Anda di halaman 1dari 20

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Umum
Gempa Bumi Sumatera Barat 2009 terjadi dengan kekuatan
7,6 Skala Richter di lepas pantai Sumatera Barat tanggal 30
September 2009. Gempa ini terjadi di lepas pantai Sumatera,
sekitar 50 km barat laut Kota Padang. Gempa menyebabkan
kerusakan parah di beberapa wilayah di Sumatera Barat seperti
Kabupaten Padang Pariaman, Kota Padang, Kabupaten Pesisir
Selatan, Kota Pariaman, Kota Bukittinggi, Kota Padangpanjang,
Kabupaten Agam, Kota Solok, dan Kabupaten Pasaman Barat.
Menurut data Satkorlak PB, sebanyak 1.117 orang tewas akibat
gempa ini yang tersebar di 3 kota & 4 kabupaten di Sumatera
Barat, korban luka berat mencapai 1.214 orang, luka ringan 1.688
orang, korban hilang 1 orang. Sedangkan 135.448 rumah rusak
berat, 65.380 rumah rusak sedang, & 78.604 rumah rusak ringan.
Hasil penelitian Sarwidi(2010) menunjukkan bahwa kebanyakan
bangunan yang hancur dan rusak, dibangun tanpa menerapkan
peraturan yang berlaku.
Berdasarkan pada fakta di atas, penerapan peraturan (code)
merupakan hal yang sangat penting dalam melakukan
perancangan bangunan. Dengan penerapan code ini diharapkan
kerugian yang terjadi akibat bencana dapat ditekan semaksimal
mungkin. Pada kebanyakan code dijelaskan tentang beban desain,
tegangan izin, kualitas material, tipe konstruksi dan beberapa
ketentuan lainnya (Al-Manaseer, Hassoun, 2008). Ketentuan-
ketentuan tersebut diharapkan dapat menjadi acuan dalam
merencanakan struktur yang aman dalam menghadapi bencana,
khususnya bencana gempa bumi.

2. 2. Peraturan Perencanaan
Berikut referensi yang digunakan untuk persyaratan
perencanaan gedung menara parkson ini antara lain :

5
6

1. SNI 2847-2013 Persyaratan Beton Struktural Untuk


Bangunan Gedung
2. SNI 1726-2012 Tata Cara Perencanaan Ketahanan
Gempa Untuk Struktur Bangunan Gedung dan Non
Gedung
3. Perencanaan Pembebanan Untuk Rumah dan Gedung
(PPIUG) 1987

2. 3. Jenis - Jenis Sistem Struktur


Sistem struktur utama yang tercantum dalam SNI 03-1726-
2002 Tabel 3 antara lain sebagai berikut ini:

2.3.1. Sistem dinding penumpu


Pada sistem dinding penumpu (bearing wall system) baik
beban gravitasi maupun beban lateral didukung oleh dinding.
Dinding penumpu mendukung hampir semua beban gravitasi.
Beban lateral juga dipikul oleh dinding sebagai dinding geser.

2.3.2. Sistem Rangka Gedung


Sistem struktur yang pada dasarnya memiliki rangka ruang
pemikul beban gravitasi secara lengkap. Beban lateral dipikul
oleh dinding geser. Sistem rangka gedung umumnya diharapkan
digunakan pada daerah dengan wilayah gempa sedang sampai
tinggi. Pada sistem rangka gedung, kolom dianggap tidak
memikul beban lateral. Walaupun demikian, karena dinding geser
dan portal-portal merupakan satu kesatuan sistem struktur yang
mendukung beban secara bersama-sama, maka struktur akan
megalami perpindahan secara bersama-sama. Untuk itu
perpindahan pada portal-portal harus kompatible dengan
perpindahan dinding gesernya, sehingga portal-portalnya tidak
mengalami keruntuhan pada pembebanan gempa besar.

