Anda di halaman 1dari 33

I.

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Potensi sumberdaya ikan laut diseluruh Indonesia yang terdiri dari ikan

pelagis dan ikan demersal diduga sebesar 6,11 juta ton per tahun, sementara produksi

tahunan ikan laut Indonesia pada tahun 2000 mencapai 2,93 juta ton. Ini

menunjukkan tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan laut Indonesia telah mencapai

47,93 persen (Boer, dkk., 2001). Pada tahun 2002 tingkat pemanfaatan telah

mencapai 70% dari potensi lestari atau dengan produksi sebesar 4,27 juta ton

(Barani, 2003). Apabila pemanfaatan dimaksimalkan sampai dengan 90 persen,

berarti masih tersedia peluang pengembangan sebesar 20 % dari potensi lestari atau

sebesar 1,22 juta ton per tahun.

Di Indonesia sumberdaya ikan pelagis merupakan salah satu sumberdaya

perikanan yang paling melimpah (Merta, 1992) disamping ikan demersal, Ikan

pelagis paling banyak ditangkap untuk dijadikan konsumsi masyarakat Indonesia dari

berbagai kalangan dan juga sebagai produk unggulan ekspor ke berbagai negara.

Penyebaran ikan pelagis merata diseluruh perairan, namun ada beberapa yang

dijadikan sentra daerah penyebaran seperti Lemuru (Sardinella longiceps) banyak

tertangkap di selat Bali, Layang (Decapterus spp) di Selat Bali, Makassar, Ambon

dan laut Jawa, Kembung Lelaki (Rastrelinger kanagurta) di Selat Malaka dan

Kalimantan, Kembung Perempuan (Rastrelinger neglectus) di Sumatera Barat,

Tapanuli dan Kalimantan Barat.


Perairan selat Bali yang memiliki luas area 2500 km 2, merupakan daerah

yang potensial akan ikan-ikan pelagis khususnya ikan Lemuru yang memiliki hasil

tangkapan cukup tinggi setiap tahun. Mertha (1992) menyatakan bahwa kepadatan

rata-rata ikan pelagis di Selat Bali sebesar 7,2 tons/km2. Berdasarkan data hasil usaha

dan penangkapan nelayan dari dinas perikanan propinsi Bali menunjukkan bahwa

pendaratan ikan lemuru sejak tahun 1950 2003 mengalami peningkatan. Potensi

lestari perairan Selat Bali di perkirakan sebesar 44,947 ton/tahun (Stasistik Perikanan,

2004). Pada tahun 2003 pemanfaatan ikan di kabupaten Jembrana yang merupakan

daerah pesisir propinsi Bali yang berada di sepanjang perairan Selat Bali sebesar

38,92 juta ton. Umumnya hasil tangkapan tersebut didominasi oleh ikan pelagis

khususnya ikan lemuru. Meskipun potensi perairan Selat Bali dapat diperkirakan dari

hasil tangkapan namun penyebaran ikan dilaut yang sebenarnya belum bisa

dipastikan karena lautan yang luas, sifat ikan yang dinamis dan keberadaannya

dipengaruhi oleh kondisi oseanografi dan ketersediaan makanan. Oleh karena itu

dibutuhkan data yang cepat dan akurat tentang kelimpahan dan penyebaran ikan

untuk memberikan informasi lokasi penangkapan kepada nelayan sehingga hasil

tangkapan dapat dikembangkan. Untuk memperoleh data dan informasi tersebut maka

dibutuhkan suatu penelitian yang didukung dengan pengembangan ilmu dan

teknologi.

Salah satu metode untuk mengetahui penyebaran ikan yang telah berkembang

saat ini adalah metode hidroakustik yang memanfaatkan gelombang suara, dimana

metode hidroakustik ini cukup efektif dan efisien untuk mendapatkan informasi yang

akurat dan berkesinambungan. Disamping itu, dengan metode akustik, estimasi stok
secara langsung dalam wilayah yang luas tanpa harus bergantung pada data statistik

perikanan, tidak berbahaya/merusak lingkungan dan data dapat diproses dalam waktu

singkat.
Dalam penelitian ini sistem akustik yang digunakan adalah sistem akustik bim

terbagi (split beam acoustic). Sistem yang merupakan keunggulan teknologi yang

dimiliki Norwegia sebagai pengembangan dari SIMRAD QD-Echo Integrator

(Digital Echo Integrator) yang memiliki kelemahan dalam mendapatkan nilai in-situ

target strength. SIMRAD telah membuat echo sounder khusus untuk tujuan riset

perikanan sejak tahun 1950-an

1.2 Tujuan dan Kegunaan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan daerah penangkapan ikan,
dengan menganalisis data densitas ikan-ikan pelagis yang telah diperoleh dengan
metode akustik yang dihubungkan dengan parameter oseanografi seperti suhu dan
salinitas.
Kegunaan dari penelitian ini adalah sebagai gambaran (data base) bagi

pengguna (nelayan) dalam melakukan penangkapan ikan sehingga memperoleh hasil

tangkapan yang maksimal.

1.3 Ruang Lingkup

Kegiatan penelitian ini meliputi pengambilan data Target Strength dan


densitas ikan pelagis dengan menggunakan Scientific Echosounder SIMRAD EY 500
untuk mengetahui distribusi densitas ikan pelagis dalam usaha untuk penentuan lokasi
penangkapan ikan. Disamping itu dilakukan pengukuran parameter oseanografi
seperti suhu, salinitas dan tekanan (kedalaman) sebagai data pendukung.

II. TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Sumberdaya Ikan Pelagis

Ikan pelagis merupakan organisme yang mempunyai kemampuan untuk

bergerak sehingga mereka tidak bergantung pada arus laut yang kuat atau gerakan air

yang disebabkan oleh angin (Nybakken, 1992). Ikan pelagis merupakan ikan yang

tidak terikat pada pantai atau perairan pantai sebagai persyaratan hidupnya, dapat

menyebarluas pada daerah-daerah dengan kondisi lingkungan yang sesuai dalam

usaha pencarian dan penemuan makanan (Gunarso dan Bahar, 1990).

