Anda di halaman 1dari 33

Inilah Lima Tsunami Paling Mematikan

Penulis: Yunanto Wiji Utomo | Editor: R Adhi KSP


Jumat, 29 Oktober 2010 | 15:59 WIB

KOMPAS/LUCKY PRANSISKASejumlah bangunan di Kampung Bosuwa Desa Betumonga Pulau Sipora, Kabupaten
Kepulauan Mentawai, hancur akibat gempa dan tsunami, Rabu (27/10/2010).
JAKARTA, KOMPAS.com Banyak tsunami yang telah terjadi sepanjang sejarah manusia.
Beberapa di antaranya adalah yang terjadi di Indonesia, seperti tsunami yang menghantam wilayah
Mentawai pada hari Senin (25/10/2010) lalu dan tsunami Aceh pada tahun 2004 lalu.
Sejarah mencatat bahwa bencana yang terjadi akibat aktivitas geologi itu hampir selalu merenggut
banyak nyawa. Berikut ini adalah catatan sejarah tentang lima tsunami yang paling mematikan.
1. Tsunami Aceh Tsunami ini terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 akibat gempa berkekuatan
9,1 hingga 9,3 skala Richter. Gelombang tsunami menyapu beberapa wilayah di Aceh, India, Sri
Lanka, Thailand, Maladewa, dan wilayah Afrika Timur.
Sejumlah 226.000 jiwa tewas akibat tsunami ini dengan 166.000 jiwanya merupakan warga negara
Indonesia. Gempa penyebab tsunami ini merupakan gempa terbesar keempat yang terjadi dalam
sejarah, sedangkan tsunaminya merupakan tsunami yang terbesar. Jumlah orang yang meninggal
mencapai 226.000 jiwa dengan 166.000 jiwanya merupakan orang Indonesia.
2. Tsunami di masa Yunani Kuno Tsunami di masa Yunani Kuno ini diketahui merupakan tsunami
pertama yang terekam sepanjang sejarah. Sebab, tsunaminya adalah meletusnya gunung yang
berada di dekat Pulau Thera atau Santorini. Jumlah orang yang tewas dalam tsunami ini tidak
diketahui dengan pasti, tetapi ditaksir mencapai lebih dari 100.000 orang. Gelombang tsunami
diperkirakan mencapai 15 meter. Sementara itu, tsunami yang terjadi pada tahun 1500 SM ini
diperkirakan menjadi sebab runtuhnya peradaban Minoa, salah satu peradaban yang berkembang
kala itu.
3. Tsunami di Portugal, Spanyol, dan Maroko Tsunami ini terjadi akibat gempa berpusat di dasar
perairan Atlantik pada tahun 1755. Gelombang tsunami menghantam kota-kota di Portugal, Spanyol,
dan Maroko dengan kerusakan terparah terjadi di wilayah kota Lisbon. Tinggi gelombang tsunami
memang tak melebihi Tsunami Krakatau, tetapi jumlah orang yang tewas jauh lebih banyak,
sebanyak 60.000 orang.
4. Tsunami Laut China Selatan Tsunami ini terjadi pada tahun 1782 di wilayah Laut China Selatan
yang berdekatan dengan Taiwan. Sebab, tsunami adalah gempa tektonik yang terjadi di dasar
lautan. Tidak jelas pusat gempa dan kekuatannya, tetapi sebanyak 40.000 orang tewas karenanya.
Berdasarkan katalog tsunami yang dipublikasikan Rusia, gelombang tsunami menerjang daratan
hingga sejauh 120 kilometer.
5. Tsunami akibat letusan Gunung Krakatau di Selat Sunda Tsunami ini terjadi pada tahun 1883
dan membunuh sekitar 36.000 orang. Gelombang tsunami yang ditimbulkan oleh letusan mencapai
tinggi 40 meter dan menyapu setidaknya 165 desa di wilayah Jawa dan Sumatera. Letusan
Krakataunya sendiri merupakan letusan gunung api yang terbesar dalam sejarah, menimbulkan
suara yang begitu keras dan abu vulkanik yang bahkan tersebar hingga ke Australia.

BANJIR
Banjir adalah peristiwa terbenamnya daratan oleh air. Peristiwa banjir timbul jika air menggenangi daratan
yang biasanya kering. Banjir pada umumnya disebabkan oleh air sungai yang meluap ke lingkungan sekitarnya
sebagai akibat curah hujan yang tinggi. Kekuatan banjir mampu merusak rumah dan menyapufondasinya. Air
banjir juga membawa lumpur berbau yang dapat menutup segalanya setelah air surutBanjir adalah hal
yang rutin. Setiap tahun pasti datang.Banjir, sebenarnya merupakan fenomena kejadian alam "biasa" yang
sering terjadi dan dihadapi hampir di seluruh negara-negara di dunia, termasuk Indonesia. Banjir sudah
temasuk dalam urutan bencana besar, karena meminta korban besar.

Ciri-ciri
Bencana banjir memiliki ciri-ciri dan akibat sebagai berikut.
Banjir biasanya terjadi saat hujan deras yang turun terus menerus sepanjang hari.
Air menggenangi tempat-tempat tertentu dengan ketinggian tertentu.
Banjir dapat mengakibatkan hanyutnya rumah-rumah, tanaman, hewan, dan manusia.
Banjir mengikis permukaan tanah sehingga terjadi endapan tanah di tempat-tempat yang rendah.
Banjir dapat mendangkalkan sungai, kolam, atau danau.
Sesudah banjir, lingkungan menjadi kotor oleh endapan tanah dan sampah.
Banjir dapat menyebabkan korban jiwa, luka berat, luka ringan, atau hilangnya orang.
Banjir dapat menyebabkan kerugian yg besar baik secara moril maupun materiil.

Jenis
Berdasarkan sumber air yang menjadi penampung di bumi, jenis banjir dibedakan menjadi tiga, yaitu banjir
sungai, banjir danau, dan banjir laut pasang.
Banjir Sungai
Terjadi karena air sungai meluap.
Banjir Danau
Terjadi karena air danau meluap atau bendungannya jebol.
Banjir Laut pasang
Terjadi antara lain akibat adanya badai dan gempa bumi.

Penyebab Terjadinya Banjir


Secara umum, penyebab terjadinya banjir adalah sebagai berikut. [2]
Penebangan hutan secara liar tanpa disertai reboisasi,
Pendangkalan sungai,
Pembuangan sampah yang sembarangan, baik ke aliran sungai mapupun gotong royong,
Pembuatan saluran air yang tidak memenuhi syarat,
Pembuatan tanggul yang kurang baik,
Air laut, sungai, atau danau yang meluap dan menggenangi daratan.

Dampak Dari Banjir


Banjir dapat menimbulkan kerusakan lingkungan hidup berupa :
1. Rusaknya areal pemukiman penduduk,
2. Sulitnya mendapatkan air bersih, dan
3. Rusaknya sarana dan prasarana penduduk.
4. Rusaknya areal pertanian
5. Timbulnya penyakit-penyakit
6. Menghambat transportasi darat
Gempa bumi

Pusat-pusat gempa di seluruh dunia pada tahun 1963-1998.


Gempa bumi adalah getaran atau guncangan yang terjadi di permukaan bumi. Gempa bumi biasa disebabkan
oleh pergerakan kerak bumi(lempeng bumi). Kata gempa bumi juga digunakan untuk menunjukkan daerah asal
terjadinya kejadian gempa bumi tersebut. Bumi kita walaupun padat, selalu bergerak, dan gempa bumi terjadi
apabila tekanan yang terjadi karena pergerakan itu sudah terlalu besar untuk dapat ditahan.

Tipe gempa bumi


1. Gempa bumi vulkanik ( Gunung Api ) ; Gempa bumi ini terjadi akibat adanya aktivitas magma, yang
biasa terjadi sebelum gunung api meletus. Apabila keaktifannya semakin tinggi maka akan
menyebabkan timbulnya ledakan yang juga akan menimbulkan terjadinya gempabumi. Gempa bumi
tersebut hanya terasa di sekitar gunung api tersebut.
2. Gempa bumi tektonik ; Gempa bumi ini disebabkan oleh adanya aktivitas tektonik, yaitu pergeseran
lempeng lempeng tektonik secara mendadak yang mempunyai kekuatan dari yang sangat kecil
hingga yang sangat besar. Gempabumi ini banyak menimbulkan kerusakan atau bencana alam di
bumi, getaran gempa bumi yang kuat mampu menjalar keseluruh bagian bumi. Gempa bumi tektonik
disebabkan oleh perlepasan [tenaga] yang terjadi karena pergeseran lempengan plat tektonik seperti
layaknya gelang karet ditarik dan dilepaskan dengan tiba-tiba. Tenaga yang dihasilkan oleh tekanan
antara batuan dikenal sebagai kecacatan tektonik. Teori dari tectonic plate (lempeng tektonik)
menjelaskan bahwa bumi terdiri dari beberapa lapisan batuan, sebagian besar area dari lapisan kerak
itu akan hanyut dan mengapung di lapisan seperti salju. Lapisan tersebut begerak perlahan sehingga
berpecah-pecah dan bertabrakan satu sama lainnya. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya gempa
tektonik.
.Peta penyebarannya mengikuti pola dan aturan yang khusus dan menyempit, yakni mengikuti pola-pola
pertemuan lempeng-lempeng tektonik yang menyusun kerak bumi. Dalam ilmu kebumian (geologi), kerangka
teoretis tektonik lempeng merupakan postulat untuk menjelaskan fenomena gempa bumi tektonik yang
melanda hampir seluruh kawasan, yang berdekatan dengan batas pertemuan lempeng tektonik. Contoh
gempa vulkanik ialah seperti yang terjadi di Yogyakarta, Indonesia pada Sabtu, 27 Mei 2006 dini hari, pukul
05.54 WIB,
1. Gempa bumi tumbukan ; Gempa bumi ini diakibatkan oleh tumbukan meteor atau asteroid yang jatuh
ke bumi, jenis gempa bumi ini jarang terjadi
2. Gempa bumi runtuhan ; Gempa bumi ini biasanya terjadi pada daerah kapur ataupun pada daerah
pertambangan, gempabumi ini jarang terjadi dan bersifat lokal.
3. Gempa bumi buatan ; Gempa bumi buatan adalah gempa bumi yang disebabkan oleh aktivitas dari
manusia, seperti peledakan dinamit, nuklir atau palu yang dipukulkan ke permukaan bumi.

Penyebab terjadinya gempa bumi


Kebanyakan gempa bumi disebabkan dari pelepasan energi yang dihasilkan oleh tekanan yang dilakukan oleh
lempengan yang bergerak. Semakin lama tekanan itu kian membesar dan akhirnya mencapai pada keadaan
dimana tekanan tersebut tidak dapat ditahan lagi oleh pinggiran lempengan. Pada saat itulah gempa bumi
akan terjadi.
Gempa bumi biasanya terjadi di perbatasan lempengan lempengan tersebut. Gempa bumi yang paling parah
biasanya terjadi di perbatasan lempengan kompresional dan translasional. Gempa bumi fokus
dalamkemungkinan besar terjadi karena materi lapisan litosfer yang terjepit kedalam mengalami transisi
fase pada kedalaman lebih dari 600 km.
Beberapa gempa bumi lain juga dapat terjadi karena pergerakan magma di dalam gunung berapi. Gempa bumi
seperti itu dapat menjadi gejala akan terjadinya letusan gunung berapi. Beberapa gempa bumi (jarang namun)
juga terjadi karena menumpuknya massa air yang sangat besar di balik dam, seperti Dam
Karibia di Zambia, Afrika. Sebagian lagi (jarang juga) juga dapat terjadi karena injeksi atau akstraksi cairan
dari/ke dalam bumi (contoh. pada beberapa pembangkit listrik tenaga panas bumi dan di Rocky Mountain
Arsenal. Terakhir, gempa juga dapat terjadi dari peledakan bahan peledak. Hal ini dapat membuat para
ilmuwan memonitor tes rahasia senjata nuklir yang dilakukan pemerintah. Gempa bumi yang disebabkan oleh
manusia seperti ini dinamakan juga seismisitas terinduksi

