Anda di halaman 1dari 7

ETOS KERJA DAN PRODUKTIVITAS ISLAMI, Oleh : Prof.Dr. Duski Samad, M.

Ag, Tuanku
Mudo *)

http://www.sitinjaunews.com/artikel/45-artikel/497-etos-kerja-dan-produktivitas-
islami-oleh--profdr-duski-samad-mag-tuanku-mudo--

Pertambahan penduduk merupakan faktor yang sangat mempengaruhi peningkatan hasil


pembangunan untuk menaikkan tingkat kesejahteraan penduduk. Jumlah penduduk yang besar
dapat dimanfaatkan sebagai modal dasar pembangunan apabila dibina dan dipekerjakan sebagai
tenaga kerja yang efektif. Pertambahan penduduk haruslah diikuti dengan usaha peningkatan
pertambahan produksi untuk dapat mempertahankan suatu tingkat kesejahteraan penduduk di
dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Jika tingkat kesejahteraan penduduk ingin ditingkatkan, maka haruslah dilakukan usaha
peningkatan produksi yang lebih besar lagi. Pertambahan penduduk

memerlukan perluasan lapangan usaha dan kesempatan kerja, agar disamping untuk dapat
memberi kesempatan kepada mereka ikut berpartisipasi dalam pembangunan, juga untuk
memberi peluang kepada mereka untuk menaikan taraf hidupnya.

Untuk itu manusia harus segera menguasai semaksimalkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Bersamaan dengan itu umat juga harus mampu memperkuat jati dirinya dengan keyakinan
keagamaannya. Pengetahun moderen pada dasarnya memberi kepada manusia kekuatan dan
pencerahan, sedangkan keyakinan (agama) memberikan cinta, harapan dan kehangatan.
Pengetahuan moderen membuka momentum, sementara keyakinan kepada agama memberikan
arah, pengetahuan yang menunjuk di mana arah, juga menentukan yang mesti dilakukan.
Pengetahuan adalah revolusi eksternal, keyakinan adalah revolusi internal. Pengetahuan
memperluas cakrawala, sedangkan keyakinan meningkatkan hubungan dengsan Tuhan secara
vertikal. Pengetahuan mencetak ulang alam raya ini, sementara agama mencetak manusia
sebagai pengelola alam.

Ilmu pengetahuan teknologi dan agama keduanya memberi kekuatan yang potensial kepada
manusia.Agaknya dapat perlu disadari bahwa pengetahuan tidak dapat menggantikan agama
dalam memberikan kedamaian, kebahagiaan, cinta dan harapan untuk mencapai tujuan ideal
yang fitri. Pengetahuan moderen tanpa agama seperti seorang memegang sebilah pedang
ditangan seorang yang sedang mabuk. Dengan demikian kebutuhan kepada IPTEK sama dengan
kebutuhan kepada agama. Dalam Islam kedua aspek ini seimbang serasi dan sejalan.

Upaya merasionalisikan masyarakat Indonesia dalam menghadapi Indonesia baru, adalah menata
kembali di mana penyebab umat Islam tertinggal dan mundur dalam kancah kemajuan
Teknologi, apakah ajarannya yang tidak relevan dengan kemajuan Teknologi atau manusia yang
memahaminya yang tidak merelevansikannya dengan perkembangan zaman. Muhammad Abduh
memberi jawaban bahwa salah satu penyebab mundurnya umat Islam, menjadi manusia
terbelakang dan terisolir dari dunia moderen adalah karena mereka meninggalkan tradisi cinta
kepada agamanya. Padahal agama Islam memotivasi penganutnya mempergunakan akal, fikir,
dan nalar untuk mengelola alam. Karena alam itu tidak akan memberi makna sama sekali tanpa
intervensi akal, fikir dan nalar manusia memanfaatkannya. Hubungan linear antara IPTEK dan
agama mengharuskan manusia memacu dirinya untuk hidup dalam dua garis paralel ini secara
lebih aktif dan dinamis, disinilah arti penting pengembangan etos kerja.

