Anda di halaman 1dari 14

Pulau Miangas

Pulau Miangas adalah adalah salah satu pulau yang tergabung dalam gugusan
Kepulauan Nannusa dan merupakan pulau terluar di sebelah Utara Indonesia, berbatasan
dengan Filipina. Dalam administrasi Pemerintah Republik Indonesia, Pulau Miangas hanya
mempunyai 1 Desa (Desa Miangas) dan Kecamatan Khusus Miangas, Kabupaten Kepulauan
Talaud, Provinsi Sulawesi Utara.

Pulau Miangas -dkp sulut-

Luas Miangas sekitar 3,20 km, dengan Panjang Keliling Pulau adalah 6,0 Km, adapun
sisi jarak terdekat Pulau Miangas dengan Filipina (Pulau Davao) hanya 48 mil laut, bandingkan
dengan ke Manado (Ibu Kota Provinsi Sulawesi Utara) sekitar 320 mil laut, atau ke Melonguane
(Ibu Kota Kabupaten Kepulauan Talaud) 110 mil laut.

Secara geologi, Pulau Miangas tersusun dari batuan sedimen dan batuan gunung api
yang beralaskan batuan ultramafik dan mlange (bancuh). Batuan ini terbentuk dari lapisan
bumi yang terangkat karena tabrakan antara lempeng Halmahera yang bergerak dari timur
dengan lempeng Sangihe yang bergerak dari barat. Sedang iklim di Pulau Miangas tergolong
basah, dengan suhu rata-rata sekitar 27C. ( BMVG RI)

Dengan jumlah penduduk lebih dari 797 jiwa, yang terdiri laki-laki 409 jiwa dan
perempuan sebanyak 388 jiwa. (BPS 2010), dan mayoritasnya adalah dari Suku Talaud, maka
perkawinan dengan warga Filipina tidak bisa dihindarkan (faktor jarak), dan mata uang yang
sering digunakan adalah Peso (mata uang resmi Filipina), serta masyarakat Pulau Miangas
pada umumnya mengandalkan hidup dari penjualan hasil perkebunan dan hasil laut. Dan untuk
mengisi waktu luang masyarakat Pulau Miangas melakukan aktifitas industri kecil atau kerajinan
rumah tangga, yakni pembuatan kerajinan daun pandan (dapat dibuat topi, hiasan dinding, tikar,
dan hiasan lainnya).

Indahnya Pulau Miangas dari perairan Indonesia

Seperti pada umumnya masyarakat Indonesia di perbatasan, maka perdagangan


masyarakat Pulau Miangas mengandalkan barang-barang dari wilayah Filipina seperti Santa
Agustien dan General Santos, dan yang memprihatinkan adalah pada bulan Desember hingga
Maret, masyarakat Pulau Miangas akan terisolasi akibat adanya gelombang laut yang ganas
dari Samudera Pasifik, bayangkan selama 4 bulan lebih, mereka hanya mengonsumsi galuga
(umbian keras dicampur daging dan kelapa), sedang kebutuhan minum mereka memanfaatkan
air kelapa, karena sulitnya mendapat bahan makanan dari luar.
Sebagai pulau terluar, Pulau Miangas juga berfungsi sebagai Pos Lintas Batas
Indonesia Filipina - Border Crossing Agreement (BCA)-, tentunya sangat rentan terhadap
pengaruh negara tetangga (politik, pertahanan, keamanan, maupun sosial ekonomi dan
budaya, termasuk terorisme), sepatutnya mendapat perhatian khusus dari segi pengawasan
dan pengamanan, terutama dari pemerintah Jakarta.

Pencurian sumber daya alam berupa illegal fishing yang berlangsung dari tahun ke
tahun, maupun jalur pelintas batas bagi warga yang bermaksud kurang jelas, seringkali terjadi,
sebagai akibat rapuhnya pertahanan dan keamanan Negara.

Namun telah ada usaha untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat perbatasan


dapat dilakukan dengan mengurangi disparitas pengelolaan antar wilayah dimana salah
satunya melalui penyediaan sarana prasarana yang dibutuhkan masyarakat setempat.

