepatitis B, hepatitis C, alkohol, sirosis, diabetes melitus, dan obesitas.
7. Karena peradangan kronis hepatitis.
8. Karena pengaruh alkohol dan penanda karsinoma hepatoseluler.
9. Karena hati sudah tidak berfungsi, pengobatan lainnya tergantung stadiumnya.
10. Boleh, selama tidak membahayakan pendonornya.

HIPOTESA

Riwayat hepatitis + mengkonsumsi alcohol nyeri perut kanan atas, bb,mual



Kerusakan parenkim hati memetabolisme senyawa
asetildehid

Destruksi protein&fibrosis

Merangsang pembentukan
Kolagen&menjadi sirosis PF : hepatomegali,
permukaan hati bernodul,
tepi tumpul, nyeri tekan
(+)

PP : biopsi dan USG

CA Hepatoseluler

Terapi paliatif, kuratif dan suportif
3

LI.1 Memahami dan Menjelaskan Karsinoma Hepatoseluler.


LO.1 Memahami dan Menjelaskan Definisi.
Karsinoma hepatoseluler merupakan tumor ganas hati primer yang berasal dari
hepatosit.
Karsinoma hepatoseluler (KHS) adalah salah satu jenis keganasan hati primer
yang paling sering ditemukan dan banyak menyebabkan kematian. Dari seluruh
keganasan hati, 80-90% adalah KHS. Dua jenis virus yang dapat dikatakan menjadi
penyebab dari tumor ini adalah virus hepatitis B (HBV) dan virus hepatitis C (HCV).
LO.2 Memahami dan Menjelaskan Epidemiologi
Karsinoma hepatoseluler meliputi 5,6% dari seluruh kanker pada manusia
serta menempati peringkat kelima pada laki-laki dan peringkat kesembilan pada
perempuan sebagai kanker terserimh di dunia, dan urutan ketiga dari kanker sistem
saluran cerna setelah kanker kolorektal dan kanker lambung. Tingkat kematian (rasio
antara mortalitas dan insidensi) Karsinoma hepatoseluler juga sangat tinggi, diurutan
kedua setelah kanker pancreas. Secara geografis, didunia terdapat tiga kelompok
wilayah tingat kekerapan karsinoma hepatoseluler, yaitu kekerapan rendah (kurang
dari tiga kasus); menengah (tingga hingga sepuluh kasus); dan tinggi (lebih dari
sepuluh kasus per 100.000 penduduk). Tingkat kekerapan tertinggi tercatat di Asia
Timur dan Tenggra serta di Afrika Tengan, sedangkan yang terendah di Eropa Utara,
Amerika Tengan, Australia, dan Selandia Baru.
Sekitar 80% dari kasus karsinoma hepatoseluler didunia berada di negara
berkembang seperti Asia Timur dan Asia Tenggara serta Afrika Tengah (Sub Sahara),
yang diketahui sebagai wilayah dengan prevalensi tinggi hepatitis virus. Di negara
maju dengan tingkat kekerapan karsinoma hepatoseluler rendah atau menengah,
prevalensi infeksi HCV berkolerasi baik dengan angka kekerapan karsinoma
hepatoseluler. Menarik untuk dipelajari hasil pengamatan berdaasarkan data dari
registrasi kanker terpilih dari seluruh dunia yang menengarai adanya kecenderungan
meningkatnya kekerapan karsinoma hepatoseluler dibanyak negara maju, sedangkan
dinegara-negara berkembang bahkan terjadi penurunan, diduga hal ini berkaitan
dengan meningkatnya seroprevalensi infeksi HCV di negara maju dan hasil upaya
eliminasi factor-faktor infeksi HBV di negara berkembang.
Karsinoma hepatoseluler jarang ditemukan pada usia muda, kecuali di wilayah
yang endemic infeksi HBV serta banyak terjadi transmisi HBV perinatal. Umumnya
diwilayah dengan kekerapan karsinoma hepatoseluler tinggi, umur pasien karsinoma
hepatoseluler 10-20 tahun lebih muda daripada umur pasien Karsinoma hepatoseluler
diwilayah dengan kekerapan karsinoma hepatoseluler rendah. Hal ini dapat dijelaskan
antara lain karena di wilayah dengan angka kekerapan tinggi, infeksi HBV sebagai
salah satu penyebab terpenting karsinoma hepatoseluler, banyak ditularkan pada masa
prinatal atau masa kanak-kanak, kemudian terjadi karsinoma hepatoseluler sesudah
dua-tinga dasawarsa. Pada semua populasi, kasus karsinoma hepatoseluler laki-laki
jauh lebih banyak (dua empat kali lipat) daripada kasus karsinoma hepatoseluler
perempuan. Di wilayah dengan angka kekerapan karsinoma hepatoseluler tinggi, rasio
kasus laki-laki dan perempuan dapat sampai delapan berbanding satu. Masih belum
4

jelas apakah hal ini disebabkan oleh rentannya laki-laki terhadap timbulnya tumor,
atau karena laki-laki lebih banyak terpajan oleh factor resiko karsinoma hepatoseluler
seperti virus hepatitis dan alcohol.
LO.3 Memahami dan Menjelaskan Etiologi.
Faktor Risiko:
1. Virus Hepatitis B
Hubungan antara infeksi kronik HBV dengan timbulnya Karsinoma hepatoseluler
terbukti kuat, baik secara epidemiologis, klinis, maupun eksperimental. Sebagian
besar wilayah yang hiperendemik HBV menunjukkan angka kekerapan karsinoma
hepatoseluler yang tinggi. Di Taiwan pengidap kronis infeksi HBV mempunyai
risiko untuk terjadinya karsinoma hepatoseluler 102 kali lebih tinggi daripada
risiko bagi yang bukan pengidao. Juga ditengarai bahwa kekerapan karsinoma
hepatoseluler yang berkaitan dengan HBV pada anak jelas menurun setelah
diterapkannya vaksinasi HBV universal bagi anak. Umur saat terjadi infeksi
merupakan factor risiko penting karena infeksi HBV pada usia dini berakibat akan
terjadinya persistensi (kronisitas). Karsinogenisitas HBV terhadap hati
mungkinterjadi melalui proses inflamasi kronik peningkatan proliferasi hepatosit,
integrase HBV DNA ke dalam DNA sel pejamu, dan aktivitas protein spesifik
HBV berinteraksi dengan gen hati. Pada dasarnya, perubahan hepatosit dari
kondisi inaktif (quiescent) menjadi sel yang aktif bereplikasi menentukan tingkat
karsinogenesis hati. Siklus sel dapat diaktifkan secara tidak langsung oleh
kompensasi proliferative merespons nekroinflamasi sel hati, atau akibat dipicu
oleh ekspresi berlebihan suatu atau beberapa gen yang berubah akibat HBV.
Koinsidensi infeksi HBV dengan pajanan agen onkogenik lain seperti alfatoksin
dapat menyebabkan terjadinya karsinoma hepatoseluler tanpa memalui sirosis hati
(karsinoma hepatoseluler pada hati non sirotik). Transaktifasi beberapa promoter
selular atau viral tertentu oleh gen-x HBV (HBx) dapat mengakibatkan terjadinya
karsinoma hepatoseluler, mungkin karena akumulasi protein yang disandi HBx
mampu menyebabkan akselerasi proliferasi hepatosit. Dalam hal ini proliferasi
berlebihan hepatosit oleh HBx melampaui mekanisme protektif dari apoptosis sel.
Genotype HBV ditengarai memiliki kemampuan yang berbeda dalam
mempengaruhi proses perjalanan penyakit. Relevansi klinis genotype HBV
semakin jelas diketahui. Sebagai contoh, dibandingkan dengan genotype C,
genotype B dihubungkan dengan serokonvensi HBeAg yang lebih awal, progresi
ke sirosis lebih lambat, serta lebih jarang berkembang menjadi karsinoma
hepatoseluler.
2. Virus Hepatitis C
Diwilyaha dengan tingkat infeksi HBV rendah, HCV merupakan factor risiko
penting dari karsinoma hepatoseluler. Prevalensi anti-HCV pada pasien karsinoma
hepatoseluler di Cina dan Afriks Selatan sekitar 30%, sedangkan di Eropa Selatan
dan Jepang 70-80%. Meta analisis dari 32 penelitian kasus kelola menyimpulkan
bahwa risiko terjadinya karsinoma hepatoseluler pada pengidap infeksi HCV
adalah 17 kali lipat dibandingkan dengan risiko pada bukan pengidap.
Koeksistensi infeksi HCV kronik dengan infeksi HBV atau dengan peminum
alcohol meliputi 20% dari kasus karsinoma hepatoseluler. Diarea hiperendemik
HBV seperti Taiwan, prevalensi anti-HCV jauh lebih tinggi pada kasus karsinoma
hepatoseluler dengan HBsAg negative daripada yang HBsAg positif . ini
menunjukkan bahwa infeksi HCV berperan penting dalam pathogenesis
5

