Pengertian Etos Kerja Dalam Islam: I. Mukaddimah
Pengertian Etos Kerja Dalam Islam: I. Mukaddimah
http://www.terbaru.in/pengertian-etos-kerja-dalam-islam/
I. Mukaddimah
Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan kepada hamba-Nya Al-Quran, dan Dia
tidak membuat sesuatu yang tidak lurus di dalamnya. Sebagai bimbingan yang lurus, untuk
memperingatkan (manusia) akan siksa yang pedih dari Allah dan memberi kabar gembira
kepada orang-orang beriman, yang mengerjakan amal soleh, bahwa mereka akan mendapat
balasan yang baik. Mereka (akan menikmati kehidupan sorga) kekal di dalamnya untuk
selamanya(al-Kahfi:1-3)
Al-Quran adalah pedoman begi manusia yang ingin memilih jalan kebenaran daripada jalan
kesesatan (al-Baqarah :185), pembimbing (guidance) untuk membina ketakwaan (al-Baqarah:
2). Namun, hidup yang taqwa bukan semata harapan atau angan-angan untuk meraih
kebahagiaan, tetapi merupakan medan dan cara kerja yang sebaik-baiknya untuk merealisasikan
kehidupan yang berjaya di dunia dan memperoleh balasan yang lebih baik lagi di akhirat (an-
Nahl: 97).
Bekerja adalah kodrat hidup, baik kehidupan spiritual, intelektual, fisik biologis, maupun
kehidupan individual dan sosial dalam berbagai bidang (al-Mulk: 2). Seseorang layak untuk
mendapatkan predikat yang terpuji seperti potensial, aktif, dinamis, produktif atau profesional,
semata-mata karena prestasi kerjanya. Karena itu, agar manusia benar-benar hidup, dalam
kehidupan ini ia memerlukan ruh (spirit). Untuk ini, Al Quran diturunkan sebagai ruhan min
amrina, yakni spirit hidup ciptaan Allah, sekaligus sebagai nur (cahaya) yang tak kunjung
padam, agar aktivitas hidup manusia tidak tersesat (asy-Syura: 52).
II. Pembahasan
Al-Quran sebagai pedoman kerja kebaikan, kerja ibadah, kerja taqwa atau amal shalih,
memandang kerja sebagai kodrat hidup. Al-Quran menegaskan bahwa hidup ini untuk ibadah
(adz-Dzariat: 56). Maka, kerja dengan sendirinya adalah ibadah, dan ibadah hanya dapat
direalisasikan dengan kerja dalam segala manifestasinya (al-Hajj: 77-78, al-Baqarah:177).
Jika kerja adalah ibadah dan status hukum ibadah pada dasarnya adalah wajib, maka status
hukum bekerja pada dasarnya juga wajib. Kewajiban ini pada dasarnya bersifat individual, atau
fardhu ain, yang tidak bisa diwakilkan kepada orang lain. Hal ini berhubungan langsung dengan
pertanggung jawaban amal yang juga bersifat individual, dimana individulah yang kelak akan
mempertanggung jawabkan amal masing-masing. Untuk pekerjaan yang langsung memasuki
wilayah kepentingan umum, kewajiban menunaikannya bersifat kolektif atau sosial, yang disebut
dengan fardhu kifayah, sehingga lebih menjamin terealisasikannya kepentingan umum tersebut.
Namun, posisi individu dalam konteks kewajiban sosial ini tetap sentral. Setiap orang wajib
memberikan kontribusi dan partisipasinya sesuai kapasitas masing-masing, dan tidak ada
toleransi hingga tercapai tingkat kecukupan (kifayah) dalam ukuran kepentingan umum.
Syarat pokok agar setiap aktivitas kita bernilai ibadah ada dua, yaitu sebagai berikut.
Pertama, Ikhlas, yakni mempunyai motivasi yang benar, yaitu untuk berbuat hal yang baik yang
berguna bagi kehidupan dan dibenarkan oleh agama. Dengan proyeksi atau tujuan akhir meraih
mardhatillah (al-Baqarah:207 dan 265).
Kedua, shawab (benar), yaitu sepenuhnya sesuai dengan tuntunan yang diajarkan oleh agama
melalui Rasulullah saw untuk pekerjaan ubudiyah (ibadah khusus), dan tidak bertentangan
dengan suatu ketentuan agama dalam hal muamalat (ibadah umum). Ketentuan ini sesuai dengan
pesan Al-Quran (Ali Imran: 31, al-Hasyr:10).