2.3.3. Sistem Rangka Pemikul Momen


Sistem struktur yang pada dasarnya memiliki rangka ruang
pemikul beban gravitasi secara lengkap. Beban lateral dipikul
7

oleh rangka pemikul momen terutama melalui mekanisme


lentur.

2.3.4. Sistem Ganda (Dual System)


Sistem ganda adalah suatu sistem struktur kombinasi
dinding geser dan rangka pemikul momen. Dalam hal ini :
1. rangka ruang yang memikul seluruh beban gravitasi;
2. pemikul beban lateral berupa dinding geser dengan rangka
pemikul momen;
3. kedua sistem harus direncanakan untuk memikul secara
bersamasama seluruh beban lateral dengan
memperhatikan interaksi/sistem ganda.
4. Rangka pemikul momen harus direncanakan secara terpisah
mampu memikul sekurang-kurangnya 25% dari seluruh beban
lateral.Selain itu disyaratkan juga bahwa sistem rangka
beton direncanakan dengan SRPMM.
Model struktur inilah yang digunakan pada perhitungan
struktur pada tugas akhir ini.

2.3.5. Sistem struktur gedung kolom kantilever:


Sistem struktur yang memanfaatkan kolom kantilever
untuk memikul beban lateral.

2.3.6. Sistem interaksi dinding geser dengan rangka

2.3.7. Subsistem tunggal


Subsistem struktur bidang yang membentuk struktur
gedung secara keseluruhan.

2. 4. Dinding Geser (Shear Wall)


Dinding struktural pada bangunan berbentuk rangka (frame
building) harus dirancang sedemikian rupa sehingga memiliki
kekakuan yang memadai yang diperlukan untuk mengurangi
simpangan antar lantai yang disebabkan oleh gempa. Dinding
seperti itu disebut dinding geser. Fungsi lainnya adalah untuk
8

mengurangi kemungkinan kehancuran komponen nonstruktural


yang ada pada gedung pada umumnya. (Nawy, 2005: 741)

Gambar 2.1. Interaksi Yang Terjadi Pada Sistem Rangka


Dan Dinding Geser Saat Menerima Beban Lateral

Gedung yang diperkaku dengan dinding geser dianggap


lebih efektif daripada gedung dengan rangka kaku, dengan
mempertimbangkan pembatasan kehancuran, keamanan secara
keseluruhan dan keandalan struktur. Hal ini berdasarkan fakta
bahwa dinding geser dianggap lebih kaku daripada elemen rangka
biasa sehingga dapat menahan beban lateral yang lebih besar
akibat gempa, dan di saat yang bersamaan dapat membatasi
simpangan antar lantai. (Nawy, 2005)
Lantai yang berlaku sebagai diafragma horizontal
meneruskan beban lateral secara merata ke dinding geser.
Dianggap bahwa lantai cukup tebal dan tidak mempunyai bukaan
besar, dengan kata lain lantai-lantai sangat kaku dan tidak
berubah bentuk. Penyebaran gaya lateral ke dinding geser adalah
fungsi dari susunan geometrisnya. Apabila resulltan dari gaya
lateral melalui titik berat dari kekakuan relatif bangunan, maka
yang dihasilkan hanyalah reaksi translasi. (Schueller, 1991: 110)
Salah satu hal pokok yang harus dipertimbangkan dalam
perencanaan dinding geser pada Sistem Ganda adalah
penempatan dinding geser. Dalam sistem gedung tinggi yang
bentuknya tidak beraturan, seringkali terjadi eksentrisitas yang
9

berlebihan. Eksentrisitas pada gedung terjadi karena tidak


berimpitnya pusat massa dan pusat kekakuan gedung.
Eksenstrisitas yang besar dapat menyebabkan rotasi pada gedung.
Untuk itu, dinding geser harus ditempatkan sedemikian rupa
untuk membatasai eksentrisitas itu, atau dengan kata lain agar
didapatkan eksentrisitas sekecil mungkin. Selain itu, yang harus
menjadi pertimbangan adalah bentuk denah gedung dan tata guna
lantai, di mana dinding geser yang menerus umumnya diletakkan
di dekat tangga atau lift untuk menghindari terganggunya
sirkulasi ruang dan menjaga kenyamanan pengguna gedung.