Akses menuju Pulau Miangas dapat dilakukan dengan menggunakan kapal angkutan
dari Pelabuhan Karatung yang melayani trayek Bitung-Karatung dengan lama perjalanan 15
hari (2 kali sebulan), melewati beberapa pelabuhan seperti Tahuna, Siau dan Lirung. Sedang
untuk ke Pelabuhan Karatung dapat dicapai melalui rute dari Manado (Bandara Sam Ratulangi)
ke Melonguane (Bandara Melonguane) dengan pesawat Merpati lama perjalanan sekitar 3 jam
(2 kali seminggu).

Sengketa Island of Palmas


Miangas adalah pulau kecil di Samudra Pasifik yang berhadapan langsung dengan
Filipina. Masyarakat setempat menamakan Mangiasa yang berarti menangis atau kasihan
karena letaknya sangat terpencil dan jauh dari jangkauan transportasi laut. Ada pula yang
menyebut Pulau Tinonda yang berarti diseberangkan karena upaya Raja Talaud yang
memindahkan atau menyeberangkan beberapa keluarga dari Pulau Karakelang ke Pulau
Miangas.

Sejak dahulu Miangas sudah menjadi tapal batas utara bagi Kerajaan Talaud bersama
Pulau Napombalu sebagai batas selatannya. Setelah sistem kerajaan berakhir, secara
administratif Pulau Miangas menjadi bagian wilayah Pemerintahan Kabupaten Sangihe-Talaud
dan kini berkembang masuk wilayah Nanusa - Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi Sulawesi
Utara.
Sengketa Island of Palmas mengemuka antara Amerika-Spanyol melawan Belanda
tentang pembagian perbatasan dan daerah kekuasaan. Berdasarkan Traktat Paris 1898,
Amerika Serikat mengklaim bahwa Pulau Miangas masuk dalam posisi kotak dan berhak atas
kepemilikan pulau tersebut.
Akan tetapi, putusan arbiter internasional DR. Max Huber memenangkan Belanda atas
kepemilikan Pulau Miangas. Menurut kajian Weter (1979), DR. Max Huber memperkenalkan
konsep hukum intertemporal dalam menangani sengketa dimana kaidah-kaidah hukum
internasional diterapkan berdasarkan periode dan kasus tertentu. Dalam hal ini bukanlah
menyangkut pilihan hukum melainkan karena tidak adanya penerapan secara historis.
Selanjutnya, dalam beberapa kesempatan perundingan bilateral IndonesiaFilipina
sering muncul argumentasi yang mempertanyakan kembali status Pulau Miangas. Filipina
masih menggunakan dalil bahwa Las Palmas, masuk dalam posisi kotak berdasarkan Traktat
Paris 1898 dan hal ini dikuatkan dengan ditemukannya Pardao (tugu peringatan) pendaratan
Magelhaens di pulau pada tahun 1512. Di samping itu, konstitusi Filipina masih menyebutkan
Las Palmas dalam yurisdiksi dan kedaulatannya.
Argumentasi di atas, dapat ditepis Pemerintah RI berdasarkan penetapan batas wilayah
Kerajaan Kepulauan Talaud yang menjadi bagian dan tradisi masyarakat setempat. Secara
historis, pengakuan batas wilayah Kerajaan Talaud telah terjadi sejak kepulauan Talaud dan
Filipina bagian selatan berada di bawah pengaruh dari Kerajaan Tidore. Dalam hal ini,
Indonesia harus menggunakan argumentasi historis-politis dan administratif.
Bersamaan argumen di atas, langkah pemindahan sebagian penduduk dan dilanjutkan
dengan pembangunan gereja serta pendirian Jemaat Kristen Protestan sebagai bagian dari
GMIST (Gereja Masehi Injili Sangihe dan Talaud) merupakan hal yang berguna bagi status
Pulau Miangas. Karena ini dianggap sebagai tindakan aktif yang menghadirkan institusi gereja
di pulau ini. Bahkan tercatat wilayah pelayanan gereja (GMIST) mencakup Filipina bagian
selatan.Klaim politis atas Pulau Miangas, Marore dan Marampit Secara geografis, letak
Miangas dan beberapa pulau lainnya di Sangihe Talaud seperti Kawio, Marampit dan Marore
memang jauh dari pusat pemerintahan RI dan lebih dekat dengan Filipina. Karena itu, tak
mengherankan jika penduduk Miangas lebih intens berhubungan dengan masyarakat Filipina.
Apalagi sebagian kebutuhan masyarakat didatangkan dari Filipina.
Pada dekade 1960 hingga 1970-an, hubungan antara Miangas dan Filipina semakin
