Tujuan penyelenggaraan telekomunikasi yang demikian dapat dicapai, antara lain, melalui
reformasi telekomunikasi untuk meningkatkan kinerja penyelenggaraan telekomunikasi dalam
rangka menghadapi globalisasi, mempersiapkan sektor telekomunikasi memasuki persaingan
usaha yang sehat dan profesional dengan regulasi yang transparan, serta membuka lebih banyak
kesempatan berusaha bagi pengusaha kecil dan menengah. Dalam pembuatan UU ini dibuat
karena ada beberapa alasan,salah satunya adalah bahwa pengaruh globalisasi dan perkembangan
teknologi telekomunikasi yang sangat pesat telah mengakibatkan perubahan yang mendasar
dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi dan untuk manjaga keamanan
bagi para pengguna teknologi informasi.
Pasal 36
1) Perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh pesawat udara sipil asing dari dan ke
wilayah udara Indonesia tidak diwajibkan memenuhi persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32.
2) Spektrum frekuensi radio dilarang digunakan oleh pesawat udara sipil asing dari dan ke
wilayah udara Indonesia di luar peruntukannya, kecuali:
a. untuk kepentingan keamanan negara, keselamatan jiwa manusia dan harta benda,
bencana alam, keadaan marabahaya, wabah, navigasi, dan keselamatan lalu lintas
penerbangan; atau
b. disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang dioperasikan oleh penyelenggara
telekomunikasi; atau
c. merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai
dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas
bergerak penerbangan.
3) Ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Setelah kita mengetahui bunyi dari pasal 36, selanjutnya saya akan membahas sebuah kasus
yang melanggar pasal 36, kasus tersebut saya dapat dari
http://www.postel.go.id/info_view_c_26_p_2080.htm .
CONTOH KASUS
JUDUL KASUS :
(Jakarta, 18 November 2013). Menanggapi sejumlah pemberitaan hari ini terkait dengan
beberapa kali tindakan penyadapan yang dilakukan oleh Australia terhadap sejumlah pejabat
pemerintah Indonesia, bersama ini disampaikan sikap dan pandangan Kementerian Kominfo
sebagai berikut:
1. Kementerian Kominfo searah dengan penyataan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa
dalam jumpa persnya pada tanggal 18 November 2013 sangat menyesalkan tindakan
penyadapan yang dilakukan oleh Australia.
3. Sikap sangat keprihatinan dan sangat kecewa yang ditunjukkan oleh Kementerian
Kominfo ini selain berdasarkan aspek hubungan diplomatik, juga karena mengacu pada
aspek hukum, karena bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, yaitu UU No.
36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik.
5. Memang benar, bahwa dalam batas-batas dan tujuan tertentu, penyadapan dapat
dimungkinkan untuk tujuan-tujuan tertentu tetapi itupun berat pesyaratannya dan harus
izin pimpinan aparat penegak hukum, sebagaimana disebutkan pada Pasal 42 UU
Telekomunikasi menyebutkan (ayat 1), bahwa penyelenggara jasa telekomunikasi wajib
merahasiakan informasi yang dikirim dan atau diterima oleh pelanggan jasa
telekomunikasi melalui jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi yang
diselenggarakannya; dan ayat (2) bahwa untuk keperluan proses peradilan pidana,
penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau
diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang
diperlukan atas: a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik
Indonesia untuk tindak pidana tertentu; b. permintaan penyidik untuk tindak pidana
tertentu sesuai dengan Undang-undang yang berlaku. Demikian pula kemungkinan
penyadapan yang dibolehkan dengan syarat yang berat pula yang diatur dalam Pasal 31
ayat (3) UU ITE yang menyebutkan, bahwa kecuali intersepsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2), intersepsi yang dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas
permintaan kepolisian, kejasaan, dan / atau institusi penegak hukum lainnya yang
dilakukan berdasarkan undang-undang.
6. Ancaman pidana terhadap kegiatan penyadapan adalah sebagaimana diatur dalam Pasal
56 UU Telekomunikasi yaitu penjara maksimal 15 tahun penjara dan Pasal 47 UU ITE
yaitu penjara maksimal 10 tahun penjara dan atau denda paling banyak Rp 800.000.000,-
10. Juga perlu diingatkan kepada publik, bahwa apapun perakitan, perdagangan dan atau
penggunaan perangkat sadap yang diperdagangkan secara bebas adalah suatu bentuk
pelanggaran hokum, karena bertentangan dengan UU Telekomunikasi. Kementerian
Kominfo tidak pernah memberikan sertifikasi perangkat sadap terkecuali yang digunakan
oleh lembaga penegak hukum yang disebutkan pada Pasal 40 UU Telekomunikasi dan
Pasal 31 UU ITE.Demikian pula anti sadap pun juga illegal, karena Kementerian
Kominfo tidak pernah mengeluarkan sertidikat untuk perangkat (baik hard ware maupun
software) anti sadap.
SUMBER
http://silvergrey23.blogspot.co.id/2012/04/uu-no36-tentang-telekomunikasi.html
https://ppidkemkominfo.files.wordpress.com/2012/11/uu-no-36-tahun-1999-tentang-
telekomuniksi.pdf
http://www.postel.go.id/info_view_c_26_p_2080.htm