Sejarah gempa bumi besar pada abad ke-20 dan 21


26 Oktober 2010, Gempa bumi di Mentawai berskala 7.2 Skala Richter, korban tewas ditemukan
hingga 9 November ini mencapai 156 orang. Gempa ini kemudian juga menimbulkan tsunami.
16 Juni 2010, Gempa bumi 7,1 Skala Richter menggguncang Biak, Papua.
7 April 2010, Gempa bumi dengan kekuatan 7.2 Skala Richter di Sumatera bagian Utara lainnya
berpusat 60km dari Sinabang, Aceh. Tidak menimbulkan tsunami, menimbulkan kerusakan fisik di
beberapa daerah, belum ada informasi korban jiwa.
27 Februari 2010, Gempa bumi di Chili dengan 8.8 Skala Richter, 432 orang tewas (data 30 Maret
2010). Mengakibatkan tsunami menyeberangi Samudera Pasifik yang menjangkau hingga Selandia Baru,
Australia, kepulauan Hawaii, negara-negara kepulauan di Pasifik dan Jepang dengan dampak ringan dan
menengah.
12 Januari 2010, Gempa bumi Haiti dengan episenter dekat kota Logne 7,0 Skala Richter
berdampak pada 3 juta penduduk, perkiraan korban meninggal 230.000 orang, luka-luka 300.000 orang
dan 1.000.000 kehilangan tempat tinggal.
30 September 2009, Gempa bumi Sumatera Barat merupakan gempa tektonik yang berasal dari
pergeseran patahan Semangko, gempa ini berkekuatan 7,6 Skala Richter (BMG Indonesia) atau 7,9 Skala
Richter (BMG Amerika) mengguncang Padang-Pariaman, Indonesia. Menyebabkan sedikitnya 1.100 orang
tewas dan ribuan terperangkap dalam reruntuhan bangunan.
2 September 2009, Gempa Tektonik 7,3 Skala Richter mengguncang Tasikmalaya, Indonesia. Gempa
ini terasa hingga Jakarta dan Bali, berpotensi tsunami. Korban jiwa masih belum diketahui jumlah pastinya
karena terjadi Tanah longsor sehingga pengevakuasian warga terhambat.

Kerusakan akibat gempa bumi di San Francisco pada tahun 1906


Sebagian jalan layang yang runtuh akibat gempa bumi Loma Prieta pada tahun 1989
3 Januari 2009 - Gempa bumi berkekuatan 7,6 Skala Richter di Papua.
12 Mei 2008 - Gempa bumi berkekuatan 7,8 Skala Richter di Provinsi Sichuan, China. Menyebabkan
sedikitnya 80.000 orang tewas dan jutaan warga kehilangan tempat tinggal.
12 September 2007 - Gempa Bengkulu dengan kekuatan gempa 7,9 Skala Richter
9 Agustus 2007 - Gempa bumi 7,5 Skala Richter
6 Maret 2007 - Gempa bumi tektonik mengguncang provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Laporan
terakhir menyatakan 79 orang tewas [1].
27 Mei 2006 - Gempa bumi tektonik kuat yang mengguncang Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa
Tengah pada 27 Mei 2006 kurang lebih pukul 05.55 WIB selama 57 detik. Gempa bumi tersebut
berkekuatan 5,9 pada skala Richter. United States Geological Survey melaporkan 6,2 pada skala Richter;
lebih dari 6.000 orang tewas, dan lebih dari 300.000 keluarga kehilangan tempat tinggal.
8 Oktober 2005 - Gempa bumi besar berkekuatan 7,6 skala Richter di Asia Selatan, berpusat
di Kashmir, Pakistan; lebih dari 1.500 orang tewas.
26 Desember 2004 - Gempa bumi dahsyat berkekuatan 9,0 skala Richter
mengguncang Aceh dan Sumatera Utara sekaligus menimbulkan gelombang tsunami di samudera Hindia.
Bencana alam ini telah merenggut lebih dari 220.000 jiwa.
26 Desember 2003 - Gempa bumi kuat di Bam, barat daya Iran berukuran 6.5 pada skala Richter dan
menyebabkan lebih dari 41.000 orang tewas.
21 Mei 2002 - Di utara Afganistan, berukuran 5,8 pada skala Richter dan menyebabkan lebih dari
1.000 orang tewas.
26 Januari 2001 - India, berukuran 7,9 pada skala Richter dan menewaskan 2.500 ada juga yang
mengatakan jumlah korban mencapai 13.000 orang.
21 September 1999 - Taiwan, berukuran 7,6 pada skala Richter, menyebabkan 2.400 korban tewas.
17 Agustus 1999 - barat Turki, berukuran 7,4 pada skala Richter dan merenggut 17.000 nyawa.
25 Januari 1999 - Barat Colombia, pada magnitudo 6 dan merenggut 1.171 nyawa.
30 Mei 1998 - Di utara Afganistan dan Tajikistan dengan ukuran 6,9 pada skala Richter menyebabkan
sekitar 5.000 orang tewas.
17 Januari 1995 - Di Kobe, Jepang dengan ukuran 7,2 skala Richter dan merenggut 6.000 nyawa.
30 September 1993 - Di Latur, India dengan ukuran 6,0 pada skala Richter dan menewaskan 1.000
orang.
12 Desember 1992 - Di Flores, Indonesia berukuran 7,9 pada skala richter dan menewaskan 2.500
orang.
21 Juni 1990 - Di barat laut Iran, berukuran 7,3 pada skala Richter, merengut 50.000 nyawa.
7 Desember 1988 - Barat laut Armenia, berukuran 6,9 pada skala Richter dan menyebabkan 25.000
kematian.
19 September 1985 - Di Mexico Tengah dan berukuran 8,1 pada Skala Richter, meragut lebih dari
9.500 nyawa.
16 September 1978 - Di timur laut Iran, berukuran 7,7 pada skala Richter dan menyebabkan 25.000
kematian.
4 Maret 1977 - Vrancea, timur Rumania, dengan besar 7,4 SR, menelan sekitar 1.570 korban jiwa,
diantaranya seorang aktor Rumania Toma Caragiu, juga menghancurkan sebagian besar dari ibu kota
Rumania, Bukares (Bucureti).
28 Juli 1976 - Tangshan, Cina, berukuran 7,8 pada skala Richter dan menyebabkan 240.000 orang
terbunuh.
4 Februari 1976 - Di Guatemala, berukuran 7,5 pada skala Richter dan menyebabkan 22.778
terbunuh.
29 Februari 1960 - Di barat daya pesisir pantai Atlantik di Maghribi pada ukuran 5,7 skala Richter,
menyebabkan kira-kira 12.000 kematian dan memusnahkan seluruh kota Agadir.
26 Desember 1939 - Wilayah Erzincan, Turki pada ukuran 7,9, dan menyebabkan 33.000 orang
tewas.
24 Januari 1939 - Di Chillan, Chili dengan ukuran 8,3 pada skala Richter, 28.000 kematian.
31 Mei 1935 - Di Quetta, India pada ukuran 7,5 skala Richter dan menewaskan 50.000 orang.
1 September 1923 - Di Yokohama, Jepang pada ukuran 8,3 skala Richter dan merenggut sedikitnya
140.000 nyawa.
Pemanasan global

Anomali temperatur permukaan rata-rata selama periode 1995 sampai 2004 dengan dibandingkan pada temperatur rata-
rata dari 1940 sampai 1980
Pemanasan global atau Global Warming adalah adanya proses peningkatan suhu rata-rata atmosfer, laut,
dan daratan Bumi.
Suhu rata-rata global pada permukaan Bumi telah meningkat 0.74 0.18 C (1.33 0.32 F) selama seratus
tahun terakhir. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyimpulkan bahwa, "sebagian besar
peningkatan suhu rata-rata global sejak pertengahan abad ke-20 kemungkinan besar disebabkan oleh
meningkatnya konsentrasi gas-gas rumah kaca akibat aktivitas manusia"[1] melalui efek rumah kaca.
Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan oleh setidaknya 30 badan ilmiah dan akademik, termasuk semua
akademi sains nasional dari negara-negara G8. Akan tetapi, masih terdapat beberapa ilmuwan yang tidak
setuju dengan beberapa kesimpulan yang dikemukakan IPCC tersebut.
Model iklim yang dijadikan acuan oleh projek IPCC menunjukkan suhu permukaan global akan meningkat 1.1
hingga 6.4 C (2.0 hingga 11.5 F) antara tahun 1990 dan 2100.[1] Perbedaan angka perkiraan itu disebabkan
oleh penggunaan skenario-skenario berbeda mengenai emisi gas-gas rumah kaca di masa mendatang, serta
model-model sensitivitas iklim yang berbeda. Walaupun sebagian besar penelitian terfokus pada periode
hingga 2100, pemanasan dan kenaikan muka air lautdiperkirakan akan terus berlanjut selama lebih dari seribu
tahun walaupun tingkat emisi gas rumah kaca telah stabil. [1] Ini mencerminkan besarnya kapasitas panas dari
lautan.
Meningkatnya suhu global diperkirakan akan menyebabkan perubahan-perubahan yang lain seperti naiknya
permukaan air laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrim, [2] serta perubahan jumlah dan
pola presipitasi. Akibat-akibat pemanasan global yang lain adalah terpengaruhnya hasil pertanian,
hilangnya gletser, dan punahnya berbagai jenis hewan.
Beberapa hal-hal yang masih diragukan para ilmuwan adalah mengenai jumlah pemanasan yang diperkirakan
akan terjadi di masa depan, dan bagaimana pemanasan serta perubahan-perubahan yang terjadi tersebut
akan bervariasi dari satu daerah ke daerah yang lain. Hingga saat ini masih terjadi perdebatan politik dan
publik di dunia mengenai apa, jika ada, tindakan yang harus dilakukan untuk mengurangi atau membalikkan
pemanasan lebih lanjut atau untuk beradaptasi terhadap konsekuensi-konsekuensi yang ada. Sebagian besar
pemerintahan negara-negara di dunia telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto, yang mengarah
pada pengurangan emisi gas-gas rumah kaca.

Penyebab pemanasan global


Efek rumah kaca
Segala sumber energi yang terdapat di Bumi berasal dari Matahari. Sebagian besar energi tersebut berbentuk
radiasi gelombang pendek, termasuk cahaya tampak. Ketika energi ini tiba permukaan Bumi, ia berubah dari
cahaya menjadi panas yang menghangatkan Bumi. Permukaan Bumi, akan menyerap sebagian panas dan
memantulkan kembali sisanya. Sebagian dari panas ini berwujud radiasi infra merahgelombang panjang ke
angkasa luar. Namun sebagian panas tetap terperangkap di atmosfer bumi akibat menumpuknya jumlah gas
rumah kaca antara lain uap air, karbon dioksida, dan metana yang menjadi perangkap gelombang radiasi ini.
Gas-gas ini menyerap dan memantulkan kembali radiasi gelombang yang dipancarkan Bumi dan akibatnya
panas tersebut akan tersimpan di permukaan Bumi. Keadaan ini terjadi terus menerus sehingga
mengakibatkan suhu rata-rata tahunan bumi terus meningkat.
Gas-gas tersebut berfungsi sebagaimana gas dalam rumah kaca. Dengan semakin meningkatnya konsentrasi
gas-gas ini di atmosfer, semakin banyak panas yang terperangkap di bawahnya.
Efek rumah kaca ini sangat dibutuhkan oleh segala makhluk hidup yang ada di bumi, karena tanpanya, planet
ini akan menjadi sangat dingin. Dengan temperatur rata-rata sebesar 15 C (59 F), bumi sebenarnya telah
lebih panas 33 C (59 F)dari temperaturnya semula, jika tidak ada efek rumah kaca suhu bumi hanya -18 C
sehingga es akan menutupi seluruh permukaan Bumi. Akan tetapi sebaliknya, apabila gas-gas tersebut telah
berlebihan di atmosfer, akan mengakibatkan pemanasan global.

