Anda di halaman 1dari 20

FAKTOR DISPARITAS WILAYAH PATI UTARA DAN WILAYAH PATI SELATAN DI

KABUPATEN PATI

Tugas Mata Kuliah :


METODE ANALISIS PERENCANAAN DAN PEMBANGUNAN
(PWK 607)

Dosen Pengampu :
Prof. Dr. Ir.rer nat. Imam Buchori, ST.

Oleh :

Agus Sugianto 21040116410046


Bramantiyo Marjuki 21040116410036

PROGRAM PASCASARJANA
MAGISTER PEMBANGUNAN WILAYAH DAN KOTA
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2016

1
I. PERMASALAHAN

Terbitnya UU no 13 tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah - daerah


Kabupaten Dalam Lingkungan Provinsi Jawa Tengah menjadi dasar terbentuknya
Kabupaten Pati. Secara administratif Kabupaten Pati terdiri dari 21 kecamatan, 406
desa dan kelurahan dengan luas wilayah 150.368 Ha. Isu pemecahan atau
pembentukan Kabupaten Pati Selatan mengemuka pada tahun 2013 dan 2014.
Berkembangnya isu ini sebenarnya tidak terlepas dari disparitas wilayah yang terjadi di
Kabupaten Pati.

Dalam perkembangannya, terminologi wilayah Pati Utara dan wilayah Pati


Selatan belum banyak digunakan secara resmi dalam pembagian wilayah. Terminologi
yang digunakan biasanya mengacu kepada kesamaan kondisi baik itu geografis,
pertanian, sosial, transportasi, infrastruktur dan lain - lain. Pembagian tidak resmi dua
wilayah Kabupaten pati didasarkan pada posisi dari jalan nasional Pantai Utara Jawa
(Pantura) yang membelah Kabupaten Pati. Wilayah Pati sisi utara jalan yang dikenal
dengan Pati Utara terdiri dari 12 kecamatan dan wilayah sisi selatan jalan yang dikenal
dengan wilayah Pati Selatan terdiri dari 9 kecamatan.

Wilayah pati utara meliputi Kecamatan Margorejo, Kecamatan Pati, Kecamatan


Juwana, Kecamatan Gembong, Kecamatan Tlogowungu, Kecamatan Gunungwungkal,
Kecamatan Trangkil, Kecamatan Wedarijaksa, Kecamatan Margoyoso, Kecamatan
Tayu, Kecamatan Dukuhseti dan kecamatan Cluwak. Topografi Pati Utara berupa
lereng kaki Gunung Muria, dataran rendah dan kawasan pantai. Daerah pertaniannya
lebih subur di banding Pati Selatan. Wilayah ini berbatasan langsung dengan wilayah
dua kabupaten yaitu Kabupaten Kudus dan Kabupaten Jepara.

Wilayah pati selatan meliputi Kecamatan batangan, Kecamatan Jaken,


Kecamatan Jakenan, Kecamatan Pucakwangi, Kecamatan Tambakromo, Kecamatan
Gabus, Kecamatan Kayen, Kecamatan Sukolilo dan winong. Karakteristik topografisnya
merupakan daerah pesisir (di kecamatan Batangan) dan daerah perbukitan berbatuan
kapur. Jika dibandingkan pada waktu musim kemarau, wilayah pati selatan akan
cenderung lebih panas dan kering dibandingkan dengan pati utara yang lebih sejuk
dan subur. Wilayah ini berbatasan dengan dengan kabupaten Rembang, Kabupaten
Blora, Kabupaten Grobogan dan Kabupaten Kudus.

2
Kesimpulan awal yang menjadi penyebab disparitas 2 (dua) wilayah ini adalah
terjadi kesenjangan pembangunan infrastruktur di Kabupaten Pati. Sejak tahun 2013
Pemerintah Kabupaten Pati menerapkan program Noto Projo, Mbangun Desa dalam
rangka mengatasi kesenjangan infrastruktur. Dana stimulan pembangunan
infrastruktur perdesaan digelontorkan ke semua desa. Hasil evaluasi pada tahun 2015
kondisi infrastruktur di 2 (dua) wilayah relatif setara. Namun demikian beberapa desa
di kedua wilayah masih mengalami kebingungan dalam penyerapannya. Contohnya
Desa Grogolsari (kecamatan Pucakwangi) wilayah Pati selatan dan desa Kedungsari
(Kecamatan Tayu) wilayah Pati utara.

Dalam kajian ini, akan di analisis hal- hal apa saja yang menjadi penyebab
disparitas 2 (dua) wilayah di Kabupaten Pati dengan menggunakan analisis faktor. Data
yang digunakan untuk analisis adalah data dalam terbitan Kecamatan dalam angka
tahun 2015 dan Pati dalam angka 2015. Variabel yang digunakan dalam kajian terdiri
dari:

1. Geografis, meliputi Jarak kota kecamatan terhadap Kota Pati sebagai pusat
pemerintahan dan Luas lahan sawah.
2. Pemerintahan, meliputi status desa yaitu desa swasembada.
3. Kependudukan, data kependudukan yang akan digunakan adalah jumlah
penduduk, usia produktif, jumlah kepala keluarga miskin dan jumlah penduduk
berprofesi sebagai petani.
4. Sosial akan dilihat dari jumlah fasilitas SMA & SMK dan jumlah fasilitas
kesehatan.
5. Ekonomi, yang akan dilihat dari data Pendapatan Asli Desa.
6. Pertanian, data yang digunakan adalah luas lahan panen.
7. Jasa dan Perdagangan, data yang digunakan jumlah pasar dan bank.