ETOS KERJA ISLAMI


Etos kerja merupakan totalitas kepribadian diri serta cara mengekspresikan, memandang,
meyakini, dan memberikan sesuatu yang bermakna, yang mendorong dirinya untuk bertindak
dan meraih amal yang optimal (high performance).

Pembahasan tentang etos kerja masyarakat Indonesia telah lama menjadi penelitian para ahli.
Dalam buku Manusia Indonesia karya Mochtar Lubis yang diterbitkan sekitar seperempat abad
yang lalu, diungkapkan adanya karakteristik etos kerja tertentu yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia. Beberapa di antara ciri-ciri itu adalah munafik; tidak bertanggung jawab; feodal;
percaya pada takhyul; dan lemah wataknya. Beliau tidak sendirian. Sejumlah pemikir/budayawan
lain menyatakan hal-hal serupa. Misalnya, ada yang menyebut bahwa bangsa Indonesia memiliki
budaya loyo, budaya instan, dan banyak lagi.

Diskusi tentang Etos Kerja Meneg Ristek RI 7 Desember 2005, ditegaskan pula bahwa hasil
pengamatan para pemikir dan cendekia tersebut tentu ada kebenarannya. Tetapi tentunya (dan
mudah-mudahan) bukan maksud mereka untuk membuat final judgement terhadap bangsa kita.
Pernyataan-pernyataan mereka perlu kita sikapi sebagai suatu teguran dan peringatan yang
serius. Jika ciri-ciri etos kerja sebagaimana diungkapkan dalam Manusia Indonesia kita
sosialisaikan, tumbuhkembangkan dan pelihara, maka berarti kita bergerak mundur beberapa
abad ke belakang.

Tanpa bermaksud terlarut dalam kejayaan masa lalu, sejarah menunjukkan bahwa bangsa
Indonesia memiliki prestasi yang patut dihargai dalam perjalanannya. Tegaknya candi Borobudur
dan puluhan candi yang lainnya hanya mungkin terjadi dengan dukungan etos kerja yang
bercirikan disiplin, kooperatif, loyal, terampil rasional (sampai batas tertentu), kerja keras, dan
lain-lain. Berkembang luasnya pengaruh kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit, Samudra
Pasai, Mataram, Demak, dengan berbagai perangkat dan infrastruktur teknologis maupun sosial
dalam pengelolaan kenegaraannya, juga mempersyaratkan adanya suatu etos kerja tertentu yang
patut dihargai. Selain ini, pesantren-pesantren yang sampai kini masih bertahan dan berkembang,
memiliki akar pertumbuhan pada beberapa abad yang lalu, yang menunjukkan bahwa tradisi
belajar-mengajar telah menjadi bagian kehidupan masyarakat Tanah Air jauh sebelum bangsa
Belanda mengunjungi kita.
Kita juga mengenal slogan-slogan yang, setidaknya dulu, pernah menjadi cerminan suatu etos
kehidupan, seperti: Bhinneka Tunggal Ika; Ing Ngarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mbangung
Karso, Tut Wuri Handayani; Menang Tan Ngasorake; Niteni, Niroake, Nambahake. Ini
mencerminkan etos kerja dalam konteks kehidupan sosial yang penting dalam membangun
persatuan, leadership, dan bahkan untuk berinovasi. Masih banyak lagi slogan-slogan yang
berlaku dan terkenal di berbagai daerah-daerah di Tanah Air. Ini tentu berati bahwa sejarah
bangsa Indonesia dapat menjadi salah sebuah sumber penting bagi kita untuk menggali,
memahami dan membangun etos kerja bangsa kita. Hanya saja, perhatian pada sejarah tak jarang
dimotivasi oleh dorongan-dorongan apologetik, atau menjadi pelarian dari tantangan-tantangan
yang kita hadapi hari ini. Jika potensi sejarah ini tidak dimanfaatkan secara optimal, ini bisa
berimplikasi keterasingan bangsa akan dirinya sendiri. Lebih jauh, ini bisa membuat kita asing
terhadap etos kerja bangsa kita sendiri.

