Lamb Ung
Lamb Ung
Bab 2
Tinjauan Pustaka
2.1. Lambung
2.1.1. Anatomi
5
Gambar 2.1. Pembagian daerah anatomi lambung.
2.1.2. Histologi
Dinding lambung terdiri dari empat lapisan yaitu lapisan mukosa, sub-mukosa,
muskularis eksterna (propria) dan serosa. Permukaan mukosa dilapisi oleh sel epitel
kolumnar penghasil mukus dan meluas ke sebagian foveolar atau pit. Lapisan
mukosa terbagi atas dua lapisan yaitu lamina propria dan lapisan muskularis mukosa.
Pada lapisan muskularis mukosa, terdapat lapisan otot sirkuler pada bagian dalam
dan lapisan otot longitudinal pada bagian luarnya. Otot-otot ini berkelanjutan
membentuk kelompokan kecil (fascicle) otot polos yang tipis menuju ke bagian
dalam lamina propria hingga ke permukaan epitel. Pada lapisan sub-mukosa,
jaringannya longgar dan mengandung sejumlah jaringan ikat elastik, terdapat pleksus
arteri, vena, pembuluh limfe dan pleksus nervus Meissner. Muskularis eksterna
terdiri dari tiga lapisan yaitu longitudinal luar (outer longitudinal), sirkuler dalam
(inner sirkuler) dan oblik yang paling dalam (innermost oblique). Lapisan sirkuler
sphincter pilorik pada gastroesofageal junction. Pleksus Auerbach (myenteric)
berlokasi pada daerah di antara lapisan sirkular dan longitudinal dari muskularis
eksterna. Semua kelenjar lambung mempunyai dua komponen yaitu bagian foveola
(kripta, pit) dan bagian sekresi (kelenjar). Mukosa lambung secara histologi terbagi
atas 3 jenis yaitu kardiak, fundus dan pilorik (antral), dengan daerah peralihan di
antaranya. Perbedaan berbagai jenis mukosa lambung tergantung pada perbandingan
relatif antara bagian foveolar dengan bagian sekresi, serta komposisinya secara
mikroskopik (Gambar 2.2). Kelenjar kardiak dan pilorik mempunyai kemiripan yaitu
perbandingan antara foveola terhadap kelenjar yang mensekresi mukus adalah satu
berbanding satu. Yang membedakan keduanya adalah jarak antar kelenjar di daerah
kardiak berjauhan, kadang dijumpai lumen kelenjar yang berdilatasi kistik.
Sedangkan kelenjar pada daerah pilorik mempunyai pelapis epitel dengan sitoplasma
sel yang bubly, bervakuola, bergranul dan glassy. Sub-nukleus vakuolisasi sel
mukus kadang-kadang dapat ditemukan, keadaan ini kadang-kadang salah
diinterpretasi sebagai metaplasia. Sedangkan sitoplasma sel pada daerah pilorik yang
glassy dan berkelompok dapat salah diinterpretasi sebagai adenokarsinoma signet
ring cell. Sel bersilia yang kadang-kadang dijumpai pada daerah pilorik, dan lebih
sering dijumpai pada orang Jepang, keadaan ini kadang kala dianggap sebagai suatu
metaplasia. Kelenjar fundik (oxyntic, acidopeptic) ditandai dengan bagian foveolar
hanya dari ketebalan mukosa, kelenjarnya cendrung lebih lurus dan terdiri dari
3,4,5
sebaran sel chief, sel parietal (penghasil asam), sel endokrin dan sel mukosa leher.
Gambar 2.2. Diagram dari empat daerah anatomi dan tiga daerah histologik lambung.
Ketebalan gastrik pit (merah) dan bagian kelenjar berbeda pada berbagai daerah di
lambung. Warna pada kelenjar sesuai dengan warna pada daerah anatomik lambung.
Histologi kelenjar dibedakan atas warna merah muda, hijau, dan biru. Gastrik pit yang
4,10
seragam berwarna merah pada seluruh bagian lambung.
