Anda di halaman 1dari 4

Jam tua itu bersenandung amat keras.

Memberi tahu seisi rumah bahwa malam telah


memasuki puncaknya. Seorang gadis yang awalnya tertidur pulas, terbangun dengan raut muka
kesal dan lelah. Dia sangat membenci jam tua itu. Sangat berisik, pikirnya.

Dia mencoba untuk melanjutkan mimpi indahnya. Di sana, dia sedang menari dengan
seorang pemuda tampan yang sangat disayanginya. Dia tidak mau kehilangan sedetikpun
kesempatan emas itu, walau hanya di dunia mimpi. Sayangnya, jam yang amat dicintainya itu
membangunkannya dan tidak memperbolehkannya untuk kembali.

Dia mencoba berbagai cara untuk terlelap, tetapi selalu gagal. Semakin keras mencoba,
semakin risau pula perasaannya. Dia merasa seperti sedang diawasi oleh sepasang mata yang
tidak diketahui siapa pemiliknya dan dimana saat ini orang itu berada. Dia melihat sekeliling
sudut kamar megahnya. Berharap pemilik sepasang mata itu tertangkap oleh tatapan tajam
matanya. Namun, nihil. Tidak seorangpun yang dia dapati.

Dia kembali mencoba untuk terlelap. Mencoba melupakan sejenak perasaannya yang
tiba-tiba membuatnya gelisah. Dia mencoba sangat keras. Namun, kerja kerasnya itu
membuatnya kembali gelisah. Dia merasa seseorang sedang memperhatikannya. Entah dari mana
orang itu memperhatikannya. Matanya kembali menyusuri tiap sudut kamar dengan hati-hati.
Lagi-lagi, nihil! Dia menguatkan batinnya bahwa perasaannya salah. Tidak ada yang sedang
memperhatikannya. Tidak ada seorangpun.

Kecemasannya pun membuatnya lapar. Dia segera beranjak dari kasur empuknya. Dia
menuruni tangga dan menyusuri koridor yang akan membawanya ke dapur. Koridor itu sangat
gelap dan panjang. Rumahnya yang sangat luas itu terkadang menyulitkannya. Dia harus berjalan
jauh hanya untuk mengambil cemilan dan minuman penghilang dahaganya. Dia benar-benar
tidak menyukai rumah megah pemberian neneknya itu. Terlalu menyebalkan, baginya.

Ah itu dia dapurnya! Lampunya sungguh terang. Kontras banget sama kondisi koridor
panjang ini. ucapnya.

Dia menyusuri koridor dengan semangat. Dia telah melihat tujuan utamanya. Namun,
ketika masih berada di separuh jalan, perasaannya berubah. Seketika ia membeku. Dia melihat
seseorang yang tidak dia kenal sedang duduk dan melahap makanan yang awalnya akan dia bawa
ke kamarnya. Dia yakin bahwa tidak ada seorang tamu pun yang diundang oleh orangtuanya
untuk menginap. Ketakutan pun menjalar disetiap lekuk tubuhnya. Dia ingin lari, namun gagal.
Tubuhnya benar-benar tidak bisa digerakkan. Seolah-olah tiap lapisan kulitnya telah berubah jadi
batu. Dia ingin berteriak, namun tidak ada satu desibel pun yang bisa keluar dari mulutnya.

Posisinya berdiri sangatlah strategis untuk melihat aktivitas orang itu. Dia melihat setiap
gerakan yang dihasilkan oleh tubuh orang misterius itu. Memang tidak ada kegiatan yang
mencurigakan dari orang tersebut, hanya saja, ada sebuah benda mengkilap nan tajam
digenggamannya. Benda itu terlihat seperti pisau dapur. Tidak! Lebih buruk dari pisau dapur.
Benda tajam itu senantiasa mengiringi pemiliknya. Namun benda itu tidak terlihat sehat. Terlihat
seperti sedang terluka parah. Banyak darah yang menyelimutinya.

Seketika tubuhnya dibanjiri keringat nan dingin yang membuat tubuhnya semakin kaku.
Ketakutan yang dirasakannya makin kuat. Dia merasa rambut-rambut di lehernya berdiri tanpa
diberi aba-aba. Ketakutannya pun membuat dirinya penasaran. Dia ingin tahu siapa pemilik
darah tersebut. Dia memberanikan diri untuk melihat benda itu lebih dekat. Dia sadar, mustahil
rasanya untuk mendekat jika ia saja tidak bisa menggerakan tubuhnya. Dia mencoba untuk
menggerakan kakinya yang sedari tadi kaku. Tubuhnya pun berusaha untuk memproduksi
adrenalin dalam dosis besar.

