Anda di halaman 1dari 734

i

KARI

MODUL
PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI

1
KOLEGIUM ANESTESIOLOGI & REANIMASI INDONESIA

2008
DAFTAR ISI

No. Topik Halaman

1. Modul Keterampilan Dasar Anestesiologi I


2. Modul Keterampilan Dasar Anestesiologi II
3. Modul Keterampilan Dasar Anestesiologi III
4. Modul Kedokteran Perioperatif I
5. Modul Kedokteran Perioperatif II
6. Modul Persiapan Obat dan Alat Anestesia
7. Modul Traumatologi I
8. Modul Anestesia Umum
9. Modul Analgesia regional I (Biers block, spinal)
10. Modul Analgesia regional II (epidural, kaudal, blok saraf)
11. Modul Anestesia Bedah Ortopedi I
12. Modul Anestesia Bedah Ortopedi II
13. Modul Anestesia Bedah Onkologi dan Bedah Plastik
14. Modul Anestesia Bedah Urologi
15. Modul Anestesia Obstetri I
16. Modul Anestesia Obstetri II
17. Modul Anestesia Bedah THT I
18. Modul Anestesia Bedah THT II
19. Modul Anestesia Bedah Mata
20. Modul Anestesia Bedah Pediatrik I (prosedur sederhana)
21. Modul Anestesia Bedah Pediatrik II (lanjutan)
22. Modul Anestesia Bedah Saraf I (semester 4)
23. Modul Anestesia Bedah Saraf II (semester 6)
24. Modul Anestesia Bedah Rawat Jalan
25. Modul Anestesia Kardiotorasik I
26. Modul Anestesia Kardiotorasik II
27 Modul Anestesia Bedah Darurat
28. Modul Anestesia Bedah Invasif Minimal
29. Modul Anestesia Di luar Kamar Bedah
30. Modul Anestesia dan Penyakit Khusus
31. Modul Anestesia dan Penyakit Langka
32. Modul Traumatologi II
33. Modul Post Anesthesia Care Unit (PACU)
34. Modul Penatalaksanaan Nyeri
35. Modul Intensive Care I
36. Modul Intensive Care II
37. Modul Penelitian
38. Modul Kemampuan Komunikasi dan Profesionalisme

2
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur disampaikan ke hadirat Ilahi Robbi, karena akhirnya Modul Pendidikan
Anestesiologi & Reanimasi dapat diselesaikan.

Modul adalah profil suatu program pendidikan dokter spesialis atau subspesialis (spesialis
konsultan) yang disusun oleh masing-masing kolegium ilmu kedokteran. Katalog mencakup visi
dan misi, kompetensi, persyaratan dan alur pendaftaran peserta didik, pelaksanaan seleksi, lama
serta isi program dan cara evaluasi, serta daftar Institusi Pendidikan Dokter Spesialis (IPDS).
Dengan demikian pada Modul ini pun berisi hal-hal yang tersebut di atas.

Katalog ini dibuat oleh Komisi Ujian Nasional, Komisi Kompetensi KARI yang terdiri dari
anggota tetap komisi dan para Ketua Program Studi (KPS) dan atau Sekretaris Program Studi
(SPS) semua Pusat Pendidikan Anestesiologi & Reanimasi di Indonesia yaitu Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Universitas Airlangga, Universitas
Diponegoro, Universitas Gajah Mada, Universitas Hasananudin, Universitas Sumatra Utara,
Universitas Udayana, Universitas Sebelas Maret dan Universitas Sriwijaya.

Isi Katalog ini sebagian besar diambil dari Katalog KARI edisi 1998 yang disusun oleh
Prof.dr. Siti Chasnak Saleh, Prof.dr. Karyadi Wirjoatmojo, dr. Said Latief, dr. Ruswan Dachlan,
dr. Bambang Suryono sebagai panitia ad hoc. Dengan penambahan hal-hal yang baru yang
merupakan komponen Katalog seperti yang diharuskan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI),
akhirnya dapat dibuat Katalog edisi 2008.

Bandung, Juni 2008

Ketua Kolegium Anestesiologi & Reanimasi Indonesia

Prof. Dr. Tatang Bisri, dr., SpAn-KNA

3
TIM PEMBUAT MODUL

Prof. Dr. Tatang Bisri, dr., SpAnKNA


Prof. M. Roesli Thaib, dr., SpAnKIC-KNA
Prof. Dr. Margaretta Rehatta, dr., SpAnKIC-KNA
Prof. Dr. Eddy Rahardjo, dr., SpAnKIC
Indro Mulyono, dr., SpAnKIC

Sun Sunatrio, dr., SpAnKIC


Hasanul Arifin, dr., SpAn
Bhirowo Yudo Pratomo, dr., SpAn
Elizeus Hanindito, dr., SpAnKIC
Tantani Sugiman, dr., SpAnKIC
Uripno Budiono, dr., SpAn
Erry Leksana, dr., SpAnKIC
MH. Sudjito, dr., SpAnKNA
Eddy Hariyanto, dr., SpAnKIC
Ratna Farida, dr., SpAn
Syafrudin Gaus, dr., SpAn, PhD
I.B. Gde Sujana, dr., SpAn

Sekretaris Tim Modul:


Dita Adityaningsih, dr., SpAn

Peta Kurikulum Pendidikan Spesialis Anestesiologi

4
Orientasi &Pembekalan Magang Mandiri CR
Sem 1 Sem 2 Sem 3 Sem 4 Sem 5 Sem 6 Sem 7

3 bulan kuliah
6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan
3 bulan di OK

Catatan : Waktu dan semester di atas tidak mengikat. Hasil pembelajaran (learning outcome) bergantung
pada pencapaian kompetensi. Bila sudah dianggap kompeten bisa naik semester (penilaian meliputi segi
kognitif, afektif, psikomotor. Kognitif : lulus ujian, menyelesaikan tugas ilmiah. Psikomotor: mencapai
jumlah kasus sesuai tabel di bawah. Afektif: penilaian tingkah laku/kepribadian)

Peta Kurikulum Pendidikan Spesialis Anestesiologi (FINAL)

Semester
No Modul SKS
I II III IV V VI VII
1 Modul Keterampilan Dasar Anestesiologi I
2 Modul Keterampilan Dasar Anestesiologi II
3 Modul Keterampilan Dasar Anestesiologi III
4 Modul Kedokteran Perioperatif I
5 Modul Kedokteran Perioperatif II
6 Modul Persiapan Obat dan Alat Anestesia
7 Modul Traumatologi I
8 Modul Anestesia Umum
9 Modul Analgesia regional I (Biers block, spinal)
10 Modul Analgesia regional II (epidural, kaudal, blok saraf)
11 Modul Anestesia Bedah Ortopedi I
12 Modul Anestesia Bedah Ortopedi II
13 Modul Anestesia Bedah Onkologi dan Bedah Plastik
14 Modul Anestesia Bedah Urologi
15 Modul Anestesia Obstetri I
16 Modul Anestesia Obstetri II
17 Modul Anestesia Bedah THT I
18 Modul Anestesia Bedah THT II
19 Modul Anestesia Bedah Mata
20 Modul Anestesia Bedah Pediatrik I (prosedur sederhana)
21 Modul Anestesia Bedah Pediatrik II (lanjutan)
22 Modul Anestesia Bedah Saraf I
23 Modul Anestesia Bedah Saraf II
24 Modul Anestesia Bedah Rawat Jalan
25 Modul Anestesia Kardiotorasik I
26 Modul Anestesia Kardiotorasik II
27 Modul Anestesia Bedah Darurat
28 Modul Anestesia Bedah Invasif Minimal

5
29 Modul Anestesia Di luar Kamar Bedah
30 Modul Anestesia dan Penyakit Khusus
31 Modul Anestesia dan Penyakit Langka
32 Modul Traumatologi II
33 Modul Post Anesthesia Care Unit (PACU)
34 Modul Penatalaksanaan Nyeri
35 Modul Intensive Care I
36 Modul Intensive Care II
37 Modul Penelitian
38 Modul Kemampuan Komunikasi dan Profesionalisme
Jumlah Modul 7 10 9 7 4 7 2
SKS 11 15 15 15 12 12 14 94

JENJANG 1 JENJANG 2

KETERAMPILAN DASAR
ANESTESIOLOGI I
MODUL 1 Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi untuk
Spesialis Anestesiologi
Mengembangkan kompetensi Waktu (selama Semester 1)
Sesi di dalam kelas 5 X 4 jam (kuliah kuliah )
Sesi dengan fasilitasi pembimbing 3 X 2 jam (diskusi dengan pembimbing)
Sesi aplikasi klinis 3 pekan ( saat sesi praktek keterampilan dasar
anestesia umum dan regional)

Persiapan Sesi

- Sistem audio visual:

1. Komputer/Laptop,
2. Proyektor LCD dan Layar,
3. Flip chart,
4. Pemutar video,
5. OHP

- Materi kuliah: CD , flash disc powerpoint

6
Anatomi ,fisiologi, patofisiologi dan farmakologi klinis/terapan dalam anestesiologi:

1. Sistem pernafasan
2. Sistem kardiovaskular
3. Sistem saraf pusat
4. Sistem renal,

- Sarana belajar:

1. Ruang kuliah
2. Ruang diskusi

- Penuntun Belajar: lihat materi acuan


- Daftar tilik kompetensi: lihat daftar tilik
- Referensi:

1. Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr. 4th ed 2006


2. Pharmacology and Physiology Stoelting ed. 4th 2006

Tujuan Pembelajaran Umum


Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk memahami
ilmu anatomi, fisiologi, farmakologi yang terkait dengan bidang anestesiologi.

Tujuan Pembelajaran Khusus


Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk memahami
ilmu dasar anatomi, fisiologi dan farmakologi , sistem pernafasan, kardiovaskular, sistem saraf
pusat dan perifer, dan sistem lain terkait seperti metabolisme dan ekskresi guna mendukung
pemahaman akan tugas tugasnya dalam memberikan anestesia umum maupun analgesia regional

1.RANAH KOMPETENSI

Setelah melalui sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan:

7
KOGNITIF

1. Mampu menjelaskan anatomi jalan nafas, paru dan organ nafas


2. Mampu menjelaskan fisiologi dan beberapa patofisiologi jalan nafas, paru dan organ
nafas
3. Mampu menjelaskan farmakologi obat-obat yang digunakan untuk mengatasi patologi
jalan nafas, paru dan organ nafas
4. Mampu menjelaskan anatomi jantung, pembuluh darah dan darah
5. Mampu menjelaskan fisiologi dan beberapa patofisiologi jantung, pembuluh darah dan
darah
6. Mampu menjelaskan farmakologi obat-obat yang digunakan untuk mengatasi patologi
jantung, pembuluh darah dan darah
7. Mampu menjelaskan anatomi otak, saraf pusat dan saraf perifer
8. Mampu menjelaskan fisiologi dan beberapa patofisiologi otak, saraf pusat dan saraf
perifer
9. Mampu menjelaskan mekanisme kesadaran, persepsi nyeri
10. Mampu menjelaskan farmakologi obat-obat yang berdampak pada susunan saraf otak dan
saraf perifer, dan saraf autonom
11. Mampu menjelaskan farmakologi obat-obat pelumpuh otot dan antagonisnya, opioid dan
antagonisnya.

PSIKOMOTOR

1. Secara khusus tidak ada, karena ini pengetahuan intelektual


2. Keterampilan kognitif secara komprehensif, menggabungkan antara praktek anestesia
dengan ilmu dasar anatomi, fisiologi dan farmakologi.
3. Mampu melakukan penilaian kesadaran setelah pemberian obat induksi.
4. Mampu melakukan penilaian patensi jalan nafas dan adekuat tidaknya pernafasan setelah
pemberian obat-obat anestetik.
5. Mampu melakukan penilaian tanda-tanda perubahan sistem sirkulasi.

8
6. Mampu melakukan penilaian penunjuk anatomi (landmark) untuk analgesia lokal dan
regional.
7. Mampu melakukan penilaian penunjuk anatomi untuk akses vena perifer dan sentral.
8. Mampu melakukan penilaian anatomi jalan nafas pada saat tindakan pembebasan jalan
nafas.

KOMUNIKASI /HUB INTERPERSONAL

1. Mampu menjelaskan penyakit atau kelainan jalan nafas, pernafasan, sirkulasi dan
otak, saraf serta fungsi kesadaran kepada tim dokter, pasien dan keluarga pasien.
2. Mampu menjelaskan kepada tim dokter, pasien dan keluarga pasien tentang
manfaat dan risiko terapi untuk penyakit atau kelainan jalan nafas, pernafasan, sirkulasi
darah dan fungsi kesadaran
3. Mampu menjelaskan kepada tim dokter, pasien dan keluarga pasien tentang
manfaat dan risiko obat-obat anestetik dan analgesik

PROFESIONALISME

1. Menjamin bahwa dokter telah memiliki pengetahuan cukup untuk melakukan


tindakan medis pada penyakit dan kelainan jalan nafas, pernafasan, sirkulasi darah,
jantung dan kesadaran seperti gagal nafas, penanggulangan syok, aritmia, resusitasi dan
penanggulangan koma serta kenaikan tekanan intrakranial
2. Menjamin bahwa dokter telah memiliki pengetahuan cukup tentang farmakologi
obat yang digunakan untuk mengobati penyakit dan kelainan jalan nafas, pernafasan,
sirkulasi darah, jantung dan kesadaran seperti gagal nafas, penanggulangan syok, aritmia,
resusitasi dan penanggulangan koma serta kenaikan tekanan intrakranial

2. KEY NOTES (lihat buku Morgan)

Pada keynotes tersebut di bawah ini akan ditekankan topik fisiologi, sedangkan untuk anatomi
dan farmakologi dapat dilihat pada buku rujukan Morgan.

Untuk telaah lebih dalam dapat dilihat pada buku Stoelting

9
Fisiologi

Fisiologi kardiovaskular:

1. Sangat berbeda dengan aksi potensial pada saraf, aksi potensial pada jantung spike diikuti
dengan fase plateau selama 0.2 0.3 detik. Pada otot dan saraf aksi potensial terjadi oleh
karena pembukaan kanal cepat natrium di membran sel. Pada otot jantung ini terjadi
karena pembukaan kanal cepat sodium (spike) dan kanal lebih lambat kalsium (plateau).
2. Halotan, enfluran dan isofluran menekan nodus sinoatrial (SA) secara automatis. Obat-
obat ini hanya memiliki efek langsung, sedang pada nodus atrioventrikular (AV), efeknya
memanjangkan masa konduksi dan meningkatkan masa refrakter. Efek kombinasi ini
dapat menjelaskan mengapa sering timbul junctional tachycardia bilamana suatu
antikolinergik diberikan untuk sinus bradikardia selama anestesia inhalasi; junctional
pacemakers lebih ditingkatkan daripada SA.
3. Studi-studi menunjukkan bahwa semua anestetik uap menekan kontraktilitas jantung
dengan menurunkan masuknya ion Ca ke dalam sel selama depolarisasi. (mengenai kanal
Ca tipe T dan L), mengubah kinetik pelepasan dan ambilan ke dalam retikulum
endoplasma, dan menurunkan sensitivitas protein-protein kontraktil terhadap kalsium.
4. Oleh karena indeks jantung (CI) memiliki rentang lebar, relatif tidak sensitif sebagai
ukuran untuk menilai fungsi ventrikular. Nilai CI yang abmormal biasanya menunjukkan
gangguan ventrikular secara umum.
5. Bila tidak ada anemia berat atau hipoksia, pengukuran tekanan oksigen vena campur atau
saturasi merupakan cara terbaik untuk menilai adekuat tidaknya curah jantung.
6. Oleh karena peran atrium dalam pengisian ventrikular penting dalam mempertahankan
low mean ventricular diastolic pressures, pasien-pasien dengan penurunan kekembangan
ventrikular sangat terpengaruh oleh gangguan pada sistol atrial.
7. Curah jantung pada pasien dengan gangguan yang jelas pada ventrikel kanan atau kiri
sangat sensitif terhadap peninggian pascabeban.
8. Fraksi ejeksi ventrikular (EF) adalah fraksi volume ventrikular diastolik akhir yang
dipompakan ke luar, merupakan penilaian ukuran fungsi sistolik yang paling umum
dipakai dalam klinik.

10
9. Fungsi diastolik ventrikel kiri dapat dinilai secara klinis dengan ekokardiografi Doppler,
pemeriksaan secara transtorasik atau transesofageal.
10. Oleh karena endokardium merupakan bagian intramural yang paling tertekan selama
sistol, ini cenderung merupakan bagian yang mudah rusak oleh akibat iskemia pada
waktu terjadi penurunan tekanan perfusi koroner.
11. Pada gagal jantung ketergantungan pada katekolamin meningkat. Penghentian tiba-tiba
simpatetik atau penurunan kadar katekolamin dalam sirkulasi, seperti terjadi sesudah
induksi anestesia, bisa menyebabkan dekompensasi jantung akut.

Fisiologi sistem respirasi

1. Anestesia umum menurunkan konsumsi O2 dan produksi CO2 kira kira 15%. Tambahan
penurunan sering terjadi pada hipotermia. Penurunan tertinggi konsumsi O2 terjadi di
otak dan jantung.
2. Pada akhir ekspirasi, tekanan intrapleural normal rata-rata 5 sm H2O dan karena
tekanan alveolar adalah nol (tidak ada aliran), tekanan transpulmoner adalah +5smH2O.
3. Volume paru pada akhir ekshalasi normal disebut kapasitas residual fungsional (FRC).
Pada volume ini, rekoil elastik masuk paru kira-kira sama dengan rekoil elastik keluar
dada (termasuk tonus diafragma yang istirahat).
4. Kapasitas penutupan normal lebih rendah dari FRC, tetapi meningkat sesuai dengan
peningkatan usia. Peningkatan ini mungkin yang menyebabkan penurunan PaO2 terkait
dengan peningkatan umur.
5. Induksi anestesia secara konsisten menurunkan FRC 15-40% (400ml pada hampir semua
pasien), di luar yang terjadi akibat posisi telentang.
6. Pada volume ekspiratori paksa detik pertama (FEV1) dan kapasitas vital paksa (FVC) ada
upaya yang terikat, aliran ekspiratori tengah paksa (FEF25-75%) adalah upaya yang
bebas dan mungkin lebih handal untuk menilai obstruksi.
7. Faktor-faktor lokal lebih penting daripada sistem autonom dalam mempengaruhi tonus
vaskular paru. Hipoksia adalah rangsangan kuat untuk vasokonstriksi pulmoner
(kebalikan efek sistemik).
8. Oleh karena ventilasi alveolar kira-kira 4 liter/menit dan curah jantung 5 liter/menit,
maka V/Q rasio keseluruhan adalah 0.8

11
9. Pintasan menunjukkan proses di mana desaturasi, vena campur dari jantung kanan
kembali ke jantung kiri tanpa mengalami resaturasi O2 di paru. Efek keseluruhan
pintasan adalah menurunkan (dilusi) kandungan O2: jenis pintasan ini adalah pintasan
kanan ke kiri.
10. Anestesia umum biasanya meningkatkan percampuran vena sampai 5-10%, mungkin
sebagai akibat atelektasis dan kolaps jalan nafas di area bergantung pada paru.
11. Peningkatan PaCO2(>75mmHg) pada udara kamar akan menimbulkan hipoksia
(PaO2<60mmHg) tetapi tidak bilamana menghirup oksigen konsentrasi tinggi.
12. Ikatan O2 pada hemoglobin merupakan faktor prinsip transfer O2 dari gas alveolus ke
darah.
13. Makin besar pintasan, makin kecil kemungkinan peningkatan FiO2 (fraksi O2 inspirasi)
akan dapat mencegah hipoksemia.
14. Pergeseran ke kanan kurva dissosiasi oksigen, menurunkan afinitas O2, menggeser
tempat O2 dari hemoglobin, dan membuat O2 lebih banyak terkirim ke jaringan;
pergeseran ke kiri meningkatkan afinitas O2, menurunkan ketersediaannya di jaringan.
15. Bikarbonat merupakan bagian terbesar fraksi CO2 dalam darah.
16. Kemoreseptor sentral terletak di permukaan anterolateral medula dan berespons
utamanya terhadap perubahan ion H dalam cairan serebrospinal. Mekanisme ini efektif
dalam pengaturan PaCO2 sebab sawar darah otak (BBB) permeabel terhadap CO2
terlarut tetapi tidak terhadap bikarbonat.
17. Dengan makin dalamnya anestesia, grafik PaCO2/ventilasi semenit menurun dan ambang
apnea meningkat.(?)

Fisiologi sistem saraf

1. Tekanan perfusi serebral (CPP) adalah perbedaan antara tekanan arterial rata-rata (MAP)
dengan tekanan intrakranial (ICP). (atau tekanan vena sentral (CVP), mana yang lebih
besar)
2. Kurva autoregulasi serebral bergeser ke kanan pada pasien-pasien dengan hipertensi
arterial kronik.

12
3. Faktor ekstrinsik terbesar yang mempengaruhi aliran darah serebral (CBF) adalah
tekanan gas darah terutama PaCO2. CBF secara langsung berbanding lurus dengan
PaCO2 antara 20-80mmHg. Aliran darah berubah 1-2ml/100g/menit per mmHg
perubahan PaCO2.
4. CBF berubah 5 -7 % per 1 derajat perubahan temperatur. Hipotermia menurunkan laju
metabolik serebral dan CBF, sementara pireksia mempunyai efek kebalikannya.
5. Perpindahan substansi menembus BBB ditentukan oleh ukuran, muatan listrik, kelarutan
dalam lemak, dan derajat ikatan dengan protein.
6. BBB bisa rusak oleh hipertensi, tumor, trauma, strok, infeksi, hiperkapnia berat,
hipoksia, dan kejang terus menerus.
7. Tengkorak kepala merupakan struktur dengan volume total yang tetap, terdiri dari otak
(80%), darah (12%), cairan serebrospinal (8%). Setiap peningkatan satu komponen harus
dikompensasikan dengan penurunan komponen yang lain agar mencegah peningkatan
tekanan intrakranial.
8. Dengan perkecualian ketamine, semua obat anestetik intravena memiliki efek ringan atau
menurunkan laju metabolik serebral dan CBF.
9. Pada autoregulasi yang normal dan BBB yang utuh, vasopresor meningkatkan CBF
hanya apabila MAP di bawah 50-60mmHg atau di atas 150-160mmHg.
10. Otak sangat mudah terancam rusak akibat cedera oleh iskemia oleh karena konsumsi
oksigen yang relatif tinggi dan hampir semuanya bergantung pada metabolisme glukose
aerobik.
11. Hipotermia merupakan cara yang paling efektif untuk proteksi otak selama iskemia fokal
atau global.
12. Barbiturat efektif untuk perlindungan otak pada iskemia fokal pada manusia dan
binatang.

Fisiologi sistem renal

1. Aliran darah ke dua ginjal normal adalah 20-25% curah jantung


2. Autoregulasi aliran darah ginjal normal terjadi antara MAP 80-180mmHg.

13
3. Sintesis vasodilator prostaglandin (PGD2, PGE2, PGI2) penting sebagai mekanisme
proteksi selama periode hipotensi sistemik dan iskemia ginjal.
4. Dopamin dan fenoldopam melebarkan aferen arteriol dan eferen melalui aktivasi reseptor
D-1. Infusi fenoldopam dan dosis kecil dopamin paling tidak dapat melawan sebagian
vasokonstriksi renal karena norepinefrin.
5. Penurunan aliran darah, laju filtrasi glomerular, aliran uriner, dan ekskresi sodium
reversibel terjadi selama analgesia regional maupun umum. Efek ini paling tidak dapat
diatasi dengan mempertahankan volume intravaskular yang adekuat dan tekanan darah
normal.
6. Respons endokrin terhadap pembedahan dan anestesia mungkin paling tidak
menimbulkan retensi cairan sementara pascabedah; terjadi pada banyak pasien.
7. Metoksifluran dikaitkan dengan gagal ginjal poliuria. Nefrotoksiknya bergantung pada
dosis dan sebagai akibat pelepasan ion fluorida hasil metabolismenya.
8. Kadar tinggi fluorida setelah anestesia dengan enfluran bisa terjadi pada pasien obesitas
dan mereka yang mendapat isoniazid
9. Compound A , hasil pemecahan sevofluran yang terbentuk pada aliran rendah, dapat
menyebabkan kerusakan ginjal pada binatang percobaan. Studi klinis pada pasien tidak
menunjukkan cedera renal yang berarti.
10. Beberapa prosedur bedah secara bermakna mengganggu fisiologi ginjal.
Pneumoperitoneum selama prosedur laparoskopi menimbulkan dampak seperti sindroma
kompartemen abdominal. Peningkatan tekanan intra-abdominal dapat menimbulkan
oliguria, seperti juga pada prosedur pintasan jantung paru dan penjepitan aorta.

3. GAMBARAN UMUM

Memahami ilmu dasar anatomi , fisiologi dan farmakologi sistem pernafasan, kardiovaskular dan
sistem saraf akan mendukung untuk memahami tindakan anestesia umum maupun analgesia
lokal/ regional dan tindakan lain yang terkait dengan anestesia, seperti penanggulangan nyeri dan
syok. Sebagai contoh: untuk dapat melakukan analgesia regional dengan baik kita harus
mengetahui penunjuk anatomi saraf yang bersangkutan. Bila terjadi reaksi toksik obat analgetik

14
lokal, untuk mengetahui gejala-gejala dan tindakan penanggulangannya, diperlukan
pengetahuan farmakologi obat analgetik lokal. Contoh lain adalah pasien dengan depresi nafas
atau apnea berkepanjangan setelah anestesia. Untuk dapat menjelaskan penyebabnya, maka harus
difahami fisiologi pernafasan, farmakologi obat-obat yang dapat menimbulkan apnea.

4. TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah melewati proses alih pengetahuan, keterampilan dan perilaku melalui modul ini,
diharapkan peserta didik memiliki kemampuan untuk memahami

1. Anatomi
a. Anatomi jalan nafas

b. Anatomi paru dan organ nafas


c. Anatomi jantung, pembuluh darah dan darah
d. Anatomi otak, medula spinalis dan saraf perifer baik sensori, motorik maupun
autonom

2. Fisiologi

a. Fisiologi jalan nafas


b. Fisiologi paru dan organ nafas
c. Fisiologi jantung, pembuluh darah dan darah
d. Fisiologi otak, medula spinalis dan saraf perifer baik sensori, motorik maupun
autonom

3. Farmakologi

a. Farmakologi obat-obat untuk patologi jalan nafas


b. Farmakologi obat-obat untuk patologi paru dan organ nafas
c. Farmakologi obat-obat untuk patologi jantung, pembuluh darah dan darah

15
d. Farmakologi obat-obat untuk patologi otak, medula spinalis dan saraf perifer baik
sensori, motorik maupun autonom

5. METODE :
Peserta didik sudah harus mempelajari:

1. Bahan acuan (referensi: Morgan)


2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran

Tujuan 1, 2 dan 3: memahami secara komprehensif, anatomi, fisiologi dan farmakologi


terkait dengan praktek anestesia sehingga dapat menjelaskan latar belakang tindakan
yang dilakukan, hal-hal yang terjadi pada waktu tindakan, maupun setelah tindakan

Metode pembelajaran:

a. Kuliah pengantar
b. Belajar mandiri/ tugas membaca buku referensi
c. Pre-tes
d. Bimbingan atau diskusi dengan staf pengajar
e. Diskusi kelompok
f. Pos-tes
g. Ujian Nasional

Keterampilan dan materi yang harus dikuasai:

Untuk memberikan gambaran tentang keterampilan dan materi ilmu dasar secara komprehensif
dan terintegrasi. Memahami anatomi pembuluh darah perifer daerah lengan dan tungkai,
pembuluh darah sentral daerah subklavia, leher untuk memudahkan akses vaskular. Memahami
anatomi dan fisiologi jantung untuk mengerti hemodinamik, aliran darah, sehingga mengerti
faktor-faktor yang penting dalam menimbulkan tekanan darah. Apa yang terjadi pada patologi
atau kelainan organik, kelainan katup, kelainan septum jantung, sehingga memahami hal-hal
yang harus dilakukan maupun dihindari pada misalnya mitral stenosis. Memahami anatomi saraf,

16
pleksus saraf ekstremitas atas dan ekstremitas bawah, anatomi vertebra tulang belakang dan
medula spinalis untuk penunjuk anatomi analgesia regional . Memahami anatomi jalan nafas
atas untuk tindakan intubasi, krikotirotomi dan trakeostomi.

6. MEDIA:
1. Kuliah
2. Belajar mandiri
3. Diskusi kelompok
4. Tugas baca dan belajar secara berkelompok
5. Bimbingan dengan staf mengajar
6. Membahas soal-soal terkait ilmu dasar.

7.ALAT BANTU PEMBELAJARAN

a. Sarana belajar mengajar : ruang kuliah, perpustakaan, Skill Lab/manikin anatomi,


internet
b. LCD dan laptop komputer, video, layar

8.EVALUASI

1. Kognitif: uji lisan, MCQ dan Extended Medical Question,OSCE


dan evaluasi harian.
2. Komunikasi dan hub interpersonal: pengamatan beberapa observer
beberapa kali
3. Profesionalisme: pengamatan beberapa observer beberapa kali
4. Ujian nasional tertulis oleh badan penguji nasional IDSAI.

9.REFERENSI
Pharmacology and Physiology Stoelting ed. 4th 2006
Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr. 4th ed 2006

10.DAFTAR PENUNTUN BELAJAR

No Daftar cek penuntun belajar (ilmu dasar terapan Sudah Belum

17
terkait praktek anestesiologi) dikerjakan dikerjakan
1. Anatomi sistem pernafasan : jalan nafas atas dan
bawah, paru, rongga toraks, otot-otot pernafasan
2. Fisiologi sistem pernafasan: pengaturan pernafasan,
volume pernafasan, pertukaran gas oksigenasi,
ventilasi, pengiriman oksigen
3. Patofisiologi sistem pernafasan: gagal nafas
oksigenasi dan/atau ventilasi, obstruksi jalan nafas
atas dan bawah, gangguan difusi pertukaran gas,
apnea lama, henti paru
4. Farmakologi obat pelumpuh otot dan antidotumnya,
bronkodilator, depresan nafas, interaksi obat,
sekretolitik, antikolinergik, antikolinesterase
5. Anatomi sistem kardiovakular: topografi batas-batas
jantung normal, ruang jantung, septum, katup
jantung, sirkulasi koroner, penunjuk anatomi vena-
vena jugularis interna, subklavia, femoralis
6. Fisiologi sistem kardiovaskular: pengaturan fungsi
jantung, tekanan darah, irama jantung, sirkulasi
koroner, pengiriman oksigen
7. Patofisiologi sistem kardiovaskular: hipertensi,
hipotensi, syok, henti jantung, aritmia, gangguan
konduksi, gangguan sirkulasi koroner, infark jantung,
gangguan katup, gangguan septum, sindroma
Eisenmenger, anemia
8. Farmakologi: inotropik, vasopresor, antihipertensi,
antiaritmia, vasodilator arteri, vasodilator vena,
vasodilator pulmoner, darah, komponen darah, cairan
kristaloid, koloid, diuretika
9. Anatomi sistem saraf pusat, serebrum, serebelum,
batang otak, medula spinalis, sistem ventrikular otak.
Saraf otak, saraf perifer, saraf simpatetik dan saraf
para simpatetik. Tulang belakang dan medula
spinalis, pleksus brakialis, aksilaris. Ruang

18
subarahnoid, ruang epidural. aliran darah otak.
10. Fisiologi sistem saraf: kesadaran, motorik, nyeri atau
sensori, simpatetik dan parasimpatetik. Refleks
spinal, refleks vagal, sistem neurohormonal, sistem
cairan serebrospinal, pengaturan tekanan intrakranial,
autoregulasi otak, Aliran darah dan metabolime otak
11. Patofisiologi sistem saraf: kesadaran menurun
serebral/metabolik. Peningkatan tekanan intrakranial,
kejang-kejang, paralisis, gangguan sistem autonom,
termasuk pusat pengaturan sistem vital.
12. Farmakologi obat anestetik umum inhalasi,
intravena, obat analgetik lokal, analgetik

Obat sedatif, anti kejang, neurotropik, diuretik


osmotik, steroid, opioid dan antidotumnya

11. DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standard atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

19
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak

melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

12. MATERI ACUAN

Keterampilan dasar anestesiologi I


Ilmu dasar anestesiologi :anatomi, fisiologi dan farmakologi terapan dalam anestesiologi.

Teknik anestesia meliputi dua teknik utama yaitu anestesia umum dan analgesia regional atau
dapat pula kombinasi keduanya. Obat anestetik umum dapat diberikan secara intravena atau
secara inhalasi atau kombinasi. Obat analgetik regional atau lokal dapat diberikan dengan cara

20
infiltrasi lokal, blok saraf, blok pleksus saraf atau blok neuraksial (blok subarahnoid atau
epidural).
Bagaimana mempelajari ilmu dasarnya?. Pertama, harus ada buku ajar rujukan untuk masing
masing ilmu dasar. Kedua, kita memilih obat yang akan digunakan, terkait dengan teknik
anestesia, apakah obat inhalasi, intravena atau analgetik lokal. Untuk mempelajari ilmu dasar
yang terkait dengan tindakan anestesia, dapat secara sekaligus mempelajari ketiganya secara
simultan yaitu anatomi, fisiologi dan farmakologi. Terminologi dalam fisiologi, patofisiologi
farmakologi, ilmu anatomi harus dimengerti secara benar. Pengertian terminologi secara benar
akan memudahkan pemahaman semua ilmu dasar klinis.
Contoh:

1. Kita akan mempelajari obat inhalasi. Kita harus membayangkan obat yang akan diberikan
itu akan dihirup oleh pasien (bila pasien bernafas spontan) atau didorong masuk (bila
pasien tidak bernafas spontan atau dengan nafas kendali) melalui jalan nafas yaitu
hidung, faring, laring dan seterusnya sampai ke dalam alveolus. Oleh karena itu kita
harus memahami anatomi jalan nafas. Tatkala obat tersebut akan masuk dari alveolus ke
dalam sistem sirkulasi, maka kita harus mempelajari sifat-sifat fisis obat inhalasi tersebut,
mempelajari fungsi paru, mempelajari fisiologi sistem kardiovaskular tentang perfusi
darah ke paru sehingga dapat mengerti difusi obat . Ketika obat tersebut diedarkan ke
seluruh tubuh, maka kita harus tahu farmakologi tentang distribusi obat, selanjutnya
harus mengerti lokasi reseptor obat tersebut dan mengerti mekanisme kerja obat yang
menyebabkan pasien menjadi tidak sadar. Oleh karena itu kita harus mengerti fisiologi
dan anatomi sistem saraf pusat maupun sistem sirkulasi pada susunan saraf. Selain itu
kita harus mempelajari farmakologi bagaimana nasib obat tersebut sehingga efek obat
bisa hilang kembali. Efek samping obat dapat berupa gangguan fisiologi misalnya
peningkatan tekanan intrakranial, depresi nafas, hipotensi atau hipertensi, gangguan
fungsi hepar atau ginjal, sehingga kita harus mengerti dosis, indikasi dan indikasi-kontra
obat inhalasi tersebut.

Di samping itu kita harus mengerti cara menggunakan mesin anestesia agar dapat
memberikan obat inhalasi.

21
2. Kita akan mempelajari obat anestetik umum intravena. Kita harus dapat mempersiapkan
obat tersebut dan harus memahami sifat-sifat fisis obat tersebut. Ketika kita akan
menyuntikkan intravena maka kita harus mengerti anatomi pembuluh vena, dari vena
dorsum manus ke vena kubiti, vena aksilaris, vena subklavia, ke vena kava superior, ke
atrium kanan, ventrikel kanan, arteri pulmonalis dan seterusnya sampai ke jantung kiri
dan obat didistribusikan ke seluruh tubuh sampai ke reseptornya dan menimbulkan efek
yang diinginkan. Pengetahuan tentang apa yang terjadi pada obat tersebut di dalam darah,
misalnya berapa persen terikat protein, kecepatan aliran darah yang dilalui obat mulai
perifer sampai ke jantung, kemudian distribusi obat sehingga sampai ke otak dan
menimbulkan efek pasien tidak sadar, mengapa pasien tidak sadar, dan mengapa dapat
pulih sadar, bagaimana nasib obat tersebut, mengharuskan kita memahami efek samping
obat, overdosis obat dan cara mengatasinya. Oleh karena itu kita harus mengerti
anatomi dan fisiologi sistem sirkulasi, dan farmakologi , terkait dengan pemakaian
obat tersebut. Di samping itu kita harus mengerti teknik pemberian obat intravena,
secara bolus tunggal, kontinyu intermiten, kontinyu secara tetesan, atau kontinyu dengan
pompa semprit.
3. Kita akan mempelajari obat analgetik lokal untuk anestesia subarahnoid. Kita harus
mengerti jenis obat yang akan digunakan, sifat-sifat fisis, konsentrasi dan kandungan
obat. Ketika kita akan menyuntikkan obat tersebut harus diketahui lokasi yang aman
tempat suntikan dengan mempelajari anatomi tulang belakang, lapisan yang akan
ditembus jarum spinal untuk sampai ke rongga subarahnoid. Setelah obat ditempatkan di
ruang subarahnoid, harus difahami farmakologi obat yaitu tempat dan mekanisme kerja
obat sehingga timbul blok sensori, motorik dan simpatetik. Efek samping yang timbul
akibat blok simpatetik, hipotensi, juga harus difahami melalui pemahaman efek
farmakologis dan dampak fisiologis agar dapat memahami cara mencegah atau
penanggulangannya.
4. Ilmu dasar yang terkait dengan anestesiologi

Anatomi : jalan nafas atas dan jalan nafas bawah, sistem saraf perifer, anggota gerak atas
dan bawah, pleksus aksilaris, pleksus brakialis, medula spinalis, tulang belakang.

22
Fisiologi : volume paru, pengaturan pernafasan, oksigenasi darah, pengaturan tekanan
darah, pengaturan frekuensi denyut jantung, pengaturan irama jantung, konduksi jantung,
sistem sirkulasi paru, pengaturan tekanan intrakranial, tekanan perfusi otak.
Farmakologi: obat anestetik umum yang menimbulkan penurunan tekanan darah,
peningkatan tekanan darah, gangguan irama jantung, gangguan resistensi pembuluh
sistemik, resistensi sirkulasi paru, depresi miokard, depresi otak, gangguan tekanan
intrakranial, kejang, depresi pernafaran, gangguan fungsi ginjal, hepar, Obat analgetik
lokal, obat pelumpuh otot depolarisasi dan non-depolarisasi serta antagonisnya. Obat-
obat opioid dan antagonisnya
5. Lihat penuntun belajar pada daftar tilik.

Fisiologi kardiovaskular dan anestesia


Beberapa subyek yang harus dipelajari (lihat buku Morgan chapter 19)

a. Jantung: aksi potensial jantung, awal dan konduksi impuls jantung, mekanisme
kontraksi, inervasi jantung, daur jantung, fungsi ventrikular (HR, isi sekuncup,
prabeban, pascabeban, kontraktilitas, disfungsi valvular, kurva fungsi ventrikular,
penilaian fungsi sistolik, penilaian fungsi diastolik)
b. Sistem sirkulasi: autoregulasi, faktor-faktor derivat endotelium, kendali autonom
pembuluh sistemik, tekanan darah arterial (kendali segera, kendali intermediat,
kendali jangka panjang), anatomi dan fisiologi sirkulasi koroner (anatomi, perfusi
koroner, kendali aliran darah koroner, keseimbangan oksigen miokard, efek obat
anestetik)
c. Patofisiologi gagal jantung: mekanisme kompensasi (peningkatan prabeban,
peningkatan tonus simpatetik, hipertrofi ventrikular).

Fisiologi Respirasi dan anestesia


Beberapa subyek yang harus dipelajari (lihat buku Morgan chapter 22)
1. Cellular Respiration: Aerobic metabolism, anaerobic metabolism, effectts of anesthesia on
cell metabolism
2. Functional Respiratory Anatomy: Rib Cage & Muscles of Respirasion, tracheobronchial
tree, alveolus, Pulmonary circulation & lymphatics, pulmonary capilary, pulmonary lymphatics,
innervation.

23
3. Basic Mechanism of Breathing: Spontaneos Ventilalion, Mechanical Ventilation,effects of
anesthesia on respiratory pattern.
4. Mechanics of Ventialtion: Elastic Resistance; surface tension forces, compliance, Lung
volumes; kapasitas residual fungsional, kapasitas penutupan, vital capacity, Non Elastic
resistances; jalan nafas resistance to gas flow, volume-related jalan nafas collapse, flow related
jalan nafas colapse, forced vital capacity ( tissue resistance),Work of breathing; Effects of
anesthesia on pulmonary mechanics (effects of lung volumes and compliance, effects on jalan
nafas resistance, effects on work of breathing)
5. Ventilation/Perfusion Relationships: Ventilation; distribution of ventilation, time constant,
Pulmonary perfusion; distribution of pulmonary perfusion, ventilation/perfusion rasios,
Pintasans; percampuran vena, Effects of Anesthesia on Gas Exchange
6. Alveolar, Arterial, &Venous Gas Tensions: Oxygen; alveolar oxygen tension, pulmonary-end
capillary oxygen tension, arterial oxygen tension, mixed veous oxygen tension, Carbon dioxide;
pulmonary end-capillary carbon dioxide tension, arterial carbondioxide tension, end-tidal
carbondioxide tension.

a. Transport of Respiratory Gases in Blood: Oxygen; dissolved oxygen,


hemoglobin, hemoglobin dissociation curve, factors influencing the hemoglobin
dissociation curve, abnormal ligands & abnormal forms of hemoglobins, oxygen
content, oxygen transport, oxygen stores Carbon dioxide; dissolved carbon-
dioxide, bicarbonate, carbamino compound, effects of hemoglobin buffering on
carbon dioxide transport, carbon dioxide dissociation curve, carbon dioxide
stores.
b. Control of Breathing: Central respiratory centers, Central sensors, Peripheral
sensors; peripheral chemoreceptors, lung receptors, other receptors, Effects of
Anesthesia on the control of breathing.
c. Nonrespiratory functions of the lung: filtrasion and reservoir function,
metabolism

Fisiologi sistem saraf dan anestesia


Beberapa subyek yang harus dipelajari (lihat buku Morgan chapter 25)

1. Serebral physiology:

24
a. Serebral metabolism
b. Serebral Blood Flow
c. Regulation of Blood Flow: Serebral Perfusion Pressure, Autoregulation, Extrinsic
Mechanisms; respiratory gas tension, temperature, viscosity, autonomic
influences.
d. BBB
e. Cerebrospinal Fluid
f. Intrakranial Pressure

2. Effects of Anesthetic Agents on Serebral Physiology


a. Effect of Inhalation Agents: Uap Anesthetics; serebral metabolic rate, serebral
blood flow & volume, altered coupling of serebral metabolic rate & blood flow,
cerebrospinal fluid dynamics, intrakranial pressure. Nitrous oxyde
b. Effect of Intravenous Agents: Induction Agents; barbiturate, opioids, etomidat,
propofol, benzodiazepines, ketamine, Anesthetic Adjuncts. Vasopresors,
Vasodilators, neuromuscular Blocking Agents
3. Physiology of Perlindungan otak
a. Pathophysiology of Serebral Iskemia
b. Strategies for Perlindungan otak: Hypothermia, anesthetic agents, specific
adjuncts, general measures
c. Effect of anesthesia on electrophysiological pemantauan
d. Electroencephalography; Inhalation Anesthetics, Intravenous Agents,
e. Evoke Potentials; Inhalation anesthetics, intravenous anesthetics.

Fisiologi ginjal dan anestesia


Beberapa subyek yang harus dipelajari (Lihat buku Morgan chapter 31)

1. Nephron
a. The glomerular capillaries
b. The proximal tubule

25
c. The loop of Henle
d. The distal tubule
e. The collecting Tubule: cortical collecting tubule, medullary collecting tubule, role
of the collecting tubule in maintaining a hypertonic medulla
f. TheJuxtaglomerular Apparatus
2. The Renal Circulation
a. Renal Blood Flow & Glomerular Filtrasion: clerance, renal blood flow,
glomerular filtrasion rate, control mechanisms; intrinsic regulation,
tubuloglomerular balance and feedback, hormonal regulation, neuronal
regulation
3. Effects of anesthesia on renal function
a. Indirect Effects: Cardiovascular effects, neural effects, endocrine effects.
b. Direct Anesthetic Effects: uap agents, intravenous agents, other drugs.
c. Direct Surgical Effects

4. Diuretics
a. Osmotic diuretics (manitol): Uses; prophylaxis against acute renal failure in hihg
risk patients, evaluation of acute oliguria, conversion of oliguriic renal failure to
non oliguric renal failure, acute reduction of intrakranial pressure and serebral
edema, acute reduction of intraocular pressure in the perioperatif periode,
intravenous dosage, side effects.
b. Loop diuretics: Uses; edematous states (sodium overloads), hypertension,
evaluation of acute oliguria, conversion of oliguric renal failure to nonoliguric
renal failure, treatment of hyperglycemia, rapid correction of hyponatremia,
intravenous dosage, side effects.
c. Thiazide-type diuretics: Uses: hypertension, edematous disorders (sodium
overload), hypercalciuria, nephrogenic diabetes insipidus , oral dosages, side
effects.
d. Potassium-sparing diuretics: Aldosteron Antagonists (spironolactone); uses:
primary and secondary hyperaldosteronism, hirsutism, oral dosage, side effects.

26
Noncompetitive Potassium-Sparing Diuretics; uses: hypertension, CHF,
intravenous dosages, side effects.
e. Carbonic Anhydrase Inhibitors; Uses; correction of metabolic alkalosisi in
edematous patients, alakalinization of urin, reduction of intraocular pressure,
intravenous dosage, side effects

Fisiologi hepar dan anestesia


Beberapa subyek yang harus dipelajari (lihat buku Morgan chapter 34)

1. Functional Anatomy
2. Vascular Functions of the Liver : control of hepatic blood flow, reservoir function,
blood-cleansing function
3. Metabolic Functions: Carbohydrate metabolism, Fat metabolism, Protein Metabolism,
Drug metabolism, Other Metabolic Functions.
4. Bile formation & Excretion: Bile Acids & Fat Absorption, Bilirubi Excretion.
5. Liver Tests: Serum bilirubin, Serum Aminotransferase (transaminase), serum alkaline
phosphatase, serum albumin, blood ammonia, prothrombin time
6. Effect of Anesthesia on hepatic function: hepatic blood flow, metabolic functions, drug
metabolism, biliary function, liver tests.
7. Hepatic dysfunction associated with halogenated anesthetics.

27
KETERAMPILAN DASAR
MODUL 2 ANESTESIOLOGI II :
Penatalaksanaan Jalan Nafas Neonatus -
Dewasa
Mengembangkan kompetensi Waktu (semester 1, 2 dan 3)
Sesi di dalam kelas 2 X 2 jam (semester 1 pasien dewasa)
2 X 2 jam (semester 2 -3 pasien anak)
2 X 2 jam (semester 3 pasien neonatus)
Sesi dengan fasilitasi pembimbing 3X(3X2 jam) (diskusi dengan pembimbing)
Sesi aplikasi klinis 3 X 3 pekan ( saat sesi praktek pasien)

Persiapan Sesi

Audiovisual
a. Laptop
b. LCD proyektor dan layar
c. Flip chart

28
d. OHP
e. Pemutar video
Materi kuliah : CD atau flashdisc power point
a. Obstruksi jalan nafas pada dewasa (sebab2, tanda-tanda dan diagnosis)
b. Penatalaksanaan jalan nafas tanpa alat
c. Penatalaksanaan jalan nafas dengan alat (pipa orofaring, pipa nasofaring,
intubasi trakeal, pipa sungkup laring (LMA), krikotirotomi, trakeostomi)
d. Obstruksi jalan nafas pada neonatus dan anak-anak
e. Penatalaksanaan jalan nafas atas secara manual.
f. Intubasi trakea pada neonatus dan anak-anak
Sarana belajar
1. Ruang kuliah
2. Ruang skill lab.
3. Ruang operasi
Alat bantu latih: manikin neonatus, anak dan dewasa, alat-alat untuk penatalaksanaan
jalan nafas
Kasus : pasien langsung
Penuntun belajar : lihat materi acuan
Daftar tilik kompetensi: lihat daftar tilik
Referensi:
1. Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr. 4th ed 2006

2. Pharmacology and Physiology Stoelting ed. 4th 2006

Tujuan Pembelajaran Umum

Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan menguasai
penatalaksanaan jalan nafas atas pada pasien dewasa, anak-anak dan neonatus, yang merupakan
syarat mutlak selama tindakan anestesia.

Tujuan Pembelajaran Khusus

Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk menilai kondisi
jalan nafas, menilai dan melakukan penatalaksanaan jalan nafas, baik tanpa alat maupun dengan
alat-alat bantu , seperti pemasangan jalan nafas Guedel, LMA dan pipa endotrakeal,
krikotirotomi, trakeostomi perkutaneus dan penatalaksanaan jalan nafas pada intubasi sulit

1. RANAH KOMPETENSI

Kognitif

29
1. Mampu menjelaskan anatomi dan fisiologi jalan nafas atas
2. Mampu menegakkan diagnosis sumbatan jalan nafas dan kegawatan pernafasan yang
memerlukan pembebasan jalan nafas
3. Mampu menjelaskan teknik membebaskan jalan nafas secara manual, memasang pipa
oro dan nasofaring, memasang LMA, intubasi endotrakeal.
4. Mampu menjelaskan indikasi dan indikasi kontra pemasangan LMA dan intubasi
endotrakeal.
5. Mampu menjelaskan komplikasi pemasangan pipa oro/naso-faring, LMA dan pipa
endotrakeal.
6. Mampu mengenali dan menjelaskan algoritma JALAN NAFAS SULIT
7. Mampu menjelaskan penggunaan obat-obat guna memudahkan penatalaksanaan jalan
nafas

Psikomotor

1. Mampu membebaskan jalan nafas secara manual: ekstensi kepala, angkat dagu (manuver
tripel), pembersihan mulut dan faring, pemasangan pipa orofaring, pemasangan
nasofaring.
2. Mampu melakukan pemasangan LMA
3. Mampu melakukan tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakeal
4. Mampu melakukan identifikasi indikasi dan indikasi kontra pemasangan LMA dan
intubasi endotrakeal
5. Mampu mengenali dan menanggulangi komplikasi pemasangan pipa oro/nasofaring,
LMA dan pipa endotrakeal
6. Mampu melakukan pemasangan LMA dan intubasi endotrakeal pada pasien dengan
dugaan fraktur vertebra servikal.
7. Mampu melakukan penatalaksanaan jalan nafas menurut algoritma JALAN NAFAS
SULIT

Komunikasi/ Hubungan interpersonal

1. Mampu menjelaskan kepada pasien atau keluarga pasien tentang manfaat dan risiko
tindakan pembebasan jalan nafas, terutama intubasi endotrakeal untuk memperoleh
persetujuan setelah menerima informasi yang adekuat (informed consent)
2. Mampu berkomunikasi dengan sejawat operator tentang kemungkinan problema yang
ada pada jalan nafas, sedang atau akan timbul berkaitan dengan patensi jalan nafas dan
penanggulangannya selama masa perioperatif.

Profesionalime

1. Menjamin bahwa alat STATIKS (Sungkup muka, Tube/pipa, Airway, Tape/plester,


Introducer/mandrain, Konektor, Suction/alat isap), kateter intravena, peralatan infusi,
balon resusitator, obat-obat darurat yang mencakup oksigen, cairan infusi yang
diperlukan memenuhi syarat, siap pakai dan bekerja baik.

30
2. Bekerja sesuai prosedur.

2. KEY NOTES (Morgan)

1.Bila teknik memegang sungkup muka tidak benar, balon reservoar anestesia tidak akan
mengembang , walaupun adjustable pressure limiting (APL) katup tertutup, biasanya disebabkan
oleh kebocoran sekitar sungkup muka. Keadaan yang kontras bilamana terjadi peningkatan
tekanan di sirkuit nafas disertai sedikit gerakan dada dan bunyi nafas berarti ada obstruksi jalan
nafas.

2. LMA melindungi laring dari ekskresi faring (tetapi tidak terhadap regurgitasi lambung), dan
harus dipertahankan sampai ada refleks-refleks jalan nafas.

3.Seteleh insersi pipa endotrakeal (ETT), kaf dikembangkan dengan sedikit udara cukup untuk
menghindari kebocoran selama ventilasi tekanan positif untuk menghindari penyebab tekanan ke
mukosa trakea.

4.Walaupun deteksi CO2 secara persisten dengan kapnograf merupakan cara konfirmasi terbaik
penempatan ETT, ini tidak mendeteksi kemungkinan terjadi intubasi endobronkial. Manifestasi
paling dini terjadi intubasi endobronkial adalah peningkatan tekanan puncak jalan nafas.

5.Sesudah intubasi kaf ETT tidak boleh terletak setinggi di atas kartilago krikoid, sebab
penempatan di intralaring yang lama akan menimbulkan suara serak dan risiko tercabut.

6.Pencegahan intubasi esofageal bergantung pada visualisasi langsung ujung ETT yang masuk di
antara pita suara, auskultasi bunyi nafas sama kedua paru kiri kanan, tidak ada bunyi gargling di
lambung. Dan cara paling handal adalah adanya CO2 pada udara ekshalasi, pemeriksaan foto
toraks, penggunaan bronkoskop serat optik.

7.Cara menegakkan diagnosis intubasi endobronkial : bunyi nafas unilateral, hipoksia yang tidak
diduga (oksimetri pulsa) dengan oksigen inspirasi tinggi dan penurunan kekembangan balon
pernafasan

8.Tekanan negatif intratoraks yang besar yang ditimbulkan oleh upaya keras pasien untuk
bernafas karena spasme laring dapat menimbulkan edema paru tekanan negatif, bahkan pada
pasien sehat sekalipun.

9. Pemasangan LMA tidak dilakukan pada lambung penuh

10.Isi kaf pipa endotrakeal tidak boleh terlalu besar

11.Pemantauan ETCO2 (sebaiknya dengan kapnograf bukan kapnometer) dapat memastikan


intubasi esofageal

31
12.SpO2 dapat menunjukkan kemungkinan intubasi endobronkial

13.Bila saat tindakan intubasi, terjadi desaturasi Hb, hentikan dulu upaya intubasi, berikan
oksigen dulu, sampai saturasi Hb meningkat kembali. Lanjutkan upaya intubasi.

14.Algoritma jalan nafas sulit harus selalu tersedia untuk jadi pedoman guna menghadapi
kesulitan intubasi yang tidak diperkirakan sebelumnya.

3. GAMBARAN UMUM

Penatalaksanaan jalan nafas adalah suatu pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai
oleh peserta didik. Problema jalan nafas pada pasien sadar maupun pasien tidak sadar oleh
sebab apapun termasuk anestesia umum pada umumnya adalah karena terjadi sumbatan jalan
nafas. Sumbatan jalan nafas atas maupun jalan nafas bawah terutama yang berat adalah kondisi
yang harus dikenali dan segera dilakukan pertolongan. Keterlambatan mengatasi kondisi
tersebut dapat berakibat fatal. Beberapa teknik yang harus dikuasai adalah pembebasan jalan
nafas baik secara manual maupun dengan alat. Keterampilan keduanya hanya akan diperoleh
melalui banyak latihan pada manikin dan diikuti dengan banyak melakukan praktek klinis.

4. TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Mampu menilai sumbatan jalan nafas atas

2. Mampu melakukan penatalaksanaan jalan nafas secara manual

3. Mampu melakukan pemasangan pipa orofaring dan pipa nasofaring

4. Mampu melakukan pemasangan LMA

5. Mampu melakukan pemasangan pipa endotrakeal secara oral dan nasal

6. Mampu menilai pasien dengan jalan nafas sulit

7. Mampu merencanakan dan melaksanakan penatalaksanaan jalan nafas pasien dengan


jalan nafas sulit

8. Mampu melakukan tindakan krikotirotomi

9. Mampu melakukan trakeostomi secara perkutaneus (opsi)

10. Mampu menggunakan alat-alat bantu untuk jalan nafas sulit seperti: glidescope,
bronkoskop serat optik dan alat lain untuk jalan nafas sulit (opsi).

32
5. METODE

Peserta didik sudah harus membaca/mempelajari buku referensi (Morgan) dan buku lain
mengenai penatalaksanaan jalan nafas (opsi)

Tujuan 1 sampai dengan 10 merupakan paket penatalaksanaan jalan nafas secara menyeluruh

Metode Pembelajaran:

a. Kuliah pengantar: tanda-tanda obstruksi jalan nafas; penatalaksanaan jalan nafas


b. Skill lab : tindakan penatalaksanaan jalan nafas pada manikin
Demo oleh staf pengajar atau pembimbing
c. Bimbingan praktek pada pasien di kamar bedah oleh staf pengajar
d. Mengikuti kursus yang diselenggarakan oleh organisasi profesi, khususnya
penggunaan alat bantu khusus untuk jalan nafas sulit (glidescope, bronkoskop
serat optik dan alat-alat lain).
Kognitif

1. Pembelajaran terpadu
2. Pembelajaran independen
3. Pembelajaran berdasarkan problema
4. Kuliah perkenalan
5. Diskusi kelompok kecil dan umpan balik
6. Problema penatalaksanaan pasien
7. Simulasi pasien, skenario, pajangan dll
Psikomotor

1. Demonstrasi/pajangan dan supervisi klinis

2. Problema penatalaksanaan pasien


Komunikasi/ Hubungan interpersonal

1. Demonstrasi/pajangan dan supervisi klinis


2. Problema penatalaksanaan pasien
Profesionalisme

1. Problema penatalaksanaan pasien


Pengetahuan

1. Kuliah perkenalan
2. Simulasi pasien, skenario, pajangan dll.

33
Keterampilan dan materi yang harus dikuasai:

a. Menegakkan diagnosis obstruksi jalan nafas atas dan bawah

b. Melakukan penatalaksanaan obstruksi jalan nafas secara manual

c. Melakukan pemasangan pipa orofaring dan nasofaring

d. Melakukan pemasangan LMA

e. Melakukan intubasi endotrakeal secara konvensional

1. Intubasi sadar (awake) vs. intubasi saat induksi anestesia umum

2. Intubasi nafas spontan vs. intubasi dalam keadaan apnea.

f. Melakukan intubasi pada jalan nafas sulit ( satu atau dua teknik)

g. Melakukan krikotirotomi

h. Melakukan trakeostomi (opsi)

i. Menggunakan alat-alat bantu untuk mengatasi jalan nafas sulit

Teknik intubasi sadar dan intubasi dengan nafas spontan pada prinsipnya sama. Tetapi pasien
sadar memerlukan sedasi dan analgesia topikal yang adekuat pada jalan nafas atas (laring dan
sekitarnya). Karena tidak menggunakan relaksan, secara teknis lebih sulit dan lebih traumatik.

6.MEDIA

a.kuliah,

b.diskusi kelompok,

c.simulasi kasus,

d. demonstrasi pada manikin,

e. bedside teaching,

f. praktek dengan pengawasan

g. praktek mandiri

34
7. ALAT BANTU PEMBELAJARAN

a. Sarana belajar mengajar : ruang kuliah, perpustakaan, internet, ruang

skill lab, alat audiovisual

b. Manikin khusus untuk penatalaksanaan jalan nafas

c. Pipa orofaring, pipa nasofaring, pipa endotrakeal (bermacam jenis), LMA

(bermacam jenis), laringoskop (daun lurus, lengkung)

d. Alat-alat lain seperti cunam Magill, katup sungkup balon (bag mask valve, BMV), stetoskop.

e. Glide scope, bronkoskop serat optik (bila ada)

f. Materi kasus : rumah sakit kelas B (jumlah dan variasi kasus memadai)

8. EVALUASI

Pelatihan di skill lab intubasi pada manikin dengan keberhasilan mendekati 100%

Pelatihan di kamar bedah intubasi pada pasien, dengan bimbingan dan pengawasan staf pengajar.

Diskusi tentang problema intubasi sesuai sasaran pembelajaran (learning outcome)

1. Kognitif : Extended Medical Question (EMQ) lisan


Pengamatan dan penilaian beberapa kali
Beberapa pengamat
Objective Structure Clinical Examination (OSCE)
Evaluasi harian
2. Psikomotor: Pengamatan dan penilaian beberapa kali
Beberapa pengamat
OSCE
Evaluasi harian
3. Komunikasi dan hubungan interpersonal yang mencakup sikap
Pengamatan dan penilaian beberapa kali
Beberapa pengamat
4. Profesionalisme: Pengamatan dan penilaian beberapa kali
Beberapa pengamat

35
5. Pengetahuan : Multiple Choice Question (MCQ): pre-tes dan pos-tes
EMQ

9. REFERENSI

Jalan nafas Management, Benumoff ed. 2007

Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr. 4th ed 2006

Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006

10.DAFTAR PENUNTUN BELAJAR

No Penuntun penatalaksanaan alan nafas pada dewasa, Sudah Belum


anak dan neonatus dikerjakan dikerjakan

1. Melakukan penilaian pasien tidak sadar

Melakukan penilaian patensi dan obstruksi jalan


nafas atas dan jalan nafas bawah

2. Melakukan angkat dagu dan ekstensi kepala pada


dewasa

3. Melakukan manuver tripel

4. Melakukan pemasangan pipa orofaring

5. Melakukan pemasangan pipa nasofaring

6. Melakukan pemasangan LMA

7. Melakukan intubasi endotrakeal

8. Melakukan krikotirotomi manikin

9 Melakukan penatalaksanaan jalan nafas pada pasien


dengan jalan nafas sulit

10. Melakukan angkat dagu dan ekstensi kepala pada


anak-anak

11. Melakukan manuver tripel pada anak-anak

36
12. Melakukan pemasangan pipa orofaring pada anak-
anak

13. Melakukan pemasangan pipa nasofaring pada anak-


anak

14. Melakukan pemasangan LMA pada anak-anak

15. Melakukan intubasi endotrakeal pada anak-anak

16. Melakukan penatalaksanaan jalan nafas sulit pada


anak-anak

17. Melakukan penatalaksanaan jalan nafas pada


neonatus

18. Melakukan intubasi endotrakeal pada neonatus.

19. Melakukan penatalaksanaan jalan nafas sulit pada


neonatus.

11.DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur sandard atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

37
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak

38
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

12. MATERI ACUAN

Penatalaksanaan jalan nafas

Mempertahankan jalan nafas atas agar tetap bebas merupakan syarat mutlak selama tindakan
anestesia umum maupun regional. Pasien yang tidak sadar dapat mengalami sumbatan jalan
nafas atas parsial atau total. Tanda-tanda sumbatan ini harus dapat dikenali secara dini. Sumbatan
parsial ditandai dengan adanya bunyi berisik saat inspirasi seperti ngorok, atau melengking,
pengurangan aliran udara keluar masuk paru, saat inspirasi terjadi retraksi pada suprasternal,
supraklavikular, interkostal dan epigastrium, mungkin ada gerakan dada paradoksal. Pada
sumbatan total jalan nafas gejala tersebut akan terlihat makin berat, tetapi justru tidak terdengar
bunyi nafas, sehingga bila tidak diatasi dengan baik dapat membahayakan pasien, karena dapat
menimbulkan desaturasi yang mengancam nyawa. Pemantauan saturasi sangat bermanfaat untuk
deteksi dini terjadinya desaturasi oksigen.

Bagaimana melakukan pembebasan jalan nafas atas?

Peserta didik harus melakukan latihan pada manikin lebih dulu sampai mahir sebelum
melakukannya pada pasien. Tanpa alat: melakukan ekstensi kepala, angkat dagu atau dengan
manuver tripel. Dengan alat: memasang pipa orofaring, pipa nasofaring, LMA dan pipa
endotrakeal., melakukan krikotirotomi serta trakeostomi.

Prosedur pemasangan LMA pada dewasa

1. Periksa kelengkapan alat (untuk dewasa umumnya LMA no 3 atau 4)


2. Berikan obat premedikasi atau penenang dan opioid (sebaiknya fentanil atau sufentanil)
3. Lakukan induksi anestesia
4. Yakinkan pasien sudah tidak sadar. Jaga jalan nafas
5. Masukkan LMA dengan kaf kosong atau separuh terisi udara.
6. Basahi bagian dorsal atau punggung LMA(yang tidak menghadap laring) dengan NaCl
atau lubrikans/pelicin untuk memudahkan dan mencegah trauma pada palatum saat
insersi
7. LMA dimasukkan dengan bagian dorsal dengan cara menelusuri palatum durum sampai
bagian kaf LMA mencapai laring. Isi kaf LMA dengan udara sesuai anjuran (umumnya
30 ml)

39
8. Kendala saat memasukkan atau insersi LMA adalah terhalang lidah. Dapat diatasi dengan
menarik lidah keluar saat insersi posisi.
9. LMA dianggap tepat pada tempatnya bila terasa udara keluar masuk secara bebas, ada
gerakan kembang kempis pada kantong reservoar anestesia
10. Obstruksi setelah insersi biasanya oleh karena epiglotis terlipat ke bawah atau spasme
laring ringan.
11. Lakukan fiksasi dengan baik.

Mempertahankan jalan nafas pada neonatus pada dasarnya sama dengan dewasa tetapi harus
dilakukan dengan cara lebih hati-hati atau lembut ( lihat modul anestesia pediatrik)

Prosedur intubasi endotrakeal yang lazim dilakukan dengan anestesia umum

1. Periksa kesiapan alat dan obat yang diperlukan.


2. Bila premedikasi diberikan di kamar operasi, tunggu sampai obat premedikasi bekerja.
3. Berikan obat induksi, sambil berikan oksigen, sampai pasien tidak sadar.
4. Berikat obat pelumpuh otot, tunggu sampai obat bekerja pada otot pernafasan yang
ditandai dengan apnea.
5. Berikan nafas buatan dengan oksigen 100% selama 2-3 menit
6. Lakukan laringoskopi dengan laringoskop bilah (daun) bengkok
7. Pegang gagang laringoskop dengan tangan kiri
8. Pastikan cahaya lampu laringoskop cukup terang
9. Buka mulut pasien dan masukkan daun dari sudut kanan mulut
10. Geser lidah ke arah kiri sambil meneruskan masuk daun ke dalam rongga mulut
menelusuri pinggir kanan lidah menuju laring. Perhatikan sampai tampak epiglotis.
11. Tempatkan ujung daun pada valekula
12. Angkat epiglotis dengan ujung gagang ke depan (tidak diungkit). Gagang harus dipegang
dengan tangan kiri
13. Bila epiglotis terangkat dengan baik akan tampak rima glotis, dan tampak pita suara
warna putih, bentuk V terbalik
14. Masukkan dengan hati-hati pipa endotrakeal ke dalam trakea melalui rima glotis dengan
tangan kanan.
15. Tempatkan ujung pipa endotrakeal kira-kira 3 sm di atas karina (tidak masuk bronkus).
Auskultasi bunyi nafas paru kanan dan kiri sama.
16. Kendala saat insersi pipa endotrakeal adalah kesulitan memaparkan rima glotis dengan
jelas dan lengkung pipa endotrakeal yang tidak selalu sesuai.

Penatalaksanaan jalan nafas pada anak-anak dan neonatus pada prinsipnya sama dengan dewasa.
Neonatus lebih rentan terhadap trauma, sehingga harus dilakukan secara hati-hati. Proporsi
kepala bayi atau anak relatif lebih besar daripada orang dewasa, sehingga posisi tidak stabil dan
menimbulkan kesulitan fiksasi saat dilakukan intubasi endotrakeal. Pipa endotrakeal neonatus
tanpa kaf, nomor 2.5 atau 3. Pipa endotrakeal untuk anak-anak sampai usia 6-8 thn hendaknya

40
juga tanpa kaf. Penatalaksanaan jalan nafas pada neonatus dan anak dapat dilihat pada modul
anestesia pediatrik.

Algoritma jalan nafas sulit

1. Periksa kemungkinan kondisi klinis yang akan merupakan problema dasar:

A. Ventilasi sulit

B. Intubasi sulit

C. Kesulitan dengan kerja sama atau persetujuan pasien

D. Trakeostomi sulit.

2. Secara terus menerus dan aktif memberikan oksigen selama proses

penatalaksanaan jalan nafas sulit berlangsung.

3. Pertimbangkan manfaat dan kemungkinan-kemungkinan pilihan

A. Intubasi sadar vs upaya intubasi setelah induksi anestesia

B. Intubasi noninvasif vs intubasi invasif

C. Nafas spontan vs nafas tidak spontan (apnea)

41
4. Buatlah strategi primer dan alternatif lain (ASA 2003)

A Awake intubation

Airway approached by Airway secured by


non-invansive intubation invasive access

Succeed FAIL
Cancel Consider Invasive airway
Case feasibility access
of other options

42
B Intubation attempts after
Induction

of General Anesthesia

Initial Initial intubation attempts


Intubation
attempts UNSUCCESSFUL, FROM THIS POINT
successful ONWARD CONSIDER:

1.Calling for help

2. Returning to spontaneous

Face mask ventilation Face mask ventilation not


adequate adequate

Consider/attempt
LMA

LMA Emergency LMA not adequate or


pathway
Nonemergency
adequate not feasible
Ventilation inadequate, intubation
pathway
Ventilation adequate unsuccessful
Intubation
unsuccessful

Alternative approaches Emergency Call for help airway


non-invasive
to intubation ventilation

Successful Fail after multiple Successful FAIL


intubation attempts ventilation Emergenc
y
invasiveai
Invasive airway Consider feasibility of other Awaken
rway
ventilation options patient
access

43
KETERAMPILAN DASAR ANESTESIOLOGI III
MODUL 3
RJP Neonatus Dewasa

Mengembangkan kompetensi Waktu (semester 1 pekan 1 4)


Sesi di dalam kelas 2 X 2 jam (RJP pada dewasa)
Kuliah khusus (RJPO) 2 X 2 jam (RJP pada neonatus dan anak)
Sesi dengan fasilitasi pembimbing 3 X 2 jam (diskusi dengan pembimbing)
Sesi skill lab (RJP pada manikin) Sampai lulus

Persiapan Sesi

Audiovisual
1. Laptop
2. LCD proyektor dan layar
3. Flip chart
4. OHP
5. Pemutar video
Materi kuliah : CD atau flashdisc power point
1. RJP pada pasien dewasa.
2. RJP pada anak-anak
3. RJP pada neonatus
4. RJPO (RJP Otak modul ICU)
5. Penatalaksanaan pasca henti jantung
6. Pencegahan henti jantung
Sarana belajar
1. Ruang kuliah
2. Ruang skill lab.
Alat bantu latih: manikin neonatus, anak dan dewasa, alat-alat untuk RJP
Kasus : ilustrasi kasus/ retrospektif
Penuntun belajar : lihat materi acuan
Daftar tilik kompetensi: lihat daftar tilik
Referensi:
1. Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr. 4th ed 2006

2. Pharmacology and Physiology Stoelting ed. 4th 2006

3. AHA Guidelines for CPR 2005

44
Salah satu kejadian paling berat pada pasien selama masa perioperatif adalah henti jantung.
Kejadian tersebut dapat terjadi di mana saja, di kamar bedah atau di luar kamar bedah.

Tujuan Pembelajaran Umum

Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan bekerja sama dalam tim
dan secara individu untuk melakukan RJP dengan baik dan benar, sebelum terlibat atau
memberikan anestesia

Tujuan Pembelajaran khusus

Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik akan memiliki kemampuan menjelaskan sebab-
sebab henti jantung, menegakkan diagnosis henti jantung, melakukan RJP yaitu pembebasan
jalan nafas, ventilasi buatan, kompresi dada luar, defibrilasi, pemberian obat-obat resusitasi,
penilaian hasil resusitasi, penghentian resusitasi dan/atau merujuk pasien ke ICU pasca
resusitasi. Kemampuan tersebut meliputi RJP pada pasien dewasa, anak-anak, bayi/neonatus
baik di kamar operasi maupun di luar kamar operasi

1. RANAH KOMPETENSI

Kognitif

1. Mampu menjelaskan sebab-sebab henti jantung


2. Mampu menjelaskan tanda-tanda henti jantung
3. Mampu menjelaskan dampak keterlambatan pertolongan henti jantung.
4. Mampu menjelaskan langkah-langkah RJP
5. Mampu menjelaskan algoritma RJP
6. Mampu menjelaskan bantuan hidup lanjut
7. Mampu menjelaskan penatalaksanaan jalan nafas dasar(modul 1)
8. Mampu menjelaskan teknik intubasi (modul 1)
9. Mampu menjelaskan kompresi jatung/dada luar pada RJP secara benar (tempat tumpuan,
frekuensi, kekuatan kompresi)
10. Mampu menjelaskan gambaran EKG pada henti jantung.
11. Mampu menjelaskan tentang defibrilasi pada henti jantung
12. Mampu menjelaskan farmakologi obat-obatan yang lazim dipakai pada RJP
13. Mampu menjelaskan hasil RJP
14. Mampu menjelaskan resusitasi otak (modul ICU)
15. Mampu menegakkan diagnosis mati batang otak (modul ICU)

45
Psikomotor

1. Mampu menegakkan diagnosis pasien henti jantung


2. Mampu melakukan RJP dengan langkah-langkah yang benar
3. Mampu melakukan penatalaksanaan jalan nafas dengan benar
4. Mampu melakukan pernafasan buatan dengan benar.
5. Mampu melakukan kompresi jantung/dada dengan benar
6. Mampu membaca EKG pasien henti jantung
7. Mampu melakukan defibrilasi sesuai pedoman
8. Mampu memberikan obat-obat resusitasi dengan benar
9. Mampu menilai hasil resusitasi
10. Mampu membuat keputusan untuk menghentikan resusitasi
11. Mampu melakukan transportasi pasien pasca henti jantung ke ICU

Komunikasi/Hubungan interpersonal

1. Bila henti jantung terjadi dalam masa perioperatif, mampu berkomunikasi dengan
sejawat, sejawat disiplin lain dan tenaga kesehatan lain untuk bekerja sama dalam tim
melakukan pertolongan RJP dengan menunjuk seorang atau bertindak sendiri sebagai
kepala tim (dari disiplin anestesia)
2. Mampu berkomunikasi dengan keluarga pasien untuk menjelaskan tindakan RJP dan
mengapa RJP dilakukan, perkembangan hasil RJP, sampai pasien dirawat ICU dan
bagaimana prognosisnya.

2. KEY NOTES (Morgan)

1. RJP dan asuhan kardiak darurat harus dipertimbangkan setiap saat pada pasien yang tidak
mendapat oksigenasi secara adekuat atau ada gangguan perfusi organ tidak hanya setelah
terjadi henti jantung
2. Ventilasi dan kompresi jantung/dada luar harus tidak boleh terlambat oleh tindakan
intubasi apabila jalan nafas telah bebas dengan manuver dorong mandibula
3. Upaya intubasi harus berhasil dalam 30 detik.
4. Kompresi dada harus dilakukan segera bila ada pasien tanpa nadi
5. Petugas kesehatan yang bertugas di rumah sakit, rawat jalan harus mampu melakukan
defibrilasi dini segera pada pasien dengan fibrilasi ventrikular. Syok harus dilakukan
dalam waktu 3 ( 1min) sesudah henti jantung.
6. Lidokain, epinefrin, atropin, dan vasopresin dan bukan Na-bikarbonat dapat diberikan
melalui kateter dalam pipa trakea. Dosis 2-21/2 kali dosis IV, diencerkan dalam 10ml
aquades atau NaCl 0.9% pada pasien dewasa.
7. Bila akses intravena sulit, pada anak-anak dapat dilakukan intraoseus

3. GAMBARAN UMUM

46
Henti jantung merupakan keadaan yang dapat terjadi di mana saja dan memerlukan tindakan
segera RJP. Peluang yang besar kejadian henti jantung selama anestesia mengharuskan setiap
peserta didik memiliki kemampuan melakukan RJP dengan baik. Tindakan RJP merupakan suatu
paket berupa Airway (A), Breathing (B), Circulation (C) yang sering disebut bantuan hidup dasar
(Basic Life Support) dan bila dilanjutkan dengan Drugs (D), pemeriksaan EKG (E) dan
Fibrillation treatment (F) merupakan bantuan hidup lanjut dan bila harus masuk ICU disebut
sebagai Prolonged Life Support. Pada modul ini hanya dibatasi pada RJP bantuan hidup dasar.
Bila RJP baru dilakukan pada henti jantung yang telah berlangsung 4 menit, kemungkinan akan
timbul kerusakan otak ireversibel.

Keberhasilan RJP bergantung dari cepatnya memulai RJP dan teknik RJP yang benar.
Kemampuan ini tidak terbatas dimiliki oleh anestetis tetapi juga oleh dokter atau pertugas
kesehatan lain yang terlibat pada pelayanan darurat, di mana peluang besar terjadi henti jantung
atau henti nafas

4. TUJUAN PEMBELAJARAN

a. Mampu melakukan diagnosis henti jantung pada pasien dewasa,anak-anak dan bayi/neonatus

b. Mampu melakukan RJP pada pasien-pasien tersebut

c. Mampu menilai hasil RJP

d. Mampu memutuskan kapan menghentikan RJP.

e. Mampu kapan merujuk pasien ke ICU

5. METODE

RJP merupakan satu paket tindakan secara keseluruhan yaitu yang tidak dapat dipisah-pisahkan
antara A, B, C, oleh karena itu metode yang dilakukan untuk mencapai tujuan juga tidak dapat di
pisah-pisahkan.

Metode Pembelajaran:

Kognitif

1. Kuliah pendahuluan RJP


2. Belajar bersama secara terintegrasi
3. Belajar mandiri
4. Pembelajaran berdasarkan problema
5. Diskusi kelompok kecil dan umpan balik

47
6. Problema penatalaksanaan pasien
7. Simulasi pasien, skenario, pajangan dll

Psikomotor

Manikin based

1. Demonstrasi/pajangan dan supervisi klinis


2. Problema penatalaksanaan pasien (illustrasion case)

Komunikasi/ Hubungan interpersonal

1. Demonstrasi/pajangan dan supervisi klinis


2. Problema penatalaksanaan pasien

Profesionalisme

1. Problema penatalaksanaan pasien

Pengetahuan

1. Kuliah perkenalan
2. Diskusi kelompok kecil dan umpan balik

Keterampilan dan materi yang harus dikuasai:

1. Melakukan diagnosis henti jantung pada dewasa, anak-anak dan bayi/neonatus

2. Melakukan pembebasan jalan nafas atas

3. Melakukan pernafasan buatan mult ke mulut atau dengan BMV

4. Melakukan kompresi dada dengan teknik yang benar

5.Melakukan penilaian hasil RJP

6.Melakukan penghentian RJP.

6.MEDIA

a.Kuliah pendahuluan RJP

48
b. Belajar bersama secara terintegrasi
c. Belajar mandiri
d. Pembelajaran berdasarkan problema
e. Diskusi kelompok kecil dan umpan balik
f. Problema penatalaksanaan pasien
g. Simulasi pasien, skenario, pajangan dll
h. Demonstrasi/pajangan dan supervisi klinis
i. Mengikuti kursus perkembangan mutakhir RJP.

7. ALAT BANTU PEMBELAJARAN

a. Sarana belajar mengajar : ruang kuliah, perpustakaan, internet, ruang skill lab,
alat audiovisual
b. Manikin untuk latihan RJP bantuan hidup dasar, manikin simulasi bantuan hidup
lanjut (opsi)
c. BMV resusitator
d. Alat EKG dan defibrilator manual atau opsi automatic external defibrillator
(AED)
e. Papan keras untuk alas pasien
f. Alat-alat untuk penatalaksanaan jalan nafas (lihat modul 2)

8. EVALUASI

Evaluasi meliputi kognitif , keterampilan, komunikasi, profesionalisme

dan pengetahuan (pre-tes dan pos-tes)

Pre-tes:

1. Bagaimana menegakkan diagnosis henti jantung?

2. Apa penyebab henti jantung?

3. Bagaimana langkah-langkah melakukan pertolongan henti jantung?


4. Bagaimana cara mempertahankan jalan nafas dengan benar?
5. Bagaimana melakukan pernafasan buatan dengan benar?
6. Bagaimana cara melakukan kompresi dada luar dengan benar?
7. Bagaimana gambaran EKG pasien henti jantung?
8. Obat-obatan apa yang digunakan pada penanggulangan henti jantung apa indikasinya?
9. Kapan RJP dihentikan?
10. Kapan pasien indikasi dirawat di ICU

Evaluasi kemampuan dilakukan berdasarkan keterampilan RJP pada manikin, keberhasilan lebih
dari 75% dianggap kompeten melakukan RJP.

49
1. Kognitif :
EMQ lisan

Pengamatan dan penilaian beberapa kali

Beberapa pengamat

2. Psikomotor:
Pengamatan dan penilaian beberapa kali

Beberapa pengamat

3. Komunikasi dan hubungan interpersonal yang mencakup sikap


Pengamatan dan penialaian beberapa kali

Beberapa pengamat

4. Profesionalisme:
Pengamatan dan penilaian beberapa kali

Beberapa pengamat

5. Pengetahuan :
MCQ atau esai (pre-tes) dan pos-tes

EMQ tertulis

Prosedur RJP

Algoritma untuk henti jantung karena VF, VT, PEA dan asistol (AHA Guidelines for CPR 2005)

50
PULSELESS ARREST
*BLS : Call for help, give CPR
*Give oxygen when available

*Attach monitor/defibrillator
2 when 9
available
Shockabl Check rhythm Not Asystole/PE
3 e shockable A
Shockable 10
VF/VT rhythm?
Resume CPR immediately for 5
siklus
4
When IV/IO available, give
vasopresor
* Epinefrin 1mg IV/IO
Give 1 shock
Repeat every 3to5min
*Manual biphasic: device specific
or
(typically 120 to 200J)
* May give 1 dose of vasopresin
If unknown, use 200J
40U
*AED: device specific
IV/IO to replace first or second
*Monophasic:360J 1
dose of epinefrin
Resume CPR immediately 1
Consider atropin 1mg IV/IO
5 Give 5 siklus of for asystole or slow PEA rate
CPR* Give 5 siklus of
No CPR*
Check rhythm 1

Shockable Check rhythm


Shockabl
6 Shockable
e
rhythm?
Continue CPR while defibrillator is
charging

Give 1 shock

Manual biphasic : device specific No


Shockable
(same as first shock or higher dose)

Note:if unknown, use 200J


1
AED: device specific 2
Go
Monophasic: 360J If Asystole , go to box to
Give 5 siklus of 10
CPR* Box
7 No If electrical activity, 4
Check rhythm check pulse.If no
pulse, go to Box 10
Shockable

51
Box 12
7
No
Check rhythm

Shockable
rhythm?
Shockabl
e
8
During During CPR
Continue CPR while defibrillator is
CPR
charging
*Push hard and fast
Give 1 shock Rotate compressors
(100/min)
every
*Manual biphasic: device specific
*Ensure full chest
recoil 2 minutes with rhythm
(same as first shock or higher dose)
checks
Note: If unknown use 200J
Search for and treat
*AED :device specific
*Minimize interruption possible
*Monophasic : 360J in chest
contributing factors:
compressions
Resume CPR immediately after the
- Hypovolemia
shock
*One cycle of CPR: - Hypoxia

- Hydrogen ion
30 compressions then (acidosis)
2breaths

5siklus = 2 minutes

*Avoid hyperventilation

*Secure jalan nafas and


confirm

placement

*After an advnnced jalan


nafas is

placed, rescuers no
longer deliver siklus of
CPR. Give continuous

Chest compressions
without
52
pauses for breaths. Give
8 to 10

breaths/minute. Check
every 2 minutes.

9. REFERENSI

Algoritma untuk henti jantung karena VF, VT, PEA dan asistol (AHA Guidelines for CPR
2005)

53
10. DAFTAR PENUNTUN BELAJAR

No Penuntun RJP Sudah Belum


dikerjakan dikerjakan

1. Penilaian pasien henti jantung , henti jantung


mengancam

2. Melakukan kompresi dada/jantung luar atau


precordial tumb

3 Melakukan pembebasan jalan nafas atas

4. Menilai pasien bernafas/ tidak bernafas

5. Melakukan pernafasan buatan mulut ke mulut dua


kali

6. Melakukan pernafasan buatan dengan balon


resusitator dua kali

7 Melakukan penilaian denyut karotis

8 Melakukan kompresi jantung 30kali dengan laju


100x/menit

9 Melakukan kompresi : ventilasi 30 : 2

10 Melakukan penilaian hasil RJP dasar

11 Melakukan tindakan intubasi

12 Memberikan obat-obatan adrenalin, dan lain lain

13. Melakukan defibrilasi

14. Memberikan obat-obatan antifibrilasi

15. Melakukan penilaian hasil resusitasi

16 Menilai keadaan yang reversibel penyebab henti


jantung

17. Melakukan resusitasi pada anak-anak

54
18. Melakukan resusitasi pada neonatus.

17. Melakukan resusitasi otak (lihat modul ICU)

11. DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standard atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

55
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

12. MATERI ACUAN

RJP atau Cardio pulmonary resuscitation (CPR) di kamar operasi adalah tanggung jawab
anestetis, yang mengetahui lokasi dan fungsi alat resusitasi, obat-obatan untuk resusitasi dan

56
pembagian tugas. Pedoman di bawah ini telah dimodifikasikan mengikuti 2005 American Heart
Association Guidelines for Cardiopulmonary Resusucitation and EmergencyCardiac Care.

Diagnosis henti jantung

Tidak terabanya denyut/pulsasi arteri besar (karotis, radial atau femoral), tidak sadar. EKG
mungkin memperlihatkan asistol, fibrilasi ventrikular (VF), takikardia ventrikular (VT), atau
pulseless electrical activity (PEA).

Etiologi henti jantung

Sebab paling sering henti jantung adalah: infark miokard, hipoksia, gangguan keseimbangan
asam-basa, gangguan kalium, kalsium, dan magnesium, hipovolemia, efek obat yang tidak
diinginkan, tamponade perikardial, pneumotoraks ventil, embolus paru, hipotermia.

Henti jantung menyebabkan aliran darah yang efektif berhenti, hipoksia jaringan, metabolisme
anaerobik, dan kumulasi sisa metabolisme sel. Fungsi organ terganggu, dan kerusakan permanen
akan timbul, kecuali resusitasi dilakukan dalam hitungan menit (tidak lebih dari 4 menit).
Asidosis akibat metabolisme anaerobik menyebabkan vasodilatasi sistemik, vasokonstriksi
pulmoner, dan penurunan respons terhadap katekolamin.

Resusitasi pada dewasa

A. Bantuan hidup dasar. Henti jantung harus selalu dicurigai pada setiap pasien yang tanpa
diduga jatuh tidak sadar. Bila tidak dapat dibangunkan, resusitasi ABCD (airway, breathing,
circulation, defibrillation) harus dilakukan setelah lebih dulu minta bantuan. Untuk penolong
tunggal/ sendirian dengan penolong orang awam ada aturan phone first/phone fast Pada
dewasa dan semua anak di atas 12-14 tahun dengan risiko disritmia dapat dilakukan AED, kalau
alat tersedia, sebelum RJP dimulai oleh penolong yang sendirian.

1. Jalan nafas dan pernafasan. Posisi kepala untuk pembebasan jalan nafas, dibantu dengan
pemasangan pipa oro atau nasofaring. Nafas spontan dinilai dengan observasi, merasakan dan
mendengar. Bila nafas spontan tidak ada atau tidak efektif, berikan bantuan nafas buatan dengan
sungkup balon katup dengan oksigen 100%. Berikan nafas buatan dua kali pelan dengan tekanan
rendah (untuk mencegah distensi gaster), dilanjutkan dengan 8 sampai 10 kali nafas bantuan per
menit. Bila ventilasi tidak mungkin, fikirkan akan adanya benda asing di jalan nafas dan
keluarkan secara manual, lakukan manuver Heimlich, kompresi dada.

57
2. Sirkulasi. Sirkulasi dinilai dengan palpasi arteri karotis selama 5 detik. Bila tidak teraba,
lakukan kompresi dada luar (bila denyut teraba, tidak berarti bahwa tekanan arteri rata-rata
adekuat, bila tidak ada nafas, batuk-batuk atau gerakan, kompresi jantung/dada luar boleh
dilakukan). Tempatkan pasien pada alas yang keras, kepala satu level dengan toraks. Tumpuan
kompresi dada luar dilakukan dengan menempatkan pangkal tangan pada sternum di antara dua
puting susu, tangan lain ditempatkan di atas tangan pertama. Dokter pemegang pisau dapat
diminta bantuan untuk melakukan tindakan tersebut. Lengan lurus, kompresi tegak lurus ke
sternum, dengan ke dalaman 1.5 2.0 inci (4-5sm) pada orang dewasa. Rasio kompresi :
relaksasi = 1:1 dengan laju kompresi 100x/menit. Pada pasien dengan posisi tengkurap yang
tidak dapat dibuat telentang secara cepat, seorang penolong dapat meletakkan kepalan tangan di
antara subsifoid dan meja operasi sementara kompresi dilakukan pada punggung pada tempat
yang sesuai. Rasio kompresi dada: ventilasi adalah 30:2, pada dewasa dan anak bila hanya ada
satu penolong. Bila ada dua penolong dan sudah terpasang pipa endotrakeal atau LM, ventilasi
dapat diberikan 8 10 kali per menit dan kompresi dada harus diberikan dengan kecepatan
kompresi 100 kali per menit. Tanpa menunggu pause ventilasi.

3. Defibrilasi. Bila di rumah sakit harus dilakukan dalam waktu 3 menit atau dalam waktu 5
menit (sambil melakukan RJP dengan sangat baik). Ini merupakan faktor utama yang
menentukan keberhasilan resusitasi karena VF merupakan penyebab yang sering pada henti
jantung pasien dewasa. Bila tersedia AED di tempat umum, defibrilasi dapat dilakukan oleh
tenaga seperti polisi, personil pemadam kebakaran, keamanan dan lain lain. Melalui analisis
frekuensi, amplitudo dan gambaran signal ECG, alat AED tersebut dapat digunakan untuk
indikasi syok atau tidak ada indikasi untuk syok.AED dipicu secara manual tidak secara
automatis melakukan defibrilasi pasien.

4. Penilaian ulang RJP harus dinilai segera setelah dilakukan syok tanpa harus istirahat untuk
memeriksa nadi atau ritme dan harus dilanjutkan sampai lima siklus (atau kira-kira 2 menit bila
pasien dengan ETT terpasang) sebelum ritme dinilai ulang. Penolong harus memeriksa nadi
bilamana ritme yang teratur telah kembali. Bilamana tidak ada nadi atau tidak ada indikasi syok
dengan AED, RJP harus dilanjutkan dengan menilai ritme setiap lima siklus.

B. Advanced Cardiac Life Support (ACLS), termasuk pemasangan pipa endotrakeal,


defibrilasi, dan pemberian obat-obatan, merupakan terapi definitif henti jantung.

Protokol khusus:

1. Intubasi, harus secara cepat dilakukan dengan interupsi kompresi dada seminimal mungkin
dan tanpa menunda defibrilasi, akan mengoptimalkan oksigenasi dan pengeluaran CO2 selama
resusitasi. Bila ada alatnya dikonfirmasikan dengan kapnografi. Jalur endotrakeal ini bisa
dipakai untuk memberikan obat bila akses intravena sulit, misalnya nalokson, atropin,

58
vasopresin, epinefrin dan lidokain (NAVEL). Obat diencerkan dengan 10 ml NaCl 0,9% steril
dan diberikan 2 sampai 3 kali.

2. Defibrilasi. VT dan VF bila berlangsung lama maka aktivitas jantung menurun dan akan sulit
untuk dikonversi ke ritme normal. Lakukan defibrilasi sedini mungkin, tanpa melihat lapangan
operasi. Itu merupakan tanggung jawab yang melakukan defibrilasi agar anggota tim resusitasi
tidak kontak dengan pasien selama tindakan defibrilasi.

a. Defibrilasi bentuk gelombang bifasik. Energi optimal untuk mengakhiri VF yang dipakai
bergantung pada spesifikasi alat antara 120 200 Joule, bila tidak ada pakai yang 200J.
Bilamana VF berhasil diatasi tetapi timbul VF ulang, syok berikut gunakan energi yang sama.

b. Defibrilasi bentuk gelombang monofasik, masih digunakan di banyak institusi, memberikan


energi secara satu arah Energi awal dan energi harus 360J.

c. Kardioversi untuk flater atrial, disritmia supraventrikular, seperti takikardia supraventrikular


paroksismal (PSVT), dan VT dengan hemodinamik yang stabil umumnya memerlukan energi 50
100 J monofasik, lebih kecil dibandingkan dengan fibrilasi atrial (AF) 100 120J. Energi
optimal untuk kardioversi dengan bentuk gelombang bifasik belum diketahui. Energi 100 120J
efektif dan dapat diberikan pada takiaritmia yang lain. Kardioversi tidak akan efektif untuk terapi
takikardia junctional atau takikardia ektopik atau multifokal. Sebab ritme ini disebabkan oleh
fokus autonom lebih dari re-entry.

3. Pemacuan, blok jantung derajat tinggi dengan bradikardia yang menonjol adalah etiologi
henti jantung. Pacu jantung temporer harus dipasang bila laju jantung tidak meningkat dengan
terapi farmakologis. Pemacuan transkutaneus adalah cara yang mudah untuk meningkatkan laju
ventrikular.

4. Akses intravena merupakan keharusan untuk resusitasi agar berhasil. Tempat terbaik adalah
vena sentral, vena jugularis interna, vena jugularis eksterna, vena subklavia, vena femoralis atau
vena perifer dengan kateter panjang, atau pendek tetapi aliran harus lancar.

5. Obat-obatan, ikuti ACLS. Obat-obat yang dipakai pada keadaan hemodinamik tak stabil,
iskemia atau infark miokard dan aritmia.

a. Adenosin, untuk mengkonversi PSVT ke irama sinus, waktu paruh 5 menit, memperlambat
A-V konduksi nodal, menginterupsi jalur reentry A-V node. Ini dapat pula digunakan untuk

59
membantu membuat diagnosis diferensial takikardia ventrikular ( misalnya flater atrial dengan
respons cepat versus PSVT). Dosis 6 mg dengan bolus IV cepat. Bila PSVT tak berhasil diatasi,
dapat diberikan suntikan kedua dengan dosis 12 mg. Pada anak-anak dosis 0,1 mg/kg; dosis
ulang 0,2 mg/kg; dosis maksimal 12 mg.

b. Amiodaron obat yang paling bermanfaat dalam ACLS. Memiliki sifat-sifat anti-aritmik,
memperpanjang aksi potensial, blokade kanal natrium, kronotropik negatif. Obat ini sangat
efektif dan tidak memiliki efek prodisritmik, sehingga disukai sebagai antidisritmia pada
gangguan fungsi kardiak yang berat. Dosis untuk VF dan VT yang tidak stabil, 300mg
diencerkan dalam 20 30 ml NaCl 0.9% atau dekstrosa 5% secara cepat. Untuk pasien dengan
kondisi lebih stabil dosis 150 mg diberikan dalam waktu 10 menit, dilanjutkan dengan infusi
1mg/menit selama 6 jam kemudian 0,5 mg/menit. Dosis maksimal adalah 2 g sehari. Efek
samping yang timbul segera adalah bradikardia dan hipotensi. Pada anak-anak dosis
pengisian(loading dose) 5 mg/kg, dosis maksimum 15 mg/kg/hari. Indikasi penggunaan
amiodaron adalah: (1) VT tidak stabil (2) VF sesudah gagal dilakukan defibrilasi elektrik dan
terapi adrenalin. (3) Mengendalikan laju jantung selama VT yang monomorfik, VT polimorfik
(4) Mengendalikan laju ventrikular pada aritmia atrium yang tidak berhasil dengan terapi
digitalis. Atau bilamana takikardia sekunder oleh jalur lain. (5) Bagian kardioversi elektrik PSVT
yang refrakter atau takikardia atrial.

c.Atropin bermanfaat pada bradikardia atau blok A-V. Ini meningkatkan laju irama sinus dan
meningkatkan konduksi nodus A V oleh karena efek vagolitik.

Dosis atropin untuk bradikardia atau blok A-V adalah 0,5 mg diulang tiap 3-5 menit sampai
dosis total 0,04 mg/kg. Untuk asistol, atropin diberikan 1 mg bolus diulang tiap 3 5 menit bila
perlu. Blok vagal total dicapai bila dosis kumulatif 3 mg. PALS: 0,02 mg/kg; dosis minimal 0,1
mg, dosis maksimal 0,5 mg pada anak, 1 mg pada dewasa.

d. Penghambat beta (atenolol, metoprolol dan propanolol) sudah dipakai untuk pasien-pasien
dengan angina tidak stabil, infark miokard. Obat-obat ini mengurangi iskemia rekurens, reinfark
nonfatal, VF pasca-infark. Kontras dengan penghambat kalsium, penghambat beta bukan inotrop
negatif direk. Esmolol, berguna pula untuk terapi akut PSVT, AF, flater atrial, takikardia atrial
ektopik. Dosis awal dan lanjut bila timbul toleransi adalah: atenolol 5 mg selama 5 menit, ulangi
sekali pada 10 menit; metoprolol 5 mg sebanyak tiga kali setiap 5 menit; propranolol 0,1 mg/kg
dibagi dalam tiga dosis setiap 2 -3 menit; esmolol 0,5 mg/kg dalam 1 menit dilanjutkan dengan
infusi mulai dari 50 mkg/menit dan titrasi sampai 200 mkg/menit. Indikasi-kontra adalah blok
jantung derajat dua atau tiga, hipotensi dan gagal jantung kongestif berat. Atenolol dan
metoprolol, relatif lebih beta-1 bloker, lebih disukai daripada propranolol pada pasien dengan
jalan nafas reaktif. Sebagian besar pasien dengan penyakit obstruktif menahun, umumnya
tolerans terhadap beta-bloker.

60
e. Kalsium diindikasikan pada pasien henti jantung hanya bilamana dicurigai ada hiperkalemia,
hipermagnesemia, hipokalsemia, atau toksik karena penghambat kanal kalsium. Kalsium klorida
5 10 mg/kg IV, dapat diulang bila perlu. (PALS: 20 mg/kg)

f. Penghambat kanal kalsium: Verapamil dan diltiazem melambatkan konduksi dan


meningkatkan masa refrakter di nodus AV. Keduanya dipakai untuk mengobati PSVT kompleks
sempit yang tidak respons terhadap manuver vagal atau adenosin. Keduanya dapat pula dipakai
untuk mengendalikan laju respons ventrikular pada AF atau flater atrial. Dosis awal verapamil
adalah 2,5 5,0 mg IV , dengan dosis selanjutnya 5 sampai 10mg IV diberikan tiap 15 30
menit. Diltiazem diberikan dengan dosis awal bolus 0,25 mg/kg sampai 0,35 mg/kg dan infusi 5
-15 mg/jam bilamana perlu. Efek samping hipotensi, eksaserbasi CHF, bradikardia. Hipotensi
dapat diatasi dengan kalsium klorida 0,5 1,0 g IV

g. Dopamin memiliki aktifitas dopaminergik (pada dosis kurang dari 2 mikrogram/kg/menit),


beta-adrenergik (pada 25 mikrogram/kg/menit), dan alfa adrenergik (pada 510
mikrogram/kg/menit). Tapi efek adrenergik tersebut dapat terjadi pada dosis terendah
sekalipun. Mulai dengan 150 mikrogram/menit dan titrasi sampai efek yang diinginkan (urin,
tekanan darah meningkat, HR meningkat).

h. Epinefrin masih merupakan terapi farmakologik utama pada henti jantung , meskipun sedikit
bukti akan memperbaiki survival. Efek vasokonstriksi alfa-adrenergik pembuluh nonserebral
dan nonkoroner menimbulkan kompensasi pintasan darah ke otak dan jantung. Dosis tinggi tidak
dianjurkan karena dapat ikut menimbulkan disfungsi miokard.

Dosis tinggi diindikasikan pada overdosis penghambat beta atau penghambat kanal Ca. Dosis
yang dianjurkan adalah 1,0 mg IV, ulangi tiap 3-5 menit, atau pemberian infusi 1-4
mikrogram/menit. Epinefrin juga dipakai untuk bradikardia simptomatik (PALS: bradikardia
0,01 mkg/kg; nadi berhenti 0,01 mg/kg)

i.Isoproterenol adalah beta-1 dan beta-2 agonis adrenergik. Ini merupakan obat lini kedua untuk
mengatasi bradikardia yang tidak responsif terhadap atropin dan dobutamin di mana alat pacu
jantung temporer tidak tersedia. Aktivitas beta-2 dapat menyebabkan hipotensi. Isoproterenol
diberikan dengan IV 210 mikrogram/menit, dititrasikan untuk mencapai laju nadi yang
diinginkan.

j. Lidokain bermanfaat untuk mengendalikan (bukan profilaksis) ektopik ventrikular selama


infark miokard akut. Dosis awal untuk henti jantung adalah 1,0 1,5 mg/kg, dan ini dapat
diulang 0,5 0,75 mg/kg bolus setiap 3 5 menit sampai dosis total 3 mg/kg. Infusi kontinyu
lidokain 2 sampai 4 mg/menit diberikan setelah resusitasi berhasil. Dosis lidokain harus
diturunkan pada pasien dengan curah jantung menurun, fungsi hepar terganggu, atau umur lanjut.
(PALS: 1 mg/kg; infusi, 20 -50 mikrogram/kg/menit).

61
k. Magnesium adalah kofaktor dalam bermacam reaksi enzim termasuk Na, K-ATPase.
Hipomagnesemia dapat mencetuskan VF yang refrakter sekaligus eksaserbasi hipokalemia.
Penggantian magnesium efektif untuk torsade de pointes akibat pemberian obat. Dosis untuk
keadaan segera 1 2 g dalam dekstrosa 5% diberikan selama 1 -2 menit. Efek samping dengan
pemberian cepat adalah hipotensi dan bradikardia (PALS: 25-50mg/kg, dosis maksimal 2g).

l.Oksigen (100%) harus diberikan pada semua pasien henti jantung, dengan/ tanpa nafas bantu.

m.Prokainamid mungkin bisa dipertimbangkan pada pasien-pasien dengan yang masih ada
cadangan fungsi ventrikular. Dosis pengisian adalah 20 mg/menit sampai aritmia dapat
tersupresi, timbul hipotensi, kompleks QRS melebar 50% dari nilai asal atau dosis total 17
mg/kg tercapai. Bila aritmia dapat diatasi, infusi rumatan 1 4 mg/menit harus dimulai, dosis
kurangi bila ada gagal ginjal.

n.Natrium bikarbonat pada henti jantung dapat memperburuk karena dapat menimbulkan
asidosis intraselular paradoksal. Ini dapat dipertimbangkan bila Standard protokol ACLS gagal
dengan adanya asidosis metabolik berat, dan ini bisa membantu terapi hiperkalemia atau
keracunan anti depresan tricyclic.. Dosis awal 1mEq/kg IV, dengan dosis berikut 0,5mEq/kg
diberikan setiap 10menit (dipandu dengan nilai pH dan PaCO2). (PALS: 1mEq/kg)

o. Vasopresin, sebuah antidiuretik dan presor bisa dipakai untuk pengganti dosis 1 dan dosis 2
epinefrin, pada terapi henti jantung (40 unit IV), lebih efektif daripada epinefrin, konstriksi otot
polos vaskular pada dosis tinggi. Lebih efektif dalam mempertahankan coronary perfusion
pressure dan half life lebih panjang 10 20 menit.

6. Kompresi jantung langsung dada terbuka, dilakukan bila ada sumber daya yang memadai
untuk penatalaksanaan trauma tembus dada, trauma abdominal dengan henti jantung, perikardial
tamponade, hipotermia, atau embolus paru. Kompresi langsung juga diindikasikan untuk pasien-
pasien dengan kelainan anatomi pada dada yang menyebabkan kompresi dada tertutup sulit.

7. Pengakhiran RJP. Tidak ada pedoman yang mutlak untuk menentukan kapan menghentikan
resusitasi yang tidak berhasil, tetapi peluang hidup kecil setelah berlangsung 30 menit. Ini
merupakan keputusan yang harus diambil oleh dokter yang bertugas untuk menentukan kapan
sistem kardiovaskular tidak bereaksi lagi terhadap bantuan hidup dasar maupun bantuan hidup
lanjut dan bahwa pasien telah meninggal.

Menurut fatwa IDI tentang mati (Surat keputusan PB. IDI No.336/PB/A.4/88), pada resusitasi
darurat, di mana kita tidak mungkin menentukan MBO, seseorang dapat dinyatakan mati bila 1) terdapat
tanda-tanda mati jantung atau 2) terdapat tanda-tanda klinis mati otak yaitu bilamana setelah dimulai
resusitasi, pasien tetap tidak sadar, tidak timbul pula nafas spontan dan refleks muntah (gag reflex) serta
pupil tetap dilatasi selama 15-30 menit atau lebih, kecuali kalau pasien hipotermik, di bawah pengaruh
barbiturat atau anestesia umum. Diagnosis mati jantung (henti jantung ireversibel) ditegakkan bila

62
telah ada asistol listrik membandel (intractable, garis datar pada EKG) selama paling sedikit 30
menit, walaupun telah dilakukan RJP dan terapi obat yang optimal
8. Pernyataan do not resuscitate (DNR) menempatkan anestetis sebagai posisi kunci pada
masa intraoperatif dan pascabedah. Tidak berarti bahwa DNR berlaku pada masa perioperatif.
Pedoman tertulis khusus untuk institusi harus diulas. Kelanjutan tindakan resusitasi pada pasien
dengan DNR harus disesuaikan dengan harapan pasien.

Resusitasi pada Pediatri

A. Bantuan hidup dasar. Kebutuhan untuk RJP pada pediatri setelah masa neonatus jarang.
Henti jantung pada pediatri biasanya karena hipoksemia terkait dengan gagal nafas atau obstruksi
jalan nafas. Pediatri meliputi bayi (usia 1 bulan sampai 1 tahun), anak-anak (1 sampai 8 tahun).
Untuk anak-anak lebih tua dari 8 tahun, resusitasi sama dengan dewasa. Perbedaan resusitasi
pada anak-anak dan dewasa:

1. Jalan nafas dan pernafasan. Tindakan menjaga jalan nafas sama dengan dewasa. Pada
anak-anak kurang dari 1 tahun, hentakan abdominal tidak digunakan karena mudah merusak
saluran cerna. Hiperekstensi kepala leher neonatus (head tilt/chin lift) dapat menimbulkan
obstruksi jalan nafas. Kompresi submental saat angkat dagu dapat menimbulkan obstruksi jalan
nafas karena lidah terdorong ke dalam faring. Ventilasi harus diberikan secara pelan dengan
tekanan jalan nafas rendah guna mencegah distensi gaster dan harus diberikan volume ventilasi
yang baik

2.Sirkulasi. Pada bayi arteri brakialis dan arteri femoralis dipakai untuk menilai denyut, karena
arteri karotis sulit diraba. Bila tidak ada denyut, kompresi dada dimulai dengan rasio
kompresi/relaksasi 1:1 dengan dua ujung jari atau dengan kedua ujung ibu jari sembari kedua
tangan melingkari dada. Tempat tumpuan kompresi adalah di sternum satu jari di bawah garis
interpapiler. Pada anak lebih besar tempat tumpuan sama dengan dewasa, kompresi dilakukan
hanya dengan satu tangan menekan sternum sedalam 1/3 sampai kedalaman anterior posterior
toraks. Untuk satu penolong rasio kompresi/ventilasi 30:2. Untuk dua penolong 15:2. Ventilasi
diberikan 8 sampai 10 kali per menit, dan kompresi dada diberikan dengan kecepatan 100 x per
menit.

B. Pediatric advanced life suppot. Kebanyakan henti jantung pediatrik lebih sering
menunjukkan gambaran EKG asistol atau bradikardia daripada aritmia ventrikular. Pada anak
kurang dari 1 tahun, etiologinya adalah idiopatik atau pernafasan. Karena perbedaan anatomi dan
fisiologi dengan dewasa, pada anak-anak dipakai dosis defibrilasi dan obat berdasarkan berat
badan.

63
1.Intubasi. Ukuran ETT berdasarkan usia pasien (= 4 + usia/4) untuk anak-anak di atas 2 tahun.
Gunakan ukuran lebih kecil untuk ETT dengan kaf. Atropin, epinefrin, lidokain, atau nalokson
dapat diberikan melalui ETT sebelum ada akses vena.

2. Defibrilasi. Padel defibrilator untuk bayi berdiameter 4,5 sm dan untuk anak lebih besar 8 sm.
Untuk alat monofasik dan bifasik level energi 2 J/kg dosis awal dan dosis ulang 4 J/kg.
Hipoksemia, asidosis dan hipotermia harus dipertimbangkan sebagai penyebab henti jantung
yang perlu diatasi bila upaya defibrilasi tidak berhasil. Untuk kardioversi mulai dengan energi
0,2 J/kg, dinaikkan sampai 1 J/kg bila diperlukan.

3. Akses intravena. Akses vena sentral lebih disukai, tetapi bila ada, jalur IV perifer harus
segera dipakai, jangan ditunda-tunda. Vena femoralis masih bisa dipakai dengan kateter khusus
yang cukup panjang. Akses intraoseus dapat dipakai pada anak-anak, dengan jarum khusus
ditusukkan ke bagian spongiosa tibia, hindari epifisis tibia, mencapai akses sinus vena sumsum
tulang. Bila tak satupun di atas tersedia, dapat diberikan melalui ETT dengan pengenceran 2 5
ml NaCl 0,9%.

4.Medikasi. Semua obat yang dipakai pada ACLS dewasa dapat diberikan pada anak-anak
(PALS), disesuaikan dengan berat badan anak.

Resusitasi Neonatus. Neonatus adalah usia 28 hari pertama kehidupan. Seseorang yang sudah
mahir dalam resusitasi neonatus hendaknya hadir pada setiap persalinan. Resusitasi dibagi dalam
4 fase: rangsangan dan isap, ventilasi, kompresi dada dan pemberian obat dan cairan resusitasi.
Resusitasi sering diperlukan pada operasi sesarea darurat atas indikasi gawat janin. Anestetis
harus mengambil alih terapi bayi baru lahir sampai spesialis anak tiba.

A. Penilaian. Resusitasi segera pada neonatus merupakan hal yang sulit bila hipoksemia berat
mudah terjadi dengan cepat dan menyebabkan asidosis respiratori, sirkulasi fetal resisten dan
pintasan kanan ke kiri. Neonatus yang membutuhkan resusitasi pada umumnya menderita
pintasan kanan ke kiri.

1. Skor Apgar merupakan penilaian obyektif kondisi fisiologis bayi baru lahir pada 1 dan 5
menit sesudah lahir.

2. Skor Apgar 0-2 harus dilakukan RJP. Skor 3-4 memerlukan balon resusitator dan sungkup
dan mungkin memerlukan resusitasi lebih lanjut. Suplemen oksigen dan rangsangan secara
normal cukup untuk bayi dengan skor 5 7. Aktivitas respirasi harus dinilai dengan mengamati
gerakan dada dan auskultasi. HR diperiksa dengan auskultasi atau perabaan pembuluh
umbilikalis.

64
1. Rangsangan dan pengisapan. Tempatkan neonatus dalam lingkungan hangat untuk
menghindari kehilangan panas dan asidosis kambuhan. Letakkan neonatus pada posisi
Trendelenberg dengan posisi mendongak untuk membuka jalan nafas dan memudahkan drainase
sekresi. Mulut dan hidung harus diisap (dengan alat khusus) untuk mengeluarkan darah, mukus,
mekonium. Pengisapan paling lama 10 detik, dan oksigen diberikan antara 2 upaya isap. Selama
pengisapan, denyut jantung harus dipantau untuk kemungkinan timbulnya bradikardia akibat
hipoksemia, refleks vagal atau rangsangan faring. Pengisapan dan mengeringkan merupakan
rangsangan pernafasan yang adekuat. Cara lain adalah secara lembut menggosok punggung atau
menepuk telapak tumit kaki. Bila ada mekonium dalam air ketuban, spesialis obstetri sering
melakukan pengisapan jalan nafas saat kepala lahir tetapi toraks belum lahir (intrapartum isap).
Akan tetapi, cara ini secara rutin tidak memberikan hasil lebih baik terhadap risiko aspirasi,
karena itu sudah tidak dianjurkan lagi. Pengisapan melalui ETT tak bermanfaat untuk bayi yang
usaha nafas kuat, tonus otot bagus, HR >100 kali/menit. Pengisapan melalui ETT harus
dilakukan segera setelah lahir pada bayi dengan mekonium dan diulangi sampai trakea bersih.
Tiap upaya isap harus singkat untuk mencegah bradikardia.

2. Ventilasi. Sesudah rangsangan dan stabilisasi, bayi yang bernafas spontan dan HR > 100
x/menit tetapi tampak sianosis sentral (wajah, tubuh dan membran mukosa), harus diberi
suplemen oksigen. Sianosis akral (hanya di kaki dan tangan) biasanya normal dan tidak handal
sebagai indikator hipoksemia. Beri ventilasi tekanan positif dengan oksigen 100% bila apnea,
sianosis dan HR < 100 x/menit. Balon resusitator dan sungkup muka harus diupayakan segera.
Nafas awal bisa memerlukan tekanan jalan nafas 30-40 sm H2O yang dipertahankan selama 2
detik. Tekanan jalan nafas harus dijaga serendah mungkin (pastikan paru mengembang dan cegah
distensi lambung). Lakukan terus ventilasi bantu sampai timbul ventilasi spontan adekuat dan
HR >100 x/menit. ETT dipasang bilamana ventilasi dengan sungkup muka tidak efektif,
diperlukan pengisapan melalui ETT (aspirasi mekonium), atau diperlukan ventilasi
berkepanjangan.

3. Kompresi dada. Untuk HR < 100, harus dievaluasi setelah pemberian ventilasi adekuat
dengan oksigen 100% selama 30 detik. Bila HR < 60 kompresi dada harus juga dilakukan di
samping bantuan nafas. Dilakukan pada sepertiga bawah dari sternum, dan kompresi dada
sedalam 1/3 kedalaman antero-posterior. Kompresi dan ventilasi harus dikoordinasikan dengan
rasio 3:1, dengan 90 kompresi dan 30 nafas sehingga dalam 1 menit diperoleh 120 kali upaya.
Kompresi dihentikan seiap 30 detik untuk menilai ulang respirasi, HR, warna dan harus
dilanjutkan terus sampai HR spontan > 60 x/menit

4. Pemberian obat-obat dan cairan resusitasi . Obat-obat resusitasi harus diberikan bila HR
masih < 60 x/menit kalaupun ventilasi sudah adekuat dengan oksigen 100% dan kompresi dada.
Vena umbilikalis, terbesar dan tertipis di antara 3 pembuluh darah dalam tali pusat, merupakan
akses vaskular untuk resusitasi neonatus. Bila tak ada akses vaskular, epinefrin, atropin, lidokain,
nalokson dibilas dengan larutan NaCl 0,9% 5 mL dapat diberikan melalui ETT.

65
5. Dosis obat dan cairan

a. Suplemen oksigen harus diberikan pada waktu ventilasi tekanan positif. Berikan oksigen bila
nafas spontan, tetapi ada sianosis sentral. Dianjurkan untuk tidak memberikan oksigen 100%
dalam waktu lama.

b. Epinefrin. Efek -adrenergik dari epinefrin meningkatkan HR selama resusitasi neonatus.


Indikasi pada asistol dan bradikardia < 60 x/menit sekalipun sudah dengan ventilasi tekanan
positif dan kompresi dada. Dosis 0,01-0.03 mg/kg larutan 1:10.000 IV. Melalui ETT 0,1 mg/kg.
Dosis dapat diulang setiap 3-5 menit, sesuai kebutuhan.

c.Nalokson adalah antagonis spesifik untuk opiat diberikan bila ada depresi nafas pada neonatus
sekunder karena pemberian narkotik pada ibunya. Dosis 0.1 mg/kg. Harus selalu diobservasi
akan timbulnya ulang depresi atau terjadi reaksi withdrawal.

d. Pemberian sodium bikarbonat secara rutin tidak dianjurkan. Dapat dipertimbangkan selama
henti jantung yang berkepanjangan untuk mengatasi depresi fungsi miokard dan penurunan kerja
katekolamin yang ditimbulkan oleh asidosis. Perdarahan intraventrikular pada bayi prematur
terjadi karena beban osmolar yang terjadi karena pemberian Na-bikarbonat. Preparat untuk
neonatus 4,2% atau 0,5 mEq/mL dapat menghindarkan efek samping di atas. Dosis awal 1
mEq/kg intavena diberikan selama 2menit. Selanjutnya 0,5 mEq/kg diberikan setiap 10 menit
dan pH dan PaCO2 harus selalu diperiksa.

e. Atropin, kalsium, glukosa tidak dianjurkan pada resusitasi neonatus kecuali dengan indikasi
khusus.

f. Cairan. Hipovolemia harus dipertimbangkan pada perdarahan peripartum atau bila hipotensi,
nadi lemah, tetap pucat sekalipun sudah dilakukan oksigenasi dan kompresi dada. Cairan yang
digunakan kristaloid 10 ml/kg dan diulang bila perlu. Pemberian volume ekspander seperti
albumin secara cepat dapat menimbulkan perdarahan intraventrikular.

MODUL 4 : KEDOKTERAN PERIOPERATIF I

Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 1 dan2 )

66
Sesi di dalam kelas 2 X 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasilitasi Pembimbing 3 X 2 (coaching session)

Sesi praktek dan pencapaian 4 pekan (facilitation & assessment)


kompetensi

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

1. LCD proyektor dan layar


2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Pemutar video
Materi presentasi:

CD powerpoint

Sarana:

1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang pulih
4. Bangsal rawat inap/pengamatan lanjut
Kasus : pasien di ruang BEDAH (Bedah, Kebidanan dll)

Alat bantu latih : model anatomi /simulator

Penuntun belajar : lihat acuan materi

Daftar tilik kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
3. Millers Anesthesia 6th ed 2005.
4. Perioperatif Medicine, Gillman, J,1998
5. Perioperatif Care, Stone,DJ,2004

67
1. Tujuan Pembelajaran Umum :
Setelah menyelesaikan modul ini peserta didikan akan memiliki pengetahuan dan
keterampilan melakukan evaluasi, mempersiapkan anestesia, melakukan asuhan pascabedah
untuk pasien ASA 1 dan 2 yang dilakukan pembedahan untuk mengurangi morbiditas bedah,
meningkatkan kualitas asuhan perioperatif dan menghemat biaya.

2. Tujuan Pembelajaran Khusus:


Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik akan memiliki kemampuan:

a. Kognitif

i. Memahami arti kedokteran perioperatif.


ii. Mampu menjelaskan tentang tanggapan fisiologi terhadap pembedahan dan
anestesia.
iii. Mampu menjelaskan indikasi dan menilai hasil pemeriksaan laboratorium
hematologi, fungsi ginjal, fungsi hati dan endokrin.
iv. Mampu menjelaskan indikasi dan menilai hasil pemeriksaan foto toraks dan EKG.
v. Mampu melakukan identifikasikan riwayat penyakit atau kelainan pasien
preoperatif yang mempengaruhi jalannya anestesia.
vi. Mampu menentukan dengan benar status fisis pasien berdasarkan klasifikasi ASA.
vii. Mampu menjelaskan rencana anestesia untuk prosedur bedah yang akan dilakukan.
viii. Mampu menjelaskan persiapan alat dan obat untuk rencana operasi dengan
anestesia umum.
ix. Mampu menjelaskan sirkuit nafas mesin anestesia pada anestesia umum.
x. Mampu menjelaskan dan menginterpretasikan hasil monitor.
xi. Mampu menjelaskan tanda-tanda kegawatan pasien.
xii. Mampu menjelaskan penanggulangan nyeri pascabedah

b. Psikomotor

i. Mampu melakukan pencatatan hal-hal penting yang terkait dengan tindakan


anestesia umum dalam rekam medis preoperatif.
ii. Mampu mempersiapkan alat anestesia umum.
iii. Mampu memasang alat/mesin anestesia dengan benar.
iv. Mampu memasang alat monitor dengan benar.
v. Mampu melakukan interpretasi hasil monitor dan mampu melakukan tindakan
segera sesuai hasil monitor sebelum, selama dan sesudah anestesia.
vi. Mampu melakukan pencatatan rekam medis anestesia secara benar pada tindakan
yang dilakukan pada butir 2.
vii. Mampu melakukan penanggulangan nyeri pascabedah.

c. Komunikasi/hubungan interpersonal

68
i. Mampu berinteraksi dengan orang lain atas dasar saling menghargai dan
menghormati.
ii. Mampu memberikan keterangan tentang kondisi pasien kepada sejawat senior atau
konsulen.
iii. Mampu menjelaskan pada pasien atau keluarga pasien tentang kondisi pasien
preoperatif dan langkah-langkah tindakan anestesia yang akan dilakukan serta
risiko yang bisa terjadi.
iv. Mampu menciptakan kondisi kerjasama tim di antara semua petugas kesehatan
yang terlibat di kamar operasi.
v. Mampu memberikan kepercayaan pada pasien tentang penanggulangan nyeri dan
rasa tidak nyaman pascabedah.

d. Profesionalisme

i. Mampu bekerja sesuai prosedur.


ii. Mampu memberikan kemudahan kepada operator saat operasi.
iii. Mampu berinteraksi dengan sejawat lain maupun tenaga paramedis dan tenaga
kesehatan lain atas dasar menghargai kompetensi masing-masing.
iv. Mampu menjaga kerahasiaan pasien.
v. Mampu memahami, memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarganya
tentang kondisi pasien sesuai hak pasien.
vi. Mampu melakukan pekerjaan secara efisien.

3. Key notes

a. Sasaran utama asesmen medis prabedah dan praprosedur pasien yang akan menerima
anestesia adalah untuk menurunkan angka kematian bedah, meningkatkan kualitas
asuhan medis tetapi menurunkan biaya asuhan perioperatif dan pasien kembali
dengan fungsi yang diinginkan secepat mungkin.
b. Evaluasi dasar untuk prabedah dan praprosedur adalah data yang memperlihatkan
kondisi pasien dan optimasi asuhan perioperatif yang menjadi prediktor signifikan
untuk kematian pascabedah.
c. Evaluasi prabedah dan praprosedur mengajukan oportuniti untuk memotivasi pasien
agar mendapatkan kualitas hidup yang lebih tinggi dengan demikian memperbaiki
outcome secepatnya dan peningkatan jangka panjang.
d. Tiga area riwayat cepat yang mempengaruhi evaluasi perioperatif adalah toleransi
latihan, riwayat penyakit sekarang dan kapan kunjungan akhir pasien ke rumah sakit
(primary care physician).
e. Tiga aspek riwayat menahun yang mempengaruhi evaluasi perioperatif adalah
pengobatan alasan pemakaiannya serta alergi; riwayat sosial, termasuk obat (drug),
alkohol, penggunaan rokok dan penghentiannya; riwayat keluarga dan penyakit
sebelumnnya.
f. Tiga aspek pemeriksaan fisis adalah, jalan nafas, kardiovaskular dan evaluasi paru.

69
g. Pada umumnya, tidak banyak benefit yang didapat tes laboratorium yang tak
terindikasi, dan tes sebaiknya dicadangkan untuk yang condong menghasilkan
meningkatkan mengobatan atau pencegahan problem potensial.
h. Prosedur bedah yang luas mempengaruhi kebutuhan tes rutin sedangkan prosedur
dengan risiko ringan tidak atau sedikit memerlukan tes diagnostik.

