Anda di halaman 1dari 39

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam dunia pertambangan terdapat yang namanya hukum pertambangan.


Hukum pertambangan yaitu ketentuan yang khusus yang mengatur hak
menambang (bagian dari tanah yang mengandung logam berharga di dalam
tanah atau bebatuan) menurut aturan-aturan yang telah ditetapkan. Dan dalam
dunia pertambangan selain hukum pertambangan yang berlaku, terdapat pula
hukum-hukum lain nya yang sangat berhubungan erat dengan pertambangan
salah satunya yaitu hukum agraria, yang cakupan bahasanya melingkupi
tanah dan isinya (arti secara sempit).
Tanah merupakan salah satu sumber kehidupan yang sangat vital bagi
manusia, baik dalam fungsinya sebagai sarana untuk mencari penghidupan
(pendukung mata pencaharian) di berbagai bidang seperti pertanian,
perkebunan, peternakan, perikanan, industri, maupun yang dipergunakan
sebagai tempat untuk bermukim dengan didirikannya perumahan sebagai
tempat tinggal, terkhusus sesuai dengan bahasan makalah ini yaitu bidang
pertambangan itu sendiri.
Ketentuan yuridis yang mengatur mengenai eksistensi tanah yaitu
terdapat dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA), yang merupakan
pelaksanaan dari ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945
yang menyatakan bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Adapun pengejawantahan lebih lanjut mengenai hukum
tanah banyak tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan lainnya
seperti Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna
Usaha, Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai atas Tanah; Peraturan Menteri
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tentang

1
Pelimpahan Kewenangan Pemberian dan Pembatalan Keputusan Pemberian
Hak atas Tanah; dan lain-lain.
Dalam ruang lingkup agraria, tanah merupakan bagian dari bumi yang
disebut permukaan bumi. Tanah yang dimaksudkan di sini bukan mengatur
tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya
yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak. Tanah sebagai bagian
dari bumi disebutkan dalam Pasal 4 ayat (1) UUPA yaitu Atas dasar hak
menguasai dari negara sebagai yang dimaksud dalam Pasal 2 ditentukan
adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang
dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang baik sendiri maupun
bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum.
Maka dari itu tanah sebagai ruang merupakan wahana yang harus
dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Bagi bangsa
Indonesia pembangunan tidak dapat dilepaskan dari tanah. Tanah merupakan
bagian penting dari usaha untuk meningkatkan kesejahteraan social dalam
rangka mewujudkan tujuan nasional yang memiliki nilai setrategis karena arti
khusus dari tanah sebagai faktor produksi utama perekonomian bangsa dan
negara, tak terkecuali untuk sektor pertambangan.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa pengertian hukum agraria?
2. Apa yang dimaksud hukum tanah?
3. Bagaimana sejarah hukum agraria?
4. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan hukum agraria?
5. Bagaimana kedudukan hukum agraria sebagai hukum nasional?
6. Apa saja sumber dan dasar hukum agraria sebagai hukum nasional?
7. Apa hak-hak hukum agraria?

1.3 Tujuan Penulisan


1. Untuk mengetahui pengertian hukum agraria
2 Untuk memahami hukum tanah
3 Untuk mengetahui sejarah hukum agraria
4 Untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan hukum
agraria
5 Untuk mengetahui kedudukan hukum agraria sebagai hukum nasional

2
6 Untuk mengetahui sumber dan dasar hukum agraria sebagai hukum
nasional
7 Untuk mengetahui hak-hak hukum agraria

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Hukum Agraria


Istilah Agraria

3
Istilah Agraria berasal dari kata Akker (Bahasa Belanda), Agros (Bahasa
Yunani) berarti tanah pertanian, Agger (Bahasa Latin) berarti tanah atau
sebidang tanah, Agrarius (Bahasa Latin) berarti perladangan, persawahan,
pertanian, Agrarian (Bahasa Inggris) berarti tanah untuk pertanian.
Dalam UUPA (UU No. 5 tahun 1960) tidak memberikan pengertian
agrarian.Ruang lingkup agrarian menurut UUPA meliputi bumi, air, ruang
angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnnya (BARAKA).

Pengertian Agraria menurut UUPA :


Dapat berarti luas
Diatur dalam pasal 1 ayat 2 yang meliputi bumi, air, dan ruang Angkasa.
Bumi; Pengertian bumi menurut pasal 1 ayat (4) UUPA adalah
permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang
berada dibawah air.
Air; Pengertian air menurut pasal 1 ayat (5) UUPA adalah air yang
berada diperairan pedalaman maupun air yang berada dilaut diwilayah
Indonesia
Ruang Angkasa; Penertian ruang angkasa menurut pasal 1 ayat (6)
UUPA adalah ruang diatas bumi wilayah Indonesia dan ruang diatas air
wilayah Indonesia. Pengertian ruang angkasa menurut pasal 48 UUPA
ruang diatas bumi dan air yang mengandung tenaga dan unsur unsur
yang dapat digunakan untuk usaha usaha memelihara dan
memperkembangkan kesuburan bumi, air serta kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya.
Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya; Kekayaan alam yang
terkandung didalam bumi disebut bahan, yaitu unsur unsur kimia,
mineral-mineral, bijih-bijih dan segala macam batuan, termasuk batuan-
batuan mulia yang merupakan endapan endapan alam.

Jadi, hukum agraria dalam arti luas ialah keseluruhan kaidah-kaidah


hukum baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur mengenai bumi,

4
air dan dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam
yang terkandung didalamnya.

Dalam arti sempit


diatur dalam pasal 4 ayat 1 UUPA yaitu " Tanah " dalam pasal 4 ayat 1
ditentukan, bahwa adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang
disebut tanah tersebut.

Jadi, hukum agraria dalam arti sempit yaitu merupakan bagian dari
hukum agrarian dalam arti luas yaitu hukum tanah atau hukum tentang
tanah yang mengatur mengenai permukan atau kulit bumi saja atau
pertanian

C. Pengertian Hukum Agraria menurut Ahli


Menurut Soedikno Mertokusumo, Hukum Agraria adalh keseluruhan
kaedah hokum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur
agrarian.
Menurut Budi Harsono, Hukum agrarian merupakan satu kelompok
berbagai bidang hokum, yang masing-masing mengatur hak-hak
penguasaan atau sumber-sumber daya alam tertentu yang termasuk
pengertian agrarian. Misal Hukum Tanah, Hukum Air, Hukum
Pertambangan, Hukum Perikanan, Hukum Atas Penguasaan Atas
Tenaga dan Unsur-unsur dalam Ruang Angkasa.
Menurut E. Utrecht, Hukum Agraria dalam arti sempit sama dengan
Hukum Tanah.Hukum Agraria dan Hukum Tanah menjadi bagian
Hukum Tata Usaha Negara.

Pembidangan dan Pokok Bahasan Hukum Agraria


Secara garis besar Hukum Agraria setelah berlakunya UUPA dibagi
menjadi dua bidang yaitu ;
Hukum Agraria Perdata

5
Adalah keseluruhan dari ketentuan hukum yang bersumber pada hak
perseorangan dan badan hukum yang memperbolehkan, mewajibkan,
melarang diperlakukan perbuatan hukum yang berhubungan dengan
tanah.
Hukum Agraria Administrasi
Adalah keseluruhan dari ketentuan hukum yang memberi wewenang
kepada pejabat dalam menjalankan praktek hukum negara dan
mengambil tindakan dari masalah-masalah agrarian yang timbul

2.2 Pengertian Hukum Tanah


Dalam ruang lingkup agrarian tanah merupakan bagian dari bumi yang
disebut permukaan bumi, dalam pasal 4 ayat (1) UUPA atas dasar hak
menguasai dari negara sebagai yang dimaksud pasal 2 ditentukan adanya
macam-macamhak atas permukaan bumi yang disebut tanah. Tanah dalam
pengertian yuridis adalah permukaan bumi sedangkan hak atas tanah adalah
hak atas sebgian tertentu permukaan bumi yang berbatas, berdimensi dua
dengan ukuran panjang dan lebar. Objek hukum tanah adalah hak penguasaan
atas tanah maksudnya Hak yang berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan
atau larangan bagi pemegang haknyauntuk berbuat sesuatu mengenai tanah
yang dihaki.
Hirarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam hukum tanah nasional adalah :
1. Hak bangsa Indonesia atas tanah
2. Hak menguasai dari negara atas tanah
3. Hak ulayat masyarakat hukum adapt
4. Hak perseorangan meliputi ;
Hak-hak atas tanah
Wakap tanah hak milik
Hak jaminan atas tanah (hak tanggungan)
Hak milik atas satuan rumah susun

6
Hukum Tanah adalah keseluruhan ketentuan- ketentuan hukum baik tertulis
maupun tidak tertulis yang semuanya mempunyai objek pengaturan yang
sama yaitu hak-hak penguasan atas tanah sebagai lembaga-lembaga hukum
dan sebagai hubungan hukum yang konkret, beraspek public dan privat yang
dap[at disusun dan dipelajari secara sistematis hingga keseluruhannya
menjadi saqtu kesatuan yang merupakan satu system.
Ada dua macam asas dalam Hukum tanah, yaitu :
Asas Accessie atau Asas Perlekatan
Dalam asas ini bangunan dan tanaman yang ada diatas tanah merupakan
satu kesatuan; bangunan dan tanaman tersebut bagian daari tanah yang
bersangkutan
Asas Horizontale Scheiding atau Asas Pemisahan Horizontal
Dalam asas ini bangunan dan tanaman yang ada diatas tanah bukan
merupkan bagian dari tanah.Hak atas tanah tidak deengan sendirinya meliputi
pemilikan bangunan dan tanaman yang ada diatasnya.