Penyebaran ikan pelagis akan dipengaruhi perubahan lingkungan perairan,

dimana ikan-ikan pelagis akan mencari kondisi lingkungan yang cocok dengan

kondisi tubuhnya. Daerah yang banyak diminati oleh ikan pelagis adalah daerah yang

masih mendapatkan cahaya matahari yang dikenal sebagai daerah fotik dimana suhu

yang optimal bagi ikan pelagis yaitu 28o C 30oC. Pada siang hari suhu lapisan

permukaan menjadi panas dari suhu optimal, akibatnya ikan pelagis akan beruaya

kelapisan agak bawah (kedalaman 12 22 meter). Pada malam hari, ikan pelagis

hampir menempati seluruh kolom perairan dengan merata dan biasanya jenis ikan

demersal akan beruaya ke lapisan atas dan berbaur dengan ikan pelagis (Gunarso,

1988).

Gunarso (1988), menyatakan bahwa fluktuasi suhu yang dipengaruhi arus

permukaan laut, penguapan, gelombang, up-welling dan kondisi-kondisi meteorologi

merupakan faktor yang penting dalam upaya merangsang dan menentukan

pengkonsentrasian gerombolan ikan. Pengkonsentrasian ikan-ikan pelagis juga

dipengaruhi dengan adanya pengkonsentrasian plankton. Plankton mengadakan

migrasi harian secara vertikal dengan menggunakan berbagai macam mekanisme .


Pola pergerakan plankton ini akan diikuti pola migrasi ikan-ikan pelagis (Nybakken,

1992).

Migrasi ikan-ikan pelagis dipengaruhi oleh arus laut. Artinya bahwa ikan-ikan

pelagis sebenarnya mampu bergerak melawan arus untuk mendapatkan tempat

makanannya berkumpul (Laevastu dan Hayes, 1981).

Pasaribu et al dalam Hutahean (1999), mengkategorikan ikan-ikan pelagis

berdasarkan sebaran TS dan pendugaan panjang tubuh ikan, seperti tertera pada tabel

dibawah ini :

Tabel 1. Kriteria ukuran panjang dugaan ikan Melalui Nilai Target Strength

No Sebaran TS Ukuran Dugaan (cm) Kategori


1 -50 sampai -47 07.10 10.47 KECIL
-47 sampai -44 10.47 14.79
-44 sampai -41 14.79 20.89
2 -41 sampai -38 20.89 29.52 SEDANG
-38 sampai -35 29.52 41.68
-35 sampai -32 41.68 58.88
3 -32 sampai -29 58.88 93.7 CUKUP BESAR
-29 sampai -26 93.17 117.48
4 -26 sampai -23 117.48 165.98 BESAR
-23 sampai -20 165.98 251.40

2.2 Pengaruh Faktor Lingkungan Terhadap Distribusi Ikan

Penyebaran ikan perlu untuk diketahui karena dapat berguna untuk menjawab

pertanyaan seperti dimana ikan berada pada suatu waktu tertentu, atau sebaliknya

kapan ikan akan muncul pada suatu tempat tertentu, bagaimana sifatnya, apakah

mereka membentuk kelompok atau menyebar, apakah ikan tersebut bersifat menetap,

sementara atau sekedar lalu saja, apa saja aktivitas ikan di tempat tersebut atau ada

berbagai sebab lainnya. Selain itu juga bagaimana reaksi ikan terhadap berbagai
tenaga ataupun faktor alami yang ada di daerah penangkapan tersebut (Gunarso,

1988).

Pola kehidupan ikan tidak bisa dipisahkan dari adanya berbagai kondisi

lingkungan perairan dan fluktuasi keadaan lingkungan tersebut. Interaksi antara

berbagai faktor lingkungan tersebut terhadap ikan senantiasa berubah. Faktor-faktor

ini meliputi faktor fisik, kimia dan biologi lingkungan (Gunarso, 1988).

Gunarso (1988) menyatakan bahwa faktor fisik yang paling berpengaruh

terhadap keberadaan sumberdaya ikan adalah faktor suhu dan salinitas. Kedua faktor

ini menarik untuk diamati karena berperan dalam kelangsungan hidup ikan. Adanya

perubahan baik suhu maupun salinitas akan mempengaruhi keadaan organisme di

suatu perairan (Laevastu dan Hayes, 1981).

II.2.1 Suhu Air Laut

Nontji (1987), menyatakan bahwa suhu air laut merupakan faktor yang

banyak mendapat perhatian dalam pengkajian-pengkajian kelautan. Data suhu air

tersebut bukan saja untuk mempelajari gejala-gejala fisika di dalam laut tetapi juga

dalam kaitannya dengan kehidupan hewan atau tumbuhan.

Pada dasarnya suhu air laut dipengaruhi oleh panas matahari yang diterima

oleh lapisan permukaan air laut, selain faktor tersebut faktor lain yang

mempengaruhinya adalah arus permukaan, keadaan awan, penguapan gelombang

pergerakan konveksi, up-welling, divergensi dan konvergensi terutama pada daerah-

daerah estuari dan sepanjang pantai.


Suhu
(Pengaruh terhadap kelimpahan dan distribusi ikan)

Tingkat metabolisme dan


jangkauan aktivitas

Tingkat makan dan proses pencernaan Kecepatan renang dan migrasi

A A A

Tingkat Tingkat Perubahan musim & Menghindari


Pertumbuhan Perkembangan gonad Ketersediaan areal alat tangkap

Kemampuan bertahan Bertelur Pergantian tempat dan


hidup (dewasa) (recruitment) penundaan untuk bertelur

Gambar 1. Diagram pengaruh Suhu air laut terhadap kelimpahan, keberadaan dan
distribusi ikan (Laevastu and Hayes, 1981)

Pengaruh suhu secara langsung pada kehidupan laut adalah pada laju

fotosintesa tumbuh-tumbuhan dan proses fisiologis hewan khususnya derajat

metabolisme dan siklus reproduksinya, sehingg cara makan dan pertumbuhannya juga

dipengaruhi oleh temperatur (Laevastu dan Hayes, 1981).

Suhu berubah dengan berubahnya kedalaman. Letak kedalaman ikan pelagis

banyak ditentukan oleh susunan suhunya secara vertikal. Ikan pelagis akan berenang

sedikit ke sebelah dalam pada wktu suhu permukaan lebih tinggi dari pada biasanya.

Jadi dalam suatu operasi penangkapan ikan terutama ikan pelagis, sangat penting

untuk mengetahui suhu optimum dari jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan

(Gunarso, 1988).

II.2.2 Salinitas
Dalam literatur oseanologi dikenal istilah salinitas (yang sering juga disebut

kadar garam atau kegaraman). Yang dimaksud salinitas adalah jumlah berat semua
garam (dalam gram) yang terlarut dalam satu liter air, biasanya dinyatakan dalam

satuan %o (permil, gram per liter) (Nontji, 1987).

