Anda di halaman 1dari 5

Nama : Ferin Chairysa

NPM : 1206209356

Mata Kuliah : Filsafat Hukum B

MAHZAB-MAHZAB DALAM PEMIKIRAN HUKUM

Dalam mempelajari pemikiran hukum, dikenal beberapa aliran yang berbeda-beda dalam
memahami makna dari hukum yang sebenarnya. Aliran-aliran tersebut diantaranya adalah aliran
natural law, aliran positivism, aliran historical, aliran anthropological, aliran pure theory of law,
dan aliran realism hukum. Masing-masing dari aliran ini timbul dari pemikiran-pemikiran oleh
para tokoh. Tulisan ini akan membahas mengenai penjelasan singkat dari aliran-aliran tersebut
beserta tokohnya masing-masing.

Natural law dibahasakan dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai hukum alam
dan hukum kodrat. Namun, sebenarnya kedua pengertian ini tidak dapat menjelaskan secara tepat
makna yang sebenarnya dari natural law. Natura law melihat bahwa keberadaan hukum yang
ada adalah perwujudan atau merupakan fenomena dari tatanan hukum yang lebih tinggi yang
seharusnya ditaati.1 Aliran ini dipengaruhi oleh pandangan teologis dimana keseluruhan alam
semesta diciptakan oleh Tuhan dan pandangan sekuler dimana manusia dan masyarakat menjadi
sumber bagi tatanan moral yang ada. Salah satu tokoh yang menganut aliran ini adalah Lon
Fuller. Fuller menyatakan bahwa hukum dan moral memiliki hubungan yang sangat penting.
Selain itu, ia juga menghasilkan pemikiran dimana sistem hukum harus mengusahakan delapan
hal agar menjadi ideal, yaitu bersifat umum, penetapan/penyebaran, tiada undang-undang yang
berlaku surut, tiada peraturan yang bertentangan, kesesuaian peraturan dengan pelaksanaan,
kejelasan, penghidaran terhadap perubahan yang terlalu sering, dan tiada hukum yang menuntut
hal yang tidak mungkin.2

1 Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang, Pengantar ke FIlsafat Hukum, cet.4 (Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2007), hlm. 43.

2 Ibid., hlm. 53.


Dalam aliran positivisme, setiap norma hukum harus eksis dalam alamnya yang obyektif
sebagai norma-norma yang positif, serta ditegaskan dalam wujud kesepakatan kontraktual yang
konkret antara warga masyarakat atau wakil-wakilnya 3. Hukum tidak lagi dikonsepsikan sebagai
asas-asas moral metayuridis yang abstrak tentang hakikat keadilan, melainkan ius yang telah
mengalami positivisasi sebagai lege atau lex, guna menjamin kepastian mengenai apa yang
terbilang hukum, dan apa pula yang sekalipun normatif harus dinyatakan sebagai hal-hal yang
bukan terbilang hukum. Salah satu tokoh yang menganut aliran ini adalah John Austin yang
menurutnya hukum merupakan perintah dari pihak yang berkuasa dan memiliki sanksi. 4 Austin
juga melakukan pemisahan secara tegas antara hukum Tuhan dan hukum yang dibuat oleh
manusia. Austin berendapat bahwa hukum Tuhan adalah hukum yang memang disebut hukum
tanpa harus dipertanyakan. Sedangkan hukum yang dibuat oleh manusia terbagi atas hukum
positif dimana hukum dibuat oleh manusia sebagai superior politik dan moralitas positif dimana
hukum yang dibuat oleh manusia tetapi tidak sebagai superior politik. Sehingga, terdapat
pemisahan secara tegas dari pemikiran Austin antara hukum dan moral.