2. 5. Basement
Harga tanah yang makin tinggi di kota-kota besar seperti
di Jakarta, mendorong pemilik memanfaatkan semaksimal
mungkin lahannya. Bukan saja bangunan menjadi kian jangkung,
juga makin dirasakan perlunya pembuatan besmen yang lebih
dalam lagi.
Penggunaan struktur penahan tanah (retaining wall)
dengan sheet-piling merupakan sistem yang biasa dijumpai.
Namun sistem itu akan tidak memadai lagi untuk pembuatan
dinding besmen yang lebih dalam. Alternatifnya adalah
menggunakan konstruksi dinding diafragma (diaphragm wall).

2. 6. Dinding Diafragma
Teknik dinding diafragma telah dikembangkan sejak
perang dunia kedua, untuk pembuatan struktur retaining wall
beton bertulang dari muka tanah yang ada dan sebelum
melakukan ekskavasi. Pada dasarnya proses pembuatan dinding
diafragma terdiri dari pembuatan slot (lubang yang memanjang)
dalam tanah yang tetap terbuka dan stabil karena di dalamnya
terisi penuh lumpur bentonit (bentonite slurry). Ke dalam slot
dimasukkan tulangan, kemudian dilakukan pengecoran dengan
sistem tremi mulai dari dasar lubang dan lumpur bentonite secara
bertahap juga terdesak keluar hingga habis. Panjang dari slot
(atau biasanya disebut sebagai panel) umumnya sekitar 5 m.
10

Dengan cara konstruksi panel-panel demikian, terbentuk suatu


dinding yang kontinyu.
Mula-mula membuat dinding pengarah (guide walls)
yang merupakan dua balok paralel yang dipisahkan pada jarak
lebih lebar daripada lebar dinding diafragma yang akan dibangun
dan dicor secara akurat di lokasi dinding. Bagian atasnya
biasanya dekat dengan permukaan tanah asli dengan kedalaman 1
m dan lebar 0,6 m. fungsi utamanya adalah untuk mengarahkan
peralatan ekskavasi (excavation grab) sehingga menghasilkan
panel yang vertikal dan tepat posisinya.
Dalam kondisi normal, penggalian menggunakan
clamshell atau grab yang bisa dipasang kelly bar atau digantung
dengan kabel. Grab yang dioperasikan oleh kabel telah banyak
digunakan di Hongkong, karena grab tipe itu bisa melakukan
aktifitas pemotongan secara cepat untuk mengatasi bolder atau
hambatan. Penggalian juga bisa dilakukan dengan hydrofraise
Hydromill drilling machine, yang bisa digunakan pada berbagai
kondisi tanah, dari mulai tanah kohesif (lanau, pasir, gravel, dan
batuan hingga 10 cm) sampai hard-rock. Tipe alat penggali ini
cocok dipakai di daerah padat perkotaan karena menimbulkan
vibrasi yang kecil dan ketelitian arah vertikal yang prima.
Dinding diafragma biasanya didesain sebagai struktur
balok atau slab yang ditopang oleh struts dan dinding atau slab
lantai selama ekskavasi. Dalam banyak kasus, penyediaan sistem
penguat (shoring system) untuk dinding diafragma memiliki porsi
biaya yang cukup signifikan.
Di suatu daerah yang memungkinkan adanya fleksibilitas
dalam layout dinding diafragma, maka biaya sistem perkuatan
dan kepadatan baja tulangan bisa dikurangi dengan membuat
bentuk lingkaran. Dengan bentuk demikian, panel-panel dinding
diafragma bisa dipandang berperilaku sebagai segmen-segmen
dalam struktur busur dan dengan demikian secara efektif saling
mendukung.
11