Ketika kita memilih pekerjaan, maka haruslah didasarkan pada pertimbangan moral,
apakah pekerjaan itu baik (amal shalih) atau tidak. Islam memuliakan setiap pekerjaan yang baik,
tanpa mendiskriminasikannya, apakah itu pekerjaan otak atau otot, pekerjaan halus atau kasar,
yang penting dapat dipertanggungjawabkan secara moral di hadapan Allah. Pekerjaan itu
haruslah tidak bertentangan dengan agama, berguna secara fitrah kemanusiaan untuk dirinya, dan
memberi dampak positif secara sosial dan kultural bagi masyarakatnya. Karena itu, tangga
seleksi dan skala prioritas dimulai dengan pekerjaan yang manfaatnya bersifat primer, kemudian
yang mempunyai manfaat pendukung, dan terakhir yang bernilai guna sebagai pelengkap.
Ini adalah pesan iman yang membawa manusia kepada orientasi nilai dan kualitas. Al Quran
menggandengkan iman dengan amal soleh sebanyak 77 kali. Pekerjaan yang standar adalah
pekerjaan yang bermanfaat bagi individu dan masyarakat, secara material dan moral-spiritual.
Tolok ukurnya adalah pesan syariah yang semata-mata merupakan rahmat bagi manusia. Jika
tidak diketahui adanya pesan khusus dari agama, maka seseorang harus memperhatikan
pengakuan umum bahwa sesuatu itu bermanfaat, dan berkonsultasi kepada orang yang lebih
tahu. Jika hal ini pun tidak dilakukan, minimal kembali kepada pertimbangan akal sehat yang
didukung secara nurani yang sejuk, lebih-lebih jika dilakukan melalui media shalat meminta
petunjuk (istikharah). Dengan prosedur ini, seorang muslim tidak perlu bingung atau ragu dalam
memilih suatu pekerjaan.
Mujahadah dalam maknanya yang luas seperti yang didefinisikan oleh Ulama adalah istifragh
ma fil wusi, yakni mengerahkan segenap daya dan kemampuan yang ada dalam merealisasikan
setiap pekerjaan yang baik. Dapat juga diartikan sebagai mobilisasi serta optimalisasi sumber
daya. Sebab, sesungguhnya Allah SWT telah menyediakan fasilitas segala sumber daya yang
diperlukan melalui hukum taskhir, yakni menundukkan seluruh isi langit dan bumi untuk
manusia (Ibrahim: 32-33). Tinggal peran manusia sendiri dalam memobilisasi serta mendaya
gunakannya secara optimal, dalam rangka melaksanakan apa yang Allah ridhai.
Bermujahadah atau bekerja dengan semangat jihad (ruhul jihad) menjadi kewajiban setiap
muslim dalam rangka tawakkal sebelum menyerahkan (tafwidh) hasil akhirnya pada keputusan
Allah (Ali Imran: 159, Hud: 133).
Oleh karena dasar semangat dalam kompetisi islami adalah ketaatan kepada Allah dan ibadah
serta amal shalih, maka wajah persaingan itu tidaklah seram; saling mengalahkan atau
mengorbankan. Akan tetapi, untuk saling membantu (taawun). Dengan demikian, obyek
kompetisi dan kooperasi tidak berbeda, yaitu kebaikan dalam garis horizontal dan ketaqwaan
dalam garis vertikal (al-Maidah: 3), sehingga orang yang lebih banyak membantu
dimungkinkan amalnya lebih banyak serta lebih baik, dan karenanya, ia mengungguli score
kebajikan yang diraih saudaranya.
Mengutip al-Qardhawi dalam bukunya Qimatul waqti fil Islam: waktu adalah hidup itu
sendiri, maka jangan sekali-kali engkau sia-siakan, sedetik pun dari waktumu untuk hal-hal yang
tidak berfaidah. Setiap orang akan mempertanggung jawabkan usianya yang tidak lain adalah
rangkaian dari waktu. Sikap negatif terhadap waktu niscaya membawa kerugian, seperti gemar
menangguhkan atau mengukur waktu, yang berarti menghilangkan kesempatan. Namun,
kemudian ia mengkambing hitamkan waktu saat ia merugi, sehingga tidak punya kesempatan
untuk memperbaiki kekeliruan.