karsinoma hepatoseluler pada pasien yang bukan pengidap HBV. Pada kelompok
pasien penyakit hati akibat transfuse darah dengan anti-HCVpositif, interval
antara saat transfuse hingga terjadinya karsinoma hepatoseluler dapat mencapai 29
tahun. Hepatokarsinogenesis akibat infeksi HCV diduga melalu aktivitas
nekroinflamasi kronik dan sirosis hati.
3. Sirosis hati
Sirosis hati merupakan factor risiko utama karsinoma hepatoseluler di dunia dan
melatarbelakangi lebih drai 80% kasus karsinoma hepatoseluler. Setiap tahun tiga
sampai lima persen dari pasien sirosis hati akan menderita karsinoma
hepatoseluler, dan karsinoma hepatoseluler merupakan penyebab utama kematian
pada sirosis hati. Otopsi pada pasien sirosis hati mendapatkan 20-80% diantaranya
telah menderita karsinoma hepatoseluler. Pada 60-80% dari sirosis hati
makronodular dan tiga sampai sepuluh persen dari sirosis hati mikronodular dapat
ditemukan adanya karsinoma hepatoseluler. Predictor utama karsinoma
hepatoseluler pada sirosis hati adalah jenik kelamin laki-laki, peningkatan kadar
alfa feto protein (AFP) serum, beratnya penyakit dan tingginya aktivitas
proliferasi sel hati.
4. Aflatoksin
Aflatoksin B1 (AFB1) merupakan mikotoksin yang diproduksi oleh jamur
Aspergillus. Dari percobaan bintang diketahui bahwa AFB1 bersifat karsinogen.
Metabolit AFB1 yaitu AFB 1-2-3-epoksid merupakan karsinogen utama dari
klompok aflatoksin yang mampu membentuk ikatan dengan DNA maupun RNA.
Salah satu mekanisme hepatokarsinogenesisnya adalah kemampuan AFB1
menginduksi mutase pada kodon 249 dari gen suppressor tumor p53. Beberapa
penelitian dengan menggunakan biomarker di Mozambik, Afrika Selatan,
Switzerland, Cina, dan Taiwan menunjukkan bahwa ada korelasi kuat antara
pajanan aflatoksin dalam diet dengan morbiditas dan mortalitas karsinoma
hepatoseluler. Ririko relative karsinoma hepatoseluler dengan aflatoksin saja
adalah 3.4, dengan infeksi HBV kronik risiko relatifnya 7, dan meningkat menjadi
59 bila disertai dengan kebiasaan mengonsumsi aflatoksin.
5. Obesitas
Suatu penelitian kohort prospektif pada lebih dari 900.000 individu di Amerika
Serikat dengan masa pengamatan selama 16 tahun mendapatkan terjadinya
peningkatan angka mortalitas sebasar lima kali akibat kanker hati pada kelompok
individu dengan berat badan tertinggi (Indeks massa tubuh 35-40Kg/m 2)
dibandingkan dengan kelompok individu yang IMT-nya normal. Seperti diketahui,
obesitas merupakan factor risiko utama untuk non-alcoholic fatty liver disease
(NAFLD), khususnya non-alcoholic steatohepatitis (NASH) yang dapat
berkembang menjadi sirosis hati dan kemudian dapat berlanjut menjadi karsinoma
hepatoseluler.
6. Diabetes Melitus
Telah lama ditengarai bahwa DM merupakan factor risiko baik untuk penyakit
hati kronik maupun untuk karsinoma hepatoseluler melalui terjadinya perlemakan
hati dan steatohepatitis non alkoholik (NASH). Diamping itu, DM dihubungkan
dengan peningkatan kadar insulin dan insulin like growth factors (IGFs) yang
merupakan factor promotif potensial untuk kanker. Indikasi kuatnya asosiasi
antara DM dan karsinoma hepatoseluler terlihat dari banyak penelitian, antara lain
penelitian kasus-kelola oleh Hasan dkk. Yang melaporkan bahwa dari 115 kasus
karsinoma hepatoseluler dan 230 pasien non karsinoma hepatoseluler, rasioodd
dari DM adalah 4,3, meskipun diakui bahwa sebagian dari kasus DM sebelumnya
6

sudah menderita sirosis hati. Penelitian kohort bessar oleh El Serag dkk. Yang
melibatkan 173,643 pasien DM dan 650,620 pasien bukan DM menemukan
bahwa insidensi karsinoma hepatoseluler pada kelompok DM lebih dari dua kali
lipat dibandingkan dengan insidensi karsinoma hepatoseluler kelompok bukan
DM. insidensi juga semakin tinggi seiring dengan lamanya pengamatan (kurang
dari lima tahun hingga lebih dari sepuluh tahun). DM merupakan factor risiko
karsinoma hepatoseluler tanpa memandang umur, jenis kelamin, dan ras, dengan
angka risiko 2,16.
7. Alcohol
Meskipun alcohol tidak memiliki kemampuan mutagenic, peminum berat alcohol
(>50-70 g/hari dan berlangsung lama) berisiko untuk menderita karsinoma
hepatoseluler melalui sirosis hati alkoholik. Hanya sedikit bukti adanya efek
karsinogenik langsung dari alcohol. Alkoholisme juga meningkatkan risiko
terjadinya sirosis hati dan karsinoma hepatoseluler pada pengidap infeksi HBV
atau HCV. Sebaliknya, pada sirosis alkoholik terjadinya karsinoma hepatoseluler
juga meningkay bermakna pada pasien dengan HBsAg positif, atau anti-HCV
positif. Ini menunjukkan adanya peran sinergistik alcohol terhadap infeksi HBV
maupun infeksi HCV. Acapkali penyalahgunaan alcohol merupakan predictor
bebas untuk terjadinya karsinoma hepatoseluler pada pasien dengan hepatitis
kronik atau sirosis akibat infeksi HBV atau HCV. Efek hepatotoksik alcohol
bersifat dose dependent, sehingga asupan sedikit alcohol tidak meningkatkan
risiko terjadinya karsinoma hepatoseluler.
8. Faktor risiko lain
Seperti penyakit hati autoimun) hepatis autoimun;PCB/sirosis bilier primer),
penyakit hati metabolic (hematokromatosis genetic, defisiensi antitrypsin alfa1;
penyakit Wilson), kontrasepsi oral, senyawa kimia (thorotrast; vinil klorida;
nitrosamine; insektisida organoklorin; asam tanik), tembakau.

LO.4 Memahami dan Menjelaskan Klasifikasi.