Salinitas lingkungan

Distribusi (fungsi Orientasi migrasi


Salinitas dan (respon terhadap gradien
Toleransinya) salinitas)

Dewasa Distribusi

Ketersediaan ikan

Gambar 2. Diagram pengaruh salinitas terhadap distribusi dan


kelimpahan ikan (Laevastu and Hayes, 1981)

Variasi salinitas di laut lepas relatif kecil, lain halnya dengan daerah pesisir

yang mempunyai variasi yang lebih besar, yang diakibatkan oleh adanya run off dari

sungai. Salinitas di laut secara fisiologis mempengaruhi kehidupan biota laut karena

erat hubungannya dengan penyesuaian tekanan osmotik antara sitoplasma dari sel-sel

tubuh dengan keadaan salinitas lingkungan.

Pengaruh salinitas terhadap ikan-ikan dewasa sangat kecil karena salinitas

dilaut relatif stabil yaitu berkisar antara 30 %o sampai dengan 36 %o kecuali untuk

larva-larva yang tidak bisa menyesuaikan diri terhadap tekanan osmotik. Namun

demikian ikan akan cenderung memilih medium dengan kadar salinitas yang sesuai

dengan tekanan osmotik tubuh masing-masing, sehingga hal ini akan mempengaruhi

distribusi ikan secara tidak langsung (Laevastu dan Hayes, 1981).

2.3 Kondisi Hidrologi Perairan Selat Bali


Selat Bali merupakan perairan yang menghubungkan laut Flores dan Selat

Madura di Utara dan Samudera Hindia di Selatan. Mulut Selat sebelah utara sangat

sempit yaitu sekitar 1 mil laut, yang melebar kearah selatan. Mulut selat yang

menghadap Samudera Hindia lebih lebar, yaitu sekitar 28 mil laut. Dengan bentuk

demikian maka perairan selat Bali cenderung untuk lebih dipengaruhi oleh massa air

Samudera Hindia dibandingkan oleh massa air dari Laut Flores atau Selat Madura.

Perairan ini dangkal di sebelah utara (sekitar 50m), akan menjadi sangat dalam

dimulut sebelah selatan.

Soeratmadja (1957) dalam Burhanuddin dan Praseno (1982) menjelaskan

bahwa pada musim barat, terjadi arus pantai Jawa yang bergerak kearah timur

sepanjang pantai selatan Jawa. Arus ini mencapai kedalaman 250 meter dan

merupakan arus kuat, sebagian dari arus kuat ini memasuki Selat Bali. Massa air ini

ditandai dengan salinitas sekitar 35 %o dan suhu tinggi (sekitar 30 oC). Pada musim

Timur, Wyrtky (1961) mengemukakan terjadinya proses up-welling di sepanjang

pantai selatan pulau Jawa dan Pulau Sumbawa. Pada saat yang sama arus khatulistiwa

selatan meluas ke arah utara dan mendesak arus pantai Jawa. Di Selat Bali keadaan

ini menyebabkan upwelling yang menyebabkan kondisi air dengan salinitas tinggi di

permukaan (sekitar 34 %o), dan suhu yang rendah (sekitar 26,5oC).

2.4 Sistem Hidroakustik

Penggunaan echo sounder dan echo integrator untuk keperluan eksplorasi

sumberdaya perikanan dewasa ini berkembang dengan pesat terutama dinegara-

negara maju dan pada beberapa lembaga penelitian. Peralatan echo integrator
digunakan untuk mendapatkan integrasi sinyal echo dari echo sounder bim tunggal,

bim ganda maupun bim terbagi atau sonar konvensional. Tingkat ketepatan teknik ini

sangat tinggi dan menguntungkan sehingga dapat digunakan sebagai penduga

kelimpahan ikan di suatu perairan (MacLennan, 1990).

Menurut MacLennan (1990), beberapa keuntungan dan keunggulan yanga

didapat dengan menggunakan peralatan dan metode akustik dalam pendugaan dan

distribusi kelompok ikan adalah :

1. Menghasilkan informasi tentang distribusi dan kelimpahan ikan secara

cepat dan meliputi kawasan yang luas.

2. Pendugaan stok ikan dilakukan secara langsung tanpa harus bergantung

kepada data statistik perikanan, percobaan tagging dan sebagainya.

3. Memiliki tingkat ketelitian dan ketepatan tinggi serta dapat digunakan

jika metode lain tidak mungkin dilakukan.

2.5 Echosounder Bim Terbagi (Echo Sounder Split Beam System)

Teknik bim terbagi pertama kali dimasukkan dalam ES 3800 oleh SIMRAD

di awal tahun 1980-an dan pada tahun 1985 diperkenalkan kepada nelayan Jepang

sebagai alat bantu dalam menentukan lokasi penangkapan ikan. Echo sounder bim

terbagi terdiri dari dua kabinet dan sebuah transducer bim terbagi. Kabinet pertama

adalah display berwarna beresolusi tinggi untuk menampilkan echogram secara real

time, kabinet ini juga berfungsi sebagai pengontrol untuk menjalankan echo sounder.

Kabinet kedua adalah Transceiver terdiri dari unit echosounder elektronik, yang

terdiri dari transmiter dan receiver. Kabinet ini juga dilengkapi dengan sarana
hubungan pararel input output untuk berhubungan dengan bagian luar echo sounder

(SIMRAD, 1993).

Pada prinsipnya transducer bim terbagi

terdiri dari empat kuadran yaitu Fore (bagian depan), Aft (buritan kapal), Port (sisi

kiri kapal) dan Starboard (sisi kanan kapal).

Gambar 3. Transducer Bim terbagi (SIMRAD, 1993)

Selama transmisi, Transmitter mengirim power ke semua bagian transducer

pada waktu yang bersamaan. Sinyal yang terpantul dari target diterima secara terpisah

oleh masing-masing kuadran. Selama penerimaan berlangsung keempat transducer

menerima echo dari target, dimana target yang terdeteksi oleh transducer terletak

pada pusat bim suara dan echo dari target akan dikembalikan dan diterima oleh

keempat bagian transducer pada waktu yang bersamaan. Tetapi jika target yang

terdeteksi tidak terletak tepat pada sumbu pusat dari bim suara, maka echo yang

kembali akan diterima lebih dahulu oleh bagian transducer yang paling dekat dari

target atau dengan mengisolasi target dengan menggunakan output dari fullbeam.
Split beam echo sounder modern memiliki fungsi time varied gain (TVG) di

dalam sistem perolehan data akustik. TVG ini berfungsi secara otomatis untuk

mengeliminir pengaruh atenuasi yang disebabkan baik oleh geometrical spreading

dan absorbsi suara ketika merambat kedalam air. Ada dua tipe fungsi TVG yaitu TVG

yang bekerja untuk echo ikan tunggal yang disebut fungsi TVG 40 log R dan fungsi

TVG 20 log R yang bekerja untuk echo kelompok ikan.