Secara imunohistokimia dan in situ hybridization menunjukkan sel chief dan sel
mukosa leher menghasilkan pepsinogen I (namun pada daerah pilorik menghasilkan
pepsinogen II). Musin yang dihasilkan oleh mukosa lambung hampir semuanya
adalah jenis netral dan positif dengan pewarnaan PAS, namun negatif pada
pewarnaan Alcian blue dan Mayers mucicarmine. Sedangkan sel mukosa leher yang
normal dapat menghasilkan sialomusin dan sulfomusin dalam jumlah yang sedikit.
Pada pemeriksaan imunohistokimia sel epitel foveolar menampilkan MUC1 dan
MUC5AC, sedangkan kelenjar menampilkan MUC6. Bila dihubungkan dengan
antigen Lewis, sel epitel foveolar menampilan rantai antigen Le(a) dan Le (b) tipe I,
sedangkan kelenjar menampilkan rantai antigen Le(x) dan Le(y) tipe II. Pada mukosa
saluran pencernaan terdapat paling sedikit 16 jenis sel endokrin parakrin, dan
sebagian besar terdapat pada lambung. Pada mukosa pilorik, 50% sel endokrin
berupa sel G yang menghasilkan gastrin, 30% mengandung sel enterokromafin (EC)
yang menghasilkan 5-HT (serotonin), dan 15% adalah sel D penghasil somatostatin.
Pada mukosa fundus, sebagian besar sel endokrin terdiri dari sel ECL (EC-like)
sebagai tempat penyimpanan histamin; selain itu juga terdapat sejumlah kecil sel X
(sekresi yang dihasilkan sel ini masih belum diketahui) serta sel enterokromaffin
(EC). Sel ECL diduga berperanan penting di dalam mekanisme sekresi asam lambung
yang berfungsi untuk mengontrol rangsangan gastrin. Aktifitas fungsional dan
2,3,4,5,11,13
proliferasinya sangat dipengaruhi oleh gastrin.
2.2. Gastritis
Insidensi dan riwayat alami gastritis kronik telah diketahui dan tersistematis
dengan jelas menggunakan biopsi jaringan secara endoskopi. Keluhan pada gastritis
kronis tidak begitu hebat, namun keluhannya dapat menetap dalam waktu yang lama.
Keluhan yang timbul berupa mual dan rasa tidak enak pada perut bagian atas, kadang
disertai muntah dan hematemesis. Penyebab gastritis kronik yang paling sering
3,24,26
adalah infeksi Helicobacter pylori. Ada dua gambaran utama penyakit ini yaitu
sebukan sel-sel radang pada lamina dan atrofi epitel kelenjar. Sel-sel plasma dan
limfosit (kadang-kadang dengan pembentukan folikel) merupakan sel yang prominen
dijumpai di antara sel-sel radang tersebut, namun juga dapat dijumpai sel eosinofil
serta neutrofil. Gastritis kronik dapat diklasifikasikan menjadi gastritis kronik
superfisial dan gastritis kronik atrofi. Pada gastritis kronik superfisial, sebukan sel-
sel radang terbatas pada daerah foveolar dan tidak dijumpai atrofi kelenjar. Kelainan
epitel bisa juga dijumpai, berupa penurunan jumlah musin sitoplasma, pembesaran
inti dan nukleoli, kadang-kadang terjadi peningkatan jumlah mitosis. Sedangkan pada
gastritis kronik atrofi, proses peradangannya lebih hebat dan bersamaan dengan atrofi
pada kelenjar. Gastritis fokal ditandai dengan sel-sel radang limfosit dan histiosit
(kadang bercampur dengan sel neutrofil) yang berkelompok dan mengelilingi
sebagian kelenjar, ini diduga merupakan petanda penyakit IBD (inflammatory bowel
disease), namun pada sebagian studi lainnya masih belum terdapat konfirmasi tentang
1,3,4,5,7
hal ini.
Gastritis kronik dapat dibagi atas 2 jenis, yaitu: (1). Tipe-A (tipe imun); dan (2).