Di samping dalam bentuk cor setempat, struktur dinding


diafragma juga bisa dibuat secara precast. Sistem precast tersebut
telah banyak digunakan di seluruh dunia sebagai metode alternatif
sistem cor setempat dengan sistem precast, memungkinkan dibuat
di dinding yang lebih baik permukaannya, sehingga tidak
diperlukan treatment yang khusus dan bisa merupakan dinding
yang selesai. Panel-panel dinding bisa dalam bentuk beton
pracetak bertulang biasa atau pratekan.
Tentang seberapa jauh sistem dinding diafragma lebih
ekonomis dibanding menggunakan sistem konvesional, menurut
Chiffoleau, untuk kedalaman lebih dari 10 m atau di atas 3 lantai
besmen sistem dinding diafragma mulai lebih ekonomis, dan
bahkan merupakan solusi satu-satunya. Khususnya kalau muka
air tanah cukup tinggi, karena konstruksi tersebut bisa menahan
rembesan (seepage) secara efektif. Konstruksi dinding diafragma
berfungsi ganda, di samping sebagai retaining wall, juga
merupakan dinding besmen yang permanen. Sementara sheet pile
tidak bisa berfungsi sebagai dinding permanen, di samping
mengurangi luas areal yang ada, karena dinding basemen harus
dibuat di sebelah sheet pile, soldier pile, dan lain-lain.

Gambar 2.2. Skema ekskavasi konstruksi dinding diafragma


12

Kelemahan sheet pile adalah kurang memiliki kekauan


arah lateral sehingga perlu diperkuat dengan ground anchor, di
samping itu sheet pile tidak bisa dimanfaatkan sebagai dinding.
Sheet pile malah mengurangi space yang ada, apalagi kalau ada
yang melengkung ketika dipancang. Selain itu untuk konstruksi
kedap air dinding diafragma juga lebih baik. Kendalanya adalah
penggunaan bentonite slurry nya, yang jika harus diimpor tentu
akan sangat mahal, tapi kalau bisa digunakan produk dalam
negeri akan lebih ekonomis. Karena lumpur bentonite dalam
negeri terbukti sudah banyak dipakai pada pengeboran minyak di
Indonesia.

2.6.1. Metoda pelaksanaan Diafragma Wall


a. Persiapan.
Persiapan diperlukan agar pada pelaksanaan utama
diafragma wall dapat berjalan dengan baik dan lancar sehingga
waktu penyelesaian pekerjaan dapat sesuai jadwal dengan kualitas
yang baik. Beberapa hal berikut adalah yang menyangkut
kegiatan persiapan :
- Melakukan marking area yang akan dikerjakan diafragma
wall.
Jika pada proses marking sudah benar dan mendapat
persetujuan pihak yang terkait pada proyek tersebut, maka
dilanjutkan dengan membuat guide line, yaitu mengali pada area
marking dengan kedalam sekitar 100 cm dan memberikan
perkuatan dengan beton mutu rendah ( K125) dengan tebal 20
30 cm. Guide line ini diperlukan agar alat pengali ( yaitu mesin
Grab ) dapat mudah mengikuti alur galian yang ditentukan .
- Menentukan tempat pembuatan pembesian jika diafragma wall
dilakukan metoda cor in situ, atau menentukan tempat
perletakan untuk pemakaian precast sistem.
- Menentukan tempat pencampuran antara air dan bentonite.
Campuran ini akan dialirkan pada galian diafragma wall untuk
menghindari terjadinya keruntuhan galian.
13

Karena pekerjaan diaframa wall ini biasanya diikuti


dengan pondasi yang memakai bor pile maka harus ditentukan
juga urutan kerja antara pekerjaan diafragma wall dan bor pile
agar selalu simultan.
Peralatan terkait harus sudah tersedia dilapangan. Alat
tersebut seperti :
- Mobil Crane minimal 2 buah ( 1 untuk pengalian diafragma
wall dan 1 untuk bor pile ),
- Mesin Grab,
- Mesin Bor ,
- Casing bor pile,
- pompa air untuk sirkulasi campuran bentonite ,
- ultra sonic sonding dan peralatan lain yang terkait pekerjaan
pembesian.

