Anda di halaman 1dari 3

Term of Reference

STUDIUM GENERALE
Perguruan Tinggi Produsen Koruptor? Sebuah Tinjauan Etis Perspektif
Sistem dan Aktor

Dasar Pemikiran

Ada isu yang cukup menarik saat mencoba mengaitkan antara


kasus korupsi dan perguruan tinggi di Indonesia. Sebagian
besar di antara para koruptor, bahkan yang kelas kakap
adalah lulusan perguruan tinggi. Pernyataan kontroversial ini
sempat dilontarkan oleh Marzuki Ali dan Mahfud MD yang
waktu itu menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konsitusi pada tahun
2012 silam.
Tentunya isu ini akan berujung pada sebuah
kesimpulan yang problematis. Pertama, asumsi ini tidaklah
sepenuhnya benar sebab ini merupakan fallacy dan teramat
tergesa-gesa. Banyak variabel lain selain faktor perguruan
tinggi sebagai basis pendidikan politik dan menjalankan etika
birokrasi. Kedua, asumsi ini juga tidak sepenuhnya bisa
disalahkan apabila kita mau menengok fakta dan angka lulusan
perguruan tinggi yang terjerat kasus korupsi. Menurut Mahfud,
bahkan 95 persen dari pelaku korupsi tersebut lulusan perguruan
tinggi.
Pertanyaannya, mengapa para lulusan perguruan
tinggi tersebut, yang tentunya sudah dibekali dengan
berbagai muatan kognitif maupun afektif mengenai asas hukum
dan kenyang akan materi-materi etis masih melakukan tindakan
korupsi? Dan bagaimana dengan konteks Indonesia dimasa kini,
apakah lontaran Mahfud ini masih berlaku sampai sekarang,
ataukah sudah mengalami transformasi?
Berdasarkan Corruptions Perseptions yang dirilis
Transparancy International pada tahun 2014, Indonesia memang
sudah membaik di level dalam negeri, yaitu naik dari
peringkat 114 ke 107. Namun angka ini ternyata tidak lebih
baik jika dibandingkan dengan negara -negara tetangga seperti
Filipina, Malaysia, Thailand, dan Singapura. Sementara pada
tahun 2014-2016, data yang dirilis KPK per-30 April menyatakan
adanya tingkat kenaikan jumlah penyelidikan hingga eksekusi
kasus korupsi mengalami peningkatan, dari yang semula 77
kasus penyelidikan dan 32 eksekusi meningkat menjadi 80 kasus
penyelidikan dan 38 eksekusi.
Setidaknya ada dua perspektif yang bisa digali melalui
studium
general ini. Perspektif pertama, jangan-jangan sistem
birokrasi yang
bermasalah sehingga memproduksi para koruptor. Dengan
demikian, maka
sistem birokrasi yang sebelah mana yang bermasalah ini
sehingga bisa
diperbaiki supaya mampu meminimalisir angka korupsi di
Indonesia,
sekaligus melakukan tindak pencegahan melalui perbaikan sistem
birokrasi
yang sehat. Pada perspektif kedua, sistem sebenarnya sudah
diperbaiki dari
satu periode ke periode pemerintahan dan tentunya semakin baik.
Maka, ini
adalah kesalahan dari aktor yang terlibat di dalamnya.
Kasus korupsi
bukanlah gejala sistemik, melainkan penyakit beberapa oknum
saja yang
dengan sadar melakukan tindak korup, maka perlu adanya bentuk
tindakan
yang tegas dari para penegak hukum terhadap para oknum ini.
Institut Pesantren Mathaliul Falah (IPMAFA) sebagai
salah satu
perguruan tinggi seharusnya juga memiliki tanggung jawab
yang sama
dengan perguruan tinggi lain, yaitu memberikan sumbangsih berupa
tradisi
pemikiran maupun aspek normatif untuk mencegah
bertambahnya angka

koruptor. Terlebih, IPMAFA memiliki visi untuk menjadi Perguruan


Tinggi

Riset (dimensi kognitif) Berbasis Nilai-nilai Pesantren (dimensi


afektif

konatif). Secara eksplisit visi tersebut memposisikan peran IPMAFA


dalam

menyelenggarakan pendidikan politik dan etika birokrasi


kepada peserta

didik (mahasiswa) melalui proses reinterpretasi terhadap nilai-nilai


pesantren

sebagai basis pembentukan moral dan perilaku insan cendikia di


dalamnya.

Tentunya harapan dari diadakannya studium generale dengan


tema cukup

atraktif Perguruan Tinggi Produsen Koruptor? Tinjauan Etis


Perspektif

Anda mungkin juga menyukai