Chapter2
Chapter2
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Umum
Gempa Bumi Sumatera Barat 2009 terjadi dengan kekuatan
7,6 Skala Richter di lepas pantai Sumatera Barat tanggal 30
September 2009. Gempa ini terjadi di lepas pantai Sumatera,
sekitar 50 km barat laut Kota Padang. Gempa menyebabkan
kerusakan parah di beberapa wilayah di Sumatera Barat seperti
Kabupaten Padang Pariaman, Kota Padang, Kabupaten Pesisir
Selatan, Kota Pariaman, Kota Bukittinggi, Kota Padangpanjang,
Kabupaten Agam, Kota Solok, dan Kabupaten Pasaman Barat.
Menurut data Satkorlak PB, sebanyak 1.117 orang tewas akibat
gempa ini yang tersebar di 3 kota & 4 kabupaten di Sumatera
Barat, korban luka berat mencapai 1.214 orang, luka ringan 1.688
orang, korban hilang 1 orang. Sedangkan 135.448 rumah rusak
berat, 65.380 rumah rusak sedang, & 78.604 rumah rusak ringan.
Hasil penelitian Sarwidi(2010) menunjukkan bahwa kebanyakan
bangunan yang hancur dan rusak, dibangun tanpa menerapkan
peraturan yang berlaku.
Berdasarkan pada fakta di atas, penerapan peraturan (code)
merupakan hal yang sangat penting dalam melakukan
perancangan bangunan. Dengan penerapan code ini diharapkan
kerugian yang terjadi akibat bencana dapat ditekan semaksimal
mungkin. Pada kebanyakan code dijelaskan tentang beban desain,
tegangan izin, kualitas material, tipe konstruksi dan beberapa
ketentuan lainnya (Al-Manaseer, Hassoun, 2008). Ketentuan-
ketentuan tersebut diharapkan dapat menjadi acuan dalam
merencanakan struktur yang aman dalam menghadapi bencana,
khususnya bencana gempa bumi.
2. 2. Peraturan Perencanaan
Berikut referensi yang digunakan untuk persyaratan
perencanaan gedung menara parkson ini antara lain :
5
6
2. 5. Basement
Harga tanah yang makin tinggi di kota-kota besar seperti
di Jakarta, mendorong pemilik memanfaatkan semaksimal
mungkin lahannya. Bukan saja bangunan menjadi kian jangkung,
juga makin dirasakan perlunya pembuatan besmen yang lebih
dalam lagi.
Penggunaan struktur penahan tanah (retaining wall)
dengan sheet-piling merupakan sistem yang biasa dijumpai.
Namun sistem itu akan tidak memadai lagi untuk pembuatan
dinding besmen yang lebih dalam. Alternatifnya adalah
menggunakan konstruksi dinding diafragma (diaphragm wall).
2. 6. Dinding Diafragma
Teknik dinding diafragma telah dikembangkan sejak
perang dunia kedua, untuk pembuatan struktur retaining wall
beton bertulang dari muka tanah yang ada dan sebelum
melakukan ekskavasi. Pada dasarnya proses pembuatan dinding
diafragma terdiri dari pembuatan slot (lubang yang memanjang)
dalam tanah yang tetap terbuka dan stabil karena di dalamnya
terisi penuh lumpur bentonit (bentonite slurry). Ke dalam slot
dimasukkan tulangan, kemudian dilakukan pengecoran dengan
sistem tremi mulai dari dasar lubang dan lumpur bentonite secara
bertahap juga terdesak keluar hingga habis. Panjang dari slot
(atau biasanya disebut sebagai panel) umumnya sekitar 5 m.
10
b. Pelaksanaan.
Seperti halnya pekerjaan dinding penahan pada umumnya
maka step pertama adalah melakukan penggalian. Penggalian
dengan mengunakan mesin grab.Lebar galian adalah setebal
dinding diafragma antara 30 60 cm sedangkan panjang galian
adalah sekitar 5 meter. Kedalaman galian disesuaikan dengan
kebutuhan kedalaman basement. Misalnya untuk 2 basement
maka kedalaman minimal adalah 10 meter. Bersamaan dengan
melakukan pengalian ini harus juga dialirkan campuran air +
bentonite secara continue, agar tidak terjadi keruntuhan.Sebelum
rangkaian pembesian dimasukkan ( untuk cor insitu ) atau panel
precast masuk, harus dicek dulu dengan ultrasonic sonding untuk
diketahui adanya keruntuhan atau tidak.Sistem pengalian
dilakukan secara selang-seling. (misalnya galian diberi nomor
1,2, 3 dst maka pengalian pertama adalah nomor 1, pengalian
kedua adalah nomor 3 dst ).Hal ini dilakukan untuk
meminimalkan terjadinya keruntuhan pada dinding galian.
Pekerjaan rangkaian pembesian harus disiapkan secara
simultan dengan penggalian, sehingga saat galian sudah siap
maka rangkaian pembesian juga sudah siap.( Karena galian hanya
boleh dibiarkan maximal 2 x 24 ). Model rangkaian pembesian
adalah double reinforced ( tulangan rangkap ) yang berfungsi
menahan gaya geser dan momen lentur pada diafragma
wall.Rangkaian pembesian ini pada sisi-sisi tebalnya diberi end
plate yang berfungsi untuk penyambung antar diafragma wall.
Setelah pengecekan dengan ultrasonic dilakukan dan
menunjukan tidak ada keruntuhan pada dinding galian maka
melangkah pada tahap berikutnya yaitu :
Untuk Cor In Situ.
- Memasukkan rangkaian pembesian.Rangkaian pembesian
pada sisi yang nantinya menjadi dinding dalam basement
dipasang juga terpal supaya tampilan diafragma wallnya bisa
bagus/rata.
- Melakukan pengecoran dengan concrete pump sampai selesai.
15
Es
Soil ksi kg/cm2
Clay
Very soft 0.05-0.4 3-30
Soft 0.2-0.6 20-40
Medium 0.6-1.2 45-90
Hard 1-3 70-200
Sandy 4-6 300-425
Glacial fill 1.5-22 100-1,600
Loess 2-8 150-600
19
Sand
Silty 1-3 50-200
Loose 1.5-3.5 100-250
Dense 7-12 500-1,000
Sand and gravel
Dense 14-28 800-2,000
Loose 7-20 500-1,400
Shales 20-2,000 1,400-14,000
Silt 0.3-3 20-200
Ko = 1 - Sin (2.4)
(Jacky, 1994)
Untuk tanah lempung terkonsolidasi normal:
Ko = 0,95 - Sin (2.5)
(Brokera, 1965)
c = kohesi tanah
= sudut geser tanah
2. 7. Pondasi
Pondasi berfungsi untuk meneruskan beban konstruksi ke
lapisan tanah yang berada di bawah pondasi tersebut. Suatu
perencanaan pondasi dikatakan benar apabila daya dukung
pondasi tersebut lebih besar daripada beban yang ada di atasnya.
Apabila beban yang dipikul lebih besar maka akan menyebabkan
kerusakan konstruksi yang ada di atas pondasi.
23