Gambar 2.3. Mesin Grab


14

b. Pelaksanaan.
Seperti halnya pekerjaan dinding penahan pada umumnya
maka step pertama adalah melakukan penggalian. Penggalian
dengan mengunakan mesin grab.Lebar galian adalah setebal
dinding diafragma antara 30 60 cm sedangkan panjang galian
adalah sekitar 5 meter. Kedalaman galian disesuaikan dengan
kebutuhan kedalaman basement. Misalnya untuk 2 basement
maka kedalaman minimal adalah 10 meter. Bersamaan dengan
melakukan pengalian ini harus juga dialirkan campuran air +
bentonite secara continue, agar tidak terjadi keruntuhan.Sebelum
rangkaian pembesian dimasukkan ( untuk cor insitu ) atau panel
precast masuk, harus dicek dulu dengan ultrasonic sonding untuk
diketahui adanya keruntuhan atau tidak.Sistem pengalian
dilakukan secara selang-seling. (misalnya galian diberi nomor
1,2, 3 dst maka pengalian pertama adalah nomor 1, pengalian
kedua adalah nomor 3 dst ).Hal ini dilakukan untuk
meminimalkan terjadinya keruntuhan pada dinding galian.
Pekerjaan rangkaian pembesian harus disiapkan secara
simultan dengan penggalian, sehingga saat galian sudah siap
maka rangkaian pembesian juga sudah siap.( Karena galian hanya
boleh dibiarkan maximal 2 x 24 ). Model rangkaian pembesian
adalah double reinforced ( tulangan rangkap ) yang berfungsi
menahan gaya geser dan momen lentur pada diafragma
wall.Rangkaian pembesian ini pada sisi-sisi tebalnya diberi end
plate yang berfungsi untuk penyambung antar diafragma wall.
Setelah pengecekan dengan ultrasonic dilakukan dan
menunjukan tidak ada keruntuhan pada dinding galian maka
melangkah pada tahap berikutnya yaitu :
Untuk Cor In Situ.
- Memasukkan rangkaian pembesian.Rangkaian pembesian
pada sisi yang nantinya menjadi dinding dalam basement
dipasang juga terpal supaya tampilan diafragma wallnya bisa
bagus/rata.
- Melakukan pengecoran dengan concrete pump sampai selesai.
15

Untuk pemakaian dengan sistem precast maka setelah


galian siap langsung memasukan panel Precast diaphragm wall.

Gambar 2.4. Tahapan Pelaksanaan Dinding Diafragma

Keuntungan mengunakan diafragma wall.


- Biasanya pada lokasi bangunan yang sangat padat (
pemukiman atau gedung lainnya ), kendala untuk membuat
basement adalah pada pekerjaan galiannya.Dengan diafragma
wall ini maka hal ini dapat diatasi, karena metoda penggalian
dengan mesin grab ini tidak akan terlalu menggangu terhadap
lingkungan sekitar ( dari kebisingan, kerawanan longsor, MAT
yang turun, dll ).
- Memungkinkan tercapainya penyelesaian yang lebih cepat
dibandingkan dengan metoda konvesional karena dapat
diterapkan sistem top-down construction, yaitu pekerjaan
struktur ke atas dan ke bawah bisa dilaksanakan secara
bersamaan.
- Tingkat untuk basement bisa lebih banyak, karena dengan
diafragma wall ini kedalaman galian bisa lebih dalam
dibandingkan dengan dinding penahan tanah konvensional.
16

Kekurangan jika mengunakan diafragma wall.