4. Pokok Bahasan
a. Definisi Kedokteran Perioperatif
b. Perubahan fisiologi akibat anestesia dan pembedahan
c. Pemeriksaan laboratorium darah, fungsi ginjal, fungsi hati, dan endokrin
d. Membaca foto toraks dan elektrokardiogram
e. Faktor-faktor yang menentukan risiko perioperatif
f. Persiapan preoperatif (Modul Persiapan Anestesia)
g. Penatalaksanaan Anestesia Umum
h. Pemantauan
i. Penatalaksanaan pasca-anestesia
j. Penatalaksanaan nyeri pascabedah (Modul Penatalaksanaan Nyeri)

5. Waktu : Semester I 3 SKS

6. Metode:

a. Pre-tes

i. Jelaskan tanggapan fisiologi akibat anestesia dan pembedahan.


ii. Jelaskan manfaat kunjungan pasien preoperatif.
iii. Jelaskan dan berikan contoh tentang klasifikasi status fisis menurut American
Society of Anesthesiologist (ASA).
iv. Jelaskan persiapan pasien sebelum anestesia umum pada operasi berencana.
v. Jelaskan tentang peralatan, obat-obatan termasuk terapi cairan yang harus
dipersiapkan untuk memberikan anestesia umum.
vi. Jelaskan pemantauan yang harus dilakukan pada saat induksi, intubasi dan selama
tindakan anestesia umum.
vii. Sebutkan tanda-tanda kegawatan mengancam nyawa selama pemantauan.
viii. Jelaskan cara mengakhiri tindakan anestesia.
ix. Jelaskan penatalaksanaan pasien pasca-anestesia termasuk penanggulangan nyeri.

b. Kognitif

i. Kuliah pendahuluan

70
ii. Belajar mandiri
iii. Belajar berkelompok
iv. Belajar berbasis problema
v. Diskusi kelompok
vi. Simulasi pasien

c. Psikomotor

i. Supervisi klinis
ii. Penatalaksanaan pasien berdasarkan problema

d. Komunikasi/hubungan interpersonal

i. Supervisi klinis
ii. Penatalaksanaan pasien berdasarkan problema

e. Profesionalisme
i. Penatalaksanaan pasien berdasarkan problema

7. Sumber Pembelajaran
a. Audiovisual
b. Praktek di kamar operasi
c. Internet
8. Media
a. Audiovisual
b. Praktek di kamar operasi

9. Alat Bantu
a. Audiovisual
b. Praktek di kamar operasi

10. Evaluasi
a. MCQ
b. EMQ
c. OSCE
d. Minicheck
e. Multiple observations and assessments

11. Kata-kata Kunci


71
a. Kedokteran perioperatif
b. Risiko periopertif
c. Kunjungan praanestesia
d. Status fisis ASA
e. STATICS
f. Pemantauan periopertatif
g. Penanggulangan nyeri

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR

Sudah Belum
No Daftar cek penuntun belajar
dikerjakan dikerjakan

1. DEFINISI KEDOKTERAN PERIOPERATIF

2. TANGGAPAN FISIOLOGI AKIBAT ANESTESIA

3. KUNJUNGAN PRAANESTESIA

4. MENILAI HASIL PEMERIKSAAN DARAH

5. MENILAI HASIL PEMERIKSAAN FUNGSI


GINJAL

6. MENILAI HASIL PEMERIKSAAN FUNGSI HATI

7. MENILAI HASIL PEMERIKSAAN FUNGSI


ENDOKRIN

8. MENILAI HASIL FOTO TORAKS

9. MENILAI HASIL EKG

10. MENENTUKAN STATUS FISIS ASA

11. PERSIAPAN PRAANESTESIA DI KAMAR


OPERASI:

A. Persiapan mesin anestesia

B. Persiapan STATICS

C. Persiapan obat-obatan dan cairan Infusi

D. Persiapan dan pemasangan alat-alat monitor

72
E. Pemantauan selama anestesia

F. Penatalaksanaan pascabedah di ruang pulih

G. Penanggulangan nyeri


Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda

DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur Standard atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur Standard atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

73
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih

74
Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

75
MODUL 5 : KEDOKTERAN PERIOPERATIF II

Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 2)

Sesi di dalam kelas 2 X 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasilitasi Pembimbing 3 X 2 (coaching session)

Sesi praktek dan pencapaian 4 pekan (facilitation & assessment)


kompetensi

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

LCD Proyektor dan layar

Laptop

OHP

Flipchart

Pemutar video

Materi presentasi:

CD PowerPoint

Sarana:

Ruang belajar

Ruang pemeriksaan

Ruang Pulih

Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut

Kasus : pasien di ruang PACU

76
Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006

2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

3. Millers Anesthesia 6th ed 2005.

4. Perioperatif Medicine, Gillman, J,1998

5. Perioperatif Care, Stone,DJ,2004

1.Tujuan Pembelajaran Umum : Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik akan memiliki
pengetahuan dan keterampilan memberikan anestesia umum dan analgesia regional

2.Tujuan Pembelajaran Khusus: Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik akan memiliki
kemampuan:

a. Kognitif

i.Mampu melakukan identifikasikan riwayat penyakit atau kelainan pasien preoperatif


yang akan mempengaruhi jalannya anestesia
ii.Mampu menilai dan mengoptimalkan kondisi penyakit atau kelainan pasien perioperatif
iii.Mampu menjelaskan indikasi dan hasil pemeriksaan CT scan kepala, toraks dan
abdomen, serta Echocardiografi
iv.Mampu menjelaskan pemeriksaan-pemeriksaan tambahan yang diperlukan berdasarkan
kondisi pasien
v.Mampu menjelaskan rencana anestesia untuk prosedur bedah yang akan dilakukan
vi.Mampu menjelaskan persiapan alat dan obat untuk rencana operasi dengan anestesia
umum maupun analgesia regional
vii.Mampu menjelaskan dan menginterpretasikan hasil monitor
viii.Mampu menjelaskan tanda-tanda kegawatan pasien
ix.Mampu menjelaskan penatalaksanaan pencegahan terhadap komplikasi pascabedah
x.Mampu menjelaskan penanggulangan nyeri pascabedah

77
xi.Mampu menjelaskan indikasi pasien rawat ICU

b. Psikomotor

i. Mampu melakukan pencatatan hal-hal penting yang terkait dengan tindakan anestesia
dalam rekam medis preoperatif
ii. Mampu mengoptimalkan kondisi pasien dengan riwayat penyakit atau kelainan
preoperatif
iii. Mampu mempersiapkan alat anestesia umum atau regional yang diperlukan
iv. Mampu memasang alat/mesin anestesia dengan benar
v. Mampu melakukan tindakan anestesia umum yaitu premedikasi, induksi, intubasi
trakea atau LMA atau sungkup muka, pemeliharaan anestesia, dan penatalaksanaan
pasca-anestesia
vi. Mampu melakukan tindakan analgesia regional (Biers, SAB) dan penatalaksanaan
pasca-anestesianya
vii. Mampu memasang alat monitor invasif dan noninvasif dengan benar
viii. Mampu melakukan interpretasi hasil monitor dan mampu melakukan tindakan segera
sesuai hasil monitor sebelum, selama dan sesudah anestesia
ix. Mampu melakukan pencatatan rekam medis anestesia secara benar pada tindakan yang
dilakukan pada butir 2
x. Mampu melakukan penanggulangan nyeri pascabedah
xi. Mampu menilai pasien yang indikasi rawat ICU

c. Komunikasi/hubungan interpersonal

i. Mampu berinteraksi dengan orang lain atas dasar saling menghargai dan menghormati
ii. Mampu memberikan keterangan tentang kondisi pasien dan kemungkinan untuk
dilakukan pemeriksaan tambahan, pemberian obat-obatan atau upaya optimalisasi
kondisi pasien kepada sejawat senior atau konsulen
iii. Mampu menjelaskan pada pasien atau keluarga pasien tentang kondisi pasien
preoperatif dan langkah-langkah tindakan anestesia yang akan dilakukan serta risiko
yang bisa terjadi
iv. Mampu menciptakan kondisi kerjasama tim di antara semua petugas kesehatan yang
terlibat di kamar operasi
v. Mampu memberikan kepercayaan pada pasien tentang penanggulangan nyeri dan rasa
tidak nyaman pascabedah
vi. Mampu memperoleh kemudahan agar pasien dapat di rawat di ICU atau ruang rawat
lain sesuai kondisi pasien pascabedah

d. Profesionalisme

i. Mampu bekerja sesuai prosedur


ii. Mampu memberikan kemudahan kepada operator saat operasi

78
iii. Mampu berinteraksi dengan sejawat lain maupun tenaga paramedis dan tenaga
kesehatan lain atas dasar menghargai kompetensi masing-masing
iv. Mampu menjaga kerahasian pasien
v. Mampu memahami, memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarganya tentang
kondisi pasien sesuai hak pasien
vi. Mampu melakukan pekerjaan secara efisien

3. Key-notes

i.. Faktor kebiasaan pasien, seperti merokok, minum alkohol dan kebergantung padaan
merupakan problem yang harus dipertanyakan dan menjadi konsideran dalam

persiapan perioperatif

ii. Penyakit penyerta selainan bedah yang akan menentukan nilai ASA menjadi
pertimbangan tersendiri dalam persiapan perioperatif.

iii. Obat yang diberikan pada pasien sebelum pembedahan dapat berinteraksi dengan
obat-obat yang akan diberikan selama anestesia yang menjadi pertimbangan apakah
diteruskan , dihentikan atau perubahan dosis selama perioperatif.

4. Pokok Bahasan

a. Pemeriksaan laboratorium dan penunjang seperti CT scan dan echocardiografi


b. Persiapan preoperatif (Modul Persiapan Anestesia)
c. Penatalaksanaan Anestesia Umum
d. Penatalaksanaan Analgesia regional (Modul Analgesia regional I dan II)
e. Pemantauan
f. Penatalaksanaan pasca-anestesia
g. Pengelolaa nyeri pascabedah (Modul Penatalaksanaan Nyeri)
h. Penatalaksanaan ICU (Modul Intensive Care I)

4. Waktu : Semester II

5. Metode:

a. Pre-tes

i. Jelaskan indikasi pemeriksaan echocardiografi


ii. Jelaskan cara mempersiapkan pasien dengan kelainan paru obstruktif dan restriktif
pada operasi berencana dan darurat

79
iii. Jelaskan cara mempersiapkan pasien dengan riwayat diabetes melitus pada operasi
berencana dan darurat
iv. Jelaskan cara mengoptimalkan pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner
pada operasi berencana dan darurat
v. Jelaskan tentang peralatan, obat-obatan termasuk terapi cairan yang harus
dipersiapkan untuk memberikan anestesia umum ataupun regional
vi. Jelaskan pemantauan yang harus dilakukan pada saat induksi, intubasi dan selama
tindakan anestesia umum ( pada butir 2-4)
vii. Jelaskan pemantauan yang harus dilakukan pada tindakan analgesia regional (pada
butir 2-4)
viii. Sebutkan tanda-tanda kegawatan mengancam nyawa selama pemantauan
ix. Jelaskan cara mengakhiri tindakan anestesia
x. Jelaskan penatalaksanaan pasien pasca-anestesia termasuk penanggulangan nyeri
xi. Jelaskan indikasi masuk pasien ke ICU

b. Kognitif

i. Kuliah pendahuluan
ii. Belajar mandiri
iii. Belajar berkelompok
iv. Belajar berbasis problema
v. Diskusi kelompok
vi. Simulasi pasien

c. Psikomotor

i. Supervisi klinis
ii. Penatalaksanaan pasien berdasarkan problema

d. Komunikasi/hubungan interpersonal

i. Supervisi klinis
ii. Penatalaksanaan pasien berdasarkan problema

e. Profesionalisme

i. Penatalaksanaan pasien berdasarkan problema

6.Sumber Pembelajaran

a. Audiovisual
b. Praktek di kamar operasi
c. Internet

80
7. Media

a. Audiovisual
b. Praktek di kamar operasi

8. Alat Bantu

a. Audiovisual
b. Praktek di kamar operasi
9. Evaluasi

a. MCQ
b. EMQ
c. OSCE
d. Minicheck
e. Multiple observations and assessments

10. Kata-kata kunci

a. status fisis ASA

b. penyakit paru obstruktif dan restriktif

c. diabetes melitus

d. fungsi ventrikular kiri

e. pemantauan invasif dan noninvasif

f. penatalaksanaan pascabedah

g. penatalaksanaan nyeri

h. Intensive Care Unit

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR

81
Sudah Belum
No Daftar cek penuntun belajar
dikerjakan dikerjakan

1. DEFINISI KEDOKTERAN PERIOPERATIF

2. TANGGAPAN FISIOLOGI AKIBAT ANESTESIA

3. KUNJUNGAN PRAANESTESIA

4. MENILAI HASIL PEMERIKSAAN DARAH

5. MENILAI HASIL PEMERIKSAAN FUNGSI


GINJAL

6. MENILAI HASIL PEMERIKSAAN FUNGSI HATI

7. MENILAI HASIL PEMERIKSAAN FUNGSI


ENDOKRIN

8. MENILAI HASIL FOTO TORAKS

9. MENILAI HASIL EKG

10. MENENTUKAN STATUS FISIS ASA

11. PERSIAPAN PRAANESTESIA DI KAMAR


OPERASI:

A. Persiapan mesin anestesia

B. .Persiapan STATICS

C. PERSIAPAN OBAT-OBAT DAN CAIRAN INFUSI

D. Persiapan dan pemasangan alat-alat monitor

E. Pemantauan selama anestesia

F. Penatalaksanaan pascabedah di ruang pulih

G. Penanggulangan nyeri


Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda

82
DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR

Sudah Belum
No Daftar cek penuntun belajar
dikerjakan dikerjakan

1. PERSIAPAN PRAANESTESIA

a. Penilaian hasil laboratorium

b. Penilaian hasil foto toraks

c. Penilaian hasil EKG

d. Penilaian hasil CT scan kepala/ toraks/ abdomen

e. Penilaian hasil Echocardiografi

f. Optimalisasi kondisi pasien

2. PERSIAPAN DI KAMAR OPERASI

a. Persiapan STATICS

b. Persiapan mesin anestesia

c. Persiapan peralatan analgesia regional

d. Persiapan dan pemasangan alat monitor noninvasif

f. .persiapan dan pemasangan alat monitor invasif

h. PEMANTAUAN SELAMA ANESTESIA

i. Pencegahan dan penatalaksanaan segera kegawatan


selama anestesia

3. PENATALAKSANAAN PASCABEDAH

a. Penanggulangan nyeri

b. Indikasi rawat ICU

83

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda

DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur Standard atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur Standard atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

84
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

85
MATERI ACUAN

11. URAIAN:
11.1. Introduksi
a. Definisi
Suatu ilmu kedokteran yang mencakup problema-problema sebelum
anestesia/pembedahan, dalam anestesia/pembedahan dan sesudah anestesia/pembedahan.
b. Ruang lingkup
Meliputi semua aspek fisiologis dan patologis yang mempengaruhi anestesia dan
pembedahan, pengaruh anestesia dan pembedahan terhadap fisiologi tubuh dan risiko
maupun komplikasi yang diakibatkannya.
a. Risiko Perioperatif
Risiko yang berhubungan dengan anestesia dan pembedahan dapat diklasifikasikan
dalam:
1. risiko yang berhubungan dengan kondisi pasien
2. risiko yang berhubungan dengan prosedur pembedahan
3. risiko yang berhubungan fasilitas termasuk sumber daya manusia di rumah sakit
4. risiko yang berhungan dengan obat atau teknik anestesia
c. Tanggapan fisiologi yang terjadi akibat pembedahan :
1. Pengaruh langsung obat anestetik terhadap sekresi hormone-hormon: ACTH,
kortisol, antidiuretik, tiroid, katekolamin, sistem renin-angiotensin-aldosteron,
insulin dan metabolisme glukosa.
2. Pengaruh langsung obat anestetik terhadap sistem respirasi dan kardiovaskular
d. Penilaian prabedah meliputi:
1. penilaian terhadap keadaan pasien secara menyeluruh termasuk riwayat penyakit,
pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang yang mendukungnya
2. melakukan identifikasi faktor-faktor risiko anestesia, dan bila bermakna pasien harus
diberitahu
3. mengoptimalkan kondisi kesehatan pasien sebelum tindakan anestesia dan
pembedahan, seperti melakukan fisioterapi dada, latihan nafas dsb.
4. menentukan status fisis berdasarkan American Society of Anesthesiologist (ASA)
5. merencanakan teknik anestesia dan penatalaksanaan perioperatif seperti terapi
cairan dan transfusi darah
6. memperkenalkan diri kepada pasien agar dapat megurangi kecemasan dan akan
mempermudah dalam melakukan induksi anestesia
7. memberikan instruksi yang jelas tentang obat yang harus diteruskan atau dihentikan
pada hari pembedahan
8. mempersiapkan obat-obat premedikasi
d. Instruksi praanestesia kepada perawat ruangan harus tertulis dengan jelas meliputi:
1. pemeriksaan penunjang tambahan
2. lamanya puasa
3. persiapan darah atau produk darah, golongan darah dan jumlah yang diperlukan
4. jenis obat yang harus terus diberikan atau dihentikan pada hari pembedahan

86
5. terapi inhalasi pada pasien PPOK atau riwayat asma
6. pemasangan infusi dekstrosa pada pasien diabetes
7. obat premedikasi: dosis, cara dan waktu pemberian
e. Pemeriksaan penunjang rutin yang harus dilakukan:

1. pemeriksaan darah lengkap

2. urinalisis (bila gula positif harus ditambah pemeriksaan gula darah)

3. ureum, kreatinin, elektrolit: pada pembedahan besar

4. EKG: umur > 40 tahun

5. Foto toraks: umur > 60 tahun

6. uji fungsi hati: pada pembedahan besar pasien umur > 50 tahun

f. Pemeriksaan penunjang berdasakan indikasi:


1. Pemeriksaan darah lengkap:
i. Anemia dan kelainan/penyakit hematologi lainnya
ii. Gangguan ginjal
iii. Pasien dalam kemoterapi
2. Ureum, kreatinin, dan elektrolit
i. Gangguan/penyakit hati dan ginjal
ii. Gangguan metabolik, seperti diabetes melitus
iii. Riwayat diare, muntah
iv. Kondisi nutrisi buruk
v. Persiapan usus prabedah
vi. Riwayat pemberian obat-obat digitalis, diuretika, antihipertensi, steroid,
obat anti diabetes
3. Gula darah
i. Diabetes melitus
ii. Penyakit hati berat
4. Elektrokardiogram
i. Hipertensi, penyakit jantung atau penyakit paru kronik
ii. Diabetes melitus
5. Foto toraks
i. Gangguan pernafasan yang bermakna atau penyakit paru
ii. Penyakit jantung
6. Analisis gas darah arteri
i. Obesitas
ii. Pasien dengan gangguan nafas
iii. Penyakit paru sedang sampai berat
iv. Sakit kritis atau sepsis
v. Bedah toraks
7. Uji fungsi paru
i. Bedah toraks

87
ii. Penyakit paru sedang sampai berat, seperti PPOK, bronkiektasi, penyakit
paru restriksi
8. Uji fungsi hati
i. Penyakit hepatobilier
ii. Riwayat peminum alkohol
iii. Tumor dengan kemungkinan metastase ke hati
9. Uji hemostase dan koagulasi darah
i. Penyakit/kelainan darah
ii. Penyakit hati berat
iii. Koagulopati apapun sebabnya
iv. Riwayat terapi antikoagulan seperti heparin atau warfarin
10. Uji fungsi tiroid
i. Riwyat penyakit tiroid
ii. Gangguan endokrin seperti tumor hipofise
iii. Bedah tiroid
11. Uji fungsi jantung: Ekokardiografi
i. Penyakit jantung
ii. Kelainan EKG yang bermakna
g. Terapi cairan perioperatif
1. menilai volume intravaskular
i. pemeriksaan klinis
1. kesadaran
2. turgor kulit, suhu ujung-ujung ekstremitas
3. tekanan nadi, laju nadi, tekanan darah terhadap perubahan posisi
4. keluaran urin
5. tampak perdarahan atau kehilangan cairan (muntah)
ii. pemeriksaan laboratorium
1. kadar hemoglobin dan hematokrit
2. kadar urea dan elektrolit
3. analisis gas darah, laktat darah
4. BJ urin, natrium urin
iii. pengukuran hemodinamik
1. tekanan vena sentral
2. tekanan arteri pulmoner
3. saturasi vena sentral
2. terapi cairan selama pembedahan
i. cairan pemeliharaan
ii. cairan pengganti defisit
iii. cairan pengganti perdarahan
3. terapi cairan pascabedah: dapat diberikan berdasarkan
i. pembedahan non digesti dengan analgesia regional
ii. pembedahan minor non digesti dengan anestesia umum
iii. pembedahan mayor, atau pembedahan digestif

4. jenis cairan
i. cairan kristaloid

88
1. cairan hipotonik
2. cairan isotonik
3. cairan hipertonik
ii. cairan koloid
1. cairan koloid sintetik
a. cairan starch
b. cairan gelatin
2. cairan koloid derivat darah
a. human albumin
b. fraksi protein plasma

11.2. Kompetensi terkait dengan modul/ List of skill

Persiapan pra anestesia


Anamnesis
Pemeriksaan fisis
Pemeriksaan penunjang
Penentuan status fisis menurut ASA
Terapi cairan
Penanggulangan nyeri

Penilaian kapasitas fungsional pasien

Pasien yang akan menjalani operasi dan anestesia wajib dikunjungi oleh seorang anestesiolog.
Hal-hal yang harus dilakukan adalah :

Riwayat anestesia
Melakukan pemeriksaan fisis yang sesuai.
Melakukan evaluasi hasil pemeriksaan laboratorium
Anestesiolog sebaiknya membiarkankan pasien untuk mengajukan pertanyaan.
Mencatat kegelisahan pasien
Menginformasikan rencana pembiusan

Perhatian khusus harus diberikan pada hal-hal berikut yang ditemukan pada anamnesis

1. Riwayat penyakit terdahulu, operasi dan pembiusan sebelumnya.


2. Terapi obat-obatan seperti kortikosteroid, insulin, obat
antihipertensi, transquillizers, antidepresan trisiklik, antikoagulan, barbiturat, diuretik dan
alergi obat.

89
3. Gejala-gejala yang berhubungan dengan sistem respirasi, seperti
batuk, sputum, bronkospasme, kemampuan untuk mengeluarkan lendir.
4. Sistem kardiovaskular : toleransi latihan, nyeri angina, Gagal
jantung, hipertensi yang tidak diterapi.
5. Kecenderungan untuk muntah. Pilihan obat dan tindakan
anestesia untuk mengurangi mual muntah pascabedah
6. Riwayat kehamilan dan menstruasi.
7. Kebiasaan pasien ; merokok, minum alkohol, adiksi obat.
Penilaian preoperatif seringkali kurang daripada yang seharusnya, dan terkadang adanya kurang
komunikasi antara dokter bedah dan anestesiolog.

Pada pasien seharusnya dilakukan pemeriksaan klinis yang lengkap, terutama

1. Tanda-tanda penyakit pernafasan : pola dan karakter pernafasan seperti dispneu, adanya
suara tambahan pada auskultasi, jari tabuh, sianosis. Gejala-gejala tambahan yang perlu
didiskusikan lagi pada kondisi-kondisi tertentu, seperti :

Nyeri tulang atau kelemahan otot pada keganasan.


Kelemahan umum, demam atau kehilangan berat badan pada TBC
Semua pasien harus ditanyakan mengenai kebiasaan merokok.

Pemeriksaan fisis

Warna dan kualitas suara harus dicatat


Mengi yang terdengar harus bisa dideteksi
Dispneu
Perhatian secara khusus harus berikan pada pola, ekskursi dan simetrisitas dari
gerakan pernafasan.
Adanya suara tambahan pada pasien yang tidak memiliki penyakit pernafasan
(ronki) memberikan peringatan bahwa kaliber bronkus abnormal.
Rales atau crackles disebabkan oleh penutupan mendadak atau kolaps dari jalan
nafas. Keadaan ini terjadi di awal inspirasi pada pasien dengan obstruksi jalan
nafas dan pada akhir pernafasan jika berhubungan dengan penyakit paru restriktif.
Beberapa manifestasi penyakit paru dapat dideteksi, seperti : penggunaan otot-
otot tambahan dan trakeal tug adalah manifestasi dispneu berat, kecemasan dan
kegelisahan dapat disebabkan oleh hipoksia, hipertensi, berkeringat, vasodilatasi
perifer dan kebingungan dapat terjadi pada pasien dengan retensi CO2 akut.

Tes-tes yang tidak memerlukan peralatan

90
Tes-tes ini hanya menyediakan informasi yang minimal tentang fungsi pernafasan dan terkadang
direkomendasikan sebagai tes skrining untuk menentukan fit untuk operasi. Tes sederhana
yang dapat dilakukandalam klinik adalah :

a. Tes tahan nafas Sabrasez : pasien dalam keadaan istirahat diminta untuk menarik nafas
dalam dan selanjutnya menahan nafasnya. Apabila dapat menahan nafas selama 25-30
detik pasien dapat dianggap normal. Pasien yang hanya bisa menahan nafas kurang dari 15
detik mengindikasikan kurangnya cadangan kardiorespirasi.
b. Tes Snider : kemampuan untuk meniup korek api pada jarak 6 inci dari depan mulut.
Ketidakmampuan melakukan tes Snider mengindikasikan forced expiratory volume dalam
satu detik kurang dari satu liter.

2. Tanda-tanda penyakit jantung.

Penyakit jantung yang serius hampir selalu berhubungan dengan gejala dan tanda yang jelas
seperti nyeri dada sewaktu aktivitas, dispneu, hemoptisis, sinkop, palpitasi dan edema. Tetapi
iskemik miokardium akut dapat terjadi tanpa gejala yang jelas.

Pemeriksaan fisis

Sianosis adalah warna kebiruan pada kulit akibat adanya desaturasi hemoglobin
pada pembuluh darah kapiler.
Sianosis perifer berhubungan dengan peningkatan ekstraksi oksigen pada jaringan
berhubungan dengan penurunan aliran darah kapiler pada kulit. Hal ini terjadi saat curah
jantung menurun ; pada pasien yang normal ; berhubungan vasokonstriksi perifer saat
terpapar dingin.Pada sianosis sentral, kulit tetap hangat dan perubahan warna juga terlihat
pada lidah akibat tercampurnya darah yang mengalami desaturasi dan yang mengalami
oksigenasi pada jantung, pembuluh darah besar atau paru-paru.
Frekuensi nadi dan irama dapat dinilai dari palpasi arteri radialis, akan tetapi
volume dan karakter gelombang nadi hanya dapat dinilai secara akurat melalui arteri karotis.
Impuls jantung (apeks jantung) secara normal ditemukan pada ruangan interkostal
5 sesuai dengan linea midklavikularis. Posisinya mungkin dapat berubah akibat pembesaran
jantung atau faktor ekstrakardiak lain. Penyebab apapun pergeseran tersebut lebih penting
dibanding dengan mencari lokasi yang pasti dari impuls tersebut.
Langkah penting pada auskultasi adalah identifikasi secara benar dari suara
jantung pertama dan kedua. Pulsasi arteri karotis harusnya diraba selama auskultasi.
Murmur adalah bunyi yang dihasilkan akibat turbulensi aliran darah pada titik
tertentu pada sirkulasi dan secara normal terjadi pada tempat-tempat tertentu. Diastolik
murmur merupakan bukti yang jelas adanya penyakit jantung. Murmur sistolik dengan tanpa
adanya interval dengan bunyi jantung kedua biasanya berhubungan dengan penyakit organik.
Adanya thrill mengindikasikan adanya penyakit jantung organik.

91
3. Status Gizi : obesitas atau malnutrisi

4. Warna kulit, terutama pucat, sianosis, kuning atau pigmentasi.

5 Status psikologis pasien, derajat kecemasan.

6. Jalan nafas,

Nilai kesulitan saat mempertahankan jalan nafas dan laringoskopi.


Nilai gigi-geligi seperti gigi yang menonjol atau ompong, tambalan atau mahkota gigi
terutama pada bagian depan.
Adanya hal-hal tersebut di atas perlu dicatat dan pasien biasanya diperingatkan
adanya kemungkinan untuk rusak
6. Kemudahan untuk kanulasi.

Investigasi

Secara umum diterima bahwa riwayat klinis dan pemeriksaan fisis adalah metode terbaik untuk
skrining yang terbaik untuk menentukan adanya suatu penyakit. Sebelum meminta suatu
pemeriksaan yang lebih lanjut, seorang anestesiolog harus bertanya pada dirinya sendiri,
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini :

Apakah investigasi ini menyedialan informasi yang tidak bisa disingkap oleh
pemeriksaan fisis ?
Apakah hasil dari pemeriksaan akan mengubah penatalaksanaan pasien ?

Perlu dicatat bahwa hal-hal ini hanya merupakan panduan dan dapat dimodifikasi sesuai dengan
penilaian yang diperoleh dari anamnesis dan pemeriksaan klinis.

Anestesiolog disarankan untuk tidak menerima pasien pembedahan elektif sampai investigasi
yang sesuai tersedia. Tes sederhana yang diindikasikan adalah sebagai berikut :

1. Tes urin, terutama gula, keton dan protein


1. Kadar hemoglobin, hitung jenis, waktu perdarahan dan pembekuan (BT/CT) dan golongan
darah.
2. Kadar ureum dan elektrolit tidak dibutuhkan secara rutin pada pasien kurang dari 50
tahun, akan tetapi harus diambil pada keadaan-keadaan berikut :
Jika terdapat riwayat diare, muntah, atau penyakit metabolik
Adanya penyakit ginjal atau hepar, diabetes, atau status nutrisi yang abnormal
Pada pasien yang mendapat medisasi diuretik, digoksin, antihipertensi, steroid,
atau obat hipoglikemik.
3. Tes fungsi liver diperlukan hanya pada pasien dengan :

92
Penyakit hepar
Status nutrisi abnormal atau penyakit metabolik
Riwayat konsumsi alkohol dalam jumlah yang banyak (>80 g/ hari)
4. Konsentrasi gula darah

Pengukuran gula darah diperlukan pada pasien yang mempunyai penyakit diabetes
atau penyakit vaskular atau sedang mendapat terapi kortikosteroid.

5. Status sickle

Pasien dengan asal etnik atau riwayat keluarga dengan kecurigaan adanya
hemoglobinopathy hendaknya dilakukan pengukuran konsentrasi hemoglobin dan
elektroforesis hemoglobin

6. Analisa gas darah

Analisa gas darah arteri diperlukan pada semua pasien dengan dispneu saat istirahat dan
pada pasien dengan rencana akan dilakukan toraksotomi elektif

7. Foto toraks

Foto toraks tidak diperlukan secara rutin pada pasien di bawah usia 60 tahun
tetapi harus dilakukan pada situasi :
1. Jika terdapat riwayat atau tanda-tanda fisis penyakit jantung atau penyakit
respirasi.
2. Jika terdapat kemungkinan metastasis dari karsinoma
3. Sebelum operasi toraks
4. Pada imigran yang baru, dalam 12 bulan terakhir dari negara-negara dengan
endemik TBC
Foto toraks umumnya dilakukan sebagai pemeriksaan rutin pada semua pasien
dengan penyakit paru. Hal-hal yang penting adalah apakah terdapat deviasi trakea
atau distorsi, apakah terdapat deformitas pada dinding toraks, dan apakah terdapat
kelainan lokal pada paru atau pleura yang mungkin terlewatkan pada pemeriksaan
fisis.
Foto toraks seringkali kurang memperlihatkan adanya kelainan fungsi paru

9. Fungsi paru

Tes fungsi paru dilakukan sebagai tambahan, bukan sebagai pengganti penilaian klinis.
Tes ini diindikasikan ketika diperlukan :

1. Melihat asal/ penyebab kelainan pulmoner, terutama pada sekitar di mana


beberapa kelainan mungkin berkontribusi pada diasabilitas
2. Untuk menilai berapa besar derajat kelainan yang sering sebagai dasar untuk
terapi

93
3. Untuk mengerti lebih lanjut mengenai patologi fisiologi
Tes fungsi paru yang sederhana, seperti forced expiratory volume dalam satu detik
(FEV 1.0), forced vital capacity (FVC) dan peak expiratory flow rate dapat
langsung dilakukan di tempat tidur pasien menggunakan spirometer berukuran
paket dan Wright peak flowmeter.

Rasio FEV1.0 : FVC menurun pada penyakit paru obstruktif dan normal pada penyakit
restriktif.

Investigasi Fuller meliputi pemeriksaan FRC, RV dan TLC.

10. Elektrokardiogram

EKG 12 lead hendaknya diperiksa pada situasi-situasi berikut :

a. Jika terdapat riwayat atau tanda-tanda fisis penyakit penyakit jantung


b. Adanya penyakit hipertensi
c. Pada semua pasien dengan usia di atas 40 tahun.

11. Bedside pulse oxymeter

Pengukuran saturasi oksigen arterial udara nafas dan konsentrasi oksigen tinggi
memberikan indeks pertukaran gas pulmoner yang cepat dan berguna

12. Echogardiogram

Ini merupakan tes noninvasif yang sangat berguna yang memperlihatkan abnormalitas
anatomi dari jantung, menilai fungsi ventrikular dan gradien tekanan yang melalui katup
yang mengalami stenosis, dan mendeteksi adanya regurgitasi valvular. Ini dapat
dilakukan di tempat tidur pasien, tetapi memerlukan perlengkapan yang mahal dan
operator yang terlatih.

13. Pemeriksaan khusus yang lain yang mungkin diperlukan ketika diindikasikan

Penilaian status fisis

ASA mengklasifikasikan pasien ke dalam beberapa tingkatan berdasarkan kondisi pasien :

ASA I : Pasien tidak memiliki kelainan organik, fisiologik, biokimia atau gangguan psikiatri.

94
ASA II : Gangguan sistemik ringan sampai sedang yang disebabkan oleh kondisi yang akan
diterapi dengan pembedahan atau oleh proses patofisiologi lainnya. Misalnya : penyakit organik
ringan pada jantung, diabetes, hipertensi ringan, anemia, kegemukan, bronkitis kronis ringan.
ASA III : keterbatasan melakukan aktivitas; pasien dengan gangguan sistemik berat atau
karena penyakit apapun penyebabnya, walaupun mungkin belum bisa dinilai derajat
kemampuannya, misalnya angina, diabetes berat, dan gagal jantung.

ASA IV : Penderita dengan kelainan sistemik berat yang mengancam nyawa, tidak selalu
dikoreksi dengan operasi, misalnya insufisiensi jantung, angina persisten, insufisiensi renal atau
hepatik.

ASA V : Penderita yang diperkirakan tidak akan selamat dalam 24 jam, dengan atau tanpa
operasi.

ASA VI : Penderita mati batang otak yang organ-organnya dapat digunakan untuk donor.

Klasifikasi E merupakan penjelasan untuk operasi darurat (darurat)

Klasifiksai ASA merupakan sistem yang secara umum sering digunakan untuk menilai status
fisis pasien, walaupun ahli anestesia yang lain tidak selalu setuju dengan klasifikasi ini.
Klasifikasi ini tidak dapat dipakai untuk pasien tanpa gejala, misalnya penderita dengan penyakit
jantung koroner berat.

Penilaian risiko

Penilaian preoperatif mengenai risiko harus dititikberatkan pada 2 hal:

1. Apakah pasien dalam keadaan optimal untuk dianestesia?

2. Apakah keuntungan pembedahan lebih besar dari risiko anestesia dan pembedahan akibat
penyakit yang ada ?

Apabila terdapat beberapa keadaan medis yang mungkin dapat diperbaiki ( misalnya, penyakit
paru, hipertensi, gagal jantung), pembedahan sebaiknya ditunda, dan diberikan terapi yang
sesuai.

Terdapat hubungan antara menilai faktor-faktor preoperatif dan perkembangan morbiditas dan
mortalitas pascabedah. Mungkin pada beberapa pasien dapat diukur secara tepat, tetapi tidak
dapat diterapkan secara tepat untuk masing-masing individu. Keputusan untuk meneruskan
penatalaksanaan hanya dapat dibuat setelah adanya diskusi antara ahli bedah dan anestesiolognya

95
Pada studi mortalitas dalam skala besar, umumnya, faktor-faktoir yang memberikan kontribusi
pada mortalitas anestesia meliputi :

1. Penilaian yang tidak adekuat selama periode preoperatif.

2. Supervisi dan pemantauan yang tidak adekuat selama periode intraoperatif.

3. Penatalaksanaan dan supervisi pascabedah yang tidak adekuat.

1.Kebiasaan pasien

Merokok

Efek yang merusak dari merokok meliputi penyakit vaskular perifer, sirkulasi koroner dan
serebral, karsinoma paru dan bronkitis kronik. Merokok harus dihentikan 6 pekan sebelum
operasi untuk meminimalisasi komplikasi paru selama pembedahan, termasuk di antaranya
infeksi, laringospasme dan bronkospasme. Penghentian selama 12 jam sebelumnya mencegah
efek samping dari CO dan nikotin pada pasokan dan kebutuhan oksigen otot jantung. Berhenti
selama beberapa hari akan memperbaiki aktivitas siliar. Merokok juga dapat mempengaruhi
penyembuhan luka. Pada anak-anak yang secara pasif terpapar dengan rokok, terjadi peningkatan
insiden komplikasi jalan nafas, jika dilakukan pembiusan.

Alkoholisme

Pada pasien dengan alkoholisme kronik, dapat terjadi toleransi dengan beberapa obat anestetik
seperti eter, terjadi resistensi terhadap obat-obatan anestesia.

Alkohol dieliminasi dengan oksidasi di hati tetapi juga dapat menginduksi enzim-enzim yang
memetabolisme obat-obatan, sehingga respons terhadap obat tidak dapat diperkirakan.

96
Dapat terjadi vasodilatasi perifer, kardiomiopati, sirosis dan perioperatif withdrawal crisis
(delirium tremens)

Alkohol sebaiknya tidak dihentikan saat menunggu operasi. Analgesia regional sebaiknya
dipertimbangkan namun fungsi koagulasi mungkin abnormal.

Untuk mencegah gejala withdrawal, pemberian alkohol 8-10% dalam NaCl 0,9% 500 ml dalam
beberapa jam dapat menolong.

To prevent withdrawal symptoms 8 10 % alcohol in salin 500 ml i.v. for over several hours
may be helpful.

Kebergantung padaan Obat (Narkotik)

Pasien-pasien ini dapat memanipulasi gejala-gejalanya untuk mendapatkan pembedahan dan


narkotik pascabedah, atau mengganggu proses penyembuhan luka untuk memperpanjang lama
perawatan di rumah sakit.

Tromboflebitis dan abses multipel dapat timbul akibat penyuntikan obat yang tidak higienis,
sehingga terapi intravena melalui vena sentral.

Sepsis, tbc, endokarditis, hepatitis B dan HIV / AIDS, lazim ditemukan.

Penderita dapat resisten terhadap semua obat sedatif/ narkotik.

Hipotensi umumnya terjadi selama operasi berlangsung. Gejala withdrawal narkotik termasuk
kram, muntah dan diare, dan dapat menyerupai obstruksi intestinal.

Adiksi obat (lainnya)

9-tetrahidronnabinol, dari kanabis, menyebabkan takikardia, hipertensi, dan eksaserbasi oleh


atropin atau analgetik lokal yang mengandung adrenalin. Kokain dapat menyebabkan iskemia
miokard dan kardiomiopati. Adiksi amfetamin dapat meningkatkan dosis anestetik yang
diperlukan.

97
98
MODUL 6 : PERSIAPAN ALAT DAN OBAT
ANESTETIK

Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 1 dan2 )

Sesi di dalam kelas 2 X 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasilitasi Pembimbing 3 X 2 (coaching session)

Sesi praktek dan pencapaian 4 pekan (facilitation & assessment)


kompetensi

Persiapan Sesi

Audiovisual Aid:
1. LCD Proyektor dan layar
2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Pemutar video
Materi kuliah: CD PowerPoint
1. Persiapan alat-alat dan obat-obat untuk anestesia umum dan analgesia regional

2. Setup alat anestesia, alat infusi, pompa semprit, infusiion pump

3. Setup alat monitor noninvasif dan invasif (opsi)

4. Persiapan alat-alat dan obat-obat dengan kelainan sistemik jantung, PPOK, ginjal,

hepar, diabetes melitus, toksik tiroid

5.Obat-obat dan alat-alat untuk darurat dan resusitasi

6. Rekam medis terkait teknik, alat dan obat anestetik.

Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan

99
3. Kamar operasi
4. Ruang Pulih
5. Bangsal Rawat
Kasus : anestesia pasien langsung , di ruang rawat, kamar pemeriksaan dan kamar operasi
Alat Bantu Latih : Alat-alat, mesin anestesia dan obat-obat virtual, boneka simulasi bila ada.
Penuntun belajar : lihat Materi acuan
Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik
Referensi :
Bacaan yang dianjurkan

2. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical


Anaesthesiology, 4th ed, New York: Lange Medical Book/McGraw -
Hill; 2006

Peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari referensi tambahan untuk sub-modul
Persiapan alat dan obat anestetik yang lain.

Tujuan Pembelajaran Umum

Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan memiliki pengetahuan dan keterampilan
melakukan persiapan alat-alat dan obat-obat anestetik umum dan analgesia regional.

Tujuan Pembelajaran Khusus

Setelah melalui sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi berikut ini:

1. KOMPETENSI

Mampu mengenali dan melakukan persiapan preoperatif pasien, melakukan persiapan alat-alat
dan obat-obat anestetik umum maupun regional secara tepat dan memadai , persiapan
pemantauan yang memadai untuk mencegah kemungkinan akibat komplikasi lebih berat dan
penanggulangan secara dini bila terjadi komplikasi serta untuk penatalaksanaan pasca-anestesia.

RANAH KOMPETENSI

Setelah melalui sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan:

100
Kognitif

1. Mampu melakukan identifikasi kelainan atau penyakit pasien preoperatif yang akan
mempengaruhi persiapan alat dan obat anestetik.
2. Mampu menjelaskan rencana anestesia untuk prosedur bedah yang akan dilakukan serta
alat dan obat-obat yang diperlukan
3. Mampu menjelaskan persiapan alat dan obat untuk rencana operasi dengan anestesia
umum atau analgesia regional.
4. Mampu menjelaskan secara umum cara kerja mesin anestesia, flowmeter, vaporizer, alat
monitor, kateter intravena, set infusi cairan, set transfusi darah, set infusi tetes
mikrogram, set infusi tetes makro, alat pompa semprit, infusiion pump, mesin pengisap
dan kelengkapannya.
5. Mampu menjelaskan setup mesin anestesia secara benar, breathing circuit mesin
anestesia, termasuk filter, susunan vaporizer secara benar, trouble shooting sederhana,
pemeliharaan mesin dan asesorisnya.
6. Mampu menjelaskan pemasangan dan menginterpretasikan hasil monitor
7. Mampu menjelaskan tanda-tanda yang mengarah kegawatan pasien, alat-alat dan obat-
obat yang diperlukan
8. Mampu menjelaskan penanggulangan nyeri pascabedah, alat dan obat-obat yang
dibutuhkan.
9. Mampu menjelaskan alat-alat dan obat yang dibutuhkan untuk transport pasien dan bila
pasien indikasi rawat ICU

Psikomotor

1. Mampu melakukan pencatatan hal-hal penting dalam rekam medis preoperatif terkait
dengan alat-alat dan obat-obat yang dipakai dalam tindakan anestesia.
2. Mampu mempersiapkan dan memasang alat/ mesin anestesia dengan benar
3. Mampu mempersiapkan dan menggunakan alat-alat dan obat untuk tindakan anestesia
umum, mulai premedikasi, induksi, intubasi atau LMA atau intubasi atau sungkup muka ,
pemeliharaan anestesia, dan penatalaksanaan pasca-anestesia teknik intravena total,
anestesia inhalasi, anestesia balans, sungkup muka, teknik intubasi, sungkup muka, LMA
4. Mampu mempersiapkan dan mengoperasikan pompa semprit, infusiion pump,
defibrilator.
5. Mampu mempersiapkan dan menggunakan alat-alat dan obat-obat untuk analgesia
regional, teknik epidural, spinal atau blok saraf lain.
6. Mampu mempersiapkan dan menggunakan alat-alat dan obat-obat untuk keadaan darurat
dan resusitasi.
7. Mampu memasang dan menggunakan alat pemantau noninvasif dan invasif dengan
benar
8. Mampu melakukan pencatatan rekam medis terkait alat dan obat anestetik yang dipakai
dalam anestesia secara benar
9. Mampu melakukan persiapan alat dan obat untuk penanggulangan nyeri pascabedah
10. Mampu mempersiapkan alat dan obat pada transportasi pasien masuk ICU.

101
Komunikasi/ Keterampilan interpersonal

1. Mampu menjelaskan tentang alat-alat dan obat-obat yang diperlukan pada tindakan
anestesia kepada orang lain atas dasar saling menghargai dan menghormati
2. Mampu memberikan penjelasan kepada sejawat senior dan atau konsulen tentang kondisi
pasien untuk kemungkinan pemeriksaan tambahan, kebutuhan obat-obatan, kebutuhan
alat-alat dalam upaya optimalisasi kondisi pasien.
3. Mampu menjelaskan pada pasien atau keluarga pasien tentang kondisi pasien preoperatif
dan kebutuhan alat-alat dan obat-obat yang dibutuhkan terhadap kemungkinan risiko
yang dapat timbul.
4. Mampu menciptakan kondisi kerja sama tim di antara semua petugas kesehatan yang
terlibat di kamar bedah.
5. Mampu memberi penjelasan kebutuhan alat dan obat-obat untuk penanggulangan nyeri
dan rasa tidak nyaman pascabedah.
6. Mampu menjelaskan kebutuhan alat-alat dan obat-obat yang diperlukan untuk
transportasi dan perawatan di ICU.

Profesionalisme

1. Mampu bekerja sesuai prosedur


2. Mampu memberikan kemudahan kepada operator saat operasi dengan melakukan
persiapan alat-alat dan pemberian obat secara benar dan memadai.
3. Mampu berinteraksi dengan sejawat lain maupun tenaga paramedis dan tenaga kesehatan
lain atas dasar menghargai dan menghormati kompetensi masing masing.
4. Mampu memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarganya tentang alat-alat dan
obat-obat yang dibutuhkan sesuai kondisi pasien dan terhadap kemungkinan komplikasi
5. Memahami dan melaksanakan hal-hal yang menjadi hak pasien (informed consent)
6. Mampu melakukan pekerjaan secara efisien

2. KEYNOTES

1. Sebelum memulai melakukan setiap tindakan anestesia harus selalu diperiksa

kelayakan mesin anestesia: sistem perpipaan gas dan udara tekan rumah sakit

(bila ada), tabung gas portabel, flow meter, vaporizer, Fresh Gas Flow,

sirkuit nafas, katup inspirasi, katup ekspirasi, pop-off valve, reservoir bag.

2. Harus selalu dipikirkan untuk kemungkinan timbul problema jalan nafas sulit

sehingga persiapan alat-alat penatalaksanaan jalan nafas dasar dan lanjut dan

jalan nafas sulit selalu siap pakai.

3. Alat untuk akses vaskular perifer dan sentral, alat-alat infusi, pompa semprit,

102
infusion pump dipersiapkan sesuai kebutuhan.

4. Alat monitor fungsi vital respirasi, kardiovaskular, suhu, merupakan

pemantauan baku yang harus tersedia.

5. Kesiapan alat-alat dan obat-obat untuk darurat resusitasi harus selalu dicek

secara rutin dalam keadaan siap pakai

6. Alat dan obat-obat untuk penanggulangan nyeri.

3. GAMBARAN UMUM

Rencana anestesia harus dibuat agar secara optimal dapat mengakomodasikan kondisi fisiologik
pasien, termasuk penyakit saat ini, riwayat penyakit, riwayat operasi, riwayat alergi, riwayat
anestesia dan kesiapan psikologik, gangguan atau keterbatasan aktifitas. Rencana preoperatif
yang tidak adekuat dan kesalahan dalam persiapan pasien merupakan sebab paling sering
timbulnya komplikasi anestesia, termasuk persiapan alat dan obat-obat yang diperlukan. Alat-
alat tersebut meliputi mesin anestesia, alat-alat monitor, alat-alat untuk darurat dan resusitasi
sekaligus obat-obat yang diperlukan. Bila obat atau alat tidak tersedia akan menimbulkan
problema. Keterlambatan dalam penanggulangan karena kurangnya fasilitas atau persiapan tidak
baik akan dapat berakibat buruk sampai kematian. Pengertian akan mekanisme kerja alat dan
obat-obat anestetik merupakan pengetahuan dasar yang seharusnya dimiliki calon spesialis
anestesiologi.

4. TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah proses alih pengetahuan, keterampilan dan perilaku melalui modul ini, diharapkan
peserta didik memiliki kemampuan untuk:

1. Mempersiapkan alat-alat dan obat-obat yang dipergunakan dalam anestesia umum atau
analgesia regional secara tepat dan benar.
2. Melakukan pengecekan mesin anestesia, persiapan alat-alat dan obat-obat anestetik
secara benar
3. Melakukan persiapan alat-alat dan pelaksanaan pemantauan
4. Melakukan persiapan alat dan obat-obat untuk transportasi pasien ke ICU

5. METODE PEMBELAJARAN

103
Peserta didik sudah harus mempelajari:

1. Bahan acuan (references) tentang alat-alat dan jenis obat-obat anestetik


2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan alat-alat anestesia
3. Cara menilai kesiapan alat-alat anestesia.

Tujuan 1: mempersiapkan alat-alat dan obat-obat yang dipergunakan dalam anestesia


umum atau analgesia regional secara tepat dan benar

Metode pembelajaran
1. Diskusi kelompok kecil
2. Bedside teaching
3. Task-based medical education
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan pemasangan mesin anestesia sampai
siap pakai, sesuai check-list
2. Pengetahuan dan keterampilan dalam memasang mesin anestesia, untuk semiclosed
maupun semiopen system.
3. Pengetahuan dan keterampilan dalam menetapkan alat-alat dan obat-obat analgetik
regional (spinal, epidural, kaudal, blok saraf ekstermitas atas dan bawah)

Tujuan 2:. Melakukan pengecekan mesin anestesia, persiapan alat-alat dan obat-obat
anestetik secara benar

Metode pembelajaran
1. Diskusi kelompok kecil
2. Bedside teaching
3. Task-based medical education
4. Praktek klinis
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai: Mengetahui, dan mampu menilai laik atau tidak
1. Sistem sumber gas sentral, perpipaan gas oksigen dan N2O bila fasilitas ada,
sampai sistem tersambung ke mesin anestesia.
2. Sistem aliran gas, flow-meter , vaporizer dalam mesin anestesia , breathing circuit
anesthesia.

Tujuan 3 : Melakukan persiapan alat-alat dan pelaksanaan pemantauan

104
Metode pembelajaran
1. Diskusi kelompok kecil

2. Bedside teaching

3 .Task-based medical education

Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:

Melakukan pemasangan alat pemantauan untuk respirasi, kardiovaskular, metabolik dan


kesadaran.
Mampu menggunakan alat-alat dan obat-obat untuk keadaan keadaan darurat dan henti
jantung
Mampu melakukan interpretasi terhadap kemungkinan gangguan fungsi alat

Tujuan 4 : Melakukan persiapan alat dan obat-obat untuk transportasi pasien ke ICU

Metode pembelajaran
1. Diskusi kelompok kecil
2. Studi Kasus
3. Bedside teaching
4. Praktek klinis

Materi dan keterampilan yang harus dikuasai :

Mengetahui prinsip dasar transportasi pasien kritis


Mengetahui alat monitor , obat-obat minimal yang diperlukan untuk transportasi pasien
kritis

6. MEDIA

1. Kuliah
Kuliah khusus Persiapan Obat dan Alat Anestesia untuk anestesia umum

dan regional. .

2. Demo praktek pemasangan alat: mesin anestesia, monitor, pompa semprit,


infusiion pump, defibrilator dll.

3. Diskusi kelompok
105
4. Tugas baca dan tulisan (tinjauan pustaka, journal reading)
5. Laporan kasus, morbiditas dan mortalitas, dikaitkan dengan keberadaan alat dan obat-
obatan.
6. Continuing Profesional Development (CPD)

7. ALAT BANTU PEMBELAJARAN

Perpustakaan, internet, skill lab

8. EVALUASI

8.1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-tes dalam bentuk esai dan lisan untuk menilai
kinerja awal peserta didik dan melakukan identifikasi kekurangan yang ada. Materi pre-
tes terdiri atas :

1. Persiapan alat, obat ,


2. Pengecekan alat anestesia umum, regional, monitor dan obat-obatan dan alat-alat lain,
pompa semprit, infusiion pump, defibrilator dan lain lain.
3. Teknik pemasangan dan penggunaan alat anestesia pada butir 2
4. Pemasangan pemantauan fungsi vital dan interpretasi hasil monitor.

8.2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang
teridentifikasi, membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.

8.3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam penuntun belajar
pada pasien bersama teman-temannya (peer assisted learning), dievaluasi oleh teman-
temannya (peer assisted evaluation).

8.4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di bawah
pengawasan fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien sesungguhnya.
Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan langsung (direct observation)
dan mengisi lembar penilaian:

- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak dilakukan

- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya tindakan anestesia
tidak mulus sehingga kurang memberi kenyamanan kepada pasien

- Baik : pelaksanaan benar, baik dan efisien

8.5. Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.

106
8.6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun belajar.

8.7. Pendidik/fasilitator melakukan :

- Pengamatan langsung dengan memakai ceklis evaluasi (terlampir)

- Diskusi dan penjelasan lisan dari peserta didik

- Kriteria penilaian keseluruhan : baik/cukup/kurang

8.8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan atau
diberi tugas untuk memperbaiki kinerja.

8.9. Pencapaian pembelajaran :

Isi pre-tes :

1. Jelaskan tentang manfaat persiapan alat-alat dan obat-obat anestetik.


2. Jelaskan tentang set up mesin anestesia
3. Jelaskan tentang persiapan alat dan obat-obat dan cairan untuk anestesia umum dan
analgesia regional
4. Jelaskan tentang alat monitor selama anestesia umum dan regional
5. Jelaskan tentang alat-alat dan obat darurat dan resusitasi.
6. Jelaskan apa saja yang harus dimonitor selama tindakan anestesia
7. Sebutkan tanda-tanda pada monitor yang menunjukkan kegawatan mengancam nyawa.
atau alat yang tidak berfungsi baik
8. Jelaskan peralatan dan obat yang harus ada untuk transportasi pasien kritis
9. Jelaskan peralatan dan obat untuk pasien pasca-anestesia
10. Jelaskan operasional alat-alat tersebut di atas.

Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).

Bentuk ujian :

- Ujian akhir stase/ rotasi posttest tulis dan ujian pasien


- Ujian akhir profesi
Bisa dalam bentuk :

1. PengetahuanKognitif

- MCQ
- EMQ (Extended Medical Question)
Ujian lisan

- Multiple observation and assessments


- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)

107
- Minicheck
2. Skill

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
3.Communication and Interpersonal Skills

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
4.Profesionalisme

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers

9. DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR PERSIAPAN ALAT DAN OBAT


ANESTETIK.

Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar prosedur persiapan alat Sudah Belum


dan obat dilakukan dilakukan

PERSIAPAN ALAT DAN OBAT-OBAT

1 Menentukan jenis alat dan obat yang diperlukan


untuk anestesia umum

2 Menentukan jenis alat-alat dan obat yang diperlukan


untuk beberapa jenis analgesia regional

3 Menentukan jenis alat monitor yang diperlukan


untuk anestesia umum dan analgesia regional

4 Mengetahui indikasi untuk penggunaan alat pompa


semprit dan infusiion pump

5 Melakukan setup mesin anestesia, alat-alat monitor,


dan sempritdan infusiion pump, mesin pengisap
(isap)

ANESTESIA

1 Alat dan obat untuk induksi (intubasi, LMA)

108
2 Alat dan obat untuk Analgesia regional blok saraf

3 Alat dan obat untuk Anestesia intravena

4 Alat untuk Pemberian cairan dan transfusi

5. Alat untuk Pemanatauan fungsi vital, kesadaran,


kardiovaskular, pernafasan. Tekanan darah, nadi,
Saturasi Hb (SpO2), ventilasi (ETCO2 bila ada),
jumlah urin, suhu

6. Alat dan obat untuk Tindakan ekstubasi

PASCABEDAH

7 Alat dan obat untuk mencegah dan menangani


komplikasi pascabedah

8 Alat dan obat untuk transportasi pasien kritis

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda ( )

10. DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda X bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan

Memuaskan Langkah / tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur Standard atau


Penuntun

X Tidak memuaskanTidak mampu untuk mengerjakan langkah /tugas sesuai dengan Prosedur
Standard atau penuntun

T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dialakukan oleh peserta Latih
selama penilaian oleh pelatih

Nama pasien No Rekam Medis

No DAFTAR TILIK Kesempatan ke

109
Kegiatan / langkah klinis 1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan: Tanda tangan pelatih

Layak

Tidak layak

Melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

11. MATERI ACUAN:

Persiapan alat dan obat anestetik

110
Pasien yang akan menjalani anestesia pada operasi elektif / darurat harus dilakukan
pemeriksaan preoperatif ; anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang, informed
consent, penetapan status fisis ASA dan lakukan persiapan anestesia (puasa, rencana
premedikasi), termasuk persiapan alat dan obat-obat yang diperlukan selama tindakan
anestesia.

Persiapan alat-alat dan obat-obat anestesia:

8. Mesin anestesia. Sebelum memeriksa mesin anestesia, lebih dulu periksa apakah sistem
sumber gas tersebut sentral atau tidak (tabung gas portabel ada pada mesin anestesia).
Periksa dulu sistem tersebut apakah sudah terhubung baik dengan mesin. Selanjutnya
periksa kerja flow-meter, vaporizer, katup inspirasi dan katup ekspirasi apakah berfungsi
dengan baik. Katup APL (adjustable pressure limit) valve, anesthetic breathing circuit,
Reservoir bag, CO2 absorber canister apakah telah terpasang dengan baik. Setelah itu
periksa apakah ada kebocoran gas atau uap dalam sistem sirkuit mesin tersebut. Perlu harus
diingat bila kondisi sudah menjadi rutin pengecekan ini sering dilupakan.
9. Alat-alat yang diperlukan untuk anestesia umum: jalan nafas (oral, nasal), sungkup muka,
LMA, laringoskop, pipa endotrakeal, cunam Magill, stilet (introducer), tape, stetoskop,
konektor pipa endotrakeal dengan mesin, pipa nasogatrik. Alat pengisap (isap) harus
diperiksa berfungsi baik.
10. Obat-obat anestetik umum, intravena (tiopental, propofol, ketamin) dan inhalasi N2O,
halotan, etran, isofluran, sevofluran..
11. Alat-alat untuk analgesia regional: jarum-jarum untuk analgesia spinal, jarum epidural,
kateter epidural atau jarum khusus lain untuk analgesia regional tertentu seperti blok
pleksus saraf.. Bila ada perlu disiapkan nerve stimulator/nerve locator. Obat analgetik lokal
seperti lidokain, bupivakain.
12. Obat darurat seperti oksigen, adrenalin, sulfas atropin, efedrin, aminofilin, steroid, obat anti
aritmia (lidokain, amiodaron), loop diuretics, inotropik, vasopresor(norepinefrin), obat-obat
hipotensif (nitrogliserin, nitroprusid), antikonvulsan (diazepam, tiopental MgSO4),
pelumpuh otot, obat antidotum (nalokson, antikolinesterase dan bila ada flumazenil,
dantrolen), natriumbikarbonat, kalsium glukonas, kalsium klorida, KCl, morfin dan opioid
lain, fentanil, petidin.
13. Alat untuk darurat : (set Ambu bag dengan kelengkapannya) alat Defibrilator.
14. Alat-alat untuk menanggulangi dificult intubation (Glidescope, Brochoscope) termasuk
peralatan trakeosotmi merupakan opsi.
15. Cairan kristaloid dan kolloid termasuk jarum/kateter infusi dan set infusinya. Obat-obat
yang diberikan parenteral harus disiapkan tetesan mikrogram, pompa semprit, atau
infusiion pump.
16. Alat monitor standard noninvasif seperti EKG, NIBP, saturasi O2, suhu, ETCO2 harus
dipersiapkan dan dicek layak pakai atau tidak. Alat monitor invasif dipersiapkan sesuai
indikasi saja.
17. Setelah semua persiapan alat dan obat lengkap, pastikan ada asisten yang membantu
tindakan anestesia. Pasang jalur intravena pasang jalur infusi dan jalankan infusi. Lakukan
anestesia umum sesuai modul pada anestesia umum atau analgesia regional sesuai modul
analgesia regional. Premedikasi dapat diberikan secara intravena atau intramuskular atau
inhalasi.Lakukan pemantauan fungsi vital oksigenasi, O2), tekanan darah, nadi, EKG, suhu,

111
aliran cairan infusi, ventilasi dengan ETCO2 kalau ada, produksi urin, jumlah perdarahan.
Atur kebutuhan obat untuk pertahankan sedasi, analgesia dan relaksasi. Akhir operasi
yakinkan pasien bernafas spontan dan volume nafas adekuat (kecuali bila direncanakan
untuk melanjutkan bantuan nafas pascabedah). Bila perlu berikan antidotum obat-obat yang
menyebabkan apnea berkepanjangan atau hipoventilasi . Lakukan pengakhiran anestesia
dengan mulus, dan mengawasi masa siuman. Lakukan pengawasan terhadap komplikasi
pascabedah dan penanggulangan terhadap mual muntah, nyeri, obstruksi jalan nafas,
gangguan oksigenasi, bradipnea, apnea, gangguan tekanan darah, dan lama pulih sadar.
Mortalitas dapat terjadi bergantung pada kondisi awal, ASA, atau penyakit penyerta.
Pastikan rekam medis anestesia dibuat secara baik dan lengkap.

12. REFERENSI

Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006

112
MODUL 7 TRAUMATOLOGI I

Mengembankan Kompetennsi Waktu (semester 3)

Sesi di dalam kelas Traumatologi I, adalah suatu rotasi


yang membutuhkan paling sedikit 2
Sesi dengan fasilitas Pembimbing bulan (8 pekan) semester 3 ke atas
Sesi praktek dan pencapaian kompetensi yang meliputi penanganan trauma
pada tahan awal.

Persiapan Sesi

Audiovisual

LCD proyektor dan layar

Laptop

OHP

Flipchart

Pemutar video

Materi presentasi :

CD Power Point

Sarana

Ruang Belajar

Ruang pemeriksaan

Ruanfg Pulih

Ruang rawat Inap / Pengamat Lanjut

Kasus : pasien di ruang Resusitasi di Unit Gawat Darurat

113
Alat bantu Latih : Model anatomi / Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

REFERENSI

Primary Trauma Care Course Manual (current edition)

Darurat Medicine Manual (to be announced)

Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr. 4th ed 2006

Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006

Manual of Anaesthesia, CY. Lee 2006

1. TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM


Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk
melakukan penatalaksanaan awal pasien trauma

2. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS


a. KOGNITIF
1. Mampu menilai dengan cepat kegawatan pada pasien trauma
2. Mampu menjelaskan penatalaksanaan kegawatan jalan nafas
3. Mampu menjelaskan penatalaksanaan kegawatan gangguan bernafas
4. Mampu menjelaskan penatalaksanaan kegawatan syok
5. Mampu menjelaskan penatalaksanaan kegawatan penurunan kesadaran
6. Mampu menjelaskan penatalaksanaan kegawatan kejang
7. Mampu menjelaskan penatalaksanaan resusitasi cairan
8. Mampu menjelaskan kerja defibrilator dan indikasi defibrilasi
9. Mampu menjelaskan pemantauan kontinyu invasif dan noninvasif
10. Mampu merencanakan tindakan yang perlu untuk menanggulangi kegawatan
pasien trauma(jalan nafas, breathing, shock, defibrillasi)
11. Mampu menjelaskan penatalaksanaan kegawatan keracunan dan penyalahgunaan
obat
12. Mampu menjelaskan pemakaian obat-obatan darurat dan alat-alat bantu darurat
13. Mampu menjelaskan stabilisasi, tansportasi dan rujukan pasien trauma

114
14. Mampu menjelaskan peranan anetesia sebagai bagian dari darurat tim

b. PSIKOMOTOR
1. Mampu melakukan penilaian cepat pasien trauma (penilaian awal/survei primer)
2. Mampu melakukan penatalaksanaan kegawatan jalan nafas sampai paripurna
3. Mampu melakukan penatalaksanaan kegawatan gangguan bernafas dan
memberikan tatalaksana pernafasan mekanik
4. Mampu melakukan penatalaksanaan penderita syok
5. Mampu melakukan penatalaksanaan penderita penurunan kesadaran
6. Mampu melakukan penatalaksanaan penderita kejang
7. Mampu melakukan pemasangan akses vena dengan jarum besar,melalui akses
vena tepi dan sentral (untuk anak intraosseus)
8. Mampu melakukan penatalaksanaan resusitasi cairan
9. Mampu melakukan kardioversi
10. Mampu melakukan pemantauan invasif dan noninvasif kontinyu

c. KOMUNIKASI /HUB INTERPERSONAL


1. Mampu menjelaskan kepada tim dokter, pasien dan keluarga pasien tentang
manfaat, risiko dan prosedur pertolongan awal korban trauma, stabilisasi dan
rujukan
2. Mampu menjelaskan kepada tim dokter dan tim perawat di alamat rujukan tentang
prosedur yang telah dikerjakan dan upaya rujukan selanjutnya

d. PROFESIONALISME
1. Bekerja sesuai dengan prosedur Standard
2. Memahami etik profesi dalam melakukan tindakan medis penanganan awal
korban trauma, stabilisasi dan rujukan
3. Menjamin bahwa peralatan yang diperlukan untuk tindakan medis penanganan
awal korban trauma, stabilisasi dan rujukan ada lengkap dan berfungsi baik
4. Menjamin bahwa dokter telah memiliki keterampilan cukup untuk melakukan
tindakan medis penanganan awal korban trauma, stabilisasi dan rujukan
5. Leader shifting

6. KEY NOTES

1. Asesmen pertama pasien trauma dapat dibagi menjadi, primary survey, secondary
survey dan tetiary survey. Primary survey akan berlang sung 2 5 menit dan
mencakup urutan ABCDE trauma : Jalan nafas, Breathing, Circulation,
Disability dan Exposure. Resusitasi dan assesmen berlangsung simultan.

115
Resusitasi trauma mencakup 2 tahap: menghentikan perdarahan dan
memperbaiki cedera. Secondary dan tertiary survey lebih komprehensif
mengikuti primary survey.

2. Lima kriteria meningkatkan risiko yang potensial tidak stabil pada tulang
servikal : 1) nyeri leher, 2) nyeri yang sangat mengganggu, 3) adanya tanda atau
gejala neurologik, 4) intoksikasi, dan 5) penurunan kesadaran. Fraktur tulang
servikal harus dicurigai jika terdapat satu dari kriteria tersebut. Dengan kriteria
ini, kejadian cedera tulang servikal sekitar 2 %. Kejadian ketidakstabilan servikal
meningkat menjadi 10 % pada cedera kepala berat.

3. Hiperekstensi leher dan traksi berlebihan harus dihindarkan walaupun baru


dicurigai adanya ketidakstabilan servikal. Imobilisasi manual kepala dan leher
oleh asisten sebaiknya dipergunakan untuk menstabilkan servikal selama
laringoskopi (manual in-lina-stabilization or MLS).

4. Terapi utama syok hemorhagik adalah resusitasi cairan dan transfusi. Kateter
pendek (multiple short, 1.5 2 in, lubang besar (14 16 gauge atau 7 - 8.5 F)
ditempatkan di vena apa saja yang mudah diperoleh.

1. POKOK BAHASAN

A. Pemeriksaan cepat Survey dan Secondary Survey


B. Kegawatan gangguan nafas
i. Obstruksi jalan nafas
ii. Gagal nafas
iii. Edema paru akut
iv. Apnea
C. Kegawatan ganguan sirkulasi
i. Hipotensi dan hipertensi
ii. Syok hemorhagik, hipovolemik, kardiogenik, anafilaktik
iii. Aritmia
iv. Infark miokard dan Acute Coronary Syndrome
v. Henti jantung
D. Kegawatan gangguan sistem saraf
i. Koma
ii. Cushing responsse
iii. Space omlupying lession
iv. Intoksikasi
v. Konvulsi
vi. Paresis paralisis

116
E. GAMBARAN UMUM
i. Setelah melalui sesi pada tahap ini peserta didik mampu mengelola
pasien trauma survei primer pada tahap awal

F. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS


i. Setelah proses alih pengetahuan, keterampilan dan perilaku melalui
modul ini, diharapkan peserta didik memiliki kemampuan untuk:
ii. Melakukan survei primer ABCDE (A=Jalan nafas, B=Breathing,
C=Circulation, D=Disability, E=Exposure)
iii. Melakukan Resusitasi dan Stabilisasi
iv. Melakukan survei sekunder. Survei sekunder dilakukan bilamana
ABC pasien harus sudah stabil
v. Menilai adanya cedera leher, trauma kepala, dada, abdomen, pelvis,
tulang belakang dan ekstremitas.

1. METODE
Peserta didik sudah harus mempelajari:

1. Bahan acuan (references)

2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran

3. Ilmu klinis dasar

Tujuan1: melakukan survei primer ABCDE (A=Jalan nafas, B=Breathing,


C=Circulation, D=Disability, E=Exposure)

Metode pembelajaran
1. Small group medical education

2. Demo & Coaching discussion

3. Peer assisted learning (PAL)

4. Bedside teaching

5. Task-based

6. Praktek klinis
117
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Kemampuan menegakkan diagnosis sumbatan jalan nafas, penyebab sumbatan jalan
nafas, melakukan tindakan pembebasan jalan nafas dan menjelaskan penyebab
kegawatan pernafasan pasien trauma.
2. Penilaian kesadaran pasien secara cepat AVPU (A=Awake, V= Verbal /respons bicara,
P= Pain/ respons nyeri, U= Unresposive/tidak ada respons)
3. Tindakan pembebasan jalan nafas: Chin Lift/ Jaw thrust, pemasangan pipa
oro/nasofaring, intubasi endotrakeal, LMA, Krikotirotomi
4. Pemberian oksigen dan melakukan pernafasan buatan (ventilasi)
5. Kemampuan menegakkan diagnosis pasien syok, mencari penyebab syok dan
melakukan tindakan mengatasi syok pada pasien trauma, terutama syok
hemoragik/perdarahan
6. Pemasangan dua jalur infusi intravena dengan jarum besar (16-14G) dan memberikan
cairan resusitasi

Tujuan 2 : melakukan resusitasi dan stabilisasi

Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion

3. Peer assisted learning (PAL)

4. Bedside teaching

5. Task-based

6. Praktek klinis

Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:

1. Kemampuan menjelaskan tujuan dan melakukan pemberikan oksigen dan pernafasan


buatan (ventilasi)
2. Penatalaksanaan pasien syok
3. Kemampuan menegakkan diagnosis syok hipovolemik/syok hemoragik, syok
kardiogenik, syok neurogenik, syok septik dan m
4. Penjelaskan penyebabnya.
5. Pemasangan jalur vaskular intravena dan intraarterial, kanulasi vena sentral
6. Tujuan pemberian larutan infusi Ringer laktat yang dihangatkan
7. Kemampuan menjelaskan tentang tindak lanjut bila ada problema yang mengancam
nyawa pada survei primer berlanjut

118
Tujuan 3 : melakukan survei sekunder yang dilakukan bilamana ABC pasien harus
sudah stabil

Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktek klinis

Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:

1. Pemeriksaan kepala, batok kepala, kulit kepala, bola mata , telinga, jaringan lunak
periorbita
2. Pemeriksaan leher: luka tembus leher, emfisema subkutan, deviasi trakea, distensi
vena leher
3. Pemeriksaan neurologik : Glasgow Coma Scale (GCS), pemeriksaan fungsi medula
spinalis, penilaian sen sasi dan refleks
4. Pemeriksaan dada : klavikula, semua tulang iga, bunyi nafasdan jantung ,
pemantauan EKG
5. Pemeriksaan abdomen: luka tembus abdomen yang memerlukan eksplorasi bedah ,
mampu melakukan pemasangan pipa nasogastrik pada trauma tumpul abdomen
6. Pemeriksaan dubur
7. Pemasangan kateter kandung kemih bila tidak ada darah di meatus eksernus uretra
8. Pemeriksaan pelvis dan ekstremitas

Tujuan 4 : menilai adanya cedera leher, trauma kepala, dada, abdomen, pelvis,
tulang belakang dan ekstremitas

Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktek klinis

119
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:

1. Pada trauma multipel, abdomen merupakan bagian tersering yang mengalami cedera,
evaluasi awal terhadap pasien trauma abdomen tetap harus menyertakan A(Jalan
nafas and C-Spine), B (breathing), C(circulation), dan D (disability dan penilaian
neurologik) dan E (exposure)
2. Kemampuan menjelaskan jenis trauma abdomen, trauma penetrasi luka tembak, luka
tusuk atau trauma non penetrasi, kompresi, hancur(crash), sabuk pengaman (seat
belt), cedera akselerasi/deselerasi.
3. Indikasi dan indikasi-kontra DPL(Diagnostic Peritoneal Lavage)
4. Kemampuan menjelaskan problema khusus fraktur tulang pelvis
5. Pemeriksaan tonus spingter anus, darah dalam rektum, pemeriksaan darah di meatus
uretra eksterna.
6. Stabilisasi jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi dengan segera dan immobilisasi
tulang leher
7. Penilaian tanda-tanda fungsi vital dan derajat kesadaran (GCS) secara berulang-ulang.
8. Kemampuan menjelaskan tanda klinis trauma tulang belakang, menjelaskan posisi
netral pada waktu pemeriksaan pasien trauma tulang belakang, log rolling, in-line
immobilization, pemasangan stiff servikal collar.
9. Kemampuan menjelaskan gangguan fungsi autonom pada cedera medula spinalis.
10. Pemeriksaan/keadaan-keadaan yang harus diperiksa, pasien dengan trauma
ekstremitas (warna dan suhu kulit, perabaan nadi distal, tempat-tempat yang berdarah,
deformitas ekstremitas, gerakan ekstremitas secara aktif dan pasif, gerakan
ekstremitas tak wajar dan ada krepitasi, derajat nyeri bagian yang cedera.
11. Sindroma kompartemen pada ekstremitas, penyebab dan terjadi pada kasus trauma
ekstermitas yang bagaimana dan menjelaskan kerusakan jaringan pada sindroma
kompartemen akibat hipoksemia dan akibat reperfusi
12. Penatalaksanaan cedera ekstremitas dengan tetap memelihara aliran darah ke
jaringan perifer, mencegah infeksi dan nekrosis kulit, mencegah kerusakan pada
saraf perifer.
13. Penghentian perdarahan eksternal, immobilisasi dan mengatasi nyeri.

2. SUMBER PEMBELAJARAN
g. SDM: Anestetis sebagai pengajar, pelatih dan penilai
h. Sarana belajar mengajar : Ruang Kuliah, Perpustakaan, Skill Lab dan Rumah
Sakit setara Klas B pendidikan untuk menjamin jumlah dan variasi kasus sesuai sub 5c
(Metode)

3. MEDIA :

120
1. Kursus / pelatihan

Pelatihan di skill lab intubasi, LMA, kanulasi vena dan arteri pada

manikin

2. Belajar mandiri

3. Kuliah

Kuliah khusus Anestesia Traumatologi I ,termasuk semua sub

pokok bahasan dilakukan semester 3 pekan 1.

4. Diskusi kelompok

a. Laporan dan diskusi tentang problema preoperatif ,


b. Penatalaksanaan jalan nafas, resusitasi dan stabilisasi, anestesia umum (intubasi,
LMA), regional
c. pemantauan
d. penatalaksanaan pascabedah
5. Pemeriksaan preoperatif

6. Bimbingan pembiusan dan asistensi di kamar operasi

1. Pelatihan resusitasi dan stabilisasi, anestesia umum dan regional di kamar bedah,
ruang resusitasi pada pasien trauma.
2. Dilakukan dengan bimbingan dan pengawasan staf pengajar.
7. Tugas baca dan tulisan (tinjauan pustaka, journal reading)

8. Laporan kasus, morbiditas dan mortalitas

9. Continuing Profesional Development (CPD)

4. ALAT BANTU :
1. Manikin dan simulator.
2. Perpustakaan, internet, skill lab

15. EVALUASI

15.1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-tes dalam bentuk esai dan lisan untuk menilai
kinerja awal peserta didik dan melakukan identifikasi kekurangan yang ada. Materi pre-
tes terdiri atas :

121
1. Pemilihan/seleksi pasien trauma
2. Survei primer, resusitasi dan stabilisasi, survei sekunder, manajemen trauma
3. Persiapan preoperatif
4. Persiapan alat, obat, pengecekan mesin, pemasangan alat monitor noninvasif dan
invasif
5. Pemilihan teknik anestesia dan penggunaan obat yang sesuai untuk anestesia pasien
trauma
6. Penatalaksanaan anestesia umum dan regional
7. Pemantauan
8. Penatalaksanaan pasca-anestesia pasien trauma

15.2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang
teridentifikasi, membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.

15.3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam penuntun belajar
pada manikin anestesia bersama teman-temannya (peer assisted learning), dievaluasi
oleh teman-temannya (peer assisted evaluation).

15.4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di bawah
pengawasan fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien sesungguhnya.
Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan langsung (direct observation)
dan mengisi lembar penilaian:

- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak dilakukan

- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya tindakan
anestesia tidak mulus sehingga kurang memberi kenyamanan kepada pasien

- Baik : pelaksanaan benar, baik dan efisien

15.5.Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.

15.6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun belajar.

15.7. Pendidik/fasilitator melakukan :

- Pengamatan langsung dengan memakai ceklis evaluasi (terlampir)

- Diskusi dan penjelasan lisan dari peserta didik

- Kriteria penilaian keseluruhan : baik/cukup/kurang

15.8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan atau
diberi tugas untuk memperbaiki kinerja.

122
15.9. Pencapaian pembelajaran :

Isi pre-tes :

1. Jelaskan Survei Primer ABCDE pada penanggulangan pasien trauma


2. Jelaskan Resusitasi Awal pasien Trauma
3. Jelaskan Survei Sekunder pasien trauma
4. Jelaskan Monitor pada pasien trauma
5. jelaskan indikasi pemasangan kateter urin dan pipa nasogatrik pada pasien
trauma
6. Jelaskan indikasi pemeriksaan Rongent dan diagnosis dari
a. Dada
b. Pelvis
c. C-spine
d. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)
7. Jelaskan penanggulangan syok hipovolemik
8. Jelaskan penatalaksanaan jalan nafas pada trauma leher
9. Jelaskan diagnosis dan penanggulangan pneumotoraks tension
10. Pada pasien trauma jelaskan penyebab syok selain syok hipovolemik.

Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).

Bentuk ujian :

- Ujian akhir stase/ rotasi pos-tes tulis dan ujian pasien


- Ujian akhir profesi
Bisa dalam bentuk :

1. PengetahuanKognitif

- MCQ
- EMQ (Extended Medical Question)
Ujian lisan

- Multiple observation and assessments


- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
2. Skill

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
3.Communication and Interpersonal Skills

123
- Multiple observation and assessments
- Multiple observers
4.Profesionalisme

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers

16. DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR

Sudah Belum
No Daftar cek penuntun belajar
dikerjakan dikerjakan

1. DEFINISI TRAUMATOLOGI

2. TANGGAPAN FISIOLOGI AKIBAT TRAUMA

3. KUNJUNGAN PRA- RESUSITASI

4. KATAGORI TRAUMA (Primary, Secondary atau


Tertiary Survey)

5. MENENTUKAN KELAINAN JALAN NAFAS

6. MENENTUKAN KELAINAN BREATHING

7. MENENTUKAN KELAINAN CIRCULATIOAN

8. MENENTUKAN KELAINAN DISABILITY

9. MENENTUKAN KELAINAN EXPOSURE

10. PERSIAPAN PRA-RESUSITASI UNIT GAWAT


DARU- RAT

a. Persiapan alat-alat resusitasi

b. Persiapan obat-obatan dan cairan Infusi

c. Persiapan dan pemasangan alat-alat monitor

d. Pemantauan selama resusitasi

e. Penatalaksanaan pasca resusitasi

124
f. Pelimpahan untuk penatalaksanaan selanjutnya, ke
kamar bedah, ICU, PACU atau ke bangsal biasa


Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda

16. DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur Standard atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur Standard atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

125
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

126
Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih
Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

1. MATERI ACUAN

Introduksi :

Pada pasien trauma pertama kali yang dilakukan adalah penilaian survey primer ABCDE, dan
pembebasan jalan nafas. Bila ada dugaan trauma leher, tindakan inline position. Lakukan
pemberian oksigenasi dan ventilasi bila perlu. Pasang akses vena dengan jarum 16-14 G, dan
resusitasi cairan kristaloid hangat. Selanjutnya adalah menghentikan perdarahan eksternal bila
ada.

Setelah ABC aman, lakukan survei sekunder meliputi pemeriksaan fisis kepala sampai
ekstremitas. Pasang pemantauan, bila kondisi stabil lakukan pemeriksaan foto toraks,
abdomen, pelvis, C-spine bila perlu ultrasonografi (USG) untuk menegakkan diagnosis adanya
trauma dada, fraktur iga, pneumotoraks tension, flail chest, hemotoraks, kontusio paru, aspirasi
kontusio miokard, trauma abdomen luka penetrasi, non penetrasi, nyeri abdomen , penyebab
tidak jelas. Pemeriksaan CT scan dilakukan bila ada indikasi seperti trauma kepala.
Pemeriksaan DPL, hematologi, golongan darah dan permintaan komponen darah bila
diperlukan.

Pasien trauma yang menjalani anestesia harus dilakukan penatalaksanaan preoperatif ;


anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang, informed consent dan lakukan persiapan
anestesia (puasa, rencana premedikasi). Pasien dewasa elektif dipuasakan 6 8 jam, anak 2, 4,
6, 8 jam. Dilakukan penetapan status fisis ASA. Persiapan anestesia meliputi statics, obat,
mesin anestesia sesuai dengan tindakan anestesia yang dipilih. Setelah semua persiapan alat
dan obat lengkap, pastikan ada asisten yang membantu tindakan anestesia. Lakukan anestesia
umum sesuai modul pada anestesia umum atau analgesia regional sesuai modul analgesia
regional untuk pasien bedah digestif. Premedikasi dapat diberikan secara intravena atau

127
intramuskular. Lakukan pemantauan fungsi vital oksigenasi, saturasi Hb (SpO2), tekanan
darah, nadi, EKG, suhu, aliran cairan infusi, ventilasi dengan ETCO2 kalau ada, produksi urin,
jumlah perdarahan. Bila diperlukan pemasangan kateter vena sentral dan jalur intra arterial.
Atur kebutuhan obat untuk pertahankan sedasi, analgesia dan relaksasi. Untuk beberapa kasus
dibutuhkan pemasangan NGT.

Akhir operasi yakinkan pasien bernafas spontan dan volume nafas adekuat (kecuali bila
direncanakan untuk melanjutkan bantuan nafas pascabedah). Bila perlu berikan antidotum
obat-obat yang menyebabkan apnea berkepanjangan atau hipoventilasi . Lakukan
pengakhiran anestesia dengan mulus, dan mengawasi masa siuman. Lakukan pengawasan
terhadap komplikasi pascabedah dan penanggulangan terhadap mual muntah, nyeri, obstruksi
jalan nafas, gangguan oksigenasi, bradipnea, apnea, gangguan tekanan darah, dan lama pulih
sadar. Mortalitas dapat terjadi bergantung pada kondisi awal, ASA, atau penyakit penyerta.
Untuk kasus dan kondisi pasien tertentu memerlukan perawatan ICU pascabedah.

Langkah-langkah penanganan pasien trauma

Asesmen pertama pada pasien trauma dapat dibagi menjadi pemeriksaan primer, sekunder dan
tertier (primary, secondary and tertiatry survey). Primary survey akan berlangsung 2 5 menit
dan terdiri dari urutan ABCDE trauma: Jalan nafas. Breathing , Circulation , Disability dan
Exposure. Jika fungsi tiga sistem pertama terganggu, resusitasi harus segera dilakukan
secepatnya. Pada pasien kritis, resusitasi dan asesmen berlangsung simultan oleh tim
pelaksana penangulangan trauma. Pemantauan dasar mencakup, EKG, tekanan darah
noninvasif dan oksimeter pulsa dapat diprakarsai dari tempat kejadian dan diteruskan selama
perteolongan. Prinsip-prinsip resusitasi Jantung Paru dapat dilihat dalam Modul 3:
Keterampilan Anestesiologi III. Resusitasi trauma terdiri dari 2 langkah : menghentikan
perdarahan dan memperbaiki cedera definitif. Primary survey akan diikuti oleh secondary dan
teriary survey yanhg lebih komprehensif.

Primary survey

Jalan nafas

Menentukan dan mempertahankan jalan nafas selalu meruipakan perioritas pertama. Jika
pasien dapat berbicara, jalan nafas selalu bersih; pasien yang tidak sadar akan selalu
membutuhkan bantuan jalan nafas dan ventilasi. Gejala penting obstruksi jalan termasuk,

128
dengkur (snoring), stridor dan gerakan dada paradoksal. Pada pasien yang tidak sadar
sebaiknya dipertimbangkan kemungkinan adanya benda asing. Menejemen jalan nafas lanjut
(seperti intubasi endotrakeal, krikotirotomi, atau trakestomi) menjadi indikasi jika terjadi
apnea, obstruksi persisten, cedera kepala berat, trauma maksilofasial, luka tembus leher
hematom besar dan cedera dada berat.

Cedera tulang leher tidak mungkin pada pasien yang alert tanpa nyeri leher. Lima kriteria
dapat meningkatkan risiko yang berpotensi ketidakstabilan tulang servikal yaitu: 1) nyeri
leher, 2) nyeri yang sangat mengganggu, 3) adanya tanda atau gejala neurologik, 4)
intoksikasi, 5) gangguan kesadaran. Fraktur servikal harus diduga jika terdapat salah satu
kriteria tersebut; walaupun dengan kriteria ini kejadian fraktur trauma servikal mendekati 2 %.
Angka kejadian ketidakstabilan tulang servikal meningkat sampai 10 % jika terjadi cedera
kepala berat. Hindarkan hiperekstensi leher; jaw-thrust maneuver lebih baik untuk
mempertahankan keutuhan jalan nafas. Jalan nafas oral atau nasal dapat menolong
mempertahankan jalan nafas. Pasien tidak sadar dengan trauma berat mempunyai risiko tinggi
aspirasi, karena itu jalan nafas harus segera diamankan dengan pipa endotrakeal atau
trakeostomi. Hiperekstensi leher dan traksi aksial berlebihan harus dicegah dan immobilisasi
manual kepala dan leher oleh asisten harus dilakukan untuk menstabilkan tulang servikal
selama laringoskopi (manual in-line stabilization atau MILS). Asisten menempatkan kedua
tangan pada salahsatu sisi kepala, menahan bawah osiput dan mencegah rotasi kepala. Studi-
studi telah mendemonstrasikan, pergerakan leher terjadi terutama di daerah C1 dan C2 selama
ventilasi dengan sungkup muka dan laringoskopi langsung yang memerlukan upaya stabilisasi
(misalnya dengan: MILS, traksi aksial, bantal pasir, fiksasi kepala, kollare lunak atau kollar
keras). Dari emua teknik ini, MILS mungkin sangat efektif, tetapi juga mengakibatkan
laringoskopi menjadi lebih sulit. Karena alasan ini, beberapa ahli lebih menyukai intubasi
nasal (buta atau serat optik) poada pasien yang bernafasspontan dengan kecurigaan cedera
tulang servikal, walaupun teknik ini mempunyai risiko untuk aspirasi paru. Kebanyakan
praktisi sangat terbiasa dengan intubasi oral dilakukan pada pasien apne yang memmerlukan
intubasi segera. Intubasi nasal seharusnya dihindarkan untuk pasien dengan cedera muka
tengah (midface) atau fraktur tulang dasar tengkorak.

Trauma laring menyebabkan situasi lebih kompleks dan buruk. Cedera terbuka dapat
berkaitan dengan perdarahan dari pembuluh darah besar di leher, obstruksi jalan nafas karena
hematom atau edema. Cedera tertutup laring kurang membahayakan tetapi dapat berdampak
kripitasi leher, hematoma, disfagi, hemoptisis atau hilang suara. Intubasi sadar dengan pipa
endotrakeal kecil mempergunakan laringoskop direk atau brokoskop serat optik dan
analgesia topikal, dapat diupayakan jika laring dapat dilihat dengan baik. Jika cedera muka
dan leher tidak memungkinkan untuk dilakukan intubasi sebaiknya dipertimbangkan
trakeostomi dengan analgesia lokal.Obstruksi jalan nafas akut mungkin memerlukan
krikotomi darurat atau trakeostomi perkutan atau bedah.

129
Breathing

Asesmen ventilasi dicapai dengan baik sekali dengan cara melihat, mendengar dan
merasakan. Melihat untuk sianosis, penggunaan otot nafas asesories, flail chest, luka tembus
toraks. Mendengar untuk ada atau tidak ada atau penurunan bunyi nafas. Merasakan untuk
emfesa subkutan, pergeseran trakea, iga patah. Adanya tension pneumothorax dan hemothorax
harus dapat dicurigai gangguan pernafasan sebelum dilakukan foto toraks. Kebanyakan
pasien trauma yang kritis membutuhkan nafas bantu kalau tidak nafas kendali. Bag-valve
devices (misalnya, self inflating bag dengan one way valve) dapat dipergunakan untuk ventilasi
yang adekuat segera setelah intubasi selama transportasi pasien. Oksigen 100 % diberikan
sampai gas darah arteri dapat dinilai.

Circulation

Sirkulasi yang adekuat berdasarkan laju nadi, kekuatan nadi, tekanan darah dan tanda-tanda
perfusi perifer. Gejala sirkulasi tidak adekuat mencakup, takikardia, pulsa perifer lemah atau
tidak teraba, hipotensi, pucat, dingin atau ekstrimitas sianosis. Perioritas pertama adalah
menghentikan perdarahan, kalau terlihat dari luar tekan langsung; kedua, menggantikan
cairan intravaskular melalui kanul besar agar infusi dapat diberikan cepat. Contoh darah harus
diambil

Perdarahan

Pertolongan pertama perdarahan adalah menekan dari luar, hati-hati kalau mempergunakan
turnike karena dapat menyebabkan cedera reperfusi. Derajat hipotensi pasien saat sampai di
ruang darurat dan kamar operasi sangat menentukan mortalitas pasien. Respons fisiologik
perdarahan bervariasi yaitu, takikardia, perfusi kapiler buruk, penurunan tekanan nadi pada
hipotensi, takipne dan delerium. (Tabel)

Table . Clinical Classification of Shock.

130
Pathophysiology Clinical Manifestations

Mild (< 20% Decreased peripheral Patient complains of feeling


of blood perfusion only of organs able cold. Postural hypotension
volume lost) to withstand prolonged iskemia and tachycardia. Cool pale
(skin, fat, muscle, and bone). moist skin; collapsed neck
Arterial pH normal. veins; concentrated urin.

Moderate Decreased central perfusion of Thirst. Supine hypotension


(2040% of organs able to tolerate only and tachycar-dia (variable).
blood brief iskemia (liver, gut, Oliguria and anuria.
volume lost) kidneys). Metabolic acidosis
present.

Severe (> Decreased perfusion of heart Agitation, confusion, or


40% of blood and brain. Severe metabolic obtundation. Supine
volume lost) acidosis. Respiratory acidosis hypotension and tachycardia
possibly present. invariably present. Rapid,
deep respirasion.

1
Modified and reprinted, with permission, from Ho MT, Saunders CE: Current
Emergency Diagnosis & Treatment, 4th ed. Appleton & Lange, 1992.
2
These clinical findings are most consistently observed in hemorrhagic shock
but apply to other types of shock as well.

Terapi cairan
Perdarahan masif memerlukan transfusi sel darah merah (SDM) yang sesuai. SDM gol. O
yang tidak dicocok silang, dicadangkan untuk perdarahan yang mengancam nyawa dan
tidak dapat lagi diganti dengan cairan lain. Transfusi SDM diberikan jika Hb < 7 gr / dl.

Cairan kristaloid yang diberikan akan memerlukan volume yang besar, karena tidak lama
bertahan dalam sirkulasi. Larutan ringer laktat lebih mudah menghasilkan asidosis kloremik
dibandingkan NaCl normal. Ringer laktat merupakan caiaran yang sedikit hipotonik, tetapi
pemberian yang berlebihan akan berdampak edema serebri. Cairan hipertonik seperti NaCL 3
7,5 % efektif untuk resusitasi cairan karena kurang mengakibat edema serebri
dibandingkan ringer laktat atau NaCl normal. Tetapi hati-hati memberikan cairan hipertonik
karena mudah memberi dampak hipernatremia. Cairan yang mengandung dekstrosa
berlebihan mudah menyebabkan eksaserbasi iskemia otak. Cairan koloid lebih efektif
sebagai pengisi volume intravaskular karena lebih lama bertahan dalam sirkulasi; tetapi harga

131
jauh lebih mahal. Cairan apapun yang dipilih, harus dihangatkan dulu sebelum diberikan.
Infusii cepat yang mempergunakan kanul besar (14- 16 gauge) dan cairan hangat sangat baik
untuk transfusi masif. Selimut hangat atau humidifier hangat juga sangat penting untuk
mempertahankan suhu tubuh. Hipotermia akan memperburuk gangguan asam-basa,
koagulopati, dan fungsi miokard.(Tabel)

Table. Deleterious Effects of Hypothermia.

Cardiac arrhythmias and ischemia

Increased peripheral vascular resistance

Left shift of the hemoglobinoxygen saturation curve

Reversibel coagulopathy (platelet dysfunction)

Postoperative protein catabolism and stress response

Altered mental status

Impaired renal function

Decreased drug metabolism

Poor wound healing

Increased incidence of infection

Hipotermia juga akan menggeser kurva oksigenhemoglobin ke kiri dan menurunkan


metabolisme laktat, sitrat dan beberapa obat anestetik. Jumlah pemberian cairan
berdasarkan perbaikan gejala klinis terutama tekanan darah, tekanan nadi (pulse preessure),
dan laju nadi. Pengukuran CVP dan jumlah urin juga menjadi indikasi pemulihan perfusi
organ vital.

Perfusi organ yang tidak adekuat akan mengganggu metabolisme aerobik dan menghasilkan
asam laktat dan asisdosis metabolik. Na bikarbonat yang berdisosiasi menjadi ion bikarbonat
dan CO2, dapat memperburuk asidosis intrasel karena membran sel relatif sulit larut
bikarbonat dibandingkan dengan CO2. Ketidakseimbangan asam basa, akhirnya

132
diperbaiki dengan hidrasi dan pemulihan perfusi organ. Laktat akan dimetabolisme di hati
dan ion H akan diekskresi melalui ginjal.

Hipotensi pada pasien syok hipovolemik akan diatasi cairan intravena dan produk darah,
bukan oleh vasopresor ; kecuali hipotensi berat yang tidak respons terhadap terapi cairan,
syok kardiogenik atau henti jantung.

Disability

Upaya ini dilakukan untuk mengevaluasi neurologik dengan cepat, besar pupil, reaksi cahaya,
skala Glasgow Coma Scale (GCS), pergerakan spontan kaki dan tangan atau respons terhadap
rangsangan.

Table 261. Glasgow Coma Scale.

Category Skor

Eye opening

Spontaneous 4

To speech 3

To pain 2

Nil 1

Best motor responsse

To verbal command

Obeys 6

133
Category Skor

To pain

Localizes 5

Withdraws 4

Decorticate flexion 3

Extensor responsse 2

Nil 1

Best verbal responsse

Oriented 5

Confused conversation 4

Inappropriate words 3

Incomprehensible sounds 2

Nil 1

Exposure

Seluruh pasien dilepascan agar dapat memeriksan semua cedera yang ada. Mobilisasi in line
harus dipergunakan untuk cedera lehr dan tulang belakang

18. REFERENSI

Primary Trauma Care Course Manual (current edition)

Darurat Medicine Manual (to be announced)

134
Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr. 4th ed 2006

Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006

Manual of Anaesthesia, CY. Lee 2006

135
MODUL 8 : ANESTESIA UMUM

Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 1)

Sesi di dalam kelas 2 X 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasilitasi Pembimbing 3 X 2 (coaching session)

Sesi praktek dan pencapaian 4 pekan (facilitation & assessment)


kompetensi

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

6. LCD Proyektor dan layar


7. Laptop
8. OHP
9. Flipchart
10. Pemutar video
Materi presentasi:

CD PowerPoint

Sarana:

5. Ruang belajar
6. Ruang pemeriksaan
7. Ruang Operasi
Kasus : pasien di kamar operasi

Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

136
6. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
7. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

TUJUAN UMUM

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu memberikan anestesia umum
intravena, inhalasi, intramuskular baik nafas spontan atau kendali, diintubasi atau
dengan LMA pada pasien dengan status fisis ASA I-II.

TUJUAN KHUSUS

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi dalam ranah-ranah
berikut ini :

Kognitif

1. Memahami cara kerja alat pemantauan, mesin anestesia dan obat-obatan apa
yang perlu disediakan di kamar operasi.
2. Mengetahui mekanisme terjadinya anestesia umum
3. Mengetahui cara pemberian dan obat yang dipakai untuk induksi anestesia
umum
4. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi selama anestesia: obstruksi jalan
nafas, hipoksemia, hiperkarbia, hipotensi, hipertensi.
5. Mengetahui farmakokinetik dan farmakodinamik obat anestetik intra vena dan
anestetik inhalasi.
6. Mengetahui tentang keseimbangananestesia umum intravena,
keseimbangananestesia umum inhalasi.
7. Memahami indikasi dan cara memberikan anestesia dengan sungkup, LMA,
endotrakeal.
8. Memahami indikasi dan komplikasi intubasi untuk keperluan anestesia umum.
9. Memahami kapan dilakukan ekstubasi serta komplikasi ekstubasi.

Psikomotor

1. Mampu melakukan pembebasan jalan nafas tanpa alat (manuver tripel), dengan
OPA, LMA, dan intubasi.
2. Mampu melakukan induksi intravena dan induksi inhalasi dengan tepat.
3. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi akibat induksi intravena, induksi
inhalasi seperti obstruksi jalan nafas, hipoksemia, hiperkarbia, hipotensi,

137
hipertensi.
4. Mampu mengetahui stadium anestesia.
5. Mampu melakukan ekstubasi.
6. Mampu mengatasi komplikasi akibat ekstubasi.
Komunikasi

1. Berkomunikasi dengan ahli bedah bila terjadi komplikasi yang memerlukan


tindakan pembedahan .

Profesionalisme

1. Mampu mengenali dan memahami urgensi dari komplikasi anestesia umum.


2. Mampu memberikan anestesia umum selancar mungkin (smooth induction and
rumatan of anesthesia).

KEYNOTES:

1. Memahami cara kerja mesin anestesia


2. Memahami cara memasang alat monitor.
3. Mengetahui dengan pasti indikasi anestesia umum
4. Mengetahui dengan pasti teknik induksi anestesia
5. Mengetahui dengan pasti cara pemeliharaan anestesia
6. Mengetahui dengan pasti dan mampu mengatasi bila terjadi komplikasi saat
induksi, rumatan dan saat emergens.
7. Mengetahui farmakokinetik dan farmakodinamik obat anestetik intravena dan
anestetik inhalasi
8. Mengetahui farmakokinetik dan farmakodinamik analgetik opioid, obat
pelumpuh otot
9. Mengetahui farmakokinetik dan farmakodinamik antidotum narkotik dan
pelumpuh otot.

GAMBARAN UMUM

Untuk dapat memberikan anestesia umum dengan aman diperlukan pengetahuan dan
keterampilan dalam mekanisme kerja alat pemantauan, cara kerja mesin anestesia
dan obat-obatan apa yang perlu disediakan di kamar operasi, mekanisme terjadinya
anestesia umum, cara pemberian dan obat induksi anestesia umum, komplikasi yang
sering terjadi selama anestesia (obstruksi jalan nafas, hipoksemia, hiperkarbia,
hipotensi, hipertensi), farmakokinetik dan farmakodinamik obat anestetik intra vena
dan anestetik inhalasi, keseimbangananestesia umum intravena,
keseimbangananestesia umum inhalasi, indikasi dan cara anestesia dengan sungkup,
LMA, endotrakeal. Memahami indikasi dan komplikasi intubasi unuk keperluan
anestesia umum, kapan dilakukan ekstubasi serta komplikasi ekstubasi, melakukan

138
pembebasan jalan nafas tanpa alat (manuver tripel), dengan OPA, LMA, dan
intubasi, melakukan induksi intravena dan induksi inhalasi dengan tepat, mampu
mengatasi komplikasi akibat ekstubasi.

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu memberikan anestesia umum
inhalasi dan intravena pada pasien dengan status fisis ASA I-II.

METODE PEMBELAJARAN

Peserta didik sudah harus mempelajari:

4. Bahan acuan (references)


5. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran
6. Ilmu klinis dasar

Tujuan 1: mampu memberikan anestesia umum inhalasi.

Metode pembelajaran
1. Diskusi kelompok kecil
2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education

Tujuan 2: mampu memberikan anestesia umum intravena.

Metode pembelajaran
1. Diskusi kelompok kecil
2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education

MEDIA

1. Papan tulis

139
2. Komputer
3. LCD dan slide projector
4. Pasien di kamar bedah .

ALAT BANTU PEMBELAJARAN

1. Virtual patients
2. Reading assigment
3. Audiovisual
4. Perpustakaan, internet, skill lab

EVALUASI

1. Kognitif :
EMQ (Extended Medical Question)

Multiple observations and assessments

Multiple observers/raters

OSCE (Objective Structure Clinical Examination)

Minicheck

2. Skill/psikomotor :
Multiple observations and assessments

Multiple observers

OSCE

Minicheck

3. Communication and Interpersonal Skills


Multiple Observations and assessments

Multiple observers/rater

4. Profesionalisme
Multiple Observations and assessments

Multiple observers/rater

140
Pre-tes

10. Jelaskan tentang alat pantau dan obat-obatan apa yang diperlukan di kamar
operasi.
11. Bagaimana cara melakukan induksi inhalasi dan induksi intravena?
12. Jelaskan tentang komplikasi yang sering saat induksi anestesia dan saat
ekstubasi dan cara mengatasinya!
13. Jelaskan tentang indikasi anestesia umum.
14. Jelaskan tentang indikasi intubasi dan tekniknya untuk keperluan anestesia
umum.
15. Jelaskan tentang ambilan dan distribusi anestetik inhalasi.
16. Jelaskan tentang MAC, MAC EI, MAC BAR, MAC sadardan keadaan apa
saja yang mempengaruhinya.
17. Jelaskan pasien efek obat anestetik inhalasi halotan, enfluran, isofluran,
sevofluran, desfluran terhadap organ tubuh.
18. Jelaskan tentang efek obat anestetik intravena propofol, tiopental, ketamin,
etomidat terdap organ tubuh.

Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan
(semester).

Bentuk ujian :

- Ujian akhir rotasi (pos-tes tulis dan ujian pasien)


- Ujian akhir profesi (lisan/ujian nasional)

Bisa dalam bentuk :

1. Kognitif
a. EMQ (Extended Medical Question)
b. Multiple observation and assessments
c. Multiple observers
d. OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
e. Minicheck
2. Skill/psikomotor
a. Multiple observation and assessments
b. Multiple observers
c. OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
d. Minicheck
3. Affective : Profesionalisme, Communication and Interpersonal Skills
a. Multiple observation and assessments
b. Multiple observers

141
DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia Sudah Belum


dilakukan dilakukan

1 Pemasangan monitor

2 Pemasangan jalur vena.

3. Melakukan induksi intravena

4 Melakukan induksi inhalasi

5 Menilai dan mengatasi komplikasi obstruksi jalan nafas


hipoksemia, hiperkarbia, hipotensi, hipertensi.

6 Melakukan ventilasi dengan sungkup

7 Melakukan pemasangan OPA

8 Malakukan pemasangan LMA dan memeriksa


ketepatan posisinya.

9 Melakukan intubasi dan memeriksa ketepatan posisinya

10 Melakukan ventilasi mekanis manual

11 Melakukan ventilasi mekanis dengan ventilator mesin


anestesia.

12 Melakukan pengahiran anestesia

13 Melakukan ekstubasi

14 Melakukan penatalaksanaan pasien pascaekstubasi

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda ( )

142
DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur Standard atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur Standard atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

143
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

144
MATERI ACUAN

I. Pendahuluan
Anestesia adalah hilangnya sensasi sakit. Pada anestesia umum hilangnya rasa
nyeri terjadi pada seluruh tubuh disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel.
Anestesia dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu anestesia umum dan analgesia lokal.
Pada analgesia lokal hilangnya rasa nyeri hanya pada sebagian tubuh dan tidak disertai
hilangnya kesadaran.

Anestesia umum dapat diberikan secara inhalasi, intravena, intramuskular,


subkutan, per-oral, per-rektal. Analgesia lokal dapat diberikan secara topikal, infiltrasi,
field block, blok saraf tepi, intravena (Biers technique), cadual, epidural dan spinal
analgesia.

Obat anestetik inhalasi dapat berbentuk gas misalnya N2O, siklopropan dan
etilen. Yang berbentuk cair melalui alat penguap akan diubah menjadi gas. Obat
anestetik inhalasi yang berbentuk cair dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu
golongan halogen hidrokarbon misalnya halotan dan halogen eter yang contohnya
adalah eter, enfluran, isofluran, desfluran, dan sevofluran. Teknik anestesia umum
inhalasi bisa dilakukan dengan nafas spontan dengan sungkup muka, nafas spontan
diintubasi, nafas spontan dengan LM, nafas spontan dengan COPA (Kafed Orofaringeal
Jalan nafas) atau nafas kendali diintubasi.

Obat anestetik intravena antara lain : tiopental, propofol, ketamin, etomidat,


midazolam, diazepam, dan sebagainya. Obat anestetik yang dapat diberikan secara
intramuskular adalah ketamin, diazepam, midazolam. Yang dapat diberikan per-rektal
adalah eter oil, ketamin, tiopental.

Anestesia umum didefinisikan sebagai hilangnya rasa nyeri diseluruh tubuh yang
disertai hilangnya kesadaran yang reversibel akibat pemberian obat anestetik. Pada
anestesia umum ada penekanan Susunan Saraf Pusat (SSP) yang menurun secara
ireguler. Anestesia umum dapat didefinisikan lebih jauh sebagai suatu keadaan yang
mana sistem fisiologi tertentu dari tubuh di bawah kendali pengaturan luar oleh obat-
obat anestetik. Urut-urutan SSP yang terdepresi selama anestesia umum adalah corteks
dan pusat psikis, basal ganglia dan serebelum, medula spinalis dan terakhir medula
oblongata

Anestesia umum dapat diberikan secara inhalasi, intravena, intra muskular, per oral
dan per-rektal. Yang paling sering dipakai adalah pemberian secara inhalasi dan
intravena. Agak jarang yang diberikan secara intramuskular dan lebih jarang lagi yang

145
diberikan secara per-rektal atau per-oral.

Obat anestetik yang diberikan secara inhalasi adalah eter, halotan, enfluran,
isofluran, sevofluran dan desfluran. Yang dapat diberikan secara intravena adalah
tiopental, ketamin, propofol, etomidat, diazepam, midazolam. Yang diberikan secara
intramuskular adalah ketamin. Contoh yang dapat diberikan per rektal adalah diazepam,
eter oil. Yang dapat diberikan secara oral adalah ketamin dan midazolam.

Dengan ditemukannya obat-obat anestetik yang baru maka definisi anestesia


umum tidak sesederhana sebagai suatu depresi SSP yang menurun. Kemampuan untuk
memberikan keadaan tidur terpisah dari keadaan analgesia dan relaksasai otot
menyebabkan dikenalnya keadaan yang disebut anestesia seimbang (balans anesthesia)
yaitu masing-masing obat untuk setiap komponen anestesia umum.

Komponen Anestesia Umum

Pada anestesia umum terdapat trias anestesia yaitu hipnotik (hilang kesadaran),
analgetik dan relaksasi. Hipnotik dapat dilakukan dengan hambatan mental, analgetik
dapat dilakukan dengan hambatan sensori dan relaksasi dengan hambatan refleks dan
hambatan motorik.

Analgesia :

Terjadi hambatan sensori, di sini rangsangan nyeri dihambat secara sentral


sehingga tidak dapat diartikan di korteks serebri. Analgesia bisa terjadi dalam berbagai
tingkatan dimulai dengan light analgesia (stadium I) sampai true analgesia di mana
semua sensasi hilang.

Relaksasi:

Bisa terjadi karena adanya hambatan motorik dan hambatan refleks. Pada
hambatan motorik terjadi depresi area motorik di otak dan hambatan impuls efferent,
sehingga terjadi relaksasi otot skelet. Efek depresi motorik ini bergantung pada ke
dalaman anestesia, di mana otot pernafasan / diafragma yang paling akhir ditekan.

Pada hambatan refleks, terjadi penekanan refleks misalnya ada sistem respirasi untuk
mencegah brokospasme, laringospasme, pembentukan mukus. Pada sirkulasi untuk
mencegah terjadinya aritmia dan pada gastrointestinal untuk mencegah mual, muntah.

Hipnotik:

Terjadi hambatan mental. Ada beberapa tingkatan dimulai dari tenang, sedasi,
light sleep atau hipnosis, deep sleep atau narkosis, complete anaesthesia, dan terakhir

146
terjadi depresi medula oblongata.

Indikasi anestesia umum adalah :


1. Bayi dan anak-anak.
2. Operasi yang luas.
3. Pasien dengan kelainan mental.
4. Bila pasien menolak analgesia lokal.
5. Operasi yang lama.
6. Operasi di mana dengan analgesia lokal tidak praktis dan tidak menguntungkan.
7. Pasien dalam terapi antikoagulan.
8. Pasien yang alergi terhadap obat analgetik lokal.

Pada anestesia umum terjadi trias anestesia, yaitu : - hipnotik (tidur)

- analgetik (hilangnya rasa nyeri)

- relaksasi

Pada anestesia umum inhalasi atau intravena, trias anestesia dapat diperoleh dengan
dosis besar satu macam obat anestetik inhalasi atau intravena, tetapi akan disertai adanya
efek samping. Misalnya dengan pentothal saja atau dengan halotan saja.

Untuk mencegah adanya efek samping tersebut, maka anestesia umum dilakukan dengan
konsep anestesia seimbang di mana pasien diberikan obat untuk setiap komponen
anestesia, yaitu hipnotik, analgetik dan relaksasi.

Contoh obat anestetik seimbang

Anestesia inhalasi Anestesia intravena

Hipnotik N2O, halotan, enfluran, isofluran, Tiopental, Propofol,


sevofluran. Diazepam, Midazolam,
Ketamin.

Analgetik Narkotik analgetik (Petidin, Morfin, Narkotik analgetik.


Fentanil, Sufentanil, Alfentanil).

Relaksasi Semua obat pelumpuh otot Semua obat pelumpuh otot.


(Suksinilkolin, Rokuronium,

147
Vekuronium, Atrakurium)

Untuk terjadinya trias ini, maka pada anestesia umum inhalasi terjadi blok sensori, blok
motorik, blok refleks dan blok mental.

Blok sensori:
Rangsangan pada organ akhir diblok secara sentral dan rangsangan tidak masuk ke
dalam korteks
tingkatan bervariasi, dari stadium I sampai dengan stadium III di mana semua
sensasi hilang
yang ditekan adalah korteks, hipotalamus, subkortikal talamik nuklei, semua sel
sensori kranial.
Blok motorik
Yang ditekan adalah premotor dan motor korteks subkortical dan
ekstrapiramidall. Yang terakhir dipengaruhi adalah otot pernafasan. Mula-mula pada otot
interkostal bawah, lalu otot interkostal atas, dan kemudian otot diafragma.

Blok refleks:
Refleks yang tidak menyenangkan harus diblok, misalnya pada sistem respirasi
adalah pembentukan mukus, spasme laring, spasme bronkus. Pada sistem kardiovaskular
adanya aritmia, dan pada sistem gastrointestinal adanya salivasi dan muntah.

Blok mental :
Untuk mencapai tidur ada beberapa tahapan :

1. Tenang.
2. Sedasi (ngantuk).
3. Hipnosis (light sleep).
4. Narkosis (deep sleep).
5. Anestesia penuh (complete anesthesia).
6. Paralisis pada medula (medulary paralysis).
Pada pemberian anestesia umum inhalasi, urutan bagian SSP yang terdepresi adalah :

1. Cortex cerebri dan pusat psikis.


2. Basal ganglia dan serebelum.
3. Medula spinalis.
4. Medula oblongata.
Teori terjadinya anestesia umum belum jelas benar sehingga terdapat bermacam-macam
teori anestesia antara lain :

1. Colloid Theory (1875).


2. Lipid Solubility Theory (1899).

148
3. Surface Tension atau Adsorpsion Theory (1904).
4. Cell Permeability Theory (1907).
5. Biochemical Theories (1952).
6. Neurophysiologic Theories (1952).
7. Physical Theories (1961).
8. Multiple Mechanistic Theories (1967).

II. Ambilan dan Distribusi


Untuk pengambilan gas anestesia dari paru penyebarannya ke dalam jaringan ada
4 faktor utama, yaitu : a. Faktor Respirasi

b. Faktor Sirkulasi

c. Faktor Gas Anestesia

d. Faktor Jaringan

a. Faktor Respirasi
Faktor Pulmoner :
Ada dua faktor yang menentukan kecepatan zat anestesia sehingga kadar zat
anestesia dalam alveolus meningkat, yaitu konsentrasi inspirasi dan ventilasi alveolus.

Kedua faktor ini disebut concentrasion effect.

Konsentrasi Inspirasi :
Semakin tinggi konsentrasi gas inspirasi, akan menyebabkan peninggian yang
lebih cepat dari konsentrasi alveolar.

Second Gas Effect :


Jika gas kedua diberikan bersama, misalnya pada N2O/O2 diberikan halotan,
maka peninggian halotan di alveolus akan lebih cepat. Hal ini terjadi karena cepatnya
N2O masuk ke dalam tubuh melalui paru, maka unsur lainnya yang ada dalam udara
inspirasi termasuk gas dan uap anestesia lainnya akan ikut masuk dengan cepat.

Efek Ventilasi :
Jika ventilasi lebih besar, maka konsentrasi gas alveolar akan lebih cepat
meningkat.

b. Faktor Sirkulasi

149
Fase Sirkulasi :
Bergantung pada koefisien partisi (kelarutan), curah jantung dan perbedaan
tekanan gas pada alveolus dan vena.

Kelarutan :
Kelarutan suatu gas selalu konstan. Istilah kelarutan adalah partition coefficient
(p.c.), misalnya blood/gas p.c., tissue/gas p.c., oil/gas p.c. Contoh : blood/gas p.c. =
2, artinya volume gas pada tekanan parsial gas yang sama di kedua fase
perbandingannya adalah 2:1.

Pada tekanan parsial yang sama, volume gas anestesia dalam alveolus adalah 1 vol%.
Sedangkan pada darah adalah 2 vol%. Partition coefficient blood/gas adalah 2/1 =2.

Table : Partition coefficients of uap anesthetics at 37oC

Agent Blood/Gas Brain/Blood Muscle/Blood Fat/Blood


N2O 0.47 1.1 1.2 2.3
Halotan 2.40 2.9 3.5 60
Metoksifluran 12.00 2.0 1.3 49
Enflurae 1.90 1.5 1.7 36
Isofluran 1.40 2.6 4.0 45
Desfluran 0.42 1.3 2.0 27
Sevofluran 0.59 1.7 3.1 48

Curah jantung :
Darah membawa gas dari paru, maka bila curah jantung meningkat, ambilan juga
meningkat. Pada keadaan curah jantung yang menurun terjadi penurunan gradien
tekanan gas dalam alveolus dengan tekanan gas dalam vena dan makin rendahnya
kelarutan gas anestesia, maka pengeluaran zat anestesia akan menurun.

Perbedaan tekanan parsial gas dalam alveolus dan vena :


-.Obat anestetik inhalasi menimbulkan kedalaman anestesia bergantung pada
tekanan parsial gas di otak.

-.Bila tekanan parsial gas lebih tinggi di darah daripada di otak, gas akan pindah
dari darah ke otak. Demikian pula sebaliknya.

-.Tekanan parsial gas di otak selalu mencoba ekuilibrium dengan tekanan gas di
dalam darah.

150
c. Faktor Gas Anestesia
Minimal Alveolar Concentrasion (MAC) :
Dosis obat pada umumnya ditentukan oleh berat badan. Misalnya : mg/kgBB atau
mcg/kgBB, tetapi dosis obat anestetik inhalasi ditentukan oleh MAC.

Ada beberapa istilah yang harus difahami :

MAC50, atau lebih sering disebut MAC saja, adalah konsentrasi minimal gas anestesia
di dalam alveolus pada tekanan 1 atmosfir di mana 50% penderita tidak bergerak bila
diberikan noxious rangsangan. Ada istilah lain, yaitu MAC95, MACEI50, MACEI95,
MACBAR50, MACBAR95, dan MACAWAKE.

95 artinya 95% penderita. EI adalah singkatan dari Endotrakeal Intubation, dan BAR
adalah singkatan dari blockade adreno receptor.

MAC95 adalah konsentrasi minimal gas anestesia di dalam alveolus pada tekanan 1
atmosfir di mana 95% penderita tidak bergerak bila diberikan noxious rangsangan.

MACEI50 adalah konsentrasi minimal gas anestesia di dalam alveolus pada tekanan 1
atmosfir di mana 50% penderita tidak bergerak bila dilakukan laringoskopi dan
intubasi endotrakeal.

MACEI95 adalah konsentrasi minimal gas anestesia di dalam alveolus pada tekanan 1
atmosfir di mana 95% penderita tidak bergerak bila dilakukan laringoskopi dan
intubasi endotrakeal.

MACBAR50 adalah konsentrasi minimal gas anestesia di dalam alveolus pada tekanan 1
atmosfir di mana 50% penderita tidak memberikan respons adrenergik bila diberikan
noxious rangsangan.

MACBAR95 adalah konsentrasi minimal gas anestesia di dalam alveolus pada tekanan 1
atmosfir di mana 95% penderita tidak memberikan respons adrenergik bila diberikan
noxious rangsangan.

MAC SADAR(MACAWAKE50) adalah konsentrasi minimal gas anestesia di dalam alveolus


pada tekanan 1 atmosfir di mana 50% penderita membuka mata bila dipanggil.

Di bawah ini dapat kita lihat perbedaan MAC obat anestetik inhalasi.

MAC Compared with Anesthetic Concentrasion


Agent MAC Induction Rumatan Concentrasion

151
Concentrasion (Vol%) (Vol%)

Methoxyflurane 0.16 Up to 3 0.2-1.0

Halotan 0.76 2-4 0.5-2.0

Isofluran 1.12 2-4 1.0-3.0

Enflurane 1.68 2-5 1.5-3.0

Eter 1.92 10-30 4-15

Cyclopropane 9.2 20-50 10-20

Nitrous oxide 105.0 Up to 80 Up to 80

Concentrasion of halotan and enflurane required to prevent responsses to certain


stimuly (comparison of MAC, MACEI and MACBAR).

Halotan Enflurane
MAC50 1.0 MAC (0.74 0.03%) 1.0 MAC (1.68 0.04%)

MACEI50 1.3 MAC 1.4 MAC


MACBAR50 1.5 MAC 1.6 MAC
MAC95 1.2 MAC 1.1 MAC
MACEI95 1.7 MAC 1.9 MAC
MACBAR95 2.1 MAC 2.6 MAC

These values have been age-adjusted.


MACEI = Concentrtation of uap agent permiting laringoscopy and
intubation without untoward movement.
MACBAR = Concentrasion of uap agent required to block adrenergic
responsse to skin incision.
50 and 95 = Percentages of individuals in whom above responsses are blocked
at concentrasions stated.

152
Nilai MAC tidak selalu konstan, tetapi berubah-ubah bergantung pada beberapa
keadaan seperti yang tertera pada tabel di bawah ini.

Factors Influencing or Not Influencing Anesthetic Requirements (MAC)

MAC Decreased MAC Unchanged MAC Increased

Increasing Age Durasion of anesthesia Alcoholism (chronic abuse)

CNS depressants Circardian rhythm Drugs increasing CNS


catecholamine
Alcohol (acute intake) Gender s
Barbiturates Species Cocaine
Benzodiazepines Hypertension Dextroamphetamine
Bromide ion Propanolol Ephedrine
Lidokain Hyperkalemia Hypernatremia and other
(sistemati factors increasing brain
cally) Hypocarbia
sodium
Narcotic analgetics Metabolic acidosis or
alkalosis Hyperthermia >42oC
Nitrous oxide and other Hypercarbia (PaCO2 > 95
anesthetic torr, CSF pH
s < 7.1)
Phenothiazines (with Hipoksia (PaO2 < 38 torr)
sedative
actions) Anemia (Arterial O2 content
< 4.3 ml/dl)
-9-
tetrahydr
ocannabi
nol

Drugs decreasing CNS


catecholamines (e.g.,
reserpine, -
methyldopa)

pankuronium

153
Kolinesterase inhibitors

Pregnancy

Hypercalcemia

Hypotension

Hypothermia

d. Faktor Jaringan
Jaringan dibagi atas 4 kelompok :
a. Kelompok jaringan kaya pembuluh darah :

otak, jantung, hepar, ginjal dan kelenjar endokrin.

Organ-organ ini beratnya < 7%BB, tetapi menerima 75% curah jantung. Jaringan
ini menerima zat anestesia dalam jumlah banyak sejak awal induksi.

b. Kelompok intermediat (menengah) :

otot, skelet, dan kulit. Perfusi jaringan rendah ( < 3ml darah/100mg
jaringan/menit).

c. Lemak merupakan depo yang efektif untuk penimbunan zat anestesia. Walaupun
perfusinya lebih rendah dari kelompok otot, tetapi mempunyai kemampuan besar
dalam pengambilan zat anestesia. Hal ini dapat melambatkan induksi maupun
pemulihan pada pasien yang gemuk.

d. Kelompok jaringan sedikit pembuluh darah :

ligamen dan tendo. Jaringan ini hampir tidak mengambil zat anestesia.

Pada pasien yang gemuk (obesitas) bisa terjadi reanestesia karena banyaknya obat
anestetik pada jaringan lemak (terutama yang larut dalam lemak).

III. Induksi Anestesia


Induksi adalah untuk menghantarkan penderita ke stadium operasi. Untuk
melakukan induksi dapat dilakukan dengan obat anestetik intravena, intramuskular, atau
langsung dengan obat anestetik inhalasi. Bila dilakukan dengan anestesia inhalasi
bergantung pada jenis obat anestetik inhalasi yang diberikan, maka teknik induksinya
akan berbeda.

154
Bila penderita tidak sadar, maka problema utama adalah jalan nafas, karena dapat
terjadi sumbatan jalan nafas yang bisa parsial atau total. Tanda-tanda sumbatan parsial
adalah adanya dengkuran (snoring), keadaan tercekik (crowing), bunyi kumur-kumur
(gargling), atau wheezing, adanya retraksi dada dan sianosis. Bunyi itu bergantung pada
lokasi sumbatannya, misalnya snoring adalah akibat pangkal lidah jatuh ke belakang,
crowing adalah sumbatan pada daerah laring, dan whezing adalah sumbatan pada
bronkus. Pada sumbatan total tidak terdengar atau terasa aliran udara dari mulut /
hidung, adanya retraksi supraklavikular, retraksi interkostal, dada tidak mengembang
bila dilakukan ventilasi / inflasi paru, dan juga sianosis.

Problema lain selama induksi anestesia adalah sungkup muka (face mask) yang
tidak rapat (misalnya karena hidung terlalu mancung, pasien ompong, atau jenggotnya
sangat lebat), depresi nafas, batuk, spasme laring, adanya mukus dan saliva, atau juga
muntah. Semuanya harus segera ditanggulangi. Cara penanggulangannya adalah dengan
membebaskan jalan nafas, misalnya dengan Manuver tripel Safar (ekstensi kepala, tarik
angulus mandibula, buka mulut), pengisapan lendir / saliva / muntahan, pasang pipa
orofaring (mayo), intubasi endotrakeal, bahkan kalau tetap tidak bisa membebaskan
jalan nafas, bisa dilakukan krikotirotomi atau trakeostomi

IV. Stadium Anestesia


Untuk menentukan kapan penderita bisa dioperasi, kita harus mengetahui
stadium anestesia.