Efek umpan balik


Anasir penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses umpan balik yang dihasilkannya.
Sebagai contoh adalah pada penguapan air. Pada kasus pemanasan akibat bertambahnya gas-gas rumah
kaca seperti CO2, pemanasan pada awalnya akan menyebabkan lebih banyaknya air yang menguap ke
atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, pemanasan akan terus berlanjut dan menambah
jumlah uap air di udara sampai tercapainya suatu kesetimbangan konsentrasi uap air. Efek rumah kaca yang
dihasilkannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO 2 sendiri. (Walaupun umpan balik ini
meningkatkan kandungan air absolut di udara, kelembaban relatif udara hampir konstan atau bahkan agak
menurun karena udara menjadi menghangat).[3] Umpan balik ini hanya berdampak secara perlahan-lahan
karena CO2 memiliki usia yang panjang di atmosfer.
Efek umpan balik karena pengaruh awan sedang menjadi objek penelitian saat ini. Bila dilihat dari bawah,
awan akan memantulkan kembali radiasi infra merah ke permukaan, sehingga akan meningkatkan efek
pemanasan. Sebaliknya bila dilihat dari atas, awan tersebut akan memantulkan sinar Matahari dan radiasi infra
merah ke angkasa, sehingga meningkatkan efek pendinginan. Apakah efek netto-nya menghasilkan
pemanasan atau pendinginan tergantung pada beberapa detail-detail tertentu seperti tipe dan ketinggian awan
tersebut. Detail-detail ini sulit direpresentasikan dalam model iklim, antara lain karena awan sangat kecil bila
dibandingkan dengan jarak antara batas-batas komputasional dalam model iklim (sekitar 125 hingga 500 km
untuk model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat). Walaupun demikian, umpan balik
awan berada pada peringkat dua bila dibandingkan dengan umpan balik uap air dan dianggap positif
(menambah pemanasan) dalam semua model yang digunakan dalam Laporan Pandangan IPCC ke Empat. [3]
Umpan balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya (albedo) oleh es.[4] Ketika
temperatur global meningkat, es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat.
Bersamaan dengan melelehnya es tersebut, daratan atau air di bawahnya akan terbuka. Baik daratan maupun
air memiliki kemampuan memantulkan cahaya lebih sedikit bila dibandingkan dengan es, dan akibatnya akan
menyerap lebih banyak radiasi Matahari. Hal ini akan menambah pemanasan dan menimbulkan lebih banyak
lagi es yang mencair, menjadi suatu siklus yang berkelanjutan.
Umpan balik positif akibat terlepasnya CO2 dan CH4 dari melunaknya tanah beku (permafrost) adalah
mekanisme lainnya yang berkontribusi terhadap pemanasan. Selain itu, es yang meleleh juga akan melepas
CH4 yang juga menimbulkan umpan balik positif.
Kemampuan lautan untuk menyerap karbon juga akan berkurang bila ia menghangat, hal ini diakibatkan oleh
menurunya tingkat nutrien pada zona mesopelagic sehingga membatasi
pertumbuhan diatom daripadafitoplankton yang merupakan penyerap karbon yang rendah.[5]

Variasi Matahari

Variasi Matahari selama 30 tahun terakhir.


Terdapat hipotesa yang menyatakan bahwa variasi dari Matahari, dengan kemungkinan diperkuat oleh umpan
balik dari awan, dapat memberi kontribusi dalam pemanasan saat ini. [6] Perbedaan antara mekanisme ini
dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas Matahari akan
memanaskanstratosfer sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan stratosfer. Pendinginan stratosfer
bagian bawah paling tidak telah diamati sejak tahun 1960,[7] yang tidak akan terjadi bila aktivitas Matahari
menjadi kontributor utama pemanasan saat ini. (Penipisan lapisan ozon juga dapat memberikan efek
pendinginan tersebut tetapi penipisan tersebut terjadi mulai akhir tahun 1970-an.) Fenomena variasi Matahari
dikombinasikan dengan aktivitas gunung berapi mungkin telah memberikan efek pemanasan dari masa pra-
industri hingga tahun 1950, serta efek pendinginan sejak tahun 1950. [8][9]
Ada beberapa hasil penelitian yang menyatakan bahwa kontribusi Matahari mungkin telah diabaikan dalam
pemanasan global. Dua ilmuan dari Duke Universitymengestimasikan bahwa Matahari mungkin telah
berkontribusi terhadap 45-50% peningkatan temperatur rata-rata global selama periode 1900-2000, dan sekitar
25-35% antara tahun 1980 dan 2000.[10] Stott dan rekannya mengemukakan bahwa model iklim yang dijadikan
pedoman saat ini membuat estimasi berlebihan terhadap efek gas-gas rumah kaca dibandingkan dengan
pengaruh Matahari; mereka juga mengemukakan bahwa efek pendinginan dari debu vulkanik dan aerosol
sulfat juga telah dipandang remeh.[11] Walaupun demikian, mereka menyimpulkan bahwa bahkan dengan
meningkatkan sensitivitas iklim terhadap pengaruh Matahari sekalipun, sebagian besar pemanasan yang
terjadi pada dekade-dekade terakhir ini disebabkan oleh gas-gas rumah kaca.
Pada tahun 2006, sebuah tim ilmuan dari Amerika Serikat, Jerman dan Swiss menyatakan bahwa mereka tidak
menemukan adanya peningkatan tingkat "keterangan" dari Matahari pada seribu tahun terakhir ini. Siklus
Matahari hanya memberi peningkatan kecil sekitar 0,07% dalam tingkat "keterangannya" selama 30 tahun
terakhir. Efek ini terlalu kecil untuk berkontribusi terhadap pemansan global. [12][13] Sebuah penelitian oleh
Lockwood dan Frhlich menemukan bahwa tidak ada hubungan antara pemanasan global dengan variasi
Matahari sejak tahun 1985, baik melalui variasi dari output Matahari maupun variasi dalam sinar kosmis. [14]

Mengukur pemanasan global

Hasil pengukuran konsentrasi CO2 di Mauna Loa


Pada awal 1896, para ilmuan beranggapan bahwa membakar bahan bakar fosil akan mengubah komposisi
atmosfer dan dapat meningkatkan temperatur rata-rata global. Hipotesis ini dikonfirmasi tahun 1957 ketika para
peneliti yang bekerja pada program penelitian global yaitu International Geophysical Year, mengambil sampel
atmosfer dari puncak gunung Mauna Loa di Hawai.
Hasil pengukurannya menunjukkan terjadi peningkatan konsentrasi karbon dioksida di atmosfer. Setelah itu,
komposisi dari atmosfer terus diukur dengan cermat. Data-data yang dikumpulkan menunjukkan bahwa
memang terjadi peningkatan konsentrasi dari gas-gas rumah kaca di atmosfer.
Para ilmuan juga telah lama menduga bahwa iklim global semakin menghangat, tetapi mereka tidak mampu
memberikan bukti-bukti yang tepat. Temperatur terus bervariasi dari waktu ke waktu dan dari lokasi yang satu
ke lokasi lainnya. Perlu bertahun-tahun pengamatan iklim untuk memperoleh data-data yang menunjukkan
suatu kecenderungan (trend) yang jelas. Catatan pada akhir 1980-an agak memperlihatkan kecenderungan
penghangatan ini, akan tetapi data statistik ini hanya sedikit dan tidak dapat dipercaya.
Stasiun cuaca pada awalnya, terletak dekat dengan daerah perkotaan sehingga pengukuran temperatur akan
dipengaruhi oleh panas yang dipancarkan oleh bangunan dan kendaraan dan juga panas yang disimpan oleh
material bangunan dan jalan. Sejak 1957, data-data diperoleh dari stasiun cuaca yang terpercaya (terletak jauh
dari perkotaan), serta dari satelit. Data-data ini memberikan pengukuran yang lebih akurat, terutama pada 70
persen permukaan planet yang tertutup lautan. Data-data yang lebih akurat ini menunjukkan bahwa
kecenderungan menghangatnya permukaan Bumi benar-benar terjadi. Jika dilihat pada akhir abad ke-20,
tercatat bahwa sepuluh tahun terhangat selama seratus tahun terakhir terjadi setelah tahun 1980, dan tiga
tahun terpanas terjadi setelah tahun 1990, dengan 1998 menjadi yang paling panas.
Dalam laporan yang dikeluarkannya tahun 2001, Intergovernmental Panel on Climate
Change (IPCC) menyimpulkan bahwa temperatur udara global telah meningkat 0,6 derajat Celsius (1 derajat
Fahrenheit) sejak 1861. Panel setuju bahwa pemanasan tersebut terutama disebabkan oleh aktivitas manusia
yang menambah gas-gas rumah kaca ke atmosfer. IPCC memprediksi peningkatan temperatur rata-rata global
akan meningkat 1.1 hingga 6.4 C (2.0 hingga 11.5 F) antara tahun 1990 dan 2100.
IPCC panel juga memperingatkan, bahwa meskipun konsentrasi gas di atmosfer tidak bertambah lagi sejak
tahun 2100, iklim tetap terus menghangat selama periode tertentu akibat emisi yang telah dilepaskan
sebelumnya. karbon dioksida akan tetap berada di atmosfer selama seratus tahun atau lebih sebelum alam
mampu menyerapnya kembali.[15]
Jika emisi gas rumah kaca terus meningkat, para ahli memprediksi, konsentrasi karbondioksioda di atmosfer
dapat meningkat hingga tiga kali lipat pada awal abad ke-22 bila dibandingkan masa sebelum era industri.
Akibatnya, akan terjadi perubahan iklim secara dramatis. Walaupun sebenarnya peristiwa perubahan iklim ini
telah terjadi beberapa kali sepanjang sejarah Bumi, manusia akan menghadapi masalah ini dengan risiko
populasi yang sangat besar.

Model iklim

Perhitungan pemanasan global pada tahun 2001 dari beberapa model iklim berdasarkan scenario SRES A2, yang
mengasumsikan tidak ada tindakan yang dilakukan untuk mengurangi emisi.
Para ilmuan telah mempelajari pemanasan global berdasarkan model-model computer berdasarkan prinsip-
prinsip dasar dinamikan fluida, transfer radiasi, dan proses-proses lainya, dengan beberapa penyederhanaan
disebabkan keterbatasan kemampuan komputer. Model-model ini memprediksikan bahwa penambahan gas-
gas rumah kaca berefek pada iklim yang lebih hangat. [16] Walaupun digunakan asumsi-asumsi yang sama
terhadap konsentrasi gas rumah kaca di masa depan, sensitivitas iklimnya masih akan berada pada suatu
rentang tertentu.
Dengan memasukkan unsur-unsur ketidakpastian terhadap konsentrasi gas rumah kaca dan pemodelan iklim,
IPCC memperkirakan pemanasan sekitar1.1 C hingga 6.4 C (2.0 F hingga 11.5 F) antara tahun 1990 dan
2100.[1] Model-model iklim juga digunakan untuk menyelidiki penyebab-penyebab perubahan iklim yang terjadi
saat ini dengan membandingkan perubahan yang teramati dengan hasil prediksi model terhadap berbagai
penyebab, baik alami maupun aktivitas manusia.
Model iklim saat ini menghasilkan kemiripan yang cukup baik dengan perubahan temperature global hasil
pengamatan selama seratus tahun terakhir, tetapi tidak mensimulasi semua aspek dari iklim. [17] Model-model ini
tidak secara pasti menyatakan bahwa pemanasan yang terjadi antara tahun 1910 hingga 1945 disebabkan
oleh proses alami atau aktivitas manusia; akan tetapi; mereka menunjukkan bahwa pemanasan sejak tahun
1975 didominasi oleh emisi gas-gas yang dihasilkan manusia.
Sebagian besar model-model iklim, ketika menghitung iklim di masa depan, dilakukan berdasarkan skenario-
skenario gas rumah kaca, biasanya dari Laporan Khusus terhadap Skenario Emisi (Special Report on
Emissions Scenarios / SRES) IPCC. Yang jarang dilakukan, model menghitung dengan menambahkan
simulasi terhadap siklus karbon; yang biasanya menghasilkan umpan balik yang positif, walaupun responnya
masih belum pasti (untuk skenario A2 SRES, respon bervariasi antara penambahan 20 dan 200 ppm CO2).
Beberapa studi-studi juga menunjukkan beberapa umpan balik positif. [18][19][20]
Pengaruh awan juga merupakan salah satu sumber yang menimbulkan ketidakpastian terhadap model-model
yang dihasilkan saat ini, walaupun sekarang telah ada kemajuan dalam menyelesaikan masalah ini. [21]Saat ini
juga terjadi diskusi-diskusi yang masih berlanjut mengenai apakah model-model iklim mengesampingkan efek-
efek umpan balik dan tak langsung dari variasi Matahari.

Dampak pemanasan global


Para ilmuan menggunakan model komputer dari temperatur, pola presipitasi, dan sirkulasi atmosfer untuk
mempelajari pemanasan global. Berdasarkan model tersebut, para ilmuan telah membuat beberapa prakiraan
mengenai dampak pemanasan global terhadap cuaca, tinggi permukaan air laut, pantai, pertanian, kehidupan
hewan liar dan kesehatan manusia.

