Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Berlakang


Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu penyakit
tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia.
Penyebabnya antara lain meningkatnya usia harapan hidup dan semakin
tingginya pajanan faktor risiko, seperti faktor pejamu yang diduga
berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin banyaknya jumlah perokok
khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam
ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja. Data Badan Kesehatan
Dunia (WHO), menunjukkan pada tahun 1990 PPOK menempati urutan ke-6
sebagai penyebab utama kematian di dunia, dan tahun 2002 menempati urutan
ke-3 setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker.
Emfisema paru adalah suatu definisi anatomik, yaitu suatu perubahan
anatomis paru-paru yang ditandai dengan melebarnya secara abnormal saluran
udara sebelah distal bronkus terminalis, yang disertai kerusakan dinding
alveolus. Emfisema paru di Amerika Serikat terdapat pada 65% laki-laki dan
15% wanita. Di jepang angka kejadiannya mencapai 42%. Data epidemiologi
di Indonesia sangat minim. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
DEPKES RI 1992 menemukan angka kematian emfisema, bronkitis kronik
dan asma menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di
Indonesia (Hadiarto, 1998). Survey di 17 Puskesmas Jawa Timur ditemukan
angka kesakitan emfisema paru 13,1% (Aji Widjaja 1993).
Bronkiektasis dulu dikenal sebagai penyakit yang menyerang orang
yang sudah berusia tua, namun saat ini telah dikenal secara luas dengan
frekuensi yang meningkat di seluruh dunia dan dapat diderita oleh pasien
dengan spektrum usia yang luas baik laki-laki dan perempuan. Di negara
barat, prevalensi bronkiektasis diperkirakan sebanyak 1,3% di antara populasi.
Kekerapan itu mengalami penurunan setelah antibiotik banyak dipakai untuk
mengobati penyakit infeksi paru. Di Indonesia belum ada laporan tentang
angka yang pasti mengenai penyakit ini. Dampak khusus bagi sistem

1
kesehatan mengalami peningkatan. Di Amerika Serikat, angka rawat inap
untuk kasus bronkiektasis meningkat antara tahun 1993 2006. Dan saat ini
mencapai angka 16,5/100.000 penduduk per tahun (Maguire, 2012).
Peningkatan ini prevalensi ini seiring dengan semakin meluasnya penggunaan
high resolution chest CT (HRCT) (ODonnel, 2008).

1.2 Tujuan
Mahasiswa kepaniteraan klinik senior dapat mampu mengetahui, memahami,
dan menjelaskan tentang :
1. PPOK
2. Emfisema paru
3. Bronkiektasi

1.1 Manfaat
1 Bagi penulis
Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam mempelajari,
mengidentifikasi, dan mengembangkan teori yang telah disampaikan
mengenai PPOK, Emfisema paru, dan Bronkiektasi.

2 Bagi institute pendidikan


Dapat dijadikan sumber referensi atau bahan perbandingan bagi kegiatan
yang ada kaitannya dengan pelayanan kesehatan, khususnya yang berkaitan
dengan PPOK, Emfisema paru, dan Bronkiektasi.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 PPOK

2
2.1.1 Definisi

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang dapat
dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya
reversibel, bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru
terhadap partikel atau gas yang beracung atau berbahaya, disertai efek ekstra paru
yang berkontribusi terhadap derajat berat penyakit. Karakteristik hambatan aliran
udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan antara obstruksi saluran napas kecil
(obstruksi bronkiolitis) dan kerusakan parenkim (emfisema) yang bervariasi pada
setiap individu.
PPOK seringkali timbul pada usia pertengahan akibat merokok dalam
waktu yang lama. PPOK sendiri juga mempunyai efek sistemik yang bermakna
sebagai petanda sudah terdapat kondisi komorbid lainnya.
Dampak PPOK pada setiap individu tergantung derajat keluhan
(khususnya sesak dan penurunan kapasitas latihan), efek sistemik dan gejala
komorbid lainnya. Hal tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh derajat keterbatasan
aliran udara.
Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK karena:
- Emfisema merupakan diagnosis patologik
- Bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis
Selain itu keduanya tidak selalu mencerminkan hambatan aliran udara dalam
saluran napas.
.
2.1.2 Faktor Resiko

Identifikasi faktor resiko merupakan langkah penting dalam penecegahan


dan penatalaksanaan PPOK. Meskipun saat ini pemahaman faktor resiko PPOK
dalam banyak hal masih belum lengkap, diperlukan pemahaman interaksi dan
hubungan antara faktor-faktor resiko sehingga memerlukan investigasi lebih
lanjut.
Pada dasarnya semua resiko PPOK merupakan hasil dari interaksi
lingkungan dan gen. misalnya, dua orang dengan riwayat merokok yang sama,
hanya satu yang berkembang menjadi PPOK, karena perbedaan dalam
predisposisi genetik untuk penyakit ini, atau dalam beberapa lama mereka hidup.

3
Stasus sosial ekonomi dapat dihubungkan dengan berat badan lahir anak yang
dapat berdampak pada pertumbuhan dan pengembangan paru. Beberapa hal yang
berkaitan dengan resiko timbulnya PPOK saat ini.

1. Asap Rokok
Kebiasaan merokok adalah satu-satunya penyebab kausal yang
terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainya. Asap rokok
mempunyai prevalens yang tinggi sebagai penyebab gejala respirasi dan
gangguan fungsi paru. Dari beberapa penelitian dilaporkan bahwa terdapat
rerata penurunan VEP1. Angka kematian pada perokok pada perokok
mempunyai nilai yang bermakna dibandingkan bukan perokok. Resiko
PPOK pada perokok tergantung dari dosis rokok yang di hisap, usia mulai
merokok, jumlah batang rokok pertahun dan lamanya merokok (indeks
Brinkman). Perokok pasif dapat memberikan konstribusi terjadinya gejala
respirasi dan PPOK, karena terjadi peningkatan jumlah inhalasi partikel dan
gas. Merokok selama kehamilan dapat beresiko terhadap janin,
mempengaruhi tumbuh kembang paru di uterus dan dapat menurunkan
sistem imun awal.