Aliran yang ketiga adalah aliran historical dimana pemikiran ini berpandangan bahwa
studi mengenai sistem hukum yang ada memerlukan pemahaman mengenai akar sejarah dan
pemahaman tentang pola-pola evolusi dari sistem hukum tersebut. 5 Tokoh dari aliran ini salah
satunya adalah Henry Maine. Dalam pemikirannya, Maine melihat laju perkembangan hukum
dan pembuatan hukum, yang memiliki lima tahap, yaitu:

1. Tahap pertama, hukum dibuat dalam budaya yang sedemikian patriarkis serta
mendasarkannya pada perintah personal sang penguasa. Legitimasinya adalah perintah yang
suci, inspirasi dari yang tertinggi.
2. Tahap kedua, suatu masa dimana hukum dimonopoli oleh sekelompok aristokrat dan
sekelompok elit masyarakat yang memiliki keistimewaan tertentu. Maine menyebutnya
sebagai Costumary Law (hukum adat, hukum kebiasaan).

3 Rasjidi, H.Lili dan Liza Sonia Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung, PT. Citra
Aditya Bakti, 2012), hlm. 55.

4 Antonius Cahyadi, Op.cit., 65.

5 L.B. Curzon, Jurisprudence, (Great Britain: Cavendish Publishing Limited, 1992) p. 107.
3. Tahap ketiga, adalah tahap ketika hukum-hukum adat yang ada coba dikodifikasikan karena
konflik yang terjadi di antara beberapa masyarkat pendukung hukum adat yang
bersangkutan.
4. Tahap keempat, adalah tahap dimana hukum adat mulai ingin dikontekstualisasikan dengan
kondisi masyarakat dan kondisi zaman yang mulai maju dan berkembang. Dalam hal ini
hukum tradisional atau hukum adat atau hukum kebiasaan, mulai ingin dimodernisasi
dengan pertolongan fiksi hukum, prinsip kesamaan (equality before the law) dan adanya
lembaga-lembaga legislasi. Adapun tujuannya ialah keharmonisan aturan hukum dengan
relasi-relasi sosial dan kebutuhan masyarakat yang semakin berkembang.
5. Tahap kelima, adalah tahap ketika ilmu hukum memegang peranan yang besar untuk
membentuk hukum. Hukum yang terbentuk semakin sistematis dan konsisten, juga ilmiah
karena ilmu hukum menjadi metodologi untuk membentuk hukum.

Selanjutnya, aliran yang keempat adalah aliran anthropological. Dalam aliran


anthropological ini menggambarkan bahwa hukum harus dapat mencerminkan nilai sosial
budaya masyarakat dan mengandung sistem nilai. Salah satu tokoh dalam aliran ini adalah Mac
Dougall. Di dalam buku Mac Dougall yang berjudul values system dapat disimpulkan bahwa
menurutnya hukum harus mengandung sistem nilai. Sistem nilai ini adalah sistem yang terbentuk
dari perkembangan masyarakat itu sendiri. Nilai-nilai yang berkembang di masyarakat yang
mengakar menjadi sebuah sistem yang disebut dengan hukum. Sejalan dengan aliran
anthropological, terdapat aliran sociological, dimana salah satu tokoh dari aliran ini adalah Max
Weber. Menurut Weber, sosiologi hukum akan menjadi penuntun dalam memahami ilmu hukum
tentang masyarakat dan pemahaman masyarakat tentang hukum. Weber juga beranggapan bahwa
sosiologi hukum harus bersifat naturalistis.6 Norma hukum harus dipandang sebagai kenyataan
sosial. Namun ia menambahkan bahwa hukum adalah fenomena sosial yang mempunyai logika
normatif yang tidak sama dengan fenomena-fenomena sosial lainnya. Berdasarkan pengamatan
sosiologi, Weber membedakan hukum seperti berikut:7

6 Mifta Churohman, Teori Max Weber http://miftachr.blog.uns.ac.id/2010/04/teori-max-weber/, diakses


pada 27 April 2015.