intens seiring dengan adanya kesepakatan tentang batas antara kedua negara. Ironisnya,
intensitas hubungan kedua negara tidak mempengaruhi kesadaran nasional warga kepulauan
tersebut. Masyarakat setempat lebih mengenal pejabat Filipina ketimbang Indonesia. Hal ini
terungkap ketika pada awal 1970-an sejumlah pejabat pemerintah pusat yang menyertai
kunjungan Wakil Presiden Sri Sultan Hamengku Buwono IX ke wilayah perbatasan, melihat
potret Presiden Filipina Ferdinand Marcos menghiasi rumah penduduk.
Mulai saat itu pula, kehidupan masyarakat perbatasan di Kabupaten Sangihe-Talaud
mendapat perhatian lebih dari pemerintah, antara lain dengan membuka jaringan pelayaran
perintis ke pulau-pulau terpencil. Betapapun keterpencilan membuahkan penderitaan bagi
masyarakat pulau-pulau perbatasan namun mereka tetap merasa sebagai bagian dari bangsa
Indonesia, setidaknya dalam pendidikan mereka konsisten berkiblat ke Indonesia. Fenomena ini
tentu positif bagi keutuhan bangsa dan negara RI.
Seiring perkembangan waktu, isu Miangas mencuat kembali di awal tahun 2002.
Adanya pernyataan yang menilai Pulau Miangas belum sepenuhnya milik Indonesia,
mengundang keprihatinan penduduk di pulau yang berdekatan dengan negara Filipina itu.
Kami sangat prihatin akan pemberitaan mengenai Pulau Miangas yang seakan-akan tidak ada
mengandung fakta-fakta hukum dari seorang yang dianggap dituakan di daerah, yang dinilai
tidak bertanggung-jawab terhadap pulau Miangas sebagai bagian dari wilayah kepulauan
Indonesia.
Sehubungan dengan itu, masyarakat setempat menyatakan bahwa jika demikian halnya,
biarlah rakyat Miangas yang bertanggungjawab sendiri kepada PBB. Dalam menanggapi isu
bahwa Miangas belum sepenuhnya milik Indonesia, warga menyatakan akan tetap
mempertahankan pulau Miangas sebagai milik Indonesia. Karena itu, sebagaimana yang
tertuang dalam kebulatan tekad masyarakat Pulau Miangas dan ditandatangani oleh 20
perwakilan masyarakat dari 4 delegasi, dengan tegas menolak penguasaan wilayah perbatasan
Indonesia (Pulau Miangas) oleh bangsa lain. Menurut mereka, hal ini bertentangan dengan
konstitusi dan Hak Asasi Manusia.
Hampir senada dengan politisi Sangihe-Talaud, sejumlah politisi Filipina yang berada di
Davao, Mindanau serta para kalangan akademisi mengangkat isu tentang kepemilikan Pulau
Miangas, Marore dan Marampit. Bahkan, seorang Profesor di Universitas Filipina, H. Harry
Roque menyatakan putusan pada tanggal 4 April 1928 antara Amerika Serikat dengan Belanda
belum final karena Pulau Miangas, Marore dan Marampit termasuk dalam traktat Paris tersebut.
Padahal menurut catatan, pada tanggal 4 April 1928 di atas kapal putih Greenphil
perundingan antara pemerintah Amerika dan Hindia Belanda telah memutuskan Pulau Miangas
termasuk dalam wilayah kepulauan Nusantara Indonesia sebab ciri budayanya sama dengan
masyarakat Talaud. Setelah proklamasi Negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 17
Agustus secara tegas dinyatakan bahwa NKRI adalah dari Pulau Sabang sampai Merauke dan
dari Pulau Miangas sampai Timur-Kupang. Hal itu lebih dipertegas lagi dengan diresmikannya
tugu perbatasan antara Indonesia dengan Filipina pada tahun 1955 di Pulau Miangas, dimana
Miangas tetap berada dalam wilayah Indonesia.
Kiranya, klaim politis yang berkembang saat ini Pemerintah Indonesia tidak perlu
khawatir akan terjadi sebagaimana Sipadan dan Ligitan. Setelah pernyataan klaim politis atas
Pulau Miangas (2002), jawaban resmi pemerintah Filipina lewat Menteri Luar Negeri Blas F.
Ople menyatakan bahwa Miangas yang dalam Peta Filipina disebut Las Palmas, adalah sah
milik Indonesia.
Bahkan dalam kesempatan kunjungan tiga hari Menlu Blas F. Ople di Manado (1-3 Mei
2003), menawarkan kerjasama di bidang Keamanan dan Ekonomi mengingat intensitas dan
aktifitas masyarakat kedua negara sangat potensial dan sudah terjalin sejak lama.