Pertanyaan pokok yang semestinya diajukan adalah bagaimana membentuk etos kerja yang lebih
optimal itu?. Nalar sejenis apa yang harus dikembangkan untuk membentuk perilaku etika
manusia. Ada fakta-fakta yang sulit dijelaskan bahwa nalar dan pendidikan tidak serta merta
mampu untuk mengendalikan perilaku manusia dan membangun etos kerja. Kegelisahan ini
tercermin dalam pertanyaan Jika kita berpikir lebih banyak, akankah kita bertindak lebih baik?
Pencermatan kritis terhadap sejarah, mendapati adanya berbagai peristiwa kejam, tidak beradab,
irasional, yang dilakukan oleh individu, kelompok ataupun bangsa yang justeru telah meraih
kemajuan dalam pendidikan dan penalaran. Isaac Newton : Sains terdiri dari menemukan
kerangka dan cara kerja Alam, dan sejauh mungkin mereduksinya jadi rumus dan dalil umum
meneguhkan rumus dan dalil itu dengan hasil pengamatan dan percobaan, lalu dari sana menarik
kesimpulan mengenai sebab dan akibat. inilah yang mendorong seorang muslim untuk terus
menerus meningkatkan etos kerjanya.

Praktek kehidupan yang memiliki etos kerja tinggi adalah menyahuti firman Allah swt, artinya:
Dan katakanlah : "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan
melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang mengetahui akan
yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan" (QS
At-Taubah, 9 : 105)

Sejarah Islam juga mengamanatkan bahwa Rasulullah SAW menjadikan kerja sebagai aktualisasi
keimanan dan ketakwaan. Rasul bekerja bukan untuk menumpuk kekayaan duniawi.Beliau
bekerja untuk meraih keridaan Allah SWT. Dalam satu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari
Rasulullah SAW berjumpa dengan Sa'ad bin Mu'adz Al-Anshari. Ketika itu Rasul melihat tangan
Sa'ad melepuh, kulitnya gosong kehitam-hitaman seperti terpanggang matahari. "Kenapa
tanganmu?," tanya Rasul kepada Sa'ad. "Wahai Rasulullah," jawab Sa'ad, "Tanganku seperti ini
karena aku mengolah tanah dengan cangkul itu untuk mencari nafkah keluarga yang menjadi
tanggunganku". Seketika itu beliau mengambil tangan Sa'ad dan menciumnya seraya berkata,
"Inilah tangan yang tidak akan pernah disentuh api neraka".
Apa rahasia kesuksesan karier dan pekerjaan sang 'Nabi Akhir Zaman' ini? Pertama, Rasul selalu
bekerja dengan cara terbaik, profesional, dan tidak asal-asalan. Beliau bersabda, "Sesungguhnya
Allah menginginkan jika salah seorang darimu bekerja, maka hendaklah meningkatkan
kualitasnya".

Kedua, dalam bekerja Rasul melakukannya dengan manajemen yang baik, perencanaan yang
jelas, pentahapan aksi, dan adanya penetapan skala prioritas. Ketiga, Rasul tidak pernah menyia-
nyiakan kesempatan sekecil apapun. "Barangsiapa yang dibukakan pintu kebaikan, hendaknya
dia mampu memanfaatkannya, karena ia tidak tahu kapan ditutupkan kepadanya," demikian
beliau bersabda.

Keempat, dalam bekerja Rasul selalu memperhitungkan masa depan. Beliau adalah sosok yang
visioner, sehingga segala aktivitasnya benar-benar terarah dan terfokus. Kelima, Rasul tidak
pernah menangguhkan pekerjaan. Beliau bekerja secara tuntas dan berkualitas. Keenam, Rasul
bekerja secara berjamaah dengan mempersiapkan (membentuk) tim yang solid yang percaya
pada cita-cita bersama.