- Biaya konstruksi relative lebih mahal dibandingkan metoda
konvensional.
- Untuk diafragma wall dengan metoda cor in situ, jika
pekerjaan galian tidak hati-hati rawan terjadi ketidak rataan
permukaan dinding sisi dalam.
- Masih diperlukan pekerjaan injection grouting pada
sambungan untuk mengatasi kebocoran ( sistem cor in situ
maupun precast ).
- Tidak bisa diterapkan untuk pekerjaan dinding penahan tanah
pada tepi tebing.
- Diperlukan tim lapangan yang handal, untuk menjaga simultan
dengan pekerjaan pondasi bore pile dan pemasangan king post
serta strutting sebagai penahan diaphragm wall ini saat
dilakukan pengalian tanah untuk sisi dalam ( yang dipakai
untuk basement).

2.6.2. Parameter Tanah


Parameter tanah dapat ditentukan dari hasil analisa SPT
dengan menggunakan tabel korelasi seperti pada tabel 2.1
hingga 2.5 sebagai berikut :

Tabel 2.1. Tabel Korelasi Konsistensi Tanah Untuk Tanah


Dominan Lanau dan Lempung (Mochtar, 2006)
Taksi
Taksiran harga ran Taksiran harga
kekuatan geser harg tahanan connus,
Konsistensi
undrained, Cu a qc (dari sondir)
tanah
SPT,
Kpa Ton Kg/cm2 harga Kg/cm2 kPa
/m2 N
Sangat
0- 0-
Lunak (Very 0-0,125 0-2 0-2,5 0-250
12,5 1,25
soft)
Lunak (soft) 12,5- 1,25 0,125- 2-4 2,25-5 250-
17

25 -2,5 0,25 500


Menengah 2,5- 0,25- 500-
25-50 4-8 5-10
(medium) 5,0 0,50 1000
50- 5- 1000-
Kaku (stiff) 0,5-1.0 8-15 10-20
100 10 2000
Sangat kaku 100- 10- 2000-
1.0-2.0 15-30 20-40
(very stiff) 200 20 4000
Keras (hard) >200 >20 >2 >30 >40 >4000

Tabel 2.2. Tabel Hubungan antara Parameter Tanah untuk


Tanah Pasir (Teng,1962)
Relative Perkir Perkir Perkiraan berat
Kondisi Density aan aan volume jenuh,
Kepadatan (Kepadatan Harga harga sat (ton/m3)
Relatif) Rd NSPT (o)
Very loose
(sangat 0% - 15% 0-4 0 - 28 <1,60
renggang)
Loose
15% - 35% 4 - 10 28 - 30 1,5 - 2
(renggang)
Medium
35% - 65% 10 - 30 30 - 36 1,75 - 2,1
(menengah)
Dense 1,75 -
65% - 85% 30 - 50 36 - 41
(rapat) 2,25
Very dense)
(sangat 85% - 100% >50 41*
rapat)

Tabel 2.3. Tabel Hubungan antara Parameter Tanah untuk


Tanah Lempung (J.E. Bowles, 1984)
Cohesive Soil

N(blows) <4 4-6 6 - 15 16 - 25 >25


(kN/m3) 14-18 16 - 18 16 - 18 16 - 20 >20
qu (kPa) <25 20 - 50 30 - 60 40 - 200 >100
Consistency Very Soft Medium Stiff Hard
Soft
18

Tabel 2.4. Poisson's Ratio (J.E. Bowles, 1974)


Material Poisson Ratio v
Sand :
Dense 0,3 - 0,4
Loose 0,2 - 0,35
Fine (c = 0,4 - 0,7) 0,25
Coarse (c = 0,4 - 0,7) 0,15
Rock (basalt, granite, 0,1 - 0,4
limestone, sandstone, Depending on rock type,
schist, shale) density, and quality
commonly 0,15-0,25
Clay :
Wet 0,1 - 0,3
Sandy 0,2 - 0,35
Silt 0,3 - 0,35
Saturated clay or silt 0,45 - 0,5
Glacial till (wet) 0,2 - 0,4
Loess 0,1 - 0,3
Ice 0,36
Concrete 0,15 - 0,25
Steel 0,28 - 0,31