Iklim Mulai Tidak Stabil


Para ilmuan memperkirakan bahwa selama pemanasan global, daerah bagian Utara dari belahan Bumi Utara
(Northern Hemisphere) akan memanas lebih dari daerah-daerah lain di Bumi. Akibatnya, gunung-gunung es
akan mencair dan daratan akan mengecil. Akan lebih sedikit es yang terapung di perairan Utara tersebut.
Daerah-daerah yang sebelumnya mengalami salju ringan, mungkin tidak akan mengalaminya lagi. Pada
pegunungan di daerah subtropis, bagian yang ditutupi salju akan semakin sedikit serta akan lebih cepat
mencair. Musim tanam akan lebih panjang di beberapa area. Temperatur pada musim dingin dan malam hari
akan cenderung untuk meningkat.
Daerah hangat akan menjadi lebih lembab karena lebih banyak air yang menguap dari lautan. Para ilmuan
belum begitu yakin apakah kelembaban tersebut malah akan meningkatkan atau menurunkan pemanasan
yang lebih jauh lagi. Hal ini disebabkan karena uap air merupakan gas rumah kaca, sehingga keberadaannya
akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer. Akan tetapi, uap air yang lebih banyak juga akan membentuk
awan yang lebih banyak, sehingga akan memantulkan cahaya matahari kembali ke angkasa luar, dimana hal
ini akan menurunkan proses pemanasan (lihat siklus air). Kelembaban yang tinggi akan meningkatkan curah
hujan, secara rata-rata, sekitar 1 persen untuk setiap derajat Fahrenheit pemanasan. (Curah hujan di seluruh
dunia telah meningkat sebesar 1 persen dalam seratus tahun terakhir ini) [22]. Badaiakan menjadi lebih sering.
Selain itu, air akan lebih cepat menguap dari tanah. Akibatnya beberapa daerah akan menjadi lebih kering dari
sebelumnya. Angin akan bertiup lebih kencang dan mungkin dengan pola yang berbeda. Topan badai
(hurricane) yang memperoleh kekuatannya dari penguapan air, akan menjadi lebih besar. Berlawanan dengan
pemanasan yang terjadi, beberapa periode yang sangat dingin mungkin akan terjadi. Pola cuaca menjadi tidak
terprediksi dan lebih ekstrim.

Peningkatan permukaan laut

Perubahan tinggi rata-rata muka laut diukur dari daerah dengan lingkungan yang stabil secara geologi.
Ketika atmosfer menghangat, lapisan permukaan lautan juga akan menghangat, sehingga volumenya akan
membesar dan menaikkan tinggi permukaan laut. Pemanasan juga akan mencairkan banyak es di kutub,
terutama sekitar Greenland, yang lebih memperbanyak volume air di laut. Tinggi muka laut di seluruh dunia
telah meningkat 10 25 cm (4 - 10 inchi) selama abad ke-20, dan para ilmuan IPCC memprediksi peningkatan
lebih lanjut 9 88 cm (4 - 35 inchi) pada abad ke-21.
Perubahan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi kehidupan di daerah pantai. Kenaikan 100 cm (40
inchi) akan menenggelamkan 6 persen daerah Belanda, 17,5 persen daerah Bangladesh, dan banyak pulau-
pulau. Erosi dari tebing, pantai, dan bukit pasir akan meningkat. Ketika tinggi lautan mencapai muara sungai,
banjir akibat air pasang akan meningkat di daratan. Negara-negara kaya akan menghabiskan dana yang
sangat besar untuk melindungi daerah pantainya, sedangkan negara-negara miskin mungkin hanya dapat
melakukan evakuasi dari daerah pantai.
Bahkan sedikit kenaikan tinggi muka laut akan sangat mempengaruhi ekosistem pantai. Kenaikan 50 cm (20
inchi) akan menenggelamkan separuh dari rawa-rawa pantai di Amerika Serikat. Rawa-rawa baru juga akan
terbentuk, tetapi tidak di area perkotaan dan daerah yang sudah dibangun. Kenaikan muka laut ini akan
menutupi sebagian besar dari Florida Everglades.

Suhu global cenderung meningkat


Orang mungkin beranggapan bahwa Bumi yang hangat akan menghasilkan lebih banyak makanan dari
sebelumnya, tetapi hal ini sebenarnya tidak sama di beberapa tempat. Bagian Selatan Kanada, sebagai
contoh, mungkin akan mendapat keuntungan dari lebih tingginya curah hujan dan lebih lamanya masa tanam.
Di lain pihak, lahan pertanian tropis semi kering di beberapa bagian Afrika mungkin tidak dapat tumbuh.
Daerah pertanian gurun yang menggunakan air irigasi dari gunung-gunung yang jauh dapat menderita
jika snowpack (kumpulan salju) musim dingin, yang berfungsi sebagai reservoir alami, akan mencair sebelum
puncak bulan-bulan masa tanam. Tanaman pangan dan hutan dapat mengalami serangan serangga dan
penyakit yang lebih hebat.

Gangguan ekologis
Hewan dan tumbuhan menjadi makhluk hidup yang sulit menghindar dari efek pemanasan ini karena sebagian
besar lahan telah dikuasai manusia. Dalam pemanasan global, hewan cenderung untuk bermigrasi ke arah
kutub atau ke atas pegunungan. Tumbuhan akan mengubah arah pertumbuhannya, mencari daerah baru
karena habitat lamanya menjadi terlalu hangat. Akan tetapi, pembangunan manusia akan menghalangi
perpindahan ini. Spesies-spesies yang bermigrasi ke utara atau selatan yang terhalangi oleh kota-kota atau
lahan-lahan pertanian mungkin akan mati. Beberapa tipe spesies yang tidak mampu secara cepat berpindah
menuju kutub mungkin juga akan musnah.

Dampak sosial dan politik


Perubahan cuaca dan lautan dapat mengakibatkan munculnya penyakit-penyakit yang berhubungan dengan
panas (heat stroke) dan kematian. Temperatur yang panas juga dapat menyebabkan gagal panen sehingga
akan muncul kelaparan dan malnutrisi. Perubahan cuaca yang ekstrem dan peningkatan permukaan air laut
akibat mencairnya es di kutub utara dapat menyebabkan penyakit-penyakit yang berhubungan dengan
bencana alam (banjir, badai dan kebakaran) dan kematian akibat trauma. Timbulnya bencana alam biasanya
disertai dengan perpindahan penduduk ke tempat-tempat pengungsian dimana sering muncul penyakit,
seperti: diare, malnutrisi, defisiensi mikronutrien, trauma psikologis, penyakit kulit, dan lain-lain.
Pergeseran ekosistem dapat memberi dampak pada penyebaran penyakit melalui air (Waterborne diseases)
maupun penyebaran penyakit melalui vektor (vector-borne diseases). Seperti meningkatnya kejadianDemam
Berdarah karena munculnya ruang (ekosistem) baru untuk nyamuk ini berkembang biak. Dengan adamya
perubahan iklim ini maka ada beberapa spesies vektor penyakit (eq Aedes Agipty), Virus, bakteri, plasmodium
menjadi lebih resisten terhadap obat tertentu yang target nya adala organisme tersebut. Selain itu bisa
diprediksi kan bahwa ada beberapa spesies yang secara alamiah akan terseleksi ataupun punah dikarenakan
perbuhan ekosistem yang ekstreem ini. hal ini juga akan berdampak perubahan iklim (Climate change)yang
bisa berdampak kepada peningkatan kasus penyakit tertentu seperti ISPA (kemarau panjang / kebakaran
hutan, DBD Kaitan dengan musim hujan tidak menentu)
Gradasi Lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran limbah pada sungai juga berkontribusi pada
waterborne diseases dan vector-borne disease. Ditambah pula dengan polusi udara hasil emisi gas-gas pabrik
yang tidak terkontrol selanjutnya akan berkontribusi terhadap penyakit-penyakit saluran pernafasan
seperti asma, alergi, coccidiodomycosis, penyakit jantung dan paru kronis, dan lain-lain.

Perdebatan tentang pemanasan global


Tidak semua ilmuwan setuju tentang keadaan dan akibat dari pemanasan global. Beberapa pengamat masih
mempertanyakan apakah temperatur benar-benar meningkat. Yang lainnya mengakui perubahan yang telah
terjadi tetapi tetap membantah bahwa masih terlalu dini untuk membuat prediksi tentang keadaan di masa
depan. Kritikan seperti ini juga dapat membantah bukti-bukti yang menunjukkan kontribusi manusia terhadap
pemanasan global dengan berargumen bahwa siklus alami dapat juga meningkatkan temperatur. Mereka juga
menunjukkan fakta-fakta bahwa pemanasan berkelanjutan dapat menguntungkan di beberapa daerah.
Para ilmuwan yang mempertanyakan pemanasan global cenderung menunjukkan tiga perbedaan yang masih
dipertanyakan antara prediksi model pemanasan global dengan perilaku sebenarnya yang terjadi pada iklim.
Pertama, pemanasan cenderung berhenti selama tiga dekade pada pertengahan abad ke-20; bahkan ada
masa pendinginan sebelum naik kembali pada tahun 1970-an. Kedua, jumlah total pemanasan selama abad
ke-20 hanya separuh dari yang diprediksi oleh model. Ketiga, troposfer, lapisan atmosfer terendah, tidak
memanas secepat prediksi model. Akan tetapi, pendukung adanya pemanasan global yakin dapat menjawab
dua dari tiga pertanyaan tersebut.
Kurangnya pemanasan pada pertengahan abad disebabkan oleh besarnya polusi udara yang menyebarkan
partikulat-partikulat, terutama sulfat, ke atmosfer. Partikulat ini, juga dikenal sebagai aerosol, memantulkan
sebagian sinar matahari kembali ke angkasa luar. Pemanasan berkelanjutan akhirnya mengatasi efek ini,
sebagian lagi karena adanya kontrol terhadap polusi yang menyebabkan udara menjadi lebih bersih.
Keadaan pemanasan global sejak 1900 yang ternyata tidak seperti yang diprediksi disebabkan penyerapan
panas secara besar oleh lautan. Para ilmuan telah lama memprediksi hal ini tetapi tidak memiliki cukup data
untuk membuktikannya. Pada tahun 2000, U.S. National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA)
memberikan hasil analisa baru tentang temperatur air yang diukur oleh para pengamat di seluruh dunia selama
50 tahun terakhir. Hasil pengukuran tersebut memperlihatkan adanya kecenderungan pemanasan: temperatur
laut dunia pada tahun 1998 lebih tinggi 0,2 derajat Celsius (0,3 derajat Fahrenheit) daripada temperatur rata-
rata 50 tahun terakhir, ada sedikit perubahan tetapi cukup berarti. [22]
Pertanyaan ketiga masih membingungkan. Satelit mendeteksi lebih sedikit pemanasan di troposfer
dibandingkan prediksi model. Menurut beberapa kritikus, pembacaan atmosfer tersebut benar, sedangkan
pengukuran atmosfer dari permukaan Bumi tidak dapat dipercaya. Pada bulan Januari 2000, sebuah panel
yang ditunjuk oleh National Academy of Sciences untuk membahas masalah ini mengakui bahwa pemanasan
permukaan Bumi tidak dapat diragukan lagi. Akan tetapi, pengukuran troposfer yang lebih rendah dari prediksi
model tidak dapat dijelaskan secara jelas.

Pengendalian pemanasan global


Konsumsi total bahan bakar fosil di dunia meningkat sebesar 1 persen per-tahun. Langkah-langkah yang
dilakukan atau yang sedang diskusikan saat ini tidak ada yang dapat mencegah pemanasan global di masa
depan. Tantangan yang ada saat ini adalah mengatasi efek yang timbul sambil melakukan langkah-langkah
untuk mencegah semakin berubahnya iklim di masa depan.
Kerusakan yang parah dapat di atasi dengan berbagai cara. Daerah pantai dapat dilindungi dengan dinding
dan penghalang untuk mencegah masuknya air laut. Cara lainnya, pemerintah dapat membantu populasi di
pantai untuk pindah ke daerah yang lebih tinggi. Beberapa negara, seperti Amerika Serikat, dapat
menyelamatkan tumbuhan dan hewan dengan tetap menjaga koridor (jalur) habitatnya, mengosongkan tanah
yang belum dibangun dari selatan ke utara. Spesies-spesies dapat secara perlahan-lahan berpindah
sepanjang koridor ini untuk menuju ke habitat yang lebih dingin.
Ada dua pendekatan utama untuk memperlambat semakin bertambahnya gas rumah kaca. Pertama,
mencegah karbon dioksida dilepas ke atmosfer dengan menyimpan gas tersebut atau komponen karbon-nya di
tempat lain. Cara ini disebut carbon sequestration (menghilangkan karbon). Kedua, mengurangi produksi gas
rumah kaca.