Apabila menggunakan anestesia seimbang dengan N2O/O2 disertai halotan, enfluran,


isofluran, atau sevofluran serta narkotik sebagai analgetik, maka stadium anestesia
hanyalah berdasarkan skoring klinis yang disebut PRST SCORING.

PRST adalah singkatan P = Pressure (systolic arterial pressure) R = Rate (HR) S =


Sweat, T = Tears atau Lacrimation.

PRST Scoring Indexes

Index Condition Skor

Systolic Arterial Pressure (mmHg) Less than control + 15 0

Less than control + 30 1

More than control + 30 2


HR (beats/minute) Less than control + 15 0

155
Less than control + 30 1

More than control + 30 2


Sweat Nil 0

Skin moist to touch 1

Visible beads of sweat 2


Tears or Lacrimation No excess tears when eyelids open 0

Excess tears visible when eyelids 1


open
2
Tear overflow from closed eyelids

Skor 2-4 : Adekuate Anesthetic.

V. Teknik Anestesia Umum Inhalasi


1. Open drop
2. Insuflasi
3. Ayre T Sistem
4. Sistem dengan valve non-rebreathing
5. Teknik semi closed
6. Closed sistem

VI. Obat anestetik Inhalasi


Suatu anestetik inhalasi disebut ideal bila memenuhi persyaratan sebagai berikut:
baunya menyenangkan dan tidak mengiritasi jalan nafas, kelarutan rendah, tidak toksik
pada organ, efek samping kardiovaskular dan respirasi minimal, efek pada SSP
reversibel tanpa efek stimulan, efektif pada oksigen konsentrasi tinggi, dapat digunakan
dengan vaporizer standard.

Nitrous Oxide = N2O :

Pertama kali dibuat oleh Priestley pada tahun 1776; berbentuk gas, tidak
berwarna, dan tidak merangsang. Senyawa ini 1,5 kali lebih berat dari udara; merupakan
obat anestetik lemah. Pemakaiannya harus selalu dicampur dengan oksigen 100% untuk
mencegah hipoksia; induksi-dan-pemulihan cepat, serta tidak menyebabkan iritasi;
analgesia kuat tetapi bisa menyebabkan mual-muntah; tidak ada relaksasi otot. Bisa
menyebabkan terjadinya agranulositosis, displasia sumsum tulang, maupun teratogenik

156
bila dipakai dalam jangka waktu lama. Maka dari itu hati-hati bila operasi lebih dari 7
jam.

Halotan:

Halotan dibuat pertama kali oleh C.W. Suckling di tahun 1951; merupakan zat
anestesia yang sangat poten dan tidak berwarna; dapat meningkatkan tekanan intra
kranial serta dapat menyebabkan relaksasi uterus. Halotan dapat menimbulkan
terjadinya halotan hepatitis, terutama bila obat ini diberikan dalam jangka waktu pendek
(pemberian berkali-kali dalam jangka waktu pendek). Induksi dan pemulihan cepat;
tidak menyebabkan iritasi; tidak mengakibatkan mual, dan berefek bronodilator.
Menekan jantung; menyebabkan vasodilatasi, aritmia, mengiritasi miokard bila ada
epineprin. Obat ini dimetabolisme di hepar sebanyak 20-45%. Hasil metabolismenya
berupa Br-, F-, Cl-, asam trifluorasetat, gas klorodifluoroetilen serta klorotrifluoroetilen.

Enfluran / Etran :

Dibuat pertama kali oleh Terrel pada tahun 1963; merupakan obat anestetik
poten. Dapat menimbulkan eksitasi SSP terutama bila ada hipokapnia. Induksi dan
pemulihan cepat. Tidak menimbulkan hipersekresi; bersifat bronkodilator, non-emetik,
compatible dengan epineprin; menyebabkan penurunan tekanan darah akibat depresi
miokard dan vasodilatasi perifer; dimetabolisme sebanyak 2,4%, dan 80% dikeluarkan
dalam bentuk utuh melalui paru.

Isofluran :

Isofluran suatu obat anestetik uap yang induksinya cepat dan pemulihannya
cepat, tidak iritasi dan tidak menimbulkan sekresi. Seperti halnya halotan dan enfluran,
Isofluran berefek bronkodilator, tidak menimbulkan mual-muntah, dan bersifat
kompatibel dengan epineprin. Efek penurunan tekanan darah sama besarnya dengan
halotan, hanya berbeda dalam mekanisme kerjanya. Halotan menurunkan tekanan darah,
terutama dengan menekan miokardium dan sedikit vasodilatasi. Etrane menurunkan
tekanan darah dengan menekan miokardium dan vasodilatasi perifer. Isofluran
menurunkan tekanan darah terutama dengan vasodilatasi perifer dan hampir tidak
menekan miokardium.

Sevofluran

Sevofluran adalah suatu obat anestetik umum inhalasi derivat eter dengan
kelarutan dalam darah yang lebih rendah dari halotan, enfluran dan isofluran.
Rendahnya kelarutan serta tidak adanya bau yang menyengat menyebabkan induksi
inhalasi berjalan dengan cepat dan mulus, juga kelarutan dalam darah yang rendah

157
menyebabkan pemulihan berjalan dengan cepat. Dibandingkan dengan Desfluran,
Sevofluran mempunyai MAC yang lebih rendah (2,05). Desfluran mempunyai
kelarutan yang lebih rendah, akan tetapi, iritasi jalan nafas lebih besar dengan
Desfluran, maka obat anestetik inhalasi yang paling cocok untuk teknik VIMA adalah
Sevofluran.
Tidak ada iritasi saluran nafas, sehingga induksi berjalan lancar. Kejadian
iritasi saluran nafas serta kelarutan lebih rendah daripada halotan, sehingga induksi
inhalasi (baik untuk pediatri atau dewasa) akan lebih cepat dengan sevofluran
daripada dengan halotan. Pada induksi inhalasi kejadian batuk, menahan nafas,
spasme laring, eksitasi lebih rendah daripada halotan, sehingga VIMA dengan
Sevofluran akan lebih menyenangkan daripada dengan halotan.
Bangun dari anestesia, pemulihan fungsi psikomotor, kognitif, orientasi lebih
cepat dengan sevofluran daripada dengan halotan.
Sevofluran menekan SSP, kardiovaskular dan respirasi paralel dengan isofluran.
Sevofluran didegradasi oleh soda lime membentuk suatu haloalken yang bersifat toksik
pada ginjal tikus, tetapi efek tersebut tidak terlihat pada manusia.
Aman digunakan untuk operasi bedah saraf, pasien dengan kelainan serebral,
bedah Caesar, CABG, pasien dengan risiko miokardial iskemia, penyakit hepar,
penyakit ginjal.

VII. Obat anestetik Intravena

Obat anestetik intravena yang tersedia adalah Tiopental, Propofol, Etomidat,


Midazolam, Diazepam

Obat anestetik intravena disebut ideal bila memenuhi persyaratan larut dalam air, tidak
iritasi pada vena, tidak mempunyai efek anti analgesik, induksi cepat dan lancar, stabil
kardiovaskular pada dosis klinis, dan lama kerja pendek sehingga pemulihan cepat.

Thiopentone

Tiopental mempunyai efek menurunkan tekanan darah, denyut jantung dapat menurun
atau meningkat bergantung pada fungsi jantung, dilatasi perifer, menekan kontraksi
jantung, spasme laring, spasme bronkus, depresi nafas sampai terjadi henti nafas,. Dosis
tiopental adalah 4-6 mg/kg BB.

Indikasi-kontra relatif tiopental adalah asma bronkial, penyakit jantung berat, penyakit
ginjal berat, anemia berat, hipotensi dan syok.

158
Ketamin

Ketamin merupakan suatu dissociative anesthetic yang menimbulkan terjadinya delirium


dan halusinasi. Meningkatkan tekanan darah sistlik 23% dar nilai awal, meningkattkan
denyut jantung, dapat terjadi aritmia, hipersekresi.

Dosisnya 1-3 mg/kg I.v atau 9-11 mg/kg I.m

Indikasi penggunaan ketamin adalah untuk operasi yang berlangsung singkat, akan
tetapi dengan dosis rendah dapat dipakai sebagai analgetik intraoperatif dan pascabedah.
Karena efek pada sistem kardivaskular maka indikasi-kontra penggunaan ketamin
adalah bila tekanan sistolik > 160 mmHg, aritmia, gagal jantung. Karena refleks jalan
nafas masih dipertahankan dan juga menimbulkan hipersekresi maka operasi faring dan
laring tanpa dilakukan intubasi merupakan indikasi-kontra.

Propofol

Merupakan suatu obat anestetik intravena baru, dengan mula kerja yang berat, lama
kerja singkat, akumulasi minimal, pemulihan cepat, metabolisme ceapat. Tidak ada
komplikasi pada tempat suntikan. Dosisnya 2-2.5 mg/kg BW.

VIII. Pelumpuh Otot

Sangat berguna dalam anestesia umum misalnya laringoskopi dan intubasi jadi lebih
mudah serta menghindari cedera, digunakan selama operasi dengan ventilasi kendali.

Disebut Pelumpuh otot yang ideal bila termasuk golongan non depolarisasi, mula
kerjacepat, mula kerja singkat, pemulihan cepat, potensi tinggi, tidak kumulatif,
metabolitnya tidak aktif, tidak ada efek kardiovaskular, tidak ada pelepasan histamin,
dapat dilawam dengan antikolinesterase.

Terminologi dalam pelumpuh otot adalah :

ED 50 : dosis yang dapat melumpuhkan 50% kekuatan otot.

ED 90 : dosis yang dapat melumpuhkan 90% kekuatan otot.

Mula kerja: interval antara mulai penyuntikan sampai efek maksimal.

Obat pelumpuh otot Nondepolarisasi tidak menyenimbulkan fasikulasi, efeknya

159
menurun dengan obat antikolinesterase, obat pelumpuh otot golongan depolarisasi,
penurunan suhu tubuh, epinefrin, asetilkolin. Efeknya meningkat dengan obat pelumpuh
otot non-depolarisasi, anestetik uap.

Obat pelumpuh otot golongan depolarisasi menyebabkan faskiculasi otot. Efeknya


meningkat dengan antikolinesterase. , asetilkolin, hipotermia. Efeknya menurun dengan
pelumpuh otot non-depolarizing relax, anestetik inhalasi. Dosis suksinilkolin : 1 mg/kg
BB

IX. Narkotik Analgetik

Narcotic analgesiac disebut ideal bila mempunyai Wide margin of safety yang lebar,
onsetnya cepat, lama kerja singkat, pengendalian analgesia mudah, analgesia kuat, tidak
ada pelepasan histamin, tidak mempunyai metabolit aktif.

Opiat dalam anestesia digunakan untuk premedikasi, induksi, anestesia berbasiskan


narkotik, bagian dalam komponen anestesia seimbang, adjuvan dalam analgesia
regional, neurolep anestesia, penanganan nyeri pascabedah.

Efek dari narkotik dapat menimbulkan

Bradikardia akibat efek vagotonik sentral dan depresi nodus SA & AV .


Depresi nafas : frekuensi, irama, respons CO2, volume semenit, volume tidal
Kekakuan otot
Mual muntah yang disebabkan rangsangan CTZ, mobilitas saluran cerna,
penurunan mobilitas lambung, peningkatan volume lambung.

Laringoskopi dan intubasi endotrakeal.


1. Laringoskopi :
Dalam praktek anestesia, laringoskop digunakan untuk melihat laring dan
struktur disekitarnya dengan tujuan utama untuk memasukkan pipa endotrakeal melalui
glotis ke dalam trakea.

Laringoskop berbentuk huruf L, peganggannya disebut "gagang" yang berisi batu batere
dan yang melengkungnya disebut "daun". Daun ada yang lurus, ada juga yang

160
melengkung. Puncak dari daun, pada saat melakukan laringoskopi, akan menyentuh
epiglotis atau vallecula (sudut yang dibentuk oleh lidah dan epiglotis) yang secara
langsung atau tidak langsung akan menaikkan epiglotis, sehingga pita suara akan
terlihat.

Teknik melakukan laringoskopi adalah :


-.pengaturan posisi kepala.

-.insersi daun laringoskop.

-.visualisasi epiglotis.

-.mengangkat epiglotis.

-.melihat laring dan struktur sekitarnya.

Posisi kepala :

Kepala diganjal dengan bantal setebal 5sm.

Insersi daun :
Gagang dipegang tangan kiri, jari-jari tangan kanan membuka mulut,
masukkan daun laringoskop, lidah didorong ke kiri sehingga kita melihat
melalui sisi kanan mulut.

Visualisasi epiglotis :
Daun didorong ke dalam sampai epiglotis terlihat.

Mengangkat epiglotis :
Ada 2 teknik :
a) Cara pertama. Untuk daun yang lurus, dimasukkan di bawah
epiglotis, yang bila ujungnya diangkat pita suara akan terlihat.

b) Cara kedua. Untuk daun yang lengkung ujung daun diletakkan pada
valekula. Dengan mengangkat dasar lidah, epiglotis juga akan
terangkat dan glotis akan terlihat.

161
Bagian superior epiglotis dipersarafi oleh N IX (glosofaringeal) dan bagian inferior
(posterior) oleh N. laringeal. Jadi, disebabkan karena bagian inferior epiglotis tidak
disentuh dan tidak dirangsangan, daun yang lengkung dapat dipergunakan pada "light
anestesia" tanpa menimbulkan spasme laring.

Selama laringoskopi, laringoskop harus diangkat naik-turun, jangan digunakan sebagai


pengungkit dengan gigi atas sebagai titik tumpu, karena bisa menimbulkan patahnya
gigi.

Komplikasi selama laringoskopi :


1) dapat terjadi aberasi, robekan / luka dari mulut, bibir faring, laring dan esofagus,
kerusakan gigi, gusi, ataupun gigi palsu.

2) perubahan tekanan darah dan irama jantung. Oksigensi sebelumnya, laringoskopi


yang cepat dan tidak traumatik akan mengurangi kemungkinan perubahan-perubahan
itu.

2. intubasi endotrakeal :
Ada istilah yang disebut anestesia endotrakeal, artinya adalah memasukkan gas anestesia
ke dalam trakea melalui pipa yang dimasukkan melalui laring (atau trakeostoma) ke
dalam trakea.

Memasukkan pipa tersebut dapat melalui mulut (orotrakeal), hidung (nasotrakeal) atau
trakeal stoma.

Indikasi intubasi endotrakeal adalah :


-.operasi kepala dan leher, misalnya kraniotomi, struma.

-.operasi intratorakal.

-.laparotomi.

-.operasi dengan posisi lateral (miring) atau telungkup (tengkurap).

-.bila diperkirakan akan sulit membebaskan jalan nafas dengan metoda


sederhana (ekstensi kepala, orofaringeal jalan nafas).

-.pasien yang tidak dipuasakan (lambung penuh).

-.prosedur operasi di mana anestetis harus jauh dari pasien.

162
-.operasi dengan kemungkinan perdarahan yang banyak.

-.pasien dengan keadaan umum yang buruk.

-.teknik anestesia yang khusus : anestesia hipotensi, anestesia hipotermia.

-.pasien pediatrik.

-.bila perlu IPPB (Intermitent Positive Pressure Breathing).

-.non-operatif (resusitasi).

Keuntungan intubasi endotrakeal.


-.Jalan nafas dijamin lancar.

-.dead space anatomi (normal 75ml) berkurang menjadi 25 ml.

-.ventilasi dapat dikendalikan tanpa masuknya gas ke dalam lambung dan usus.

-.risiko aspirasi sekret, darah, muntahan dapat dikurangi secara drastis.

-.ventilasi dapat dikendalikan pada pasien dengan posisi telungkup, miring atau
posisi lain yang tidak umum (bukan posisi terlentang).

-.respirasi dapat dikendalikan, bila kita memakai obat pelumpuh otot.

-.mudah melakukan pengisapan sekret dari paru.

Kerugian intubasi endotrakeal.


-.dapat meningkatkan resistensi respirasi. Supaya peningkatan resistensi
minimal, pakailah pipa sebesar mungkin yang bisa masuk ke dalam trakea.

-.trauma pada bibir, gigi, tenggorokan, maupun laring yang menimbulkan suara
serak, nyeri, atau juga sakit saat menelan. Bila terjadi aberasi mukosa, dapat
timbul emfisema. Bila terjadi perforasi membran dapat terjadi mediastinitis.

Alat-alat yang dipakai :


a). pipa endotrakeal (ETT ) :
-.Bahan dapat dibuat dari karet sintetis, polietilen, atau PVC (polyvinil chloride).

-.Tipe ETT bisa yang non-kingking (spiral) yang dibuat dari spiral koil nilon atau
kawat yang ditanam di dalam lateks. Yang king-king tentu tanpa spiral.

-.Bentuknya bisa single lumen atau double lumen.

-.ETT, untuk pasien pediatrik umumnya tanpa balon (kaf). Kaf ini harus diperiksa
163
dahulu sebelum digunakan, apakah bocor atau tidak. Setelah intubasi, kaf diisi
udara kira-kira 5-10ml, tapi hanya sampai tidak terdengar suara kebocoran bila
diventilasi.

-.Yang paling umum dan sering digunakan adalah dari bahan PVC karena :

==.Pipanya lunak, dengan suhu tubuh akan menyesuaikan diri dengan


anatomi saluran nafas, sehingga kurang mengiritasi trakea.

==.Kecenderungan untuk terjadi kingking lebih rendah daripada pipa karet.

-.Nomor ETT adalah ukuran diameter interna dalam mm. Misalnya ETT no.8, artinya
diameter internalnya 8mm.

b). Stilet.
Stilet harus dilubrikasi sebelum dimasukkan ke dalam ETT. Ujung stilet tidak
boleh keluar melewati ujung ETT, sebab ada risiko cedera pada fosa piriformis,
membran krikotiroid, membran krikofaringeal dengan akibat terjadinya eemfisema
subkutis, mediastinitis, pneumotoraks.

c). Jalan nafas orofaringeal :


Pemasangan saat induksi anestesia adalah untuk mencegah obstruksi jalan nafas akibat
jatuhnya pangkal lidah disebabkan karena rileksnya lidah dan jaringan lunak faring.
Setelah dilakukan intubasi berguna untuk mencegah tergigitnya pipa endotrakeal pada
saat bangun dari anestesia dan memudahkan pengisapan lendir.

Pemasangan jalan nafas orofaringeal tidak bebas dari komplikasi :

-.pemasangan yang tidak betul akan mendorong lidah pada hipofaring sehingga
terjadi obstruksi jalan nafas .

-.lepasnya gigi karena pasien menggigit jalan nafas orofaringeal.

-.bila terlalu panjang, ujungnya akan menyentuh epiglotis atau pita suara, sehingga
bisa terjadi batuk-batuk atau spasme laring.

-. bila terlalu panjang, pada operasi yang lama bisa menimbulkan edema faring, sakit
menelan.

d). Tampon faringeal


Tampon faringeal dipakai bila tidak menggunakan ETT dengan kaf; dipasang
pada kedua sisi ETT sampai cukup menyumbat faring untuk mencegah terjadinya
aspirasi. Ujungnya harus keluar dari mulut agar kita tidak lupa mengeluarkannya
sebelum melakukan ekstubasi.

164
e). Lubrikans.
Lubrikans dipakai untuk melicinkan ETT bila akan melakukan intubasi
nasotrakeal, untuk melicinkan stilet yang akan dimasukkan ke dalam ETT atau untuk
melicinkan pipa nasogastrik atau maag slang (NGT )

f).Analgesia lokal semprot.


Analgesia lokal semprot digunakan untuk analgesia lokal faring dan laring.

g). Kateter isap.


Kateter isap harus disediakan dalam berbagai ukuran untuk mengisap lendir di
faring, laring, trakea dan bronkus.

3. Teknik intubasi endotrakeal.


Trakea bisa diintubasi melalui mulut, hidung, atau stoma trakeal.

Intubasi bisa dilakukan dalam anestesia ringan dengan obat pelumpuh otot atau dalam
keadaan sadar.

Setelah melalui pita suara, kaf diisi dengan udara secukupnya sampai tidak terdengar
kebocoran udara saat diventilasi (tekanan dalam kaf < 25 mmHg). Kaf tersebut harus
ada di sebelah distal pita suara. Bila ETT tidak mempunyai kaf, harus dimasukkan
sampai 3-4 sm distal pita suara (pada dewasa), atau 1-2 sm distal pita suara (pada anak-
anak).

Intubasi nasotrakeal dilakukan bila ada indikasi sebagai berikut :

Operasi di daerah rongga mulut.


Operasi maksilofasial
Keadaan-keadaan di mana tidak mungkin dilakukan intubasi orotrakeal.
Intubasi nasotrakeal dapat dilakukan dengan bantuan anestesia umum atau analgesia
lokal (awake).

4. Ekstubasi
Ekstubasi dilakukan bila operasi telah selesai, nafas adekuat. Pemakaian pipa
dilakukan saat pasien inspirasi maksimal. Tidak boleh ada kateter isap dalam pipa saat
penarikan pipa karena akan menurunkan PO2 dalam paru-paru. Bila ekstubasi dilakukan
pada light anaesthesia bisa terjadi komplikasi batuk-batuk, spasme laring dan spasme
bronkus.

5. Komplikasi intubasi endotrakeal


165
Terdapat bermacam-macam komplikasi intubasi endotrakeal, yaitu :

a. Trauma selama Intubasi

pada intubasi nasotrakeal terjadi pendarahan dari hidung.


ETT atau stilet dapat menimbulkan injuri mukosa mulut, faring atau
laring.
b. intubasi endotrakeal

Bila pipa dimasukkan terlalu dalam bisa masuk ke bronkus primer kanan
sehingga bisa terjadi obstruksi, atelektasis, kolaps dari paru kiri dan lobus atas
paru kanan. Maka setiap kali telah melakukan intubasi harus diperiksa supaya
ventilasi pada kedua paru sama, dengan cara :

melihat pergerakan dada, harus sama kanan dan kiri.


dengan auskultasi.
dengan melihat monitor saturasi O2, karena intubasi endotrakeal akan
menurunkan saturasi O2.
c. Intubasi esofageal

d. Laringitis, suara serak, nyeri tenggorokan (sore throat)

e. Trakeal stenosis.

f. Granuloma laring.

Table : Comporative Pharmacology of Intravenous Induction Agents

Agent Inducti Cardio Respirra Analge Amne Emergence


on tory sia sia
Vascular

Pentotha Smooth Dpression Transien None Mini Smooth /


l / rapid t mal rapid
depresio
(Thiopen n
tal)
Ketamin Excitat Stimulatio Minimal Yes Mini Stormy /
e pry / n mal intermediat

166
rapid
Smooth None Transien None Mini Smooth /
etomidat / rapid t mal rapid
depresio
n
Propofol Smooth Depresion Depresio None Mini Smooth /
/ n mal rapid
rapid /
pain
Diazepa Smooth Mininal Depresio None Yes Smooth /
m / slow / n prolonged
pain
Midazol Smooth Vasodilata Depresio None Yes Smooth /
am / tion n rapid
interme
diat
Alfentani Smooth Depresion Depresio Yes Mini Smooth /
l / n mal rapid
rapid /
kakuity
Sufentan Smooth Minimal Depresio Yes Mini Smooth /
il / n mal intermediat
rapid /
kakuity

Adapted from White PF : Clinical Use of Newer Intravenous Induction Drugs,


Cleveland, IARS, Review Course Lectures, 1988 : 102-112.

Table : Benzodiazepines

167
Drug Inducti Intra- Amnesia Night
on Pre-op operative Hypnotic
Me Sedation
dic
ine
Midazolam

Diazepam

Lorazepam

Triazolam

Chlordiazep
oxide

Flurazepam

Oxazepam

Prazepam

Temazepam

Alprazolam

Modified from Reves JG : Benzodiazepines. In Prysoberts C, Hue ML, eds.


Pharmacokinetics of Anesthesia, Oxford, Blacwell, 1984

Table : Clinical use of the Benzodiazepines

Drug Dose Comments

Midazo 0.5 0.1 mg/kg M premed. Shortest durasion*.


lam
0.5 2.5 mg/kg to 0.1 20 minutes of hypnosis after induction.
mg/kg i.v. sedation.

0.2 0.4 mg/kg i.v.


induction.

4 6 mg/h i.v. infusiion.

Dizepa 0.1 0.2 mg/kg p.o. Postoperatives sedation may last for

168
m premed. several hours.

0.3 0.6 mg/kg i.v.


induction.

Triazol 0.25 0.5 mg p.o. premed. Shorter durasion than diazepam with
am less postoperative sedation and greater
amnesia.

Loraze 2 4 mg i.m. Prolonged postoperative sedation.


pam
Amnesia at higher doses for 68
hours.

* Durasion of Benzodiiazepines variabel sedation lasts much longer than


hyponis

Table : Physicochemical Properties of Most Widely Used Uap Anesthetics

Physicochemical Halotan Enflura Isofluran Desfluran Sevoflurane


Properties ne e
Odor Pleasant Unpleas Unpleasa Unpleasa Pleasant
ant nt nt

Irritating to No Yes Yes Yes No


Respiratory Sistem

Molecular Weight 197.5 184.5 184.5 168.04 200.05

Boiling Point oC

(at 760 mmHg) 49.51 56.5 48.5 22.8 58.6

Specific Grafity 1.86 1.52 1.50 1.50 1.53

(25oC / 4oC)

169

4
Vapour Pressure

(mmHg @ 24/25oC) 288 218 295 798 197

(mmHg @ 20oC) 243 175 238 669 157

Conventional Yes Yes Yes No* Yes


Vaporizer

Blood/Gas
Partition
Coefficient 2.35 1.91 1.4 0.42 0.63

Oil/Gas Partition 224 96 91 18.7 47


Coefficient

Brain/Blood 1.9 1.3 1.6 1.3 1.7


Partition
Coefficient

Minimum Alveolar
Concentrasion
(MAC.%)
0.76 1.68 1.15 6.0 2.05
(40 years of age)

Reacts with metals Yes No No No No

UV Light Stability No Stable Stable NA Stable

Soda Lime No No No No No
Stability

Antioxidant Needed Thymol No No No No

Minimum Flamable 4.8 % 5.8 % 7.0 % NA 7.5 %


Concentrasion in
100% O2 in
presence of a
source of energy

Flamable No No No No No

Explosive No No No --- No

Additives Required Thymol No No No No

Metabolism (%) 17-20 2.4 < 0.2 0.02 <5

170
Metabolites F-, Cl-, F-, CDA F-, TFA F-, TFA F-,
Br-, TFA,
BCDFE, HFIP
CDE,
CTE,
DBE

NA = Not Available; * = Requires a vaporizer especially designed for the drug


rather than a re-calibrasion of a general use vaporizer; TFA = trifluoroacetic acid;
BCDFE = 2-bromo-2-chloro-1.1.-difluoroethylene; HFIP = hexafluoroisopropanol;
CDA = Chlorodifluoroacetate; CDE = 1.1.-difluoro-2-chloroethylene; CTE = 1.1.1.-
trifluoro-2-choroetrane; DBE = 1.1.-difluoro-2-bromo-2-chloroethylene.

Table : Clinical pharmacology of inhalational Anesthetics.


Hal Meth En- Iso- Des- Sevo-
N2
o- oxy- flura flurane flurane flurane
O
tha flura ne
ne ne

Cardiovascular

Blood Pressure N/C

HR N/C N/C or N/C



Sistemic vascular N/C N/C N/C
resistance
N/C
N/C
Curah jantung*
N/C or

171

Respiratory

Tidal volume

Respiratory rate
PaCO2

Resting N/C
Challenge

Serebral

Blood flow

Intrakranial
pressure

Serebral metabolic
rate**
Seizures

Neuromuscular

Nondepolarizing
blockade***

Renal

Renal blood flow

Glomerular ? ?
filtrasion rate
? ?
Urinary output

Hepatic blood flow

Metabolism(%)**** 0.0 15- 50 2-5 0.2 < 0.1 2-3


* 04 20

* = Controlled ventilation; ** = SMRO2 would increase with enflurane-induced


seizure; *** = Depolarizing blockade is probably also prolonged by these agents,
but this is usually not clinically signifikan; ***** = Percentage of absorbed

172
anesthetic undergoing methabolism; N/C = No Change; ? = Uncertain.

TIVA dengan Tiopental

Pada saat ini obat-obat anestetik yang tersedia di Rumah Sakit Kabupaten,
umumnya adalah eter dengan alat EMO, ketamin, tiopental untuk induksi anestesia dan
alat serta obat untuk regional analgesia. Tanpa mengurangi arti dan efektivitas eter yang
diketahui sebagai obat anestetik dengan margin of safety yang luas, murah serta mudah
diperoleh, kita ketahui juga bahwa pemakaian eter adalah terbatas dan tidak semua
penderita dapat dilakukan anestesia dengan eter terlebih-lebih pasien dengan kenaikan
ICP, tidak boleh dianestesia dengan eter. Juga frekuensi mual-muntah pascabedah tinggi
serta penderita lama untuk sadar. Faktor lain yang merugikan eter adalah sifatnya yang
menimbulkan polusi.

Demikian pula penggunaan ketamin tidak dapat dilakukan untuk semua penderita.
Ketamin diketahui mempunyai efek halusinasi, mual-muntah pascabedah, menaikan
tekanan darah dan ICP, serta mimpi buruk yang bisa terjadi sampai 24 jam pascabedah.

Karena itu perlu diketahui suatu teknik anestesia yang dapat dilakukan dengan peralatan
yang sangat sederhana, obatnya murah serta mudah didapat, penggunaannya mudah
serta cukup menyenangkan untuk penderitanya. Untuk itu dipikirkan teknik TIVA (Total
Intra Venous Anaesthesia) dengan memakai Tiopental.

TIVA adalah suatu teknik anestesia yang menguntungkan, bukan saja untuk
pasien tetapi juga untuk dokter dan perawat yang mengelola pasien tersebut di kamar
operasi dan ruang pemulihan. Tetapi sayangnya hanya dilakukan oleh sebagian kecil
anestetis. Mengapa ? Ada beberapa alasan, salah satunya adalah anestetis takut tidak
mendapatkan anestesia yang adekuat, pasien bergerak-gerak, awareness dan operator
tidak puas.

TIVA adalah teknik anestesia seimbang di mana terdapat trias anestesia, yaitu
hipnotik, analgetik dan relaksasi. Hipnotik dapat diperoleh dengan obat anestetik
intravena tiopental, propofol, ketamin, midazolam. Analgetik dengan petidin, morfin,
fentanil, alfentanil atau sufentanil. Relaksasi dengan pankuronium, vekuronium atau
atrakurium.

Syarat obat yang ideal untuk TIVA adalah :

- larut dalam air

173
- larutan yang stabil, tidak berubah bila kena cahaya

- tidak diserap oleh selang plastik dari infusi set

- tidak merusak vena (sakit waktu suntikan, plebitis atau trombosis) atau
kerusakan jaringan bila ada ekstravasasi atau suntikan intraarteri

- tidur dalam satu waktu lengan-otak

- lama kerjanya pendek

- metabolitnya in-aktif, non-toksik dan larut dalam air

- efek pada kardiovaskular dan respirasi minimal

Indikasi anestesia intravena :

- sebagai alternatif lain dari anestesia inhalasi

- sedasi pada analgesia regional

- untuk one-day-surgery diperlukan pemulihan yang cepat dan lengkap

- situasi di mana sulit memberikan anestesia inhalasi karena tidak adanya N2O

- dalam keadaan tertentu di mana pemberian N2O tidak menguntungkan

- mencegah awareness selama cardio pulmonary by pass, untuk proteksi otak pada
periode iskemia otak

Pemilihan obat bergantung pada sifat farmakologi obat tersebut.

Ada hal-hal yang tidak menguntungkan dalam pemakaian TIVA, misalnya :

- kesulitan keadekuatan anestesia terutama pada pasien yang paralisis, sehingga


kemungkinan terjadi awareness

- adanya depresi nafas pada periode pascabedah akibat efek narkotik

- memerlukan venous line yang berbeda

- memerlukan infusion pump

- pengontrolan kedalaman anestesia tidak mudah seperti anestesia inhalasi

Komplikasi dan efek samping seperti mual-muntah, rasa nyeri hebat, lama
bangun, maupun pusing akan memperlambat pasien tinggal di ruang pemulihan, maka

174
pemilihan obat anestetik menjadi faktor penting untuk menghilangkan komplikasi ini.

TIVA dapat diberikan secara bolus, intermiten atau kontinyu. Teknik pemberian
kontinyu mempunyai efek samping yang lebih kecil dan pemulihan yang lebih cepat
daripada pemberian secara intermiten (White, 1983; White dkk 1986). Tetapi manakah
yang lebih baik antara TIVA dengan anestesia inhalasi untuk pasien bedah rawat jalan
sampai sekarang masih kontroversial.

Anestesia intravena paling sering digunakan untuk induksi karena cara


pemberiannya mudah, onsetnya cepat dan keberhasilannya tinggi. Pemeliharaan
anestesianya dengan N2O/O2 + uap anestetik.

Obat anestetik intravena yang ideal adalah :

- harus non- iritant pada jaringan,

- mula kerja cepat, lama kerja pendek,

- tanpa efek eksitatori,

- tidak menekan kardiovaskular,

- punya efek amnesia dan analgesia,

- menghasilkan kondisi operasi yang baik,

- pemulihan yang cepat dan penuh,

- tanpa efek samping,

- tidak menyebabkan mual-muntah

Walaupun obat anestetik yang ideal belum ada, tetapi beberapa obat tetap masih
bisa digunakan, bergantung pada tujuannya. Misalnya :

Untuk operasi pasien yang ICP-nya tinggi dapat dipakai TIVA dengan Tiopental +
Norkuron + Fentanil.

Untuk bedah rawat jalan dengan :

Tiopental 5mg/kg + Ketamin 1 mg/kg


Propofol 2,5 mg/kg + fentanil 3 ug/kg
Propofol 2,5 mg/kg + Ketamin 1 mg/kg.
Untuk sedasi pada regional anestesia dapat dengan Midazolam, Propofol atau
Ketamin.

175
Tiopental seperti halnya golongan barbiturat lainnya yaitu metoheksiton dan
pentobarbiton merupakan suatu obat hipnotik yang pada dosis tertentu dapat bekerja
sebagai obat anestesia. Tetapi kebanyakan obat ini mempunyai mula kerja yang lambat
dan lama kerja yang lama, karena itu mempunyai nilai yang kecil untuk praktek
anestesia. Untuk tujuan praktek anestesia, hanya tiopental dan metoheksiton dapat
dipertimbangkan.

Brooks dkk (1948), menunjukkan bahwa fase pertama adalah adanya redistribusi
yang sangat cepat kepada jaringan bukan neuron. Kembalinya kesadaran setelah
tiopental anestesia terutama disebabkan karena adanya redistribusi ke jaringan lain di
luar jaringan otak, bukan disebabkan karena obat tersebut dimetabolisme.

Tiopental, walaupun tidak seideal yang dipersyaratkan, mempunyai beberapa


keuntungan tertentu yaitu onsetnya yang cepat, selalu bekerja, induksi mulus, larut
dalam air, kejadian alergi sangat rendah, dan pada pemberian yang hati-hati depresi
nafas tidak merupakan problema terutama bila penderita tidak dipremedikasi.

Kerugiannya adalah larutannya tidak stabil, pH-nya tinggi dan iritan bila terjadi
ekstravasasi, hiperalgesi pada dosis rendah, tidak mempunyai efek analgesik pada dosis
klinis, tidak menimbulkan relaksasi otot pada dosis yang aman dan bersifat forfirogenik,
serta kumulatif efek.

TIVA adalah merupakan anestesia seimbang di mana sebagai analgesik kita


berikan narkotik atau regional analgesia dan untuk relaksasi otot kita berikan obat
pelumpuh otot. Untuk mencapai kadar anestetik dalam darah maka dapat dilakukan
dengan memberikan tiopental secara bolus, intermiten atau kontinyu.

Tiopental kontinyu dapat dilakukan dengan :

- melarutkan tiopental pada cairan infusi dalam botol infusi dan diberikan secara tetes
dengan kecepatan tertentu.

- atau dilarutkan di dalam semprit kemudian diberikan ke pasien dengan kecepatan


tertentu melalui pompa semprit.

- melalui komputer, dengan cara ini diperoleh hasil pemberian dosis yang betul-betul
sesuai dengan kebutuhan.

Karena adanya efek kumulatif, tiopental tidak disukai untuk dipakai pada TIVA karena
menimbulkan efek eksesif somnolen. Tetapi keadaan ini dapat dikurangi dengan cara
mengatur dosis dan tiopental dihentikan 30 menit sebelum operasi selesai.

Seperti halnya etomidat, yang menimbulkan mual-muntah sampai 30 - 40% kasus, maka
tiopental dan etomidat jarang digunakan untuk TIVA. Tetapi bila karena keadaan, di

176
mana kita tidak mempunyai obat lain kecuali tiopental, ketamin dan eter, maka
pemilihan TIVA dengan tiopental akan lebih menyenangkan pasien daripada dengan
menggunakan eter dan ketamin. Sekarang ini, TIVA dengan tiopental hanya digunakan
untuk anestesia bedah saraf. Bila tidak mempunyai pompa semprit atau pompa infusi,
kita bisa mengatur tetesan secara biasa, dengan mencocokkan jumlah tetesan per menit.

Keuntungan TIVA dengan tiopental adalah :

- obatnya murah serta mudah didapat.

- alat yang dipakai tidak banyak, hanya perlu infusi set dan bellow atau ambu
bag dan oksigen.

- polusi kamar bedah dapat dikurangi.

- dibanding eter dan ketamin, anestesia dengan tiopental lebih menyenangkan


bagi penderita.

PLASMA KONSENTRASI SETELAH PEMBERIAN BOLUS


Setelah suatu dosis tunggal intravena, plasma konsentrasi obat ini akan
meningkat dengan cepat, mencapai puncak dalam waktu 1 menit. Kemudian plasma
konsentrasi menurun, mula-mula sangat cepat kemudian melambat.

Setelah suatu suntikan tiopental, dengan dosis 400 mg, penderita akan bangun
dalam waktu 15 menit. Keadaan ini bukan karena obat tersebut dimetabolisme, tetapi
terjadi redistribusi ke organ-organ lain seperti jaringan otot dan lemak.

PEMANTAUAN

Alat monitor yang dipasang adalah standard monitor di OK. Yang disebut
standard monitor untuk anestesia adalah tekanan darah non invasif, oksimeter pulsa
(untuk mengukur O2 saturasi dan denyut nadi), EKG, stimulator saraf (untuk mengukur
TOF = Train of Four), kaponograf. Karena kita tidak punya alat-alat monitor tersebut,
maka kita gunakan tensimeter yang biasa saja.

TOTAL INTRAVENOUS ANAESTHESIA (TIVA)

Teknik pemberian TIVA dengan tiopental dapat dilakukan secara bolus,


intermiten dan kontinyu.

177
1. TIVA secara Intermiten :

Persiapan pasien adalah seperti biasa, dipasang venous line 1 buah sesuai
dengan kebutuhan. Kanul vena yang dipakai adalah kanul vena yang mempunyai
lubang untuk memasukkan obat, misal dengan teflon, atau memasang konektor 3
cabang.

Selalu dipersiapkan larutan tiopental 2,5%. Induksi dilakukan dengan fentanil 1-


2ug/kgBB atau petidin 1 mg/kgBB. Setelah mula kerja narkotik-analgetik tercapai
lalu berikan tiopental 4-5 mg/kgBB, fasilitas intubasi dengan obat pelumpuh otot non
depolarisasi seperti pankuronium (Pavulon) atau vekuronium (norkuron) dengan
dosis 0,1 mg/kgBB. Karena efek maksimal pankuronium tercapai sekitar 2,5 menit
dan vekuronium 1,5 menit setelah penyuntikan, maka sebelum dilakukan
laringoskopi dan intubasi diberikan lagi tiopental 2-2,5 mg/kgBB, untuk mengurangi
atau menghilangkan pengaruh laringoskopi dan intubasi terhadap hemodinamik, serta
mengurangi kejadian awareness.

Pemberian tiopental yang berikutnya adalah pada 30 menit pertama setiap 10 menit
dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB. Setelah itu interval pemberian adalah setiap 30 menit.
Ventilasi diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien, untuk pasien yang diinginkan
PaCO2nya turun tentu harus dilakukan hiperventilasi, tetapi bila ingin PaCO2 dalam
batas normal dilakukan normoventilasi. Kebutuhan analgetik dan pelumpuh otot
disesuaikan dengan kebutuhan pasien. Selesai operasi, bergantung pada apakah sisa
obat pelumpuh otot masih ada atau tidak, diberikan antagonis prostigmin yang
sebelummnya diberikan sulfas atropin dulu.

Karena tiopental mempunyai efek depresi miokard, maka harus selalu dilakukan
pengukuran tekanan darah dan frekuensi nadi sebelum kita memberikan dosis
ulangan tiopental.

Tiopental mempunyai sifat segera didistribusikan ke dalam jaringan di luar jaringan


otak, maka tiopental akan ada di dalam otot dan jaringan lemak dan bekerja sebagai
depot. Untuk mencegah eksesif somnolen pascabedah, maka sebagai patokan
pemberian tiopental dihentikan sekitar 30 menit sebelum operasi selesai. Pada operasi
otak yang lama pemberian tiopental intermiten atau kontinyu dihentikan 30-60 menit
sebelum operasi selesai, bila diperlukan evaluasi status neurologis segera setelah
operasi selesai.

2. TIVA secara kontinyu :

178
Persiapan pasien seperti biasa, dipasang kanul vena dengan konektor 3
cabang. Kalau pada teknik intermiten, cabang yang ketiga dihubungkan dengan
semprit yang berisi tiopental 2,5% sekarang cabang yang ketiga ini dihubungkan
dengan botol infusi yang berisi larutan tiopental atau dengan larutan tiopental dalam
semprit pada pompa semprit.

Teknik anestesianya sebagai berikut :

a). Induksi dengan fentanil 1-2 mcg/kgBB atau petidin 1 mg/kgBB lalu berikan
tiopental bolus 4-5 mg/kgBB dan pankuronium 0,1 mg/kgBB. Sesaat sebelum
laringoskopi dan intubasi berikan lagi dosis ulangan tiopental 2-2,5 mg/kgBB.
Rumatan anestesia diperoleh dengan memberikan tiopental 1-3 mg/kgBB/jam.
Kalau berat badan penderita sekitar 60 kg, maka dosisnya adalah 150 mg/jam atau
2,5 mg/menit. Jadi untuk rumatan anestesia diberikan tiopental tetes sebanyak 2,5
mg/menit. Tadi disebutkan bahwa cabang yang ketiga dihubungkan dengan
larutan dekstrosa 5% yang berisi tiopental. Supaya kita tidak memberikan tetesan /
cairan yang terlalu banyak terutama pada penderita-penderita tertentu, maka kita
buat larutan tiopental 1%, berarti 10 mg/ml. Tetesan pada infusi set dewasa
diperkirakan 1 ml adalah 20 tetes. Untuk mencapai dosis 2,5 mg/menit maka kita
berikan 5 tetes per menit larutan tiopental 1%. Untuk pengaturan kecepatan, kita
bisa menggunakan pompa infusi.

b).Cara lain adalah berikan fentanil 1-2g/kgBB, lalu teteskan larutan tiopental 0,1-
0,2% sebanyak 80-180 tetes/menit, sampai penderita tidur. Untuk rumatan
anestesia diberikan 60-80 tetes/menit.

Atau : buat larutan 1000 mg tiopental dalam 500ml dekstrosa 5%. Beri tiopental
4-5mg/kgBB secara bolus, setelah pasien tidur, beri suksinilkolin 1mg/kgBB,
ventilasi, intubasi, beri tiopental 60 tetes/menit dan untuk rumatan beri tiopental
20-30 tetes/menit (2-3mg/menit). Analgetik dengan petidin 1 mg/kgBB, pelumpuh
otot dengan pankuronium 0,08 mg/kgBB.

c).Tiopental kontinyu yang lebih akurat lagi adalah dengan memberikan tiopental
melalui pompa semprit. Teknik induksinya seperti tadi. Untuk rumatan anestesia,
tiopental diberikan kepada pasien dengan dosis 1-3 mg/kgbb/jam. Kita buat
larutan tiopental 2,5% di dalam semprit dan diberikan kepada pasien dengan dosis
1-3mg/kgBB/jam. Misalnya berat badan pasien 60 kg, maka dosis tiopental adalah
150 mg/jam. Larutan tiopental yang kita buat adalah 2,5% berarti 25 mg/ml, jadi
berikan dengan kecepatan 6 ml/jam. Kita tinggal memutar angka pada pompa
semprit ke angka 6, yang berarti kecepatannya adalah 6 ml/jam.

d).Pengaturan dosis dengan komputer :

179
Seperti halnya vaporizer yang memberikan plasma level tertentu untuk obat
anestetik inhalasi maka komputer dapat membantu infusi memberikan level
plasma tertentu untuk obat anestetik intravena. Selanjutnya, mendapatkan level
obat dalam plasma untuk mencegah pergerakan terhadap rangsangan bedah,
kenaikan tekanan darah atau takikardia, jadi analog dengan MAC pada obat
anestetik inhalasi. Obat yang berbeda memerlukan program komputer yang
berbeda, misalnya pemberian 3 macam obat (tiopental, pankuronium dan petidin)
yang dilakukan melalui program komputer akan memerlukan 3 buah komputer.
Komputer akan membantu mencegah tercapainya konsentrasi puncak dari obat
seperti halnya pada pemberian bolus atau intermiten.

Berdasarkan perhitungan komputer tadi, kita bisa mengadaptasikannya kepada


kecepatan dan dosis dengan menggunakan pompa semprit.

Konsentrasi tiopental 10 mcg/ml dalam darah arteri cukup adekuat untuk


anestesia. Dosis induksi dewasa, coba dengan 50 mg, lalu sisanya adalah 2,5
mg/kg LBM, kemudian kecepatan pemberian ikuti tabel di bawah ini.

Dosis lebih berdasarkan pada LBM (Lean Body Mass) daripada berat badan total.
LBM diperkirakan dengan metoda yang dilaporkan oleh James dengan
menggunakan Berat Badan (kg) dan Tinggi Badan (sm), yakni sebagai berikut :

LBM (laki-laki) = [1,10 x (BB total)] - [128 x (BB total/TB)2]


LBM (perempuan) = [1,07 x (BB total)] - [148 x (BB total/TB)2]

Table : Infusion rateus (ml/h) for Tiopental to reach a desired arterial


concentrasion of 10ug/ml with a syringe concentrasion of 25mg/ml.

LBM 35 40 45 50 55 60 65 70 75
(kg)
Bolus 2.8 3.2 3.6 4.0 4.4 4.8 5.2 5.6 6.0
(ml)
(min) 0- 26. 30. 34. 37. 41. 45.3 49.1 52.9 56.7
5 5 2 0 8 6
5-10 18. 21. 23. 26. 29. 31.6 34.3 36.9 39.5

180
5 1 7 4 0
10-20 13. 15. 17. 19. 20. 22.8 24.7 26.6 28.5
3 2 1 0 9
20-30 10. 12. 13. 15. 17. 18.6 20.1 21.7 23.2
8 4 9 5 0
30-60 9.6 10. 12. 13. 15. 16.4 17.8 19.1 20.5
9 3 7 0
60-90 8.7 10. 11.2 12. 13. 15.0 16.2 17.5 18.7
0 5 7
90-120 8.3 9.4 10. 11.8 13. 14.2 15.3 16.5 17.7
6 0
120-150 7.9 9.1 10. 11.4 12. 13.6 14.8 15.9 17.0
2 5
150-180 7.7 8.9 10. 11.1 12. 13.3 14.4 15.5 16.6
0 2

Referensi :

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology,


4th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

181
MODUL 9 : ANALGESIA REGIONAL I

Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester Semester 2)

Sesi di dalam kelas 2 X 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasilitasi Pembimbing 3 X 2 (coaching session)

Sesi praktek dan pencapaian 4 pekan (facilitation & assessment)


kompetensi
PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

1. LCD Proyektor dan layar


2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Pemutar video
Materi presentasi:

CD PowerPoint

Sarana:

1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU

Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed,
New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.

182
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

TUJUAN UMUM

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik memahami dan mengerti tentang anatomi fungsional,
farmakologi analgesia lokal, fisiologi anestesia neuroaksial

dan analgesia regional intravena, dapat melakukan analgesia regional neuroaksial dan analgesia
regional intravena secara baik dan benar, melakukan penatalaksanaan komplikasi analgesia regional
dan penatalaksanaan nyeri akut pascabedah dengan anestesia neuroaksial.

TUJUAN KHUSUS

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik mampu untuk :

Kognitif

a. Mampu menjelaskan jenis-jenis obat analgetik lokal, mekanisme kerja dan sifat obat
analgetik lokal
b. Mampu menjelaskan jenis-jenis serabut saraf yang dihambat serta jenis hambatan motorik
dan sensori yang dihasilkan dan cara pengecekkannya.
c. Mampu menjelaskan faktor-faktor patofisiologi yang mempengaruhi kerja obat analgetik
lokal.
d. Mampu menjelaskan dosis, dosis maksimum, mula kerja, masa kerja, cara pemberian
masing-masing obat analgetik lokal.
e. Mampu menjelaskan penggunaan klinis masing-masing obat analgetik lokal termasuk
bentuk preparasinya, penambahan dengan adjuvan lain.
f. Mampu menjelaskan berbagai efek samping dan toksisitas yang dapat ditimbulkan obat
analgetik lokal beserta tanda-tanda klinisnya
g. Mampu menjelaskan anatomi tulang belakang dan medula spinalis, lapisan-lapisannya mulai
dari kulit, ligamen-ligamen, sampai ke rongga subarahnoid , variasi anatomi yang mungkin
dijumpai, dan implikasinya terhadap anestesia subarahnoid
h. Mampu menjelaskan tentang fisiologi cairan serebrospinal
i. Mampu menjelaskan perubahan fisiologi yang terjadi pada anestesia subarahnoid dan
penatalaksanaan perubahan fisiologis yang terjadi.
j. Mampu menjelaskan fisiologi terjadinya analgesia pada analgesia regional intravena
k. Mampu menjelaskan indikasi dan indikasi-kontra tindakan anestesia subarahnoid dam
analgesia regional intravena
l. Mampu menjelaskan persiapan preoperatif termasuk kunjugan preanestesia dan melakukan
identifikasi kelainan atau penyakit pasien yang akan mempengaruhi jalannya anestesia
subarahnoid dan analgesia regional intravena.
m. Mampu menjelaskan persiapan alat , jenis-jenis jarum dan obat analgetik lokal yang
akan dipakai untuk anestesia subarahnoid dan analgesia regional intravena.
n. Mampu menjelaskan prosedur tindakan anestesia subarahnoid dan analgesia regional
intravena yang baik dan benar.
o. Mampu menyebutkan berbagai posisi pasien anestesia subarahnoid serta keuntungan dan

183
kerugiannya untuk efek penyebaran obat.
p. Mampu menjelaskan level ketinggian minimal dan jenis blok yang diinginkan termasuk
dermatom yang dipengaruhinya, untuk masing-masing tindakan operasi yang akan
dilakukan.
q. Mampu menyebutkan jenis obat, dosis, konsentrasi, pengenceran, mula kerja, lama kerja
obat analgetik lokal yang dapat dipakai untuk anestesia subarahnoid, serta jenis adjuvan
yang dapat mempengaruhi atau membantu kerja obat analgetik lokal.
r. Mampu menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran obat, ketinggian blok
anestesia subarahnoid, mula dan masa kerja anestesia subarahnoid
s. Mampu menjelaskan komplikasi yang dapat terjadi pada anestesia subarahnoid dan
analgesia regional intravena, cara mencegah dan mengatasi komplikasi tersebut.

Psikomotor

a. Mampu memilih dan mempersiapkan jenis obat analgetik lokal yang akan dipakai dengan
dosis, konsentrasi dan pengenceran, penambahan adjuvan yang sesuai dengan indikasi dan
kebutuhan.
b. Mampu menjaga sterilitas dan melakukan penyimpanan obat analgetik lokal dengan baik
dan benar.
c. Mampu mengenali tanda-tanda klinis dan melakukan pemeriksaan adanya hambatan sensori
dan motorik saat obat analgetik lokal mulai bekerja atau akan habis.
d. Mengenali tanda- tanda klinis , dan mampu mencegah dan melakukan penatalaksanaan efek
samping dan toksisitas obat analgetik lokal.
e. Mampu melakukan persiapan preoperatif yaitu kunjungan preanestesia, memilih pasien
yang sesuai untuk tindakan anestesia subarahnoid dan analgesia regional intravena, dan
melakukan identifikasi kelainan atau penyakit pasien yang akan mempengaruhi jalannya
anestesia subarahnoid dan analgesia regional intravena.
f. Mampu melakukan persiapan alat (alat anestesia subarahnoid , alat analgesia regional
intravena dan alat resusitasi) , monitor , dan obat obatan (analgesia lokal, adjuvan, obat
resusitasi) untuk anestesia subarahnoid dan analgesia regional intravena.
g. Mampu melakukan prosedur tindakan anestesia subarahnoid dan analgesia regional
intravena yang baik dan benar
h. Mampu melakukan prosedur anestesia subarahnoid dengan berbagai posisi pasien dan
melalui pendekatan midline dan paramedian
i. Mampu memeriksa level ketinggian minimal dan jenis blok pada anestesia subarahnoid yang
diinginkan termasuk dermatom yang dipengaruhinya, untuk masing-masing tindakan
operasi yang akan dilakukan.
j. Mampu menyiapkan berbagai jenis obat, dosis, konsentrasi, pengenceran dan memakai
berbagai jenis obat analgetik lokal yang dapat dipakai untuk anestesia subarahnoid dan
analgesia regional intravena, serta jenis adjuvan yang dapat mempengaruhi atau membantu
kerja obat analgetik lokal.
k. Mampu melakukan pemantauan pasien dalam anestesia subarahnoid dan analgesia regional
intravena
l. Mampu mengenali komplikasi yang terjadi pada anestesia subarahnoid dan analgesia
regional intravena, melakukan pencegahan dan mengatasi komplikasi yang tersebut

184
Keterampilan komunikasi interpersonal

a. Mampu menjelaskan kepada pasien, keluarga pasien dan teman sejawat operator tentang
manfaat, efek yang ditimbulkan anestesia subarahnoid dan analgesia regional intravena dan
risiko yang dapat timbul dari pemberiannya
b. Berkomunikasi dengan pasien dan sejawat operator bila timbul efek samping.
c. Mampu berkomunikasi dengan sejawat operator tentang kondisi pasien sebelum, selama dan
sesudah operasi, terutama bila terjadi keadaan yang tidak diinginkan, untuk kerjasama dalam
penatalaksanaan pasien.
d. Mampu memberikan kepercayaan pada pasien tentang rasa tidak nyaman yang dapat timbul,
penanggulangan nyeri dan penatalaksanaan pascabedah.

Profesionalisme

a. Mampu bekerja sesuai prosedur dengan efisien.


b. Mampu memberikan kemudahan kepada operator saat operasi.
c. Mampu berinteraksi dengan sejawat lain maupun tenaga paramedis dan tenaga medis lain
atas dasar menghargai kompetensi masing-masing.
d. Mampu memahami, memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarganya tentang kondisi
pasien sesuai hak pasien.

KEYNOTES:

1. Hampir semua obat analgetik lokal memblok terowongan Na dari sisi sebelah dalam sel,
mencegah aktivasi terowongan dan terjadi Na influks secara selintas yang banyak dan
dihubungkan dengan depolarisasi membran. Konduksi impuls melambat, kecepatan
peningkatan dan besarnya aksi potensial menurun, dam ambang untuk eksitasi meningkat
dengan cepat sampai aksi potensial yang dihasilkan tidak lebih lama dan perambatan impuls
berakhir.

2. Tidak semua serabut saraf dipengaruhi obat analgetik lokal dengan akibat yang sama.
Sensitivitas terhadap blokade ditentukan oleh diameter akson, tebalnya meilinisasi, dan
berbagai faktor anatomi dan fisiologis lain.

3. Potensi berkorelasi dengan kelarutan dalam lemak, itu adalah kemampuan molekul obat
analgetik lokal untuk menembus membran, yang merupakan lingkungan yang hidrofobik.

4. Mula kerja bergantung pada banyak faktor, termasuk kelarutan dalam lemak dan konsentrasi
relatif bentuk non-ion yang larut dalam lemak (B) dan bentuk ion yang larut dalam air (BH +),
yang ditunjukkan dengan pKa. Obat analgetik lokal dengan nilai pKa hampir sama dengan
pH fisiologis, mempunyai konsentrasi basa non-ion yang lebih tinggi yang dapat menembus
membran sel saraf, dan umumnya mempunyai mula kerjayang lebih cepat.

185
5. Lama kerja umumnya berkorelasi dengan kelarutan dalam lemak. Lebih tinggi kelarutan obat
analgetik lokal dalam lemak lebih panjang lama kerjanya, kemungkinan disebabkan karena
sedikit diambil oleh aliran darah.
6. Disebabkan karena obat analgetik lokal disuntikkan sangat dekat ke site of action, gambaran
farmakokinetik umumnya lebih penting ditentukan oleh eliminasi dan toksisitas daripada
efek klinis.

7. Kecepatan absorbsi sistemik adalah sebanding dengan vaskularisasi tempat suntikan:


intravena > trakeal > interkostal > kaudal > paraservikal > epidural > flekus brakialis >
skiatik > subkutan.

8. Obat analgetik lokal golongan ester terutama dimetabolisme oleh pseudokolinesterase. Obat
analgetik lokal golongan amid dimetabolisme (N-dealkilasi dan hidroksilasi) oleh enzim
mikrogramsomal P-450 dalam hepar.

9. Susunan saraf pusat tempat dari tanda permulaan dari overdosis pada pasien yang sadar.
Tanda dini adalah rasa baal, parestesi lidah, dan pusing. Keluhan perasaan berupa tinitus, dan
pandangan kabur. Gejala eksitatori (misalnya gelisah, agitasi, cemas, paranoid) sering
mendahuli depresi SSP (misalnya bicara seperti menelan, ngantuk, dan tidak sadar).
Twitching otot merupakan petanda akan terjadinya kejang tonik-klonik.

10. Toksisitas kardiovaskular yang berat umumnya memerlukan 3 kali konsentrasi dalam darah
yang menimbulkan kejang. Aritmia jantung atau kolaps sirkulasi merupakan tanda yang biasa
pada overdosis obat analgetik lokal selama anestesia umum.

11. Suntikan intravaskular yang tidak disengaja dari bupivakain selama analgesia regional
menimbulkan reaksi kardiotoksik yang berat, termasuk hipotensi, AV blok, irama
idioventrikular, dan aritmia yang mengancam nyawa seperti ventrikular takikardia dan
fibrilasi.

12. Reaksi hipersensitivitas yang betul-betul disebabkan oleh obat analgetik lokalseperti dari
toksisitas sistemik yang disebabkan karena konsentrasi plasma yang besaradalah jarang
terjadi. Golongan ester lebih sering menimbulkan reaksi alergi disebabkan karena golongan
ester merupakan derivat asam para aminobenzoik yang diketahui merupakan suatu alergen.

13. Blok spinal, epidural dan kaudal juga disebut sebagai neuroaksial anestesia. Setiap blok ini
dapat dilakukan dengan suntikan tunggal atau dengan kateter sehingga dapat dilakukan
pemberian secara intermiten atau kontinyu.

14. Melakukan tusukan lumbal (subarahnoid) harus di bawah L1 pada dewasa (L3 pada anak)
untuk menghindari kemungkinan trauma oleh jarum pada medula spinalis.

186
15. Tempat kerja utama blok neuroaksial adalah pada radiks saraf.

16. Terdapat perbedaan blokade pada blokade simpatis (sensitivitas temperatur) 2 segmen lebih
tinggi dari blok sensori (nyeri, raba halus), dan 2 segmen lebih tinggi daripada blokade
motorik. Sensori 2 segmen lebih tinggi dari motorik.

17. Interupsi transmisi eferen autonom pada radiks saraf spinalis dapat menimbulkan blokade
simpatis dan parasimpatis.

18. Blokade neuroaksial dapat menurunkan tekanan darah yang disertai penurunan denyut
jantung dan kontraksi jantung.

19. Efek kardiovaskular yang berbahaya harus diantisipasi untuk mengurangi derajat hipotensi.
Pengisian volume 10-20 ml/kg intravena pada pasien sehat untuk mengkompensasi pooling
vena.

20. Bradikardia harus diterapi dengan sulfas atropin, dan hipotensi diterapi dengan vasopresor.

GAMBARAN UMUM

Untuk dapat melakukan analgesia regional diperlukan pengetahuan dan keterampilan tentang
farmakologi obat analgetik lokal, mekanisme terjadi blok saraf, teknik melakukan analgesia regional,
mencegah dan melakukan terapi bila ada komplikasi

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu melakukan dan memahami:

1. Farmakologi Obat analgetik lokal


2. Anestesia subarahnoid
3. Analgesia regional intravena

METODE PEMBELAJARAN

- Kuliah Persiapan Preanalgesia regional, Farmakologi Obat analgetik lokal, Pemantauan


Analgesia regional, Anestesia subarahnoid dan Analgesia regional Intravena dilakukan pada
semester 1
- Pelatihan di skill lab anestesia subarahnoid pada manikin subarahnoid dilakukan pada
semester 1
- Pelatihan di skill lab analgesia regional intravena dengan menggunakan manikin
- Pelatihan di kamar bedah anestesia subarahnoid dan analgesia regional intravena pada pasien

187
dilakukan semester 1 mulai dari pekan ke 18 dan semester 2, dengan bimbingan dan
pengawasan staf pengajar.
- Diskusi dan laporan tentang problema yang timbul pada anestesia subarahnoid sesuai sasaran
pembelajaran.
- Kuliah partisipatif
- Tugas tulisan (tinjauan pustaka) dan tugas baca
- Laporan kasus
- Diskusi kelompok
- Demonstrasi dan bedside teaching
- Tutorial individual

MEDIA

- Papan tulis
- Komputer
- LCD dan slide projector
- Pasien di kamar bedah.

ALAT BANTU PEMBELAJARAN

- Manikin analgesia regional


- Manikin pemasangan kateter intravena

EVALUASI

Pre-tes

1.Jelaskan jenis-jenis obat analgetik lokal.

a. Jelaskan mekanisme kerja dan sifat obat analgetik lokal.


2. Jelaskan jenis-jenis serabut saraf yang dihambat serta jenis hambatan motorik dan sensori yang
dihasilkan dan cara pengecekkannya.
3. Jelaskan faktor-faktor patofisiologi yang mempengaruhi kerja obat analgetik lokal.
4. Jelaskan dosis, dosis maksimum, mula kerja, masa kerja, cara pemberian masing-masing obat
analgetik lokal.
5. Jelaskan penggunaan klinis masing-masing obat analgetik lokal termasuk bentuk preparasinya,
penambahan dengan adjuvan lain.
6. Jelaskan berbagai efek samping dan toksisitas yang dapat ditimbulkan obat analgetik lokal
beserta tanda-tanda klinisnya.
7. Jelaskan cara mencegah dan menangani komplikasinya akibat pemberian obat analgetik lokal.
8. Jelaskan anatomi tulang belakang dan rongga subarahnoid
9. Jelaskan perubahan fisiologi yang terjadi pada anestesia subarahnoid
10.Jelaskan berbagai teori timbulnya tekanan negatif pada rongga epidural.

11. Jelaskan mekanisme kerja obat analgetik lokal pada anestesia subarahnoid dan analgesia
regional intravena.

10.Jelaskan persiapan preoperatif termasuk kunjugan preanestesia dan melakukan identifikasi

188
kelainan atau penyakit pasien yang akan mempengaruhi jalannya analgesia spinal dan anesteia
regional intravena
11. Jelaskan persiapan alat dan obat yang akan dipakai untuk anestesia subarahnoid dan analgesia
regional intravena.
12.Jelaskan prosedur tindakan anestesia subarahnoid dan analgesia regional intravena yang baik
dan benar.
13.Sebutkan beberapa cara penusukkan jarum spinal
14.Jelaskan level ketinggian minimal dan yang diinginkan termasuk dermatom yang
dipengaruhinya, untuk masing-masing tindakan operasi yang akan dilakukan.
15.Jelaskan indikasi dan indikasi-kontra tindakan analgesia spinal dan analgesia regional intravena
16.Sebutkan dan jelaskan jenis obat, dosis, konsentrasi, pengenceran, mula kerja, lama kerja obat
analgetik lokal yang dapat dipakai untuk analgesia spinal dan analgesia regional intravena serta
jenis adjuvan yang dapat mempengaruhi atau membantu kerja obat analgetik lokal.
17.Jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi mula dan masa kerja, penyebaran obat, ketinggian
blok anestesia subarahnoid.
18.Jelaskan komplikasi yang dapat terjadi pada analgesia spinal dan analgesia regional intravena,
tanda tanda dan gejala, cara mencegah dan mengatasi komplikasi tersebut.

Kognitif

- EMQ (Extended Medical Question)


- Multiple observation and assessments
- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
Skill

-
Multiple observation and assessments
-
Multiple observers
-
OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
-
Minicheck
Communication and Interpersonal Skills

- Multiple observation and assessments


-Multiple observers
Profesionalisme

-Multiple observation and assessments


-
Multiple observers
Pengetahuan

- MCQ (pre-tes)
- EMQ (Extended Medical Question)

Daftar Cek Penuntun Belajar Anestesia Blok Subarahnoid

189
N Prosedur Anestesia Blok
o Subarahnoid
Sudah Belum
(pendekatan cara midline) dikerjakan dikerjakan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1 Informed consent

2 Pemeriksaan fisis dan lab

3 Pemeriksaan tambahan

PROSEDUR ANESTESIA
SUBARAHNOID

1 Periksa kesiapan alat dan obat yang


diperlukan

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk


asepsis dan antisepsis

3 Pasang monitor Standard pada pasien


dan amati tanda vital pasien

4 Pasang jalur intravena pada pasien

5 Posisikan pasien lateral dekubitus atau


duduk, ganjal bahu dan kepala pasien
bila diposisikan lateral dekubitus.

6 Tentukan penunjuk anatomi celah


antara L2-3, L3-4 atau L4-5. Celah
antara L3-4 atau prosesus spinosus L4
tegak lurus dari spina iliaka anterior
superior.

7 Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis


pada penunjuk anatomi yang
ditentukan.

8 Berikan analgesia lokal pada celah yang


akan dilakukan penusukan jarum spinal.

9 Lakukan penusukan jarum spinal (atau


introduser) pada celah yang telah diberi
analgesia lokal. Penusukan jarum harus
sejajar dengan prosesus spinosus atau
sedikit membentuk sudut kearah
sefalad, dengan arah bevel ke lateral

190
atau sefalad.

10 Dorong jarum sampai melewati


resistensi ligamentum flavum dan dura,
terasa kehilangan tahanan pada rongga
subarahnoid.

11 Cabut mandren jarum, dan pastikan


posisi jarum sudah tepat yang ditandai
dengan mengalir keluar cairan
serebrospinal yang bening. Jarum dapat
dirotasikan 90 untuk memastikan
kelancaran likuor yang keluar.
Penusukkan harus diulang bila likuor
tidak keluar atau keluar darah.

12 Sambungkan jarum dengan spuit berisi


obat analgetik lokal yang sudah
dipersiapkan. Aspirasi sedikit likuor,
bila lancar suntikan obat analgetik lokal
secara perlahan. Lakukan aspirasi ulang
untuk memastikan ujung jarum tetap
pada posisi yang tepat dan suntikan
kembali obat.

13 Setelah selesai cabut jarum dan


kembalikan posisi pasien sesuai dengan
yang diinginkan.

Cara penyuntikkan paramedian pada


dasarnya sama seperti di atas, hanya
jarum spinal disuntikkan pada 1,5 sm
lateral dan 1sm kaudal dari celah
penyuntikan yang dituju.

DURANTE ANESTESIA
SUBARAHNOID

1 Monitor ABC dan ketinggian blok

2 Amati perubahan fisiologis yang terjadi


, pencegahan dan penatalaksanaannya

3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan


dan penatalaksanaannya

4 Penatalaksanaan bila blok tidak adekuat

191
PASCABEDAH

1 Monitor ABC di ruang pulih

2 Pasien dikembalikan ke ruang rawat

3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan


dan penatalaksanaan

Daftar Cek Penuntun Belajar Analgesia regional Intravena

N Prosedur Anestesia Blok


o Regional Intravena
Sudah Belum
dikerjakan dikerjakan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1 Informed consent

2 Pemeriksaan fisis dan lab

3 Pemeriksaan tambahan

PROSEDUR ANALGESIA
REGIONAL INTRAVENA

1 Periksa kesiapan alat dan obat yang


diperlukan dan cek kesiapan alat

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk


asepsis dan antisepsis

3 Pasang monitor Standard pada pasien


dan amati tanda vital pasien

4 Pasang jalur intravena pada ekstremitas


lain yang tidak diblok

5 Premedikasi bila perlu

6 Posisikan pasien dengan ekstremitas


yang akan diblok dielevasi selama 1-2
menit

192
7 Lengan dibalut dengan vellband dan
turnike kaf ganda dipasang pada bagian
proksimal ekstremitas yang diblok

8 Kateter intravena 22 G dipasang pada


dorsum manus atau dorsum pedis pada
lengan/kaki yang akan diblok

9 Elevasi ekstremitas 1 menit untuk


eksanguinasi

10 Pembalut Esmarch dipasang dengan


baik secara sistematis dari ujung jari
sampai kaf distal

11 Inflasikan kaf distal sampai 300 mmHg

12 Inflasikan kaf proksimal sampai 300


mmHg

13 Deflasikan kaf distal

14 Pembalut Esmarch dilepascan

15 Cek ekstremitas untuk warna (pucat)


dan oklusi arteri (tidak ada denyut
arteri)

16 Ekstremitas diturunkan, obat analgetik


lokal disuntikkan melalui kateter
intravena pada ekstremitas yang akan
diblok

DURANTE ANALGESIA
REGIONAL INTRAVENA

1 Monitor ABC

2 Penatalaksanaan rasa tidak nyaman


pasien selama analgesia regional
intravena

3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan


dan penatalaksanaannya

4 Penatalaksanaan bila durasi blok akan


habis

PASCABEDAH

193
1 Lepascan turnike pelan dan bertahap

2 Monitor ABC di ruang pulih

3 Pasien dikembalikan ke ruang rawat

DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur Standard atau penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur
memuaskan Standard atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

194
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

MATERI ACUAN

195
I. Mekanisme Kerja
Seperti telah diketahui bahwa sel-sel saraf dalam keadaan rehat (rehat). Begitu ada
rangsangan terhadap perubahan permeabilitas dari membran sel, sehingga dinding sel relatif lebih
permeabel terhadap ion Na daripada ion K, maka terjadi influx Na ke dalam sel, kemudian diikuti
dengan keluarnya ion K. Jadi pada waktu Na masuk ke dalam sel, maka di dalam sel relatif lebih
positif, sedangkan di luar lebih negatif, maka terjadi depolarisasi.

Pada waktu pemulihan, terjadi pergerakan ion-ion yang sebaliknya, dan kembali kepada
keadaan rehat, selanjutnya siap untuk menerima rangsang kembali dalam beberapa mili-
detik. Pemberian obat analgetik lokal mencegah terjadinya migrasi ion-ion ini (membran
sel stabil dalam keadaan rehat) dengan akibat terjadinya hambatan impuls saraf.

Ada beberapa teori analgesia lokal terhadap membran saraf :


1. Molekul-molekul lokal anestesia berikatan dengan membran sel sehingga dapat
memblokir pori-pori tempat migrasi ion-ion.
2. Pelepasan ikatan kalsium pada membran sel saraf pada waktu transmisi impuls dicegah oleh obat
analgetik lokal, sehingga kalsium lebih banyak terikat pada membran sel saraf.

3. Kompetisi obat analgetik lokal dan asetilkolin yang selalu diproduksi oleh sel-sel saraf yang
terkena rangsang terhadap reseptor site.

II. Farmakologi

Komponen kimia yang menunjukkan aktivitas lokal anestesia umumnya mempunyai ujung
aromatik, ujung amine, dan rantai intermediet. Obat analgetik lokal dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu
amino-ester dan amino-amid.

Obat analgetik lokal dengan suatu rantai ester di antara bagian aromatik dan rantai
intermediet disebut amino-ester, misalnya prokain, kloroprokain, dan tetrakain. Obat analgetik lokal
dengan rantai amid antara ujung aromatik dan rantai intermediet disebut amino-amid, misalnya
lidokain, mepivakain, prilokain, bupivakain dan etidokain. Perbedaan dasar antara golongan ester dan
amid adalah dalam cara metabolisme obat dan potensial alerginya. Golongan ester dihidrolisa di
plasma oleh enzim di hati. Metabolit hasil hidrolisa golongan ester adalah asam paraaminobenzoik
yang dapat menimbulkan reaksi alergi. Metabolisme golongan amid tidak menghasilkan asam
paraaminobenzoik dan laporan adanya reaksi dengan obat golongan ini sangat jarang.

Gambaran anestesia dari suatu komponen kimia bergantung pada :

1) Lipid solubility

2) Protein binding

196
3) pKa

4) Non-nervous tissue diffusibility

5) Intrinsic vasodilator activity

Gambaran tersebut terlihat pada tabel berikut ini.

1) Lipid solubility :

Kelarutan dalam lemak menggambarkan potensi intrinsik obat analgetik lokal tersebut.
Makin tinggi kelarutannya dalam lemak, semakin poten obat tersebut. Lipid solubility prokain kurang
dari satu, dan obat ini paling kecil potensinya. Sebaliknya koefisien partisi/kelarutan bupivakain,
tetrakain dan etidokain bervariasi dari 30-140, menunjukkan lipid solubility yang tinggi. Obat ini
menunjukkan blokade konduksi pada konsentrasi yang sangat rendah karena potensi intrinsik
anestesianya 30 kali lebih besar dari prokain. Hubungan antara lipid solubility dan potensi intrinsik
anestesia selalu konsisten dengan komposisi lipoprotein dari membran saraf (ada 3 lapisan membran
saraf terdiri dari protein-lipid-protein). Kira-kira 90% aksolemma terdiri dari lemak. Karena itu obat
analgetik lokal yang kelarutan lemaknya tinggi dapat menembus membran saraf dengan lebih mudah,
yang direfleksikan sebagai peningkatan potensi.

2) Protein binding :

Kekhasan protein binding adalah mempengaruhi lama kerja obat analgetik lokal tersebut.
Prokain, pengikatan oleh proteinnya buruk, maka lama kerjanya pendek. Sebaliknya, tetrakain,
bupivakain, etidokain protein binding nya tinggi, maka lama kerjanya panjang. Hubungan antara
protein binding obat analgetik lokal dan lama kerjanya adalah konsisten dengan struktur dasar
membran saraf. Protein membran saraf 10%. Karena itu obat yang menembus aksolemma dan
diikat pada protein membran bertendensi untuk memperpanjang lama aktivitas obat.

3) pKa :

pKa komponen kimia didefinisikan sebagai pH di mana bentuk ion dan non-ion ada dalam
keseimbangan. Obat analgetik lokal yang tidak berubah bentuk, bertanggungjawab untuk difusi
menembus selubung saraf. Mula kerja secara langsung berhubungan dengan kecepatan menembus
epineurium, yang kolerasi dengan jumlah obat dalam bentuk dasar. Persentase dari obat analgetik
lokal dalam bentuk dasar bila disuntikkan ke dalam jaringan yang mempunyai pH 7,4 adalah
sebaliknya proporsional pada pKa obat tersebut. Sebagai contoh, lidokain yang mempunyai pKa 7,74
adalah 65% dalam bentuk ion dan 35% dalam bentuk non-ion pada pH jaringan 7,4. Dari penelitian
invivo dan invitro telah dikonfirmasikan bahwa obat analgetik lokal yang mempunyai pKa hampir
mendekati pH jaringan mempunyai mula kerja yang lebih cepat daripada obat analgetik lokal dengan

197
pKa yang tinggi.

4) Non-nervous tissue diffusion :

Mula kerja berhubungan dengan kecepatan difusi melalui perineurium. Lapisan


pembungkus serabut saraf dari dalam keluar adalah endoneurium, perineurium, dan epineurium.
Lapisan ini terdiri dari jaringan pengikat kolagen dan elastis. Pada invivo, obat analgetik lokal harus
menembus jaringan pengikat yang bukan jaringan saraf. Ada perbedaan kecepatan menembus
jaringan yang bukan saraf. Sebagai contoh, prokain dan kloroprokain mempunyai pKa yang sama dan
mula kerjayang sama pada saraf yang diisolasi (invitro), tetapi invivo, mula kerja kloroprokain lebih
pendek daripada prokain, ini menunjukkan bahwa kloroprokain lebih cepat menembus jaringan yang
bukan jaringan saraf.

5) Intrinsic vasodilator activity :

Faktor ini akan mempengaruhi potensi dan lama kerja obat analgetik lokal. Tingkatan dan
lamanya blokade saraf dihubungkan dengan jumlah obat analgetik lokal yang menembus ke reseptor
pada membran saraf. Setelah suntikan obat analgetik lokal sebagian obat akan diambil jaringan saraf
dan beberapa bagian akan diabsorbsi ke dalam sistem sirkulasi. Derajat absorbsi vaskular
berhubungan dengan aliran darah ke daerah di mana disuntikkan obat analgetik lokal. Semua obat
analgetik lokal, kecuali kokain, bersifat vasodilator, tetapi derajat vasodilatasi yang ditimbulkan oleh
setiap obat berbeda-beda. Pada penelitian invitro telah ditunjukkan bahwa potensi intrinsik obat
anestetik lidokain lebih besar daripada mepivakain, tetapi invivo, mepivakain mempunyai potensi
yang sama dan lama kerja yang lebih panjang dari pada lidokain. Perbedaan antara invivo dengan
invitro adalah akibat lebih besarnya vasodilator activity dari lidokain sehingga absorbsi lidokain lebih
besar dan obat yang tersisa untuk memblokade saraf tinggal sedikit.

III. Toksisitas Obat analgetik lokal

Obat analgetik lokal relatif bebas dari efek samping bila diberikan dalam dosis yang tepat dan lokasi
anatomis yang tepat. Reaksi toksis yang cepat umumnya bila terjadi suntikan intravaskular atau dosis
besar subarahnoid. Pemberian dosis yang besar tetapi lokasi anatomisnya tepat dapat membawa ke
arah toksisitas sistemik setelah absorbsi vaskular obat analgetik lokal tersebut.

Pengaruh toksisitas bergantung pada kadar obat analgetik lokal dalam plasma. Bila kadarnya
6g/ml gejalanya adalah gangguan penglihatan, disorientasi dan ngantuk. Bila kadarnya 10g/ml
gejalanya adalah tidak sadar, twitching otot, tremor (muka, ujung ekstrimitas). Bila kadarnya 12g/ml
timbul kejang-kejang, dan bila kadarnya 20g/ml terjadi henti nafas.

Tabel : Toksisitas Obat analgetik lokal

198
(1) Susunan Saraf Pusat

Eksitasi

Depresi

(2) Sistem Kardiovaskular

Hipertensi

Hipotensi

Iritasi Lokal
(1) Kerusakan serabut saraf
(2) Kerusakan otot skelet
Lain-lain

(1) Alergi
(2) Metemoglobinemia (prilokain)
(3) Kecanduan (Kokain)

Toksisitas Sistemik :

Toksisitas sistemik obat analgetik lokal secara primer umumnya mengenai SSP dan sistem
kardiovaskular. Pada umumnya SSP lebih dahulu terkena daripada sistem kardiovaskular. Penelitian
pada anjing dan biri-biri menunjukkan bahwa diperlukan dosis dan kadar obat analgetik lokal yang
lebih kecil untuk menimbulkan toksisitas SSP daripada toksisitas kardiovaskular.

Tabel : Signs and symptoms of local anesthetic related CNS


toxicity

CNS excitation

Tinnitus

Lightheadedness

Confusion

Circumoral numbness

Tonic-clonic konvulsions

199
Drowsiness

Unconciousness

Respiratory arrest

Toksisitas Susunan Saraf Pusat :

Toksisitas SSP berhubungan dengan :


1. Potensi obat: bupivakain 8 kali lebih poten daripada prilokain; toksisitasnya juga jauh lebih berat.

2. Kadar CO2: bila kadar CO2 darah meningkat, ambang konvulsi menurun.

3. pH darah: bila pH darah menurun, ambang konvulsi menurun

Pada sukarelawan yang diinfusi obat analgetik lokal merasakan adanya perasaan melayang, pening,
diikuti gangguan penglihatan dan pendengaran (seperti kesulitan memfokuskan pandangan dan
tinnitus) serta adanya disorientasi dan mual. Tanda-tanda lain adalah adanya eksitasi, menggigil,
twitching otot dan tremor pada otot-otot muka dan bagian distal ekstrimitas dan terjadi kejang-kejang
yang menyeluruh. Bila dosis besar diberikan secara sistemik, gejala pertama SSP eksitasi segera
diikuti oleh SSP depresi, depresi nafas dan henti nafas. Perbandingan relatif toksisitas SSP dari
bupivakain, etidokain dan lidokain adalah 4:2:1.

Toksisitas Kardiovaskular :

Obat analgetik lokal dapat menyebabkan pengaruh yang besar terhadap sistem
kardiovaskular. Pemberian secara sistemis dapat mempengaruhi otot jantung dan otot polos dinding
pembuluh darah.

Obat-obat analgetik lokal.

Lidokain :

Lidokain biasanya digunakan untuk terapi aritmia (ventricular extrasystole). Efek primer dari
lidokain adalah menurunkan kecepatan maksimal dari depolarisasi. Bupivakain dapat mempresipitasi
timbulnya aritmia jantung, yaitu adanya blok unilateral dan suatu aritmia jantung tipe reentrant.
Bergantung pada dosisnya, obat analgetik lokal bisa bersifat inotropik negatif. Makin poten obat
analgetik lokal tersebut, semakin kuat menekan jantung.

Lidokain :

Onsetnya lebih cepat dan lama kerja lebih lama dari prokain.
Efek topikalnya baik.

200
Sering dipakai sebagai anti aritmia.
Dipakai untuk menumpulkan rangsangan akibat laringoskopi-intubasi yang
menimbulkan kenaikkan tekanan darah dan frekuensi nadi dengan dosis 1-1,5 mg/kg
BB intravena.
Obat analgetik lokal yang paling banyak dipakai dan sebagai pembanding obat analgetik
lokal lainnya.
Konsentrasi untuk pemberian infiltrasi 0,5-1%, epidural 1-2%, blok saraf 1-1,5%, topikal
4%, spinal 5%.
Onsetnya cepat, durasi 60-120 menit.
Dosis maksimalnya 300mg tanpa epinefrin, 500mg bila dicampur dengan epinefrin.
Dosis rata-ratanya 7-8mg/kgBB.

Bupivakain :
Potensinya lebih kuat.
Durasinya lebih lama.
Toksisitasnya hampir sama dengan tetrakain, 4-5 kali lebih besar dari lidokain.
Motor blockade lebih lemah daripada lidokain.
Onset-nya lebih lama daripada lidokain.
Banyak dipakai pada nyeri pascabedah dan analgesia pada persalinan.
Konsentrasi infiltrasinya 0,25-0,5%, blok saraf 0,25-0,5%, epidural 0,5-0,75%, spinal 0,5.
Onset-nya lambat, durasi 180-300 menit.
Single dose maksimumnya 175mg.
Dosis rata-ratanya 3-4mg/kgBB.

IV. Persiapan Anestesia

Bergantung pada jenis teknik analgesia lokal apa yang akan digunakan. Secara umum pasien
harus diberitahu bahwa untuk yang bersangkutan anestesia terbaik adalah analgesia lokal. Bila perlu
bisa juga sedikit dijelaskan tentang cara melakukan tindakan analgesia lokal tersebut. Pasien tetap
dianjurkan puasa untuk mencegah muntah bila diperlukan kombinasi dengan anestesia umum.
Diperiksa tempat yang akan disuntik, apakah memungkinkan dilakukan tindakan analgesia lokal.
Diberikan premedikasi sedatif dan analgetik kalau perlu. Contoh premedikasi misalnya dengan
diazepam atau lorazepam. Pada keadaan-keadaan tertentu lebih baik tidak dilakukan analgesia lokal,
misalnya pasien tidak kooperatif, ditemukan penyakit saraf, anemia berat, ataupun infeksi kulit.

VII. Spinal Anestesia

Disebut juga spinal analgesia atau subarahnoid nerve block, terjadi karena deposit obat
analgetik lokal di dalam ruangan subarahnoid. Terjadi blok saraf yang reversibel pada radiks anterior

201
dan posterior, radiks ganglion posterior dan sebagian medula spinalis yang akan menyebabkan
hilangnya aktivitas sensori, motorik dan autonom.

Berbagai fungsi yang dibawa saraf-saraf medula spinalis misalnya temperatur, sakit, aktivitas
autonom, rabaan, tekanan, lokalisasi rabaan, fungsi motorik dan proprioseptif. Secara umum fungsi-
fungsi tersebut dibawa oleh serabut saraf yang berbeda dalam ketahanannya terhadap obat analgetik
lokal. Oleh sebab itu ada obat analgetik lokal yang lebih mempengaruhi sensori daripada motorik.
Blokade dari medula spinalis dimulai kaudal dan kemudian naik ke arah sefalad.

Serabut saraf yang bermielin tebal (fungsi motorik dan propioseptif) paling resisten dan
kembalinya fungsi normal paling cepat, sehingga diperlukan konsentrasi tinggi obat
analgetik lokal untuk memblokade saraf tersebut.
Level blokade autonom 2 atau lebih dermatom ke arah sefalik daripada level analgesia
kulit, sedangkan blokade motorik 2 sampai 3 segmen ke arah kaudal dari level analgesia.

Indikasi Analgesia spinal:


1. Operasi ekstremitas bawah, baik operasi jaringan lunak, tulang atau pembuluh darah.

2. Operasi di daerah perineal : anal, rektum bagian bawah, vagina, dan urologi.

3. Abdomen bagian bawah : hernia, usus halus bagian distal, apendiks, rektosigmoid,
kandung kencing, ureter distal, dan ginekologis
4. Abdomen bagian atas : kolesistektomi, gaster, kolostomi transversum. Tetapi analgesia spinaluntuk
abdomen bagian atas tidak dapat dilakukan pada semua pasien sebab dapat menimbulkan
perubahan fisiologis yang hebat.

5. Seksio sesarea (Caesarean Seksion).

6. Prosedur diagnostik yang sakit, misalnya anoskopi, dan sistoskopi.

Indikasi-kontra Absolut :
1. Gangguan pembekuan darah, karena bila ujung jarum spinal menusuk pembuluh darah, terjadi
perdarahan hebat dan darah akan menekan medula spinalis.

2. Sepsis, karena bisa terjadi meningitis.

3. Tekanan intrakranial yang meningkat, karena bisa terjadi pergeseran otak bila terjadi kehilangan
cairan serebrospinal.

4. Bila pasien menolak.

5. Adanya dermatitis kronis atau infeksi kulit di daerah yang akan ditusuk jarum spinal.

202
6. Penyakit sistemis dengan sequele neurologis misalnya anemia pernikiosa, neurosifilis, dan porfiria.

7. Hipotensi.

Indikasi-kontra Relatif :

1. Pasien dengan perdarahan.

2. Problem di tulang belakang.

3. Anak-anak.

4. Pasien tidak kooperatif, psikosis.

Anatomi :

Terdapat 33 ruas tulang vertebra, yaitu 7 servikal, 12 toraksal, 5 lumbal, 5 sakral dan 4
koksigeal. Medula spinalis berakhir di vertebra L2, karena ditakutkan menusuk medula spinalis saat
penyuntikan, maka analgesia spinalumumnya dilakukan setinggi L4-L5, L3-L4, L2-L3. Ruangan
epidural berakhir di vertebra S2.

Ligamen-ligamen yang memegang kolumna vertebralis dan melindungi medula spinalis, dari
luar ke dalam adalah sebagai berikut :

1. Ligamentum supraspinosum.
2. Ligamentum interspinosum.
3. Ligamentum flavum.
4. Ligamentum longitudinal posterior.
5. Ligamentum longitudinal anterior.

Teknik Analgesia spinal:


1. Inspeksi dan palpasi daerah lumbal yang akan ditusuk (dilakukan ketika kita visite pre-operatif),
sebab bila ada infeksi atau terdapat tanda kemungkinan adanya kesulitan dalam penusukan, maka
pasien tidak perlu dipersiapkan untuk spinal anestesia.

2. Posisi pasien :

a) Posisi Lateral.

Pada umumnya kepala diberi bantal setebal 7,5-10sm, lutut dan paha fleksi mendekati perut,
kepala ke arah dada.

203
b) Posisi duduk.

Dengan posisi ini lebih mudah melihat kolumna vertebralis, tetapi pada pasien-pasien yang
telah mendapat premedikasi mungkin akan pusing dan diperlukan seorang asisten untuk
memegang pasien supaya tidak jatuh. Posisi ini digunakan terutama bila diinginkan sadle
block.

c) Posisi Prone.

Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter bedah menginginkan posisi Jack Knife atau
prone.

3. Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik seperti betadin, alkohol, kemudian kulit ditutupi
dengan doek bolong steril.

4. Cara penusukan.
Pakailah jarum yang kecil (no. 25, 27 atau 29). Makin besar nomor jarum, semakin kecil
diameter jarum tersebut, sehingga untuk mengurangi komplikasi sakit kepala (PSH=post spinal
headache), dianjurkan dipakai jarum kecil. Penarikan stilet dari jarum spinal akan menyebabkan
keluarnya likuor bila ujung jarum ada di ruangan subarahnoid. Bila likuor keruh, likuor harus
diperiksa dan spinal analgesia dibatalkan. Bila keluar darah, tarik jarum beberapa mili meter
sampai yang keluar adalah likuor yang jernih. Bila masih merah, masukkan lagi stilet-nya, lalu
ditunggu 1 menit, bila jernih, masukkan obat analgetik lokal, tetapi bila masih merah, pindahkan
tempat tusukan. Darah yang mewarnai likuor harus dikeluarkan sebelum menyuntik obat analgetik
lokal karena dapat menimbulkan reaksi benda asing (Meningismus).

Obat-obat yang dipakai :

Obat analgetik lokal yang biasa dipakai untuk analgesia spinaladalah lidokain,
bupivakain, levobupivakain, prokain, dan tetrakain. Lidokain adalah suatu obat analgetik
lokal yang poten, yang dapat memblokade autonom, sensori dan motorik. Lidokain berupa
larutan 5% dalam 7,5% dekstrosa, merupakan larutan yang hiperbarik. Mula kerjanya 2
menit dan lama kerjanya 1,5 jam. Dosis rata-rata 40-50mg untuk persalinan, 75-100mg
untuk operasi ekstrimitas bawah dan abdomen bagian bawah, 100-150mg untuk spinal
analgesia tinggi.
Lama analgesia prokain < 1 jam, lidokain 1-1,5 jam, tetrakain 2 jam lebih.

Pengaturan Level Analgesia:

Level anestesia yang terlihat dengan analgesia spinaladalah sebagai berikut : level
segmental untuk paralisis motorik adalah 2-3 segmen di bawah level analgesia kulit,

204
sedangkan blokade autonom adalah 2-6 segmen sefalik dari zone sensori. Untuk
keperluan klinis, level anestesia dibagi atas :
--. Sadle block anesthesia : zona sensori anestesia kulit pada segmen lumbal bawah dan sakral.

--. Low spinal anesthesia : level anestesia kulit sekitar umbilikus (T10) dan termasuk segmen
toraksal bawah, lumbal dan sakral.

--. Mid spinal anesthesia : blok sensori setinggi T6 dan zona anestesia termasuk segmen toraksal,
lumbal, dan sacral.

--. High spinal anesthesia : blok sensori setinggi T4 dan zona anestesia termasuk segmen toraksal
4-12, lumbal, dan sacral.

Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor, motorik dan hipotensi, serta
respirasi yang tidak adekuat semakin mungkin terjadi.

Level anestesia bergantung pada volume obat, konsentrasi obat, barbotase, kecepatan
suntikan, valsava, tempat suntikan, peningkatan tekanan intra-abdomen, tinggi pasien, dan
gravitas larutan. Makin besar volume obat, akan semakin besar penyebarannya, dan level
anestesia juga akan semakin tinggi. Barbotase adalah pengulangan aspirasi dari suntikan obat
analgetik lokal. Bila kita mengaspirasi 0,1ml likuor sebelum menyuntikkan obat; dan
mengaspirasi 0,1ml setelah semua obat analgetik lokal disuntikkan, akan menjamin bahwa ujung
jarum masih ada di ruangan subarahnoid. Penyuntikan yang lambat akan mengurangi penyebaran
obat sehingga akan menghasilkan low spinal anesthesia, sedangkan suntikan yang terlalu cepat
akan menyebabkan turbulensi dalam likuor dan menghasilkan level anestesia yang lebih tinggi.
Kecepatan yang dianjurkan adalah 1ml per 3 detik.

Berdasarkan berat jenis obat analgetik lokal yang dibandingkan dengan berat jenis likuor,
maka dibedakan 3 jenis obat analgetik lokal, yaitu hiperbarik, isobarik dan hipobarik.
Berat jenis likuor serebrospinal adalah 1,003-1,006. Larutan hiperbarik : 1,023-1,035,
sedangkan hipobarik 1,001-1,002.
Perawatan Selama pembedahan.

1. Posisi yang enak untuk pasien.

2. Kalau perlu berikan obat penenang.

3. Operator harus tenang, manipulasi tidak kasar.

4. Ukur tekanan darah, frekuensi nadi dan respirasi.

5. Perhatikan kesulitan penderita dalam pernafasan, adanya mual dan pusing.

6. Berikan oksigen per nasal.

205
Perawatan Pascabedah.

1. Posisi terlentang, jangan bangun / duduk sampai 24 jam pascabedah.

2. Minum banyak, 3 lt/hari.

3. Cegah trauma pada daerah analgesia.

4. Periksa kembalinya aktifitas motorik.

5. Yakinkan bahwa perasaan yang hilang dan kaki yang berat akan pulih.

6. Cegah sakit kepala, mual-muntah.

7. Perhatikan tekanan darah dan frekuensi nadi karena ada kemungkinan penurunan tekanan
darah dan frekuensi nadi.

Komplikasi / Problema Analgesia spinal :


1. Sistem Kardiovaskular :

a) Penurunan resistensi perifer :

--. Vasodilatasi arteriol dan arteri terjadi pada daerah yang diblokade akibat penurunan tonus
vasokonstriksi simpatis.

--. Venodilatasi akan menyebabkan peningkatan kapasitas vena dan venous return.

--. Proksimal dari daerah yang diblokade akan terjadi mekanisme kompensasi, yakni terjadinya
vasokonstriksi.

b) Penurunan Tekanan Sistolik dan Tekanan Arteri Rata-rata

Penurunan tekanan darah bergantung pada tingginya blokade simpatis. Bila tekanan darah
turun rendah sekali, terjadi risiko penurunan aliran darah otak. Bila terjadi iskemia medula
oblongata terlihat adanya gejala mual-muntah. Tekanan darah jarang turun > 15 mmHg dari
tekanan darah asal. Tekanan darah dapat dipertahankan dengan pemberian cairan dan atau obat
vasokonstriktor. Duapuluh menit sebelum dilakukan analgesia spinaldiberikan cairan RL atau
NaCl 10-15 ml/kgBB. Vasokonstriktor yang biasa digunakan adalah efedrin. Dosis efedrin 25-
50 mg i.m. atau 15-20 mg i.v. Mula kerja-nya 2-4 menit pada pemberian intravena, dan 10-
20menit pada pemberian intramuskular. Lama kerja-nya 1 jam.

c) Penurunan denyut jantung.

Bradikardia umumnya terjadi karena penurunan pengisian jantung yang akan mempengaruhi
myocardial chronotropic stretch receptor, blokade anestesia pada serabut saraf cardiac

206
amlelerator simpatis (T1-4). Pemberian sulfas atropin dapat meningkatkan denyut jantung dan
mungkin juga tekanan darah.

2. Sistem Respirasi

Bisa terjadi apnea yang biasanya disebabkan karena hipotensi yang berat sehingga terjadi iskemia
medula oblongata. Terapinya : berikan ventilasi, cairan dan vasopresor. Jarang disebabkan karena
terjadi blokade motorik yang tinggi (pada radiks n.frenikus C3-5). Kadang-kadang bisa terjadi
batuk-batuk kering, maupun kesulitan bicara.

3. Sistem Gastrointestinal :

Diperlihatkan dengan adanya mual muntah yang disebabkan karena hipotensi, hipoksia, pasien
sangat cemas, pemberian narkotik, over-aktivitas parasimpatis dan traction reflex (misalnya dokter
bedah manipulasi traktus gastrointestinal).

4. Headache (PSH=Post Spinal Headache)

Sakit kepala pascaanalgesia spinalmungkin disebabkan karena adanya kebocoran likuor


serebrospinal. Makin besar jarum spinal yang dipakai, semakin besar kebocoran yang terjadi, dan
semakin tinggi kemungkinan terjadinya sakit kepala pascaspinal anestesia. Bila duramater terbuka
bisa terjadi kebocoran cairan serebrospinal sampai 1-2pekan. Kehilangan CSF sebanyak 20ml
dapat menimbulkan terjadinya sakit kepala. PSH ini pada 90% pasien terlihat dalam 3 hari
postspinal, dan pada 80% kasus akan menghilang dalam 4 hari. Supaya tidak terjadi PSH dapat
dilakukan pencegahan dengan :

--. Memakai jarum spinal sekecil mungkin (misalnya no. 25,27,29).

--. Menusukkan jarum paralel pada serabut longitudinal duramater sehingga jarum tidak
merobek dura tetapi menyisihkan duramater.

--. Hidrasi adekuat, dapat diperoleh dengan minum 3lt/hari selama 3 hari, hal ini akan
menambah produksi CSF sebagai pengganti yang hilang.

Bila sudah terjadi sakit kepala dapat diterapi dengan :

--. Memakai abdominal binder.

--. Epidural blood patch : suntikkan 10ml darah pasien itu sendiri di ruang epidural tempat
kebocoran.

--. Berikan hidrasi dengan minum sampai 4lt/hari.

Kejadian PSH 10-20% pada umur 20-40 tahun; > 10% bila dipakai jarum besar (no. 20 ke bawah);

207
9% bila dipakai jarum no.22 ke atas. Wanita lebih banyak yang mengalami sakit kepala daripada
laki-laki.

5. Backache

Sakit punggung merupakan problema setelah suntikan di daerah lumbal untuk spinal anestesia.

6. Retensi urin

Penyebab retensi urin mungkin karena hal-hal sebagai berikut : operasi di daerah perineum pada
struktur genitourinaria, pemberian narkotik di ruang subarahnoid, setelah anestesia fungsi kandung
kemih merupakan yang terakhir pulih.

7. Komplikasi Neurologis Permanen

Jarang sekali terjadi komplikasi neurologis permanen. Hal-hal yang menurunkan kejadiannya
adalah karena : dilakukan sterilisasi panas pada ampul gelas, memakai semprit dan jarum yang
disposibel, analgesia spinaldihindari pada pasien dengan penyakit sistemik, serta penerapan teknik
antiseptik.

8. Chronic Adhesive Arahnoiditis

Suatu reaksi proliferasi arahnoid yang akan menyebabkan fibrosis, distorsi serta obliterasi dari
ruangan subarahnoid. Biasanya terjadi bila ada benda asing yang masuk ke ruang subarahnoid.

Referensi :

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed,
New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

208
MODUL 10 ANALGESIA REGIONAL II
Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 3)

Sesi di dalam kelas 2 X 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasilitasi Pembimbing 3 X 2 (coaching session)

Sesi praktek dan pencapaian kompetensi 4 pekan (facilitation & assessment)

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

2. LCD Proyektor dan layar


3. Laptop
4. OHP
5. Flipchart
6. Pemutar video
Materi presentasi:

CD PowerPoint

Sarana:

1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU

Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th


ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

209
TUJUAN UMUM

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik memahami dan mengerti tentang anatomi fungsional ,
fisiologi anestesia epidural , kaudal dan analgesia regional blok perifer, dapat memberikan
anestesia epidural , kaudal dan analgesia regional blok perifer secara baik dan benar, melakukan
penatalaksanaan komplikasi anestesia epidural , kaudal dan analgesia regional blok perifer

TUJUAN KHUSUS

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik mampu untuk :

Kognitif

a. Mampu menjelaskan anatomi tulang belakang, medula spinalis dan rongga


epidural,lapisan-lapisannya mulai dari kulit, ligamen-ligamen, sampai ke rongga
epidural, regio sakralis, hiatus sakralis, fungsional anatomi pleksus brakialis dan
pleksus lumbosakral
b. Mampu menjelaskan perubahan fisiologi yang terjadi pada anestesia epidural, kaudal,
pleksus brakialis dan pleksus lumbosakral.
c. Mampu menjelaskan berbagai teori timbulnya tekanan negatif pada rongga epidural.
d. Mampu menjelaskan mekanisme kerja obat analgetik lokal pada anestesia epidural,
kaudal ,blok pleksus brakialis dan pleksus lumbosakral .
e. Mampu menjelaskan persiapan preoperatif termasuk kunjugan preanestesia dan
melakukan identifikasi kelainan atau penyakit pasien yang akan mempengaruhi
jalannya anestesia epidural, kaudal, blok perifer pleksus brakialis dan pleksus
lumbosakral.
f. Mampu menjelaskan rencana penatalaksanaan anestesia epidural, kaudal, blok perifer
pleksus brakialis dan pleksus lumbosakral untuk prosedur bedah yang akan dilakukan.
g. Mampu menjelaskan persiapan alat dan obat yang akan dipakai untuk anestesia
epidural, kaudal, blok pleksus brakialis dan blok pleksus lumbosakral .
h. Mampu menjelaskan cara kerja nerve- stimulator dan metode lainnya untuk identifikasi
saraf , keuntungan dan kerugiannya
i. Mampu menjelaskan prosedur tindakan anestesia epidural, kaudal, berbagai pendekatan
blok pleksus brakialis dan pleksus lumbosakral yang baik dan benar.
j. Mampu menyebutkan beberapa cara pemasangan jarum epidural .
k. Mampu menjelaskan level ketinggian minimal dan jenis blok yang diinginkan termasuk
dermatom yang dipengaruhinya, untuk masing-masing tindakan operasi yang akan
dilakukan.
l. Mampu menjelaskan indikasi dan indikasi-kontra tindakan anestesia epidural, kaudal,
blok pleksus brakialis dan pleksus lumbosakral.
m. Mampu menyebutkan jenis obat, dosis, konsentrasi, pengenceran, mula kerja,
lama kerja obat analgetik lokal yang dapat dipakai untuk anestesia epidural, kaudal,
blok pleksus brakialis dan pleksus lumbosakral serta jenis adjuvan yang dapat
mempengaruhi atau membantu kerja obat analgetik lokal.
n. Mampu menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran obat, ketinggian

210
blok anestesia epidural,dan kaudal
o. Mampu menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi mula dan masa kerja obat pada
anestesia epidural, kaudal, blok pleksus brakialis dan blok pleksus lumbosakral
p. Mampu menjelaskan komplikasi yang dapat terjadi pada anestesia epidural, kaudal,
blok pleksus brakialis dan blok pleksus lumbosakral, tanda- tanda dan gejala, cara
mencegah dan mengatasi komplikasi tersebut.
q. Mampu menjelaskan penatalaksanaan pencabutan kateter epidural pada pasien yang
mendapat terapi antikoagulan.

Psikomotor

a. Mampu melakukan persiapan preoperatif termasuk kunjugan preanestesia ,memilih


pasien yang sesuai untuk anestesia epidural lumbal , kaudal, blok pleksus brakialis dan
pleksus lumbosakral , dan melakukan identifikasi kelainan atau penyakit pasien yang
akan mempengaruhi jalannya anestesia.
b. Mampu melakukan persiapan alat (alat anestesia epidural, kaudal ,blok perifer dan alat
resusitasi) dan obat (analgesia lokal, adjuvan, obat resusitasi) untuk anestesia epidural
lumbal, kaudal, blok perifer dan blok pleksus lumbosakral dengan baik dan benar.
c. Mampu melakukan prosedur tindakan anestesia epidural lumbal , kaudal , blok pleksus
brakialis, blok pleksus lumbosakral yang baik dan benar dengan berbagai cara
pendekatan.
d. Mampu memeriksa level ketinggian minimal dan jenis blok yang diinginkan termasuk
dermatom, miotom dan osteotom yang dipengaruhinya pada anestesia epidural lumbal,
kaudal, blok pleksus brakialis, blok pleksus lumbosakral sehingga sesuai untuk
kebutuhan masing-masing tindakan operasi yang akan dilakukan.
e. Mampu menyiapkan berbagai jenis obat, dosis, konsentrasi, pengenceran dan memakai
berbagai jenis obat analgetik lokal yang dapat dipakai untuk anestesia epidural lumbal,
kaudal, blok pleksus brakialis, blok pleksus lumbosakral, serta jenis adjuvan yang dapat
mempengaruhi atau membantu kerja obat analgetik lokal.
f. Mampu melakukan monitor pasien dalam anestesia epidural lumbal, kaudal, blok
pleksus brakialis, blok pleksus lumbosakral
g. Mampu mengenali perubahan fisiologis yang terjadi pada anestesia epidural lumbal,
blok kaudal, blok pleksus brakialis , blok pleksus lumbosakral dan penatalaksanaannya
h. Mampu mengenali tanda- tanda dini komplikasi yang terjadi pada anestesia epidural
lumbal, kaudal, blok pleksus brakialis, blok pleksus lumbosakral, melakukan
pencegahan dan mengatasi komplikasi tersebut.
i. Mampu melakukan pencabutan kateter epidural dengan benar terutama pada pasien
yang mendapat terapi antikoagulan.

Komunikasi/Hubungan interpersonal

a. Mampu menjelaskan kepada pasien atau keluarga pasien tentang kondisi pasien
preoperatif manfaat dan risiko tindakan anestesia epidural, kaudal, blok pleksus
brakialis, blok pleksus lumbosakral untuk memperoleh persetujuan setelah mendapat
informasi (informed consent).
b. Mampu menjelaskan kepada sejawat senior atau konsulen tentang kondisi pasien untuk
kemungkinan pemeriksaan tambahan, pemberian obat-obatan atau upaya optimalisasi
kondisi pasien.
c. Mampu berkomunikasi dengan sejawat operator tentang kondisi pasien sebelum,

211
selama dan sesudah operasi, terutama bila terjadi keadaan yang tidak diinginkan, untuk
kerjasama dalam penatalaksanaan pasien.
d. Mampu memberikan kepercayaan pada pasien tentang rasa tidak nyaman yang dapat
timbul, penanggulangan nyeri dan penatalaksanaan pascabedah.

Profesionalisme

a. Mampu bekerja sesuai prosedur dengan efisien.


b. Mampu memberikan kemudahan kepada operator saat operasi.
c. Mampu berinteraksi dengan sejawat lain maupun tenaga paramedis dan tenaga medis
lain atas dasar menghargai kompetensi masing-masing.
d. Mampu memahami, memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarganya tentang
kondisi pasien sesuai hak pasien

KEYNOTES:

1. Spinal, epidural dan kaudal blok juga disebut sebagai Neuroaksial anestesia. Setiap blok
ini dapat dilakukan dengan suntikan tunggal atau dengan kateter sehingga dapat
dilakukan pemberian secara intermiten atau kontinyu.

2. Melakukan tusukan lumbal (subarahnoid) harus di bawah L1 pada dewasa (L3 pada
anak) untuk menghindari kemungkinan trauma oleh jarum pada medula spinalis.

3. Tempat kerja utama blok neuroaksial adalah pada radiks saraf.

4. Terdapat perbedaan blokade pada blokade simpatis (sensitivitas temperatur) 2 segmen


lebih tinggi dari blok sensori (nyeri, raba halus), dan 2 segmen lebih tinggi daripada
blokade motorik. Sensori 2 segmen lebih tinggi dari motorik.

5. Interupsi transmisi eferen autonom pada radiks saraf spinalis dapat menimbulkan
blokade simpatis dan parasimpatis.

6. Blokade neuroaksial dapat menurunkan tekanan darah yang disertai penurunan denyut
jantung dan kontraksi jantung.

7. Efek kardiovaskular yang berbahaya harus diantisipasi untuk mengurangi derajat


hipotensi. Pengisian dengan volume 10-20 ml/kg intravena pada pasien sehat untuk
mengkompensasi pooling vena.

8. Bradikardia harus diterapi dengan sulfas atropin, dan hipotensi diterapi dengan
vasopresor.

212
9. Indikasi-kontra neuroaksial blokade adalah pasien menolak, gangguan perdarahan,
hipovolemia berat, peningkatan tekanan intrakranial, infeksi di tempat suntikan,
penyakit katup jantung stenosis berat atau obstruksi outflow ventricular.

10. Untuk anestesia epidural, hilangnya tahanan yang tiba-tiba menunjukkan jarum masuk
rongga epidural. Untuk analgesia spinalditandai dengan keluarnya likuor
serebrospinalis.

11. Epidural anestesia adalah suatu teknik neuroaksial yang tempat pemasangannya
mempunyai rentang yang lebih luas daripada Spinal Anestesia. Epidural blok dapat
dilakukan pada level lumbal, toraksal, servikal.

12. Epidural teknik digunakan secara luas untuk anestesia operasi, obstetri analgesia,
penatalaksanaan nyeri pascabedah, penatalaksanaan nyeri kronis.

13. Mula kerjaepidural anestesia lebih lambat (10-20 menit), dan kurang dalam
dibandingkan dengan spinal anestesia.

14. Kuantitas (volume dan konsentrasi) obat analgetik lokal yang diperlukan untuk epidural
anestesia lebih banyak dibandingkan dengan spinal anestesia. Toksisitas yang nyata
dapat terjadi bila jumlah tersebut disuntikan intratekal atau intravena. Panduan yang
aman adalah gunakan test dose dan berikan secara incremental.

15. Epidural kaudal anestesia adalah salah satu teknik regional anestesia yang sering
digunakan pada pasien pediatrik.

GAMBARAN UMUM

Untuk dapat melakukan analgesia regional spinal atau epidural lumbal/epidural kaudal
diperlukan pengetahuan dan keterampilan dalam anatomi, farmakologi obat, komplikasi akibat
obat anestetik, pemasangan alat, dan komplikasi akibat perubahan fisiologis yang besar.

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu melakukan:

1. Anestesia epidural lumbal


2. Blok kaudal

213
3. Blok pleksus brakialis pendekatan interskalenus dan aksilaris
4. Blok pleksus lumbosakral : blok siatik, blok femoralis, blok poplitea

METODE PEMBELAJARAN

- Kuliah Persiapan Anestesia Epidural , Blok Kaudal, Blok Pleksus Brakialis, Blok
Pleksus lumbosakral dilakukan pada semester 3
- Pelatihan di skill lab anestesia epidural lumbal dan blok kaudal pada manikin epidural
dilakukan semester 3
- Pelatihan di skill lab dengan sukarelawan untuk menggambar penunjuk anatomi blok
pleksus brakialis dan blok pleksus lumbosakral
- Pelatihan di kamar bedah anestesia epidural lumbal, blok kaudal, blok pleksus brakialis
dan blok pleksus lumbosakral pada pasien dilakukan semester 3 dan selanjutnya
terintegrasi dengan rotasi lainnya, dengan bimbingan dan pengawasan staf pengajar.
- Diskusi dan laporan tentang problema yang timbul pada anestesia epidural lumbal , blok
kaudal, blok pleksus brakialis dan blok pleksus lumbosakral sesuai sasaran
pembelajaran.
- Kuliah partisipatif
- Tugas tulisan (tinjauan pustaka) dan tugas baca
- Laporan kasus
- Diskusi kelompok
- Demonstrasi dan bedside teaching
- Tutorial individual

MEDIA

- Papan tulis
- Komputer
- LCD dan slide projector
- Pasien di kamar bedah.
- Sukarelawan

ALAT BANTU PEMBELAJARAN

- Manikin anestesia epidural

EVALUASI

Pre-tes

1.Jelaskan anatomi tulang belakang dan rongga epidural

2. Jelaskan anatomi regio sakralis, hiatus sakralis dan variasinya


3. Jelaskan anatomi dan dermatom, osteotom, miotom yang disarafi pleksus brakialis dan
cabang- cabangnya

214
4. Jelaskan anatomi dan dermatom, osteotom, miotom yang disarafi pleksus lumbosakral
dan cabang- cabangnya
5. Jelaskan perubahan fisiologi yang terjadi pada anestesia epidural
6. Jelaskan perubahan fisiologi yang terjadi pada blok kaudal
7. Jelaskan berbagai teori timbulnya tekanan negatif pada rongga epidural.
8. Jelaskan mekanisme kerja obat analgetik lokal pada anestesia epidural, blok kaudal,
blok pleksus brakialis dan blok pleksus lumbosakral
9. Jelaskan persiapan preoperatif termasuk kunjugan preanestesia, pemilihan pasien yang
sesuai dan melakukan identifikasi kelainan atau penyakit pasien yang akan
mempengaruhi jalannya anestesia epidural, blok kaudal, blok pleksus brakialis dan blok
pleksus lumbosakral
10. Jelaskan persiapan alat dan obat yang akan dipakai untuk anestesia epidural, blok
kaudal, blok pleksus brakialis, dan blok pleksus lumbosakral .
11. Jelaskan prosedur tindakan anestesia epidural dan blok kaudal yang baik dan benar.
12. Jelaskan prosedur tindakan anestesia blok pleksus brakialis pendekatan interskalenus
dan aksilaris dengan menggunakan nerve stimulator yang baik dan benar
13. Jelaskan prosedur tindakan anestesia blok pleksus lumbosakral : blok siatik, blok
femoralis, blok poplitea dengan menggunakan nerve stimulator yang baik dan benar
14. Sebutkan beberapa cara penusukan jarum epidural
15. Jelaskan level ketinggian minimal dan yang diinginkan termasuk dermatom , osteotom,
miotom yang dipengaruhinya untuk anestesia epidural, blok kaudal, blok pleksus
brakialis, blok pleksus lumbosakral untuk masing-masing tindakan operasi yang akan
dilakukan.
16. Jelaskan indikasi dan indikasi-kontra tindakan anestesia epidural, blok kaudal, blok
pleksus brakialis (interskalenus dan aksilaris), blok pleksus lumbosakral (siatik, femoral,
poplitea)
17. Sebutkan dan jelaskan jenis obat, dosis, konsentrasi, pengenceran, mula kerja, lama
kerja obat analgetik lokal yang dapat dipakai untuk anestesia epidural, blok kaudal, blok
pleksus brakialis (interskalenus, aksilaris) dan blok pleksus lumbosakral (siatik, femoral,
poplitea) serta jenis adjuvan yang dapat mempengaruhi atau membantu kerja obat
analgetik lokal.
18. Jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi mula dan masa kerja, penyebaran obat,
penyebaran dan intensitas blok anestesia epidural, blok kaudal, blok pleksus brakialis,
blok pleksus lumbosakral .
19. Jelaskan komplikasi yang dapat terjadi pada anestesia epidural, blok kaudal, blok
pleksus brakialis (interskalenus , aksilaris), blok pleksus lumbosakral (siatik, femoralis,
poplitea), tanda tanda dan gejala, cara mencegah dan mengatasi komplikasi tersebut.

Kognitif

- EMQ (Extended Medical Question)


- Multiple observation and assessments
- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
Skill

- Multiple observation and assessments

215
- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
Communication and Interpersonal Skills

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
Profesionalisme

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
Pengetahuan

- MCQ (pre-tes)
- EMQ (Extended Medical Question)

Daftar Cek Penuntun Belajar Anestesia Epidural Lumbal Teknik Loss of Resistance

N Prosedur Anestesia Blok


o Epidural
Sudah Belum
(pendekatan cara midline) dikerjakan dikerjakan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1 Informed consent

2 Pemeriksaan fisis dan lab

3 Pemeriksaan tambahan

PROSEDUR ANESTESIA
EPIDURAL

1 Periksa kesiapan alat (epidural,


resusitasi) dan obat (epidural,
resusitasi) yang diperlukan

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk


asepsis dan antisepsis

3 Pasang monitor Standard pada pasien


dan amati tanda vital pasien

4 Pasang jalur intravena pada pasien,

216
premedikasi bila perlu

5 Posisikan pasien lateral dekubitus atau


duduk, ganjal bahu dan kepala pasien
bila diposisikan lateral dekubitus.

6 Tentukan penunjuk anatomi celah


antara L2-3, L3-4 atau L4-5. Celah
antara L3-4 atau prosesus spinosus L4
tegak lurus dari spina iliaka anterior
superior.

7 Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis


pada penunjuk anatomi yang
ditentukan.

8 Berikan analgesia lokal pada celah yang


akan dilakukan penusukan jarum Tuohy

9 Lakukan penusukan jarum Tuohy pada


celah yang telah diberi analgesia lokal
sampai jarum Tuohy terfiksasi di
ligamentum. Penusukan jarum harus
sejajar dengan prosesus spinosus atau
sedikit membentuk sudut kearah
sefalad, dengan arah bevel ke lateral
atau sefalad. Cabut stilet dan
hubungkan jarum dengan semprit yang
berisi NaCl 0,9%.

10 Dengan tangan nondominan menahan


jarum pada punggung pasien, tangan
dominan mendorong maju jarum Tuohy
pelan sambil menekan plunger semprit
sampai ujung distal jarum epidural
sampai di ruang epidural yang ditandai
dengan adanya loss of resistance.

11 Cabut semprit dan kateter epidural


dimasukkan sampai ujung kateter
melewati ujung jarum epidural

10 Cabut jarum epidural sambil


mendorong kateter epidural sedemikian
sehingga kateter tidak ikut tercabut

217
11 Pastikan kateter epidural yang masuk
ke ruang epidural sepanjang lebih
kurang 4 sm (fiksasi di kulit :
kedalaman ruang epidural + 4 sm)

12 Sambungkan kateter dengan filter yang


sudah diisi NaCl0,9%. . Aspirasi untuk
memastikan kateter tidak masuk ruang
subarahnoid. Fiksasi kateter, tutup
dengan kasa steril/ tegaderm.

13 Lakukan test dose untuk memastikan


ujung kateter tidak terletak di ruang
subarahnoid atau intravaskular

14 Masukkan analgesia lokal dengan pelan


dan aspirasi sering

15 Cara penyuntikkan paramedian pada


dasarnya sama seperti di atas, hanya
jarum Tuohyl disuntikkan pada 1,5 sm
lateral dan 1sm kaudal dari celah
penyuntikkan yang dituju.

Cara hanging drop pada dasarnya sama


dengan teknik loss of resistance hanya
identifikasi ruang epidural dilakukan
dengan cara mengamati tertariknya
tetesan Nacl o,9% pada hub jarum
Tuohy oleh tekanan negatif ruang
epidural

DURANTE ANESTESIA
EPIDURAL

1 Monitor ABC, ketinggian blok,


intensitas blok

2 Amati perubahan fisiologis yang


terjadi, pencegahan dan
penatalaksanaannya

3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan


dan penatalaksanaannya

4 Penatalaksanaan bila blok tidak adekuat

5 Topping-up dose bila pembedahan

218
berlangsung lama

6 Monitor kenyamanan pasien dan


penatalaksanaan rasa tidak nyaman
pasien

PASCABEDAH

1 Monitor ABC , intensitas blok di ruang


pulih

2 Pasien dikembalikan ke ruang rawat

3 Pencabutan kateter epidural

3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan


dan penatalaksanaan

Daftar Cek Penuntun Belajar Blok Kaudal

N Prosedur Anestesia Blok


o Kaudal
Sudah Belum
dikerjakan dikerjakan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1 Informed consent

2 Pemeriksaan fisis dan lab

3 Pemeriksaan tambahan

PROSEDUR BLOK KAUDAL

1 Periksa kesiapan alat (blok kaudal,


resusitasi) dan obat yang diperlukan

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk


asepsis dan antisepsis

3 Pasang monitor Standard pada pasien


dan amati tanda vital pasien

4 Pasang jalur intravena pada pasien,


premedikasi bila perlu

5 Posisikan pasien pada posisi Sims

6 Identifikasi kornu sakralis dan SIPS

219
7 Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis
pada penunjuk anatomi yang
ditentukan.

8 Berikan analgesia lokal pada kulit di


atas kornu sakralis

9 Lakukan penusukan jarum kateter


intravena / Tuohy dengan sudut 45
derajat dengan sakrum di antara kedua
kornu sakralis, setelah jarum dirasakan
melalui membran sakrakoksigeal atau
kontak dengan bagian ventral kanalis
sakralis, jarum ditarik beberapa mm
dari periosteum, diturunkan 5 sampai
15 derajat, dan kateter diteruskan
masuk beberapa mm (bayi/anak ) atau
sm (dewasa). Perhatikan ujung jarum
tidak melewati garis imajiner yang
menghubungkan kedua SIPS

10 Cabut stilet jarum kateter intravena/


Tuohy

11 Hubungkan semprit berisi NaCl0,9%


dengan hub kateter/ Tuohy, aspirasi ,
bila negatif, injeksikan sambil
merasakan loss of resistance ruang
epidural dan meraba tidak adanya
penyuntikan intramuskular/ subkutan

13 Lakukan test dose untuk memastikan


ujung jarum tidak terletak di ruang
subarahnoid atau intravaskular

14 Masukkan analgesia lokal dengan pelan


dan aspirasi sering sambil tangan non
dominan meraba regio sakrum

DURANTE BLOK KAUDAL

1 Monitor ABC, ketinggian blok,


intensitas blok

2 Amati perubahan fisiologis yang


terjadi, pencegahan dan
penatalaksanaannya

220
3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan
dan penatalaksanaannya

4 Penatalaksanaan bila blok tidak adekuat

5 Penatalaksanaan ketidaknyamanan
pasien bila ada

PASCABEDAH

1 Monitor ABC di ruang pulih

2 Pasien dikembalikan ke ruang rawat

3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan


dan penatalaksanaan

Daftar Cek Penuntun Belajar Blok Interskalenus Pleksus Brakialis

N Prosedur Anestesia Blok


o Interskalenus Pleksus Brakialis
Sudah Belum
dikerjakan dikerjakan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1 Informed consent

2 Pemeriksaan fisis dan lab

3 Pemeriksaan tambahan

PROSEDUR BLOK
INTERSKALENUS

1 Periksa kesiapan alat (blok perifer,


resusitasi) dan obat (blok perifer,
resusitasi) yang diperlukan dan cek
kesiapan alat

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk


asepsis dan antisepsis

3 Pasang monitor Standard pada pasien


dan amati tanda vital pasien

4 Pasang jalur intravena pada ekstremitas

221
lain yang tidak diblok

5 Premedikasi bila perlu

6 Posisikan pasien dengan kepala pasien


miring ke arah sisi yang tidak diblok

7 Gambar penunjuk anatomi blok


interskalenus : bagian posterior otot
sternokleidomastoideus pars
klavikularis, vena jugularis
eksterna,dan klavikula. Raba otot
skalenus anterior dan medial di bagian
posterior otot sternokleidomastoideus
pars klavikula, di dekat vena jugularis
eksterna

8 A dan antisepsis daerah penyuntikan

9 Analgesia lokal daerah penyuntikan

10 Jarum simulator 2 inci dihubungkan


dengan nerve stimulator, dengan arus
1,5 mA, disuntikkan pada daerah antara
otot skalenus anterior dan medial
dengan arah sedikit kaudal dan
posterior. Perhatikan jarum jangan
masuk lebih dari 2sm

11 Amati adanya respons positif berupa


twitch otot deltoid, lengan atas , lengan
bawah atau tangan. Kecilkan arus
sampai didapat twitch adekuat dengan
arus 0,2 -0,4 mA. Sesuaikan posisi
jarum bila perlu.

