Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

Berdasarkan analisis kata anestesi (an=tidak, aestesi= rasa) maka ilmu anestesi adalah
cabang ilmu kedokteran yang mempelajari tatalaksana untuk mematikan rasa, baik rasa nyeri,
takut dan rasa tidak nyaman yang lain sehingga pasien merasa nyaman serta mempelajari
tatalaksana untuk menjaga atau mempertahankan kehidupan pasien selama mengalami
kematian akibat obat anestesi.1
Anestesi regional adalah tindakan analgesia yang dilakukan dengan cara menyuntikkan
obat anestetika lokal pada lokasi serat saraf yang menginervasi region tertentu, yang
menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat temporer.1 Salah satu jenis
anestesi regional adalah anestesi spinal. Anestesi spinal merupakan tindakan pemberian anestesi
regional ke dalam ruang subaraknoid.2 Tujuannya adalah untuk menghasilkan analgesia. Spinal
anestesi banyak digunakan selain karena secara teknik lebih mudah dibandingkan dengan teknik
anestesi regional lainnya, obat anestesi yang digunakan lebih sedikit, onset lebih singkat dan
level anestesi lebih pasti.
Anestesi regional saat ini semakin berkembang dan semakin luas pemakaiannya dibidang
anestesi. Teknik anestesi spinal pertama kali diperkenalkan oleh August Bier pada tahun 1898
dan pada tahun 1908 teknik anestesi regional intravena dikenalkan.3 Karena keuntungan dan
kemampuannya menghasilkan efek analgesia yang adekuat dan mencegah respon stress secara
lebih sempurna serta pengaruh sistemik yang minimal, penggunaan anestesi spinal semakin luas
penggnaannya di bidang anestesi.

1
BAB II
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas
No. Rekam Medis : 00607277
Nama : Ny. E
Umur : 75 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Jl. Jatikariya RT 004/05
Status pernikahan : Menikah
Agama : Islam
Ruang rawat/kelas : Cilamaya Lama/3
Bagian/Unit : Unit Obgyn
Dokter DPJP : dr. Doddy, Sp.OG
Tanggal operasi : 17 Februari 2016

2.2 Anamnesis
Dilakukan autoanamnesis pada pasien sendiri, Ny. E pada tanggal 18 Februari 2016 pukul 07.30
WIB.
Keluhan Utama : Mual muntah sejak 7 bulan SMRS
Keluhan tambahan : Teraba benjolan di perut bagian bawah

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien mengatakan mengalami perdarahan dari kemaluan yang berlangsung terus
menerus sejak 1 bulan sebelum masuk rumah sakit. Pasien mengaku darah yang keluar berwarna
merah kehitaman disertai adanya gumpalan. Darah yang keluar cukup banyak hingga dalam
sehari pasien mengganti pembalutnya sebanyak 3-4 kali. Ketika darah beserta gumpalan darah
yang keluar cukup banyak pasien merasakan nyeri di perutnya. Selain itu pasien mengatakan
terdapat sakit kepala. Pasien juga mengatakan perdarahan dari kemaluan juga timbul dari 3 bulan
lalu namun hilang timbul, sampai akhirnya pasien sempat memeriksakan dirinya ke dokter

2
kandungan di RSUD Karawang dan dirawat inap kurang lebih selama 5 hari (sejak 3 juli-8 juli
2015) dengan keluhan yang sama. Selama dilakukan perawatan di rumah sakit pasien mendapat
transfusi darah. Pada tanggal 15 Juli lalu pasien kembali ke RS untuk memeriksakan dirinya di
bagian Obgyn dan direncanakan untuk dilakukannya operasi. Pada tanggal 22 Juli pasien
kembail lagi ke RS untuk dirawat persiapan dilakukannya operasi.
Selain perdarahan, pasien juga merasakan adanya benjolan di sekitar perut bagian bawah.
Benjolan tersebut dirasakannya kurang lebih sejak 6 bulan yang lalu. Benjolan tersebut dirasakan
semakin membesar oleh pasien. Selain itu pasien mengatakan benjolan teraba keras dan tidak
dapat digerakan. Pasien tidak merasakan nyeri apabila benjolan tersebut ditekan, namun nyeri
perut dirasakannya saat perdarahan yang cukup banyak berlangsung. Keluhan demam, mual,
muntah dan keputihan disangkal.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien belum pernah menjalani operasi/anestesi apapun sebelumnya. Riwayat alergi terhadap
obat-obatan disangkal. Pasien mengaku alergi terhadap makanan ikan teri. Riwayat hipertensi,
diabetes mellitus, penyakit jantung-paru, asma disangkal. Pasien pernah dirawat inap kurang
lebih 2 minggu yang lalu di RSUD Karawang dengan keluhan yang sama.
Riwayat Penyakit keluarga :
Riwayat diabetes mellitus, hipertensi, asma, penyakit jantung-paru, alergi obat/ makanan tertentu
serta keganasan pada keluarga disangkal.

Riwayat menstruasi :
Menarche : 13 th, menstruasi teratur 1 kali/bulan biasanya berlangsung kurang lebih 7 hari,
terdapat nyeri saat menstruasi.
Riwayat pernikahan :
Menikah dengan bujang, saat usia 18 tahun, punya 3 anak.
Riwayat Obstetri :
Anak pertama lahir normal pervaginam, perempuan lahir di bidan, Berat bayi 3500gr
Anak kedua lahir normal pervaginam, perempuan lahir di bidan, Berat bayi 3200 gr
Anak ketiga lahir normal pervaginam, perempuan lahir di bidan, Berat bayi 3000 gr
Riwayat penggunaan KB :
Pasien mengaku tidak pernah menggunakan KB selama ini.