[sunting]Menghilangkan karbon
Cara yang paling mudah untuk menghilangkan karbon dioksida di udara adalah dengan memelihara
pepohonan dan menanam pohon lebih banyak lagi. Pohon, terutama yang muda dan cepat pertumbuhannya,
menyerap karbon dioksida yang sangat banyak, memecahnya melalui fotosintesis, dan menyimpan karbon
dalam kayunya. Di seluruh dunia, tingkat perambahan hutan telah mencapai level yang mengkhawatirkan. Di
banyak area, tanaman yang tumbuh kembali sedikit sekali karena tanah kehilangan kesuburannya ketika
diubah untuk kegunaan yang lain, seperti untuk lahan pertanian atau pembangunan rumah tinggal. Langkah
untuk mengatasi hal ini adalah dengan penghutanan kembali yang berperan dalam mengurangi semakin
bertambahnya gas rumah kaca.
Gas karbon dioksida juga dapat dihilangkan secara langsung. Caranya dengan menyuntikkan (menginjeksikan)
gas tersebut ke sumur-sumur minyak untuk mendorong agar minyak bumi keluar ke permukaan
(lihatEnhanced Oil Recovery). Injeksi juga bisa dilakukan untuk mengisolasi gas ini di bawah tanah seperti
dalam sumur minyak, lapisan batubara atau aquifer. Hal ini telah dilakukan di salah satu anjungan pengeboran
lepas pantai Norwegia, dimana karbon dioksida yang terbawa ke permukaan bersama gas alam ditangkap dan
diinjeksikan kembali ke aquifer sehingga tidak dapat kembali ke permukaan.
Salah satu sumber penyumbang karbon dioksida adalah pembakaran bahan bakar fosil. Penggunaan bahan
bakar fosil mulai meningkat pesat sejak revolusi industri pada abad ke-18. Pada saat itu, batubaramenjadi
sumber energi dominan untuk kemudian digantikan oleh minyak bumi pada pertengahan abad ke-19. Pada
abad ke-20, energi gas mulai biasa digunakan di dunia sebagai sumber energi. Perubahan tren penggunaan
bahan bakar fosil ini sebenarnya secara tidak langsung telah mengurangi jumlah karbon dioksida yang dilepas
ke udara, karena gas melepaskan karbon dioksida lebih sedikit bila dibandingkan dengan minyak apalagi bila
dibandingkan dengan batubara. Walaupun demikian, penggunaan energi terbaharui dan energi nuklir lebih
mengurangi pelepasan karbon dioksida ke udara. Energi nuklir, walaupun kontroversial karena alasan
keselamatan dan limbahnya yang berbahaya, tetapi tidak melepas karbon dioksida sama sekali.

Persetujuan internasional
Kerjasama internasional diperlukan untuk mensukseskan pengurangan gas-gas rumah kaca. Di tahun 1992,
pada Earth Summit di Rio de Janeiro, Brazil, 150 negara berikrar untuk menghadapi masalah gas rumah kaca
dan setuju untuk menterjemahkan maksud ini dalam suatu perjanjian yang mengikat. Pada tahun 1997
di Jepang, 160 negara merumuskan persetujuan yang lebih kuat yang dikenal dengan Protokol Kyoto.
Perjanjian ini, yang belum diimplementasikan, menyerukan kepada 38 negara-negara industri yang memegang
persentase paling besar dalam melepaskan gas-gas rumah kaca untuk memotong emisi mereka ke tingkat 5
persen di bawah emisi tahun 1990. Pengurangan ini harus dapat dicapai paling lambat tahun 2012. Pada
mulanya, Amerika Serikat mengajukan diri untuk melakukan pemotongan yang lebih ambisius, menjanjikan
pengurangan emisi hingga 7 persen di bawah tingkat 1990; Uni Eropa, yang menginginkan perjanjian yang
lebih keras, berkomitmen 8 persen; dan Jepang 6 persen. Sisa 122 negara lainnya, sebagian besar negara
berkembang, tidak diminta untuk berkomitmen dalam pengurangan emisi gas.
Akan tetapi, pada tahun 2001, Presiden Amerika Serikat yang baru terpilih, George W. Bush mengumumkan
bahwa perjanjian untuk pengurangan karbon dioksida tersebut menelan biaya yang sangat besar. Ia juga
menyangkal dengan menyatakan bahwa negara-negara berkembang tidak dibebani dengan persyaratan
pengurangan karbon dioksida ini. Kyoto Protokol tidak berpengaruh apa-apa bila negara-negara industri yang
bertanggung jawab menyumbang 55 persen dari emisi gas rumah kaca pada tahun 1990 tidak meratifikasinya.
Persyaratan itu berhasil dipenuhi ketika tahun 2004, Presiden Rusia Vladimir Putin meratifikasi perjanjian ini,
memberikan jalan untuk berlakunya perjanjian ini mulai 16 Februari 2005.
Banyak orang mengkritik Protokol Kyoto terlalu lemah. Bahkan jika perjanjian ini dilaksanakan segera, ia hanya
akan sedikit mengurangi bertambahnya konsentrasi gas-gas rumah kaca di atmosfer. Suatu tindakan yang
keras akan diperlukan nanti, terutama karena negara-negara berkembang yang dikecualikan dari perjanjian ini
akan menghasilkan separuh dari emisi gas rumah kaca pada 2035. Penentang protokol ini memiliki posisi yang
sangat kuat. Penolakan terhadap perjanjian ini di Amerika Serikat terutama dikemukakan oleh industri minyak,
industri batubara dan perusahaan-perusahaan lainnya yang produksinya tergantung pada bahan bakar fosil.
Para penentang ini mengklaim bahwa biaya ekonomi yang diperlukan untuk melaksanakan Protokol Kyoto
dapat menjapai 300 milyar dollar AS, terutama disebabkan oleh biaya energi. Sebaliknya pendukung Protokol
Kyoto percaya bahwa biaya yang diperlukan hanya sebesar 88 milyar dollar AS dan dapat lebih kurang lagi
serta dikembalikan dalam bentuk penghematan uang setelah mengubah ke peralatan, kendaraan, dan proses
industri yang lebih effisien.
Pada suatu negara dengan kebijakan lingkungan yang ketat, ekonominya dapat terus tumbuh walaupun
berbagai macam polusi telah dikurangi. Akan tetapi membatasi emisi karbon dioksida terbukti sulit dilakukan.
Sebagai contoh, Belanda, negara industrialis besar yang juga pelopor lingkungan, telah berhasil mengatasi
berbagai macam polusi tetapi gagal untuk memenuhi targetnya dalam mengurangi produksi karbon dioksida.
Setelah tahun 1997, para perwakilan dari penandatangan Protokol Kyoto bertemu secara reguler untuk
menegoisasikan isu-isu yang belum terselesaikan seperti peraturan, metode dan pinalti yang wajib diterapkan
pada setiap negara untuk memperlambat emisi gas rumah kaca. Para negoisator merancang
sistem dimana suatu negara yang memiliki program pembersihan yang sukses dapat mengambil keuntungan
dengan menjual hak polusi yang tidak digunakan ke negara lain. Sistem ini disebut perdagangan karbon.
Sebagai contoh, negara yang sulit meningkatkan lagi hasilnya, seperti Belanda, dapat membeli kredit polusi di
pasar, yang dapat diperoleh dengan biaya yang lebih rendah. Rusia, merupakan negara yang memperoleh
keuntungan bila sistem ini diterapkan. Pada tahun 1990, ekonomi Rusia sangat payah dan emisi gas rumah
kacanya sangat tinggi. Karena kemudian Rusia berhasil memotong emisinya lebih dari 5 persen di bawah
tingkat 1990, ia berada dalam posisi untuk menjual kredit emisi ke negara-negara industri lainnya, terutama
mereka yang ada di Uni Eropa.
Gempa bumi merupakan peristiwa pelepasan energi yang menyebabkan dislokasi (pergeseran) pada bagian dalam
bumi secara tiba-tiba.
Penyebab Terjadinya Gempa Bumi
1. Proses tektonik akibat pergerakan kulit/lempeng bumi
2. Aktivitas sesar di permukaan bumi
3. Pergerakan geomorfologi secara lokal, contohnya terjadi runtuhan tanah
4. Aktivitas gunung api
5. Ledakan nuklir
Mekanisme perusakan terjadi karena energi getaran gempa dirambatkan ke seluruh bagian bumi. Di permukaan
bumi, getaran tersebut dapat menyebabkan kerusakan dan runtuhnya bangunan sehingga dapat menimbulkan
korban jiwa. Getaran gempa juga dapat memicu terjadinya tanah longsor, runtuhan batuan, dan kerusakan tanah
lainnya yang merusak permukiman penduduk. Gempa bumi juga menyebabkan bencana ikutan berupa kebakaran,
kecelakaan industri dan transportasi serta banjir akibat runtuhnya bendungan maupun tanggul penahan lainnya.
Gejala dan Peringatan Dini
Kejadian mendadak/secara tiba-tiba

Belum ada metode pendugaan secara akurat

Tips Penanganan Jika Terjadi Gempa Bumi


Jika gempa bumi menguncang secara tiba-tiba, berikut ini 10 petunjuk yang dapat dijadikan pegangan di manapun
anda berada.
Di dalam rumah
Getaran akan terasa beberapa saat. Selama jangka waktu itu, anda harus mengupayakan keselamatan diri anda
dan keluarga anda. Masuklah ke bawah meja untuk melindungi tubuh anda dari jatuhan benda-benda. Jika anda
tidak memiliki meja, lindungi kepala anda dengan bantal.
Jika anda sedang menyalakan kompor, maka matikan segera untuk mencegah terjadinya kebakaran.
Di sekolah
Berlindunglah di bawah kolong meja, lindungi kepala dengan tas atau buku, jangan panik, jika gempa mereda
keluarlah berurutan mulai dari jarak yang terjauh ke pintu, carilah tempat lapang, jangan berdiri dekat gedung,
tiang dan pohon.
Di luar rumah
Lindungi kepada anda dan hindari benda-benda berbahaya. Di daerah perkantoran atau kawasan industri, bahaya
bisa muncul dari jatuhnya kaca-kaca dan papan-papan reklame. Lindungi kepala anda dengan menggunakan
tangan, tas atau apapun yang anda bawa.
Di gedung, mall, bioskop, dan lantai dasar mall
Jangan menyebabkan kepanikan atau korban dari kepanikan. Ikuti semua petunjuk dari petugas atau satpam.
Di dalam lift
Jangan menggunakan lift saat terjadi gempa bumi atau kebakaran. Jika anda merasakan getaran gempa bumi saat
berada di dalam lift, maka tekanlah semua tombol. Ketika lift berhenti, keluarlah, lihat keamanannya dan
mengungsilah. Jika anda terjebak dalam lift, hubungi manajer gedung dengan menggunakan interphone jika
tersedia.
Di kereta api
Berpeganganlah dengan erat pada tiang sehingga anda tidak akan terjatuh seandainya kereta dihentikan secara
mendadak. Bersikap tenanglah mengikuti penjelasan dari petugas kereta. Salah mengerti terhadap informasi
petugas kereta atau stasiun akan mengakibatkan kepanikan.
Di dalam mobil
Saat terjadi gempa bumi besar, anda akan merasa seakan-akan roda mobil anda gundul. Anda akan kehilangan
kontrol terhadap mobil dan susah mengendalikannya. Jauhi persimpangan, pinggirkan mobil anda di kiri jalan dan
berhentilah. Ikuti instruksi dari radio mobil. Jika harus mengungsi maka keluarlah dari mobil, biarkan mobil tak
terkunci.
Di gunung/pantai
Ada kemungkinan longsor terjadi dari atas gunung. Menjauhlah langsung ke tempat aman. Di pesisir pantai,
bahayanya datang dari tsunami. Jika anda merasakan getaran dan tanda-tanda tsunami tampak, cepatlah
mengungsi ke dataran yang tinggi.
Beri pertolongan
Sudah dapat diramalkan bahwa banyak orang akan cedera saat terjadi gempa bumi besar. Karena petugas
kesehatan dari rumah-rumah sakit akan mengalami kesulitan datang ke tempat kejadian, maka bersiaplah
memberikan pertolongan pertama kepada orang-orang yang berada di sekitar anda.
Dengarkan informasi
Saat gempa bumi besar terjadi, masyarakat terpukul kejiwaannya. Untuk mencegah kepanikan, penting sekali
setiap orang bersikap tenang dan bertindaklah sesuai dengan informasi yang benar. Anda dapat memperoleh
informasi yag benar dari pihak yang berwenang atau polisi. Jangan bertindak karena informasi orang yang tidak
jelas.