Dalam pencatatan riwayat merokok perlu di perhatikan :


a) Riwayat Perokok
- Perokok Aktif
- Perokok Pasif
- Bekas Perokok
b) Derajat berat merokok dengan indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian
jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama
merokok dalam tahun:
- Ringan : 0-199
- Sedang : 200-599
- Berat : >600
2. Polusi Udara
Berbagai macam partikel dan gas yang terdapat di udara sekitar,
dapat menjadi penyebab terjadinya polusi udara. Ukuran dan macam
partikel akan memberikan efek yang berbeda terhadap timbulnya dan
beratnya PPOK.Agar lebih mudah mengidentifikasi partikel penyebab,
polusi udara terbagimenjadi :

4
a) Polusi dalam ruangan
- Asap rokok
- Asap kompor
b) Polusi di luar ruangan
- Gas buang kendaraan bermotor
- Debu jalanan
c) Polusi di tempat kerja
- Bahan kimia
- Zat iritasi
- Gas beracun

Polusi di dalam ruangan.


Kayu, serbuk gergaji, batu bara dan minyak tanah yang merupakan
bahan bakar kompor menjadi penyebab tertinggi polusi di dalam ruangan.
Kejadian polusi di dalam ruangan dari asap kompor dan pemanas ruangan
dengan ventilasi kurang baik merupakan faktor risiko terpenting timbulnya
PPOK, terutama pada perempuan di negara berkembang (Case control
studies).
Hampir 3 milyar penduduk dunia memakai biomass dan batubara
sebagai sumber utama energi untuk memasak, pemanas ruangan, dan
keperluan rumah tangga lainnya, sehingga populasi yang berisiko menjadi
sangat banyak.
Polusi di dalam ruangan memberikan risiko lebih besar terjadinya
PPOK dibandingkan dengan polusi sulfat atau gas buang kendaraan.
Bahan bakar biomass yang digunakan oleh perempuan untuk
memasak sehingga meningkatkan prevalensi PPOK pada perempuan
bukan perokok di Asia dan Afrika. Polusi di dalam ruangan diperkirakan
akan membunuh 2 juta perempuan dan anak-anak setiap tahunnya (GOLD,
2010)

Polusi di luar ruangan


Tingginya polusi udara dapat menyebabkan gangguan jantung dan
paru. Mekanisme polusi di luar ruangan seperti polutan di atmosfer dalam
waktu lama sebagai penyebab PPOK belum jelas, tetapi lebih kecil
prevalensinya jika dibandingkan dengan pajanan asap rokok. Efek relatif

5
jangka pendek, puncak pajanan tertinggi dalam waktu lama dan pajanan
tingkat rendah adalah pertanyaan yang harus dicari solusinya.

3. Stres Oksidatif
Paru selalu terpajan oleh oksidan endogen dan eksogen. Oksidan
endogen timbul dari sel fagosit dan tipe sel lainya, sedangkan oksidan
eksogen dari polutan dan asap rokok. Oksidan intraseluler (endogen) seperti
derivate electron mitokondria transpor termasuk dalam mekanisme seluler
signaling pathway. Sel paru dilindungi oleh oxidative chalange yang
berkembang secara sistem enzimatik atau non enzimatik. Ketika
keseimbangan antara oksidan dan antioksidan berubah bentuk, misalnya
ekses oksidan dan atau deplesi antioksidan akan menimbulkan stress
oksidatif. Stress oksidatif tidak hanya menimbulkan efek kerusakan pada
paru tetapi juga menimbulkan aktifitas molekuler sebagai awal inflamasi
paru. Jadi, ketidakseimbangan antara oksidan dan anti oksidan memegang
peranan penting pada PPOK.

4. Infeksi saluran nafas bawah berulang


Infeksi virus dan bakteri berperan dalam pathogenesis dan
progresifitas PPOK. Kolonisasi bakteri menyebabkan inflamasi jalan
nafas, berperan secara bermakna menimbulkan eksaserbasi. Infeksi saluran
berat pada anak, akan menyebabkan penurunan fungsi paru dan
meningkatka gejala respirasi pada saat dewasa. Terdapat beberapa
kemungkinan yang dapat menjelaskan penyebab keadaan ini, karena
seringnya kejadian infeksi berat pada anak sebagai penyebab dasar
timbulnya hiperesponsif jalan nafas yang merupakan faktor resiko pada
PPOK. Pengaruh berat badan lahir rendah akan meningkatkan infeksi viral
yang juga merupakan faktor resiko PPOK. Kebiasaan merokok
berhubunngan dengan kejadian emfisema. Riwayat infeksi tuberculosis
berhubungan dengan obstruksi jalan nafas pada usia lebih dari 40 tahun.
5. Sosial Ekonomi
Sosial ekonomi sebagai faktor resiko terjadinya PPOK belum dapat
di jelaskan dengan pasti. Pajanan polusi di dalam dan luar ruangan,
pemukiman yang padat, nutrisi yang jelek dan faktor lain yang

6
berhubungan dengan status sosial ekonomi kemungkinan dapat
menjeaskan hal ini. Malnutrisi dan penurunan berat badan dapat
menurunkan kekuatan dan ketahanan otot respirasi, karena penurunan
masa otot dan kekuatan serabut otot.

6. Tumbuh Kembang Paru


Pertumbuhan paru berhubungan dengan proses selama kehamilan,
kelahiran dan pajanan waktu kecil. Kecepatan maksimal penurunan fungsi
paru seseorang adalah resiko untuk terjadinya PPOK. Studi menyatakan
bahwa berat lahir mempengaruhi nilai VEP1 pada masa anak.

7. Asma
Asma kemungkinan sebagai faktor resiko terjadinya PPOK
walaupun belum dapat disimpulkan. Pada laporan the Tucson
epidemiological styudy didapatkan bahwa orang dengan asma 12 kali lebih
tinggi resiko terkena PPOK daripada bukan asma meskipun telah berhenti
merokok. Penelitian lain 20% dari asma akan berkembang menjadi PPOK
dengan ditemukanya obstruksi jalan nafas irreversible.

8. Gen
PPOK adalah penyakit poligenik dan contoh klasik dari interaksi
gen-lingkungan. Faktor resiko genetic yang paling sering terjadi adalah
kekurangan alfa-1 antitripsin sebagai inhibitor dari protease serin. Sifat
resesif ini jarang, paling sering dijumpai pada individu yang berasal dari
eropa utara. Di temukan pada usia muda dengan kelainan emfisema
panlobular dengan penurunan fungsi paru yang terjadi baik pada perokok
atau bukan perokok dengan kekurangan alfa-antitrypsin yang berat.