3
2.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
Status gizi : BB : 40 kg
TB : 145 cm
BMI : 19,0
Tanda vital : Tekanan darah : 130/90
Nadi : 92 x/menit
Pernapasan : 22 x/menit
Suhu : 36,4C
Status Generalis
Kepala : Normosefali, rambut putih, distribusi merata, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik -/-
Leher : KGB tidak teraba membesar
Thoraks : Jantung : BJ I/II regular, Murmur (-), Gallop(-)
Paru : SN vesikuler, Wheezing -/-, Ronki -/-
Abdomen : supel, hepar dan lien tidak teraba membesar, nyeri tekan (-), perkusi
pekak di sekitar bawah umbilicus, teraba benjolan kurang lebih sekitar
15-20cm konsistensi lunak tanpa teraba berbenjol-benjol, tidak dapat
digerakan, Bising usus (+).
Ekstremitas : Akral hangat pada keempat ekstremitas dan tidak terdapat edema pada
keempat eksremitas.
2.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium tanggal 22 Juli 2015
Hematologi
- Hemoglobin : 10,2 g/dL (N= 12,0-16,0)
- Leukosit : 23,17 x 103/ul (N= 3,80-10,60)
- Trombosit : 360 x 103/ul (N=150-440)
- Hematokrit : 29,7 % (N= 35,0-47,0)
- Masa perdarahan/BT: 2 menit (N= 1-3 menit)
- Masa pembekuan/CT: 11 menit (N= 5-11 menit)

4
- Gol. Darah ABO :O
- Gol. Darah Rhesus : +
Imunologi
- HBs Ag Rapid : Non Reaktif
Kimia
- Glukosa Darah Sewaktu : 101 mg/dL (N= <140)

2.5 Diagnosis Kerja


- Kista Ovarium
2.5 Kesimpulan
Persiapan pre-operatif pasien :
- persiapan fisik dan mental pasien
- persiapan puasa pasien
Status fisik pasien : ASA II dengan Anemia dan Leukositosis
Perencanaan anestesi : Pada pasien ini akan dilakukan tindakan Laparatomi dengan anestesi
regional spinal.

5
BAB III
LAPORAN ANESTESI

Status anestesi
- Diagnosa pre-operasi : Kista Ovarium
- Jenis operasi : Laparatomi
- Rencana teknik anestesi : Anestesi Regional Spinal
- Status fisik : ASA II dengan Anemia dan Leukositosis
Keadaan Selama Pembedahan
Lama operasi : 2 jam 50 menit
Lama anestesi : 3 jam
Jenis anestesi : Regional spinal
Posisi : Supine
Infus : Widahes, Asering, Nacl
Premedikasi :-
Medikasi : Bupivacaine 100 mg
Catapres 75 mg
Ketorolac 30 mg
Tramadol 100 mg/drip
Ondansetron 4mg
Cairan masuk : 2000 ml
Perdarahan : 400 ml

Persiapan alat
- Mesin anestesi
- Monitor anestesi
- Sfigmomanometer digital
- Oksimeter
- Spuit 5 cc, 3 cc
- Jarum spinal

6
- Sarung tangan steril
- Cairan antiseptik
- Kanul 02
-Alat intubasi (pipa ETT, Laringoskop, guedel, stetoskop, sungkup, plester, stilet, suction,
connector)

Persiapan Obat
- Pre medikasi : Midazolam
- Analgetik : Fentanyl, Pethidine
- Hipnotik/Sedativa : Propofol, Ketamin
- Obat emergency : Ephedrine

Monitoring saat operasi


Jam Tindakan Tekanan darah (mmHg) Nadi (x/menit)
11.20 - Pasien masuk ke kamar operasi dan 140/95 87
dipindah ke meja operasi SPO2 : 99%
- Pemasangan monitoring tekanan
darah, nadi, saturasi oksigen.
- Infus HES terpasang kiri
11.32 - Mulai anestesi dengan pemberian 130/90 80
anestesi spinal dengan Bupivacaine 100 SPO2 : 99%
mg
-Pemberian oksigen 2 liter/menit
11.40 Operasi dimulai 127/85 80
SPO2 : 99%
11.47 Operasi masih dilakukan 90/65 85
SPO2 : 98%
12.02 - Operasi masih dilakukan 131/97 98
-Penggantian infus Asering SPO2 : 99%
12.17 Operasi masih dilakukan 110/78 105
SPO2 : 99%
12.32 Operasi masih dilakukan 90/64 99
SPO2 : 98%
12.47 Operasi masih dilakukan 121/81 110
7
SPO2 : 98%
13.02 Operasi masih dilakukan 114/72 79
SPO2 : 99%
13.17 - Operasi masih dilakukan 115/82 120
- Penggantian infus Asering SPO2 : 99%
13.32 Operasi masih dilakukan 110/70 90
SPO2 : 98%
13.47 Operasi masih dilakukan 112/70 100
SPO2 : 99%
14.02 -Operasi masih dilakukan 115/80 80
- pasien gelisah dan merasa nyeri SPO2 : 99%
- pemberian ketorolac 30mg/IV,
Tramadol 100mg/drip, Fentanyl
50mcg.
14.10 Operasi selesai 115/82 69
SPO2 : 99%

Keadaan akhir pembedahan


Tekanan darah : 115/82, Nadi: 69, Saturasi O2 : 100%
Penilaian Pemulihan Motorik (berdasarkan Skor Bromege) :
Skoring Bromege Gerakan Motorik Tungkai Waktu
3 Tidak dapat menggerakkan 14.20
kaki seluruhnya
2 Dapat menggerakkan bagian 15.30
telapak kaki saja
8
1 Dapat menggerakkan lutut 16.45 (pasien dipindahkan ke
ruangan)
0 Sudah dapat menggerakkan -
tungkai secara menyeluruh

BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA

A.
Anestesi Regional
Anestesi regional adalah tindakan analgesia yang dilakukan dengan cara menyuntikkan
obat anestesi lokal pada lokasi serat saraf yang menginervasi region tertentu, yang menyebabkan
hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat temporer.1 Pemberian anestesi regional dibagi
menjadi dua, yaitu blok sentral dan blok perifer. Blok sentral dibagi menjadi tiga bagian yaitu

9
anestesi spinal, epidural dan kaudal. Sedangkan blok perifer dibagi menjadi blok saraf, topikal
infiltrasi, analgesia regional intravena, dan blok lapangan (field block).