Dalam pengertian konteks agraria, tanah berarti permukaan bumi paling


luar berdimensi dua dengan ukuran panjang dan lebar. Hukum tanah di sini
buakanmengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur
salah satu aspeknya saja yaitu aspek yuridisnya yang disebut dengan hak-hak
penguasaan atas tanah. Dalam hukum, tanah merupakan sesuatu yang nyata
yaitu berupa permukaan fisik bumi serta apa yang ada di atasnya buatan
manusia yang disebut fixtures. Walaupun demikian perhatian utamanya
adalah bukan tanahnya itu, melainkan kepada aspek kepemilikan dan
penguasaan tanah serta perkembangannya. Objek perhatiannya adalah hak-
hak dan kewajiban-kewajiban berkenaan dengan tanah yang dimiliki dan
dikuasai dalam berbagai bentuk hak penguasaan atas tanah.

Dengan demikian, jelaslah bahwa tanah dalam arti yuridis


adalah permukaan bumi, sedangkan hak atas tanah hak atas sebagiaan tertentu

7
permukaan bumi, yang berbatas, berdimensi dua dengan ukuran panjang dan
lebar.

Yang dimaksud dengan hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang
kepada pemegangnya untuk mempergunakan dan/atau mengambil manfaat
dari tanahyang dihakinya. Atas ketentuan Pasal 4 ayat (2) UUPA, kepada
pemegang hak atastanah diberikan wewenang untuk mempergunakan tanah
yang bersangkutan,demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang di atasnya
sekedar diperlukan untuk kepentingan langsung yang berhubungan dengan
penggunaan tanah itu dalam batas- batas menurut UUPA dan peraturan-
peraturan hukum lain yang lebih tinggi.

2.3 Sejarah Hukum Agraria


Dalam buku Hukum Agraria Indonesia Boedi Harsono, hanya menyebut
dua tonggak sejarah, yaitu pengundangan UUPA (24 september 1960) dan
pengundangan Agrarische Wet (1870).

Berlandaskan tonggak sejarah itu, sejarah hukum agraria Indonesia dapat


dibagi dalam periode sebagai berikut:

a. Masa sebelum kemerdekaan (sebelum 1945):

1. Masa sebelum Agrarische Wet (1870)

2. Masa setelah Agrarische Wet (1870 sampai proklamasi kemerdekaan).

b. Masa kemerdekaan:

1. Masa sebelum UUPA (tahun 1945 sampai tahun 1960).

2. Masa UUPA (setelah terbitnya UU No.5/1960) tentang ketentuan dasar


pokok-pokok agraria tanggal 24 september 1960.

8
Pada politik agraria kolonial dalam Agrarische Wet tahun 1870, dengan
pernyataan domeinnya serta sejarah politik hukum perdata dengan dualisme
hukum agraria.

Sejarah pembentukan UUPA 1960 dan UUPA sendiri masing-masing dibahas


dalam pokok bahasan berikut.Penjelasan umum UUPA merumuskan bahwa
hukum agraria lama (yang berlaku sebelum tahun 1960) itu dalam banyak hal,
tidak merupakan alat penting untuk membangun masyarakat yang adil dan
makmur, bahkan merupakan penghambat pencapaiannya. Hal itu terutama
disebabkan karena :

a. Hukum agraria lama itu sebagian tersusun berdasarkan tujuan dan sendi-
sendi dari pemerintah jajahan, sehingga bertentangan dengan kepentingan
rakyat didalam melaksanakan pembangunan nasional.

b. Hukum agraria lama bersifat dualisme, yaitu berlakunya peraturan hukum


adat disamping peraturan dari dan yang didasarkan atas hukum barat.

c. Bagi rakyat asli hukum agraria penjajahan tidak menjamin kepastian


hukum seluruh rakyat Indonesia.

Sejarah hukum belanda perlu diingat bahwa setelah kerajaan belanda


menjadi Negara monarki konstitusional. Pemerintah di Hindia Belanda dalam
menjalankan tugas-tugasnya terkuat dalam bentuk Undang-Undang (Wet)
yang dikenal dengan RR (Regeling Reglement) tahun 1855 (Stb. 1855:2).
Politik agraria tercantum dalam pasal 62 RR yang terdiri dari 3 ayat
yang antara lain menggariskan bahwa gubernur jenderal tidak boleh menjual
tanah dan bahwa gubernur jenderal dapat menyewakan tanah berdsarkan
ketentuan ordonansi.
Tujuan dari Agrarische Wet adalah untuk memberi kemungkinan dan
jaminan kepada modal besar asing agar dapat berkembang di Indonesia,
dengan pertama tama membuka kemungkinan untuk memperoleh tanah
dengan hak erfpacht yang berjangka waktu lama.

9
Agrarische Wet lahir atas desakan masyarakat pemilik modal besar
swasta, yang pada masa kultur stelsel (tanam paksa) sebelumnya terbatas
sekali kemungkinannya untuk berusaha dalam lapangan perkebunan besar.
Kesempatan yang ada sebelumnya hanyalah melalui sewa tanah, yang pada
masa tanam paksa, kemungkinan itu sesuai dengan politik monopoli
pemerintah justru ditutup.

DUALISME
Sejak Hindia Belanda resmi menjadi jajahan Belanda tahun 1815,
praktis kondisi hukum khususnya hukum perdata sudah bersifat dualisme.
Disamping hukum adat yang merupakan hukum perdata bagi golongan
penduduk pribumi, maka bagi golongan penduduk penjajah Belanda, mereka
perlakukan hukum perdata yang mereka bawa dari negara asalnya.
Peraturan perundang undangan di bidang perdata kemudian diperluas
berlakunya bagi golongan penduduk Timur Asing untuk sebagian kemudian
seluruhnya khusus bagi golongan penduduk Tionghoa dan selanjutnya sampai
pula diperuntukkkan untuk golongan penduduk pribumi baik melalui lembaga
pernyataan berlaku atas beberapa bagian hukum perdata tertentu ataupun
melalui lembaga pernyataan tunduk secara sukarela.

HUKUM DAN POLITIK AGRARIA KOLONIAL


Hukum Agraria Kolonial
Dari segi berlakunya Hukum Agraria di Indonesia dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Hukum Agraria Kolonial, yang berlaku sebelum Indonesia merdeka bahkan
berlaku sebelum diundangkannya UUPA, yaitu sebelum tanggal 24
september 1960.
2. Hukum Agraria Nasional, yang berlaku setelah diundangkannya UUPA,
yaitu tanggal 24 september 1960.
Bahwa Hukum Agraria yang berlaku sebelum Indonesia merdeka disusun
berdasarkan tujuan dan sendi-sendi pemerintahan Hindia Belanda, dapat
dijelaskan sebagai berikut diantaranya :