Tipe-B (tipe non-imun). Kedua jenis gastritis ini mempunyai kemiripan dalam
gambaran histologi, namun patogenesisnya berbeda. Gastritis tipe-A (tipe imun) ini,
lebih jarang dijumpai. Pada umumnya terdapat di daerah fundus dan meluas difus
hingga ke daerah antrum, ditandai dengan hiperplasia neuroendokrin, berhubungan
dengan antibodi terhadap sel parietal, hipokhlorhidria atau akhlorhidria dan kadar
serum gastrin yang tinggi. Sub-unit dan dari pompa proton lambung
teridentifikasi sebagai target molekular utama penyakit autoimun ini, yang
menimbulkan anemia pernisiosa. Varian dari kelainan ini berupa pan-gastritis atrofi
autoimun, yang dapat mengenai antral dan fundus, namun tidak terdapat hiperplasia
neuroendokrin. Sedangkan gastritis tipe-B (jenis non-imun), lebih sering dijumpai,
proses penyakitnya dimulai dari daerah antrum, dan berkembang kearah proksimal
hingga ke perbatasan fundik-pilorik secara bertahap. Pada beberapa kepustakaan,
gastritis tipe-B (non-imun) dikalsifikasikan menjadi: (1). Gastritis hipersekresi, yang
terbatas pada daerah antrum, yang dihubungkan dengan keadaan hiperkhlorhidria dan
tukak peptik duodenum; dan (2). Gastritis lingkungan (environmental), yang
melibatkan daerah antrum dan fundus yang awalnya berupa lesi bercak-bercak,
7,8,14
kemudian tersebar difus.
Patogenesis gastritis kronik tipe-B adalah kompleks dan beragam. Faktor risiko
terjadinya gastritis tipe ini adalah berhubungan dengan alkohol, tembakau, refluks
duodenum (refluks gastritis), alergi makanan, dan berbagai jenis obat (terutama obat-
obatt anti- inflamasi). Selain berbagai risiko yang multifaktorial ini berperanan dalam
gastritis kronis tipe-B (dan penyakit lambung lainnya, seperti tukak peptik,
karsinoma dan limfoma), yang harus menjadi perhatian juga adalah infeksi H.
1,3,11
pylori.
Helicobacter pylori
Genom H. pylori (1,65 juta pasangan basa) mengkode sekitar 1500 protein. Di
antara semua genom tersebut, ada dua proyek sekuensi gen H. pylori yang telah
ditemukan berupa satu keluarga besar dari 32 protein yang berhubungan dengan
protein membran bagian luar (Hop proteins) yaitu adhesi H. pylori dan berbagai gen
yang dapat men-switched on dan men-switched off dengan mutagenesis yang
diperantarai oleh kesalahan pasangan slippedstrand. Protein yang dikode oleh
beragam fase termasuk enzim yang memodifikasi struktur molekul permukaan
antigen, mengontrol masuknya DNA asing ke dalam bakteri dan peningkatan
pergerakan bakteri. Perubahan genom H. pylori berlangsung terus menerus selama
kolonisasi kronik dari individu host dengan mengirim potongan kecil DNA asing dari
6,8,16
strains H. pylori yang lain selama infeksi menetap maupun sementara.
H. pylori dapat melekat erat pada sel epitel dengan komponen permukaan
bakteri yang multipel. Adhesi yang paling khas adalah BabA, yaitu suatu protein 78-
kD membran luar yang terikat pada antigen kelompok darah Lewis B fucosylated.
Beberapa anggota keluarga protein Hop lainnya juga memperantarai perlekatan pada
sel epitel. Dari berbagai penelitian terhadap binatang percobaan membuktikan bahwa
adhesi terutama BabA yang berhubungan dengan penyakit H. pylori dapat
meningkatkan beratnya keadaan penyakit, walaupun pada sebagian penelitian masih
1,2,16,21
diperdebatkan.
7
Gambar 2.5. Pulau patogenisitas cag.