7 Antonius Cahyadi dan E. Fernando M. Manullang, op.cit.,


1. Hukum publik dan hukum privat, dimana pembedaan ini didasarkan atas keberadaan negara.
Hukum publik merupakan totalitas dari entitas norma yang mengatur hal-hal yang berkaitan
dengan negara. Sedangkan hukum privat adalah totalitas dari entitas norma yang mengatur
hal-hal diluar negara.
2. Hukum objektif dan hukum subjektif, dimana pembedaan ini didasarkan oleh individu dan
masyarakat yang lepas dari negara. Hukum objektif adalah totalitas aturan normatif yang
diterapkan kepada seluruh anggota masyarakat, sedangkan hukum subjektif adalah totalitas
aturan normatif yang memungkinkan salah satu anggota masyarakat untuk diberi perlakuan
khusus oleh aparat penegak hukum, biasanya dalam rangka melindungi kepentingan akan hak
milik dan hal-hal spiritual.
3. Hukum formal dan hukum material, yang didasarkan pada ilmu hukum. Hukum formal
adalah ketepatan hukum yang dideduksikan dari teori-teori hukum yang berasal dari sistem
hukum tertentu, sedangkan hukum material adalah ketetapan hukum yang memerhatikan dan
mereferensikan diri dari unsur di luar hukum.

Teori yang kelima adalah pure theory of law. Tokoh yang paling terkenal dalam aliran ini
adalah Hans Kelsen, dimana menurutnya ilmu hukum harus bersih dari pemikiran-pemikiran
yang bersifat non-hukum seperti psikologis dan sosiologi. Hukum dipahami oleh Hans Kelsen
senagai hierarki norma-norma. Validitas atau keabsahan dari setiap norma bergantung pada
norma yang lebih tinggi. Setiap tingkatan dari hierarki norma menggambarkan sebuah
pergerakan dari generalisasi yang penuh ke individualisasi yang semakin besar (dari paling
umum ke yang paling khusus). Kelsen tidak menolak validitas sebuah norma dalam perspektif
sosiologis, walaupun hal tersebut tidak masuk ke dalam lingkup studi normatif, tetapi merupakan
studi behavioral. Bagi Kelsen, keduanya saling melengkapi dan tidak saling menggantikan satu
sama lain. Apabila ilmu hukum membahas validitas, maka studi behavioral (tingkah laku
manusia) membahas tentang efikasi dari sebuah norma, karena sosiologi hukum misalnya masih
mengandaikan adanya konsep dari peraturan perundang-undangan. Bagi Kelsen, sanksi bersifat
koersif. Setiap sistem norma dalam pandangan Kelsen selalu bersandar pada sanksi.

Yang terakhir adalah realisme hukum. Dalam teori ini, hukum dilihat tanpa adanya
idealisasi, spekulasi, atau idolisasi. Hukum harus diterima sebagai fakta-fakta yang memang
sebenarnya dan apa adanya. Salah satu tokoh yang menganut aliran ini adalah Jerome Frank.
Jerome Frank membagi hukum atas 2 aliran kaum realis, yaitu rule-skeptics dimana
ketidakpastian hukum disebabkan oleh teks aturan hukum dan keseragaman dalam proses
peradilan, serta fact-skptics dimana ketidakpastian peradilan itu disebabkan oleh ketidakjelasan
fakta-fakta yang ada.8 Menurut Jerome Frank, tujuan utama penganut realisme hukum adalah
untuk membuat hukum menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan sosial. Baginya, hukum
adalah putusan pengadilan.9 Putusan pengadilan tidak dapat disamakan dengan suatu aturan yang
bersifat tetap. Jarome Frank berpendapat bahwa putusan pengadilan tidak selalu mengenai
kaidah yang statis tetapi juga terdapat hal-hal lain seperti perkembangan politik, ekonomi, sosial,
dan moral pada saat itu.

Dari penjelasan singkat mengenai aliran-aliran pemikiran filsafat hukum diatas, dapat
disimpulkan bahwa untuk mencapai makna yang sesungguhnya dari hukum harus dibutuhkan
pemikiran-pemikiran luas dari berbagai sisi. Dengan begitu, akan dapat dipahami apa yang
sesungguhnya dimaksud dengan hukum.

8 Antonius Cahyadi, Op.cit., 164.

9 Ibid.,

Anda mungkin juga menyukai