10
1. Pada masa pemerintahan dipegang oleh Gubernur Herman Willem
Daendles (1800-1811) telah menetapkan kebijaksanaan yaitu menjual
tanah-tanah rakyat Indonesia kepada orang-orang Cina, Arab maupun
bangsa belanda sendiri. Tanah yang dijual itu dikenal dengan sebutan tanah
partikelir
2. Pada masa pemerintahan Gubernur Thomas Stanford Raffles telah
menetapkan Landrent atau Pajak tanah. Pemilikan tanah di daerah
swapraja di jawa disimpulkan bahwa semua tanah milik raja, sementara
rakyat hanya sekedar menggarap dan rakyat wajib membayar pajak kepada
raja inggris.
3. Pada masa pemerintahan gubernur Johanes Van den Bosch tahun 1830
telah menetapkan kebijakan pertanahan yang dikenal dengan system
Tanam Paksa atau Cultuur Stelsel, yaitu petani dipaksa untuk menanam
suatu jenis tanaman tertentu yang secara langsung maupun tidak langsung
dibutuhkan oleh pasr internasiaonal pada waktu itu. Hasil pertanian
tersebut diserahkan kepada pemerintahan colonial tanpa mendapatkan
imbalan apa pun
4. Pada masa berlakunya Agrarische Wet Stb 1870 No. 55 yaitu berlakunya
politik monopoli (politik colonial konservatif) dihapuskan dan digantikan
dengan politik liberal yaitu pemerintah tidak ikut mencampuri di bidang
usaha pengusaha diberikan kesempatan dan kebebasan mengembangkan
usaha dan modalnya dibidang pertanian di Indonesia.
Hukum Agraria kolonial mempunyai sifat dualisme hukum, yaitu dengan
berlakunya hukum agraria yang berdasarkan atas hukum adat,sifat
dualisme tersebut meliputi bidang-bidang :
1. Hukum, yaitu pada saat yang sama berlaku macam-macam hukum agraria
barat, hokum agrarian adat, hukum agraria swapraja, hukum, hokum
agrarian administrative dan hukum agrarian antar golongan
2. Hak atas tanah yaitu yang tunduk pada hukum agraria barat yang diatur
dalam KUH Perdata, hak atas tanah yang tunduk pada hukum agraria adat,

11
hak atas tanah yang merupkan ciptaan pemerintah swapraja, hak atas tanah
yang merupakan ciptaan pemerintah hindia belanda
3. Hak Jaminan atas tanah
4. Pendaftaran tanah dilakukan oleh kantor pendaftaran tanah tanah atas
tanah-tanah yang tunduk pada hukum barat dan pendaftaran tanah ini
menghasilkan tanda bukti berupa sertifikat.
Politik Agraria Kolonial
Politik agraria yang dimaksudkan disini adalah kebijaksanaan agraria, politik
agraria adalah garis besar kebijaksanaan yang dianut oleh negara dalam usaha
memelihara, mengawetkan, memperuntukan, mengusahakan, mengambil
manfaat,mengurus dan membagi tanah dan sumber alam lainnya termasuk
hasilnya untuk kesejahteraan rakyat dam negara.
Ada dua tujuan politik agraria kolonial yang dijelmakan dalam Agrarische
wet yaitu :
1. Tujuan Primer yaitu memberikan kesempatan kepada pihak swasta
mendapatkan bidang tanah yang luas dari pemerintah pada waktu yang
cukup lama dengan uang sewa yang murah
2. Tujuan Sekunder, melindungi hak penduduk bumi putera atas tanahnya
dalam perjalanan berlakunya agrarische wet terjadi penyimpangan
terhadaptujuan sekundernya, yaitu adanya penjualan tanah-tanah milik
orang Bumi Putera langsung kepada orang-orang belanda atau Eropa
lainnya
Menurut Imam Soetikno stuktur agraria warisan penjajah sebagai hasil
politik agraria kolonial apabila :
1. Dipandang dari sudut hukumnya, tidak ada kesatuan hukum.
2. Dilihat dari sudut subjeknya, tidak ada kesamaan status subjek
3. Dilihat dari yang menguasai tanah, tidak ada keseimbangan dalam
hubungan antara manusia dengan tanah
4. Dilihat dari sudut penggunaan tanah, tidak ada keseimbangan dalam
penggunaan tanah
5. Dilihat dari sudut tertib hukum, tidak ada tertib hukum

12
HUKUM AGRARIA NASIONAL
UUD 1945 meletakkan dasar politik agraria nasional yang dimuat dalam
pasal 33 ayat (3) nya yaituBumi, air, dan kekeyaan alam yang terkandung
didalamnya dikuasai oleh negara, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.Ketentuan ini bersifat imperative yaitu mengandung
perintah kepada negara agar bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya yang diletakkan dalam penguasaan negara itu dipergunakan untuk
mewujudkan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.
Upaya yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menyesuaikan
Hukum Agraria colonial dengan keadaan dan kebutuhan setelah Indonesia
merdeka, yaitu
1. Menggunakan kebijaksanaan dan tafsir baru
2. Penghapusan hak-hak konversi
3. Penghapusn tanah partikelir
4. Perubahaan peraturan persewaan tanah rakyat
5. Peraturan tambahan untuk mengawasi pemindahan hak atas tanah
6. Peraturan dan tindakan mengenai tanah-tanah perkebunan
7. Kenaikan canon dan cijn
8. Larangan dan penyelesaian soal pemakaian tanah tanpa ijin
9. Peraturan perjanjian bagi hasil(tanah pertanian)
10. Pengalihan tugas dan wewenang agraria

SEJARAH PERANCANGAN UUPA


Upaya Pemerintah Indonesia untuk membentuk Hukum Agraria nasional
yang akan menggantikn Hukum Agraria kolonial, yang sesuai dengan pancasila
dan UUD 1945 sudah dimulai pada tahun 1948 dengan membentuk kepanitian
yang diberi tugas menyusun Undang-undang Agraria. Setelah melalui
rangkaian yang cukup panjang maka baru pada tanggal 24 september 1960
pemerintah berhasil membentuk Hukum Agraria nasional, yang dituangkan
dalam Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria yang lebih dikenal dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA).

13
Tahapan-tahapan dalam penyusunan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA)
dapat dijelaskan sebgai berikut :
1. PANITIA AGRARIA YOGYAKARTA
Pada tahun 1948 sudah dimulai usaha kongkret untuk menyusun dasar
dasar hukum agraria yang baru, yang akan menggantikan hukum agraria
warisan pemerintah jajahan, dengan pembentukan Panitia Agraria yang
berkedudukan di Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta. Panitia dibentuk
dengan penetapan Presiden Republik Indonesia tanggal 21 Mei 1948 Nomor
16, diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo (Kepala Bagian Agraria
Kementerian Dalam Negeri) dan beranggotakn pejabat-pejabat dari berbagai
kementerian dan jawatan, anggota-anggota badan pekerja KNIP yang
mewakili organisasi-organisasi tani dan daerah, ahli-ahli hukum adat dan
wakil dari serikat buruh perkebunan. Panitia ini dikenal dengan panitia
Agraria Yogyakarta.
Panitia bertugas memberi pertimbangan kepada pemerintah tentang
soal-soal yang mengenai hukum tanah seumumnya, merancang dasar-dasar
hukum tanah yang memuat politik agraria negara Republik Indonesia,
merancang perubahan, penggantian, pencabutan peraturan peraturan lama,
baik dari sudut legislatif maupun dari sudut praktek dan menyelidiki soal-soal
lain yang berhubungan dengan hukum tanah.
Panitia mengusulkan asas-asas yang akan merupakan dasar dari hukum
agraria baru:
a. Dilepaskannya asas domein dan pengakuan hak ulayat.
b. Diadakannya peraturan yang memungkinkan adanya hak perseorangan yang
kuat, yaitu hak milik yang dapat dibebabi hak tanggungan.
c. Suapaya diadakan penyelidikan dahulu dalam peraturan-peraturan negara-
negara lain, terutama negara-negara tetangga, sebelum menetukan apakah
apakah orang-orang asing dapat pula mempunyai hak milik atas tanah.

14
d. Perlunya diadakan penepan luas minimum tanah untuk menghindarkan
pauparisme diantara petani kecil dan memberi tanah yang cukup untuk hidup
yang patut sekalipun sederhana.
e. Perlunya ada penetapan luas maksimum.
f. Menganjurkan untuk menerima skema hak-hak tanah.
g. Perlunya diadakan registrasi tanah milik dan hak-hak menumpang yang
penting (annex kadaster).

2. PANITIA AGRARIA JAKARTA


Sesudah terbentuknya kembali Negara Kesatuan maka dengan keputusan
Presiden Republik Indonesia tanggal 19 Maret 1951 Nomor 36/1951 panitia
terdahulu dibubarkan dan dibentuk Panitia Agraria Baru, yaitu berkedudukan
di Jakarta.
Tugas panitia hampir sama dengan panitia terdahulu diYogyakarta.
Beberapa kesimpulan panitia mengenai soal tanah untuk pertanian kecil
(rakyat), yaitu:
a. Mengadakan batas minimum sebagai ide. Luas minimum ditentukan 2
hektar.
b. Ditentukan pembatasan maksimum 15 hektar untuk satu keluarga.
c. Yang dapat memiliki tanah untuk pertanian kecil hanya penduduk
warga negara Indonesia. Tidak diadakan perbedaan antara warga
negara asli dan bukan asli.
d. Untuk pertanian kecil diterima bangunan-bangunan hukum: hak
milik,hak usaha, hak sewa dan hak pakai.
e. Hak ulayat disetujui untuk diatur oleh atau atas kuasa undang-undang
sesuai dengan pokok-pokok dasar negara.