Pembangunan Wilayah Perbatasan


Berdasarkan Rapat Kerja Menteri Negara PPKTI dengan Komisi IV DPR RI tanggal 2
September 2004, ada beberapa daftar inventaris masalah di perbatasan Indonesia-Filipina.
1. Belum adanya kepastian garis batas ZEE dan landas kontinen Indonesia-Filipina.
2. Berlangsungnya kegiatan-kegiatan ilegal di daerah perbatasan, seperti penyeludupan
barang, trafficking, dollar palsu, kapal tidak dilengkapi dokumen yang sah, illegal logging,
illegal fishing dan transit point bagi kelompok teroris internasional.
3. Masih lemahnya aspek kelembagaan, personil dan regulasi pengelolaan administrasi
perbatasan.
4. Keterisolasian karena rendahnya aksesbilitas dan mobilitas masyarakat akibat tidak
memadainya daya dukung prasarana dan sarana komunikasi serta transportasi.
5. Belum optimalnya pemanfaatan potensi kelautan dan perikanan serta pengelolaannya
secara lestari.
6. Ketertinggalan dan kesenjangan sosial ekonomi dengan wilayah sekitarnya

Analisis Komprehensif
Sejarah mencatat bahwa pada tahun 1512 Eskader Magelhaens mendirikan semacam
tugu peringatan (Pardao) yang hingga kini masih berada di Pulau Miangas apakah sebagai
peringatan penaklukan atas pulau tersebut atau kuburan bagi awak kapalnya yang terserang
penyakit mematikan pada masa itu.
Tercatat pada perang Asia Timur Raya, Amerika Serikat juga pernah mendirikan
pangkalan untuk melawan pendudukan dan pendaratan pasukan Jepang. Hal ini menguatkan
dugaan peta politik dunia ketika itu berdasarkan Teori Lebensraum dari Haushofer yang
membagi dunia menjadi Pan Amerika, Eropa-Afrika, Rusia dan Asia Timur Raya.
Akan tetapi, pada kenyataannya pengaruh bentangan ideologis menembus pencitraan
politik saat perebutan Blok Barat (AS) dan Blok Timur (Uni Soviet). Apabila dikaitkan pentingnya
titik pertahanan Pulau Miangas dan Pangkalan AS di Filipina, dilanjutkan dengan Pangkalan di
Morotai yang dibangun Jenderal Mc Arthur maka jelaslah bahwa perbenturan kepentingan
politik dan militer menjadi nyata hingga kini dan masih berlaku untuk pulau-pulau di wilayah
perbatasan yang dapat dijadikan pangkalan transit untuk angkatan perang.
Pentingnya kedudukan Pulau Miangas dalam percaturan geostrategi dan politik
internasional sehingga sampai saat ini masih menjadi hot-issue antarpolitisi, pemerintah, pihak
militer dan kalangan akademisi. Bahkan di tahun 2004 pihak TNI Angkatan Laut merencanakan
akan membangun landasan pacu pesawat di Pulau Miangas.