Jika kita melihat mengenai kaitan waktu dan prestasi kerja, maka ada baiknya dikutip petikan
surat Khalifah Umar bin Khatthab kepada Gubernur Abu Musa al-Asyari ra, sebagaimana
dituturkan oleh Abu Ubaid, Amma badu. Ketahuilah, sesungguhnya kekuatan itu terletak pada
prestasi kerja. Oleh karena itu, janganlah engkau tangguhkan pekerjaan hari ini hingga esok,
karena pekerjaanmu akan menumpuk, sehingga kamu tidak tahu lagi mana yang harus
dikerjakan, dan akhirnya semua terbengkalai. (Kitab al-Amwal, 10)
III. Penutup
Ruhul jihad dalam bekerja mempersyaratkan mobilisasi dan optimalisasi pemberdayaan segenap
potensi di jalan Allah untuk kebaikan setiap orang. Ruhul mujahadah menuntut kesabaran dan
kontinyuitas kerja, bahkan menuntut tingkat kesabaran ekstra yang mampu mengungguli
kesabaran para pesaing. Semua itu didukung dengan ketekunan untuk murabathah, yakni
pantang meninggalkan pekerjaan sebelum selesai (Ali Imran: 200). Ruhul jihad menolak setiap
bentuk ketidakcermatan dalam memanajemen waktu yang begitu berharga; ketidak profesionalan
dalam mengelola sumber daya yang demikian mahal. Dengan tegas pula, ia menolak setiap
perasaan dan sikap lemah, malas dan kurang serius, mengandalkan pada kemampuan orang lain
untuk menyelesaikan pekerjaan, lebih-lebih mencatut prestasi orang lain sebagai hasil karyanya.
Sebab, cara ini analog dengan memakan harta orang lain secara batil (al Baqarah: 188 )
Secara teoritis, Kaum Muslimin mempunyai etos kerja yang demikian kuat dan mendasar, karena
ia bermuara pada iman, berhubungan langsung dengan kekuatan Allah, dan merupakan persoalan
hidup dan mati. Akan tetapi, tidak diingkari kalau kenyataannya masih jauh panggang dari
pada api. Sebaliknya, Kaum Muslimin belum tahu kalau mereka itu mempunyai kekuatan etos
kerja yang sangat dahsyat, dan ketika mereka melihat prestasi suatu bangsa atau umat lain,
sebagian orang Islam salut dan terpana dengan etos kerja mereka, dan kadang sambil bertanya
dengan agak sinis: Adakah etos kerja dalam Islam?
Maka, di sinilah Kaum Muslimin harus kembali kepada Islam secara benar dan mengambil
semangat atau apinya. Karena, sebagaimana sabda Rasulullah saw, Islam adalah pangkal
segala urusan hidup, tiang pancangnya shalat, dan ujung tombaknya adalah jihad.
(H.R.Thabrani)
Dengan ruhul jihad, setiap muslim akan mampu mengukir prestasi dengan penuh kegairahan,
kemudian secara pasti akan mengembalikan izzah atau harga dirinya, sehingga disegani oleh
umat lain. Sebab, kemuliaan dan gensi itu adalah milik Allah, rasul-Nya, serta orang-orang
beriman (al-Munafiqun: 8 ). Tanpa semangat jihad, mereka takkan lebih dari sekedar umat ritual
yang nampak soleh, tetapi tanpa gengsi, bahkan boleh jadi inferior terhadap umat atau bangsa
lain.
Semangat inilah yang hendak dirusak dan dilumpuhkan oleh pemikiran dan budaya asing, demi
lestarinya pengaruh mereka terhadap negeri-negeri muslim. Kaum Muslimin dijadikan target
invasi pemikiran dan budaya (al-gazwul fikri). Mereka dicuri waktunya dengan berbagai sarana
dan acara hiburan yang menyuguhkan budaya santai, lembek, dan pornografis. Maka,
bersemailah di bumi Kaum Muslimin hiburan-hiburan yang berselera rendah, sikap basa-basi,
asal bapak senang (ABS) serta budaya minta petunjuk, memudarnya kejantanan kaum pria yang
bergaya wanita, dan akhirnya membentuk sikap al wahn, yakni cinta dunia dan takut mati.
Profil seorang muslim adalah insan yang ramah, tetapi bukan lemah; serius, tetapi familiar dan
tidak kaku; perhitungan, tetapi bukan pelit; penyantun, tetapi mengajak bertanggung jawab;
disipilin, tetapi pengertian, mendidik, dan mengayomi; kreatif dan enerjik, tetapi hanya untuk
kebaikan; selalu memikirkan prestasi, tetapi bukan untuk dirinya sendiri. Kesenangannya adalah
meminta maaf dan memberi bantuan dan kepandaiannya adalah dalam rangka mengakui karunia
Allah dan menghargai jasa atau prestasi orang lain.
Shalawat serta salam semoga tercurah kepada junjungan alam, Nabi Muhammad saw., keluarga,
sahabat, serta para mujahidin di segala bidang sepanjang zaman. Berkat prestasi kerja mereka
itulah, peta kejayaan ummat dapat diukurkan. Semoga kita mampu bergabung dalam barisan
mereka. Aamin.