Tabel 1 : Penentuan Stadium Karsinoma Hepatoseluler


T : Tumor Primer
T0 : Tidak terbukti tumor primer
T1 : Tumor tunggal < 2cm
7

T2 : Tumor < 2cm dengan invasi vascular atau tumor multiple >2cm yang terbatas
pada satu lobus.
T3 : Tumor >2cm dengan invasi vascular atau tumor multiple >2cm yang terbatas
pada satu lobus
T4 : Tumor multiple di dalam dua lobus
N : Kelenjar Limfe Regional
N0 : Tidak terdapat metastasis di dalam kelenjar limfe
N1 : Metastasis di kelenjar limfe
M0 : Tidak terdapat metastasis jauh
M1 : Metastasis jauh

Stadium Ia Tumor tunggal berdiameter 3 cm, tanpa emboli tumor, tanpa metastasis
kelenjar limfe peritoneal ataupun jauh; Child A

Stadium Ib Tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter gabungan 5cm, di separuh
hati, tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal ataupun
jauh; Child A

Stadium IIa Tumor tunggal atau dua tumor dengan diameter gabungan 10cm, di separuh
hati atau dua tumor dengan diameter gabungan 5cm, di kedua belahan hati
kiri dan kanan, tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe peritoneal
ataupun jauh; Child A

Stadium IIb Tumor tunggal atau multiple dengan diameter gabungan > 10 cm, di separuh
hati, atau tumor multiple dengan diameter gabungan > 5 cm, di kedua belahan
hati kiri dan kanan, tanpa emboli tumor, tanpa metastasis kelenjar limfe
peritoneal ataupun jauh; Child A

Stadium IIIa Tidak peduli kondisi tumor, terdapat emboli tumor di pembuluh utama vena
porta atau vena cava inferior, metastasis kelenjar limfe peritoneal atau jauh,
salah satu daripadanya; Child A atau B

Stadium IIIb Tidak peduli kondisi tumor, tidak peduli kondisi emboli tumor, metastasis;
Child C

Tabel 2 : Klasifikasi Stadium Karsinoma Hepatoseluler


8

Tabel 3 : Klasifikasi Karsinoma Hepatoseluler BerdasarkanChild-Turcotte-Pugh


(CTP)

LO.5 Memahami dan Menjelaskan Patofisiologi.


Mekanisme karsinogenesis karsinoma hepatoseluler belum sepenuhnya
diketahui. Apapun agen penyebabnya, transformasi maligna hepatosit, dapat terjadi
melalui peningkatan perputaran (turnover) sel hati yang diinduksi oleh cedera (injury)
dan regenerasi kronik dalam bentuk inflamasi dan kerusakan oksidatif DNA. Hal ini
dapat menimbulkan perubahan genetic seperti perubahan kromosom, aktivasi
onkogen selular atau inaktivasi gen supresor tumor, yang mungkin bersama dengan
kurang baiknya penanganan DNA mismatch, aktivasi telomerase, serta induksi factor-
faktor pertumbuhan dan angiogenik. Hepatitis virus kronik, alcohol, dan penyakit hati
metabolic seperti hemokromatosis dan defisiensi antitrypsin alfa 1, mungkin
menjalankan peranannya terutama melalui jalur ini (cedera kronik, regenerasi, dan
sirosis). Dilaporkan bahwa HBV dan mungkin juga HCV dalam keadaan tertentu juga
berperan langsung pada pathogenesis molecular karsinoma hepatoseluler. Aflatoksin
dapat menginduksi mutase pada gen supresor tumor p53 dan ini menunjukkan bahwa
factor lingkungan juga berperan pada tingkat molecular untuk berlangsungnya proses
hepatokasinogenesis.
Hilangnya heterozigositas (LOH = lost of heterozygosity) juga dihubungkan
dengan inaktivasi gen supresor tumor. LOH atau delesi alelik adalah hilangnya satu
Salinan dari bagian tertentu suatu genom. Pada manusia, LOH dapat terjadi di banyak
bagian kromosom. Infeksi HBV dihubungkan dengan kelainan di kromosom 17 atau
pada lokasi di dekat gen p53. Pada kasus karsinoma hepatoseluler, lokasi integrase
HBV DNA didalam kromosom sangat bervariasi (acak). Oleh karena itu, HBV
9

mungkin berperan sebagai agen mutagenic insersional non-selektif. Integrase acap


kali menyebabkan terjadinya beberapa perubahan dan selanjutnya menyebabkan
proses translokasi, duplikasi terbalik, penghapusan (delesi), dan rekombinasi. Semua
perubahan ini dapat berakibat hilangnya gen-gen supresi maupun tumor maupun gen-
gen seluler penting lain. Dengan analisis Shoutern blot, potongan (sekuen) HBV yang
telah terintegrasi ditemukan didalam jaringan tumor/ karsinoma hepatoseluler, tidak
ditemukan diluar jaringan tumor. Produk gen X dari HBV, lazim disebut HBx, dapat
berfungsi sebagai transaktivator transkripsional dari berbagai gen sulelar yang
berhubungan dengan control pertumbuhan. Ini menimbulkan hipotesis bahwa HBx
mungkin terlibat pada hepatokarsinogenesis oleh HBV.
Diwilayah endemic HBV ditemukan hubungan yang bersifat dose dependent
antara pajanan AFB1 dalam diet dengan mutase pada kodon 249 dari p53. Mutase ini
spesifik untuk karsinoma hepatoseluler dan tidak memerlukan integrase HBV ke
dalam DNA tumor. Mutase gen p53 terjadi pada sekitar 30% kasus karsinoma
hepatoseluler didunia, dengan frekuensi dan tipe mutase yang berbeda menurut
wilayah geografik dan etiologi tumornya.
Infeksi kronik HCV dapat berujung pada HCC setelah berlangsung puluhan
tahun dan umumnya didahului oleh terjadinya sirosis. Ini menunjukkan proses cedera
hati kronik diikuti oleh regenerasi dan sirosis pada proses hepatokarsinogenesis oleh
HCV.
Selain yang disebutkan diatas, mekanisme karsinogenesis karsinoma
hepatoseluler juga dikaitkan dengan peran dari telomerase, insulin like growth factors
(IGFs), insulin receptor substrate 1 (IRS1).
Untuk proliferasi karsinoma hepatoseluler yang diduga berperan penting
adalah vascular endothelial growth factor (VEGF) dan basic fibroblast growth factor
(bFGF) berkat peran keduanya pada proses angiogenesis
10

Gambar 1 : Skema Patofisiologi Karsinoma Hepatoseluler


LO.6 Memahami dan Menjelaskan Manifestasi Klinis.
Manifestasi klinisnya sangat bervariasi, dari asimtomatik hingga yang gejala
dan tandanya sangat jelas dan disertai gagal hati. Gejala yang paling sering
dikeluhkan adalah nyeri atau perasaan tak nyaman di kuadran kanan atas abdomen.
Pasien sirosis hati yang makin memburuk kondisinya, disertai keluhan nyeri di
kuadran kanan atas; atau teraba pembengkakan local di hepar patut dicurigai
menderita karsinoma hepatoseluler. Demikian pula bila tidak terjadi perbaikan pada
asites, perdarahan varises, atau pre-koma setelah diberi terapi yang adekuat; atau
pasien penyakit hati kronik dengan HbsAg atau anti-HCV positif yang mengalami
perburukan kondisi secara mendadak. Juga harus diwaspadai bila ada keluhan rasa
penuh di abdomen disertai perasaan lesu, penurunan berat badan dengan atau tanpa
demam.
Keluhan gastrointestinal lain adalah anoreksia, kembung, konstipasi atau
diare. Sesak napas dapat dirasakan akibat besarnya tumor yang menekan diafragma,
atau karena sudah ada metastasis di paru. Sebagian besar karsinoma hepatoseluler
sudah menderita sirosis hati, baik yang masih dalam stadium kompensasi, maupun
yang sudah menunjukkan tanda-tanda gagal hati seperti malaise, anoreksia, penurunan
berat badan dan icterus.
Temuan fisis tersering pada karsinoma hepatoseluler adalah hepatomegaly
dengan atau tanpa bruit hepatic, splenomegaly, asites, icterus, demam, dan atrofi
otot. Sebagian dari pasien dirujuk kerumah sakit karena perdarahan varises esophagus
atau peritonitis bacterial spontan (SPB) ternyata sudah menderita karsinoma
hepatoseluler. Pada suatu laporan serial nekropsi didapatkan bahwa 50% dari pasien
karsinoma hepatoseluler telah menderttia asites hemoragik, yang jarang ditemukan
pada pasien sirosis hati saja. Pada 10% hingga 40% pasien dapat ditemukan
hiperkolesterolemia akibat dari berkurangnya produksi enzim beta
hidroksimetilglutaril koenzim A reductase, karena tiadanya control umpan balik yang
normal pada sel hepatoma.
LO.7 Memahami dan Menjelaskan Diagnosis dan Diagnosis Banding.
Diagnosis
Untuk tumor dengan diameter lebih dari 2 cm, adanya penyakit hati kronik,
hipervaskularisasi arterial dari nodul (dengan CT atau MRI) serta kadar AFP serum
400 ng/mL adalah diagnostic.
11