Tabel 2.5. Modulus Young (J.E. Bowles, 1974)

Es
Soil ksi kg/cm2
Clay
Very soft 0.05-0.4 3-30
Soft 0.2-0.6 20-40
Medium 0.6-1.2 45-90
Hard 1-3 70-200
Sandy 4-6 300-425
Glacial fill 1.5-22 100-1,600
Loess 2-8 150-600
19

Sand
Silty 1-3 50-200
Loose 1.5-3.5 100-250
Dense 7-12 500-1,000
Sand and gravel
Dense 14-28 800-2,000
Loose 7-20 500-1,400
Shales 20-2,000 1,400-14,000
Silt 0.3-3 20-200

2.6.3. Tekanan Vertikal Tanah


v = 1 x h (2.1)
Dimana :
v = tekanan vertikal tanah (t/m2)
1 = berat jenis tanah (t/m3)
h = kedalaman tanah (m)

'v = '1 x h (2.2)


Dimana :
'v = tekanan vertikal tanah jenuh (t/m2)
'1 = berat jenis tanah jenuh (t/m3)
h = kedalaman tanah (m)

2.6.4. Tekanan Lateral Tanah pada Kondisi Diam (at rest)


Jika dinding tidak diizinkan untuk bergerak sama sekali
baik dari massa tanah atau kedalam massa tanah
(ketegangan horizontal =0), tekanan tanah lateral pada
kedalaman z adalah :
h = Ko 'v + u (2.3)
Dimana :
u = tekanan air pori
Ko = koefisien tekanan tanah pada kondisi at rest

Untuk tanah berbutir :


20

Ko = 1 - Sin (2.4)
(Jacky, 1994)
Untuk tanah lempung terkonsolidasi normal:
Ko = 0,95 - Sin (2.5)
(Brokera, 1965)

2.6.5. Tekanan Tanah Aktif dan Pasif


Jika suatu dinding vertikal licin yang membatasi
suatu massa tanah diijinkan bergerak, maka tekanan tanah
horizontal dalam elemen tanah tersebut akan berkurang
secara terus menerus dan akhirnya dicapai suatu
keseimbangan plastis. Kondisi tersebut dinamakan
kondisi aktif menurut Rankine (1857) "Rankine Active
State". Tekanan tanah yang bekerja pada dinding tersebut
dinamakan tekanan aktif a (Adi P, 2007)
a = v x Ka (2.6)
Ka = tan2 (45o-/2) (2.7)
Jika suatu dinding vertikal licin didorong masuk
perlahan ke arah dalam tanah maka h akan bertambah.
Kondisi tersebut dinamakan kondisi pasif menurut
Rankine (1857) "Rankine Passive State". Tekanan tanah
yang bekerja pada dinding tersebut dinamakan tekanan
pasif p (Adi P, 2007)
p = v x Kp (2.8)
2 o
Kp = tan (45 -/2) (2.9)

2.6.6. Tekanan Aktif dan Pasif untuk Tanah Berkohesi


Das (2007) memberikan beberapa referensi untuk
menghitung tekanan tanah aktif dan untuk tanah
berkohesi, yaitu :
a = v tan2 (45o-/2) - 2c (45o-/2) (2.10)
a = v Ka - 2c
Dimana :
v = tekanan vertikal tanah (t/m2)
Ka = kohesi tekanan tanah aktif Rankine
21

c = kohesi tanah
= sudut geser tanah

Sedangkan untuk tekanan tanah pasif untuk tanah


berkohesi berlaku persamaan :
p = v tan2 (45o-/2) - 2c (45o-/2) (2.11)
a = v Kp - 2c
Dimana :
v = tekanan vertikal tanah (t/m2)
Kp = kohesi tekanan tanah pasif Rankine
c = kohesi tanah
= sudut geser tanah