12 Hubungkan semprit berisi analgesia


lokal dengan jarum simulator. Aspirasi
dan injeksikan analgesia lokal secara
pelan dan aspirasi sering

DURANTE BLOK
INTERSKALENUS PLEKSUS
BRAKIALIS

1 Monitor ABC, intensitas blok dan


dermatom, osteotom, miotom yang
terblok

222
2 Penatalaksanaan rasa tidak nyaman
pasien selama blok interskalenus
pleksus brakialis

3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan


dan penatalaksanaannya

4 Penatalaksanaan bila blok tidak adekuat

PASCABEDAH

1 Monitor ABC di ruang pulih

2 Pasien dikembalikan ke ruang rawat

3 Komplikasi dan penatalaksanaan


komplikasi


Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda

Daftar Cek Penuntun Belajar Blok Aksilaris Pleksus Brakialis

N Prosedur Anestesia Blok


o Aksilaris Pleksus Brakialis
Sudah Belum
dikerjakan dikerjakan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1 Informed consent

2 Pemeriksaan fisis dan lab

3 Pemeriksaan tambahan

PROSEDUR BLOK
INTERSKALENUS

1 Periksa kesiapan alat (blok perifer ,


resusitasi)dan obat yang diperlukan dan
cek kesiapan alat

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk

223
asepsis dan antisepsis

3 Pasang monitor Standard pada pasien


dan amati tanda vital pasien

4 Pasang jalur intravena pada ekstremitas


lain yang tidak diblok

5 Premedikasi bila perlu

6 Posisikan pasien dengan kepala pasien


miring ke arah sisi yang tidak diblok,
dan lengan yang akan diblok abduksi
dan fleksi di sendi siku sehingga aksila
terekspos

7 Raba denyut arteri aksilaris pada lengan


yang akan diblok

8 A dan antisepsis daerah penyuntikan

9 Analgesia lokal daerah penyuntikan

10 Jarum simulator 2 inch dihubungkan


dengan nerve stimulator, dengan arus
1,5 mA, disuntikkan pada daerah di
atas denyut arteri aksilaris

11 Amati adanya respons twitch tangan.


Kecilkan arus sampai didapat twitch
adekuat dengan arus 0,2 -0,4 mA.
Sesuaikan posisi jarum bila perlu.

12 Hubungkan sempri tberisi analgesia


lokal dengan jarum simulator. Aspirasi
dan injeksikan analgesia lokal secara
pelan dan aspirasi sering

13 Bila perlu dapat dicari respons motorik


nervus medianus, ulnaris, radialis satu
persatu.

DURANTE BLOK AKSILARIS


PLEKSUS BRAKIALIS

1 Monitor ABC , intensitas dan


dermatom, osteotom , miotom yang
terblok

224
2 Penatalaksanaan rasa tidak nyaman
pasien selama blok interskalenus
pleksus brakialis

3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan


dan penatalaksanaannya

4 Penatalaksanaan bila blok tidak adekuat

PASCABEDAH

1 Monitor ABC di ruang pulih

2 Pasien dikembalikan ke ruang rawat

3 Komplikasi dan penatalaksanaan


komplikasi


Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda

Daftar Cek Penuntun Belajar Blok Siatik Pleksus Sakralis

N Prosedur Anestesia Blok Siatik


o Pleksus Sakralis
Sudah Belum
dikerjakan dikerjakan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1 Informed consent

2 Pemeriksaan fisis dan lab

3 Pemeriksaan tambahan

PROSEDUR BLOK SIATIK


PLEKSUS SAKRALIS

1 Periksa kesiapan alat (blok perifer,


resusitasi)dan obat yang diperlukan dan
cek kesiapan alat

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk

225
asepsis dan antisepsis

3 Pasang monitor Standard pada pasien


dan amati tanda vital pasien

4 Pasang jalur intravena pada ekstremitas


lain yang tidak diblok

5 Premedikasi bila perlu

6 Posisikan pasien dengan posisi lateral


sedikit jatuh ke ventral dengan tungkai
yang akan diblok di sebelah atas,
dengan fleksi sendi panggul dan lutut

7 Gambar penunjuk anatomi blok siatik :


4 sm dari pertengahan garis yang
menghubungkan SIPS dan trokanter
mayor

8 A dan antisepsis daerah penyuntikan

9 Analgesia lokal daerah penyuntikan

10 Jarum simulator 4 inch dihubungkan


dengan nerve stimulator, dengan arus
1,5 mA, disuntikkan dengan arah tegak
lurus semua plana.

11 Amati adanya respons twitch otot


hamstring, betis atau kaki. Kecilkan
arus sampai didapat twitch adekuat
dengan arus 0,2 -0,4 mA. Sesuaikan
posisi jarum bila perlu.

12 Hubungkan semprit berisi analgesia


lokal dengan jarum simulator. Aspirasi
dan injeksikan analgesia lokal secara
pelan dan aspirasi sering

DURANTE BLOK SIATIK


PLEKSUS SAKRALIS

1 Monitor ABC , intensitas dan


dermatom, osteotom , miotom yang
terblok

2 Penatalaksanaan rasa tidak nyaman


pasien selama blok

226
3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan
dan penatalaksanaannya

4 Penatalaksanaan bila blok tidak adekuat

PASCABEDAH

1 Monitor ABC di ruang pulih

2 Pasien dikembalikan ke ruang rawat

3 Komplikasi dan penatalaksanaan


komplikasi


Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda

Daftar Cek Penuntun Belajar Blok Femoralis Pleksus Lumbalis

N Prosedur Anestesia Blok


o Femoralis Pleksus Lumbalis
Sudah Belum
dikerjakan dikerjakan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1 Informed consent

2 Pemeriksaan fisis dan lab

3 Pemeriksaan tambahan

PROSEDUR BLOK FEMORALIS


PLEKSUS LUMBALIS

1 Periksa kesiapan alat (blok perifer,


resusitasi) dan obat yang diperlukan
dan cek kesiapan alat

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk


asepsis dan antisepsis

3 Pasang monitor Standard pada pasien


dan amati tanda vital pasien

227
4 Pasang jalur intravena pada ekstremitas
lain yang tidak diblok

5 Premedikasi bila perlu

6 Posisikan pasien supine

7 Gambar penunjuk anatomi blok


femoralis : lipatan inguinal dan denyut
arteri femoralis

8 A dan antisepsis daerah penyuntikan

9 Analgesia lokal daerah penyuntikan

10 Jarum simulator 2 inci dihubungkan


dengan nerve stimulator, dengan arus
1,5 mA, disuntikkan dengan arah
hampir tegak lurus tepat di sebelah
denyut arteri femoralis

11 Amati adanya respons twitch otot


kuadriseps femoris .Kecilkan arus
sampai didapat twitch adekuat dengan
arus 0,2 -0,4 mA. Sesuaikan posisi
jarum bila perlu.

12 Hubungkan semprit berisi analgesia


lokal dengan jarum stimulator. Aspirasi
dan injeksikan analgesia lokal secara
pelan dan aspirasi sering

DURANTE BLOK FEMORALIS


PLEKSUS LUMBALIS

1 Monitor ABC , intensitas dan


dermatom, osteotom , miotom yang
terblok

2 Penatalaksanaan rasa tidak nyaman


pasien selama blok

3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan


dan penatalaksanaannya

4 Penatalaksanaan bila blok tidak adekuat

PASCABEDAH

228
1 Monitor ABC di ruang pulih

2 Pasien dikembalikan ke ruang rawat

3 Komplikasi dan penatalaksanaan


komplikasi

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda


Daftar Cek Penuntun Belajar Blok Poplitea Pleksus Sakralis

No Prosedur Anestesia Blok Poplitea


Pleksus Sakralis
Sudah Belum
(pendekatan posterior) dikerjakan dikerjakan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1 Informed consent

2 Pemeriksaan fisis dan lab

3 Pemeriksaan tambahan

PROSEDUR BLOK POPLITEA PLEKSUS


SAKRALIS

1 Periksa kesiapan alat (blok perifer, resusitasi)


dan obat yang diperlukan dan cek kesiapan alat

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk asepsis


dan antisepsis

3 Pasang monitor Standard pada pasien dan amati


tanda vital pasien

4 Pasang jalur intravena pada ekstremitas lain


yang tidak diblok

5 Premedikasi bila perlu

6 Posisikan pasien dengan posisi prone

7 Gambar penunjuk anatomi blok poplitea : 8 sm


dari lipatan poplitea ke arah kaudal di
pertengahan tendon otot semi membranosus

229
dan otot biseps femoris

8 A dan antisepsis daerah penyuntikan

9 Analgesia lokal daerah penyuntikan

10 Jarum simulator 4 inch dihubungkan dengan


nerve stimulator, dengan arus 1,5 mA,
disuntikkan dengan arah tegak lurus

11 Amati adanya respons twitch otot kaki.


Kecilkan arus sampai didapat twitch adekuat
dengan arus 0,2 -0,4 mA. Sesuaikan posisi
jarum bila perlu.

12 Hubungkan semprit berisi analgesia lokal


dengan jarum simulator. Aspirasi dan
injeksikan analgesia lokal secara pelan dan
aspirasi sering

DURANTE BLOK POPLITEA PLEKSUS


SAKRALIS

1 Monitor ABC, intensitas dan dermatom,


osteotom, miotom yang terblok

2 Penatalaksanaan rasa tidak nyaman pasien


selama blok

3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan dan


penatalaksanaannya

4 Penatalaksanaan bila blok tidak adekuat

PASCABEDAH

1 Monitor ABC di ruang pulih

2 Pasien dikembalikan ke ruang rawat

3 Komplikasi dan penatalaksanaan komplikasi

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda


230
DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur Standard atau penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur
memuaskan Standard atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

231
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

MATERI ACUAN

Lumbal Epidural Anestesia


Dapat dilakukan dengan menyuntikkan obat analgetik lokal di ruangan epidural di
daerah lumbal. Penusukan dapat dilakukan di daerah toraksal. Tetapi umumnya di bawah L2,
mengingat pada L2 adalah akhir medula spinalis. Hal ini untuk mengurangi risiko kesalahan
penusukan yang terlalu dalam sehingga menembus medula spinalis.

Indikasi dan indikasi-kontra :

Sama seperti spinal anestesia. Bila dibandingkan keuntungan dan kerugian epidural

232
anestesia dibandingkan dengan spinal anestesia, maka :

Keuntungan Analgesia spinaladalah :


a) Obat analgetik lokal yang dipakai lebih sedikit.

b) Waktu yang diperlukan untuk mendapatkan blokade yang adekuat lebih singkat.

c) Level anestesia lebih pasti.

d) Teknik lebih mudah.

Keuntungan Epidural Anestesia adalah :


a) Bisa anestesia segmental.

b) Tidak terjadi sakit kepala pascabedah.

c) Hipotensi lambat terjadinya.

d) Efek motorik lebih rendah.

e) Dapat dipertahankan untuk 1-2 hari dengan memakai kateter untuk terapi sakit
pascabedah.

Kerugian Epidural Anestesia dibandingkan dengan Analgesia spinal:


a) Teknik epidural anestesia lebih sulit daripada spinal anestesia.

b) Karena ruangan epidural sangat vaskular dan diperlukan obat analgetik lokal yang
lebih banyak, maka kemungkinan reaksi sistemis akibat absorbsi vaskular lebih
besar.

c) Bila ada kesalahan menusuk dura dan jarum masuk ke ruangan subarahnoid, lalu
diberikan jumlah besar obat anestetik yang bisa menyebabkan henti nafas, hilangnya
kesadaran, mungkin juga blokade simpatis yang menyeluruh.

d) Diperlukan 5-10 kali lebih banyak obat untuk mencapai level anestesia yang
diinginkan.

Keuntungan Epidural Anestesia dibandingkan dengan Anestesia Umum :


a) Sedikit mempengaruhi respirasi, maka epidural anestesia sangat menguntungkan
untuk pasien-pasien dengan asma, bronkhitis, atau emfysema.

b) Bisa diperoleh analgesia, relaksasi otot, dan usus.

c) Dapat diberikan pada pasien yang tidak dapat menerima pelumpuh otot (misalnya
miastenia gravis).

233
Anatomi :
Duramater berakhir di ujung foramen magnum. Hal ini menguntungkan karena dapat
mencegah masuknya obat analgetik lokal dari ruangan peridural ke ruangan otak. Kantong dura
berakhir di S2, kira-kira 1sm di bawah dan medial dari level spina iliaka posterior superior.
Ruangan epidural dibatasi oleh duramater di sebelah dalam, ligamentum flavum dan periosteum
di sebelah luar.

Ruangan epidural meluas mulai dari dasar kepala (foramen magnum) di mana terjadi
fusi duramater dengan periosteum sampai koksigeus (membran sakrokoksigeal). Diameternya
0,5sm dan paling lebar di daerah L2. Jarak rata-rata antara kulit dengan ruangan epidural
adalah 4-5sm. Ruangan epidural berisi jaringan pengikat, lemak, vena dan arteri serta pembuluh
limfe dan saraf. Vena di sini berhubungan dengan vena di pelvis dan vena intrakranial, karena itu
obat analgetik lokal atau udara yang disuntikkan ke fleksus venosus ini dapat langsung naik ke
otak. Vena menjadi distensi pada keadaan batuk, mengedan atau gravida aterm, sehingga
ruangan epidural ini mengecil pada gravida aterm.

Dosis obat analgetik lokal yang diperlukan untuk mencapai level tertentu dari obat
berbeda-beda karena :
--. Variasi ukuran ruangan epidural.

--. Foramen intervertebralis libih permeabel pada orang muda daripada usia tua, maka
pada pemberian dosis yang sama dapat menyebabkan blokade yang lebih tinggi
pada orang tua.

Metode untuk menentukan ruangan epidural :


1. Metoda loss of resistance.

2. Metoda hanging drop.

Pada metode loss of resistance, digunakan semprit yang diisi udara atau NaCl atau obat
analgetik lokal. Ketika jarum menusuk ligamentum flavum, dirasakan ada tahanan; dan ketika
menembus ligamentum flavum dan masuk ke ruangan epidural, kita akan merasakan sekonyong-
konyong kehilangan tahanan. Bila digunakan udara, maka udara yang masuk ke ruangan
epidural jangan melebihi 3ml. Dengan metoda hanging drop, maka tetesan air akan terisap ke
ruangan epidural akibat tekanan negatif dalam ruangan epidural.

Faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran obat anetestik lokal dalam ruangan


epidural adalah volume dan konsentrasi obat analgetik lokal. Untuk memblokade 4
segmen biasanya cukup dengan 10-15ml. Penambahan epinefrin 1/200.000 akan
meningkatkan lama kerja obat. Kecepatan suntikan, posisi pasien sedikit
mempengaruhi penyebaran obat, sedangkan berat jenis obat analgetik lokal tidak

234
memegang peranan.
Cara-cara melakukan epidural anestesia :
a) Seperti untuk spinal anestesia, posisi pasien bisa duduk atau miring.

b) Tentukan land mark.

c) Setelah tindakan a dan antiseptik, pada tempat yang akan disuntik beri lokal anestesia,
misalnya dengan lidokain 1% sebanyak 2ml.

d) Suntikkan jarum epidural; dan setelah menembus ligamen interspinal, cabut touchy-nya, dan
pasang semprit10ml yang telah diisi udara / NaCl / obat analgetik lokal.

e) Tentukan loss of resistance.

f) Masukkan kateter epidural 1-2sm dan fiksasi kateternya.


g) Aspirasi, bila tidak ada darah atau likuor, masukkan obat analgetik lokal.

Test dose 3ml (10% dari dosis total), tunggu selama 5 menit untuk melihat apakah ada blokade
subarahnoid. Kecepatan penyuntikan 1ml/detik dengan jumlah total obat analgetik lokal tidak
melebihi 20ml.

Komplikasi :
1. Duramater tertusuk.

--. Bisa terjadi high atau total analgesia spinalbila disuntikkan lebih dari 7ml obat analgetik
lokal.

--. Post spinal headache yang terjadi sekunder akibat kebocoran cairan serebrospinal.

2. Reaksi sistemik karena absorbsi yang cepat dari obat analgetik lokal dan epinefrin.

Pasien mungkin mengeluh rasa pahit di lidah, sakit kepala berat, mendenging, iritabilitas,
kejang-kejang, hipotensi, dan hilangnya kesadaran. Overdosis epinefrin bisa menyebabkan
takikardia, tremor, hipertensi dan iskemia lokal pada medula spinalis.

Kaudal Anestesia
Kaudal anestesia dapat diperoleh dengan menyuntikkan obat analgetik lokal melalui
hiatus sakralis ke dalam ruangan epidural pada kanalis sakralis.

235
Indikasi Kaudal Anestesia :
Indikasi dilakukan kaudal anestesia untuk operasi-operasi daerah perineal seperti
haemoroid, fistula ani, dan kista bartolini

Indikasi-kontra Kaudal Anestesia :


Sama dengan epidural anestesia.

Kaudal Anestesia tidak memerlukan jarum khusus seperti spinal atau epidural lumbal.
Kita bisa memakai semprit 20ml, 10ml, atau 5ml dengan jarum no. 21 atau 22.
Pasien dalam posisi lateral atau telungkup dengan diganjal di daerah pubis. Cari
penunjuk anatomi dengan meraba kornu sakralis kanan kiri, dan di antaranya adalah
membran sakrokoksigeal
Kerugian Kaudal Anestesia adalah :
--. Sulit mencapai level anestesia yang tinggi.

--. Masih bisa terjadi reaksi sistemik.

--. Karena kelainan anatomi, kegagalannya bisa mencapai 5-10%.

--. Komplikasi sama dengan epidural lumbal.

Referensi :

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th


ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
3. Hadzic Admir : Peripheral Nerve Block, 1st ed, 2006

236
MODUL 11. ANESTESIA BEDAH ORTOPEDI I

Mengembangkan Kompetensi Waktu

Sesi di dalam kelas Rotasi pada Semester 1 dan 2 (total 8

Sesi dengan fasilitasi Pembimbing pekan/2bulan)

Sesi praktek dan pencapaian Meliputi bedah ortopedi elektif tertentu, darurat dan
kompetensi trauma.

Kompetensi didapat dengan pembelajaran teori dan


praktek dilakukan utamanya di kamar bedah elektif
dan darurat

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

1. LCD Proyektor dan layar


2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Pemutar video
Materi presentasi:

CD PowerPoint

Sarana:

1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang perawatan, kamar operasi, ruang pulih.

Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

237
Referensi :

1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New York:
Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

Selain referensi wajib di atas, peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari referensi
tambahan untuk modul PACU seperti yang diuraikan berikut ini:

1. Miller RD. Millers Anaesthesia 4th ed, 2005

2. Robert K. Stoelting. Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice . 2006

TUJUAN UMUM

Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan mampu melakukan anestesia umum dengan
sungkup atau LMA (inhalasi), TIVA, regional blok subarahnoid (SAB), untuk prosedur
bedah ortopedi tertentu ( misalnya reposisi patah tulang tertutup, debridemen patah tulang
terbuka, ORIF anggota gerak bawah, artroskopi sendi lutut, dll ), mencakup evaluasi pasien
preoperatif, merancang pelaksanaan anestesia, pemantauan intra operatif, penatalaksanaan
masa pulih dan penatalaksanaan nyeri pascabedah

238
TUJUAN KHUSUS

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi dalam ranah-ranah berikut
ini :

Kognitif

Pada akhir stase atau rotasi peserta akan mampu:

1. Menjelaskan tindakan anestesia umum dengan sungkup dan regional SAB, TIVA
untuk operasi fraktur anggota gerak bawah, hip fracture, artroskopi,
2. Melakukan identifikasi problema preoperatif yang umum ditemukan pada pasien
ortopedi dan membuat rencana anestesia yang tepat untuk prosedur bedah ortopedi
yang paling sering .
3. Melakukan identifikasi dan penatalaksanaan problema-problema umum pada pasien
trauma serta menjelaskan persiapan preoperatif untuk pembedahan darurat dan trauma,
termasuk puasa dan penggunaan antasid, antagonis H2 dan antiemetik.
4. Merencanakan dan memilih obat anestetik inhalasi untuk prosedur anstesia umum
dengan sungkup.
5. Menjelaskan farmakologi obat anestetik inhalasi .
6. Merencanakan dan memilih obat anestetik intravena.
7. Menjelaskan farmakologi obat anestetik intravena.
8. Merencanakan dan memilih alat dan obat analgetik lokal untuk semua prosedur
analgesia regional, sesuai dengan lama, lokasi prosedur bedah, dan berat penyakit.
9. Menjelaskan farmakologi analgetik lokal, termasuk hal khusus yang menentukan
onset, durasi , potensi dan toksisitas.
10. Melakukan identifikasi dan mengatasi problema-problema yang dapat terjadi selama
pembedahan, misalnya syok perdarahan.
11. Membahas topik topik spesifik dalam anestesia ortopedi, termasuk turnike pneumatik,
emboluslemak, penyebab deep vein thrombosis, tromboemboli, pulmonary embolism.
12. Menjelaskan dampak dari penyakit-penyakit yang menyertai pasien ortopedi, seperti
hipertensi, penyakit arteri koroner, rheumatoid arthritis, diabetes melitus, ankylosing
spondylitis.
13. Menjelaskan dan membedakan penanggulangan nyeri dengan patient controlled
analgesia (PCA), subarahnoid, analgesia lokal intra-artikular, non-steroidal anti-
inflammatory drugs (NSAIDs)

239
Psikomotor

Pada akhir stase atau rotasi peserta harus mampu:

1. Memberikan anestesia umum dengan sungkup, analgesia spinal, dengan peralatan dan
obat-obatan yang benar dan penatalaksanaan pasien intraoperatif dengan intervensi
minimal supervisor.
2. Memberikan anestesia yang benar dan aman untuk:
a. debridemen fraktur terbuka anggota gerak bawah

b. reposisi tertutup fraktur atau dislokasi anggota gerak.

c. ORIF fraktur tulang panjang anggota gerak bawah

d. total knee arthroplasty

Komunikasi

Pada akhir stase peserta akan :

1. Mengetahui pembuatan rencana bersama anestesia-bedah untuk prosedur-prosedur


sebelum masuk kamar operasi.
2. Mampu menjelaskan kepada pasien atau keluarga pasien untuk memperoleh
persetujuan setelah mendapatkan informasi tentang manfaat dan risiko anestesia.
3. Mengetahui kebutuhan-kebutuhan untuk mendukung prosedur anestesia, seperti
analgesia regional dan monitor selama tindakan anestesia dan pembedahan.
4. Menjamin kebutuhan tenaga untuk dapat mengatur posisi pasien atau memindahkan
pasien
5. Mampu menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang kebutuhan dan manfaat dari
analgetika.
6. Mengetahui kebutuhan antibiotika untuk pasien
7. Mampu untuk menentukan berapa kebutuhan darah untuk operasi ortopedi tertentu.
8. Mampu membicarakan bersama (diskusi) dengan sejawat bagian bedah kemungkinan-
kemungkinan yang terjadi dari prosedur bedah yang akan dilakukan.
9. Mampu mengkomunikasikan komplikasi-komplikasi yang mungkin terjadi mengikuti
prosedur yang dijalankan, seperti terjadinya emboluslemak, tromboembolusdll.
10. Mengetahui lama pemasangan turnike.

240
Profesionalisme

Pada akhir stase peserta harus

1. Mengetahui rencana pembedahan


2. Mampu melakukan tindakan anestesia yang dipilih sesuai prosedur baku.
3. Mampu memberi kemudahan untuk prosedur bedah
4. Mampu mengkomunikasikan problema problema pasien kepada ahli bedah.
5. Mampu mengetahui dan mengatasi problema-problema yang terjadi pada saat maupun
pasca pembedahan.
6. Mampu menciptakan kemudahan perawatan di Post Anesthesia Care Unit (PACU)
7. Mampu mengatasi nyeri pascabedah dengan pemberian analgesia yang optimal.

KEYNOTES:

1. Manifestasi klinis sindroma implantasi semen tulang mencakup hipoksia


(peningkatan pintas paru), hipotensi, disritmia (termasuk blok dan henti jantung),
hipertensi pulmonal ( peningkatan resistensi pembuluh darah paru) dan penurunan
curah jantung.
2. Turnike pneumatik sering dipergunakan pada bedah artroskopi lutut untuk
mendapatkan lapangan operasi yang bersih (bloodless) yang memfasilitasi
pembedahan. Walaupun turnike terkait dengan problema yang potensial yang
mencakup, perubahan hemodinamik, nyeri, gangguan metabolik,
tromboembolusarteri, dan juga embolusparu.
3. Sindroma klasik emboluslemak terjadi dalam 24 jam setelah operasi tulang panjang,
pelvik, dengan trias dispnea, konvulsi dan petikie.
4. Trombosis vena dalam (deep vein thrombosis/DVT)dan embolusparu dapat menjadi
penyebab utama kesakitan dan kematian setelah operasi ortopedi pelvis dan tungkai
bawah.
5. Anestesia neuroaksial atau kombinasi dengan anestesia umum dapat mengurangi
komplikasi tromboembolus dengan beberapa mekanisme, meliputi terjadinya
simpatektomi yang akan meningkatkan aliran darah vena ekstremitas bawah, efek anti
inflamatori sistemik dari obat analgetik lokal, menurunkan reaktivitas platelet,
mengurangi peningkatan faktor VIII dan von Willebrand pascabedah, mengurangi
penurunan antitrombin III pascabedah, dan perubahan pelepasan stres hormon.
6. Pemasangan jarum atau kateter epidural (atau penarikannya) umumnya tidak
dilakukan dalam 6-8 jam setelah pemberian dosis kecil subkutan dari unfractionated
heparin, atau dalam 12-24 jam low molecular weight heparin. Walaupun kemungkinan
trauma lebih kecil, analgesia spinaldapat mempunyai risiko yang sama.

GAMBARAN UMUM

241
Untuk dapat memberikan anestesia pada operasi ortopedi diperlukan pengetahuan dan
keterampilan dalam memahami prosedur pembedahan ortopedi, terapi cairan, penatalaksanan
nyeri pascabedah, penggunaan turnike pneumatik, memahami patofisiologi emboluslemak,
rematoid artritis, profilaksis deep vein thrombosis (DVT), tromboembolusdan embolusparu,
serta hubungan antara analgesia regional dan antikoagulan.

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu melakukan anestesia untuk operasi
ortopedi berupa tindakan anestesia umum dengan sungkup atau LMA, analgesia regional
untuk , anestesia dengan TIVA, memahami prosedur pembedahan ortopedi, terapi cairan,
penatalaksanan nyeri pascabedah, penggunaan turnike pneumatik, memahami patofisiologi
emboluslemak, reumatoid artritis, profilaksis deep vein thrombosis (DVT),
tromboembolusdan embolusparu, serta hubungan antara analgesia regional dan antikoagulan.

METODE PEMBELAJARAN

Proses pembelajaran dilaksanakan melalui metode:

1. Integrated, Independen, dan pembelajaran berdasarkan problema.


2. Kuliah perkenalan
3. Diskusi kelompok keciland feed back
4. Peer assisted learning (PAL)
5. Bedside teaching, problema penatalaksanaan pasien
6. Simulasi pasien, skenario, pajangan dll
7. Task-based medical education.

Peserta didik paling tidak sudah harus mempelajari:

1. Bahan acuan (references)


2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran

Penuntun belajar (learning guide) terlampir

Tempat belajar (training setting), kamar bedah elektif, kamar bedah


darurat, Post Anesthetic Care Unit (PACU).

242
MEDIA

1. Kuliah
2. Belajar mandiri
3. Kursus / Pelatihan
4. Grup diskusi
5. Visite, bed site teaching PACU
6. Bimbingan di kamar bedah.
7. Kasus morbiditas dan mortalitas
8. Continuing Profesional Development (CPD)

ALAT BANTU PEMBELAJARAN

1. Virtual patients
2. Reading assigment
3. Audiovisual
4. Perpustakaan, internet, skill lab

EVALUASI

1. Kognitif :
EMQ (Extended Medical Question)

Multiple observations and assessments

Multiple observers/raters

OSCE (Objective Structure Clinical Examination)

Minicheck

2. Skill/psikomotor :
Multiple observations and assessments

Multiple observers

243
OSCE

Minicheck

3. Communication and Interpersonal Skills


Multiple Observations and assessments

Multiple observers/rater

4. Profesionalisme
Multiple Observations and assessments

Multiple observers/rater

Pre tes:

1. Jelaskan tentang teknik anestesia umum atau lokal atau regional untuk
prosedur bedah ortopedi rawat jalan dan rawat inap.
2. Jelaskan tentang teknik anestesia blok subarahnoid (SAB).
3. Jelaskan tentang pemberian terapi cairan selama dan pasca pembedahan
4. Jelaskan pemberian transfusi darah dan komponen darah
5. Jelaskan tentang dampak turnike pneumatik.
6. Jelaskan tentang embolus lemak, trombosis vena dalam, embolus paru
7. Jelaskan tentang penanggulangan nyeri pascabedah ortopedi

Bentuk Ujian :

1. Ujian pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan.

2. Ujian akhir rotasi (postes tulis dan ujian pasien)

3. Ujian akhir profesi (lisan/ujian nasional)

Bisa dalam bentuk :

1.Kognitif

- EMQ (Extended Medical Question)


- Multiple observation and assessments
- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
20. Skill/psikomotor

244
- Multiple observation and assessments
- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
21. Affective : Profesionalisme, Communication and Interpersonal Skills
- Multiple observation and assessments
- Multiple observers

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia Sudah Belum


dilakukan dilakukan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1 Anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang

2 Penentuan ASA :

3 Persiapan alat, mesin pembiusan, STATIK, obat

4 Pemasangan monitor

ANESTESIA

1 Anestesia umum (intubasi, LMA)

2 Anestesia subarahnoid

3 Anestesia intravena

4 Pemberian cairan dan transfusi

5 Komplikasi dan penanganannya

PENATALAKSANAAN PASCABEDAH

1 Pengawasan ABC dan tanda vital

2 Penanganan mual muntah dan nyeri pascabedah

245
Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda ( )

DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur Standard atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur Standard atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

246
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak
Melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

MATERI ACUAN

a.definisi :

Anestesia untuk bedah ortopedi I , dimaksudkan merupakan tindakan anestesia untuk


tindakan bedah pada kasus kasus ortopedi sederhana ( misalnya reposisi patah tulang tertutup,
debridement patah tulang terbuka , ORIF anggota gerak bawah, artroskopi sendi lutut, dll),

247
dengan PS ASA 1-2, bisa berupa sungkup atau LMA (inhalasi), TIVA, regional SAB.

b. ruang lingkup :

Sungkup atau LMA inhalasi


TIVA
Regional SAB
c. indikasi :

Kasus bedah ortopedi sederhana, seperti :

Reposisi patah tulang tertutup


Debridement patah tulang terbuka
ORIF anggota gerak bawah
Artroskopi sendi lutut.
d. pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk menentukan PS ASA , berdasarkan status


atau keadaan pasien saat tersebut.

Setelah memahami, menguasai dan mengerjakan modul ini, maka diharapkan seorang ahli
anestesia akan memiliki kompetensi melakukan tindakan anestesia dan penerapannya dapat
dikerjakan di RS Pendidikan dan RS jaringan pendidikan.

Anestesia umum dengan sungkup atau LMA

Persiapan operasi, puasa 6-8 jam (dewasa), atau 4 jam( anak-anak )


Pasang infusi dengan IV kateter yang besar
Periksa sumber oksigen dan gas anestesia lainnya (N2O)
Periksa kesiapan mesin anestesia, tes mesin dengan manual baging maupun dengan
ventilator
Premedikasi dengan opiod (petidin,fentanil,morfin) dan sedatif (diazepam,
midazolam) selama 10-15 menit
Preoksigenasi dengan O2 6-8 l/menit 3-4 menit
Induksi dengan induktor seperti propofol,tiopental,ketamin, etomidat
Sungkup

Gunakan sungkup dengan obat anestetik inhalasi (halotan,isofluran,sevofluran) dengan


menaikkan konsentrasinya secara bertahap setiap 4 kali tarikan nafas sampai
mencapai 1-2 kali MAC
Rumatan dengan O2 2l/menit : N2O 2l/menit dan obat anestetik inhalasi
(halotan,isofluran,sevofluran) 0,5-2 % untuk anak dan bayi sesuai dengan Fresh Gas

248
Flow (FGF) sementara pasien bernafas spontan.
LMA

Bila menggunakan LMA maka LMA dipasang setelah pasien dalam keadaan tidur
dalam ditandai dengan hilangnya refleks bulu mata, kemudian disambungkan ke
konektor mesin anestesia dan berikan obat anestetik inhalasi 1 kali MAC.
Rumatan O2 2l/menit : N2O 2l/menit dan obat anestetik inhalasi
(halotan,isofluran,sevofluran) 0,5-2 % untuk anak dan bayi sesuai dengan FGF dan
pasien bernafas spontan
Selesai operasi pasien dibangunkan dengan nenurunkan obat inhalasi secara bertahap
sampai nol dan mematikan N2O dan menaikkan O2 6-8 l/ menit sampai pasien sadar
benar bisa angkat kepala atau bisa berkomunikasi
Pasien ditransport ke PACU dan diobservasi minimal 2jam

Komplikasi Anestesia

Trauma ( iritasi) daerah wajah karena sungkup muka


LMA dapat menyebabkan trauma di rongga mulut
Depresi nafas
Sadar lama

Anestesia Total Intra Vena

Persiapan operasi, puasa 6-8 jam (dewasa), atau 4 jam( anak-anak )


Pasang infusi dengan IV kateter yang besar
Periksa sumber oksigen dan gas anestesia lainnya (N2O)
Periksa kesiapan mesin anestesia, tes mesin dengan baging manual maupun dengan
ventilator
Premedikasi dengan opiod (petidin, fentanil, morfin) dan sedatif (diazepam,
midazolam) selama 10-15 menit
Preoksigenasi dengan O2 6-8 l/menit 3-4 menit
Induksi dengan anestesia intravena seperti propofol, tiopental, ketamin, etomidat
Rumatan dengan anestesia intravena seperti propofol, tiopental, ketamin, etomidat
sesuai dengan dosis
Selesai operasi pasien dibangunkan sampai pasien sadar benar bisa angkat kepala atau
bisa berkomunikasi
Pasien ditransport ke PACU dan diobservasi minimal 2jam

Komplikasi

Depresi nafas
Nyeri daerah suntikan

249
Anestesia dengan Regional Blok Subarahnoid (SAB)

250
No Prosedur Anestesia Blok Subarahnoid

(pendekatan cara midline)

Prabeban dengan cairan (RL,Rsol,NS,Koloid) 500-1000 ml

1 Periksa kesiapan alat dan obat analgetik lokal yang diperlukan.

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk asepsis dan antisepsis

3 Posisikan pasien lateral dekubitus atau duduk, ganjal bahu dan kepala pasien bila
diposisikan lateral dekubitus.

4 Tentukan penunjuk anatomi celah antara L2-3, L3-4 atau L4-5. Celah antara L3-4
atau prosesus spinosus L4 tegak lurus dari spina iliaka anterior superior.

5 Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada penunjuk anatomi yang ditentukan.

6 Berikan analgesia lokal pada celah yang akan dilakukan penusukan jarum spinal.

7 Lakukan penusukan jarum spinal (atau introduser) pada celah yang telah diberi
analgesia lokal. Penusukan jarum harus sejajar dengan prosesus spinosus atau
sedikit membentuk sudut kearah sefalad, dengan arah bevel ke lateral atau sefalad.

8 Dorong jarum sampai melewati resistensi ligamentum flavum dan dura, terasa
kehilangan tahanan pada rongga subarahnoid.

9 Cabut mandren jarum, dan pastikan posisi jarum sudah tepat yang ditandai dengan
mengalir keluar cairan serebrospinal yang bening. Jarum dapat dirotasikan 90
untuk memastikan kelancaran likuor yang keluar. Penusukkan harus diulang bila
likuor tidak keluar atau keluar darah.

10 Sambungkan jarum dengan spuit berisi obat analgetik lokal yang sudah
dipersiapkan. Aspirasi sedikit likuor, bila lancar suntikan obat analgetik lokal
secara perlahan. Lakukan aspirasi ulang untuk memastikan ujung jarum tetap pada
posisi yang tepat dan suntikan kembali obat.

11 Setelah selesai cabut jarum dan kembalikan posisi pasien sesuai dengan yang
diinginkan.

Cara penyuntikkan paramedian pada dasarnya sama seperti di atas, hanya jarum
spinal disuntikkan pada 1,5 sm lateral dan 1sm kaudal dari celah penyuntikkan
yang dituju.

251
ANESTESIA UNTUK BEDAH ORTOPEDI II

MODUL 12
Komplikasi
Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 4)
Sulit
Sesi bernafaskarena
di dalam kelas ketinggian BlockRotasi
(Th 4 pada
keatas)
Semester 4 (total 8 pekan/2bulan)
Hipotensi
Sesi denganatau
PDPH fasilitasi
NyeriPembimbing
Kepala Pasca SAB Meliputi bedah ortopedi elektif tertentu, darurat
Hematom daerah insersi dan trauma.
Sesi praktek dan pencapaian
kompetensi Kompetensi didapat dengan pembelajaran teori
dan praktek dilakukan utamanya di kamar bedah
Referensi : elektif dan darurat

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed,
New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
PERSIAPAN SESI PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
2. Barash
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
Audiovisual Aid:

1. LCD Proyektor dan layar


2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Pemutar video
Materi presentasi:

CD PowerPoint

Sarana:

1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU

Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

Morgan GE. Clinical Anaesthesia 4th ed 2006


Barash PG. Clinical Anaesthesia 4th ed. 2006
Miller RD. Millers Anaesthesia 4th ed, 2005
Robert K. Stoelting. Pharmacology and Physiology in Anesthetic Practice . 2006
TUJUAN UMUM
252

Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan mampu melakukan anestesia umum
M0DUL 13 ANESTESIA BEDAH ONKOLOGI
DAN PLASTIK

Mengembangkan kompetensi Waktu (semester 3)

Sesi dalam kelas 2 x 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasilitas pembimbing 3 x 2 jam (coaching session)

Sesi praktek dan pencapaian kompetensi 8 pekan (facilitation & assessment)

Persiapan Sesi

Audiovisual Aid:
1. LCD Proyektor dan layar
2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Pemutar video
Materi presentasi: CD PowerPoint
1. Indikasi persiapan anestesia bedah umum dan digestif khusus

dengan penyulit

2. Persiapan preoperatif

3. Teknik anestesia

4. Pencegahan komplikasi anestesia

5. Penatalaksaan pasien pasca-anestesia

6. Teknik rekam medis anestesia

Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Kamar operasi
4. Ruang pulih
5. Bangsal rawat

253
Kasus : anestesia pasien langsung , di ruang rawat, kamar pemeriksaan dan kamar operasi
Alat bantu latih : model anatomi /Simulator tidak ada
Penuntun belajar : lihat materi acuan
Daftar tilik kompetensi : lihat daftar tilik
Referensi :
3. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 3th
ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2002
2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006

3. Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005

4. Martini FH. Fundamental of Anatomy & Physiology. 7th ed. 2006

Selain referensi wajib di atas, peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari referensi
tambahan untuk sub-modul persiapan alat dan obat anestetik yang lain.

1. Tujuan Pembelajaran umum

Setelah melalui sesi ini peserta didik mempunyai pengetahuan dan kemampuan untuk melakukan
pelayanan anestesiologi untuk berbagai prosedur bedah onkologi dan bedah plastik, mencakup
evaluasi pasien preoperatif, merancang pelaksanaan anestesia, pemberian anestesia intraoperatif ,
pemantauan pasien, dan penatalaksanaan masa siuman (emergence) dan masa pemulihan

2.Tujuan Pembelajaran Khusus

Kognitif

Pada akhir stase atau rotasi peserta mampu

1. Menjelaskan anestesia untuk bedah onkologi umum, bedah rekonstruksi atau bedah
plastik, prosedur flap, abdominoplasty, breast reduction, skin grafting.
2. Melakukan identifikasi problema preoperatif yang umum ditemukan pada pasien
onkologi dan plastik/rekonstruksi dan membuat rencana anestesia yang tepat untuk
prosedur bedah yang paling sering .
3. Melakukan identifikasi dan mengatasi problema-problema umum pada pasien onkologi
dan bedah rekonstruksi trauma serta menjelaskan persiapan preoperatif untuk

254
pembedahan onkologi/rekonstruksi termasuk puasa dan penggunaan antasid, antagonis
H2 dan antiemetik
4. Merencanakan dan memilih alat dan obat analgetik lokal untuk semua prosedur analgesia
regional, sesuai dengan lama, lokasi prosedur bedah, dan beratnya penyakit.
5. Menjelaskan dasar farmakologi analgetik lokal, termasuk hal khusus yang menentukan
onset, durasi , potensi dan toksisitas.
6. Membahas topik topik anestesia yang khusus untuk bedah onkologi dan rekonstruksi
7. Menjelaskan problema penyakit penyerta, seperti penyakit respirasi, hipertensi, penyakit
arteri koroner, diabetes melitus dan penyakit endokrin/metabolik yang lain.
8. Menjelaskan dan membedakan penanggulangan nyeri dengan patient controlled
analgesia (PCA) menggunakan beberapa jenis opiat , subarahnoid, epidural, kateter saraf
perifer kontinyu, obat-obat antiinflamatori nonsteroid.
9. Menjelaskan teknik hemodilusi dan konservasi darah perioperatif.

Psikomotor

Pada akhir stase peserta harus mampu:

1. memberikan anestesia umum dengan alat dan obat yang benar dan penatalaksanaan
pasien intraoperatif dengan sesedikit mungkin intervensi oleh staf.
2. Melakukan analgesia regional dengan alat dan obat yang benar dan penatalaksanaan
pasien intraoperatif dengan sesedikit mungkin intervensi oleh staf.
3. Melakukan tindakan anestesia yang benar dan aman untuk:
a. bedah onkologi kepala dan leher
b. bedah plastik kepala dan leher
c. prosedur flap
d. abdominoplasty
e. breast reduction dan reconstruction
f. skin grafting.
4. Mampu mengelola jalan nafas sulit pada bedah onkologi dan bedah plastik daerah kepala
leher

Komunikasi dan Keterampilan interpersonal

Pada akhir rotasi, peserta akan:

1. Mengetahui cara mengadakan rencana bersama anestesia-bedah untuk prosedur-prosedur


yang akan dilakukan sebelum masuk kamar bedah
2. Mengetahui kebutuhan untuk tim kamar bedah guna mendukung tindakan anestesia,
seperti analgesia regional dan pemantauan invasif
3. Menjamin cukup tenaga untuk memposisikan pasien dan pemindahan pasien
4. Mengetahui jenis kebutuhan antibiotik untuk pasien
5. Menentukan kebutuhan dan ketersediaan darah
6. Komunikasi dengan ahli bedah tentang waktu turnike

255
Profesionalisme

1. Mampu melakukan identifikasi rencana pembedahan


2. Mampu memberi kemudahan pada ahli bedah
3. Mampu memberitahukan keadaan pasien pada ahli bedah
4. Mampu memberi analgesia yang adekuat pascabedah

3. Key notes

1. Untuk pembedahan onkologi dan bedah plastik daerah kepala-leher-mulut dapat


mempengaruhi jalan nafas

2. Setelah pembedahan onkologi dan bedah plastik daerah kepala-leher-mulut dapat terjadi
perdarahan yang sulit terjadi

3. Pokok bahasan /Subpokok bahasan

Residen pada akhir rotasi harus mengerti:

1. Bedah onkologi umum


2. Bedah plastik dan rekonstruksi
3. Anestesia umum pada bedah onkologi dan bedah plastik
4. Analgesia regional pada bedah onkologi dan bedah plastik

4. Waktu : Rotasi atau stase selama 2 bulan pada tahapan klinis pertama/semester 2

5. Metode:

Pre-tes

1. Menjelaskan teknik anestesia umum dan analgesia regional yang dibutuhkan untuk bedah
onkologi dan bedah plastik
2. Menjelaskan penatalaksanaan jalan nafas sulit
Kognitif

1. Pembelajaran terpadu
2. Pembelajaran independen
3. Pembelajaran berdasarkan problema
4. Kuliah perkenalan
5. Diskusi kelompok kecil dan umpan balik
6. Problema penatalaksanaan pasien
7. Simulasi pasien, skenario, pajangan dll

256
Skill

1. Demonstrasi/pajangan dan supervisi klinis


2. Problema penatalaksanaan pasien
Communication and Interpersonal Skill

1. Demonstrasi/pajangan dan supervisi klinis


2. Problema penatalaksanaan pasien
Profesionalisme

1. Problema penatalaksanaan pasien


Pengetahuan

1. Kuliah perkenalan
2. Diskusi kelompok kecil, and feed backs.

6. Sumber Pembelajaran/Media

1. Virtual patients
2. Reading assigment
3. Audiovisual

7. Evaluasi

1. Kognitif :
EMQ (Extended Medical Question)

Multiple observations and assessments

Multiple observers/raters

OSCE (Objective Structure Clinical Examination)

Minicheck

2. Skill :
Multiple observations and assessments

Multiple observers

OSCE

Minicheck

3. Communication and Interpersonal Skills

257
Multiple Observations and assessments

Multiple observers/rater

4. Profesionalisme
Multiple Observations and assessments

Multiple observers/raters

5. Pengetahuan
MCQ (Pre-tes)

EMQ (Extended Medical Question)

8. Uraian:

Anestesia pada bedah onkologi dan bedah plastik

1. Melakukan kunjungan preoperatif untuk menilai kondisi pasien dan prosedur operasi
yang akan dilakukan (lihat modul perioperatif care)
2. Menetapkan status fisis pasien, merencanakan tindakan anestesia yang akan dilakukan
dan memperoleh persetujuan setelah mendapatkan informasi
3. Bila akan dilakukan anestesia umum lihat modul anestesia umum
4. Bila akan dilakukan analgesia regional lihat modul analgesia regional
5. Tindakan pada masa siuman atau emergence lihat modul anestesia umum
6. Penangulangan nyeri pascabedah lihat modul anestesia umum dan analgesia regional.

9. Kata kata kunci

1. Anestesia umum
2. Analgesia regional
3. Penanggulangan nyeri pascabedah
4. Intubasi sulit
5. Bedah onkologi
6. Bedah plastik dan rekonstruksi
7. Nyeri pascabedah

10. Daftar cek penuntun belajar prosedur anesthesia

258
Sudah Belum
dikerjakan dikerjakan
No Daftar cek penuntun belajar prosedur anetesia

Kunjungan preoperasi

1. Penilaian pasien pemeriksaan fisis dan laboratorium

2. Penetapan status fisis pasien

3. Merencanakan tindakan anestesia umum atau regional

4. Merencanakan algoritma pada intubasi sulit

5. Merencanakan penanggulangan nyeri pascabedah

6. Informed consent

7. Menyiapkan kelengkapan alat-alat dan obat-obat untuk


tindakan anestesia yang telah direncakan, termasuk
mesin anestesia, cairan, darah, alat dan obat-obat
resusitasi dll

8. Menyiapkan jenis pemantauan selama anestesia

9. Menyiapkan pengaturan posisi pasien selama operasi

10. Merencakan teknik khusus : seperti teknik hipotensi bila


diperlukan

11. Melakukan antisipasi terhadap keadaan emergence

12. Mempersiapkan terapi nyeri pascabedah

13. Mengetahui indikasi pasien masuk ICU

11. Daftar tilik

Berikan tanda v dalam kotak yang tersedia bila keterampilan telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda x bila tidak dikerjakan serta T/D bila tidak dilakukan pengamatan

259
v Memuaskan: Langkah/tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur Standard atau

penuntun

x Tidak memuaskan: Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/tuga sesuai prosedur

Standard atau penuntun

T/D Tidak diamati: Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta didik

selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal

Nama pasien No.Rekam medis

Daftar Tilik

No Kegiatan/ Tindakan Anestesia Kesempatan ke

1 2 3 4 5

260
Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih/pengajar

Layak

Tidak layak

Melakukan prosedur Nama terang pelatih/pengajar

MATERI ACUAN :

Materi Acuan Anestesia bedah onkologi-plastik

Kasus pasien bedah onkologi pada umumnya adalah kasus dengan pembesaran yang tampak
dan atau teraba pada permukaan kulit mulai dari kepala sampai ujung kaki. Kasus bedah plastik
adalah bedah plastic rekonstruksi dan bedah plastik kosmetik. Anestesia pada bedah onkologi-
plastik dapat dilakukan dengan anestesia umum atau analgesia regional.

Teknik anestesia umum maupun regional tidak ada kekhususan tertentu.

261
Beberapa problema yang dapat dihadapi pada tindakan anestesia adalah kusulitan jalan nafas,
perdarahan atau karena kondisi penyakit primer berat yang dialami pasien.

Kasus-kasus dengan kesulitan ventilasi atau kesulitan intubasi misalnya tumor besar daerah leher
kepala, tumor rongga mulut apalagi bila mudah berdarah, harus selalu dipikirkan rencana
tindakan penatalaksanaan jalan nafas dan anestesia yang akan dilakukan. Pada keadaan bahwa
kesulitan mempertahankan jalan nafas sudah dapat diprediksi, algoritma jalan nafas sulit sudah
harus direncanakan, sehingga alat-alat dan obat-obatan yang diperlukan sudah dipersiapkan lebih
dulu (lihat modul Anestesia bedah THT). Apabila diprediksi bahwa tidak akan sulit ternyata sulit
intubasi, dan pasien sudah dalam keadaan tidak sadar upayakan untuk membangunkan pasien
kembali. Pada kasus yang diduga akan timbul perdarahan karena operasi, jalur intravena dengan
kanula intravena diameter besar harus sudah dipersiapkan.

REFERENSI

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 3th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2002
2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006

3. Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005

M0DUL 13 ANESTESIA BEDAH UROLOGI


Mengembangkan kompetensi Waktu: Semester 3

Sesi dalam kelas 2 x 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasilitasi pembimbing 3 x 2 jam (coaching session)

Sesi praktek dan pencapaian kompetensi 8 pekan (facilitation & assessment)

262
Persiapan Sesi

Audiovisual Aid:
6. LCD Proyektor dan layar
7. Laptop
8. OHP
9. Flipchart
10. Pemutar video
Materi presentasi: CD PowerPoint Presentation
1. Indikasi persiapan anestesia bedah urologi dengan penyulit

2. Persiapan-persiapan preanestesia bedah urologi

3. Teknik anestesia bedah urologi

4. Pencegahan komplikasi-komplikasi anestesia bedah urologi

5. Penatalaksaan pasien pasca-anestesia bedah urologi

6. Teknik rekam medis anestesia bedah urologi

Sarana:
6. Ruang belajar
7. Ruang pemeriksaan pasien
8. Kamar operasi
9. Ruang pemulihan
10. Bangsal perawatan
Kasus: anestesia pasien langsung , di ruang rawat, di kamar pemeriksaan, dan kamar operasi
Alat Bantu Latih: Model Anatomi / Simulator tidak ada
Penuntun Belajar: lihat Materi Acuan
Daftar Tilik Kompetensi: lihat Daftar Tilik
Referensi:
1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 3 th ed, New York-Chicago-San
Francisco: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006.
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anesthesia, 5 th ed, New York: Lippincott Williams
& Wilkins; 2006
3. Miller RD. Millers Anesthesia, 6th ed, Philadelphia-London-Toronto: Churchill Livingstone;
2005
4. Martini FH. Fundamental of Anatomy & Physiology. 7th ed, 2006

Selain referensi wajib di atas, peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari referensi tambahan
untuk Sub-Modul Persiapan Alat dan Obat anestetik yang lain.

1.Tujuan Pembelajaran Umum

263
Setelah mengikuti modul ini, peserta didik akan mampu memberikan anestesia pada tindakan
diagnostik dan/atau bedah urologi, sistoskopi, bedah prostat, onkologi urologi, operasi batu ginjal terbuka,
dan operasi uretero-reno sistoskopi.

1.1.Tujuan Pembelajaran Khusus

Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan:

1.1.1.Kognitif:

Menjelaskan indikasi untuk pembedahan urologi


Menjelaskan persiapan preanestesia untuk pembedahan urologi, termasuk pasien gagal ginjal dengan
hemodialisa reguler.
Menjelaskan implikasi perioperatif gagal ginjal akut/kronik
Menjelaskan konsekuensi fisiologik operasi endoskopik prostat
Menjelaskan posisi untuk nefrektomi
Menjelaskan implikasi perdarahan vena kava inferior karena keganasan ginjal
Menjelaskan implikasi penyakit primer yang menyertai bedah urologi termasuk distres pernafasan,
hipertensi, penyakit jantung koroner, dan diabetes
Menjelaskan penanggulangan nyeri pascabedah dengan obat-obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID)dan
opioid epidural/sistemik
Menjelaskan analgesia regional untuk bedah urologi mayor
Menjelaskan implikasi Extracorporeal Shock Wave Lithothrypsi (ESWL)
Menjelaskan gejala-gejala dan tanda-tanda sindroma Transurethral Reseksion of the Prostate
(TURP syndrome)

1.1.2.Psikomotor:

Mampu melakukan penatalaksanaan jalan nafas normal atau dengan derajat kesulitan sedang memakai
bag-mask, LMA, dan pipa endotrakeal
Mampu mengoperasionalkan alat-alat pemantauan secara benar dan menjelaskan risiko dan keuntungan
penggunaan pemantauan invasif
Mampu melakukan dan mempertahankan akses vena
Mampu melakukan induksi dan pemeliharaan anestesia umum pada pasien ASA-I dan II, serta ASA III
dan IV dengan lebih mandiri
Mampu memberikan analgesia regional spinal, epidural secara lebih mandiri
Mampu menginterpretasi hasil analisa gas darah, dan menjelaskan gangguan keseimbangan asam-basa
yang paling sering, termasuk asidosis dan alkalosis metabolik serta perencanaan terapinya
Mampu mengenali gejala-gejala dan tanda-tanda sindroma TURP dan cara penatalaksanaannya.

1.1.3.Keterampilan Komunikasi Interpersonal(KIP):

Pada akhir stase peserta didik akan:

1.1.3.1.Mengetahui pembuatan rencana bersama anestesia-bedah untuk prosedur-prosedur


sebelum masuk ke kamar operasi.

264
1.1.3.2.Mampu menjelaskan kepada pasien atau keluarga pasien untuk memperoleh persetujuan
setelah mendapatkan informasi tentang manfaat dan risiko anestesia.

1.1.3.3.Mengetahui kebutuhan-kebutuhan untuk mendukung prosedur anestesia, seperti


analgesia regional dan pemantauan selama tindakan bedah-anestesia

1.1.3.4.Menjamin kebutuhan tenaga untuk dapat mengatur posisi pasien atau memindahkan
pasien

1.1.3.5.Mampu menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien kebutuhan dan manfaat dari
obat analgetik.

1.1.3.6.Mengetahui kebutuhan antibiotika profilaksis untuk pasien

1.1.3.7.Mampu untuk menentukan berapa kebutuhan darah untuk operasi urologi tertentu.

1.1.3.8.Mampu membicarakan bersama (diskusi) dengan bagian bedah kemungkinan-


kemungkinan yang terjadi dari prosedur bedah yang akan dilakukan, misalnya
sindroma TURP.

1.1.3.9.Mampu melakukan komunikasi tentang kondisi pasien dengan petugas ruang pemulihan
tentang kesulitan penatalaksanaan pasien (misal sindroma TURP)

1.1.4.Profesionalisme:

Pada akhir stase peserta didik harus:

1.1.4.1.Mengetahui rencana pembedahan

1.1.4.2.Mampu melakukan tindakan sesuai prosedur baku.

1.1.4.3.Mampu memberi kemudahan untuk prosedur bedah

1.1.4.4.Mampu mengkomunikasikan problema-problema pasien kepada ahli bedah urologi


terutama dalam kondisi yang tidak baik.

1.1.4.5.Mampu mengetahui dan mengatasi problema-problema yang terjadi pada saat maupun
pasca pembedahan urologi khusus, misalnya sindroma TURP dan perdarahan
pascabedah.

1.1.4.6.Mampu menciptakan kemudahan perawatan di PACU

1.1.4.7.Mampu mengatasi nyeri pascabedah yang optimal dengan berbagai teknik analgesia

2.Keynotes

265
2.1.Posisi litotomi merupakan posisi yang paling sering dipergunakan untuk pasien bedah urologi dan
ginekologi. Posisi yang tidak tepat dapat menyebabkan cedera iatrogenik.

2.2.Posisi litotomi berkaitan dengan perubahan fisiologi yang penting; kapasitas residu fungsional
berkurang, memprediksi pasien terjadi atelektasis dan hipoksia. Menaikkan kaki akan
meningkatkan aliran balik vena. Elevasi kedua tungkai dapat meningkatkan aliran balik darah
vena mendadak. Tekanan Arteri Rata-rata (MAP) sering meningkat, tetapi curah jantung tidak
berubah signifikan. Sebaliknya, menurunkan kedua tungkai mendadak akan menurunkan aliran
balik darah vena yang menyebabkan hipotensi. Tekanan darah selalu segera diukur setelah
tungkai diturunkan.

2.3.Karena durasi prosedur pendek (15-20 menit) dan setting outpatient dari sistoskopi, biasanya
dipergunakan anestesia umum.

2.4.Anestesia epidural dan spinal dapat menghasilkan anestesia yang memuaskan. Level blok sampai
T10 menghasilkan anestesia yang baik untuk hampir semua prosedur traktus urinarius bagian
bawah misalnya sistoskopi, sedangkan level blok sampai T 6 untuk tindakan traktus urinarius bagian
atas.

2.5.Manifestesi sindroma TURP mencakup terutama overload cairan sirkulasi, intoksikasi air, dan
biasanya toksisitas cairan irigasi.

2.6.Absorbsi cairan irigasi yang terjadi bergantung pada lama irigasi dan tekanan / tinggi letak cairan
irigasi.

2.7.Jika dibandingkan dengan anestesia umum, analgesia regional sedikit menimbulkan kejadian
trombosis pascabedah; juga lebih sedikit menyembunyikan gejala dari sindroma TURP atau
perforasi buli-buli.

2.8.Pasien dengan riwayat aritmia jantung dan pasien yang mempunyai alat pacu jantung atau
internal cardiac defibrilator (ICD) dapat mempunyai risiko yang dicetuskan oleh shock wave
selama extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL). Shock wave dapat merusak komponen
dalam pacu jantung dan ICD.

3.Pokok Bahasan/Subpokok Bahasan

1. Gagal ginjal akut


2. Gagal ginjal kronik
3. Hemodialisis .
4. Akses vena untuk hemodialisis ( kanulasi kateter HD-lumen )
5. Gejala-gejala uremik
6. Sindroma TURP
7. Prostatektomi radikal
8. Operasi ileal conduit pada keganasan buli-buli
9. Analgesia regional pada bedah prostat

266
4.Waktu

Rotasi dilakukan selama 2 (dua) bulan dapat dilakukan pada tahun pertama untuk kasus operasi
urologi ringan sampai sedang dan tahun ketiga untuk kasus-kasus operasi urologi berat (lihat pemetaan
kurikulum).

5.Metode

5.1.Pre-tes:

5.1.1.Jelaskan kekhususan teknik anestesia pada bedah urologi

5.1.2.Jelaskan cara melakukan posisi pasien pada operasi ginjal

5.1.3.Jelaskan kekhususan pasien dengan hipertrofi prostat

5.1.4.Jelaskan sindroma TURP

5.1.5.Jelaskan teknik anestesia pada gagal ginjal kronik

5.1.6.Jelaskan teknik anestesia pada gagal ginjal akut

5.1.7.Jelaskan anestesia pada litotripsi

5.2.Strategi Pembelajaran:

5.2.1.Pembelajaran terpadu

5.2.2.Pembelajaran independen

5.2.3.Pembelajaran berdasarkan problema

5.2.4.Practice Base Learning

5.3.Proses Pembelajaran:

5.3.1.Kuliah introduksi

5.3.2.Diskusi kelompok kecil dan umpan baliks

5.3.3.Problema penatalaksanaan pasien

5.3.4.Simulated patient, scenarios, and displays

267
6.Media

6.1.Virtual patients

6.2.Reading assignment

6.3.Audio Visual

7.Alat Bantu Pembelajaran

7.1.Ruang Kuliah

7.2.Kamar operasi

7.3.Pasien

8.Evaluasi

8.1.EMQ (Extended Medical Question)

8.2.Multiple observationl and assessments

8.3.Multiple observers

8.4.OSCE (Objective Structure Clinical Examination)

9. Daftar Cek Penuntun Belajar Prosedur Anestesia

Sudah Belum
No Daftar Cek Penuntun Belajar Prosedur Anestesia
Dikerjakan Dikerjakan

PERSIAPAN PRE ANESTESIA:

1 Informed consent

2 Puasa yang cukup

3 Pemeriksaan mesin anestesia menyeluruh

4 Pemasangan akses intravena

268
5 Pemeriksaan peralatan dan instrumen anestesia lainnya

6 Obat-obat anestetik

7 Obat-obat darurat

ANESTESIA UMUM DENGAN SUNGKUP/ETT/


LMA/TIVA:

1 Premedikasi

2 Induksi anestesia

2 Pemeliharaan anestesia

3 Pemulihan aanestesia

ANALGESIA REGIONAL: BLOK EPIDURAL/SAB

1 Posisi pasien (duduk atau lateral)

2 Penunjuk anatomi daerah tempat insersi jarum

2 Desinfeksi daerah tempat insersi jarum dan sekitarnya

3 Pemasangan kain penutup steril

4 Alat-alat dan obat-obat analgetik regional

PERAWATAN PASCA-ANESTESIA

1 Komplikasi dan penatalaksanaannya

2 Pengawasan terhadap jalan nafas, pernafasan, dan


sirkulasi (Jalan nafas, Breathing, dan Circulation)

Catatan:

Sudah dikerjakan / Belum dikerjakan beri tanda

10. DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah-langkah, tugas atau keterampilan dikerjakan oleh peserta

269
didik sesuai dengan prosedur Standard atau penuntun
Tidak Peserta didik tidak mampu untuk mengerjakan langkah-langkah, tugas
memuaskan atau keterampilan sesuai dengan prosedur Standard atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah-langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh
peserta latih selama penilaian oleh pelatih

Nama Peserta Didik: Tanggal Penilaian:


Nomor Peserta Didik:
Nama Pasien Nomor Rekam Medis:

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / Langkah Klinis
1 2 3 4 5

270
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / Langkah Klinis
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tandatangan Instruktur


Layak
Tidak layak
melakukan prosedur
(tandatangan dan nama terang)

No Kasus ke

1 2 3 4

1. Anestesia untuk bedah batu buli-buli

2. Anestesia untuk URS (Uretero Reno Sistoskopi)

3. Anestesia pada TURP (Transurethral Reseksion of the Prostate)

4. Anestesia pada TUR Buli

5. Anestesia pada batu ginjal dan posisi ginjal

6. Anestesia pada ileal conduit

7. Anestesia pada ESWL

8. Anestesia pada keganasan ginjal dengan perdarahan

9. Analgesia regional pada bedah urologi

10. Menegakkan diagnosis Sindroma TURP

11. Melakukan penanggulangan Sindroma TURP

271
MATERI ACUAN:

URAIAN ANESTESIA BEDAH UROLOGI

1.Pendahuluan:

1.1.Definisi :

Yang dimaksud dengan anestesia bedah urologi adalah tindakan anestesia untuk tindakan bedah
pada kasus-kasus urologi seperti sistostomi, operasi batu buli-buli, prostatektomi terbuka, TUR buli-
buli, TUR prostat, URS, ESWL, operasi batu ginjal, operasi pengangkatan ginjal (nefrektomi), operasi
tumor ginjal dan buli-buli dengan PS ASA 1-4, dapat berupa anestesia umum (inhalasi dengan intubasi
ETT atau LMA) maupun analgesia regional (SAB atau epidural).

1.2.Ruang Lingkup:

1.2.1.Anestesia umum (inhalasi) dengan intubasi ETT atau LMA

1.2.2.Analgesia regional SAB

1.2.3.Analgesia regional Epidural

1.3.Iindikasi:

Kasus-kasus bedah urologi seperti:

1.3.1.Sistostomi

1.3.2.Operasi batu buli-buli

1.3.3.Prostatektomi terbuka

1.3.4.TUR buli-buli

1.3.5.TUR Prostat

1.3.6.URS

1.3.7.ESWL,

1.3.8.Operasi batu ginjal (nefrektomi)

1.3.9.Operasi tumor ginjal

272
1.4.Pemeriksaan Penunjang:

Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk menentukan status fisis (PS) ASA, berdasarkan status
atau keadaan pasien saat tersebut.

2.Materi Acuan Anestesia Bedah Urologi

Bedah atau tindakan urologi meliputi sistoskopi, ureteroskopi, TURP, prostatektomi terbuka,
nefrolitotomi, nefrektomi, sistektomi radikal, orchidopexy, orchiectomy, bedah plastik urogenital, teknik
laparoskopi, transplantasi ginjal, ESWL, dan bedah laser.

Tindakan anestesia dapat dilakukan dengan anestesia umum, analgesia regional epidural atau
subarahnoid atau mungkin hanya analgesia topikal., bergantung pada jenis tindakan yang dilakukan.
Anestesia umum untuk prosedur singkat dapat dilakukan dengan anestesia intravena. Analgesia regional
untuk prosedur instrumentasi atau operasi traktus urinarius bagian atas memerlukan ketinggian blok
mencapai T6, sedang untuk traktus urinarius bagian bawah cukup sampai T 10. Bilamana akan dilakukan
anestesia umum, maka batuk harus dicegah atau pasien bergerak-gerak karena hal ini dapat menyebabkan
peningkatan perdarahan atau perforasi buli-buli karena instrumentasi.

Teknik anestesia umum dan anestesia epidural dan subarahnoid pada bedah urologi umumnya
tidak berbeda dengan prosedur bedah lain. Pemantauan fungsi-fungsi vital juga tidak berbeda dengan
tindakan bedah lain.

Beberapa hal khusus dalam bedah urologi adalah posisi, usia, komplikasi. Posisi litotomi harus
dilakukan sedemikian rupa agar tidak terjadi komplikasi akibat penekanan atau peregangan saraf
berlebihan demikian juga dengan posisi ginjal lateral dekubitus.

Usia lanjut yang sering pada pasien dengan hipertrofi prostat harus diwaspadai akan
kemungkinan menderita gangguan penyakit jantung koroner, hipertensi, gangguan pernafasan, diabetes
melitus, gangguan ginjal dan lain lain. Teknik anestesia yang akan dilakukan harus dilakukan sesuai
dengan gangguan yang diderita pasien. Komplikasi perdarahan sering terjadi pada operasi prostat terbuka,
batu cetak/staghorn, nefrektomi dengan perlengkatan pada pembuluh darah besar.

Sindroma TURP merupakan komplikasi yang terjadi karena absorbsi cairan irigasi secara
berlebihan pada waktu operasi prostat dengan TURP. Gejala dapat timbul segera/dini (absorbsi
intravaskular langsung) atau setelah beberapa jam (absorbsi peritoneal dan perivaskular). Gejala sindroma
TURP meliputi: perubahan pada susunan saraf pusat, agitasi, nausea, confusion, gangguan penglihatan,
kejang, dan koma. Gangguan kardiovaskular berupa: hiper- atau hipotensi, bradikardia, disritmia, edema
paru, henti jantung , karena fluid shift hipervolemia masuk ke ruang interstitial, dan gangguan elektrolit.
Terapi restriksi cairan, pemberian diuretik (furosemid), larutan garam hipertonik untuk hiponatremia
simptomatik secara lambat peningkatan tidak melebihi 12 mEq/L per hari.

273
Setelah memahami, menguasai dan mengerjakan modul ini, maka diharapkan seorang ahli
anestesia akan memiliki kompetensi melakukan tindakan anestesia dan penerapannya dapat dikerjakan di
RS Pendidikan atau RS Jaringan Pendidikan.

3.Kompetensi Terkait dengan Modul (List of Skill)

Tahapan-tahapan anestesia:

3.1.Persiapan Preanestesia:

3.1.1.Anamnesis

3.1.2.Pemeriksaan fisis

3.1.3.Pemeriksaan penunjang

3.1.4.Informed consent

3.2.Persiapan Premedikasi

3.3.Persiapan Pasien, Alat-alat, Obat-obatan, dan Cairan

3.4.Pelaksanaan Anestesia:

3.4.1.Konsulen demonstrasi dengan kelompok

3.4.2.Dengan bimbingan konsulen

3.4.3.Melakukan sendiri atas pengawasan konsulen

3.5.Pengakhiran Anestesia

3.6.Follow-up Pasca-anestesia:

3.6.1.Manajemen nyeri pascabedah.

3.6.2.Terapi cairan, nutrisi, dan lain-lain.

4. algoritma dan Prosedur

Tidak ada

5.Teknik Anestesia

5.1.Anestesia umum dengan intubasi ETT

274
5.2.Anestesia umum (inhalasi) dengan LMA

5.3.Analgesia regional SAB

5.4.Analgesia regional blok epidural

5.1. Anestesia Umum dengan Intubasi ETT atau LMA:

5.1.1.Persiapan operasi: puasa 6-8 jam (dewasa), atau 4 jam( anak-anak )

5.1.2.Pasang akses vena (infusi) dengan kateter intravena diameter besar

5.1.3.Periksa sumber oksigen dan gas anestesia lainnya (N2O)

5.1.4.Periksa kesiapan mesin anestesia, tes mesin dengan manual baging maupun dengan
ventilator

5.1.5.Pasien di premedikasi dengan opiod (petidin, fentanil, atau morfin) dan sedatif (diazepam,
midazolam) selama 10-15 menit

5.1.6.Preoksigenasi dengan O2 6-8 l/menit 3-5 menit

5.1.7.Induksi dengan induktor seperti propofol, tiopental,ketamin, atau etomidat

5.1.8.Injeksi relaksan (depolarisasi atau non depolarisasi) seperti suksinilkolin atau rokuronium

5.1.9.Intubasi dengan ETT (kingking atau non-kingking)

5.1.10.Rumatan anestesia dengan O2 2 ltr/menit : N2O 2 ltr/menit dan inhalation agent (halotan,
isofluran, atau sevofluran) 0,5-2% untuk anak dan bayi sesuai dengan Fresh Gas Flow
(FGF) dan relaksan otot.

5.1.11.Untuk LMA; LMA dipasang setelah pasien sudah tidur dalam ditandai dengan hilangnya
refleks bulu mata, kemudian di sambungkan ke konektor mesin anestesia dan diberikan
inhalation agent 1 kali MAC dan rumatan O 2 2 ltr/menit : N2O 2 ltr/menit dan inhalation
agent (halotan, isofluran, atau sevofluran) 0,5-2 % untuk anak dan bayi sesuai dengan FGF
dan pasien bernafas spontan

5.1.12.Selesai operasi, pasien dibangunkan dengan menurunkan inhalation agent secara bertahap
sampai nol dan menutup N2O dan menaikkan aliran O2 6-8 ltr/menit sampai pasien sadar
benar (dapat angkat kepala atau dapat berkomunikasi)

5.1.13.Untuk yang menggunakan relaksan otot, direversal dengan prostigmin dan atropin sulfat
setelah pasien sudah nafas spontan dan bisa mengangkat kepala

5.1.14.Ekstubasi setelah pasien sadar penuh dan dapat mengangkat kepala dan mengikuti perintah

5.1.15.Pasien ditransport ke PACU dan diobservasi selama 2 (dua) jam

275
5.2.Komplikasi Anestesia:

5.2.1.Trauma rongga mulut dan plika vokalis

5.2.2.Untuk LMA trauma di rongga mulut

5.2.3.Depresi nafas

5.2.4.Spasme bronkialis

5.2.5.Sadar lama

5.3.Anestesia dengan Regional Sub Arahnoid Block (SAB):

276
No Prosedur Anestesia Blok Subarahnoid

(Pendekatan Midline)

Pengisian dengan cairan (RL, R solution, NS, atau Koloid) 500-1000 ml

1 Periksa kesiapan alat-alat dan obat analgetik lokal yang diperlukan.

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk asepsis dan antisepsis

3 Posisikan pasien lateral dekubitus atau duduk, ganjal bahu dan kepala pasien bila
diposisikan lateral dekubitus.

4 Tentukan penunjuk anatomi celah antara L2-3, L3-4 atau L4-5. Celah antara L3-4 atau
prosesus spinosus L4 tegak lurus dari spina iliaka anterior superior (SIAS).

5 Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada penunjuk anatomi yang telah ditentukan.

6 Suntikkan analgetik lokal pada celah yang akan dilakukan penusukan jarum spinal.

7 Lakukan penusukan jarum spinal (atau introduser) pada celah yang telah diberi analgetik
lokal. Penusukan jarum harus sejajar dengan prosesus spinosus atau sedikit membentuk
sudut kearah sefalad, dengan arah bevel ke lateral atau sefalad.

8 Dorong jarum sampai melewati resistensi ligamentum flavum dan dura, sampai terasa
kehilangan tahanan pada rongga subarahnoid.

9 Cabut mandrin jarum, dan pastikan posisi jarum sudah tepat yang ditandai dengan
mengalir keluar cairan serebrospinal (CSS) yang bening. Jarum dapat dirotasikan 90
untuk memastikan kelancaran cairan yang keluar. Penusukkan harus diulang bila CSS
tidak keluar atau keluar darah.

10 Sambungkan jarum dengan spuit berisi obat analgetik lokal yang sudah dipersiapkan.
Aspirasi sedikit CSS, bila lancar suntikan obat analgetik lokal secara perlahan-lahan.
Lakukan aspirasi ulang untuk memastikan ujung jarum tetap pada posisi yang tepat dan
suntikan kembali obat.

11 Setelah selesai, cabut jarum dan kembalikan posisi pasien sesuai dengan yang diinginkan.

Cara penyuntikkan paramedian pada dasarnya sama seperti di atas, hanya jarum spinal
disuntikkan pada 1,5 sm lateral dan 1 sm kaudal dari celah penyuntikkan yang dituju.

5.4.Komplikasi:

5.4.1.Sulit bernafas karena ketinggian blok (Th4 keatas)

5.4.2.Hipotensi

5.4.3.PDPH atau Nyeri Kepala Pasca Penusukan Dura

5.4.4.Hematom pada daerah insersi

277
No Prosedur Anestesia Blok Epidural

(Pendekatan Midline)

Pengisian dengan cairan kristaloid atau koloid (RL, R sol, NS, atauKoloid) 500-1000
mL

1 Periksa kesiapan alat-alat dan obat-obat analgetik lokal yang diperlukan.

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk asepsis dan antisepsis

5.5.Regional dengan Blok Epidural

3 Posisikan pasien lateral dekubitus atau duduk, ganjal bahu dan kepala pasien bila
diposisikan lateral dekubitus.

4 Tentukan penunjuk anatomi celah antara L2-3, L3-4 atau L4-5. Celah antara L3-4 atau
prosesus spinosus L4 tegak lurus dari spina iliaka anterior superior (SIAS).

5 Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada penunjuk anatomi yang ditentukan.

6 Suntikkan analgetik lokal pada celah yang akan dilakukan penusukan jarum epidural.

7 Lakukan penusukan jarum epidural pada celah yang telah diberi analgetik lokal.
Penusukan jarum harus sejajar dengan prosesus spinosus atau sedikit membentuk sudut
ke arah sefalad, dengan arah bevel ke lateral atau sefalad.

8 Dorong jarum sampai melewati resistensi ligamentum flavum, lalu cabut mandrin jarum

9 Pangkal jarum epidural dihubungkan dengan spuit 10 ml yang berisi NaCl 0,9% atau
udara, dan jarum didorong sampai ke rongga epidural yang ditandai dengan adanya loss
of resistance

10 Lakukan tes dose, tes dose(-), cabut spuit, masukkan epidural kateter sesuai kebutuhan
tinggi blok,

11 Setelah selesai cabut jarum, dan fiksasi dengan baik serta kembalikan posisi pasien
sesuai dengan yang diinginkan.kemudian injeksikan obat analgetik lokal sesuai
kebutuhan.

Cara penyuntikkan paramedian pada dasarnya sama seperti di atas, hanya jarum spinal
disuntikan pada 1,5 sm lateral dan 1 sm kaudal dari celah penyuntikan yang dituju.

5.6.Komplikasi:

278
5.6.1.PDPH

5.6.2.Sulit bernafas

5.6.3.Hipotensi

5.6.4.Hematom daerah insersi

6.Referensi

6.1.Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 3 th ed, New York-Chicago-San
Francisco: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006.

6.2.Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anesthesia, 5 th ed, New York: Lippincott Williams &
Wilkins; 2006

6.3.Miller RD. Millers Anesthesia, 6th ed, Philadelphia-London-Toronto: Churchill Livingstone; 2005

6.4.Martini FH. Fundamental of Anatomy & Physiology. 7th ed, 2006

MODUL 15 : ANESTESIA OBSTETRI I

Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 2)

Sesi di dalam kelas Anestesia obstetrik-1 adalah suatu rotasi yang


membutuhkan waktu 1 bulan (4 pekan) untuk
Sesi dengan fasilitasi Pembimbing peserta didik semester 2, yang meliputi
Sesi praktek dan pencapaian anestesia untuk jenis operasi obstetrik (seksio
kompetensi sesarea), kuretase.

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

1. LCD Proyektor dan layar


2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Pemutar video

279
Materi presentasi:

CD PowerPoint

Sarana:

1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU

Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

1. Clinical Anesthesiology GE Morgan, 4th ed, 2006


2. Clinical Anesthesia PG Barash, 4th ed, 2006
3. Millers Anesthesia RD Miller, 6th ed, 2005

TUJUAN UMUM

Setelah mengikuti rotasi ini peserta didik mampu melakukan persiapan preoperatif
dengan baik dan cermat, melakukan pembiusan umum dan regional pada pasien
obstetrik sederhana tanpa penyulit untuk memperoleh keberhasilan yang tinggi,
melakukan pemantauan intraoperatif dengan baik dan mencegah komplikasi yang
mungkin terjadi.

TUJUAN KHUSUS

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk :

Kognitif

1. Memiliki pengetahuan tentang fisiologi kehamilan, farmakologi perinatal,


sirkulasi janin, pola persalinan normal, pengawasan ibu-janin, variabilitas denyut
jantung janin, persalinan kurang bulan (prematur), asfiksia neonatus.
2. Memiliki pengetahuan tentang sirkulasi uteroplasenta.

280
3. Memiliki pengetahuan tentang kehamilan multipara, persalinan pervaginam
dengan riwayat seksio sesarea sebelumnya.
4. Memiliki pengetahuan farmakologi dan interaksi obat antara sintosnon, metergin,
magnesium sulfat, indosin, prostaglandin, steroid yang biasa dipakai pada pasien
obstetrik dengan obat anestetik.
5. Mampu menjelaskan penatalaksanaan preoperatif termasuk premedikasi dan puasa
untuk pasien obstetrik elektif.
6. Mampu menjelaskan persiapan alat dan obat untuk anestesia umum dan
subarahnoid (lihat prosedur anestesia umum dan subarahnoid).
7. Mampu menjelaskan indikasi anestesia umum atau subarahnoid untuk pasien
obstetrik tanpa penyulit.
8. Mampu menjelaskan rencana anestesia subarahnoid untuk prosedur seksio
sesarea (lihat modul dan prosedur anestesia subarahnoid).
9. Mampu menjelaskan rencana anestesia umum (intubasi, LMA) untuk prosedur
seksio sesarea termasuk teknik induksi cepat dan penatalaksanaan jalan nafas
pada ibu hamil (lihat modul dan prosedur anestesia umum).
10. Mampu menjelaskan rencana anestesia umum intravena untuk tindakan kuretase.
11. Memiliki pengetahuan tentang aortokaval compression dan penanganannya.
12. Mampu menjelaskan evaluasi bayi baru lahir.
13. Mampu menjelaskan penatalaksanaan pospartum, penanganan nyeri dan mual
muntah pascabedah.
Psikomotor

1. Mampu menentukan status fisis pasien berdasarkan klasifikasi ASA I-II


2. Mampu menilai kondisi jalan nafas pasien hamil dan membuat rencana
penatalaksanaannya dengan baik.
3. Mampu melakukan penatalaksanaan preoperatif termasuk premedikasi dan puasa
untuk kasus obstetrik elektif.
4. Mampu melakukan persiapan alat dan obat untuk anestesia umum dan
subarahnoid (lihat prosedur anestesia umum dan subarahnoid).
5. Mampu memberikan anestesia subarahnoid untuk prosedur seksio sesarea dan
operasi tanpa penyulit (lihat modul dan prosedur anestesia subarahnoid).
6. Mampu memberikan anestesia umum untuk prosedur seksio sesarea termasuk
teknik induksi cepat dan penatalaksanaan jalan nafas pada ibu hamil (lihat modul
dan prosedur anestesia umum).
7. Mampu melakukan anestesia umum intravena untuk tindakan kuretase
8. Mampu melakukan evaluasi bayi baru lahir (lihat modul anestesia umum dan
pediatrik).
9. Mampu melakukan penatalaksanaan pospartum, penanganan nyeri dan mual
muntah pascabedah.
10. Mampu melakukan pencatatan hal penting dalam rekam medis preoperatif, intra
dan pascabedah terkait dengan tindakan anestesia.

281
Komunikasi/Hubungan Interpersonal

1. Mampu menjelaskan pada pasien atau keluarga pasien tentang kondisi pasien
preoperatif , tindakan anestesia umum yang akan dilakukan serta risiko yang dapat
timbul.
2. Mampu memberikan penjelasan kepada rekan sejawat atau konsulen tentang
kondisi pasien untuk kemungkinan pemeriksaan tambahan, pemberian obat-
obatan atau upaya optimalisasi kondisi pasien.
3. Mampu menjelaskan tentang kondisi pasien kepada operator sebelum operasi
terutama untuk mencegah terjadi keadaan atau kondisi pasien yang tidak
diinginkan.
4. Mampu berinteraksi atas dasar saling menghormati dan menciptakan kondisi
kerjasama tim yang terlibat di kamar bedah.

Profesionalisme

1. Mampu bekerja sesuai prosedur.


2. Mampu berinteraksi dengan sejawat lain maupun paramedis dan tenaga kesehatan
lain atas dasar saling menghormati kompetensi masing-masing.
3. Mampu menjaga kerahasiaan pasien.
4. Mampu memahami, memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarganya
tentang kondisi pasien sesuai hak pasien.
5. Mampu melakukan pekerjaan secara efisien.

KEYNOTES:

1. Morbiditas paling umum pada pasien obsetri (OB) adalah perdarahan berat
dan preeklampsia
2. Tanpa memandang kapan saat makan terakhir semua pasien OB dianggap
lambung penuh dan berisiko untuk terjadinya aspirasi paru.
3. hampir semua opioid analgesia dan sedatif yang diberikan parenteral
menembus sawar plasenta dan mempengaruhi fetus. Teknik analgesia
regional lebih disukai untuk penatalaksanaan nyeri persalinan.
4. Penggunaan campuran obat analgetik lokal dengan opioid untuk analgesia
lumbal epidural untuk penatalaksanaan nyeri persalinan secara nyata akan
mengurangi keperluan obat, dibandingkan dengan pemberian obat tersebut
secara sendiri-sendiri.
5. Analgesia optimal untuk persalinan blokade neural setinggi T10-L1 pada
kala I dan T10-S4 pada kalaII persalinan.

GAMBARAN UMUM

Untuk dapat mengelola pasien obsteri anestesia diperlukan pengetahuan dan

282
keterampilan dalam penatalaksanaan perioperatf dari mulai persiapan prabedah sampai
penatalaksanaan pascabedah. Melakukan penatalaksanaan nyeri persalinan dan
memberikan anestesia umum atau regional untuk seksio sesarea pada seksio sesarea
tanpa penyulit.

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu melakukan penatalaksanaan
anestesia obstetri dari mulai persiapan preoperatif, penatalaksanaan jalan nafas ibu
hamil, fisiologi kehamilan, farmakologi perinatal, sirkulasi janin, pola persalinan
normal, pengawasan ibu dan janin, deselerasi cepat, lambat dan variabel denyut jantung
janin, variabilitas denyut jantung janin, persalinan prematur, multipara, perdarahan
trimester ke tiga, asfiksia dan resusitasi neonatus, analgesia regional untuk ibu
melahirkan (ILA, PCEA), persalinan pervaginam dengan riwayat seksio sesarea
sebelumnya, anestesia dengan crash atau induksi cepat, akses vaskular, terapi cairan dan
transfusi darah, penatalaksanaan anestesia umum dan regional, pemantauan,
penatalaksanaan pasca-anestesia.

METODE PEMBELAJARAN

A..Proses pembelajaran dilaksanakan melalui metode :

22. Diskusi kelompok kecil


23. Peer assisted learning (PAL)
24. Bedside teaching
25. Task-based medical education
B. Peserta didik sudah harus mempelajari:

1. Bahan acuan (references)


2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran
3. Ilmu klinis dasar
C. Penuntun belajar (learning guide) terlampir

D. Tempat belajar (training setting) : ruang rawat pasien, kamar operasi, ruang pulih

pascabedah.

MEDIA

1. Kursus / pelatihan

283
Pelatihan di skill lab intubasi, LMA, spinal pada manikin.

2. Belajar mandiri
3. Kuliah
Kuliah khusus Penatalaksanaan Anestesia Obstetrik dan 1 termasuk
semua sub pokok bahasan dilakukan semester 2 pekan 1.

4. Diskusi kelompok
Laporan dan diskusi tentang problema preoperatif, penatalaksanaan jalan nafas,
anestesia umum atau subrahnoid, pemantauan dan penatalaksanaan pascabedah.

5. Kunjungan preoperatif
6. Bimbingan pembiusan dan asistensi
Pelatihan di kamar bedah intubasi, LMA, subarahnoid pada pasien Obstetrik

dengan bimbingan dan pengawasan staf pengajar.

7. Tugas baca dan tulisan (tinjauan pustaka, journal reading)


8. Laporan kasus, morbiditas dan mortalitas
9. Continuing Profesional Development (CPD)

ALAT BANTU PEMBELAJARAN

Perpustakaan, internet, skill lab

EVALUASI

1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-tes dalam bentuk esai dan lisan untuk
menilai kinerja awal peserta didik dan melakukan identifikasi kekurangan yang
ada. Materi pre-tes terdiri atas :

- Anatomi, fisiologi kehamilan, farmakologi perinatal

- Penegakan diagnosis dan ASA

- Teknik pembiusan (umum, regional)

- Pengawasan intra operasi

- Komplikasi dan penanganannya

- Penatalaksanaan pascabedah

2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang


teridentifikasi, membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.

284
3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam
penuntun belajar pada manikin anestesia bersama teman-temannya (peer assisted
learning), dievaluasi oleh teman-temannya (peer assisted evaluation).

4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di


bawah pengawasan fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien
sesungguhnya. Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan
langsung (direct observation) dan mengisi lembar penilaian:

- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak


dilakukan

- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya tindakan
anestesia tidak mulus sehingga kurang memberi kenyamanan kepada pasien

- Baik : pelaksanaan benar, baik dan efisien

5. Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk


memperbaiki kekurangan yang ditemukan.

6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun


belajar.

7. Pendidik/fasilitator melakukan :

- Pengamatan langsung dengan memakai ceklis evaluasi (terlampir)

- Diskusi dan penjelasan lisan dari peserta didik

- Kriteria penilaian keseluruhan : baik/cukup/kurang

8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan
atau diberi tugas untuk memperbaiki kinerja.

9. Pencapaian pembelajaran

Pre-tes :

1. Jelaskan tentang fisiologi kehamilan, farmakologi perinatal, sirkulasi janin, pola


persalinan normal, pengawasan ibu-janin, variabilitas denyut jantung janin.
2. Jelaskan tentang komplikasi persalinan kurang bulan (prematur), asfiksia
neonatus.
3. Jelaskan tentang kehamilan multipara, persalinan pervaginam dengan riwayat
seksio sesarea sebelumnya.
4. Jelaskan farmakologi dan interaksi obat antara sintocinon, metergin, magnesium

285
sulfat, indosin, prostaglandin, steroid yang biasa dipakai pada kasus obstetrik
dengan obat anestetik.
5. Jelaskan patofisiologi preeklampsia dan eklampsia, penatalaksanaannya dan
pengaruhnya terhadap tindakan anestesia.
6. Jelaskan penatalaksanaan preoperatif termasuk premedikasi dan puasa untuk
pasien obstetrik dan elektif.
7. Jelaskan persiapan alat dan obat untuk anestesia umum dan subarahnoid (lihat
prosedur anestesia umum dan regional).
8. Jelaskan indikasi anestesia umum atau subarahnoid untuk pasien obstetrik
sederhana tanpa penyulit.
9. Jelaskan teknik anestesia subarahnoid untuk prosedur bedah obstetrik (lihat
modul dan prosedur analgesia regional).
10. Jelaskan teknik anestesia umum (intubasi, LMA) untuk prosedur seksio sesarea
termasuk teknik induksi cepat dan penatalaksanaan jalan nafas pada ibu hamil
(lihat modul dan prosedur anestesia umum).
11. Jelaskan teknik anestesia intravena untuk tindakan kuretase.
12. Jelaskan evaluasi bayi baru lahir.
13. Jelaskan penatalaksanaan pospartum, penanganan nyeri dan mual muntah
pascabedah.
Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan
(semester).

Bentuk ujian :

- Ujian akhir stase


- Ujian akhir profesi
Bisa dalam bentuk :

1. Pengetahuan

- MCQ
- EMQ (Extended Medical Question)
- Ujian lisan

2.Kognitif

- EMQ (Extended Medical Question)


- Multiple observation and assessments
- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
3. Skill

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers

286
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
4.Communication and Interpersonal Skills

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
5.Profesionalisme

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia Sudah Belum


dilakukan dilakukan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1 Anamnesis, periksaan fisis, pemeriksaan penunjang

2 Penentuan ASA

3 Persiapan alat, mesin pembiusan, STATICS, obat

4 Pemasangan monitor

ANESTESIA

1 Anestesia umum (intubasi, LMA)

2 Anestesia subarahnoid

3 Anestesia intravena

4 Pemberian cairan dan transfusi

5 Komplikasi dan penanganannya

PENATALAKSANAAN PASCABEDAH

1 Pengawasan ABC dan tanda vital

2 Penanganan mual muntah dan nyeri pascabedah

287
Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda ( )

DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur Standard atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur Standard atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

288
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

289
MATERI ACUAN

Anestesia untuk obstetri berbeda dengan tindakan anestesia yang lain karena :

Ibu masuk rumah sakit pada hari saat akan melahirkan.


Ada dua insan yang perlu diperhatikan, yaitu Ibu dan bayi yang akan dilahirkan.
Terjadi perubahan-perubahan fisiologi yang dimulai pada tiga bulan terakhir
kehamilan.
Adanya risiko muntah, regurgitasi dan aspirasi setiap saat.
Efek obat yang diberikan dapat mempengaruhi bayi karena menembus sawar
plasenta.

Pada seksio sesarea dengan pasien normal, harus diperhatikan perubahan-perubahan


fisiologi dan anatomi, karena perubahan tersebut akan mempengaruhi tindakan
anestesia. Bila pasien disertai penyulit lain seperti preeklampsi, asma bronkial, maka
tindakan anestesianya akan lebih spesifik lagi. Untuk hal itu diperlukan pengetahuan
yang mendalam mengenai fisiologi ibu hamil, fisiologi fetal, aliran darah uterus
sehingga dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas.

Pada wanita hamil mulai 3 bulan terakhir, terjadi perubahan fisiologis sistem
respirasi, kardiovaskular, susunan saraf pusat, susunan saraf perifer, gastrointestinal,
muskuloskeletal, dermatologi, jaringan buah dada, dan mata.

a. Sistem Respirasi

Perubahan pada parameter respirasi mulai pada pekan ke-4 kehamilan.


Perubahan fisiologis dan anatomi selama kehamilan menimbulkan perubahan dalam
fungsi paru, ventilasi dan pertukaran gas.

Ventilasi semenit meningkat pada aterm kira-kira 50% di atas nilai waktu tidak
hamil. Peningkatan volume semenit ini disebabkan karena peningkatan volume tidal
(40%) dan peningkatan frekuensi nafas (15%). Ventilasi alveolus meningkat seperti
volume tidal tetapi tanpa perubahan pada dead space anatomi.

Pada kehamilan aterm PaCO2 menurun (32-35mmHg). Peningkatan konsentrasi


progesteron selama kehamilan menurunkan ambang pusat nafas di medula oblongata
terhadap CO2.

290
Pada kehamilan aterm kapasitas residual fungsional (FRC), expiratory reserve
volume dan residual volume menurun. Perubahan-perubahan ini disebabkan karena
diafragma terdorong keatas oleh uterus yang gravid. FRC menurun 15-20%,
menimbulkan peningkatan "Pintasan" dan kurangnya reserve oksigen. Dalam
kenyataannya, "jalan nafas closure" bertambah pada 30% gravida aterm selama ventilasi
tidal. Kebutuhan oksigen meningkat sebesar 30-40%. Peningkatan ini disebabkan
kebutuhan metabolisme untuk fetus, uterus, plasenta serta adanya peningkatan kerja
jantung dan respirasi. Produksi CO2 juga berubah sama seperti O2. Faktor-faktor ini akan
menimbulkan penurunan yang cepat dari PaO2 selama induksi anestesia, untuk
menghindari kejadian ini, sebelum induksi pasien mutlak harus diberikan oksigen 100%
selama 3 menit (nafas biasa) atau cukup 4 kali nafas dengan inspirasi maksimal (dengan
O2 100%). Vital capacity dan resistensi paru menurun.

Terjadi perubahan-perubahan anatomis, mukosa menjadi vaskular, edematus dan


gampang rusak, maka harus dihindari intubasi nasal dan ukuran pipa endotrakeal harus
yang lebih kecil daripada untuk intubasi orotrakeal.
Penurunan FRC, peningkatan ventilasi semenit, juga penurunan MAC akan
menyebabkan parturien lebih mudah dipengaruhi obat anestetik inhalasi daripada
penderita yang tidak hamil. Cepatnya induksi dengan obat anestetik inhalasi karena :

hiperventilasi akan menyebabkan lebih banyaknya gas anestesia yang masuk ke


alveolus.
pengenceran gas inhalasi lebih sedikit karena menurunnya FRC.
MAC menurun.

Pada kala 1 persalinan, dapat terjadi hiperventilasi karena adanya rasa nyeri (his) yang
dapat menurunkan PaCO2 sampai 18 mmHg, dan menimbulkan asidosis fetal. Pemberian
analgetik (misal : epidural analgesia) akan menolong. Semua parameter respirasi ini
akan kembali ke nilai ketika tidak hamil dalam 6-12 pekan pospartum.

b. Perubahan Volume Darah

Volume darah ibu meningkat selama kehamilan, termasuk peningkatan volume


plasma, sel darah merah dan sel darah putih. Volume plasma meningkat 40-50%,
sedangkan sel darah merah meningkat 15-20% yang menyebabkan terjadinya anemia
fisiologis (normal Hb : 12gr%, hematokrit 35%). Disebabkan hemodilusi ini, viskositas
darah menurun kurang lebih 20%. Mekanisme yang pasti dari peningkatan volume
plasma ini belum diketahui, tetapi beberapa hormon seperti renin-angiotensin-
aldosteron, atrial natriuretik peptida, estrogen, progesteron mungkin berperan dalam
mekanisme tersebut. Volume darah, faktor I, VII, X, XII dan fibrinogen meningkat. Pada

291
proses kehamilan, dengan bertambahnya umur kehamilan, jumlah trombosit menurun.
Perubahan-perubahan ini adalah untuk perlindungan terhadap perdarahan katastropik
tapi juga akan merupakan predisposisi terhadap fenomena tromboemboli. Karena
plasenta kaya dengan tromboplastin, maka bila pada solusio plasenta, ada risiko
terjadinya DIC.

Peningkatan volume darah mempunyai beberapa fungsi penting :

Untuk memelihara kebutuhan peningkatan sirkulasi karena ada pembesaran uterus


dan unit feto-plasenta.
Mengisi peningkatan reservoar vena.
Melindungi ibu dari perdarahan pada saat melahirkan.
Selama kehamilan ibu menjadi hiperkoagulopati.

Delapan pekan setelah melahirkan volume darah kembali normal. Jumlah perdarahan
normal partus pervaginam kurang lebih 400-600ml dan 1000ml bila dilakukan seksio
sesarea, tapi pada umumnya tidak perlu dilakukan transfusi darah.

c. Perubahan sistem Kardiovaskular

Curah jantung meningkat sebesar 30-40% dan peningkatan maksimal dicapai


pada kehamilan 24 pekan. Permulaannya peningkatan denyut jantung ketinggalan
dibelakang peningkatan curah jantung dan kemudian akhirnya meningkat 10-15 kali
permenit pada kehamilan 28-32 pekan. Peningkatan curah jantung mula-mula
bergantung pada peningkatan isi sekuncup dan kemudian dengan peningkatan denyut
jantung, tetapi lebih besar perubahan isi sekuncup daripada perubahan denyut jantung.

Dengan ekokardiografi terlihat adanya peningkatan ukuran ruangan end diastolic


dan ada penebalan dinding ventrikular kiri. Curah jantung bervariasi bergantung pada
besarnya uterus dan posisi ibu saat pengukuran dilakukan.

Pembesaran uterus yang gravid dapat menyebabkan kompresi aortokaval ketika


wanita hamil tersebut berada pada posisi supine dan hal ini akan menyebabkan
penurunan venous return dan maternal hipotensi, menimbulkan keadaan yang disebut
supine hypotensive syndrome. Sepuluh persen dari wanita hamil menjadi hipotensi dan
diaforetik bila berada dalam posisi terlentang, yang bila tidak dikoreksi dapat
menimbulkan penurunan aliran darah uterus dan fetal asfiksia. Efek ini akan lebih hebat
lagi pada pasien dengan polihidramnion atau kehamilan kembar. Curah jantung
meningkat selama persalinan dan lebih tinggi 50% dari saat sebelum persalinan. Segera
pada periode pospartum, curah jantung meningkat secara maksimal dan dapat mencapai
80% di atas periode pra persalinan dan kira-kira 100% di atas nilai ketika wanita

292
tersebut tidak hamil, hal ini disebabkan karena pada saat kontraksi uterus terjadi
plasental autotransfusi sebanyak 300-500ml. CVP meningkat 4-6sm H2O karena ada
peningkatan volume darah ibu. Peningkatan isi sekuncup dan denyut jantung adalah
untuk mempertahankan peningkatan curah jantung. Peningkatan curah jantung ini tidak
bisa ditoleransi dengan baik pada pasien dengan penyakit jantung valvula (misal : aorta
stenosis, mitral stenosis) atau penyakit jantung koroner. Gagal jantung yang berat dapat
terjadi pada kehamilan 24 pekan, selama persalinan dan segera setelah persalinan. Curah
jantung, denyut jantung, isi sekuncup menurun ke sampai nilai sebelum persalinan pada
24-72 jam pospartum dan kembali ke level saat tidak hamil pada 6-8 pekan setelah
melahirkan. Kecuali peningkatan curah jantung, tekanan darah sistolik tidak berubah
selama kehamilan, tetapi, tekanan diastolik turun 1-15mmHg. Ada penurunan MAP
sebab ada penurunan resistensi vaskular sistemik. Hormon-hormon kehamilan seperti
estradiol-17- dan progesteron mungkin berperan dalam perubahan vaskular ini.

Turunnya pengaturan dan reseptor juga memegang peranan penting. Selama


kehamilan jantung tergeser ke kiri dan atas karena diafragma tertekan ke atas oleh uterus
yang gravid.

Gambaran EKG yang normal pada parturien :

Disritmia benigna
Gelombang ST, T, Q terbalik
Left axis deviation

d. Perubahan pada Ginjal

GFR meningkat selama kehamilan karena peningkatan renal plasma flow. RBF
dan GFR meningkat 150% pada trimester pertama kehamilan, tetapi menurun lagi
sampai 60% di atas wanita yang tidak hamil pada saat kehamilan aterm. Hal ini akibat
pengaruh hormon progesteron. Kreatinin, BUN, asam urat juga menurun tapi umumnya
normal. Suatu peningkatan dalam laju filtrasi menyebabkan penurunan plasma BUN dan
konsentrasi kreatinin kira-kira 40-50%. Reabsorbsi natrium pada tubulus meningkat,
tetapi, glukosa dan asam amino tidak diabsorbsi dengan efisien, maka glikosuri dan
amino acid uri merupakan hal yang normal pada Ibu hamil. Pelvis renalis dan ureter
berdilatasi dan peristaltiknya menurun. Nilai BUN dan kreatinin normal pada parturien
(BUN 8-9 mg/dl, kreatinin 0,4 mg/dl) adalah 40% lebih rendah dari yang tidak hamil.
Maka bila pada wanita hamil, nilainya sama seperti yang tidak hamil berarti ada
kelainan ginjal. Pasien preeklampsi mungkin ada di ambang gagal ginjal, walaupun hasil
pemeriksaan laboratorium normal. Diuresis fisiologi pada periode pospartum, terjadi
antara hari ke-2 dan ke-5. GFR dan kadar BUN kembali ke keadaan sebelum hamil pada

293
pekan ke-6 pospartum.

e. Perubahan pada GIT

Perubahan anatomi dan hormonal pada kehamilan merupakan faktor predisposisi


terjadinya regurgitasi esofageal dan aspirasi paru. Uterus yang gravid menyebabkan
peningkatan tekanan intragastrik dan mengubah posisi normal gastro esofageal junction.
Alkali fosfatase meningkat. Plasma kolinesterase menurun kira-kira 28%, kemungkinan
disebabkan karena sintesanya yang menurun dan karena hemodilusi. Walaupun dosis
moderat suksinilkolin umumnya dimetabolisme, pasien dengan penurunan aktivitas
kolinesterase ada risiko pemanjangan blokade neuro-muskuler.

Disebabkan karena peningkatan kadar progesteron plasma, pergerakan GIT, absorbsi


makanan dan tekanan sfingter esofageal bagian distal menurun. Peningkatan sekresi
hormon gastrin akan meningkatkan sekresi asam lambung. Obat-obat analgesia akan
memperlambat pengosongan gaster. Pembesaran uterus akan menyebabkan gaster
terbagi menjadi bagian fundus dan antrum, sehingga tekanan intragastrik akan
meningkat.

Aktivitas serum kolinesterase berkurang 24% sebelum persalinan dan paling rendah
(33%) pada hari ke-3 pospartum. Walaupun aktivitas lebih rendah, dosis normal
suksinilkolin untuk intubasi (1-1,5 mg/kg) tidak dihubungkan dengan memanjangnya
blokade neuromuskular selama kehamilan. Karena perubahan-perubahan tersebut
wanita hamil harus selalu diperhitungkan lambung penuh, dengan tidak mengindahkan
waktu makan terakhir misalnya walaupun puasa sudah > 6 jam lambung bisa saja masih
penuh. Penggunaan antasid yang non-partikel secara rutin adalah penting sebelum
operasi sesarea dan sebelum induksi regional anestesia. Walaupun efek mekanis dari
uterus yang gravid pada lambung hilang dalam beberapa hari tetapi perubahan GIT yang
lain kembali ke keadaan sebelum hamil dalam 6 pekan pospartum .

f. Perubahan SSP dan susunan saraf perifer.

SSP dan susunan saraf perifer berubah selama kehamilan, MAC menurun 25-
40% selama kehamilan. Halotan menurun 25%, isofluran 40%, metoksifluran 32%.
Peningkatan konsentrasi progesteron dan endorfin adalah penyebab penurunan MAC
tersebut. Tetapi beberapa penelitian menunjukan bahwa konsentrasi endorfin tidak
meningkat selama kehamilan sampai pasien mulai ada his, maka mungkin endorfin tidak
berperan dalam terjadinya perbedaan MAC tetapi yang lebih berperan adalah akibat
progesteron.

Terdapat penyebaran dermatom yang lebih lebar pada parturien setelah epidural

294
anestesia bila dibandingkan dengan yang tidak hamil. Hal ini karena ruangan epidural
menyempit karena pembesaran pleksus venosus epidural disebabkan karena kompresi
aortokaval oleh uterus yang membesar. Tetapi penelitian-penelitian yang baru
menunjukkan bahwa perbedaan ini sudah ada pada kehamilan muda (8-12 pekan) di
mana uterus masih kecil sehingga efek obstruksi mekanik masih sedikit ada maka
faktor-faktor lain penyebabnya. Faktor-faktor lain itu adalah :
Respiratori alkalosis kompensata.
Penurunan protein plasma atau protein likuor serebrospinal.
Hormon-hormon selama kehamilan (progesteron).

Walaupun mekanisme pasti dari peningkatan sensitivitas SSP dan susunan saraf perifer
pada anestesia umum dan antesi regional belum diketahui tetapi dosis obat anestetik
pada wanita hamil harus dikurangi. Peningkatan sensitivitas terhadap lokal anestesia
untuk epidural atau analgesia spinaltetap ada sampai 36 jam pospartum.

g. Perubahan sistem muskuloskeletal, dermatologi, buah dada dan mata :

Hormon relaksin menyebabkan relaksasi ligamentum dan melunakkan jaringan


kolagen. Terjadi hiperpigmentasi kulit daerah muka, leher, garis tengah abdomen akibat
melanocyt stimulating hormon.

Buah dada membesar. Tekanan intraokular menurun selama kehamilan karena


peningkatan kadar progesteron, adanya relaksin, penurunan produksi humor aqueus
disebabkan peningkatan sekresi korionikgonadotrofin. Akibat relaksasi ligamentum dan
kalogen pada kolumna vertebralis dapat terjadi lordosis. Pembesaran buah dada terutama
pada ibu dengan leher pendek dapat menyebabkan kesulitan intubasi.
Perubahan pada tekanan intraokular bisa menimbulkan gangguan penglihatan.

Aliran darah uteroplasental

Rumatan uteroplacental blood flow (UPBF) sangat penting untuk


berlangsungnya kehidupan fetus yang baik, maka pengetahuan tentang UPBF ini sangat
penting untuk tenaga medis dan paramedis yang merawat penderita hamil. UPBF
dirumuskan sebagai berikut :

295
UAP UVP

UBF = ------------------
UVR

UBF =uterine blood flow UVP =uterine venous pressure

UAP =uterine arterial pressure UVR=uterine vascular


resistance

Maka semua keadaan yang menurunkan tekanan darah rata-rata ibu atau meningkatkan
resistensi vaskular uterus akan menurunkan UPBF dan akhirnya menurunkan umbilikal
blood flow (UmBF). Pada kehamilan aterm, 10% dari curah jantung atau sekitar 500-
700ml/menit akan memasok uterus di mana 80%-nya akan memasuki plasenta.
Pembuluh plasenta berdilatasi secara maksimal, jadi placental blood flow sangat
bergantung pada pada tekanan perfusi.

Table : Causes of Decreased Uterine Blood Flow


Decreased perfusion pressure Increased uterine vascular resistance

Decreased uterine arterial pressure Endogenous vasoconstrictors

Supine position (aortokaval Catecholamines (stres)


compression)
Hemorrhage/hypovolemia Vasopresin (in responsse to
Drug-induced hypotension hypovolemia)
Hypotension during sympathetic Exogenous vasoconstrictors
blockade
Increased uterine venous pressure Epinefrin
Vasopresors (phenilephrine
Vena kaval compression ephedrine)
Uterine contractions Local anesthetics (in high
Drug-induced uterine hypertonus concentrasions)
(oksitosin local anesthetics)
Skeletal muscle hypertonous (seizures,
Valsava)
Dua arteri uterina merupakan sumber utama pasokan darah ke uterus, sedangkan
pasokan dari arteri ovarika sangat bervariasi bergantung pada spesiesnya. Kompleksnya

296
pasokan arteri ini menyebabkan pengukuran langsung UBF sangat sulit, terutama pada
manusia, dan pada kebanyakan kasus keadekuatan perfusi plasenta dapat diperkirakan
secara tidak langsung dengan monitor denyut jantung fetus dan keadaan asam-basa.
Pembuluh darah uterus, misalnya arteri spinalis, banyak mengandung serabut simpatis
yang terutama terdapat pada tunika media. Penelitian pada distribusi relatif dan
reseptor adrenergik pada pembuluh darah ini menunjukkan reseptor ini berkurang
atau bahkan tidak ada. Karena itu terapi vasopresor dapat membahayakan fetus. Obat
adrenergik dapat menurunkan UPBF.

ANESTESIA UNTUK SEKSIO SESAREA

Seksio sesarea adalah melahirkan bayi melalui insisi abdominal dan dinding
uterus. Keberhasilan anestesia untuk seksio sesarea dapat dilakukan dalam berbagai
jalan, tetapi anestetis harus betul-betul mengerti tentang fisologi, patofisiologi dan
farmakologi ibu hamil dan fetus.

Tindakan anestesia yang biasa dilakukan adalah analgesia regional dan anestesia
umum. Analgesia regional yang akan dibicarakan disini adalah spinal dan epidural
anestesia karena kami jarang melakukan infiltrasi atau field block untuk seksio sesarea.

I. SPINAL ANALGESIA
Keuntungan analgesia spinaluntuk seksio sesarea adalah tekniknya sederhana,
induksinya cepat, kontak fetus dengan obat-obatan minimal, pasiennya sadar dan bahaya
aspirasi sedikit.

Kerugian analgesia spinaladalah tingginya kejadian hipotensi, ada mual-muntah


intrapartum, kemungkinan adanya PSH, lama kerja obat anestetik terbatas.

Problema pada analgesia spinaladalah adanya hipotensi. Setelah induksi


analgesia spinaluntuk seksio sesarea, kejadian hipotensi maternal (sistolik kurang dari
100mmHg atau turun lebih dari 30mmHg dari tekanan darah awal) adalah sebesar 80%.
Perubahan hemodinamik ini disebabkan karena blokade simpatis dan diperbesar oleh
penekanan aorta dan vena kava inferior oleh uterus yang gravid ketika pasien dalam
posisi supine.

Lebih tinggi blokade simpatis, lebih tinggi risiko hipotensi dan timbulnya gejala
muntah-muntah. Posisi supine meningkatkan kejadian hipotensi secara nyata. Ueland
dkk mengamati adanya pengurangan tekanan darah rata-rata dari 124/72 ke 67/38
mmHg pada ibu yang diletakkan dalam posisi supine setelah dilakukan spinal anestesia,
tetapi bila dalam posisi lateral tekanan darah rata-rata sekitar 100/60mmHg.

297
Maternal hipotensi bisa mengancam kehidupan ibu dan fetus bila penurunan
tekanan darah dan curah jantung tidak cepat dikoreksi. Keadaan hipotensi maternal yang
singkat, bisa menyebabkan penurunan Skor Apgar pemanjangan waktu mencapai
keadaan nafas yang adekuat, dan menyebabkan asidosis pada fetus. Bila hipotensi tidak
lebih dari 2 menit, asidosis fetal minimal dan tidak ada pengaruh pada neurobehavioral
bayi yang baru lahir pada umur 2-4 jam. Dengan lebih lamanya periode hipotensi
Holman dkk menunjukkan adanya perubahan neurologis paling sedikit 48 jam pada bayi
yang lahir dari Ibu yang dilakukan seksio sesarea dengan epidural analgesia.

Karena analgesia spinalmempunyai keuntungan-keuntungan untuk seksio


sesarea, berbagai usaha dilakukan untuk mencegah hipotensi maternal. Dicoba dengan
pemberian 1000-1500 ml Ringer laktat 15-30 menit sebelum spinal anestesia. Bila
diberikan larutan dekstrosa untuk mengisi volume, beberapa peneliti melihat adanya
hiperglikemia fetal, asidosis dan ahkirnya neonatal hipoglikemia. Sebaliknya beberapa
peneliti menganjurkan pemberian sedikit dektrosa (1% dektrosa di dalam RL) untuk
mempertahankan euglikemia. Penggunaan sejumlah kecil koloid dikombinasikan
dengan kristaloid tidak menunjukkan hasil yang konsisten untuk menurunkan kejadian
hipotensi maternal.

Vasopresor :

Nilai pemberian vasopresor untuk profilaksis masih kontroversial. Pemberian


efedrin secara rutin untuk mencegah hipotensi tidak diperlukan untuk semua kasus,
malahan bisa terjadi iatrogenik hipertensi bila kita gagal melakukan spinal analgesia.
Tetapi ada suatu persetujuan bahwa bila terjadi hipotensi maternal tindakan yang
dilakukan adalah :

beri cairan
bila memungkinkan ubah posisi pasien
beri efedrin, dimulai dengan dosis 5-10mg intravena. (Dosis efedrin 0,1-
0,2mg/kgBB)
Dalam beberapa keadaan, timbulnya takikardia akibat efedrin merupakan indikasi-
kontra, bila demikian kita bisa memberikan fenilefrin. Penelitian terakhir, menunjukkan
bahwa pemberian fenilefrin 40g intravena, intra operatif setelah dilakukan analgesia
spinalatau epidural anestesia untuk terapi maternal hipotensi selama seksio sesarea,
tidak mempunyai efek yang jelek pada fetus, tetapi harus diingat bahwa penelitian
tersebut dilakukan pada ibu yang sehat, bayi yang sehat dan tanpa insufisiensi
uteroplasenta.

Kejadian hipotensi selama analgesia spinaluntuk seksio sesarea pada pasien


dengan persalinan fase aktif lebih rendah daripada yang sedang tidak dalam persalinan,

298
hal ini karena :

Autotransfusi sekitar 300ml darah ke dalam sirkulasi maternal akibat kontraksi


uterus.
Penurunan ukuran uterus sekunder hilangnya cairan amnion, bila ketuban sudah
pecah.
Lebih tingginya katekolamin Ibu pada wanita yang sedang dalam persalinan.
Mual-muntah :

Mual-muntah sering terjadi pada spinal anestesia. Hal ini disebabkan karena :

hipotensi sistemik yang menyebabkan menurunnya CBF dan menyebabkan serebral


hipoksia.
Traksi peritonium atau viseral yang menyebabkan reaksi vagal berupa bradikardia
dan penurunan curah jantung.
Telah dilakukan evaluasi terhadap keefektifan terapi yang cepat untuk setiap
penurunan tekanan darah untuk pencegahan mual-muntal. Kesimpulannya bahwa
pemberian efedrin intravena, jika diberikan segera bila tekanan darah turun, dapat
mencegah penurunan tekanan darah dan akan mengurangi kejadian mual-muntah. Dan
sebagi tambahan, nilai asam-basa darah umbilikal bayi yang ibunya segera diterapi bila
ada hipotensi lebih baik daripada ibu yang jelas mengalami hipotensi. Traksi pada uterus
dan atau peritonium bisa meningkatkan kejadian mual-muntah bila regional anestesianya
tidak adekuat. Sakit viseral dari traksi pada peritonium atau viseral abdominalis akan
merangsang pusat muntah melalui nervus vagus. Penambahan opiat intratekal atau
epidural akan memperbaiki kualitas anestesia dan akan menurunkan kejadian mual-
muntah selama operasi.

Mual-muntah setelah bayi lahir dapat dikurangi dengan pemberian dosis kecil
droperidol atau metoklopramid.
Sakit Kepala :

Sakit kepala pasca spinal merupakan problema utama setelah analgesia


spinalpada obstetri. Kejadian PSH bervariasi dari satu institusi ke institusi yang lainnya,
berkisar 0-10%.

Beberapa teknik untuk mengurangi kejadian PSH :

suntikan jarum spinal harus paralel dengan arah serabut duramater.


makin kecil jarumnya, makin sedikit kejadian PSH.
Kami (di Bandung) menggunakan jarum spinal No.25 / 27.

Dengan No.27 kejadian PSH 2-3%.

ujung jarum, kejadian PSH dengan pencil point lebih rendah daripada Quincke.

299
Dengan no. 25 pencil point kejadian PSH sekitar 1%. Kebanyakan PSHringan dan
bisa sembuh sendiri. Pemberian kafein intravena atau peroral kadang-kadang dapat
menurunkan kejadian sakit kepala .
Ringkasan analgesia spinaluntuk seksio sesarea :
1. Berikan cairan yang tidak mengandung dekstrosa (2000ml) jika tidak ada indikasi-
kontra.
2. Monitor tekanan darah, nadi, EKG, saturasi O2.
3. Obat anestetik bupivakain 0,5% atau levobupivakain 0,5%
4. Gunakan jarum spinal Quincke No.27 atau Whitacre No.27.
5. Posisi kanan lateral saat induksi spinal anestesia.
6. Posisi pasien miring kiri sampai bayi lahir.
7. Terapi penurunan tekanan darah ibu dengan efedrin 5-10 mg dan berikan cairan. Bila
ada indikasi-kontra pemberian efedrin, berikan fenilefrine 40ug.
8. Berikan oksigen melalui sungkup.
Indikasi-kontra analgesia spinaluntuk seksio sesarea :
1. perdarahan hebat pada ibu.
2. hipotensi hebat
3. gangguan pembekuan
4. kelainan neurologis
5. pasien menolak
6. kesulitan teknis
7. tubuh pasien pendek atau morbid obesiti
8. sepsis, baik lokal atau general.
III. ANESTESIA UMUM
Keuntungan anestesia umum adalah induksinya cepat, mudah dikendalikan,
kegagalan anestesia tidak ada, dapat menghindari terjadinya hipotensi.

Kerugiannya adalah : kemungkinan adanya aspirasi, problema penatalaksanaan jalan


nafas, bayi terkena obat-obat narkotik serta ada kemungkinan awareness.

Maternal aspirasi :

Aspirasi pneumonia akibat aspirasi cairan lambung disebut sebagai sindroma


Mendelson, maka penting sekali menetralkan asam lambung. Tetapi pemberian antasid
jangan berbentuk partikel. Robert dan Shirley melaporkan adanya aspirasi isi lambung
selama anestesia untuk seksio sesarea walaupun sebelumnya diberi antasid yang
berpartikel. Pada penelitian hewan dilaporkan bila terjadi aspirasi partikel antasid, bisa
menyebabkan perubahan struktur dan fisiologi paru. Antasid yang tidak berpartikel
dapat menghilangkan problema ini.

Glikopirolat suatu antikolinergik dapat menurunkan sekresi gaster, tetapi dapat


menyebabkan relaksasi sfingter gastresofageal, sehingga meningkatkan risiko regurgitasi

300
dan aspirasi.

Simetidin dan ranitidin suatu histamin (H2) reseptor antagonis dapat menghambat
sekresi asam lambung dan menurunkan volume gaster.

Metoklopramid dapat meningkatkan motilitas gaster dan karena itu tonus sfingter
esofagus meningkat, sering diberikan sebelum anestesia umum pada seksio sesarea.
Metoklopramid juga berefek anti emetik sentral yang bekerja di CTZ (chemoreceptor
trigger zone).

Penatalaksanaan jalan nafas :

Hal ini dihubungkan dengan peningkatan konsumsi O2 dan penurunan kapasitas residual
fungsional. Preoksigenasi dengan oksigen 100% mutlak harus dilakukan sebelum mulai
induksi anestesia. Norris dan Dewo membandingkan dua cara preoksigenasi,yang
pertama dengan oksigen 100% selama 3 menit dan yang kedua dengan 4 kali nafas
dalam yang maksimal selama 30 detik. Ternyata P aO2 rata-rata tidak berbeda antara
kedua kelompok. Oleh karena itu dalam keadaan fetal distres akut, 4 kali nafas dalam
dengan oksigen 100% mungkin sudah mencukupi.

Induksi yang cepat dengan tekanan krikoid (manuver Sellick) diikuti intubasi
endotrakeal adalah metode yang sering dilakukan. Monitor O2 dan CO2 harus dilakukan.
Problema lain untuk anestesia umum pada seksio sesarea adalah kesulitan intubasi.
Bila hal itu terjadi, harus dilakukan ventilasi melalui sungkup atau dipasang LM, tetapi
problema adanya aspirasi tetap tidak bisa dihilangkan.
Depresi Neonatus :

Penyebab depresi neonatus pada anestesia umum :

1. Penyebab fisiologis :

hipoventilasi ibu
hiperventilasi ibu
penurunan perfusi uteroplasenta disebabkan kompresi aortokaval.
2. Penyebab farmakologi :

obat-obat induksi
pelumpuh otot
rendahnya konsentrasi oksigen
N2O dan obat anestetik inhalasi lainnya
efek memanjangnya interval induction-delivery dan uterine incision-delivery.

301
1. Penyebab fisiologis :

Perubahan-perubahan fisiologis dan kehamilan menyebabkan parturien lebih


mudah terpengaruh oleh perubahan yang cepat dari gas darah. Hipoventilasi akan
mengurangi tekanan oksigen pada ibu dan akan menyebabkan perubahan asam-basa
pada neonatus atau depresi biokimia. Hiperventilasi ibu selama anestesia umum akan
menyebabkan penurunan tekanan O2 fetal karena :

terjadi vasokontriksi pembuluh umbilikal sekunder terhadap hipokarbi ibu.


perubahan hemodinamik ibu akibat peningkatan tekanan intratoraksal yang
menyebabkan penurunan aortic blood flow dan aliran darah uterin (UBF).
Ventilasi semenit yang lebih dari 100ml/kg/menit selama anestesia umum, harus
dihindari. Kompresi aortokaval menjadi lebih penting bila ada fetal asfiksia. Bila pasien
diletakkan dalam posisi supine akan lebih memperburuk fetus. Bayi akan lebih baik bila
kita menghindari kejadian kompresi aortokaval.

2. Penyebab farmakologis :

a. Obat induksi :

Yang paling umum dipakai adalah tiopental dengan dosis 4mg/kgBB.


Tiobarbiturat menembus plasenta dengan cepat dan ditemukan dalam darah fetus dalam
beberapa detik setelah suntikan intravena pada ibu. Konsentrasi dalam darah vena
umbilikal lebih rendah dari darah vena ibu, konsentrasi dalam darah arteri umbilikal
lebih rendah dari darah vena umbilikal. Adanya perbedaan ini karena :

penurunan yang cepat dari konsentrasi tiobarbiturat dalam darah Ibu karena
redistribusi yang cepat.
distribusi yang tidak homogen dalam ruangan intervilli.
ekstraksi tiobarbiturat dari darah vena umbilikal oleh liver fetus.
dilusi yang progresif melalui pintasan pada sirkulasi fetal.
Ketamin 1-1,5mg/kg mungkin merupakan obat induksi yang terpilih pada kasus-kasus
perdarahan. Propofol dengan dosis 2-2,5mg/kg tidak menunjukkan kelebihan untuk
seksio sesarea. etomidat 0,3mg/kg efek depresi miokardium lebih kecil dan
hemodinamik lebih stabil dibandingkan dengan tiopental.

b. Pelumpuh otot :

Penelitian-penelitian pada -tubokurarin, pankuronium, metokurin, dan


ssuksinilkolin menunjukkan bahwa setelah pemberian obat-obatan ini, sedikit jumlah
obat yang menembus plasenta dan tidak mempengaruhi fetus. Tetapi, blokade
neuromuskular yang lama pada Ibu dan bayi telah dilaporkan setelah pemberian
suksinilkolin pada Ibu. Hal ini disebabkan karena atypical pseudocholine esterase pada

302
Ibu dan bayi baru lahir. Banyak penulis menganjurkan pemberian dosis kecil pelumpuh
otot non depolarizing sebelum penggunaan suksinilkolin untuk mencegah fasciculasi
dan peningkatan tekanan intragastrik, tetapi tidak semua anesthesiologist setuju pada
konsep ini dengan alasan :

pada parturien jarang terjadi fasikulasi setelah pemberian suksinilkolin.


suksinilkolin menyebabkan kenaikkan tekanan intragastrik yang tidak konsisten dan
tidak dapat diperkirakan.
suksinilkolin bertendensi meningkatkan tekanan sfingter esofageal bagian distal.
intubasi menjadi lebih sulit bila diberikan non-depolarisasi sebelum pemberian
suksinilkolin.
sakit otot setelah pemberian suksinilkolin tidak perlu diperhatikan setelah seksio
sesarea.
Atrakurium : transfer plasenta hanya 5-20%.

c. Oksigenasi :

Oksigenasi fetus dipengaruhi oleh konsentrasi oksigen inspirasi Ibu. Lebih tinggi
konsentrasi oksigen inspirasi akan meninggikan tekanan O 2 pada ibu dan fetal dan akan
memperbaiki kondisi bayi saat lahir. Konsentrasi O2 65-75% cukup untuk mendapatkan
hasil yang optimal.

d. N2O :

N2O menembus plasenta dengan cepat dan mencapai rasio konsentrasi dalam
darah arteri umbilikal/vena umbilikal 0,8 setelah pemberian 15 menit. Pemberian N 2O
konsentrasi tinggi yang lama dapat menyebabkan rendahnya Skor Apgar, mungkin
disebabkan karena difusi hipoksia dan depresi SSP secara langsung. Dalam praktek tidak
pernah memberikan N2O lebih dari 50%.