Jenis-jenis Obat Anelgesia Lokal4


Berdasarkan ikatan kimia, obat analgetik lokal dibagi menjadi:
1. Derivat ester, yang dibagi menjadi derivat asam benzoate (kokain) dan derivat asam
para amino benzoate (prokain dan klorprokain)
2. Derivat amide (lidokain, prilokain, mepivakain, bupivakain, etidokain)

Berdasarkan potensi dan lama kerja atau durasi, dibagi menjadi:


1. Potensi rendah dan durasi singkat: prokain dan klorprokain
2. Potensi dan durasi sedang: mepivakain, prilokain, lidokain
3. Potensi kuat dan durasi panjang: tetrakain, bupivakain, etidokain
Bupivakain mempunyai potensi 8 dan durasi 180-600 menit.

Mekanisme Kerja Obat


Obat anestesi lokal mencegah transmisi impuls saraf (blokade konduksi) dengan
menghambat pengiriman ion natrium melalui gerbang ion natrium selektif pada membran saraf.
Gelombang natrium sendiri adalah reseptor spesifik molekuk obat anestesi lokal. Penyumbatan
gerbang ion yang terbuka dengan molekul obat anestesi lokal berkontribusi sedikit sampai
hampir keseluruhan dalam inhibisi permeabilitas natrium. Kegagalan permeabilitas gerbang ion
natrium untuk meningkatkan perlambatan kecepatan depolarisasi seperti ambang batas potensial
tidak tercapai sehingga potensial aksi tidak disebarkan. Obat anestesi lokal tidak mengubah
potensial istirahat transmembran atau ambang batas potensial. Lokal anestesi juga memblok
kanal kalsium dan potasium dan reseptor N-methyl-D-aspartat (NMDA) dengan derajat yang
berbeda-beda. Beberapa golongan obat lain, seperti antidepresan trisiklik (amytriptiline),
meperidine, anestesi inhalasi, dan ketamin juga memiliki efek memblok kanal sodium. Tidak
semua serat saraf dipengaruhi sama oleh obat anestesi lokal. Sensitivitas terhadap blokade
ditentukan dari diameter aksonal, derajat mielinisasi, dan berbagai faktor anatomi dan fisiologi
lain. Diameter yang kecil dan banyaknya mielin meningkatkan sensitivitas terhadap anestesi
lokal. Dengan demikian, sensitivitas saraf spinalis terhadap anestesi lokal: autonom > sensorik >
motorik.5

Farmakologi Klinis
Farmakokinetik

10
Karena anestesi lokal biasanya diinjeksikan atau diaplikasikan sangat dekat dengan lokasi
kerja maka farmakokinetik dari obat umunya lebih dipentingkan tentang eliminasi dan toksisitas
obat dibandingkan dengan efek klinis yang diharapkan.5

Absorpsi
Sebagian besar membran mukosa memiliki barier yang lemah terhadap penetrasi anestesi
lokal, sehingga menyebabkan onset kerja yang cepat. Kulit yang utuh membutuhkan anestesi
lokal larut lemak dengan konsentrasi tinggi untuk menghasilkan efek analgesia.5
Absorpsi sistemik dari anestesi lokal yang diinjeksi bergantung pada aliran darah, yang
ditentukan dari beberapa faktor di bawah ini:5,6
1. Lokal injeksi
Laju absorpsi sistemik proporsional dengan vaskularisasi lokal injeksi: intravena >
trakeal > intercostal > caudal > paraservikal > epidural > pleksus brakialis >
ischiadikus > aubcutaneus.
2. Adanya vasokonstriksi
Penambahan epinefrin dapat menyebabkan vasokonstriksi pada tempat pemberian
anestesi yang dapat menyebabkan penurunan absorpsi dan peningkatan pengambilan
neuronal sehingga meningkatkan kualitas analgesia, memperpanjang durasi, dan
meminimalkan efek toksik. Efek vasokonstriksi yang digunakan biasanya dari obat
yang memiliki kerja pendek. Epinefrin juga dapat meningkatkan kualitas analgesia
dan memperlama kerja.
3. Agen anestesi lokal
Anestesi lokal yang terikat kuat dengan jaringan, lebih lambat terjadi absorpsi. Dan
agen ini bervariasi dalam vasodilator intrinsik yang dimilikinya.

Distribusi
Distribusi tergantung dari ambilan organ yang ditentukan oleh faktor-faktor di bawah
ini:
1. Perfusi jaringan-organ dengan perfusi jaringan yang tinggi (otak, paru, hepar,
ginjal, dan jantung) bertanggung jawab terhadap ambilan awal yang cepat yang
diikuti redistribusi yang lebih kambat sampai perfusi jariingan moderat (otot dan
saluran cerna)
2. Koefisien partisi jaringan/darah-ikatan preotein plasma yang kuat cenderung
mempertahankan obat anestesi di dalam darah, di mana kelarutan lemak yang
tinggi memfasilitasi ambilan jaringan.

11
3. Massa jaringan. Otot merupakan reservoar paling besar untuk anestesi lokal
karena massa dari otot yang besar.

Metabolisme dan eksresi


Dibedakan berdasarkan strukturnya:
1. Ester. Anestesi lokal ester hidrolisanya sangat cepat dan metabolitnya yang larut air
dieksresikan ke dalam urin. Procaine dan benzocaine dimetabolisme menjadi asam
p-aminobenzoiz (PABA), yang dikaitkan dengan reaksi alergi.
2. Amida. Anestesi lokal amida dimetabolisme oleh enzim mikrosomal P-450 di hepar.
Laju metabolisme amida tergantung dari agen yang spesifik (prilocine > lidocaine >
mepivacaine > ropivacaine > bupivacaine), namun secara keseluruhan jauh lebih
lambat dari hidrolisis ester. Penurunan fungsi hepar atau gangguan aliran darah ke
hepar akan menurunkan laju metabolisme dan merupakan predisposisi terjadi
intoksikasi sistemik. Sangat sedikit obat yang dieskresikan tetap oleh ginjal,
walaupun metabolitnya bergantung pada bersihan ginjal.

