Kedua anak mengalami peningkatan sirkulasi limfosit dan neutrofil setelah dua
minggu pasca CTL019. Kebanyakan limfosit adalah sel T yang diekspresikan oleh Reseptor
antigen chimeric (RAC). Demam tinggi dialami oleh kedua anak meski demam ini bukan
akibat infeksi yang diikuti dengan peningkatan Laktat Dehidrogenase (LDH). Peningkatan
LDH dan munculnya demam tinggi ini serupa dengan pasien yang mengidap CCL pasca
infusi CTL019. Tepatnya 1 bulan setelah infusi, remisi morfologi leukimia didapat dari kedua
anak.
Remisi klnis dari pasien 1 berhubungan dengan remisi molekuler yang bertahan
selama 9 bulan terhitung sejak Januari 2013. Hasil sekuensing DNA dari lokus IGH
membuktikan penurunan total peunutan sekuens IGH yang dilakukan pada hari ke 23 dalam
darah dan sumsum tulang. Klon ganas tidak terdeteksi dalam darah atupun sumsum tungang
dalam lebih dari 1 juta sel yang disekuens pada hari ke 180. Sebaliknya, perunutan sekuens
reseptor sel T terdeteksi dalam darah dan sumsum tulang yang menandakan idikasi integritas
DNA yang diuji.
Remisi telah dipertahankan pada salah satu pasien dan diiringi dengan kekambuhan
selama munculnya CD019 pada pasien yang lain. Sel CTL019 yang seRACa genetik telah
termodifikasi dapat dideteksi dalam CNS pada kedua pasien. Peningkatan sistemik dari
sitokin inflamatorin yang mana bersifat reversibel diiringi dengan puncak ekspansi sel T dan
pemusnahan sel tumor yang konsisten dengan target CTL09 melawan CD19+ yang
merupakan sel terget. Pengenanalan remisi sempurna dari CD19+ refraktori yang diberi AAL
pasca infusi RAC cukup meyakinkan, khususnya pemberian remisi dengan frekuensi rendah
pasca infusi alogernik donor limfosit yang tidak terdeteksik RAC (Kalos, 2011). Sekuensi
mendalam mengindikasikan bahwa infusi RAC CTL019 berhubungan dengan reduksi 5-log 10
yang terus-menerus dalam frekuensi sel B ganas pada pasien pertama. Hal ini membuktikan
adanya potensi efek antitumor dalam kemoterapi-refraktori leukimia (Porter, 2011).
Kemunculan yang patut disayangkan dari sel CD19-blast dari satu pasien
menunjukkan konsistensi dengan hasil penelitian yang pernah dilakukan yang menunjukkan
keberadaan sel prekusor CD19- pada pasien yang mengidap ALL. Hal ini memungknkan
koinfusi dari sel T reseptor antigen chimeric diarahkan pada spesifitas seperti CD22 yang
mungkin dapan mengurangi kemiripan pada kejadian ini. Sejauh ini, kekambuhan dengan
CD19- escape cells pada orang dewasa dengan Chronic Lymphocytic Leukimia (CLL) pasca
treatment dengan sel CTL 019 belum diobservasi. Temuan yang merujuk pada masalah ini
dapat lebh spesifik lagi pada subset leukimia akut. Hal ini menunjukkan bahwa pada akhirnya
induksi remisi pada pasien pertama tidak diperlukan kemoterapi pendukung dan konsisten
dengan observasi sebelumnya bahwa remisis pada CLL dapat dihambat untuk beberapa
minggu setelah kemoterapi (Hotflder, 2005). Oleh karena itu, pemberian RAC tidak
dibutuhkan
Ekspansi besar-besaran secara in vivo dari CTL019, aplasia sel B yang persisten, dan
aktivitas antileukemik yang mencolok menunjukkan sel CTL019 memiliki fungsi efektor
yang substansial dan terus-menerus pada anak yang mengidap AAL. Migrasi dari sel T RAC
yang efisien terhadap Cerebrospinal Fluid (CSF) memberi harapan dalami mekanisme
pengawasan untuk mencegah kambuhnya Central Nervous System (CNS) dan mendukung
test sel T RAC untuk CNS Lipoma dan kanker CNS primer (Garcia, 2001).
Kesimpulan