II. METODE

II.1 Analisis Faktor *).

Analisis faktor adalah teknik analisis dalam statistik yang digunakan untuk (1)
mengurangi variabel-variabel yang saling berkorelasi dari data dan menggantikannya
dengan variabel yang lebih sederhana sehingga lebih mudah diinterpretasi; dan (2)

3
mengidentifikasi hubungan yang tersembunyi dari berbagai variabel yang dilibatkan
dalam analisis. Proses pengurangan variabel dilakukan dengan cara membuat
kombinasi linier dari variabel-variabel (disebut komponen atau faktor) yang
menyimpan sebanyak mungkin informasi dari variabel-variabel tersebut. Kemudian
proses dilanjutkan untuk memperoleh komponen kedua yang menyimpan informasi
yang tidak tertampung dari komponen pertama, dan seterusnya sampai semua
informasi dari variabel awal masuk dalam salah satu komponen. Jumlah komponen
akhir yang dihasilkan biasanya lebih sedikit dari jumlah variabel yang dilibatkan, oleh
karena itu analisis faktor dianggap merupakan metode terbaik untuk mengetahui
hubungan antar variabel tanpa harus menganalisis hubungan antar variabel secara
langsung satu demi satu.

II.2 Principal Component Analysis

Analisis faktor yang digunakan untuk memahami perbedaan kemajuan wilayah


antara Pati Utara dan Pati Selatan adalah analisis faktor menggunakan metode
Principal Component Analysis (PCA). PCA umumnya digunakan untuk
menyederhanakan dan mengidentifikasi sejumlah variabel yang saling berkorelasi,
sehingga lebih mudah dipahami dan diinterpretasi. PCA digunakan terutama apabila
analisis dilakukan menggunakan banyak variabel (dimensi) sehingga tidak
memungkinkan untuk ditampilkan dalam representasi grafis. Kelebihan utama PCA
dibanding metode lain adalah proses penyederhanaan variabel (dimensi) data
dilakukan tanpa mengurangi informasi awal yang tersimpan dalam setiap variabel.

II.3 Prosedur Analisis Faktor Principal Component Analysis.

Principal Component Analysis dilaksanakan melalui urutan tahapan yang


disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Prosedur Analisis Faktor

Standarisasi Data Deskripsi faktor Ekstraksi Faktor

Interpretasi Komponen Skor Faktor Rotasi Faktor

4
II.3.1 Standarisasi Data

Standarisasi data merupakan tahap awal dari analisis faktor. Data interval/rasio
yang menjadi masukan dalam analisis faktor mungkin mempunyai satuan dan rentang
nilai yang berbeda, yang berimpikasi pada perbedaan variansi. Agar perbedaan variansi
ini tidak berpengaruh terhadap hasil perhitungan, perlu dilakukan standarisasi nilai
dalam bentuk Zscore.

II.3.2 Deskripsi faktor

Deskripsi faktor dilakukan untuk mencari hubungan kolinier antar variabel


sebelum analisis faktor dilakukan. Diasumsikan setiap variabel di dalam dimensi yang
sama atau berbeda harus saling berkorelasi satu sama lain. Jika ada variabel yang tidak
berkorelasi dengan variabel lain, maka disarankan variabel tersebut tidak dilibatkan
dalam analisis faktor. Selain itu, terjadinya korelasi yang sangat tinggi atau korelasi
sempurna (singularitas) harus dihindari karena kontribusi antar faktor menjadi tidak
dapat ditentukan. Untuk mengidentifikasi tidak adanya korelasi atau korelasi yang
terlalu tinggi (R > 0,8), maka dalam tahap ini dibuat matriks korelasi yang hasilnya
dijadikan panduan untuk mengidentifikasi dua hal tersebut. Selain itu perlu juga
dipertimbangkan adanya multikolinieritas. Multikolinieritas secara umum tidak terlalu
berpengaruh pada analisis faktor, akan tetapi multikolinieritas yang tinggi antar
variabel sebisa mungkin harus dihindari. Multikolinieritas dapat dideteksi dengan
melihat nilai determinan dari hasil perhitungan matriks korelasi.

Nilai determinan merupakan representasi area sebaran sampel dalam diagram


pencar (scatterplot). Variabel yang memiliki korelasi tinggi (singular) akan membentuk
area plot yang hampir lurus sehingga tidak mempunyai lebar. Lebar ini
mengindikasikan nilai determinan sehingga nilainya adalah 0. Sementara jika variabel
tidak berkorelasi satu sama lain, maka akan membentuk area sebaran sampel yang
elips membulat sehingga dapat diketahui lebar areanya. Untuk variabel yang nilai
korelasinya mendekati 0 maka nilai determinannya akan mendekati 1.