Diagnosis histologis diperlukan bila tidak ada kontraindikasi (untuk lesi


berdiameter lebih dari 2 cm) dan diagnosis pasti diperlukan untuk menetapkan pilihan
terapi.
Untuk tumor berdiameter kurang dari 2 cm, sulit menegakkan diagnosis secara
non-invasif karena berisiko tinggi terjadinya diagnosis negative palsu akibat belum
matangnya vaskularisasi arterial pada nodul. Bila dengan cara imaging dan biopsy
tidak diperoleh diagnosis definitive, sebaiknya ditindak lanjuti dengan pemeriksaan
imaging serial setiap 3 bulan sampai diagnosis dapat ditegakkan.

Kriteria diagnosa karsinoma hepatoseluler menurut PPHI (Perhimpunan Peneliti Hati


Indonesia), yaitu:
1. Hati membesar berbenjol-benjol dengan/tanpa disertai bising arteri.
2. AFP (Alphafetoprotein) yang meningkat lebih dari 500 ng/L.
3. Ultrasonography (USG), Nuclear Medicine, Computed Tomography Scann (CT
Scann), Magnetic Resonance Imaging (MRI), Angiography, ataupun Positron
Emission Tomography (PET) yang menunjukkan adanya karsinoma hepatoseluler.
4. Peritoneoscopy dan biopsi menunjukkan adanya karsinoma hepatoseluler.
5. Hasil biopsi atau aspirasi biopsi jarum halus menunjukkan karsinoma
hepatoseluler.
6. Diagnosa karsinoma hepatoseluler didapatkan bila ada dua atau lebih dari lima
kriteria atau hanya satu yaitu kriteria empat atau lima.

Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik umumnya didapatkan pembesaran hati yang berbenjol, keras,
kadang disertai nyeri tekan. Palpasi menunjukkan adanya gesekan permukaan
peritoneum viserale yang kasar akibat rangsangan dari infiltrat tumor ke permukaan
hepar dengan dinding perut. Pada auskultasi di atas benjolan kadang ditemukan suatu
suara bising aliran darah karena hipervaskularisasi tumor. Gejala ini menunjukkan
fase lanjut karsinoma hepatoseluler.

Pemeriksaan Penunjang
1. Penanda tumor
Alfa-fertoprotein (AFP) adalah protein serum normal yang disintesis oleh sel hati
fetal, sel yolk sac dan sedikit sekali oleh saluran gastrointestinal fetal. Rentang
normal AFP serum adalah 0-20 ng/mL. kadar AFP mrningkat pada 60 % sampai
70% dari pasien karsinoma hepatoseluler, dan kadar lebih dari 400ng/mL adalah
diagnostic atau sangat sugestif untuk karsinoma hepatoseluler. Nilai normal dapat
ditemukan juga pada karsinoma hepatoseluler stadium lanjut. Hasil positif palsu
dapat juga ditemukan oleh hepatitis akut atau kronik dan pada kehamilan. Penanda
tumor lain untukkarsinoma hepatoseluler adalah des gamma carboxy prothrombin
(DCP) atau PIVKA-2, yang kadarnya meningkat pada hingga 91% dari pasien
karsinoma hepatoseluler, namun juga dapat meningkat pada defisiensi vitamin K,
hepatitis kronik aktif atau metastasis karsinoma. Ada beberapa lahi penanda
karsinoma hepatoseluer, seperti AFP-L3 (suatu subfraksi AFP), alfa L fucosidase
serum, dll., tetapi tidak ada yang memiliki agregat sensitivitas dan spesifisitas
melebihi AFP, AFP L-3 dan PIVKA 2.
2. Fungsi hati dan sistem antigen antibodi hepatitis B
12

Karena lebih dari 90% hepatoma disertai sirosis hati, hepatitis dan latar belakang
penyakit hati lain, maka jika ditemukan kelainan fungsi hati, petanda hepatitis B
atau hepatitis C positif, artinya terdapat dasar penyakit hati untuk hepatoma, itu
dapat membantu dalam diagnosis.
3. Biopsi
Pemeriksaan Pencitraan
1. Ultrasonografi abdomen
Untuk meminimalkan kesalahan hasil pemeriksaan AFP, pasien sirosis hati
dianjurkan menjalani pemeriksaan USG setiap tiga bulan. Untuk tumor kecil pada
pasien dengan risiko tinggi USG lebih sensitive daripada AFP serum berulang.
Sensitivitas USG untuk neoplasma hati berkisar antara 70%-80%. Tampilan USG
yang khas untuk karsinoma hepatoseluler kecil adalah gambaran mosaic, formasi
septum, bagian perifer sonolusen (ber-halo) , bayangan lateral yang dibentuk
oleh pseudokapsul fibrotic, serta penyangatan eko posterior. Berbeda dari tumor
metastasis, karsinoma hepatoseluler dengan diameter kurang dari dua sentimeter
mempunyai gambaran bentuk cincin yang khas. USG color Doppler sangat
berguna untuk membedakan karsinoma hepatoseluler dari tumor hepatic lain.
Tumor yang berada dibagian atas belakang lobus kanan mungkin tidak dapat
terdeteksi oleh USG. Demikian juga yang berukuran terlalu kecil dan isoekoik.
Modalitas imaging lain seperti CT-scan, MRI, dan angiografi kadang di[erlukan
untuk mendeteksi karsinoma hepatoseluler, namun karena beberapa kelebihannya,
USG masih tetap merupakan alat diagnostic yang paling popular dan bermanfaat.

Gambar 2 : USG karsinoma hepatoseluler, nodul hipoetic


13

Gambar 3: USG HCC: nodul gema bulat

2. CT Scan
CT telah menjadi parameter pemeriksaan rutin terpenting untuk diagnosis lokasi
dan sifat karsinoma hepatoseluler. CT dapat membantu memperjelas diagnosis,
menunjukkan lokasi tepat, jumlah dan ukuran tumor dalam hati hubungannya
dengan pembuluh darah, dalam penentuan modalitas terapi sangatlah penting.
Terhadap lesi mikro dalam hati yang sulit ditentukan CT rutin dapat dilakukan CT
dipadukan dengan angiongrafi (CTA), atau ke dalam arteri hepatika disuntikkan
lipiodol, sesudah 1-3 minggu dilakukan lagi pemeriksaan CT, pada waktu ini CT
lipiodol dapat menemukan hepatoma sekecil 0,5 cm. CT scan sudah dapat
membuat gambar karsinoma dalam 3 dimensi dan 4 dimensi dengan sangat jelas
serta memperlihatkan hubungan karsinoma

ini dengan jaringan tubuh sekitarnya.