Strategi Mitigasi dan Upaya Pengurangan Bencana Gempa Bumi


1. Harus dibangun dengan konstruksi tahan getaran/gempa khususnya di daerah rawan gempa.
2. Perkuatan bangunan dengan mengikuti standar kualitas bangunan.
3. Pembangunan fasilitas umum dengan standar kualitas yang tinggi.
4. Perkuatan bangunan-bangunan vital yang telah ada.
5. Rencanakan penempatan pemukiman untuk mengurangi tingkat kepadatan hunian di daerah rawan gempa
bumi.
6. Zonasi daerah rawan gempa bumi dan pengaturan penggunaan lahan.
7. Pendidikan dan penyuluhan kepada masyarakat tentang bahaya gempa bumi dan cara - cara penyelamatan
diri jika terjadi gempa bumi.
8. Ikut serta dalam pelatihan program upaya penyelamatan, kewaspadaan masyarakat terhadap gempa bumi,
pelatihan pemadam kebakaran dan pertolongan pertama.
9. Persiapan alat pemadam kebakaran, peralatan penggalian, dan peralatan perlindungan masyarakat
lainnya.
10. Rencana kontinjensi/kedaruratan untuk melatih anggota keluarga dalam menghadapi gempa bumi.
11. Pembentukan kelompok aksi penyelamatan bencana dengan pelatihan pemadaman kebakaran dan
pertolongan pertama.
12. Persiapan alat pemadam kebakaran, peralatan penggalian, dan peralatan perlindungan masyarakat
lainnya.
13. Rencana kontinjensi/kedaruratan untuk melatih anggota keluarga dalam menghadapi gempa bumi.
Sumber : Panduan Pengenalan Karakteristik Bencana Dan Upaya Mitigasinya di Indonesia, Set BAKORNAS PBP dan
Gempa bumi dan Tsunami, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, Departemen Energi dan Sumberdaya
Mineral.
Tsunami

Simulasi Tsunami Desember 2004

Gambar Tsunami menurut Hokusai, seorang pelukis Jepang dari abad ke 19.

Tsunami yang menghantam Mal,Maladewa pada 26 Desember 2004


Tsunami (bahasa Jepang: ; tsu = pelabuhan, nami = gelombang, secara harafiah berarti "ombak besar di
pelabuhan") adalah perpindahan badan air yang disebabkan oleh perubahan permukaan laut secara vertikal
dengan tiba-tiba. Perubahan permukaan laut tersebut bisa disebabkan oleh gempa bumi yang berpusat di
bawah laut, letusan gunung berapi bawah laut, longsor bawah laut, atau atau hantaman meteor di
laut. Gelombang tsunami dapat merambat ke segala arah. Tenaga yang dikandung dalam gelombang tsunami
adalah tetap terhadap fungsi ketinggian dan kelajuannya. Di laut dalam, gelombang tsunami dapat merambat
dengan kecepatan 500-1000 km per jam. Setara dengan kecepatan pesawat terbang. Ketinggian gelombang di
laut dalam hanya sekitar 1 meter. Dengan demikian, laju gelombang tidak terasa oleh kapal yang sedang
berada di tengah laut. Ketika mendekati pantai, kecepatan gelombang tsunami menurun hingga sekitar 30 km
per jam, namun ketinggiannya sudah meningkat hingga mencapai puluhan meter. Hantaman gelombang
Tsunami bisa masuk hingga puluhan kilometer dari bibir pantai. Kerusakan dan korban jiwa yang terjadi karena
Tsunami bisa diakibatkan karena hantaman air maupun material yang terbawa oleh aliran gelombang tsunami.
Dampak negatif yang diakibatkan tsunami adalah merusak apa saja yang dilaluinya. Bangunan, tumbuh-
tumbuhan, dan mengakibatkan korban jiwa manusia serta menyebabkan genangan, pencemaran air asin lahan
pertanian, tanah, dan air bersih.
Sejarawan Yunani bernama Thucydides merupakan orang pertama yang mengaitkan tsunami dengan gempa
bawah lain. Namun hingga abad ke-20, pengetahuan mengenai penyebab tsunami masih sangat minim.
Penelitian masih terus dilakukan untuk memahami penyebab tsunami.
Teks-teks geologi, geografi, dan oseanografi di masa lalu menyebut tsunami sebagai "gelombang laut seismik".
Beberapa kondisi meteorologis, seperti badai tropis, dapat menyebabkan gelombang badai yang disebut
sebagai meteor tsunami yang ketinggiannya beberapa meter diatas gelombang laut normal. Ketika badai ini
mencapai daratan, bentuknya bisa menyerupai tsunami, meski sebenarnya bukan tsunami. Gelombangnya
bisa menggenangi daratan. Gelombang badai ini pernah menggenangi Burma (Myanmar) pada Mei 2008.
Wilayah di sekeliling Samudra Pasifik memiliki Pacific Tsunami Warning Centre (PTWC) yang mengeluarkan
peringatan jika terdapat ancaman tsunami pada wilayah ini. Wilayah di sekeliling Samudera Hindia sedang
membangun Indian Ocean Tsunami Warning System (IOTWS) yang akan berpusat di Indonesia.
Bukti-bukti historis menunjukkan bahwa megatsunami mungkin saja terjadi, yang menyebabkan beberapa
pulau dapat tenggelam

Terminologi
Kata tsunami berasal dari bahasa jepang, tsu berarti pelabuhan, dan nami berarti gelombang. Tsunami sering
terjadi Jepang. Sejarah Jepang mencatat setidaknya 195 tsunami telah terjadi.
Pada beberapa kesempatan, tsunami disamakan dengan gelombang pasang. Dalam tahun-tahun terakhir,
persepsi ini telah dinyatakan tidak sesuai lagi, terutama dalam komunitas peneliti, karena gelombang pasang
tidak ada hubungannya dengan tsunami. Persepsi ini dahulu populer karena penampakan tsunami yang
menyerupai gelombang pasang yang tinggi.
Tsunami dan gelombang pasang sama-sama menghasilkan gelombang air yang bergerak ke daratan, namun
dalam kejadian tsunami, gerakan gelombang jauh lebih besar dan lebih lama, sehingga memberika kesan
seperti gelombang pasang yang sangat tinggi. Meskipun pengartian yang menyamakan dengan "pasang-surut"
meliputi "kemiripan" atau "memiliki kesamaan karakter" dengan gelombang pasang, pengertian ini tidak lagi
tepat. Tsunami tidak hanya terbatas pada pelabuhan. Karenanya parageologis dan oseanografis sangat tidak
merekomendasikan untuk menggunakan istilah ini.
Hanya ada beberapa bahasa lokal yang memiliki arti yang sama dengan gelombang merusak ini. Aazhi
Peralai dalam Bahasa Tamil, i beuna atau aln buluk (menurut dialek) dalam Bahasa Aceh adalah
contohnya. Sebagai catatan, dalam bahasa Tagalog versi Austronesia, bahasa utama di Filipina, alon berarti
"gelombang". Di PulauSimeulue, daerah pesisir barat Sumatra, Indonesia, dalam Bahasa
Defayan, smong berarti tsunami. Sementara dalam Bahasa Sigulai, emong berarti tsunami.
Penyebab terjadinya tsunami

Skema terjadinya tsunami


Tsunami dapat terjadi jika terjadi gangguan yang menyebabkan perpindahan sejumlah besar air, seperti
letusan gunung api, gempa bumi, longsor maupun meteor yang jatuh ke bumi. Namun, 90% tsunami adalah
akibat gempa bumi bawah laut. Dalam rekaman sejarah beberapa tsunami diakibatkan oleh gunung meletus,
misalnya ketika meletusnya Gunung Krakatau.
Gerakan vertikal pada kerak bumi, dapat mengakibatkan dasar laut naik atau turun secara tiba-tiba, yang
mengakibatkan gangguan keseimbangan air yang berada di atasnya. Hal ini mengakibatkan terjadinya aliran
energi air laut, yang ketika sampai di pantai menjadi gelombang besar yang mengakibatkan terjadinya tsunami.
Kecepatan gelombang tsunami tergantung pada kedalaman laut di mana gelombang terjadi, dimana
kecepatannya bisa mencapai ratusan kilometer per jam. Bila tsunami mencapai pantai, kecepatannya akan
menjadi kurang lebih 50 km/jam dan energinya sangat merusak daerah pantai yang dilaluinya. Di tengah laut
tinggi gelombang tsunami hanya beberapa cm hingga beberapa meter, namun saat mencapai pantai tinggi
gelombangnya bisa mencapai puluhan meter karena terjadi penumpukan masa air. Saat mencapai pantai
tsunami akan merayap masuk daratan jauh dari garis pantai dengan jangkauan mencapai beberapa ratus
meter bahkan bisa beberapa kilometer.
Gerakan vertikal ini dapat terjadi pada patahan bumi atau sesar. Gempa bumi juga banyak terjadi di
daerah subduksi, dimana lempeng samudera menelusup ke bawah lempeng benua.
Tanah longsor yang terjadi di dasar laut serta runtuhan gunung api juga dapat mengakibatkan gangguan air
laut yang dapat menghasilkan tsunami. Gempa yang menyebabkan gerakan tegak lurus lapisan bumi.
Akibatnya, dasar laut naik-turun secara tiba-tiba sehingga keseimbangan air laut yang berada di atasnya
terganggu. Demikian pula halnya dengan benda kosmis atau meteor yang jatuh dari atas. Jika ukuran meteor
atau longsor ini cukup besar, dapat terjadi megatsunami yang tingginya mencapai ratusan meter.
Gempa yang menyebabkan tsunami
Gempa bumi yang berpusat di tengah laut dan dangkal (0 - 30 km)
Gempa bumi dengan kekuatan sekurang-kurangnya 6,5 Skala Richter
Gempa bumi dengan pola sesar naik atau sesar turun

Sistem Peringatan Dini


Banyak kota-kota di sekitar Pasifik, terutama di Jepang dan juga Hawaii, mempunyai sistem peringatan
tsunami dan prosedur evakuasi untuk menangani kejadian tsunami. Bencana tsunami dapat diprediksi oleh
berbagai institusi seismologi di berbagai penjuru dunia dan proses terjadinya tsunami dapat dimonitor melalui
perangkat yang ada di dasar atu permukaan laut yang terknoneksi dengansatelit.
Perekam tekanan di dasar laut bersama-sama denganperangkat yang mengapung di laut buoy, dapat
digunakan untuk mendeteksi gelombang yang tidak dapat dilihat oleh pengamat manusia pada laut dalam.
Sistem sederhana yang pertama kali digunakan untuk memberikan peringatan awal akan terjadinya tsunami
pernah dicoba di Hawai pada tahun 1920-an. Kemudian, sistem yang lebih canggih dikembangkan lagi setelah
terjadinya tsunami besar pada tanggal 1 April 1946 dan 23 Mei 1960. Amerika serikat membuat Pasific
Tsunami Warning Center pada tahun 1949, dan menghubungkannya ke jaringan data dan peringatan
internasional pada tahun 1965.
Salah satu sistem untuk menyediakan peringatan dini tsunami, CREST Project, dipasang di pantai Barat
Amerika Serikat, Alaska, dan Hawai oleh USGS, NOAA, dan Pacific Northwest Seismograph Network, serta
oleh tiga jaringan seismik universitas.
Hingga kini, ilmu tentang tsunami sudah cukup berkembang, meskipun proses terjadinya masih banyak yang
belum diketahui dengan pasti. Episenter dari sebuah gempa bawah laut dan kemungkinan kejadian tsunami
dapat cepat dihitung. Pemodelan tsunami yang baik telah berhasil memperkirakan seberapa besar tinggi
gelombang tsunami di daerah sumber, kecepatan penjalarannya dan waktu sampai di pantai, berapa
ketinggian tsunami di pantai dan seberapa jauh rendaman yang mungkin terjadi di daratan. Walaupun begitu,
karena faktor alamiah, seperti kompleksitas topografi dan batimetri sekitar pantai dan adanya corak ragam
tutupan lahan (baik tumbuhan, bangunan, dll), perkiraan waktu kedatangan tsunami, ketinggian dan jarak
rendaman tsunami masih belum bisa dimodelkan secara akurat.