Berbagai obat anestetik inhalasi telah dipakai bersama-sama N2O misalnya


halotan, enfluran, isofluran dan mendapatkan hasil yang baik dengan beberapa efek
samping.

e. Efek interval Induction-delivery (ID) dan Uterine incision delivery (UD) :

Ada pemikiran yang berbeda tentang waktu optimal untuk melahirkan bayi bila
digunakan anestesia umum untuk seksio sesarea. Beberapa peneliti menemukan
keadaan neonatus yang lebih baik bila interval ID kurang dari 10 menit. Yang lebih baru,
Crawford dkk, mengatakan bahwa bila kompresi aortokaval dihindari, konsentrasi O 2
inspirasi 65-70%, tidak ada hipotensi, maka pada ID 30 menit tidak terdapat pengaruh

303
yang nyata pada status asam-basa bayi.

Bila digunakan N2O/O2 50% : 50% dan konsentrasi kecil uap untuk
mendapatkan amnesia, tidak ada efek yang nyata pada status asam-basa bayi dan Skor
Apgar bila bayi dilahirkan dalam waktu 10 menit. Faktor lain yang mempengaruhi
kondisi bayi adalah interval UD. Pada spinal anestesia, bila tidak ada hipotensi,
pemanjangan ID interval tidak mempengaruhi Apgar dan status asam-basa bayi, tetapi
bila UD interval lebih dari 180 detik dihubungkan dengan lebih rendahnya Skor Apgar
dan bayi yang asidotik.

Selama anestesia umum, bila ID interval lebih dari 8 menit atau UD interval
sama atau lebih dari 180 detik, ditemukan adanya penurunan Skor Apgar (kurang dari 7)
dan asidosis neonatal.

Baru-baru ini, penelitian pemanjangan UD interval selama regional anestesia,


dihubungkan dengan peningkatan norepinefrin arteri umbilikal fetus dan dihubungkan
dengan fetal asidosis.

Hasil yang jelek karena pemanjangan UD interval adalah karena :

efek manipulasi uterus pada uteroplasental dan umbilical blood flow.


tekanan pada uterus dengan menitik beratkan pada kompresi aortokaval.
penekanan pada kepala bayi ketika kesulitan melahirkan bayi.
inhalasi cairan amnion akibat pernafasan gasping bayi dalam uterus.
Adanya peningkatan konsentrasi epinefrin pada fetus merupakan tanda adanya fetal
hipoksia.

Awareness :

Problema utama anestesia umum untuk seksio sesarea adalah kejadian


awareness karena kita memakai dosis kecil dan konsentrasi rendah obat anestetik untuk
mengurangi efek pada fetus. Kejadian awareness sekitar 17-36%. Penggunaan
konsentrasi kecil volotile anestetic dapat mencegah awareness dan recall tanpa efek
yang jelek pada neonatus atau perdarahan uterus yang banyak.

Kesimpulan anestesia umum untuk seksio sesarea :

1. Premedikasi dengan metoklopromid dan beri antasid yang tidak berpartikel (30 ml).
2. Monitor tekanan darah, nadi, EKG, saturasi O2, kapnograf, suhu, TOF.
3. Pasien miring kiri.
4. Preoksigenasi dengan O2 100%.
5. Induksi dengan tiopental/ketamin/propofol + relaksan.
6. Intubasi dengan pipa endotrakeal + balon.
7. N2O/O2 50% + isofluran 0,75% atau enfluran 1% atau sevofluran 2%.
8. Hindari hiperventilasi atau hipoventilasi.

304
9. Kosongkan lambung dengan NGT.
1. ID interval singkat.
2. UD interval singkat.
3. Berikan narkotik pada ibu setelah bayi lahir.
4. Ekstubasi bila ibu sudah sadar penuh.

Referensi :

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology,


4th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

LAMPIRAN

No Prosedur anesthesia umum Kasus ke

(Intubasi setelah induksi anestesia umum) 1 2 3 4

1 Persiapan operasi elektif : puasa 6-8 jam (pasien dewasa)

2 Periksa kesiapan mesin anstesia, peralatan anestesia dan obat-


obat anestetik.

3 Berikan premedikasi secara IV atau IM

4 Lakukan induksi dengan obat intravena

5 Lakukan intubasi

6 Isi kaf pipa endotrakeal sampai tidak ada tanda bocor (tetapi
jangan terlalu keras)

7 Cek ke dalaman pipa endotrakeal dengan inspeksi gerakan


dada dan auskultasi bunyi nafasparu kiri dan kanan.

8 Hubungkan mesin anestesia dengan pipa endotrakeal

305
9 Atur aliran oksigen, aliran gas anestesia (N2O) dan atur kadar
zat anestetik uap

10 Berikan nafas buatan menggunakan balon anestesia sambil


mengatur katup

11 Monitor fungsi vital: oksigensi, saturasi Hb (SpO2),


ventilasi(ETCO2), tekanan darah, nadi, EKG, suhu, aliran
cairan infusi, produksi urin, perdarahan.

12 Atur kebutuhan obat suplemen analgetika opioid, kebutuhan


zat inhalasi, dan kebutuhan pelumpuh otot.

13 Akhir operasi yakinkan pasien bernafas spontan dan volume


nafas adekuat.(kecuali bila direncanakan untuk melanjutkan
bantuan nafas pascabedah) Bila perlu berikan antidotum zat
yang menyebabkan apnea berkepanjangan atau hipoventilasi.

14 Ekstubasi dilakukan bila nafas adekuat dan refleks protektif


baik

15 Harus selalu diawasi keadaan jalan nafas dan pernafasan pasca


ekstubasi

16 Berikan analgetika adekuat pascabedah..

Teknik intubasi nasal pada prinsipnya sama seperti di atas. Tetapi memerlukan analgesia topikal
dan tampon vasokonstriktor pada mukosa nasal. pipa endotrakeal dimasukkan melalui lubang
hidung, didorong sampai ke faring, lalu dengan bantuan laringoskop didorong ke arah glotis
melewati pita suara (dapat dengan bantuan forseps Magill). Teknik ini juga dapat dilakukan
secara buta.

No Prosedur anestesia intravena Kasus ke

1 2 3 4

1 Persiapan operasi elektif : puasa 6-8 jam (pasien dewasa)

306
2 Periksa kesiapan mesin anstesia, peralatan anestesia dan obat-
obat anestetik.

3 Berikan premedikasi secara IV atau IM

4 Berikan oksigen 3- 6 l/ mnt dengan nasal kanul atau sungkup


muka

5 Lakukan induksi dengan obat intravena

6 Monitor fungsi vital: oksigensi, saturasi Hb (SpO2),


ventilasi(ETCO2), tekanan darah, nadi, EKG, suhu, aliran
cairan infusi, produksi urin, perdarahan.

7 Atur kebutuhan obat suplemen analgetika opioid, dan


kebutuhan sedasi

8 Akhir tindakan yakinkan pasien bernafas spontan dan volume


nafas adekuat (kecuali bila direncanakan untuk melanjutkan
bantuan nafas pascabedah) Bila perlu berikan antidotum zat
yang menyebabkan apnea berkepanjangan atau hipoventilasi.

9 Harus selalu diawasi keadaan jalan nafas dan pernafasan


sampai ke ruang pulih

10 Berikan analgetika adekuat pascabedah..

Prosedur Intubasi LMA Kasus ke


No
(Intubasi setelah induksi anestesia umum) 1 2 3 4

1 Periksa kesiapan alat dan obat yang diperlukan

2 Pastikan LMA telah dikempeskan dan diberi lubrikasi dengan


NaCl 0,9% atau lidokain

3 Berikan obat premedikasi sesuai indikasi

4 Berikan obat induksi, sambil berikan oksigen, pastikan pasien


sudah tertidur cukup dalam

5 Berikan obat pelumpuh otot bila diperlukan

6 Posisikan kepala pasien pada sniffing position.


307
7 Buka mulut dan masukkan LMA menyusuri palatum, dengan
jari tengah dorong LMA kearah kranial sambil menyusuri
palatum.

8 Dorong LMA terus sampai menemui resistensi di dasar


hipofaring.

9 Kembangkan kaf LMA, pastikan posisi LMA dengan baik dan


lihat kembangan dada simetris untuk memastikan ventilasi
yang adekuat.

No Prosedur Induksi cepat Kasus ke

1 2 3 4
1 Periksa kesiapan alat dan obat yang diperlukan
2 Diperlukan seorang asisten untuk melakukan manuver Sellick
(penekanan pada krikoid)

3 Berikan preoksigenasi dengan oksigen 100% selama 3-5 menit

4 Berikan obat induksi dan pelumpuh otot kerja cepat

5 Posisikan kepala pasien dengan leher ekstensi

6 Asisten melakukan penekanan pada krikoid

7 Buka mulut dan masukkan daun laringoskop melalui sudut


kanan mulut

8 Tempatkan ujung daun pada valekula

9 Angkat epiglotis sampai tampak rima glotis dan pita suara

10 Masukkan pipa endotrakeal dengan tangan kanan

11 Asisten tetap melakukan penekanan pada krikoid sampai posisi


pipa endotrakeal sudah tepat di atas karina, di mana bunyi
nafaskanan dan kiri sama dengan ventilasi buatan

308
Prosedur Anestesia Blok Subarahnoid

No Prosedur Anestesia Blok Subarahnoid Kasus ke

(pendekatan cara midline)

1 2 3 4

1 Periksa kesiapan alat dan obat analgetik lokal yang diperlukan.

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk asepsis dan antisepsis

3 Posisikan pasien lateral dekubitus atau duduk, ganjal bahu dan


kepala pasien bila diposisikan lateral dekubitus.

4 Tentukan penunjuk anatomi celah antara L2-3, L3-4 atau L4-5.


Celah antara L3-4 atau prosesus spinosus L4 tegak lurus dari
spina iliaka anterior superior.

5 Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada penunjuk


anatomi yang ditentukan.

6 Berikan analgesia lokal pada celah yang akan dilakukan


penusukan jarum spinal.

7 Lakukan penusukan jarum spinal (atau introduser) pada celah


yang telah diberi analgesia lokal. Penusukan jarum harus
sejajar dengan prosesus spinosus atau sedikit membentuk
sudut ke arah sefalad, dengan arah bevel ke lateral atau
sefalad.

8 Dorong jarum sampai melewati resistensi ligamentum flavum


dan dura, terasa kehilangan tahanan pada rongga subarahnoid.

9 Cabut mandren jarum, dan pastikan posisi jarum sudah tepat


yang ditandai dengan mengalir keluar cairan serebrospinal

309
yang bening. Jarum dapat dirotasikan 90 untuk memastikan
kelancaran likuor yang keluar. Penusukkan harus diulang bila
likuor tidak keluar atau keluar darah.

10 Sambungkan jarum dengan spuit berisi obat analgetik lokal


yang sudah dipersiapkan. Aspirasi sedikit likuor, bila lancar
suntikan obat analgetik lokal secara perlahan. Lakukan aspirasi
ulang untuk memastikan ujung jarum tetap pada posisi yang
tepat dan suntikan kembali obat.

11 Setelah selesai cabut jarum dan kembalikan posisi pasien


sesuai dengan yang diinginkan.

Cara penyuntikkan paramedian pada dasarnya sama seperti


di atas, hanya jarum spinal disuntikkan pada 1,5 sm lateral
dan 1sm kaudal dari celah penyuntikkan yang dituju.

310
ANESTESIA OBSTETRI II

MODUL 16 :

Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 2)

Anestesia obstetrik- 2 adalah suatu rotasi yang


membutuhkan waktu paling sedikit 2 bulan (8
Sesi di dalam kelas pekan) untuk peserta didik semester 3 ke atas,
Sesi dengan fasilitasi Pembimbing yang meliputi anestesia untuk semua jenis
operasi obstetrik, terutama untuk kasus dengan
Sesi praktek dan pencapaian penyulit atau penyakit penyerta.
kompetensi

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

1. LCD Proyektor dan layar


2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Pemutar video
Materi presentasi:

CD PowerPoint

Sarana:

1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU

Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

311
Referensi :

1. Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr 4th ed 2006


2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006
3. Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005

GAMBARAN UMUM

Untuk dapat mengelola pasien obsteri anestesia diperlukan pengetahuan dan


keterampilan dalam penatalaksanaan perioperatf dari mulai persiapan prabedah sampai
penatalaksanaan pascabedah. Melalukan penatalaksanaan nyeri persalinan dan
memberikan anestesia umum atau regional untuk seksio sesarea pada seksio sesarea
dengan penyulit.

TUJUAN KHUSUS

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk :

Kognitif

1. Memiliki variabilitas denyut jantung janin, persalinan kurang bulan


(prematur), asfiksia neonatus.
2. Memiliki pengetahuan tentang kehamilan multipara, persalinan pervaginam
dengan riwayat seksio sesarea sebelumnya, perdarahan ante, intra dan
pospartum.
3. Memiliki pengetahuan tentang preeklampsia, eklampsia, sindrom HELLP .
4. Mampu menjelaskan tanda-tanda embolusair ketuban dan penatalaksanaannya.
5. Mampu menjelaskan tanda-tanda pneumonia asam (aspirasi) dan sindrom
Mendellson.
6. Memiliki pengetahuan tentang sindrom Meigs pada kasus tumor .
7. Mampu menjelaskan kelainan atau penyakit pasien obstetrik dengan risiko
tinggi yang akan mempengaruhi jalannya anestesia.
8. Mampu menjelaskan persiapan alat dan obat untuk anestesia umum dan
regional meliputi subarahnoid, epidural, kaudal (lihat prosedur anestesia
umum dan regional).
9. Mampu menjelaskan indikasi anestesia umum atau regional untuk kasus
obstetrik dan dengan penyulit dan penyakit penyerta.
10. Mampu menjelaskan rencana analgesia regional untuk prosedur bedah
obstetrik dan (lihat modul dan prosedur analgesia regional).
11. Mampu menjelaskan rencana anestesia umum untuk prosedur bedah obstetrik
dan termasuk teknik induksi cepat dan penatalaksanaan jalan nafas sulit pada
ibu hamil (lihat modul dan prosedur anestesia umum).
12. Mampu menjelaskan penatalaksanaan cairan dan transfusi darah pada kasus
obstetrik- .

312
13. Mampu menjelaskan evaluasi dan resusitasi bayi baru lahir.
14. Mampu menjelaskan penatalaksanaan anestesia operasi non obstetrik pada
pasien obstetrik.
15. Mampu menjelaskan penatalaksanaan anestesia operasi laparoskopi.
16. Mampu menjelaskan tentang ILA (Intrathecal labor analgesia) dan PCEA
(Patient controlled epidural analgesia) untuk persalinan pervaginam.
17. Mampu menjelaskan tindakan resusitasi ibu hamil.
18. Mampu menjelaskan penatalaksanaan pospartum dan pascabedah termasuk
penanganan nyeri dan mual muntah.
19. Mampu menjelaskan indikasi rawat ICU pascabedah.
Psikomotor

1. Mampu menentukan status fisis pasien obstetrik- dengan penyulit atau


penyakit penyerta berdasarkan klasifikasi ASA (III keatas).
2. Mampu menilai kondisi jalan nafas pasien hamil dengan tingkat kesulitannya,
dan membuat rencana penatalaksanaannya dengan baik.
3. Mampu melakukan identifikasi kelainan atau penyakit penyulit preoperatif
pasien dengan risiko tinggi (preeklampsia, eklampsia, sindrom HELLP,
kelainan jantung, sindrom Meigs dll) yang akan mempengaruhi jalannya
anestesia dan melakukan penatalaksanaannya.
4. Mampu melakukan analgesia regional meliputi subarahnoid, epidural, kaudal
untuk prosedur bedah kasus obstetrik dan dengan penyulit atau kelainan
penyerta (lihat modul dan prosedur analgesia regional).
5. Mampu memberikan anestesia umum untuk prosedur bedah obstetrik dan
termasuk teknik induksi cepat dan penatalaksanaan jalan nafas sulit pada ibu
hamil (lihat modul dan prosedur anestesia umum).
6. Mampu mengenali komplikasi (hipertensi, hipotensi, edema paru, aspirasi,
penurunan kesadaran dll) pada kasus obstetrik dan cara penanganannya.
7. Mampu melakukan terapi cairan dan transfusi darah pada kasus obsterik .
8. Mampu memberikan anestesia operasi non obstetrik pada pasien obstetrik.
9. Mampu memberikan anestesia operasi laparoskopi.
10. Mampu melakukan ILA (Intrathecal labor analgesia) dan PCEA (Patient
controlled epidural analgesia) untuk persalinan pervaginam
11. Mampu melakukan resusitasi ibu hamil.
12. Mampu melakukan evaluasi dan resusitasi bayi baru lahir (lihat modul
anestesia umum dan pediatrik).
13. Mampu melakukan penatalaksanaan pospartum, penanganan nyeri dan mual
muntah.
14. Mampu melakukan pencatatan hal penting dalam rekam medis preoperatif,
intra dan pascabedah terkait dengan tindakan anestesia.
15. Mampu menentukan indikasi rawat ICU pascabedah.
Komunikasi/Hubungan Interpersonal

1. Mampu menjelaskan pada pasien atau keluarga pasien tentang kondisi pasien
preoperatif , tindakan anestesia umum yang akan dilakukan serta risiko yang
dapat timbul.
2. Mampu memberikan penjelasan kepada rekan sejawat atau konsulen tentang

313
kondisi pasien untuk kemungkinan pemeriksaan tambahan, pemberian obat-
obatan atau upaya optimalisasi kondisi pasien.
3. Mampu menjelaskan tentang kondisi pasien kepada operator sebelum operasi
terutama untuk mencegah terjadi keadaan atau kondisi pasien yang tidak
diinginkan.
4. Mampu berinteraksi atas dasar saling menghormati dan menciptakan kondisi
kerjasama tim yang terlibat di kamar bedah.
5. Mampu memperoleh kemudahan pasien untuk rawat ICU atau ruang lain
sesuai kondisi pasien pascabedah.
Profesionalisme

1. Mampu bekerja sesuai prosedur.


2. Mampu berinteraksi dengan sejawat lain maupun paramedis dan tenaga
kesehatan lain atas dasar saling menghormati kompetensi masing-masing.
3. Mampu menjaga kerahasiaan pasien.
4. Mampu memahami, memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarganya
tentang kondisi pasien sesuai hak pasien.
5. Mampu melakukan pekerjaan secara efisien.

KEYNOTES:

1. Morbiditas paling umum pada pasien obstetri (OB) adalah perdarahan berat
dan preeklampsia
2. Tanpa memandang kapan saat makan terakhir semua pasien OB dianggap
lambung penuh dan berisiko untuk terjadinya aspirasi paru.
3. Hampir semua opioid analgesia dan sedatif yang diberikan parenteral
menembus sawar plasenta dan mempengaruhi fetus. Teknik analgesia
regional lebih disukai untuk penatalaksanaan nyeri persalinan.
4. Penggunaan campuran obat analgetik lokal dengan opioid untuk analgesia
lumbal epidural untuk penatalaksanaan nyeri persalinan secara nyata akan
mengurangi keperluan obat, dibandingkan dengan pemberian obat tersebut
secara sendiri-sendiri.
5. Analgesia optimal untuk persalinan blokade neural setinggi T10-L1 pada
kala I dan T10-S4 pada kala II persalinan.

GAMBARAN UMUM

Untuk dapat mengelola pasien obsteri anestesia diperlukan pengetahuan dan


keterampilan dalam penatalaksanaan perioperatif dari mulai persiapan prabedah sampai
penatalaksanaan pascabedah. Melalukan penatalaksanaan nyeri persalinan dan
memberikan anestesia umum atau regional untuk seksio sesarea pada pasien seksio
sesarea tanpa penyulit.

314
TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu melakukan penatalaksanaan
anestesia obstetri pada kasus sulit:

Preeklampsia atau eklampsia.

Kehamilan dengan penyakit berat yang menyertai.

Embolusair ketuban.

Pneumonia asam (aspirasi) dan sindrom Mendellson.

Sindrom Meigs

METODE PEMBELAJARAN

A. Proses pembelajaran dilaksanakan melalui metode :

1. Diskusi kelompok kecil


2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education
B. Peserta didik sudah harus mempelajari:

1. Bahan acuan (references)


2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran
3. Ilmu klinis dasar
C. Penuntun belajar (learning guide)terlampir

D. Tempat belajar (training setting) : ruang rawat pasien, kamar operasi, ruang pulih

pascabedah, ruang rawat ICU.

MEDIA

1. Kursus / pelatihan
2. Pelatihan di skill lab intubasi, LMA, subarahnoid, epidural, dan kaudal pada
manikin.

3. Belajar mandiri
4. Kuliah
5. Kuliah khusus Penatalaksanaan Anestesia Obstetrik dan 2
termasuk semua sub pokok bahasan dilakukan semester 3 pekan 1.

315
6. Diskusi kelompok
7. Laporan dan diskusi tentang problema preoperatif , penatalaksanaan jalan nafas,
anestesia umum atau regional, pemantauan dan penatalaksanaan pascabedah.

8. Kunjungan preoperatif
9. Bimbingan pembiusan dan asistensi
10. Pelatihan di kamar bedah intubasi, LMA, subarahnoid, epidural dan kaudal pada
pasien obstetrik dan dengan bimbingan dan pengawasan staf

pengajar.

11. Tugas baca dan tulisan (tinjauan pustaka, journal reading)


12. Laporan kasus, morbiditas dan mortalitas
13. Continuing Profesional Development (CPD)

ALAT BANTU PEMBELAJARAN

Perpustakaan, internet, skill lab

EVALUASI

1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-tes dalam bentuk esai dan lisan untuk menilai
kinerja awal peserta didik dan melakukan identifikasi kekurangan yang ada. Materi pre-
tes terdiri atas :

- Anatomi, fisiologi kehamilan, farmakologi perinatal

- Penegakan diagnosis dan ASA

- Teknik pembiusan (umum, regional)

- Pengawasan intraoperasi

- Komplikasi dan penanganannya

- Penatalaksanaan pascabedah

2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang


teridentifikasi, membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.

3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam penuntun


belajar pada manikin anestesia bersama teman-temannya (peer assisted learning),
dievaluasi oleh teman-temannya (peer assisted evaluation).

4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di bawah

316
pengawasan fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien sesungguhnya.
Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan langsung (direct observation)
dan mengisi lembar penilaian:

- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak dilakukan

- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya tindakan
anestesia tidak mulus sehingga kurang memberi kenyamanan kepada pasien

- Baik : pelaksanaan benar, baik dan efisien

5. Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.

6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun


belajar.

7. Pendidik/fasilitator melakukan :

- Pengamatan langsung dengan memakai ceklis evaluasi (terlampir)

- Diskusi dan penjelasan lisan dari peserta didik

- Kriteria penilaian keseluruhan : baik/cukup/kurang

8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan atau
diberi tugas untuk memperbaiki kinerja.

9. Pencapaian pembelajaran dengan pre dan pos-tes.

Pre-tes :

1. Jelaskan tentang variabilitas denyut jantung janin, persalinan kurang bulan


(prematur), asfiksia neonatus.
2. Jelaskan tentang kehamilan multipara, persalinan pervaginam dengan riwayat
seksio sesarea sebelumnya, perdarahan ante, intra dan pospartum beserta
komplikasinya.
3. Jelaskan patofisiologi preeklampsia, eklampsia, sindrom HELLP .
4. Jelaskan tanda-tanda embolusair ketuban dan penatalaksanaannya.
5. Jelaskan tanda-tanda pneumonia asam (aspirasi) dan sindrom Mendellson.
6. Jelaskan kelainan atau penyakit pasien obstetrik dengan risiko tinggi yang akan
mempengaruhi jalannya anestesia.
7. Jelaskan persiapan alat dan obat untuk anestesia umum dan regional meliputi
subarahnoid, epidural, kaudal (lihat prosedur anestesia umum dan regional).
8. Jelaskan indikasi anestesia umum atau regional untuk kasus obstetrik dan dengan

317
penyulit dan penyakit penyerta.
9. Jelaskan rencana analgesia regional untuk prosedur bedah obstetrik dan (lihat
modul dan prosedur analgesia regional).
10. Jelaskan rencana anestesia umum untuk prosedur bedah obstetrik dan termasuk
teknik induksi cepat dan penatalaksanaan jalan nafas sulit pada ibu hamil (lihat
modul dan prosedur anestesia umum).
11. Jelaskan penatalaksanaan cairan dan transfusi darah pada kasus obstetrik .
12. Jelaskan evaluasi dan resusitasi bayi baru lahir.
13. Jelaskan penatalaksanaan anestesia operasi non obstetrik pada pasien obstetrik.
14. Jelaskan penatalaksanaan anestesia operasi laparoskopi.
15. Jelaskan tentang ILA (Intrathecal labor analgesia) dan PCEA (Patient controlled
epidural analgesia) untuk persalinan pervaginam.
16. Jelaskan tindakan resusitasi ibu hamil.
17. Jelaskan penatalaksanaan pospartum dan pascabedah termasuk penanganan nyeri
dan mual muntah.
18. Jelaskan indikasi rawat ICU pascabedah.

Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).

Bentuk ujian :

- Ujian akhir stase


- Ujian akhir profesi
Bisa dalam bentuk :

1. Pengetahuan

- MCQ
- EMQ (Extended Medical Question)
- Ujian lisan

2.Kognitif

- EMQ (Extended Medical Question)


- Multiple observation and assessments
- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
3. Skill

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck

318
4.Communication and Interpersonal Skills

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
5.Profesionalisme

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia Sudah Belum


dilakukan dilakukan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1 Anamnesis, periksaan fisis, pemeriksaan penunjang

2 Penentuan ASA :

Kelainan/penyulit :

3 Persiapan alat, mesin pembiusan, STATIK, obat

4 Pemasangan monitor

ANESTESIA

1 Anestesia umum (intubasi, LMA)

2 Analgesia regional (subarahnoid, epidural)

3 Anestesia persalinan pervaginam (ILA, PCEA)

3 Pemberian cairan dan transfusi darah

4 Komplikasi dan penanganannya

PENATALAKSANAAN PASCABEDAH

1 Pengawasan ABC dan tanda vital

2 Penanganan mual muntah dan nyeri pascabedah

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda ( )

319
DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur Standard atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur Standard atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

320
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

321
MATERI ACUAN

PLASENTA PREVIA
Perdarahan antepartum adalah penyebab utama kematian ibu pada pasien-pasien
kebidanan. Perdarahan hebat pada periode antepartum umumnya disebabkan karena
plasenta previa atau solusio plasenta. Kejadian plasenta previa antara 0,1-1%.
Perdarahan ini disebabkan karena robeknya plasenta. Pada plasenta previa dengan
perdarahan aktif, seksio sesarea dilakukan dengan anestesia umum. Berikan kristaloid,
koloid atau darah untuk mempertahankan volume intravaskular yang dilihat dari tekanan
darah, frekuensi nadi, CVP dan diuresis. Bila plasenta previa sudah ada perdarahan,
anestesia dilakukan dengan anestesia umum. Bila belum ada perdarahan dapat dengan
spinal atau epidural anestesia.

Induksi anestesia dengan dosis kecil tiopental atau ketamin (1mg/kg) bila ada
hipotensi. Apabila operasinya bekas seksio, maka penanganan plasenta previa ini harus
lebih hati-hati karena mungkin ada plasenta akreta, inkreta atau perkreta sehingga
diperlukan histerektomi setelah dilakukan seksio sesarea. Penanganan anestesia pada
seksio sesarea pada bekas seksio harus dipasang jarum infusi yang besar, selimut
penghangat dan darah. Clark dkk, mengamati hubungan antara jumlah seksio sesarea
sebelumnya dan kejadian plasenta previa. Kejadian plasenta akreta pada plasenta previa
bila pasien pernah satu kali di seksio adalah 24%, bila sudah menjadi 4 kali atau lebih
seksio sesarea, kejadian plasenta akreta mencapai 67%.

Teknik anestesia yang ideal untuk prosedur ini masih kontroversial, bisa dengan
regional atau anestesia umum dengan berbagai keuntungan dan kerugiannya masing-
masing.

SOLUSIOPLASENTAE
Adalah lepasnya plasenta dari tempat implantasinya yang normal dari desidua
basalis, kejadiannya 0,2-2% dan mortalitas perinatal sekitar 50%. Diklasifikasikan
sebagai ringan, sedang dan berat. Penyebabnya bisa karena trauma, tali pusat yang
pendek, yang tiba-tiba pada penekanan uterus, dan hipertensi. Perdarahan mungkin
tersembunyi dan berkumpul dibelakang plasenta. Gejala klinis awal berupa sakit perut
hebat disertai dengan tanda-tanda fetal distres.

Pada solusio plasenta ada gangguan pembekuan darah maka harus diperiksa Hb,
hematokrit, waktu perdarahan, trombosit, waktu protrombin, fibrinogen dan parsial
thromboplastin time. Bila tidak ada hipovolemia ibu atau insufisiensi uteroplasenta dan

322
bila pemeriksaan pembekuan normal dapat digunakan epidural analgesia kontinyu untuk
persalinan pervaginam. Pada solusioplasenta berat, maka perlu dilakukan seksio sesarea
dengan anestesia umum dan mungkin diperlukan transfusi darah masif. Bila ketika
dilahirkan bayinya masih hidup, maka perlu resusitasi aktif sebab maternal hipovolemia
akan menyebabkan terjadinya syok pada neonatus.

Perbedaan solusioplasenta dan plasenta previa terlihat pada tabel di bawah ini :

Table : Differential Diagnosis (Plasenta Previa vs. Plasenta Abrupsio)


Clinical Features Plasenta Previa Plasenta Abrupsio
Bleeding Painless Painful

Blood Fresh Dark, old, mixed with cloths

Clothing problems Uncommon Common

Sudden fetal distres Uncommon Common

RUPTURA UTERI
Ruptur uteri paling sering terjadi pada pasien yang telah mengalami operasi pada
uterus misalnya seksio sesarea atau invasi trofoblas. Pada beberapa keadaan harus
dilakukan histerektomi. Jadi pasien-pasien yang melahirkan pervaginam tetapi ada
riwayat seksio sesarea atau operasi uterus harus diobservasi dengan ketat, karena ada
kemungkinan terjadi ruptur uteri karena adanya sikatrik pada uterus merupakan
problema utama, sehingga epidural analgesia untuk persalinan pada pasien-pasien
tersebut menjadi indikasi-kontra relatif karena hilangnya gejala sakit dari ruptur uteri,
karena rasa nyeri diblokade oleh epidural analgesia.

Beberapa penelitian dengan memakai bupivakain 0,25-0,37% menunjukkan


bahwa konsentrasi ini tidak menghilangkan sakit akibat ruptur uteri. Demiaczuk dkk.
menyokong adanya beberapa keuntungan dari epidural analgesia untuk persalinan pada
pasien dengan bekas seksio. Kesimpulan akhir adalah epidural analgesia dapat
digunakan untuk persalinan per vaginam pasien-pasien bekas seksio tetapi denyut
jantung bayi dan intensitas kontraksi uterus harus terus dimonitor.

PRE-EKLAMPSI DAN EKLAMPSI


Pre-eklampsi adalah suatu kelainan yang tidak manifes sebelum kehamilan 20
pekan. Kejadian paling tinggi pada primi gravida, dan prevalensi terbesar pada multi

323
para. Pre-eklampsi khas dengan adanya trias : hipertensi, protein uria, dan edema yang
menyeluruh.

Disebut pre-eklampsi ringan bila pada wanita yang sebelumnya normotensi ada
kenaikan tekanan diastolik menjadi > 90 mmHg dengan protein uria < 0,25 gr/lt. Disebut
pre-eklampsi berat bila tekanan sistolik > 160mmHg atau diastolik > 110 mmHg,
peningkatan yang cepat dari protein uria, oliguria < 100 ml/24 jam, ada gangguan
serebral atau penglihatan, edema paru atau sianosis. Pre-eklampsi bisa menjadi
ekslampsi pada setiap tingkatan bila terjadi kejang-kejang. Kejang-kejang bisa terjadi
sebelum persalinan, selama persalinan dan segera pada periode pospartum.

Etiologinya masih belum jelas, tapi semua peneliti setuju bahwa kelainan yang
esensial adalah adanya iskemia utero plasental. Ada 3 faktor :

cedera imunologis pada plasenta


iskemia uterus
timbulnya koagulasi intravaskular
Mekanisme dasarnya dihubungkan dengan faktor genetik, ketidakseimbangan
metabolisme prostaglandin, gangguan defisiensi nutrisi atau kombinasi dari faktor-faktor
tadi. Yang menarik, penyakit ini mempunyai penyebaran geografi dan sosio ekonomi,
lebih banyak di negara berkembang, nyata menurun pada daerah yang lebih
berkembang. Jelas hal ini menyokong faktor nutrisi, genetik dan interaksi antara kedua
hal itu, tetapi walaupun hal ini terlihat pada beberapa penelitian, etiologi pasti tetap
belum jelas. Kemungkinan ketidakseimbangan produksi tromboksan dan prostasiklin
merupakan mekanisme dasar yang harus dipertimbangkan. Sering pada primigravida,
kejadian lebih tinggi bila ada pembesaran uterus yang cepat misalnya kehamilan lebih
dari satu (kembar), diabetes melitus, polihidramnion, mola hidatidosa.

Patofisiologi Pre-eklampsi / Eklampsi

Perubahan patofisiologi dari pre-eklampsi disebabkan karena perubahan-


perubahan vaskular dalam plasenta selama trimester pertama kehamilan. Suatu reaksi
antigen antibodi antara jaringan ibu dan fetal menimbulkan vasikulitis plasenta. Pada
kehamilan lebih lanjut akan membawa ke arah anoksia jaringan dan pelepasan
thromboplastin-like substance ke sirkulasi ibu, menyebabkan gejala pre-eklampsi.
Iskemia uteroplasenta menyebabkan ekskresi renin-like substance, yang menyebabkan
peningkatan produksi angiotensin dan aldosteron. Diduga ada penghambatan sistem
substansi vasodilator, terutama prostaglandin. Akibat vasokontriksi menimbulkan
terjadinya :

hipertensi
lesi pada glomerulus yang menyebabkan proteinuria

324
penurunan GFR yang menimbulkan peningkatan reabsorbsi sodium dan terjadi
edema.
Penyebab kematian Ibu adalah edema paru dengan gagal jantung kongestif (CHF),
hipertensive serebral encephalopathy, perdarahan otak, abruptio plasentae, renal
failure, necorosis hypophyse.

a) Susunan Saraf Pusat :

Komplikasi neurologis dari kehamilan, termasuk sakit kepala, gangguan penglihatan,


hiper-refleksia adalah tanda-tanda adanya ancaman terjadinya konvulsi, tapi konvulsi
dapat juga terjadi tanpa tanda-tanda sebelumnya. Konvulsi sulit diatasi, dan bisa
terjadi status epileptikus. Beberapa peneliti menyatakan serebral edema adalah faktor
utama untuk terjadinya konvulsi, tapi penelitian baru-baru ini meragukan keterangan
tadi. Sheehan dan Lynch menemukan tidak ada fakta bahwa ada pembengkakan otak
dan menyatakan bahwa serebral edema tidak mungkin terjadi pada eklampsi.
Penelitian dengan CT scan pada 43 wanita hamil dengan eklampsi menemukan
edema terjadi pada 27 penderita, dan beratnya edema dihubungkan dengan lamanya
kejang-kejang intermiten. Pada 5 penderita menunjukkan adanya kenaikan sekilas
dari tekanan intra kranial, dan perdarahan intra kranial, yang bisa fatal, ditemukan
pada 4 penderita. Daerah hipoksik-iskemia merupakan lesi yang paling penting.
Penelitian yang lain dengan CT-Scan, MRI, dan serebral angiografi menyokong
konsep bahwa prinsip dasar patologi adalah vasospastik iskemia cedera daripada
edema yang menyeluruh. Bila konvulsi berat dan berlangsung lama, bisa terjadi
edema otak yang menyeluruh, jadi edema ini akibat konvulsi bukan sebagai penyebab
konvulsi eklampsi.

Konvulsi eklampsi berbeda etiologinya dengan konvulsi hipertensi ensefalopati. Pada


hipertensi ensefalopati, konvulsi umumnya terjadinya bila kenaikan tekanan darah
melewati ambang autoregulasi otak. Pada keadaan tersebut, terjadi vasodilatasi di
fokal area akibat rusaknya sawar darah otak, dan terjadi ekstravasasi.
b) Sistem Kardiovaskular :

Terjadi penurunan volume darah kira-kira 10-15% dibandingkan dengan wanita hamil
normal. Sistemic Vascular Resistance (SVR) meningkat. Peneliti lain, mendapatkan
bahwa sampai 25% dari pasien menunjukkan fungsi miokardial yang suboptimal, dan
menyokong bahwa ada ketidak sesuai antara CVP dan PCWP, walaupun keduanya
umumnya rendah.
Dibandingkan dengan kehamilan yang normal, pada pre-eklampsi volume
intravaskular menurun, curah jantung menurun, dan sistemik vaskular resisten
meningkat.

c) Koagulasi :

325
Gangguan koagulasi sering terjadi pada pasien pre-eklampsi/eklampsi dengan
trombositopenia, terjadi pada 1/3 pasien pre-eklampsi. Juga bisa terjadi hemolisis,
terutama dihubungkan dengan kelainan fungsi hepar dan disebut HELLP syndrome
(Haemolysis, Elevated Liver enzimes, Low Platelets) dan DIC terjadi kira-kira 7%
kasus. Kelton dkk, menyokong bahwa defisit fungsi trombosit bisa terlihat tanpa
dihubungkan dengan jumlah trombositnya.
Ramanathan dkk., menyatakan bahwa wanita dengan pre-eklampsi berat mempunyai
waktu perdarahan yang memanjang dengan jumlah trombosit yang adekuat,
hematokrit meningkat akibat hemokonsentrasi.
d) Sistem Respirasi :

Bisa terjadi kesulitan intubasi karena gangguan lapangan penglihatan oleh karena
adanya edema saluran nafas bagian atas dan laring.

e) Liver :

Disfungsi hepar mungkin penyebab dari keluhan sakit epigastrium, dan telah
diketahui bahwa disebabkan karena iskemia hepatik nekrosis, walaupun hal ini juga
bisa disebabkan karena perdarahan sub kapsula hepatis. Hipotensi yang tiba-tiba bisa
disebabkan karena ruptur hepar spontan, walaupun jarang terjadi tetapi dapat
menyebabkan kematian. Penurunan fungsi liver dapat mengubah klirens obat yang
dimetabolisme di hepar dan memerlukan penyesuaian dosis obat untuk mencegah
overdosis.
f) Ginjal :

Kerusakan ginjal dIbuktikan dengan adanya proteinuria, walaupun oliguria lebih


sering disebabkan hipovolemia dan penurunan RBF daripada oleh kerusakan ginjal.
Telah dibuktikan bahwa lesi primernya adalah renal vasospasme dan peningkatan
permeabilitas glomerulus terhadap molekul yang besar. Dapat terjadi ARF (Acut
Renal Failure) yang memerlukan dialisis yang bisa dipresipitasi oleh adanya
hipotensif terapi yang berlebihan atau oleh Hb-uria (adanya HELLP syndrome).
Tetapi prognosisnya baik, Sibai melaporkan dari 18 pasien ARF akibat eklampsi, 16
pasien baik tanpa sekuele. Sedangkan yang 2 lagi, meninggal akibat penyebab di luar
ginjal.

Table : Differential Diagnosis of HELLP Syndrome, Throbotic Throbocytic


Purpura, Hemolytic-Uremic Syndrome, and Fatty Liver of Pregnancy
Disorder HELLP TTP HUS FLP

Microangiopathic
hemolytic anemia + + +

326
Trombositopenic
bleeding + + + +

Neurological
dysfunction + ++

Renal dysfunction + +++ +

FLP = Fatty Liver of Pregnancy.

g) Feto-plasental unit :

Terjadinya disfungsi plasenta dengan gambaran morfologi yang abnormal dan


keabnormalan pertumbuhan plasenta merupakan penyebab utama dari terjadinya
preeklampsi. Sering terjadi penurunan perfusi plasenta dan solusio plasenta, sehingga
bisa menimbulkan retardasi pertumbuhan intrauterine dan terjadi kematian fetus.
Dengan pertimbangan keselamatan ibu, sering bayi segera dilahirkan, dan sebagai
akibatnya kejadian respiratory distres lebih tinggi pada neonatus yang lahir dari Ibu
preeklampsi/eklampsi. Neonatus yang imatur juga menderita perkembangan sistem
metabolisme yang jelek, jadi mempunyai risiko yang lebih tinggi terhadap obat dari
pada bayi yang sehat dari ibu yang gravida aterm.

Penatalaksanaan Pasien Pre-eklampsi

Penatalaksanaan pasien eklampsi/pre-eklampsi idealnya dilakukan secara multi


disipliner dan anestetis ikut dalam penatalaksanaan pre-eklampsi berat pada stadium
dini. Bila diberikan MgSO4, anestetis dapat menaksir fungsi neuromuskular, sehingga
dapat memberikan advis dalam proteksi jalan nafas dan depresi nafas. Terapi terbaik
untuk pre-eklampsi adalah segera melahirkan fetus dan gejala umumnya reda dalam 48
jam setelah bayi dilahirkan. Terapinya simptomatis, sasaran utama adalah mencegah
konvulsi, memperbaiki perfusi organ dan utero-plasental, menurunkan tekanan darah
dan mengoreksi gangguan pembekuan. Pada kasus yang berat, diperlukan pemantauan
tekanan arterial, CVP dan tekanan arteri pulmonalis.

a) Pengendalian Konvulsi

327
Terapi untuk kejang-kejang terdiri dari oksigenasi, ventilasi, antikonvulsan.
Pengendalian konvulsi pada pasien pre eklampsi masih dalam perdebatan, di Eropa /
Inggris dengan obat-obat antikonvulsan sedangkan di Amerika dengan MgSO4.
Sedangkan di negara-negara lain dengan memakai kedua obat tadi, antikonvulsan dan
MgSO4. Pemberian MgSO4 sendiri tidak bekerja sebagai antikonvulsan karena tidak
menembus BBB, tetapi memberikan gambaran palsu dengan hilangnya kejang-kejang
karena efek MgSO4 untuk blokade neuromuskular, tapi alasan ini tidak kena untuk
pasien yang bangun dan bernafas spontan. Prinsip adanya serebral vasospasme
menyokong pemberian MgSO4 karena magnesium adalah suatu serebral vasodilator
kuat, maka rasional kalau bisa mengendalikan komplikasi SSP.

Dibandingkan dengan diazepam, diazepam + pentazosin, difenilhidantoin atau


epinutum, MgSO4 paling baik untuk terapi konvulsi. Magnesium lebih unggul
daripada diazepam bila dilihat dari efeknya terhadap bayi, tapi pada penelitian lain,
yang terbaik untuk neonatus adalah difenilhidantoin.

Obat-obat Antikonvulsan:

1) Magnesium Sulfat :

Magnesium sulfatadalah suatu SSP depresant dan vasodilator ringan. Dengan


relaksasi miometrium, ia juga menyebabkan peningkatan aliran darah utero
plasental. Setelah dosis awal 40-80 mg/kg secara i.v., diikuti infusi kontinyu 1-2
gr/jam, magnesium sulfat dipertahankan 6-8 meq/lt. Refleks tendon yang dalam
dikurangi pada kadar magnesium sulfat 10 meq/lt, dan bisa terjadi respiratori
paralisis dan blok jantung bila kadar magnesium sulfat di atas 12-15 meq/lt.
Magnesium potensiasi dengan non depolarisasi dan polarisasi pelumpuh otot.
Tranfer melalui plasenta menyebabkan bayi jadi lemah dan depresi nafas.
Kalsium intra vena bisa mengurangi kelemahan pada pascabedah akibat
magnesium. Bahaya terbesar dari magnesium infusi adalah blokade
neuromuskular, juga menurunkan resistensi perifer, dan meningkatkan curah
jantung. Efek samping dan efek toksik magnesium pada Ibu adalah :

kelemahan otot ibu


paralisis pernafasan
perubahan EKG : interval P-Q memanjang, QRS melebar, SA dan AV
blok
hilangnya refleks tendon profunda
henti jantung
Efek samping pada bayi :

penurunan tonus otot


depresi nafas dan apnea

328
Antidotum magnesium ialah dengan pemberian kalcium intravena. Umumnya
diberikan dengan dosis 1gr Ca.glukonas atau Ca.klorida intravena. Magnesium
diekskresi melalui ginjal.

Table : Effets of Increasing Plasma Magnesium Levels


Observed Condition mEq/L
Normal plasma level 1.5--2.0

Therapeutic range 4.0--6.0

ECG ranges (P-Q interval prolonged, QRS 5.0--10


complex widens)
10
Loss of deep tendon reflexes
15
Sinoatrial and atrioventricular block
15
Respiratory paralysis
25
Henti jantung

2) Diazepam :

Diazepam dengan dosis 5-10mg, bisa diberikan berulang-ulang sampai ada


efeknya. Dosis kontinyu 10 mg/jam sering digunakan untuk profilaksis, tapi bisa
menimbulkan sedasi yang dalam dengan risiko gangguan jalan nafas. Bisa terjadi
depresi fetal terutama pada bayi prematur karena obat ini menembus sawar
plasenta sehingga bisa menyebabkan neonatal hipotonia, depresi nafas dan
hipotermia. Penggunaan flumazenil untuk melawan efek sedasi pada ibu hamil,
ibu dan anak, belum dilaporkan. Karena itu tiopental 50-100mg i.v. lebih disukai
sebagai antikonvulsan.

3) Fenitoin :

Fenitoin lebih populer daripada diazepam karena kurangnya efek samping sedasi
dan level terapeutik 40-100 mol/lt. Dosis awal 10 mg/kg dilarutkan dalam 100
ml NaCl fisiologis, diberikan i.v. dengan kecepatan 50 mg/menit. Dua jam
kemudian, diberikan bolus yang kedua, diberikan dengan cara yang sama dengan
dosis 5 mg/kg. Terapi rumatan dimulai 12 jam setelah bolus yang kedua dengan

329
kecepatan 200 mg/8 jam secara oral atau intravena. Penggunaan cara ini sering
menimbulkan komplikasi rasa terbakar pada tempat infusi, diikuti dengan pusing
dan vertigo. Komplikasi hipotensi bisa terjadi, tapi sangat jarang.

b) Penatalaksanaan Kardiovaskular

1. Pemantauan

Tekanan darah (invasif, noninvasif)


CVP
CVWP
Masih diperdebatkan tentang pemantauan kardiovaskular yang paling adekuat
untuk pasien dengan pre-eklampsi berat. Harus diingat bahwa CVP tidak selalu
menunjukkan tekanan pengisian jantung kiri, dan konsekuensinya, ada risiko terjadinya
edema paru bila ada kelebihan volume pada pasien yang mempunyai disfungsi
ventrikular kiri. Karena pengisian volume sering diperlukan pada pasien-pasien ini,
maka CVP merupakan alat pemantauan yang minimal pada pasien dengan pre-eklampsi
berat, walaupun diakui bahwa CVP tidak atau kurang menunjukkan tekanan pengisian
ventrikular kiri. Bila ada hipertensi yang berat, dan digunakan obat-obat vasodilator
kuat, mungkin sebaiknya dipasang alat monitor tekanan darah invasif (jalur arterial).
Penggunaan kateter arteri pulmonalis jarang dipakai, karena harganya mahal, kecuali
pada pasien-pasien dengan kegagalan terapi hidralazin dosis normal untuk menurunkan
tekanan darah, edema paru, oliguria yang tidak responsif. Tetapi pada pengalaman-
pengalaman penggunaan monitor tekanan darah noninvasif dan CVP cukup baik untuk
penatalaksanaan pasien.

2. Pengendalian hipertensi :

Pasien harus dirawat di rumah sakit dan istirahat. Harus dipertimbangkan efek
postural, terutama untuk menghindari kompresi aortakaval. Pasien pre-eklampsi
umumnya relatif hipovolemia, juga ada vasospasme, yang dapat mengurangi perfusi
jaringan, sehingga akan berefek buruk pada ibu dan bayi. Walaupun ada anjuran
untuk terapi hipertensi secara agresif, kebanyakan penulis setuju untuk menurunkan
tekanan darah secara gradual sampai level di atas tekanan normal, pada umumnya
pada tekanan diastolik 90mmHg. Perhatian ditujukan pada perfusi plasenta dan fungsi
ginjal ibu, juga adanya cedera serebral bila tekanan darah diturunkan terlalu cepat.
Dalam hal konsep adanya serebral vasospasme dan serebral iskemia, penurunan
tekanan darah secara hati-hati disertai dengan pemantauan kardiovaskular yang
adekuat sangat baik sekali.
Harus diingat bahwa, sebelum pemakaian vasodilator, harus dilakukan dulu koreksi
hipovolemia, kalau tidak, bisa terjadi penurunan tekanan darah yang hebat. Obat yang
dipilih adalah yang menimbulkan arteriolar vasodilatasi daripada yang venodilatasi
yang akan mencegah kenaikkan curah jantung. Dihidralazin adalah obat yang paling

330
populer karena berefek dilatasi arterial dan mula kerja cepat.
a. Dihidralazin

Hidralazin (Apresolin) meningkatkan utero-plasental serta RBF dan


merupakan obat vasodilator yang paling umum digunakan. Dosis 5-10 mg i.v.
berefek dalam waktu 15 menit dan berakhir sampai 6 jam. Penambahan dosis 5
mg secara i.v., diikuti dengan infusi 5-20 mg/jam, diberikan secara titrasi
bergantung pada tekanan darah. Efek obat bisa menyebabkan hipotensi dan
takikardia. Mula kerja lambat, dan pengulangan dosis tidak boleh diberikan
dengan interval kurang dari 20 menit, bila tidak, akan terjadi hipotensi yang
hebat. Meninggikan RBF dan UBF, serta meningkatkan denyut jantung dan
curah jantung. Adanya takikardia dapat diterapi dengan penghambat beta
misalnya proponolol.

b. Metil dopa

Obat ini umumnya untuk pasien dengan hipertensi kronis. Dipakai dalam dosis
standard, tapi dapat menyebabkan ngantuk, depresi dan postural hipotensi, tapi
aman pada ibu hamil pada dosis 1-3 g/hari dengan pembagian dosis.

c. Nifedipin

Tidak banyak penelitian dalam pemakaian nifedipin untuk mengendalikan


tekanan darah pada eklampsi / pre-eklampsi. Prinsipnya kalsium antagonis
merupakan terapi yang logis dan dosis nifedipin sublingual 10 mg tiap 20 menit
sampai maksimum 30 mg. Ada laporan-laporan yang menguntungkan dari
fungsi ginjal, jumlah platelet.

d. Trimetafan

Keuntungan obat ini adalah tidak adanya efek serebral vasodilatasi. Obat
dipecah oleh kolinesterase dan karena tidak menembus sawar plasenta dapat
menyebabkan pemanjangan efek suxamethonium. Bisa terjadi takikardia dan
menyebabkan penurunan venous return.

e. Nitroprusid dan Nitrogliserin

Nitrogliserin bekerja primer pada kapasitas vena dan terbukti kurang efektif
bila sebelumnya diberikan ekspansi volume. Dianjurkan untuk pengendalian
tekanan darah pada waktu intubasi. Nitroprusid, sodium nitroprusid (Niprid)
adalah suatu vasodilator dengan mula kerjayang cepat dan lama kerja yang
pendek. Obat ini ideal untuk mencegah peningkatan tekanan darah yang sangat
berbahaya waktu induksi anestesia atau untuk terapi krisis hipertensi. Tetapi
pada kehamilan hanya dipakai untuk mengendalikan tekanan darah akibat
331
intubasi, karena ketakutan akan adanya intoksikasi sianida pada fetus. Kedua
obat ini mempanyai tendensi untuk menaikkan tekanan intra kranial ibu.

f. Obat-obat penghambat adrenergik beta

Obat-obat ini jarang digunakan karena adanya fakta-fakta yang menyokong


efek penghambat beta pada fetus. Baru-baru ini Labetalol telah dipakai pada
terapi eklampsi/pre-eklampsi dengan hasil yang baik, walaupun ada laporan
yang menganjurkan pemakaian secara hati-hati terutama bila bayinya prematur.

3. Pengendalian Volume Intravaskular

Meskipun ada bukti-bukti yang nyata pada eklampsi/ preeklampsi terdapat


penurunan volume intravaskular, masih ada perdebatan tentang pengisian dengan cairan,
setiap pasien harus dipertimbangkan tersendiri berdasarkan data kardiovaskularnya.
Tetapi prinsip dasar adalah pengisian dengan cairan harus dilakukan sebelum terapi
dengan vasodilator. Apakah yang diberikan koloid atau kristaloid masih diperdebatkan,
terutama pada pasien yang mempunyai tekanan onkotik rendah dan kebocoran kapiler.
Bila ada edema yang luas, berarti ada kebocoran kapiler, maka pengisian volume harus
diberikan dengan hati-hati. Ini penting untuk dipikirkan bahwa beberapa dari pasien-
pasien ini mempunyai penurunan kekembangan ventrikular, dan dapat terjadi
peningkatan CPWP yang besar secara tidak diduga-duga setelah pemberian sejumlah
kecil pengisian volume. Konsep lama tentang pemakaian diuretik berdasarkan pada
adanya edema, tidak disokong lagi dan kebanyakan klinisi percaya bahwa pemakaian
diuretik ini akan memperhebat defisit volume, dan penggunaan diuretik umumnya
disalahkan.

4. Penatalaksanaan Respirasi

Problema utama adalah penatalaksanaan jalan nafas, karena ada laporan tentang
adanya edema hebat pada jalan nafas bagian atas. Bila ada konvulsi, bisa terjadi trauma
pada lidah yang bisa menyebabkan obstruksi jalan nafas, dan intubasi menjadi sangat
sulit. Adanya edema paru terutama disebabkan karena pemberian cairan yang
berlebihan. ARDS jarang terjadi.

5. Fungsi Ginjal

Walaupun ada oliguria dan edema, tidak dianjurkan pemberian diuretik, sebab
penyebabnya adalah vasospasme dan penurunan volume sirkulasi darah. Pemberian
volume dan vasodilator akan meningkatkan RBF dan curah jantung. Pemakaian
dopamin dengan dosis <_5g/kg/menit, cukup menguntungkan, walaupun ada
peningkatan sensitivitas Ibu terhadap kathecholamin disirkulasi dengan akibat risiko
terjadinya hipertensi. Pemakaian nifedipin juga dicoba untuk memperbaiki keluaran

332
ginjal. Diuretik jangan digunakan kecuali bila ada hipertensi berat, CHF, retensi air yang
hebat, bila diperlukan efek potensiasi dengan obat anti hipertensi.

6. Koagulopati

DIC bisa terjadi pada pre-eklampsi yang berat. Pemberian trombosit, FFP, sel
darah merah sering diperlukan. Bila ada DIC, regional analgesia merupakan indikasi-
kontra.

Teknik Anestesia

Pada keadaan darurat yang betul-betul memerlukan operasi yang segera,


pengoptimalan keadaan pasien harus selalu dijalankan. Perbaikan volume darah,
pengendalian hipertensi, memperbaiki fungsi ginjal, terapi antikonvulsi akan
mempermudah penatalaksanaan anestesia. Regional analgesia tidak boleh dilakukan bila
jumlah trombosit < 100.000/mm3.

1.a. Epidural Anestesia :

Bisa digunakan untuk seksio sesarea pada pasien pre-eklampsi dengan volume
cairan dan pembekuan yang normal. Dengan regional anestesia terjadi pengurangan
endogenous epinefrin dan norepinefrin, jadi akan memperbaiki aliran darah
uteroplasental. Penurunan rasa nyeri dan ansietas mengurangi gejolak tekanan
darah dan kebutuhan narkotik.

1.b. Analgesia spinal:

Dihubungan dengan hipotensi yang berat dan tiba-tiba akibat blokade simpatis,
yang bisa menyebabkan penurunan perfusi uteroplasental dan fetal asfiksia.

2. Anestesia umum :

Mungkin diperlukan untuk seksio sesarea darurat dengan fetal distres. Adanya
edema jaringan lunak dapat menyebabkan kesulitan saat induksi karena adanya
pembengkakan periglotis. Adanya hipertensi sistemik dan hipertensi pulmonal
meningkatkan risiko terjadinya strok dan edema paru. Dihindari pemakaian ketamin.
Bisa dipakai 0,67 MAC enfluran, halotan atau isofluran. Karena ada sensitasi pelumpuh
otot dengan magnesium, perlu dipakai monitor simulator saraf (TOF = Train of Four).

Anestesia umum indikasi untuk seksio sesarea darurat karena induksi cepat dan
menghindari pelebaran ruangan intravaskular akibat blokade simpatis.

Indikasinya :

Hipovolemia yang dihubungkan dengan perdarahan. Pasien dengan plasenta previa

333
atau solusio plasenta akan lebih buruk dengan regional daripada dengan anestesia
umum.
Fetal distres akut : Pada keadaan ini diperlukan melahirkan bayi dengan segera.
Dengan regional anestesia akan lebih lambat, karena menunggu bekerjanya obat dan
persiapannya.

Obat-obat yang dipakai selama anestesia umum :

1. N2O
Sedikit sekali atau hampir tidak menekan bayi bila diberikan dengan minimal 50% O 2
dan diberikan dalam periode < 20 menit. Tidak ada depresi yang nyata pada bayi,
bila diberikan N2O 50% sebelum bayi lahir. Untuk seksio sesarea berikan O 2 50-
70%.

2. Halotan
Pada konsentrasi anestesia menyebabkan

atonia uteri dan pendarahan pospartum


depresi respirasi pada bayi
Halotan jarang sekali digunakan kecuali untuk manipulasi uterus, supaya dinding uterus
menjadi rileks. Sehingga halotan sebaiknya tidak dipakai untuk seksio sesarea.

Indikasi pemakaian halotan hanya untuk relaksasi uterus, misalnya : kontraksi tetanik
uterus, versi luar atau versi dalam, pelepasan plasenta secara manual, inversi uterus,
Bandl's ring.

3. Tiopental
Pada dosis 4 mg/kg tidak menyebabkan depresi pada bayi.

4. Pelumpuh otot
Untuk fasilitas intubasi bisa dipakai suksinilkolin, kurare, vekuronium, pankuronium,
atrakurium. Obat-obat ini tidak menembus sawar plasenta.

5. Pitosin
Obat-obat oksitosin yang paling sering digunakan adalah sintetik hormon pituitari
posterior yaitu oksitosin (Pitosin) dan ergot alkaloid ergonovin (Ergotrat) dan metil
ergonovin (metergin).

Oksitosin bekerja pada otot polos uterus untuk menrangsangan frekuensi dan kekuatan
kontraksi. Efek pada sistem kardiovaskular adalah penurunan tekanan sistolik,
diastolik, takikardia, aritmia. Pada dosis tinggi, bisa bekerja sebagai antidiuretik,
yang bisa membawa kearah intoksikasi air, serebral edema, konvulsi bila diberikan
cairan i.v. yang berlebihan.

6. Ergot alkaloi

334
Dalam dosis kecil meningkatkan kekuatan dan frekuensi kontraksi uterus,
dilanjutkan dengan relaksasi normal uterus. Pada dosis yang lebih tinggi, kontraksi
menjadi lebih kuat dan lama. Tonus saat istirahat meningkat, dan terjadi kontaksi
tetanik. Efek pada sistem kardiovaskular adalah vasokontriksi dan hipertensi,
terutama dengan adanya obat-obatan vasopresor. Bisa diberikan intramuskular atau
per oral. Suntikan intravena bisa menimbulkan terjadinya hipertensi, konvulsi, strok,
kerusakan retina, edema paru.

Ekstubasi :

Pada saat ekstubasi bisa terjadi kenaikan tekanan darah. Untuk mengatasinya
bisa diberikan analgetik (fentanil), lidokain, MgSO4, beta-bloker.

Asuhan pascabedah :

Walaupun terapi untuk pre-eklampsi adalah segera melahirkan bayi, tetapi


konvulsi masih bisa terjadi 10 hari sampai 2 pekan setelah melahirkan. Terapi anti
konvulsi, anti hipertensi mungkin masih diteruskan bila ada indikasi. Analgesia pasca
bedah harus diberikan karena rasa nyeri akan menaikkan tekanan darah.

Kesimpulan

Penatalaksanaan pasien dengan pre-eklampsi berat merupakan tantangan di


klinik. Anestetis harus bekerja dalam hal menghilangkan rasa nyeri, penatalaksanaan
fungsi kardiovaskular, pengendalian keseimbangancairan, fungsi respirasi, SSP dan
organ lain.

Kunci untuk praktek klinis :

Cegah dan terapi konvulsi dengan fenitoin atau MgSO4.


Fungsi kardiovaskular : hati-hati dalam mengganti volume defisit dan berikan
vasodilator (misal : hidralazin) untuk terapi hipertensi.
Jika tidak ada indikasi-kontra, pilihan pertama adalah epidural anestesia.
Anestesia umum memerlukan :
penatalaksanaan jalan nafas yang trampil.
pengendalian tekanan darah saat intubasi dengan Nitrogliserin atau
MgSO4/alfentanil.
hati-hati potensiasi dan interaksi obat, terutama magnesium dan pelumpuh
otot.
hati-hati penatalaksanaan pascabedah.

DIABETES MELITUS

335
Problema utama pada wanita hamil yang menderita diabetes melitus adalah :

insufisiensi plasenta superimposed preeclampsi


diabetik nefropatia diabetik ketoasidosis

Diabetik ketoasidosis merupakan faktor utama peningkatan kejadian morbiditas dan


mortalitas perinatal. Ada bukti bahwa ketone dapat menembus plecenta dan
menurunkan PaO2 fetus.

Pemberian anestesia pada parturien yang diabetes berdasarkan pada perubahan-


perubahan patofisiologi yang terjadi, antara lain gangguan aliran darah uteroplasental
dan gangguan transportasi oksigen. UPBF berkurang 35-45%. Makin tinggi kadar gula
darahnya, UPBF makin terganggu.

Penatalaksanaan anestesia :

a. Persalinan pervaginam :

Dapat diberikan epidural analgesia. Telah diketahui bahwa fetus pada permulaan kala
II kurang asidotik bila ibu menerima epidural anestesia dari pada fetus yang tidak
menerima analgesia.

Asidosis metabolik yang dihubungkan dengan tingginya konsentrasi laktat. Suatu


laporan penelitian mengatakan bahwa epidural analgesia akan mengurangi kadar
katekolamin endogen ibu selama persalinan dan hal ini akan menguntungkan perfusi
plasenta.

Analgesia spinaljuga dapat digunakan.

Dipasang infusi yang tidak mengandung dekstrosa bila diperlukan untuk terapi
hipotensi. Juga penting bahwa fetus pada ibu yang diabetes lebih cenderung hipoksia
akibat hipotensi ibu.

b. Anestesia untuk seksio sesarea :

Kejadian depresi kardiovaskular lebih tinggi pada regional anestesia untuk seksio
sesarea dan dihubungkan dengan lebih tingginya blokade simpatis karena penekanan
vena kava inferior dan aorta oleh uterus yang gravid.

Penelitian tahun 1977 yang membandingkan analgesia spinaldan anestesia umum untuk
seksio sesarea sehat dan ibu diabetes. Ternyata bahwa bayi dari ibu diabetes yang
menerima analgesia spinallebih asidotik dari pada bayi dari ibu diabetes yang menerima

336
anestesia umum. Asidosis ini dihubungkan dengan ibu diabetes dan mengalami
hipotensi. Bila dilakukan epidural analgesia, asidosis neonatal sekitar 60% kejadian ini
akibat hipotensi ibu, sebab pH selalu lebih dari 7,2 bila bila tidak ada hipotensi ibu.

Faktor-faktor yang menyebabkan bayi asidosis pada ibu yang diabetes adalah :

plasenta memproduksi laktat, terutama bila ada hipoksia atau peningkatan


penyimpangan glikogen.
asidemia laktik fetal bisa terjadi akibat hipoksia (sekunder terhadap hipotensi ibu)
pada keadaan hiperglikemia ibu.
Hiperinsulinisme dapat meningkatkan konsumsi oksigen. Hiperglikemia dan
hiperinsulinisme fetal bisa menyebabkan penurunan oksigenasi fetal.

Analgesia spinalaman digunakan untuk seksio sesarea pada ibu diabetes, asal :

diabetes terkontrol
jangan berikan dekstrosa untuk mengisi volume sebelum dilakukan spinal anestesia.
hindari hipotensi ibu.

Jadi berikan infusi yang bebas dekstrosa dan terapi segera hipotensi dengan efedrin dan
posisi pasien miring kekiri.

ASMA BRONKIAL
Progesteron mempunyai efek relaksasi bronkus, sehingga ada perbaikan penyakit
asma selama kehamilan, tetapi hal ini tidak selalu pasti. Terapi obat-obatan untuk
problema respirasi sama antara wanita hamil dan wanita yang tidak hamil.

Bila diperlukan analgesia untuk persalinan biasanya epidural kontinyu. Bila akan
dilakukan seksio sesarea harus diingat kemungkinan interaksi obat karena penderita
asma umumnya mendapat terapi :

metilsantin, misalnya teofilin, aminofilin


beta-mimetik, misalnya metaproterenol, albuterol (salbutamol), terbutalin,
fenoterol.
kortikosteroid.
Regional anestesia mempunyai sedikit pengaruh pada respirasi, bisa dengan analgesia
spinalatau epidural anestesia. Ada beberapa laporan tentang kejadian bronkospasme
pada pasien asma yang dilakukan spinal anestesia. Analgesia spinalmemblokade motorik
sehingga dapat mempengaruhi otot abdomen sehingga mempengaruhi fungsi ekspirasi.

Pada pasien dengan problema respirasi ini sebaiknya dihindari pemberian anestesia
umum. Tetapi bila diperlukan anestesia umum, maka harus diperhatikan hal-hal sebagai

337
berikut :

hindari pemakaian Penghambat reseptor H2 seperti simetidin, ranitidin.


pemberian premedikasi sulfas atropin dapat mengurangi sekresi dan bersifat
bronkodilator.
berikan antasid kurang lebih 30 ml.

Induksi dengan ketamin (berefek bronkodilator karena pelepasan katekolamin sentral),


intubasi dengan suksinilkolin atau vekuronium. Obat-obat anetesi inhalasi halotan,
enfluran dan isofluran berefek bronkodilator. Tetapi pemakaian halotan dapat
menyebabkan takikardia ventrikular dan aritmia pada pasien yang diberi aminofilin atau
obat beta-mimetik.

HAMIL KEMBAR

Dapat dengan spinal anestesia, epidural anestesia atau anestesia umum.

Problema pada hamil kembar adalah :

kompresi aortokaval lebih besar dan lebih tinggi angka kejadian hipotesi.
diafragma tertekan ke atas sehingga mudah terjadi hipoksia.
risiko aspirasi lebih besar.
bayinya sering prematur atau pertumbuhan terhambat. Teknik anestesianya : lebih
disukai analgesia epidural daripada analgesia spinal, sebab dengan analgesia
epidural kejadian hipotensi dan penyebaran analgetik lokal ke arah sefalad lebih
jarang. Dengan analgesia spinalkejadiankejadian tersebut lebih sering.

Anestesia umum juga dapat digunakan. Yang harus diperhatikan ID dan UD interval
harus singkat sebab ada risiko pelepasan plasenta.

OBESITAS
Obesitas adalah gambaran klinis yang sering ditemukan di negara-negara di
mana malnutrisi dan kemelaratan jarang dijumpai.

Ada beberapa cara menghitung berat badan :

1) Berat badan relatif

BB sebenarnya
(kg)

338
BB relatif = -------------------- x
----- 100%

TB (sm) - 100

Kriterianya : kurang 90% : kurus


antara 90%- : normal
110%
lebih 110%- : kelebihan
120% BB
lebih 120% : obesitas

2) Dengan Indeks massa tubuh (BMI) :


BB (kg)
BMI = -----------
---
TB
(sm)2

Kriterianya : BMI kurang 25 : tidak


obesitas
antara 25--29 : kelebihan
BB
lebih atau sama : obesitas
dengan 30

Morbid obesitas adalah bila berat badannya 2 kali BB ideal.

Morbid obesitas dibagi 2 golongan yaitu Obesitas sederhana (SO) dan Sindroma
obesitas hipoventilasi (OHS) atau Pickwickian sindroma. OHS adalah bila sudah ada
hipoventilasi, hiperkapnia. Pasien OHS terlihat somnolen, letargi, pletora, sianosis,
edema, pembesaran jantung kanan, polisitemia, penurunan kapasitas vital, hipertensi

339
pulmonal, hipervolemia.

Problema utama pada ibu obesitas adalah :

adanya penyakit sertaan seperti hipertensi, insufisiensi respirasi, diabetes melitus.


banyaknya volume isi lambung dengan pH yang rendah.
sulit melakukan regional anestesia
komplikasi obstetrinya tinggi
laringoskopi-intubasi sulit
kejadian kecelakaan punksi dural tinggi
kegagalan epidural analgesia lebih tinggi (42% dibanding 6% pada pasien biasa).

EMBOLUSCAIRAN AMNION

Emboluscairan amnion terjadi 1 : 20.000 / 1 : 30.000 persalinan dan kebanyakan


meninggal. Patogenesis kelainan ini adalah robekan amnion atau korion, terbukanya
vena uterin dan endoservikal dan tekanan mendorong cairan amnion masuk ke sirkulasi
vena. Gejala-gejalanya adalah distres nafas, syok, pendarahan (dari DIC), koma, edema
paru, sianosis, perubahan mental, kejang-kejang. Bila pasien bisa hidup, problema yang
lainnya adalah gagal ginjal, gagal nafas dan koagulopati.

Faktor predisposisinya adalah pasien dengan pemberian oksitosin, mukonium dalam


cairan amnion, intraurin fetal death, solusio plasenta, umur tua, multipara, manipulasi
vagina, seksio sesarea.

Terapinya adalah resusitasi, segera lahirkan bayinya. Intubasi dan FiO2 tinggi, PEEP,
berikan furosemid, transfusi komponen darah untuk mengoreksi edema paru dan
perubahan hematologi.

Referensi :

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology,


4th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

LAMPIRAN

340
No Prosedur anestesia umum Kasus ke

(Intubasi setelah induksi anestesia umum) 1 2 3 4

1 Persiapan operasi elektif : puasa 6-8 jam (pasien dewasa)

2 Periksa kesiapan mesin anestesia, peralatan anestesia dan


obat-obat anestetik.

3 Berikan premedikasi secara IV atau IM

4 Lakukan induksi dengan obat intravena

5 Lakukan intubasi

6 Isi kaf pipa endotrakeal sampai tidak ada tanda bocor (tetapi
jangan terlalu keras)

7 Cek kedalaman pipa endotrakeal dengan inspeksi gerakan


dada dan auskultasi bunyi nafas paru kiri dan kanan.

8 Hubungkan mesin anestesia dengan pipa endotrakeal

9 Atur aliran oksigen, aliran gas anestesia (N2O) dan atur


kadar zat anestetik uap

10 Berikan nafas buatan menggunakan balon anestesia sambil


mengatur katup

11 Monitor fungsi vital: oksigensi, saturasi Hb (SpO2),


ventilasi(ETCO2), tekanan darah, nadi, EKG, suhu, aliran
cairan infusi, produksi urin, perdarahan.

12 Atur kebutuhan obat suplemen analgetika opioid, kebutuhan


zat inhalasi, dan kebutuhan pelumpuh otot.

13 Akhir operasi yakinkan pasien bernafas spontan dan volume


nafas adekuat.(kecuali bila direncanakan untuk melanjutkan
bantuan nafas pascabedah) Bila perlu berikan antidotum2 zat
yang menyebabkan apnea berkepanjangan atau hipoventilasi.

14 Ekstubasi dilakukan bila nafas adekuat dan refleks protektif


baik

15 Harus selalu diawasi keadaan jalan nafas dan pernafasan

341
pasca ekstubasi

16 Berikan analgetik adekuat pascabedah..

Teknik intubasi nasal pada prinsipnya sama seperti di atas. Tetapi memerlukan analgesia topikal
dan tampon vasokonstriktor pada mukosa nasal. pipa endotrakeal dimasukkan melalui lubang
hidung, didorong sampai ke faring, lalu dengan bantuan laringoskop didorong ke arah glotis
melewati pita suara (dapat dengan bantuan forcep Magill). Teknik ini juga dapat dilakukan
secara buta.

No Prosedur anestesia intravena Kasus ke

1 2 3 4

1 Persiapan operasi elektif : puasa 6-8 jam (pasien dewasa)

2 Periksa kesiapan mesin anestesia, peralatan anestesia dan


obat-obat anestetik.

3 Berikan premedikasi secara IV atau IM

4 Berikan oksigen 3- 6 l/ mnt dengan nasal kanul atau sungkup


muka

5 Lakukan induksi dengan obat intravena

6 Monitor fungsi vital: oksigensi, saturasi Hb (SpO2),


ventilasi(ETCO2), tekanan darah, nadi, EKG, suhu, aliran

342
cairan infusi, produksi urin, perdarahan.

7 Atur kebutuhan obat suplemen analgetik opioid, dan


kebutuhan sedasi

8 Akhir tindakan yakinkan pasien bernafas spontan dan volume


nafas adekuat (kecuali bila direncanakan untuk melanjutkan
bantuan nafas pascabedah) Bila perlu berikan antidotum zat
yang menyebabkan apnea berkepanjangan atau hipoventilasi.

9 Harus selalu diawasi keadaan jalan nafas dan pernafasan


sampai ke ruang pulih

10 Berikan analgetik adekuat pascabedah..

Prosedur Intubasi LMA Kasus ke


No
(Intubasi setelah induksi anestesia umum) 1 2 3 4

1 Periksa kesiapan alat dan obat yang diperlukan

2 Pastikan LMA telah dikempeskan dan diberi lubrikasi dengan


NaCl 0,9% atau lidokain

3 Berikan obat premedikasi sesuai indikasi

4 Berikan obat induksi, sambil berikan oksigen, pastikan pasien


sudah tertidur cukup dalam

5 Berikan obat pelumpuh otot bila diperlukan

6 Posisikan kepala pasien pada sniffing position.

7 Buka mulut dan masukkan LMA menyusuri palatum, dengan


jari tengah dorong LMA ke arah kranial sambil menyusuri
palatum.

8 Dorong LMA terus sampai menemui resistensi di dasar


hipofaring.

9 Kembangkan kaf LMA, pastikan posisi LMA dengan baik dan


lihat kembangan dada simetris untuk memastikan ventilasi

343
yang adekuat.

No Prosedur Induksi cepat Kasus ke

1 2 3 4
1 Periksa kesiapan alat dan obat yang diperlukan
2 Diperlukan seorang asisten untuk melakukan manuver Sellick
(penekanan pada krikoid)

3 Berikan preoksigenasi dengan oksigen 100% selama 3-5 menit

4 Berikan obat induksi dan pelumpuh otot kerja cepat

5 Posisikan kepala pasien dengan leher ekstensi

6 Asisten melakukan penekanan pada krikoid

7 Buka mulut dan masukkan daun laringoskop melalui sudut


kanan mulut

8 Tempatkan ujung daun pada valekula

9 Angkat epiglotis sampai tampak rima glotis dan pita suara

10 Masukkan pipa endotrakeal dengan tangan kanan

11 Asisten tetap melakukan penekanan pada krikoid sampai


posisi pipa endotrakeal sudah tepat di atas karina, di mana
bunyi nafas kanan dan kiri sama dengan ventilasi buatan

Prosedur Anestesia Blok Subarahnoid

344
No Prosedur Anestesia Blok Subarahnoid Kasus ke

(pendekatan cara midline)

1 2 3 4

1 Periksa kesiapan alat dan obat analgetik lokal yang diperlukan.

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk asepsis dan antisepsis

3 Posisikan pasien lateral dekubitus atau duduk, ganjal bahu dan


kepala pasien bila diposisikan lateral dekubitus.

4 Tentukan penunjuk anatomi celah antara L2-3, L3-4 atau L4-5.


Celah antara L3-4 atau prosesus spinosus L4 tegak lurus dari
spina iliaka anterior superior.

5 Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada penunjuk


anatomi yang ditentukan.

6 Berikan analgesia lokal pada celah yang akan dilakukan


penusukan jarum spinal.

7 Lakukan penusukan jarum spinal (atau introduser) pada celah


yang telah diberi analgesia lokal. Penusukan jarum harus
sejajar dengan prosesus spinosus atau sedikit membentuk
sudut ke arah sefalad, dengan arah bevel ke lateral atau
sefalad.

8 Dorong jarum sampai melewati resistensi ligamentum flavum


dan dura, terasa kehilangan tahanan pada rongga subarahnoid.

9 Cabut mandren jarum, dan pastikan posisi jarum sudah tepat


yang ditandai dengan mengalir keluar cairan serebrospinal
yang bening. Jarum dapat dirotasikan 90 untuk memastikan
kelancaran likuor yang keluar. Penusukkan harus diulang bila
likuor tidak keluar atau keluar darah.

10 Sambungkan jarum dengan spuit berisi obat analgetik lokal


yang sudah dipersiapkan. Aspirasi sedikit likuor, bila lancar
suntikan obat analgetik lokal secara perlahan. Lakukan aspirasi
ulang untuk memastikan ujung jarum tetap pada posisi yang
tepat dan suntikan kembali obat.

11 Setelah selesai cabut jarum dan kembalikan posisi pasien


sesuai dengan yang diinginkan.

345
Cara penyuntikkan paramedian pada dasarnya sama seperti
di atas, hanya jarum spinal disuntikkan pada 1,5 sm lateral
dan 1sm kaudal dari celah penyuntikkan yang dituju.

Prosedur Anestesia Blok Epidural

No Prosedur Anestesia Blok Epidural Kasus ke

(pendekatan cara midline)

1 2 3 4

1 Periksa kesiapan alat dan obat analgetik lokal yang diperlukan

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk asepsis dan antisepsis

3 Posisikan pasien lateral dekubitus atau duduk, ganjal bahu dan


kepala pasien bila diposisikan lateral dekubitus.

4 Tentukan penunjuk anatomi celah antara L2-3, L3-4 atau L4-5.


Celah antara L3-4 atau prosesus spinosus L4 tegak lurus dari
spina iliaka anterior superior.

5 Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada penunjuk


anatomi yang ditentukan.

6 Berikan analgesia lokal pada celah yang akan dilakukan


penusukan jarum epidural

7 Lakukan penusukan jarum epidural pada celah yang telah


diberi analgesia lokal. Penusukan jarum harus sejajar dengan
prosesus spinosus atau sedikit membentuk sudut ke arah
sefalad, dengan arah bevel ke lateral atau sefalad.

8 Cabut mandren dan sambungkan jarum dengan spuit yang


berisi 3 ml udara atau cairan NaCl 0,9%.

9 Dorong jarum perlahan dengan penekanan yang konstan pada


spuit sampai melewati resistensi ligamentum flavum, terasa
kehilangan tahanan pada rongga epidural yang dapat
dirasakan saat udara atau cairan dalam spuit dapat didorong
dengan mudah. Penusukkan harus dihentikan dan jarum
dicabut bila menembus rongga subarahnoid yang ditandai
keluarnya likuor atau keluar darah.

346
10 Pastikan bevel jarum mengarah ke sefalad, perlahan masukan
kateter epidural sampai kira-kira 4-5 sm keluar dari ujung
jarum dan perlahan tarik jarum keluar.

11 Fiksasi kateter pada punggung pasien dan kembalikan posisi


pasien sesuai semula

12 Lakukan aspirasi pada kateter untuk memastikan tidak ada


likuor atau darah dan lakukan test dose dengan obat analgetik
lokal lidokain 2% 3 ml dan epinefrin 1:200.000 untuk
memastikan kateter tidak menembus rongga subarahnoid atau
pembuluh darah.

Cara penyuntikkan dengan teknik hanging drop pada

dasarnya sama seperti di atas hanya saja kepala jarum


epidural ditetesi cairan NaCl 0,9% dan bila ujung jarum
mencapai rongga epidural maka tekanan negatif dalam
rongga akan menarik cairan ke dalam.

Prosedur anestesia blok kaudal

No Prosedur anestesia blok kaudal Kasus ke

1 2 3 4

1 Periksa kesiapan alat dan obat analgetik lokal yang diperlukan.

2 Siapkan kelengkapan tindakan untuk asepsis dan antisepsis.

3 Posisikan pasien lateral dekubitus dan ganjal bahu dan kepala


pasien.

4 Tentukan penunjuk anatomi pada hiatus sakralis yang letaknya


pada garis tengah kira-kira 5 sm dari ujung tulang koksigeus.

5 Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada penunjuk


anatomi yang ditentukan.

6 Berikan analgesia lokal pada celah yang akan dilakukan


penusukan jarum kaudal.

7 Lakukan penusukan jarum kaudal pada celah yang telah diberi

347
analgesia lokal. Penusukan jarum membentuk sudut 45
dengan kulit dengan arah bevel ke sefalad menembus
membran sakrokoksigeus dan menyentuh bagian anterior
tulang sakrum. Arahkan jarum membentuk 30 dengan kulit
dorong sampai terasa seperti kehilangan tahanan.

8 Cabut mandren dan sambungkan jarum dengan spuit yang


berisi 3 ml cairan NaCl 0,9%.

9 Lakukan aspirasi untuk memastikan tidak keluarnya likuor


atau darah. Dorong cairan yang ada dalam spuit untuk
memastikan posisi ujung jarum sudah tepat dengan tidak
adanya tahanan. Penusukkan harus dihentikan dan jarum
dicabut bila menembus rongga subarahnoid yang ditandai
keluarnya likuor atau keluar darah.

10 Suntikan obat analgetik lokal yang sudah disiapkan dalam


spuit.

11 Kembalikan posisi pasien sesuai dengan yang diinginkan.

MODUL 17: ANESTESIA BEDAH THT I

Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 2)

Sesi di dalam kelas Anestesia THT 1 adalah suatu rotasi yang

348
membutuhkan waktu 1 bulan (4 pekan) untuk
peserta didik semester 2, yang meliputi
Sesi dengan fasilitasi pembimbing anestesia untuk jenis operasi THT sederhana
Sesi praktek dan pencapaian tanpa penyulit.
kompetensi

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

1. LCD Proyektor dan layar


2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Pemutar video
Materi presentasi:

CD PowerPoint

Sarana:

1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU

Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology,


4th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

TUJUAN UMUM

Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan mempunyai cukup pengetahuan
dan kemampuan untuk melakukan pelayanan anestesiologi untuk berbagai prosedur

349
bedah THT sederhana tanpa penyulit, mencakup evaluasi pasien preoperatif,
merancang pelaksanaan anestesia, pemberian anestesia intraoperatif, pemantauan
pasien, penatalaksanaan masa siuman (emergence) dan pascabedah (pemulihan).

TUJUAN KHUSUS

Kognitif

1. Mampu menginterpretasikan anatomi jalan nafas atas, laring hingga trakea dan
telinga.
2. Mampu mendiskusikan efek pemakaian N2O pada bedah telinga tengah.
3. Mampu mendiskusikan tingginya insiden PONV pascabedah telinga.
4. Mampu menjelaskan teknik hipotensi.
5. Mampu menjelaskan interaksi katekolamin dengan zat volatil.
6. Mampu menjelaskan pengaruh vasokonstriktor lokal terhadap kardiovaskular
dan penatalaksanaan masuknya secara tak sengaja infiltrasi epinefrin ke dalam
intravaskular.
7. Mampu menjelaskan teknik pembiusan tonsilektomi beserta risiko dan
komplikasi serta penanganannya.
8. Mampu menjelaskan mekanisme terjadinya spasme laring dan penanganannya.
9. Mengetahui patofisiologi apnea tidur .
10. Menjelaskan alasan untuk mengeliminasi N2O dari campuran gas anestetik
selama periode apnea.
11. Mendiskusikan apneic oxygenation dan kecepatan peningkatan PaCO2 yang
terjadi.

Psikomotor :

1. Memberikan anestesia pada semua prosedur yang disebutkan dalam sasaran


keterampilan kognitif
2. Menangani perubahan kardiovaskular akibat penggunaan epinefrin oleh ahli
bedah THT.
3. Memberikan anestesia untuk pembedahan tumor kepala-leher, termasuk
pemantauan, manajemen cairan dan penanganan nyeri pascabedah.
4. Mencegah dan mengatasi PONV.
5. Memberikan analgesia topikal pada jalan nafas, termasuk injeksi transkrikoid.
6. Memberikan propofol untuk induksi anesthesia maupun untuk sedasi.
7. Melakukan teknik hipotensi.

Komunikasi :

1. Memperoleh persetujuan setelah mendapatkan informasi yang adekuat.


2. Berkoordinasi dengan tim bedah tentang manajemen jalan nafas yang harus

350
berbagi tempat dengan ahli bedah.
3. Berkoordinasi dengan tim bedah jika terjadi gangguan pada jalan nafas.
4. Menginformasikan tim bedah jika terjadi ketidakstabilan hemodinamik akibat
injeksi epinefrin.
5. Menyatakan ketidaklayakan penggunaan teknik hipotensi kepada tim bedah.

Profesionalisme :

1. Bekerja sesuai standard yang berlaku.


2. Memastikan persiapan matang sebagai antisipasi kesulitan penanganan jalan
nafas.
3. Menjaga dengan seksama jalan nafas pasien selama dan sesudah operasi.

KEYNOTES:

1. Untuk operasi THT, jalan nafas harus berbagi dengan ahli bedah THT.
2. Keadaan patologis, adanya sikatrik akibat operasi sebelumnya atau iradiasi,
deformitas kongenital, trauma atau manipulasi dapat menyebabkan obstruksi
jalan nafas akut atau kronis, perdarahan, dan kemungkinan jalan nafas sulit .
3. Penggunaan N2O dan pelumpuh otot merupakan hal penting yang harus
dilakukan. Pasien untuk operasi THT mungkin mempunyai riwayat perokok
berat, kecanduan alkohol, apnea tidur obstruktif, dan infeksi kronis saluran nafas
bagian atas.
4. Ekstubasi setelah operasi jalan nafas bagian atas memerlukan perencanaan yang
baik. Perdarahan jalan nafas bagian atas yang banyak, edema, atau patologi
mungkin menunda ekstubasi di kamar bedah.

GAMBARAN UMUM

Untuk dapat memberikan anestesia untuk bedah THT diperlukan pengetahuan dan
keterampilan dalam: evaluasi jalan nafas sulit, blok saraf untuk jalan nafas, obat
vasokonstriktor, jalan nafas bersama, bedah endobronkial, epiglotitis, abses
retrofaringeal, tumor jalan nafas, angioedema jalan nafas, post-tonsillectomy bleeding,
The ASA Jalan nafas sulit.

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu memahami tentang: anatomi jalan
nafas, analgesia topikal, evaluasi jalan nafas, blok saraf untuk jalan nafas, obat
vasokonstriktor, teknik hipotensi, dan jalan nafas bersama.

351
METODE PEMBELAJARAN

A. Proses pembelajaran dilaksanakan melalui metode :

1. Diskusi kelompok kecil


2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education
B. Peserta didik sudah harus mempelajari:

1. Bahan acuan (references)


2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran
3. Ilmu klinis dasar
C. Penuntun belajar (learning guide)terlampir

D. Tempat belajar (training setting) : ruang rawat pasien, kamar operasi,

ruang pulih pascabedah.

MEDIA

Perpustakaan, internet, skill lab

ALAT BANTU PEMBELAJARAN

1. Kursus / pelatihan
Pelatihan di skill lab : intubasi dan pemasangan LMA pada manikin.

2. Belajar mandiri
3. Kuliah
Kuliah khusus Penatalaksanaan Anestesia THT 1 termasuk semua sub pokok

bahasan dilakukan semester 2 pekan 1.

4. Diskusi kelompok
Laporan dan diskusi tentang problema preoperatif , penatalaksanaan

jalan nafas, anestesia umum dengan intubasi, LMA, IVA, pemantauan

dan penatalaksanaan pascabedah.

5. Kunjungan preoperatif
6. Bimbingan pembiusan dan asistensi di kamar operasi

352
Pelatihan di kamar bedah, intubasi, LMA pada pasien THT dengan

bimbingan dan pengawasan staf pengajar.

7. Tugas baca dan tulisan (tinjauan pustaka, journal reading)


8. Laporan kasus, morbiditas dan mortalitas
9. Continuing Profesional Development (CPD)

EVALUASI

1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-tes dalam bentuk esai dan lisan untuk menilai
kinerja awal peserta didik dan melakukan identifikasi kekurangan yang ada. Materi
pre-tes terdiri atas :

- anatomi jalan nafas

- analgesia topikal

- evaluasi jalan nafas

- blok saraf untuk jalan nafas

- obat vasokonstriktor

- teknik hipotensi

- jalan nafas bersama

- penegakan diagnosis dan ASA

- Pengawasan intra operasi

- Komplikasi dan penanganannya

- Penatalaksanaan pascabedah

2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang


teridentifikasi, membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.

3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam


penuntun belajar pada manikin anestesia bersama teman-temannya (peer assisted
learning), dievaluasi oleh teman-temannya (peer assisted evaluation).

4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di


bawah pengawasan fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien
sesungguhnya. Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan

353
langsung dan mengisi lembar penilaian:

- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak


dilakukan

- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya tindakan
anestesia tidak mulus sehingga kurang memberi kenyamanan kepada pasien

- Baik : pelaksanaan benar, baik dan efisien

5. Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk


memperbaiki kekurangan yang ditemukan.

6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun


belajar.

7. Pendidik/fasilitator melakukan :

- Pengamatan langsung dengan memakai ceklis evaluasi (terlampir)

- Diskusi dan penjelasan lisan dari peserta didik

- Kriteria penilaian keseluruhan : baik/cukup/kurang

8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan
atau diberi tugas untuk memperbaiki kinerja.

9. Pencapaian pembelajaran :

Isi pre-tes :

1. Jelaskan semua pertanyaan pada penatalaksanaan jalan nafas


2. Jelaskan teknik anestesia yang aman untuk operasi tonsilektomi (T&A) termasuk
premedikasi, dan nyeri pascabedah.
3. Jelaskan mengatasi komplikasi kejadian mual dan muntah pascabedah telinga.
4. Jelaskan penaruh difusi N2O ke dalam telinga tengah.
5. Apa bahaya pemakaian kokain dan adrenalin yang dilakukan oleh ahli THT
untuk vasokonstriktor.
6. Jelaskan kapan dipergunakan teknik hipotensi kendali pada operasi THT
7. Jelaskan penatalaksanaan cairan intraoperatif pada kasus bedah kepala-leher.
8. Bagaimana memberikan medikasi dan melaksanakan pemulihan yang mulus dan
mengatasi nyeri pascabedah.

Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan
(semeser).

354
Bentuk ujian :

- Ujian akhir stase


- Ujian akhir profesi
Bisa dalam bentuk :

1. Pengetahuan

- MCQ
- EMQ (Extended Medical Question)
- Ujian lisan

2.Kognitif

- EMQ (Extended Medical Question)


- Multiple observation and assessments
- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
3. Skill

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
4.Communication and Interpersonal Skills

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
5.Profesionalisme

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia Sudah Belum


dilakukan dilakukan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

355
1 Anamnesis, periksaan fisis, pemeriksaan penunjang

2 Penentuan ASA

3 Persiapan alat, mesin pembiusan, STATICS, obat

4 Pemasangan monitor

ANESTESIA

1 Induksi Anestesia umum (intubasi, LMA)

2 Rumatan dan pengakhiran anestesia

3 Anestesia intravena

4 Pemberian cairan dan transfusi

5 Komplikasi dan penanganannya

PENATALAKSANAAN PASCABEDAH

1 Pengawasan ABC dan tanda vital

2 Penanganan mual muntah dan nyeri pascabedah

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda ( )

DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standard atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih

356
Nama peserta didik Tanggal
Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

357
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

MATERI ACUAN

I. Pertimbangan Umum

Untuk operasi THT, jalan nafas harus berbagi dengan ahli bedah. Keadaan
patologis, adanya sikatrik akibat operasi sebelumnya atau iradiasi, deformitas
kongenital, trauma atau manipulasi dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas akut atau
kronis, perdarahan, dan kemungkinan jalan nafas sulit. Diskusi prabedah dengan ahli
bedah dan analisis catatan anestesia yang lalu mengenai penatalaksanaan jalan nafas
perioperatif, ukuran dan posisi pipa endotrakeal, posisi pasien, penggunaan N 2O dan
pelumpuh otot merupakan hal penting yang harus dilakukan. Pasien mungkin
memerlukan pemeriksaan jalan nafas saat pasien masih sadar dengan diberikan sedasi
dan analgesia topikal atau intubasi saat masih sadar dengan serat optik sebelum induksi
anestesia umum.

Pasien untuk operasi THT mungkin mempunyai riwayat perokok berat, kecanduan
alkohol, apnea tidur obstruktif, dan infeksi kronis saluran nafas bagian atas. Mungkin
diperlukan pemeriksaan laboratorium prabedah, pencitraan, dan pemeriksaan fungsi
jantung, paru dan hepar.

358
Sebagai tambahan pada pemantauan Standard, mungkin diperlukan tekanan darah
intra-arterial dan keluaran urin.

Ekstubasi setelah operasi jalan nafas bagian atas memerlukan perencanaan yang
baik. Tampon faring diambil, faring diisap, dan pasien dioksigenasi. Ekstubasi dilakukan
bila refleks jalan nafas telah pulih kembali secara penuh. Perdarahan jalan nafas bagian
atas yang banyak, edema, atau patologi mungkin menunda ekstubasi di kamar bedah.

II. Operasi Telinga

Pertimbangan Umum

Operasi telinga sering termasuk melakukan pemotongan dan pemeliharaan saraf


fasial (saraf otak ke VII). Telinga Tengah berhubungan dengan orofaring melalui Tuba
Eustaki. Kalau tuba ini terganggu akibat trauma, edema, inflamasi, atau kelainan
kongenital, lubang angin (venting) normal dari tekanan telinga tengah tidak terjadi. Pada
keadaan ini, konsentrasi N2O yang tinggi dapat meningkatkan tekanan telinga tengah
sampai 300-400 mmHg dalam waktu 30 menit. Sebaliknya, pemberhentian tiba-tiba dari
N2O dapat menimbulkan resorbsi yang cepat dan menimbulkan tekanan negatif dalam
telinga tengah. Perubahan ini dapat mengakibatkan perubahan anatomi telinga tengah,
ruptur membran timpani, disartikulasi stapes artificial, kerusakan/disrupsi graf, dan mual
muntah pascabedah (PONV).

Selama pembedahan, kepala pasien sering dalam posisi elevasi dan diputar pada
satu sisi. Posisi kepala yang ekstrim harus dinilai sebelum operasi untuk menentukan
batas rentang pergerakan, terutama pada pasien artritis atau penyakit serebrovaskular.
Mata harus ditutup dengan plester.

Anestesia

Induksi dengan hipnotik (tiopental, propofol, atau etomidat) dan pelumpuh otot
yang mempunyai lama kerja singkat atau dengan induksi inhalasi, pemeliharaan
anestesia dengan anestetik volatil. Penggunaan N2O harus didiskusikan dengan ahli
bedah, N2O harus dihentikan 30 menit sebelum pemasangan graft membran timpani.

Tindakan bedah mikrogram pada telinga memerlukan hemostasis adekuat.


Anestetik volatil dan alfa atau beta adrenergik antagonis bagus untuk mempertahankan
tekanan darah rata-rata 60-70 mmHg. Elevasi kepala 15 0 untuk menurunkan bendungan
vena dan pemberian epinefrin lokal untuk vasokonstriksi umumnya dapat memperbaiki
kondisi lapangan operasi.

359
Miringotomi dengan pemasangan pipa paling sering dilakukan untuk operasi
bedah anak sehari (bedah rawat jalan anak/ambulatori). Prosedur ini sangat singkat dan
umumnya dapat dilakukan dengan anestesia sungkup muka dengan atau tanpa
pemasangan jalur vena. Tidak diperlukan pelumpuh otot. Bila prosedur dilakukan tanpa
memasang jalur vena, fentanil intranasal (1-2 ug/kg bb) dan asetaminofen prabedah (20
mg/kg) dapat digunakan untuk penatalaksanaan nyeri pascabedah.

Harus diberikan antiemetik karena kejadian PONV sangat sering pada operasi
telinga.

III. Operasi Nasal

Operasi nasal dapat dilakukan dengan analgesia lokal atau anestesia umum. Pada
kedua teknik anestesia tersebut, ahli bedah akan memberikan kokain 4% pada mukosa
nasal, diikuti dengan suntikan lidokain 1-2% yang mengandung adrenalin 1/100.000
1/200.000 untuk hemostasis. Obat ini dapat menimbulkan terjadinya takikardia,
hipertensi, dan aritmia, terutama bila dilakukan anestesia dengan halotan. Pada pasien
dewasa sehat, kokain jangan diberikan melebihi 1,5 mg/kg bb (setiap tetes larutan
kokain 4% mengandung 3 mg kokain). Harus diberikan dosis yang lebih kecil bila
digunakan besama-sama dengan epinefrin, anestesia dengan halotan, atau pasien dengan
penyakit kardiovaskular. Anestesia umum diberikan supaya pasien tidak bergerak,
proteksi jalan nafas, dan amnesia.

Setelah operasi kosmetik nasal, hidung tidak stabil dan pemasangan sungkup muka
harus dengan penuh perhitungan atau malahan jangan dilakukan. Emergens (bangun dari
anestesia) dan ekstubasi yang mulus merupakan suatu keharusan untuk menurunkan
pedarahan pascabedah dan menghindari spasme laring dan keperluan ventilasi tekanan
positif dengan sungkup muka.

Kehilangan darah selama operasi nasal banyak dan sulit diperkirakan. Tampon
mulut dapat mengurangi kejadian PONV dengan mencegah masuknya darah ke dalam
lambung. Tampon ini harus dikeluarkan sebelum dilakukan ekstubasi. Pipa orogastrik
harus dipasang untuk mengeluarkan darah yang masuk ke lambung.

Pasien dengan epistaksis berat yang dilakukan ligasi arteri maksilaris interna atau
dilakukan embolisasi sering mengalami cemas, lelah, hipertensi, takikardia, dan
hipovolemi. Pasien ini memerlukan penenteraman hati, hidrasi, dan perawatan. Pasien
ini dianggap lambung penuh dan induksi anestesia dan intubasi endotrakeal harus
direncanakan dengan tepat. Hipertensi harus dikontrol untuk mengurangi kehilangan
darah. Tampon nasal posterior, walaupun berguna, dapat menyebabkan edema dan
hipoventilasi. Disebabkan karena kehilangan darah yang banyak sulit dinilai, harus

360
dilakukan pemasangan jalur vena yang adekuat ( no 16 atau no 14) dan darah untuk
transfusi harus tersedia. Penarikan packing nasal posterior dapat menyebabkan
kehilangan darah yang banyak.

III. Tonsilektomi dan Adenoidektomi

Pemeriksaan prabedah seperti riwayat gangguan perdarahan, apnea tidur


obstruktif, tidak ada gigi (ompong). Harus dilakukan pemeriksaan koagulasi. Pasien
dengan apnea tidur obstruktif mungkin obesitas/gemuk dan mungkin ventilasi dan
intubasi sulit. Banyak pasien mempunyai penyakit infeksi saluran nafas atas yang kronis
dan berulang-ulang terjadinya. Bila pasien sedang mengalami infeksi akut yang ditandai
dengan adanya demam, batuk produktif, gejala saluran nafas bagian bawah, disertai
penyakit lain, atau umur < 1 tahun dipertimbangkan untuk mengundurkan operasinya
atau dirawat di ICU untuk observasi.

Kebanyakan pasien anak dilakukan induksi inhalasi, diikuti dengan pemasangan


jalur vena. Teknik anestesianya umumnya dilakukan dengan volatil anestetik ditambah
dengan opioid (misalnya morfin 0,1 mg/kg intravena). Glikopirolat (5-10 ug/kg
intravena) kadang-kadang diberikan untuk mengurangi sekresi dan dipertimbangkan
pemberian antiemetik. Untuk fasilitas intubasi dilakukan dengan pelumpuh otot, akan
tetapi, tidak selalu diperlukan pelumpuh otot untuk dapat dilakukannya intubasi. Selama
manipulasi kepala dan mouth gag dapat terjadi obstruksi pipa ETT, diskoneksi, atau
tercabut. Oral RAE tube memberikan oral akses yang lebih baik untuk ahli bedah dan
kurang kinking dengan adanya retraktor. Oral RAE tube, sama seperti ETT oral yang
lainnya, harus difiksasi pada garis tengah mandibula.

Pada akhir pembedahan, tampon harus diangkat dan pipa orogastrik dimasukkan
untuk mengosongkan lambung dari darah yang tertelan dan dilakukan pengisapan faring.
Ekstubasi dapat dilakukan saat anestesia dalam atau setelah pasien bangun dan
refleks proteksi jalan nafas telah pulih. Batuk akibat adanya ETT dapat ditekan dengan
pemberian lidokain 1-1,5 mg/kg intravena 5 menit sebelum ekstubasi. Penggunaan jalan
nafas orofaringeal (OPA) setelah pembedahan dapat menyebabkan rusaknya luka operasi
dan perdarahan bila penempatan tidak dilakukan secara hati-hati di garis tengah. Nasal
jalan nafas dapat sebagai alternatif.

Setelah ekstubasi pasien ditempatkan di satu sisi, dengan posisi sedikit


Trendelenburg dan berikan O2 100%. Dengarkan adanya obstruksi pernafasan sebelum
pasien dikirim ke PACU. Transport pasien dengan pemberian oksigen. Di PACU, pasien
diberi oksigen via sungkup , pemantauan bergantung pada protokol di PACU, dan
periksa apakah faring sudah kering sebelum dipulangkan dari rumah sakit.

361
Referensi :

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology,


4th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

362
MODUL 18 : ANESTESIA BEDAH THT II

Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 2)

Sesi di dalam kelas Anestesia THT 2 adalah suatu rotasi yang


membutuhkan waktu paling sedikit 2 bulan (8
Sesi dengan fasilitasi Pembimbing pekan) untuk peserta didik semester 3 keatas,
Sesi praktek dan pencapaian yang meliputi anestesia untuk jenis operasi
kompetensi THT dengan penyulit.

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

1. LCD Proyektor dan layar


2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Pemutar video
Materi presentasi:

CD PowerPoint

Sarana:

1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang pulih
4. Bangsal rawat inap/pengamatan lanjut
Kasus : pasien di ruang bangsal THT atau poliklinik THT

Alat bantu latih : model anatomi /simulator

Penuntun belajar : lihat acuan materi

Daftar tilik kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

363
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology,
4th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

TUJUAN UMUM

Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan mempunyai cukup pengetahuan
dan kemampuan untuk melakukan pelayanan anestesiologi untuk berbagai prosedur
bedah THT yang disertai penyulit, mencakup evaluasi pasien preoperatif,
merancang pelaksanaan anestesia, pemberian anestesia intraoperatif, pemantauan
pasien, penatalaksanaan masa siuman (emergence) dan pascabedah (pemulihan).

TUJUAN KHUSUS

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk :

Kognitif

1. Mampu menilai tingkat kesulitan jalan nafas.


2. Mampu menjelaskan urutan langkah-langkah tindakan panendoskopik
(laringoskopi, esofagoskopi, bronkoskopi dll).
3. Merencanakan teknik, obat-obat dan peralatan anestesia yang akan digunakan,
termasuk pemantauan pasien untuk bronkoskopi serat optik dan bronkoskopi
kaku.
4. Mampu menyimpulkan kemungkinan komplikasi tindakan panendoskopi.
5. Mampu membuat daftar teknik yang digunakan untuk mengendalikan
hemodinamik pada saat laringoskopi dan bronkoskopi kaku.
6. Mampu menjelaskan risiko dan komplikasi tonsilektomi serta penanganannya.
7. Mampu menjelaskan mekanisme terjadinya spasme laring dan penanganannya.
8. Mampu menjelaskan algoritma penanganan kesulitan jalan nafas.
9. Mampu menjelaskan teknik tonsilektomi darurat pada abses peritonsilar dengan
trismus.
10. Mampu menjelaskan prosedur trakeostomi perkutan dan krikotirotomi darurat.
11. Mampu menjelaskan prinsip ventilasi jet venturi pada bedah laser, laring dan
trakea.
12. Mengetahui patofisiologi apnea tidur .

Psikomotor :

1. Memberikan anestesia pada semua prosedur yang disebutkan dalam sasaran


keterampilan kognitif
2. Mengevaluasi jalan nafas yang abnormal secara klinis dan radiologis.

364
3. Memberikan anestesia untuk tindakan bronkoskopi kaku dan serat optik.
4. Melakukan asistensi/ membantu prosedur intubasi dengan bronkoskopi serat
optik.
5. Memberikan anestesia untuk pembedahan tumor kepala-leher, termasuk
pemantauan, manajemen cairan dan penanganan nyeri pascabedah.
6. Memberikan anesthesia topikal pada jalan nafas, termasuk injeksi transkrikoid.
7. Mempertahankan jalan nafas dengan tekanan jalan nafas positif pada obstruksi
parsial jalan nafas atas.
8. Melakukan teknik hipotensi.
9. Memperagakan tindakan krikotirotomi darurat pada manikin.
10. Melakukan krikotirotomi jarum dan ventilasi jet pada pasien.

Komunikasi :

1. Memperoleh persetujuan setelah mendapatkan informasi yang adekuat.


2. Berkoordinasi dengan tim bedah tentang manajemen jalan nafas yang harus
berbagi tempat dengan ahli bedah.
3. Berkoordinasi dengan tim bedah jika terjadi gangguan jalan nafas.
4. Menginformasikan tim bedah jika terjadi ketidakstabilan hemodinamik akibat
injeksi epinefrin.
5. Menyatakan ketidaklayakan penggunaan teknik hipotensi kepada tim bedah.
6. Mendiskusikan perlunya perawatan pascabedah di ICU.

Profesionalisme :

1. Bekerja sesuai standard yang berlaku.


2. Memastikan persiapan matang sebagai antisipasi kesulitan penanganan jalan
nafas.
3. Menghargai kegunaan dengan demikian menggunakan dengan hati-hati dan
benar bronkoskopi serat optik.
4. Menjaga dengan seksama jalan nafas pasien selama dan sesudah operasi.

KEYNOTES:

1. Perdarahan kembali (re-bleeding) setelah tonsilektomi pada pediatri


umumnya terjadi dalam 24 jam setelah operasi tapi bisa juga lebih lambat
sampai 5-10 hari.
2. Induksi anestesia pada anak dengan perdarahan karena perdarahan tonsil
dan hipovolemi dapat menyebabkan hipotensi berat dan henti jantung.
3. Disebabkan karena lambung penuh dengan darah, idealnya induksi cepat
dengan tekanan pada krikoid dan dengan posisi sedikit Trendelenburgh
harus dilakukan untuk melindungi trakea dan glotis dari aspirasi darah

365
atau cairan lambung.
4. Abses parafaringeal atau abses tonsilar dapat disertai dengan adanya
trismus, disfagia, dan distorsi serta mengganggu jalan nafas.
5. Trismus, edema jalan nafas, distorsi anatomi, sering membuat visualisasi
dengan laringoskopi untuk membuka glotis sulit.
6. Anestesia umum merupakan indikasi-kontra kalau terjadi stridor pada
saat istirahat. Pertimbangan dilakukan trakeostomi dengan analgesia
lokal melalui daerah yang selulitis, walaupun tidak ideal, untuk menjamin
jalan nafas.
7. Indikasi tindakan laringoskopi adalah untuk diagnostik (biopsi) atau
terapi (mengambil polip pita suara) yang mempunyai kemungkinan
membahayakan jalan nafas.
8. Pada direk laringoskopi dapat terjadi edema jalan nafas pascabedah.

GAMBARAN UMUM

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu mengelola pasien untuk operasi
THT dengan risiko tinggi.

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu memahami tentang bagaiaman cara
memberikan anestesia untuk operasi THT dengan risiko tinggi dengan aman, dapat
mencegah dan melakukan terapi segera bila terjadi komplikasi.

METODE PEMBELAJARAN

A..Proses pembelajaran dilaksanakan melalui metode :

1. Diskusi kelompok kecil


2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education
B. Peserta didik sudah harus mempelajari:

1. Bahan acuan (references)


2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran
3. Ilmu klinis dasar
C. Penuntun belajar (learning guide)terlampir

D. Tempat belajar (training setting) : ruang rawat pasien, kamar operasi,

366
ruang pulih pascabedah.

MEDIA

1. Kursus / pelatihan
Pelatihan di skill lab intubasi, LMA, spinal pada manikin.

2. Belajar mandiri
3. Kuliah
Kuliah khusus Penatalaksanaan Anestesia THT 2 termasuk semua

sub pokok bahasan dilakukan semester 3 pekan 1.

4. Diskusi kelompok
Laporan dan diskusi tentang problema preoperatif , penatalaksanaan

jalan nafas sulit, rencana anestesia umum , pemantauan dan

penatalaksanaan pascabedah.

5. Kunjungan preoperatif
6. Bimbingan pembiusan dan asistensi di kamar operasi
Pelatihan di kamar bedah intubasi, LMA, IVA pada pasien THT

dengan penyulit di bawah bimbingan dan pengawasan staf

pengajar.

7. Tugas baca dan tulisan (tinjauan pustaka, journal reading)


8. Laporan kasus, morbiditas dan mortalitas
9. Continuing Profesional Development (CPD)

ALAT BANTU PEMBELAJARAN

Perpustakaan, internet, skill lab

EVALUASI

1.Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-tes dalam bentuk esai dan

lisan untuk menilai kinerja awal peserta didik dan melakukan identifikasi

367
kekurangan yang ada. Materi pre-tes terdiri atas :

1. anatomi jalan nafas


2. analgesia topikal
3. evaluasi jalan nafas sulit
4. blok saraf untuk jalan nafas
5. obat vasokonstriktor
6. jalan nafas bersama
7. bedah endobronkial
8. epiglotitis
9. abses retrofaringeal
10. angioedema jalan nafas
11. tumor jalan nafas
12. perdarahan pascatonsilektomi
13. The ASA jalan nafas sulit
14. Komplikasi dan penanganannya
15. Penatalaksanaan pascabedah dan indikasi rawat ICU

2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang


teridentifikasi, membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.

3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam


penuntun belajar pada manikin anestesia bersama teman-temannya (peer assisted
learning), dievaluasi oleh teman-temannya (peer assisted evaluation).

4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di


bawah pengawasan fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien
sesungguhnya. Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan
langsung dan mengisi lembar penilaian:

- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak


dilakukan

- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien,


misalnya tindakan anestesia tidak mulus sehingga
kurang memberi kenyamanan kepada pasien

- Baik : pelaksanaan benar, baik dan efisien

5. Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk


memperbaiki kekurangan yang ditemukan.

6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun


belajar.

368
7. Pendidik/fasilitator melakukan :

- Pengamatan langsung dengan memakai ceklis evaluasi (terlampir)

- Diskusi dan penjelasan lisan dari peserta didik

- Kriteria penilaian keseluruhan : baik/cukup/kurang

8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan
atau diberi tugas untuk memperbaiki kinerja.

9. Pencapaian pembelajaran :

Isi pre-tes :

1. Jelaskan seluruh penatalaksanaan jalan nafas sulit sesuai algoritma jalan nafas
sulit menurut ASA
2. Jelaskan teknik anestesia yang aman pada perdarahan tonsil yang memerlukan
tindakan bedah ulang
3. Jelaskan teknik anestesia untuk tindalkan panendoskopi (laringoskopi,
esofagoskopi, bronkoskopi)
4. Jelaskan patofisiologi apnea tidur
5. Jelaskan komplikasi trakeostomi yang dilakukan untuk ventilasi lama dan
trakeostomi akut untuk mengatasi obstruksi jalan nafas.
6. Jelaskan bentuk pita suara pada berbagai keadaan, pada trauma adanya tumor
atau paralisis.
7. Jelaskan adanya co-existing problem pada tumor kepala leher.
8. Jelaskan rancangan pemberian anestesia umum pada pasien yang dilakukan
glosektomi atau mandibulektomi.
9. Jelaskan perawatan pascabedah pasien dengan bedah laring seperti
hemilaringektomi, supraglotik, atau laringektomi total.

Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan
(semester).

Bentuk ujian :

- Ujian akhir stase


- Ujian akhir profesi
Bisa dalam bentuk :

1. Pengetahuan

- MCQ
- EMQ (Extended Medical Question)

369
- Ujian lisan

2.Kognitif

- EMQ (Extended Medical Question)


- Multiple observation and assessments
- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
3. Skill

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
4.Communication and Interpersonal Skills

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
5.Profesionalisme

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia Sudah Belum


dilakukan dilakukan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1 Anamnesis, periksaan fisis, pemeriksaan penunjang

2 Penentuan ASA :

3 Persiapan alat, mesin pembiusan, STATICS, obat

4 Pemasangan monitor

ANESTESIA

1 Induksi anestesia umum (intubasi, LMA)

2 Maintenace dan pengakiran anestesia

370
3 Anestesia intravena

4 Pemberian cairan dan transfusi

5 Komplikasi dan penanganannya

PENATALAKSANAAN PASCABEDAH

1 Pengawasan ABC dan tanda vital

2 Penanganan mual muntah dan nyeri pascabedah

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda ( )

DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standard atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

371
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

372
Tanda tangan dan nama terang

MATERI ACUAN

1. Perdarahan tonsil

Perdarahan kembali (rebleeding) setelah tonsilektomi pada pediatri umumnya


terjadi dalam 24 jam setelah operasi tapi bisa juga lebih lambat sampai 5-10 hari. Dapat
terlihat adanya hematemesis, takikardia, sering menelan, pucat dan obstruksi jalan nafas.
Banyaknya kehilangan darah sering tidak dapat diperkirakan karena darahnya ditelan.

Induksi anestesia pada anak dengan perdarahan dan hipovolemi dapat


menyebabkan hipotensi berat dan henti jantung. Diperlukan akses intravena yang
adekuat dan pasien harus diresusitasi dengan adekuat (bila diperlukan dengan produk
darah) sebelum dilakukan tindakan pembedahan. Hematokrit, pemeriksaan koagulasi,
dan tersedianya produk darah harus dipastikan. Dosis obat anestetik harus dikurangi
pada pasien dengan hipovolemia.

Disebabkan karena lambung penuh dengan darah, idealnya induksi cepat dengan
tekanan pada krikoid dan dengan posisi sedikit Trendelenburgh harus dilakukan untuk
melindungi trakea dan glotis dari aspirasi dari darah atau cairan lambung. Dua buah isap
harus siap dan stilet pipa endotrakeal satu nomor lebih kecil dari yang diperkirakan
harus sudah tersedia. Ahli bedah harus sudah siap di kamar bedah. Ekstubasi paling
aman setelah pasien bangun.

2. Abses parafaringeal atau abses tonsilar

Dapat disertai dengan adanya trismus, disfagia, dan distorsi serta jalan nafas yang
terganggu. Ahli bedah harus mampu untuk melakukan dekompresi abses dengan
melakukan aspirasi dengan jarum sebelum induksi anestesia. Bila diperlukan, dilakukan
intubasi dengan serat optik dengan pasien dalam keadaan bagun. Penatalaksanaan
anestesia dan prosedur ekstubasi sama dengan untuk tonsilektomi. Pada angina Ludwig
suatu selulitis pada rongga submandibula dan sublingua yang dapat meluas ke
kompartemen leher di bagian anterior. Trismus, edema jalan nafas, distorsi anatomi
373
sering membuat visualisasi dengan laringoskopi untuk membuka glotis sulit. Anestesia
umum merupakan indikasi-kontra kalau terjadi stridor pada saat istirahat. Pertimbangan
dilakukan trakeostomi dengan analgesia lokal melalui daerah yang selulitis, walaupun
tidak ideal, untuk menjamin jalan nafas.

3. Laringoskopi langsung

Indikasi tindakan laringoskopi adalah untuk diagnostik (biopsi) atau terapi


(mengambil polip pita suara) yang mempunyai kemungkinan membahayakan jalan
nafas. Evaluasi pemeriksaan pencitraan (MRI atau CT-scan) dan pemeriksaan
laboratorium (pulmonary flow-volume loops) dapat menolong melakukan identifikasi
abnormalitas jalan nafas dan kemungkinan problema perioperatif. Banyak pasien
mempunyai riwayat perokok dan penyakit kardiopulmonal.

Pada laringoskopi langsung dapat terjadi edema jalan nafas pascabedah, dan untuk
terapi dapat diberikan deksametason 4-10 mg intravena. Tambahan terapi lain adalah
elevasi kepala, humidifikasi oksigen melalui sungkup , nebulizer racemic epinefrin.
Kadang-kadang, penghentian nebulizer racemic epinefrin menimbulkan kembalinya
edema jalan nafas.

Referensi :

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology,


4th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

MODUL 19 : ANESTESIA BEDAH MATA

Mengembangkan kompetensi Waktu (Semester 2)

374
Anestesia bedah mata adalah suatu rotasi yang
membutuhkan waktu paling sedikit 2 bulan (8
Sesi di dalam kelas pekan) untuk peserta didik semester 2 keatas,
Sesi dengan fasilitasi pembimbing yang meliputi anestesia bedah mata rawat inap
dan rawat jalan.
Sesi praktek dan pencapaian
kompetensi

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

1. LCD Proyektor dan layar


2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Pemutar video
Materi presentasi:

CD PowerPoint

Sarana:

1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang pulih
4. Bangsal rawat inap/pengamatan lanjut
Kasus : pasien di ruang mata atau poliklnik mata

Alat bantu latih : model anatomi /simulator

Penuntun belajar : lihat acuan materi

Daftar tilik kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology,


4th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

TUJUAN UMUM

Setelah mengikuti rotasi ini peserta didik mempunyai cukup pengetahuan dan

375
kemampuan untuk melakukan pelayanan anestesiologi untuk berbagai prosedur bedah
mata baik untuk operasi rawat jalan maupun rawat inap, mencakup evaluasi pasien
preoperatif, merancang pelaksanaan anestesia, pemberian anestesia intraoperatif,
pemantauan pasien, penatalaksanaan masa siuman (emergence) yang mulus, mencegah
komplikasi yang mungkin terjadi dan penatalaksanaan pascabedah (pemulihan).

TUJUAN KHUSUS

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk :

Kognitif

1. Memahami anatomi mata dan inervasi yang dapat berhubungan dengan


anestesia.
2. Memahami fisiologi tekanan intraokular dan hal-hal yang mempengaruhinya.
3. Memahami farmakologi dan dampak fisiologik obat-obat topikal yang biasa
digunakan dalam prosedur bedah mata serta interaksinya dengan obat-obat
anestetik.
4. Memahami seleksi pasien untuk bedah mata rawat jalan.
5. Memahami persiapan prabedah, antara lain:
puasa pada pasien dewasa dan pediatrik
premedikasi
persetujuan setelah menerima informasi yang adekuat
Memahami pemantauan standard yang harus ada pada setiap prosedur
bedah mata.
Memahami teknik anestesia yang benar untuk berbagai prosedur bedah
mata.
Memahami risiko dan komplikasi berbagai prosedur bedah mata.

Psikomotor:

1. Melakukan pemeriksaan dan persiapan anestesia yang benar untuk pasien bedah
mata.
2. Mendeteksi kelainan fisis maupun sistem tubuh yang diderita pasien bedah mata,
membuat klasifikasi ASA dengan benar serta merencanakan teknik anestesia

376
yang tepat, termasuk persiapannya.
3. Menjelaskan teknik analgesia regional untuk bedah mata.
4. Melakukan teknik anestesia untuk mencegah peningkatan tekanan intraokular.
5. Memberikan anestesia umum dengan teknik yang tepat untuk bedah mata.
6. Melakukan pemantauan yang cermat dihubungkan dengan risiko dan komplikasi
bedah mata.
7. Dapat mendeteksi dini komplikasi yang terjadi dan mengambil tindakan yang
tepat untuk mengatasi.
8. Mampu menjelaskan keuntungan dan kerugian ekstubasi sadar dan ekstubasi
dalam.
Komunikasi:

1. Dapat menjelaskan secara lisan maupun tertulis kepada pasien atau keluarganya
tentang teknik anestesia yang akan dilakukan, kemungkinan interaksi dengan
teknik pembedahan serta kemungkinan komplikasinya.
2. Mengadakan komunikasi dengan ahli bedah tentang interaksi keadaan pasien
dengan teknik anestesia dan mendiskusikan hal-hal yang perlu ditempuh untuk
mencegah komplikasi.
3. Melakukan serah terima pasien dengan memberikan menjelaskan secara terang
dengan petugas di ruang pulih.

Profesionalisme:

1. Menyadari perlunya komunikasi dengan seluruh tim bedah mata untuk mencegah
dan mengantisipasi komplikasi yang mungkin timbul selama dan sesudah
prosedur bedah mata.
2. Merencanakan dan memberikan anestesia dengan penuh tanggungjawab sesuai
SOP, etika dan norma yang berlaku dengan prioritas pada keselamatan pasien.
3. Disiplin waktu, datang tepat waktu
4. Bekerja efisien dan cepat menyesuaikan
5. Memahami kebutuhan pasien-pasien geriatri

KEYNOTES:

1. Kebanyakan obat anestetik menurunkan atau tidak mempunyai pengaruh


pada tekanan intraokular
2. Tekanan intraokular normalnya adalah 12-20 mmHg
3. Traksi otot ekstraokular atau tekanan pada bola mata dapat menimbulkan
variasi yang lebar dari aritmia jantung dari mulai bradikardia dan
ventrikular ektopik sampai asistol ventrikular atau ventrikular fibrilasi
(refleks okulokardiak).
4. Penatalaksanaan refleks okulokardiak adalah: 1) segera beritahu ahli
bedahnya dan hentikan sementara pembedahan sampai denyut jantung
meningkat, 2) konfirmasi adekuat ventilasi, oksigenasi, dan ke dalaman
anestesia, 3) berikan atropin intravena (10 ug/kg) bila gangguan konduksi

377
menetap, 4) pada episode yang membandel, lakukan infiltrasi otot rektus
dengan analgesia lokal. Refleks pada umumnya melemah sendiri (hilang
sendiri) dengan pengulangan traksi pada otot ekstraokular.
5. Tetes mata yang diberikan secara topikal diabsorbsi melalui pembuluh
darah dalam sakus konjuntiva dan mukosa duktus nasolakrimalis
sehingga dapat mempunyai efek sistemik.

GAMBARAN UMUM

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu mengelola pasien untuk operasi
mata baik operasi mata elektif atau darurat.

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu memahami tentang anatomi mata
dan fisiologi tekanan intraokular, farmakologi obat-obatan topikal mata, farmakologi
obat-obat analgetik lokal, kelainan-kelainan kongenital multipel yang melibatkan
kelainan mata, patofisiologi mual-muntah, patofisiologi refleks okulokardiak,
patofisiologi sindroma seperti hipertermia malignan, anestesia bedah mata intraokular,
anestesia bedah mata ekstraokular, pemantauan pasien dalam sedasi ringan sampai berat,
penatalaksanaan pascabedah mata terhadap nyeri, mual muntah dan komplikasi yang
lain, anestesia umum nafas spontan vs anestesia umum nafas kendali

METODE PEMBELAJARAN

A..Proses pembelajaran dilaksanakan melalui metode :

1. Diskusi kelompok kecil


2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education
B. Peserta didik sudah harus mempelajari:

1. Bahan acuan
2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran
3. Ilmu klinis dasar
C. Penuntun belajar terlampir

D. Tempat belajar : ruang rawat pasien, kamar operasi, ruang pulih pascabedah.

378
MEDIA

1. Kursus / pelatihan
Pelatihan di skill lab intubasi, LMA pada manikin.

2. Belajar mandiri
3. Kuliah
Kuliah khusus penatalaksanaan anestesia bedah mata termasuk

semua sub pokok bahasan dilakukan semester 2 pekan 1.