Gambar 4 : MD-CT Scan riwayat hepatitis B, tampak nodul HCC

3. MRI (Magnetic Resonance Imaging)


MRI merupakan teknik pemeriksaan non-radiasi, tidak memakai zat kontras berisi
iodium, dapat secara jelas menunjukkan struktur pembuluh darah dan saluran
empedu dalam hati, juga memperlihatkan struktur internal jaringan hati dan
hepatoma, sangat membantu dalam menilai efektivitas terapi. Dengan zat kontras
spesifik hepatosit dapat menemukan hepatoma kecil kurang dari 1cm dengan
angka keberhasilan 55%.
Pemeriksaan dengan MRI ini langsung dipilih sebagai alternatif bila ada gambaran
CT scan yang meragukan atau pada pasien yang mempunyai kontraindikasi
pemberian zat. MRI yang dilengkapi dengan perangkat lunak Magnetic
Resonance Angiography (MRA).
14

Gambar 5 : Gambar 6 :
MRI HCC tampak lesi dengan diamer 2,5cm HCC multipel hipervaskular
kecil

4. Angiografi arteri hepatica


Pada setiap pasien yang akan menjalani operasi reseksi hati harus dilakukan
pemeriksaan angiografi. Dengan angiografi ini dapat dilihat berapa luas kanker
yang sebenarnya. Karsinoma terlihat dengan USG yang diperkirakan kecil sesuai
dengan ukuran pada USG bisa saja ukuran sebenarnya dua atau tiga kali lebih
besar. Angiografi memperlihatkan ukuran kanker yang sebenarnya. Lebih lengkap
lagi bila dilakukan CT scan yang dapat memperjelas batas antara kanker dan
jaringan sehat di sekitarnya.

Gambar 7:
15

Angiogram menunjukkan pembuluh darah hepar dengan multipel


karsinomahepatoseluler sebelum terapi (kiri), dan sesudah terapi (kanan)
menunjukkan penurunan vaskular dan respon terapi.

5. PET (Positron Emission Tomography)


Positron Emission Tomography (PET) merupakan alat diagnosis karsinoma
menggunakan glukosa radioaktif yang dikenal sebagai flourine18 atau
Fluorodeoxyglucose (FGD) yang mampu mendiagnosa karsinoma dengan cepat
dan dalam stadium dini. Caranya, pasien disuntik dengan glukosa radioaktif untuk
mendiagnosis sel-sel kanker di dalam tubuh. Cairan glukosa ini akan
bermetabolisme di dalam tubuh dan memunculkan respons terhadap sel-sel yang
terkena kanker. PET dapat menetapkan tingkat atau stadium HCC sehingga
tindakan lanjut penanganan karsinoma ini serta pengobatannya menjadi lebih
mudah. Di samping itu juga dapat melihat metastase dari karsinoma itu sendiri.

6. Pemeriksaan Lainnya
Pungsi hati mengambil jaringan tumor untuk pemeriksaan patologi, biopsi
kelenjar limfe supraklavikular, biopsi nodul sub-kutis, mencari sel ganas dalam
asites, perito-neoskopi dll. juga mempunyai nilai tertentu pada diagnosis
hepatoma primer.

Strategi skrining dan surveilans


Skrining dimaksudkan sebagai aplikasi pemeriksaan diagnostic pada populasi umum,
sedangkan surveillance adalah aplikasi berulang pemeriksaan diagnostic pada
populasi yang berisiko untuk suatu penyakit sebelum ada bukti bahwa penyakit
tersebut sudah terjadi.
Karena sebagian dari pasien karsinoma hepatoseluler, dengan atau tanpa sirosis adalah
tanpa gejala, untuk mendeteksi dini karsinoma hepatoseluler diperlukan strategi
khusus terutama bagi pasien sirosis hati dengan HBsAg atau anti-HCV positif.
Berdasarkan atas lamanya waktu penggandaan (doubling time) diameter karsinoma
hepatoseluler yang berkisar antara 3 hingga 6 bulan bagi pasien sirosis maupun
hepatitis kronik B atau C. cara ini di Jepang terbukti dapat menurunkan jumlah pasien
karsinoma hepatoseluler yang terlambat dideteksi dan sebaliknya meningkatkan
identifikasi tumor kecil (dini). Namun hingga kini masih belum jelas apakah dengan
demikian juga terjadi penurunan mortalitas (liver related mortality).

Diagnosis Banding Karsinoma Hepatoseluler

1. Diagnosis banding hepatoma dengan AFP (+)


Hepatoma dengan AFP positif harus dibedakan dari kehamilan, tumor embrional
kelenjar reproduktif, metastasis hati dari kanker saluran digestif dan hepatitis
serta sirosis hati dengan peninggian AFP. Pada hepatitis, sirosis hati, jika disertai
peninggian AFP agak sulit dibedakan dari hepatoma, harus dilakukan pemeriksaan
pencitraan hati secara cermat, dilihat apakah terdapat lesi penempat ruang dalam
hati, selain secara berkala harus diperiksa fungsi hati dan AFP, memonitor
perubahan ALT dan AFP.
2. Diagnosis banding hepatoma dengan AFP (-)
Hemangioma hati paling sulit dibedakan dari HCC dengan AFP negatif,
hemangioma umumnya pada wanita, riwayat penyakit yang panjang, progresi
lambat, bisa tanpa latar belakang hepatitis dan sirosis hati, zat petanda hepatitis
16

negatif, MRI dapat membantu diagnosis. Pada tumor metastasis hati, sering
terdapat riwayat kanker primer, zat petanda hepatitis umumnya negatif pencitraan
tampak lesi multipel tersebar dengan ukuran bervariasi. Adenoma hati, umumnya
pada wanita, sering dengan riwayat minum pil KB bertahun-tahun, tanpa latar
belakang hepatitis, sirosis hati, petanda hepatitis negatif. Hiperplasia nodular
fokal, pseudotumor inflamatorik sering cukup sulit dibedakan dari HCC.

LO.8 Memahami dan Menjelaskan Tatalaksana.


Karena sirosis hati yang melatarbelakanginya serta tingginya kekerapan multi-
nodularitas, resektabilitas karsinoma hepatoseluler sangat rendah. Disamping itu
kanker ini juga sering kambuh meskipun sudah menjalani reseksi bedah kuratif.
Pilihan terapi diterapkan berdasarkan atas ada tidaknya sirosis, jumlah dan ukuran
tumor, serta derajat pemburukkan hepatic. Untuk menilai status klinis, sistem skor
Child-Pugh menunjukkan estimasi yang akurat mengenai kesintasan pasien. Telaah
mengenai terapi karsinoma hepatoseluler menemukan sejumlah kesulitan karena
terbatasnya penelitian dengan control yang membandingkan efikasi terapi bedah atau
ablative lokoregional, disamping besarnya heterogenitas kesintasan kelompok kontrol
pada berbagai penelitian individual.
1. Reseksi Hepatik
Untuk pasien dalam kelompok non-sirosis yang biasanya mempunyai fungsi hati
normal pilihan utama terapi adalah reseksi hepatic. Namun untuk pasien sirosis
diperlukan kriteria seleksi karena operasi dapat memicu timbulnya gagal hati yang
dapat menurunkan angka harapan hidup. Parameter yang dapat digunakan untuk
seleksi adalah skor Child Pugh dan derajat hipertensi portal atau kadar bilirubin
serum dan derajat hipertensi portal saja. Subjek dengan bilirubin normal tanpa
hipertensi portal yang bermakna, harapan hidup lima tahunnya dapat mencapai
70%. Kontraindikasi tindakan ini adalah adanya metastasis ekstrahepatik,
karsinoma hepatoseluler difus atau multifocal, sirosis stadium lanjut dan penyakit
penyerta yang dapat mempengaruhi ketahanan pasien menjalani operasi.
2. Transplantasi Hati
Bagi pasien karsinoma hepatoseluler dan sirosis hati, transplantasi hati
memberikan kemungkinan untuk menyingkirkan tumor dan menggantikan
parenkim hati yang mengalami disfungsi. Dilaporkan kesintasan 3 tahun mencapai
80%, bahkan dengan perbaikan seleksi pasien dan terapi perioperative dengan
obat antiviral seperti lamivudine, ribavirin, dan interferon dapat mencapai
kesintasan 5 tahun sebesar 92%. Kematian pasca transplantasi tersering
disebabkan oleh rekurensi tumor didalam maupun diluar transplan. Rekurensi
tumor bahkan mungkin diperkuat oleh obat antirejeksi yang harus diberikan.
Tumor yang berdiameter kurang dari 3 cm lebih jarang kambuh dibandingkan
dengan tumor yang diameternya lebih dari 5 cm.
3. Abiasi Tumor Perkutan
Destruksi dari sel neoplastic dapat dica[ai dengan bahan kimia (alcohol, asam
asetat) atau dengan memodifikasi suhunya (radiofrequency, microwave, laser dan
cryoablation). Injeksi etanol perkutan (PEI) merupakan teknik terpilih untuk
tumor kecil karena efikasinya tinggi, efek sampingnya rendah serta relative
murah. Dasar kerjanya adalah menimbulkan dehidrasi, nekrosis, oklusi vascular
dan fibrosis. Untuk tumor kecil (diameter <5cm) pada pasien sirosis Child Pugh
A, kesintasan 5 tahun dapat mencapai 50%. PEI bermanfaat untuk pasien dengan
17