Fungsi TVG 40 log R menghasilkan sinyal amplitudo yang sama untuk

ukuran ikan yang sama tanpa tergantung dari jarak target terhadap transducer

sehingga kekuatan echo hanya bergantung dari echo target strength yang

bersangkutan. Begitu juga fungsi TVG 20 log R yang menghasilkan sinyal amplitudo

yang sama untuk kelompok ikan dengan ukuran yang sama tanpa tergantung dari

jarak target terhadap pusat transducer.

Pengolahan data yang tepat dari split beam echosounder sangat tergantung

pada software dan hardware yang digunakan. Hardware digunakan untuk

menghubungkan komputer dengan split beam echo sounder dan software digunakan

untuk mengukur data dari echo sounder pada komputer. Posisi target yang terdeteksi

dalam bim suara diberikan dalam bentuk informasi sudut alongship dan atwartship.

Informasi sudut ini sangat membantu untuk menentukan target strength ikan in-situ

secara langsung (Arnaya, 1991 b).

2.6 SIMRAD EP 500 (Echo Processing System)


Simrad EP 500 adalah sistem untuk postprocessing data echo yang dihasilkan

oleh sounder SIMRAD EY 500 dan EK 500. Data diterima dari sounder dan disimpan

pada harddisk dalam struktur telegram dasar EP 500 kemudian memproses data ini

pada beberapa tingkatan. Untuk meningkatkan kecepatan pemrosesan , file data

dikompres dan dikonversi kedalam format baru. Kemudian ditampilkan sebagai

echogram yang siap dianalisis.

Versi software yang digunakan untuk mengolah data ini adalah EP 500 versi

5.3. Screen layout EP 500 dibagi ke dalam 3 area yaitu :

1. Bagian Menu

Bagian teratas 1 cm dari screen akan selalu berisi main menu. Jika menu ini aktif

maka akan ditampilkan sub menu yang bersesuaian dibawahnya.

2. Bagian Echogram

Bagian tengah layer akan digunakan untuk menampilkan echogram yang

menempati seluruh lebar layar.

3. Bagian informasi file

Seperempat bagian terbawah layar biasanya digunakan untuk menampilkan

informasi yang berhubungan dengan file yang sedang ditampilkan dan beberapa

informasi set-up sistem.

2.7 Target Strength

Target Strength merupakan kemampuan atau kekuatan suatu target untuk

memantulkan kembali gelombang suara yang datang dan membenturnya (Ehrenberg,

1984), sedangkan Coates (1990) mendefenisikan target strength sebagai ukuran


desibel intensitas suara yang dikembalikan oleh target, diukur pada jarak standar satu

meter dari pusat akustik target dan berbanding terhadap intensitas suara yang

mengenai target.

Ketika suatu gelombang akustik dalam bentuk pulsa suara dipancarkan

melalui sebuah alat transduser dan mengenai atau membentur target di dalam kolom

air, maka akan terjadi pemantulan gema (echo) energi dari target itu. Akan tetapi tidak

semua energi yang membentur target tersebut dapat dipantulkan, karena ada juga

yang diabsorb dan ada pula yang melewati target itu. Banyak faktor yang

mempengaruhi nilai target strength dari ikan, antara lain ukuran dan bentuk ikan,

sudut datang pulsa, orientasi ikan terhadap transduser, keberadaan gelembung renang,

acoustic impedance dan elemen ikan (daging, tulang, kekenyalan kulit, distribusi dari

sirip dan ekor) walaupun pengaruh faktor terakhir ini kecil karena nilai kerapatannya

tidak jauh berbeda dengan air (MacLennan, 1990).

Target strength adalah kemampuan dari suatu target untuk memantulkan

suara, yang dapat dinyatakan dalam bentuk intensity target strength dan energy target

strength. Nilai dan karakteristik target strength ikan ini ditentukan oleh beberapa

faktor, yaitu ukuran ikan (panjang badan), bentuk tubuh, spesies ikan, gelembung

renang, tingkah laku/orientasi, acoustic impedance, panjang gelombang suara, beam

pattern, kecepatan renang dan multiple scattering/sadowing effect (Arnaya, 1991a).

Johannesson dan Mitson (1983) menyatakan bahwa target strength dapat

diartikan sebagai 10 kali nilai logaritma dari intensitas suara yang di pantulkan (Ir)

pada jarak satu meter dari target, dan dibagi dengan intensitas suara yang membentur

target tersebut (Ii), seperti pada persamaan berikut ini:


TS = 10 log Ir Ii . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (01)
dimana :
Ir : intensitas suara yang di pantulkan target
Ii : intensitas suara yang membentur target

Menurut MacLennan and Simmonds (1992), target strength merupakan

backscattering cross section (bs) dari target yang mengembalikan sinyal, seperti

persamaan di bawah ini:

TS = 10 log ( 4 ) 10 log bs . . . . . . . . . . . . . . . . (02)


dimana :
(/4 ) bs : acoustic backscattering cross section pada koordinat sudut (,)

Maka, target strength dapat dinyatakan dalam:

TS = 10 log Ir Ii

10 log ( 4 )

10 log bs . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (03)

Intensitas dari echo yang dipantulkan kembali oleh target tunggal dapat

dinyatakan dalam persamaan ini:

I = k ( 10-2R/R4 ) b2( , ) bs . . . . . . . . . . . . . . . . . . (04)


dimana:
k : faktor skala kalibrasi
-2R 4
(10 /R ) : faktor peredaman
b2(,) : faktor beam pattern
bs : acoustic backscattering cross section pada koordinat sudut (,)

