Hingga kini, Indonesia belum juga selesai dengan cita-citanya. Meski terang-
benderang dirumuskan dalam Mukadimah UUD 1945, namun sederetan cita-cita
tentang Indonesia yang adil, makmur, dan berdaulat itu dalam prosesnya lebih
banyak menuturkan narasi-narasi ketidakadilan, kemiskinan, dan keterjajahan.
Memang tidak mudah mengurai soal-soal ketidakadilan, kemiskinan, dan
keterjajahan yang sangat kompleks itu. Selain karena sistem yang korup, eksploitatif,
dan tidak adil, soal-soal itu kian rumit karena kontribusi negatif para pemimpin di
hampir seluruh lingkaran kekuasaan sosial (ekonomi-politik dan budaya).
Hal itu jadi sangat masuk akal ketika generasi manusia Indonesia saat ini hampir
seluruhnya lahir dari sistem yang korup, eksploitatif, dan tidak adil. Kesadarannya
dibentuk seragam. Korup, eksploitatif, dan tidak adil. Tidak banyak yang selamat
dan berhasil membebaskan diri. Tidak heran kemudian, masalah-masalah yang
muncul di masyarakat tidak selesai-selesai. Sebab, sangat mustahil menyelesaikan
masalah pada level kesadaran yang justru melahirkan masalah itu sendiri.
Pada titik ini, perubahan kesadaran publik kemudian menjadi terobosan penting
untuk keluar dari segala persoalan yang menunda-nunda Indonesia tiba pada cita-
citanya. Perubahan kesadaran yang dimaksud adalah sebuah perubahan cara
pandang yang lebih kritis dan berorientasi pada solusi di level dan ruang manapun.
Meski demikian, dua hal berikut bisa menjadi modal penting; orang muda dan
model-model pendidikan alternatif. Orang-orang muda menjadi penting karena
jumlahnya mencapai lebih dari setengah populasi manusia Indonesia. Jumlah yang
signifikan tentunya untuk sebuah perubahan kesadaran publik. Pada saat
bersamaan, sebagai stimulus untuk orang muda dengan jumlah yang signifikan
seperti demikian, model-model pendidikan alternatif yang mampu merangsang
tumbuhnya kesadaran baru untuk menjadi pemimpin yang membawa solusi pada
akhirnya juga menjadi bagian yang sangat penting dalam hal ini.
Dalam sedikit contoh baik, orang-orang muda di banyak tempat kini sudah memulai
inisiatif untuk mengerjakan solusi atas masalah-masalah publik di sekitarnya. Meski
jumlahnya sedikit, namun gerakan serupa menunjukkan gejala positif dan dampak
yang makin signifikan dan meluas. Ini tentu menjadi sebuah modal penting untuk
melahirkan sebuah generasi pembawa solusi, bukan generasi pembuat masalah.
Dalam sedikit contoh baik juga, model-model pendidikan alternatif yang memicu
munculnya pemimpin-pemimpin yang membawa solusi kini juga sudah mulai
dikerjakan di banyak tempat. Yang menyenangkan, model-model pendidikan
alternatif ini lebih kerap menyasar orang muda sebagai pelatuknya. Kombinasi
semacam ini pun tentunya turut menjadi modal yang sangat penting menuju sebuah
era kepemimpinan pembawa solusi, bukan era kepemimpinan pembuat masalah
atau bahkan era kepemimpinan yang kerap kali melarikan diri dari masalah.
Dalam nalar demikian, ketika kedua modal yang saling mengisi tadi digandakan dan
disebarluaskan melalui seluruh jejaring sosial yang tersedia saat ini, soal-soal bangsa
ini pelan-pelan atau bahkan serentak dapat mulai diurai dan diselesaikan. Lebih
jauh, cita-cita tentang Indonesia yang adil, makmur, dan berdaulat bisa pelan-pelan
atau bahkan serentak mulai terwujud.
Dengan begitu, meski terbilang relatif singkat jika dihitung sejak hari ini, tahun 2025
dapat menjadi anak tangga pertama, level satu, sebuah era baru. Era kepemimpinan
pembawa solusi.***