Akhirnya! Berhasil!, batinnya. Dia mendekat sedikit demi sedikit. Berharap dapat
mengetahui siapa dan mengapa orang itu ada disana. Jantungnya berdetak semakin kencang. Dia
bisa merasakan derasnya aliran darah yang menyelimuti dirinya. Semakin dekat dan dekat. Dia
tetap memerhatikan gerak-gerik orang misterius itu. Orang itu berjalan menjauhi pintu dapur.
Semakin lama, orang itu semakin tak terlihat oleh matanya. Ia bergegas untuk mendekat sedekat
mungkin. Rasa penasaran dan ketakutan bercampur menjadi satu. Dia tetap meninggikan status
kewaspadaannya. Dia tidak mau menyesal.

Kemana orang itu?, tanyanya dalam hati.

Tak terasa dia sudah memasuki dapur yang luasnya tak kalah dari kamar tidurnya itu.
Makanan yang tadi tergeletak di meja sudah habis. Ada sebuah gelas kosong yang dia yakini
adalah bekas gelas minum orang itu. Dia benar-benar yakin kalau yang dilihatnya tadi bukan
hayalannya semata. Namun anehnya, orang yang menghabiskan cemilan malamnya itu tak
terlihat di sepanjang penelusuran mata bulatnya.

Dia mendapati sebuah jendela besar di sudut dekat lemari pendingin terbuka. Pikiran
akan kaburnya orang itu menari-nari di otaknya. Ga mungkin hilang kalau ga kabur kan?,
batinnya.

Dengan rasa penuh keyakinan akan mendapati orang tersebut sedang berlari menjauhi
rumahnya membuat dirinya tak bisa menahan diri untuk mendekati jendela itu. Berbekalkan rasa
penasaran yang sudah menumpuk di benaknya, dia langsung memeriksa jendela dan perkarangan
di sekitar jendela. Jendela itu ternyata terkunci dari dalam.

Terkunci? Aneh! Bagaimana caranya dia kabur?, tanyanya pada diri sendiri. Seketika
tubuhnya menegang. Dia sangat takut akan keadaan terburuk untuknya bahwa kenyataannya
orang itu masih berada di sekitar dapur dan sedang melihat dirinya sekarang. Dia tidak bisa
berkutik. Segala keberaniannya hilang dalam sekejap. Tak bersisa.

Dia sangat yakin tadi bahwa tidak ada orang itu lagi di dalam dapur. Dia sangat
mempercayai kemampuan matanya itu. Walaupun dia hanya melihat, tidak menelusuri tiap senti
bagian dalam dapurnya itu, dia sangat yakin kalau hanya dialah satu-satunya orang yang sedang
berada di dalam dapur. Tiba-tiba terlintas di dalam pikirannya untuk kembali ke kamar. Dia tidak
mau terjadi apa-apa dengan dirinya. Dia mempunyai banyak hal yang ingin dilakukannya
sebelum mati. Dia sangat ingin bersembunyi.

Dengan bekal keberanian yang mulai dia tanam kembali, dia berusaha sekuat tenaga
untuk sampai ke kamarnya dan melupakan apapun yang dia lihat di dapur. Dia melihat ke arah
jendela untuk memastikan tidak ada orang lain yang sedang berdiri di belakangnya. Tidak ada
satupun orang di sana.

Lalu dia bergegas berbalik arah dan segera berlari. Syukurlah ga ada orang yang
mencurigakan sejauh ini., batinnya. Dia sampai ke kamarnya tanpa ada satupun hambatan. Dia
langsung masuk dan mengunci pintu kamarnya sampai suara klik terakhir terdengar. Dia
ketakutan.
Dia bergegas menuju kasurnya dan segera berlindung dibalik selimut tebalnya. Berharap
pagi segera tiba. Satu jam. Dua jam. Masih belum ada tanda-tanda pagi datang. Dia tetap
meringkuk di balik selimutnya. Ketakutan. Seharusnya dia telah tenang walaupun pagi belum
datang. Pikirannya selalu berteriak bahwa dia sudah aman. Namun, tubuhnya bertindak lain.
Keringat masih membanjiri tubuhnya. Dia masih belum berani untuk merilekskan tubuhnya.

Semalaman meringkuk dalam ketakutan, akhirnya pagi pun datang. Tidak ada satu pun
keganjilan yang ia rasakan setelah lelaki itu menghilang dari dapur. Dia merasa lega, tetapi
tubuhnya merasa lelah. Dia lapar. Energinya habis hanya karena ketakutan.

Bodoh banget ketakutan gitu sampe pagi. Padahal ga ada apa-apa juga. batinnya. Dia
mulai merilekskan badannya dan menghirup udara pagi yang telah dinantikannya. Dia bergegas
ke wastafel untuk menggosok giginya. Dia benar-benar lapar. Dia membersihkan giginya secepat
kilat.

Setelah selesai, dia bergegas menuju pintu. Dia tersenyum malu saat teringat
kebodohannya.

Anda mungkin juga menyukai