15
3. PANITIA SOEWAHJO
Dalam masa jabatan Menteri Agraria, Goenawan, dengan Keputusan
Presiden Republik Indonesia Nomor 1/1956 tanggal 14 Januari 1956, panitian
lama dibubarkan dan dibentuk suatu panitia baru Panitia Negara Urusan
Agraria, berkedudukan di Jakarta.
Panitia yang baru diketuai oleh Soewahjo Soemodilogo, Sekretaris
Jenderal Kementerian Agraria dan beranggotakan pejabat-pejabat pelbagai
Kementerian dan jawatan, ahli-ahli hukum adat dan wakil-wakil beberapa
organisasi tani.
Adapun pokok-pokok yang penting daripada Rancangan Undang-
Undang Pokok Agraria hasil karya panitia tersebut ialah :
a. Dihapuskannya asas domein dan diakuinya hak ulayat, yang harus
ditundukkan pada kepentinan umum (negara).
b. Asas domein diganti dengan hak kekuasaan negara atas dasar ketentuan
pasal 38 ayat (3) Undang-Undang Dasar sementara.
c. Dualisme hukum agraria dihapuskannya.
d. Hak-hak atas tanah, hak milik sebagai hak terkuat, yang berfungsi sosial.
e. Hak milik boleh dipunyai oleh orang-orang warga negara Indonesia.
f. Perlu diadakan penetapan batas maksimum dan minimum luas tanah yang
boleh menjadi milik seseorang atau badan hukum.
g. Tanah pertanian pada asanya harus dikerjakan dan diusahakan sendiri oleh
pemiliknya.
h. Perlu diadakan pendaftaran tanah dan perencanaan penggunaan tanah.

4. RANCANGAN SOENARJO
Dengan adanya perubahan sistematik dan perumusan beberapa
pasalnya, maka rancangan Panitia Soewahjo tersebut diajukan oleh Menteri
Agraria Soenarjo kepada Dewan Menteri pada tanggal 14 Maret 1958.
Rancangan undang-undang ini dikenal kemudiab sebagai Rancangan
Soenarjo, disetujui oleh Dewan Menteri dalam sidangnya ke 94 pada tanggal

16
1 April 1958 dan kemudian diajukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat
dengan amanat Presiden tanggal 24 April 1958 Nomor 1307/HK.
Rancangan Soenarjo menggunakan lembaga-lembaga dan unsur-unsur
yang baik untuk hukum agraria yang baru, baik yang terdapat dalam hukum
adat maupun hukum Barat, yang disesuaikan dengan kesadaran hukum rakyat
dan kebutuhan dalam hubungan perekonomian. Sifat ketentuan dari hak-hak
tertentu, dalam rancangan Soenarjo, dianggap telah merupakan suatu
pengertian yang erat hubungannya dengan soal kepastian hukum, karenanya
sangat diperhatikan.
Disebutkan dalam penjelasan umum bahwa rumusan mengenai hak
miliknya mempersatukan ketentuan hak eigendom atas tanah (menurut
hukum Barat) dan hak milik menurut hukum adat.

5. RANCANGAN SADJARWO
Setelah disesuaikan dengan UUD 1945 dan Pidato Presiden Soekarno
pada tanggal 17 Agustus 1959, dalam bentuk lebih sempurna dan lengkap
diajukanlah Rancangan undang-Undang Pokok Agraria yang baru oleh
Menteri Agraria Sadjarwo sehingga dikenal sebagai Rancangan Sadjarwo.
Rancangan Soejarwo berbeda prinsipiil dari rancangan Soenarjo. Ia
hanya menggunakan hukum adat sebagai dasar hukum agraria baru dan ia
tidak mengoper pengertian-pengertian hak kebendaan dan hak
perorangan yang tidak dikenal daam hukum adat,
Rumusan bahwa hak milik, hak usaha dan hak bangunan dapat
dipertahankan terhadap siapapun juga dari rancangan Soenarjo, diubah
dengan sengaja dalam rancangan Sadjarwo menjadi hak milik, hak guna
usaha dan hak guna bangunan, dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain,
karena tidak berkehendak untuk memasukkannya pengertian-pengertian hak
kebendaan dan hak perorangan ke dalam hukum agraria yang baru.

17
2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi pembentukan Hukum Agraria
sebagai Hukum Nasional

Usaha Penyesuaian Hukum Agraria Kolonial Untuk Masa Sebelum dan


Sesudah Kemerdekaan

Dalam alam kemerdekaan, masalah masalah keagrariaan yang timbul


telah mendorong pihak pihak yang berwenang untuk melakukan perubahan
hukum agraria. Tetapi usaha untuk melakukan perombakan hukum agraria,
ternyata tidak mudah dan memerlukan waktu.
Menurut pengamatan Boedi Harsono pertama-tama adalah menerapkan
kebijaksaan baru terhadap undang undang keagrarian yang lama, melalui
penafsiran baru yang sesuai dengan situasi kemerdekaan, UUD 1945 dan
dasar negara Pancasila. Seperti halnya dalam menghadapi pemberian hak atas
dasar pernyataan domein yang nyatanya bertentangan dengan kepentingan
hak ulayat yang nyatanya bertentangan dengan kepentingan hak ulayat
sebagai hak-hak rakyat atas tanah.
Langkah kedua menurut Boedi Harsono sambil menunggu terbentuknya
hukum agraria yang baru, adalah dikeluarkannya pelbagai peraturan yang
dimaksudkan untuk meniadakan beberapa lembaga feodal dan kolonial,
misalnya :
a. Dengan UUPA No. 13/194/8 jo UU No. 5/1950 meniadakan
lembaga apanage suatu lembaga yang mewajibkan para penggarap
tanah raja untuk menyerahkan seperdua atau sepertiga dari hasil
tanah pertanian atau untuk kerja paksa bagi para penggarap tanah
pekarangan didaerah Surakarta dan Yogyakarta.
b. Dengan UU no. 1/1958 menghapuskan tanah partikelir yaitu
tanah-tanah eigendom yang diberi sifat dan corak istimewa (kepada
pemiliknya diberi hak hak pertuanan/landheerlijk rechten), yang
bersifat ketatanegaraan, seperti mengesahkan hasil pemilihan /
menghentikan kepala kepala desa/kampung, hak untuk menuntut

18
kerja paksa atau memungut uang pengganti kerja paksa, dan lain
lain.
c. Dengan UU no. 6 tahun 1951, mengubah peraturan persewaan
tanha rakyat. Pembatasan masa sewa dan besarnya sewa, dan
kemudian UU No. 38 Prp 1960.
d. Melakukan pengawasan atas pemindahan hak atas tanah dengan
UU. No. 1 (dar) 1952.
e. Melarang dan menyelesaikan soal pemakaian tanah tanpa izin
dengan UU No.8 (dar) tahun 1954 jo UU no. 1 (dar) 1956.
f. Dengan UU No. 2 tahun 1960, melakukan pembaruan pengaturan
perjanjian bagi hasil.

Faktor-faktor Penting dalam Pembangunan Hukum Agraria Nasional


Menurut Notonagoro, Faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam
pembangunan Hukum Agraria nasional, adalah :
1. Faktor Formal, yaitu Keadaan hukum agraria di Indonesia sebelum
diundangkannya UUPA merupakan keadaan peralihan, keadaan sementara
waktu, berdasarkan pada peraturan-peraturan yang sekarang berlaku ini
berdasarkan pada peraturan-peraturan peralihan yang terdapat dalam pasal
142 Undang-undang Dasar Sementara (UUDS) 1950, pasal 192 Konstitusi
Republik Indonesia Serikat (KRIS) dan pasal 2 Aturan peralihan UUD 1945.
2. Faktor Material, yaitu Hukum Agraria mempunyai sifat dualisme hukum
yang meliputi hukum subjek maupun objeknya menurut hukumnya disatu
pihak berrlaku Hukum Agraria Barat yang diatur dalam KUH Perdata,
dipihak lain berlaku Hukum Agraria adat yang diatur dalam hukum adat. Oleh
karena itu setelah Indonesia merdeka, maka sifat dualisme hokum agraria
colonial ini harus diganti dengan sifat unifikasi (kesatuan) hukum yang
berlaku secara nasional.
3. Faktor Ideal. Dari factor ideal (tujuan negara) sudah tentu tujuan Hukum
Agraria kolonial tidak cocok dengan tujuan Negara Indonesia yang tercantum

19
dalam alinea IV Pembukaan UUD 1945 dan tujuan penguasaan bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Hukum Agraria kolonial dibuat
untuk kepentingan pemerintah Hindia Belanda, Eropa, Timur asing,
sedangkan Hukum Agraria nasional dibuat dengan tujuan untuk mewujudkan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Untuk itu Hukum Agraria
kolonial harus diganti dengan Hukum Agraria Nasional yang diarahkan
kepada terwujudnya fungsi bumi, air, dan kekayaan alamyang terkandung
didalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat Indonesia.
4. Faktor Agraria Modern. Faktor-faktor agraria modern terletak dalam
lapangan-lapangan : Lapangan Sosial, ekonomi, etika,idiil fundamental
factor-faktor inilah yang mendorong agar dibuat Hukum Agraria Nasional
5. Faktor Ideologi Politik. Indonesia sebagai bangsa dan negara mempunyai
keterkaitan hidup dengan negara-negara lain. Dalam menyusun Hukum
Agraria nasional mengadopsi Hukum Agraria negara lain sepanjang tidak
bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945.