Ketujuh, Rasul adalah pribadi yang sangat menghargai waktu. Tidak berlalu sedetik pun waktu,
kecuali menjadi nilai tambah bagi diri dan umatnya. Dan yang terakhir, Rasulullah SAW
menjadikan kerja sebagai aktualisasi keimanan dan ketakwaan. Rasul bekerja bukan untuk
menumpuk kekayaan duniawi. Beliau bekerja untuk meraih keridhaan Allah SWT. Inilah kunci
terpenting.

Memperhatikan spirit al-Quran dan praktek kehidupan Nabi Muhammad saw maka dapat
dikatakan bahwa etos kerja muslim merupakan sikap kepribadian yang melahirkan keyakinan
yang sangat mendalam bahwa bekerja itu bukan saja untuk memuliakan dirinya, menampakkan
kemanusiaannya, melainkan juga sebagai suatu manifestasi dari amal saleh. Sehingga bekerja
yang didasarkan pada prinsip-prinsip iman bukan saja menunjukkan fitrah seorang muslim,
melainkan sekaligus meninggikan martabat dirinya sebagai hamba Allah yang didera kerinduan
untuk menjadikan dirinya sebagai sosok yang dapat dipercaya, menampilkan dirinya sebagai
manusia yang amanah, menunjukkan sikap pengabdian sebagaimana firman Allah, Dan tidak
Aku menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku. (QS. Adz-
Dzaariyat : 56). Pemahaman sejenis ini akan menjadikan seorang muslim yang memiliki etos
kerja adalah mereka yang selalu obsesif atau ingin berbuat sesuatu yang penuh manfaat yang
merupakan bagian amanah dari Allah. Amanah itu hdala harapan yang harus diwujudkannya.
Harapan (hope) hanya bisa diraih bila memenuhi kualitas kepribadian yang secara metaforis
dapat digambarkan dalam rumus : Quality of your (head + heart + hand) + hard working = hope

Yang membedakan semangat kerja dalam Islam adalah kaitannya dengan nilai serta cara meraih
tujuannya. Bagi seorang muslim bekerja merupakan kewajiban yang hakiki dalam rangka
menggapai ridha Allah. Sedangkan orang kafir bermujahadah untuk kesenangan duniawi dan
untuk memuaskan hawa nafsu. Sebagai bahagian akhir dapat diringkaskan, bagaimana
membudayakan etos kerja Islami yang meliputi, Berdisiplin, berhati-hati dan tanggungjawab
dalam kerja, Konsekuen dan berani menghadapi tantangan , Memiliki sikap percaya diri,
Kreatif, Bertanggungjawab ? kerja sebagai amanah, Mereka bahagia karena melayani/
menolong, Memiliki harga diri, Memiliki jiwa kepemimpinan, Berorientasi ke masa depan,
Memiliki jiwa wiraswasta, Memiliki insting bertanding (kompetisi), Mandiri (Independent),
Kecanduan belajar dan haus mencari ilmu, Memiliki semangat perantauan , Memperhatikan
kesehatan dan gizi, Tangguh dan pantang menyerah, Berorientasi pada produktivitas,
Memperkaya jaringan silaturahim dan memiliki semangat perubahan.

Untuk mencapai etos kerja yang islami itu diperlukan percaya diri dan optimis, Jiwa yang
merdeka , Allah always in my heart, Berwawasan, Memiliki kemampuan bersaing, Berpikir
positif, Memiliki harga diri dan berorientasi ke depan. Sedangkan masalah masalah yang
menghambat etos kerja adalah Kesalahan paradigma berpikir terhadap tindakan, cth : pesimis,
aku tidak bisa dan Kesalahan paradigma beribadah, contoh : ibadah hanya sebatas mahdah

PRODUKTIVITAS MUSLIM
Dalam kaitannya dengan produktivitas, secara metodologis, bisa dikedepankan sebuah agenda
penting: metode apa yang paling tepat untuk membantu pekerja dalam rangka meningkatakan
grafik produktivitas kerja? Jawabnya tiada lain berpangkal pada motivasi. Maksudnya, motivasi
kerja merupakan faktor pertama dan utama dalam usaha peningkatan produktivitas kerja.