Pada sebagian strain, pulau tersebut dipisah menjadi dua bagian. Diduga
banyak gen Cag yang terlibat dalam perpindahan sekresi protein CagA ke dalam
sitoplasma sel epitel lambung. Ada lima jenis gen (ditandai dengan warna orange)
yang mirip komponen sistem sekresi tipe-IV dari patogen tumbuhan Agrobacterium
tumefaciens (Vir proteins). Protein yang dikode oleh pulau tersebut terlibat di dalam
dua proses utama, merangsang sel epitel untuk menghasilkan IL-8 dan perpindahan
CagA dari bakteri ke dalam sel host. Seluruh gen (dalam panah besar), berperanan
penting dalam menginduksi IL-8; sedangkan pada panah yang terputus-putus
mengindikasikan gen yang tidak terlibat dalam proses ini. Garis panah yang berwarna
biru mengindikasikan gen yang dibutuhkan untuk translokasi CagA; garis orange
1,3,6,7,8,21
mengindikasikan gen yang tidak penting untuk bertranslokasi.
Respon host terhadap Helicobacter pylori
Biasanya respons Th1 ini, bersamaan dengan apoptosis yang diperantarai Fas
dari klon sel-T H.pylori spesifik, cendrung menyebabkan H pylori menetap. Sebagai
tambahan terhadap kerusakan yang dihubungkan dengan translokasi protein yang
diperantarai cag-PAI, infeksi H.pylori menghasilkan jejas epitel dengan berbagai
mekanisme. Kerusakan sel epitel karena reaksi oksigen atau spesies nitrogen yang
dihasilkan oleh aktifasi neutrofil. Peradangan kronik juga meningkatkan pergantian
dan apoptosis sel epitel, yang merupakan campuran efek kontak yang diperantarai
Fas langsung terhadap epitel dan sel Th1 serta IF-. Kadar tampilan Fas, NF-kB, dan
MAP (mitogenassociated protein kinase), sebaliknya dipengaruhi oleh IL-1b.
Polimorfisme pro-inflammasi dari gen IL-1b cendrung berkembang dari gastritis
terutama pada korpus lambung yang berkaitan dengan hipokhlorhidria, gastrik atrofi,
dan adenokarsinoma lambung. Pada gastritis yang tidak ditemukan polimorfisme pro-
inflamasi perkembangannya lebih cendrung di antrum yang dikaitkan dengan kadar
1,7,8
sekresi asam normal hingga tinggi.
Gastritis Helicobacter pylori yang kronis dapat meluas hingga ke korpus dan
fundus lambung, mukosa mengalami atrofi. Kelompokan limfoid kadang disertai
germinal center (gambar 2.7.C), membentuk jaringan limfoid mukosa (MALT/
1,2,3,4,9
Mucosa-associated lymphoid tissue), yang dapat berubah menjadi limfoma.
Pengidentifikasian Helicobacter pylori
Gambar 2.8. H. pylori yang melekat pada epitel lambung, berupa batang kecil
kehitaman (panah), terdapat pada permukaan epitel dan di dalam lumen kelenjar.
3,5,7
Pada bagian mukosa dijumpai sebukan sel-sel radang.
Secara histologi, bentuk kokoid yang solid, bulat, basofilik, berukuran 0,4-
1,2m. Bentuk ini menyerupai bakteri non-patogen, spora jamur dan cryptosporidia.
Namun densitas Helicobacter pylori ini rendah, sehingga untuk mendeteksinya dapat
dibantu dengan pewarnaan spesial termasuk Giemsa, Warthin-Starry atau Steiner
silver (gambar 2.8.), Alcian yellow-toluidine blue, Wright-Giemsa, Brown-Hopps,
acridine orange, Diff-Quik stains, pewarnaan Genta dan imunohistokimia. Tidak ada
kelebihan antara satu jenis pewarnaan dengan yang lainnya, namun diagnosa yang
4,19,20
pasti dengan menggunakan pewarnaan imunohistokimia. Teknik pemeriksaan
PCR (Polymerase chain reaction) juga dapat dilakukan. Pada salah satu penelitian
pemeriksaan PCR untuk mendeteksi Helicobacter pylori didapatkan sekitar 20%
3,5,6,7,8
terdeteksi pada kasus dengan biopsi lambung yang negatif.