2.1.3 Klasifikasi

Derajat Klinis Faal Paru

7
Derajat I : Gejala batuk kronik dan produksi VEP1/KVP < 70%
PPOK Ringan
sputum ada tetapi tidak sering. Pada VEP1 80% prediksi
derajat ini pasien sering tidak
menyadari bahwa faal paru mulai
menurun.

Derajat II : Gejala sesak mulai dirasakan saat VEP1/KVP < 70%


PPOK Sedang
aktivitas dan kadang ditemukan gejala 50% VEP1< 80%
batuk dan produksi sputum. Biasanya prediksi
pasien mulai memeriksa kan
kesehatannya.

Derajat III : Gejala sesak lebih berat, penurunan VEP1/KVP < 70%
PPOK Berat
aktivitas, rasa lelah dan serangan 30% VEP1< 50%
eksaserbasi semakin sering dan prediksi
berdampak pada kualitas hidup pasien.

Derajat IV : Gejala diatas dimbah dengan tanda- VEP1/KVP <70%


PPOK Sangat
tanda gagal napas atau gagal jantung VEP1< 30% prediksi atau
Berat
kanan dan ketergantungan oksigen. VEP1< 50% prediksi
Kualitas hidup pasien memburuk dan
disertai gagal napas
jika eksaserbasi dapat mengancam
kronik
jiwa.

2.1.4 Gejala Klinis

Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanda dan gejala
ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan sampai
ditemukan kelainan yang jelas dan tanda inflasi paru. Gejala klinis yang biasa
ditemukan pada penderita PPOK adalah sebagai berikut:
a) Sesak napas
Sesak napas bersifat progresif (bertambah berat seiring
berjalannya waktu), bertambah berat dengan aktivitas, persisten

8
(menetap sepanjang hari), pasien mengeluh berupa perlu usaha untuk
bernapas.
b) Batuk kronik
Batuk kronik hilang timbul dan mungkin tidak berdahak.
c) Batuk kronik berdahak
Setiap batuk kronik berdahak dapat mengindikasikan PPOK.

Pertimbangkan PPOK dan lakukan uji spirometri jika salah satu


indikator ini ada pada individu di atas usia 40 tahun. Indikator ini
bukan merupakan diagnosis pasti, tetapi keberadaan beberapa indikator
kunci meningkatkan kemungkinan diagnosis PPOK. Spirometri
diperlukan untuk memastikan diagnosis PPOK.

2.1.5 Diagnosis

Anamnesa - Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan
lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan
asap rokok dan polusi udara
- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
Pemeriksaan Inspeksi
- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
fisik
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis
di leher dan edema tungkai
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
Palpasi

9
Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
Perkusi
Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak
diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah.
Auskultasi
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada
ekspirasi paksa
- ekspirasi memanjang
- bunyi jantung terdengar jauh
Pemeriksaan 1. Faal paru
penunjang Spirometri (VEP1, VEP1 prediksi, KVP, VEP1/KVP)
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau
VEP1/KVP ( % )
- Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP)
< 75 %.
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai
beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE
meter walaupun kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan
memantau variabiliti harian pagi dan sore, tidak lebih dari 20%

Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan
APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20
menit kemudian dilihat perubahan nilai VEP 1/APE, perubahan
VEP1/APE < 20% dan < 200 ml dari nilai awal.
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.
2. Laboratorium darah
Hemoglobin (Hb), Leukosit, Trombosit.
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit
paru lain
Pada emfisema terlihat gambaran :

10
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar
- Diafragma mendatar
- Jantung menggantung (jantung pendulum)
Pada bronkitis kronik :
- Normal
- Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

2.1.6 Diagnosis Banding

Diagnosis Gejala
PPOK - Onset pada usia pertengahan.
- Gejala progresif lambat.
- Lamanya riwayat merokok.
- Sesak saat aktivitas.
- Sebagian besar hambatan aliran udara.
- Ireversibel

Asma - Onset awal sering pada anak.


- Gejala bervariasi dari hari ke hari.
- Gejala pada malam / menjelang pagi.
- Disertai atopi, rhinitis, atau eksim.
- Riwayat keluarga dengan asma.
- Sebagian besar keterbatasan aliran udara.
- Reversible
Gagal jantung - Auskultasi terdengar ronki halus di bagian basal.
- Foto thorak tampak jantung membesar, edema paru.
kongestif
- Uji faal paru menunjukkan restriksi bukan obstruksi.

SOPT - penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada


(sindrom pasien pascatuberkulosis dengan lesi paru yang
obstruksi pasca minimal
tuberculosis)

2.1.7 Penatalaksanaan
a) Penatalaksanaan umum PPOK
Tujuan penatalaksanaan :

11
- Mengurangi gejala
- Mencegah progresifitas penyakit
- Meningkatkan toleransi latihan
- Meningkatkan status kesehatan
- Mencegah dan menangani komplikasi
- Mencegah dan menangani eksaserbasi
- Menurunkan kematian
Penatalaksanaan Secara Umum

Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi :


1. Edukasi
2. Berhenti merokok
3. Obat obatan
4. Rehabilitasi
5. Terapi oksigen
6. Ventilasi mekanis
7. Nutrisi
1. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka
panjang pada PPOK stabil.Inti dari edukasi adalah menyesuaikan

12
keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan fungsi
paru.
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan
berlanjut secara berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita
sendiri maupun bagi keluarganya.
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah :
1. Pengetahuan dasar tentang PPOK
2. Obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya
3. Cara pencegahan perburukan penyakit
4. Menghindari pencetus (berhenti merokok)
5. Penyesuaian aktiviti
Agar edukasi dapat diterima dengan mudah dan dapat dilaksanakan
ditentukan skala prioritas bahan edukasi sebagai berikut :
1. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis
PPOK ditegakkan.
2. Pengunaan obat - obatan
- Macam obat dan jenisnya
- Cara penggunaannya yang benar ( oral, MDI atau nebuliser )
- Waktu penggunaan yang tepat ( rutin dengan selangwaku tertentu
atau kalau perlu saja )
- Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
3. Penggunaan oksigen
- Kapan oksigen harus digunakan
- Berapa dosisnya
- Mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
4. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
5. Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya

Tanda eksaserbasi :
- Batuk bertambah
- Sesak bertambah

13
- Sputum bertambah
- Sputum berubah warna
6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktivitas
Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima,
langsung ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu.
Pemberian edukasi sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi
yang tidak terlalu banyak pada setiap kali pertemuan. Edukasi merupakan
hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena
PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang ireversibel.
Pemberian edukasi berdasar derajat penyakit.
2. Berhenti merokok
Berhenti merokok merupakan satu-satunya intervensi yang paling
efektif dalam mengurangi risiko berkembangnya PPOK dan
memperlambat progresifitas penyakit.
3. Obat-obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat
penyakit.Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebulizer tidak
dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat
diutamakan pemberian obat lepas lambat ( slow release ) atau obat
berefek panjang ( longacting).