2.6.7. Uplift Pressure


Struktur bangunan bawah tanah dikontrol
kestabilannya terhadap gaya angkat keatas akibat tekanan
tanah. Kontrol uplift pressure dilakukan terutama pada
bagian pelat paling bawah yang menyentuh tanah pada
lapisan terdalam galian struktur bawah tanah (Adi P,
2007)
w = w x Hw (2.12)
Dimana :
w = Tekanan angkat oleh air (t/m3)
w = Berat jenis air (t/m3)
Hw = Ketinggian Air

2.6.8. Analisa Defleksi Pada Diaphragm Wall


Perhitungan momen pada dinding yang digunakan pada
perhitungan defleksi didapat dengan melakukan analisa
dengan program bantu SAP2000 dan diperlukan juga data
koefisien spring yang nilainya berdasarkan jenis tanah
seperti pada tabel 2.6 berikut :
22

Tabel 2.6. Rentang nilai modulus subgrade reaction, Ks


(Bowles, 1994)
Soil Ks (kN/m3)
Loose Sand 4800 - 1000
Medium dense sand 9600 - 80000
Dense Sand 64000 - 128000
Clayed medium dense sand 32000 - 80000
Silty medium dense sand 24000 - 48000
Clayed soil :
qc < 200 Kpa 12000 - 24000
200 < qc < 800 Kpa 24000 - 48000
qc > 200 Kpa >48000

2.6.9. Asumsi Pembebanan Tanah Horizontal


Untuk mencari pendekatan defleksi yang terjadi sehingga
mendekati kondisi asli, digunakan tekanan tanah
horizontal dengan rumus :
hi = 'vi . Koi + ks.x
Dimana :
hi = Tegangan efektif arah horizontal pada tiap kedalaman (t/m2)
vi = Tegangan efektif arah vertikal pada tiap kedalaman (t/m2)
Koi = Koefisien tanah lateral pada kondisi at rest
ks = Konstantan spring yang nilainya berdasarkan pada jenis tanah
(Modulus of soil reaction) (t/m3) pada tabel 2.6
x = Asumsi defleksi arah lateral (m), bernilai positif (+) apabila
dinding mendorong maju menuju arah tanah. Sebaliknya bernilai
negatif (-) apabila dinding menjauhi tanah.

2. 7. Pondasi
Pondasi berfungsi untuk meneruskan beban konstruksi ke
lapisan tanah yang berada di bawah pondasi tersebut. Suatu
perencanaan pondasi dikatakan benar apabila daya dukung
pondasi tersebut lebih besar daripada beban yang ada di atasnya.
Apabila beban yang dipikul lebih besar maka akan menyebabkan
kerusakan konstruksi yang ada di atas pondasi.
23

Apabila pondasi tiang telah dipilih, maka dimensi pondasi


tiang (penampang dan panjang) dihitung berdasarkan besarnya
beban yang harus didukung pondasi dan kondisi tanah dimana
pondasi tersebut dipasang. Setelah itu menghitung besarnya daya
dukung (Qult) pondasi tiang berdasarkan dimensi yang telah
direncanakan. Sejumlah metode yang berbeda digunakan dan
setiap metode tersebut jarang memberikan hasil perhitungan daya
dukung yang sama ( LimaSalle, 1999).
Pada pembangunan gedung menara ini digunakan pondasi
tiang bor (bored pile) dikarenakan metoda pembangunan gedung
menara parkson ini menggunakan basement sedalam 12,1 m,
yang mengakibatkan muka pondasi berada pada kedalaman -12,1
sehingga tidak memungkinkan menggunakan tipe pondasi tiang
pancang sehingga tipe pondasi tiang bor inilah yang paling cocok
untuk struktur pondasinya.
24

"Halaman Ini Sengaja Dikosongkan"

Anda mungkin juga menyukai