Untuk mendapatkan target strength atau bs, maka faktor skala, peredaman

dan beam pattern harus terlebih dahulu dieliminir. Faktor skala dan peredaman dapat

dieliminir dengan kalibrasi pada TVG/Time Varied Gain (penambahan berdasarkan


variasi waktu), sedangkan faktor beam pattern cukup sulit dieliminir. Pada sistem

akustik dual beam, faktor beam pattern dieliminir dengan menggunakan narrow

beam dan wide beam, sedangkan pada sistem akustik split beam dilakukan pembagian

transduser atas empat kuadran secara elektrik, seperti pada Gambar 3 ini:

(a) (b) (c)


Gambar 4. Konfigurasi transduser untuk: (a) full beam, (b) split beam system
(Ehrenberg, 1983) dan (c) sistem penamaan kuadran beam (MacLennan
dan Simmonds, 1992).
Proses transmisi gelombang suara dilakukan dengan full beam dari keempat

kuadran secara simultan, tapi pada saat menerima echo yang kembali dari target,

keempat kuadran tersebut bekerja secara terpisah. Output dari masing-masing

kuadran digabungkan kembali membentuk full beam dan dua set split beam untuk

isolasi target tunggal serta posisi sudut target (Gambar 4).

FS FP Sum Amplitudo
Compensator Output
AS AP Signal

Transducer Phase
Detector

Gambar 5. Prinsip dari Split Beam Echosounder (MacLennan, 1990)


Gambar di atas menjelaskan bahwa sinyal yang diterima oleh tiap kuadran

diperbesar secara terpisah dalam empat saluran receiver yang memungkinkan arah

datangnya echo dapat ditentukan. Sinyal echo sampai ke transduser pada waktu yang

berbeda di empat kuadran, sehingga dengan adanya phase detector, maka phase

angle dari tiap kuadran dapat dibedakan (Simrad EY500, 1997). Sudut lokasi dari

suatu target tunggal dapat ditentukan dari perbedaan phase electric antara separuh

transduser. Pada sisi alongship, beda phase dapat diperoleh dengan cara

membandingkan sinyal di kuadran a + b dengan sinyal c + d, sehingga diperoleh beda

phase 1, kemudian pada sisi athwarship, sinyal a + c dibedakan dengan sinyal b + d,

sehingga diperoleh beda phase 2.

Dengan diketahuinya beda phase 1 dan 2, maka koordinat sudut (,) dari

posisi target dapat dihitung dengan persamaan berikut (Ehrenberg, 1983):

= sin 1 ( sin2 1 + sin2 2 )

= tan 1 ( sin2 1 / sin2 2 ) . . . . . . . . . . . . . . . . . . (05)

Setelah diperoleh nilai sudut 1 dan 2, maka faktor beam pattern dapat dihitung,

sehingga nilai bs dapat diestimasi berdasarkan persamaan di atas.

Sebuah model geometrik sederhana untuk mengira energi backscatter

berdasarkan ukuran ikan dikemukakan oleh MacLennan (1990) sebagai berikut:

= b0 L2 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (06)

TS = 20 lo L + b0 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (07)
Coates (1990) merumuskan persamaan yang menghubungkan backscattering

cross section (), panjang ikan (L) dan panjang gelombang ():
/2 = a ( L/ )b ( dB ) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (08)
dimana:
a dan b adalah konstanta yang tergantung dari anatomi, ukuran ikan dan
panjang gelombang.

Persamaan (10) bila dirubah ke dalam bentuk logaritmik akan menjadi:

TS = a log ( L ) + b log ( f ) + c (dB) . . . . . . . . . . . . (09)


dimana:
TS : Target strength
f : frekwensi suara
a, b, c : konstanta

Namun dari hasil penelitian yang dilakukan Foote (1987), menunjukkan tidak ada

perbedaan hasil yang didapatkan dari frekuensi yang berbeda, maka

diformulasikanlah suatu hubungan antara target strength dengan panjang ikan sebagai

berikut:

TS = 20 log ( L) A (dB) . . . . . . . . . . . . . . . . . . (10)


Dimana A adalah nilai target strength untuk 1 cm panjang ikan (normalized target

strength) dimana tergantung dari spesies ikan. Menurut Foote dalam Arnaya (1991 b)

pada pengukuran in-situ target strength ikan dengan survey akustik, nilai rata-rata

target strength mempunyai hubungan linear dengan nilai rata-rata panjang ikan

(dalam cm). Untuk target dengan gelembung renang tertutup (physoclist) nilai A

adalah 67,4, ikan dengan gelembung renang terbuka (physostome) nilai A adalah

-71,9 dB sedang yang tidak bergelembung renang nilai A adalah 80.

Dengan mengetahui nilai A tersebut sebenarnya secara kasar dapat

membedakan spesies ikan, namun untuk mengetahui spesies ikan yang sebenarnya,

selain memerlukan pengalaman dan ketelitian dalam menginterpretasi echogram, juga


perlu verifikasi dengan alat penangkapan ikan, underwater camera/video camera dan

sebagainya.

2.8 Pendugaan Densitas Ikan dengan Split Beam Echosounder

Pendugaan densitas ikan dilakukan dengan mengintegrasikan echo yang

berasal dari kelompok-kelompok ikan yang terdeteksi. Kelompok ikan tersebut

dianggap membentuk suatu lapisan perairan dengan tebal perairan sesuai dengan

ketebalan kelompok ikan. Lapisan perairan ini merupakan bidang-bidang datar dan

integrasi echo dilakukan untuk bidang datar berlapis-lapis dan berturut-turut hingga

seluruh volume perairan yang dibentuk kelompok ikan terintegrasi secara

keseluruhan. Burczynski (1982) menyatakan, suatu kelompok ikan tunggal yang

berada pada suatu volume air tertentu yang diinsonifikasi secara sesaat oleh

gelombang suara dapat disebut multiple target, selanjutnya dikatakan jika individu

target menyebar normal, maka total power yang dipantulkan oleh multiple target akan

merupakan jumlah dari power yang direfleksikan oleh masing-masing individu

(Gambar 6), sehingga intensitasnya menjadi:

Ir total = Ir1 + Ir2 + . . . + Irn , dimana n = jumlah individu ikan

Untuk suatu kelompok target sebanyak n target akan dapat diduga nilai rata-

rata intensitasnya (r), sehingga:

Ir total = n r ...................... (12)

oleh karena = 4 (Ir / Ii), maka intensitas rata-rata per-target menjadi

r = Ii / 4 . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (13)
sehingga: Ir total = ( n / 4) Ii ................... (14)

Persamaan (14) dapat dituliskan dalam bentuk yang sederhana menjadi:

Ir total = n Ii ................... (15)

Persamaan (15) ini merupakan dasar untuk menduga secara kuantitatif stok ikan

dengan hidroakustik dan apabila ditulis dalam bentuk logaritmik akan menjadi:

SV = 10 log n + TS . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (16)

dimana:
SV adalah volume backscattering strength.