tumor kecil namun resektabilitasnya terbatas karena adanya sirosis hati non-Child
A.
Radiofrequency ablation (RFA) menunjukkan angka keberhasilan yang lebih
tinggi daripada PEI dan efikasinya tertinggi untuk tumor yang lebih besar dari 3
cm, namun tetap tidak berpengaruh terhadap harapan hidup pasien. Selain itu,
RFA lebih mahal dan efek sampingnya lebih banyak dibandingkan dengan PEI.
Guna mencegah terjadinya rekurensi tumor, pemberian asam poliprenoik
(polyprenoik acid) selama 12 bulan dilaporkan dapat menurunkan angka rekurensi
pada bulan ke-38 secara bermakna dibandingkan dengan kelompok placebo
(kelompok placebo 49%, kelompok terapi PEI atau resektif kuratif 22%).
4. Terapi Paliatif
Sebagian besar pasien karsinoma hepatoseluler didiagnosis pada stadium
menengah-lanjut (intermediated-advanced stage) yang tidak ada terapi
strandarnya. Berdasarkan meta analisis, pada stadium ini hanya TAE/TACE
(transarterial embolization/chemo embolization) saja yang menunjukkan
penurunan pertumbuhan tumor serta dapat meningkatkan harapan hidup pasien
dengan karsinoma hepatoseluler yang tidak resektabel. TACE dengan frekuensi 3
hingga 4 kali setahun dianjurkan pada pasien yang fungsi hatinya cukup baik
(Child Pugh A) serta tumor multinodular asimtomatik tanpa invasi vascular atau
penyebaran ekstrahepatik, yang tidak dapat diterapi secara radikal. Sebaliknya
bagi pasien yang dalam keadaan gagal hati (Child Pugh B-C), serangan iskemik
akibat terapi ini dapat mengakibatkan efek samping yang berat.
Adapun beberapa jenis terapi lain untuk karsinoma hepatoseluler yang tidak
resektabel seperti imunoterapi dengan interferon, terapi antiestrogen,
antiandrogen, oktreotid, radiasi internal, kemoterapi arterial atau sistemik masih
memerlukan penelitian lebih
lanjut untuk mendapatkan penilaian yang meyakinkan.

Terapi non Bedah


Meskipun pendekatan multidispliner terhadap KHS dapat meningkatkan hasil reseksi
dan orthotopic liver transplantation, tetapi kebanyakan penderita tidak memenuhi
persyaratan untuk terapi operasi karena stadium tumor yang telah lanjut, derajat
sirosis yang berat, atau keduanya. Oleh karena itu, terapi non-bedah merupakan
pilihan untuk pengobatan penyakit ini. Beberapa alternative pengobatan non-bedah
karsinoma hati meliputi:

1. Percutaneous ethanol injection (PEI)


PEI pertama kali diperkenalkan pada tahun 1986. Teknik terapi PEI dilaporkan
memberikan hasil sebaik reseksi untuk KHS yang kecil. Kerugian dari cara ini
adalah tingkat rekurensi lokal yang tinggi dan kebutuhan akan sesi terapi berulang
kali (multipel) agar didapatkan ablasi lengkap dari lesi. PEI dilakukan dengan cara
menyuntikkan per kutan etanol murni (95%) ke dalam tumor dengan panduan
radiologis untuk mendapatkan efek nekrosis dari tumor. Tindakan ini efektif untuk
tumor berukuran kecil (<3 cm). Untuk penderita-penderita dengan asites,
koagulopati sedang atau berat dan lesi permukaan, PEI tidak dianjurkan. Efek PEI
adalah demam, sakit di daerah suntikan, perdarahan intrahepatik dan perdarahan
peritoneal.
2. Chemoembolism
18

Transcatheter arterial chemoembolism dapat digunakan sebagai terapi lokal


(targeted chemoembolism) atau regional (segmental, lobar chemoembolism)
tergantung dari ukuran, jumlah dan distribusi lesi. Kemoembolisme dianggap
terapi baku untuk KHS yang tidak dapat dilakukan reseksi. Lipoidol diberikan
dengan obat kemoterapi yang kemudian akan terkonsentrasi di dalam sel tumor
tetapi secara aktif dibersihkan dari sel-sel yang non-maligna. Pada cara ini, terjadi
devaskularisasi terhadap tumor sehingga menghentikan suplai nutrisi dan oksigen
ke jaringan tumor dan mengakibatkan terjadinya nekrosis tumor akibat
vasokonstriksi arteri hepatika. Dengan teknik ini didapatkan respon yang lebih
baik dibandingkan kemoterapi arterial atau sistemik. Selain lipoidol dapat juga
digunakan gelfoam dan kolagen. Efek samping yang sering terjadi antara lain
adalah demam, nausea, vomitus, sakit di daerah abdominal. Kemoembolisasi pada
penderita-penderita dengan karsinoma hepatoseluler yang tidak dapat direseksi
dilaporkan menunjukkan reduksi dari pertumbuhan tumor tetapi tidak memberikan
peningkatan survival. Efikasi yang terbatas dari kemoembolisasi pada penderita
KHS dengan tumor yang besar dan tidak dapat direseksi dapat dijelaskan oleh
adanya sel-sel tumor yang tetap hidup setelah terapi, terutama dengan adanya
invasi vaskuler, adanya anak nodul kecil-kecil, dan adanya trombi tumor.
Kemoembolisasi efektif untuk tumor kecil tunggal dengan hipervaskularisasi.
Respons yang lebih besar dan derajat survival yang lebih tinggi diperoleh
bilamana kemoembolism diikuti dengan PEI.
3. Kemoterapi sistemik
Pemberian terapi dengan anti-tumor ternyata dapat memperpanjang hidup
penderita. Sitostatika yang sering dipakai sampai saat ini adalah 5-fluoro uracil (5-
FU). Zat ini dapat diberikan secara sistematik atau secara lokal (intra-arteri).
Sitostatika lain yang sering digunakan adalah adriamisin (doxorubicin HCl) atau
adriblastina. Dosis yang diberikan adalah 60-70 mg/m2 luas badan yang diberikan
secara intra-vena setiap 3 minggu sekali atau dapat juga diberikan dengan dosis
20-25 mg/m2 luas badan selama 3 hari berturut-turut dan diberikan setiap 3
minggu sekali. Adriamisin sebagai obat tunggal sangat efektif dengan peningkatan
survival rate sebesar 25% dibandingkan bila tidak diberi terapi.
Penggunaan kombinasi sisplatin, IFN-2B, adriamisin dan 5-FU yang diberikan
secara sistematik pada penderita KHS memberikan rerspon yang sangat baik
untuk tumor hati dan ekstrahepatik. Dengan rejimen seperti ini ternyata 18%
penderita yang awalnya tidak dapat dieseksi dapat direseksi dan 50%
menunjukkan remisi histologis yang sempurna. Namun demikian, kombinasi di
atas tidak dapat ditoleransi penderita-penderita sirosis lanjut.
4. Kemoterapi intra-arterial (transcatheter arterial chemotherapy)
Pengobatan karsinoma hati dengan sitostatika ternyata kurang memberikan
manfaat yang diharapkan. Respon parsial hanya mencapai 25% saja. Pemberian 5-
FU ternyata tidak memperpanjang usia penderita. Oleh karenanya diberikan
sitostatika secara intra-arterial dengan beberapa keuntungan seperti misalnya,
konsentrasi sitostatika lebih tinggi pada target (tumor), mengurangi toksisitas
sistemik dan kontak antara obat dengan tumor berlangsung lebih lama. Pada
teknik ini kateter dimasukkan per kutaneus ke dalam arteri brachialis atau a.
femoralis atau melalui laparotomi ke arteri hepatika, kemudian obat sitostatika
disuntikkan secara perlahan-lahan selama 10-30 menit. Sitostatika yang
disuntikkan adalah mitomisin C 10-20 mg dikombinasikan dengan adriablastiina
10-20 mg dicampur dengan 100-200 ml larutan garam faal. Pemberian sitostatika
diulang satu bulan kemudian sambil mengevaluasi hasil pengobatan sebelumnya.
19