Analisis faktor mensyaratkan setiap variabel memiliki variansi umum (common


variance) karena di dalam analisis faktor setiap variabel ingin diketahui kontribusi
variansinya terhadap variabel lain. Variansi umum ini disebut communality dan dapat

5
dihitung dari matriks korelasi. Variabel yang hanya memiliki variansi umum akan
mempunyai nilai communality sebesar 1, sementara variabel yang hanya memiliki
variansi spesifik untuk variabel itu sendiri akan mempunyai nilai 0. Panduan umum
tentang communalities ini adalah setiap variabel dalam analisis faktor harus memiliki
nilai communality minimal 0,6. Jika ada variabel yang memiliki nilai di bawah itu, maka
variabel tersebut dianggap tidak layak dilibatkan dalam analisis. Proses pemilahan
variabel ini dilanjutkan sampai seluruh variabel yang dilibatkan memiliki nilai
communality minimal 0,6.

Selain itu pada tahap ini perlu dilakukan uji kelayakan jumlah sampel
menggunakan KMO Test dan Bartletts test of Sphericity. Jika nilai KMO lebih dari 0,5
maka sampel dianggap layak untuk diolah dalam analisis faktor. Nilai 0
mengindikasikan bahwa jumlah dari korelasi parsial relatif lebih besar daripada jumlah
korelasi. Hal ini mengindikasikan adanya difusi di dalam pola korelasi, sehingga analisis
faktor dianggap tidak layak. Nilai KMO yang mendekati 1 mengindikasikan pola korelasi
yang relatif kompak, sehingga analisis faktor akan memberikan hasil yang dapat
dipercaya. Secara umum panduan untuk mengukur kelayakan analisis faktor
berdasarkan Nilai KMO adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Tingkat Kepercayaan KMO Test

Nilai KMO Tingkat Kepercayaan


0,5 0,7 Menengah
0,7 0,8 Baik
0,8 0,9 Baik Sekali
> 0,9 Sangat Baik

Pengujian hasil KMO secara individual per variabel dapat dilakukan dengan cara
mengamati Anti Image Matrix. Elemen diagonal (ditandai dengan huruf a) dari Anti
Image Matrix merupakan Nilai KMO per variabel, sehingga apabila ditemukan nilai
KMO yang tidak memuaskan, maka harus dilakukan pengamatan hasil Anti Image
Matrix. Nilai lajur diagonal pada Anti Image Matrix untuk setiap variabel harus sama
dengan atau lebih dari 0,5. Jika terdapat variabel dengan nilai kurang dari 0,5 maka
variabel tersebut harus dikeluarkan dari analisis. Pengeluaran variabel akan mengubah
hasil perhitungan KMO, sehingga inspeksi ulang nilai KMO dan Anti Image Matrix

6
mutlak dilakukan. Adapun Bartlett Test akan memberikan informasi signifikansi
sampel, dimana jika nilainya kurang dari 0,05, maka analisis faktor akan dapat
memberikan hasil pengolahan data yang dapat dipercaya.

II.3.3 Ekstraksi Faktor

Pada tahap ini dilakukan proses ekstraksi faktor yang menghasilkan Nilai Eigen
yang digunakan untuk merotasi faktor. Pada tahap ini dapat dilakukan pengujian
antara menggunakan Nilai Eigen minimal yang direkomendasikan Kaiser, yaitu 1, atau
menggunakan Nilai Eigen yang ditentukan sendiri. Jika kedua uji memberikan jumlah
komponen (factors) yang sama, maka analisis dapat dilanjutkan. Namun jika tidak,
maka harus dilakukan observasi terhadap hasil Communalities untuk kemudian
ditentukan sendiri berapa Nilai Eigen minimal yang digunakan.

II.3.4 Rotasi Faktor

Rotasi faktor adalah proses transformasi sumbu yang memaksimalkan


pembacaan data setiap variabel pada salah satu faktor yang diekstraksi, sembari
meminimalkan pembacaan pada faktor yang lain. Rotasi dijalankan dengan cara
mengubah nilai absolut dari setiap variabel sambil mempertahankan nilai pembeda
setiap variabel tetap konstan. Pada tahap ini dapat dipilih metode rotasi yang akan
digunakan. Metode rotasi varimax, quartimax dan equimax merupakan rotasi
orthogonal, sedangkan oblimin dan promax merupakan rotasi oblique. Jika faktor yang
dihasilkan diperkirakan independen satu sama lain, maka rotasi yang digunakan adalah
rotasi orthogonal, sementara jika secara teori faktor yang dihasilkan memiliki
kemungkinan adanya korelasi, maka rotasi yang dipilih adalah rotasi oblique.

Tahap pengujian yang cukup penting dalam aspek rotasi faktor adalah perlu
adanya pemastian komponen yang dihasilkan tidak memiliki korelasi satu sama lain.
Untuk itu perlu dibuat Component Transformation Matrix yang ditujukan untuk
melihat korelasi antar komponen.

II.3.5 Skor Faktor

Skor faktor adalah nilai indeks dari hasil analisis faktor. Skor faktor atau sering
disebut sebagai factor loading berkisar antara -1 dan 1 yang menunjukkan derajat

7
korelasi antar variabel di dalam satu kelompok faktor (komponen). Interpretasi skor
faktor pada dasarnya sama dengan interpretasi Korelasi Pearson, dimana nilai 1
menunjukkan hubungan kuat berlawanan antar faktor di dalam komponen yang sama,
nilai 0 menunjukkan ketiadaan hubungan antar faktor di dalam komponen, dan nilai +1
menunjukkan hubungan kuat searah antar faktor di dalam komponen.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

III.1 Data Mentah

Berikut ini adalah data mentah dari publikasi Pati Dalam Angka Kecamatan
Tahun 2015 yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik Kabupaten Pati. Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, hanya beberapa variabel yang dilibatkan karena tidak semua
variabel tersedia datanya untuk setiap kecamatan.

Tabel 1. Tabel Data Mentah dari Publikasi Pati Dalam Angka Tahun 2015 Per
Kecamatan

III.2 Hasil Pengolahan SPSS dan Interpretasi Hasil Pengolahan

III.2.1 Standarisasi Data

Hasil deskripsi statistik disajikan pada Tabel 2. Disini dapat dilihat adanya
perbedaan nilai variansi dan standar deviasi antar variabel, sehingga agar proses
analisis faktor dapat berjalan secara konsisten, maka data perlu distandarisasi dalam
bentuk zscore. Hasil zscore kemudian digunakan sebagai masukan dalam analisis
faktor. Dari hasil descriptive statistics juga dapat diketahui bahwa semua sampel yang
dilibatkan (N) valid dan tidak ada yang missing.

8
Tabel 2. Statistik Deskriptif

III.2.2 Matriks Korelasi

Hasil matriks korelasi disajikan pada Tabel 3. Matriks korelasi merupakan tabel
matriks yang berisi hasil korelasi antar variabel yang dilibatkan dalam analisis. Matriks
ini menunjukkan variabel mana yang mempunyai korelasi satu sama lain. Hasil
kalkulasi determinan pada matriks menghasilkan nilai determinan sebesar 0,001, yang
mengindikasikan bahwa multikolinieritas bukan merupakan masalah untuk matriks ini,
sehingga analisis faktor dapat dilanjutkan.

Tabel 3. Hasil Matriks Korelasi

Hasil matriks korelasi diatas dapat diinterpretasikan sebagai berikut:

1. Hubungan Luas Lahan Sawah dengan Variabel yang lain.

Hubungan Luas Lahan Persawahan dengan jarak wilayah ke kota Pati


menunjukkan bahwa semakin dekat jarak wilayah yang memiliki luas lahan sawah

9
dengan kota pati akan membawa dampak positif. Namun hubungan ini tidak cukup
kuat yang terlihat dari angka sig 0,290>0,05. Adapun hubungan Luas Lahan
Persawahan dengan Pasar menunjukkan semakin luas lahan sawah maka semakin
dekat dengan pasar, yang terlihat pada baris sig. (1- tailed) dimana korelasi antar
variabel tersebut memiliki p-value sebesar 0,003<0,05. Hubungan Luas Lahan
Persawahan dengan fasilitas seperti Stasiun Pengisian BBM, Bank, Fasilitas Pendidikan
dan Fasilitas Kesehatan menunjukkan di daerah yang banyak lahan persawahan juga
akan jarang di temui fasilitas. Terkait dengan aspek demografi, hubungan Luas Lahan
Persawahan dengan KK Miskin menunjukkan jika lahan persawahan cukup luas maka
yang bertempat tinggal di daerah itu terdapat banyak Keluarga miskinnya. Untuk
hubungan dengan Usia Produktif hubungannya juga tidak kuat, sehingga dapat
disimpulkan bahwa usia produktif tidak hanya tinggal di daerah pertanian saja.
Demikian pula hubungan Luas lahan persawahan dengan Desa Swasembada
menunjukkan status desa swasembada tidak berhubungan dengan keberadaan dan
luas lahan pertanian. Hubungan ini diperkuat dengan ditemukannya hubungan Luas
Lahan Persawahan dengan Pendapatan Asli Daerah (PAD), dimana semakin luas lahan
sawah ternyata kontribusinya terhadap PAD sangat kecil.

2. Hubungan Jarak dengan Kota Pati dengan Variabel yang lain.

Hubungan Jarak Dengan Kota Pati dengan Bank menunjukkan bahwa semakin
jauh dengan jarak kota pati, berbanding lurus dengan jumlah fasilitas yang ada. Berarti
semakin dekat dengan kota pati semakin banyak jumlah fasilitas. Dilihat dari aspek
demografi, hubungan Jarak Dengan Kota Pati dengan Kk Miskin berada pada zona
positif, walau tidak terlalu kuat. Hasil ini dapat diartikan bahwa semakin dekat jarak
wilayah kecamatan dengan Kota Pati penduduk / miskin semakin banyak walau
hubungannya nampak tidak signifikan. Demikian pula untuk aspek Usia Produktf
dimana hubungannya cukup kuat dan negatif yang berarti usia produktif banyak yang
tinggal di wilayah yang jauh dari Kota Pati. Terkait pendapatan daerah hubungan Jarak
Dengan Kota Pati dengan PAD menunjukkan bahwa wilayah yang jauh dengan kota
pati memiliki PAD yang kecil sedangkan semakin dekat dengan kota Pati memiliki PAD
yang lebih baik. Untuk hubungan Jarak Dengan Kota Pati dengan Pertanian/ Luas Lahan
menunjukkan luas panen wilayah atau kecamatan yang dekat dengan Kota Pati
memiliki hubungan yang cukup kuat dan positif. Artinya jarak dengan kota Pati
memiliki peranan terhadap luasan lahan yang di panen.

3. Hubungan Bank dengan Variabel yang lain.

Hubungan Bank dengan Pasar menunjukkan Hubungan negatif lemah, artinya


jumlah Bank tidak tergantung jumlah pasar. Adapun hubungan Bank dengan aspek
demografi KK Miskin menunjukkan hubungan positif namun tidak cukup kuat. Artinya
mungkin ada sebagian Keluarga Miskin yang menggantungkan pada Bank untuk
mencari pinjaman. Hal ini selaras juga dengan hubungan Bank dan Kelompok Usia

10
Produktif dimana hubungannya positif, yang diartikan pengguna Bank adalah
kelompok Usia Produktif. Hubungan Bank dengan fasilitas penyediaan energy (BBM),
kesehatan dan pendidikan menunjukkan hubungan positif. Artinya aktivitas di fasilitas
tersebut memerlukan keberadaan bank, baik untuk tabungan para pekerja dan pelajar
atau pencarian modal investasi. Hubungan Bank dengan PAD menunjukkan bank
punya pengaruh terhadap peningkatan PAD, walaupun tidak signifikan. Untuk
hubungan Bank dengan Pertanian (Luas lahan Panen) menunjukkan hubungan negatif
dan signifikan, yang berarti keberadaan bank terletak jauh dari daerah pertanian dan
pertanian sendiri tidak terlalu tergantung pada bank. Terakhir hubungan Bank dengan
Desa Swasembada menunjukkan hubungan kuat dan positif yang berarti Desa
Swasembada sudah memiliki akses perbankan yang baik.

4. Hubungan Pasar dengan Variabel yang lain.

Hubungan Pasar dengan aspek demografi berupa variabel KK Miskin


menunjukkan hubungan kuat, positif dan signifikan. Hubungan ini mungkin
menunjukkan adanya ketergantungan keluarga miskin terhadap keberadaan pasar
sebagai sarana mencari barang, jasa dan pekerjaan, sebagaimana nampak juga dari
hubungan dengan variabel Usia Produktif yang ditermukan adanya korelasi, walaupun
tidak signifikan. Untuk hubungan Pasar dengan PAD diperoleh kesimpulan jumlah
pasar tidak terlalu berkontribusi pada PAD. Terkait hubungan Pasar dengan
produktivitas pertanian. Nilai ini menunjukkan hubungannya positif dan kuat, dimana
keberadaan pasar berpengaruh luas panen untuk menjual hasilnya. Dan terakhir,
Hubungan Pasar dengan Desa Swasembada menunjukkan hubungannya negatif dan
tidak signikan.

5. Hubungan KK Miskin dengan Variabel yang lain.

Hubungan KK Miskin dengan PAD berada pada zona negatif dimana semakin
banyak KK miskin yang ada sumbangannya terhadap PAD kecil. Adapun hubungan KK
Miskin dengan Pengisian Stasiun BBM pada zona positif dan lemah dimana KK miskin
tidak banyak menggunakan atau mampu mengakses BBM akibat kemiskinannya.
Demikian pula hubungan KK Miskin dengan Fasilitas Kesehatan dan Pendidikan bera
pada zona positif kurang, dimana semua orang memerlukan fasilitas kesehatan dan
pendidikan, namun akses ke fasilitas tersebut lemah. Hubungan KK Miskin dengan
Pertanian (Luas Lahan Panen) menunjukkan bahwa keluarga miskin sebagian besar
berprofesi sebagai petani dan tergantung hasil panen. Lebih lanjut, hubungan KK
Miskin dengan usia produktif menunjukkan bahwa keluarga miskin sebagian besar
masih berusia produktif. Terakhir, hubungan KK Miskin dengan Desa menunjukkan
bahwa keluarga miskin sebagian besar tinggal di perdesaan.

11
6. Hubungan PAD dengan Variabel yang lain.

Hubungan PAD dengan Stasiun Pengisian BBM menunjukkan hubungan positif


dan cukup kuat, dimana suatu wilayah yang memiliki PAD kuat akan menggunakan
energi yang besar terutama BBM akibat aktifitas warganya. Adapun hubungan PAD
dengan Fasilitas Kesehatan berada pada zona positif namun kurang kuat, yang berarti
wilayah dengan PAD besar belum tentu sebaran fasilitas kesehatannya merata.
Hubungan PAD dengan SMA menunjukkan hubungan yang positif dimana wilayah
wilayah yang sebaran SMA SMKnya besar biasanya cukup maju dan berperan
mendongkrak nilai PAD. Hubungan PAD dengan Pertanian menunjukkan hubungan
negatif dan cukup kuat, Hasil ini mengindikasikan besaran hasil pertanian yang dipanen
kurang berkontribusi terhadap PAD. Hubungan PAD dengan Usia Produktif berada
pada zona positif tetapi tidak signifikan. Artinya, peran usia produktif terhadap PAD
ada, tapi kurang signifikan. Terakhir, hubungan PAD dengan Desa Swasembada
menunjukkan hubungannya positif walaupun tidak terlalu kuat, yang artinya status
desa swasembada tidak berperan pada jumlah PAD wilayah tersebut.

7. Hubungan Stasiun Pengisian BBM dengan Variabel yang lain.

Hubungan Stasiun pengisian BBM dengan Fasilitas Kesehatan menunjukkan


bahwa banyaknya fasilitas kesehatan akan berdampak kepada penggunaan BBM
sehingga kebutuhan akan Stasiun Pengisian BBM juga besar. Demikian pula untuk
hubungan dengan fasilitas pendidikan juga besar. Hubungan Stasiun pengisian BBM
dengan Pertanian (Luas Lahan Panen) menunjukkan bahwa lahan pertanian yang tidak
diimbangi dengan banyaknya Stasiun Pengisian BBM, padahal dalam aktifitas
penjualan hasil panen/ transpotasinya membutuhkan banyak BBM. Hubungannya Kuat
dan negatif. Hubungan Stasiun pengisian BBM dengan Usia Produktif menunjukkan
bahwa aktifitas orang pada usia produktif, seperti bekerja dan sekolah membutuhkan
energi yang banyak, maka adanya Stasiun Pengisian BBM akan sangat membantu
menjalankan aktifitas mereka, sehingga hubungannya kuat dan positif. Hubungan
Stasiun pengisian BBM dengan Status Desa Swasembada menunjukkan bahwa aktifitas
manusia dalam mewujudkan desa swasembada sangat banyak dan beragam, sehingga
membutuhkan energi yang banyak. Dengan adanya Stasiun Pengisian BBM akan sangat
membantu menjalankan aktifitas mereka. Hubungannya cukup Kuat dan positif.

8. Hubungan Fasilitas Kesehatan dengan Variabel yang lain.

Hubungan Fasilitas Kesehatan dengan SMA SMK menunjukkan hubungan kuat


dan positif. Dari hasil ini dapat diinterpretasikan bahwa keberadaan fasilitas
pendidikan dan pelayanan kesehatan mengumpul di wilayah tertentu. Untuk
hubungan Fasilitas Kesehatan dengan Pertanian (Luas Lahan Panen) menunjukkan
hubungan yang negatif dan tidak signifikan, yang dapat diinterpretasikan bahwa
fasilitas kesehatan kurang tersedia di lahan pertanian berproduktivitas tinggi. Adapun

12
hubungan Fasilitas Kesehatan dengan Usia Produktif menunjukkan akses terhadap
fasilitas dan pelayanan kesehatan digunakan oleh kelompok usia produktif dan sebaran
fasilitasnya mengikuti sebaran kelompok usia produktif. Terakhir, hubungan Fasilitas
Kesehatan dengan Status Desa Swasembada menunjukkan hubungan yang positif kuat.
Hal ini berarti Desa Swasembada di Kabupaten Pati telah memiliki jumlah fasilitas
kesehatan yang cukup.

9. Hubungan SMA SMK dengan Variabel yang lain.

Hubungan jumlah fasilitas pendidikan dengan Pertanian (Luas Lahan Panen)


menunjukkan hubungan yang cukup kuat dan negatif, artinya sebaran fasilitas
pendidikan (SMA/SMK) tidak berada di daerah pertanian. Adapun hubungan SMA -
SMK dengan Usia Produktif menunjukkan hubungan yang kuat dan positif, artinya
fasilitas pendidikan dibangun pada lokasi dimana kelompok usia produktif cukup
banyak, atau kelompok usia produktif di Pati sudah terpenuhi pelayanan
pendidikannya. Terakhir, hubungan fasilitas pendidikan dengan Desa Swasembada
menunjukkan hubungan yang kurang kuat dan positif, artinya Status Desa
Swasembada tidak terlalu berpengaruh terhadap keberadaan fasilitas pendidikan.

10. Hubungan Pertanian (Luas Lahan Panen) dengan Variabel yang lain.

Hubungan Pertanian (Luas Lahan Panen) dengan usia produktif menunjukkan


hubungan yang negatif dan kuat, yang berarti pada saat lahan dipanen, tenaga kerja
usia produktif sedikit. Sementara hubungan Pertanian (Luas Lahan Panen) dengan
Desa Swasembada menunjukkan hubungan negatif yang lemah yang berarti tidak ada
hubungan antara status swasembada dengan luas panen yang dihasilkan.

11. Hubungan Usia Produktif dengan Variabel yang lain.

Hubungan Usia Produktif dengan desa swasembada menunjukkan hubungan


yang positif. Hal ini berarti kelompok usia produktif sangat berperan dalam
mewujudkan desa swasembada.

III.2.3 Hasil KMO dan Bartletts Test

Hasil Tes KMO dan Bartlett disajikan pada Tabel 4. Berdasarkan Bartletts Test
of Sphericity dengan Chi-Square 163,465 (df 66) dan nilai sig = 0,000 < 0,05
menunjukkan bahwa matriks korelasi bukan merupakan matriks identitas sehingga
dapat dilakukan analisis komponen utama. Di samping itu, Nilai KMO yang dihasilkan
adalah sebesar 0.683 serta p-value sebesar 0,000 (<0,05), nilai tersebut jatuh dalam

13
kategori menengah sehingga layak untuk kepentingan analisis faktor dan dapat
dianalisis lebih lanjut

Tabel 4.

III.2.4 Hasil Pengujian Matriks Anti Image

Selain hasil KMO and Bartlett test, pengujian variabel juga dilakukan
menggunakan Anti Image matrices untuk mengetahui apakah variabel variabel
secara parsial layak untuk dianalisis dan tidak perlu dikeluarkan. Berdasarkan Tabel 5 di
bawah, terlihat bahwa dari 12 variabel yang akan dianalisis, semua variabel memiliki
nilai MSA yang memenuhi syarat (dapat dilihat pada output yang bertanda a pada
kolom Anti-Image Correlation), yaitu nilainya > 0,5.

Tabel 5. Hasil Matriks Anti Image

III.2.5 Hasil Pengujian Communalities

Pengujian communalities merupakan langkah pengujian terakhir sebelum


dilakukan interpretasi hasil rotasi matriks dan komponen yang terbentuk. Hasil yang
diperoleh (Tabel 5) menunjukkan bahwa 12 variabel yang digunakan mempunyai nilai

14
communalities yang besar (> 0.5). Hal ini mengindikasikan bahwa keseluruhan variabel
yang digunakan memiliki hubungan yang kuat dengan faktor yang terbentuk. Secara
umum, semakin besar nilai dari communalities maka semakin baik analisis faktor,
karena adanya karakteristik variabel asal yang diwakili.

Tabel 6. Hasil Perhitungan Communalities

III.2.6 Hasil Perhitungan Total Variance Explained dan Screeplot.

Total Variance Explained menunjukkan besarnya persentase keragaman total


yang mampu diterangkan oleh keragaman faktor - faktor yang terbentuk, selain juga
terdapat nilai Eigenvalue dari tiap-tiap faktor yang terbentuk. Dari hasil perhitungan,
jumlah faktor yang terbentuk ada 4 faktor. Faktor 1 memiliki Eigenvalue sebesar4,915
Faktor 2 sebesar 2,876, faktor 3 sebesar 1,192 dan Faktor 4 sebesar 1,014. Untuk
menentukan berapa komponen/faktor yang dipakai agar dapat menjelaskan
keragaman total maka dilihat dari besar nilai Eigenvalue-nya, komponen dengan
Eigenvalue > 1 adalah komponen yang dipakai. Kolom % variance menunjukkan
persentase kumulatif variansi yang dapat dijelaskan oleh faktor yang terbentuk.
Besarnya keragaman yang mampu diterangkan oleh Faktor 1 sebesar 40,96 persen,
sedangkan keragaman yang mampu dijelaskan oleh Faktor 2 sebesar 23, 968 persen,
Faktor 3 sebesar 9,934 persen dan 4 sebesar 8,451 persen. Keempat faktor mampu
menjelaskan keragaman total sebesar 83,312 persen. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa keempat faktor sudah cukup mewakili keragaman variabel
variabel asal karena memiliki total variansi yang terjelaskan lebih dari 80 persen.

15
Tabel 7. Hasil Perhitungan Total Variance Explained

Scree Plot adalah salah satu alternatif yang dapat digunakan untuk membantu
menentukan berapa banyak faktor yang akan terbentuk. Jika kurva masih curam, maka
komponen dapat ditambah. Jika kurva sudah landai, maka penambahan komponen
dapat dihentikan. Walaupun demikian penilaian curam/landai bersifat subjektif. Dari
scree plot pada Gambar 2 di bawah, terlihat pada saat komponen pertama terbentuk,
kurva masih menunjukkan lereng yang menurun ke bawah. Demikian pula juga pada
saat di titik ke-2, garis kurva masih menurun. Di titik ke-3 garis kurva masih menurun
namun sedikit melandai. Hal yang sama masih terjadi pada garis kurva ke 4. Setelah
melewati titik ke-4, garis kurva sudah mulai landau dansemakin ke kanan akan semakin
landai. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat empat komponen atau
faktor yang terbentuk.

Gambar 2. Hasil Screplot

16
III.2.7 Hasil Perhitungan Component Matrix dan Rotated Component Matrix

Tabel component matrix menunjukkan besarnya korelasi tiap variabel dalam


faktor yang terbentuk. Nilai nilai koefisien korelasi antara variabel dengan faktor -
faktor yang terbentuk (loading factor) dapat dilihat pada tabel Component Matrix.
Keempat faktor tersebut menghasilkan matrik loading faktor yang nilai-nilainya
merupakan koefisien korelasi antara variabel dengan faktor-faktor tersebut. Hasil
perhitungan Component Matrix disajikan pada Tabel 8

Tabel 8. Hasil Perhitungan Matriks Komponen

Konfigurasi susunan variabel di dalam empat komponen pada matriks


komponen sebelum dilakukan rotasi disajikan pada Tabel 9. Namun demikian hasil
pengelompokkan variabel dalam tiap faktor belum dapat diinterpretasikan dengan
jelas sehingga perlu dilakukan rotasi.

Tabel 9. Pengelompokan Variabel dalam komponen Sebelum Rotasi

Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor 4


1. Jumlah Bank 1. Luas lahan sawah 1. Jarak ke Kota Pati 1. Status Desa
2. Pendapatan Asli Desa 2. Jumlah pasar Swasembada
3. Jumlah Stasiun BBM 3. Jumlah KK miskin
4. Jumlah Fasilitas
Kesehatan
5. Jumlah SMA dan SMK
6. Jumlah penduduk yang
bekerja sebagai petani
7. Jumlah penduduk usia
produktif

17
Rotasi yang dipilih adalah Rotasi Varimax. Rotasi varimax adalah rotasi
orthogonal yang membuat jumlah varian faktor loading dalam masing-masing faktor
akan menjadi maksimum dimana nantinya peubah asal hanya akan mempunyai
korelasi yang tinggi dan kuat dengan faktor tertentu. Faktor yang dimaksud adalah
faktor yang korelasinya mendekati 1, yang secara otomatis memiliki korelasi yang
lemah dengan faktor yang lainnya (korelasinya mendekati 0). Hasil rotasi matriks
disajikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Hasil Perhitungan Matriks Komponen Terotasi

Konfigurasi susunan variabel di dalam empat komponen pada matriks


komponen setelah dilakukan rotasi disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Pengelompokan Variabel dalam komponen Setelah Rotasi

Faktor 1 Faktor 2 Faktor 3 Faktor 4


1. Jumlah Bank 1. Luas lahan sawah 1. Pendapatan Asli 1. Status Desa
2. Jumlah Stasiun BBM 2. Jarak ke Kota Pati Desa Swasembada
3. Jumlah Fasilitas 3. Jumlah pasar
Kesehatan 4. Jumlah KK miskin
4. Jumlah SMA dan SMK 5. Jumlah penduduk
5. Jumlah penduduk usia berprofesi petani
produktif

18
Hasil pengelompokan variabel dalam faktor setelah rotasi menunjukkan adanya pola
yang lebih dapat dijelaskan secara logis terkait disparitas antara Pati Utara dan Pati
Selatan. Hasil pengelompokan pada Faktor 1 menunjukkan adanya hubungan positif
kuat antara antara nilai indeks dengan variabel Jumlah Bank, Jumlah Stasiun BBM,
Jumlah Fasilitas Kesehatan, Jumlah SMA dan Jumlah Penduduk Usia Produktif, namun
menunjukkan hubungan negatif dengan Jumlah Petani. Hasil ini menunjukkan adanya
kecenderungan pergeseran mata pencaharian ke non pertanian yang ditunjang dengan
bertumbuhnya fasilitas pelayanan di kecamatan kecamatan tertentu. Faktor ini
selanjutnya disebut Faktor Sumberdaya Pembangunan. Adapun hasil pengelompokan
pada Faktor 2 menunjukkan adanya hubungan positif yang kuat antara nilai indeks
dengan variabel Luas Lahan Sawah, Jumlah Pasar, Jumlah KK Miskin, dan Jumlah
Penduduk Petani. Selain itu, nilai indeks pada faktor ini juga berhubungan positif
dengan variabel Jarak ke Kota Pati walaupun hubungannya tidak kuat. Hasil pada
Faktor 2 ini menunjukkan bahwa kebanyakan Petani di Pati tidak sejahtera. Faktor 2 ini
selanjutnya disebut Faktor Pengaruh Tingkat Kemiskinan.

Hasil pengelompokan pada Faktor 3 menunjukkan hanya variabel Pendapatan


Asli Desa yang berkorelasi positif dengan nilai indeks faktor. Namun pada faktor ini
juga ditemui hubungan negatif yang kuat dengan variabel Jarak ke Kota Pati. Hasil ini
mengindikasikan bahwa kecamatan kecamatan yang semakin jauh dari Kota Pati
akan memiliki PAD yang lebih besar. Hasil ini menunjukkan bahwa keberadaan Kota
Pati tidak terlalu banyak berpengaruh terhadap kemandirian wilayah dalam
menghasilkan keuntungan ekonomi. Faktor ini selanjutnya disebut Faktor Pendapatan
Asli Daerah. Nilai indeks pada Faktor 4 berkorelasi positif kuat dengan variabel Status
Desa Swasembada dan berkorelasi positif sedang dengan variabel Jumlah Fasilitas
Kesehatan. Hasil ini dapat diinterpretasikan bahwa kecamatan yang memiliki desa
dengan status swasembada lebih banyak juga memiliki jaminan kesehatan terhadap
warga yang lebih baik di Pati.

19
III.2.8 Hasil Perhitungan Component Transformation Matrix

Tabel Component Transformation Matrix berfungsi untuk mengidentifikasi


faktor yang terbentuk sudah tidak memiliki korelasi lagi satu sama lain (orthogonal).
Hasil Component Transformation Matrix disajikan pada Tabel 10. Bila dilihat dari table
Component Transformation Matrix, nilai nilai korelasi yang terdapat pada diagonal
utama berada di atas 0,5 yaitu 0,819; 0,914; 0,801; dan 0,813. Hasil ini menunjukkan
bahwa keempat faktor yang terbentuk sudah baik karena memiliki korelasi yang tinggi
pada diagonal utamanya.

Tabel 10. Hasil Perhitungan Matriks Transformasi Komponen

IV. KESIMPULAN

Dari hasil analisis faktor yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:

1.

*) Referensi Untuk Tahapan dan Metode Analisis Faktor disarikan dari:

Field, A. P. (2005). Discovering Statistics Using SPSS (2nd Edition). London: Sage.

20

Anda mungkin juga menyukai