Lama kerja obat dipengaruhi oleh


1. Ikatan dengan protein plasma karena reseptor anestetika lokal adalah protein
2. Dipengaruhi oleh kecepatan absorpsi
3. Dipengaruhi oleh banyaknya pembuluh darah perifer di daerah permberian

Efek yang terjadi pada anestesi regional yaitu meningkatnya aliran pembuluh darah
sistemik, penurunan daya lekat trombosit, penurunan penghambatan fibrinolysis, menurunkan
perdarahan perioperative, meningkatkan aliran darah coroner, menurunkan durasi ileus,
menurunkan risiko depresi pernapasan.
Anestesi regional saat ini semakin berkembang dan makin luas pemakaiannya dibidang
anestesi.Mengingat berbagai keuntungan yang ditawarkan, di antaranya relatif murah, pengaruh
sistemik yang minimal, menghasilkan analgesia yang adekuat dan kemampuan mencegah respon
stress secara lebih sempurna. Namun selain itu ada kerugian dari anestesi regional yaitu tidak
semua penderita mau dilakukan anestesi secara regional, Membutuhkan kerjasama pasien yang
kooperatif,Sulit diterapkan pada anak-anak,Tidak semua ahli bedah menyukai anestesi
regional.serta terdapat kemungkinan kegagalan pada teknik anestesi regional.

Komplikasi dari anestesi regional


1.Efek samping lokal
12
Pada tempat suntikan, apabila saat penyuntikan tertusuk pembuluh darah yang cukup besar,
atau apabila penderita mendapat terapi anti koagulan atau ada gangguan pembekuan darah, maka
akan dapat timbul hematom. Hematom ini bila terinfeksi akan dapat membentuk abses Apabila
tidak infeksi mungkin saja terbentuk infiltrat dan akan diabsorbsi tanpa meninggalkan bekas.
Tindakan yang perlu adalah konservatif dengan kompres hangat, atau insisi apabila telah terjadi
abses disertai pemberian antibiotika yang sesuai. Apabila suatu organ end arteri dilakukan
anestesi lokal dengan campuran adrenalin, dapat saja terjadi nekrosis yang memerlukan tindakan
nekrotomi, disertai dengan antibiotika yang sesuai.
2. Pengaruh Pada Sistem Organ
Karena blokade kanal sodium mempengaruhi bangkitan aksi potensial di seluruh tubuh,
sehingga bukan hal yang mengejutkan jika anestesi lokal dapat menyebabkan intoksikasi
sistemik.2,6,8
A. Neurologis
Sistem saraf pusat merupakan bagian yang paling rentan terjadi intoksikasi dari
anestesi lokal dan merupakan sistem yang dimonitoring awal dari gejala overdosis pada
pasien yang sadar. Gejala awal adalah rasa kebas, parestesi lidah, dan pusing. Keluhan
sensorik dapat berupa tinitus, dan penglihatan yang kabur. Tanda eksitasi (kurang
istirahat, agitasi, gelisah, paranoid) sering menunjukkan adanya depresi sistem saraf
pusat (misal, bicara tidak jelas/pelo, mudah mengantuk, dan tidak sadar). Kontraksi otot
yang cepat, kecil dan spontan mengawali adanya kejang tonik-klonik. Biasanya diikuti
dengan gagal nafas. Reaksi eksitasi merupakan hasil dari blokade selektif pada jalur
inhibitor. Anestesi lokal dengan kelarutan lemak tinggi dan pontensi tinggi menyebabkan
kejang pada konsentrasi obat lebih rendah dalam darah dibanding agen anestesi dengan
potensi yang lebih rendah. Dengan menurunkan aliran darah otak dan pemaparan obat,
benzodiazepin dan hiperventilasi meningkatkan batas ambang terjadinya kejang karena
anestesi lokal.
Thiopental (1-2 mg/kg) dengan cepat dan tepat menghentikan kejang. Ventilasi
dan oksigenasi yang baik harus tetap dipertahankan. Lidokain intravena (1,5 mg/kg)
menurunkan aliran darah otak dan menurunkan peningkatan tekanan intrakranial yang
biasanya timbul pada intubasi pasien dengan penurunan komplians intrakranial. Lidokain
dan prokain infus selama ini digunakan sebagai tambahan dalam teknik anestesi umum,

13
karena kemampuannya menurunkan MAC dari anestesi inhalasi sampai 40%. Dosis
lidokain berulang 5% dan 0,5% tetracaine dapat menjadi penyebab dari neurotoksik
(sindroma kauda ekuina) setelah dilakukan infus kontinu melalui kateterbore-kecil pada
anestesi spinal. Hal in terjadi mungkin karena adannya pooling obat di kauda ekuina,
yang sebabkan peningkatan konsentrasi obat dan kerusakan saraf yang permanen.
Penelitian pada hewan menunjukkan neurotoksisitas pada pemberian berulang melalui
intratekal bahwa lidokain = tetracaine > bupivacaine > ropivacaine.
Gejala neurologis transien, yang terdiri dari disestesia, nyeri terbakar, dan nyeri
pada ekstremitas dan bokong pernah dilaporkan setelah dilakukan anestesi spinal dengan
berbagai agent anestesi. Penyebab dari gejala ini dikaitkan dengan adanya iritasi pada
radiks, dan gejala ini biasanya menghilang dalam 1 minggu. Faktor resikonya adalah
penggunaan lidokain, posisi litotomi, obesitas, dan kondisi pasien.
B. Respirasi
Lidokain mendepresi respon hipoksia. Paralisis dari nervus interkostalis dan
nervus phrenicus atau depresi dari pusat respirasi dapat mengakibatkan apneu setelah
pemaparan langsung anestesi lokal. Anestesi lokal merelaksasikan otot polos bronkhus.
Lidokain intravena (1,5mg.kg) terkadang mungkin efektif untuk memblok refleks
bronkokonstriksi saat dilakukan intubasi. Lidokain diberikan sebagai aerosol dapat
sebabkan bronkospasme pada beberapa pasien yang menderita penyakit saluran nafas
reaktif.
C. Kardiovaskular
Umumnya, semua anestesi lokal mendepresi automatisasi miokard (depolarisasi
spontan fase IV) dan menurunkan durasi dari periode refraktori. Kontraktilitas miokard
dan kecepatan konduksi juga terdepresi dalam konsentrasi yang lebih tinggi. Pengaruh ini
menyebabkan perubahan membran otot jantung dan inhibisi sistem saraf autonom.
Semua anestesi lokal, kecuali cocaine, merelaksasikan otot polos, yang sebabkan
vasodilatasi arteriolar. Kombinasi yang terjadi, yaitu bradikardi, blokade jantung, dan
hipotensi dapat mengkulminasi terjadinya henti jantung. Intoksikasi pada jantung mayor
biasanya membutuhkan konsentrasi tiga kali lipat dari konsentrasi yang dapat sebabkan
kejang. Injeksi intravaskular bupivicaine yang tidak disengaja selama anestesi regional
mengakibatkan reaksi kardiotoksik yang berat, termasuk hipotensi, blok atrioventrikular,