Ir Ii
Ir total n Ii

Gambar 6. Pemantulan suara (echo) dari single dan multiple target (Burczynski, 1982)

Menurut Johanesson dan Mitson (1983) bahwa untuk sebuah integrasi pada

jarak kedalaman R = R1 - R2, volume backscattering strength untuk satu transmisi

dari suatu ukuran intensitas akustik, direfleksikan dari tiap m3 air yang dijumlahkan

dan dirata-ratakan pada R, sehingga SV yang diperoleh merupakan rata-rata SV (

SV ), dapat dituliskan sebagai berikut:

SV = 10 log v + TS . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (17)
n N

(Vo 2
)n
SV n 1
. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (18)
Ci( R2 R1 )

dimana:
Ci : menggambarkan parameter SL, SRT, dan lain-lain.
N = R/(C/2) : jumlah panjang pulsa yang terjadi dalam R
(Vo2)n : kuadrat dari keluaran voltase ke-n

Jika SV diketahui, maka rataan densitas ikan untuk suatu integrasi dapat

diketahui apabila TS juga diketahui.

Selanjutnya secara matematis persamaan (18) digabung dengan persamaan

integrator, dimana output (M) yaitu:


R2

Vo
2
.dR
dr . . . . . . . . . . . . . . . . . (19)
M = Ge R1

dimana:
Ge : faktor gain echo integrator
Vo : keluaran voltase yang diperoleh dari VR yang langsung masuk ke input
terminal dari integrator

Penggabungan dari dua persamaan (18) dan (19) akan diperoleh:

SV R = M/Ci.Ge . . . . . . . . . . . . . . . . . (20)

Dengan mensubstitusi persamaan (17) dan (20) akan diperoleh:

v / R = M/Ci.Ge (/4) .................. (21)

v / R = A ....................... (22)

Selanjutnya dalam sistem akustik bim terbagi (split beam), persamaan (22)

diaplikasikan dengan:
A = SA / bs ...................... (23)

dimana integrasi didasarkan pada persamaan berikut (Simrad, 1997):

/ v = 4r2Sv ................. (24)

/ A = / v.dr ................ (25)

bs = rata-rata ( / A) . . . . . . . . . . . . . . . (26)

Kemudian persamaan (26) mengubah volume backscattering strength menjadi

backscattering area per unit volume. Jumlah SA (m2/nm2) dihubungkan dengan bs

menjadi:

SA = (1852 m/nm)2 bs . . . . . . . . . . . . . . . . (27)

Selanjutnya perhitungan yang diimplimentasikan echosounder diperoleh

dengan mengkombinasikan persamaan (24 dan (25) menjadi:

R2

Sv.dr . . . . . . . . . . . . (28)
Sa= 4 R2 R1 (1852 m/nm)2

Koefisien area backscattering (Sa) dari persamaan (28) dikalkulasi untuk setiap area

terpilih yang dideteksi secara hidroakustik, dan dari nilai tersebut diperoleh nilai

backscattering cross section (Sv):

SaS A
. . . . . . . . . . . . (29)
Sv = 4R2 ( R2R1)
.R (1852m / nm) 2(R2
2
R1 )

Selanjutnya integrasi secara vertikal dilakukan dengan menghitung densitas

ikan dalam suatu volume perairan berdasarkan persamaan (22) menjadi:


v = A ( R2 - R1 ) . . . . . . . . . . . . . . . . . . . (30)
dimana:
v : densitas ikan yang diperoleh untuk tiap satuan jarak integrasi dalam
bentuk nilai jumlah ekor ikan persatuan volume (1000 m3)
A : densitas ikan per luas area
R : jarak target dari transduser

III. METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian direncanakan akan berlangsung selama kurang lebih 4 (tiga) bulan.

Jangka waktu tersebut mencakup survei lapangan, penelitian lapangan, analisis data

Akustik dan CTD.

Pengambilan data lapangan dilakukan di Perairan Kab. Kep. Selayar, Propinsi

Sulawesi Selatan sedang analisis data akustik dan CTD dilaksanakan di Pusat

Instalasi Observasi Kelautan, Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP),

Departemen Kelautan dan Perikanan, Kota Benteng, Kabupaten Kep. Selayar,

Propinsi Sulawesi-Selatan.

3.2 Wahana dan Alat

1. Kapal Penelitian

Kapal yang digunakan untuk penelitian ini adalah Kapal Motor Trevally

milik Balai Penelitian Perikanan Laut Semarang. Kapal ini dilengkapi dengan

peralatan navigasi dan peralatan penelitian lainnya, spesifikasi dan gambar dari kapal

penelitian terdapat pada lampiran 1.


2. Perangkat Oseanografi

Pengukuran parameter oseanografi dilakukan dengan alat MIDAS CTD+

(Model 606+). CTD adalah singkatan dari Conductivity, Temperature, Depth.

Spesifikasi dan gambar terdapat pada lampiran 2.

3. Perangkat sistem akustik

Pengambilan data akustik dalam penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan scientific echo sounder SIMRAD EY 500 yang menggunakan sistem

bim terbagi (split beam echo sounder) dimana transducer-nya terbagi menjadi empat

kuadran.

4. Alat sampling ikan

Alat yang digunakan untuk sampling ikan adalah purse seine, sedangkan

untuk mengukur distribusi frekuensi panjang ikan digunakan mistar atau meteran.

5. Perangkat Lunak Postprocessing

Adapun perangkat lunak yang digunakan yaitu :

- Echo processing system EP 500

- Ocean Data View (ODV) versi 5.4

- Surfer Versi 7.0

- Spread sheed Excel

- Archview 3.2

6. Peta Laut
7. Global Positioning System (GPS) Merek FURUNO, yang digunakan dalam

penentuan posisi pengambilan data pada saat survei akustik, penentuan titik

stasiun oseanografi dan arah gerak kapal.

3.3 Metode Pengambilan Data

1. Desain Survei

Survei akustik dilaksanakan untuk menyelidiki volume perairan yang luas.