Mitos dan Sejarah


Kepulauan Talaud merupakan sekumpulan pulau-pulau di Lautan Pasifik yang termasuk
di dalamnya Kepulauan Mindanau, Kepulauan Sangihe dan Kepulauan Palau. Jika mengikuti
mitos yang beredar mengapa hingga terdapat banyak pulau di wilayah Pasifik tersebut maka
berdasarkan tutur cerita rakyat Sangihe-Talaud mengatakan bahwa ada keturunan Raja
Langit/Gumansalangi yang turun dari kayangan serta ingin mempersunting gadis desa di
wilayah tersebut. Karena di tumitnya penuh kekuatan bara api maka ketika ia menginjakkan
kakinya ke bumi, terpencarlah daratan hingga membagi pulau-pulau tersebut yang semula
adalah satu.
Secara spesifik teoritik-ilmiah, Program Wallacea pernah mengadakan penyelidikan
tentang Tarsius Spectrum (monyet/primata terkecil) dan jenis binatang yang hampir sama
terdapat di daratan Filiphina hingga Vietnam dengan jenis yang terdapat di Indonesia (Bitung,
Tangkoko). Penguatan tersebarnya pulau-pulau atau kepulauan ini, diduga bahwa pernah
terjadi angin topan dari laut yang sangat dahsyat sehingga menubruk dan memisahkan pulau-
pulau tersebut.
Hal ini juga bisa disebabkan oleh letusan gunung berapi atau patahan Sirkum Pasifik
dengan dibuktikan adanya terusan lempengan Sulawesi dan rangkaian gunung api aktif yang
terdapat di Jepang hingga Sulawesi Utara. Bukti lain berdasarkan Penemuan Kembali
Tagaroa oleh Mayor John Rahasia bahwa telah terjadi migrasi bangsa-bangsa yang terhimpun
dari berbagai suku bangsa sehingga membentuk masyarakat hingga saat ini. Adapun Tagaroa
diyakini sebagai Tuhan Segala Yang Kuasa yang melindungi penduduk pribumi di kawasan
Asia-Pasifik dari Jepang hingga Australia dan Polynesia hingga Hawai dan Pulau Paskah.
Bukti tentang adanya kekuasaan historis-tradisional dengan diyakini bahwa Dewa
Tagaroa adalah penguasa samudera dan pulau-pulau di Asia-Pasifik. Dalam tradisi dan
keturunan suku bangsa Maori, Selandia Baru, suku bangsa di Papua New Guinea serta
Sangihe-Talaud, menganggap bahwa Tagaroa adalah Dewa atau Tuhan Asal Segala Sesuatu.
Selanjutnya, pada masa pelayanan atau zending, Kepulauan Talaud jarang dikunjungi
oleh para penyebar agama atau pendeta-pendeta dari Belanda yang datang dari Ternate,
Batavia ataupun Maluku. Dengan demikian, usaha penyebaran agama masih sangat langka di
awal tahun 1890-an. Diceritakan oleh Penginjil Brilman bahwa nuansa di Kepulauan Talaud
sangat berbeda dengan yang ada di Sangihe. Para penduduk setempat masih mempercayai
agama animis dan ajaran korban serta darah manusia.
Hal lainnya yaitu menurut penuturan cerita rakyat, silsilah keturunan Raja Makaampo
yang berkuasa di Talaud, seorang putranya menikah dengan putri dari Mindanau. Oleh sebab
itu, terjadilah hubungan kekeluargaan yang secara nyata tidak ada pemisahan negara
sebagaimana yang terjadi saat ini. Sejak dahulu, telah terbina hubungan kekerabatan dan
kekeluargaan sehingga nyatalah kalau sekarang ada penduduk Indonesia atau Sangihe Talaud
yang melakukan usaha perkebunan kelapa di Mindanau atau kepulauan sekitarnya.