14
irama idioventrikular, dan aritmia yang dapat mengancam nyawa seperti takikardi
ventrikular dan fibrilasi. Kehamilan, hipoksemia, dan adisosis respiratorik merupakan
faktor predisposisi.
D. Imunologi
Reaksi hipersensitivitas murni terhadap agent anestesi lokal yang bukan
intoksikasi sistemik karena konsentrasi plasma yang berlebihan merupakan hal yang
jarang. Ester memiliki kecenderungan menginduksi reaksi alergi karena adanya derivat
ester yaitu asam p-aminobenzoic, yang merupakan suatu alergen. Sediaan komersial
multidosis dari amida biasanya mengandung methylparaben, yang memiliki struktur
kimia mirip dengan PABA. Bahan tambahan ini yang bertanggung jawab terhadap
sebagian besar reaksi alergi. Anestesi lokal dapat membantu mengurangi respon inflamasi
karena pembedahan dengan cara menghambat pengaruh asam lysophosphatidic dalam
mengaktivasi neutrofil.

E. Muskuloskeletal
Saat diinjeksikan langsung ke dalam otot skeletal (trigger-point injeksi), anestesi
lokal adalah miotoksik (bupivacaine > lidocaine > procaine). Secara histologi,
hiperkontraksi miofibril menyebabkan degenarasi litik, edema, dan nekrosis. Regenerasi
biasanya timbul setelah 3-4 minggu. Steroid tambahan atau injeksi epinefrin
memperburuk nekrosis otot. Data penelitian hewan menunjukkan bahwa ropivacaine
menghasilkan kerusakan otot yang tidak terlalu berat dibanding bupivacaine.

F. Hematologi
Telah dibuktikan bahwa lidokain menurunkan koagulasi (mencegah trombosis dan
menurunkan agregasi platelet) dan meningkatkan fibrinolisis dalam darah yang diukur
dengan thromboelastography. Pengaruh ini mungkin berhubungan dengan penurunan
efikasi autolog epidural setelah pemberian anestesi lokal dan insidensi terjadinya emboli
yang lebih rendah pada pasien yang mendapatkan anestesi epidural.

B.
Anestesi Spinal
Anetsesi spinal merupakan tindakan pemberian anestesi regional ke dalam ruang
subarakhnoid. Hal-hal yang memengaruhi anestesi spinal antara lain jenis obat, dosis obat yang
15
digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intra abdomen, lengkung
tulang belakang, usia pasien, obesitas, kehamilan, dan penyebaran obat.
Anestesi spinal adalah injeksi obat anestesi lokal ke dalam ruang intratekal yang
menghasilkan analgesia. Pemberian obat lokal anestesi ke dalam ruang intratekal atau ruang
subaraknoid di regio lumbal antara vertebra L2-3, L3-4, L4-5, untuk menghasilkan onset anestesi
yang cepat dengan derajat kesuksesan yang tinggi. Walaupun teknik ini sederhana, dengan
adanya pengetahuan anatomi, efek fisiologi dari anestesi spinal dan faktor-faktor yang
memengaruhi distribusi anestesi lokal di ruang intratekal serta komplikasi anestesi spinal akan
mengoptimalkan keberhasilan terjadinya blok anestesi spinal.2,4
Anestesi spinal biasanya dilakukan pada tindakan operasi pada ekstremitas bawah, daerah
panggul, perineum, dan perut bagian bawah, urologi, serta pada operasi section caesarea.8

Kontra Indikasi Anestesi Spinal


a. Absolut: pasien menolak, infeksi di daerah penusukan, koagulopati, hipovolemi berat,
peningkatan tekanan intrakranial (TIK), stenosis aorta berat dan stenosis mitral berat.
b. Relatif: pasien tidak kooperatif, sepsis, kelainan neuropati seperti penyakit
demielinisasi sistem saraf pusat, lesi pada katup jantung, kelainan bentuk anatomi
spinal yang berat.

Anatomi Kolumna Vertebra


Vertebra lumbalis merupakan vertebra yang paling penting dalam anestesi spinal karena
sebagian besar penusukan pada spinal anestesi dilakukan pada daerah ini. Lapisan yang harus
ditembus untuk mencapai ruang subaraknoid dari luar yaitu kulit, subkutis, ligamentum
supraspinosum, ligamentum flavum, dan duramater. Araknoid terletak antara duramater dan
piamater serta mengikuti otak sampai medula spinalis dan melekat pada duramater. Antara
araknoid dan piamater terdapat ruang yang disebut ruang subaraknoid.
Duramater dan araknoid berakhir sebagai tabung pada vertebral sakral 2, sehingga di
bawah batas tersebut tidak terdapat cairan serebrospinal. Ruang subaraknoid merupakan suatu
rongga yag terletak sepanjang tulang belakang berisi cairan otak, jaringan lemak, pembuluh
darah, dan serabut saraf spinal yang berasal dari medula spinalis. Pada orang dewasa medula
spinalis berakhir pada sisi bawah vertebra lumbal.2,4

Teknik Anestesi Spinal


Posisi duduk atau posisi lateral decubitus dengan tusukan pada garus tengah ialah posisi
yang paling sering dikerjakan. Biasanya dikerjakan di atas meja operasi tanpa dipindahkan lagi