Tugas kita sekarang adalah bagaima menumbuhkan motivasi pekerja secara baik, sehingga bisa
meningkatkan produktivitas kerja semaksimal mungkin? Secara teoritis, motivasi dapat
ditafsirkan sebagai keadaan internal (si pekerja) yang melahirkan kekuatan, kegairahan, dan
dinamika, serta mengarahkan tingkah laku pada tujuan.1 Jadi, motivasi merupakan kndisi mental
yang meminjam rumusan populer J. Ravianto- memberi energi (individu, pekerja) untuk
pencapaian kebutuhan.2 Sehingga, individu dengan motivasi yang tinggi, dapat memenuhi
kebutuhan primer hidupnya.

Itulah sebabnya, terminologi motivasi seringkali dipakai untuk menunjukkan sejumlah dorongan,
keinginan, kebutuhan dan kekuatan.3 Maka, tatkala kita mengatakan bahwa para direktur sedang
membangkitkan gairah motivasi para pekerja, berarti mereka sedang melakukan sesuatu untuk
memberi kepuasan pada motif, kebutuhan dan keinginan para pekerja, sehingga melakukan
sesuatu yang menjadi tujuan dan keinginan para direktur. Pada titik inilah, pekerja pengemban
tanggung jawab untuk selalu mengukir prestasi kualitas kerja dalam rangka meraih sukses, baik
secara individu maupun secara institusional, berupa pesatnya kemajuan perusahaan.

Secara teoritis-akademis, paparan ini relevan, dan bahkan paralel dengan tesis D. Mc Clelland.4
Ilmuan kelas dunia menerapkan teorinya perihal motivasi kerja dalam rangka mengukur kualitas
kerja para direktur dari berbagai negara. Walhasil, terjadi peningkatan motivasi kerja bila
responden (individu, pekerja) diberi kesempatan berkembang dan maju dalam memimpin dan
bertanggung jawab. Fakta ini, terlepas dari masalah: negara asal responden (individu, pekerja).
Dari negara maju atau berkembang, Barat atau Timur, ternyata sama saja.

Intinya, adanya motivasi kerja yang tinggi, ternyata memungkinkan seseorang (individu, pekerja)
untuk meraih sukses dalam sistem ekonomi apapun. Relasi motivasi-kerja-tinggi dan sukses
dalam meraih prestasi kerja ini, oleh David Mc Clelland dirumuskan sebagai achievement
motivation.5 Yakni, suatu motivasi prestasi yang didasarkan pada kekuatan yang ada dan berada
dalam diri manusia. Seseorang (individu, pekerja) bisa dianggap mempunyai motivasi prestasi
yang tinggi, jika dia mempunyai keinginan untuk berprestasi lebih baik dibanding yang lain,
begitu rumusan populer David Mc Clelland, sambil menunjukkan bukti riset empiris bahwa
banyak pengusaha, ilmuwan, dan para ahli, ternyata mempunyai tingkat motivasi yang tinggi di
atas rata-rata (standar umum).

Berpijak pada perspektif demikian, maka premis dasar yang dibangun adalah: makin kuat
motivasi, semakin luas peluang untuk maju. Bagi para pekerja, unggul dalam meraih prestasi
dan produktivitas kerja dibanding dengan rekan pekerja lainnya yang bermotivasi rendah. Begitu
pula dengan para direktur, tentunya mempunyai motivasi yang tinggi dalam mengembangkan
dan memajukan perusahaan. Dan walhasil, tentu jauh lebih maju dan baik. Tugas, sekarang
adalah bagaimana menjalin relasi-positif antara motivasi kerja yang tinggi dengan grafik
kenaikan produktifitas kerja?