2.2.4. Metaplasia
Perubahan metaplasia mukosa lambung dapat terjadi pada gastritis kronis. Ada
dua jenis metaplasia yaitu metaplasia pilorik pada mukosa fundus dan metaplasia
intestinal. Keadaan ini dapat terjadi secara bersamaan. Pada metaplasia intestinal,
kelenjar mukosa kelenjar lambung jenis fundik digantikan oleh mukosa kelenjar
penghasil mukus. Proses ini berlangsung secara bertahap yang berlanjut sepanjang
perbatasan fundus ke pilorik dan bergerak kea rah proksimal menuju daerah kardia.
Metaplasia intestinal dihubungkan terhadap pergantian mukosa lambung yang
progresif oleh epitel usus baik usus halus maupun usus besar, yang mengandung sel
goblet, sel absorptif (brush border), sel Paneth, dan beragam sel endokrin. Sel yang
bersilia juga mungkin dapat dijumpai. Metaplasia intestinal dapat diklasifikasikan
menjadi jenis komplet (tipe-1) dan tidak komplet (tipe-2). Pada metaplasia yang
komplet, perubahan mukosa lambung menjadi bentuk yang identik terhadap epitel
usus halus, pada kasus yang lebih lanjut bias dijumpai villi dan kripta. Pada
metaplasia yang tidak komplet, tidak dijumpai sel absorptive, namun sel kolumnar
dengan gambaran sel foveolar lambung masih tersisa. Secara histokimia, terdapat
musin yang prominen pada metaplasia intestinal komplet yaitu berupa sialomusin,
dan sedikit sulfomusin atau musin yang netral; sedangkan pada jenis yang tidak
komplet lebih banyak dijumpai musin netral (jenis II-A) atau sulfomusin (jenis II-B).
Pada pemeriksaan imunohistokimia, metaplasia intestinal tipe-1 ditandai dengan jenis
musin usus MUC2, sedangkan MUC1, MUC5AC dan MUC6 sedikit atau tidak ada.
Metaplasia tipe-II, menampilkan MUC2 dan musin normal pada lambung secara
bersamaan. Metaplasia intestinal juga menunjukkan imunoreaktif yang tinggi untuk
mensekresi immunoglobulin dan antigen terhadap sel-T (ThomsenFriedenreich),
yang mengindikasikan musin glikosilasi aberant. Kelenjar dengan metaplasia
intestinal juga imunoreaktif terhadap antigen hepatosit (Hep-Par-1) dan terhadap
guanylyl cyclase C (suatu reseptor selektif yang ditampilkan oleh sel epitel).
Hubungan metaplasia intestinal pada lambung dan H. pylori menarik. Biasanya H.
pylori tidak dijumpai pada fokus metaplasia intestinal tipe-1, namun sering dijumpai
pada fokus tipe-2. Metaplasia intestinal tipe-2B mempunyai hubungan yang kuat
terhadap karsinoma lambung tipe intestinal dibandingkan tipe lainnya, namun hal ini
2,4,21,22,25,26
masih diperdebatkan sampai saat ini.