Sistem Peringatan Dini Tsunami di Indonesia


Pemerintah Indonesia, dengan bantuan negara-negara donor, telah mengembangkan Sistem Peringatan Dini
Tsunami Indonesia (Indonesian Tsunami Early Warning System - InaTEWS). Sistem ini berpusat pada Badan
Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di Jakarta. Sistem ini memungkinkan BMKG mengirimkan
peringatan tsunami jika terjadi gempa yang berpotensi mengakibatkan tsunami. Sistem yang ada sekarang ini
sedang disempurnakan. Kedepannya, sistem ini akan dapat mengeluarkan 3 tingkat peringatan, sesuai dengan
hasil perhitungan Sistem Pendukung Pengambilan Keputusan (Decision Support System - DSS).
Pengembangan Sistem Peringatan Dini Tsunami ini melibatkan banyak pihak, baik instansi pemerintah pusat,
pemerintah daerah, lembaga internasional, lembaga non-pemerintah. Koordinator dari pihak Indonesia adalah
Kementrian Negara Riset dan Teknologi(RISTEK). Sedangkan instansi yang ditunjuk dan bertanggung jawab
untuk mengeluarkan INFO GEMPA dan PERINGATAN TSUNAMI adalah BMKG (Badan Meteorologi,
Klimatologi dan Geofisika). Sistem ini didesain untuk dapat mengeluarkan peringatan tsunami dalam waktu
paling lama 5 menit setelah gempa terjadi.
Sistem Peringatan Dini memiliki 4 komponen: Pengetahuan mengenai Bahaya dan Resiko, Peramalan,
Peringatan, dan Reaksi.Observasi (Monitoring gempa dan permukaan laut), Integrasi dan Diseminasi
Informasi, Kesiapsiagaan.

Cara Kerja
Sebuah Sistem Peringatan Dini Tsunami adalah merupakan rangkaian sistem kerja yang rumit dan melibatkan
banyak pihak secara internasional, regional, nasional, daerah dan bermuara di Masyarakat.
Apabila terjadi suatu Gempa, maka kejadian tersebut dicatat oleh alat Seismograf (pencatat gempa). Informasi
gempa (kekuatan, lokasi, waktu kejadian) dikirimkan melalui satelit ke BMKG Jakarta. Selanjutnya BMG akan
mengeluarkan INFO GEMPA yang disampaikan melalui peralatan teknis secara simultan. Data gempa
dimasukkan dalam DSS untuk memperhitungkan apakah gempa tersebut berpotensi menimbulkan tsunami.
Perhitungan dilakukan berdasarkan jutaan skenario modelling yang sudah dibuat terlebih dahulu. Kemudian,
BMKG dapat mengeluarkan INFO PERINGATAN TSUNAMI. Data gempa ini juga akan diintegrasikan dengan
data dari peralatan sistem peringatan dini lainnya (GPS, BUOY, OBU, Tide Gauge) untuk memberikan
konfirmasi apakah gelombang tsunami benar-benar sudah terbentuk. Informasi ini juga diteruskan oleh BMKG.
BMKG menyampaikan info peringatan tsunami melalui beberapa institusi perantara, yang meliputi (Pemerintah
Daerah dan Media). Institusi perantara inilah yang meneruskan informasi peringatan kepada masyarakat.
BMKG juga menyampaikan info peringatan melalui SMS ke pengguna ponsel yang sudah terdaftar dalam
database BMKG. Cara penyampaian Info Gempa tersebut untuk saat ini adalah melalui SMS, Facsimile,
Telepon, Email, RANET (Radio Internet), FM RDS (Radio yang mempunyai fasilitas RDS/Radio Data System)
dan melalui Website BMG (www.bmg.go.id).
Pengalaman serta banyak kejadian dilapangan membuktikan bahwa meskipun banyak peralatan canggih yang
digunakan, tetapi alat yang paling efektif hingga saat ini untuk Sistem Peringatan Dini Tsunami adalah RADIO.
Oleh sebab itu, kepada masyarakat yang tinggal didaerah rawan Tsunami diminta untuk selalu siaga
mempersiapkan RADIO FM untuk mendengarkan berita peringatan dini Tsunami. Alat lainnya yang juga
dikenal ampuh adalah Radio Komunikasi Antar Penduduk. Organisasi yang mengurusnya adalah RAPI (Radio
Antar Penduduk Indonesia). Mengapa Radio ? jawabannya sederhana, karena ketika gempa seringkali mati
lampu tidak ada listrik. Radio dapat beroperasi dengan baterai. Selain itu karena ukurannya kecil, dapat
dibawa-bawa (mobile). Radius komunikasinyapun relatif cukup memadai.

Tsunami dalam sejarah


1 November 1755 - Tsunami menghancurkan Lisboa, ibu kota Portugal, dan menelan 60.000 korban
jiwa.
1883 - Pada tanggal 26 Agustus, letusan gunung Krakatau dan tsunami menewaskan lebih dari
36.000 jiwa.
2004 - Pada tanggal 25-26 Desember 2004, gempa besar yang menimbulkan tsunami menelan
korban jiwa lebih dari 250.000 di Asia Selatan, Asia Tenggara dan Afrika. Ketinggian tsunami 35 m,
2006 - 17 Juli, Gempa yang menyebabkan tsunami terjadi di selatan pulau Jawa, Indonesia, dan
setinggi maksimum ditemukan 21 meter di Pulau Nusakambangan. Memakan korban jiwa lebih dari 500
orang. Dan berasal dari selatan kota Ciamis
2007 - 12 September, Bengkulu, Memakan korban jiwa 3 orang. Ketinggian tsunami 3-4 m.
2010 - 27 Februari, Santiago, Chili
2010 - 26 Oktober, Kepulauan Mentawai, Indonesia
Pemanasan Global
Published On Tuesday, October 02, 2007
Pemanasan global (global warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun
ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas
seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap
dalam atmosfer bumi. Berbagai literatur menunjukkan kenaikan temperatur global termasuk Indonesia yang
terjadi pada kisaran 1,540 Celcius pada akhir abad 21.
Pemanasan global mengakibatkan dampak yang luas dan serius bagi lingkungan bio-geofisik (seperti pelelehan es di
kutub, kenaikan muka air laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim, punahnya
flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit, dsb). Sedangkan dampak bagi aktivitas sosial-ekonomi
masyarakat meliputi : (a) gangguan terhadap fungsi kawasan pesisir dan kota pantai, (b) gangguan terhadap fungsi
prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara (c) gangguan terhadap permukiman penduduk,
(d) pengurangan produktivitas lahan pertanian, (e) peningkatan resiko kanker dan wabah penyakit, dsb). Dalam
makalah ini, fokus diberikan pada antisipasi terhadap dua dampak pemanasan global, yakni : kenaikan muka air laut
(sea level rise) dan banjir.
Dampak Kenaikan Permukaan Air Laut dan Banjir terhadap Kondisi
Lingkungan Bio-geofisik dan Sosial-Ekonomi Masyarakat.
Kenaikan muka air laut secara umum akan mengakibatkan dampak sebagai berikut : (a) meningkatnya frekuensi dan
intensitas banjir, (b) perubahan arus laut dan meluasnya kerusakan mangrove, (c) meluasnya intrusi air laut, (d)
ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan (e) berkurangnya luas daratan atau hilangnya
pulau-pulau kecil.
Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh terjadinya pola hujan yang acak dan musim hujan
yang pendek sementara curah hujan sangat tinggi (kejadian ekstrim). Kemungkinan lainnya adalah akibat terjadinya
efek backwater dari wilayah pesisir ke darat. Frekuensi dan intensitas banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar
pada dekade mendatang dimana 80% peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia Selatan dan Tenggara (termasuk
Indonesia) dengan luas genangan banjir mencapai 2 juta mil persegi. Peningkatan volume air pada kawasan pesisir
akan memberikan efek akumulatif apabila kenaikan muka air laut serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan
terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan.
Kenaikan muka air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada wilayah pesisir juga mengakibatkan
rusaknya ekosistem mangrove, yang pada saat ini saja kondisinya sudah sangat mengkhawatirkan. Luas
hutan mangrove di Indonesia terus mengalami penurunan dari 5.209.543 ha (1982) menurun menjadi
3.235.700 ha (1987) dan menurun lagi hingga 2.496.185 ha (1993). Dalam kurun waktu 10 tahun (1982-
1993), telah terjadi penurunan hutan mangrove 50% dari total luasan semula. Apabila keberadaan
mangrove tidak dapat dipertahankan lagi, maka : abrasi pantai akan kerap terjadi karena tidak adanya
penahan gelombang, pencemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya filter polutan,
dan zona budidaya aquaculture pun akan terancam dengan sendirinya.
Meluasnya intrusi air laut selain diakibatkan oleh terjadinya kenaikan muka air laut juga dipicu oleh
terjadinya land subsidence akibat penghisapan air tanah secara berlebihan. Sebagai contoh, diperkirakan
pada periode antara 2050 hingga 2070, maka intrusi air laut akan mencakup 50% dari luas wilayah Jakarta
Utara.
Gangguan terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang terjadi diantaranya adalah : (a) gangguan
terhadap jaringan jalan lintas dan kereta api di Pantura Jawa dan Timur-Selatan Sumatera ; (b) genangan
terhadap permukiman penduduk pada kota-kota pesisir yang berada pada wilayah Pantura Jawa, Sumatera
bagian Timur, Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spot pesisir di Papua ;
(c) hilangnya lahan-lahan budidaya seperti sawah, payau, kolam ikan, dan mangrove seluas 3,4 juta hektar
atau setara dengan US$ 11,307 juta ; gambaran ini bahkan menjadi lebih buram apabila dikaitkan dengan
keberadaan sentra-sentra produksi pangan yang hanya berkisar 4 % saja dari keseluruhan luas wilayah
nasional, dan (d) penurunan produktivitas lahan pada sentra-sentra pangan, seperti di DAS Citarum,
Brantas, dan Saddang yang sangat krusial bagi kelangsungan swasembada pangan di Indonesia. Adapun
daerah-daerah di Indonesia yang potensial terkena dampak kenaikan muka air laut diperlihatkan pada
Gambar 1 berikut.
Terancam berkurangnya luasan kawasan pesisir dan bahkan hilangnya pulau-pulau kecil yang dapat
mencapai angka 2000 hingga 4000 pulau, tergantung dari kenaikan muka air laut yang terjadi. Dengan
asumsi kemunduran garis pantai sejauh 25 meter, pada akhir abad 2100 lahan pesisir yang hilang mencapai
202.500 ha.
Bagi Indonesia, dampak kenaikan muka air laut dan banjir lebih diperparah dengan pengurangan luas hutan
tropis yang cukup signifikan, baik akibat kebakaran maupun akibat penggundulan. Data yang dihimpun
dari The Georgetown International Environmental Law Review (1999) menunjukkan bahwa pada kurun
waktu 1997 1998 saja tidak kurang dari 1,7 juta hektar hutan terbakar di Sumatra dan Kalimantan akibat
pengaruh El Nino. Bahkan WWF (2000) menyebutkan angka yang lebih besar, yakni antara 2 hingga 3,5
juta hektar pada periode yang sama. Apabila tidak diambil langkah-langkah yang tepat maka kerusakan
hutan khususnya yang berfungsi lindung akan menyebabkan run-off yang besar pada kawasan hulu,
meningkatkan resiko pendangkalan dan banjir pada wilayah hilir , serta memperluas kelangkaan air bersih
pada jangka panjang.
Antisipasi Dampak Kenaikan Muka Air Laut dan Banjir melalui Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional
Dengan memperhatikan dampak pemanasan global yang memiliki skala nasional dan dimensi waktu yang berjangka
panjang, maka keberadaan RTRWN menjadi sangat penting. Secara garis besar RTRWN yang telah ditetapkan aspek
legalitasnya melalui PP No.47/1997 sebagai penjabaran pasal 20 dari UU No.24/1992 tentang Penataan Ruang
memuat arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang negara yang memperlihatkan adanya pola dan struktur wilayah
nasional yang ingin dicapai pada masa yang akan datang.
Pola pemanfaatan ruang wilayah nasional memuat : (a) arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan kawasan lindung
(termasuk kawasan rawan bencana seperti kawasan rawan gelombang pasang dan banjir) ; dan (b) arahan kebijakan
dan kriteria pengelolaan kawasan budidaya (hutan produksi, pertanian, pertambangan, pariwisata, permukiman,
dsb). Sementara struktur pemanfaatan ruang wilayah nasional mencakup : (a) arahan pengembangan sistem
permukiman nasional dan (b) arahan pengembangan sistem prasarana wilayah nasional (seperti jaringan
transportasi, kelistrikan, sumber daya air, dan air baku.
Sesuai dengan dinamika pembangunan dan lingkungan strategis yang terus berubah, maka dirasakan adanya
kebutuhan untuk mengkajiulang (review) materi pengaturan RTRWN (PP 47/1997) agar senantiasa dapat merespons
isu-isu dan tuntutan pengembangan wilayah nasional ke depan. (mohon periksa Tabel 3 pada Lampiran). Oleh
karenanya, pada saat ini Pemerintah tengah mengkajiulang RTRWN yang diselenggarakan dengan memperhatikan
perubahan lingkungan strategis ataupun paradigma baru sebagai berikut :
globalisasi ekonomi dan implikasinya,