4. Diskusi kelompok
Laporan dan diskusi tentang problema preoperatif , penatalaksanaan

jalan nafas, anestesia umum (intubasi, LMA), pemantauan dan

penatalaksanaan pascabedah.

5. Kunjungan preoperatif
6. Bimbingan pembiusan dan asistensi di kamar operasi
Pelatihan di kamar bedah intubasi, LMA, pada pasien bedah mata

dengan bimbingan dan pengawasan staf pengajar.

7. Tugas baca dan tulisan (tinjauan pustaka, journal reading)


8. Laporan kasus, morbiditas dan mortalitas
9. Continuing Profesional Development (CPD)

ALAT BANTU PEMBELAJARAN

Perpustakaan, internet, skill lab

EVALUASI

1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-tes dalam bentuk esai dan lisan untuk
menilai kinerja awal peserta didik dan melakukan identifikasi kekurangan yang
ada. Materi pre-tes terdiri atas :

- Anatomi mata dan fisiologi tekanan intraokular

- Farmakologi obat-obatan topikal mata

- Farmakologi obat-obat analgetik lokal

- Kelainan-kelainan kongenital multipel yang melibatkan kelainan mata

379
- Patofisiologi mual-muntah (PONV)

- Patofisiologi refleks okulokardiak

- Patofisiologi sindroma seperti hipertermia malignan

- Anestesia bedah mata intraokular

- Anestesia bedah mata ekstraokular

- Pemantauan pasien dalam sedasi ringan sampai berat

- Anestesia umum nafas spontan vs anestesia umum nafas kendali

- Pengawasan intra operasi, komplikasi dan penanganannya

- Penatalaksanaan pascabedah mata terhadap nyeri, mual muntah dan


komplikasi lainnya

2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang


teridentifikasi, membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.

3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam


penuntun belajar pada manikin anestesia bersama teman-temannya (peer assisted
learning), dievaluasi oleh teman-temannya (peer assisted evaluation).

4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di


bawah pengawasan fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien
sesungguhnya. Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan
langsung dan mengisi lembar penilaian:

- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak


dilakukan

- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien,


misalnya tindakan anestesia tidak mulus sehingga
kurang memberi kenyamanan kepada pasien

- Baik : pelaksanaan benar, baik dan efisien

5. Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk


memperbaiki kekurangan yang ditemukan.

6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun


belajar.

380
7. Pendidik/fasilitator melakukan :

- Pengamatan langsung dengan memakai ceklis evaluasi (terlampir)

- Diskusi dan penjelasan lisan dari peserta didik

- Kriteria penilaian keseluruhan : baik/cukup/kurang

8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan
atau diberi tugas untuk memperbaiki kinerja.

9. Pencapaian pembelajaran :

Isi pre-tes :

1. Jelaskan anatomi dan fisiologi bola mata


2. Jelaskan pembentukan dan pengaliran humor aqueosa
3. Jelaskan fisiologi tekanan intraokular dan pengaruh anestesia dan pembedahan
terhadap tekanan intraokular
4. Jelaskan refleks yang terjadi yang berkaitan dengan manipulasi mata
5. Jelaskan obat yang dipergunakan pada mata terhadap pelaksanaan anestesia
6. Bagaimana mempersiapkan anestesia untuk berbagai macam operasi mata serta
penatalakasanaan anestesia pada berbagai situasi .
7. Jelaskan komplikasi mata pascabedah

Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan
(semester).

Bentuk ujian :

- Ujian akhir stase


- Ujian akhir profesi
Bisa dalam bentuk :

1. Pengetahuan

- MCQ
- EMQ
- Ujian lisan
2.Kognitif

- EMQ
- Multiple observation and assessments
- Multiple observers
- OSCE

381
- Minicheck
3. Skill

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
- OSCE
- Minicheck
4.Communication and Interpersonal Skills

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
5.Profesionalisme

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia Sudah Belum


dilakukan dilakukan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1 Anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang

2 Penentuan ASA :

3 Persiapan alat, mesin pembiusan, STATICS, obat

4 Pemasangan monitor

ANESTESIA

1 Anestesia umum (intubasi, LMA)

2 Teknik MAC

3 Ekstubasi dan emergens yang mulus

4 Pemberian cairan

5 Komplikasi dan penanganannya

PENATALAKSANAAN PASCABEDAH

382
1 Pengawasan ABC dan tanda vital

2 Penanganan mual muntah dan nyeri pascabedah

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda ( )

DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standard atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

383
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

384
MATERI ACUAN

Fisiologi Tekanan Intraokular

Mata dapat dipertimbangkan sebagai suatu bidang cekung dengan dinding yang
kaku. Bila isi dari cekungan itu meningkat, tekanan intraokular (TIO yang normalnya
12-20 mmHg) akan meningkat. Sebagai contoh, glaukoma adalah suatu keadaan yang
disebabkan obstruksi aliran humor aqueous. Hal yang sama, tekanan intraokular akan
naik bila volume darah dalam bola mata meningkat. Suatu peningkatan dari tekanan
vena akan meningkatkan tekanan intraokular dengan menurunkan drainase aqueous dan
meningkatkan volume darah koroidal. Perubahan ekstrim tekanan darah dan ventilasi
juga mempengaruhi tekanan intraokular (lihat tabel 1). Setiap kejadian anestesia yang
mengubah parameter ini dapat mempengaruhi tekanan intraokular (misalnya
laringoskopi, intubasi, obstruksi jalan nafas, batuk, posisi trendelenburg).

Alternatifnya, pengurangan ukuran bola mata tanpa perubahan proporsional pada


isinya akan meningkatkan tekanan intraokular. Tekanan pada mata karena sungkup muka
yang sangat rapat, posisi telungkup yang tidak baik, perdarahan retrobulber dapat
menyebabkan peningkatan TIO yang besar.

Tekanan intraokular menolong mempertahankan bentuk dan karena itu berarti


untuk fungsi mata untuk melihat. Variasi tekanan intraokular yang temporari umumnya
dapat ditolerensi dengan baik oleh mata yang normal. Dalam kenyataannya,
berkedip/blinking meningkatkan tekanan sebesar 5 mmHg dan melirik
/mengedip/squinting meningkatkan tekanan sebesar 26 mmHg. Keadaan episode
peningkatan TIO selintas pada pasien dengan tekanan arteri optalmik rendah (misalnya
hipotensi kendali, arteriosklerosis yang mengenai arteri retina), akan tetapi, mungkin
membahayakan perfusi retina dan menyebabkan iskemi retina.

Tabel 1: Pengaruh variabel kardiak dan respirasi terhadap TIO

Variabel Efek pada TIO

Tekanan vena sentral

Meningkat

Menurun

385
Tekanan darah arteri

Meningkat

Menurun

PaCO2

Meningkat (hipoventilasi)

Menurun (hiperventilasi)

PaO2

Meningkat 0

Menurun

Keterangan : = menurun (ringan, sedang, berat), = (ringan, sedang, berat), 0=

tidak ada efeknya.

Bila bola mata terbuka selama operasi tertentu (tabel 2) atau setelah trauma yang
menimbulkan perforasi, tekanan intraokular sama dengan tekanan atmosfir. Setiap faktor
yang normalnya meningkatkan tekanan intraokular akan bertendensi menurunkan
volume intraokular dengan drainase aqueous atau ekstrusi vitreus melalui luka yang
terbuka. Ekstrusi vitreus adalah suatu komplikasi yang serius yang dapat menimbulkan
kerusakan penglihatan yang permanen.

Tabel 2: Prosedur pembedahan mata terbuka

Ekstraksi katarak

Perbaikan laserasi kornea

Transplantasi kornea (keratoplasti penetrasi)

386
Iridektomi perifer

Pengambilan benda asing

Perbaikan ruptur bola mata

Implantasi lensa intraokular sekunder

Trabekulektomi (dan prosedur filter yang lain)

Vitrektomi

Perbaikan luka yang bocor

Efek obat anestetik terhadap tekanan intraokular

Kebanyakan obat anestetik menurunkan atau tidak mempunyai pengaruh pada


tekanan intraokular (tabel 3). Anestetik inhalasi menurunkan tekanan intraokular
sebanding dengan dalamnya anestesia, makin dalam anestesia makin turun tekanan
intraokular. Penurunan ini disebabkan oleh berbagai hal : 1) penurunan tekanan darah
mengurangi volume koroidal, 2) relaksasi otot ekstraokular akan menurunkan tegangan
dinding bola mata, 3) konstriksi pupil memfasilitasi pengaliran aqueous. Obat anestetik
intravena juga menurunkan TIO dengan pengecualian ketamin yang umumnya
menaikkan tekanan darah dan tidak menimbulkan relaksasi otot ekstraokular.

Tabel : Efek obat anestetik pada tekanan intraokular

Obat Efek pada TIO

Anestetik inhalasi

Anestetik volatil

N2O
Anestetik intravena

Barbiturat

Benzodiazepin

Ketamin ?

387
Opioid
Pelumpuh Otot

Depolarisasi (suksinilkolin)

Non depolarisasi 0/

Pemberian topikal obat antikolinergik menyebabkan dilatasi pupil (midriasis),


yang mempresipitasi angle-closure glaucoma. Dosis sistemik sulfas atropin tidak
dihubungkan dengan hipertensi intraokular, dengan pengecualian pasien dengan
glaukoma.

Suksinilkolin meningkatkan tekanan intraokular sebesar 5-10 mmHg selama 5-10


menit setelah pemberian, melalui kontraksi otot ekstraokular. Tidak seperti otot skelet
yang lainnya, otot ekstraokular mengandung sel dengan mutiple neuromuscular junction.
Pengulangan depolarisasi dari sel ini oleh suksinilkolin menyebabkan kontraksi yang
lama. Peningkatan tekanan intraokular mempunyai beberapa efek. Itu akan
menyebabkan nilai pengukuran palsu dari pemeriksaan tekanan intraokular di bawah
anestesia pada pasien glaukoma, sehingga ada kemungkinan terjadinya dilakukan
tindakan operasi yang sebetulnya tidak diperlukan. Selanjutnya, peningkatan tekanan
intrakranial dapat menyebabkan ekstrusi dari isi bola mata melalui luka operasi atau
trauma. Efek akhir dari kontraksi yang lama dari otot ekstraokular adalah abnormalnya
forced duction test selama 20 menit. Tindakan ini untuk mengevaluasi penyebab
imbalance otot ekstraokular dan mungkin dipengaruhi oleh tipe operasi strabismus yang
dilakukan. Bendungan dari pembuluh darah koroidal juga berperan terhadap kenaikan
tekanan intraokular. Obat pelumpuh non depolarisasi tidak meningkatkan tekanan
intraokular.

Refleks okulokardiak

Traksi otot ekstraokular atau tekanan pada bola mata dapat menimbulkan variasi
yang lebar dari aritmia jantung dari mulai bradikardia dan ventrikular ektopik sampai
sinus arest atau ventrikular fibrilasi. Refleks ini, permulaannya diuraikan pada tahun
1908, terdiri dari jalur trigeminal aferen (V1) dan vagal aferen. Refleks okulokardiak
paling umum terjadi pada pasien pediatrik yang dilakukan operasi strabismus. Meskipun
demikian, refleks ini dapat terjadi pada semua kelompok umur dan selama prosedur
mata apapun, termasuk ekstraks katarak, enukleasi, perbaikan ablasio retina. Pada pasien

388
yang bangun, adanya okulokardiak refleks akan menyebabkan pasien jadi somnolen dan
mual.

Obat antikolinergik sering menolong dalam mencegah refleks okulokardiak.


Atropin atau glikopirolat intravena segera diberikan sebelum dilakukan operasi lebih
efektif daripada premedikasi intramuskular. Ini harus diingat bahwa pemberian
antikolinergik dapat berbahaya pada pasien tua, yang mempunyai penyakit jantung
koroner. Blok retrobulber atau mendalamkan anestesia dapat digunakan, akan tetapi,
teknik ini mempunyai risiko tersendiri. Blok retrobulber dalam kenyataannya dapat
menimbulkan refleks okulokardiak. Kebutuhan profilaksis masih kontroversial.

Penatalaksanaan refleks okulokardiak adalah: 1) segera beritahu ahli bedahnya dan


hentikan sementara pembedahan sampai denyut jantung meningkat, 2) konfirmasi
adekuat ventilasi, oksigenasi, dan kedalaman anestesia, 3) berikan atropin intravena (10
ug/kg) bila gangguan konduksi menetap, 4) pada episode yang membandel, lakukan
infiltrasi otot rektus dengan analgesia lokal. Refleks pada umumnya melemah sendiri
(hilang sendiri) dengan pengulangan traksi pada otot ekstraokular.

Ekspansi gas intraokular

Gelembung gas mungkin disuntikkan oleh dokter mata ke dalam posterior chamber
selama operasi vitreus. Suntikan udara intravitreal akan bertendensi mendatarkan retina
yang ablasio dan terjadi penyembuhan secara anatomi. Gelembung udara ini akan
diserap dalam 5 hari dengan difusi gradual melalui jaringan dan masuk ke dalam aliran
darah. Bila pasien diberikan N2O, besarnya gelembung ini akan meningkat, hal ini
disebabkan karena N2O 35 kali lebih larut daripada nitrogen di dalam darah. Jadi, hal ini
bertendensi untuk difusi ke dalam gelembung udara lebih cepat daripada nitrogen
(komponen utama udara) yang diabsorbsi ke dalam aliran darah. Bila gelembung udara
membesar setelah mata ditutup/dijahit, akan terjadi kenaikan tekanan intraokular.

Sulfur heksaflourida (SF6) adalah gas yang innert yang kurang larut dalam darah
dibandingkan dengan nitrogen dan N2O. Mempunyai lama kerja yang lebih panjang
(sampai 10 hari) dibandingkan dengan gelembung udara sehingga dapat memberikan
keuntungan bagi dokter mata. Ukuran gelembung menjadi dua kali lipat dalam waktu 24
jam setelah penyuntikkan, sebab nitrogen dari udara inspirasi masuk ke gelembung lebih
cepat daripada SF6 difusi ke aliran darah. Meskipun demikian, kecuali kalau volume
besar dari SF6 disuntikkan, pembesaran gelembung yang lambat tidak selalu
meningkatkan tekanan intraokular. Kalau pasien diberikan N2O, ukuran gelembung
akan meningkat dengan cepat dan menyebabkan hipertensi intraokular. Inspirasi dengan
N2O 70% akan meningkatkan gelembung 3 kali lipat dari 1 ml gelembung dan
peningkatan tekanan dua kali lipat pada mata yang tertutup dalam waktu 30 menit.

389
Penghentian N2O akan menyebabkan reabsorbsi gelembung, yang menjadi campuran
N2O dengan SF6. Konsekuensi dari penurunan tekanan intraokular akan mempresipitasi
pelepasan retina.

Komplikasi-komplikasi ini termasuk pembesaran gelembung gas dapat dicegah


dengan menghentikan N2O paling lambat 15 menit sebelum menyuntikkan udara atau
SF6. Dengan jelas jumlah waktu yang diperlukan untuk mengeluarkan N2O dari darah
akan bergantung pada beberapa faktor, termasuk fresh gas flow rate dan ventilasi
alveolus yang adekuat. Kedalamam anestesia harus dipertahankan dengan pemberian
obat anestetik yang lain. N2O harus dihindari sampai gelembung diserap (5 hari setelah
penyuntikkan udara dan 10 hari setelah penyuntikkan SF6).

Efek Sistemik dari obat mata

Tetes mata yang diberikan secara topikal diabsorbsi melalui pembuluh darah dalam
sakus konjungtiva dan mukosa duktus nasolakrimalis. Satu tetes (kira-kira 1/20 ml) dari
fenilefrin 10% berisi 5 mg obat, sebanding dengan dosis intravena fenilefrin 0,05-1 mg
yang digunakan untuk terapi hipotensi. Obat yang diberikan secara topikal diabsorbsi
dengan kecepatan intermediat antara suntikan intravena dan subkutis (dosis toksik
fenilefrin yang diberikan secara subkutan adalah 10 mg). Anak-anak dan geriatri
berisiko untuk efek toksik dari obat yang diberikan secara topikal dan harus menerima
paling banyak larutan fenilefrin 2,5%.

Tabel 3: Efek sistemik dari obat mata

Obat Mekanisme Kerja Efek

Acetylcholin Cholinergik agonist (miosis) Bronhospasme,


bradikardia, hipotensi

Acetazolamide Inhibisi carbonik anhidrase Diuresis, hipokalemi,


(menurunkan TIO) metabolik asidosis

Atropin Antikolinergik (midriasis) Central antikolinergik


syndrome

390
Cyclopentolate Antikolinergik (midriasis) Disorientasi, psikosis,
konvulsi

Ekotiopat Kolinesterase inhbitor (miosis, Bronkospasme,


penurunan TIO) pemanjangan efek
suksinilkolin dan
mivakurium

Epinefrin Simpathetic agonis (midriasis, Hipertensi, bradikardia,


menurunkan TIO) takikardia, sakit kepala

Phenilefrin Alpha adrenergik agonis Hipertensi, takikardia,


(midriasis, vasokonstriksi) disritmia

Scopolamine Antikolinergik (midriasis, Central antikolinergik


vasokonstriksi) syndrome

Timolol Beta adrenergik bloking Bradikardia, asma, gagal


(menurunkan TIO) jantung congestif

Ekotiopat adalah suatu kolinesterase inhibitor ireversibel yang digunakan untuk


terapi glaukoma. Pada pemberian topikal dapat terjadi absorbsi sistemik dan berakibat
penurunan aktivitas kolinesterase plasma. Disebabkan karena suksinilkolin dan
mivakurium dimetabolisme oleh enzim ini, ekotiopat akan memperpanjang lama
kerjanya. Penghambatan aktivitas kolinesterase berakhir untuk 3-7 pekan setelah
pemberian ekotiopat tetes dihentikan. Efek samping muskarinik, seperti bradikardia
selama induksi, dapat dicegah pemberian antikolinergik misalnya atropin dan
glikopirolatr.

Tetes mata epinefrin dapat menyebabkan hipertensi, takikardia, dan ventrikular


disritmia, efek disritmogenik potensiasi dengan halotan. Pemberian langsung epinefrin
pada anterior chamber mata tidak menimbulkan toksisitas kardiovaskular.

391
Timolol, suatu beta adrenergik antagonis non selektif, mengurangi tekanan
intraokular dengan menurunkan produksi humor aqueous. Pemberian timolol topikal
pada mata, umumnya digunakan untuk terapi glaukoma, jarang dihubungkan dengan
bradikardia yang resisten dengan atropin, hipotensi, dan bronkospasme selama anestesia
umum.

Anestesia umum untuk bedah mata

Pemilihan antara anestesia umum dan analgesia lokal harus dilakukan dengan
mengikut sertakan pasien, spesialis anestesia, dan spesialis bedah mata yang melakukan
tindakan pembedahan. Beberapa pasien menolak dilakukan analgesia lokal disebabkan
kecemasan takut bangun selama prosedur pembedahan atau sakit saat dilakukan
analgesia lokal. Walaupun tidak ada bukti bahwa salah satu teknik anestesia lebih aman,
analgesia lokal kurang menimbulkan stres. Anestesia umum diindikasikan untuk pasien
anak dan dewasa yang tidak kooperatif, misalnya kepala sedikit bergerak yang dapat
menimbulkan kecelakaan selama dilakukan bedah mikrogram. Kombinasi lokal-general
anestesia, suatu teknik sedasi dalam, sering menimbulkan problema dengan jalan nafas,
maka harus dihindari disebabkan mempunyai risiko kombinasi akibat analgesia lokal
dan anestesia umum.

Premedikasi

Pasien yang akan dilakukan operasi mata mungkin ketakutan, terutama bila
dilakukan multiple prosedur dan ada kemungkinan kebutaan yang permanen. Pasien
pediatrik sering dihubungkan dengan adanya cacat kongenital (misalnya sindrom rubela,
sindrom Goldenhar, Down syndrom). Pasien dewasa pada umumnya geriatri, dengan
banyak sekali penyakit sistemik (misalnya hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung
koroner). Faktor-faktor tersebut harus diperhatikan bila memilih premedikasi.

Induksi

Pemilihan teknik induksi untuk operasi mata terutama bergantung pada penyakit
yang menyertainya daripada kepada penyakit mata atau tindakan pembedahannya. Satu
pengecualian adalah pasien dengan ruptur bola mata. Kunci dari induksi anestesia pada
pasien dengan cedera mata terbuka adalah mengendalikan tekanan intraokular dengan
melakukan induksi yang mulus. Khususnya, batuk selama induksi harus dihindari
dengan mendalamkan anestesia dan paralisis. Respons TIO terhadap laringoskopi dan
intubasi, dapat ditumpulkan dengan pemberian lidokain intravena 1,5 mg/kg bb atau

392
opioid (misalnya remifentanil 0,5-1 ug/kg atau alfentanil 20 ug/kg). Pelumpuh otot yang
digunakan jangan suksinilkolin karena mempengaruhi TIO. Kebanyakan pasien dengan
cedera bola mata terbuka tidak puasa/lambung penuh dan memerlukan teknik rapid-
sequence induction.

Pemantauan dan Rumatan

Pada operasi mata, anestetis jauh dari jalan nafas pasien, sehingga penting untuk
melakukan pemantauan ketat dengan oksimetri pulsa dan kapnograf. Kinking dan
obstruksi pipa endotrakeal dapat dikurangi dengan menggunakan pipa endotrakeal
khusus yang melengkung di daerah bibir. Kemungkinan aritmia yang disebabkan
okulokardiak refleks menyebabkan pentingnya dilakukan pemantauan EKG kontinyu
dan bunyi denyut nadi harus dapat didengar. Pada pediatri, temperatur tubuh bayi sering
meningkat selama operasi mata karena kain operasi yang menyelimuti seluruh tubuhnya.
Pemantauan end-tidal CO2 dapat membedakannya dengan hipertermia malignan.

Nyeri dan stres pada operasi mata lebih kecil dibandingkan dengan operasi
abdomen besar. Level anestesia yang lebih dangkal sudah cukup asal pasien tidak
bergerak saat operasi. Kurangnya rangsangan kardiak dari operasi mata digabung
dengan kebutuhan kedalaman anestesia dapat menyebabkan hipotensi pada geriatri.
Problema ini umumnya dapat dicegah dengan mempertahankan hidrasi yang adekuat,
memberikan dosis kecil efedrin (2-5 mg), atau paralisis adekuat dengan pelumpuh otot
non depolarisasi. Dengan memakai pelumpuh otot maka dapat diatur level anestesia
yang lebih dangkal.

Muntah yang disebabkan rangsangan vagal umumnya merupakan problema


pascabedah, terutama pada operasi strabismus. Efek valsalva dan peningkatan tekanan
vena sentral karena muntah, mempunyai efek buruk terhadap hasil operasi dan
meningkatkan risiko tejadinya aspirasi. Pemberian metoklopromid (10 mg pada dewasa)
atau 5-HT3 antagonis (misalnya ondansetron 4 mg pada dewasa) intraoperatif
menurunkan kejadian post operative nausea and vomiting (PONV). Antiemetik harus
diberikan pada pasien yang menerima opioid atau ada riwayat PONV. Deksametason (4
mg pada dewasa) juga diberikan pada pasien dengan riwayat PONV yang sangat jelas.

Ekstubasi dan emergens

Walaupun benang jahit modern dan teknik penutupan luka operasi menurunkan
risiko terbukanya luka operasi pascabedah, tetap harus dilakukan emergens dari
anestesia yang mulus. Batuk akibat adanya pipa endotrakehal dapat dicegah dengan

393
esktubasi saat level anestesia yang cukup dalam. Ketika operasi berakhir, pelumpuh otot
dilawan dan pasien bernafas spontan. Obat anestetik diteruskan saat melakukan
pengisapan jalan nafas. N2O kemudian dihentikan, dan diberikan lidokain 1,5 mg/kgbb
untuk menumpulkan refleks batuk sementara. Ekstubasi dilakukan 1-2 menit setelah
pemberian lidokain dan selama bernafas spontan dengan oksigen 100%. Kontrol jalan
nafas yang tepat sangat penting sampai refleks batuk dan menelan pulih. Akan tetapi,
teknik ini tidak menyenangkan untuk pasien dengan risiko aspirasi yang tinggi.

Nyeri hebat setelah operasi mata tidak biasa terjadi. Prosedur tekuk sklera,
enukleasi dan perbaikan ruptur bola mata adalah operasi mata yang paling sakit. Dosis
kecil narkotik intravena (misalnya petidin 15-25 mg untuk dewasa) umumnya cukup
efektif. Nyeri hebat mungkin merupakan tanda adanya hipertensi intraokular, aberasi
kornea, atau komplikasi bedah lainnya.

Referensi :

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

394
MODUL 20:
ANESTESIA BEDAH
PEDIATRI I

Mengembangkan kompetensi Waktu (semester 2)

Sesi di dalam kelas Anestesia bedah pediatrik 1 adalah suatu rotasi


yang membutuhkan waktu 1 bulan (4 pekan) untuk
Sesi dengan fasilitasi pembimbing peserta didik semester 2, yang meliputi anestesia
untuk jenis operasi THT sederhana tanpa penyulit.
Sesi praktek dan pencapaian kompetensi

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

6. LCD proyektor dan layar


7. Laptop
8. OHP
9. Flipchart
10. Pemutar video
Materi presentasi:

CD PowerPoint

Sarana:

5. Ruang belajar
6. Ruang pemeriksaan
7. Ruang pulih
8. Bangsal rawat inap/pengamatan lanjut
Kasus : pasien di ruang bangsal anak atau dari poliklinik anak

Alat bantu latih : model anatomi /simulator

Penuntun belajar : lihat acuan materi

Daftar tilik kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

395
3. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th
ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
4. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

1. TUJUAN.

Tujuan Pembelajaran Umum :

1. Memiliki pengetahuan mengenai anatomi, fisiologi, patofisiologi, farmakologi,dan prinsip-prinsip


teknik anestesia pada bayi dan anak.
2. Melatih kemampuan dan keterampilan dalam memberikan anestesia untuk prosedur pembedahan
bayi dan anak yang sederhana , mencakup evaluasi dan penilaian kondisi pasien preoperatif,
merancang penatalaksanaan anestesia, melakukan tindakan anestesia intraoperatif, pemantauan
selama operasi, penatalaksanaan masa siuman dan pemulihan serta penanggulangan nyeri
pascabedah.
3. Melatih kemampuan untuk mengatasi kondisi kedaruratan dan komplikasi tindakan anestesia
pada bayi dan anak.

Tujuan Pembelajaran Khusus :

Kognitif :

1. Mampu menjelaskan perbedaan anatomi, fisiologi, farmakologi dan psikologis pada bayi anak dan
orang dewasa.

2. Mampu menjelaskan hal apa saja yang perlu diperhatikan pada kunjungan praanestesia, meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang, premedikasi, puasa pada bayi dan anak.

3. Mampu menjelaskan penatalaksanaan perioperatif pasien bayi dan anak dengan infeksi saluran
nafas atas.

4. Mampu menjelaskan jenis dan ukuran ETT, LMA, laringoskop , sistem sirkuit nafas beserta
peralatan pelengkap lain (cunam Magill, stilet,jalan nafas oro/nasofarings, dll) yang dipakai untuk
anestesia bayi, anak.

5. Mampu menjelaskan pemberian cairan perioperatif bayi dan anak, seperti jumlah dan jenis cairan
yang diberikan.

6. Mampu menghitung volume darah total dan banyaknya perdarahan yang boleh hilang selama
operasi dan kapan membutuhkan transfusi darah.

396
7. Mampu menjelaskan obat premedikasi apa saja , cara pemberiannya serta penyulit yang bisa
ditimbulkan dari pemberian obat premedikasi untuk bayi dan anak.

8. Mampu menjelaskan cara induksi kasus bedah sederhana untuk bayi dan anak.

9. Mampu menjelaskan bagaimana melaksanakan pemulihan yang mulus dan mengatasi nyeri
pascabedah pada kasus sederhana bayi dan anak.

10. Mampu menjelaskan mekanisme terjadinya spasme laring, spasme bronkus, edema glotis pada
bayi dan anak.

11. Mampu menjelaskan cara mencegah dan mengatasi spasme laring, spasme bronkus, edema glotis
yang terjadi pada bayi dan anak.

12. Mampu menjelaskan penatalaksanaan analgesia regional kaudal epidural , dosis dan jenis obat
analgetik lokal apa saja yang dapat dipakai untuk bayi dan anak serta penyulit yang bisa
ditimbulkan.

Psikomotor :

1. Mampu melakukan RJP pada bayi dan anak.


2. Mampu melakukan tindakan anestesia , pemantauan , penatalaksanaan masa siuman dan
pemulihan pada kasus bedah sederhana.
3. Mampu mengevaluasi jalan nafas yang normal dan abnormal secara klinis dan
radiologis pada bayi dan anak.
4. Mampu melakukan ventilasi pada bayi dan anak dengan jalan nafas yang normal maupun dengan
kelainan, menggunakan sungkup muka, balon dan jalan nafas orofaring yang sesuai.
5. Mampu melakukan intubasi pada bayi dan anak dengan jalan nafas yang normal maupun dengan
kelainan, menggunakan laringoskop, ETT, LMA yang sesuai.
6. Mampu memasang jalur intravena, intraosseus,vena umbilikalis pada pasien bayi dan anak.
7. Mampu memberikan terapi cairan perioperatif kasus bayi dan anak.
8. Mampu melakukan transfusi darah dan memakai penghangat intraoperatif kasus bayi dan anak.
9. Mampu melakukan analgesia regional kaudal epidural pada bayi.
10. Mampu melakukan penatalaksanaan nyeri pascabedah pada bayi dan anak.
11. Mampu mengenali dan mengatasi spasme laring, spasme bronkus, edema glotis dan trakea pada
bayi dan anak.

Komunikasi dan keterampilan interpersonal :

1. Melakukan koordinasi dan diskusi mengenai penatalaksanaan anestesia pada kasus bedah
sederhana bayi dan anak.
2. Melakukan koordinasi, konsultasi, diskusi dengan ahli bedah, dokter anak dan pihak yang terkait
mengenai penatalaksanaan perioperatif.
3. Menjelaskan kepada orang tua dan keluarga pasien mengenai pentingnya dilakukan operasi dan
rencana anestesia yang akan dilakukan.
4. Melakukan persetujuan setelah mendapatkan informasi yang adekuat secara lisan dan tertulis.

397
5. Melakukan koordinasi yang baik dengan tim bedah bila terjadi komplikasi intraoperatif.
6. Menyatakan ketidaklayakan kondisi pasien untuk menjalani operasi kepada ahli bedah, dokter
anak maupun orang tua pasien.

Profesionalisme :

1. Bekerja sesuai standard prosedur yang berlaku.


2. Memastikan persiapan yang matang dalam melakukan tindakan, mengantisipasi kesulitan dan
problema yang dapat timbul.
3. Mampu memberikan keyakinan dan mendapatkan kepercayaan dari pihak orangtua maupun dari
ahli bedah yang bersangkutan.
4. Menjaga kondisi pasien dengan seksama selama dan sesudah operasi selesai.

KEYNOTES

2. POKOK BAHASAN.

Sub pokok bahasan :

1. Anatomi , fisiologi & psikologi bayi dan anak.


2. Farmakologi obat anestetik untuk bayi dan anak.
3. Terapi cairan dan elektrolit pada bayi dan anak.
4. Persiapan prabedah anak dan bayi.
5. Kondisi jalan nafas normal dan abnormal.
6. Penatalaksanaan kasus anak di ruang pulih
7. Penatalaksanaan nyeri pascabedah.
8. Kasus bedah darurat anak sederhana.
9. Spasme laring, bronkus, edema glotis.
10. Analgesia regional kaudal epidural.
11. Pediatric Life Support.
12. Neonatal Life Support.

KATA KUNCI :

Neonatus , pediatri , kelainan kongenital , anatomi , fisiologi , farmakologi , psikologi , jalan nafas , terapi
cairan dan elektrolit , transfusi , resusitasi , analgesia regional-umum , bedah darurat , perawatan pasca
bedah-anestesia , penatalaksanaan nyeri.

WAKTU.

398
Rotasi pendidikan anestesia bedah bayi dan anak untuk peserta PPDS dilakukan pada semester IV keatas,
berlangsung selama 3 x 4 pekan, yang mencakup 8 pekan di kamar operasi dan 4 pekan di ruang rawat
intensif bayi dan anak.

3. METODE.

A. Proses pembelajaran dilaksanakan melalui metode:


1)
diskusi kelompok kecil
2)
peer assisted learning (PAL)
3)
bedside teaching
4)
task-based medical education
B. Peserta didik paling tidak sudah harus mempelajari:
1) bahan acuan ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran
2) ilmu klinis dasar
C. Penuntun belajar terlampir
D. Tempat belajar : bangsal bedah, kamar operasi, bangsal perawatan pascabedah , ruang
resusitasi.

Pelaksanaan.

- Kuliah dilakukan pada semester IV pekan 1.


- Latihan penatalaksanaan jalan nafas dan intubasi pada manikin bayi pada semester IV pekan 1.
- Laporan dan diskusi kasus di bawah dan bimbingan pengawasan staf pengajar sesuai sasaran
pembelajaran.
- Bedside teaching dan penanganan pasien secara langsung di kamar persiapan anestesia, kamar
operasi , ruang resusitasi , ruang pulih , ruang perawatan

4. MEDIA.

1. Kursus / pelatihan
2. Belajar mandiri
3. Kuliah
4. Group diskusi
5. Visite, bed site teaching
6. Bimbingan tindakan anestesia dan pemulihan
7. Kasus morbiditas dan mortalitas
8. Continuing profesional development

5. NARASUMBER SARAN & ALAT BANTU PEMBELAJARAN.

- SDM : Staf Pengajar Divisi Anestesia Pediatrik Departemen Anestesiologi-Reanimasi dan Terapi
Intensif FK bersangkutan serta RS pendidikan yang terkait.
- Sarana : ruang kuliah dan perpustakaan Departemen Anestesiologi dan Terapi intensif, fasilitas
internet, seluruh ruang operasi elektif dan darurat di lingkungan RS pendidikan terkait.
- Alat bantu : manikin bayi / anak.

399
6. EVALUASI.

1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-tes dalam bentuk,MCQ, esai dan oral sesuai dengan tingkat
masa pendidikan, yang bertujuan untuk menilai kinerja awal yang dimiliki peserta didik dan untuk
melakukan identifikasi kekurangan yang ada.
Materi pre-tes terdiri atas:

Perbedaan anatomi,fisiologi,farmakologi dan psikologi anak dan dewasa.


Menilai kondisi penderita saat kunjungan prabedah : Anamnesa/heteroanamnesa,pemeriksaan
fisis & penunjang.
Penatalaksanaan puasa pada bayi/anak.
Menyiapkan perencanaan premedikasi, induksi dan rumatan anestesia sesuai problema
aktual/potensial yang ada.
Perencanaan pemantauan selama anestesia dan pembedahan.
Peralatan dan perlengkapan anestesia pediatrik.
Terapi cairan perioperatif dan kapan perlu transfusi.
Obat-obat premedikasi dan induksi
Obat-obat anestetik inhalasi dan parenteral
Analgesia regional kaudal epidural untuk pediatri
Anestesia pada pembedahan sederhana bayi dan anak.
Penatalaksanaan nyeri pascabedah pada penderita pediatrik
Penatalaksanaan penderita pediatrik di ruang pulih
2. Selanjutnya dilakukan diskusi kelompok kecil bersama dengan fasilitator untuk membahas
kekurangan yang teridentifikasi, membahas isi dan hal-hal yang berkenaan dengan penuntun belajar,
kesempatan yang akan diperoleh pada saat bedside teaching dan proses penilaian.
3. Setelah mempelajari penuntun belajar ini, mahasiswa diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-
langkah yang tertera dalam penuntun belajar dalam bentuk role-play dengan teman-temannya (peer
assisted learning) atau kepada SP (Standardized patient). Pada saat tersebut, yang bersangkutan tidak
diperkenankan membawa penuntun belajar, penuntun belajar dipegang oleh teman-temannya untuk
melakukan evaluasi (peer assisted evaluation). Setelah dianggap memadai, melalui metoda bedside
teaching di bawah pengawasan fasilitator, peserta didik mengaplikasikan penuntun belajar kepada
model anatomik dan setelah kompetensi tercapai peserta didik akan diberikan kesempatan untuk
melakukannya pada pasien sesungguhnya. Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan
langsung, dan mengisi formulir penilaian sebagai berikut:
Perlu perbaikan: pelaksanaan belum benar atau sebagian langkah tidak dilaksanakan
Cukup: pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misal pemeriksaan terlalu lama atau kurang
memberi kenyamanan kepada pasien
Baik: pelaksanaan benar dan baik (efisien)
4. Setelah selesai bedside teaching, dilakukan kembali diskusi untuk mendapatkan penjelasan dari
berbagai hal yang tidak memungkinkan dibicarakan di depan pasien, dan memberi masukan untuk
memperbaiki kekurangan yang ditemukan.
5. Self assessment dan Peer Assisted Evaluation dengan mempergunakan penuntun belajar
6. Pendidik/fasilitas:
Pengamatan langsung dengan memakai formulir ceklis evaluasi (terlampir)
Penjelasan lisan dari peserta didik/ diskusi

400
Kriteria penilaian keseluruhan: cakap/ tidak cakap/ lalai.
7. Di akhir penilaian peserta didik diberi masukan dan bila diperlukan diberi tugas yang dapat
memperbaiki kinerja (task-based medical education)
8. Pencapaian pembelajaran:
Evaluasi.

Isi evaluasi :

Perbedaan anatomi,fisiologi,farmakologi dan psikologi anak dan dewasa.


Menilai kondisi penderita saat kunjungan prabedah : anamnesa/heteroanamnesa,pemeriksaan fisis
dan penunjang.
Penatalaksanaan puasa pada bayi/anak.
Menyiapkan perencanaan premedikasi, induksi dan rumatan anestesia sesuai problema
aktual/potensial yang ada.
Perencanaan pemantauan selama anestesia dan pembedahan.
Peralatan dan perlengkapan anestesia pediatrik.
Terapi cairan perioperatif dan kapan perlu transfusi.
Obat-obat premedikasi dan induksi
Obat-obat anestetik inhalasi dan parenteral
Anestesia pada pembedahan sederhana bayi dan anak.
Analgesia regional kaudal epidural untuk pediatri
Penatalaksanaan nyeri pascabedah pada penderita pediatrik
Penatalaksanaan penderita pediatrik di ruang pulih.

Bentuk evaluasi :

Kognitif

- EMQ
- Multiple observation and assessments
- Multiple observers
- OSCE
- Minicheck
Skill

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
Communication and Interpersonal Skills

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
Profesionalisme

401
- Multiple observation and assessments
- Multiple observers
Pengetahuan

- MCQ (pre-tes)
- EMQ

7. DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA PEDIATRIK.

Sudah Belum
No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia
dikerjakan dikerjakan

PERSIAPAN PRE ANESTESIA

1 Persetujuan setelah mendapatkan informasi yang adekuat

2 Persiapan puasa

3 Anamnesa/heteroanamnesa & pemeriksaan fisis

Pemeriksaan tambahan

Pendekatan psikologis

4 Pemeriksaan mesin anestesia , gas anestesia , pengisap

5 Cairan dan darah tersedia

Infusi lancar

6 Peralatan intubasi dan obat-obatan anestesia , obat darurat

Pemantauan fungsi vital

DC syok siap & berfungsi

PELAKSANAAN ANESTESIA

1 Premedikasi

Induksi anestesia

Intubasi dan/atau regional anestesia

1 Penderita diatur dalam posisi yag diperlukan

Perhatikan penyulit potensial akibat posisi

402
2 Rumatan anestesia

Pemulihan dari anestesia

3 Perawatan dan pemantauan di ruang pulih

Penatalaksanaan nyeri pascabedah

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda


8. DAFTAR TILIK.

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur
memuaskan standard atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

403
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

404
Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih
Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

9. Referensi.

1. Fundamental of Anatomy & Physiology FH Martini 7th ed 2006


2. Basic & Clinical Pharmacology Katzung BG 9th ed 2004
3. Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr 4th ed 2006
4. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006
5. Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005
6. Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice RK Stoelting 4 th ed 2006.

7. Anesthesia for Infans and Children Smith et al 7th ed 2006.

405
M0DUL 21 ANESTESIA PEDIATRIK II
Mengembangkan kompetensi Waktu (semester 4)

Sesi dalam kelas 2 x 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasiitas pembimbing 3 x 2 jam (coaching session)

Sesi praktek dan pencapaian kompetensi 8 pekan (facilitation & assessment)

Persiapan Sesi

Audiovisual Aid:
1. LCD proyektor dan layar
2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Pemutar video
Materi presentasi: CD PowerPoint
1. Indikasi persiapan anestesia

2. Persiapan preoperatif

3. Teknik persiapan alat, mesin dan obat anestetik

4. Pencegahan komplikasi anestesia

5. Penatalaksaan pasien pasca-anestesia

6. Teknik rekam medis anestesia

Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Kamar operasi
4. Ruang pulih
5. Bangsal rawat
Kasus : anestesia pasien langsung , di ruang rawat, kamar pemeriksaan dan kamar operasi
Alat Bantu Latih : model anatomi (manikin pediatrik)
Penuntun belajar : lihat materi acuan
Daftar tilik kompetensi : lihat daftar tilik
Referensi :

406
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 3th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2002
2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006
3. Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005
4. Martini FH. Fundamental of Anatomy & Physiology. 7th ed. 2006
5. Basic & Clinical Pharmacology Katzung BG 9th ed 2004
Selain referensi wajib di atas, peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari referensi tambahan
untuk sub-modul persiapan alat dan obat anestetik yang lain.

Tujuan Pembelajaran Umum

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki pengetahuan prinsip-prinsip dasar dan teknik
lanjutan anestesia pediatrik, mampu mempersiapkan, memberikan anestesia dan mengelola pasca-
anestesia elektif maupun darurat untuk berbagai tindakan bedah pediatrik dengan kondisi penyulit dan
kelainan jalan nafas.

Tujuan Pembelajaran Khusus

Setelah melalui sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi berikut ini:

1. KOMPETENSI

Mampu mengenali dan melakukan persiapan preoperatif pasien, melakukan pembiusan umum maupun
regional yang baik dan tepat, pemantauan, mecegah komplikasi dan penatalaksanaan pasca-anestesia
pediatrik dengan penyulit.

RANAH KOMPETENSI

Setelah melalui sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan:

Kognitif

1. Menjelaskan penatalaksanaan anestesia untuk kasus bayi dan anak dengan sepsis, kelainan jalan
nafas, kesulitan intubasi dan ventilasi seperti labiopalatognatoskisis bilateral komplit, Pierre
Robin, tumor gigi mulut dan jalan nafas.
2. Menjelaskan hal penting apa saja yang harus diperhatikan pada kasus bayi dengan kelainan
kongenital dan anomali seperti hernia diafragmatika, omfalokel, gastroskisis, fistel trakeo-
esofagus.Mampu menjelaskan penatalaksanaan anestesia untuk kasus bayi dengan kelainan
kongenital dan anomali seperti hernia diafragmatika, omfalokel, gastroskisis, fistel trakeo-
esofagus.
3. Menjelaskan mekanisme terjadinya spasme laring, spasme bronkus, edema glotis dan trakea pada
bayi dan anak.

407
4. Menjelaskan mekanisme terjadinya hipotermia pada kasus pediatrik, cara mencegah, cara
mengatasi dan komplikasi apa saja yang dapat ditimbulkannya
5. Menjelaskan cara mencegah dan mengatasi spasme laring, spasme bronkus, edema glotis dan
trakea yang terjadi pada bayi dan anak.
6. Menjelaskan penatalaksanaan analgesia regional, dosis dan jenis obat analgetik lokal apa saja
yang dapat dipakai untuk bayi dan anak.

Psikomotor

1. Mampu mengevaluasi jalan nafas yang normal dan abnormal secara klinis dan radiologis pada
pasien pediatrik.
2. Mampu menyiapkan kamar bedah secara lengkap untuk operasi pediatrik.
3. Mampu memasang dan mengatur alat, obat-obat, cairan dan kelengkapan lain yang diperlukan
untuk operasi pediatrik.
4. Mampu mempersiapkan alat untuk monitor noninvasif dan invasif.
5. Mampu mempersiapkan alat untuk transfusi darah pasien pediatrik.
6. Mampu melakukan pengecekan kelengkapan alat pembiusan, mesin anestesia dan obat , cairan
yang diperlukan untuk anestesia umum maupun regional.
7. Mampu melakukan akses vena perifer dengan jarum 20-24G dan akses vena sentral.
8. Mampu melakukan induksi anestesia umum pada pasien pediatrik dengan penyulit.
9. Mampu melakukan ventilasi pada pasien pediatrik dengan kelainan jalan nafas menggunakan
sungkup muka, bag dan oral jalan nafas yang sesuai.
10. Mampu melakukan intubasi trakea dengan/tanpa teknik cepat, terutama pada pasien pediatrik
dengan penyulit maupun kelainan jalan nafas.
11. Mampu melakukan ventilasi tekanan positif melalui pipa trakea.
12. Mampu memberikan anestesia pediatrik dengan posisi pasien lateral, litotomi dan telungkup.
13. Mampu melakukan tindakan anestesia pada kasus khusus dengan kelainan kongenital dan
anomali (lihat prosedur anestesia umum, intubasi dan pemasangan LMA).
14. Mampu melakukan jalur akses / pengambilan darah intraarterial.
15. Mampu melakukan transportasi pasien ke ruang pulih, ruang rawat atau PICU
16. Mampu melakukan tindakan atau terapi terhadap komplikasi yang biasa terjadi di ruang pulih.

Kemampuan komunikasi

7. Melakukan koordinasi dan diskusi mengenai penatalaksanaan anestesia pada kasus bedah bayi
dan anak.
8. Melakukan koordinasi, konsultasi, diskusi dengan ahli bedah dan dokter anak mengenai
penatalaksanaan perioperatif, terutama untuk kasus sulit dan berproblema.
9. Mengumpulkan data dan literatur mengenai penatalaksanaan anestesia bayi dan anak, terutama
untuk kasus sulit dan berproblema.
10. Menjelaskan kepada orang tua dan keluarga pasien mengenai pentingnya dilakukan operasi dan
rencana anestesia yang akan dilakukan.
11. Memperoleh persetujuan setelah mendapatkan informasi yang adekuat secara lisan dan tertulis.
12. Melakukan koordinasi yang baik dengan tim bedah bila terjadi komplikasi intraoperatif.
13. Menyatakan ketidaklayakan kondisi pasien untuk menjalani operasi kepada ahli bedah, dokter
anak maupun orang tua pasien.
14. Mendiskusikan perlunya perawatan di ruang perawatan intensif anak pascabedah.

408
Profesionalisme

1. Menghormati dan bersikap etis pada pasien, keluarga pasien, sejawat lain, atasan, bawahan
2. Mengetahui tugas sehari hari
3. Datang /hadir tepat waktu
4. Mampu melakukan pekerjaan sesuai prosedur
5. Mengatasi problema bersama ahli bedah agar tidak terjadi penundaan operasi.

2. KEYNOTES

1. Kapasitas residu fungsional pada bayi lebih kecil sehingga cadangan oksigen pada periode apnea
terbatas, sehingga mudah terjadi atelektasis dan hipoksemia.
2. Bayi memiliki kepala yang besar, lidah yang besar, laring yang lebih sempit, lebih anterior dan
sefalad, epiglotis yang lebih panjang, trakea yang lebih pendek dan bagian tersempit sekitar
kartilage krikoid, dan bernafas terutama lewat hidung, sehingga memerlukan teknik khusus dalam
melakukan ventilasi dan intubasi.
3. Fungsi pompa jantung kiri yang belum sempurna di mana curah jantung sangat bergantung pada
laju jantung (HR).
4. Hipotermia sangat mudah terjadi karena kulit yang tipis, cadangan lemak coklat yang sedikit, luas
penampang tubuh yang mempermudah pelepasan panas, sehingga akibatnya dapat menghambat
proses siuman dan pemulihan, mengganggu fungsi jantung dan menekan pernafasan, dan
mempengaruhi kerja obat anestetik.
5. Bayi dan anak memiliki volume ventilasi permenit yang lebih tinggi dengan kapasitas residu
fungsional yang rendah terhadap aliran darah paru yang tinggi menyebabkan konsentrasi gas
inhalasi alveolus cepat meningkat sehingga proses induksi dan pemulihan lebih cepat terjadi.
6. Infeksi saluran nafas atas dalam 2-4 pekan sebelum tindakan anestesia dan intubasi meningkatkan
risiko terjadinya spasme laring.
7. Spasme laring dapat dicegah dengan melakukan ekstubasi saat pasien masih teranestesia cukup
dalam atau saat sudah sadar betul.
8. Edema laring dan trakea sering terjadi pada anak usia di bawah 4 tahun, antara lain akibat
intubasi berulang, penggunaan ETT yang terlalu besar, operasi daerah kepala leher yang lama.
9. Teknik pembiusan untuk bedah pediatrik didasarkan pada pengetahuan mengenai anatomi,
fisiologi, patofisiologi, farmakologi, pemberian cairan dan transfusi darah.
10. Pemilihan teknik anestesia berdasarkan kasus bedah elektif atau darurat, bergantung pada jenis
operasi, lama operasi, penatalaksanaan pascabedah dan fasilitas rumah sakit.
11. Terjadi perubahan fisiologi pernafasan, kardiovaskular akibat tindakan selama anestesia pada
operasi pediatrik.
12. Pada kasus operasi abdomen pediatrik terdapat indikasi untuk melakukan induksi cepat
13. Setting ventilator merupakan hal penting selama anestesia umum untuk bedah pediatrik.
14. Beberapa prosedur operasi memiliki posisi dan risiko tersendiri misalnya posisi telungkup,
miring, duduk, litotomi, posisi ginjal.
15. Terapi cairan dan transfusi darah merupakan salah satu prosedur yang sering dilakukan sesuai
indikasi selama operasi.
16. Pasien pediatrik terutama neonatus memiliki risiko hipotermia yang tinggi sehingga perlu
diketahui penyebabnya, cara pencegahan, cara penanggulangan dan komplikasi yang dapat
ditimbulkannya
17. Penting memiliki pengetahuan mengenai farmakologi klinis obat anestetik intravena, inhalasi,
opioid, sedatif, pelumpuh otot.

409
18. Mual muntah, hipotermia dan nyeri pascabedah merupakan komplikasi yang sering terjadi
pascabedah pediatrik.

3. GAMBARAN UMUM

Anestesia Pediatrik II diperlukan pada kasus-kasus pediatrik/neonatus elektif maupun darurat yang
disertai penyulit. Kasus pediatrik tersebut misalnya operasi hernia diafragmatika, omfalokel, gastroskisis,
fistel trakeo-eofageal, atresia ileum, jejunum yang disertai distensi abdomen, labiopalatognatoskisis,
operasi tumor jalan nafas, yang disertai kondisi penyulit seperti sepsis, gangguan/anomali organ,
kongenital, maupun kelainan jalan nafas. Dengan demikian, pemilihan jenis prosedur dan obat-
obatan/bahan anestesia harus dipadankan dengan kondisi pasien, jenis tindakan bedah, lamanya prosedur
bedah, risiko dan fasilitas rumah sakit. Hal-hal seperti inilah yang kemudian perlu untuk diketahui dan
dikuasai oleh petugas pelaksana anestesia dan modul ini disusun untuk mencapai tujuan tersebut.

4. TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah proses alih pengetahuan, keterampilan dan perilaku melalui modul ini, diharapkan peserta didik
memiliki kemampuan untuk:

1. memilih/seleksi pasien pediatrik untuk operasi yang relatif sulit dan disertai kondisi penyulit
2. melaksanakan persiapan preoperatif
3. menguasai teknik anestesia khusus dan penggunaan obat yang sesuai untuk anestesia pediatrik
4. memberikan anestesia umum dan regional
5. melakukan pemantauan
6. mengelola pasca-anestesia pasien pediatrik

5. METODE PEMBELAJARAN

Peserta didik sudah harus mempelajari:

1. Bahan acuan
2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran
3. Ilmu klinis dasar

Tujuan 1 : memilih/seleksi pasien pediatrik untuk operasi yang relatif sulit dan disertai kondisi
penyulit

Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)

410
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktek klinis
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
Pemilihan pasien bergantung pada kepada kasus elektif atau darurat, kondisi pasien, jenis
operasi, lama operasi, penatalaksanaan pascabedah, dan fasilitas rumah sakit.

Tujuan 2 : melaksanakan persiapan preoperatif

Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktek klinis

Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:


Semua pasien apakah muda atau tua, harus dilakukan anamnesa, pemeriksaan fisis dan penunjang
prabedah, persetujuan setelah mendapatkan informasi yang adekuat dan dilakukan persiapan
preoperatif (puasa, premedikasi, cairan, persiapan komponen darah bila diperlukan) sebelum
dimulai tindakan anestesia.

Tujuan 3 : menguasai teknik anestesia khusus dan penggunaan obat yang sesuai untuk anestesia
pediatrik

Metode pembelajaran
1. Diskusi kelompok kecil
2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education
5. Demo & Coaching
6. Praktek klinis
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Mengetahui bahwa anestesia kasus bedah pediatrik sederhana tanpa penyulit dapat dilakukan
dengan anestesia umum, analgesia regional, atau MAC
2. Menguasai jenis-jenis anestesia untuk tindakan bedah pediatrik sederhana tanpa kondisi penyulit
dan persiapan untuk melaksanakan prosedur tersebut.
3. Menguasai resusitasi neonatus lanjutan

Tujuan 4 : melaksanakan anestesia umum dan regional

411
Metode pembelajaran
1. Diskusi kelompok kecil
2. Studi Kasus
3. Bedside teaching
4. Demo & Coaching dengan menggunakan Penuntun Belajar
5. Praktek klinis
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
Anestesia umum inhalasi dengan sungkup muka, intubasi dan LMA, intravena (lihat modul
anestesia umum dan prosedur intubasi pediatrik).
Analgesia regional spinal, epidural, kaudal (lihat modul analgesia regional)

Tujuan 5 : melakukan pemantauan

Metode pembelajaran
1. Diskusi kelompok kecil
2. Studi Kasus
3. Bedside teaching
4. Demo & Coaching dengan menggunakan Penuntun Belajar
5. Praktek klinis

Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:


lihat modul anestesia umum dan regional

1. Pemantauan anestesia kasus bedah pediatrik noninvasif dan invasif meliputi EKG, NIBP, saturasi
O2, temperatur, keluaran urin, tekanan vena sentral dan IABP
2. Pemantauan selama prosedur anestesia sejak awal hingga akhir prosedur bedah

Tujuan 6 : mengelola pasca-anestesia pasien bedah pediatrik

Metode pembelajaran
1. Diskusi kelompok kecil
2. Studi Kasus
3. Bedside teaching
4. Demo & Coaching
5. Praktek klinis

Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:


1. Mual muntah, hipotermia dan nyeri pascabedah merupakan komplikasi yang sering terjadi
pascabedah pediatrik
2. Penggunaan anestetik inhalasi meningkatkan risiko mual muntah pascabedah.
3. Problema yang berhubungan dengan analgesia spinal atau epidural adalah hipotensi ortostatik,
blokade sensori dan motorik yang memanjang dan retensi urin.

412
6. MEDIA

1. Kursus / pelatihan

Pelatihan di skill lab ventilasi sungkup, intubasi, LMA pada manikin pediatrik.

2. Belajar mandiri

3. Kuliah

Kuliah khusus Penatalaksanaan Anestesia Bedah Pediatrik I

termasuk semua sub pokok bahasan dilakukan semester 3.

4. Diskusi kelompok

e.Laporan dan diskusi tentang problema preoperatif ,


f.penatalaksanaan jalan nafas, anestesia umum (intubasi, LMA), regional
g.pemantauan
h.penatalaksanaan pascabedah
5. Pemeriksaan preoperatif

6. Bimbingan pembiusan dan asistensi di kamar operasi

a. Pelatihan anestesia umum dan regional di kamar bedah pada pasien bedah pediatrik

b. Dilakukan dengan bimbingan dan pengawasan staf pengajar.

7. Tugas baca dan tulisan (tinjauan pustaka, journal reading)

8. Laporan kasus, morbiditas dan mortalitas

9. Continuing Profesional Development (CPD)

7. ALAT BANTU PEMBELAJARAN

Perpustakaan, internet, skill lab

8. EVALUASI

8.1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-tes dalam bentuk esai dan lisan untuk menilai kinerja awal
peserta didik dan melakukan identifikasi kekurangan yang ada. Materi pre-tes terdiri atas :

1. Pemilihan/seleksi pasien operasi pediatrik sederhana

413
2. Persiapan preoperatif
3. Pemilihan teknik anestesia dan penggunaan obat yang sesuai untuk anestesia bedah pediatrik
4. Penatalaksanaan anestesia umum dan regional
5. Pemantauan
6. Penatalaksanaan pasca-anestesia pasien pediatrik

8.2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang teridentifikasi,
membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.

8.3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam penuntun belajar pada
manikin anestesia bersama teman-temannya (peer assisted learning), dievaluasi oleh teman-
temannya (peer assisted evaluation).

8.4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di bawah pengawasan
fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien sesungguhnya. Pada saat pelaksanaan,
evaluator melakukan pengawasan langsung dan mengisi lembar penilaian:

- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak dilakukan

- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya tindakan anestesia tidak
mulus sehingga kurang memberi kenyamanan kepada pasien

- Baik : pelaksanaan benar, baik dan efisien

8.5. Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.

8.6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun belajar.

8.7. Pendidik/fasilitator melakukan :

- Pengamatan langsung dengan memakai ceklis evaluasi (terlampir)

- Diskusi dan penjelasan lisan dari peserta didik

- Kriteria penilaian keseluruhan : baik/cukup/kurang

8.8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan atau diberi
tugas untuk memperbaiki kinerja.

8.9. Pencapaian pembelajaran :

Isi pre-tes :

1. Jelaskan perbedaan anatomi, fisiologi, farmakologi pada bayi anak dan orang dewasa.
2. Jelaskan hal apa saja yang perlu diperhatikan pada kunjungan praanestesia, meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang, premedikasi, puasa pada bayi dan
anak.
3. Jelaskan penatalaksanaan perioperatif pasien bayi dan anak dengan infeksi saluran nafas atas.

414
4. Jelaskan perbedaan, jenis dan ukuran ETT, LMA, laringoskop dan sistem sirkuit nafas yang
dipakai untuk anestesia bayi, anak dan orang dewasa.
5. Jelaskan pemberian cairan intraoperatif bayi dan anak, seperti jumlah dan jenis cairan yang
diberikan.
6. Bagaimana menghitung volume darah total pada bayi dan anak, banyaknya perdarahan yang
boleh hilang selama operasi dan kapan membutuhkan transfusi darah.
7. Jelaskan obat premedikasi apa saja dan cara pemberiannya untuk bayi dan anak.
8. Jelaskan cara induksi apa saja yang dapat dilakukan untuk bayi dan anak.
9. Jelaskan prinsip persiapan anestesia untuk bedah pediatrik elektif dan darurat
10. Jelaskan penatalaksanaan anestesia untuk kasus bayi dan anak dengan problema jalan nafas,
kesulitan intubasi dan ventilasi seperti labiopalatognatoskisis bilateral komplit, Pierre Robin,
tumor gigi mulut dan jalan nafas.
11. Jelaskan penatalaksanaan anestesia untuk kasus bayi dan anak dengan kelainan kongenital
dan anomali seperti hernia diafragmatika, omfalokel, gastroskisis, fistel trakeo-esofagus, dan
hal penting apa saja yang harus diperhatikan pada masing-masing kelainan.
12. Jelaskan penanggulangan nyeri pascabedah pasien pediatrik.

Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).

Bentuk ujian :

- Ujian akhir stase/ rotasi pos-tes tulis dan ujian pasien


- Ujian akhir profesi
Bisa dalam bentuk :

1. PengetahuanKognitif

- MCQ
- EMQ
Ujian lisan

- Multiple observation and assessments


- OSCE
- Minicheck
2. Skill

-Multiple observation and assessments


-
Multiple observers
-
OSCE
-
Minicheck
3.Communication and Interpersonal Skills

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
4.Profesionalisme

- Multiple observation and assessments

415
- Multiple observers

9. DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia Sudah Belum


dilakukan dilakukan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1 Anamnesis, periksaan fisis, pemeriksaan penunjang

2 Penentuan ASA :

3 Persiapan alat, mesin pembiusan, STATICS, obat

4 Pemasangan monitor

5 Interpretasi hasil monitor

ANESTESIA

1 Anestesia umum (intubasi, LMA)

2 Analgesia regional

3 Anestesia intravena dan MAC

4 Pemberian cairan dan transfusi

5. Pemanatauan fungsi vital, kesadaran, kardiovaskular,


pernafasan. Tekanan darah, nadi, saturasi Hb (SpO2),
ventilasi (ETCO2 bila ada), jumlah urin, suhu

6. Pengakhiran anestesia, masa siuman

7. Tindakan ekstubasi

5 Komplikasi dan penanganannya

PENATALAKSANAAN PASCABEDAH

1 Pengawasan ABC dan tanda vital pascabedah

2 Penanganan komplikasi, respirasi, kardiovaskular,


kesadaran, metabolik, gastrointestinal (mual muntah) dan
nyeri pascabedah

3 Penetapan kriteria untuk boleh kembali ke ruang rawat

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda ( )

416
Prosedur Intubasi pada pasien pediatrik :

417
No. Prosedur intubasi endotrakeal pada Pasien Pediatrik Dilakukan

(Intubasi Setelah Anestesia Umum)

1. Periksa kesiapan alat dan obat yang diperlukan. Periksa laringoskop dan
lampunya berfungsi dengan baik.

- Laringoskopi bayi (Millerr dan Macintosh)


- ETT dengan kaf atau tanpa kaf
- Mandrain bayi
- Cunam Magill
- Sungkup bayi
- Mate device
Berikan obat premedikasi untuk menenangkan pasien.

Posisikan pasien dalam sniffing position dengan mengganjal bagian bawah


leher, atau mengganjal bawah bahu setinggi 5-10 sm. Hindari hiperekstensi
leher.

2. Berikan oksigen 100% melalui sungkup muka. Pastikan tidak ada kesulitan
ventilasi.
3.
Pegang sungkup sembari melakukan manuver angkat dagu dengan satu tangan.
Jika jalan nafas belum bebas, lakukan buka mulut dan dorong mandibula ke
depan dengan dua tangan.

Yakinkan ventilasi baik dengan melihat kembang-kempisnya balon (anesthetic


4.
bag).

Berikan obat induksi. Pastikan kesadaran pasien hilang.


5. Bila jalan nafas aman dapat diberikan pelumpuh otot. Pastikan obat telah
bekerja pada otot nafas.

Berikan nafas buatan dengan oksigen 100% selama 2-3 menit.

Lakukan laringoskopi dengan laringoskop bilah lurus (Miller).


6.
Pegang gagang dengan tangan kiri.

Pastikan lagi cahaya lampu laringoskop cukup terang.


7.
Buka mulut pasien. Masukkan daun melalui sudut kanan mulut.
8.
Geser lidah ke kiri sambil meneruskan daun ke dalam, menyusuri pinggir
kanan lidah menuju laring. Perhatikan epiglotis.

9. Letakkan ujung daun pada vallecula.

10. Angkat epiglotis ke depan (bukan diungkit) dengan daun.

11. Bila epiglotis terangkat dengan benar akan tampak rima glotis dengan pita
suara berwarna putih, berbentuk huruf V terbalik.

Masukkan pipa endotrakeal dengan tangan kanan hingga batas berwarna


12. hitam melewati pita suara, atau jika pipa mempunyai kaf dimasukkan hingga
13. seluruh kaf melewati pita suara.

14. Yakinkan bunyi nafas kanan dan kiri sama. 418

Lakukan fiksasi pipa endotrakeal.

Berikan nafas buatan dengan resuscitation bag atau anesthesia bag.


10. DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan memuaskan,
dan berikan tanda X bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak dilakukan pengamatan

Memuaskan Langkah / tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau penuntun

X Tidak memuaskan Tidak mampu untuk mengerjakan langkah /tugas sesuai dengan prosedur
standard atau penuntun

T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dialakukan oleh peserta Latih selama
penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal

Nama pasien No Rekam Medis

No DAFTAR TILIK Kesempatan ke


Kegiatan / langkah klinis 1 2 3 4 5

419
Peserta dinyatakan: Tanda tangan pelatih

Layak

Tidak layak

Melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

11. MATERI ACUAN: ANESTESIA PEDIATRIKII

Pasien kasus bedah pediatrik dengan penyulit yang menjalani anestesia harus dilakukan penatalaksanaan
preoperatif ; allo/autoanamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang, persetujuan setelah
mendapatkan informasi yang adekuat dan lakukan persiapan anestesia (puasa, rencana premedikasi).
Pasien elektif anak puasa 2, 4, 6, 8 jam bergantung pada intake nya. Dilakukan penetapan status fisis
ASA.

Persiapan anestesia meliputi STATICS, obat, mesin anestesia sesuai dengan tindakan anestesia yang
dipilih. Periksa kesiapan alat dan obat yang diperlukan seperti : laringoskop bayi/anak (Miller dan
Macintosh) dan lampunya berfungsi dengan baik, ETT dengan kaf atau tanpa kaf, mandren bayi, cunam
Magill, sungkup bayi, LMA. Berikan obat premedikasi untuk menenangkan pasien, bisa secara oral atau
intramuskular. Setelah semua persiapan alat dan obat lengkap, pastikan ada asisten yang membantu
tindakan anestesia. Pemasangan jalur intravena dan jalur infusi terkadang memerlukan premedikasi atau
induksi inhalasi terlebih dahulu. Posisikan pasien dalam sniffing position dengan mengganjal bagian
bawah leher, atau mengganjal bawah bahu setinggi 5-10 sm. Hindari hiperekstensi leher. Berikan oksigen
100% melalui sungkup muka. Pastikan dulu apakah ada kesulitan ventilasi. Pegang sungkup sembari
melakukan manuver angkat dagu dengan satu tangan. Jika ventilasi tidak bebas, lakukan mouth opening
dan dorong mandibula dengan dua tangan. Bila ventilasi sulit dapat dilakukan dengan berbagai sungkup
muka atau LMA atau intubasi sadar tanpa relaksan. Bila ventilasi baik dengan melihat kembang-
kempisnya balon (anesthetic bag). Berikan obat induksi. Pastikan kesadaran pasien hilang. Bila jalan
nafas aman dapat diberikan pelumpuh otot. Pastikan obat telah bekerja pada otot nafas. Berikan nafas

420
buatan dengan oksigen 100% selama 2-3 menit. Lakukan laringoskopi dengan laringoskop bilah lurus
(Miller). Pegang gagang dengan tangan kiri. Pastikan lagi cahaya lampu laringoskop cukup terang. Buka
mulut pasien. Masukkan daun melalui sudut kanan mulut. Geser lidah ke kiri sambil meneruskan daun ke
dalam, menyusuri pinggir kanan lidah menuju laring. Perhatikan epiglotis. Letakkan ujung daun pada
vallecula. Angkat epiglotis ke depan (bukan diungkit) dengan daun. Bila epiglotis terangkat dengan benar
akan tampak rima glotis dengan pita suara berwarna putih, berbentuk huruf V terbalik. Masukkan pipa
endotrakeal dengan tangan kanan hingga batas berwarna hitam melewati pita suara, atau jika pipa
mempunyai kaf dimasukkan hingga seluruh kaf melewati pita suara. Yakinkan bunyi nafas kanan dan kiri
sama. Lakukan fiksasi pipa endotrakeal. Berikan nafas buatan dengan resuscitation bag atau anesthesia
bag. Jika dilakukan intubasi sadar atau dengan nafas spontan, harus diberikan sedasi yang cukup dan
anestetik topikal. Untuk menghindari refleks vagal dapat diberikan injeksi atropin 0,1 mg intravena.
Analgesia regional dilakukan sesuai modul analgesia regional dengan memakai prinsip anatomi, fisiologi
dan farmakologi untuk pasien pediatrik. Lakukan pemantauan fungsi vital oksigenasi, saturasi Hb
(SpO2), tekanan darah, nadi, EKG, suhu, aliran cairan infusi, ventilasi dengan ETCO2 kalau ada,
produksi urin, jumlah perdarahan. Bila diperlukan pemasangan jalur vena sentral atau intra arterial. Atur
kebutuhan obat untuk pertahankan sedasi, analgesia dan relaksasi. Untuk beberapa kasus dibutuhkan
pemasangan NGT.

Akhir operasi yakinkan pasien bernafas spontan dan volume nafas adekuat (kecuali bila direncanakan
untuk melanjutkan bantuan nafas pascabedah). Bila perlu berikan antidotum obat-obat yang
menyebabkan apnea berkepanjangan atau hipoventilasi . Lakukan pengakhiran anestesia dengan mulus,
dan mengawasi masa siuman. Lakukan pengawasan terhadap komplikasi pascabedah dan
penanggulangan terhadap mual muntah, nyeri, obstruksi jalan nafas, gangguan oksigenasi, bradipnea,
apnea, gangguan tekanan darah, dan lama pulih sadar. Mortalitas dapat terjadi bergantung pada kondisi
awal, ASA, atau penyakit penyerta.

12. REFERENSI

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 3th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2002
2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006
3. Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005
4. Martini FH. Fundamental of Anatomy & Physiology. 7th ed. 2006

421
422
MODUL 22 ANESTESIA BEDAH SARAF I

Mengembangkan kompetensi Waktu (semester 4)

Sesi di dalam kelas 2 X 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasilitasi pembimbing 3 X 2 (coaching session)

Sesi praktek dan pencapaian 4 pekan (facilitation & assessment)


kompetensi

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

1. LCD proyektor dan layar


2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Pemutar video
Materi presentasi:

CD PowerPoint

Sarana:

1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang pulih
4. Bangsal rawat inap/pengamatan lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU

Alat bantu Latih : model anatomi /simulator

Penuntun belajar : lihat acuan materi

Daftar tilik kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

423
1. Cottrell JE, Smith DS. Anesthesia and Neurosurgery, 4 th ed. St Louis : Mosby;
2001.
2. Newfield P, Cottrell JE. Handbook of Neuroanesthesia, 4th ed, Philadelphia :
Lippincott Williams&Wilkins ; 2007.
3. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New
York : Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
4. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed. Philadelphia :
Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
5. ISNAML participant workbook 2007.

Selain referensi wajib di atas, peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari
referensi tambahan untuk anestesia untuk bedah saraf seperti yang diuraikan berikut
ini:

1. Matta BF, Menon DK, Turner JM (eds) Textbook of Neuroanaesthesia and


Critical care, 1st ed., Greenwich Medical Media Ltd., London.
2. Albin MS (1997). Textbook of Neuroanesthesia with Neurosurgical and
Neuroscience Perspectives. McGraw-Hill, New York.1137-1175.
3. Bisri T, Himendra A, Surahman E. Neuroanestesia. Bandung 1998.

TUJUAN UMUM

mampu melakukan penatalaksanaan perioperatif pasien bedah saraf.

TUJUAN KHUSUS

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi dalam ranah-ranah
berikut ini :

Kognitif:

1. Memahami neurofisologi, neurofarmakologi.


2. Memahami penilaian preoperatif pasien untuk operasi intrakranial
3. Memahami patofisiologi kelainan intraserebral baik trauma atau non trauma.
4. Memahami bagaimana melakukan identifikasi peningkatan tekanan intrakranial
5. Memahami pemantauan untuk prosedur intrakranial
6. Memahami persiapan penatalaksanaan jalan nafas pada operasi servikal
7. Memahami pemilihan anestesia untuk bedah saraf
8. Memahami cara pendekatan kegawatan pada kraniotomi
9. Memahami cara merencanakan anestesia yang memungkinkan dilakukan
pemantauan neurofisiologis

424
10. Memahami pilihan-pilihan untuk mengatasi peningkatan tekanan intrakranial
11. Memahami cara melakukan proteksi otak perioperatif.

Psikomotor

1. Mampu melakukan persiapan untuk operasi intrakranial


2. Mampu menilai GCS secara cepat
3. Mampu melakukan manajemen jalan nafas pada operasi spinal servikal
4. Melakukan pemasangan jalur intraarterial dan intravena dengan jarum
besar (keberhasilan 75%)
5. Mampu memasang kateter vena sentral tanpa mengganggu drainase vena
serebral (75% berhasil)
6. Mampu melakukan induksi anestesia umum untuk operasi besar (masih
di supervisi)
7. Mampu melakukan intubasi pasien dengan kelanan serebral atau cervikal
dengan benar (dengan intubasi serat optik, kalau ada).
8. Mampu memberikan anestesia pada prosedur diagnostik (MRI, CTScan)
9. Mampu menangani komplikasi pascabedah saraf diruang pulih
10. Mampu melakukan proteksi otak perioperatif.

Komunikasi

1. Berkomunikasi dengan ahli bedah tentang prosedur yang akan dilakukan,


posisi yang diperlukan, dan keadaan kekhususan lainnya.
2. Mengetahui hasil pemeriksaan diagnostik yang diperlukan untuk rencana
anestesia
3. Ikut dalam rencana pemantauan pascabedah pada pasien bedah saraf yang
kritikal.

Profesionalisme

1. Mampu mengenali dan memahami urgensi dari berbagai kasus bedah saraf
2. Memberikan pelayanan yang baik untuk penatalaksanaan perioperatif pasien
bedah saraf.

KEYNOTES:

2. Tekanan perfusi serebral adalah perbedaan tekanan arteri rata-rata dan


tekanan intrakranial (CPP=MAP-ICP).
3. Kurva autoregulasi bergeser kekanan pada pasien dengan hipertensi
kronis
4. Aliran darah otak (normalnya 50-54 ml/100 g jaringan/menit) diatur oleh
autoregulasi, PaCO2, dan PaO2.
5. Aliran darah otak berubah pada PaCO2 20-80 mmHg, setiap perubahan 1
425
mmHg aliran darah otak berubah 5% (1-2 ml/100 gr jaringan/menit).
6. Aliran darah berubah 5-7% per 10C. Hipotermia menurunkan aliran darah
otak dan metabolisme otak, sedangkan hipertermia akan meningkatkan
aliran darah otak dan metabolisme otak.
7. Proteksi otak dilakukan pada periode perioperatif dengan metode dasar
(ABC), hipotermia, dan farmakologik.
8. Pemantauan selama anestesia dan periode pascabedah dengan standard
pemantauan : tekanan darah, HR, SpO2, suhu, kalau ada train of four.
Indikasi pemantauan jalur arterial adalah . Indikasi pemantauan CVP
adalah
9. Sawar otak dapat rusak pada tumor, trauma, hipertensi, strok, hiperkapnia
berat, hipoksia, dan kejang.
10. Isi rongga kranium adalah jaringan otak (80%), darah (12%), dan cairan
serebrospinal (8%). Setiap peningkatan salah satu komponen akan
dikompensasi dengan penurunan volume yang lain untuk mencegah
kenaikan tekanan intrakranial.
11. Dengan pengecualian ketamin, semua obat anestetik intravena
menurunkan metabolisme otak dan aliran darah otak.
12. Autoregulasi antara MAP 50-150 mmHg. MAP yang < 50 mmHg akan
menimbulkan iskemia otak dan bila MAP > 150 mmHg dapat
menimbulkan edema otak atau perdarahan otak.
13. Hipotermia merupakan metode yang efektif untuk proteksi otak selama
iskemia fokal atau global.
14. Pada penelitian manusia dan binatang barbiturat efektif untuk
perlindungan otak pada keadaan fokal iskemia.
15. Semua obat anestetik inhalasi bersifat serebral vasodilator.
16. Sasaran terapi pada trauma otak adalah normotensi, normokania,
normovolemia, isoosmoler, normotermi
17. Tekanan intrakranial normal 5-15 mmHg, bila sudah > 20 mmHg harus
segera diterapi, akan tetapi herniasi otak sudah dapat terjadi pada tekanan
intrakranial 18 mmHg

GAMBARAN UMUM

Untuk dapat mengelola pasien pembedahan bedah saraf maka para peserta didik harus
mengerti dan memahami neuroanatomi, neurofisiologi, neurofarmakologi, pemantauan,
penatalaksanaan kenaikan tekanan intrakranial, anestesia untuk pasien dengan trauma
otak, proteksi otak perioperatif.

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik diharapkan mampu:

Memberikan anestesia pada operasi intrakranial, operasi di luar otak akan tetapi

426
pasiennya mempunyai kelainan otak, bedah spinal dan kolumna verebralis.

METODE PEMBELAJARAN

Peserta didik sudah harus mempelajari:

1. Bahan acuan
2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran
3. Ilmu klinis dasar

Tujuan 1: Mampu memberikan anestesia pada operasi intrakranial, Metode


pembelajaran

1. Diskusi kelompok kecil


2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education

Tujuan 2: Mampu memberikan anestesia untuk operasi di luar otak akan tetapi
pasiennya mempunyai kelainan otak.

1. Diskusi kelompok kecil


2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education

Tujuan 3: Mampu memberikan anestesia untuk bedah spinal dan columna verebralis,

1. Diskusi kelompok kecil


2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education

MEDIA

1. Papan tulis
2. Komputer
3. LCD dan slide projector
4. Pasien di kamar bedah dan PACU

427
ALAT BANTU PEMBELAJARAN

1. Virtual patients
2. Reading assigment
3. Audiovisual
4. Perpustakaan, internet, skill lab

EVALUASI

1. Kognitif :
EMQ

Multiple observations and assessments

Multiple observers/raters

OSCE

Minicheck

2. Skill / psikomotor:
Multiple observations and assessments

Multiple observers

OSCE

Minicheck

3. Afektif : Profesionalisme, Communication and Interpersonal Skills


Multiple Observations and assessments

Multiple observers/rater

Multiple Observations and assessments

Multiple observers/rater

Pre-tes

1. Jelaskan anatomi SSP : supratentorian dan inflratentorial.


2. Jelaskan fisiologi SSP: CBF, SMRO2, ICP.
3. Jelaskan tentang efek obat anestetik intravena, anestetik inhalasi, narkotik
analgetik, pelumpuh otot, manitol, lasik terhadap aliran darah otak, produksi

428
likuor serebrospinalis, metabolisme otak, dan tekanan intrakranial.
4. Terangkan tentang penatalaksaaan jalan nafas pada pasien dengan cedera trauma
otak.
5. Jelaskan tentang patofisiologi peningkatan tekanan intrakranial (hal-hal apa saja
yang dapat menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial).
6. Terangkan tentang cara penilaian GCS.
7. Bagaimana tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial pada pasien yang masih
sadar dan tidak sadar.
8. Bagaimana penatalaksanaan pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial.
9. Jelaskan tentang ABCDE neuroanestesia.
10. Jelaskan tentang cara melakukan proteksi otak pada periode perioperatif.

Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan
(semester).

Bentuk ujian :

- Ujian akhir rotasi


- Ujian akhir profesi (lisan/ujian nasional)

Bisa dalam bentuk :

1. Kognitif
EMQ

Multiple observation and assessments

Multiple observers

OSCE

Minicheck

2. Skill/psikomotor
Multiple observation and assessments

Multiple observers

OSCE

Minicheck

429
3. Afektif: Profesionalisme Communication and Interpersonal Skills
Multiple observation and assessments

Multiple observers

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia Sudah Belum


dilakukan dilakukan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1 Anamnesis, periksaan fisis, pemeriksaan penunjang

2 Penentuan ASA

3 Persiapan alat, mesin pembiusan, STATIK, obat

4 Pemasangan monitor

ANESTESIA

1 Induksi, rumatan dan pengakhiran anestesia umum

2 Pemantauan

3 Pemberian cairan dan transfusi

4 Komplikasi dan penanganannya

5 Ekstubasi

PENATALAKSANAAN PASCABEDAH

1 Pengawasan ABC dan tanda vital

2 Penanganan komplikasi dan nyeri pascabedah

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda ( )

430
DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standard atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

431
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

432
MATERI ACUAN

Dokter anestesia akan terlibat secara menyeluruh dalam penanganan pasien cedera
kepala, mulai di Unit Gawat Darurat (UGD), kamar bedah, dan perawatan di Unit
Perawatan Intensif (UPI). Penatalaksanaan perioperatif ini memerlukan pengetahuan
yang mendalam mengenai fisiologi otak yang normal dan patofisiologi cedera kepala
akut sehingga harus mengerti tentang fisiologi dan farmakologi dari aliran darah otak,
metabolisme serebral, dan tekanan intrakranial.

Aliran darah otak

Aliran darah otak bergantung pada tekanan arteri serebral dan resistensi
pembuluh-pembuluh serebral. Aliran darah otak rata-rata sekitar 50-
54_ml/100_gr/menit. Bila aliran darah otak 20 ml/100 gr/menit, elektroensefalografi
(EEG) menunjukkan tanda iskemik. Bila aliran darah otak 6-9 ml/100 gr/menit, Ca 2+
masuk ke dalam sel. Aliran darah otak proporsional terhadap tekanan perfusi otak.

Tekanan perfusi otak adalah perbedaan tekanan arteri rata-rata (pada saat masuk)
dengan tekanan vena rata-rata (saat keluar) pada sinus sagitalis lymph / serebral venous
junction. Nilai normalnya 80-90_mmHg. Akan tetapi, secara praktis, adalah perbedaan
tekanan arteri rata-rata (MAP= mean arterial pressure) dan tekanan intrakranial rata-rata
yang diukur setinggi foramen Monroe. Tekanan perfusi otak _=_MAP_ tekanan
intrakranial, akan menurun bila ada penurunan tekanan arteri atau kenaikkan tekanan
intrakranial. Bila tekanan perfusi otak turun sampai 50 mmHg, EEG akan terlihat
melambat dan ada perubahan-perubahan ke arah serebral iskemia. Tekanan perfusi otak
kurang dari_40_mmHg, EEG menjadi datar, menunjukkan adanya proses iskemik yang
berat yang bisa reversibel atau ireversibel. Bila tekanan perfusi otak kurang
dari_20_mmHg untuk jangka waktu lama, terjadi iskemik neuron yang ireversibel .

Pasien cedera kepala dengan tekanan perfusi otak kurang dari 70 mmHg akan
mempunyai prognosa yang buruk. Pada tekanan intrakranial yang tinggi, supaya tekanan
perfusi otak adekuat, maka perlu tetap mempertahankan tekanan darah yang normal atau
sedikit lebih tinggi. Usaha kita adalah untuk mempertahankan tekanan perfusi otak
normal, oleh karena itu, hipertensi yang memerlukan terapi adalah bila tekanan arteri
rata-rata lebih besar dari_130-140_mmHg.

Gambar 2.2 : Interaksi antara Tingkatan dan Lamanya


Penurunan Aliran Darah Otak

pada Fungsi Otak

433
Gambar 2.4 : Luxury Perfusion
Gambar
Gambar 2.1 : 2.5 : Hubungan
Fungsi Volume dandengan
Otak Dihubungkan TekananPaO 2, DO2,
Aliran Darah Otak danIntrakranial
Tekanan Perfusi Otak.
Gambar 2.3 : Pengaturan aliran darah otak.
434
435
MODUL 23 ANESTESIA BEDAH SARAF II

Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 6)

Sesi di dalam kelas 1 bulan

Sesi dengan fasilitasi Pembimbing

Sesi praktek dan pencapaian


kompetensi

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

1. LCD Proyektor dan layar


2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Pemutar video
Materi presentasi:

CD PowerPoint

Sarana:

1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU

Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

1. Cottrell JE, Smith DS. Anesthesia and Neurosurgery, 4th ed. St Louis : Mosby; 2001.

436
2. Newfield P, Cottrell JE. Handbook of Neuroanesthesia, 4th ed, Philadelphia : Lippincott
Williams&Wilkins ; 2007.
3. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New York :
Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
4. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed. Philadelphia :
Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
5. ISNAML participant workbook 2007.

TUJUAN UMUM

Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik diharapkan mampu:

Memberikan anestesia pada operasi intrakranial, operasi di luar otak akan tetapi pasiennya
mempunyai kelainan otak, bedah spinal dan columna verebralis, anestesia pada prosedur
intervensional neuroradiologi di dalam maupun di luar kamar operasi. Mampu melakukan
proteksi otak selama periode perioperatif

TUJUAN KHUSUS

Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan:

Kognitif:

1. Memahami neurofisiologi, neurofarmakologi.


2. Memahami penilaian preoperatif pasien untuk operasi intrakranial
3. Memahami patofisiologi kelainan intraserebral baik trauma atau non trauma.
4. Memahami bagaimana melakukan identifikasi peningkatan tekanan intrakranial
5. Memahami pemantauan untuk prosedur intrakranial
6. Memahami persiapan penatalaksanaan jalan nafas pada operasi servikal
7. Memahami pemilihan anestesia untuk bedah saraf
8. Memahami cara pendekatan kegawatan pada kraniotomi
9. Memahami cara merencanakan anestesia yang memungkinkan dilakukan
pemantauan neurofisiologi
10. Memahami cara-cara untuk mengatasi peningkatan tekanan intrakranial
11. Memahami proteksi otak selama periode perioperatif

Psikomotor

1. Mampu melakukan persiapan untuk operasi intrakranial


2. Mampu menilai GCS secara cepat
3. Mampu menilai adanya herniasi otak.
4. Mampu melakukan manajemen jalan nafas pada operasi spinal servikal
5. Melakukan pemasangan jalur intraarterial dan intravena dengan jarum besar

437
(keberhasilan 75%)
6. Mampu memasang kateter vena sentral tanpa mengganggu drainase vena serebral
(75% berhasil).
7. Mampu melakukan induksi anestesia umum untuk operasi besar, rumatan, ekstubasi
tanpa gejolak hemodinamik.
8. Mampu melakukan intubasi pasien dengan kelanan serebral atau cervikal dengan
benar (dengan fibreoptic intubation, kalau ada).
9. Mampu melakukan teknik anestesia hipotensif.
10. Mampu menilai adanya embolusudara dan menanganinya.
11. Mampu memberikan anestesia pada prosedur diagnostik (MRI, CTScan)
12. Mampu menangani komplikasi pascabedah saraf diruang pulih
13. Mampu melakukan tindakan proteksi otak selama periode perioperatif.

Komunikasi

1. Berkomunikasi dengan ahli bedah tentang prosedur yang akan dilakukan, posisi
yang diperlukan, dan keadaan kekhususan lainnya.
2. Mengetahui hasil pemeriksaan diagnostik yang diperlukan untuk rencana anestesia
3. Ikut dalam rencana pemantauan pascabedah pada pasien bedah saraf yang kritikal.
Profesionalismee

1. Mampu mengenali dan memahami urgensi dari berbagai kasus bedah saraf
2. Memberikan pelayanan yang baik untuk penatalaksanaan perioperatif pasien bedah
saraf.

KEYNOTES:

1. Tekanan perfusi serebral adalah perbedaan tekanan arteri rata-rata dan


tekanan intrakranial (CPP=MAP-ICP).
2. Kurva autoregulasi bergeser kekanan pada pasien dengan hipertensi kronis
3. Aliran darah otak (normalnya 50-54 ml/100 g jaringan/menit) diatur oleh
autoregulasi, PaCO2, dan PaO2.
4. Aliran darah otak berubah pada PaCO2 20-80 mmHg, setiap perubahan 1
mmHg aliran darah otak berubah 5% (1-2 ml/100 gr jaringan/menit).
5. Aliran darah berubah 5-7% per 10C. Hipotermia menurunkan aliran darah
otak dan metabolisme otak, sedangkan hipertermia akan meningkatkan aliran
darah otak dan metabolisme otak.
6. Proteksi otak dilakukan pada periode perioperatif dengan metoda dasar (ABC
: Clear airway, breathing, circulation), hipotermia, dan cara farmakologis.
7. Pemantauan selama anestesia dan periode pascabedah dengan pemantauan
standard: tekanan darah, denyut jantung, SpO2, suhu, kalau ada train of four.
Indikasi pemantauan jalur arterial dan pemantauan CVP.
8. Sawar otak dapat rusak pada tumor, trauma, hipertensi, strok, hiperkapnia

438
berat, hipoksia, dan kejang.
9. Isi rongga kranium adalah jaringan otak (80%), darah (12%), dan cairan
serebrospinal (8%). Setiap peningkatan salah satu komponen akan
dikompensasi dengan penurunan volume yang lain untuk mencegah kenaikan
tekanan intrakranial.
10. Dengan pengecualian ketamin, semua obat anestetik intravena menurunkan
metabolisme otak dan aliran darah otak.
11. Autoregulasi antara MAP 50-150 mmHg. MAP yang < 50 mmHg akan
menimbulkan iskemia otak dan bila MAP > 150 mmHg dapat menimbulkan
edema otak atau perdarahan otak.
12. Hipotermia merupakan metode yang efektif untuk proteksi otak selama
iskemia fokal atau global.
13. Pada penelitian manusia dan binatang barbiturat efektif untuk perlindungan
otak pada keadaan fokal iskemia.
14. Semua obat anestetik inhalasi bersifat serebral vasodilator.
15. Sasaran terapi pada trauma otak adalah normotensi, normokania,
normovolemia, isoosmoler, normotermi
16. Tekanan intrakranial normal 5-15 mmHg, bila sudah > 20 mmHg harus
segera diterapi, akan tetapi herniasi otak sudah dapat terjadi pada tekanan
intrakranial 18 mmHg.
17. Problema utama pada operasi tumor supratentorial/meningioma besar adalah
perdarahan.
18. Problema utama pada operasi fosa posterior/infratentorial adalah embolus
udara.

GAMBARAN UMUM

Untuk dapat mengelola pasien pembedahan bedah saraf maka para peserta didik harus mengerti
dan memahami neuroanatomi, neurofisiologi, neurofarmakologi, pemantauan, penatalaksanaan
kenaikan tekanan intrakranial, anestesia untuk pasien dengan trauma otak, proteksi otak
perioperatif, anestesia untuk pasien dengan tumor otak, embolusudara pada anestesia pasien
dengan posisi kepala lebih tinggi/posisi duduk, penatalaksanaan cedera medula spinalis,
anestesia untuk pasien dengan prosedur neuroradiologis intervensional

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik diharapkan mampu:

Memberikan anestesia pada operasi tumor intrakranial, operasi di luar otak akan tetapi
pasiennya mempunyai kelainan otak, bedah spinal dan kolumna verebralis.

439
METODE PEMBELAJARAN

Peserta didik sudah harus mempelajari:

1. Bahan acuan
2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran
3. Ilmu klinis dasar

Tujuan 1: Mampu memberikan anestesia pada operasi intrakranial.

1. Diskusi kelompok kecil


2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education

Tujuan 2: Mampu memberikan anestesia untuk operasi di luar otak akan tetapi pasiennya
mempunyai kelainan otak.

1. Diskusi kelompok kecil


2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education

Tujuan 3: Mampu memberikan anestesia untuk bedah spinal dan columna verebralis,

1. Diskusi kelompok kecil


2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education

MEDIA

1. Papan tulis
2. Komputer
3. LCD dan slide projector
4. Pasien di kamar bedah dan PACU

ALAT BANTU PEMBELAJARAN

440
1. Virtual patients
2. Reading assigment
3. Audiovisual
4. Perpustakaan, internet, skill lab

EVALUASI

1. Kognitif :
EMQ

Multiple observations and assessments

Multiple observers/raters

OSCE

Minicheck

2. Skill :
Multiple observations and assessments

Multiple observers

OSCE

Minicheck

3. Communication and Interpersonal Skills


Multiple Observations and assessments

Multiple observers/rater

4. Professionalisme
Multiple Observations and assessments

Multiple observers/rater

5. Pengetahuan
MCQ (pre-tes)

EMQ

Pre-tes

1. Terangkan tentang pengaturan aliran darah otak.


2. Terangkan tentang penatalaksanaan jalan nafas pada pasien dengan cedera trauma
otak
3. Jelaskan tentang patofisiologi peningkatan tekanan intrakranial (hal-hal apa saja

441
yang dapat menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial).
4. Terangkan tentang cara penilaian GCS.
5. Bagaimana tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial pada pasien yang masih
sadar dan tidak sadar.
6. Bagaimana penatalaksanaan pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial.
7. Jelaskan tentang ABCDE neuroanestesia.
8. Bagaimana melakukan proteksi otak perioperatif.

Strategi Pembelajaran : Pembelajaran terpadu

Pembelajaran independen

Pembelajaran berdasarkan problema

Practice base learning

Proses Pembelajaran

Kuliah introduksi

Diskusi kelompok kecil dan umpan balik

Problema penatalaksanaan pasien

Simulasi pasien, skenario, pajangan

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia Sudah Belum


dilakukan dilakukan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1 Anamnesis, periksaan fisis, pemeriksaan penunjang

2 Penentuan ASA :

3 Persiapan alat, mesin pembiusan, STATIK, obat

4 Pemasangan monitor

ANESTESIA

442
1 Induksi dan pemeliharaan anestesia umum

2 Pemantauan

3 Pemberian cairan dan transfusi

4 Komplikasi dan penanganannya

5 Ekstubasi yang mulus

PENATALAKSANAAN PASCABEDAH

1 Pengawasan ABC dan tanda vital

2 Penanganan mual muntah dan nyeri pascabedah

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda ( )

DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standard atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

443
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak

444
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

MATERI ACUAN

Pendahuluan
Anestesia untuk bedah saraf memerlukan pengetahuan mengenai prinsip dasar dari
neurofisiologi dan pengaruh obat anestetik pada dinamika intrakranial (neurofarmakologi).
Kebanyakan prosedur bedah saraf intrakranial adalah karena adanya lesi massa. Prosedur
supratentorial termasuk operasi untuk tumor, hematom, trauma, dan vaskular. Walaupun
gambaran patofisiologis berbeda untuk setiap lesi yang berbeda, tetapi pertimbangan
anestesianya sama.
Pada tahun 2001 di USA > 180.000 pasien ditegakkan diagnosis tumor serebri. Kira-kira
36.000 pasien ditegakkan diagnosis sebagai tumor otak primer dan lebih dari 150.000 pasien
merupakan metastase dari tumor buah dada, paru, melanoma atau kanker di tempat lain.
Tumor otak primer yang dilaporkan adalah meningioma (26%), glioblastoma (23%), dan
astrositoma (13%). Kira-kira 10% tumor otak primer terjadi pada anak dan mempunyai
predominan yang berbeda dengan dewasa, misalnya astrositoma 37,5%, meduloblastoma
16%. Umumnya tumor otak lebih banyak mengenai laki-laki daripada wanita. Distribusi dari
keseluruhan tumor otak dan tumor SSP menunjukkan bahwa kebanyakan merupakan tumor
supratentorial (36%) dan hanya 6,5% merupakan tumor infratentorial.
Astrosit anaplastik dan glioblastoma merusak BBB. Aliran darah ke tumor bervariasi, akan
tetapi, autoregulasi umumnya hilang dan adanya hipertensi menyebabkan meningkatnya
aliran darah ke tumor. Adanya edema yang luas di sekeliling tumor akan menambah efek
massa. Daerah ini juga mungkin menderita iskemia akibat kompresi, aliran darah peritumor
28 % lebih rendah dari jaringan hemisfer yang kontralateral. Reseksi meningioma total akan
menyebabkan rendahnya rekurent daripada reseksi parsial, maka prosedur bedah untuk
meningioma lebih rumit dan lebih lama daripada debulking untuk tumor glia. Prosedur bedah
untuk supratentorial sering melalui frontal atau pterional. Pendekatan pterional dilakukan
melalui lobus temporal dan memerlukan pemutaran kepala pasien ke posisi yang berlawanan.
Pada pendekatan frontal, termasuk bi-frontal kraniotomi untuk lesi bi-lateral atau lesi di garis
tengah. Karena sinus sagitalis berjalan transversal, maka ada risiko perdarahan dan embolus
udara pada pendekatan bi-frontal.
Tumor dalam SSP menimbulkan gejala karena efek penekanan pada struktur saraf
sehingga terjadi gejala neurologis spesifik atau kenaikan ICP yang tidak spesifik, atau adanya

445
kejang-kejang. Kejang dan defisit neurologis fokal bisa disebabkan karena efek penekanan oleh
tumor. Tumor pada kelenjar hipofise menimbulkan efek hormonal. Beberapa tumor harus
dieksisi, lainnya hanya paliatif dengan dekompresi, pemasangan VP-pintasan, atau radioterapi.
Edema hebat di sekeliling tumor sering terjadi pada tumor malignan. Meningioma yang besar
tetapi jinak sering khas dengan tingginya pintasan aliran darah dalam tumor. Dalam jaringan
tumor autoregulasi hilang, juga hal ini terjadi di jaringan sekeliling tumor. Bila ada penekanan
dan efek tekanan yang nyata oleh tumor, dan selanjutnya terjadi kenaikan ICP bisa terjadi
herniasi tentorial. Karena itu pertimbangan prinsip untuk anestesia tumor serebri adalah
pengendalian ICP.

Kebanyakan tumor supratentorial bersifat jinak, dan astrositoma yang kurang agresif
dapat diangkat secara lengkap. Kesulitan bisa terjadi dengan beberapa tumor, misalnya
meningioma yang berdekatan dengan struktur penting atau tumor basis. Kebanyakan malignan
glioma berhubungan rapat dengan jaringan otak normal dan hanya parsial debulking yang
mungkin dilakukan tanpa menyebabkan kerusakan neurologis. Jika lesi terdapat pada lobus
temporal atau frontal, pengangkatan tumor yang lengkap dapat dilakukan dengan lobektomi.

Meningioma merupakan suatu tantangan bagi anestetis dan dokter bedah saraf, karena
jinak dan bisa sembuh, tetapi komplikasi operasi dapat mengerikan. Meningioma bisa mencapai
ukuran besar sebelum menimbulkan gejala klinis serta sangat vaskular yang bisa menyebabkan
kehilangan darah yang banyak saat dilakukan pembedahan. Beberapa konveksitas meningioma
menekan ke dalam vauet tulang tengkorak, Anestetis harus mempersiapkan terhadap adanya
kemungkinan perdarahan yang banyak ketika tulang diangkat. Bahaya ini juga terdapat pada
operasi ulangan (redo craniotomi) untuk meningioma reccurent. Dalam keadaankeadaan ini,
juga pada tumor yang berasal dari pembuluh darah harus dipasang monitor CVP. Tumor yang
lebih besar dan vaskular, teknik hipotensi akan mengurangi jumlah perdarahan. Kadangkadang
pasien menunjukkan adanya edema otak setelah tumor direseksi semuanya. Dalam keadaan ini
monitor ICP harus dipasang dan pasien harus diventilasi pascabedah untuk menjamin bahwa
edema otak yang telah ada tidak diperburuk oleh hipoksia atau hiperkapnia, serta adanya risiko
episode apnea yang tibatiba. Adanya ICP monitor akan menyebabkan kita waspada terhadap
adanya hematoma pascabedah. Pada keadaan ada kenaikan ICP, tujuan prinsip adalah
menghindari hiperkarbia dan hipotensi atau hipertensi. Bila pembengkakan otak terjadi setelah
operasi tumor, steroid harus diteruskan pascabedah. Di beberapa senter memberikan tambahan
bolus deksametason 12 16 mg perioperatif, diikuti dengan penambahan dosis untuk beberapa
hari pertama pascabedah. Daerah yang iskemik atau trauma pada tempat operasi seperti halnya
darah dalam ventrikel akan merupakan predisposisi terjadinya konvulsi, karena itu berikan
antikonvulsi.

Jadi sasaran anestetis adalah :

- Memahami tipe, berat penyakitnya dan lokasi tumor.


- Pasien tidak bergerak, relaksasi otak, pengendalian tanda vital.

446
- Menjamin CPP yang adekuat.
- Cepat bangun sehingga bisa memberikan keadaan untuk pemeriksaan neurologis.
Terapi dan cegah hipertensi, batuk dan gangguan nafas yang membahayakan pada periode
pascabedah.

Patofisiologi dan Gambaran Klinis


Pasien dengan tumor otak menunjukan variasi gejala klinis bergantung pada tipe tumor dan
lokasinya, misalnya adanya kejang, hilangnya pendengaran dan penglihatan, hemiparesis,
numbness atau ataksia, pandangan ganda atau sakit kepala. Penyakit supratentorial pada
umumnya dihubungkan dengan problema penatalaksanaan peningkatan tekanan intrakranial,
sedangkan tumor infratentorial dihubungkan dengan adanya efek massa pada struktur vital pada
medula oblongata dan peningkatan tekanan intrakranial akibat obstruksi hidrosefalus.
Tumor supratentorial (meningioma, glioma, dan lesi metastase) mengubah intrakranial
dinamik predictably. Permulaannya, bila lesinya kecil serta pertumbuhannya lambat,
kompensasi terjadi dengan penekanan kompartemen cairan serebrospinal dan nearly vena
serebral yang mencegah kenaikkan tekanan intrakranial. Dengan bertumbuhnya lesi, mekanisme
kompensasi habis dan pertumbuhan tumor lebih jauh akan meningkatkan tekanan intrakranial
secara progresif. Kompartemen intrakranial dapat berkompensasi sampai suatu titik tertentu.
Peningkatan tekanan intrakranial yang nyata mempunyai efek yang berbahaya yaitu
terjadinya iskemia dan herniasi otak. CPP adalah MAP ICP, maka apabila terjadi kenaikan
ICP lebih besar dari MAP, akibatnya terjadi penurunan CPP. Bila ICP meningkat sufficiently,
otak menjadi iskemi. Efek penting kedua dari peningkatan ICP adalah terjadinya herniasi otak.
Herniasi dapat melintasi meningen, turun ke kanalis spinalis, atau melalui kraniotomi. Herniasi
dapat dengan cepat menimbulkan neurologic deteriorasion dan kematian. Beberapa faktor yang
berkontribusi pada herniasi otak terlihat pada tabel di bawah ini. Elemen-elemen yang dapat
meningkatkan volume darah otak, seperti hipertensi, hiperkarbia dan hipoksia adalah
merupakan faktor yang dapat diterapi dan harus dihindari perioperatif.

Tabel 1 : Faktor yang berkontribusi pada Herniasi Otak

Lesi Massa Intrakranial

Koagulopati

Terapi hematom yang tidak adekuat

Peningkatan Volume Jaringan Otak

Edema serebral sitotoksik

Edema serebral vasogenik

447
Peningkatan Volume Darah Otak

Hipertensi disertai gangguan autoregulasi

Hiperkarbia

Hipoksia

Obat anestetik yang bersifat vasodilator

Obstruksi jugularis

Penatalaksanaan Anestesia
Evaluasi preoperatif:

Suatu pemeriksaan neurologis lengkap dilakukan dengan perhatian khusus pada level
kesadaran, ada atau tidak adanya kenaikan tekanann intrakranial, extent of defisit neurologis
dan riwayat kejang.
Evaluasi prabedah untuk operasi supratentorial sama seperti tindakan anestesia lainnya
dengan riwayat medis lengkap yang menekankan terhadap fungsi jantung dan paru. Pada
prosedur bedah saraf, seperti halnya prosedur bedah lain, kebanyakan morbiditas dan mortalitas
anestesia perioperatif adalah akibat disfungsi paru atau jantung.

a. Anamnesa :
Pasien bedah saraf membutuhkan pertanyaan khusus tentang penyakit SSP. Gejala kenaikan
ICP harus ditanyakan (sakit kepala, mual, muntah, penurunan kesadaran, gangguan
penglihatan). Adanya kejang dan defisit neurologis fokal akibat efek penekanan lokal dari
tumor. Perdarahan otak atau cerebrovascular accident sebelumnya dicatat sebagai residu
defisit neurologis. Telaahlah dengan hatihati hasil operasi intrakranial atau prosedur
diagnostik sebelumnya, dan pertimbangkan kemungkinan pneumosefalus residu atau
interaksi anestetik lain.
Telaahlah kembali obatobatan yang lalu dengan lebih menekankan perhatian kita pada
obatobatan yang mempunyai efek pada periode preoperatif. Terapi obatobatan pada pasien
bedah saraf dapat menyebabkan penurunan volume intravaskular. Manitol dan diuretik lain
yang digunakan prabedah untuk mengurangi edema serebral, dapat menimbulkan hipovolemia
dan gangguan keseimbangan elektrolit yang bisa menyebabkan terjadinya hipotensi berat dan
aritmia pada saat induksi anestesia. Kortikosteroid, yang juga digunakan untuk menurunkan
edema serebral, akan meningkatkan kadar glukosa darah dengan rangsangan glukoneogenesis
dan menyebabkan penekanan adrenal secara langsung yang dapat menyebabkan terjadinya
hipotensi dan insufisiensi kardiovaskular dengan adanya stres bedah. Obat anti hipertensi dapat
mengubah volume intravaskular. Trisiklik antidepresan dan levodopa telah nyata dapat memicu
terjadinya hipertensi intraoperatif dan disritmia jantung. Benzodiazepin, fenotiazin dan
butirofenon dapat berperan terjadinya hipertensi perioperatif.

448
b. Pemeriksaan fisis :
Pemeriksaan fisis prabedah ditujukan pada jalan nafas, paru, sistem kardiovaskular dan SSP.
Pada pasienpasien dengan penyakit sertaan, pemeriksaan ditujukan terhadap kemungkinan
adanya hipovolemia. Pasienpasien bedah saraf sering somnolen dan intake oral yang tidak
adekuat yang dapat menyebabkan keadaan hipovolemi. Juga bisa terjadi peningkatan diuresis
akibat diabetes insipidus, atau pemberian diuretik. Hipovolemi ringan atau sedang umumnya
dapat ditolerir dengan baik, tetapi hipovolemi yang nyata harus dikoreksi sebelum induksi
anestesia.
Pemeriksaan neurologis harus dilakukan, tingkat kesadaran dan setiap defisit sensori /
motorik harus dicatat. Pemeriksaan neurologis harus diulang di kamar operasi sesaat sebelum
dilakukan induksi. Pemeriksaan tandatanda kenaikan ICP, seperti adanya sakit kepala, mual,
muntah, midriasis unilateral, pupil edema, okulomotor palsi atau abdusen. Bila ICP
meningkat lebih jauh, kesadaran pasien memburuk dan diikuti dengan disfungsi respirasi dan
jantung. Adanya pernafasan CheyneStokes atau bradikardia disertai hipertensi merupakan
tanda penekanan batang otak.
Tujuan dari penilaian neurologis adalah untuk mengerti tentang tipe dan beratnya proses
intrakranial. Hal ini penting sebab penatalaksanaan anestesia akan bergantung pada pada
volume intrakranial. Untuk mendapatkan penilaian yang tepat pertanyaan pertanyaan di
bawah ini harus ditanyakan.
1. Bagaimana keadaan pasien ? Gejala kenaikan tekanan intrakranial termasuk sakit
kepala, mual, muntah, penglihatan blurred, dan somnolen. Gejala penekanan lokal dari
tumor misalnya adanya kejang, dan defisit neurologis fokal.
2. Di mana lokasi tumor ?
3. Apa diagnosis tumornya ?
4. Bagaimana bukti adanya kenaikan ICP ?
5. Apa terapi yang telah diberikan ?
6. Apakah pasien pernah dilakukan kraniotomi ?

c. Pemeriksaan Laboratori :
Pemeriksaan laboratori rutin, termasuk jumlah sel darah, kimia serum dan koagulasi harus
dilakukan. Hiperventilasi dan diuresis akan menurunkan kadar K serum, jadi pemberian K
harus dipertimbangkan. Bila kadar glukosa serum > 200 mg % diperlukan terapi insulin
untuk menurunkan kadar glukosa ke nilai normal yang berguna untuk proteksi otak dan
tekanan osmotik. Osmolaritas serum harus diukur pada pasien dalam terapi ICP. Pasien
dengan cedera kepala sering EKGnya abnormal, maka pemantauan EKG prabedah harus
dilakukan, untuk melihat perubahan selama operasi dan anestesia. Pemeriksaan radiologis
prabedah untuk informasi tentang ukuran tumor atau perdarahan serta lokasinya, edema
serebral, dan mid-line shift. Mid-line shift 0,5 sm pada MRI atau CT-scan atau gangguan dari
jaringan otak pada sisterna basalis menunjukkan adanya kenaikan ICP.

d. Penatalaksanaan Obat :

449
Sekali diagnosis ditegakkan dan direncanakan untuk tindakan pembedahan, tujuan prinsip
pemberian obat adalah untuk mengendalikan ICP dan terapi epilepsi. Steroid efektif untuk
mengurangi edema peritumor dan meningkatkan kekembangan otak pada pasien tumor ganas
dan meningioma. Dosis umum deksametason adalah 4 mg 3x sehari bersamasama dengan
hidrogen reseptor antagonis. Epilepsi diterapi dengan fenitoin 100 mg 3x sehari. Rentang
normal terapeutik adalah 40 100 umol/l.

e. Premedikasi
Sedasi prabedah merupakan indikasi-kontra pada pasien dengan penurunan kesadaran, jadi
pasien letargi tidak memerlukan premedikasi. Bila premedikasi diperlukan, misalnya pasien
yang sadar dan cemas dapat diberikan ansiolitik seperti benzodiazepin ( diazepam,
lorazepam atau midazolam ). Diazepam 510 mg atau lorazepam 12 mg atau midazolam 5
mg dapat diberikan 12 jam prabedah peroral. Diazepam dan lorazepam mempunyai paruh
waktu yang cukup panjang dan bisa memperlambat bangun pascabedah, karena itu mungkin
lebih baik dengan midazolam jang diberikan intravena, intramuskular atau oral.
Bila ada keraguan tentang level kesadaran pasien, pasien dapat diberikan sedasi atau
analgesia di kamar bedah di bawah pengawasan anestetis dan diberikan setelah terpasang
jalur vena. Narkotik harus dihindari karena meningkatkan risiko muntah dan hipoventilasi,
yang keduanya dapat meningkatkan ICP. Akan tetapi, bila akan memasang alat pantau invasif
pada saat prainduksi (CVP, jalur arteri) dosis kecil narkotik dapat dipertimbangkan untuk
menghindari rasa tidak nyaman ketika menusukkan jarum untuk memasang alat pantau
invasif tersebut.

Pertimbangan obat anestetik

Sasaran pemberian anestesia pada pasien ini adalah untuk memaksimalkan cara terapi untuk
mengurangi volume intrakranial. ICP harus dapat dikendalikan sebelum kranium dibuka dan
optimal kondisi operasi dengan cara menghasilkan otak yang slack brain. Berbagai manuver
dan obat dapat digunakan untuk mengurangi brain bulk (tabel 2)

Tabel 2 : Metoda untuk mengendalikan Hipertensi Intrakranial

Diuretik Osmotik diuretik (manitol, NaCl hipertonik), tubular


(furosemid)

Kortikosteroid Deksametason (efektif untuk edema serebral yang


terlokalisir di sekeliling tumor, memerlukan waktu 12-36
jam)

Ventilasi adekuat PaO2 > 100 mmHg, PaCO2 35 mmHg, hiperventilasi


bergantung pada kebutuhan

Hemodinamik Optimal hemodinamik (MAP, CVP, HR, PCWP),

450
mempertahankan CPP

Cairan Hindari overhidrasi, sasarannya normovolemi

Posisi Posisi untuk memperbaiki drainase vena serebral (posisi


netral, head-up)

Obat Obat yang menyebabkab vasokonstriksi serebral (tiopental,


propofol)

Pengendalian Suhu Hindari hipertermia, moderat intraoperatif hipotermia

Cairan serebrospinal Drainase cairan serebrospinal

Diuretik
Dehidrasi otak dan penurunan ICP yang cepat dapat diperoleh dengan pemberian
osmotik diuretik manitol (0,25 1 gr/kg intravena yang mulai berefek dalam waktu 10-15 menit
dan berakhir kira-kira 2 jam) atau loop diuretik furosemid (0,5 1 mg/kg atau 0,15 0,3 mg/kg
intravena bila dikombinasikan dengan manitol). Disebabkan karena manitol pertama-tama
menimbulkan efek peningkatan ICP (efek dari vasodilatasi akibat manitol), maka manitol harus
diberikan perlahan-lahan (10 menit atau lebih) disertai manuver lain untuk menurunkan ICP
(misalnya hiperventilasi atau pemberian steroid). Manitol harus diberikan secara hati-hati pada
pasien dengan penyakit kardiovaskular. Pada pasien ini, peningkatan selitas volume
intravaskular dapat mempresipitasi gagal jantung kiri. Furosemid merupakan obat yang lebih
disukai dalam mengurangi ICP pada pasien dengan penyakit kardiovaskular. Kombinasi manitol
dengan furosemid lebih efektif dalam menurunkan ICP dan brain bulk daripada manitol sebagai
obat tunggal, akan tertapi lebih besar menimbulkan dehidrasi dan gangguan keseimbangana
elektrolit sehingga diperlukan pemantauan elektrolt intraoperatif dan penggantian kalium bila
memang diperlukan.

NaCl Hipertonik
NaCl hipertonik merupakan osmotik diuretik lain yang baru-baru ini sedang diteliti lagi.
Terapi NaCl hipertonik mungkin lebih efektif daripada diuretik lain pada kondisi klinis tertentu,
misalnya pasien dengan hipertensi intrakranial yang refrakter atau yang memerlukan debulking
otak atau untuk mempertahankan volume intravaskular. NaCl hipertonik juga dapat digunakan
sebagai suatu alternatif atau tambahan pada pemakaian manitol intraoperatif. Data yang telah
dipublikasikan encouraging, akan tetapi, ada beberapa akibat yang merugikan akibat pemberian
NaCl hipertonik.

451
Kortikosteroid
Kortikosteroid mengurangi edema sekeliling tumor otak tetapi memerlukan beberapa
jam atau hari sebelum penurunan ICP terlihat. Pemberian steroid prabedah sering menimbulkan
perbaikan neurologis sebelum terjadi penurunan ICP, hal ini mungkin karena perbaikan dari
BBB yang sebelumnya abnormal.

Hiperventilasi
Hiperventilasi mengurangi volume otak dengan menurunkan CBF dengan cara
vasokonstriksi serebral. Setiap 1 mmHg perubahan PaCO 2, CBF berubah 1-2 ml/100gr
jaringan/menit. Hiperventilasi hanya efektif bila reaktivitas terhadap CO 2 dari pembuluh darah
otak masih utuh. Faktor yang mempengaruhi reaktivitas terhadap CO 2 adalah iskemia, trauma,
tumor, dan infeksi. Obat anestetik inhalasi berbeda-beda pengaruhnya pada reaktivitas CO 2
pembuluh darah otak, oleh karena itu penting sekali pemilihan obat anestetik inhalasi yang tepat
(paling kecil mempengaruhi reaktivitas CO2 dan autoregulasi adalah sevofluran).

Target PaCO2 untuk operasi tumor otak adalah 30-35 mmHg (hasil analisa gas darah).
Pada keadaan PaCO2 kurang dari 25-30 mmHg dapat menimbulkan iskemia otak akibat
vasokonstriksi serebral.

Optimal hemodinamik : sasaran normotensi


Sasaran terapi adalah untuk mempertahankan CPP (CPP = MAP ICP) dan
mengendalikan dinamika intrakranial untuk mencegah iskemia serebral, edema, perdarahan, dan
herniasi. Karena itu, hipotensi berat (dapat menimbulkan iskemia serebral) dan hipertensi berat
(dapat menimbulkan edema serebral, perdarahan, herniasi) harus dihindari.

Terapi Cairan : sasaran normovolemia


Volume intravaskular harus dipertahankan normovolemia sebelum induksi anestesia
untuk mencegah hipotensi saat induksi. Resusitasi dan pemeliharan cairan diberikan dengan
cairan kristaloid isoosmoler yang bebas glukosa untuk mencegah peningkatan air otak (akibat
dari hiposmolalitas) dan kerusakan iskemik (akibat hiperglikemia). Untuk kraniotomi rutin,
pasien diberikan kebutuhan cairan per jam dan penggantian urin yang keluar. Kehilangan darah
diganti kira-kira perbandingan kristaloid : darah adalah 3:1 untuk mencapai hematokrit 30%
tetapi hal ini bergantung kepada status fisiologis sebelumnya.

Pemantauan

452
Pemantauan rutin untuk operasi supratentorial adalah EKG, tekanan darah noninvasif, jalur
arterial, stetoskop esofageal, FiO2, pulsaoksimetri, temperatur, perangsang saraf, kateter
urin. Idealnya EKG monitor di lead II, V5 dan modifikasi V5 ditempelkan pada semua
pasien dengan penyakit jantung iskemik. Jalur arterial digunakan bukan saja untuk
memantau tekanan darah dari denyutke denyut jantung, tetapi juga untuk analisa gas darah
serta dapat juga menolong melihat status volume pasien : (tekanan nadi = tekanan sistolik
tekanan diastolik ). Untuk melihat CPP, transduser jalur arterial ditempelkan ke level
sirkulisi Wilisi setinggi meatus akustikus eksterna. Indikasi monitor arteri terlihat pada
tabel di bawah ini :

Indikasi Pemasangan Pemantauan Tekanan Arterial Invasif


- Operasi yang menyebabkan perubahan tekanan darah yang cepat.
- Risiko kehilangan darah yang cepat.
- Hipotensi kendali
- Diperlukan ventilasi pascabedah
- Disertai dengan penyakit sertaan lain.

Monitor Et CO2 sangat penting, dapat melihat secara kasar nilai PaCO 2, adanya
diskoneksi dan obstruksi jalan nafas. Untuk pasien dengan kemungkinan kehilangan darah yang
banyak atau keadaan kardiopulmonal yang terbatas dipasang monitor CVP dan dapat
dipertimbangkan dipasang PA kateter. Pergeseran cairan akut akibat diuretik atau manitol
memerlukan pemantauan CVP, sebab keluaran urin tidak dapat dipercaya untuk mendeteksi
hipovolemia. Indikasi pemasangan CVP monitor terlihat pada tabel di bawah ini :

Indikasi pemasangan CVP

- Risiko kehilangan darah yang banyak


- Penaksiran status volume
- Posisi duduk
- Untuk pemberian obat vasoaktif

Pemantauan ICP untuk operasi supratentorial masih kontroversial. Walaupun beberapa


praktisi menasihatkan untuk digunakan secara rutin, tetapi praktisi yang lain menunjukkan tidak
adanya penelitian yang menyebutkan keuntungan penggunaan monitor ICP. Tetapi pada pasien
dengan risiko peningkatan ICP yang hebat (ukuran tumor > 3 sm dengan mid line shift atau
edema yang nyata ) akan menguntungkan jika dipasang monitor ICP.

Sebagai tambahan pada pemantauan rutin, pengukuran tekanan darah intra-arterial, gas
darah arteri, CVP, diuresis dianjurkan untuk semua bedah saraf yang besar. Suatu kanula arteri
yang dipasang sebelum induksi anestesia untuk memantau secara kontinyu tekanan darah dan

453
untuk memperkirakan CPP. Pemeriksaan gas darah penting untuk menilai adekuatnya ventilasi.
Disebabkan karena kebanyakan pasien bedah saraf dehidrasi prabedah, dan kemudian
intraoperatif diberikan diuretika, pengukuran prabeban jantung dan keluaran urin penting
dilaksanakan. Kateter pada atrium kanan akan merefleksikan prabeban dan hal itu digunakan
untuk melihat defisit cairan prabedah dan kecepatan infusi intraoperatif. Pemantauan ICP
prabedah jarang digunakan untuk operasi tumor supratentorial. Suatu pemantauan bulbus vena
jugularis dapat untuk secara kontinyu CEO2 (SaO2 SjvO2) menyebabkan dapat menarik
kesimpulan tentang adekuatnya perfusi serebral global.

Penatalaksanaan anestesia
Sasaran utama selama induksi anestesia adalah mempertahankan level normal dari ICP
sambil mempertahankan CPP yang adekuat. Sasaran ini kebanyakan dilakukan dengan
menurunkan volume otak. Penurunan jumlah volume CSF sebagai kompensasi pada kenaikan
ICP kronis. Drain lumbal dapat dipakai untuk menurunkan volume CSF, tetapi di kamar operasi
penurunan volume darah otak umumnya dilakukan dengan terapi farmakologik atau ventilasi.

Kejadian embolus udara pada pasien dengan posisi supine, kepala naik, adalah kurang
lebih 14,6 %, karena itu diperlukan pemantauan end tidal CO2.

a. Induksi Anestesia :

Walaupun induksi anestesia untuk kraniotomi dapat dilakukan dengan berbagai macam
obat, tetapi yang paling baik adalah dengan barbiturat. Tiopental akan menurunkan SMRO 2,
CBF dan ICP. Propofol juga menurnkan SMRO2, CBF dan ICP. Narkotik juga menurunkan
SMRO2 tetapi lebih kecil daripada penurunan CBF, sehingga dalam teori disebutkan dapat
membawa ke arah iskemia, walaupun demikian efek ini tidak relevan secara klinis. Narkotik
memberikan pengendalian tekanan darah dan denyut jantung yang lebih baik, sehingga selalu
dipakai dalam anestesia.

Ketamin menyebabkan peningkatan denyut jantung, tekanan darah dan ICP serta
menimbulkan gambaran kejang pada EEG, maka ketamin tidak dipakai pada neuroanestesia.
Induksi yang lancar lebih penting dari kombinasi obat yang digunakan. Pasien dipreoksigenasi
lalu diberikan Tiopental 3 5 mg/kg atau Propofol (1,25-2,5mg/kg) intravena, diikuti dengan
fentanil 3-5ug/kg dan pelumpuh otot.harus diikuti dengan ventilasi melalui sungkup muka
untuk menjamin patensi jalan nafas dan hiperventilasi. Neuromuskular blokade dapat dilakukan
dengan vekuronium ( 0,1 0,15 mg/kg ) atau rokuronium ( 0,6 0,8 mg/kg ) IV, lalu
dihiperventilasi melalui sungkup muka dengan oksigen 100% atau O 2 Isofluran konsentrasi
rendah ( 0,5% ). Lidokain IV ( 1,5 mg/kg dberikan 90 detik sebelum laringoskopi/intubasi) dan
dosis obat anestetik intravena (Tiopental 2-3 mg/kg) untuk induksi diberikan menit
sebelum dilakukan intubasi. Setelah induksi, dilakukan ventilasi kendali untuk mepertahankan
PaCO2 antara 30-35 mmHg.

454
Dosis obat induksi diatur untuk pasien dengan ketidakstabilan kardiovaskular. Kombinasi
narkotik (fentanil 5 ug/kg atau sufentanil 0,5 1 ug/kg ) dan dosis kecil tiopental dapat
mengendalikan ICP serta kardiovaskular tetap stabil. Ventilasi adekuat harus dilakukan untuk
menghindari hipoventilasi dan hiperkarbia akibat narkotik yang akan menyebabkan kenaikan
CBF.

b. Pemeliharaan Anestesia :
Teknik teknik ini umumnya termasuk dalam 3 kategori : obat anestetik inhalasi,
teknik anestesia intravena dan teknik balans. Gambaran paling penting dalam pemberian
anestesia adalah bukan teknik mana yang digunakan, tetapi bagaimana tepatnya teknik tersebut
digunakan.

Disebabkan obat anestetik mempengaruhi tekanan intrakranial, sampai sekarang masih


ada kontroversi apakah diberikan anestesia intravena (TIVA) atau dengan anestesia inhalasi,
akan tetapi yang paling umum diberikan adalah N2O-isofluran/sevofluran-fentanil.

Banyak penulis yang memikirkan bahwa anestesia dengan dasar narkotik dengan N 2O
atau dosis rendah isofluran (< 1 %) dalam oksigen, cukup optimal. Tetapi baru baru ini teknik
tersebut dihubungkan dengan meningkatnya kejadian mual muntah pascabedah dibandingkan
dengan teknik anestesia inhalasi atau mesin berbasiskan propofol. Bila anestesia berbasiskan
narkotik, maka dapat digunakan fentanil, alfentanil atau sufentanil. Sufentanil mungkin
mempengaruhi ICP dan CPP (tak menguntungkan / tak baik ). Fentanil 5 ug/kg dikombinasikan
dengan isofluran < 1 % dalam oksigen mungkin cukup baik. Alternatif lain, sufentanil 0,5 1
ug/kg bolus, diikuti intermiten dengan dosis tidak lebih dari 0,5 ug/kg/jam, atau infusi 0,25
0,5 ug/kg/jam kombinasi dengan isofluran < 1 % dalam O 2. Sufentanil kontinyu dihentikan +/-
1 jam sebelum akhir operasi.