2.5 Kedudukan Hukum Agraria sebagai Hukum Nasional

Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 sebagai Hukum Nasional

UUPA merupakan pelaksanaan Pasal 33 ayat (33) UUD 1945


sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA, yaitu Atas dasar
ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-hal yang
dimaksud dalam pasal 1, bumi air, dan ruang angkasa termasuk kekayaan
alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh
Negara,sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Dengan berlakunya
UUPA maka mempunyai dua substansi yaitu pertama tidak
memberlakukannya lagi atau mencabut Hukum Agraria colonial, dan kedua
membangun Hukum Agraria nasional.
UUPA merupakan Undang-undang yang didalamnya memuat program
yang dikenal Panca Program Agraria Reform Indonesia, yang meliputi :

20
1. Pembaruan Hukum Agraria melalui unifikasi hukum yang
berkonsepsi nasional dan pemberian jaminan kepastian hokum
2. Penghapusan hak-hak asing dan konsesi-konsesi kolonial atas tanah
3. Mengakhiri penghisapan feudal secara berangsur-angsur
4. Perombakan pemilikan dan penguasaan atas tanah serta hubungan-
hubungan hokum yang berhubungan dengan penguasaan tanah
dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan yang
kemudian dikenal dengan Landreform
5. Perencanaan persediaan dan peruntukan bumi, air, dan kekayaan
alam yang terkandung didalamnya serta penggunaan secara
terencana.

Dengan di undangkannya UUPA, maka bangsa Indonesia telah


mempunyai hukum agrarian yang sifatnya nasional , baik di tinjau dari segi
formal maupun dari segi materiilnya. Dari segi formalnya, sifat nasional
UUPA dapat dilihat dalam konsiderennya di bawah kata menimbang yang
menyebutkan tentang keburukan-keburukan dan kekurangan-kekurangan
dalam hukum agrarian yang berlaku sebelum UUPA. Keburukan-keburukan
itu antara lain dinyatakan bahwa Hukum Agraria kolonial itu mempunyai sifat
dualisme dan tidak menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan adanya kekurangan ini, maka hukum agrarian kolonial itu
harus diganti dengan Hukum agrarian Nasional yang dibuat oleh
pembentukan undang-undang Nasional Indonesia, dibuat dan disusun dalam
bahasa Indonesia.Dengan dibentuknya UUPA oleh DPR-GR bersama
presiden yang disusun dalam bahas Indonesia serta berlaku dalam wilayah
Indonesia, maka UUPA dalam hal ini mempunyai sifat nasional formil.
Mengenai segi materiilnya, hukum agrarian yang baru harus bersifat
nasional pula, artinya tujuan, asas-asas dan isinya harus sesuai dengan
kepentingan nasional. Dalam hal ini, UUPA menyatakan pula dalam
konsiderennya dibawah kataberpendapatbahwa hukum agrarian yang baru
harus:
1. Didasarkan atas hukum adat tentang tanah
2. Sederhana

21
3. Menjamin kepastian hukum bagi seluruh rakyat Indonesia
4. Tidak megabaikan unsure-unsur yang bersandar pada hukum
agama
5. Memberi kemungkinan supaya bumi, air, dan ruang angkasa dapat
mencapai fungsinya dalam membangun masyarakat yang adil dan
makmur
6. Sesuai dengan kepentingan rakyat Indonesia
7. Memenuhi pula keperluan rakyat Indonesia menurut permintaan
zaman dalam segala soal agrarian
8.Mewujudkan penjelmaan dari Pancasila sebagai asas kerohanian
negara dan cita-cita bangsa seperti tercantum dalam Pembukaan
Undang-undang Dasar 1945
9.Merupakan pelaksanaan dari Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan
Manifesto Politik (GBHN)
10. Melaksanakan pula ketentuan Pasal 33 UUD 1945

Asas-asas Hukum Agraria

Dalam Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) dimuat beberapa asas


dari Hukum Agraria Nasional. Asas-asas ini karena sebagian dasar dengan
sendirinya harus menjiwai pelaksanaan dari UUPA dan segenap peraturan
pelaksanaannya. Asas-asas tersebut adalah:

1. Asas kenasionalan.

Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat
Indonesia, yang bersatu sebagai nbangsa Indonesia dan seluruh bumi, air dan
ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya sevagai
karunia Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan Nasional.
2. Asas tingkatan yang tertinggi, bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara.
Sesuai dengan pendirian tersebut, perkataan dikuasai disini bukan berarti
dimiliki, akan tetapi adalah pengertian yang memberikan wewenangkepada
Negara sebagai organisasi kekuasaan yang tertinggii dari bangsa Indonesia
untuk pada tingkatan yang tertinggi itu maka Negara dapat:

22
a. Mengatur dan menyelenggaraan peruntukan, penggunaan, persediaan
dan pemeliharaannya
b. Menentukan dan mengatur hak dan kewajiban yang dapat dipunyai atas
bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung
didalamnya yang ditimbulkan dari hubungan kepentingan orang dan
unsure agrarian itu
c. Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan antara orang-orang dan
perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air, ruang angkasa
dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya.
3. Asas mengutamakan kepentingan nasional dan Negara yang berdasarkan
atas persatuan bangsa dari kepentingan perseorangan dan golongan
Sekalipun hak ulayat masih diakui keberadaannya dalam sistem Hukum
Agraria Nasional, akan tetapi pelaksanaannya berdasarkan asas ini, maka
kepentingan pembangunan tidak dibenarkan jika masyarakat hukum adat
berdasarkan hak ulayatnya menolak dibukanya hutan secara besar-besaran
dan teratur untuk melaksanakan proyek-proyek yang besar, misalnya
pembukaan areal pertanian baru, transmigrasi, restlkement, dan sebagainya.

4. Asas semua hak atas tas tanah mempunyai fungsi sosial.

Ini berarti bahwa hak atas tanah apapun yang ada pada seseorang,
tidaklah dapat dibenarkan, bahwa tanah itu akan dipergunakan (atau tidak
dipergunakan) semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal
itu menimbulkan kerugian bagi masyarakat.
5. Asas hanya warga Negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik atas
tanah
Hak milik tidak dapat dipunyai oleh orang asing dan pemindahan hak
milik kepada orang asing dilarang dengan ancaman batal demi hukum.

6. Asas persamaan bagi setiap warga Negara Indonesia

Tiap-tiap warga Negara Indonesia baik laki-laki maupun wanita


mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah

23
serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun
keluarganya.
7. Asas tanah pertanian harus dikerjakan atau diusahakan secara arif oleh
pemiliknya sendiri dan mencegah cara-cara yang bersifat pemerasan.
Pelaksanaan dari pada asas tersebut, dewasa ini menjadi dasar hamper
di seluruh dunia yang menyelenggarakan landreform atau agraria reform dan
riral development, yaitu tanah pertanahan harus dikerjakan atau diusahakan
secara aktif oleh pemiliknya sendiri tanpa adanya unsur pemerasan.

8. Asas tata guna tanah/penggunaan tanah secara berencana

Untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan Negara


Indonesia dalam bidang agrarian, perlu adanya suatu rencana (planning)
mengenai peruntukan, penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang
angkasa untuk perbagai kepentingan hidup rakyat dan Negara: Rencana
Umum (national Planning) yang meliputi seluruh wilayan Indonesia, yang
kemudian diperinci menjadi rencana-rencana khusus (regional planning) tiap-
tiap daerah.