Efek samping dari cara pengobatan di atas tersebut dapat berupa demam,
septikemia, perdarahan, trombosis, emboli udara. Kontraindikasi dari kemoterapi
intra-arterial adalah kaheksia, asites yang intraktabel, dan gangguan faal hati
berat.
5. Radiasi
Terapi radiasi jarang digunakan sebagai terapi tunggal dan tidak banyak perannya
sebab carsinoma hati tidak sensitif terhadap radiasi dan sel-sel hati yang normal
sangat peka terhadap radiasi. Terapi radiasi dengan menggunakan 50 Gy untuk
membunuh sel-sel kanker hati dapat menyebabkan radiation induced hepatitis.
Dosis yang diberikan umumnya berkisar antara 30-35 Gy dan diberikan selama 3-
4 minggu. Meskipun demikian, penderita biasanya meninggal dalam kurun waktu
6 bulan. karena survival-nya pendek. Teknik baru yang dengan proton therapy
adalah teknik yang menggunakan partikel bermuatan positif untuk menghantar
energi membunuh sel-sel tumor dengan cedera minimal pada jaringan hati yang
nonneoplastik. Dengan proton therapy dosis 70-80 Gy sangat aman karena sel
target adalah hanya sel tumor. Ukuran tumor dapat berkurang sampai 50% dari
sebelumnya, dan efek samping yang terjadi sangat minimal sehingga memberikan
kualitas hidup yang lebih baik.
6. Tamofixen
Tamofixen digunakan pada penderita-penderita KHS dengan sirosis lanjut, tetapi
tidak meningkatkan survival. Tamofixen dapat dikombinasikan dengan etoposide
dan menunjukkan perbaikan serta memberikan toksisitas rendah dan bermanfaat
sebagai terapi paliatif. Secara in vitro, tamofixen bermakna meningkatkan efek
sitotoksik doxorubisin pada KHS. Kombinasi Antara tamofixen dengan
doxorubisin ternyata tidak memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan
dengan tamofixen tunggal.
7. Injeksi asam asetat perkutaneus
Prinsip dan cara kerja metode ini sama dengan injeksi etanol perkutan, hanya saja
zat yang disuntikkan adalah larutan asam asetat 15-50%. Pemberian pada
penderita KHS dengan tumor yang berdiameter <3 cm menunjukkan survival rate
1 tahun sebesar 93%, 2 tahun sebesar 86%, 3 tahun sebesar 83% dan 4 tahun
sebesar 64%. Efek samping tidak dijumpai.
20

Tabel 4 : Tatalaksana Karsinoma Hepatoseluler

Tabel 5 :Pilihan terapi bedah ca hepatoseluler


21

LO.9 Memahami dan Menjelaskan Komplikasi.


Asites, perdarahan saluran cerna atas, enselofati hepatica, sindrom hepatorenal
(keadaan pasien dengan hepatitis kronik, kegagalan fungsi hati, hipertensi portal yang
ditandai dengan gangguan ginjal dan sirkulasi darah).
LO.10 Memahami dan Menjelaskan Pencegahan.
Pencegahan Primer
Pencegahan primer merupakan pencegahan yang dilakukan terhadap orang yang
sudah terpapar faktor risiko agar tidak sakit. Pencegahan primer yang dilakukan
antara lain dengan:
1. Memberikan imunisasi hepatitis B bagi bayi segera setelah lahir sehingga pada
generasi berikutnya virus hepatitis B dapat dibasmi.
2. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat tentang virus hepatitis (faktor-
faktor risiko kanker hati) sehingga kejadian kanker hati dapat dicegah melalui
perilaku hidup sehat.
3. Menghindari makanan dan minuman yang mengandung alkohol karena
alkohol akan semakin meningkatkan risiko terkena kanker hati.
4. Menghindari makanan yang tersimpan lama atau berjamur karena berisiko
mengandung jamur Aspergillus flavus yang dapat menjadi faktor risiko
terjadinya kanker hati.
5. Membatasi konsumsi sumber radikal bebas agar dapat menekan
perkembangan sel kanker dan meningkatkan konsumsi antioksidan sebagai
pelawan kanker sekaligus mangandung zat gizi pemacu kekebalan tubuh.

Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder merupakan upaya yang dilakukan terhadap orang yang sudah
sakit agar lekas sembuh dan menghambat progresifitas penyakit melalui diagnosis
dini dan pengobatan yang tepat.
Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier yang dapat dilakukan yaitu berupa perawatan terhadap penderita
kanker hati melalui pengaturan pola makan, pemberian suplemen pendukung
penyembuhan kanker, dan cara hidup sehat agar dapat mencegah kekambuhan setelah
operasi.

LO.11 Memahami dan Menjelaskan Prognosis.


Pada umumnya prognosis karsinoma hati adalah jelek. Tanpa pengobatan,
kematian rata-rata terjadi sesudah 6-7 bulan setelah timbul keluhan pertama. Dengan
pengobatan, hidup penderita dapat diperpanjang sekitar 11- 12 bulan. Bila karsinoma
hati dapat dideteksi secara dini, usaha-usaha pengobatan seperti pembedahan dapat
segera dilakukan misalnya dengan cara sub-segmenektomi, maka masa hidup
penderita dapat menjadi lebih panjang lagi. Sebaliknya, penderita karsinoma hati fase
lanjut mempunyai masa hidup yang lebih singkat. Kematian umumnya disebabkan
oleh karena koma hepatik, hematemesis dan melena, syok yang sebelumnya didahului
dengan rasa sakit hebat karena pecahnya karsinoma hati. Oleh karena itu
langkahlangkah terhadap pencegahan karsinoma hati haruslah dilakukan. Pencegahan
22