16
dan hanya diperlukan sedikit perubahan posisi pasien. Perubahan posisi berlebihan dalam 30
menit pertama akan menyebabkan menyebarnya obat.
1. Setelah dimonitor, tidurkan pasien dalam posisi lateral decubitus atau duduk dan buat
pasien membungkuk maksimal agar processus spinosus mudah teraba.
2. Perpotongan antara garis yang menghubungkan kedua krista iliaka dengan tulang
punggung ialah L4, tentukan tempat tusukan misalnya L2-3, L3-4, L4-5. Tusukan
pada L1-2 atau atasnya berisiko trauma terhadap medula spinalis.
3. Sterilkan tempat tusukan dengan betadine dan alkohol, beri anestetik lokal pada
tempat tusukan misalnya bupivacaine 0,5%
4. Cara tusukan adalah median atau paramedian. Untuk jarum spinal yang kecil 27G
atau 29G dianjurkan menggunakan penuntun jarum (introducer) yaitu jarum suntik
biasa. Jarum akan menembus kutis, subkutis, ligamentum supraspinosum,
ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, ruang epidural, duramater, dan ruang
subaraknoid. Setelah mandrin jarum spinal dicabut, cairan serebrospinal akan menetes
keluar. Selanjutnya disuntikkan larutan obat analgetik lokal ke dalam ruang
subaraknoid tersebut. Biasanya digunakan 2-3 ml analgetik lokal tergantung dari
kebutuhan pasien. Analgetik lokal yang biasa digunakan adalah Heavy Bupivacaine
0,5% dan sering ditambahkan Fentanyl 15-25 mcg untuk meningkatkan kualitas
pembiusan.

Efek Samping atau Komplikasi Anestesi Spinal


a. Penurunan tekanan darah (mual, muntah sering menjadi pertanda pertama)
b. Retensi urin
c. Sakit kepala pascaspinal

Keuntungan Anestesi Spinal


a. Obat anestesi lokal lebih sedikit
b. Onset lebih singkat
c. Level anestesi lebih pasti
d. Teknik lebih mudah
C.
Mioma Uteri9
Mioma uteri adalah tumor jinak otot polos yang terdiri dari sel-sel jaringan otot polos,
jaringan pengikat fibroid dan kolagen. Beberapa istilah untuk mioma uteri antara lain
fibromioma, miofibroma, leiomiofibroma, fibroleiomioma, fibroma, dan fibroid. Mioma uteri
merupakan tumor pelvis yang terbanyak pada organ reproduksi wanita. Kejadian mioma uteri
sebesar 20-40% pada wanita yang berusia lebih dari 35 tahun.

17
Etiologi
Mioma uteri yang berasal dari sel otot polos miometrium, menurut teori onkogenik maka
patogenesa mioma uteri dibagi menjadi 2 faktor, yaitu inisiator dan promotor. Faktor-faktor yang
menginisiasi pertumbuhan mioma uteri masih belum diketahui dengan pasti. Dari penelitian,
diketahui bahwa mioma berasal dari jaringan yang uniseluler. Transformasi neoplastik dari
miometrium menjadi mioma melibatkan mutasi somatik dari miometrium normal dan interaksi
kompleks dari hormon steroid seks dan growth factor lokal. mutasi somatik ini merupakan
peristiwa awal dalam proses pertumbuhan tumor.
Tidak didapat bukti bahwa hormon estrogen berperan sebagai penyebab mioma, namun
diketahui estrogen berpengaruh dalam pertumbuhan mioma. Hormon progesteron meningkatkan
aktifitas mitotik dari mioma pada wanita muda yang masih belum diketahui secara jelas
mekanismenya seperti apa. Progesteron dan estrogen juga memungkinkan pembesaran tumor.

Patologi
Mioma uteri umumnya bersifat multipel, berlobus yang tidak teratur maupun berbentuk
sferis. Mioma uteri biasanya berbatas jelas dengan miometrium sekitarnya, sehingga dapat
dilepaskan dengan mudah dari jaringan miometrium di sekitarnya. Pada pemeriksaan
makroskopis dari potongan transversal berwarna lebih pucat dibanding miometrium di
sekelilingnya, halus, berbentuk lingkatan, dan biasanya lebih keras dibanding jaringan sekitar,
dan terdapat pseudocapsule.
Mioma dapat tumbuh di setiap bagian dari dinding uterus. Dibagi menjadi:
1. Mioma intramural, mioma yang terdapat dalam dinding uterus
2. Mioma submukosum, mioma yang terdapat pada sisi dalam dari kavum uteri dan
terletak di bawah endometrium.
3. Mioma subserous, mioma yang terletak di permukaan serosa dari uterus dan mungkin
akan menonkol keluar dari miometrium.
4. Mioma intraligamenter, mioma subserous yang tumbuh ke arah lateral dan meluas di
antara dua lapisan peritoneal dari ligamentum latum.

Gejala Klinis
Gejala yang disebabkan oleh mioma uteri tergantung pada lokasi, ukuran, dan jumlah
mioma. Gejala dan tanda yang paling sering adalah:
1. Perdarahan uterus yang abnormal. Merupakan gejala yang paling sering terjadi dan
paling penting. Wanita dengan mioma uteri mungkin akan mengalami siklus

18
perdarahan haid yang teratur dan tidak teratur. Menorrhagia dan/atau metorrhagia
sering terjadi. Perdarahan abnormal ini dapat menyebabkan anemia defisiensi besi.
2. Nyeri panggul. Nyeri panggul dapat disebabkan oleh degenerasi akibat oklusi
vaskuler, infeksi, torsi dari mioma yang bertangkai maupun akibat kontraksi
miometrium yang disebabkan mioma subserosum.
3. Penekanan. Pada mioma uteri yang besar dapat menimbulkan penekanan terhadap
organ sekitar. Penekanan ini dapat menyebabkan gangguan berkemih, defekasi,
maupun dispareunia. Tumor yang besar juga dapat menekan pembuluh darah vena
pada pelvik sehingga menyebabkan kongesti dan menimbulkan edema pada
ekstremitas posterior.
4. Disfungsi reproduksi. Mioma uteri dapat menyebabkan infertilitas, sumbatan dan
gangguan transportasi gamet dan embrio akibat terjadinya oklusi tuba bilateral,
gangguan kontraksi ritmik uterus, perubahan bentuk kavum uteri yang dapat
menyebabkan disfungsi reproduksi.

Diagnosis
Hampir kebanyakan mioma uteri dapat didiagnosis melalui pemeriksaan bimanual rutin
maupun dari palpasi abdomen bila ukuran mioma yang besar. Diagnosis semakin jelas bila pada
pemeriksaan bimanual diraba permukaan uterus yang berbenjol akibat penonjolan massa maupun
adanya pembesaran uterus.

Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan mioma uteri dibagi atas 2 metode:
1. Terapi hormonal
2. Terapi pembedahan
Terapi pembedahan pada mioma uteri dilakukan terhadapa mioma yang menimbulkan
gejala. Menurut American College of Obstetricians and Gynecologist (ACOG) dan
American Society for Reproductive Medicine (ASRM) indikasi pembedahan pada
pasien dengan mioma uteri adalah:
1. Perdarahan uterus yang tidak respon terhadap terapi konservatif
2. Dugaan akan adanya keganasan
3. Pertumbuhan mioma pada masa menopause
4. Infertilitas karena gangguan pada cavum uteri maupun karena oklusi tuba
5. Nyeri dan penekanan yang sangat mengganggu.
6. Gangguan berkemih maupun obstruksi traktus urinarius
7. Anemia akibat perdarahan
Tindakan pembedahan yang dilakukan adalah miomektomi maupun histerektomi.

19
D.
Histerektomi7,8
Tindakan pembedahan untuk mengangkat uterus dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu
dengan pendekatan abdominal (laparatomi), vaginal, dan pada beberapa kasus secara
laparoskopi. Dibagi menjadi tiga: parsial, total, dan radikal.
Tindakan histerektomi merupakan indikasi apabila pasien mengalami keadaan sebagai
berikut:
1. Adenomyosis
2. Kanker endometrium
3. Kanker serviks
4. Kanker ovarium
5. Endometriosis berat yang tidak membaik dengan pengobatan lain
6. Perdarahan vagina yang lama dan berat yang tidak membaik dengan pengobatan lain
7. Prolapsus uteri
8. Mioma uteri

Risiko Histerektomi
1. Dapat melukai vesica urinaria atau ureter
2. Nyeri ketika berhubungan seksual
3. Menopause jika ovarium ikut diangkat
4. Menurunnya keinginan untuk berhubungan seksual
5. Meningkatnya risiko terkena penyakit jantung jika dilakukan sebelum menopause

20
BAB V
ANALISA KASUS

Seorang pasien wanita datang dengan keluhan keluar darah dari kemaluan sejak 1 bulan
yang lalu. Pasien mengaku darah yang keluar berwarna merah kehitaman disertai adanya
gumpalan. Darah yang keluar cukup banyak hingga dalam sehari pasien mengganti pembalutnya
sebanyak 3-4 kali. Ketika darah beserta gumpalan darah yang keluar cukup banyak pasien
merasakan nyeri di perutnya. Selain itu pasien mengatakan terdapat sakit kepala. Pasien juga
mengatakan perdarahan dari kemaluan juga timbul dari 3 bulan lalu namun hilang timbul.
Selain perdarahan, pasien juga merasakan adanya benjolan di sekitar perut bagian bawah.
Benjolan tersebut dirasakannya kurang lebih sejak 6 bulan yang lalu. Benjolan tersebut dirasakan
semakin membesar oleh pasien. Selain itu pasien mengatakan benjolan teraba keras dan tidak
dapat digerakan. Pasien tidak merasakan nyeri apabila benjolan tersebut ditekan, namun nyeri
perut dirasakannya saat perdarahan yang cukup banyak berlangsung. Tidak terdapat keluhan
demam, mual, muntah dan keputihan.
Saat diperiksa didapatkan kesadaran compos mentis, keadaan umum tampak sakit sedang.
Didapatkan tekanan darah, nafas, suhu dan nadi dalam batas normal . Dari pemeriksaan
didapatkan conjungtiva anemis, dan dari pemeriksaan abdomen teraba benjolan 8cm dengan
konsistensi keras, tidak berbenjol, tidak dapat digerakkan dan tidak terdapat nyeri tekan. Untuk
pemeriksaan fisik lainnya didapatkan hasil dalam batas normal.
Pasien dianjurkan untuk menjalani operasi atas indikasi adanya perdarahan yang tidak
berhenti sejak 1 bulan lalu dan benjolan di perut bagian bawah sejak 6 bulan yang lalu yang
didiagnosis sebagai mioma uteri. Dari anamnesis, pemeriksaan fisik saat pre-operasi dan

21
pemeriksaan penunjang disimpulkan bahwa pasien termasuk dalam ASA 2. Karena didapatkan
nilai hb dan ht yang menurun dari nilai normalnya. Menjelang operasi keadaan umum pasien
normal, tekanan darah, nadi, pernapasan, dan suhu dalam batas normal. Sebelumnya pasien
sudah berpuasa kurang lebih selama 6 jam sebelum operasi.
Operasi dilakukan pada tanggal 23 Juli 2015 pukul 10.10 WIB, sedangkan anestesi
dimulai pukul 10.00 WIB di instalasi bedah sentral RSUD Karawang. Pada pasien dipilih
anestesi regional spinal karena baik digunakan pada operasi dengan durasi waktu yang lama dan
hanya memanipulasi system saraf perifer. Jenis anestesi regional spinal dengan teknik
subarachnoid block yaitu anestesi pada ruang subarachnoid pada region penyuntikkan antara
vertebra lumbal 4-5. Selain itu pasokan O2 2 liter/menit melalui kanul digunakan untuk
mempertahankan oksigenasi peri-operatif pada pasien.
Pada pasien diberikan medikasi dengan Bupivacaine secara intralumbal karena hanya
membutuhkan analgetik pada bagian bawah tubuh saja. Selain itu, bupivacaine dapat
menurunkan tekanan darah, karena adanya blok simpatis oleh obat tersebut. Pada saat awal
pasien diberikan Bupivacaine dengan dosis 20 mg, namun setelah kurang lebih 2-3 menit
setelahnya ketika di tes efek kerja obat pada pasien didapatkan kemungkinan efek obat belum
bekerja. Sehingga ditambahkan 15 mg Bupivacaine kembali pada pasien tersebut. Ada beberapa
kemungkinan yang menyebabkan efek obat belum terlihat, salah satunya mungkin karena
kualitas obat yang digunakan. Selain itu pada pasien kasus ini, Buvipacaine yang digunakan di
kombinasikan dengan penggunaan catapres sebanyak 45 mg. Penambahan catapres (clonidine)
pada kasus ini dimaksudkan untuk memperpanjang durasi dari anestesi spinal, mengingat
Pada jam 12.10 menit pasien merasa gelisah dan mengatakan terasa nyeri, sehingga
diberikan ketorolac 30mg/IV, Tramadol 100mg/drip dari analgetik non opioid dan Fentanyl
50mcg dari golongan analgetik opioid untuk mendapatkan efek analgetik. Hal ini dapat terjadi
mungkin akibat adanya bagian organ yang terdorong atau tersentuh yang tidak terblok oleh obat
anestesi. Selain itu diberikan juga, Sedacum 2 mg dan Ketamin 30mg sehingga diharapkan
terdapat efek sedative pada pasien.
Kebutuhan cairan pada pasien ini dengan BB 40 kg dan lama operasi 2 jam 50 menit dan
perdarahan 400cc. Cairan maintenance : untuk BB 40 kg
10 kg x 4 = 40 cc
10 kg x 2 = 20 cc