otonomi daerah dan implikasinya,

penanganan kawasan perbatasan antar negara dan sinkronisasinya,

pengembangan kemaritiman/sumber daya kelautan,

pengembangan kawasan tertinggal untuk pengentasan kemiskinan dan krisis ekonomi,

daur ulang hidrologi,

penanganan land subsidence,

pemanfaatan jalur ALKI untuk prosperity dan security, serta

pemanasan global dan berbagai dampaknya.


Dengan demikian, maka aspek kenaikan muka air laut dan banjir seyogyanya akan menjadi salah satu masukan yang
signifikan bagi kebijakan dan strategi pengembangan wilayah nasional yang termuat didalam RTRWN khususnya
bagi pengembangan kawasan pesisir mengingat : (a) besarnya konsentrasi penduduk yang menghuni kawasan pesisir
khususnya pada kota-kota pantai, (b) besarnya potensi ekonomi yang dimiliki kawasan pesisir, (c) pemanfaatan
ruang wilayah pesisir yang belum mencerminkan adanya sinergi antara kepentingan ekonomi dengan lingkungan, (d)
tingginya konflik pemanfaatan ruang lintas sektor dan lintas wilayah, serta (e) belum terciptanya keterkaitan
fungsional antara kawasan hulu dan hilir, yang cenderung merugikan kawasan pesisir.
Berdasarkan studi yang dilakukan oleh ADB (1994), maka dampak kenaikan muka air laut dan banjir diperkirakan
akan memberikan gangguan yang serius terhadap wilayah-wilayah seperti : Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur,
Kalimantan bagian Selatan, Sulawesi bagian Barat Daya, dan beberapa spotpada pesisir Barat Papua
Untuk kawasan budidaya, maka perhatian yang lebih besar perlu diberikan untuk kota-kota pantai yang memiliki
peran strategis bagi kawasan pesisir, yakni sebagai pusat pertumbuhan kawasan yang memberikan pelayanan
ekonomi, sosial, dan pemerintahan bagi kawasan tersebut. Kota-kota pantai yang diperkirakan mengalami ancaman
dari kenaikan muka air laut diantaranya adalah Lhokseumawe, Belawan, Bagansiapi-api, Batam, Kalianda, Jakarta,
Tegal, Semarang, Surabaya, Singkawang, Ketapang, Makassar, Pare-Pare, Sinjai. (Selengkapnya mohon periksa Tabel
1 pada Lampiran).
Kawasan-kawasan fungsional yang perlu mendapatkan perhatian terkait dengan kenaikan muka air laut dan banjir
meliputi 29 kawasan andalan, 11 kawasan tertentu, dan 19 kawasan tertinggal. (selengkapnya mohon periksa Tabel 2
pada Lampiran).
Perhatian khusus perlu diberikan dalam pengembangan arahan kebijakan dan kriteria pengelolaan prasarana wilayah
yang penting artinya bagi pengembangan perekonomian nasional, namun memiliki kerentanan terhadap dampak
kenaikan muka air laut dan banjir, seperti :
sebagian ruas-ruas jalan Lintas Timur Sumatera (dari Lhokseumawe hingga Bandar Lampung sepanjang
1600 km) dan sebagian jalan Lintas Pantura Jawa (dari Jakarta hingga Surabaya sepanjang 900 km) serta
sebagian Lintas Tengah Sulawesi (dari Pare-pare, Makassar hingga Bulukumba sepanjang 250 km).
beberapa pelabuhan strategis nasional, seperti Belawan (Medan), Tanjung Priok (Jakarta), Tanjung Mas
(Semarang), Pontianak, Tanjung Perak (Surabaya), serta pelabuhan Makassar.
Jaringan irigasi pada wilayah sentra pangan seperti Pantura Jawa, Sumatera bagian Timur dan Sulawesi
bagian Selatan.
Beberapa Bandara strategis seperti Medan, Jakarta, Surabaya, Denpasar, Makassar, dan Semarang.
Untuk kawasan lindung pada RTRWN, maka arahan kebijakan dan kriteria pola pengelolaan kawasan rawan bencana
alam, suaka alam-margasatwa, pelestarian alam, dan kawasan perlindungan setempat (sempadan pantai, dan sungai)
perlu dirumuskan untuk dapat mengantisipasi berbagai kerusakan lingkungan yang mungkin terjadi.
Selain antisipasi yang bersifat makro-strategis diatas, diperlukan pula antisipasi dampak kenaikan muka air laut dan
banjir yang bersifat mikro-operasional. Pada tataran mikro, maka pengembangan kawasan budidaya pada kawasan
pesisir selayaknya dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa alternatif yang direkomendasikan oleh IPCC
(1990) sebagai berikut :
Relokasi ; alternatif ini dikembangkan apabila dampak ekonomi dan lingkungan akibat kenaikan muka air
laut dan banjir sangat besar sehingga kawasan budidaya perlu dialihkan lebih menjauh dari garis pantai.
Dalam kondisi ekstrim, bahkan, perlu dipertimbangkan untuk menghindari sama sekali kawasan-kawasan
yang memiliki kerentanan sangat tinggi.
Akomodasi ; alternatif ini bersifat penyesuaian terhadap perubahan alam atau resiko dampak yang
mungkin terjadi seperti reklamasi, peninggian bangunan atau perubahan agriculturemenjadi budidaya air
payau (aquaculture) ; area-area yang tergenangi tidak terhindarkan, namun diharapkan tidak menimbulkan
ancaman yang serius bagi keselamatan jiwa, asset dan aktivitas sosial-ekonomi serta lingkungan sekitar.
Proteksi ; alternatif ini memiliki dua kemungkinan, yakni yang bersifat hard structure seperti
pembangunan penahan gelombang (breakwater) atau tanggul banjir (seawalls) dan yang bersifatsoft
structure seperti revegetasi mangrove atau penimbunan pasir (beach nourishment). Walaupun cenderung
defensif terhadap perubahan alam, alternatif ini perlu dilakukan secara hati-hati dengan tetap
mempertimbangkan proses alam yang terjadi sesuai dengan prinsip working with nature.
Sedangkan untuk kawasan lindung, prioritas penanganan perlu diberikan untuk sempadan pantai, sempadan sungai,
mangrove, terumbu karang, suaka alam margasatwa/cagar alam/habitat flora-fauna, dan kawasan-kawasan yang
sensitif secara ekologis atau memiliki kerentanan tinggi terhadap perubahan alam atau kawasan yang bermasalah.
Untuk pulau-pulau kecil maka perlindungan perlu diberikan untuk pulau-pulau yang memiliki fungsi khusus, seperti
tempat transit fauna, habitat flora dan fauna langka/dilindungi, kepentingan hankam, dan sebagainya.
Agar prinsip keterpaduan pengelolaan pembangunan kawasan pesisir benar-benar dapat diwujudkan, maka
pelestarian kawasan lindung pada bagian hulu khususnya hutan tropis - perlu pula mendapatkan perhatian. Hal ini
penting agar laju pemanasan global dapat dikurangi, sekaligus mengurangi peningkatan skala dampak pada kawasan
pesisir yang berada di kawasan hilir.
Kebutuhan Intervensi Kebijakan Penataan Ruang dalam rangka Mengantisipasi
Dampak Pemanasan Global terhadap Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Dalam kerangka kebijakan penataan ruang, maka RTRWN merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dapat
dimanfaatkan untuk dampak pemanasan global terhadap kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Namun demikian,
selain penyiapan RTRWN ditempuh pula kebijakan untuk revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata ruang yang
berorientasi kepada pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil
dengan tingkat kedalaman yang lebih rinci.
Intervensi kebijakan penataan ruang diatas pada dasarnya ditempuh untuk memenuhi tujuan-tujuan berikut :
Mewujudkan pembangunan berkelanjutan pada kawasan pesisir, termasuk kota-kota pantai dengan segenap
penghuni dan kelengkapannya (prasarana dan sarana) sehingga fungsi-fungsi kawasan dan kota sebagai
sumber pangan (source of nourishment) dapat tetap berlangsung.
Mengurangi kerentanan (vulnerability) dari kawasan pesisir dan para pemukimnya (inhabitants) dari
ancaman kenaikan muka air laut, banjir, abrasi, dan ancaman alam (natural hazards) lainnya.
Mempertahankan berlangsungnya proses ekologis esensial sebagai sistem pendukung kehidupan dan
keanekaragaman hayati pada wilayah pesisir agar tetap lestari yang dicapai melalui keterpaduan
pengelolaan sumber daya alam dari hulu hingga ke hilir (integrated coastal zone management).
Untuk mendukung tercapainya upaya revitalisasi dan operasionalisasi rencana tata ruang, maka diperlukan
dukungan-dukungan, seperti : (a) penyiapan Pedoman dan Norma, Standar, Prosedur dan Manual (NSPM)
untuk percepatan desentralisasi bidang penataan ruang ke daerah - khususnya untuk penataan ruang dan
pengelolaan sumber daya kawasan pesisir/tepi air; (b) peningkatan kualitas dan kuantitas sumber daya
manusia serta pemantapan format dan mekanisme kelembagaan penataan ruang, (c) sosialisasi produk-
produk penataan ruang kepada masyarakat melalui public awareness campaig, (d) penyiapan dukungan
sistem informasi dan database pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil yang memadai, serta (e)
penyiapan peta-peta yang dapat digunakan sebagai alat mewujudkan keterpaduan pengelolaan kawasan
pesisir dan pulau-kecil sekaligus menghindari terjadinya konflik lintas batas.
Selanjutnya, untuk dapat mengelola pembangunan kawasan pesisir secara efisien dan efektif, diperlukan
strategi pendayagunaan penataan ruang yang senada dengan semangat otonomi daerah yang disusun
dengan memperhatikan faktor-faktor berikut :
Keterpaduan yang bersifat lintas sektoral dan lintas wilayah dalam konteks pengembangan kawasan pesisir
sehingga tercipta konsistensi pengelolaan pembangunan sektor dan wilayah terhadap rencana tata ruang
kawasan pesisir.
Pendekatan bottom-up atau mengedepankan peran masyarakat (participatory planning process) dalam
pelaksanaan pembangunan kawasan pesisir yang transparan dan accountable agar lebih akomodatif
terhadap berbagai masukan dan aspirasi seluruh stakeholders dalam pelaksanaan pembangunan.
Kerjasama antar wilayah (antar propinsi, kabupaten maupun kota-kota pantai, antara kawasan perkotaan
dengan perdesaan, serta antara kawasan hulu dan hilir) sehingga tercipta sinergi pembangunan kawasan
pesisir dengan memperhatikan inisiatif, potensi dan keunggulan lokal, sekaligus reduksi potensi konflik
lintas wilayah
Penegakan hukum yang konsisten dan konsekuen baik PP, Keppres, maupun Perda - untuk menghindari
kepentingan sepihak dan untuk terlaksananya role sharing yang seimbang antar unsur-unsur stakeholders.

Anda mungkin juga menyukai