Tujuan Undang-undang Pokok Agraria


Tujuan diundangkannya UUPA sebagai tujuan Hukum Agraria nasional
dimuat dalam penjelasan umum UUPA, yaitu :
1. Meletakkan dasar-dasar bagi penyusunan Hukum Agraria nasioanl,
yang merupakan alat untuk membawakan kemakmuran,
kebahagiaan, dan keadilan bagi negara dan rakyat, terutama rakyat
tani dalam rangka masyarakatyang adil dan makmur.
2. Melatakkan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan
kesederhanaan dalam hukum pertanahan
3. Meletakkan dasar-dasar untuk memberikan kepastian hukum
mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat seluruhnya

2.6 Sumber dan Dasar Hukum Agraria sebagai Hukum Nasional

24
Sumber Hukum Agraria

1. Sumber Hukum Tertulis.


a. Undang-Undang Dasar 1945, khususnya dalam Pasal 33 ayat (3). Di
mana dalam Pasal 33 ayat (3) ditentukan : Bumi, air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negaradan dipergunakan
sebesar-besar kemakmuran rakyat.
b.Undang-undang Pokok Agraria. Undang-undang ini dimuat dalam
Undang-undang Nomor : 5 Tahun 1960 tentang : Peraturan Dasar Pokok-
pokok Agraria, tertanggal 24 September 1960 diundangkan dan dimuat
dalam Lembaran Negara tahun 1960-140, dan penjelasannya dimuat dalam
Tambahan Lembaran Negara nomor 2043.
c. Peraturan perundang-undangan di bidang agraria :
1). Peraturan pelaksanaan UUPA
2).Peraturan yang mengatur soal-soal yang tidak diwajibkan
tetapidiperlukan dalam praktik.
d. Peraturan lama, tetapi dengan syarat tertentu berdasarkan
peraturan/PasalPeralihan, masih berlaku.

2. Sumber Hukum Tidak Tertulis.


a. Kebiasaan baru yang timbul sesudah berlakunya UUPA, misalnya :
1). Yurisprudensi;
2). Praktik agraria.
b. Hukum adat yang lama, dengan syarat-syarat tertentu, yaitu cacat-
cacatnya telah dibersihkan.

Asas-asas hukum agraria

Asas nasionalisme

Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa hanya warga Negara Indonesia saja
yang mempunyai hak milik atas tanah atau yang boleh mempunyai hubungan
dengan bumi dan ruang angkasa dengan tidak membedakan antara laki-laki
dengan wanita serta sesama warga Negara baik asli maupun keturunan.

Asas dikuasai oleh Negara

25
Yaitu bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang
terkandung didalamnya itu pada tingkat tertinggi dikuasai oleh Negara sebagai
organisasi kekuasaan seluruh rakyat (pasal 2 ayat 1 UUPA)

Asas hukum adat

Yaitu bahwa hukum adat yang dipakai sebagai dasar hukum agrarian adalah
hukum adat yang sudah dibersihkan dari segi-segi negatifnya

Asas fungsi social

Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa penggunaan tanah tidak boleh
bertentangan dengan hak-hak orang lain dan kepentingan umum, kesusilaan
serta keagamaan(pasal 6 UUPA)

Asas kebangsaan atau (demokrasi)

Yaitu suatu asas yang menyatakan bahwa stiap WNI baik asli maupun
keturunan berhak memilik hak atas tanah

Asas non diskriminasi (tanpa pembedaan)

Yaitu asas yang melandasi hukum Agraria (UUPA).UUPA tidak membedakan


antar sesame WNI baik asli maupun keturunanasing jadi asas ini tidak
membedakan-bedakan keturunan-keturunan anak artinya bahwa setiap WNI
berhak memilik hak atas tanah.

Asas gotong royong

Bahwa segala usaha bersama dalam lapangan agrarian didasarkan atas


kepentingan bersama dalam rangka kepentingan nasional, dalam bentuk
koperasi atau dalam bentuk-bentuk gotong royong lainnya, Negara dapat
bersama-sama dengan pihak lain menyelenggarakan usaha bersama dalam
lapangan agraria (pasal 12 UUPA)

Asas unifikasi

26
Hukum agraria disatukan dalam satu UU yang diberlakukan bagi seluruh WNI,
ini berarti hanya satu hukum agraria yang berlaku bagi seluruh WNI yaitu
UUPA.

Asas pemisahan horizontal (horizontale scheidings beginsel)


Yaitu suatu asas yang memisahkan antara pemilikan hak atas tanah dengan
benda-benda atau bangunan-bangunan yang ada diatasnya. Asas ini merupakan
kebalikan dari asas vertical (verticale scheidings beginsel ) atau asas perlekatan
yaitu suatu asas yang menyatakan segala apa yang melekat pada suatu benda
atau yang merupakan satu tubuh dengan kebendaan itu dianggap menjadi satu
dengan benda iu artnya dala sas ini tidak ada pemisahan antara pemilikan hak
atas tanah dengan benda-benda atau bangunan-bangunan yang ada diatasnya.

Dasar-dasar Pengaturan UUP

Pada tanggal 24 september 1960 RUU yang telah disetujui oleh DPR GR itu
disahkan oleh Presiden menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, yang menurut diktumnya yang kelima
dapat disebut dan selanjutnya memang lebih terkenal sebagai Undang-Undang
Pokok Agraria (UUPA).
UUPA diundangkan di dalam Lembaran Negara tahun 1960 Nomor 104,
sedang penjelasannya dimuat didalam tambahan Lembaran Negara Nomor
2043. UUPA mulai berlaku pada tanggal diundangkannya, yaitu pada tanggal
24 september 1960
Dalam penjelasan UUPA dirumuskan tujuan yang hendak dicapai oleh PA,
yaitu meletakkan dasar-dasar :
1. Bagi penyusunan hukum agraria nasional
2. Untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum
pertanahan.
3. Untuk memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi
rakyat seluruhnya.
a. Dasar Kenasionalan

27
Secara formal UUPA memang telah dibuat oleh badan pembentuk undang-
undang (yaitu, Presiden dengan persetujuan DPR) di Indonesia, dalam bahasa
Indonesia dan dinyatakan berlaku untuk seluruh negara Republik Indonesia.
Secara materil yaitu tujuan dan asas dari isi UUPA juga mencerminkan dasal
kenasionalan tersebut.
a. ayat 1,2,dan 3 dari pasal 1 UUPA merupakan perwujudan dari dasar
falsafah Pancasila terutama sila Ketuhanan Yang Maha Esa dan sila
Persatuan Indonesia.
b. Negara merupakan badan penguasa. Ditegaskan oleh pasal 2 ayat 1 bahwa
bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan yang terkandung di dalamnya pada
tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan dari
rakyat Indonesia.
c. Hanya warga negara Indonesia yang mempunyai hubungan sepenuhnya.
Pasal 9 ayat 1 UUPA menegaskan kedudukan warga negara Indonesia
dalam hubungandengan penguasaan bumi, air, ruang angkasa dan
kekayaan yang terkandung didalamnya.
d. Pengutamaan kepentingan nasional. Pernyataan pasal 5, bahwa hukum
agraria yang baru berlaku ialah hukum adat sebagai hukum asli, disatu
pihak menunjukkan bahwa UUPA telah memilih hukum yang lebih sesuai
dengan kepribadian bangsa daripada hukum agraria berdasarkan hukum
perdata Barat (BW) dan politik agraria kolonial.

b. Dasar Kesatuan dan Kesederhaan


Dihapuskannya dualisme hukum, dengan pencabutan hukum agraria kolonial
dan K.B. tentang Besluit, pencabutan BW (KUHPerdata) sepanjang mengenai
tanah (Diktum pertama UUPA) serta penetapan hukum adat sebagai dasar
hukum agraria (Pasal 5 UUPA), mencerminkan dsar kesatuan termaksud.
Dalam hal ini, hukum adat sebagai hukum asli bangsa Indonesia sesuai dengan
sifat dan tingkat pengetahunan bangsa Indonesia yang masih sederhana.

28
c. Dasar Kepastian Hukum
1. Dikembangkannya peraturan peraturan hukum tertulis sebagai
pelaksanaan UUPA, akan memungkinkan pihak-pihak yang berkepentinan
untuk dengan mudah mengetahui hukum yang berlaku dan wewenang serta
kewajiban apa yang ada padanya atas tanah yang dipunyainya.
2. Diselenggarakannya pendaftaran tanah yang efektif, akan memungkinkan
pihak pihak yang berkepentingan dengan mudah membuktikan haknya atas
tanah yang dipunyainya dan mengetahui sesuatu atas tanah kepunyaan pihak
lain.

Undang-undang Pokok Agraria Didasarkan Atas Hukum Adat


Dalam rangka mewujudkan unifikasi (kesatuan) hokum maka Hukum Adat
tentang tanah dijadikan dasar pembentukan Hukum Agraria nasional. Hukum
adapt dijadikan dasar dikarenakan hokum tersebut dianut oleh sebagian besar
rakyat Indonesia, sehingga Hukum Adat tentang tanah mempunyai kedudukan
yang istimewa dalam pembentukan Hukum Agraria nasional.
Asas-asas/konsepsi hukum adapt yang diambil sebagai dasar :
1. Menurut konsepsi Hukum Adat, hubungan manusia dengan kekayaan alam
seperti tanah mempunyai sifat religiomagis, artinya kekayaan alam itu
merupakan kekayaan yang dianugerahkan Tuhan kepada masyarakat
hukum adat
2. Didalam lingkungan masyarakat Hukum Adat dikenal hak ulayat. Hak
ulayat merupakan hak dari masyarakat Hukum Adat yang berisi wewenang
dan kewajiban untuk menguasai, menggunakan dan memelihara kekayaan
alam yang ada dalam lingkungan wilayah hak ulayat tersebut
3. Didalam konsepsi hukum adat disamping ada hak masyarakat Hukum
Adat yaitu hak ulayat juga ada hak perseorangan atas tanah yang diakui
4. Dalam masyarakat Hukum Adat terdapat asas gotong royong, setiap usaha
yang menyangkut kepentingan individu dan masyarakat selalu dilakukan
melalui gotong royong

29
5. Asas lain yang terdapat dalam Hukum Adat adalah ada perbedaan antara
warga masyarakat dan warga asing dalam kaitannya dalam penguasaan,
penggunaan kekayaan alam.