Gastritis kronik atrofi, merupakan suatu proses peradangan kronik hebat yang
bersamaan dengan atrofi pada kelenjar. Manifestasi atrofi kelenjar ditandai dengan
jarak antara satu kelenjar dengan kelenjar lainnya berjauhan, dan terdapat
peningkatan jumlah jaringan ikat retikulin pada lamin propria. Berdasarkan
perbandingan antara ketebalan bagian kelenjar terhadap seluruh ketebalan mukosa
lambung, gastritis kronik atrofi ini dapat dikategorikan menjadi gastritis atrofi
ringan, sedang dan berat. Gastritis kronik atrofi harus dibedakan terhadap atrofik
gastrik. Atrofi gastrik, merupakan stadium akhir gastritis kronik atrofi. Secara
endoskopi dan makroskopis, gastritis kronik atrofi maupun atrofi gastrik
menunjukkan otot mukosa yang tipis, pembuluh darah sub-mukosa menonjol. Jika
lapisan mukosa menipis tanpa disertai sebukan sel-sel radang, ini menandai suatu
atrofi gastrik. Peningkatan derajat atrofi pada umumnya berhubungan terhadap
dilatasi kistik kelenjar dan metaplasia. Terdapat hubungan yang erat antara tingkat
atrofi gastrik seperti yang diduga pada biopsi endoskopik dan pemeriksaan sekresi
asam. Namun tidak ada hubungan antara penemuan histopatologi terhadap gejala,
gambaran radiologi dan gastroskopi. Gastritis kronik atrofi pada umumnya dapat
dijumpai pada karsinoma lambung, dan pada umumnya keadaan yang berat sesuai
1,3,4,21,24
dengan tingkat perluasan tumor.
2.2.6. Displasia
Displasia lambung dapat dibagi atas tiga jenis: (1). Intestinal (adenomatous,
tipe-1), (2). Gastrik (foveolar, tipe-2); dan (3). Sub-tipe kombinasi (hybrid), yang
mempunyai perbedaan gambaran tampilan musin dan petanda lainnya. Banyak
system yang menunjukkan tingkatan displasia sub-tipe ini, sistem yang paling sering
digunakan adalah yang membaginya dalam dua kategori yaitu low grade dan high
grade. Displasia high grade dapat disinonimkan dengan karsinoma in-situ (CIS) dan
harus dibedakan dari karsinoma intra-mukosa, dimana proses ini telah dijumpai
kerusakan pada basal membran. Konsep yang telah direkomendasikan bersamaan
oleh beberapa kelompok ahli patologi bahwa biopsi lambung dapat dikelompokan
dalam pelaporan menjadi kategori: (1). Negatif untuk displasia; (2). Indefinitr untuk
displasia; (3). Displasia low grade; (4). Displasia high grade atau karsinoma in-situ;
4,7,23
(5). Karsinoma intra mukosa; dan (6). Karsinoma invasif.
Tukak peptik dapat terjadi pada semua tempat di saluran cerna yang terpapar
cairan asam lambung, namun yang paling sering adalah pada daerah antrum lambung
dan bagian pertama dari duodenum. Tukak duodenum paling sering dijumpai pada
pasien sirosis hati, penyakit paru obstruksi kronik, gagal ginjal kronik dan
hiperparatiroid. Pada gagal ginjal kronik dan hiperparatiroid, stress psikologi eksogen
mungkin meningkatkan produksi asam lambung. Tukak peptik juga dapat terjadi
pada esofagus yang menimbulkan GERD (gastro esophageal reflux disease) atau
sekresi asam yang dihasilkan oleh mukosa lambung yang ektopik. Mukosa lambung
yang terdapat pada divertikulun Meckel dapat menyebabkan tukak peptik pada
3,4,7,17,25
mukosa di sekitarnya.
Tukak lambung bisa terjadi secara akut maupun kronik. Pada tukak lambung
akut, kerusakan mukosa lambung bersifat fokal dan merupakan komplikasi dari
pengobatan NSAIDs. Penyebab lainnya bias berupa stress psikologi berat.