Macam - macam bronkodilator :


- Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi mukus( maksimal 4 kali perhari ).
- Golongan agonis beta - 2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan
jumlah penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai
obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek

14
panjang.Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi
akut, tidak dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang.Bentuk injeksi
subkutan atau drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
- Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek
bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda.
Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mudah
digunakan.
- Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan
jangka panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet
biasa atau puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan
bolus atau drip untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka
panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.
b. Anti Inflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau
injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih
golongan metilprednisolon atau prednison.Bentuk inhalasi sebagai terapi
jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu
terdapat perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan
minimal 250 mg.
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat eksaserbasi.
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup,
digunakan N-asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi
yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan
mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan
sputum yang kental. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik,
tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.

15
f. Antitusif
Diberikan dengan hati-hati

4. Rehabilitasi
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan
memperbaiki kualiti hidup pasien PPOK.Pasien yang dimasukkan ke dalam
program rehabilitasi adalah mereka yang telahmendapatkan pengobatan
optimal yang disertai :
- Simptom pernapasan berat
- Beberapa kali masuk ruang gawat darurat
- Kualiti hidup yang menurun
Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu
tim multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis dan
psikolog. Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen yaitu : latihan fisis,
psikososial dan latihan pernapasan.

5. Terapi oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan.Pemberian terapi oksigen merupakan
hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan
mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ - organ lainnya.
Indikasi :
- PaO2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%
- PaO2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal,
perubahan Ppullmonal, Ht >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan,
sleep apnea, penyakit paru lain
6. Ventilasi mekanis
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal
napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK
derajat berat dengan napas kronik.Ventilasi mekanik dapat digunakan dirumah
sakit di ruang ICU atau di rumah.Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan
cara :
- ventilasi mekanik dengan intubasi

16
- ventilasi mekanik tanpa intubasi
7. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya
kebutuhan energy akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena
hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme.
Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan
derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah.
b) Penatalaksanaan pada eksaserbasi akut
Eksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan
dengan kondisi sebelumnya. Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor
lainnya seperti polusi udara, kelelahan, atau timbulnya komplikasi.
Tanda eksaserbasi :
- Sesak bertambah
- Batuk bertambah
- Produksi sputum meningkat
- Perubahan warna sputum (menjadi purulent)

Eksaserbasi akut dibagi atas:


- Tipe I (eksaserbasi berat) : memiliki 3 gejala diatas
- Tipe II (eksaserbasi sedang) : memiliki 2 gejala diatas
- Tipe III (eksaserbasi ringan) :memiliki 1 gejala diatas ditambah
infeksi saluran napas atas lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain,
peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi
pernapasan > 20% nilai dasar, atau frekuensi nadi > 20% nilai dasar.

Prinsip penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah mengatasi


segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas.Bila
telah terjadi gagal napas segera atasi untuk mencegah kematian.
Beberapa hal yang perlu diperhatikan pada eksaserbasi akut adalah :
Diagnosis berat nya eksaserbasi :
- Frekuensi napas
- Kesadaran
- Tanda vital
- Analisa gas darah
- Pneumonia
Terapi oksigen adekuat

17
Pemberian obat-obatan yang optimal, obat yang diperlukan pada
eksaserbasi akut adalah :
- Bronkodilator
- Kortikosteroid
- Antibiotik
Antibiotik diberikan pada :
- Pasien PPOK eksaserbasi dengan semua gejala cardinal (sesak napas
yg bertambah, meningkatnya jumlah sputum, dan bertambahnya
purulensi sputum).
- Pasien PPOK eksaserbasi dengan dua dari gejala kardinal, apabila
salah satunya adalah bertambahnya purulensi sputum.
- Pasien PPOK eksaserbasi berat yang membutuhkan ventilasi mekanis.
Keputusan untuk memilih penggunaan antibiotic oral atau intravena
berdasarkan kemampuan pasien untuk makan dan farmakokinetik antibiotik
tersebut. Disarankan adalah pemakaian oral. Apabila digunakan antibiotic
intravena maka segera dilakukan terapi sulih ( switch therapy) apabila kondisi
pasien membaik. Lama pemberian antibiotik pasien PPOK eksaserbasi adalah
3-7 hari.

c) Terapi Pembedahan
Bertujuan untuk :
- Memperbaiki fungsi paru
- Memperbaiki mekanik paru
- Meningkatkan toleransi terhadap eksaserbasi
- Memperbaiki kualiti hidup
-
Operasi paru yang dapat dilakukan yaitu :
1. Bulektomi
2. Bedah reduksi volume paru (BRVP) / lung volume reduction surgey
(LVRS)
3. Transplantasi paru

2.2 Emfisema Paru

18
2.2.1 Definisi

Emfisema adalah jenis penyakit paru obstruktif kronik yang melibatkan


kerusakan pada alveoli di paru-paru. Emfisema suatu diagnosis patologis berupa
pembesaran abnormal permanen saluran udara sebelah distal bronkiolus
terminalis, Disebabkan oleh destruksi dinding alveoli dan tanpa fibrosis. Keadaan
ini menyebabkan penurunan drastis permukaan alveoli yang merupakan tempat
pertukaran gas antara alveoli dengan pembuluh darah.

2.2.2 Klasifikasi

1) Emfisema centrilobular

Emfisema centrilobular adalah jenis yang paling umum dari emfisema

paru dan ditandai oleh pembesaran ruang udara centriacinar, dengan efek utama

terjadi di bronkiolus proksimal. Pada Emfisema centrilobular, corakan vascular

paru menurun pada atau dekat pusat lesi. HRCT pada awal emfisema centriacinar

menunjukkan area kecil centrilobular merata dengan pembesaran ruang udara,

sekitar parenkim paru mengalami kompresi dan batas yang jelas dapat diamati

antara daerah emphysematous dan paru-paru normal.