yang paling utama adalah menghindarkan infeksi terhadap HBV dan HCV serta
menghindari konsumsi alkohol untuk mencegah terjadinya sirosis.
LI.2 Memahami dan Menjelaskan Transpalantasi Organ Dalam Hukum Islam.
Dalam batas-batas tertentu berbagai jenis transplantasi atau menggunakan anggota
tubuh manusia untuk pengobatan telah menjadi pembahasan para fukaha sejak lama, baik
autotransplantasi, homotransplantasi, atau heterotransplantasi.
Sebagian ulama nampaknya belum memandang perlu mengfatwakan hukum auto-
transplantasi atau replantasi. Barangkali karena telah ada isyarat dalam Sunnah filiyyah,
Nabi pernah melakukannya, berkat mukjizatnya, Nabi saw dapat mengembalikan (melakukan
tindakan sejenis replantasi) mata Qatadah bin al-Numan yang terlepas keluar pada saat
Perang Badar atau Perang Uhud. Juga pernah mereplantasi tangan Muawwidz bin Afra dan
Habib bin Yasaf yang tertebas pedang hingga putus pada saat Perang Badar. Atas dasar itu,
maka fukaha sepakat menetapkan bolehnya mengembalikan anggota tubuh yang terputus
akibat sakit atau sebab lainnya ke tempat semula. Ahmad bin Hanbal dan para pengikutnya
berargumen, karena di dalamnya terkandung roh yang merupakan bagian dari roh tubuh
tersebut.
Fatwa yang komprehensif tentang transplantasi, antara lain, telah dikeluarkan oleh
Majma al-Fiqh al-Islami pada Muktamar ke-4 yang diselenggarakan di Jiddah pada 6-11
Februari 1988 tentang hukum transplantasi menggunakan organ manusia, autotransplantasi
dan homotransplantasi, dari orang hidup maupun orang mati, dengan syarat-syarat yang mesti
ditunaikan. Ada delapan butir keputusan, yaitu sebagai berikut :
1. Bahwa memindahkan organ tubuh seseorang ke bagian lain dari tubuhnya sendiri
(autotransplantasi) hukumnya boleh, dengan ketentuan dapat dipastikan proses
tersebut manfaatnya lebih besar daripada mudarat yang timbul. Disyaratkan juga,
hal itu dilakukan karena organ tubuhnya ada yang hilang atau untuk
mengembalikan ke bentu asal dan fungsinya, atau untuk menutupi cacat yang
membuat si pasien terganggu secara psikologis maupun fisiologis.
2. Memindahkan organ tubuh seseorang ke tubuh orang lain hukumnya boleh, jika
organ tubuh yang dipindahkan itu dapat terus berganti dan berubah, seperti darah
dan kulit. Disyaratkan pula, pendonor organ tubuh tersebut seorang yang sehat,
serta beberapa syarat lainnya yang perlu diperhatikan.
3. Boleh hukumnya memanfaatkan organ tubuh yang tidak berfungsi lagi, karena
sakit misalnya, untuk orang lain. Seperti mengambil kornea dari mata seseorang
yang tidal berfungsi lagi untuk orang lain.
4. Haram hukumnya memindahkan organ tubuh yang sangat vital, seperti hantung
dari seseorang yang masih hidup kepada orang lain.
5. Haram hukumnua memindahkan organ tubuh seseorang yang dapat menyebabkan
hilangnya fungsi organ tubuh yang asasi secara total, meskipun tidak
membahayakan keselamatan jiwanya, seperti memindahkan kedua kornea mata.
Namun jika pemindahan organ tersebut hanya berdampak hilangnya sebagian
fungsi organ tubuh yang asasi (tidak total), maka hal ini perlu pembahasan lebih
lanjut, sebagaimana yang akan disinggung pada poin kedelapan.
6. Boleh hukumnya memindahkan organ tubuh mayit kepada orang hidup yang
sangat bergantung keselamatan jiwanya dengan organ tubuh tersebut, atau fungsi
organ vital sangat tergantung pada keberadaan orang tersebut. Dengan syarat si
mayit atau ahli warisnya mengizinkan. Atau dengan syarat persetujuan pemerintah
23

muslim jika mayit seorrang yang tidak dikenal identitasnya dan tidak memiliki
ahli waris.
7. Perlu diperhatikan bahwa kesepakatan bolehnya memindahkan organ tubuh yang
dijelaskan diata, disyaratkan tidak dilakukan dengan cara jual beli organ tubuh,
karena jual beli organ tubuh tidak diperbolehkan sama sekali. Adapun
membelanjakan uang untuk mendapatkan organ tubuh yang sangat dibutuhlam
saat darurat, hal itu masih perlu pembahasan dan kajian lebih lanjut.
8. Selain bentuk dan kondisi tersebut di atas yang masih ada kaitannya dengan
masalah ini, maka masih perlu penelitian lebih dalam lagi dan selayaknya
dipelajari serta dibahas sejalan dengan kode etik kedokteran dan hukum-hukum
syari.
Demikian juga, Komite Tetap Pengkajian Ilmiah dan Fatwa (al-Lajnah ad-Daimah
lilBuhuts al-Ilmiyyah wal Ifta) telah menetapkan hukum transplantasi khusus untuk kornea
mata. Intinya membolehkan dilakukan transplantasi kornea, dengan syarat pemiliknya benar-
benar telah mati, mendapatkan izin dari yang bersangkutan atau walinya, diprediksikan
secara meyakinkan akan berhasil. Alasan yang dikemukakan, adalah merealisasikan yang
kadar kemaslahatan lebih besar, memilih melakukan yang kadar mudaratnya lebih kecil, dan
lebih mendahulukan kepentingan orang hidup. Bahkan, dibolehkan mengambil mata orang
yang telah divonis harus diambil demi kesehatannya karena diprediksikan membahayakan
baginya, dan tidak berdampak buruk kepada pihak penerimanya.
Kelompok yang membolehkannya transplantasi karena darurat juga ditetapkan oleh
sejumlah lembaga fatwa, antara lain, sejalan dengan hasil Muktamar, konferensi dan yang
sejenisnya yang diselenggarakan di berbagai negara, diantaranya Malaysia pada bulan April
1969, Majma al-Fiqh al-Islami di Mekkah pada 19-28 Januari 1985, Haiat Kibar al-Ulama
Kerajaan Saudi Arabia, tahun 1402 H.Pemerintah Kuwair, Republik Mesir (1989), dan
Republik Aljazair. Juga pendapat sejumlah ulama, diantaranya adalah Syeikh Abd al-rahman
al-Sadi (1307-1367), Syeikh Ibrahim al-Yaqubi (w.1404 H), Syeikh Jad al Haqq (al-Azhar),
Dr. Ahmad Syaraf al-Din (Kuwait), Dr. Rauf Syalabi (al-Azhar), Dr. Abd al-Jalil Syalabi (al-
Azhar), Dr. Mahmud Ali al-Sarthawi (al-Azhar), dan Dr. Hasyim Jamil Abdullah (Ummul
Qura).
Fatwa dari Dar al-Ifta al-Mishriyyah no 88, tahun 1966 tentang diperbolehkannya
melakukan transplantasi organ dengan sejumlah syarat, yaitu :
1. Kondisinya benar-benar darurat
2. Benar-benar matinya pendonor
3. Adanya izin semasa hidupnya atau persetujuan wali setelah meninggal
4. Dari orang muslin untuk orang muslim sesuai tuntunan dalam hadist
5. Pendonor adalah orang yang sudah baligh, berakan, dan cakap, dan dia punya hak
untuk menarik kembali jika dikehendaki
6. Tidak melampaui batasan darurat yang dibenarkan berdasarkan kaidah syariat
Islam.
24

DAFTAR PUSTAKA

HepatocellularCarcinoma. In Clavien P-A, et al. editors. Malignant Liver Tumors, 3rd ed.,
Chichester: Blackwell Publishing Ltd. 2010; P 52-54.

Hepatocellular Fasel JHD, et al. Macroscopic Anatomy of The Liver. In Rods J, et al.
editors. Textbook of Hepatology, 3rd ed., Massachusetts: Blackwell Publishing Ltd. 2007; P.
3-7.

Sudoyo, Aru. W. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Edisi V. Jilid III. Jakarta:
InternaPublishing.

White DL, et al. Epidemiology of Hepatocellular Carcinoma. In Carr BI. Editor,


Hepatocellular Carcinoma Diagnosis and Treatment, 2nd ed., New York, Humana Press.
2010; P 1-26

Zuhroni. 2012. Hukum Islam Terhadap Berbagai Masalah Kedokteran dan Kesehatan
Kontemporer. Jakarta: Bagian Agama Universitas Yarsi

Anda mungkin juga menyukai