Dalam prakteknya karena keterbatasan waktu yang tersedia untuk melakukan survei,

hanya sebagian kecil dari volume perairan yang dapat diamati dengan akustik. Jadi

pengukuran akustik adalah contoh yang diasumsikan mewakili distribusi ikan yang

lebih luas. Desain survei adalah rencana cruise track, yang perlu dipertimbangkan

dengan baik untuk kemajuan survei itu sendiri. Tujuannya untuk menjamin bahwa

sumberdaya yang tersedia memadai untuk melakukan pekerjaan, sumberdaya

digunakan untuk menghasilkan yang terbaik dan semua informasi yang dibutuhkan

untuk analisis selanjutnya dikumpulkan. Survei didesain melalui serangkaian

prosedur seperti dibawah ini (MacLennan, 1990).

a. Mendefinisikan area geografis yang akan dicakup, atau jika dimaksudkan

untuk menggunakan strategi yang adaptif, tentukan prinsip-prinsip yang akan

digunakan dalam mengatur cakupan selama survei.


b. Memperhitungkan sumberdaya yang dibutuhkan untuk mencukupi survei

yang telah ditentukan, berdasarkan prinsip waktu kapal dalam hubungan

dengan kepadatan sampling.

c. Memperhitungkan waktu yang tersedia untuk survei itu sendiri, buat

keleluasaan aktivitas seperti menangkap ikan.

d. Merencanakan panjang dari cruise track pada peta, pastikan bahwa sampel

yang representatif akan dikumpulkan dari semua bagian area sepanjang area

yang dapat dilakukan.

Jika survei didesain dengan baik, hal ini akan mempermudah untuk analisis

data kemudian dan menghasilkan hasil yang memuaskan. Ide buruk untuk memulai

survei tanpa strategi atau rencana bagaimana survei itu akan dilakukan. Hal ini hanya

akan mengakibatkan pemborosan waktu dan tidak efisien.

Pada penelitian ini desain bentuk jalur survei yang digunakan adalah bentuk

pararel line grid dimana model ini dianggap mewakili untuk mendapatkan data

akustik perairan Selat Bali secara keseluruhan. Bentuk ini merupakan jalur survei

yang dibuat oleh Pusat Riset dan Teknologi Kelautan (PRTK) pada survei Riset

Peningkatan Informasi Peta Fishing Ground Melalui Validasi dan Verifikasi Data

Inderaja Kelautan Dengan Teknologi Bioakustik.

2. Kalibrasi Alat

Simrad EY 500 adalah scientific echosounder yang didesain untuk

pengukuran kuantitatif, seperti pengukuran target strength ikan tunggal dan

pengukuran biomassa koefisien backscattering. Selama kalibrasi, sebuah reference

target yang telah diketahui target strength-nya diturunkan kedalam air tepat ditengah-
tengah bim suara. Reference target umumnya berupa bola logam. Simrad menetapkan

pemakaian bola logam dari bahan tembaga (Cu) dimana untuk setiap frekuensi

transducer yang berbeda digunakan reference target yang berbeda pula.

Selama survei akustik dimana keakuratan pengukuran kuantitatif sangat

dibutuhkan, maka echosounder perlu untuk dikalibrasi. Kalibrasi sebelum dan setelah

melaksanakan sampling data sangat baik untuk keakuratan data. Pelaksanaan

kalibrasi dilakukan sedikitnya satu kali dalam satu tahun dan untuk area yang

mempunyai musim panas dan musim dingin sekurang-kurangnya 2 kali dalam satu

tahun.

Pada saat kalibrasi diperlukan setting alat pada sounder unit Simrad EY500

yaitu :

- Ping interval : 1 sec

- Transmit power : normal

- Pulse length : Medium

- Receiver bandwith : wide

- Transducer depth : 0,0 m

- Transceiver menu mode : Test

- Ping mode : normal

- Noise margin : 0 dB

Kalibrasi pada saat dilapangan harus berada pada kondisi perairan yang

memungkinkan kapal untuk diam/stabil. Kapal harus turun jangkar diperairan yang

tenang.
Reference target terbuat dari bahan tembaga yang khusus dibuat simrad untuk

scientific echosounder. Tembaga dipilih karena merupakan logam yang dapat

memberikan keelektrikan yang murni. Tali yang dipakai adalah monofilamen untuk

mengurangi pantulan atau noise. Untuk frekuensi transducer yang digunakan pada

penelitian ini yaitu 38 KHz maka diameter sphere yang dipakai untuk kalibrasi yaitu

60mm, hal ini dimaksudkan untuk meminimumkan pengaruh dari temperature

terhadap nilai target strength yang terekam.

3. Data Akustik

Pengambilan data akustik dilakukan dengan menggunakan alat echo sounder

SIMRAD EY500 yang ditempatkan diatas kapal dengan penempatan transducer bim

terbagi yang menggunakan metode side mounted yaitu transducer ditempatkan pada

sisi kanan kapal , pada badan luar kapal.

Pengambilan data dilakukan dengan berlayar menyusuri jalur yang telah

ditetapkan sebelumnya pada area yang akan disurvei. Data Oseanografi

Pengambilan data oseanografi dilakukan dengan menggunakan alat MIDAS

CTD+ (Model 606+) dengan menurunkan probe untuk pengukuran suhu dan salinitas

pada setiap strata kedalaman dari tiap-tiap stasiun pengamatan yang telah ditentukan

pada masing-masing leg yaitu sebanyak 20 stasiun.

4. Sampling Ikan

Sampling ikan dilakukan dengan menggunakan purse seine pada salah satu

stasiun pengambilan data oseanografi, yang dianggap mewakili seluruh perairan selat

Bali. Sampling ikan ini hanya dilakukan satu kali dengan tujuan untuk mendapatkan
data panjang ikan (L) yang selanjutnya digunakan sebagai validasi data Echo

Sounder.

Purse seine adalah salah satu bentuk alat tangkap ikan dengan metode

penyaringan. Alat tangkap ini digunakan untuk menangkap ikan pelagis kecil yang

sudah umum digunakan oleh nelayan di Selat Bali untuk menangkap ikan pelagis

terutama Lemuru. Alat tangkap ini dioperasikan pada malam hari menjelang pagi

karena pada waktu tersebut ikan-ikan pelagis diperkirakan bermigrasi ke permukaan

untuk memakan fitoplankton.

Keseluruhan proses penangkapan dimulai dengan penurunan perahu kecil

yang membawa/menarik salah satu ujung jaring. Sementara perahu kecil melingkari

schooling ikan, kapal tetap diam ditempat hingga ujung jaring yang ditarik oleh

perahu kecil telah melingkari gerombolan ikan secara penuh (ujung jaring yang

dikapal dihubungkan dengan ujung jaring yang dibawa oleh perahu kecil.

