Anda di halaman 1dari 3

BERITA INTERNAL

< Sebelumnya Selanjutnya >

PALIMANAN, tekMIRA Ketergantungan Indonesia terhadap impor bahan bakar minyak yang makin
lama makin besar, disebabkan oleh tidak berimbangnya pertumbuhan produksi minyak dengan
peningkatan konsumsi di dalam negeri. Di sisi lain, produksi gas alam Indonesia juga akan
mengalami penurunan pada beberapa tahun ke depan. Untuk itu, diperlukan sumber energi
alternatif di luar minyak dan gas alam untuk menjaga ketahanan energi nasional dan
pertumbuhan ekonomi.

Gasifikasi batubara bawah permukaan atau Underground Coal Gasification merupakan salah satu
alternatif solusi terhadap persoalan tersebut, karena gasifikasi batubara dapat menghasilkan
syngas yang dapat dikonversi menjadi minyak dan/atau gas alam sintesis.

Pemanfaatan cadangan batubara bawah permukaan sebagai sumber energi alternatif untuk
menopang ketahanan energi nasional memerlukan regulasi pengusahaannya yang menarik yang
dapat mendatangkan devisa negara dan menguntungkan seluruh pemangku kepentingan
(stakeholder). Peraturan perundang-undangan di Indonesia telah memberi pilihan bahwa
pengusahaan gasifikasi batubara bawah tanah tersebut dikelola berdasarkan peraturan di bidang
mineral dan batubara, yakni Undang-Undang Nomor 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara beserta produk hukum turunannya. Sedangkan di bagian hilir yang terkait dengan tata
niaga pemasaran produk hasil gasifikasi batubara bawah tanah tersebut, diperlukan rezim Migas
dan rezim EBTKE.

Berkaitan dengan hal tersebut telah dilaksanakan Focus Group Discussion (FGD) bertema
Penyusunan Kajian Akademis Implementasi Teknologi Underground Coal Gasification (UCG) di
Indonesia. Kegiatan FGD ini diselenggarakan di Sentra Teknologi Pengolahan dan Pemanfaatan
Batubara, Puslitbang Teknologi Mineral dan Batubara -tekMIRA, Palimanan Cirebon, 78 Mei 2015

Kegiatan FGD tentang penerapan teknologi UCG di Indonesia menghasilkan beberapa rumusan:
1. Teknologi UCG di Dunia

Dengan mengingat keberhasilan negara-negara lain, maka teknologi UCG layak dicoba
diterapkan di Indonesia dalam rangka peningkatan nilai tambah batubara dan reservasi
jangka panjang.
2. Potensi UCG Indonesia

Perlu koreksi satuan tscf, sebaiknya scf saja karena lebih lazim.

Sumber daya (resources) masih bersifat resources spekulatif data.

Peringkat batubara yang cocok untuk UCG antara subbituminus sampai bituminus, namun
terdapat beberapa perbedaan literatur dan akan dikaji kembali.

Berapapun kalori batubara tidak berbeda, yang membedakan adalah nilai panas dari
gasnya.
Diharapkan data yang disampaikan bisa lebih mendetail dan ditunjukkan urgensinya untuk
pengembangan UCG ke depan.

Perlu dipikirkan kelanjutan dari penelitian yang mengambil lokasi pada wilayah PKP2B,
terutama terkait dengan pemanfaatan gas hasil penelitian UCG, yang dikhawatirkan akan
menimbulkan masalah di kemudian hari. Untuk itu Ditjen Minerba menyarankan
agar tekMIRA melakukan penelitian pada wilayah yang dikembalikan (relinguish) oleh
perusahaan tambang batubara.
3. Resiko Lingkungan Teknologi UCG di Indonesia

Perlu dipertimbangkan tentang reklamasi dan pascatambang setelah batubaranya


dieksploitasi melalui teknologi UCG.

Perlu dimasukkan masalah monitoring dalam rangka mengamankan pasca/selesai UCG


untuk memonitor kemungkinan terjadinya resiko lingkungan. Demikian pula perlu
dipikirkan peralatan dan metode untuk monitoringnya.