2) Emfisema panlobular (parasinar)

Emfisema panlobular ditandai oleh dilatasi seluruh ruang udara dari

bronkiolus pernapasan ke alveoli, sehingga perubahan emphysematous

didistribusikan secara merata dalam lobulus sekunder. Emfisema panacinar

ditandai dengan penurunan kepadatan paru pada area pembesaran pada CT dengan

batas sulit untuk ditentukan, corakan pembuluh darah di daerah yang terlibat

menurun karena overinflation pada ruang udara. Defisiensi antitrypsin Alpha 1-

diperkirakan menjadi penyebab utama panacinar emfisema. Karakteristik yang

membedakan panacinar emfisema dari centriacinar emfisema adalah sebagai

19
berikut: penyakit dominan pada paru-paru bagian bawah, tingkat inflasi paru-paru

lebih besar daripada di centriacinar emfisema, ada kecenderungan jalan napas

akan menyempit.

3) Emfisema asinar distal (paraseptal)

Distal asinar emfisema ditandai dengan daerah fokal emfisema subpleural.

Asinar distal atau emfisema paraseptal ditandai dengan pembesaran ruang udara

di sekitar asinus. Luas lesi biasanya terbatas, terjadi paling sering sepanjang

permukaan dorsal paru bagian atas. Para pasien biasanya tanpa gejala, tetapi

emfisema asinar distal dianggap menjadi penyebab pneumotoraks pada orang

dewasa muda.

2.2.3 Gejala Emfisma

Tanda dan gejala Emfisema meliputi:

1. Pada awal gejalanya sama dengan PPOK


2. Sesak nafas disertai dengan suara seperti meniup botol kosong
3. Dada berbentuk seperti tong (barrel-chest), otot leher tampak menonjol
4. Berat badan menurun akibat nafsu makan menurun
6. Batuk menahun

2.2.4 Faktor Penyebab Empisema


1. Rokok

Rokok adalah salah satu penyebab utama dari penyakit empisema. Rokok
secara patologis dapat menyebabkan gangguan gerakan silia pada jalan nafas,
menghambat fungsi makrofag alveolar, menyebabkan hipertrofi dan hiperplacia,
kelenjar mukus bronkus. Gangguan pada silia, fungsi makrofag alveolar
mempermudah terjadinya perdangan pada bronkus dan bronkiolus, serta infeksi
pada paru-paru. Peradangan bronkus dan bronkiolus akan mengakibatkan
obstruksi jalan napas, dinding bronkiolus melemah dan alveoli pecah. Disamping

20
itu, merokok akan merangsang leukosit polimorfonuklear melepaskan enzim
protease (proteolitik), dan menginaktifasi antiprotease (Alfa-1 anti tripsin),
sehingga terjadi ketidakseimbangan antara aktifitas keduanya.

2. Polusi

Polutan industri dan udara juga dapat menyebabkan terjadinya emfisema.


Insidensi dan angka kematian emfisema dapat lebih tinggi di daerah yang padat
industrialisasi. Polusi udara seperti halnya9\i asap tembakau juga menyebabkan
gangguan pada silia, menghambat fungsi makrofag alveolus.

3. Infeksi

Infeksi saluran napas akan menyebabkan kerusakan paru-paru lebih berat.


Penyakit infeksi saluran napas seperti pneumonia, bronkiolitis akut, asma
bronkiale, dapat mengarah pada obstruksi jalan napas, yang pada akhirnya dapat
menyebabkan terjadinya emfisema.

4. Faktor genetik

Faktor genetik mempunyai peran pada penyakit emfisema. Faktor genetik


diantaranya adalah atopi yang ditandai dengan adanya eosinifilia atau peningkatan
kadar imonoglobulin E (IgE) serum, adanya hiper responsive bronkus, riwayat
penyakit obstruksi paru pada keluarga, dan defisiensi protein alfa 1 anti tripsin.
Cara yang tepat bagaimana defisiensi antitripsin dapat menimbulkan emfisema
masih belum jelas.

5. Hipotesis Elastase-Anti Elastase

Didalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan


anti elastase supaya tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan
menimbulkan jaringan elastik paru rusak. Arsitektur paru akan berubah dan timbul
emfisema.

6. Faktor Sosial Ekonomi

21
Emfisema lebih banyak didapat pada golongan sosial ekonomi rendah,
mungkin kerena perbedaan pola merokok, selain itu mungkin disebabkan faktor
lingkungan dan ekonomi yang lebih jelek.

2.2.5 Diagnosis

a. Anamnesis
umumnya pasien datang di usia dekade 50 tahunan dengan keluhan batuk
produktif atau nyeri dada yang akut. Dispnea, gejala yang paling signifikan dari
emfisema. Pada saat volume ekspirasi paksa dalam 1 detik (VEP1) telah jatuh ke
50% dari prediksi, pasien akan sesak napas pada aktivitas minimal. Mengi dapat
terjadi pada beberapa pasien terutama selama pengerahan tenaga dan eksaserbasi.

b. Pemeriksaan Fisik
Pada emfisema dibutuhkan waktu lebih lama untuk mengeluarkan napas
daripada untuk menghirup napas. Tingkat pernapasan meningkat sebanding
dengan keparahan penyakit. Pada stadium akhir emfisema, sianosis, peningkatan
tekanan vena jugularis, atrofi tungkai otot, dan edema perifer karena
perkembangan tekanan paru, dan gagal jantung kanan dapat dengan mudah
diamati. Pemeriksaan thorak akan didapatkan barrel-chest, wheezing yang difus
atau fokal, napas kurang terdengar, hiperresonansi pada perkusi, dan ekspirasi
memanjang.

2.2.6 Pemeriksaaan Penunjang

- Spirometri
- Uji Bronkodilator
- Foto rontgen thorak PA

2.2.7 Pentalaksanaan

Penatalaksanaan utama pada emfisema adalah untuk meninngkatkan


kualitas hidup, memperlambat perkembangan proses penyakit dan mengobati
obstruksi saluran nafas yang berguna untuk mengatasi hipoksia. Pendekatan terapi
mencakup :

22
a. Pemberian terapi untuk meningkatkan ventilasi dan menurunkan kerja
nafas
- mencegah dan mengobati infeksi
- teknik terapi fisik untuk memperbaiki dan meningkatkan ventilasi
paru
- memelihara kondisi lingkungan yang memungkinkan untuk
memfasilitasi pernafasan.
- support psikologis
- edukasi dan rehabilitasi pasien
b. Jenis obat yang diberikan :
- Bronkodilator
- terapi aerasi
- mengobati infeksi
- kortikosteroid
- oksigenasi

2.3 BRONKIEKTASIS
2.3.1 Defenisi
Bronkiekstasis adalah kelainan anatomi yang kronik dari bronkus yang
ditandai dengan dilatasi abnormal bronkus dan disertai rusaknya dinding bronkus
yang permanen dan bersifat progresif. Kerusakan permanen tersebut melibatkan
otot, kartilago dan pembuluh darah bronkus. Bronkus yang terkena biasanya
berukuran sedang.