22
20 kg x 1 = 20 cc
Total kebutuhan cairan/jam = 80cc/jam
Pengganti kehilangan cairan puasa 6 jam = 80 cc x 6 = 480 cc
Pengganti cairan untuk operasi besar = BB (40kg) x 7 = 280 cc

Penghitungan kebutuhan/ jam perioperatif :


- jam ke-1 = m + o + 1/2p = 80 + 280 + 240 = 600 cc
- jam ke-2 = m + o + 1/4p = 80 + 280 + 120 = 480 cc
- jam ke-3 = m + o + 1/4p = 80 + 280 + 120 = 480 cc
Jadi, untuk maintenance perioperatif selama 2 jam 50 menit dibutuhkan
= 600cc + 480cc + 480cc = 1560cc
Untuk penggantian kehilangan darah sebanyak 400 cc = 400cc x 3 = 1200cc
- Dari perhitungan diatas, didapatkan total cairan pengganti yang dibutuhkan untuk
pasien pada kasus ini adalah sebanyak : 1680cc + 1200cc = 2880 cc
Kebutuhan cairan perioperatif dapat terpenuhi karena estimasi jumlah cairan yang masuk
kurang lebih sebanyak 4kolf Asering atau setara dengan 2000 cc.
Dalam kasus kali ini tidak dilakukan transfusi darah karena estimasi jumlah kehilangan
darah tidak mencapai 20% dari total volume darah pasien. Sehingga penggantian cairan
cukup ditutupi oleh pemberian cairan kristaloid.
Operasi selesai pada pukul 12.40, setelah itu pasien langsung dipindahkan ke recovery
room dengan tekanan darah 102/67 mmHg dan nadi 73 x/menit. Menurut hasil Bromage Score 1
pada jam 14.45 sehingga pasien dapat dipindahkan ke ruang perawatan.

23
BAB VI
KESIMPULAN

Perencanaan anestesi pada pasien Ny. I usia 48 tahun di kasus ini, berdasarkan keadaan
pasien yang cukup stabil serta jenis operasi yang akan dilakukan, makan dipertimbangkan untuk
teknik anestesi anestesi regional spinal karena baik digunakan pada operasi dengan durasi waktu
yang lama dan hanya memanipulasi sistem saraf perifer. Selain itu beberapa kelebihan pada
penggunaan teknik anestesi ini adalah onset kerja obat yang cepat, teknik anestesinya relatif
mudah dilakukan dan penggunaan obat anestesi yang sedikit. Maka berdasarkan beberapa
pertimbangan tersebut dipilih teknik anestesi regional spinal untuk pasien pada kasus ini. Namun
peralatan dan obat-obatan untuk anestesi umum tetap harus dipersiapkan sebelum operasi
dimulai, untuk mengantisipasi apabila ada hal yang tidak terduga apabila kondisi pasien
membutuhkan perlakuan dengan teknik anestesi umum.
Persipan pre operatif juga perlu diperhatikan untuk mempersiapkan pasien menjelang
pelaksanaan operasi, pada kasus ini telah dilakukan sejumlah persiapan pre-op baik dari fisik dan
mental pasien agar pasien dalam keadaan stabil dan siap mejalani proses operasi.
Monitoring perioperatif harus diperhatikan dengan baik keadaan pasien selama operasi
berjalan. Dilihat dari stabilitas tanda vital pasien dan respon pasien yang kesadarannya masih
baik dibawah anestesi spinal. Sehingga keadaan pasien tetap stabil sepanjang operasi dilakukan.
Ketika operasi selesai dan pasien diantarkan keruang pemulihan monitoring masih dilakukan
untuk mengetahui kemajuan kondisi pasien dan mengetahui keadaan pasien setelah efek dari
obat anestesi tersebut hilang.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. Mangku G, Senapathi TGA. Buku Ajar Ilmu Anestesia dan Reanimasi 2009. Jakarta :
Indeks
2. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Local Anesthetics. Clinical Anesthesiology.4 th
edition. New York: Mc Graw Hill Lange Medical Books: 2006, 151-52, 263-75.
3. Santoso, Nazlina. Anestesiologi, Anesthesiology, Anesthesia, Sekilas Tentang Ilmu
Anestesi. Medical article 2013.
4. Latief SA, Suryadi KA, Dachlan MR, Petunjuk Praktis Anestesiologi: Edisi Kedua.
2009.Jakarta: Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI
5. Kannan T, Mendonca C . Regional Anasthesia. Warwick Medical School- Handbook of
Anaesthesia 2006
6. Stoelting RK, Miller RD. Basics of Anesthesia, 5th ed. Philadelphia: Churchill
Livingstone Elsevier; 2007.
7. Mehrkens H, Geiger MP. . Local Anaesthetics. In : Peripheral regional Anaesthesia. 3rd.
ed. Ulm 2005 : 16-9

8. Kleinman W, Mikhail M. Spinal, epidural and caudal blocks. Morgan GE, Mikhail MS,
eds. Clinical Anesthesiology. 4th edition. New York: Mc Graw Hill Lange Medical
Books: 2006, 289-323.

9.

25
26

Anda mungkin juga menyukai