Obat anestetik inhalasi lebih disukai isofluran dengan sedikit atau tanpa suplemen
narkotik. Hiperventilasi dengan kombinasi isofluran < 1 % umumnya menghasilkan intrakranial
dinamik yang lebih stabil. Disebabkan karena operasi intrakranial berlangsung lama, bila pada
akhir operasi ada kenaikan tekanan darah dan frekwensi nadi, lebih baik di atasi dengan
labetolol atau esmolol, bukan dengan menaikkan konsentrasi obat anestetik inhalasi, supaya
pasien lebih cepat bangun.

N2O bisa digunakan kecuali pada pasien dengan pneumosefalus (trauma atau
postcraniotomi) atau embolusudara. Penggunaan N2O akan mengurangi dosis narkotik dan
isofluran serta bangun dari anestesia dengan tenang.

TIVA dapat dilaksanakan dengan propofol dan fentanil. Setelah induksi, propofol
dimulai dengan 200 ug/kg/menit dan kemudian diturunkan disertai dengan infusi, fentanil 2
ug/kg/jam. Teknik ini akan memberikan anestesia yang stabil dan pasien cepat bangun, serta
kejadian mual muntahnya rendah. Setiap teknik anestesia ini menyebabkan keadaan anestesia

455
yang baik, tetapi seni memberikan anestesia, pengalaman pengalaman dan pengetahuan
anestetis akan menolong supaya tidak terjadi pemberian obat yang berlebihan atau kurang. Jika
pasien sulit bangun pasca bedah, salah satu kemungkinannya adalah ekses obat anestetik.
Kemungkinan yang lain adalah kerusakan jaringan otak (operasi, perdarahan, iskemia)
gangguan elektrolit, hipotermia.

Hiperventilasi merupakan tambahan tindakan yang penting. Hipokapni akan


menurunkan ICP sebelum dura dibuka, melawan vasodilatasi akibat obat anestetik inhalasi dan
menyebabkan otak menjadi rileks selama operasi. Optimal hiperventilasi adalah untuk mencapai
PaCO2 25 30 mmHg. Jika peningkatan ICP masih merupakan problema, mungkin
menguntungkan untuk menurunkan PaCO2 menjadi 20 25 mmHg. PaCO2 harus dikorelasikan
dengan EtCO2. Normalnya PaCO2 4 8 mmHg lebih tinggi dari EtCO2. Penurunan lebih besar
dari PaCO2 tidak menunjukkan adanya perubahan yang nyata pada ICP dan hipokapni yang
ekstrim dapat memberi pengaruh yang buruk pada metabolisme seluler, menyebabkan
pergeseran ke kiri kurve disosiasi Oxy Hb, atau terjadi vasokonstriksi maksimal.

Pelumpuh otot mencegah pasien bergerak pada saat saat kritis. Juga bisa menurunkan
ICP dengan rileksnya dinding dada, yang akan menurunkan tekanan intrakranial dan terjadi
drainase vena serebral yang baik. Pemilihan obat harus berdasar pada lamanya operasi dan
pengaruh obat pada hemodinamik serta ICP. Untuk kebanyakan operasi supratentorial dipilih
norkuron /esmeron/atrakurium.

Cairan yang diberikan lebih disukai NaCl 0,9 %. Pemberian cairan dibatasi selama
induksi anestesia dan dipertahankan tetap sedikit selama hemodinamik stabil dan produksi urin
baik. Bila dibutuhkan resusitasi volume dan nilai hematokrit tidak menunjukkan perlunya darah,
maka dapat diberikan koloid sebanyak 500 1000 ml.

Meningioma, karakteristik dengan adanya vaskularisasi yang banyak. Sering ada


hubungan yang berlebihan antara sirkulasi karotis eksternal dan internal, maka tulang tengkorak
sangat vaskular. Bisa terjadi problema pembekuan akibat dari tipe tumornya, atau akibat
transfusi darah masif dan beberapa kasus DIC telah dilaporkan terjadi pada pasien dengan
tumor serebri primer, juga sering terjadi edema serebri pascabedah.

Cara cara mengurangi kehilangan darah :

- Teknik hipotensi kendali


- Embolisasi selektif prabedah.
Saat terjadinya kehilangan darah adalah pada saat mengangkat tulang dan mengangkat tumor.
Bila ada hubungan antara pembuluh darah tumor dengan pembuluh darah ekstrakranial,
perdarahan dari tulang tengkorak biasanya terjadi pada saat membor tulang kepala, tetapi pada
umumnya dapat di atasi dengan bone wax. Perdarahan selanjutnya terjadi pada saat tulang
diangkat dengan kraniotom dan tidak dapat dikendalikan sampai seluruh tulang tersebut selesai
diangkat, sehingga bila terjadi kesulitan pengangkatan tulang kepala, dapat terjadi perdarahan

456
yang banyak.

Teknik hipotensi dilakukan sebelum mulai mengangkat tulang, lebih baik dengan
trimetafan daripada dengan nitroprusid. Pada awalnya tekanan sistolik dipertahankan antara 70
80 mmHg pada pasien yang normotensi dan pada level yang lebih tinggi pada pasien yang
hipertensi. Bila tulang telah diangkat, tekanan darah bisa diturunkan lagi (tetapi harus diingat
dalam menurunkan tekanan darah ini, harus diperhatikan CPP adekuat).

Darah dan cairan harus diberikan untuk mempertahankan kestabilan sirkulasi tanpa ada
edema serebral pascabedah. Disebabkan bahaya dari gangguan pembekuan, maka FFP dan
trombosit harus diberikan setelah jumlah perdarahan mencapai 2 liter bila perdarahan terus
berlangsung. Pemberian ini lebih dini daripada yang biasanya, karena untuk mencegah
terjadinya DIC, sebab hal ini secara nyata tidak mungkin untuk mengobati kadaan ini pada
pasien bedah saraf karena kebutuhan heparin dan penggantian cairan secara masif.

N2O:

N2O secara tersendiri bersifat merangsang serebral, meningkatkan SMR, CBF dan ICP.
Untuk otak yang normal, efek ini dapat dihilangkan dengan hiperventilasi/hipokapni atau obat
anestetik intravena. Volatil anestetik menambah peningkatan CBF akibat N 2O. Penelitian
menunjukkan bahwa isofluran mempunyai efek yang kurang daripada N2O terhadap CBF dan
ICP.

Volatil anestetik:

Isofulran, sevofluran, desfluran menurunkan SMR, meningkatkan CBF (vasodilatasi


langsung), ICP, dan menganggu autoregulasi. Efek peningkatan CBF, ICP dan ganguan terhadap
autoregulasi ini paling kecil dengan sevofluran dibandingkan dengan isofluran dan desfluran.
Pada pasien tanpa iskemia otak, peningkatan ICP dan brain bulk problem, gunakan dengan
hiperventilasi sedang, berikan < 1 MAC dan hindari kombinasi dengan N2O.

Anestetik intravena (tiopental, propofol, midazolam)


Mengurangi SMR bergantung pada besarnya dosis, CBF menurun (vasokonstriksi
langsung), penurunan CBV, dan penurunan ICP. Reaktivitas terhadap CO2 dan autoregulasi tetap
utuh. Fentanil atau remifentanil sedikit atau tidak menyebabkan penurunan CBF dan SMR.
Sufentanil duhubungkan dengan peningkatan ICP, mungkin bukan disebabkan karena efek
langsung menimbulkan vasodilatasi serebral akan tetapi karena refleks vasodilatasi serebral
akibat penurunan tekanan darah). Bila ICP sangat tinggi dan tight brain dianjurkan TIVA
dengan tiopental 2-3 mg/kg/jam.

457
Penatalaksanaan edema serebral intraoperatif

Optimalkan ventilasi dan gas darah

Maksimalkan drainase vena serebral

Dalamkan anestesia dengan cara : berikan anestesia intravena


(tiopental)

Diuretik : Manitol (0,25-1 gr/kh) + furosemid (0,25-0,5 mg/kg)

CSF darinase

Kurangi SMRO2 : bolus lidokain, tiopental atau propofol

Pertimbangkan penambahan dosis manitol dan furosemid

c. Akhir anestesia :
Bangun dari anestesia sesudah operasi supratentorial harus lancar dan lembut.
Keputusan apakah pasien harus bangun dan diekstubasi bergantung pada derajat kesadaran
prabedah, lokasi operasi, luasnya edema serebri, jumlah obat yang diberikan.

Pasien yang prabedahnya dalam keadaan koma atau tumor besar di sentral, tidak usah
segera diekstubasi. Kebanyakan pasien tetap diintubasi dan bangun pelan pelan di ICU setelah
terus dimonitor dan diventilasi. Ada dua situasi klinis di mana pasien yang sebelumnya koma
dicoba untuk bangun sesegera mungkin :

Drainase dari epidural hematom atau subdural hematom.

VP- pintasan dari hidrosefalus akut.

Kebanyakan pasien operasi supratentorial diekstubasi di kamar operasi. Labetolol atau esmolol
dan lidokain 1,5 mg/kg IV, dapat digunakan untuk terapi hipertensi, takikardia dan rangsangan
simpatis yang dihubungkan pada periode sesaat sebelum ekstubasi. Adanya hipertensi pada
periode ini harus diterapi karena bisa terjadi perdarahan otak pada daerah luka operasi.

Bangun dari anestesia harus smooth dan hindari straining atau bucking akibat adanya ETT,
hipertensi arterial dan kenaikan ICP. Untuk menghindari bucking saat bangun dari anestesia,
pelumpuh otot jangan dilawan sampai selesai membalut kepala. Lidokain intravena (1,5
mg/kg) dapat diberikan 90 detik sebelum pengisapan lendir dan ekstubasi untuk mengurangi
batuk, straining dan hipertensi. Adanya hipertensi saat bangun dari anestesia dapat
menimbulkan terjadinya hematom intrakranial pascabedah.
Pada operasi tumor supratentorial diharapkan pasien segera bangun dan diekstubasi pada

458
ahir operasi supaya dapat mengevaluasi hasil pembedahan dan fungsi neurologis pascabedah.
Keuntungan dan kerugian antara segera bangun dan pasien dibiarkan tidur pascabedah masih
diperdebatkan. Faktor di luar obat anestetik yang menyebabkan pasien lama sadar adalah tumor
intrakranial yang besar, prabedah sudah ada penurunan kesadaran, komplikasi bedah (kejang,
edema serebral, hematoma, pneumosefalus, oklusi pembuluh darah/iskemia), gangguan
elektrolit, dan hipotermia.

Cara baru dalam mencegah hipertensi saat bangun dari anestesia seraya pasien tetap
akan sadar, adalah dengan pemberian alfa 2 agonis deksmedetomidin yang dimulai 10 menit
sebelum ekstubasi, dengan dosis rata-rata 0,4 ug/kg/jam.

Simpulan
Problema pada operasi tumor supratentorial adalah adanya iskemia atau herniasi serta
banyaknya perdarahan saat eksisi tumor. Penilaian status neurologis prabedah, penentuan
adanya kenaikan tekanan intrakranial dan mengoptimalkan penyakit sertaan harus dilakukan.
Dapat digunakan teknik anestesia intravena atau inhalasi dengan pemilihan obat anestetik
inhalasi yang paling kecil meningkatkan aliran darah otak, mempengaruhi autoregulasi, dan
reaktivitas terhadap CO2. Pertahankan normotensi, normovolemia, dan slack brain intraoperatif.
Bangun dari anestesia harus mulus dan cepat untuk memudahkan evaluasi neurologis
pascabedah. Tidak diperlukan analgesia opioid pascabedah yang kuat untuk menghilangkan
sakit pascabedah.

Referensi :

1. Newfield P, Cottrell JE. Handbook of Neuroanesthesia, 4th ed, Philadelphia : Lippincott


Williams&Wilkins ; 2007.
2. Cotrell JE, Smith DS. Anesthesia and Neurosurgery, 4th ed. St Louis : Mosby; 2001.
3. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New York :
Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
4. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed. Philadelphia :
Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
5. ISNAML participant workbook 2007

459
MODUL 24
ANESTESIA BEDAH PASIEN
RAWAT JALAN

Mengembangkan kompetensi Waktu (Semester 2)

Sesi di dalam kelas Anestesia bedah pasien rawat jalan adalah suatu
rotasi yang membutuhkan waktu paling sedikit 2
Sesi dengan fasilitasi pembimbing bulan (8 pekan) untuk peserta didik semester 2

460
Sesi praktek dan pencapaian kompetensi keatas, yang meliputi anestesia bedah pasien rawat
jalan.

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

6. LCD Proyektor dan layar


7. Laptop
8. OHP
9. Flipchart
10. Pemutar video
Materi presentasi:

CD PowerPoint

Sarana:

5. Ruang belajar
6. Ruang pemeriksaan
7. Ruang pulih
8. Bangsal rawat inap/pengamatan lanjut
Kasus : pasien dari poliklinik bedah atau bidang lain

Alat bantu latih : model anatomi /simulator

Penuntun Belajar : lihat acuan materi

Daftar tilik kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

3. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th


ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
4. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

1. TUJUAN

Tujuan pembelajaran umum

461
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik mampu melakukan persiapan preoperatif pasien ambulatori
dengan baik dan cermat, melakukan pembiusan umum maupun regional yang baik dan tepat, pemantauan
dan penatalaksanaan pascabedah pasien ambulatori.

Tujuan pembelajaran khusus

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk :

Kognitif

1. Mampu menjelaskan kriteria pemilihan pasien untuk operasi ambulatori.


2. Mampu menjelaskan pemeriksaan preoperatif pasien untuk operasi ambulatori, meliputi
pemeriksaan fisis dan penunjang yang tepat.
3. Mampu menjelaskan status fisis pasien ambulatori berdasarkan klasifikasi ASA.
4. Mampu menjelaskan kondisi pasien yang tidak sesuai untuk operasi ambulatori dan risikonya,
seperti bayi prematur dan eks-prematur, pasien dengan riwayat gangguan respirasi seperti ISPA,
apnea, spasme bronkus, pasien dengan penyakit jantung seperti CHF, kelainan jantung
kongenital, pasien dengan riwayat hipertermia malignan, pasien obesitas morbid, pasien dengan
keganasan, gangguan jalan nafas sulit, operasi besar yang memungkinkan kehilangan banyak
darah, yang membutuhkan pemantauan dan penanganan nyeri khusus pascabedah.
5. Mampu menjelaskan persiapan preoperatif operasi ambulatori seperti puasa dan premedikasi.
6. Mampu menjelaskan rencana anestesia umum seperti anestesia intravena, sungkup, LMA atau
intubasi ETT, dan regional seperti spinal, epidural, kaudal maupun blok perifer untuk operasi
pasien ambulatori yang akan dilakukan.
7. Mampu menjelaskan persiapan alat anestesia umum maupun regional, dan obat-obatan dengan
masa kerja singkat yang sesuai untuk anestesia ambulatori.
8. Mampu menjelaskan pemantauan yang baik dan sesuai untuk anestesia ambulatori.
9. Mampu menjelaskan cara pemulihan pembiusan yang cepat untuk pasien ambulatori.
10. Mampu menjelaskan penatalaksanan nyeri, mual muntah pascabedah untuk pasien ambulatori.
11. Mampu menjelaskan komplikasi yang dapat timbul pascabedah ambulatori.
12. Mampu menjelaskan kriteria pasien keluar dari PACU/ruang pulih fase 1 ke ruang pulih fase 2
(dengan Modifikasi Aldretes skor) pulang ke rumah (PADSS skor) atau harus dirawat
pascabedah ambulatori.

Psikomotor

1. Mampu melakukan pemilihan pasien untuk operasi ambulatori.


2. Mampu melakukan pemeriksaan preoperatif pasien untuk operasi ambulatori, meliputi
pemeriksaan fisis dan penunjang yang tepat.
3. Mampu mengklasifikasi status fisis pasien ambulatori berdasarkan klasifikasi ASA.
4. Mampu menilai kondisi pasien yang tidak sesuai untuk operasi ambulatori dan risikonya, seperti
bayi prematur dan eks-prematur, pasien dengan riwayat gangguan respirasi seperti ISPA, apnea,
spasme bronkus, pasien dengan penyakit jantung seperti CHF, kelainan jantung kongenital,
pasien dengan riwayat hipertermia malignan, pasien obesitas morbid, pasien dengan keganasan,
gangguan jalan nafas sulit, operasi besar yang memungkinkan kehilangan banyak darah, yang
membutuhkan pemantauan dan penanganan nyeri khusus pascabedah.
5. Mampu melakukan persiapan preoperatif operasi ambulatori seperti puasa dan premedikasi.

462
6. Mampu memberikan anestesia umum seperti anestesia intravena, sungkup, LMA atau intubasi
ETT, dan regional seperti spinal, epidural, kaudal untuk operasi pasien ambulatori yang akan
dilakukan (lihat prosedur anestesia umum dan regional).
7. Mampu melakukan persiapan alat anestesia umum maupun regional.
8. Mampu melakukan pemberian obat-obatan dengan masa kerja singkat yang sesuai untuk
anestesia ambulatori.
9. Mampu melakukan pemantauan yang baik dan sesuai untuk anestesia ambulatori.
10. Mampu melakukan penatalaksanan nyeri, mual muntah pascabedah untuk pasien ambulatori.
11. Mampu mengenali tanda-tanda dan mengatasi komplikasi yang dapat timbul pascabedah
ambulatori.
12. Mampu menilai kondisi pasien keluar dari PACU/ruang pulih fase 1 ke ruang pulih fase 2
dengan Modifikasi Aldrete skor atau pulang (dengan PADSS skor), atau dirawat pascabedah
ambulatori.

Komunikasi/Hubungan Interpersonal

1. Mampu menjelaskan pada pasien atau keluarga pasien tentang kondisi pasien preoperatif,
tindakan anestesia yang akan dilakukan serta risiko yang dapat timbul pada pasien ambulatori.
2. Mampu memberikan penjelasan kepada rekan sejawat atau konsulen tentang kondisi pasien
untuk kemungkinan pemeriksaan tambahan, pemberian obat-obatan atau upaya optimalisasi
kondisi pasien.
3. Mampu menjelaskan tentang kondisi pasien kepada operator sebelum operasi terutama untuk
mencegah terjadi keadaan atau kondisi pasien yang tidak diinginkan.
4. Mampu berinteraksi atas dasar saling menghormati dan menciptakan kondisi kerjasama tim
yang terlibat di kamar bedah.
5. Mampu memperoleh kemudahan jika pasien tidak dapat pulang dan harus dirawat sesuai
kondisi pasien pascabedah.

Profesionalisme

1. Mampu bekerja sesuai prosedur.


2. Mampu berinteraksi dengan sejawat lain maupun paramedis dan tenaga kesehatan lain atas dasar
saling menghormati kompetensi masing-masing.
3. Mampu menjaga kerahasiaan pasien.
4. Mampu memahami, memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarganya tentang kondisi
pasien sesuai hak pasien.
5. Mampu melakukan pekerjaan secara efisien.

KEYNOTES

2. POKOK BAHASAN / SUB POKOK BAHASAN

1. Pemilihan pasien ambulatori

463
2. Persiapan preoperatif
3. Pemilihan teknik anestesia dan penggunaan obat yang sesuai untuk anestesia ambulatori
4. Penatalaksanaan anestesia umum dan regional
5. Pemantauan
6. Penatalaksanaan pasca-anestesia pasien ambulatori
7. Modified Aldrete Skor, PADSS

3. WAKTU DAN METODE

Waktu

Mulai semester 3 selama 1 bulan

Metode

A..Proses pembelajaran dilaksanakan melalui metode :

4. Diskusi kelompok kecil


5. Peer assisted learning (PAL)
6. Bedside teaching
7. Task-based medical education
B. Peserta didik sudah harus mempelajari:

7. Bahan acuan
8. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran
9. Ilmu klinis dasar
C. Penuntun belajar terlampir

D. Tempat belajar: ruang rawat pasien, kamar operasi, ruang pulih pascabedah.

4. MEDIA

7. Kursus / pelatihan
Pelatihan di skill lab intubasi, LMA pada manikin.

8. Belajar mandiri
9. Kuliah
Kuliah khusus Penatalaksanaan Anestesia Ambulatori termasuk

semua sub pokok bahasan dilakukan semester 3 pekan 1.

10. Diskusi kelompok


Laporan dan diskusi tentang problema preoperatif , penatalaksanaan

jalan nafas, anestesia umum (intubasi, LMA), pemantauan

464
penatalaksanaan pascabedah dan kriteria pasien pulang.

11. Pemeriksaan preoperatif


12. Bimbingan pembiusan dan asistensi di kamar operasi
Pelatihan di kamar bedah intubasi, LMA, pada pasien ambulatori

dengan bimbingan dan pengawasan staf pengajar.

13. Tugas baca dan tulisan (tinjauan pustaka, journal reading)


14. Laporan kasus, morbiditas dan mortalitas
15. CPD

5. ALAT BANTU PEMBELAJARAN

Perpustakaan, internet, skill lab

6. EVALUASI

6.1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-tes dalam bentuk esai dan lisan untuk menilai kinerja awal
peserta didik dan melakukan identifikasi kekurangan yang ada. Materi pre-tes terdiri atas :

5. Pemilihan pasien ambulatori


6. Persiapan preoperatif
7. Pemilihan teknik anestesia dan penggunaan obat yang sesuai untuk anestesia ambulatori
8. Penatalaksanaan anestesia umum dan regional
9. Pemantauan
10. Penatalaksanaan pasca-anestesia pasien ambulatori
11. Modified Aldrete Skor, PADSS

6.2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang teridentifikasi,
membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.

6.3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam penuntun belajar pada
manikin anestesia bersama teman-temannya (peer assisted learning), dievaluasi oleh teman-
temannya (peer assisted evaluation).

6.4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di bawah pengawasan
fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien sesungguhnya. Pada saat pelaksanaan,
evaluator melakukan pengawasan langsung dan mengisi lembar penilaian:

- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak dilakukan

- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya tindakan anestesia tidak
mulus sehingga kurang memberi kenyamanan kepada pasien

- Baik : pelaksanaan benar, baik dan efisien

465
6.5. Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.

6.6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun belajar.

6.7. Pendidik/fasilitator melakukan :

- Pengamatan langsung dengan memakai ceklis evaluasi (terlampir)

- Diskusi dan penjelasan lisan dari peserta didik

- Kriteria penilaian keseluruhan : baik/cukup/kurang

6.8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan atau diberi
tugas untuk memperbaiki kinerja.

6.9. Pencapaian pembelajaran :

Isi pre-tes :

19. Jelaskan kriteria pemilihan pasien yang sesuai untuk operasi ambulatori.
20. Jelaskan pemeriksaan preoperatif pasien untuk operasi ambulatori, meliputi pemeriksaan fisis
dan penunjang yang tepat.
21. Jelaskan status fisis yang sesuai untuk pasien ambulatori berdasarkan klasifikasi ASA.
22. Jelaskan kondisi pasien yang tidak sesuai untuk operasi ambulatori dan risikonya.
23. Jelaskan persiapan preoperatif operasi ambulatori seperti puasa dan premedikasi.
24. Jelaskan jenis anestesia umum dan regional yang sesuai untuk operasi pasien ambulatori yang
akan dilakukan.
25. Jelaskan persiapan alat anestesia umum maupun regional untuk anestesia ambulatori.
26. Jelaskan jenis obat-obatan dengan masa kerja singkat yang sesuai untuk anestesia ambulatori,
dosis dan cara pemberiannya.
27. Jelaskan pemantauan yang baik dan sesuai untuk anestesia ambulatori.
28. Jelaskan cara pemulihan pembiusan yang cepat untuk pasien ambulatori.
29. Jelaskan penatalaksanan nyeri, mual muntah pascabedah untuk pasien ambulatori.
30. Jelaskan komplikasi yang dapat timbul pascabedah ambulatori.
31. Jelaskan kriteria pasien pulang atau dirawat pascabedah ambulatori (dengan Modifikasi
Aldrete skor dan PADSS skor).

Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).

Bentuk ujian :

- Ujian akhir stase


- Ujian akhir profesi
Bisa dalam bentuk :

1. Pengetahuan

466
- MCQ
- EMQ
- Ujian lisan

2.Kognitif

- EMQ
- Multiple observation and assessments
- Multiple observers
- OSCE
- Minicheck
3. Skill

-
Multiple observation and assessments
-
Multiple observers
-
OSCE
-
Minicheck
4.Communication and Interpersonal Skills

-Multiple observation and assessments


-
Multiple observers
5.Profesionalisme

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers

7. REFERENSI

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 3th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2002
2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006
3. Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005
4. Tatang Bisri : Literasi Anestesiologi : Ambulatori Anestesia, 2007.

9. DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia Sudah Belum

467
dilakukan dilakukan

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1 Anamnesis, periksaan fisis, pemeriksaan penunjang

2 Penentuan ASA :

3 Persiapan alat, mesin pembiusan, STATIK, obat

4 Pemasangan monitor

ANESTESIA

1 Anestesia umum (intubasi, LMA)

2 Anestesia subarahnoid, epidural, kaudal

3 Anestesia intravena

4 Pemberian cairan dan transfusi

5 Komplikasi dan penanganannya

PENATALAKSANAAN PASCABEDAH

1 Pengawasan ABC dan tanda vital

2 Penanganan mual muntah dan nyeri pascabedah

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda ( )

10. DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan memuaskan,
dan berikan tanda X bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak dilakukan pengamatan

Memuaskan Langkah / tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau penuntun

X Tidak memuaskan Tidak mampu untuk mengerjakan langkah /tugas sesuai dengan prosedur
standard atau penuntun

T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dialakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal

468
Nama pasien No Rekam Medis

No DAFTAR TILIK Kesempatan ke


Kegiatan / langkah klinis 1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan: Tanda tangan pelatih

469
Layak

Tidak layak

Melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

MATERIN ACUAN

URAIAN : ANESTESIA AMBULATORI

8.1 Kompetensi terkait dengan modul (list of skill)

- Kunjungan preanestesia : anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang,


persetujuan setelah mendapatkan informasi yang adekuat
- Kriteria pasien ambulatori dan penentuan ASA
- Persiapan preanestesia (statik, obat, alat pembiusan)
- Asistensi tindakan pembiusan
- Melakukan tindakan pembiusan (bimbingan, mandiri)
- Penanganan komplikasi
- Penatalaksanaan pascabedah dan penilaian pasien pulang
8.2 Prosedur

1. Persiapan operasi elektif : puasa 6-8 jam

2. Periksa kesiapan mesin anstesia, peralatan anestesia dan obat-obat

anestesia.

3. Pasang jalur intravena.

4. Berikan premedikasi secara IV atau IM

5. Lakukan tindakan pembiusan (lihat prosedur intubasi, LMA).

6. Monitor fungsi vital: oksigensi, saturasi Hb (SpO2), ventilasi(ETCO2),

tekanan darah, nadi, EKG, suhu, aliran cairan infusi, produksi urin,

perdarahan.

7. Atur kebutuhan obat suplemen analgetika opioid, kebutuhan zat

inhalasi, dan kebutuhan pelumpuh otot.

470
8. Akhir operasi yakinkan pasien bernafas spontan dan volume nafas

adekuat (kecuali bila direncanakan untuk melanjutkan bantuan

nafas pascabedah). Bila perlu berikan antidotum obat-obat yang

menyebabkan apnea berkepanjangan atau hipoventilasi.

9. Berikan analgetika adekuat pascabedah

8.3 Komplikasi

- mual-muntah

- nyeri pascabedah

- bradipnea-apnea

8.4 Mortalitas

Bergantung pada kondisi awal, ASA dan penyakit penyerta

8.5 Penatalaksanaan pascabedah

- Pasien diobservasi tanda vitalnya di ruang pulih pascabedah


- Penanganan nyeri pascabedah
8.6 Kata kunci :

Kriteria pasien ambulatori, persiapan preoperatif, farmakologi obat anestetik ambulatori, anestesia umum
dan regional, pemantauan, PONV, nyeri pasca bed, Modified Aldrete Skor, PADSS

Tabel . Criteria for Fast Tracking and Discharge

Post Anesthesia Recovery Skor

(Modified Aldrete Skor)

471
Activity
2=Moves all extremities voluntarily or on command.

1=moves two extremities

0=unable to move extremities

Respirasion
2=breathes deeply & cough freely

1=dyspneic, shallow or limited breathing.

0=apneic

Circulation
2=BP20 mm of preanesthetic level

1=BP20-50 mm of preanesthetic level

0=BP50 mm of preanesthetic level

Oxygen saturasion
2=SpO2 > 92% on room air

1=Supplemental O2 req to maintain SpO2 > 90%

0=SpO2<92% with O2 supplementation

10 = total skor; 9 = for PACU discharge/bypass

Tabel : PADSS untuk menentukan kesiapan pasien

dipulangkan kerumah.

472
REFERENSI

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 3th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2002

2.Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006

3.Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005

4.Tatang Bisri : Literasi Anestesiologi : Ambulatori Anestesia, 2007.

473
Modul 25 ANESTESIA BEDAH KARDIOTORASIK
I

Mengembangkan kompetensi Waktu (semester 6)

474
Sesi di dalam kelas 2 X 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasilitasi pembimbing 3 X 2 (coaching session)

Sesi praktek dan pencapaian 4 pekan (facilitation & assessment)


kompetensi

Persiapan Sesi

Audiovisual Aid:
6. LCD proyektor dan layar
7. Laptop
8. OHP
9. Flipchart
10. Pemutar video
Materi presentasi: CD PowerPoint
1. Persiapan prabedah toraks

2. Ventilasi satu paru

3. Teknik anestesia bedah toraks

4. Pencegahan komplikasi ventilasi satu paru

5. Perawatan pasien pascaanestesia bedah toraks

6. Persiapan pasien massa mediastinum

7. Sindrom vena kava superior

8. Teknik anestesia pada operasi massa mediastinum

9. Miastenia gravis

10. Teknik anestesia pada pasien miastenia gravis

11. Perawatan pascabedah pasien miastenia gravis

12. Trauma toraks

13. Anestesia pada pembedahan darurat trauma toraks

Sarana:

475
6. Ruang belajar
7. Ruang perawatan prabedah
8. Kamar operasi toraks
9. Ruang perawatan intensif pascabedah toraks

Kasus : anestesia pasien langsung , di kamar operasi


Alat bantu latih : model anatomi /simulator tidak ada
Penuntun belajar : lihat materi acuan
Daftar tilik kompetensi : lihat daftar tilik
Referensi :
1.Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical

Anaesthesiology, 3th ed, New York: Lange Medical

Books/McGraw-Hill; 2002

2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006

3.Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005

4.Kaplan JA, Slinger PD. Thoracic Anesthesia, 3rd ed, 2003

1. KOMPETENSI

Mampu melakukan persiapan preoperatif pasien bedah toraks, melakukan pembiusan dan
pemantauan yang baik dan tepat, dan penatalaksanaan pascabedah pasien bedah toraks.

RANAH KOMPETENSI

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi dalam ranah-ranah berikut
ini :

Kognitif

1. Mampu menjelaskan anatomi dan fisiologi paru normal.


2. Mampu menjelaskan patofisiologi berbagai kelainan paru dan hubungannya dengan
anestesia.
3. Mampu menjelaskan penatalaksanaan perioperatif pasien dengan kelainan paru, termasuk
persiapan prabedah yang baik.
4. Mampu menjelaskan fisiologi pada ventilasi satu paru.

476
5. Mampu menjelaskan indikasi, indikasi kontra dan komplikasi ventilasi satu paru.
6. Mampu menjelaskan teknik anestesia, peralatan dan pemantauan yang diperlukan pada
ventilasi satu paru.
7. Mampu menjelaskan berbagai lokasi massa mediastinum dan konsekuensi fisiologisnya.
8. Mampu menjelaskan penatalaksanaan perioperatif pasien dengan massa mediastinum.
9. Mampu menjelaskan teknik anestesia pada massa mediastinum.
10. Mampu menjelaskan patofisiologi sindrom vena kava superior.
11. Mampu menjelaskan penatalaksanaan perioperatif pasien dengan sindrom vena kava
superior.
12. Mampu menjelaskan patofisiologi miastenia gravis dan implikasinya pada teknik
anestesia.
13. Mampu menjelaskan penatalaksanaan perioperatif pasien miastenia gravis.
14. Mampu menjelaskan kegawatan torasik yang mengancam nyawa, termasuk trauma
toraks.
15. Mampu menjelaskan teknik anestesia pada bedah darurat trauma toraks.
16. Mampu menjelaskan penatalaksanaan pascabedah dan tatalaksana nyeri pasien bedah
toraks.

Psikomotor

1. Mampu melakukan pemeriksaan preoperatif pasien untuk

bedah toraks, meliputi pemeriksaan fisis dan penunjang yang tepat.

2. Mampu menilai kelayakan anestesia untuk bedah toraks.

3. Mampu menilai kondisi pasien yang tidak sesuai untuk teknik

ventilasi satu paru dan risikonya.

4. Mampu melakukan persiapan preoperatif bedah toraks,

termasuk fisioterapi dada dan terapi inhalasi.

5. Mampu mempersiapkan peralatan dan pemantauan yang

diperlukan untuk anestesia dengan ventilasi satu paru.

6. Mampu melakukan teknik anestesia dan pemantauan

dengan ventilasi satu paru.

7. Mampu melakukan intubasi dengan double lumen tube.

8. Mampu memberikan anestesia pada pasien dengan massa

mediastinum.

477
9. Mampu memberikan anestesia pada bedah darurat toraks.

10. Mampu melakukan pemantauan yang baik dan sesuai untuk

anestesia bedah toraks.

11. Mampu melakukan penatalaksanan pascabedah toraks,

termasuk tatalaksana nyeri.

12. Mampu mengenali tanda-tanda dan mengatasi komplikasi

yang dapat timbul pascabedah toraks .

Komunikasi/Hubungan Interpersonal

1. Mampu menjelaskan pada pasien atau keluarga pasien

tentang kondisi prabedah pasien, tindakan anestesia yang

akan dilakukan serta risiko yang dapat timbul pada pasien

bedah toraks.

2. Mampu memberikan penjelasan kepada rekan sejawat

atau konsulen tentang kondisi pasien untuk kemungkinan

pemeriksaan tambahan, pemberian obat-obatan atau

upaya optimalisasi kondisi pasien.

3. Mampu menjelaskan tentang kondisi pasien kepada

operator sebelum operasi terutama untuk mencegah terjadi

keadaan atau kondisi pasien yang tidak diinginkan.

4. Mampu berinteraksi atas dasar saling menghormati dan

menciptakan kondisi kerjasama tim yang terlibat di kamar

bedah.

Profesionalisme

478
1. Mampu bekerja sesuai prosedur.

2. Mampu bekerja dengan kemampuan tertinggi yang dimiliki,

demi mengutamakan keselamatan pasien.

3. Mampu berinteraksi dengan sejawat lain maupun paramedis

dan tenaga kesehatan lain atas dasar saling menghormati

kompetensi masing-masing.

4. Mampu menjaga kerahasiaan pasien.

5. Mampu memahami, memberikan penjelasan kepada pasien

atau keluarganya tentang kondisi pasien sesuai hak pasien.

6. Mampu melakukan pekerjaan secara efisien.

2. KEYNOTES:

1. Keberhasilan anestesia pada bedah toraks bergantung pada kondisi prabedah dan
antisipasi terhadap komplikasi yang mungkin timbul selama atau pascabedah.
2. Pada semua pasien harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan prabedah yang
disesuaikan dengan jenis kelainan dan jenis pembedahan.
3. Persiapan prabedah yang optimal dapat menurunkan risiko komplikasi anestesia.
4. Pemantauan yang optimal sangat penting.
5. Komplikasi pascabedah toraks terutama mengenai sistem pernafasan.
6. Nyeri pascabedah yang tidak di atasi dapat meningkatkan komplikasi.
7. Komplikasi pada pasien dengan massa mediastinum berhubungan dengan obstruksi
mekanik oleh massa pada struktur vital di sekitarnya, terutama jalan nafas.
8. Komplikasi pada pasien dengan miastenia gravis terutama akibat patofisiologi
penyakitnya.
9. Komplikasi pada pasien dengan sindrom vena kava superior berhubungan dengan
gangguan hemodinamik akibat obstruksi pada vena kava superior.

3. GAMBARAN UMUM

Anestesia bedah toraks sangat bervariasi, bergantung jenis kelainan dan jenis
pembedahannya. Kasus yang memerlukan pembedahan bervariasi dari kelainan paru
meliputi infeksi; tumor dan trauma atau kelainan nonparu seperti massa mediastinum.
Persamaan dari semua prosedur adalah dibukanya rongga toraks dengan segala
479
konsekuensinya. Seringkali operasi memerlukan ventilasi satu paru yang dapat
menyebabkan perubahan fisiologi yang dapat menimbulkan komplikasi.

4. TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah proses alih pengetahuan, keterampilan dan perilaku melalui modul ini, diharapkan
peserta didik memiliki kemampuan untuk:

1. melaksanakan persiapan preoperatif pasien bedah toraks, elektif maupun darurat

2. menentukan pasien yang layak menjalani ventilasi satu paru

3. menguasai teknik anestesia dengan ventilasi satu paru

4. menguasai teknik anestesia pada pasien dengan massa

mediastinum, termasuk penderita miasthenia gravis dan

sindroma vena kava superior

5. melakukan pemantauan untuk bedah toraks, termasuk yang

menggunakan teknik ventilasi satu paru

6. penatalaksanaan pascaanestesia pasien bedah toraks, termasuk

penatalaksanaan nyeri pascabedah

5. METODE PEMBELAJARAN

Peserta didik sudah harus mempelajari:

1. Bahan acuan

2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran

3. Ilmu klinis dasar

Tujuan 1: Melaksanakan persiapan preoperatif

Metode pembelajaran
1. Diskusi kelompok kecil

2. Peer assisted learning (PAL)

480
3. Bedside teaching

4. Task-based medical education

Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:


1. Mengetahui bahwa pada setiap pasien bedah toraks dapat

terjadi manipulasi rongga toraks maupun paru dengan

implikasi pada perubahan fisiologis pernafasan.

2. Memahami bahwa dalam setiap kegawatan toraks dapat

terlibat beberapa sistem dan organ vital, seperti sistem dan jalan

nafas, paru dan pembuluh-pembuluh

3. Menguasai persiapan-persiapan yang diperlukan sesuai dengan

jenis penyakit dan pembedahan yang akan di jalani, termasuk

bedah toraks darurat.

Tujuan 2: Menenentukan pasien yang layak menjalani ventilasi satu paru

Metode pembelajaran
1. Diskusi kelompok kecil

2. Peer assisted learning (PAL)

3. Bedside teaching

4. Task-based medical education

5. Demo & Coaching

6. Praktek klinis

Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:


1. Memahami perubahan fisiologis yang dapat terjadi selama

ventilasi satu paru dan cara mengatasi komplikasi akibat

perubahan tersebut.

481
2. Mengetahui pasien yang mampu mentoleransi perubahan

fisiologis selama dan sesudah ventilasi satu paru.

3. Mengetahui persiapan dan pemeriksaan yang diperlukan untuk

mengetahui apakah pasien dapat menjalani ventilasi satu paru.

Tujuan 3: Menguasai teknik anestesia dengan ventilasi satu paru

Metode pembelajaran
1. Diskusi kelompok kecil

2. Studi Kasus

3. Bedside teaching

4. Demo & Coaching dengan menggunakan Penuntun Belajar dan

5. Praktek klinis

Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:


Lihat modul anestesia umum (elektif dan darurat).

Cara-cara mengempiskan satu paru, termasuk intubasi double lumen tube


Hypoxic pulmonary vasoconstriction adalah mekanisme tubuh yang dapat mengurangi
ventilation-perfusion mismatch selama ventilasi satu paru
Penggunaan anestetik volatil termasuk hal-hal yang mempengaruhi mekanisme hypoxic
pulmonary vasoconstriction.
Teknik dan prosedur untuk meminimalkan ventilation-perfusion mismatch selama
ventilasi satu paru, termasuk posisi lateral dekubitus pasien.
Teknik mengembangkan kembali paru setelah dikempiskan.
Mengganti double lumen tube dengan ETT biasa untuk prosedur bronkoskopi.

Tujuan 4: Menguasai teknik anestesia pada pasien dengan massa mediastinum

Metode pembelajaran
1. Diskusi kelompok kecil

2. Studi Kasus
482
3. Bedside teaching

4. Demo & Coaching dengan menggunakan Penuntun Belajar dan

5. Praktek klinis

Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:


Teknik intubasi tanpa pelumpuh otot. Posisi pasien tidak selalu supine. Intubasi juga
dapat dilakukan meskipun pasien hanya dapat mentoleransi posisi duduk.
Berbagai prosedur, termasuk sternotomi segera jika terjadi obstruksi total jalan nafas oleh
massa mediastinum.
Pasien dengan sindroma vena kava superior memerlukan perhatian khusus. Pemeriksaan
pencitraan perlu untuk mengetahui struktur vital yang terlibat. Persiapan anestesia
termasuk pembuatan akses vena dari ekstremitas bawah. Posisi kepala selalu 30 di atas
bidang datar.

Tujuan 5: Melakukan pemantauan untuk bedah toraks, termasuk yang menggunakan


teknik ventilasi satu paru

Metode pembelajaran
1. Diskusi kelompok kecil
2. Studi Kasus
3. Bedside teaching
4. Demo & Coaching dengan menggunakan Penuntun Belajar dan
5. Praktek klinis

Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:


lihat modul anestesia umum

Spesifik untuk anestesia bedah toraks:

1. Pemantauan anestesia untuk bedah toraks secara garis besar sama

dengan anestesia untuk pembedahan lain.

2. Perhatian lebih besar terhadap ventilasi dan oksigenasi selama

ventilasi satu paru.

3. Tanda-tanda vital berupa peningkatan tonus simpatis yang

merupakan respons terhadap hiperkapnia.

4. Penilaian kondisi CO2 absorber sebelum dan selama prosedur.

483
5. Pemantauan tanda vital terutama tekanan darah yang dapat

turun ketika mengembangkan paru yang kempis.

Tujuan 6: Penatalaksanaan pascaanestesia pasien bedah toraks

Metode pembelajaran
1. Diskusi kelompok kecil
2. Studi kasus
3. Bedside teaching
4. Demo & Coaching
5. Praktek klinis

Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:


4. Problema yang paling sering timbul pascabedah toraks adalah pernafasan. Semua
parameter yang dapat mengindikasikan gangguan ventilasi maupun oksigenasi harus
dipantau ketat.
5. Penatalaksanaan nyeri pascabedah sangat penting, karena nyeri dapat menjadi pemicu
atau memperberat komplikasi pernafasan.
6. Tanda-tanda vital sedapat mungkin dipantau secara kontinyu agar gangguan pernafasan
maupun hemodinamik dapat segera ditindak.

6. MEDIA

1. Kursus / pelatihan.

Pelatihan di skill lab, intubasi double lumen tube pada manikin.

16. Belajar mandiri.


17. Kuliah .
Kuliah khusus penatalaksanaan anestesia toraks termasuk

semua subpokok bahasan dilakukan semester 6.

18. Diskusi kelompok


Laporan dan diskusi tentang problema preoperatif , penatalaksanaan

jalan nafas, anestesia umum, intubasi dengan double lumen tube,

ventilasi satu paru, pemantauan dan penatalaksanaan pascabedah dan

tatalaksana nyeri.

484
19. Pemeriksaan preoperatif.
20. Bimbingan pembiusan dan asistensi di kamar operasi.
Pelatihan di kamar bedah intubasi double lumen tube, dengan

bimbingan dan pengawasan staf pengajar.

21. Tugas baca dan tulisan (tinjauan pustaka, journal reading).


22. Laporan kasus, morbiditas dan mortalitas.
23. CPD

7. ALAT BANTU PEMBELAJARAN

Perpustakaan, internet, skill lab

8. EVALUASI

8.1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-tes dalam bentuk esai dan lisan untuk menilai
kinerja awal peserta didik dan melakukan identifikasi kekurangan yang ada. Materi pre-
tes terdiri atas :

12. Persiapan preoperatif


13. Penentuan pasien yang layak menjalani ventilasi satu paru
14. Teknik anestesia dengan ventilasi satu paru
15. Teknik anestesia pada pasien dengan massa mediastinum, termasuk penderita
miastenia gravis dan sindroma vena kava superior
16. Pemantauan untuk bedah toraks, termasuk yang menggunakan teknik ventilasi satu
paru
17. Penatalaksanaan pascaanestesia pasien bedah toraks, termasuk tatalaksana nyeri
pascabedah

8.2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang
teridentifikasi, membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.

8.3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam penuntun belajar
pada manikin anestesia bersama teman-temannya (peer assisted learning), dievaluasi
oleh teman-temannya (peer assisted evaluation).

8.4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di bawah
pengawasan fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien sesungguhnya.
Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan langsung dan mengisi lembar
penilaian:

- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa

485
langkah tidak dilakukan

- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien,

misalnya tindakan anestesia tidak mulus sehingga kurang

memberi kenyamanan kepada pasien

- Baik : pelaksanaan benar, baik dan efisien

8.5. Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.

8.6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun belajar.

8.7. Pendidik/fasilitator melakukan :

- Pengamatan langsung dengan memakai ceklis evaluasi (terlampir)

- Diskusi dan penjelasan lisan dari peserta didik

- Kriteria penilaian keseluruhan : baik/cukup/kurang

8.8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan atau
diberi tugas untuk memperbaiki kinerja.

8.9. Pencapaian pembelajaran :

Isi pre-tes :

32. Jelaskan persiapan preoperatif pasien bedah toraks, meliputi anamnesis, pemeriksaan
fisis dan penunjang yang tepat serta terapi yang diperlukan sebelum pembedahan.
33. Jelaskan hubungan antara hasil spirometri dengan risiko bedah toraks.
34. Jelaskan kondisi-kondisi yang dapat menjadi penyulit selama anestesia dan
pembedahan toraks.
35. Jelaskan kondisi pasien yang tidak layak untuk menjalani bedah toraks dan ventilasi
satu paru.
36. Jelaskan persiapan alat anestesia yang diperlukan untuk anestesia bedah toraks.
37. Jelaskan teknik anestesia untuk ventilasi satu paru.
38. Jelaskan pembagian anatomi rongga medastinum dan implikasinya pada anestesia.
39. Jelaskan teknik anestesia untuk massa mediastinum sesuai lokasi massanya.
40. Jelaskan tentang penyakit miastenia gravis dan hubungannya dengan anestesia.
41. Jelaskan tentang sindroma vena kava superior dan teknik anestesia yang sesuai pada
pasien dengan kelainan ini.
42. Jelaskan pemantauan yang sesuai untuk bedah toraks, termasuk yang menggunakan
teknik ventilasi satu paru.
43. Jelaskan penatalaksanaan pascaanestesia pasien bedah toraks,
44. Jelaskan tatalaksana nyeri pascabedah toraks.

486
Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan

Bentuk ujian :

- Ujian akhir stase/ rotasi pos-tes tertulis dan ujian pasien


- Ujian akhir profesi
Bisa dalam bentuk :

1. PengetahuanKognitif

- MCQ
- EMQ
Ujian lisan

- Multiple observation and assessments


- OSCE
- Minicheck
2. Skill

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
- OSCE
- Minicheck
3.Communication and Interpersonal Skills

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
4.Profesionalisme

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers

9. DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Tindakan / operasi :

487
No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia Sudah Belum
dilakukan dilakukan

PERSIAPAN PRAANESTESIA

1 Anamnesis, periksaan fisis, pemeriksaan penunjang

2 Penentuan ASA :

3 Persiapan alat, mesin pembiusan, STATICS, obat

4 Pemasangan monitor

5 Interpretasi hasil monitor

ANESTESIA

1 Anestesia umum (intubasi ETT/ DLT)

2 Anestesia

3 Anestesia intravena

4 Pemberian cairan dan transfusi

5. Pemanatauan fungsi vital, kesadaran, kardiovaskular,


pernafasan. Tekanan darah, nadi, Saturasi Hb (SpO2),
ventilasi (ETCO2 bila ada), jumlah urin, suhu

6. Pengakhiran anestesia, masa siuman

7. Tindakan ekstubasi

5 Komplikasi dan penanganannya

PENATALAKSANAAN PASCABEDAH

1 Pengawasan ABC dan tanda vital pascabedah

2 Penanganan komplikasi, respirasi, kardiovaskular,


kesadaran, metabolik, gastrointestinal (mual muntah)
dan nyeri pascabedah

3 Penetapan kriteia untuk laik boleh dipulangkan.

Catatan: sudah / belum dikerjakan beri tanda ( )

10. DAFTAR TILIK

488
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda X bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan

Memuaskan Langkah / tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau penuntun

X Tidak memuaskanTidak mampu untuk mengerjakan langkah /tugas sesuai dengan prosedur
standard atau penuntun

T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dialakukan oleh peserta latih
selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal

Nama pasien No Rekam Medis

No DAFTAR TILIK Kesempatan ke


Kegiatan / langkah klinis 1 2 3 4 5

489
Peserta dinyatakan: Tanda tangan pelatih

Layak

Tidak layak

Melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

11. MATERI ACUAN: ANESTESIA BEDAH TORAKS

Pasien yang menjalani bedah toraks harus dilakukan pemeriksaan preoperatif : anamnesis,
pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang, persetujuan setelah mendapatkan informasi yang
adekuat dan dilakukan persiapan anestesia (inhalasi, puasa, rencana premedikasi). Pasien
dewasa dipuasakan 6 8 jam, anak-anak 4, 6, 8 jam. Dilakukan penetapan status fisis ASA
dan persetujuan setelah mendapatkan informasi yang adekuat. Persiapan anestesia (statics,
obat, mesin anestesia). Setelah semua persiapan alat dan obat lengkap, pastikan ada asisten
yang membantu tindakan anestesia.

Pasang jalur intravena dan infusi. Lakukan pemantauan fungsi vital oksigenasi, saturasi Hb
(SpO2), tekanan darah, nadi, EKG, suhu, ETCO2 kalau ada. Premedikasi dapat diberikan
secara intravena. Untuk pasien yang tidak ada problema obstruksi atau potensi obstruksi jalan
nafas, lakukan anestesia umum sesuai modul pada anestesia umum. Untuk pasien yang perlu
ventilasi satu paru intubasi dilakukan dengan Double Lumen Tube (DLT). Teknik anestesia
sedikit berbeda pada massa mediastinum anterior, miastenia gravis atau sindroma vena kava
superior.

Selama anestesia selalu dilakukan pemantauan oksigenasi dengan saturasi Hb (SpO2),


tekanan darah, nadi, EKG, suhu, aliran cairan infusi, ventilasi dengan ETCO2 kalau ada,
produksi urin, jumlah perdarahan. Setidaknya satu kali selama anestesia dilakukan
pemeriksaan analisis gas darah. Atur kebutuhan cairan, obat untuk pertahankan sedasi,

490
analgesia dan relaksasi. Harus diingat bahwa tanpa perdarahan berarti pun, kehilangan cairan
dapat hebat ketika rongga toraks terbuka.

Pada akhir operasi, jika menggunakan DLT harus diganti dengan ETT biasa untuk tindakan
bronkoskopi dan penghisapan sekret. Sebelum anestesia berakhir pastikan analgesia
pascabedah telah dimulai. Anelgesia pascabedah dapat diberikan melalui kateter epidural,
blok saraf interkostal, infiltrasi analgetik lokal, bolus analgetik intravena, infusi kontinyu
analgetik (opioid atau morfin) maupun kombinasi beberapa hal tersebut.

Pascabedah umumnya pasien memerlukan perawatan intensif untuk pemantauan ketat


pernafasan dan hemodinamik. Analgesia pascabedah sangat krusial karena dapat memicu
atau meningkatkan morbiditas.

Mortalitas dapat terjadi bergantung pada kondisi awal dan status fisis, penyakit penyerta atau
trauma operasi.

12. REFERENSI

1.Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical

Anaesthesiology, 3th ed, New York: Lange Medical

Books/McGraw-Hill; 2002

2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006

3.Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005

4.Kaplan JA, Slinger PD. Thoracic Anesthesia, 3rd ed, 2003

491
Modul 26 ANESTESIA BEDAH KARDIOTORASIK
II

(MODUL PILIHAN)

Mengembangkan kompetensi Waktu (semester 6)

Sesi di dalam kelas 4 X 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasilitasi pembimbing 4 X 1 (coaching session)

Sesi praktek dan pencapaian 8 pekan (facilitation & assessment)


kompetensi

Persiapan Sesi

Audiovisual Aid :
11. LCD proyektor dan layar
12. Laptop
13. OHP
14. Flipchart
15. Pemutar video

Materi presentasi : CD powerpoint


1. Anatomi dan fisiologi jantung normal

2. Pembagian penyakit jantung

3. Penyakit jantung koroner

4. Kelainan katup jantung

5. Penyakit jantung bawaan

6. Berbagai jenis operasi jantung

7. Anestesia pada pembedahan koroner

8. Anestesia pada pembedahan katup jantung

492
9. Anestesia pada pembedahan penyakit jantung bawaan

10. Pemantauan hemodinamik

11. Perawatan pascabedah jantung bawaan

12. Kedaruratan kardiovaskular perioperatif

13. CardioPulmonary Bypass (CPB)

14. Obat-obat kardiovaskular

Sarana :

10. Ruang belajar


11. Ruang perawatan prabedah
12. Kamar operasi jantung
13. Ruang perawatan intensif pascabedah jantung

Kasus : anestesia pasien langsung , di kamar operasi


Alat bantu latih : model anatomi /simulator
Penuntun belajar : lihat materi acuan
Daftar tilik kompetensi : lihat daftar tilik
Referensi :
1.Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical

Anaesthesiology, 3th ed, New York: Lange Medical

Books/McGraw-Hill; 2002

2.Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006

3.Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005

4.Kaplans Cardiac Anesthesia, 5th ed, Saunders, 2006

5.Lake CL, Booker PD. Pediatric Cardiac Anesthesia. 4th ed, 2005

1. KOMPETENSI

493
Mampu melakukan persiapan preoperatif pasien dengan kelainan jantung dengan optimal
(termasuk persetujuan setelah mendapatkan informasi yang adekuat), baik untuk bedah kardiak
maupun nonkardiak, melakukan pemantauan yang baik dan tepat, melakukan pemasangan dan
interpretasi monitor invasif serta penatalaksanaan pascabedah pasien bedah jantung, mampu
berespons adekuat dalam kegawatan kardiovaskular dan mampu menggunakan obat-obat
kardiovaskular dengan tepat.

RANAH KOMPETENSI

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi dalam ranah-ranah berikut
ini :

Kognitif

1. Mampu menjelaskan anatomi dan fisiologi jantung normal


2. Mampu menjelaskan pembagian penyakit-penyakit jantung.
3. Mampu menjelaskan tentang penyakit jantung koroner beserta patofisiologi, risiko dan
komplikasi dihubungkan dengan anestesia
4. Mampu menjelaskan berbagai kelainan katup jantung beserta patofisiologinya
5. Mampu menjelaskan berbagai penyakit jantung bawaan yang sering dijumpai
6. Mampu menjelaskan berbagai jenis operasi jantung, terbuka maupun tertutup
7. Mampu menjelaskan persiapan prabedah jantung dewasa
8. Mampu menjelaskan persiapan prabedah jantung anak
9. Mampu menjelaskan anestesia pada penderita kelainan jantung pada pembedahan non
jantung.
10. Mampu menjelaskan secara garis besar anestesia pada pembedahan koroner
11. Mampu menjelaskan secara garis besar anestesia pada pembedahan katup jantung
12. Mampu menjelaskan secara garis besar anestesia pada pembedahan penyakit jantung
bawaan
13. Mampu menjelaskan prinsip kerja dan komplikasi teknik pintas jantung-paru
(cardiopulmonary bypass)
14. Mampu menjelaskan pemantauan hemodinamik yang diperlukan sebelum, selama dan
sesudah bedah jantung
15. Mampu menjelaskan prinsip perawatan pascabedah jantung
16. Mampu menjelaskan keadaan yang dimaksud dengan kedaruratan kardiovaskular
perioperatif
17. Mampu menjelaskan berbagai obat-obat kardiovaskular dan penggunaannya

Psikomotor

13. Mampu melakukan pemeriksaan preoperatif pasien untuk bedah jantung, meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisis dan penunjang yang tepat.
14. Mampu menilai kelayakan anestesia untuk bedah jantung dan bedah non jantung.

494
15. Mampu menentukan pasien yang berisiko tinggi untuk tindakan bedah jantung dan
bedah nonjantung.
16. Mampu melakukan persiapan preoperatif bedah jantung dan bedah nonjantung,
termasuk menentukan puasa dan premedikasi, dengan pengawasan dan persetujuan
konsulen .
17. Mampu mempersiapkan peralatan dan obat-obatan yang diperlukan untuk anestesia
bedah jantung dan bedah non jantung, atas persetujuan konsulen.
18. Mampu melakukan pemantauan yang baik dan sesuai untuk anestesia bedah jantung dan
bedah nonjantung, dengan pengawasan ketat konsulen.
19. Mampu melakukan pemasangan monitor invasif, seperti pemasangan kateter vena
sentral (CVC) dan kanul arterial untuk pemantauan tekanan darah arterial, di bawah
supervisi konsulen.
20. Mampu melakukan penatalaksanaan pascabedah pasien bedah jantung dan bedah non
jantung, dengan supervisi ketat konsulen.
21. Mampu mengenali tanda-tanda komplikasi yang dapat timbul pascabedah jantung.
22. Mampu melakukan tindakan penyelamatan nyawa, termasuk RJP pada kegawatan
kardiovaskular sebelum, selama dan sesudah operasi bedah jantung dan bedah non
jantung.
23. Mampu menggunakan obat-obat kardiovaskular dengan tepat indikasi, tepat dosis dan
tepat cara pemberian.

Komunikasi/Hubungan Interpersonal

6. Mampu menjelaskan kepada pasien dan keluarganya tentang kondisi prabedah pasien,
tindakan anestesia yang akan dilakukan serta risiko yang dapat timbul pada pasien
bedah jantung dan bedah nonjantung.
7. Mampu menjelaskan pada pasien atau keluarga pasien tentang garis besar tindakan
pembedahan dan penggunaan teknik CPB beserta risiko dan komplikasinya.
8. Mampu memberikan penjelasan kepada rekan sejawat atau konsulen tentang kondisi
pasien untuk kemungkinan pemeriksaan tambahan, pemberian obat-obatan atau upaya
optimalisasi kondisi pasien.
9. Mampu menjelaskan tentang kondisi pasien kepada operator sebelum operasi, terutama
untuk mencegah terjadi keadaan atau kondisi pasien yang tidak diinginkan.
10. Mampu berinteraksi atas dasar saling menghormati dan menciptakan kondisi kerjasama
tim yang terlibat di kamar bedah.

Profesionalisme

6. Mampu bekerja sesuai prosedur.


7. Mampu berespons secara cepat dan tepat terhadap segala kondisi kegawatan.
8. Mampu bekerja dengan kemampuan tertinggi yang dimiliki, demi mengutamakan
keselamatan pasien.
9. Mampu berinteraksi dengan sejawat lain maupun paramedis dan tenaga kesehatan lain
atas dasar saling menghormati kompetensi masing-masing.
10. Mampu menjaga kerahasiaan pasien.

495
11. Mampu memahami, memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarganya tentang
kondisi pasien sesuai hak pasien.
12. Mampu melakukan pekerjaan secara efisien.

2. KEYNOTES :

10. Bedah jantung mencakup serangkaian tindakan yang kompleks dan dapat menyebabkan
perubahan anatomik maupun hemodinamik yang dramatis sesudahnya.
11. Anestesia pada bedah jantung dan bedah nonjantung juga sangat bervariasi, bergantung
pada diagnosis, kondisi pasien dan jenis operasi yang akan dijalani.
12. Pada semua pasien harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan prabedah yang
disesuaikan dengan jenis kelainan dan jenis pembedahan.
13. Persiapan prabedah yang optimal dapat menurunkan risiko komplikasi anestesia.
14. Pemantauan hemodinamik secara kontinyu adalah krusial.
15. Komplikasi pascabedah jantung dan bedah nonjantung menyangkut semua sistem dan
organ tubuh.

3. GAMBARAN UMUM

Bedah jantung adalah kerja tim yang memerlukan keterlibatan penuh ahli bedah, anestetis,
perfusionis dan tenaga medis lain. Prosedur anestesia untuk bedah jantung dan bedah non
jantung pada pasien dengan kelainan jantung sangat bervariasi, bergantung diagnosis,
kondisi klinis dan jenis pembedahannya. Penatalaksanaan anestesia bedah jantung dan
bedah nonjantung pada pasien dengan kelainan jantung adalah penatalaksanaan
perioperatif. Seorang anestetis yang akan memberikan anestesia bedah jantung dan
bedah nonjantung harus terlibat sejak prabedah, selama pembedahan maupun
pascabedah. Pada pasien dengan kelainan jantung, kedaruratan dapat terjadi setiap saat.
Oleh karena itu seorang anestetis harus menguasai benar RJP dan obat-obat
kardiovaskular.

4. TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah proses alih pengetahuan, keterampilan dan perilaku melalui modul ini, diharapkan
peserta didik memiliki kemampuan untuk:

5. menilai kelayakan pasien untuk menjalani bedah jantung dan bedah nonjantung pada
pasien dengan kelainan jantung
6. melaksanakan penatalaksanaan perioperatif pasien bedah jantung dan bedah non
jantung pada pasien dengan kelainan jantung, di bawah supervisi konsulen (konsultan
anestesia kardiovaskular)
7. memberi penjelasan yang adekuat kepada pasien atau keluarga pasien tentang hal-hal
yang berhubungan dengan pembedahan, menyangkut risiko dan kemungkinan

496
komplikasi yang berhubungan dengan anestesia, CPB maupun teknik pembedahannya
sendiri
8. melakukan pemasangan dan interpretasi pemantauan untuk bedah jantung, invasif
maupun tidak
9. melakukan penatalaksanaan pascabedah jantung
10. mendeteksi dan melakukan tindakan penyelamatan dengan cepat dan tepat pada
kegawatan kardiovaskular
11. menggunakan obat-obat kardiovaskular secara tepat

5. METODE PEMBELAJARAN

Materi yang harus dikuasai peserta didik :

Bahan acuan

Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran

Ilmu klinis dasar

Tujuan 1 : Menentukan kelayakan pasien untuk menjalani bedah jantung dan bedah non
jantung pada pasien dengan kelainan jantung

Metode pembelajaran
Diskusi kelompok kecil
Peer assisted learning (PAL)
Bedside teaching
Task-based medical education
Demo & Coaching
Praktek klinis
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
7. Menguasai klasifikasi NYHA.
8. Memahami bahwa kondisi yang optimal bagi pasien dengan kelainan jantung dapat
sangat individual.
9. Memahami bahwa kondisi tertentu mungkin tidak dapat mentoleransi anestesia,
pembedahan atau digunakannya teknik CPB.
10. Menguasai batas nilai-nilai berbagai parameter yang dapat mentoleransi bedah jantung.
11. Menguasai persyaratan penghentian beberapa medikamentosa prabedah atau konversi
obat perioperatif.

497
Tujuan 2: Melaksanakan persiapan preoperatif bedah jantung dan bedah nonjantung
pada pasien dengan kelainan jantung

Metode pembelajaran
Diskusi kelompok kecil
Peer assisted learning (PAL)
Bedside teaching
Task-based medical education
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Memahami bahwa operasi jantung adalah tindakan berisiko tinggi terhadap pasien yang
juga berisiko tinggi dan dapat meningkat oleh karena faktor-faktor tambahan, seperti
kebiasaan/gaya hidup, usia, kelainan endokrin, kelainan ginjal dll.
2. Menguasai teknik anamnesis yang sesuai untuk kelainan jantung yang bertujuan
mengetahui beratnya penyakit, faktor risiko dan penyulit lain.
3. Memahami interpretasi hasil pemeriksaan penunjang.
4. Menguasai persiapan prabedah jantung, termasuk pemeriksaan tambahan yang
diperlukan, pemberian premedikasi dan penentuan puasa, penghentian obat-obat oral
prabedah.

Tujuan 3: Menguasai teknik memberikan penjelasan yang adekuat tentang risiko dan
kemungkinan komplikasi yang berhubungan dengan anestesia, CPB maupun teknik
pembedahannya sendiri

Metode pembelajaran
Diskusi kelompok kecil

Studi kasus

Bedside teaching

Demo & Coaching dengan menggunakan penuntun belajar dan

Praktek klinis

Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:


Memberi pendidikan kepada pasien dan keluarganya tentang kelainan jantung yang diderita,
dalam bahasa yang difahami pasien.

Memberi penjelasan tentang faktor-faktor risiko yang dimiliki pasien yang dapat menjadi
penyulit anestesia maupun keseluruhan prosedur pembedahan, dalam bahasa yang
difahami pasien.
498
Memberi penjelasan kepada sejawat yang merawat pasien tentang penatalaksanaan prabedah
yang diperlukan.

Memberi penjelasan kepada tim bedah tentang risiko maupun penyulit pada pasien dan
mendiskusikan cara-cara untuk mengurangi komplikasi yang dapat timbul.

Tujuan 4: Melakukan pemasangan dan interpretasi pemantauan, invasif maupun tidak


untuk bedah jantung dan bedah non jantung pada pasien dengan kelainan jantung

Metode pembelajaran
Diskusi kelompok kecil
Studi kasus
Bedside teaching
Demo & Coaching dengan menggunakan penuntun belajar dan
Praktek klinis
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Menguasai operasional semua alat monitor yang ada. Monitor standard untuk bedah
jantung memiliki minimal 8 channels (EKG 2 leads, 2 invasif pressure, SpO2, suhu,
ETCO2, RR/ NIBP).
2. Mempersiapkan peralatan untuk pemantauan kontinyu, termasuk pemasangan transducer
line. Pressure bag diatur hingga tekanan 300 mmHg dan cairan transducer adalah
kristaloid berisi 500-1000 IU heparin per 500 ml.
3. Mempersiapkan perlatan untuk insersi pemantauan invasif. Ukuran CVC dan kanula
arterial disesuaikan dengan umur dan berat badan pasien. CVC minimal 2 lumen, satu
untuk pemantauan kontinyu dan satu lumen untuk jalur obat infusi.
4. Menguasai teknik insersi kateter vena sentral (CVC) dan kanula arterial, di bawah
pembiusan maupun analgetik lokal. Insersi CVC dianjurkan melalui v. jugularis atau vena
subklavia. Insersi kanula arterial dapat melalui a. radialis, a. brakialis atau a. femoralis.
5. Menguasai proses kalibrasi pemantauan invasif.
6. Melakukan pemantauan noninvasif (suhu inti tubuh, produksi urin, SpO2) harus
dilakukan secara kontinyu. Penggunaan CPB dan kardioplegia memerlukan hipotermia.
Suhu ruangan yang dapat diatur adalah krusial. Pada periode rewarming suhu pasien
pun ditingkatkan bertahap. Penggunaan blanket roll/heater-cooler blanket juga
keharusan.
7. Menguasai interpretasi hasil pemantauan kontinyu dan berespons cepat terhadap
perubahan nilai parameter yang mengancam nyawa.
8. Setiap bentuk aritmia harus diwaspadai. Aritmia yang mengancam nyawa harus diatasi,
dengan defibrilasi/ kardioversi; baik internal (ketika rongga toraks terbuka) maupun
eksternal (ketika toraks utuh); atau dengan medikamentosa.

499
Tujuan 5: Melakukan penatalaksanaan pascabedah jantung dan bedah nonjantung pada
pasien dengan kelainan jantung

Metode pembelajaran

Diskusi kelompok kecil


Studi Kasus
Bedside teaching
Demo & Coaching dengan menggunakan penuntun belajar
Praktek klinis

Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:


1. Semua pasien pascabedah jantung memerlukan perawatan intensif guna pemantauan ketat
dan kontinyu, terutama hemodinamik dan oksigenasi/ ventilasi.
2. Komplikasi pascabedah dapat berupa perdarahan, aritmia, low cardiac output syndrome,
strok, sepsis atau gagal multiorgan. Kemampuan mendeteksi dini semua hal tersebut
harus dimiliki semua peserta didik.
3. Semua peserta didik harus mampu mengenali tanda-tanda tamponade jantung dan krisis
hipertensi pulmonal, sehingga dapat berespons segera.
4. Nyeri dapat menyebabkan peningkatan tonus simpatis yang dapat memicu komplikasi
hemodinamik pascabedah. Tatalaksana nyeri pascabedah dapat dilakukan dengan infusi
kontinyu opioid atau morfin atau blok epidural toraksal.
5. Nyeri juga dapat menghambat imobilisasi pasien. Inhalasi, fisioterapi dada dan
penghisapan lendir harus sering dilakukan.

6. MEDIA

24. Kursus / pelatihan.


Pelatihan di skill lab, insersi CVC dan kanula arterial pada manikin.

25. Belajar mandiri.


26. Kuliah .
Kuliah khusus penatalaksanaan perioperatif anestesia bedah jantung termasuk semua
subpokok bahasan dilakukan di semester 6.

27. Diskusi kelompok


Laporan dan diskusi tentang problema preoperatif, anestesia umum, pemantauan,
penatalaksanaan pascabedah dan tatalaksana nyeri, kegawatan perioperatif, obat-obat
kardiovaskular.

28. Pemeriksaan preoperatif, persetujuan setelah mendapatkan informasi yang adekuat,


premedikasi.
29. Demonstrasi pembiusan dan asistensi di kamar operasi.

500
Pelatihan di kamar bedah insersi CVC dan kanula arterial, dengan bimbingan dan
pengawasan konsulen/ konsultan anestesia kardiovaskular.

30. Tugas baca dan tulisan (tinjauan pustaka, journal reading).


31. Laporan kasus, morbiditas dan mortalitas.
32. Continuing Profesional Development (CPD)

7. ALAT BANTU PEMBELAJARAN

Perpustakaan, internet, skill lab

8. EVALUASI

8.1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-tes dalam bentuk esai dan lisan untuk menilai kinerja
awal peserta didik dan melakukan identifikasi kekurangan yang ada. Materi pre-tes terdiri
atas :

18. kelayakan pasien untuk menjalani bedah jantung dan bedah nonjantung pada pasien
dengan kelainan jantung
19. penatalaksanaan perioperatif pasien bedah jantung dan bedah nonjantung pada pasien
dengan kelainan jantung
20. risiko dan kemungkinan komplikasi yang berhubungan dengan anestesia, CPB maupun
teknik pembedahan jantung
21. pemantauan invasif maupun noninvasif untuk bedah jantung
22. penatalaksanaan pascabedah jantung dan bedah nonjantung pada pasien dengan
kelainan jantung
23. kedaruratan kardiovaskular
24. obat-obat kardiovaskular

8.2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang
teridentifikasi, membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.

8.3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam penuntun belajar
pada manikin anestesia bersama teman-temannya (peer assisted learning), dievaluasi
oleh teman-temannya (peer assisted evaluation).

8.4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di bawah
pengawasan fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien sesungguhnya.
Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan langsung dan mengisi lembar
penilaian:

- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak dilakukan

501
- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya tindakan anestesia
tidak mulus sehingga kurang memberi kenyamanan kepada pasien

- Baik : pelaksanaan benar, baik dan efisien

8.5. Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.

8.6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun belajar.

8.7. Pendidik/fasilitator melakukan :

- Pengamatan langsung dengan memakai ceklis evaluasi (terlampir)

- Diskusi dan penjelasan lisan dari peserta didik

- Kriteria penilaian keseluruhan : baik/cukup/kurang

8.8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan atau
diberi tugas untuk memperbaiki kinerja.

8.9. Pencapaian pembelajaran :

Isi pre-tes :

1. Jelaskan pembagian kelainan jantung.


2. Jelaskan pembagian kelas fungsional menurut NYHA.
3. Jelaskan obat-obat yang harus dihentikan sebelum bedah jantung dan berapa lama.
4. Jelaskan risiko dan kemungkinan komplikasi yang berhubungan dengan anestesia,
CPB maupun teknik pembedahan jantung.
5. Jelaskan pemantauan invasif maupun noninvasif yang harus ada untuk bedah
jantung.
6. Jelaskan komplikasi yang sering terjadi pascabedah jantung.
7. Jelaskan hal-hal yang dapat disebut kedaruratan kardiovaskular.
8. Sebutkan contoh obat-obat kardiovaskular:
- golongan inotropik
- golongan vasokonstriktor
- golongan vasodilator
- golongan inodilator
- golongan antiaritmia

Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan

502
Bentuk ujian :

- Ujian akhir stase/ rotasi pos-tes tertulis dan ujian pasien


- Ujian akhir profesi
Bisa dalam bentuk :

1. Pengetahuan kognitif

- MCQ
- EMQ
Ujian lisan

- Multiple observation and assessments


- OSCE
- Minicheck
2. Skill

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
- OSCE
- Minicheck
3.Communication and interpersonal skills

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
4.Profesionalisme

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers

9. DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia Sudah Belum


dilakukan dilakukan

PERSIAPAN PRAANESTESIA

1 Anamnesis, periksaan fisis, pemeriksaan penunjang,


persetujuan setelah mendapatkan informasi yang
adekuat

2 Penentuan NYHA

503
3 Persiapan alat, mesin anestesia, STATICS, obat

4 Pemasangan monitor noninvasif

5 Interpretasi hasil monitor

ANESTESIA

1 Anestesia umum (intubasi ETT)

2 Insersi CVC

3 Insersi kanula arterial

4 Pemberian cairan dan transfusi

5. Pemanatauan fungsi vital, hemodinamik, ventilasi,


oksigenasi.

Tekanan darah arteri, laju nadi, segmen ST, irama


jantung. Saturasi Hb (SpO2), ventilasi (ETCO2 bila
ada), jumlah urin, suhu inti

6. Pengakhiran anestesia, kestabilan hemodinamik,


oksigenasi, perdarahan

7. Transportasi pasien ke ICU

PENATALAKSANAAN PASCABEDAH

1 Tekanan darah arteri, CVP, PAP (kalau ada), SPO2,


ETCO2 (kalau ada), perdarahan, produksi urin,
pemeriksaan laboratorium, Xray, kesadaran/
neurologik, usaha nafas.

2 Komplikasi dan penanganannya

low cardiac output syndrome, krisis hipertensi


pulmonal, tamponade jantung, aritmia

3 Penetapan kriteia untuk layak ekstubasi, layak keluar


ICU.

Catatan: sudah / belum dikerjakan beri tanda ( )

504
10. DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda X bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan

Memuaskan Langkah / tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau penuntun

X Tidak memuaskanTidak mampu untuk mengerjakan langkah /tugas sesuai dengan prosedur
standard atau penuntun

T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dialakukan oleh peserta latih
selama penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal

Nama pasien No Rekam Medis

No DAFTAR TILIK Kesempatan ke


Kegiatan / langkah klinis 1 2 3 4 5

505
Peserta dinyatakan: Tanda tangan pelatih

Layak

Tidak layak

Melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

11. MATERI ACUAN: ANESTESIA BEDAH JANTUNG

Bedah jantung mencakup serangkaian tindakan yang kompleks dan dapat menyebabkan
perubahan anatomik maupun hemodinamik yang dramatis sesudahnya. Anestesia pada bedah
jantung sangat bervariasi, bergantung pada diagnosis, kondisi pasien dan jenis operasi yang akan
dijalani. Pada semua pasien harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan prabedah untuk
mengetahui derajat beratnya penyakit, mempertimbangkan risiko dan kemungkinan komplikasi
serta merencanakan tindakan anestesia yang tepat. Status kelas fungsional menurut NYHA harus
ditentukan. Pemeriksaan penunjang harus memberi petunjuk fungsi sistem dan organ-organ vital,
misalnya sistem koagulasi darah, fungsi ginjal, pernafasan, dsb.

Persiapan prabedah yang optimal dapat menurunkan risiko komplikasi anestesia. Fungsi
pernafasan yang buruk sebaiknya diterapi dulu dengan inhalasi, fisioterapi, terapi oksigen dan
bila perlu antibiotika.

Pasien yang mendapat antidiabetika oral harus dikonversi dengan insulin, setidaknya 24 jam
sebelum pembedahan. Diuretika sebaiknya dihentikan. Antihipertensi dapat diteruskan hingga
pagi sebelum operasi. Demikian pula obat antiaritmia. Obat-obat antikoagulan oral harus sudah
dihentikan 1 pekan sebelum pembedahan. Jika pasien mempunyai risiko trombosis dapat
diberikan heparin. Pemberian heparin dihentikan 6 jam prabedah.

506
Persetujuan setelah mendapatkan informasi yang adekuat adalah mutlak. Pasien dan keluarganya
harus mengerti benar prosedur anestesia dan pembedahan yang akan dijalani, risiko yang
dimiliki pasien dan kemungkinan komplikasi yang mungkin terjadi. Premedikasi disesuaikan.
Pada pasien dengan kondisi yang sangat buruk tidak perlu diberikan premedikasi. Penentuan
puasa sama dengan operasi yang lain.

Pemantauan tanda-tanda vital harus segera dilakukan begitu pasien tiba dalam kamar bedah.
EKG, SpO2, NIBP segera dipasang. Dalam bedah jantung diperlukan pemantauan hemodinamik
invasif dan kontinyu. Insersi CVC dan kanula arterial dapat dilakukan sebelum induksi, terutama
pada pasien dengan kondisi yang buruk. Pemasangan CVC dan kanula arterial pada anak-anak
dilakukan setelah induksi dan intubasi.

CVC juga sangat berguna untuk jalur pemberian obat-obatan. Seringkali sejak awal diperlukan
pemberian inotropik untuk menjaga hemodinamik pasien. Obat-obat lain, seperti antiperdarahan,
antiinflamasi dll diberikan sebelum CPB dimulai.

Induksi pada bedah jantung dapat dilakukan dengan berbagai obat, namun dianjurkan dengan
dosis titrasi. Patut dihindari obat-obat yang sangat menekan fungsi kardiovaskular. Analgesia
yang baik adalah krusial, karena itu digunakan analgetik yang kuat (opioid). Pelumpuh otot
disesuaikan dengan efeknya pada hemodinamik dan lama kerjanya.

Komplikasi pascabedah jantung dapat sangat luas, bukan hanya menyangkut sistem
kardiovaskular namun juga semua sistem dan organ tubuh. Perawatan intensif pascabedah
bertujuan untuk stabilisasi hemodinamik. Pemantauan ketat dan kontinyu harus dilakukan untuk
semua sistem dan organ. Deteksi dini keadaan yang dapat membahayakan nyawa diikuti dengan
respons yang cepat.

12. REFERENSI

1.Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical

Anaesthesiology, 3th ed, New York: Lange Medical

Books/McGraw-Hill; 2002

2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006

3.Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005

4.Kaplans Cardiac Anesthesia, 5th ed, Saunders, 2006

5.Lake CL, Booker PD. Pediatric Cardiac Anesthesia. 4th ed, 2005

507
Modul 27 ANESTESIA BEDAH
DARURAT

Mengembangkan kompetensi Waktu (semester 3)

Sesi di dalam kelas 2 X 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasilitasi pembimbing 3 X 2 (coaching session)

Sesi praktek dan pencapaian kompetensi 4 pekan (facilitation & assessment)

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

1. LCD proyektor dan layar


2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Pemutar video
Materi presentasi:

CD power point

Sarana:

1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang radiologi
4. Ruang ECT RS Jiwa
5. Ruang pulih
6. Bangsal rawat inap/pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang bedah darurat

Alat bantu latih : model anatomi /simulator

508
Penuntun belajar : lihat acuan materi

Daftar tilik kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

1. Donegan JH. Manual of Anesthesia for Darurat Surgery. New York: Churchill
Livingstone; 1987.

TUJUAN UMUM

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu memberikan anestesia untuk bedah darurat.

TUJUAN KHUSUS

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi dalam ranah-ranah berikut ini
:

Kognitif

2. Mengetahui alat pemantauan dan obat-obatan apa yang perlu diadakan di kamar operasi
bedah darurat.
3. Memahami persiapan anestesia untuk operasi bedah darurat
4. Memahami teknik anestesia untuk operasi bedah darurat baik anestesia umum atau
analgesia regional.
5. Memahami komplikasi anestesia untuk operasi bedah darurat
6. Memahami kasus-kasus yang dilakukan operasi bedah darurat.

Psikomotor

1. Mampu melakukan persiapan obat dan alat untuk memberikan anestesia operasi
bedah darurat
2. Mampu melakukan persiapan pemberian anestesia untuk operasi bedah darurat
3. Mampu memberikan anestesia untuk bedah darurat baik anestesia umum atau
analgesia regional.
4. Mampu mengatasi komplikasi anestesia untuk operasi bedah darurat

Mampu melakukan komunikasi

1. Berkomunikasi dengan ahli bedah bila terjadi komplikasi .

Profesionalisme

1. Mampu mengenali dan memahami urgensi dari komplikasi yang terjadi.


2. Memberikan pelayanan yang baik untuk penatalaksanaan anestesia operasi bedah

509
darurat

KEYNOTES:

1. Operasi darurat dapat mengenai semua kelompok umur pasien dan semua kelompok satus fisis.
2. Tidak cukup waktu untuk mengevaluasi dan mempersiapkan pasien.
3. Lambung penuh yang memperbesar risiko terjadinya aspirasi pneumonia
4. Dapat disertai intoksikasi obat atau alkohol
5. Adanya hipoksia dan hiperkarbia prabedah
6. Adanya kemungkinan ketidak stabilan hemodinamik prabedah
7. Adanya kemungkinan cedera multipel.
8. Bedah darurat dapat dilakukan dengan anestesia umum atau analgesia regional.

GAMBARAN UMUM

Untuk dapat mengelola pasien pembedahan gawat darurat maka para peserta didik harus mengerti dan
memahami alat pemantauan dan obat-obatan apa yang perlu diadakan di kamar operasi bedah darurat,
memahami persiapan anestesia untuk operasi bedah darurat, memahami teknik anestesia untuk operasi
bedah darurat, memahami komplikasi anestesia untuk operasi bedah darurat, memahami kasus-kasus yang
dilakukan pada operasi bedah darurat.

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik diharapkan mampu melakukan persiapan obat dan alat untuk
memberikan anestesia operasi bedah darurat, mampu melakukan persiapan pemberian anestesia untuk
operasi bedah darurat, mampu memberikan anestesia untuk bedah darurat, mampu mengatasi komplikasi
anestesia untuk operasi bedah darurat.

METODE PEMBELAJARAN

Peserta didik sudah harus mempelajari:

10. Bahan acuan


11. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran
12. Ilmu klinis dasar
Metode pembelajaran
5. Diskusi kelompok kecil
6. Peer assisted learning (PAL)
7. Bedside teaching
8. Task-based medical education

510
MEDIA

5. Papan tulis
6. Komputer
7. LCD dan slide projector
8. Pasien di ruang diagnostik dan ECT

ALAT BANTU PEMBELAJARAN

5. Virtual patients
6. Reading assigment
7. Audiovisual
8. Perpustakaan, internet, skill lab

EVALUASI

5. Kognitif :
EMQ

Multiple observations and assessments

Multiple observers/raters

OSCE

Minicheck

6. Skill/psikomotor :
Multiple observations and assessments

Multiple observers

OSCE

Minicheck

7. Communication and Interpersonal Skills


Multiple Observations and assessments

Multiple observers/rater

8. Profesionalisme
Multiple Observations and assessments

Multiple observers/rater

Pre-tes

511
1. Terangkan tentang persiapan pasien yang akan dilakukan bedah darurat
2. Sebutkan macam-macam bedah darurat pada bedah saraf, mata, THT, toraks,
abdominal, pediatrik, obstetri.
3. Kenapa glaukoma maligna merupakan operasi darurat ? bagaimana cara
memberikan anestesianya?
4. Bagaimana cara persiapan dan anestesia untuk perdarahan tonsil?
5. Bagaimana persiapan anestesia pasien dengan ileus obstruktif?
6. Bagaimana cara persiapan dan teknik anestesia untuk epidural hematoma dengan
GCS < 8?
7. Bagaimana persiapan dan teknik anestesia untuk operasi pediatrik dengan
gastroskizis?
8. Bagaimana persiapan dan teknik anestesia untuk seksio sesarea dengan gawat
janin?
9. Apakah keuntungan dan kerugian analgesia regional untuk operasi darurat?
Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).

Bentuk ujian :

- Ujian akhir rotasi (pos-tes tulis dan ujian pasien)


- Ujian akhir profesi (lisan/ujian nasional)

Bisa dalam bentuk :

4. Kognitif
a. EMQ
b. Multiple observation and assessments
c. Multiple observers
d. OSCE
e. Minicheck
5. Skill/psikomotor
a. Multiple observation and assessments
b. Multiple observers
c. OSCE
d. Minicheck
6. Affective : professionalisme, communication and interpersonal skills
a. Multiple observation and assessments
b. Multiple observers

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia Sudah Belum

512
dilakukan dilakukan

1. Persiapan alat dan obat

1 Pemasangan alat monitor

2 Teknik induksi

4 Pemeliharaan dan pengakhiran anestesia

5 Pencegahan aspirasi saat induksi

6 Pemilihan analgesia regional

7 Pengaturan posisi pasien pascabedah

8 Pemberian oksigen pascabedah dengan kanula binasal atau


simpel sungkup /non rebreathing sungkup .

9 Pemberian cairan pascabedah

10 Pemberian analgetik pascabedah

Catatan: sudah / belum dikerjakan beri tanda ( )

DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur
memuaskan standard atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

513
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

514
Tanda tangan dan nama terang

MATERI ACUAN

Pendahuluan:
Rentang pasien yang memerlukan anestesia untuk operasi bedah atau obstetri darurat mengenai
semua kelompok umur dan berbagai status fisis. Sejumlah problema terdapat dalam setting
darurat yang memerlukan pertimbangan khusus bila dilakukan anestesia untuk pasien-pasien
ini. Tidak adekuatnya waktu untuk melakukan evaluasi prabedah dan mengoptimalkan
problema medis prabedah. Kekurangan pengendalian problema medis prabedah merupakan
faktor utama untuk tingginya mortalitas pada operasi darurat dibandingkan dengan operasi
terencana.
Adanya lambung penuh karena faktor-faktor yang memperlambat pengosongan lambung
umumnya terdapat pada situasi darurat seperti nyeri, sedasi, cemas, syok, persalinan. Problema
medis lain yang memperlambat pengosongan lambung adalah diabetes, obesitas, hiatal hernia,
dan baru dilakukan dialisis.
Problema lain adalah pasien mungkin sedang dalam intoksikasi obat atau alkohol. Hipoksia
sering terjadi pada pasien dengan kecelakaan lalu lintas, dan penyebab hipoksia adalah cedera
jalan nafas atas dan muka, cedera kardiotorasik, syok, aspirasi paru, cedera kepala, cedera
medula spinalis, luka bakar pada saluran nafas dan smoke inhalasi, sepsis, overload cairan,
embolus paru. Pasien mungkin mengalami instabilitas hemodinamik, atau cedera di berbagai
tempat (multipel cedera).
Persiapan:
Kesiapsiagaan untuk operasi darurat adalah persiapan kamar bedah dan alat-alat anestesia yang
siap pakai misalnya:
1) mesin anestesia yang telah disiapkan, 2) alat-alat untuk ventilasi, oksigenasi, intubasi, dan
isap, 3) alat monitor, 4) set untuk infusi dan transfusi, 5) pompa untuk pemberian darah dan
penghangat darah, 6) selimut pemanas, 7) label untuk obat dan 8) defibrilator.
Penilaian pasien:
Evaluasi prabedah dilakukan segera sebelum pembedahan dan kadang-kadang saat pasien
didorong ke meja operasi. Penilaian harus mengikuti prinsip triage yaitu jalan nafas control and
servikal spine control, oksigenasi dan ventilasi, pertahankan stabilitas hemodinamik termasuk
pengendalian aritmia jantung dan perdarahan, evaluasi problem medis dan cedera lain, lakukan
observasi dan pemantauan terus menerus. Anamnesis tentang penyakit yang menyertai, riwayat
alergi, komplikasi yang terjadi bila telah mengalami anestesia dan transfusi, obat yang dimakan,

515
riwayat pengalaman keluarga yang telah mengalami pembedahan/anestesia, makan-minum
terakhir.
Persiapan pasien:
Perbaikan kondisi pasien dilakukan semampu mungkin karena kita berkejaran dengan waktu
bahwa pasien harus segera dilakukan tindakan pembedahan. Persiapan ini, yang walaupun
hanya tersedia waktu yang singkat, misalnya pembedahan darurat untuk seksio sesarea, harus
dilakukan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Keadaan ini terutama untuk pasien
dengan gagal jantung, penyakit jantung iskemik, dan gagal ginjal.
Premedikasi:
Premedikasi sering tidak dilakukan pada bedah darurat disebabkan karena tidak adanya waktu
atau karena kondisi pasien yang buruk. Akan tetapi, premedikasi tetap diberikan jika pasien
tidak sakit kritis, operasi tidak betul-betul darurat, dan pasien memerlukan dukungan psikologis.
Hal ini sering terlupakan oleh personil yang bekerja di kamar bedah darurat. Anestetis dapat
memberikan keterangan kepada pasien dengan hati-hati, pelahan dan tenang kenapa dan
bagaimana proses anestesia akan dilakukan.
Pemberian obat untuk menaikkan pH gaster, menurunkan volume gaster, meningkatkan tonus
sfingter gastroesofageal digunakan sebagai usaha untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
aspirasi cairan gaster. Obat yang diberikan antara lain antasid, antikolinergik, H2 reseptor
antagonis, dan metoklopramid. Obat tersebut mempunyai keuntungan dan kerugian tertentu,
tapi tidak 100% efektif, jadi tetap diperlukan tindakan untuk mencegah regurgitasi dan aspirasi
selama induksi anestesia.
Obat Keuntungan Kerugian
Antasid pH gaster meningkat Volume gaster meningkat
Beberapa jenis partikulate
menyebabkan sekuele pulmonal bila
teraspirasi
Antikolinergik Mungkin meningkatkan pH Menurunkan tonus sfinger
gaster gastroesofageal
Memperlambat pengosongan lambung
H2-reseptor bloker Menurunkan produksi cairan Tidak mempengaruhi volume atau pH
lambung : menurunkan isi gaster
volume gaster, meningkatkan
Efeknya baru ada bila diberikan 60-90
pH gaster.
menit bila diberikan peroral atau IM.
Tidak menurunkan tonus
Simetidin dapat menyebabkan aritmia
sfingter gastroesofageal
jantung bila diberikan intravena.
Dapat menimbulkan bronkospasme
pada pasien asma
Metoklopramid Menurunkan volume gaster Tidak meningkatkan pH gaster
Meningkatkan tonus sfingter Dapat menimbulkan sedasi dan gejala
gastroesofageal. ekstrapiramidal.

516
Operasi darurat untuk bedah saraf adalah untuk memindahkan space occupying lesion dalam
rangka untuk menghilangkan tekanan pada otak atau medula spinalis. Penting untuk diingat
bahwa pasien dengan lesi massa intrakranial melebihi 100 ml berisiko untuk terjadi hipertensi
intrakranial bila mengalami stres. Sasaran dokter anestesia adalah mencegah terjadinya stres
yang mempresipitasi atau memperburuk hipertensi intrakranial.
Kondisi yang memerukan opearsi darurat mata adalah glaukoma malignan, ablasi retina,
trauma, dan transplantasi kornea.
Trauma pada muka dapat berupa kombinasi dari kontusio jaringan lunak, laserasi, fraktur
maksilofasial, dan kerusakan gigi. Bergantung pada penyebab trauma, mungkin dihubungkan
dengan terjadinya trauma pada mata, laringotrakeal, atau serebrospinal. Disebabkan karena >
50% semua trauma maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas, maka dapat juga disertai dengan
trauma dada, abdomen, tulang panjang sehingga pertimbangan umumnya adalah pemeliharaan
jalan nafas yang adekuat, pengendalian perdarahan, dan lambung penuh. Operasi darurat akibat
perdarahan tonsil memerlukan perhatian pada masih adanya efek anestesia, hipovolemia akibat
perdarahan, dan lambung penuh darah yang tertelan sehingga ada bahaya aspirasi saat induksi
anestesia.

Referensi:
1. Donegan JH. Manual of Anesthesia for Darurat Surgery. New York: Churchill Livingstone; 1987.

MODUL 28 ANESTESIA BEDEAH

INVASIF MINIMAL

Mengembangkan komepetensi Waktu, semester 4 dan semester 6

Sesi di dalam klelas Terintegrasi saat stase anestesia bedah


digestif II selama 2 bulan dan anestesia
Sewsi dengan fasilitas Pembimbing bedah OBGIN II selama m2 bulan
dilanjutkan pada stase senior sebagai chief
Sesi praktek dan pencapaian kompetensi
resident untuk pendalaman.

517
Persiapan Sesi

Audiovisual

1.LCD proyektor dan layar

26. Laptop
27. OHP
28. Flipchart
29. Pemutar video
Materi prsentasi :

CD power point

Sarana

1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang pulih
4. Ruang rawat inap / pengamat lanjut
Kasus : pasien di ruang bedah digesttif dan kebidanan

Alat bantu latih : model anatomi / simulator

Penuntun belajar : lihat acuan materi

Daftar tilik kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

1. Basic & Clinical Pharmacology Katzung BG 9th ed 2004


2. Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr 4th ed 2006
3. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2005.
4. Millers Anesthesia RD 6th ed 2005
5. Berry & Kohns Operating room technique, 10th ed 2004

Tujuan pembelajaran umum

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik mampu melakukan tatalaksana perioperatif operasi invasif
minimal (selanjutnya disingkat dengan OIM) atau operasi laparoskopi (selanjutnya disingkat OL) yang
meliputi: evaluasi dan persiapan preoperatif dengan baik dan cermat, melakukan penatalaksanaan
anestesia secara benar dan aman sehingga menghasilkan trias anestesia yang optimal, melakukan

518
penatalaksanaan reanimasi yang adekuat selama prosedur berlangsung, melakukan pemantauan,
melakukan prosedur pemulihan anestesia yang aman dan mulus serta melakukan tatalaksana pasca-
anestesia/operasi yang rasional.

Tujuan pembelajaran khusus :

Kognitif

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk menjelaskan langkah-langkah
evaluasi preoperatif yang meliputi; anamnesis, pemeriksaaan fisis, pemeriksaan penunjang, dan konsultasi
untuk menentukan status fisis ASA preoperatif pasien OIM atau OL.

1. Penyakit sistemik lain yang diderita pasien yang dapat mempengaruhi jalannya anestesia
untuk OIM atau OL.
2. Deskripsi prosedur OIM atau OL, elemen esensial, bahaya dan pertimbangan keamanan
pasien yang akan dilakukan OIM atau OL.
3. Persiapan preoperatif yang harus dilaksanakan baik persiapan rutin maupun persiapan
khusus; di rumah (pada pasien rawat jalan), di bangsal/ruang perawatan, di kamar persiapan IBS dan
di kamar operasi.
4. Rencana anestesia dan reanimasi yang akan dilakukan untuk prosedur OIM atau OL
5. Pemantauan dan penyulit yang dapat terjadi selama OIM atau OL.
6. Perubahan fisiologis akibat insuflasi gas CO2 dan perubahan posisi trendelenburg, anti-
trendelenburg, lateral, litotomi, terhadap kondisi pasien selama anestesia untuk OIM atau OL.
7. Cara mengenali dan menangani komplikasi pemakaian gas CO2 dan pemakaian alat bedah
elektrik pada OIM atau OL.
8. Pemantauan, beberapa penyulit yang dapat terjadi dan penatalaksanaannya pasca OIM atau
OL.
9. Rekam medis perioperatif pasien OIM atau OL.

Psikomotor

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk :

1. Melakukan langkah-langkah evaluasi preoperatif yang meliputi; anamnesis, pemeriksaaan


fisis, pemeriksaan penunjang, dan konsultasi untuk menentukan status fisis ASA preoperatif pasien
OIM atau OL.
2. Menentukan status fisis ASA dan menegakkan diagnosis penyakit sistemik lain yang
diderita pasien yang dapat mempengaruhi jalannya anestesia untuk OIM atau OL.
3. Melakukan identifikasi dengan benar perihal indikasi prosedur OIM atau OL yang
minimal, moderat atau yang kompleks dan indikasi-kontranya terkait dengan butir 2 di atas.
4. Melakukan persiapan preoperatif yang harus dilaksanakan baik persiapan rutin maupun
persiapan khusus; di rumah (pada pasien rawat jalan), di bangsal/ruang perawatan, di kamar
persiapan IBS dan di kamar operasi.
5. Melakukan penatalaksanaan anestesia secara benar dan aman sehingga menghasilkan trias
anestesia yang optimal, melakukan penatalaksanaan reanimasi yang adekuat selama prosedur
berlangsung dan melakukan prosedur pemulihan anestesia yang aman dan mulus.

519
6. Melakukan pemantauan dan segera melakukan penanggulangan terhadap penyulit yang
dapat terjadi selama OIM atau OL.
7. Melakukan antisipasi terhadap perubahan fisiologis akibat insuflasi gas CO2 dan
perubahan posisi trendelenburg, anti-trendelenburg, lateral, litotomi, terhadap kondisi pasien selama
anestesia untuk OIM atau OL.
8. Mengenali dan menangani komplikasi pemakaian gas CO2 dan pemakaian alat bedah
elektrik pada OIM atau OL.
9. Melakukan pemantauan, menegakkan diagnosis penyulit-penyulit yang dapat terjadi dan
melakukan penatalaksanaannya pasca OIM atau OL.
10. Membuat rekam medis perioperatif OIM atau OL.

Komunikasi/hubungan interpersonal

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan berkomunikasi /hubungan
interpersonal, untuk :

1. Menjelaskan kepada pasien atau keluarganya tentang kondisi pasien preoperatif, tindakan
anestesia dan reanimasi yang akan dilakukan dan risiko yang dapat timbul selama OIM atau OL.
2. Menjelaskan kepada rekan sejawat atau konsulen tentang kondisi pasien untuk kemungkinan
pemeriksaan tambahan, pemberian obat-obatan atau upaya optimalisasi kondisi pasien.
3. Menjelaskan tentang kondisi pasien kepada operator sebelum operasi terutama untuk mencegah
terjadi keadaan atau kondisi pasien yang tidak diinginkan.
4. Berinteraksi atas dasar saling menghormati dan menciptakan kondisi kerjasama tim yang
terlibat di kamar bedah.
5. Memperoleh dan atau memberikan kemudahan kepada pasien untuk dirawat di ICU atau ruang
lain sesuai kondisi pasien pascabedah.

Profesionalisme

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk :

1. Memahami teknologi OIM atau OL


2. Melakukan identifikasi dengan benar perihal prosedur OIM atau OL yang minimal, moderat
atau yang kompleks.
3. Melakukan tindakan anestesia dan reanimasi untuk OIM atau OL sesuai dengan prosedur yang
telah ditetapkan.
4. Berpartisipasi aktif menunjang perubahan keputusan dari rencana OIM atau OL ke prosedur
operasi terbuka.
5. Berinteraksi dengan sejawat lain maupun paramedis dan tenaga kesehatan lain atas dasar saling
menghormati kompetensi masing-masing.
6. Mengenal komplikasi pasca OIM atau OL dan mampu memberikan penjelasan kepada pasien
dan atau keluarganya tentang kondisi pasien sesuai dengan hak pasien.
7. Menjaga kerahasiaan pasien.
8. Melakukan pekerjaan secara efektif dan efisien.

Key notes :

520
1. CO2 pneumoperitonium dapat mempengaruhi perubahan ventilasi dan pernafasan.
Pneumoperitonioum dapat menurunkan kekembangan toraksopulmoner. PaCO meningkat (15 %
menjadi 25 %) karena absorbsi CO2 dari rongga peritonium. Kapnograf mencerminkan kenaikan
ini dengan benar yang mendatar (plateau ) setelah 20 30 menit.

2. Pada pasien yang tidak baik(uncompromised patients), gangguan kardiorespiratori memperbesar


kenaikan PaCO2 dan memperbesar gradien antara PaCO2 dan PETCO2.

3. Kenaikan PETCO2 lebih dari 25 % dan / atau terjadi lebih dari 30 menit setelah memulai insuflasi
CO2 ke dalam peritonioum akan memberi kesan emfisema subkutan, komplikasi yang paling
sering selama laparoskopi.

4. Insuflasi peritonium menyebabkan ganguan hemodinamik yang karakteristik berupa curah jantung
turun, tekanan nadi naik dan peningkatan resistensi pembuluh darah sistemik dan pulmoner.

5. Perubahan patofisiologi hemodinamik dapat dikurangi atau dicegah dengan optimasi prabeban
sebelum pneumoperitonium, obat vasodilator, antagoinis 2- reseptor adrenergik, opioid dosis
besar, dan obat bloker.

6. Perubahan patofisiologis yang sama terjadi selama kehamilan dan pada anak-anak. Laparoskopi
dapat dilaksanakan dengan aman pada kehamilan sebelum pekan ke 23, asal saja hindari
hiperkarbia. Laparoskopi terbuka sebaiknya dipertimbangkan untuk menghindarkan kerusakan
uterus.

7. Laparoskopi dengan sedikit gas dapat menolong mengurangi perubahan patofisiologi yang
dicetuskan oleh pneumoperitonium CO2 tetapi sayang sekali akan menambah kesulitan teknis
operasi.

8. Laparoskopi menghasilkan berbagai keuntungan pascabedah seperti pemulihan cepat dan


mempersingkat perawatan rumah sakit. Keuntungan bertambah dengan meningkatnya keberhasilan
laparoskopi yang untuk banyak prosedur pembedahan.

9. Walaupun tidak ada teknik anestesia yang superior secara klinis dari yang lain, anestesia umum
dengan nafas kendali nampaknya merupakan teknik yang paling aman untuk operasi laparoskopi.

10. Peningkatan ilmu sebagai konsequensi laparoskopi intraoperatif, memungkinkan manajemen yang
aman untuk pasien dengan penyakit kardiorespiratori yang makin berat, yang dapat menghasilkan
keuntungan berikutnya dari keuntungan pascabedah yang ditawarkan oleh teknik ini

Pokok bahasan / sub pokok bahasan

No POKOK BAHASAN SUB POKOK BAHASAN

1 Prosedur OIM atau OL 1.1.Deskripsi prosedur OIM atau OL

521
1.2.Elemen esensial untuk OIM atau OL

1.3.Penyulit atau bahaya OIM atau OL

1.4.Pertimbangan keamanan pasien OIM atau OL

2 Penatalaksanaan 2.1. Evaluasi praanestesia/bedah


perioperatif OIM atau OL

2.2. Persiapan praanestesia/bedah

2.3. Penatalaksanaan anestesia dan reanimasi.

2.4. Penatalaksanaan pasca-anestesia/bedah

Target

Target jumlah kasus : bedah digestif = 3 kasus OIM

OBGIN = 3 kasus diagnostik dan 2 kasus operatif

Gambaran umum

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu mengelola pasien bedah digestif dan bedah obstetri
ginekologi untuk operasi laparoskopi.

Tujuan Pembelajaran

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu memahami tentang pneumoperitoneum dan posisi
pasien untuk laparoskopi yang dapat mencetuskan perubahan patofisilogis yang dapat mempersulit
tindakan anestesia. Lama tindakan untuk beberapa operasi laparoskopi, risiko cedera visera yang tak
terduga, dan kesulitan melakukan evaluasi perdarahan menjadi faktor yang penyebab bahwa anestesia
untuk laparoskopi merupakan prosedur dengan risiko tinggi. Pengertian patofisiologi peningkatan
tekanan intra-abdominal sangat penting untuk seorang anestetis yang seharusnya dihindarkan; atau bila
tidak mungkin perubahan ini harus dapat dievaluasi dan pasien disiapkan dengan baik.

Metode pembelajaran

No Komponen kompetensi Strategi belajar Situasi belajar

1 Kognitif Pembelajaran terpadu Kuliah perkenalan

522
Pembelajaran Classroom orientation
independen
Diskusi kelompok kecil dan
Pembelajaran umpan balik
berdasarkan problema
Problema penatalaksanaan
pasien (morning report).

Simulasi pasien, skenario,


pajangan dll

2 Psikomotor Practise-base learning Demonstrasions/displays

and clinical supervision

Problema penatalaksanaan
pasien

3 Komunikasi Practise base learning Demonstrate/displays and


clinical supervision

Problema penatalaksanaan
pasien

4 Profesionalisme Practise base learning Demonstrate/displays and


clinical supervision

Problema penatalaksanaan
pasien

Media dan alat bantu belajar

No Komponen kompetensi Media Alat bantu belajar

1 Kognitif Ruang kuliah/diskusi Buku teks/diktat/protap


(dengan sarana papan
tulis, audiovisual; Skenario kasus
komputer. LCD)
Pasien (laporan pagi)
Perpustakaan

Internet

2 Psikomotor Ruang Skill Lab, Manikin dan pasien


poliklinik, bangsal

kamar operasi dan ICU

3 Komunikasi Poliklinik, bangsal Buku teks/diktat/protap

kamar operasi dan ICU Skenario kasus dan pasien

523
4 Profesionalisme Poliklinik, bangsal Buku teks/diktat/protap

kamar operasi dan ICU Skenario kasus dan pasien

Evaluasi

No Komponen Kompetensi Metoda Evaluasi

1 Kognitif MCQ (pre-tes and pos-tes)

MEQ (Modified Esai Question)

2 Psikomotor Multiple observations and assessments

Multiple observers

Minicex (check list)

Logbook

3 Komunikasi Multiple observations and assessments

Multiple observers

4 Profesionalisme Multiple observations and assessments

Multiple observers

Kuliah, tugas belajar, penilaian mandiri dan bahan pembelajaran

No POKOK BAHASAN SUB POKOK BAHASAN

1 Prosedur OIM atau OL 1.1.Deskripsi prosedur OIM atau OL

1.2.Elemen esensial untuk OIM atau OL

1.3.Penyulit atau bahaya OIM atau OL

1.4.Pertimbangan keamanan pasien OIM atau OL

2 Penatalaksanaan 2.1. Evaluasi praanestesia/bedah


perioperatif OIM atau OL

2.2. Persiapan praanestesia/bedah

2.3. Penatalaksanaan anestesia dan reanimasi.

2.4. Penatalaksanaan pasca-anestesia/bedah

524
1. Prosedur OIM atau OL

Waktu : 50 menit

Dosen : sub spesialis anestesia bedah umum/OBGIN

Sasaran belajar : menjelaskan


1. deskripsi prosedur OIM atau OL
2. elemen esensial untuk OIM atau OL
3. penyulit atau bahaya OIM atau OL
4. pertimbangan keamanan pasien OIM atau OL
Tugas belajar :

Skenario kasus

Seorang wanita usia 20 tahun diantar oleh keluarganya ke poliklinik bedah umum dengan keluhan utama
nyeri perut kanan bawah yang dideritanya sudah sejak 3 (tiga) bulan. Pada saat kumat sering disertai
mual-muntah dan nyeri waktu berjalan. Dokter bedah umum di poliklinik mencurigai radang usus buntu
kronis. Selanjutnya pasien dikonsulkan ke divisi bedah digestif untuk pertimbangan operasi dengan teknik
OIM atau OL.

Tugas :

1. Jelaskan secara singkat apa yang mendasari dokter bedah umum untuk mempertimbangkan
prosedur OIM atau OL bagi penderita ini.
2. Uraikan secara singkat elemen esensial yang dibutuhkan untuk prosedur OIM pada apendektomi
3. Menurut analisis saudara apa saja kemungkinan penyulit atau bahaya OIM atau OL pada
apendektomi.
4. Jelaskan upaya-upaya untuk mengamankan pasien dari sudut pandang prosedur OIM atau OL
pada apendektomi

Penilaian mandiri :

1. Jelaskan secara singkat deskripsi/terminologi yang berkaitan dengan OIM atau OL dan latar
belakang perkembangan OIM
2. Uraikan secara singkat 8 (delapan) elemen esensial untuk OIM atau OL .
3. Uraikan secara singkat 3 (tiga) bahaya potensial pada saat punksi endoscopy.
4. Jelaskan beberapa pertimbangan yang perlu dilakukan untuk keamanan dan keselamatan pasien
OIM atau OL.

525
Referensi :

Endoscopic Surgery di dalam buku Berry & Kohns; Operating Room Technique edisi 10. 2004. hal 622
634.

2. Penatalaksanaan perioperatif OIM atau OL

Waktu : 3 x 50 menit

Dosen : sub spesialis anestesia bedah umum/OBGIN

Sasaran belajar : menjelaskan :

1. evaluasi praanestesia/bedah pasien OIM atau OL


2. persiapan praanestesia/bedah OIM atau OL
3. penatalaksanaan anestesia dan reanimasi OIM atau OL.
4. penatalaksanaan pasca-anestesia/bedah OIM atau OL
Tugas belajar :

Skenario kasus

Seorang wanita usia 20 tahun diantar oleh keluarganya ke poliklinik bedah umum dengan keluhan utama
nyeri perut kanan bawah yang dideritanya sudah sejak 3 (tiga) bulan. Pada saat kumat sering disertai
mual-muntah dan nyeri waktu berjalan. Dokter bedah umum di poliklinik mencurigai radang usus buntu
kronis. Selanjutnya pasien dikonsulkan ke divisi bedah digestif untuk pertimbangan operasi dengan teknik
OIM atau OL. Divisi bedah digestif sepakat untuk melakukan prosedur OIM atau OL untuk apendektomi
berencana.

Tugas :

1. Jelaskan langkah-langkah evaluasi preanestesia yang perlu dilakukan untuk menilai kebugaran
pasien preanestesia OIM atau OL untuk apendektomi berencana
2. Jelaskan persiapan preanestesia yang harus dilakukan pada prosedur OIM atau OL untuk
apendektomi berencana
3. Uraikan secara singkat tatalaksana penatalaksanaan anestesia dan reanimasi untuk prosedur
OIM atau OL untuk apendektomi berencana
4. Uraikan secara singkat tatalaksana pengelolan pasca-anestesia/bedah OIM atau OL untuk
apendektomi berencana.

526
Penilaian Mandiri.

5. Jelaskan kelainan atau penyakit lain yang diderita pasien preoperatif yang akan mempengaruhi
jalannya anestesia untuk prosedur OIM atau OL
6. Jelaskan rencana langkah-langkah evaluasi yang diperlukan untuk memastikan adanya kelainan
atau penyakit lain yang dideritanya.
7. Jelaskan langkah-langkah persiapan praanestesia yang harus dilakukan untuk mengurangi risiko
perioperatif.
8. Jelaskan rencana anestesia umum yang akan dilakukan untuk prosedur OIM atau OL, mulai dari
premedikasi, induksi, pemeliharaan trias anestesia dan pemulihannya..
9. Jelaskan langkah-langkah reanimasi (usaha untuk mempertahankan hidup) yang harus dilakukan
untuk mengantisipasi bahaya OIM dan risiko akibat anestesia yang diberikan.
10. Jelaskan pemantauan dasar intraoperatif pada prosedur OIM atau OL.
11. Jelaskan perubahan fisiologis akibat insuflasi gas CO2 dan perubahan posisi trendelenburg, anti-
trendelenburg, lateral, litotomi, terhadap kondisi pasien selama anestesia untuk prosedur OIM atau
OL
12. Jelaskan cara mengenali dan menangani komplikasi pemakaian gas CO2 pada prosedur OIM atau
OL
13. Jelaskan penatalaksanaan pasca OIM atau OL di ruang pulih dan selanjutnya baik untuk pasien
tanpa mondok, dirawat di bangsal atau di ICU termasuk penanggulangan nyeri, terapi cairan dll sesuai
dengan indikasi

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Sudah Belum
dikerjakan dikerjakan
No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia

I EVALUASI PRA OPERASI

1 Anamnesis

2 Pemeriksaan fisis

3 Pemeriksaan penunjang

527
4 Konsultasi

5 Kesimpulan status fisis ASA

II PERSIAPAN PRA OPERASI

1 Persetujuan setelah mendapatkan informasi yang adekuat

2 Persiapan di ruang perawatan (a.l. puasa, donor dll)

3 Persiapan di kamar persiapan operasi (a.l. premedikasi,


infusi dll)

4 Persiapan di kamar operasi (a.l. posisi, alat pantau dll)

III TINDAKAN ANESTESIA

1 Induksi konvensional atau induksi cepat

2 Pemasangan sonde lambung dan LMA atau PET dan


penatalaksanaan jalan nafas yang lain sesuai kebutuhan

3 Pemeliharaan trias anestesia dan puresi simpatikus

4 Penatalaksanaan ventilasi mekanis

5 Pemantauan dasar intraoperatif

6 Penatalaksanaan terapi cairan dan transfusi darah

7 Pemulihan anestesia termasuk ekstubasi LMA atau PET


dan sonde lambung

IV PERAWATAN PASCA-ANESTESIA

1 Pemantauan nilai Aldreta dan oksigenasi di ruang pulih

2 Terapi mual / muntah

3 Penatalaksanaan nyeri akut

4 Terapi nyeri bahu akibat residu CO2 di dalam peritonium

5 Terapi cairan dan nutrisi

6 Kriteria pengeluaran dari ruang pulih

Catatan : sudah / belum dikerjakan beri tanda V

DAFTAR TILIK

528
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur
memuaskan standard atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

529
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

Materi Acuan

Evaluasi prabedah dan premedikasi

Tanpa memperhatikan indikasikontra bedah, indikasikontra mutlak laparoskopi dan pneumoperitoneum


jarang terjadi. Pneumoperitoneum tidak diinginkan pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial
(misalnya tumor, hidrosefalus, cedera kepala), hipovolemia, pintas ventrikular peritoneal dan pintas
peritoneojugular. Walaupun demikian pneumoperiteum dapat dilakukan dengan aman pada pasien
dengan pintas-pintas tersebut, pintas dijepit dulu (clamped) sebelum insuflasi peritoneal.

Pada pasien dengan penyakit jantung, fungsi jantung harus dinilai karena perubahan hemodinamik
dipacu oleh pneuperitoneum dan posisi pasien terutamna pasien dengan ganguan ventrikular.(Tabel 1)
Pasien dengan penyakit jantung kongestif berat dan insufisiensi katup lebih condong memberikan
komplikasi daripada pasien dengan penyakit jantung iskemia selama laparoskopi. Mengecilkan gas untuk
laparoskopi dilakukan sebagai alternatif.

530
Tabel 1. Manajemen pasien dengan kelainan jantung untuk laparoskopi

______________________________________________________________

Evaluasi prabedah : ekhokardiografi

Jika ejection fraction ventrikular kiri < 30 %

Pemantauan intraoperatif

Jalur intra arteri

Kateter arteri pulmonal ?

Ekhokardiografi transesofagus ?

Analisis ST segmen kontinyu

Laparoskopi dengan sedikit gas ?

Laparotomi ?

Manajemen intraopertatif

Insuflasi lambat

Tekanan intra-abdomen rendah

Optimasi hemodinamik sebelum pneumoperitoneum

(augmentasi prabeban)

Badan pasien miring ke depan setelah insuflasi

Anestesia : fentanil atau remifentanil, obat dan anestetik berefek

vasodilasi ( nitrgliserin, nikardipin), obat kardiotonik

Ahli bedah yang berpengalaman

Perawatan pascabedah

Pemulihan anestesia lambat (keuntungan dari klonidin)

_______________________________________________________________

Pasien penyakit jantung kongestif berat dan insufisiensi katup terminal akan cenderung mengalami
komplikasi jantung daripada pasien dengan penyakit jantung iskemik selama laparoskopi. Jika
laparoskopi lebih berbahaya daripada laparotomi, pada pasien-pasien yang belum dipelajari dengan
seksama, selayaknya pertimbangan dilakukan dengan hati-hati. Untuk pasien-pasien ini keuntungan
pascabedah laparoskopi harus dibandingkan dengan risiko intraoperatif (Tabel 2). Laparoskopi dengan
sedikit gas mungkin menjadi alternatif untuk pasien ini.

531
Tabel 2. Perbandingan laparotomi dan laparoskopi

Hal-hal yang menonjol Laparotomi Laparoskopi

Faktor-faktor intraoperatif

Faktor-faktor hemodinamik Rangsangan oleh stres Depresi pneumoperitone-


bedah um > rangsangan bedah

++
Perubahan ventilasi
+ ++
Elevasi diafragma
+ ++
Peningkatan tekanan intratoraks
0 ++
Absorbsi CO2
0 ++
Nafas kendali (ventilasi min)
+ ++
Posisi pasien
+

=
Ketubutuhan anestesia
= ++
Respons endokrin
++ +
Trauma bedah
++

Faktor-faktor pascabedah
+
Nyeri (kebutuhan analgesik)
++ +
Disfungsi paru
++ +
Respons metabolik fase reaksi akut
++ +
Fatigue pascabedah
++ +
Pemulihan
++ +
Puasa
++ ++
Mual, muntah
+ +
Lama tinggal di rumah sakit

532
Mortalitas ++ (+)

Morbiditas + (+)

0 : bukan faktor penting = : tidak berbeda (+) : problem minimal

+ : problem ringan sampai sedang ++ : problem berat

Karena efek samping yang meningkatkan TIA pada ginjal, pasien dengan gagal ginjal memerlukan
optimasi hemodinamik selama pneumoperitoneum dan hindari penggunaan bersama obat nefrotoksik.
Pasien dengan penyakit respirasi, laparoskopi nampaknya lebih baik daripada laparotomi karena
penurunan disfungsi respirasi pascabedah. Efek positif ini menjadi counterbalance risiko pneumotoraks
selama pneumoperitoneum dan risiko pertukaran gas yang inadekuat dari Va/Q mismatching. Stasis vena-
vena tungkai selama laparoskopi dapat menimbulkan trombosis vena dalam (deep vein thrombosis),
sehingga sebaiknya dipertimbangkan sebelum pembedahan. Premedikasi sebaiknya disesuaikan dengan
lama tindakan laparoskopi yang menginginkan cepat pulih. Pemakaian NSAID dapat menolong
mengatasi nyeri pascabedah. Klonidin atau deksmedetomidin prabedah mengurangi respons stres
intraoperatif dan memperbaiki stabilisasi hemodinamik.

Posisi dan pemantauan untuk laparoskopi

Pasien harus diletakkan pada posisi menghindari cedera saraf; ganjal (padding) sebaiknya melindungi
tekanan pada saraf dan penahan bahu, jika perlu ditempatkan di atas prosesus korakoid. Kemiringan
pasien ke atas tidak melebihi 15 20 derajat. Kemiring harus dilakukan perlahan untuk mencegah
perubahan hemodinamik dan respirasi yang cepat. Perubahan posisi harus diikuti dengan pengontrolan
pipa endotrakeal. Induksi dan pengeluaran pneumoperitoneum dilakukan dengan mulus. Ventilasi dengan
sungkup muka sebelum intubasi dapat mengisi udara lambung yang harus diaspirasi sebelum operator
memasang trokar untuk mencegah perforasi lambung terutama pada laparoskopi supramesokolik.
Kandung kencing dikosongkan sebelum prosedur laparoskopi.

Selama anestesia dan prosedur laparoskopi, tekanan darah, laju jantung, EKG, kapnograf, oksimeter pulsa
harus dipantau kontinyu. Walapun tingkat pemantauan ini bermanfaat untuk mendeteksi aritmia jantung,
emboli, emfisema CO2 subkutan dan pneumotoraks, tetapi hanya menunjukkan perubahan indirek
hemodinamik yang dicetuskan oleh pneuperitoneum. Pemantauan hemodinamik invasif lain masih
diperlukan pada pasien penyakit jantung, pasien dengan peningkatan tekanan intratoraks, peningkatan
tekanan intratoraks yang diukur melalui pengukuran CVP, ekhokardiografi transesofagus mungkin lebih
membantu untuk pasien jantung berat. PETCO dan SpO2 memberikan refleksi yang lebih dipercaya
daripada PaCO2 dan SaO2. Walapun a - ETCO2 (gradien antara PaCO2 dan end tidal karbon dioksida)
bervariasi dari pasien ke pasien dan pada pasien yang sama selama tindakan laparoskopi. PETCO2 harus
dipantau dengan hati-hati untuk menghindari hiperkapnia dan mendeteksi embolus gas. Gradien ini dapat

533
bertambah pada pasien dengan penyakit jantung dan respirasi. Kanulasi arteri radialis dapat menolong
mengukur langsung Pa CO2.

Teknik anestesia

Anestesia, analgesia lokal dan analgesia regional dapat dipergunakan dengan aman untuk laparoskopi
dengan kondisi yang sesuai.

Anestesia umum

Anestesia umum dengan intubasi endotrakeal dan nafas kendali merupakan teknik yang paling aman,
karena itu direkomendasikan untuk pasien rawat inap dan prosedur laparoskopi yang lama. Selama
pneumoperitoneum, nafas kendali harus disesuaikan untuk mempertahankan PETCO2 sekitar 35 mm
Hg. Menambah laju nafas lebih baik daripada meningkatkan volum tidal untuk pasien dengan PPOM dan
pasien dengan riwayat pneumotoraks spontan atau dengan bula efisema untuk mencegah
penggembungan alveolus dan mengurangi risiko pneumotoraks. Dianjurkan untuk memberikan obat
vasodilator seperti nikardipin, reseptor 2- adrenergik agonis seperti klonidin dan deksmedetomidin,
fentanil atau remifentanil untuk mengurangi hemodinamik reperkusi pneumoperitoneum dan
memfasilitasi manejemen pasien jantung. Belum terbukti keuntungannya untuk tidak mempergunakan
N2O; kontribusi N2 O sebagai penyebab mual dan muntah masih kontroversial. N2O bukan merupakan
indikasi kontra untuk laparoskopi kolesistektomi; penghentian penggunaan N2O dapat memperbaiki
kondisi bedah untuk operasi usus dan kolon. Pilihan anestetik tidak berperan penting untuk menentukan
keluaran pasien.

TIA sebaiknya dipantau; usahakan serendah mungkin dan tidak lebih dari 20 mmHg untuk mengurangi
perubahan hemodinamik dan respirasi. Peningkatan tonus vagal selama laparoskopi dapat dicegah
dengan pemberian atropin.

LMA yang lebih sedikit memberikan komplikasi sakit menelan dianjurkan sebagai altertnatif intubasi
endotrakeal, walapun tidak menjamin terhindar dari aspirasi isi lambung. Dengan LMA, nafas kendali
dapat dilakukan dengan akurat dengan pemantauan PETCO2. Tetapi penurunan kekembangan
torakopulmonal selama pneumoperitoneum sering mengakibatkan tekanan jalan nafas bertambah lebih
dari 20 sm H2O. Karena LMA tidak dapat menjamin sekitar sungkup, nafas kendali hanya terbatas untuk
pasien yang sehat dan pasien kurus.

Anestesia umum dengan nafas spontan tanpa intubasi dan tanpa obat pelumpuh otot masih mungkin
untuk tindakan laparoskopi terbatas, yaitu singkat, TIA rendah dan kemiringan sedikit.

Analgesia lokal dan analgesia regional

534
Laparoskopi terbatas masih dapat dilakukan dengan analgesia lokal seperti ligasi tuba; keuntungannya
cepat, mual dan muntah pascabedah sedikit perubahan hemodinamik ringan. Tetapi ahli bedah harus
terampil dan cepat, karena pasien masih kesakitan, ansietas dan diskomfort selama manipulasi pelvik dan
organ obdominal. Untuk ini masih diperlukan pemberian suplementasi sedatif intravena. Kombinasi
pneumoperitoneum dan sedatif condong mengakibatkan hipoventilasi dan penurunan saturasi oksigen.

Analgesia regional seperti, teknik epidural atau spinal yang dikombinasi dengan posisi kepala rendah
(head-down) dipergunakan untuk laparoskopi ginekologi tanpa banyak mengganggu ventilasi. Sistektomi
laparoskopi telah berhasil dilakukan dengan anestesia epidural pada pasien dengan PPOM. Respons
metabolik berkurang pada analgesia regional. Analgesia regional beberapa keuntungan antara lain, lebih
sedikit memerlukan sedatif dan narkotik, relaksasi cukup baik untuk tindakan laparoskopi selain ligasi
tuba. Nyeri bahu karena rangsangan diafragma dan diskomfort karena distensi abdomen tidak mereda
pada anestesia epidural. Tambahan opioid dan klonidin pada anestesia epidural dapat menambah efek
analgesia yang adekuat. Keberhasilan anestesia epidural pada laparoskopi memerlukan kerjasama
pasien, pengalaman dan keterampilan operator, TIA rendah dan kemiringan pasien tidak berlebihan serta
prosedur tidak terlalu lama.