2.3.2. Kelainan yang berhubungan dan faktor predisposisi Bronkiektasis


a. Injuri pada paru yang mengarah pada infeksi akut
Pada kondisi ini, pasien dianggap memiliki aliran udara dan paru yang
normal sampai mereka mengalami infeksi saluran nafas bawah yang spesifik.
Pada era modern, episode berulang infeksi saluran nafas bawah yang diobati
dengan adekuat, dapat diatasi tanpa meninggalkan efek sisa untuk terjadinya
bronkiektasis. Bagaimanapun, generasi terdahulu yang tidak di lindungi oleh
antibiotik dan vaksin, yang sering mengalami episode berulang infeksi yang
disebut dengan pneumonia pada saat masik anak-anak atau saat dewasa dapat
diperkirakan akan mengalami kerusakan yang ireversibel yang mengarah ke
bronkiektasis.

b. Cystic Fibrosis

23
CF dan varian CF diakui sebagai penyebab paling sering dari bronkiektasis
di Amerika dan di negara industri lainnya. Manifestasi yang spesifik, dan progres
yang cepat dari CF sangat bergantung pada genotip dan faktor modifikasi.
Meskipun demikian, kebanyakan pasien dengan onset CF saat anak-anak yang
berlanjut hingga remaja atau dewasa muda menunjukkan manifestasi dari
bronkiektasis.

c. Kelainan Sistem Imun


Defisiensi imun berhubungan dengan perkembangan dari bronkiektasis.
Penyakit primer yang menyebabkan imunodefisiensi bisa saja disebabkan dari
mutasi yang merusak limfosit B atau T dan menyebabkan keabnormalan dari
imunitas humoral, imunitas selular, atau keduanya. Pada sedikit kasus, dapat
terjadi anomali pada limfosit NK, netrofil, atau komplemen protein. Akhirnya,
bagian yang mudah diserang tersebut terinfeksi oleh bakteri tak berkapsul seperti
S.Pneumoniae, H.Influenzae, S.Aureus, dan P.Auriginosa. Infeksi berulang oleh
bakteri tersebut dapat menyebabkan terjadinya bronkiektasis.

d. Kartilago Bronkus
Cartilaginous C-Rings terdapat disepanjang trakea sesuai dengan
ukuran luas dan ukuran medium jalan nafas. Fungsi utama dari struktur ini adalah
untuk menjaga patensi aliran udara ketika bernafas termasuk ketika batuk.

-Sindroma Mouiner Kuhn


Atau yang disebut juga dengan trakeobronkomegali kongenital, adalah
kelainan yang jarang ditemukan yang berhubungan dengan pelebaran yang nyata
atau dilatasi dari C-Rings di trakea dan bronkus segmentalis. Dampaknya
adalah atrofi dan juga tidak adanya serat elastis dan otot polos dari jalan nafas.
Selain itu, atrofi primer atau sekunder dari jaringan penghubung antara cincin
tersebut dapat mengakibatkan terbentuknya deverticula, yang berpotensi
menyebabkan terjadinya infeksi berulang.

-Sindroma Williams-Campbell
Atau yang disebut juga dengan sindroma defisiensi kartilago bronkus
kongenital, adalah kelainan yang jarang yang ditemukan pada saat bayi dengan
infeksi berulang dengan bronkiektasis.

e. Jaringan Penghubung

24
Diantara berbagai macam gambaran kelainan jaringan penghubung,
bronkiektasis dan kelainan struktural lain termasuk degenerasi kista paru luas
telah dikenal secara ekstensif dengan sindroma Marfan. Abnormalitas dari jalan
udara dan parenkim, orang dengan sindroma Marfan memiliki variasi kelainan
lainnya, termasuk pectus excavatum, pectus carinatum, skoliosis, Sindroma
straight-back, dan prolaps katup mitral. Dua dari kondisi tersebut, skoliosis dan
prolaps katup mitral, dapat ditemukan pada pasien dengan dua kelainan jaringan
penyambung lainnya, Sindrom Ehlers-Danlos dan kelemahan kulit.

f. Kelainan kongenital dan perkembangan


Kondisi seperti agenesis, hipoplasia, dan atresia dapat menjadi penyebab
langsung bronkiektasis atau dapat menjadi faktor predisposisi infeksi. Secara
klinis, manifestasi yang paling sering adalah infeksi saluran nafas berulang atau
infeksi saluran nafas kronik yang dimulai pada dekade kedua atau ketiga dari
kehidupan. Gambaran radiologi, kelainan ini sering memberi gambaran sebagai
ireguler, dan densitas batasan aneh pada diafragma regio basal bagian posterior.

g. Inflamasi yang idiopatik


Ada suatu kondisi pengaturan yang luas yang berhubungan dengan
bronkiektasis yang dapat termasuk dalam kategori infalamasi yang idopatik.
Kelainan itu semua merupakan kelaian sistemik yang melibatkan paru, yang pada
kasusnya dapat berakibat atau tidak berakibat bronkiektasis. Inflamasi yang
idiopatik tersebut adalah sbb:
- Rheumatoid Artritis (RA)
- Ankylosis spondilitis
- Sistemik lupus eritematosus (SLE)
- Sindroma Sjogrens
- Penyakit infalmasi saluran cerna
- Polichondritis relaps

h. Aspirasi/Kejadian inhalasi
Masuknya benda asing ke saluran nafas dapat menyebabkan terjadinya
bronkiektasis. Ada dua cara yang dapat menyebabkan masuknya benda asing ke
saluran nafas yang dapat menimbulkan bahaya yang menyebabkan deformitas
kronik dari saluran nafas. Pertama adalah sekresi yang masuk langsung dari
orofaring, dapat berupa mikroorganisme termasuk microareophilic dan bakteri
anaerob yang dapat menyebabkan pneumonia nekrosis. Kedua adalah refluk

25
bahan dari esofagus dan/atau perut yang mengandung partikel makanan,
hiroklorik acid, sekresi bilier atau pankreas, dan bakteri usus normal.
i. Alergi aspergilus pada bronkopulmonari
Pada kondisi ini terdapat sumbatan mukoid pada bronkus dengan ukuran
kecil sampai medium. Inflamasi dan distensi menyebabkan bronkiektasis dengan
dinding tipis pada tengah paru. Pada klinisnya harus hati-hati jika klinis
menggambarkan episode dengan demam, malaise, nyeri dada pleuritik, dan batuk
produktif dengan sekresi yang purulen.