Ideologi
Pulau Miangas sebagai pulau terluar bagian utara, rentan terhadap infiltrasi baik ideologi
dan transnational crimes. Secara jelas, Miangas yang telah menjadi bagian Kepulauan Talaud
masuk administrasi pemerintahan dan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dengan mempertimbangkan posisinya, bisa saja terjadi perbenturan ideologi yang
berkembang di daerah perbatasan tersebut. Di antaranya pengaruh ideologi Blok Barat Amerika
Serikat dengan pernah terdapat Pangkalan AS di Filipina. Hal kedua adalah kedekatan wilayah
dengan para pejuang Front Pembebasan Islam Moro-MILF yang berhaluan keras menentang
pemerintahan Filipina.
Penduduk Moro banyak memeluk agama Islam dan telah berada jauh sebelum
kedatangan bangsa Spanyol. Dengan demikian, pegaruh tarik-menarik antara gerakan
pembebasan Moro dan Pemerintah Filipina (Blok Barat), cukup memberikan nuansa aktif dalam
pandangan ideologis masyarakat di Kepulauan Talaud.
Politik-kemasyarakatan
Kehidupan politik di wilayah perbatasan khususnya Miangas terdapat traditional element
yakni Ketua Tua-Tua Masyarakat (KTM) yang hingga kini merupakan wadah yang sangat
disegani dalam mengambil keputusan serta kebijakan untuk masyarakat adat daerah tersebut.
Pembelajaran politik di daerah ini dilakukan dengan hukum adat yang berlaku setempat
dan secara eksternal ditunjang oleh program berupa Latsitarda, Kuliah Kerja Nyata mahasiswa
Universitas Samratulangi dan Bintal Juang Mandiri atau Summer Class Program oleh Angkatan
Laut.

Ekonomi
Keadaan ekonomi masyarakat di Miangas bertumpu pada hasil laut dan kelapa. Saat ini,
dengan masuknya nelayan-nelayan asing maka banyak nelayan lokal kekurangan penghasilan
dan penangkapan ikan. Usaha BIMP-EAGA tidak mampu menyentuh kehidupan ekonomi
masyarakat setempat.
Jika mau dibandingkan Filipina telah mengembangkan sekitar 100 jenis pemanfaatan
pohon kelapa dan telah mendapat lisensinya, sedangkan di Indonesia khususnya Sulawesi
Utara termasuk Kepulauan Sangihe dan Talaud belum mendayagunakan potensi kelapa
sepenuhnya. Perlu dicatat, bahwa ada usaha khusus dilakukan oleh Peneliti UGM (2001)
tentang pemanfaatan lemak jenuh dari minyak kelapa (virgin coconut oil) yang dilakukan
terhadap 50 petani kelapa di Yogyakarta dengan kualitas terjamin dan memperoleh harga
Rp.10.000.-per botol (kajian;2002).

Mengintip Perbatasan Indonesia-Filipina


Kehidupan masyarakat di pulau terluar perbatasan RI-Filipina sangat memprihatinkan.
Pemerintah sendiri kurang memperhatikan kesejahteraan warga di empat pulau tersebut, yaitu
pulau Marore dan Miangas. Contohnya, belum tersedianya elpiji 3 kg dan suplai BBM yang
sangat minim.
Usai sekolah, anak-anak perbatasan menunggu orang tuanya pulang memburu ikan Hiu.

Penduduk Pulau Miangas, Walau tinggal di perbatasan mereka tidak pernah meninggalkan
ibadah.
Ibadah dilakukan di sebuah gereja di Pulau Miangas, satu-satunya gereja di Pulau tersebut.

Mata pencaharian penduduk Pulau Miangas adalah petani kopra. Hal ini dilakukan karena
penduduk Pulau Miangas tidak lagi melaut karena BBM Mahal mencapai Rp 25.000/liter
Penduduk Pulau Miangas dengan tumpukan drum BBM kosong. Hanya berharap dan
menunggu suplai dari Pertamina.

TNI AL KRI Sultan Nuku, penjaga perbatasan Indonesia-Filipina.


Penduduk pulau Miangas memasak menggunakan kayu bakar. Belum sampainya gas 3 kg dan
minyak tanah yang langka serta mahal menjadi faktor penggunaan kayu bakar.

Prasasti pulau Miangas.


Pulau Marore dan dermaga.

TNI AL KRI Sultan Nuku, penjaga perbatasan Indonesia-Filipina.

Anda mungkin juga menyukai