2.7 Hak-Hak Hukum Agraria sebagai Hukum Nasional

Hukum Agraria di Indonesia di atur dalam Undang-undang Pokok Agraria (


UUPA) No. 5 Tahun 1960. Menurut Pasal 16 ayat (1) dan (2) bahwa yang
dimaksud dengan Hak-hak atas tanah adalah sebagai berikut :
1. hak milik,
2. hak guna-usaha,
3. hak guna-bangunan,
4. hak pakai,
5. hak sewa,
6. hak membuka tanah,
7. hak memungut hasil hutan
8. hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut diatas yang akan
ditetapkan dengan undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara
Sementara di ayat (2) berkaitan dengn air bahwa Hak-hak atas air dan
ruang angkasa sebagai yang dimaksud dalam pasal 4 ayat (3) ialah
1. hak guna air
2. hak pemeliharaan dan penangkapan ikan
3. hak guna ruang angkasa

HAK-HAK ATAS TANAH


Ruang Lingkup Hak Atas Tanah
Hak atas tanah bersumber dari hak menguasai dari negara atas tanah dapat
diberikan kepada perseorangan baik warga negara Indonesia maupun warga
negara asing, sekolompok orang bersama-sama, dan badan hokum baik badan
hokum privat maupun badan hokum publik.

30
Macam-macam hak tanah dimuat dalam pasal 16 jo.pasal 53 UUPA, yang
dikelompokkan menjadi 3 bidang yaitu :
1. Hak atas tanah yang bersifat tetap yaitu hak-hak atas tanah ini akan
tetapadaselama UUPA masih berlaku atau belum dicabut dengan undang-
undang yang baru. Macam-macam hak atass tanah ini adalah Hak Milik,
Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa untuk
bangunan, Hak Membuka Tanah, dan Hak Memungut Hasil Hutan
2. Hak atas tanah yang akan ditetapkan oleh undang-undang, yaitu hak atas
tanah yang akan lahirkemudian yang akan ditetapkan undang-unddang
3. Hak atas tanah yang bersifat sementara yaitu hak atas tanah ini sifatnya
sementara, dalam waktu yang singkat akan dihapuskan dikarenakan
mengandung sifat-sifat pemerasan, mengandung sifat feudal dan
bertentangan dengan jiwa UUPA. Macam-macam tanah ini adalah Hak
Gadai, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak Sewa Tanah
Pertanian.

Dari segi asal tanahnya, hak atas tanah dibedakan menjadi 2 kelompok
yaitu :
1. Hak atas tanah yang bersifat primer, yaitu hak atas tanah yang berasal dari
tanah negara seperti : Hak milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan
Atas Tanah Negara, Hak Pakai Atas Negara
2. Hak atas tanah yang bersifat sekunder, yaitu hak atas tanah yang berasal
dari tanah pihak lain, seperti : Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak
Pengelolaan, Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik, Hak Pakai Atas
Tanah Hak Pengelolaan, Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik, Hak Sewa
untuk Bangunan, Hak Gadai, Hak Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak Sewa
Tanah Pertanian.

Hak Milik
Pengertian Hak Milik menurut pasal 20 ayat (1) UUPA adalah Hak turun
temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah dengan

31
mengingat ketentuan dalam pasal 6. Turun temurun artinya Hak milik atas
tanah dapat berlangsung terus selama pemiliknya masih hidup dan bila
pemiliknya meninggal dunia maka hak miliknya dapat dilanjutkan oleh ahli
warisnya sepanjang memenuhi syarat sebagai subjek hak milik. Terkuat
artinya Hak Milik atas tanah lebih kuat bila dibandingkan dengan hak atas
tanah yang lain tidak mempunyai batas waktu tertentu, mudah dipertahankan
dari gangguan pihak lain dan tidak mudah hapus. Terpenuh artinya Hak Milik
atas tanah memberi wewenang kepada pemiliknya paling luas bila
dibandingkan hak atas tanah yang lain.
Subjek Hak Milik. Yang dapat mempunyai (subjek hak) tanah Hak Milik
menurut UUPA dan peraturan pelaksanaanya adalah :
1. Perseorangan, yaitu Hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai
hak milik ( pasal 21 ayat (1) UUPA). Ketentuan ini menentukan
perseorangan yang hanya berkewarganegaraan Indonesia yang dapat
mempunyai tanah hak milik
2. Badan-badan Hukum. Pemerintah menetapkan badan-badan hokum yang
dapat mempunyai hak milik dan syarat-syaratnya (pasal 21 ayat (2)
UUPA) yaitu Bank-bank yang didirikan oleh negara (bank negara),
Koperasi pertanian, badan keagamaan dan badan sosial

Hak Guna Usaha


Pengertian Hak Guna Usaha menurut pasal 28 ayat (1) UUPA adalah Hak
untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka
waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29,guna perusahaan, pertanian atau
peternakan.
Luas Hak Guna Usaha adalah untuk perseorangan luas minimalnya 5
hektar dan luas maksimalnya 25 hektar.Sedangkan untuk badan hokum luas
minimalnya 5 hektar dan luas maksimalnya ditetapkan oleh Kepala Badan
Pertanahan Nasional.

32
Jangka Waktu Hak Guna Usaha mempunyai jangka waktu untuk petama
kalinya paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu
paling lama 35 tahun (pasal 29 UUPA) sedangkan pasal 8 PP No. 40 tahun
1996 mengatur jangka waktu 35 tahun diperpanjang 25 tahun dan
diperbaharui paling lama 35 tahun.
Hak Guna Bangunan
Pengertian Hak Guna Bangunan menurut pasal 35 UUPA yaitu Hak untuk
mendirikan dan mempunyai bangunan atas tanah yang bukan miliknya
sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang
untuk jangka waktu paling lama 20 tahun.
Jangka Hak Guna Bangunan
Menurut pasal 26 sampai dengan pasal 29 PP No. 40 Tahun 1996 jangka
waktu hak guna bangunan berbeda sesuai dengan asal tanahnya, yaitu :
1. Hak Guna Bangunan Atas Tanah Negara Hak guna bangunan ini
berjangka waktu pertama kali paling lama 30 tahun, dapat diperpanjang
paling lama 20 tahun, dan dapat perbaharui untuk jangka waktu paling
lama 30 tahun
2. Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Pengelolaan. Hak Guna Bangunan
ini berjangka waktu pertama kali paling lama 30 tahun dapat
diperpanjang selama 20 tahun, dan dapat diperbaharui untuk jangka
waktu paling lama 30 tahun
3. Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik. Hak Guna Bangunan ini
berjangka waktu paling lama 30 tahun, tidak ada perpanjangan jangka
waktu. Namun atas kesepakatan pemilik tanah dengan pemegang hak
guna bangunan dapat di perbaharui dengan pemberian hak guna
bangunan baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib didaftarkan
pada kantor pertanahan kabupaten/kota setempat
Hapusnya Hak Guna Bangunan. Berdasarkan pasal 40 UUPA Hak Guna
Bangunan hapus karena :
1. jangka waktunya berakhir;

33
2. dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat tidak
dipenuhi;
3. dilepaskan oleh pemegang haknya sebelum jangka waktunya berakhir;
4. dicabut untuk kepentingan umum;
5. diterlantarkan;
6. tanahnya musnah;
7. ketentuan dalam pasal 36 ayat (2)

Hak Pakai
Pengertian Hak Pakai. Menurut pasal 41 ayat (1) UUPA yang dimaksud
dengan HP adalah Hak untuk mengguanakan dan atau memungut hasil dari
tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang
memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan
pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam
perjanjian dengan pemilik tanahnya yang bukan perjanjian sewa menyewa
atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentengan
dengan ketentuan UUPA.
Jangka Waktu Hak Pakai. Pasal 41 ayat (2) UUPA tidak menentukan secara
tegas berapa lama jangka waktu hak pakai. Dalam PP No. 40 Tahun 1996
jangka waktu hak pakai diatur pada pasal 45sampai dengan 49 yaitu :
1. Hak Pakai Atas Tanah Negara. Hak pakai ini berjangka waktu untuk
pertama kali paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka
waktu paling lama 20 tahun, dan dapat diperbaharui untuk paling lama
25 tahun
2. Hak Pakai Atas Tanah Hak Pengelolaan. Hak pakai ini berjangka waktu
untuk pertama kali paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk
paling lama 20 tahun, dan dapat diperbaharui untuk jangka waktu paling
lama 25 tahun.
3. Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik. Hak Pakai ini diberikan untuk paling
lama 25 tahun dan tidak dapat diperpanjang. Namun atas kesepakatan
antara pemilik tanah dengan pemegang hak pakai dapat diperbaharui

34
dengan pemberian hak pakai baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT
dan wajib didaftarkan ke kantor pertanahan kabupaten.