2.3.3. Klasifikasi
Berdasarkan gambaran radiologi :
- Bronkiektasis silindris
Dideskripsikan sebagai kegagalan jalan nafas yang mengarah pada
saluran nafas bagian distal. Pada kondisi ini, dinding bronkus lembut
atau reguler.

- Bronkiektasis varicoid
Diibaratkan seperti varicosa vena dan ini ditandai oleh dilatasi yang
ireguler, batas, dan kantung dari jalan nafas.

26
- Bronkiektasis sacular
Termasuk distorsi kistik atau fokal dari saluran nafas distal, dan dapat
memberi gambaran honeycomb

Berdasarkan gambaran klinis :


- Wet Bronkiektasis
Jika pasien dengan bronkiektasis memiliki gejala klinis batuk yang
kontinu atau frekuensi yang meningkat dengan batuk produktif yang
banyak sekali, sering sekresi yang purulen.
- Dry Bronkiektasis
Batuk yang jarang dan jika ada, sangat jarang batuk produktif.

2.3.4. Patogenesis
Berbagai mekanisme dapat menyebabkan terjadinya permanen, dilatasi
patologi dan kerusakan dari jalan nafas. Pada kasus yang sederhana, kerusakan
dapat terjadi tarikan, tekanan, dan kelemahan dari daya regang jalan nafas. Pada
banyak kasus,patogenesis bronkiektasis akan mengarah pada efek destruktif dari
infeksi kronik.
Pada paru normal, jalan nafas menjadi paten oleh kombinasi dari tekanan
negatif intrapleura dan cincin kartilago dari trakea dan jalan nafas ukuran sedang
dan besar. Tekanan negatif dari intrapleura ditransmisikan ke jalan nafas oleh
sistem difusi oleh tambatan intertitial. Jika terjadi fibrosis pada paru menyebabkan
terjadinya kelainan seperti sarcoidosis, kelainan intertitial paru, atau infeksi

27
seperti tuberkulosis, tarikan lokal yang berakibat terjadinya dilatas dari jalan
nafas, atau traction bronkiektasis.
Pada pulsion bronkiektasis terjadi dengan alergi bronkopulmonari
aspergilus (ABPA). Pada ABPA, terdapat reaksi mediasi imunologi pada
aspergillus yang terinhalasi di jalan nafas. Proliferasi fungi dari mukosa yang
besar yang mengisi dan membentur jalan nafas sentral. Hal ini kemungkinan
bahwa dilatasi jalan nafas sangat berpotensi disebabkan oleh kerusakan oleh
produk inflamasi yang melemahkan bronkus.
Kelemahan dari jalan nafas ini berkontribusi dalam perkembangan dari
bronkiektasis menjadi beberapa bentuk. Bronkiektasis klasik post infeksi
kemungkinan disebabkan oleh bagian dari kerusakan kronik dinding jalan nafas,
menyebabkan kerusakan sekunder dari integritas strukturalnya. Hal ini beriringan
dengan berkurangnya volume paru lokal. Contoh kelemahan primer dari paru
tersebut adalah, sindroma Mounier-Khun, Sindroma Williams-Campbell,
Sindroma marfan, atau polikondritis relaps.
Salah satu komponen partikular yang berperan dalam kelemahan jalan
nafas pada patogenesis bronkiektasis yang tidak menerima perhatian yang adekuat
berpotensi menyebabkan jalan nafas menjadi kolap pada mekanisme batuk yang
efektif. Batuk adalah suatu yang esensial, elemen primer dari perlindungan paru.
Batuk yang efektif dapat mengirim udara keatas melewati bronkus dengan
kecepatan arus puncaknya pada range 600 mph. Untuk menghasilkan arus yang
tinggi tersebut, cincin kartilago harus memiliki integritas struktural untuk sisa
patensi ketika terjadi invaginasi elemen membran posterior ke lumen jalan nafas
untuk mengurangi diameter cross-sectional dari jalan nafas dan meningkatkan
aliran udara.

2.3.5. GejalaKlinis
a. Batuk kronis yang produktif terutama pada pagi hari, sputum banyak,
sepanjang hari disebut dengan wet bronkiekstasis. Batuk kering kadang
disertai hemoptisis disebut dengan dry bronkiekstasis.
b. Batuk memburuk jika pasien berbaring miring
c. Batuk darah dan dapat juga batuk darah masif (hemaptoe masif)
d. Demam berulang
e. Nyeri dada
f. Sesak nafas
g. Lelah, berat badan menurun

28
2.3.6 Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik tergantung pada derajat kerusakan patologik.
Pada batuk ringan tanpa komplikasi, pemeriksaan fisik tidak akan menunjukkan
gejala kelainan. Pada tingkat yang lebih berat, Suara pernafasan ronkhi basah
kasar yang menetap di basal paru, Suara pernafasan rhonki di apeks paru,
terutama pada BE bekas TB, Suara pernapasan bronkial, ekspirasi memanjang,
Clubbing finger sering ditemukan pada pasien bronkiektasis yang telah
berlangsung lama. Jika terdapat infeksi, penyakit ini sering disertai demam.

2.3.7 Pemeriksaan Penunjang


a. Radiologi :
Gambaran foto thoraks bisa normal
Corakan broncovaskuler bertambah
Atelektasis
Struktur cincin (honeycomb appearance)
Dilatasi dan penebalan saluran napas (trans lines)

Gambaran foto thorak pada bronkiekstasis.

b. Diagnosapasti: bronkografi

29
Bronkografi merupakan pemeriksaan foto dengan pengisisan media
kontras kedalam sistem saluran bronkus pada berbagai posisi (AP, Lateral, Oblik).
Pemeriksaan ini selain dapat menentukan adanya bronkiekstasis, juga dapat
menentukan bentuk-bentuk bronkiektsasis yang dibedakan dalam bentuk silindris
(tubular), sakular (kistik), dan varikosa.

c. Pemeriksaan laboratorium
Khas pemeriksaan sputum bronkiekstasis adalah ditemukannyatiga lapis
sputum yang dikenal dengan istilah three layer sputum yaitu, lapisan atas jernih,
lapisan tengah serous dan lapis bawahkeruh ( pus cellular debris). Umumnya
dijumpai H. Influenza dan P.aeruginosa.

d. CT Scan Thorak
CT sacan dengan resolusi tinggi akan memperlihatkan dilatasi bronkus dan
penebalan dinding bronkus. Modalitas ini juga mampu mengetahui lobus mana
yang terkena, terutama penting untuk menentukan apakah penting untuk
dilakukan pembedahan.