Tentu saja, paparan ini dapat diurai melalui sebuah rumusan populer: motivasi kerja yang tinggi,
sejatinya dapt melahirkaan produktivitas kerja yang tinggi pula. Bagaimanakah rumusan
populer ini dapt dielaborasi secara sistematis-logis?

Dalam konteks ini, terdapat dua ciri menonjol pada pekerja yang memiliki motivasi-kerja-tinggi
dalam meraih sukses produktivitas kerja. Pertama, ciri khas pekerja yang memiliki motivasi
tinggi adalah: Jika dilibatkan dalam sebuah program kerja, ia selalu ingin mengetahui
kedudukan dan jenis pekerjaan yang mesti dilakukan. Sikap ini sebagai bentuk komitmen dan
tanggung jawab pekerja dalam menunaikan tugas pekerjaannya. Sehingga, pekerja akhirnya
mampu mengemban tugas secara serius dan cepat.

Kedua, konsekuensi logisnya adalah pekerja selalu menampilkan wajah keceriaan dan perasaan
senang. Inilah ciri khas bagi pekerja yang bermotivasi tinggi, sehingga mampu meningkatkan
produktivitas kerja. Maksud perasaan senang pekerja adalah saat menyaksikan hasil (kualitas)
kerja yang baik. Berbeda dengan pekerja bermotivasi lemah yang selalu berharap pada imbalan
dan gaji, maka pekerja yang bermotivasi tinggi tidak terlalu berorientasi pada gaji. Karena,
baginya, gaji tidaklah memiliki nilai vitalitas. Justru pekerja bermotivasi tinggi ini, selalu
merasakan kebahagiaan, perasaan senang, dan kenikmatan dalam menjalani posisi kerja yang
tinggi tingkat kesulitannya. Karena, dengan begitu, pekerja akan semakin menemukan banyak
tantangang, yang justru membuat kepribadiaannya: tegar, kuat, percaya diri, dan memiliki
semangat prima untuk maju ke depan.

Nah, berpijak pada dua paparan ini, maka bisa dikedepankan rumusan: motivasi kerja yang
tinggi sangat berpengaruh pada prestasi dan produktivitas kerja. Ini berarti, menunjukkan
sebuah kepastian bahwa: pekerja bermotivasi tinggi, dapat dijadikan tolak ukur pertama dan
utama dalam peningkatan produktivitas kerja. Paparan ini, secara epetemologis dibenarkan oleh
ilmuan tersohor bernama Robert Suterneister. Adalah Mathias Aroef yang mendasarkan diri pada
tesis Robert Suterneister ini, menilai bahwa hubungan positifi antara motivasi tinggi dengan
grafik kenaikan produktivitas kerja, didasarkan pada tiga argumen pokok, yakni: Pertama,
Produktivitas itu, sekitar 90% sangat tergantung pada pekerja.

Sisanya, 10% amat tergantung pada teknologi dan bahan mentah yang digunakan. Kedua,
Prestasi pekerja itu, antara 80% - 90% sangat tergantung pada motivasinya dalam bekerja.
Adapun sisanya, sekitar 10% - 20% baru tergantung pada kemampuan pekerja. Ketiga, Motivasi
pekerja itu, sekitar 50% sangat tergantung pada kondisi sosial, sementara 40% tergantung pada
kebutuhan, dan 10% tergantung pada kondisi fisik.

Dengan rumusan ini, maka jelaslah sudah bahwa motivasi kerja yang tinggi, merupakan modal
pertama dan utama dalam rangka peningkatan prestasi, kualitas, dan produktivitas kerja. Semoga
berbekal motivasi tinggi yang melahirkan produktivitas kerja yang tinggi pula, maka suatu
perusahaan bisa berkembangg dan maju secara pesat dan cepat.
Memperhatikan pentingnya etos kerja dan produktivias maka setiap umat mestinya harus mampu
mengerakkan dirinya dan orang sekitarnya untuk memacu diri menjadi bangsa yang kuat dan
sejahtera. Amin. (Padang, 210509).

Anda mungkin juga menyukai