Hak Sewa Untuk Bangunan


Pengertian Hak Sewa Untuk Bangunan menurut pasal 44 ayat (1) UUPA
adalah Hak yang dimiliki seseorang atau badan hokum untuk mendirikan dan
mempunyai bangungan diatas tanah Hak Milik orang lain dengan membayar
sejumlah uang sewa tertentu dan dalam jangka waktu tertentu yang disepakati
oleh pemilik tanah dengan pemegang hak sewa untuk bangunan.

Hak Atas Tanah yang Bersifat Sementara


Ketentuan Umum. Hak-hak atas tanah yang bersifat sementara disebutkan
dalam pasal 16 ayat (1) huruf h UUPA yang meliputi Hak Gadai (gadai
tanah), Hak Usaha Bagi Hasil (perjanjian bagi hasil), Menumpang, dan Hak
Sewa Tanah Pertanian.
Macam-macam Hak Atas Tanah yang Bersifat Sementara dapat dijelaskan
sebagai berikut :
Hak Gadai
Bahwa Pengertian Hak Gadai menurut Boedi Harsono, adalah
Hubungan hukum antara seseorang dengan tanah kepunyaan orang lain
yang telah menerima uang gadai daripadanya.
Perbedaan Hak Gadai dengan Gadai dalam Hukum Perdata Barat adalah
Hak gadai merupakan perjanjian penggarapan tanah bukan perjanjian
pinjam meminjam uang dengan dengan tanah sebagai jaminan, objek hak
gadai adalah tanah. Sedangkan objek perjanjian pinjam meminjam uang
dengan tanah sebagai jaminan utang adalah uang. Perbedaan antara hak
gadai dengan gadai menurut hokum perrdata barat adalah pada hak gadai
terdapat satu perbuatan hukum yang berupa perjanjian penggarapan
tanahpertanian oleh orang yang memberikan uang gadai, sedangkan Gadai
menurut hokum perdata barat terdapat dua perbuatan hokum yang berupa

35
perjanjian pinjam meminjam uang sebagai perjanjian pokok dan
penyerahan benda bergerak sebagai jaminan, sebagai ikutan
Ciri-ciri Hak Gadai menurut hukum adat adalah sebagai berikut :
1. Hak menebus tidak mungkin kadaluwarsa
2. Pemegai gadai selalu berhak untuk mengulanggadaikan tanahnya
3. Pemegang gadai tidak boleh menuntut supaya tanahnya segera di
tebus.
Sifat pemerasan dalam Hak Gadai Hak gadai disamping mempunyai
unsur tolong menolong, namun juga mengandung sifat pemerasan karena
selama pemilik tanah tidak dapat menebus tanahnya, tanahnya tetap
dikuasai oleh pemegang gadai.
Sifat pemerasan dalam Hak Gadai adalah :
1. Lamanya gadai tak terbatas
2. Tanah baru dapat kembali ke pemilik tanah apabila sudah dapat ditebus
oleh pemiliknya

Hak Usaha Bagi Hasil


Menurut Boedi Harsono yang dimaksud Bagi Hasil adalah Hak seseorang
atau badan hukum (yang di sebut penggarap) untuk menyelenggarakan usaha
pertanian diatas tanah kepunyaan pihak lain (yang disebut pemilik) dengan
perjanjian bahwa hasilnya akan dibagi antara kedua belah pihak menurut
imbangan yang telah disetujui sebelumnya.
Sifat-sifat dan Ciri-ciri Hak Usaha Bagi Hasil menurut Boedi Harsono
adalah :
1. Perjanjian bagi hasil waktunya terbatas
2. Perjanjian bagi hasil tidak dapat dialihkan kepada pihak lain tanpa izin
pemilik tanahnya
3. Perjanjian bagi hasil tidak hapus dengan berpindahnya hak milik atas
tanah yang bersangkutan kepada pihak lain
4. Perjanjian bagi hasil juga tidak hapus jika penggarap meninggal dunia,
tetapi hak itu hapus jika pemilik tanahnya meninggal dunia

36
5. Perjanjian bagi hasil didaftar menurut peraturan khusus
6. Sebagai lembaga, perjanjian bagi hasil ini pada waktunya akan dihapus

Hak Menumpang
Pengertian Hak Menumpang menurut Boedi Harsono yaitu Hak yang
memberi wewenang kepada seseorang untuk mendirikan dan menempati
rumah diatas tanah pekarangan milik orang lain
Sifat-sifat dan cirri-ciri Hak Menumpang adalah sebagai berikut :
1. Tidak mempunyai jangka waktu yang pasti karena sewaktu-waktu dapat
dihentikan
2. Hubungan hukumnya lemah, yaitu sewaktu-waktu dapat diputuskan
oleh pemilik tanah jika ia memerluka tanah tersebut
3. Pemegang Hak Menumpang tidak wajib membayar sesuatu uang sewa
kepada pemilik tanah
4. Hanya terjadi pada tanah pekarangan
5. Tidak wajib didaftarkan ke kantor pertanahan
6. Bersifat turun-temurun, artinya dapat dilanjutkan oleh ahli warisnya
7. Tidak dapat dialihkan kepada pihak lain yang bukan ahli warisnya

2.8 Hubungan antara Hukum Agraria dan Hukum Pertambangan

Dalam dunia pertambangan terdapat yang namanya hukum


pertambangan. Hukum pertambangan yaitu ketentuan yang khusus yang
mengatur hak menambang (bagian dari tanah yang mengandung logam
berharga di dalam tanah atau bebatuan) menurut aturan-aturan yang telah
ditetapkan.
Pengertian agraria yang termaksut dalam Undang-Undang Pokok Agraria
(Hukum Agraria) yang memberikan pengertian agraria dalam arti yang lebih

37
luas, ialah bahwa agraria meliputi bumi, air, dan dalam batas-batas tertentu
juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Salah satu hubungan antara hukum pertambangan dengan hukum agraria
yaitu terkait dengan pemanfaatan tanah sebagai lahan pertambangan, dan
terdapat hak-hak yang terkandung di dalam nya seperti:
-Hak Guna Bangunan
-Hak Usaha
-Hak Pakai
-dan Hak Milik
Sumber Hukum Agraria yaitu:
Sumber hukum agraria yang tertulis pertama ialah Undang-Undang Dasar
1945 khususnya pasal 33 ayat (3) yang menyatakan bahwa bumi, air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Dan dengan jelas yang menjadi hubungan berdasarkan Hukum Agraria yaitu
tentang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut :
- hukum agraria dalam arti luas ialah keseluruhan kaidah-kaidah hukum
baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur mengenai bumi, air dan
dalam batas-batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang
terkandung didalamnya.

38
- Hukum Tanah adalah keseluruhan ketentuan- ketentuan hukum baik
tertulis maupun tidak tertulis yang semuanya mempunyai objek
pengaturan yang sama yaitu hak-hak penguasan atas tanah sebagai
lembaga-lembaga hukum dan sebagai hubungan hukum yang konkret,
beraspek public dan privat yang dap[at disusun dan dipelajari secara
sistematis hingga keseluruhannya menjadi satu kesatuan yang merupakan
satu system.
- Sejarah hukum agraria berawal dari hukum agraria kolonial pada masa
pemerintahan Hindia Belanda yang kemudian setelah masa kemerdekaan
dirubah dan disesuaikan dengan kondisi nasional yang kemudian dikenal
sebagai UUPA
- UUPA merupakan pelaksanaan Pasal 33 ayat (33) UUD 1945
sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA, yaitu Atas
dasar ketentuan dalam pasal 33 ayat (3) Undang-undang Dasar dan hal-
hal yang dimaksud dalam pasal 1, bumi air, dan ruang angkasa termasuk
kekayaan alam yang terkandung didalamnya itu pada tingkatan tertinggi
dikuasai oleh Negara,sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat.

3.2 Saran
Sebagai manusia yang akan senantiasa mengelola tanah serta isinya, tentu
harus memahami hukum-hukum yang berlaku agar segala kegiatan yang
dilakukan berlandaskan hukum dan tidak menjadi ilegal.

39

Anda mungkin juga menyukai