30
Gambaran CT ScanBronkiektasis

2.3.8 Penatalaksanaan :
Penatalaksanaan dari bronkiektasis pada dasarnya terdiri dari beberapa
tahap, yang secara luas terdiri dari :
a. Pembersihan jalan nafas dan agen hiperosmotik
Pembersihan jalan nafas terdiri dari terapi non-antibiotik yang secara
langsung terhadap mobilisasi dan eliminasi sekresi inflamasi dari cabang
trakeobronkial dan dari sinus paranasal. Juga termasuk kedalam kelompok ini,
menghindari aspirasi dari orofaring atau bahan gastroesofageal kedalam jalan
nafas. Salin hipertonik, 7% dua atau empat kali sehari, terbukti dapat
meningkatkan pemberisah mukus, menekan eksaserbasi, dan meningkatkan fungsi
paru pada pasien CF.

b. Terapi antimikroba
Terapi antimikroba berdasarkan pengalaman merupakan pengobatan
sentral dari bronkiektasis. Tidak ada ketetapan umum pada pertanyaan tentang apa
pengobatan rutin yang harus diberi, jadwal periodik, atau yang dibutuhkan pada
keadaan klinis dasar pada eksaserbasi. Pada beberapa penelitian penggunaan
antibiotik jangka panjang untuk bronkiektasis yang purulen, volume sputum atau
purulensi terlihat berkurang, tetapi tidak ada keuntungan yang signifikan terhadap
eksaserbasi, fungsi paru, atau kematian. Berdasarkan beberapa data pengobatan
yang lebih disukai adalah, pemilihan secara empiris agen atimikroba atau dengan
identifikasi spesias dan pemeriksaan in vitro.
Antibiotik aerosol terlihat lebih menjanjikan dalam mengobati dan
mencegah eksaserbasi. Pada pasien dengan CF, inhalasi tobramisin dua kali dalam

31
sehari dalam bulan yang berganti-ganti dapat menurunkan frekuensi eksaserbasi
juga untuk P.aeurginosa. Pada pasien dengan CF, tobramisin inhalasi juga
memberikan efek.

c. Terapi anti inflamasi


Secara rasional penggunaan anti inflamasi agen pada bronkiektasis dapat
mengurangi inflamasi, dengan tujuan hanya untuk mengurangi gejala tapi juga
untuk membatasi progresifitas dari penyakit dan kemunduran fungsi paru. Anti
inflamasi yang digunakan pada bronkiektasis juga termasuk nonsteroid anti
inflamasi (NSAIDs), kortikosteroid inhalasi dan makrolit intermiten untuk
eksploitasi aktifitas anti inflamasi dan aktifitas nonmikrobisidal.

d. NSAIDs
Prostaglandin dapat berperan meningkatkan sekresi jalan nafas, NSAIDs
berperan menghambat pembentukan cyclooxygenase, telah dipelajari pada kasus
bronkiektasis. Dengan kontrol plasebo pada pasien dengan bronchorea juga
dengan bronkitis, panbronkiolitis difus, dan bronkiektasis, inhalasi indomethasin
secara signifikan dapat mengurangi jumlah sputum. Mekanisme lain indometasin
dapat membantu bronkiektasis dengan cara inhibisi netrofil kemotaksis dan
netrofil degradasi dari fibronektin, dengan demikian dapat mengurangi inflamasi
jalan nafas dan purulensi.
Pemberian secara random NSAIDs pada pasien CF, dosis tinggi ibuprofen
memberikan efek progresifitas yang lambat pada penyakit paru, teruatama pada
anak-anak. Perbandingannya, tidak ada pemberian random, pemberian terkontrol
pada penggunaan NSAIDs pada bronkiektasis tanpa CF.

e. Kortikosteroid inhalasi
Pengamatan pada pemberiannya memperlihatkan penggunaan
kortikosteroid inhalasi pada CF tidak menyebabkan kemajuan.

f. Terapi makrolid intermiten


Terapi makrolid intermiten dapat menjajinkan dalam menghambat
aktivitas penyakit pada bronkiektasis juga pada efek nonmicrobial
imunodefisiensi. Terapi intermiten makrolid dapat membantu bronkiektasis
melalui mekanisme yang berbeda termasuk mengurangi difusi klorida yang
berpotensi tinggi meningkatkan mukosa jalan nafas (berakibat mengurangi
volume sputum), mengurangi netrofil kemotaktik faktor IL8 pada jalan nafas,

32
menghambat migrasi netrofil dan pseudomonas, menekan pseudomonas,dan
mengacaukan stabilitas dari biofilm. Claritromisin tapi bukan amoxacillin
menunjukkan dapat secara signifikan menurunkan produksi sputum pada pasien
dengan bronkiektasis. Pada penelitian pada beberapa pasien bronkiektasis secara
random untuk standar penatalaksanaan 6 bulan diikuti oleh pemberian azitromisin
dengan dosis 500 mg duakali seminggu dalam 6 bulan, azitromisin secara
signifikan mengurangi insiden eksaserbasi dan volume sputum.

g. Pembedahan
Pembedahan masih menjadi kontroversi dalam manajemen bronkiektasis.
Indikasi tradisional untuk tindakan pembedaha adalah termasuk infeksi kronik
yang tidak bisa disembuhkan, infeksi yang berulang yang frekuensinya tidak bisa
ditolerir, atau kerusakan yang ireversibel dari paru distal oleh benda asing atau
tumor jinak.

h. Lain-lain
Vaksinasi pneumococcal atau influenza dan penghentian merokok,
dianjurkan pada semua pasien. Tetapi tidak ada informasi yang dapat
mengkonfirmasi bahwa hal tersebut dapat bermanfaat atau tidak.

33

Anda mungkin juga menyukai