Ujung atas jaring tetap mengapung dipermukaan membentuk garis apung

sedangkan jaring bawah dihubungkan oleh cincin yang terbuat dari logam. Cincin ini

juga berfungsi sebagai pemberat sehingga purse seine tenggelam sampai kedalaman

lebih dari 25 m. Setelah ujung jaring dihubungkan perahu kecil berpindah kesisi

yang berlawanan dengan lokasi alat tangkap kemudian mesin Derek diatas geladak

kapal menangkap kedua ujung jaring kemudian ditarik secara perlahan-lahan keatas

kapal dengan bantuan hidrolik.

Setelah purse seine dinaikkan keatas kapal, ikan hasil tangkapan dimasukkan

kedalam cool box yang berisi es, kemudian diukur panjangnya yaitu untuk ikan
pelagis kecil dengan menggunakan mistar sedangkan untuk ikan yang berukuran

besar diukur dengan menggunakan meteran.

DAFTAR PUSTAKA

Afrianto dan E. Liviawaty., 1991. Teknik Pembuatan Tambak Udang. Kanisius,


Yogyakarta.

Anonim., 1995. Rencana Tata Ruang Wilayah Sulawesi-Selatan. Perda No 9/1994.


Pemerintah Propinsi Sul-Sel.

Anonim., 2002 Laporan Statistik Perikanan. Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi
Sul-Sel, Makassar.

Anonim., 2004. Kabupaten Barru dalam Angka. Kerja sama BPS dan BAPPEDA
Kab. Barru, Makassar.

Anonim., 2004. Rencana Strategis Pembangunan Perikanan Budidaya. Direktorat


Jendral Perikanan Budidaya. Departement Kelautan dan Perikanan, Jakarta.

Budiarti, T., 2001. Budidaya Udang Windu (Peneus monodon Fab) Berwawasan
Lingkungan. Program Pasca Sarjana Isntitut Pertanian Bogor, Bogor.

Burrough., 1986. Principles of Geographical Information System for land Resouces


Assessment. Clazedon Press Oxford, USA.

Buwono,I.D., 1993. Tambak Udang Windu. Sistem Pengelolaan Berpola Intensif.


Kanisius, Yogyakarta.
Darmawijaya, M.I., 1990. Klasifikasi Tanah. Gajah Madah University Press,
Yogyakarta.

Djurjani., 1998. Konsep Pemetaan. PUSPICS-Fakultas Geografi, UGM bekerjasama


dengan BAKOSURTANAL. Jakarta.

Dudal, R. dan M. Soepraptohardjo., 1957. Soil Classification in Indonesia. Balai


Besar Penjel, Bogor.

Gandasasmita, K., 1995. Penuntun Praktikum Kartografi. Laboratorium


Penginderaan Jauh dan Kartografi. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian.
Institut Pertanian Bogor, Bogor

Lathrop, Jr. R.G. dan J. A. Bognar., 1998. Applying GIS and Landscape Ecological
Principles to Evaluate Land Conservation Alternative. Rutgers University,
New Brunswick, USA.
Mastra R., 1992. Pemenuhan dan Peningkatan Sumber Daya Manusia Sebagai
Pemakai GIS. Seminar Nasional SIG. Ikatan Mahasiswa Geodesi ITB,
Bandung.

Murai Shunji., 1992. Remote Sensing Note. National Space Development Agency of
Japan (NASDA)/Remote Sensing Technology Center of Japan (RESTE),
Japan.

Nontji A., 1987. Laut Nusantara, Djambatan

Otto Soemarwoto., 2001. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Penerbit


Djambatan, Jakarta.

Paryono, P., 1994. Sistem Informasi Geografis. Andi Offset, Yogyakarta.

Prahasta, E., 2001. Konsep-Konsep Dasar Sistem Informasi Geografis.


Penerbit Informatika, Bandung

Puntodewo, A., 2003. Sistem Informasi Geografis Untuk Pengelolaan Sumberdaya


Alam. Centre for International Forestry Research, Jakarta.

Purnomo, A., 1988. Pembuatan Tambak Udang di Indonesia. Balai Penelitian


dan Pengembangan Perikanan Budidaya Pantai, Maros.
Purwadhi., 1994. Penggunaan Sistem Informasi Geografi untuk Analisis
Wilayah. Jurusan Teknik Geodesi, FTSP ITB, Bandung.

Saaty, T. L., 1993. Pengambilan Keputusan Bagi Para Pemimpin. Proses


Hirarki Analitik Untuk Pengambilan Keputusan dalam Situasi Yang
Kompleks. PT. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta Pusat.

Selamat, M.B (2002). Penuntun Praktikum Sistem Informasi Geografis. Jurusan Ilmu
Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin,
Makassar.

Sitorus, S.R.P., 1985. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Tarsito, Bandung

Sukmayadi, S. 1995. SIG, Pengetahuan Dasar, Pusat Pendidikan dan Latihan


Bakosurtanal. Jakarta.

Supriharyono., 2000. Pelestarian dan Pengelolaan Sumberdaya Alam di Wilayah


Tropis. PT. Gramedia, Pustaka Utama, jakarta.

Suryadi, K dan M. A. Ramdhani, 1998. Sistem Pendukung Keputusan, Suatu Wacana


Struktural Idealisasi dan Implementasi Konsep Pengambilan Keputusan, PT
Remaja Rosdakarya, Bandung.

Suseno. S., 1982. Budidaya Ikan dan Udang dalam Tambak. PT. Gramedia,
Jakarta.

Tarunamulia dan A. Hanafi., 2000. Model Aplikasi Sistem Informasi Geografis


(SIG) Untuk Pemetaan Kelayakan Tambak Tanah Sulfat Masam. Balai
Penelitian dan Pengembangan Perikanan Budidaya Pantai, Maros.

Tim Kerja Survey Dasar., (1995). Pengembangan Prototipe Wilayah Pesisir dan
Marin Sulawesi Selatan. BAKOSURTANAL, Jakarta.

Widyaastuti, M dan L. Wahyu., 1998. Identifikasi dan Pengukuran Parameter-


Parameter Fisik di Lapangan. PUSPUCS-Fakultas Geografi, Universitas
Gadjah Mada bekerjasama dengan BAKOSURTANAL, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai