Pembimbing
dr. MH. Sudjito, SpAn. KNA
C. ANESTESI SPINAL
Analgesi regional adalah suatu tindakan anestesi yang menggunakan obat
analgetik lokal untuk menghambat hantaran saraf sensorik, sehingga impuls nyeri dari
suatu bagian tubuh diblokir untuk sementara. Fungsi motorik dapat terpengaruh
sebagian atau seluruhnya, sedang penderita tetap sadar.
Analgesi spinal (anestesi lumbal, blok subarachnoid) dihasilkan bila kita
menyuntikkan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid di daerah antara
vertebra L2-L3 / L3-L4 (obat lebih mudah menyebar ke kranial) atau L4-L5 (obat lebih
cenderung berkumpul di kaudal).
Indikasi : anestesi spinal dapat digunakan pada hampir semua operasi abdomen
bagian bawah (termasuk seksio sesaria), perineum dan kaki. Anestesi ini memberi relaksasi
yang baik, tetapi lama anestesi didapat dengan lidokain hanya sekitar 90 menit. Bila
digunakan obat lain misalnya bupivakain, sinkokain, atau tetrakain, maka lama operasi
dapat diperpanjang sampai 2-3 jam.
Kontra indikasi : pasien dengan hipovolemia, anemia berat, penyakit jantung,
kelainan pembekuan darah, septikemia, tekanan intrakranial yang meninggi.
1. Untuk tujuan klinik, pembagian tingkat anestesi spinal adalah sebagai berikut:
a. Sadle back anestesi, yang kena pengaruhnya adalah daerah lumbal bawah dan
segmen sakrum.
b. Spinal rendah, daerah yang mengalami anestesi adalah daerah umbilikus / Th X di
sini termasuk daerah thoraks bawah, lumbal dan sakral.
c. Spinal tengah, mulai dari perbatasan kosta (Th VI) di sini termasuk thoraks
bawah, lumbal dan sakral.
d. Spinal tinggi, mulai garis sejajar papilla mammae, disini termasuk daerah thoraks
segmen Th4-Th12, lumbal dan sakral.
e. Spinal tertinggi, akan memblok pusat motor dan vasomotor yang lebih tinggi.
2. Teknik anestesi :
a. Perlu mengingatkan penderita tentang hilangnya kekuatan motorik dan berkaitan
keyakinan kalau paralisisnya hanya sementara.
b. Pasang infus, minimal 500 ml cairan sudah masuk saat menginjeksi obat anestesi
lokal.
c. Posisi lateral dekubitus adalah posisi yang rutin untuk mengambil lumbal pungsi,
tetapi bila kesulitan, posisi duduk akan lebih mudah untuk pungsi. Asisten harus
membantu memfleksikan posisi penderita.
d. Inspeksi : garis yang menghubungkan 2 titikl tertinggi krista iliaka kanan kiri
akan memotong garis tengah punggung setinggi L4-L5.
e. Palpasi : untuk mengenal ruangan antara 2 vertebra lumbalis.
f. Pungsi lumbal hanya antara L2-L3, L3-L4, L4-L5, L5-S1.
g. Setelah tindakan antiseptik daerah punggung pasien dan memakai sarung tangan
steril, pungsi lumbal dilakukan dengan penyuntikan jarum lumbal no. 22 lebih
halus no. 23, 25, 26 pada bidang median dengan arah 10-30 derajat terhadap
bidang horisontal ke arah kranial pada ruang antar vertebra lumbalis yang sudah
dipilih. Jarum lumbal akan menembus berturut-turut beberapa ligamen, yang
terakhir ditembus adalah duramater subarachnoid.
h. Setelah stilet dicabut, cairan LCS akan menetes keluar. Selanjutnya disuntikkan
larutan obat analgetik lokal ke dalam ruang subarachnoid. Cabut jarum, tutup
luka dengan kasa steril.
i. Monitor tekanan darah setiap 5 menit pada 20 menit pertama, jika terjadi hipotensi
diberikan oksigen nasal dan ephedrin IV 5 mg, infus 500-1000 ml NaCl atau
hemacel cukup untuk memperbaiki tekanan darah.
3. Obat yang dipakai untuk kasus ini adalah :
Bupivakain
Bupivakain (Decain, Marcain) adalah derivat butil yang 3 kali lebih kuat dan
bersifat long acting (5-8 jam). Obat ini terutama digunakan untuk anestesi daerah
luas (larutan 0,25%-0,5%) dikombinasi dengan adrenalin 1:200.000. derajat
relaksasinya terhadap otot tergantung terhadap kadarnya. Presentase pengikatannya
sebesar 82-96%. Melalui N-dealkilasi zat ini dimetabolisasi menjadi pipekoloksilidin
(PPX). Ekskresinya melalui kemih 5% dalam keadaan utuh , sebagian kecil sebagai
PPX, dan sisanya metabolit-metabolit lain. Plasma t1/2 1,5-5,5jam. Untuk
kehamilan, sama dengan mepivakain dapat digunakan selama kehamilan dengan
kadar 2,5-5 mg/ml. Dari semua anestetika lokal, bupivakain adalah yang paling
sedikit melintasi plasenta.
Berat jenis cairan serebrospinalis (CSS) pada suhu 37 oC adalah 1,003-1,008.
Anestesi lokal dengan berat jenis yang sama dengan CSS disebut isobarik sedangkan
yang lebih berat dari CSS adalah hiperbarik. Anestesi lokal yang sering digunakan
adalah jenis hiperbarik yang diperoleh dengan mencampur anestesi lokal dengan
dekstrosa.
Anestesi Lokal Berat Jenis Sifat Dosis
Bupivakain (decain)
0,5% dalam air 1,005 Isobarik 5-20 mg (1-4 mL)
0,5% dalam dekstrosa 8,25% 1, 027 Hiperbarik 5-15 mg (1-3mL)
Pethidin
Pethidin merupakan narkotik yang sering digunakan untuk premedikasi.
Keuntungan penggunaan obat ini adalah memudahkan induksi, mengurangi
kebutuhan obat anestesi, menghasilkan analgesia pra dan pasca bedah, memudahkan
melakukan pemberian pernafasan buatan , dan dapat diantagonis dengan naloxon.
F. ANESTESI OBSTERI
Semua pasien yang masuk dalam obstetri sangat besar kemungkinan membutuhkan
anestesi yang baik yang direncanakan atau emergensi, oleh karena itu seorang ahli
anestesi seharusnya menyadari riwayat penyakit sekarang dan dahulu yang
berhubungan dengan pasien obstetri. Pasien yang membutuhkan pelayanan anestesi
untuk persalinan atau SC seharusnya mendapat evaluasi pre anestesi yang detail. Semua
wanita dalam persalinan harus dijaga nutrisi per oral dan diberi cairan iv biasanyaq
menggunakan cairan RL dalam dextrosa untuk mencegah dehidrasi. Berbagai macam
indikasi untuk sectio caesaria antara lain:
1. Kehamilan beresiko tinggi pada maternal dan fetal:
a. Peningkatan resiko ruptur uteri:
1). Riwayat kelahiran dengan seksio caesaria
2). Riwayat miomektomi ekstensif atau rekonstruksi uterin
b. Peningkatan resiko perdarahan maternal
1). Sentral atau parsial plasenta previa.
2). Solutio plasenta
3). Riwayat rekonstruksi vagina
2. Distokia
a. Hubungan Fetopelvik yang abnormal
1). Disproporsi kepala panggul.
2). Presentasi fetal yang abnormal : letal transvers atau obliq,
presbo.
b. Aktivitas disfungsional uterin.
3. Keadaan-keadaan gawat darurat yang membutuhkan penanganan segera.
a. Fetal distress
b. Prolaps umbilikus
c. Perdarahan maternal
d. Amnionitis
e. Herpes genital dengan disertai ruptur membran
f. Kematian impending maternal.
A. Identitas Penderita
Nama : Ny. D
Umur : 23 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Pucangsawit RT 4/I Jebres Surakarta
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Tanggal masuk : 02 Oktober 2014
Tanggal Operasi : 02 Oktober 2014
No.Rekam Medis : 01-24-11-05
B. Data Dasar
1. Keluhan Utama
Keluar air kawah
4. Riwayat Kebiasaan
a. Riwayat merokok : disangkal
b. Riwayat ketergantungan obat : disangkal
c. Riwayat alergi : disangkal
B. Sekundary survey
Status gizi
Berat badan : 60 kg
Tinggi badan : 155 cm
BMI :29,37 kg/m2
Kulit : sawo matang, turgor menurun (-), lembab (+), ikterik(-)
Kepala : bentuk mesocephal, rambut warna hitam
Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-), lensa keruh (-/-)
Telinga : sekret (-), nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan tragus (-)
Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret (-)
Mulut : sianosis (-), mukosa basah (+), papil lidah atrofi (-), stomatitis (-)
Leher : trakhea di tengah, simetris, massa/ pembesaran limfonodi (-)
Abdomen : dinding perut lebih tinggi dari dinding dada, distensi, bising
usus(+) normal, timpani, supel, hepar dan lien tidak teraba, teraba
janin tunggal, intrauterin, memanjang, puki, HIS(-) DJJ(+)
168x/menit, TFU 32 cm
B. Sekundary survey
Kulit : turgor menurun (-), lembab (+), ikterik(-)
Mata : konjungtiva pucat (-/-), sklera ikterik (-/-)
Telinga : nyeri tekan mastoid (-), nyeri tekan tragus (-)
Hidung : nafas cuping hidung (-), sekret (-)
Mulut : mukosa basah (+), sianosis (-), papil lidah atrofi (-), stomatitis (-)
Leher : trakhea di tengah
Abdomen : distensi, dinding perut lebih tinggi dari dinding dada, bising
usus(+) normal, timpani, supel, hepar dan lien tidak teraba, teraba
janin tunggal IU, gerak janin masih dirasakan, DJJ (+), HIS (-),
presbo, puki
Ekstremitas : motorik dan sensorik dalam batas normal
Anestesi dimulai pukul 17.50, berlangsung 105 menit, sampai pukul 19.20.
Tindakan bedah dilakukan mulai pukul 18.00 -19.00 WIB. Dilakukan regional anestesi sub
arachnoid block dengan bupivakain 12,5 mg dan fentanyl 25 mcg secara intratekal. Setelah
menunggu beberapa saat, perlahan pasien teranestesi. Kemudian dilakukan tindakan sectio
cesaria dengan posisi supine pada pasien
Diberikan injeksi metergin 1 ampul secara intravena dan oksitosin drip 1 ampul
setelah bayi lahir. Outcome lahir bayi perempuan dengan berat badan 2500 gr, apgar score
8-8-10. Di ruang pemulihan, sesuai skala bromage, setelah operasi selesai dilakukan, skor =
3 (pasien tidak mampu fleksi pergelangan kaki), 15 menit setelah operasi, skor = 2 (pasien
tidak mampu fleksi lutut), 30 menit setelah operasi, skor = 1 (pasien tidak mampu ekstensi
lutut), 45 menit setelah operasi, skor = 0 (gerakan penuh dari tungkai), kesadaran
composmentis, tekanan darah 123/78 mmhG, nadi 84 x/menit, respirasi 20x/menit,Sp02
100%.
Pada pasien ini, dilakukan anestesi secara regional karena memiliki keuntungan, yaitu:
1. Bahaya kemungkinan terjadinya aspirasi kecil karena pasien dalam keadaan sadar.
2. Relaksasi otot yang lebih baik.
3. Analgesi yang cukup kuat.
A. Permasalahan dari segi medik
1. Emergensi.
2. Menyangkut 2 nyawa yaitu nyawa ibu dan anak.
3. Ketuban Pecah dini
4. Diaphragma terdorong keatas, sehingga rentan timbul sesak nafas.
5. Supine hipotensi, oleh karena janin menekan vena cava inferior ibu. Hal ini juga
mempengaruhi sirkulasi fetomaternal.
B. Permasalahan dari segi bedah
1. DIT (Delivery Intake Time) : Kecepatan ahli kandungan untuk mengeluarkan bayi dari
kandungan, kurang dari 10 menit setelah induksi.
2. Perdarahan.
3. Trauma.
C. Permasalahan dari segi anestesi
Pemberian obat-obat anestesi yang sesuai :
1. Premedikasi : Metoklopropamid 10 mg.
2. Anestesi spinal : Bupivakain 12,5 mg dan Fentanyl 25 mcg.
3. Maintenance : Oksigen 2 liter/menit.
Pada kasus ini, yang dilakukan anestesi spinal, saat operasi tidak terjadi penurunan
tekanan darah yang berarti. Tekanan darah yang turun setelah anestesi spinal biasanya
sering terjadi. Hipotensi dapat terjadi pada sepertiga pasien yang menjalani anestesi
spinal. Hipotensi terjadi karena :
1. Penurunan venous return ke jantung dan penurunan cardiac output.
2. Penurunan resistensi perifer.
Jika tekanan darah sistolik turun di bawah 60 mmHg atau terdapat gejala-gejala
penurunan tekanan darah, maka harus cepat diatasi untuk menghindari cedera ginjal,
jantung dan otak, di antaranya dengan memberikan oksigen dan menaikkan kecepatan
tetesan infus, dan jika perlu diberikan vasokonstriktor, seperti diberikan efedrin telah
diencerkan jika tekanan sistolik dibawah 100 mmHg. Penurunan venous return juga
dapat menyebabkan bradikardi. Untuk mengatasi bradikardi yang terjadi dapat diberikan
sulfas atropin 0,5 mg IV.
Anestesi spinal terutama yang tinggi dapat menyebabkan paralisis otot pernafasan,
abdominal, intercostal. Oleh karenanya, pasien dapat mengalami kesulitan bernafas. Untuk
mencegah hal tersebut, perlu pemberian oksigen yang adekuat dan pengawasan terhadap
depresi pernafasan yang mungkin terjadi.
D. PELAKSANAAN ANESTESI REGIONAL
Premedikasi jarang diberikan terutama pada penderita dengan keadaan umum yang
buruk, atau karena keterbatasan waktu. Namun pada beberapa kasus dapat diberikan
premedikasi secara intravena atau intramuskular dengan antikolinergik disertai pemberian
antasida, antagonis reseptor H2 atau metoclopramide, walaupun tidak efektif dan
menguntungkan. Pada pasien ini diberikan premedikasi yaitu invomit Metoklopropamid 10
mg secara intravena. Pemberian obat anti mual dan muntah ini sangat diperlukan dalam
operasi seksiosesarea emergensi dimana merupakan usaha untuk mencegah adanya aspirasi
dari asam lambung.
Tindakan pemilihan jenis anestesi pada pasien obstetri diperlukan beberapa
pertimbangan. Teknik anestesi disesuaikan dengan keadaan umum pasien, jenis dan lamanya
pembedahan dan bidang kedaruratan. Metode anestesi sebaiknya seminimal mungkin
mendepresi janin, sifat analgesi cukup kuat, tidak menyebabkan trauma psikis terhadap ibu
dan bayi, toksisitas rendah, aman, nyaman, relaksasi otot tercapai tanpa relaksasi rahim dan
memungkinkan ahli obstetri bekerja optimal. Pada pasien ini digunakan teknik Regional
Anestesi (RA) dengan Sub Arakhnoid Block (SAB), yaitu pemberian obat anestesi lokal ke
ruang subarakhnoid, sehingga pada pasien dipastikan tidak terdapat tanda-tanda
hipovolemia. Teknik ini sederhana, cukup efektif.
Induksi menggunakan Bupivacaine HCL yang merupakan anestesi lokal golongan
amida. Obat anestesi regional bekerja dengan menghilangkan rasa asakit atau sensasi pada
daerah tertentu dari tubuh. Cara kerjanya yaitu memblok proses konduksi syaraf perifer
jaringan tubuh, bersifat reversibel. Mula kerja lambat dibandmg lidokain, tetapi lama kerja 8
jam. Setelah itu posisi pasien dalam keadaan terlentang(supine). Anestesi spinal mulai
dilakukan, posisi pasien duduk tegak dengan kepala menunduk hingga prossesus spinosus
mudah teraba. Dicari perpotongan garis yang menghubungkan kedua crista illiaca dengan
tulang punggung yaitu antara vertebra lumbal 3-4, lalu ditentukan tempat tusukan pada garis
tengah.
Kemudian disterilkan tempat tusukan dengan alkohol dan betadin. Jarum spinal
nomor 27-gauge ditusukkan dengan arah median, barbutase positif dengan keluarnya
LCS (jernih) kemudian dipasang spuit yang berisi obat anestesi dan dimasukkan secara
perlahan-lahan. Monitor tekanan darah setiap 5 menit sekali untuk mengetahui
penurunan tekanan darah yang bermakna. Hipotensi terjadi bila terjadi penurunan
tekanan darah sebesar 20-30% atau sistole kurang dari 100 mmHg. Hipotensi merupakan
salah satu efek dari pemberian obat anestesi spinal, karena penurunan kerja syaraf
simpatis.
Bila keadaan ini terjadi maka cairan intravena dicepatkan, bolus ephedrin 5-15mg
secara intravena, dan pemberian oksigen. Pada pasien ini terjadi hipotensi, sehingga
pemberian cairan dicepatkan, diberikan bolus ephedrin sebanyak 10mg secara intravena
dan oksigen. Sesaat setelah bayi lahir dan plasenta diklem diberikan syntocinon 20 IU (2
ampul), 10 UI diberikan secara bolus IV dan 10 IU diberikan per-drip. Pemberian
oksitosin bertujuan untuk mencegah perdarahan dengan merangsang kontraksi uterus
secara ritmik atau untuk mempertahankan tonus uterus post partum, dengan waktu
partus 3-5 menit. Opioid memiliki efek depresi pernafasan pasca bedah. Setelah operasi
selesai, pasien bawa ke VK IGD. Pasien berbaring dengan posisi kepala lebih tinggi
untuk mencegah spinal headache, karena efek obat anestesi masih ada. Observasi post
seksio sesarea dilakukan selama 2 jam, dan dilakukan pemantauan secara ketat meliputi
vital sign (tekanan darah, nadi, suhu dan respiratory rate), dan memperhatikan
banyaknya darah yang keluar dari jalan lahir. Oksigen tetap diberikan 4 liter/menit.
Setelah keadaan umum stabil, maka pasien dibawa ke ruangan HCU.
BAB V
KESIMPULAN
Seorang G1P1A0 23 tahun dengan keterangan presbo dan ketuban pecah dini 12
jam SMRS pada primigravida hamil aterm belum dalam persalinan pro SCTP-em dengan
status fisik ASA II E Plan RASAB. Dilakukan tindakan sectio cesarea pada tanggal 02
Oktober 2014 di kamar operasi IGD atas indikasi presbo dan ketuban pecah dini 12 jam
SMRS. Teknik anestesi dengan spinal anestesi (subarachnoid blok) merupakan teknik
anestesi sederhana, cukup efektif. Anestesi dengan menggunakan Bupivacain spinal 20 mg
untuk maintenance dengan oksigen 2 liter/menit. Untuk mengatasi nyeri digunakan fentanyl
sebanyak 30 mg. Perawatan post operatif dilakukan dibangsal dan dengan diawasi vital
sign, tanda-tanda perdarahan. Penggunaan anestesi sangat penting untuk melakukan
tindakan medis tertentu agar tindakan anestesi berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan
anestesi. Sebagaimana tindakan medis lainnya, tindakan anestesi khususnya penggunaan
obat-obatan anestesi memiliki risiko tersendiri, sehingga anestesi dalam persalinan perlu
mempertimbangkan keamanan ibu dan bayi. Pemeriksaan pre anestesi memegang peranan
penting pada setiap operasi, melalui pemeriksaan yang teliti memungkinkan kita
mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga
komplikasi anestesi dapat diantisipasi ataupun ditekan seminimal mungkin.
Anestesi spinal memungkinkan ibu untuk tetap sadar pada saat kelahiran dan
mendengar suara tangisan dari bayinya, sehingga teknik anestesi tersebut menjadi pilihan
para ibu hamil dan dokter. Prosedur anestesi spinal pada sectio casarea dalam kasus ini
tidak mengalami hambatan yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan
operasinya. Selama di ruang pemulihan pasien sadar penuh, hemodinamik stabil, dan tidak
terjadi hal yang memerlukan penanganan serius.
DAFTAR PUSTAKA