Berdasarkan lokasi dan hubungan klinisnya, tukak lambung mempunyai penamaan
spesifik, seperti: (a). Tukak stress (stress ulcers), paling sering terjadi pada pasien
yang shok, sepsis, atau trauma berat; (b). Tukak Curling, tukak pada bagian
proksimal duodenum yang dihubungkan dengan luka bakar berat/trauma; (c). Tukak
Cushing, yaitu tukak yang terdapat pada lambung, duodenum maupun esofagus yang
timbul pada pasien dengan penyakit intra-kranial, tukak ini sering menimbulkan
3
perforasi. Patogenesis tukak akut sangat kompleks dan belum diketahui dengan
jelas. Tukak yang dirangsang oleh penggunaan NSAID dihubungkan dengan inhibisi
cyclooxygenase. Pencegahan sintesis prostaglandin, yang meningkatkan sekresi
bikarbonat, inhibisi sekresi asam, merangsang sintesa musin, dan meningkatkan
perfusi pembuluh darah. Lesi dihubungkan dengan jejas intra-kranial diduga karena
rangsangan langsung terhadap inti vagal, yang menyebabkan sekresi yang berlebihan
dari asam lambung. Asidosis sistemik, sering ditemukan pada keadaan ini, mungkin
juga dapat menimbulkan jejas mukosa karena penurunan pH intra selular sel mukosa.
Hipoksia dan penurunan aliran darah disebabkan oleh vasokonstriksi splanchnic yang
3,7,17,21,25
dirangsang stress juga merupakan patogenesis tukak akut.
Morfologi. Tukak peptik empat kali lebih sering dijumpai pada duodenum
proksimal dibandingkan lambung. Tukak duodenum biasanya terdapat beberapa cm
dari katup pilorik pada bagian dinding anterior duodenum. Tukak peptik terutama
berlokasi sepanjang kurvatura minor di dekat perbatasan korpus dan fundus. Lesi
tukak lambung lebih dalam daripada erosi, melewati lapisan mukosa. Tukak peptik
biasanya lebih dari 80% berbentuk soliter. Tukak peptik yang klasik bentuknya bulat,
pinggir tukaknya tegas Pada tukak akut, bentuk tukaknya bulat dan diameternya lebih
dari 1cm. Dasar tukak sering berwarna coklat hingga kehitaman karena asam
lambung yang bercampur dengan darah, disertai peradangan transmural dan serositis
lokal. Berbeda dengan tukak peptik yang timbul karena jejas kronik, pada tukak
stress akut dapat ditemukan pada berbagai tempat di lambung. Lipatan rugae
lambung masih dalam normal, bagian pinggir dan dasar tukak datar. Tukak bisa
soliter atau multipel pada lambung dan duodenum. Secara mikroskopis, tukak stress
akut berbatas tegas, dengan mukosa di sekitarnya normal. Tergantung pada lamanya
tukak, mungkin dijumpai perdarahan dan reaksi peradangan pada mukosa dan sub-
mukosa. Berbeda dengan tukak peptik kronik, pada tukak stress akut tidak dijumpai
jaringan parut/skar maupun penebalan dinding pembuluh darah. Tukak dapat sembuh
sempurna dengan terjadinya re-epitelisasi setelah faktor penjejas hilang. Lamanya
3,4,5,7,17
massa penyembuhan bervariasi, bisa beberapa hari sampai beberapa minggu.
Tukak peptik yang berdegenerasi menjadi ganas sangat jarang, dan hasil
pelaporan kemungkinan perubahan yang berasal dari tukak peptik jinak adalah sejak
1,2,3,4,17
awalnya tukak tersebut merupakan suatu tukak yang ganas.
Merupakan jenis keganasan yang paling sering ditemukan pada lambung (>
90% dari semua kanker di lambung). Gejala awal hampir sama dengan gastritis
kronik, berupa dispepsia, sulit menelan (dysphagia) dan mual. Tumor ini sering
ditemukan pada stadium lanjut, dengan keluhan menurunnya berat badan, anoreksia,
gangguan kebiasaan habit, anemia dan perdarahan yang memicu pemeriksaan
7
diagnosa selanjutnya. Insidennya menurun pada beberapa Negara seperti Amerika
Serikat dan Inggris, namun masih tetap tinggi pada Negara lainnya seperti Jepang,
Chili dan Itali. Peningkatan insidensi ini terbukti bahwa faktor genetik berperanan
penting karena 10% dari penyakit ini terdapat pada kelompok keluarga. Sebagian
besar pasien berumur di atas 50 tahun, namun juga pernah tercatat kasus-kasus pada
individu berusia muda dan anak-anak. Pada kasus yang dijumpai pada usia sangat
muda dan sangat tua, menunjukkan beberapa perbedaan klinikopatologi terhadap
1,2,3,8,12,15
kelompok umur insidensi yang umumnya terjadi.
