Seni dan kesenian seringkali dianggap barang kelas dua oleh pandangan umum.
Sebabnya barangkali sederhana: seni tidak ilmiah, terlalu mengandalkan perasaan,
urakan, dan rumit untuk dipahami oleh karena gerak dan penafsirannya yang terlalu
meliuk-liuk. Tidak banyak yang kemudian meniatkan diri untuk menjadikan seni
sebagai sesuatu yang serius. Apalagi untuk sesuatu yang radikal: perlawanan.
Namun, cerita-cerita tentang seni sebagai bentuk dan artikulasi perlawanan juga
sesungguhnya kerap hadir di sela-sela cibir dan anggapan miring tadi. Jauh
sebelumnya, dan terutama sejak awal abad ke-20, seni dan kesenian sudah menjadi
bagian dari ikhtiar perlawanan dan pembebasan. Begitu banyak pemikiran dan ekspresi
kesenianbaik yang tumbuh-besar di Indonesia maupun di luarnyayang kemudian
merumuskan ini dengan berbagai cara dan dalam berbagai rupa.
Di Indonesia, jika ditarik mundur, maka kita akan mendapatkan cerita-cerita tentang
Manifes Kebudayaan (Manikebu) di tahun 1963 (meski memang itu perlu diikuti
dengan pemahaman terhadap konteks kelahirannya). Secara ringkas Manikebu
barangkali bisa dikatakan serupa penegasan bahwa seni dan kesenian (sebagai bagian
dari tubuh kebudayaan) merupakan perjuangan untuk menyempurnakan kondisi
hidup manusia yang menolak segala belenggu atas nama apapun. Barangkali karena
pada dirinya melekat takdir kebebasan.
Sastra dan kesusastraan sebagai salah satu artikulasi seni menghembuskan beberapa
cerita perlawanan. Namun tanpa bermaksud mengecilkan peran yang lain, Pramoedya
Ananta Toer bisa jadi salah satu nama yang patut disebut di sini oleh karena begitu
banyak karyanya yang secara serius ia beri napas perlawanan. Ia melawan penjajahan,
penindasan, penghisapan, dan segala bentuk dominasi lain dengan sastra. Ia melawan
dengan seni, seni yang selalu dipandang sebelah mata dan senyum sinis.
Lalu pada senjakala Orde Baru, di tengah situasi penuh tekanan yang menyempitkan
segala gerak dan suara perlawanan terhadap Soeharto yang otoriter, Seno Gumira
Ajidarma (sastrawan) menulis kira-kira begini: ketika jurnalisme dibungkam, sastra
angkat bicara. Seno memang menulis itu, namun bukan ia yang pertama-tama angkat
1
Tulisan ini dimuat pada buletin Natas Labar, sebuah terbitan hasil kolaborasi beberapa komunitas
orang muda yang digunakan sebagai media kampanye gerakan Tolak Privatisasi Pantai Pede di Labuan
Bajo-NTT, pada tahun 2014. Selanjutnya, naskah yang sama juga dipublikasikan di
http://floresmuda.com/2015/11/18/seni-perlawanan-dan-pembebasan/
bicara dengan sastra sebagai mulut. Ia hanya merangkum semacam kesimpulan atas
karya-karya sastra perlawanan lain yang muncul sebelum dan ketika itu. Ambil contoh,
sekuplet puisi Wiji Thukul berjudul Peringatan yang menutup larik-larik muramnya
dengan satu baris paling menggelorakan etos dan semangat perlawanan pada Reformasi
1998: Hanya ada satu kata: lawan! Itu kemudian memberi semacam penegasan
tentang peluang dan peran, kesusastraan (sebagai partikel kesenian) terhadap upaya
memperjuangkan dan merawat peradaban yang anti penindasan, anti dominasi, anti
eksploitasi, anti terhadap ketidakadilan, dan anti peminggiran terhadap kelompok-
kelompok yang rentan.
Dari ranah musik (sebagai salah satu bentuk ekspresi seni), Iwan Fals tampil dengan
karakter perlawanan yang begitu terang-terangan. Lirik-lirik dalam hampir seluruh
lagunya bicara tentang perlawanan. Ambil contoh, lagu Bongkar. Tidak main-main,
Iwan menyerukan keras-keras sebuah perlawanan paling ekstrim: bongkar seluruh
bentuk penindasan dan ketidakadilan.
Oleh karena kuasa dan kemampuan yang dimilikinya untuk menyentuh perasaan dan
mempengaruhi kesadaran, seni dapat memainkan perannya di situ: mempengaruhi
kesadaran. Atau barangkali lebih tepat dimaknai: membebaskan kesadaran. Ia
membebaskan kesadaran dari segala belenggu mental menghamba (inferior), mental
penakut, mental penurut-pengikut(follower), mental sungkan, mental masa bodoh
(apatisme), mental permisif-tidak berdaya kritis, dan lain-lain.
Ini peran yang tidak main-main sebab yang dibidik adalah kesadaran. Pemikiran Albert
Einstein bisa dijadikan fundasi: masalah-masalah mendasar dalam kehidupan kita
tidak dapat diselesaikan oleh/pada level kesadaran yang sama dengan level
kesadaran yang menciptakan persoalan-persoalan itu. Masalah bermula sejak di level
kesadaran. Itu jadi sebab mengapa kesadaranlah yang harus diintervensi dan
diselesaikan pertama-tama. Sebab jika kesadaran kritis telah dibebaskan dari segala
belenggu dominasi, maka segala rupa perlawanan dan skema solusi alternatif dapat
lebih mudah dioperasikan.
Dan, itu sekali lagi menegaskan penjelasan sebelumnya, betapa digdayanya seni. Sebab,
ia persis hadir melalui para seniman dan karya-karyanya sebagai: sebuah perlawanan
yang membebaskan kesadaran.