Teknik pencegahan pencemaran lingkungan supaya lebih didetilkan secara kuantitatif.


4. Proses UCG

Inti dari UCG jangan sampai terjadi kebocoran, dan UCG lebih fleksibel dalam proses
gasifikasi.

Untuk persyaratan teknis, bisa ditambahkan persyaratan statigrafi terkait dengan bentuk
fisik batubara.

Perlu dibuat angka-angka yang lebih fleksibel, jangan hanya satu angka tetapi dalam
bentuk range dengan tingkat kesalahan yang dapat ditoleransi.
5. Tinjauan Keekonomian UCG

Telah ada PP tentang royalti batubara berdasarkan kualitas.

Perlu dihitung keekonomian UCG secara detil agar dapat ditentukan royalti untuk UCG.

Perlu konsistensi tentang umur proyek UCG yang dihitung, karena umur proyek didasarkan
pada jumlah cadangan batubara yang ada.

Seharusnya umur proyek menyesuaikan dengan potensi batubara yang ada. Hal ini dapat
dilihat dari tahap SNI, misalkan dari pemboran, karena dengan pemboran yang lebih detail
dapat diketahui potensinya.
6. Kebijakan dan Regulasi Pengusahaan UCG

Perlu dihimpun berbagai isu pokok pada kebijakan dan regulasi UCG sehingga kebijakan
dan regulasi yang akan dibuat dapat diimplementasikan. Substansi dan kewenangan
menyangkut Ditjen Minerba, Ditjen Migas, dan Ditjen EBTKE. Kewenangan Ditjen Minerba di
bagian hulu, sedangkan kewenangan Ditjen Migas dan Ditjen EBTKE di bagian hilir (tata
niaga), karena itu diperlukan konsolidasi terkait kewenangan masing-masing pihak
sebelum disosialisasikan ke stakeholder, terutama pihak daerah (Provinsi) selaku pemilik
sumber daya di daerah.
7. Regulasi Bidang Energi Baru Terbarukan

Pada prinsipnya Ditjen EBTKE tidak mengeluarkan izin usaha, tetapi hanya memfasilitasi
regulasi dan mendorong agar energi yang termasuk kategori energi baru dan energi
terbarukan cepat berkembang.

Dari pokok-pokok hasil FGD-UCG tersebut, para peserta telah menyepakati beberapa hal:
1. Mengingat banyaknya masukan terhadap draft Kajian Akademis Penerapan
Teknologi Underground Coal Gasification di Indonesia, maka diperlukan penyempurnaan
terhadap materi draft tersebut.

2. Mengingat ruang lingkup yang cukup luas dan melibatkan unit-unit lain di lingkungan
Kementerian ESDM, maka perlu segera dibentuk Working Group yang bersifat lintas unit
eselon 1 di lingkungan Kementerian ESDM, yaitu Badan Litbang ESDM, Ditjen Minerba,
Ditjen EBTKE, dan Ditjen Migas. Mekanisme dan tata laksana Working Group akan
dibicarakan lebih lanjut setelah pembentukan Working Group disetujui oleh masing-masing
pimpinan unit.

3. Mengingat ruang lingkup yang cukup luas menyangkut kewenangan Badan Litbang ESDM,
Ditjen Minerba, Ditjen EBTKE, dan Ditjen Migas, dalam FGD ada masukan bahwa kegiatan
litbang UCG dan penyusunan regulasi pengusahaan UCG ini perlu di bawah Kementerian
ESDM.

4. FGD-UCG tahap 2 akan dilaksanakan setelah dilakukan penyempurnaan terhadap Kajian


Akademis Penerapan Teknologi Underground Coal Gasification di Indonesia. Adapun
agenda utama FGD-UCG tahap 2 adalah penyusunan policy paper sebagai bahan untuk
pembuatan regulasi UCG.***(BYU)

Anda mungkin juga menyukai