8
Gambar 2.9. Perjalanan alamiah infeksi Helicobacter pylori.
Karsinoma lambung biasanya berasal dari sel basal (sel generatif atau sel
punca) foveolar yang terdapat pada bagian leher kelenjar antral dan fundal, dengan
latar belakang gastritis kronik atrofi, metaplasia intestinal dan displasia, karsinoma
in-situ, dan karsinoma superfisial. Sebagian bisa berasal dari jaringan pankreatik
heterotropik atau pelapis epitel kista sub-mukosa pada dinding lambung, namun ini
sangat jarang. Riwayat hipokhlorhidria sebelumnya dapat dijumpai pada 85-90%
karsinoma lambung. Peningkatan pH di dalam lambung dapat merangsang
pertumbuhan bakteri yang menekan nitrat dalam makanan menjadi nitrit, selanjutnya
mengkonversi amin di dalam nitrit menjadi komponen karsinogenik N-nitroso.
Gastritis kronik yang bersamaan dengan karsinoma sering dijumpai, namun
etiopatogenik hubungan antara keduanya dan risiko relatif untuk keganasan masih
diperdebatkan. Infeksi H. pylori yang kronis menimbulkan gastritis kronis yang
secara bertahap dapat mengakibatkan atrofi dan metaplasia intestinal. Keadaan ini
dapat meningkatkan risiko 4-9 kali lebih tinggi terutama bila infeksi dimulai sejak
usia anak-anak. Penekanan produksi asam yang kronis juga meningkatkan risiko
perkembangan gastritis atrofi pada pasien gastritis H. pylori. Risiko terjadinya
karsinoma lambung berhubungan dengan aspek virulensi H. pylori. Sitotoksin strain
gen A (CagA) H. pylori yang positif meningkatkan kadar Il-8, merangsang
8,16,21,23,26
peradangan dan meningkatkan risiko terjadinya kanker lambung.
Lesi pre-kanker pada lambung berupa atrofi mukosa dan metaplasia intestinal
serta displasia (atau adenoma kalau berupa lesi polipoid). Sebagian besar displasia
epitel lambung (adenoma) mempunyai fenotipe intestinal yang mirip adenoma
kolon. Selain itu variant histologi lainnya yaitu displasia hiperplastik (tipe II) juga
mempunyai fenotipe intestinal. Displasia pada tubulus leher (atau globoid) diduga
1,3,4
merupakan prekursor kanker lambung jenis difus.
Demikian juga dengan displasia, sebagian besar KDL terdiagnosa pada umur
di atas 50 tahun, yang lebih muda dibandingkan adenokarsinoma lanjut,
mencerminkan bahwa dibutuhkan waktu yang lama untuk perkembangan KDL
menjadi kanker lanjut lambung (KLL). KDL berukuran 2-5cm, sering berlokasi pada
kurvatura minor di daerah sekitar angulus, dan 3-13% pasien menunjukkan lesi
primer yang berlokasi multipel dan mempunyai prognosa yang buruk. Berdasarkan
gambaran endoskopinya, KDL dapat dibagi menjadi 3 jenis yaitu: pertumbuhan yang
menonjol (tipe 1); pertumbuhan superfisial (tipe 2); dan pertumbuhan yang
membentuk tukak atau excavation (tipe 3). Tipe dapat dibagi lagi menjadi 2A
(meninggi); 2B (datar); dan 2C (melekuk ke dalam atau depressed). Gambaran
pertumbuhan tipe 2 yang paling banyak (80%) terutama tipe 2C. Gambaran
endoskopi menunjukkan indikator jumlah metastasis ke KGB yang baik, terutama
1,2,3,4,7
yang KDL tipe 1A dan 2A.