Pemulihan dan pemantauan pascabedah

Pemantauan hemodinamik harus dilaksanakan pascabedah secara kontinyu. Perubahan hemodinamik


dipacu oleh pneumoperitoneum, terutama pada peningkatan resistensi pembuluh darah saat
mempertahankan dan mengeluarkan pneumoperitoneum. Keadaan hiperdinamik setelah laparoskopi pada
pasien penyakit jantung cenderung membawa pada perubahan hemodinamik yang membahayakan.

Karena penurunan fungsi paru pascabedah, PaO2 masih rendah setelah laparoskopi kolesistomi, oksigen
tetap diberikan pascabedah walapun pasien sehat.

Pencegahan dan pengobatan mual, muntah dan nyeri penting dilaksanakan terutama setelah prosedur
laparoskopi pasien rawat jalan.

Referensi :

6. Basic & Clinical Pharmacology Katzung BG 9th ed 2004


7. Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr 4th ed 2006
8. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2005.
9. Millers Anesthesia RD 6th ed 2005
10. Berry & Kohns Operating room technique, 10th ed 2004

535
MODUL 29 ANESTESIA DI LUAR KAMAR
BEDAH

Mengembangkan kompetensi Waktu (Semester 3)

Sesi di dalam kelas 2 X 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasilitasi pembimbing 3 X 2 (coaching session)

Sesi praktek dan pencapaian kompetensi 4 pekan (facilitation & assessment)

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

1. LCD proyektor dan layar


2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Pemutar video
Materi presentasi:

CD power point

Sarana:

1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang radiologi
4. Ruang ECT RS jiwa
5. Ruang pulih
6. Bangsal rawat inap/pengamatan lanjut

536
Kasus : pasien di ruang ECT atau radio diagnostik

Alat bantu latih : model anatomi /simulator

Penuntun belajar : lihat acuan materi

Daftar tilik kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

1. Hurford WE et al. Clincal Anesthsia Procedure of the Massachusetts General Hospital.


6th ed, Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins 2002.
2. Stone DJ, Sperry RJ, Johnson JO, Spiekermann BF, Yemen TA. The
Neuroanesthesia Handbook. St Louis : Mosby 1996, 297-329.

TUJUAN UMUM

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu memberikan anestesia di luar kamar bedah

TUJUAN KHUSUS

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi dalam ranah-ranah berikut ini
:

Kognitif

1. Mengetahui alat pemantauan dan obat-obatan apa yang perlu diadakan di tempat
ECT dan radiologi
2. Mengetahui teknik anestesia untuk CT-scan
3. Mengetahui teknik anestesia untuk MRI
4. Mengetahui teknik anestesia untuk neuroradiolgi
5. Mengetahui teknik anestesia untuk terapi radiasi
6. Mengetahui teknik Monitored Anesthesia Care (MAC)
7. Mengetahui teknik anestesia ECT
8. Mengetahui interaksi obat anestetik dan obat psikiatrik

Psikomotor

1. Mampu melakukan persiapan obat dan alat untuk memberikan anestesia di luar
kamar bedah.
2. Mampu melakukan pemberian anestesia untuk CT-scan
3. Mampu melakukan pemberian anestesia untuk MRI
4. Mampu melakukan pemberian anestesia untuk neuroradiologi
5. Mampu melakukan pemberian anestesia untuk terapi radiasi
6. Mampu melakukan pemberian anestesia dengan teknik Monitored Anesthesia Care
(MAC)

537
7. Mampu melakukan pemberian anestesia untuk ECT
8. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi akibat interaksi obat anestetik dan obat
psikiatrik.
9. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi akibat zat kontras untuk radiodiagnostik.

Komunikasi

2. Berkomunikasi dengan ahli radiologi bila terjadi komplikasi .

Profesionalisme

3. Mampu mengenali dan memahami urgensi dari komplikasi yang terjadi.


4. Memberikan pelayanan yang baik untuk penatalaksanaan anestesia di luar kamar
bedah dan kerja sama dengan perawat yang tidak biasa dengan situasi darurat seperti
halnya di kamar bedah.

KEYNOTES:

1. Walaupun prosedur diagnostik hanya menyebabkan rasa nyeri yang minimal,


spesialis anestesia akan ikut serta dalam penanganan pasien tersebut dengan
alasan antara lain pemberian sedasi yang sulit untuk pasien usia lanjut,
klaustrofobia (penyakit rasa takut pada ruangan sempit dan tertutup), penyakit
neurologis dan sistemik yang berat, serta ketidak-mampuan pasien untuk tidak
bergerak selama prosedur diagnostik.
2. Anestetis dihadapkan pada situasi umum memberikan anestesia dalam
lingkungan yang asing di luar kamar bedah dan hampir semua prosedur
neurodiagnostik mensyaratkan anestetis di posisi jauh dari pasien yang berbeda
situasinya dengan di kamar bedah di mana anestetis selalu dekat dengan pasien.
3. Pemilihan teknik anestesia bergantung pada berbagai pertimbangan seperti umur,
kondisi, dan prosedur (posisi, lama, kemungkinan nyeri).
4. Selama dilakukan CT Scan, beberapa pasien dewasa dan anak-anak usia sekolah
memerlukan pemberian sedasi.
5. Saat MRI, alat metal yang berada dalam tubuh pasien dapat mengalami
pemanasan dan berpindah tempat. Probe EKG dan temperatur yang biasa dipakai
di kamar bedah dapat menimbulkan luka bakar pada kulit, maka sudah tersedia
alat-alat tersebut yang khusus digunakan di ruangan MRI.
6. Respons terhadap zat kontras bervariasi dari perasaan panas sampai terjadinya
syok anafilaksis saat obat disuntikkan.

GAMBARAN UMUM

Untuk dapat memberikan anestesia di luar kamar bedah diperlukan pengetahuan dan
keterampilan dalam melakukan persiapan obat dan alat untuk memberikan anestesia di luar

538
kamar bedah, pemberian anestesia untuk CT-scan, MRI, neuroradiologi, terapi radiasi,
Monitored Anesthesia Care (MAC), ECT, Mampu menilai dan mengatasi komplikasi akibat
interaksi obat anestetik dan obat psikiatrik serta menilai dan mengatasi komplikasi akibat zat
kontras untuk radiodiagnostik.

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu memberikan anestesia di luar kamar
bedah, mengatasi komplikasi yang terjadi, bekerja sama dengan tenaga medis dan paramedis
yang tidak biasa bekerja di kamar bedah.

METODE PEMBELAJARAN

Peserta didik sudah harus mempelajari:

13. Bahan acuan


14. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran
15. Ilmu klinis dasar
Metode pembelajaran
9. Diskusi kelompok kecil
10. Peer assisted learning (PAL)
11. Bedside teaching
12. Task-based medical education

MEDIA

9. Papan tulis
10. Komputer
11. LCD dan slide projector
12. Pasien di ruang diagnostik dan ECT

ALAT BANTU PEMBELAJARAN

9. Virtual patients
10. Reading assigment
11. Audiovisual
12. Perpustakaan, internet, skill lab

EVALUASI

9. Kognitif :

539
EMQ

Multiple observations and assessments

Multiple observers/raters

OSCE

Minicheck

10. Skill/psikomotor :
Multiple observations and assessments

Multiple observers

OSCE

Minicheck

11. Communication and Interpersonal Skills


Multiple Observations and assessments

Multiple observers/rater

12. Profesionalisme
Multiple Observations and assessments

Multiple observers/rater

Pre-tes

10. Jelaskan cara melakukan persiapan obat dan alat untuk memberikan anestesia di luar
kamar bedah.
11. Jelaskan cara melakukan pemberian anestesia untuk CT-scan
12. Jelaskan cara melakukan pemberian anestesia untuk MRI
13. Jelaskan cara melakukan pemberian anestesia untuk Neuroradiologi
14. Jelaskan cara melakukan pemberian anestesia untuk Terapi Radiasi
15. Jelaskan cara melakukan pemberian anestesia dengan teknik Monitored Anesthesia
Care (MAC)
16. Jelaskan cara melakukan pemberian anestesia untuk ECT
17. Jelaskan cara menilai dan mengatasi komplikasi akibat interaksi obat anestetik dan
obat psikiatrik.
18. Jelaskan cara menilai dan mengatasi komplikasi akibat zat kontras untuk
radiodiagnostik.

Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).

540
Bentuk ujian :

- Ujian akhir rotasi (pos-tes tulis dan ujian pasien)


- Ujian akhir profesi (lisan/ujian nasional)

Bisa dalam bentuk :

7. Kognitif
a. EMQ
b. Multiple observation and assessments
c. Multiple observers
d. OSCE
e. Minicheck
8. Skill/psikomotor
a. Multiple observation and assessments
b. Multiple observers
c. OSCE
d. Minicheck
9. Affective : Profesionalisme, Communication and Interpersonal Skills
a. Multiple observation and assessments
b. Multiple observers

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia Sudah Belum


dilakukan dilakukan

1. Persiapan alat dan obat

1 Pemasangan alat monitor khusus

2 Teknik anestesia untuk CT-scan

4 Teknik anestesia untuk MRI

5 Teknik anestesia untuk untuk Neuroradiologi

6 Teknik anestesia untuk Terapi Radiasi

7 Teknik anestesia Monitored Anesthesia Care (MAC)

8 Teknik anestesia untuk ECT

541
9 Menilai dan mengatasi komplikasi akibat interaksi obat
anestetik dan obat psikiatrik

10 Menilai dan mengatasi komplikasi akibat zat kontras untuk


radiodiagnostik.

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda ( )

DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur
memuaskan standard atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

542
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

543
MATERI ACUAN

Pendahuluan
Sejak diperkenalkannya CT scan yang pertama pada tahun 1975, alat-alat diagnostik dari
spesialis radiologi pencitraan-neuro berkembang secara konsisten. Walaupun prosedur
diagnostik hanya menyebabkan rasa nyeri yang minimal, anestetis akan ikut serta dalam
penanganan pasien tersebut dengan alasan antara lain pemberian sedasi yang sulit untuk
pasien usia lanjut, klaustrofobia (penyakit rasa takut pada ruangan sempit dan tertutup),
penyakit neurologik dan sistemik yang berat, serta ketidak mampuan pasien untuk tidak
bergerak selama prosedur diagnostik.
Banyak Bagian Radiologi yang mengambil panduan pemberian sedasi dari AAPCD (American
Academy of Pediatrics Committee on Drugs) seperti yang terlihat pada tabel 1. Seleksi pasien,
puasa prabedah, alat-alat, pemantauan, dan kriteria pemulangan pasien sudah dimasukkan pada
panduan ini dan seleksi kriteria yang ketat mengurangi efek samping yang terjadi akibat
pemberian sedatif. Akan tetapi, sekitar 10-15% pemberian sedasi gagal dan skrining sebelum
prosedur sering mendapatkan pasien kesulitan membebaskan jalan nafas atau dalam keadaan
sakit berat yang mana dianjurkan keterlibatan anestetis.

Tabel 1: Teknik sedasi untuk anak

Obat Dosis Rute Onset (menit) Efek puncak


(menit)

Choral hydrat 20-75 mg/kg Po,pr 20-30 30-90


(maksimal 2 g)

Pentobarbital 2-4 mg/kg Iv 5-10 60-90

Midazolam 0,02-0,15 mg/kg iv 1-5 iv 20-30

0,3-0,75 mg/kg Po/pr

Methohexital 1-2 mg/kg Iv 5 45

20-30 mg/kg pr 10-15

Tabel 2 . Sedative pada anak untuk MRI

544
Obat Dosis Keterangan

Chloral hydrat 75-120 mg/kg po Mula kerja15-20 menit, paling baik


untuk bayi, dosis jangan melebihi 2
g.

Midazolam 0,01-0,05 mg/kg Penggunaan sebagai suplement.


Tidak akan mencegah bergeraknya
pasien.

Pentobarbital 5 mg/kg po Mula kerja20 menit

3-4 mg/kg iv Mula kerjacepat, lama kerja panjang

Ketamin 4-5 mg/kg im Untuk pasien tidak kooperatif tanpa


akses intravena

Propofol 2-3 mg/kg iv Sakit saat penyuntikan, dapat


menimbulkan apnea.
bayi: 75-100 ug/kg/menit

Pertimbangan Umum
Sekali terlibat dalam prosedur neuroradiologi, anestetis dihadapkan pada situasi
umum memberikan anestesia dalam lingkungan yang asing di luar kamar bedah dan
hampir semua prosedur neurodiagnostik mensyaratkan anestetis di posisi jauh dari
pasien yang berbeda situasinya dengan di kamar bedah di mana anestetis selalu dekat
dengan pasien. Sebagai tambahan, alat-alat dan pemantauan nonferromagnetic harus
tersedia di kamar MRI serta adanya persoalan kontras media dengan efek osmolar
dan kemungkinan reaksi toksik harus dipertimbangkan. Akhirnya, pola fasilitas medis
modern sering memerlukan pemulihan pasien dengan personal medis yang handal di
ruangan yang berbatasan dengan ruangan radiologi atau ditransfer ke ruang pulih
anestesia yang jaraknya jauh dari ruang radiologi.
Evaluasi prabedah yang baik harus dilakukan pada setiap pasien yang direncanakan
untuk dilakukan prosedur diagnostik. Perhatian utama harus ditujukan pada
pemeriksaan neurologis, akan tetapi riwayat penyakit sebelumnya, anestesia dan
sedasi, adanya alergi, obat yang telah dan sedang dimakan harus diketahui. Pasien
harus dievaluasi tentang tanda-tanda adanya kenaikkan tekanan intrakranial, defisit
neurologis, dan pada kasus darurat harus diketahui keadaan kolumna vertebralis,
medula spinalis dan organ tubuh lainnya.
Alat-alat yang tersedia di ruang radiologi harus seperti di kamar bedah. Adanya
monitor EKG, pulsa oksimetri, tekanan darah yang harus kompatibel dengan alat
MRI. Alat lain yang mampu memberikan pasokan gas anestesia, oksigen 100%, alat
pengisap, alat untuk membebaskan jalan nafas, alat resusitasi, serta obat harus

545
tersedia.

Persiapan Pasien
Berlawanan dengan bedah rawat jalan yang pada umumnya dalam keadaan sehat,
kebanyakan pasien saraf atau bedah saraf yang dijadwalkan untuk dilakukan tindakan
di luar kamar bedah, dalam keadaan sakit akut atau kronis, terganggu fungsi
neurologis dan nutrisi, mempunyai riwayat telah dilakaukan beberapa tindakan
sebelumnya dan mendapatkan terapi obat-obatan termasuk kemoterapi.
Sering pasien dalam keadaan infeksi traktus respiratorius bagian atas, atau adanya
efek samping pengobatan seperti mual, muntah dan diare, akan tetapi pasien tidak
dapat menunggu untuk perbaikan kondisinya. Harus diingat kemungkinan adanya
hipoglikemi dan hipovolemi pada pasien dewasa dengan bedrest atau anak dengan
sakit kronis. Kemoterapi yang baru dilaksanakan dapat mempengaruhi penggunaan
volatil anestetik potent.
Kebanyakan pasien dengan gangguan neurologis tidak mampu untuk menjawab
pertanyaan saat anamnesa. Informasi pasien harus dicari dari semua sumber yang ada
misalnya status lama, catatan perawatan pasien di rumah, keluarga) dan memeriksa
adanya tanda-tanda kenaikan tekanan intrakranial. GCS harus dicatat sebagai data
dasar. Pasien gangguan neurologis dapat terjadi aritmia, respons ventilasi terhadap
obat anestetik abnormal, perubahan reaksi terhadap obat anestetik seperti
suksinilkolin dan pelumpuh otot non depolarisasi. Mereka juga sering mendapat
terapi kortikosteroid untuk terapi kenaikkan ICP dan mesti dberikan kortikosteroid
sebelum, selama dan setelah tindakan.

Pemilihan Teknik dan Obat anestetik


Pemilihan teknik anestesia bergantung pada berbagai pertimbangan seperti umur,
kondisi, dan prosedur (posisi, lama, kemungkinan nyeri). Bantuan dari Bagian
Anestesia diperlukan bila tindakan pemberian sedasi oleh non-anestetis gagal, dan
anestetis harus memberikan kondisi ideal untuk dilakukan prosedur tersebut. Teknik
anestesia dapat dilakukan dengan MAC (Monitored Anesthesia Care), sedasi ringan
sampai dalam, anestesia umum, atau analgesia regional.
Premedikasi harus dipertimbangkan. Tujuan premedikasi adalah menghilangkan
kecemasan, sedasi dengan pasien mudah dibangunkan, analgesia, amnesia,
mengurangi saliva dan sekresi gaster, meningkatkan pH gaster, menurunkan akivitas
vagal. Pasien dengan gangguan neurologis mungkin meningkatkan risiko karena
gangguan menghandel sekresi, adanya trakeostomi, atau berkurangnya atau hilangnya
refleks menelan.
Barbiturat mempunyai keuntungan sebagai sedatif dengan depresi nafas dan sirkulasi
minimal dan jarang menimbulkan mual dan muntah, akan tetapi, tidak mempunyai
efek analgesia, mempunyai efek antalgesik dan disorientasi serta tidak ada
antagonisnya. Pemberian tiopental dengan dosis induksi 6 mg/kg telah dilaporkan
dipakai sebagai obat tunggal untuk CT dan MRI pada 200 anak dengan rentang umur

546
1 bulan sampai 12 tahun.
Narkotik mengurangi keperluan total obat anestetik, analgetik pra dan pos-prosedur,
dan dapat direverse dengan nalokson. Walaupun narkotik tidak diperlukan untuk
prosedur yang tidak sakit, tetapi sangat berguna untuk radiologi intervensi dan yang
tidak toleran terhadap volatil anestetik, seperti setelah kemoterapi dengan antrasiklin
dengan adanya gangguan miokardium. Narkotik mendrepresi pusat nafas, dan harus
menjadi pertimbangan pada apsin tumor otak yang mendapat terapi radiasi. Narkotik
juga dapat menimbulkan mual muntah.
Diazepam menimbulkan rasa sangat sakit selama suntikan intravena dan dapat
menimbulkan terjadinya tromboplebitis. Midazolam larut dalam air, karena lebih
nyaman bila digunakan secara intravena atau intramuskular.
Ketamin sangat populer lebih dari 20 tahun untuk sedasi dan anestesia di luar kamar
bedah disebabkan karena tidak menekan sirkulasi dan respirasi, serta efek analgesia
baik. Tidak diberikan pada pasien dengan peningkatan ICP. Bisa terjadi toleransi
setelah pemberian berulang, dan kemungkinan terjadi obstruksi jalan nafas parsial
atau total, hipersekresi, dan refleks jalan nafas menjadi hiperaktif, menimbulkan
mimpi buruk dan nyeri bila disuntikan intramuskular.
Propofol diberikan untuk sedasi dan anestesia untuk diagnostik, terapeutik dan
prosedur interventional.

Computed Tomografy (CT) Scan


Selama dilakukan CT Scan, beberapa pasien dewasa dan anak-anak usia sekolah
memerlukan pemberian sedasi. Kadang-kadang, midazolam intravena dititrasi dengan
dosis 0,5 mg atau propofol dengan dosis 25-100 ug/kg/menit mungkin efektif. Pada
pasien dengan tanda-tanda adanya kenaikan tekanan intrakranial atau jalan nafas
tidak bebas lebih baik dilakukan dengan anestesia umum. Harus diingat temperatur di
ruangan CT yang dingin, karena harus menjaga temperatur pasien terutama anak dan
usia tua.
Pada situasi di mana tekanan intrakranial merupakan faktor kritis yang harus
dipertimbangkan, pemasangan jalur vena harus didahului dengan pemberian EMLA
(lidokain 2,5% dan prilokain 2,5%) krim dan induksi anestesia dapat dilakukan
secara intravena. Pada pasien dewasa, induksi intravena dengan memakai tiopental
(3-4 mg/kg), propofol 1-2 mg/kg, atau etomidat 0,15-0,3 mg/kg, narkotik fentanil 50-
100 ug (1-2 ug/kg), kemudian untuk fasilitas intubasi diberikan suksinilkolin1 mg/kg
yang sebelumnya diberikan lidokain 1-1,5 mg/kg untuk menurunkan peningkatan
tekanan darah dan denyut jantung akibat laringoskopi-intubasi. Pemeliharaan
anestesia dapat dengan anestetik inhalasi sevofluran atau anestesia intravena
propofol, karena pasien harus segera bangun/pulih dari efek anestesia segera setelah
prosedur diagnostik selesai.
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Ruangan MRI merupakan ruangan yang berlawanan dengan keinginan anestetis.
Anestetis terpaksa harus jauh dari pasien yang menyulitkan untuk melakukan

547
pertolongan segera pada pasien. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan antara
lain:
Alat metal yang berada dalam tubuh pasien dapat mengalami pemanasan dan
berpindah tempat. Probe EKG dan temperatur yang biasa dipakai di kamar bedah
dapat menimbulkan luka bakar pada kulit, maka sudah tersedia alat-alat tersebut yang
khusus digunakan di ruangan MRI.
Alat metal yang kecil dapat tersedot ke arah magnet. Alat yang lebih besar seperti
tabung oksigen dapat terdorong ke arah magnet, bisa jatuh dan melukai personil
medis dan pasien, maka secara umum semua alat metal harus jauh dari magnet dan
terfiksasi dengan kuat. Personil medis harus meninggalkan alat metal yang dimiliki
seperti jam tangan, kacamata, kartu kredit dsbnya dan disimpan di ruang persiapan.
Baru-baru ini sudah tersedia alat monitor seperti tekanan darah, kapnograf, pulsa
oksimetri, doppler, mesin anestesia, ventilator yang kompatibel dengan mesin MRI.
Juga tersedia laringoskop plastik, akan tetapi batrei dalam handel laringoskop dapat
terisap ke pusat magnet. Problema lain adalah adanya kesulitan memantau pasien,
adanya hipotermia, serta pasien obesitas yang sulit masuk ke jalur MRI.
Penatalaksanaan anestesia dengan pemberian sedasi dapat dipertanggung jawabkan,
juga untuk bayi. Akan tetapi, pada kasus di mana anestetis dipanggil untuk membantu
MRI pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial, sakit kritis atau problem
jalan nafas, maka membebaskan jalan nafas dengan intubasi endotrakeal merupakan
pilihan utama, lalu dilakukan ventilasi kendali melalui sirkuit anestesia yang panjang
untuk menjamin adekuatnya ventilasi.

Serebral Angiografy
Angiografi serebral penting untuk mengevaluasi perdarahan subarahnoid dan
penyakit arteri karotis. Paling aman dan paling sering digunakan adalah melalui arteri
femoralis dan penggunaan transfemoral kateter yang didorong sampai ke arteri
karotis. Sayangnya, problem neurologis akibat angiografi masih terjadi. Pada
penelitian prospektif pada 1002 angiogram, kejadian iskemik pada 0-24 jam setelah
prosedur sekitar 1,3% dan 2,5% pada pasien yang sedang diperiksa karena penyakit
serebrovaskular. Komplikasi kateterisasi yang lain adalah amnesia global selintas,
kebutaan kortikal, sindroma emboluskolesterol multipel.
Bila anestetis diminta untuk membantu prosedur diagnostik angiografi harus diingat
bahwa medium kontras dapat menyebabkan vasodilatasi dan perasaan terbakar.
Sering dosis sedatif harus dinaikkan untuk melawan rasa tidak enak tersebut.

Mielografi
Mielografi dilakukan untuk melihat isi sakus tekalis dan setiap penekanan intrinsik
atau ekstrinsik. Kontras media yang dimasukkan langsung ke ruangan subarahnoid,
akan membypass BBB. Obat kontras mielografi terbaru bersifat osmolaritas rendah,
nonionik, dan tercampur baik dengan cairan serebrospinal. Komplikasi utama dari
mielografi adalah sakit kepala, komplikasi akibat kontras, suntikan subdural atau

548
epidural, hematom kanalis spinalis, meningitis, kejang, dan berbagai bentuk defisit
neurologis.
Pertimbangan anestesia adalah posisi pasien terutama bayi dan anak karena meja
mielogram berputar untuk mendapatkan aliran kontras yang baik.

Obat untuk Kontras


Iodinated agent digunakan untuk angiografi dan mielografi. HOCAs (High Osmolar
Contras Agents) adalah monomer ionik, mempunyai osmolaritas 5-8 kali osmolaritas
serum, sedangkan LOCAs (Low Osmolar Contras Agents) suatu nonionik monomer
mempunyai osmolaritas 2-3 kali osmolaritas serum. LOCAs bersifat lebih hidrofilik
dan sedikit diikat oleh jaringan. Walaupun LOCAs harganya lebih mahal, akan tetapi
karena lebih menguntungkan untuk pasien, maka LOCAs lebih banyak digunakan.
Iodinated contrast agent bersifat nefrotoksik. Setelah efek vasodilatasi ringan,
pembuluh darah renal mengalami vasokonstriksi yang lama. Pasien dengan
insufisiensi renal, diabetes melitus, sindrom curah jantung rendah, berisiko untuk
terjadinya nefrotoksisitas akibat zat kontras ini.
Respons terhadap zat kontras bervariasi dari perasaan panas sampai terjadinya syok
anafilaksis saat obat disuntikan. Penelitian multi institusi yang besar menunjukkan
bahwa pasien yang diberikan kontras nonionik mempunyai kemungkinan reaksi
alergi berat 1 berbanding 10.000. Pasien yang kemungkinan mempunyai problema
dengan pemakaian zat kontras adalah yang sebelumnya ada riwayat alergi terhadap
zat kontras, alergi obat, makanan, asma, dan juga penyakit jantung. Penggunaan
kortikosteroid metilprednisolon 2 kali 32 mg dosis oral, yang pertama diberikan 6-12
jam sebelum suntikan dan lainnya 2 jam sebelum suntikan, secara nyata mengurangi
kemungkinan terjadi reaksi yang berat. Beberapa pusat menambahkan pemakaian
antihistamin pada regimen steroid tersebut.
Tidak jarang terjadi rasa gatal, merah dan bengkak di muka, leher, dada dan dapat
diterapi dengan pemberian antihistamin. Manifestasi reaksi yang berat dapat berupa
kesulitan bernafas, hipotensi, iritasi kulit yang luas memerlukan terapi epinefrin
intravena (100ug). Alat-alat harus siap di ruang radiologi untuk pengendalian jalan
nafas darurat dan penambahan beta-2 agonist mungkin berguna untuk terapi
bronkospasme. Kadang-kadang diperlukan penambahan cairan seperti juga
diperlukannya obat vasoaktif untuk memperbaiki tekanan darah.

ECT (Electrokonvulsive Therapy)


ECT digunakan untuk terapi pasien dengan depresi berat yang tidak respons terhadap
terapi obat. Sasaran anestesia adalah memberikan amnesia dengan pemulihan
kesadaran yang cepat, mencegah terjadinya cedera akibat tonic-clonic contracture
misalnya patahnya tulang panjang, mengendalikan respons hemodinamik, dan
menghindari terjadinya kejang. Indikasi-kontra absolut dari ECT adalah pasien
dengan hipertensi intrakranial. Indikasi-kontra relatif adalah adanya massa
intrakranial dengan tekanan intrakrnial yang normal, aneurisma serebral, infark

549
jantung yang baru terjadi, abgina, gagal jantung kongestif, glaukoma yang tidak
diobati, fraktur tulang panjang, tromboplebitis, kehamilan, dan ablasio retina. Pasien
yang sedang diterapi dengan benzodiazepin atau litium, obat tersebut harus
dihentikan sebelum dilakukan ECT. Benzodiazepin adalah antikonvulsan dan
menghilangkan atau mengurangi induced seizure akibat ECT. Litium dihubungkan
dengan delirium setelah ECT. Teknik anestesianya tidak memerlukan premedikasi,
pasien tetap dipuasakan. Sulfas atropin hanya diberikan bila pasien sebelunnya
bradikardia. Pasang kanula intravena, standard monitor, berikan preoksigenasi
dengan oksigen 100%. Anestesia diberikan dengan propofol dan suksinilkolin.

Referensi:
1. Hurford WE et al. Clincal Anesthsia Procedure of the Massachusetts General Hospital.
6th ed, Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins 2002.
2. Stone DJ, Sperry RJ, Johnson JO, Spiekermann BF, Yemen TA. The
Neuroanesthesia Handbook. St Louis : Mosby 1996, 297-329.
3. Matta BF, Menon DK, Turner JM. Textbook of Neuroanesthesia and Critical
care. London :Greenwich Medical Media 2000,413-25.
4. Newfield P, Cottrell JE., eds. Handbook of Neuroanesthesia, 3 rd ed,
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 1999:310-25.

550
MODUL 30 ANESTESIA PASIEN DENGAN
PENYAKIT KHUSUS

Mengembangkan komepetensi Waktu, semester 4dan semester 6

Sesi di dalam kelas Terintegritas waktu menangani pasien


Bangsal dan ICU selama 2 pekan.
Sewsi dengan fasilitas pembimbing

Sesi praktek dan pencapaian kompetensi

Persiapan Sesi

Audiovisual

1.LCD proyektor dan layar

30. Laptop
31. OHP
32. Flipchart
33. Pemutar video
Materi prsentasi :

CD power point

Sarana

5. Ruang belajar
6. Ruang pemeriksaan
7. Ruang pulih
8. Ruang rawat Inap / pengamat Lanjut
Kasus : pasien dari berbagai bidang Ilmu dari Bangsal biasa dan ICU

Alat bantu latih : model anatomi / simulator

Penuntun belajar : lihat acuan materi

Daftar tilik kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

551
- Basic & Clinical Pharmacology Katzung BG 9th ed 2004
- Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr 4th ed 2006
- Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2005.
4. Millers Anesthesia RD 6th ed 2005

Tujuan Umum :

Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik dapat memberikan anestesia dan perioperatif care
pada pasien dengan penyakit dan kondisi khusus yang umum didapatkan.

Tujuan Khusus :

Kognitif
1. Mampu menjelaskan patofisiologi gangguan hormon tiroid,dan gangguan
metabolisme karbohidrat

2. Mampu menjelaskan patofisiologi malnutrisi-obesitas


3. Mampu menjelaskan perubahan tubuh pada adiksi narkotik
4. Mampu menjelaskan patofisiologi COPD dan asma bronkial
5. Mampu menjelaskan perubahan fungsi sistem tubuh akibat perubahan degeneratif pada usia
lanjut .
6. Mampu merencanakan anestesia dan asuhan pascabedah untuk pasien dengan hipertiroid dan
diabetes melitus.
7. Mampu merencanakan anestesia dan asuhan pascabedah untuk pasien dengan obesitas
8. Mampu merencanakan anestesia dan asuhan pascabedah untuk pasien dengan adiksi narkotik
9. Mampu merencanakan anestesia dan asuhan perioperatif untuk pasien dengan PPOM dan
asma bronkial.
10. Mampu merencanakan anestesia dan asuhan pasca bedah untuk pasien geriatri
11. Mampu mengatasi komplikasi yang terjadi selama anestesia dan masa perioperatif
pasien dengan penyakit khusus.

Psikomotor
Mampu melakukan anamnesis dan diagnosis fisis pada pasien dengan penyakit khusus yang akan
mengalami pembedahan untuk penyakit primer atau penyakit lain yang menyertai.

Mampu melakukan persiapan pra anestesia untuk pasien dengan penyakit khusus

552
Mampu melakukan penatalaksanaan anestesia pada pasien dengan penyakit khusus

Mampu melakukan asuhan pascabedah pada pasien dengan penyakit khusus

Komunikasi
1. Mampu menjelaskan proses anestesia dan risiko anestesia kepada pasien
2. Mampu menjelaskan proses anestesia dan risiko anestesia kepada keluarga pasien
3. Mampu menimbulkan kepercayaan dan rasa aman bagi pasien
4. Mampu mendiskusikan problema pasien dan bekerja sama dengan spesialis Bedah

Profesionalism

1. Mampu memberikan penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang prosedur anestesia,
penatalaksanaan nyeri, kemungkinan efek samping dan prediksi keberhasilan prosedur anestesia.

2. Mampu mendiskusikan tentang asuhan perioperatif , proses anestesia, problema


anestesia, kemungkinan komplikasi selama pembedahan dan pascabedah dengan
spesialis bedah.

Key notes :

1.a. Pada pasien geriatri, pelbagai perubahan fungsi organ dan adanya berbagai penyakit yang
menyertai membutuhkan pemilihan teknik dan obat anestetik yang sesuai.

b. Perubahan fungsi ginjal dan hati mempengaruhi dosis pendahuluan maupun

rumatan dan penggunaan multidrug sebaiknya dihindari

2.a. Anestesia dan pembedahan tidak dilakukan pada saat eksarsebasi akut

dan adanya infeksi traktus respiratori pada penderita PPOM dan asma bronkial.

b. Performance fungsi paru sebelum dan sesudah pemberian bronkodilator

diindikasikan pada pembedahan besar.

c. Persiapan terapi status asmatikus selama anestesia dan pembedahan adalah mutlak.

3.a. Kadar gula darah dan komplikasi yang diakibatkannya harus terkendali pada

persiapan prabedah elektif pasien DM (hipoglikemi, hiperglikemi, ketidakseimbangan


elektrolit, ketoasidosis dll )

553
b. Perhatian khusus pada kemungkinan telah terjadinya autonomic neurophaty terutama
cardiac autonomic neuropathy yang dapat berakibat fatal.

c. Pengendalian medikamentosa untuk mencapai eutiroid mutlak pada pembedahan elektif


pasien hipertiroid,demikian juga persiapan untuk mengendalikan krisis tiroid selama
pembedahan.

4. Gangguan fungsi tubuh karena obesitas terutama sistem kardivaskular dan pernafasan
meningkatkan risiko anestesia baik dari segi kesulitan teknik, pengendalian fungsi vital
dan perawatan pascabedah.

5.a. Prabedah dapat dilakukan terapi pengganti dengan metadone, premedikasi

dengan opiod. Anestesia pada pasien umumnya berhasil baik dengan obat anestetik
inhalasi.

b. Perhatian terhadap kemungkinan hipotensi yang dapat disebabkan insufisiensi adrenal.

Gambaran Umum

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu memberikan anestesia dan melaksanakan
asuhan perioperatif pada pasien dengan penyakit-penyakit khusus yang umum didapat.

Tujuan Pembelajaran

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memahami patofisiologi berbagai penyakit khusus
yang umum ditemukan, seperti penyakit jantung, penyakit ginjal dan hipertensi, penyakit
endokrin, penyakit paru dan gangguan respirasi, gangguan nutrisi dan obesitas, penyakit hati,
pasien geriatri dan gangguan degeratif, pasien dengan adiksi obat seperti narkotika dan
amfetamin. Demikian juga obat apa yang dikonsumsi pasien untuk jangka panjang. Atas dasar
hal tersebut dapat direncana teknik, dan jenis obat yang akan dipergunakan. Asuhan medis
perioperatif sudah tentu dapat dilaksanakan dengan baik

Waktu:

Selama semester 5-7,masing masing penyakit khusus 2 kasus

554
Sumber pembelajaran
- Buku teks,jurnal ilmiah
- Dosen pembimbing
- Pasien di ruang rawat,ruang pembedahan,PACU

Metode pembelajaran
- Belajar mandiri
- Bed site teaching,preoperatif visite
- Magang/asistensi
- Diskusi kasus
- Reading Assignment

Pokok Bahasan Kuliah Interaktif dan Diskusi kelompok


1.Patofisiologi Hipertiroid dan Diabetes Melitus

2.Patofisiologi Obesitas

3.Perubahan respons tubuh pada adiksi narkotik

4.Patofisiogi PPOM dan Asma bronkiale

5.Perubahan respons tubuh karena usia lanjut dan penyakit penyerta

Evaluasi:
- Pre- test
Dilakukan dengan tes tulis,materi pengetahuan dasar

- Pos-tes
Dilakukan dengan tes tulis,clinical vignette

- Clinical Performance Assessment


- OSCE

- Practice

Kemampuan kognitif,psikomotor dan afeksi yang direfleksikan sebagai


Clinical performance dinilai dari penatalaksanaan kasus simulasi maupun aktual.

555
DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Sudah Belum
No. Daftar cek penuntun belajar prosedur Anestesia
dikerjakan dikerjakan

PERSIAPAN PRE OPERASI

Persetujuan setelah mendapatkan informasi yang


1
adekuat

2 Laboratorium

3 Pemeriksaan tambahan

4 Antibiotik propilaksis

5 Cairan dan Darah

6 Peralatan dan instrumen khusus

ANESTESIA

1 Teknik anestesia

2 Obat anestetik

PERSIAPAN ANALGESIA REGIONAL/LOKAL


DAERAH OPERASI

Penderita diatur dalam posisi sesuai dengan letak


1
kelainan

Lakukan desinfeksi dan tindakan asepsis/antisepsis pada


2
daerah operasi

3 Lapangan anestesia dipersempit dengan linen steril

TINDAKAN ANESTESIA

1 Induksi, intubasi

2 Rumatan

3 Ekstubasi

PERAWATAN PASCABEDAH

556
1 Komplikasi dan penangannya

2 Pengawasan terhadap fungsi vital

3 Pemantauan khusus dengan alat khusus

Catatan : Sudah/Belum dikerjakan beri tanda

Beri tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan
dengan memuaskan dan berikan tanda x bila tidak dikerjakan dengan memuaskan
serta T/D bila tidak dilakukan pengamtan

Memuaskan Langkah/tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard


atau penuntun

x Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/tugas sesuai dengan


prosedur

DAFTAR TILIK

Nama peserta didik Tanggal

Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK

No. Kegiatan/langkah klinis Kesempatan ke

1 2 3 4 5

557
Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih

Layak

Tidak layak

Melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

558
Materi Acuan

1. Menilai kapasitas fungsional pasien dengan obesitas

Penyakit-penyakit penyerta dan perubahan fungsi fisiologis pada pasien gemuk memerlukan
penilaian preoperatif yang lebih teliti; karena hipertensi, arterosklerosis dan kardiomegali
sering ditemukan, juga dapat disertai diabetes. Perubahan patologis yang berat dapat terjadi
pada banyak sistem organ pada pasien obese. Walaupun tidak ada penyakit yang menyertai,
obesitas meningkatkan risiko anestesia.

Fungsi pernafasan: kapasitas vital dan kapasitas residu fungsional menurun, tetapi closing
volume meningkat. Akibatnya, pintasan meningkat sehingga mudah terjadi hipoksemia.
Perubahan ini disebabkan oleh peningkatan tekanan abdominal terhadap diafragma pada posisi
supine, trendelenberg, dan lithotomy. Kekembangan paru atau dada menurun, kerja nafas dan
kebutuhan oksigen meningkat, produksi CO2 meningkat, sehingga menyebabkan hiperventilasi.

Secara teknis, operasi menjadi lebih sulit, karena kehilangan darah lebih banyak dan
meningkatkan risiko infeksi luka operasi.

Keseimbangan cairan harus dimonitor lebih ketat. Ventilasi mekanis pascabedah harus
dipertimbangkan terutama setelah pembedahan abdomen.

Tromboembolus paru dan komplikasi luka lebih sering terjadi sehingga pencegahan,
pemeriksaan, diagnosis dini serta pengobatan penting.

Sindrom Pickwickian ditandai dengan adanya kombinasi obesitas, episode somnolen dan
hipoventilasi yang disertai sianosis, polisitemia, hipertensi pulmonal dan gagal jantung kanan.
Pencegahan terjadinya hipoksia sangat penting dan ventilasi mekanis pascabedah mungkin
diperlukan, terutama setelah pembedahan abdomen.

2. Penilaian pasien dengan diabetes

Lima puluh persen pasien yang menjalani pembedahan menderita diabetes. Morbiditas dan
mortalitas perioperatif lebih tinggi pada pasien diabetes dibandingkan dengan non-diabetes.
Terdapat 2 tipe diabetes:

-Tipe I; bergantung pada insulin; terjadinya penyakit pada usia muda namun tidak selalu dari
kecil. Penyakit ini ditandai dengan tidak adanya atau aktivitas insulin yang rendah disertai
kecenderungan terjadinya ketoasidosis. Pengobatan terdiri dari penggunaan insulin seumur hidup
dikombinasi dengan diet dan olahraga.

559
-Tipe II; biasanya timbul pada usia lebih tua (> 40 tahun); tipe ini dapat memiliki kadar insulin
plasma yang rendah, normal, atau tinggi dan kebanyakan disertai obesitas, juga sering
membutuhkan tambahan insulin dari luar untuk mengatasi gejala hiperglikemia. Tipe ini jarang
mengalami ketosis dan tidak bergantung pada pada insulin.

Pemeriksaan fisis harus dilakukan untuk menilai komplikasi dari diabetes, seperti adanya
pandangan yang tidak normal, harus diperiksa apakah ada perdarahan atau eksudat. Kelainan
denyut nadi dan tekanan darah pada perubahan posisi atau ortostatik dapat menandakan adanya
gangguan fungsi autonom. Harus dilakukan pemeriksaan proprioseptif dan sensori pada
ekstremitas atas dan bawah untuk mendeteksi adanya neuropati. Jika pada pemeriksaan fisis
jantung, pernafasan dan ekstremitas ditemukan kelainan maka harus dievaluasi apakah ada
insufisiensi aliran pembuluh darah.

Kadar gula darah harus diperiksa. Penilaian kadar gula darah harian dapat membantu penilaian
terhadap derajat diabetes.

Fungsi ginjal harus dievaluasi dengan mengukur kadar ureum kreatinin, klirens kreatinin, nilai
ekskresi protein, elektrolit, analisis urin dan analisis gas darah.

Belum ada kesepakatan mengenai regimen terapi tunggal untuk penanganan perioperatif
penderita diabetes. Pembedahan yang akan dilakukan juga harus dipertimbangkan; satu protokol
perioperatif saja mungkin tidak sesuai untuk semua jenis pembedahan, sehingga penatalaksanaan
perioperatif harus dilakukan dengan pendekatan individual.

Pengukuran gula darah perioperatif harus dilakukan secara rutin dan pemberian insulin
disesuaikan. Target gula darah sekitar 200 250 mg/dL. Diharapkan dapat mencegah
hipoglikemia maupun hiperglikemia berat.

Problema yang dapat terjadi pada penderita diabetes antara lain :

- Tingginya gula darah : menimbulkan poliuri, rasa haus, infeksi dan sulitnya penyembuhan
luka
- Ketoasidosis : asidosis metabolik berat, kehilangan natrium dan air ekstrasel, gagal sirkulasi
dan koma

560
- Penyakit jantung : arteriosklerosis koroner dan meningkatnya risiko operasi
- Gangguan pembuluh darah perifer : pembedahan pada arteri besar sering dibutuhkan dan
memiliki risiko lebih tinggi daripada pasien non-diabetes
- Nefropati diabetes : menyebabkan sindrom nefrotik dan uremia
- Neuropati perifer : menyebabkan ulkus pedis
- Neuropati autonom : menyebabkan henti nafas-henti jantung, hipotensi postural,gastroparesis
dan retensi urin. Apnea tidur dan kematian mendadak dapat terjadi karena pemberian obat
yang menekan pernafasan
- Retinopati dan katarak : memerlukan oeprasi

Pemberian insulin harus dipertimbangkan pada pasien diabetes yang akan menjalani
pembedahan. Insulin dapat mencegah hiperglikemia dan menghambat mobilisasi lemak, yang
dapat memperberat terbentuknya keton. Dengan pengecualian pasien diabetes tipe 2 yang
terkontrol dengan diet, semua pasien diabetes membutuhkan pemberian insulin sebelum
pembedahan.

3. Penatalaksanaan pasien dengan asma

Penyakit asma ditandai dengan gejala mengi, sesak nafas atau batuk yang disebabkan
penyempitan jalan nafas ringan sampai berat dalam suatu periode waktu dan membaik secara
spontan atau dengan terapi. Gejala yang timbul disebabkan oleh spasme otot polos bronkial,
sumbatan mukus dan edema jalan nafas, dan dapat dialami pasien semua umur.

Ada 2 tipe penyakit asma :

- Ekstrinsik, disebabkan alergen eksternal yang terlihat

- Intrinsik, gejala timbul pada usia dewasa, bersifat kronik, terus menerus dan sering memerlukan
terapi steroid jangka panjang.

Penilaian kondisi penyakit meliputi :

- Anamnesis, frekuensi dan beratnya serangan, faktor pencetus dan riwayat pengobatan
- Pemeriksaan fisis : dengan atau tanpa ronki, fase ekspirasi yang memanjang, overdistensi
rongga dada, adanya infeksi
- Uji fungsi paru (spirometri) : FEV1.0 / FVC sebelum dan sesudah inhalasi bronkodilator,
analisa gas darah bila perlu pada kasus berat.

561
Hampir 10% dari pasien asma dewasa rentan terhadap aspirin dan obat jenis NSAIDs, sehingga
pemakaian obat tersebut harus hati-hati kecuali terbukti tidak mencetuskan serangan.

4. Penatalaksanaan pasien PPOK

PPOK meliputi semua pasien yang memiliki gangguan/keterbatasan inspirasi ekspirasi yang
ireversibel karena bronkitis kronik dan emfisema.

1. Bronkitis kronik adalah kelainan yang ditandai dengan batuk kronik dan berulang yang
ditimbulkan oleh sekresi mukus bronkus yang berlebihan. Hipoksia kronik yang terjadi
dapat menyebabkan polisitemia dan cor pulmonale (blueboater). Hipoventilasi
menyebabkan PCO2 meningkat dan pusat pernafasan menjadi tidak sensitif. Sehingga
bila ada infeksi paru hipoventilasi yang terjadi akan semakin berat. Sputum harus
dikeluarkan dengan drainase postural sebelum dilakukan anestesia. Sebaiknya dilakukan
fisioterapi pre dan pos operasi.
2. Emfisema adalah kelainan yang ditandai dengan melebarnya jalan nafas distal sampai ke
bronkiolus terminalis karena kerusakan pada dindingnya. Hal ini menyebabkan hilangnya
kemampuan elastis rekoil paru, terjadinya ekspansi rongga dada yang berlebihan,
penutupan jalan nafas yang lebih cepat pada ekspirasi dan gas trapping. Ventilasi dapat
berfungsi dengan baik tapi dengan kerja nafas yang berat (pink puffer). Diafragma
menjadi lebih horisontal dan mendatar dan akan menarik iga bagian bawah pada saat
inspirasi. Otot nafas tambahan seperti otot skalenus dan sternomastoid juga ikut bekerja
saat inspirasi.

Penatalaksanaan preoperatif meliputi:

Deteksi dan pengobatan infeksi aktif. Kultur sputum dan uji sensitifitas harus dilakukan untuk
pemilihan antibiotik.

Pengobatan terhadap obstruksi jalan nafas

Pemeriksaan foto toraks untuk mendeteksi adanya pneumotoraks spontan atau bula paru.

Pengobatan untuk gagal jantung kongestif yang sering terjadi pada pasien PPOK dan diatasi
dengan pemberian diuretik.

Menghentikan kebiasaan merokok.

562
7. Penilaian pada penderita penyakit jantung iskemik

Pada penderita ini, sebanyak 15% tidak menunjukkan adanya kelainan pada pemeriksaan
fisis maupun EKG saat istirahat. Sebesar 5% penderita berusia lebih dari 35 tahun memiliki
penyakit jantung iskemik tanpa gejala. Pada penderita yang mengalami anestesia dan
pembedahan dalam jangka waktu 3 bulan setelah terjadinya infark, sebesar 40% penderita
berisiko untuk timbul perioperatif infark. Angka ini menurun 15% pada waktu 3 6 bulan dan
menurun 5% lagi setelah 6 bulan.

Angka mortalitas terjadinya infark kembali pascabedah adalah 40 60%.

Pembedahan elektif seharusnya ditunda sekurang-kurangnya 6 bulan setelah terjadinya infark


kembali kecuali kalau sangat mendesak.

Unstable angina berhubungan dengan meningkatnya risiko infark miokard perioperatif dan
seharusnya dikontrol dengan penghambat beta, nitrat atau kalsium canel bloker sebelum
pembedahan.

Tidak ada bukti bahwa insidens infark pascabedah menurun dengan penggunaan teknik analgesia
lokal atau regional.

Memahami potensi terjadinya interaksi obat perioperatif

Pada penggunaan 2 atau lebih obat yang menghasilkan efek yang tidak diharapkan, anestetis
harus mempertimbangkan terjadinya suatu interaksi obat sebagai penyebabnya. Oleh karena
banyaknya kombinasi obat yang digunakan maka semua interaksi obat tidak dapat diketahui atau
diprediksi. Pengetahuan mengenai klasifikasi obat, mekanisme aksi dan potensi terjadinya efek
yang tidak diinginkan dapat membantu memprediksi terjadinya interaksi obat.

Interaksi obat terjadi ketika suatu obat mengubah intensitas efek farmakologis obat lain yang
diberikan hampir bersamaan. Interaksi obat menggambarkan perubahan farmakokinetik dan
farmakodinamik. Hasil suatu interaksi obat adalah bertambahnya atau berkurangnya efek dari
satu atau kedua obat, sehingga dapat timbul efek yang diinginkan.

563
Suatu contoh interaksi obat yang menguntungkan adalah propanolol dengan hidralazin untuk
mencegah peningkatan denyut jantung akibat kompensasi turunnya tekanan darah oleh karena
hidralazin. Interaksi obat juga sering digunakan untuk mengkontra efek agonis obat, misalnya
penggunaan nalokson untuk mengantagonis opioid.

Efek terapi obat yang telah digunakan sebelum perioperatif

Obat anti-hipertensi: Biasanya dilanjutkan sampai saat pembedahan. Terapi yang adekuat
menghasilkan volume darah normal dan mengurangi risiko terjadinya peningkatan atau
penurunan tekanan darah yang berbahaya saat induksi anestesia. Pengisian volume sebelum
induksi dapat mencegah penurunan tekanan darah dan menghindari terjadinya hipovolemi saat
pembedahan adalah hal yang penting. Bradikardia lazim terjadi pasien yang diterapi dengan
penghambat beta. Obat parenteral alternatif mungkin diperlukan untuk mengganti obat
antihipertensi yang hanya dapat digunakan secara oral saja, misalnya ACE-inhibitor.

Obat anti-angina: Misalnya calsium channel blocker atau nitrat (NTG) seharusnya tidak
dihentikan sebelum pembedahan tanpa ada alasan spesifik. Kalau perlu, glyceryl trinitrate patch
transdermal yang ditempelkan di dada lateral dapat bertahan selama 24 jam. Spray NTG
sublingual dapat digunakan untuk mula kerja cepat.

Litium seharusnya dihentikan 2 hari sebelum pembedahan mayor karena dapat mempotensiasi
pelumpuh otot non-depolarisasi; tetapi pada kasus darurat pelumpuh otot depolarisasi
(suksametonium) dan blok regional dapat dipertimbangkan sebagai alternatif. Toksisitas litium
dapat terjadi jika pasien dalam keadaan dehidrasi. Umumnya, terapi litium aman dilanjutkan
sebelum pembedahan minor, asalkan keseimbangan cairan dan elektrolit diperhatikan.

Inhibitor MAO tipe A, seperti fenelizin, isokarboksazil dan khususnya tranilsipramin


seharusnya dihentikan 2 pekan sebelum pembedahan elektif. Cara kerja obat ini tidak difahami
sepenuhya. Reaksi terhadap petidin, fentanil dan morfin pernah dilaporkan pada penderita yang
menggunakan MAO inhibitor dan pernah terjadi kematian. Reaksi berupa koma, kedutan otot,
hipotensi, ataksia dan eksitasi serebral. Tidak semua pasien menunjukkan reaksi tersebut, dan
dosis kecil petidin dapat digunakan dengan mengawasi nadi dan tekanan darah. Efek berbahaya
akibat hipertensi dan bahkan kematian dapat terjadi jika obat vasopresor (misalnya adrenalin)
digunakan pada pasien dengan terapi MAO inhibitor, namun dapat dikontra oleh fentolmin.

564
Untuk analgesia pascabedah pada penderita dengan terapi MAO inhibitor, kombinasi kodein dan
klorpromazin dapat digunakan tanpa terjadi efek samping. Analgesia regional dan NSAID juga
dapat digunakan.

Terapi steroid

Sekresi normal hidrokortison dari korteks adrenal adalah 20 mg/hari, namun dapat
meningkat 300 500 mg/ hari sebagai respons terhadap pembedahan dan anestesia.

Terapi steroid mensupresi produksi ACTH (hormone adrenocorticotrophine) di kelenjar


pituitari anterior. Terjadi atrofi korteks adrenal dan selanjutnya tidak bisa lagi mensekresi ACTH.
Hal ini mengakibatkan hipotensi selama dan sesudah anestesia dengan adanya penurunan
sensitivitas terhadap katekolamin. Terapi kortikosteroid selama 1 pekan dapat menyebabkan
depresi korteks; biasanya pulih 2 bulan setelah penghentian steroid, namun efeknya dapat
berlangsung lebih dari setahun dan pada sebagian kasus tidak dapat pulih sama sekali. Tidak ada
tes sederhana yang memuaskan untuk menilai cadangan adrenokortikal. Umumnya lebih aman
untuk mengamsumsi bahwa tidak ada cadangan adrenal dan untuk memberikan hidrokortison
ekstra selama perioperatif (misalnya hidrokortison 100 mg intramuskular sebelum pembedahan
dan dilanjutkan 6 8 jam untuk 24 jam setelah pembedahan minor; dan terapi selama 3 hari pada
pembedahan mayor.

Tabel: Mekanisme interaksi obat

CONTOH EFEK

1.Inkompatibilitas Tiopenton dan Presipitat


suksametonium
farmasetik
Analgesia opioid & obat
2.Mengganggu absorbsi oral Absorbsi lebih lama

Obat Aspirin & warfarin


3.Perubahan distribusi obat Perdarahan

(mis. tidak berada di

tempat ikatan protein

plasma) Adrenalin dan propanolol


4.Reseptor kompetitif Antagonisme

565
5.Perubahan metabolisme

Hepatik Fenobarbital dan warfarin

- Induksi enzim Simetidin dan obat lainnya Penurunan efek warfarin


- Inhibisi enzim
Halotan & ketamin Pemanjangan efek

- Perubahan aliran
darah hepatik
6.Gangguan ekskresi Eliminasi lebih lama

- Renal Probenesid & penisilin

7.Antagonisme atau
Alkohol dan barbiturat Konsentrasi tinggi
potensiasi obat yang penisilin

bekerja di sistem Potensiasi

fisiologis yang sama atau


pada waktu yang sama

8.Perubahan
keseimbangan cairan dan
elektrolit

9. Dan lain-lain

Table : Mechanism of drug interaction

Premedikasi

566
Target dari pemberian premedikasi adalah :

1. Mengatasi kecemasan, takut dan nyeri


2. Mengurangi sekresi jalan nafas
3. Membantu efek hipnotik obat anestetik umum
4. Mengurangi mual muntah pascabedah
5. Menimbulkan amnesia
6. Mengurangi volume dan meningkatkan pH isi lambung
7. Mencegah reflek vagal
8. Mencegah respons simpatoadrenal.

Mengatasi kecemasan

Rasa cemas secara efektif dapat diatasi dengan cara non-farmakologis yaitu dengan psikoterapi.
Cara ini dapat dilakukan saat kunjungan preoperatif dengan menjelaskan apa saja yang akan
dilakukan selama perioperatif dan mendapat kepercayaan sehubungan dengan yang dicemaskan
dan ditakutkan pasien. Pada beberapa pasien penjelasan dan memberi keyakinan tidak cukup
efektif menghilangkan rasa cemas dan takut, sehingga diperlukan bantuan medikasi yang bersifat
ansiolitik seperti benzodiazepin.

Mengurangi sekresi jalan nafas

Obat anestetik lama seperti eter dapat menimbulkan sekresi jalan nafas faring dan kelenjar
bronkial yang berlebihan, sehingga premedikasi antikolinergik seperti atropin sangat diperlukan.
Dengan keberadaan obat-obat anestetik modern saat ini seperti halotan, maka efek yang
dihasilkan menjadi tidak jauh berbeda dibandingkan dengan tanpa pemberian. Walaupun
demikian beberapa anestetis tetap menggunakan obat antikolinergik untuk mengurangi sekresi
yang terjadi karena penggunaan alat-alat untuk mengamankan jalan nafas seperti pipa orofaring
atau pipa endotrakeal. Penggunaan ketamin juga dapat menimbulkan sekresi yang berlebihan
sehingga pemberian antikolinergik sangat diperlukan.

Sedasi

567
Sedasi berbeda dengan penghilang kecemasan (ansiolisis) Beberapa obat seperti barbiturat dan
opioid mempunyai efek sedasi namun tidak mempunyai efek menghilangkan kecemasan. Pada
umumnya tidak diperlukan penggunaan sedasi sebelum operasi kecuali pasien merasa perlu.

Antiemetik pascabedah

Antiemetik dapat diberikan sebagai premedikasi namun akan lebih efektif bila diberikan pada
saat pengakhiran anestesia.

Menimbulkan amnesia

Pasien seharusnya mengalami amnesia sesaat menjelang operasi karena operasi adalah suatu
pengalaman yang kurang menyenangkan bagi banyak pasien. Akan tetapi beberapa anestetis
berpendapat bahwa amnesia tidak seharusnya diberikan pada pasien anak, karena akan
menyamarkan keadaan tidur alami atau efek akibat amnesia sehingga pasien anak akan
terbangun pada saat diinsisi.

Banyak pendapat yang menyatakan bahwa amnesia retrograde tidak akan tercapai. Namun
amnesia anterograde (setelah pemnberian obat) dapat diperoleh dengan penggunaan
bezodiazepin.

Menurunkan volume dan meningkatkan pH isi lambung

Pada pasien dengan risiko muntah dan regurgitasi, dapat dipergunakan obat untuk membantu
pengosongan lambung dan peningkatan pH isi lambung. Hal ini dapat dicapai dengan
menggunakan :

Metoklopromid, untuk obat antiemetik


Antasid untuk meningkatkan pH lambung
Simetidin dan ranitidin (histamine H2-receptor antagonists), untuk meningkatkan pH isi
lambung dan menurunkan volume asam lambung.

568
Penurunan refleks vagal

Bradikardia adalah manifestasi dari rangsangan refleks vagal yang dapat berakibat fatal. Hal ini
dapat terjadi pada beberapa keadaan :

Penarikan otot-otot mata, yang lebih sering terjadi pada otot rektus medialis pada operasi
strabismus yang menyebabkan bradikardia dan atau aritmia (reflek okulokardiak). Premedikasi
dengan atropin dapat mencegah efek ini.

Pemberian berulang suksametonium sering diikuti dengan bradikardia yang dapat menyebabkan
asistol. Pemberian atropin sebelum pemberian suksametonium akan membantu mencegah
kejadian ini.

Induksi anestesia dengan menggunakan halotan pada anak dikaitkan dengan kejadian
bradikardia. Pemberian atropin dapat mencegah komplikasi ini.

Mengurangi respons simpatoadrenal

Induksi anestesia dan intubasi dihubungkan dengan aktivitas simpatoadrenal, yang


bermanifestasi dengan takikardia, hipertensi dan peningkatan katekolamin plasma. Respons ini
dapat membahayakan pasien dengan hipertensi atau penyakit jantung iskemik. Untuk
menurunkan respons tersebut dapat digunakan beberapa obat sebagai premedikasi :

Opioid
- bloker
Agonis reseptor 2

Referensi :

1. Basic & Clinical Pharmacology Katzung BG 9th ed 2004

2. Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr 4th ed 2006

3. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2005.

4. Millers Anesthesia RD 6th ed 2005

569
MODUL 31 ANESTESIA PASIEN DENGAN
PENYAKIT LANGKA

Mengembangkan kompetensi Waktu, semester 6

Sesi di dalam kelas Terintegritas waktu menangani pasien bangsal


, kamar operasi dan ICU selama 2 pekan.
Sewsi dengan fasilitas pembimbing

Sesi praktek dan pencapaian kompetensi

Persiapan Sesi

Audiovisual

1. LCD proyektor dan layar


2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Pemutar video
Materi presentasi :

CD power point

Sarana

1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang pulih
4. Ruang rawat inap / pengamat lanjut
Kasus : pasien dari berbagai bidang ilmu dari bangsal biasa dan ICU

Alat bantu latih : model anatomi / simulator

Penuntun belajar : lihat acuan materi

Daftar tilik kompetensi : lihat daftar tilik

570
Referensi :

1. Anesthesia and Uncommon Diseases edisi 5, Lee A. Fleisher, MD.


2. Anesthesia and Uncommon Diseases, Jonathan Benummof dan Katj

Tujuan Umum :

Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik dapat memberikan anestesia dan asuhan perioperatif pada
pasien dengan penyakit langka.

Tujuan Khusus :

Kognitif
1. Mampu merencanakan pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk
diagnosis pasien penyakit langka yang akan mengalami pembedahan untuk penyakit primer atau
penyakit lain yang menyertai.
2. Mampu menjelaskan patofisiologi penyakit-penyakit langka.
3. Mampu menjelaskan anestesia dan perawatan pasca-anestesia untuk pasien penderita penyakit
langka.
4. Mampu menjelaskan komplikasi yang terjadi selama anestesia dan masa perioperatif pasien
dengan penyakit langka.

Psikomotor
1. Mampu melakukan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang yang diperlukan
untuk diagnosis pasien penyakit langka yang akan mengalami pembedahan untuk penyakit
primer atau penyakit lain yang menyertai.
2. Mampu melakukan persiapan dan optimalisasi pra anestesia untuk pasien dengan penyakit
langka.
3. Mampu melakukan penatalaksanaan anestesia pada pasien dengan penyakit langka.
4. Mampu melakukan perawatan pasca-anestesia pada pasien dengan penyakit langka.

Komunikasi
1. Mampu menjelaskan proses anestesia dan risiko anestesia kepada pasien
2. Mampu menjelaskan proses anestesia dan risiko anestesia kepada keluarga pasien
3. Mampu menimbulkan kepercayaan dan rasa aman bagi pasien
4. Mampu mendiskusikan problema pasien dan bekerjasama dengan spesialis terkait.

Profesionalisme

1. Mampu memberikan penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang prosedur


anestesia,penatalaksanaan nyeri ,kemungkinan efek samping dan prediksi keberhasilan
prosedur anestesia.

571
2. Mampu mendiskusikan tentang asuhan perioperatif, proses anestesia, problema anestesia,
kemungkinan komplikasi selama pembedahan dan pascabedah dengan spesialis-spesialis terkait.

Key notes :

1. Penyakit langka adalah penyakit yang jarang dijumpai, tidak hanya karena jumlahnya
yang sedikit, tapi juga mempunyai gejala, patofisiologi, dan morfologi yang tidak biasa.
2. Penyakit langka melibatkan dan mempengaruhi beberapa sistem tubuh yang mempunyai
konsekuensi yang sangat berbeda terhadap.
3. Penyakit langka memerlukan penanganan multidisipliner, perawatan dan pemantauan
khusus.

Gambaran Umum

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu memberikan anestesia dan melaksanakan asuhan
perioperatif pada pasien penyakit langka yang dirawat karena penyakitnya atau penyakit penyerta.

Tujuan Pembelajaran

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memahami patofisiologi berbagai penyakit langka,
Demikian juga obat apa yang dikonsumsi pasien untuk jangka panjang. Atas dasar hal tersebut dapat
direncana pemilihan teknis, obat, perawatan, dan pemantauan yang akan dipergunakan. Asuhan medis
perioperatif penyakit langka dilaksanakan dengan baik

Waktu:

Selama semester 6, selama 2 pekan.

Sumber Pembelajaran
- Buku teks, jurnal ilmiah
- Dosen pembimbing
- Pasien di ruang rawat, ruang pembedahan, PACU

Metode pembelajaran
- Belajar mandiri
- Bed site teaching,preoperatif visite
- Magang/asistensi
- Diskusi kasus
- Reading Assignment

572
Pokok Bahasan Kuliah Interaktif dan Diskusi kelompok
1.Patofisiologi penyakit langka.

2.Penatalaksanaan anestesia penyakit langka.

Evaluasi:
- Pre- tes
Dilakukan dengan tes tulis,materi pengetahuan dasar

- Pos-tes
Dilakukan dengan tes tulis, clinical vignette

- Clinical Performance Assessment


- OSCE

- Practice

Kemampuan kognitif, psikomotor dan afeksi yang direfleksikan sebagai


Clinical performance dinilai dari penatalaksanaan kasus simulasi maupun aktual.

Pre-tes

a) Marfans sindrom
1. Sebutkan manifestasi klinis Marfans sindrom
2. Bagaimanakah patofisologi kelainan Marfans sindrom
3. Sebutkan problem potensial penatalaksanaan anestesia pada Marfans sindrom
b) Tetralogy of Fallots
1. Sebutkan manifestasi klinis tetralogy of fallots
2. Bagaimanakah patofisiologi tetralogy of fallot
3. Sebutkan problem potensial penatalaksanaan anestesia pada penderita tetralogy
of fallots
4. Apa yang dimaksud ted spell dan bagaimana penatalaksanaanya
c) Miastenia gravis
1. Sebutkan gejala dan klinis tanda-tanda klinis miastenia gravis
2. Bagaimanakah patofisologi miastenia gravis
3. Sebutkan problem potensial penatalaksanaan anestesia miastenia gravis
d) Feokromositoma
1. Sebutkan gejala dan tanda klinis feokromositoma
2. Bagaimanakah patofisiologi feokromositoma
3. Pemeriksaan apakah yang diperlukan untuk feokromositoma
4. Bagaimanakah penatalaksanaan anestesia pada penderita feokromositoma
e) Hipertermia malignan
1. Sebutkan manifestasi klinis dan diagnosis hipertermia malignan
2. Bagaimanakah patofisiologi hipertermia malignan
3. Bagaimanakah penatalaksanaan anestesia pada curiga hipertemia malignan
4. Bagaimanakah penatalakanaan hipertermia malignan
f) Talasemia
1. Bagaimanakah patofisilogi talasemia

573
2. Bagaimanakah penatalaksanaan anestesia penderitra talasemia
3. Apakah potensial problema anestesia pada talasemia

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

No. Daftar cek penuntun belajar prosedur Anestesia Sudah dikerjakan Belum dikerjakan

PERSIAPAN PRE OPERASI

1 Persetujuan setelah mendapatkan informasi yang adekuat

2 Laboratorium

3 Pemeriksaan tambahan

4 Antibiotik propilaksis

5 Cairan dan Darah

6 Peralatan dan instrumen khusus

ANESTESIA

1 Teknik anestesia

2 Obat anestetik

3 Lapangan anestesia dipersempit dengan linen steril

TINDAKAN ANESTESIA

1 Induksi, intubasi

2 Rumatan

3 Ekstubasi

PERAWATAN PASCABEDAH

1 Komplikasi dan penangannya

2 Pengawasan terhadap fungsi vital

3 Pemantauan khusus dengan alat khusus

Catatan : Sudah/Belum dikerjakan beri tanda

574
Beri tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan
dengan memuaskan dan berikan tanda x bila tidak dikerjakan dengan memuaskan
serta T/D bila tidak dilakukan pengamtan

Memuaskan Langkah/tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard


atau penuntun

x Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/tugas sesuai dengan


prosedur

DAFTAR TILIK

Nama peserta didik Tanggal

Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK

No. Kegiatan/langkah klinis Kesempatan ke

1 2 3 4 5

575
Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih

Layak

Tidak layak

Melakukan prosedur Tanda tangan dan nama terang

Materi Acuan

Feokromositoma

Feokromasitoma adalah suatu tumor glandula suprarenalis yang menghasilkan katekolamin,


sehingga menyebabkan hipertensi, meski insidens hipertensi karena feokromositoma kecil < 0,1%. Tetapi
angka kematian feokromositoma yang berhubungan dengan tinggi 25 - 50%.

Katekolamin dilepas dari akhir saraf simpatis posganglion. Katekolamin disintesa dari tirosin
melalui hidroksilasi menjadi dopa, dopa melalui dekarboksilasi menjadi dopamin di dalam sel dopamin
diubah menjadi norepinefrin, norepinefrin oleh fenil-etanolamin-Ntranferase diubah menjadi epinefrin di
adrenal, sedikit di dalam sistem saraf dan sebagian di glia.

Nyeri dan stres intubasi menyebabkan pelepasan katekolamin yang berlebihan. Pada penderita
feokromositoma dengan stres ringan dapat menyebabkan peningkatan kadar katekolamin sampai 10x
pada pasien normal. Manipulasi pada tumor meski hati-hati dapat menyebabkan peningkatan kadar
katekolamin di darah hingga 100 -500x.

576
Tanda-tanda klinis penderita feokromositoma : paroksimal sweating hipertensi, sakit kepala,
sebagai tanda klinis yang sensitif dan spesifik dibanding tes laboratori.

Obat-obat antagonis adrenergik preoperatif,( bloker) direkomaendasikan karena ( bloker)


menurunkan komplikasi insiden krisis hipertensi perioperatif dan menurunkan insiden disfungsi miokard
perioperatif. Obat-obat anestetik secara teori menguntungkan tapi tidak secara klinis. Persiapan
preoperatif yang optimal, hati-hati induksi anestesia bertahap dan komunikasi yang baik antara tim bedah
dan tim anestesia merupakan hal yang penting.

Hipertermia malignan

Hipertermia malignan jarang terjadi, pada pasien anak-anak 1: 15.000, pada pasien dewasa 1:40.000.

Miopati yang karakteristik oleh kejadian acute hypermetabolistik state dalam jaringan otot akibat induksi
anestesia umum dapat juga terjadi pada pascabedah lebih dari 1 jam setelah anestesia tanpa diketahui
agen yang mencetuskannya.

Tanda-tanda hipertermia malignan

Hipermetabolisme

- kenaikan produksi CO2


- kenaikan konsumi oksigen
- asidosis metabolik
- sianosis
- low mixed venoumgs oxgen tension
- mottling

peningkatan aktivitas simpatis

- takikardia
- awal hipertensi
- aritmia
-
- hipernatremia
- hiperfosfatemia
- mioglobinemia
- mioglobinuria

kerusakan otot

- spasme maseter
- generalized kakuity
- kenaikan serum kreatin kinase
- hiperkalemia

577
Hipertermia

- demam
- berkeringat

Patofisiologi MH

- suksinilkolin atau anestesia inhalasi sendiri dapat mencetuskan episode MH

obat-obat yang diketahui dapat mencetuskan MH

- obat anestetik inhalasi


- siklopropan
- halotan
- metoksifluran
- enfluran
- isofluran
- desfluran
- sevofluran
- pelumpuh otot depolarisasi

Penatalaksanaan MH

1. Penghentian obat anestetik volatil dan suksinilkolin. Call for Help


2. Hiperventilasi dengan oksigen 100% dengan aliran tinggi
3. Pemberian sodium bikarbonat, 1-2 mEq/kgBB IV
4. Campuran dantrolen sodium dengan aqua bides dan berikan 2,5 mg/kg IV, secepat mungkin
5. Institute cooling measures (lavage, cooling blanket, cold intravenus soluttion)
6. pemberian obat inotropik dan antiaritmia bila perlu
7. Penambahan obat dantrolen jika dibutuhkan
8. Ganti pipa anestesia dan sodalime
9. Memantau keluaran urin, kalium, kalsium, gas darah, end tidal CO2, melakukan pemeriksaan
pembekuan
10. Obati hiperkalemia berat dengan dekstrosa, 25-50 g IV, dan reguler insulin, 10-20 U intravenous.
11. Mempertimbangkan pemasangan pemantauan invasif dari tekanan darah dan CVP

MIASTENIA GRAVIS

Adalah gangguan pada neuro muscular junction (NMJ) dengan karakteristik kelemahan otot yang
fluktuasi dan kelemahan yang abnormal. NMJ dimulai dari presinaptik dan pascasinaptik yang dipisahkan
oleh ruang inap. Terminal saraf mengandung acetilcoline membrane-enclosed synaptic vesicles, yang
akan dilepas sebagai respons terhadap potensial aksi. Molekul asetilkolin kemudian akan diikat oleh
reseptor pascasinaptik dan menimbulkan suatu potensial aksi otot. Selain acquired myastenia gravis dan
Eaton-Lambert sindroma, beberapa toksin dan obat-obatan dapat menyebabkan myasthenic-like syndrom

578
yang menyerupai NMJ, termasuk botulism, tetanus, racun ular, aminoglikosida, hipermagnesemia,
quinidin, dan racun organofosfat

Acquired Myasthenia Gravis

Sindroma klasik berupa kelemahan yang fluktuasi dan kelelahan termasuk okular dan otot-otot lain yang
dipersarafi nervus kranialis. Dengan memburuknya gejala dalam satu hari. Menyerang berbagai usia,
wanita pada usia < 40 tahun dan pria > 60 tahun. Gangguan terjadi akibat penurunan asetilkolin pada
pascasinaptik. Reseptor asetilkolin dinonaktifkan oleh antibodi dengan cara blokade jalan masuk ke
reseptor asetilkolin.

Diagnosis diferensial dari miastenia gravis

Tanda-tanda :

- kelemahan yang fluktuatif


- kekakuan dari otot mata dan otot lain yang dipersarafi saraf kranial
- rasio gender
perempuan : laki 3:2

perempuan umur 40 tahun, laki umur 60 tahun.

- 2/3 hiperplasia timus; 10 % timoma


- Dalam 50 % keluhan awal pasien melibatkan otot ekstra okular
- Ptosis
- Diplopia
- Pandangan yang selalu mengarah ke atas
- Wajah tanpa ekspresi
- suara kasar dan pelan
- kesulitan mengunyah dan menelan, risiko aspirasi sesak nafas dari ringan sampai sedang.

Dua pertiga pasien mempunyai hiperplasia timus dan 10% timoma. Sekitar 10 % dari kasus MG
dihubungkan dengan penyakit autoimun, termasuk hipertiroidisme, polimiolitis, SLE, Syogren sindroma,
rematoid artritis, koloitis ulseratif, sarkoidosis dan anemia pernisiosa. MG dapat pula terjadi pada pasien
yang diterapi D-penisilamin dan terapi interferon dan setelah transplantasi sum-sum tulang.

Sekitar 50 % pasien dengan gejala awal melibatkan otot ekstraokular, tetapi bulbar dan otot anggota gerak
mungkin juga terlihat di awal.

Klasifikasi MG

579
I. Ocular myasthenia
II. Chronic generalized
A. Mild
B. Moderate
III. Acute, Fulminating
IV. Late, Severe

Faktor risiko dihubungkan dengan intubasi lama setelah krisis MG

Serum HCO3 > 30 mg/dl sebelum intubasi

Vital Capacity puncak < 25 mL/kg

Umur > 50 tahun

Komorbid : atelektasis, anemia, CHF, infeksi klostridium

Sindroma Marfan

Sindroma Marfan adalah kelainan pada jaringan konektif, utamanya mengenai kardiovaskular,
tulang, dan sistem okular. Akan tetapi kulit, fasia, paru, otot rangka, dan jaringan lemak dapat juga
terkena. Etiologi adalah mutasi pada FBNI, gen yang memberikan sandi fibrillin-1, suatu komponen
utama dari miofibril-miofibril ekstraselular, yang merupakan komponen-komponen utama dari serabut-
serabut elastis yang menyangga dermis, epidermis dan zonula okular. Jaringan konektif pada kelainan ini
menurunkan kekuatan regangan dan elastisitas.

Manifestasi-manifestasi kardiovaskular termasuk dilatasi aorta asendens dan insufisiensi aorta.


Kehilangan serabut-serabut elastis pada bagian tengah dapat juga sebagai penyebab dilatasi pada arteri
pulmonal dan insufisiensi mitral akibat dari meregangnya korda tendinea. Iskemia miokard
memperlihatkan nekrosis medial arteriol-arteriol koroner demikian juga halnya dengan disritmia dan
gangguan-gangguan konduksi telah diketahui dengan baik.

Anestetis sebaiknya menyiapkan untuk kemungkinan terjadinya potensi intubasi yang sulit (lihat
tabel di bawah ini).

Pertimbangan-pertimbangan Anestetik pada Pasien dengan Sindroma Marfan

580
Intubasi sulit

Kista paru

Penyakit restriktif paru

Gangguan-gangguan disritmia dan/atau konduksi

Dilatasi aorta dan arteri pulmoner, diseksi/ruptur aneurisma aorta

Insufisiensi aorta dan/atau mitral

- Pertimbangkan antibiotik profilaksis untuk endokarditis bakterial subakut

Iskemia miokard; gagal jantung

- Pertimbangkan blocker

Kecenderungan dislokasi mandibula/servikal/pinggul

Laringoskopi hendaknya dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah kerusakan jaringan dan
utamanya untuk mencegah hipertensi dengan risiko diseksi aorta yang menyertai. Penderita sebaiknya
diposisikan dengan hati-hati untuk menghindari cidera-cidera pada tulang belakang servikal atau sendi
lainnya termasuk dislokasi. Bahaya hipertensi pada pasien dengan sindroma Marfan telah diketahui
dengan jelas. Adanya insufisiensi aorta menjamin bahwa tekanan darah (khususnya tekanan diastolik)
yang cukup tinggi untuk memberikan aliran darah koroner yang cukup tetapi tidak begitu tinggi yang
berisiko menyebabkan diseksi aorta. Memelihara tekanan darah pasien normal adalah rencana yang
terbaik. Tidak ada satupun obat anestetik atau teknik anestesia intraoperatif yang memperlihatkan
keunggulannya. Namun jika terdapat kista paru, ventilasi tekanan positif dapat menyebabkan
pneumotoraks. Pada saat ekstubasi, satu hal yang perlu diperhatikan adalah mencegah peningkatan
tekanan darah atau denyut jantung yang tiba-tiba. Penatalaksanaan nyeri pascabedah yang adekuat sangat
penting untuk mencegah efek-efek yang merugikan dari hipertensi dan takikardia.

Referensi :

1. Anesthesia and Uncommon Diseases edisi 5, Lee A. Fleisher, MD.


2. Anesthesia and Uncommon Diseases, Jonathan Benummof dan Katz

581
MODUL 32 TRAUMATOLOGI II

Mengembankan kompetensi Waktu (semester 4)

Sesi di dalam kelas Traumatologi I, adalah suatu rotasi


yang membutuhkan paling sedikit 1
Sesi dengan fasilitas pembimbing bulan (4 pekan) semester 2 ke atas yang
meliputi penanganan trauma pada tahap
Sesi praktek dan pencapaian kompetensi
awal.

Persiapan Sesi

Audiovisual

LCD proyektor dan layar

Laptop

OHP

Flipchart

Pemutar video

Materi prsentasi :

CD power point

Sarana

Ruang belajar

Ruang pemeriksaan

Ruang pulih

Ruang rawat inap / pengamat lanjut

Kasus : pasien di ruang resusitasi di Unit Gawat Darurat/ICU/Bangsal Biasa

Alat bantu latih : model anatomi / simulator

Penuntun belajar : lihat acuan materi

Daftar tilik kompetensi : lihat daftar tilik

582
Referensi :
Primary Trauma Care Course Manual (current edition)

Darurat Medicine Manual (to be announced)

Trauma anesthesia and critical care (ITAMLS publication)

Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr. 4th ed 2006

Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006

1. TUJUAN PEMBELAJARAN UMUM

Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk melakukan
penatalaksanaan lanjut pasien trauma baik fase critical care tanpa pembedahan, fase pembedahan dan
pascabedah

2. TUJUAN PEMBELAJARAN KHUSUS

e. KOGNITIF
1. Mampu menjelaskan kebutuhan pemantauan fungsi vital pada pasien trauma yang tidak
memerlukan pembedahan segera
2. Mampu menjelaskan kebutuhan bantuan hidup pada pasien trauma yang tidak
memerlukan pembedahan segera
3. Mampu menjelaskan kebutuhan anestesia yang khusus untuk berbagai pembedahan
penyelamatan (damage control surgery)
4. Mampu menjelaskan kebutuhan anestesia yang khusus untuk pembedahan definitif
5. Mampu menjelaskan bantuan nafas, sirkulasi, kendali tekanan intra-kranial, nutrisi
artifisial, bantuan renal, langkah penanganan sepsis dan analgesia pada pasien trauma
yang tidak memerlukan pembedahan segera
6. Mampu menjelaskan bantuan nafas, sirkulasi, kendali tekanan intra-kranial, nutrisi
artifisial, bantuan renal, langkah penanganan sepsis dan analgesia pada pasien trauma
yang menjalani pembedahan dan pada masa pascabedah
7. Mampu menjelaskan teknik hemodilusi dan transfusi masif
8. Mampu menjelaskan hipotermia insidental maupun hipotermia yang disengaja untuk
konservasi organ

f. PSIKOMOTOR
1. Mampu melakukan perawatan perioperatif dan peritrauma
2. Mampu melakukan pemantauan fungsi vital dengan alat maupun tanpa alat

583
3. Mampu melakukan Prolonged Life Support di bidang pernafasan, sirkulasi darah dan
kesadaran serta fungsi otak.
4. Mampu melakukan komunikasi dan koordinasi perawatan pasien dengan tim dokter
spesialis lain dan tim perawat serta paramedis lainnya
5. Mampu memberikan anestesia khusus untuk pembedahan penyelamatan maupun
pembedahan definitif.
6. Mampu membaca ECG dan foto sinar-X toraks, vertebra servikal, dan CT scan kepala.

g. KOMUNIKASI /HUB INTERPERSONAL


1. Mampu menjelaskan kepada tim dokter, pasien dan keluarga pasien tentang manfaat,
risiko dan prosedur perawatan lanjut korban trauma
2. Mampu menjelaskan kepada tim dokter dan tim perawat untuk perawatan komprehensif
multi-disiplin korban trauma

h. PROFESIONALISME
1. Bekerja sesuai dengan prosedur standard
2. Memahami etik profesi dalam melakukan tindakan medis penanganan lanjut korban
trauma
3. Menjamin bahwa peralatan yang diperlukan untuk tindakan medis penanganan lanjut
korban trauma ada lengkap dan berfungsi baik
4. Menjamin bahwa dokter telah memiliki keterampilan cukup untuk melakukan tindakan
medis penanganan lanjut korban trauma secara multi-disiplin dan komprehensif

3. KEY NOTES

1. Obat induksi yang umum dipergunakan untuk pasien trauma adalah ketamin dan
etomidat. Walaupun setelah resusitasi cairan cukup, kebutuhan induksi dengan propofol
sangan berkurang untuk pasien trauma (80 90 %). Walaupun obat-obat seperti ketamin
dan N2O yang normalnya tidak langsung merangsang fungsi jantung, dapat
memperlihat efek kardiodepresan pada pasien dalam keadaan syok dan telah menerima
stimulan simpatikus. Hipotensi dapat diatasi setelah pemberian etomidat.

2. Pemantauan invasif (arteri langsung, vena sentral, monitor arteri pulmonal) sangat
menolong dalam memandu resusitasi cairan tetapi penempatan monitor ini tidak akan
mengurangi resusitasi sendiri. Serial Ht atau Hb, pengukuran gas darah arteri, elektrolit
serum (terutama K+ ) sangat berharga pada resusitasi yang berkepanjangan.

3. Korban trauma dengan gangguan kesadaran harus dipertimbagkan menderita cedera


otak.Tingkat kesadaran dinilai dengan serial Glasgow Coma Scale

4. POKOK BAHASAN

i. Pemantauan fungsi vital jangka panjang dengan pemindai elektronik

584
ii. Penggunaan ventilator dengan berbagai patologi pasien yang menyebabkan
interaksi berbeda
iii. Thoracic drainage dan pompanya
iv. Pemantauan tekanan intra-kranial
v. Penggunaan pompa infusi, pompa suntik (syringe-pump), alat untuk membuat
hipotermia / hipertermia
vi. Pembacaan foto sinar-X dan CT scan kepala
vii. Resusitasi otak
viii. Sedasi dan analgesia pasien trauma

5. GAMBARAB UMUM

Setelah melalui sesi ini peserta didik akan mampu mengelola pasien trauma yang telah mendapat
resusitasi tahap awal untuk dilakukan terapi selanjutnya di ICU atau anestesia untuk pembedahan
dan penatalaksanaan pascabedah serta penangulangan nyeri pascabedah.

6. TUJUAN PEMBELAJARAN

Pada sesi traumatologi II ini, peserta dididik untuk mampu menangani pasien setelah melalui survei
primer urutan ABC. Pasien menjalani berbagai pemeriksaan, klinis, neurologik, laboratorium,
radiologi, CTScan, dan pemeriksaan diagnostik lain invasif atau noninvasif untuk persiapan anestesia
jika diperlukan pembedahan; sesuai lokasi trauma yang dialami pasien. Sesudah sesi ini peserta akan
mampu mengelola pasien perioperatif sampai dirawat di ICU.

5. METODE :

d. Kuliah
h. Pre-tes dan pos-tes
i. Latihan dengan manikin dan simulator
j. Praktek pada pasien yang dirawat di Ruang Resusitasi Gawat Darurat, Ruang Observasi
Intensif, ICU atau yang setara

6. SUMBER PEMBELAJARAN

a. SDM: Anestetis sebagai pengajar, pelatih dan penilai

b. Sarana belajar mengajar : Ruang Kuliah, Perpustakaan, Skill Lab dan Rumah Sakit setara Klas B
pendidikan untuk menjamin jumlah dan variasi kasus sesuai sub 5c (Metode)

7. MEDIA : LCD dan laptop komputer, video

585
8. ALAT BANTU : manikin dan simulator

9. EVALUASI

a. Kognitif: uji lisan, MCQ dan Extended Medical Question,OSCE dan evaluasi harian.

b. Psikomotor: OSCE dan evaluasi harian

c. Komunikasi dan hub interpersonal: pengamatan beberapa observer beberapa kali

d.Profesionalisme: pengamatan beberapa observer beberapa kali

10. DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR

Sudah Belum
No Daftar cek penuntun belajar
dikerjakan dikerjakan

1. EVALUASI PASIEN TRAUMA PASCA RESUSITASI


AWAL

2. TANGGAPAN FISIOLOGI AKIBAT ANESTESIA

3. MENILAI HASIL PEMERIKSAAN NEUROLOGIK,


termasuk Skala GCS

4. MENILAI HASIL PEMERIKSAAN DARAH

5. MENILAI HASIL PEMERIKSAAN FUNGSI GINJAL

6. MENILAI HASIL PEMERIKSAAN FUNGSI HATI

7. MENILAI HASIL PEMERIKSAAN FUNGSI ENDOKRIN

8. MENILAI HASIL FOTO-FOTO SESUAI LOKASI


TRAUMA, CTScan atau lainya seperti, FAST, DPL

9. MENILAI HASIL EKG

10. MENENTUKAN STATUS FISIS ASA

11. PERSIAPAN PRAANESTESIA DI KAMAR OPERASI:

A. Persiapan mesin anestesia

B. .Persiapan STATICS

586
C. PERSIAPAN OBAT-OBAT DAN CAIRAN INFUSI

D. Persiapan dan pemasangan alat-alat monitor

E. Pemantauan selama anestesia

F. Penatalaksanaan pascabedah di ruang pulih

G. Penanggulangan nyeri

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR

Sudah Belum
No Daftar cek penuntun belajar
dikerjakan dikerjakan

1. PERSIAPAN PRAANESTESIA

a. Penilaian hasil laboratorium

b. Penilaian hasil foto toraks

c. Penilaian hasil EKG

d. Penilaian hasil CT scan kepala/leher/ toraks/ abdomen

e. Penilaian hasil Echocardiografi

f. Optimalisasi kondisi pasien

2. PERSIAPAN DI KAMAR OPERASI

a. Persiapan STATICS

b. Persiapan mesin anestesia

587
c. Persiapan peralatan analgesia regional

d. Persiapan dan pemasangan alat monitor noninvasif

f. .persiapan dan pemasangan alat monitor invasif

h. PEMANTAUAN SELAMA ANESTESIA

i. Pencegahan dan penatalaksanaan segera kegawatan selama


anestesia

3. PENATALAKSANAAN PASCABEDAH

a. Penanggulangan nyeri

b. Indikasi rawat ICU

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda

DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur
memuaskan standard atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

588
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

589
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

MATERI ACUAN

Secondary survey mulai hanya bila urutan ABC stabil. Pasien dievaluasi dari kepala sampai kaki jika
terdapat indikasi, misalnya radiologi, tes laboratori atau prosedur diagnostik invasif. Pemeriksaan kepala
mencakup kulit kepala dan rambut, mata dan telinga. Pemeriksaan neuroligis meliputi, skala GCS, fungsi
motoris dan sensori dan refleks-refleks. Pemeriksaan dada untuk menilai adanya pneumotoraks,
tamponade perikard. Pemeriksaan abdomen untuk evaluasi adanya perdarahan intraabdomen.
Pemeriksaan ekstrimitas untuk menentukan adanya fraktur atau luksasi. Kateter urin dan pipa nasogastrik
biasanya juga dipasang.

Pemeriksaan laboratori termasuk darah lengkap (Hb, Ht), elektrolit, gula darah, ureum, kreatinin. Analisa
gas darah akan sangat menolong. Foto toraks harus dibuat pada trauma berat. Pada trauma leher harus
diperiksa foto PA, lateral dan swimmer view leher; kalau perlu CTScan. FAST (Focused assessment with
sonografy for trauma) dilakukan bila mungkin untuk mendeteksi perdarahan intraperitoneal atau
tamponade perikard. Bergantung pada lokasi cedera dan status hemodinamik pemeriksaan pencitraan lain
dapat dianjurkan CTScan dada, angiografi atau diagnotic peritoneal lavage (DPL) jika ada indikasi.

Pada beberapa trauma senter juga menyelenggarakan tertiary trauma survey untuk menghindari missed
injuries(cedera yang tidak tertangkap). Antara 2 % 50 % cedera trauma luput dari primary dan
secondary survey terutama setelah trauma tajam multipel (kecelakaan kendaraan). Tertiary survey dapat
didefinisikan sebagai evaluasi pasien yang melakukan identifikasi dan mendaftar semua cedera
setelah resusitasi awal dan intervensi operatif. Hal yang tipikal ini dilakukan dalam 24 jam setelah
cedera. Evaluasi (delayed evaluation) ini biasanya berakhir pada pasien yang sudah mulai sadar yang

590
dapat mengkomunikasikan semua keluhan dan lebih terperinci menjelaskan terjadinya cedera. Tertiary
survey terjadi sebelum pasien dipulangkan untuk reevaluasi dan konfirmasi cedera yang diketahui dan
identifikasi hal yang tidak mungkin terjadi. Reevaluasi ini termasuk pemeriksaan head to toe dan
mempelajari semua pemeriksaan laboratori dan pencitraan. Missed injuries dapat mencakup fraktur
tungkai dan pelvik, medula spinalis dan cedera kepala dan saraf abdominal dan saraf perifer.

Konsiderasi anestesia

Konsiderasi umum

Analgesia regional tidak praktis dan tidak tepat untuk pasien dengan kondisi hemodinamik yang tidak
stabil dan keselamatan terancam.

Kalau pasien tiba di kamar operasi sudah terintubasi perbaiki posisi . Pasien dengan kecurigaan trauma
kepala dilakukan hiperventilasi untuk menurunkan tekanan intrakranial. Jika tidak terintubasi, prinsip-
prinsip yang tetap dipergunakan mempertahankan jalan nafas di kamar operasi. Jika memungkinkan ,
hipovolemia diperbaiki dulu sebelum melakukan intubasi. Resusitasi cairan dan transfusi SDM selama
induksi dan pemeliharaan anestesia..

Lambang penuh adalah kondisi yang akan dihadapi pada trauma mendadak; di mana kita tidak mungkin
mengamankan jalan nafas dengan obat yang menurunkan volume gastrik dan keasaman lambung. Upaya
yang tepat melaklukan induksi cepat (induksi cepat) dan penekanan krikoid. Hati-hati jika menekan
krikoid pada pasien dengan fraktur servikal karena berpotensi merusak medula spinalis servikal.

Sebagai tindakan alternatif intubasi pipa endotrakeal, LMA masih dapat dipergunakan untuk proteksi
trakea, atau untuk memfasilitasi intubasi yang akan dibantu dengan bronkoskop serat optik. Pada pasien
dengan trauma maksilofasial , LMA dapat pula dipergunakan untuk menghindari aspirasi bekuan darah
dan sekret faring . Walaupun LMA dapat dipakai untuk ventilasi tekanan positif tetapi sulit dilaksanakan
untuk pasien dengan kontusio paru, edema atau aspirasi. Problem ini mungkin diatasi lagi dengan teknik
mempergunakan intubating laringeal mask (ILM) yaitu intubasi buta dengan memasukkan pipa
endotrakeal kecil ( No, 6) melalui LMA.

Induksi anestesia pada pasien trauma umumnya mempergunakan ketamin atau etomidat. Propofol
dipergunakan dengan dosis yang sangat diturunkan (80 90 %) pada trauma berat walaupun telah diberi
resusitasi cairan yang adekuat. Ketamin dan N2O yang normalnya merupakan stimulan kardiak tak
langsung, masih berefek kardiodepresan pada pasien yang mengalami syok dan sudah terjadi
rangsangan simpatikus maksimal. Hipotensi dapat juga dihambat setelah induksi etomidat.

591
Pemeliharaan anestesia pada pasien yang tidak stabil mempergunakan terutama obat pelumpuh otot dan
titrasi anestetik umum (MAP > 50 60 mmHg) yang cukup menghasilkan amnesia. Intermiten ketamin (
10 15 mg tiap 15 menit) cukup baik memberikan toleransi dan membuat pasien lupa, terutama jika
dipergunakan volatil anestetik dosis kecil (< 0,5 MAC).

TABLE. SUMMARY OF NONVOLATIL ANESTHETIC EFFECTS ON ORGAN SISTEMS

Cardiovascular Respiratory Serebral

Agent HR MAP Vent B'dil CBF SMRO2 ICP

Barbiturates

Thiopental

Thiamylal

Methohexital 0

Benzodiazepines

Diazepam 0/ 0

Lorazepam 0/ 0

Midazolam 0

Opioids

Meperidine 2 2

Morfine2 2 2

Fentanil 0

Sufentanil 0

Alfentanil 0

Remifentanil 0

Ketamine

592
Cardiovascular Respiratory Serebral

Agent HR MAP Vent B'dil CBF SMRO2 ICP

etomidat 0 0

Propofol 0 0

Droperidol 0 0 0

HR, HR; MAP, mean arterial pressure; Vent, ventilatory drive; B'dil, bronchodilation; CBF, serebral blood flow; SMRO 2, serebral oxygen
consumption; ICP, intrakranial pressure; 0, no effect; 0/ , no change or mild increase; , decrease (mild, moderate, marked); , increase (mild,
moderate, marked).

2
The effects of meperidine and morfine on MAP and bronchodilation depend upon the extent of histamine release.

Adjuvan lain agar pasien tidak ingat dapat dipergunakan midazolam (1 mg intermiten) atau skopolamin
0,3 mg. Penggunaan N2O dibatasi pada pasien taruma yang diduga pneumotoraks. Pada pasien yang
mengalami syok lebih mempergunakan pola penatalaksanaan yang aman untuk pasien yaitu pemberian
dosis secara inkremental untuk semua obat anestetik.

Pemantauan invasif ( arteri langsung, CVP, PAWP) akan sangat menolong untuk memandu resusitasi
cairan, tetapi insersinya tidak akan menghambat reesusitasi itu sendiri.

Trauma Kepala dan Medula Spinalis

Tiap Korban trauma dengan ganguan kesadaran dipikirkan adanya cedera otak.. Tingkat kesadaran
dinilai dengan mempergunakan skala GCS. Umumnya cedera ini memerlukan tindakan bedah segera
termasuk, hematom epidural, subdural hematom akut, cedera tembus otak, atau tekanan pecahan tulang
tengkorak. Cedera lain yang dapat dikelola secara konservatif, adalah fraktur basis kranii dan hematom
intraserebral. Fraktur basis kranii sering memberikan gejala memar pada kedua kelopak mata (ramloon
eyes), atau hematom di atas prosesus mastoid (Battles sign), cairan serebrospinal keluar melalui
hidung dan telinga (CSF rhinorrhea). Gejala lain cedera otak, berupa gelisah, konvulsi, disfungsi saraf
otak (misalnya pupil nonreaktif). Gejala klasik Triad Cushing (hipertensi, bradikardia, gangguan
pernafasan) adalah terlambat dan tidak dapat dipastikan yang biasanya mendahuli herniasi otak.
Hipotensi jarang karena hanya cedera kepala.

593
Cedera otak sering disertai oleh peningkatan tekanan intrakranial karena perdarahan otat atau edema.
Hipertensi intrakranial dikontrol dengan kombinasi resktriksi caiaran (kecuali terdapat syok
hipovolemik), diuretik (misalnya manitol 0,5 g /kg), barbiturat dan hiperventilasi agar terjadi deliberate
hypocapnia (Pa CO2 28 32 mmHg); dua yang terakhir memerlukan intubasi endotrakeal. Hipertensi
atau takikardia selama intubasi dapat ditekan dengan pemberian lidokain atau fentanil intravena. Intubasi
sadar dapat cepat meningkatkan tekanan intrakranial. Pemasangan pipa nasotrakeal atau pipa nasogastrik
pada pasien dengan fraktur basis kranii mempunyai risiko perforasi plat kribriformis (bagian etmoid)
dan infeksi cairan serebrospinal. Meninggikan posisi kepala dapat memperbaiki drainase vena dan
menurunkan tekanan intrakranial. Pemakaian kortikosteroid pada cedera kepala masih kontroversial.
Hiperglikemia harus dicegah dan diobati dengan insulin. Hipotermia sedang terbukti menguntungkan
untuk pasien dengan cedera kepala karena dapat mencegah iskemia yang dicetuskan oleh trauma
(iskemia-induced injury).

Pada bagian otak yang cedera, autoregulasi aliran darah otak terganggu; hipertensi arterial akan
memperburuk edema serebri dan meningkatkan tekanan intrakranial.Tetapi hipotensi arterial
menyebabkan iskemia serebral. Umumnya tekanan perfusi serebral (selisih MAP pada level otak dan
CVP yang lebih besar atau ICP) yang seharusnya dipertahankan sekitar 60 mm Hg.

Pasien dengan cedera otak berat lebih mudah mengalami hipoksemia arterial karena tak sebandingnya
pintas paru (pulmonary bypass) ventilasi / perfusi. Perubahan ini mungkin disebabkan oleh aspirasi,
atelektasis, atau efek neurologis langsung terhadap pembuluh darah paru. Hipertensi intrakranial dapat
mempengaruhi pasien terjadi edema paru karena peningkatan tonus simpatikus.

Tingkat gangguan fisiologis setelah cedera medula spinalis proporsional dengan level lesi. Selama
intubasi dan transportasi harus dilakukan hati-hati untuk mencegah kerusakan lebih berat. Lesi tulang
servikal dapat melibatkan saraf frenikus (C3-C5) dan mengakibatkan apnea. Hilang fungsi interkostal
terbatas pada cadangan paru dan kemampuan batuk. Cedera toraks tinggi (T1-T4) akan mengganggu
saraf simpatikus jantung hingga condong bradikardia. Cedera mendadak medula spinalis dapat
menyebabkan syok medula spinalis, kondisi spesifik karena hilangnya tonus simpatikus pada pembuluh
darah di bawah lesi; akibatnya terjadi hipotensi, bradikardia, arefleksia, atonia gastrointestinal. Gejala
yang segera terlihat, distensi vena kaki. Hipotensi memerlukan resusitasi cairan yang cepat, tetapi
diperlambat jika kemungkinan edema paru. Suksinilkolin dapat berakibat fatal jika diberikan pada
cedera medula spinalis karena menyebabkan hiperkalemia hebat yang mengancam jiwa. Tetapi
dilaporkan masih aman jika diberi dalam 48 jam setelah trauma. Kortikosteroid dosis tinggi
(metilprednisolon 30 mg/jg kemudian 5,4 mg/kg/jam selama 23 jam) dapat memperbaiki keluaran
neurologis pada pasien dengan trauma medula spinalis. Hiper-refleksi autonomik berkaitan dengan lesi di
atas T5 tetapi tidak menjadi problema selama menejen mendadak.

Trauma dada

594
Trauma dada dapat sangat membahayakan fungsi jantung dan paru, terutama syok kardiogenik dan
hipoksia. Pneumotoraks sederhana adalah adanya akumulasi udara di antara pleura parietalis dan
viseralis. Ipsilateral jaringan paru kolaps akan menyebabkan gangguan hebat ventilasi / perfusi dan
hipoksia. N2O akan memperbesar pneumotoraks, karena itu menjadi indikasi-kontra untuk pasien ini.
Pengobatannya pasang waters seal; drainase pada sela iga 4 5 di garis midaksiler anterior. Jika masih
bocor, yang cedera mungkin mengenai cabang bronkus utama.

Pneumotoraks tegang (tension pneumothorax) terjadi bila udara masuk ke dalam rongga pleura jalan
berkatup (one-way valve) di paru atau dada; atau udara masuk dengan paksa melalui inspirasi tetapi tidak
dapat keluar selama ekspirasi. Akibatnya ipsilateral paru kolaps sedangkan mediastinum dan trakea
bergeser ke sisi kontra lateral. Pneumotoraks sederhana dapat berkembang menjadi pneumotoraks
tegang bila ventilasi diberi tekanan positif. Darah balik ke jantung dan ekspansi paru kontra lateral
terganggu. Gejala klinis adalah hilangnya bunyi nafas pada sisi ipsilateral dan hiper-resonan pada perkusi,
trakea bergeser kontralateral serta vena-vena leher membesar. Terapinya, tusukan jarum ukuran 14 gauge
sedalam 3 6 sm pada sela iga ke 2 di garis midklavikular; akan mengubah pneumotoraks tegang
menjadi pneumotoraks terbuka (open pneuthorax).Selanjut dilakukan terapi definitif seperti
pneumotoraks biasa.

Fraktur iga multipel akan mengganggu integritas toraks hingga terjadi flail chest. Hipoksia sering
diperburuk oleh kontusio paru atau hemotoraks sebelumnya pada pasien ini. Hemotoraks dan
hemomediastinum dapat menyebabkan syok hemorhagik. Hemoptisis masif mungkin memerlukan
pemasangan double lumen tube (DLT) atau single lumen tube dan bronchial blocker agar bekuan darah
tidak masuk ke paru sehat.

Tamponade jantung adalah cedera dada yang mengancam keselamatan pasien yang harus segera
diketahui. Gejala berupa, Trias Beck (vena leher yang membesar, hipotensi, suara jantung lemah), pulsus
paradoksus (a > 10 mmHg tekanan darah turun selama nafas spontan. Pengobatan sementara dapat
dilakukan berupa perikardiosentesis. Penatalaksanaan anestesia harus memaksimalkan efek
kardioinotropik, kronotropik,dan prabeban. Karena alasan ini ketamin dapat dianjurkan sebagai obat
induksi.

Kontusio miokard biasanya ditegakkan diagnosis dengan melihat perubahan ECG berupa iskemia
(elevasi ST segmen), elevasi enzim ( kreatin kinase MB atau level tiroponin), atau ekhokardiogram
abnormal.

ARDS (acute respiratory distres syndrome) biasanya merupakan komplikasi kemudian setelah trauma
yang mempunyai banyak penyebab : sepsis, cedera toraks, aspirasi, cedera kepala, embolus lemak,

595
transfusi masif, keracunan oksigen. Kematian ARDS dapat mencapai 50 % walapun sudah dilakukan
dengan teknologi tinggi.

Trauma abdomen

Pasien dengan trauma berat sebaiknya dipertimbangkan juga mengalami cedera abdomen sampai terbukti
tidak. Hampir 20 % pasien dengan cedera intraabdominal tidak nyeri dan tanpa gejala iritasi peritoneum
(defans otot, nyeri ketok atau ileus) pada pemeriksaan pertama.

Luka tembus abdomen biasanya jelas dengan tanda masuk ke perut atau dada bagian bawah; mengenai
organ hati. Pasien cenderung dimasukkan menjadi 3 kelompok : 1) tanpa nadi, 2) hemodinamik tidak
stabil, 3) stabil. Pasien tanpa nadi dan hemodinamik tidak stabil, sulit mempertahankan tekanan darah
antara 80 90 mmHg dengan 1 2 L resusitasi cairan; segera untuk persiapan laparotomi. Sebaliknya
pada trauma tembus abdomen dengan hemodinamik stabil dan tidak disertai gejala klinis peritonitis
memerlukan evaluasi yang teliti untuk menghindari tindakan laparotomi yang tidak perlu. Gejala klinis
cedera intra-abdominal mencakup adanya udara bebas di bawah diafragma (pemeriksaan radiologi),
darah dari nasogastrik, hematuria, darah dari rektum. Trauma tumpul yang yang paling menonjol sebagai
penyebab kematian dan kesakitan dari trauma dan yang paling terkenal adalah trauma intraabdominal.
Yang paling sering terjadi adalah limpa robek atau pecah.

Hipotensi berat dapat terjadi setelah rongga perut dibuka karena efek tamponade dari ekstravasasi darah
atau usus yang membesar dikeluarkan. Bila waktu memungkinkan, persiapkan dulu pasien dengan
resusitasi cairan atau darah sebelum tindakan ;laparotomi. Pemakaian N2O dihindarkan untuk mencegah
dilatasi usus. Transfusi masif sebaiknya diantisipasi terutama bila trauma abdomen berkaitan dengan
perdarahan dari pembuluh darah hati, limpa, atau cedera ginjal, fraktur pelvis, atau retroperitoneal. Jika
terjadi komplikasi hiperkalemia karena transfusi darah masif, harus segera diobati.

Perdarahan masif intraabdomen memerlukan resusitasi cairan dan darah yang banyak dan kadang-kadang
operator menjepit aorta abdominal dengan risiko cedera iskemia hati, ginjal dan tungkai. Hal ini harus
diantisipasi dengan baik tidak sampai terjadi komplikasi, gagal organ terkait dan rabdomiolisis.

Edema usus progresif karena cedera dan resusitasi cairan dapat mengganggu penutupan dinding perut
pada akhir operasi. Kalau dinding perut terlalu tegang, tekanan intra-abdomen meningkat dan
mengakibatkan abdominal compartment syndrome hingga terjadi iskemia ginjal dan splangnikus.
Oksigenasi dan ventilasi sering sangat terganggu, walapun otot dinding perut sudah cukup relaksasi
(paralisis). Pada kasus ini dinding perut dibiarkan terbuka dan hanya ditutup dengan plastik steril selama
48 72 jam sampai edema hilang dan penutupan sekunder dapat dilakukan..

596
Trauma ekstrimitas

Cedera ekstrimitas dapat mengancam nyawa karena berkaitan dengan cedera pembuluh darah besar
komplikasi infeksi sekunder. Cedera pembuluh darah dapat cederung masif dan menganca m
kelangsungan hidup tungkai. Misalnya, fraktur femur dapat dikaitkan dengan kehilangan 1 2 L darah
dan fraktur tertutup pelvis kehilangan darah lebih banyak lagi dan mengakibatkan syok hipovolemik.

Embolus lemak berkaitan dengan fraktur pelvis dan fraktur tulang panjang, hingga menyebabkan
insufisiensi, disritmia, petechera kulit dan kemunduran mental dalam 1 3 hari setelah trauma.

REFERENSI

Primary Trauma Care Course Manual (current edition)

Darurat Medicine Manual (to be announced)

Trauma anesthesia and critical care (ITAMLS publication)

Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr. 4th ed 2006

Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 200

MODUL 33
POST ANESTHESIA CARE UNIT
(PACU)

Mengembangkan kompetensi Waktu (semester 2)

Sesi di dalam kelas 2 X 1 jam (classroom session)

597
Sesi dengan fasilitasi pembimbing

Sesi praktek dan pencapaian kompetensi 3 X 2 (coaching session)

4 pekan (facilitation & assessment)

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

11. LCD proyektor dan layar


12. Laptop
13. OHP
14. Flipchart
15. Pemutar video
Materi presentasi:

CD power point

Sarana:

8. Ruang belajar
9. Ruang pemeriksaan
10. Ruang pulih
11. Bangsal rawat inap/pengamatan lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU

Alat bantu latih : model anatomi /simulator

Penuntun belajar : lihat acuan materi

Daftar tilik kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

8. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New York: Lange
Medical Books/McGraw-Hill; 2006
9. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed. Philadelphia:Lippincott
Williams & Wilkins ; 2006

Selain referensi wajib di atas, peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari referensi tambahan
untuk modul PACU seperti yang diuraikan berikut ini:

1. Chung F. Discharge process. In: Twersky RS, ed. The Ambulatory Anesthesia Handbook. St
Louis: Mosby;1995,431-49.
2. Practice Guidelines for Postanesthetic Care. Anesthesiology 2002; 96(3).

598
TUJUAN UMUM

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu mengelola pasien pasca-anestesia umum dan
regional di PACU, mengetahui kapan pasien dipulangkan (untuk ambulatori), kapan boleh dipindah ke
ruangan (untuk pasien rawat inap), serta kapan indikasi masuk ICU, HCU, atau perlu operasi lagi.

TUJUAN KHUSUS

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi dalam ranah-ranah berikut ini :

Kognitif

10. Mengetahui alat pemantauan dan obat-obatan apa yang perlu diadakan di PACU
11. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: obstruksi jalan nafas,
12. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipoksemia
13. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: hiperkarbia.
14. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipotensi.
15. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipertensi.
16. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: aritmia.
17. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: menggigil.
18. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: PONV.
19. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: delirium.
20. Mengetahui komplikasi akibat pemasangan jarum untuk analgesia lokal atau akibat kateternya.
21. Memahami kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 1 (pindah ke ruangan atau ke PACU fase
2).
22. Memahami kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 2 (boleh pulang ke rumah).
23. Memahami indikasi pasien harus masuk ke ICU atau HCU.

Psikomotor

7. Mampu melakukan pemantauan pasien PACU dan persiapan obat-obatan yang harus ada di
PACU.
8. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: obstruksi jalan nafas,
9. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipoksemia
10. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: hiperkarbia.
11. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipotensi.
12. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipertensi.
13. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: aritmia.
14. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: menggigil.
15. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: PONV.
16. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: delirium.
17. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: akibat penusukan jarum
untuk analgesia regional atau kateternya.
18. Mampu menilai kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 1 dengan Modifikasi Aldretes skor

599
19. Mampu menilai kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 2 (boleh pulang ke rumah) dengan
PADSS skor.
20. Mampu menilai kapan pasien harus masuk ke ICU atau HCU.

Komunikasi

2. Berkomunikasi dengan ahli bedah bila terjadi komplikasi yang memerlukan tindakan
pembedahan ulang akibat pembedahannya.
3. Berkomunikasi dengan ahli bedah bila terjadi komplikasi yang memerlukan tindakan
pembedahan akibat pemasangan jarum atau kateter untuk analgesia regional.

Profesionalisme

3. Mampu mengenali dan memahami urgensi dari komplikasi pascabedah.


4. Memberikan pelayanan yang baik untuk penatalaksanaan pascabedah pasien pascabedah baik
yang dilakukan dengan anestesia umum atau analgesia regional.

KEYNOTES:

10. Pasien jangan meninggalkan kamar bedah jika jalan nafas belum stabil, ventilasi dan oksigenasi
adekuat, stabil hemodinamik.
11. Menggigil dapat menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen, produksi CO2, dan curah
jantung. Efek fisiologis sering kurang dapat ditolerir oleh pasien dengan gangguan fungsi paru
dan jantung.
12. Problema respirasi merupakan hal yang paling sering terjadi, yang dihubungkan dengan
obstruksi jalan nafas, hipoventilasi, atau hipoksemia.
13. Hipoventilasi di PACU paling sering disebabkan efek residu obat anestetik
14. Depresi sirkulasi, atau asidosis berat merupakan indikasi untuk dilakukan intubasi pada pasien
yang mengalami hipoventilasi.
15. Hipovolemia merupakan penyebab paling sering dari hipotensi di PACU
16. Nyeri daerah insisi, intubasi endotrakeal, distensi kandung kemih merupakan penyebab
hipertensi.
17. Pemulihan di PACU berdasarkan Modifikasi Aldret skor
18. Pemulangan pasien ke rumahnya berdasarkan kriteria PADSS

GAMBARAN UMUM

Untuk dapat mengelola pasien di PACU diperlukan pengetahuan dan keterampilan dalam membuat
rancangan PACU, emergens dari anestesia umum, transportasi dari OK, pemulihan dari anestesia umum,
pemulihan dari analgesia regional, penatalaksanaan nyeri, agitasi, PONV, menggigil dan hipotermia,
kriteria pemulangan dari PACU ke ruangan, kriteria pemulangan dari RS ke rumah, penatalaksanaan
komplikasi obstruksi jalan nafas, hipoventilasi, hipoksemia, hipotensi, hipertensi, aritmia.

TUJUAN PEMBELAJARAN

600
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu mengelola pasien pasca-anestesia umum dan
regional di PACU, mengetahui kapan pasien dipulangkan (untuk ambulatori), kapan boleh dipindah ke
ruangan (untuk pasien rawat inap), serta kapan indikasi masuk ICU, HCU, atau perlu operasi lagi.

METODE PEMBELAJARAN

Peserta didik sudah harus mempelajari:

16. Bahan acuan


17. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran
18. Ilmu klinis dasar

Tujuan 1: mampu mengelola pasien pasca-anestesia umum dan regional di PACU

Metode pembelajaran
13. Diskusi kelompok kecil
14. Peer assisted learning (PAL)
15. Bedside teaching
16. Task-based medical education

Tujuan 2: mengetahui kapan pasien dipulangkan (untuk ambulatori)

Metode pembelajaran
5. Diskusi kelompok kecil
6. Peer assisted learning (PAL)
7. Bedside teaching
8. Task-based medical education

Tujuan 2: kapan boleh dipindah ke ruangan (untuk pasien rawat inap)

Metode pembelajaran
1. Diskusi kelompok kecil
2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education

MEDIA

13. Papan tulis


14. Komputer
15. LCD dan slide projector

601
16. Pasien di kamar bedah dan PACU

ALAT BANTU PEMBELAJARAN

13. Virtual patients


14. Reading assigment
15. Audiovisual
16. Perpustakaan, internet, skill lab

EVALUASI

13. Kognitif :
EMQ

Multiple observations and assessments

Multiple observers/raters

OSCE

Minicheck

14. Skill/psikomotor :
Multiple observations and assessments

Multiple observers

OSCE

Minicheck

15. Communication and Interpersonal Skills


Multiple Observations and assessments

Multiple observers/rater

16. Professionalisme
Multiple Observations and assessments

Multiple observers/rater

Pre-tes

45. Jelaskan tentang alat pantau dan obat-obatan apa yang diperlukan di PACU!
46. Bagaimana cara mendesain PACU?

602
47. Jelaskan tentang komplikasi yang sering terjadi di PACU dan cara mengatasinya!
48. Jelaskan tentang kriteria Modifikasi Aldretes skor!
49. Jelaskan tentang kriteria pemulangan pasien dengan PADSS!
50. Jelaskan pasien yang bagaimana yang harus masuk ICU padahal sebelumnya tidak
direncanakan masuk ICU!

Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).

Bentuk ujian :

- Ujian akhir rotasi (pos-tes tulis dan ujian pasien)


- Ujian akhir profesi (lisan/ujian nasional)

Bisa dalam bentuk :

10. Kognitif
a. EMQ
b. Multiple observation and assessments
c. Multiple observers
d. OSCE
e. Minicheck
11. Skill/psikomotor
a. Multiple observation and assessments
b. Multiple observers
c. OSCE
d. Minicheck
12. Affective : Professionalisme, Communication and Interpersonal Skills
a. Multiple observation and assessments
b. Multiple observers

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia Sudah Belum


dilakukan dilakukan

PENGENALAN KOMPLIKASI

1 Pemasangan monitor

2 menilai dan mengatasi komplikasi obstruksi jalan nafas,

603
3. menilai dan mengatasi komplikasi hipoksemia

4 menilai dan mengatasi komplikasi hiperkarbia.

5 menilai dan mengatasi komplikasi hipotensi.

6 menilai dan mengatasi komplikasi hipertensi.

7 menilai dan mengatasi komplikasi: aritmia.

8 menilai dan mengatasi komplikasi menggigil.

9 menilai dan mengatasi komplikasi PONV.

10 menilai dan mengatasi komplikasi delirium.

11 menilai dan mengatasi komplikasi akibat penusukan jarum


untuk analgesia regional atau kateternya.

12 menilai kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 1 dengan


Modifikasi Aldretes skor

13 menilai kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 2 (boleh


pulang ke rumah) dengan PADSS skor.

14 menilai kapan pasien harus masuk ke ICU atau HCU

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda ( )

DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur
memuaskan standard atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal

604
Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih


Layak

605
Tidak layak
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

MATERI ACUAN

Definisi Pemulihan
Pemulihan adalah proses yang kontinyu dan proses tersebut secara tradisional dibagi dalam 3
bagian yang saling tumpang tindih: early recovery, saat pasien bangun dari anestesia; intermediat
recovery, bila pasien mencapai kriteria boleh pulang, dan late recovery bila pasien kembali ke keadaan
fisiologis seperti sebelum operasi.

Early recovery (fase 1) dimulai dari saat dihentikannya obat anestetik supaya pasien bangun,
pulih refleks proteksi jalan nafas, dan kembalinya aktivitas motorik. Fase ini biasanya terjadi di PACU
dengan pengawasan ketat dan supervisi perawat. Aldrete merancang suatu sistem skoring untuk
menentukan kapan pasien fit untuk keluar dari PACU. Nilai skoring 0, 1, atau 2 ditujukan untuk aktivitas
motorik, respirasi, sirkulasi, kesadaran, dan warna. Total skor maksimalnya 10. Penggunaan pulse
oximetri dapat menolong lebih akuratnya indikator oksigenasi, dan diusulkanlah suatu Modifikasi
Skoring Aldrete yang mengganti kriteria warna pada Aldrete skor dengan SpO 2 pada Modifikasi Aldrete
Skoring sistem. Bila pasien mencapai skor 9, pasien tersebut cukup fit untuk dipindahkan ke ruang
pulih fase 2 di mana fase 2 recovery terjadi sampai mencapai kriteria untuk dipulangkan. Fase 3
recovery terjadi setelah keluar dari RS dan berlangsung sampai pasien mampu melakukan aktivitas
sehari-hari.

Tabel 1: Aldrete Scoring Sistem dan Modifikasi Aldrete Scoring Sistem

untuk menentukan kapan pasien siap keluar dari PACU.

606
Tabel 2. Criteria for Fast Tracking and Discharge

Post Anesthesia Recovery Skor

(Modified Aldrete Skor)

607
Activity
2=Moves all extremities voluntarily or on command.

1=moves two extremities

0=unable to move extremities

Respirasion
2=breathes deeply & cough freely

1=dyspneic, shallow or limited breathing.

0=apneic

Circulation
2=BP20 mm of preanesthetic level

1=BP20-50 mm of preanesthetic level

0=BP50 mm of preanesthetic level

Oxygen saturasion
2=SpO2 > 92% on room air

1=Supplemental O2 req to maintain SpO2 > 90%

0=SpO2<92% with O2 supplementation

10 = total skor; 9 = for PACU discharge/bypass

Fast Tracking
Tersedianya obat dengan mula kerja cepat dan lama kerja pendek untuk induksi dan
pemeliharaan anestesia akan memfasilitasi cepatnya pulih setelah operasi bedah sehari. Sebagai hasilnya,
pasien dapat mencapai skor 9 atau 10 ketika tiba di PACU. Pasien-pasien ini juga mungkin lebih cepat
pulih di unit fase 2. Biasanya, semua pasien ditransfer ke PACU, tak terkecuali dengan Aldrete skor 9
atau 10, tetap diperlukan untuk tinggal di PACU hanya sebagai persyaratan/protokol perawatan. Faktor-
faktor ini yang kadang memperlambat pasien yang telah betul-betul pulih untuk meninggalkan PACU.

Teknik Fast-tracking akan menyebabkan pasien dari kamar bedah langsung dipindahkan ke
pemulihan fase 2 tanpa melalui PACU, sehingga biaya di PACU tidak ada, yang berarti akan menekan
biaya sehingga akan menguntungkan bagi pasien. Pada kasus pediatrik, orang tua pasien tidak
diperbolehkan ada di PACU karena tempatnya terbatas, akan tetapi, diijinkan masuk ASU (Ambulatory
Surgical Unit) saat induksi anestesia. Anak-anak mendapat keuntungan tambahan dengan fast-tracking
karena cepat berkumpul dengan orang tuanya.

Penelitian Song menunjukkan bahwa pasien yang dianestesia dengan desfluran dan sevofluran
untuk rumatan anestesia ketika ligasi tuba, menunjukkan lebih cepat bangun daripada dengan propofol.
Modifikasi Aldrete aslinya digunakan untuk memenuhi syarat fast track. Sistem skoring ini tidak
mempertimbangkan faktor nyeri dan muntah, suatu efek samping yang sering terlihat di PACU. White
dkk, memasukkan faktor nyeri dan muntah ke dalam Skoring Aldrete. Dengan sistem skoring yang baru

608
skor maksimum adalah 14 dan bila skore pasien 12 dapat dapat langsung ke fase 2 .

Tabel 3: Fast Track Criteria yang diusulkan untuk menentukan kapan

pasien dapat ditransfer langsung dari kamar bedah ke Recovery

Fase 2.

Skor

Level of consciousness

Awake and oriented 2

Arousable with minimal stimulation 1

Responssive only to tactile stimulation 0

Physical activity

Able to move all extremities on command 2

Some weakness in movement of extrimities 1

Unable to voluntarily move extremities 0

Hemodynamic stability

Blood pressure < 15% baseline MAP value 2

Blood pressure 15-30% of baseline MAP value 1

Blood pressure > 30% of baseline MAP value 0

Respiratory stability

Able to breathe deeply 2

Tachypnoe with good cough 1

Dyspneic with weak cough 0

Oxygen saturasion status

Maintains value >90% on room air 2

Requires supplemental oxygen (nasal prong) 1

Saturasion < 90% with supplemental oxygen 0

609
Postoperative pain assessment

None or mild discomfort 2

Moderate to severe pain controlled with iv analgesiacs 1

Persistent severe pain 0

Postoperative emetic symptoms

None or mild nausea with no active vomiting 2

Transient vomiting or retching 1

Persistent moderate to severe nausea and vomiting 0

Total skor 14

MAP=mean arterial pressure

Definisi Postanesthetic care: Kepustakaan tidak memberikan Standard definisi postanesthetic


care. Pada Practice Guidelines, postanesthetic care dihubungkan dengan aktivitas yang dilakukan untuk
mengelola pasien setelah selesainya operasi dan anestesia.

Adanya Practice Guideline for Post Anesthetic Care (PGPAC) ini bertujuan untuk memperbaiki
outcome postanesthetic care yang diberikan anestesia atau sedasi dan analgesia. Hal ini dilaksanakan
dengan mengevaluasi bukti-bukti dan memberikan rekomendasi untuk penilaian pasien, pemantauan,
dan penatalaksanaan dengan sasaran optimalisasi keselamatan pasien. Diharapkan bahwa setiap
rekomendasi akan individual bergantung pada kebutuhan setiap pasien.

Fokus dari Guidelines pada penatalaksanaan pasien perioperatif dengan sasaran memperbaiki
kualitas hidup post anestesia, mengurangi efek yang tidak diinginkan pascabedah, memberikan penilaian
pemulihan pasien yang seragam, dan pelurusan kriteria postoperative care dan discharge. Guidelines ini
diperuntukan untuk semua umur yang telah mendapat anestesia umum, analgesia regional, sedasi sedang
dan dalam. Guidelines ini mungkin perlu dimodifikasi untuk pasien anak atau geriatri. Guidelines ini
tidak ditujukan untuk pasien yang dilakukan infiltrasi analgesia lokal tanpa sedasi, pasien yang
menerima sedasi minimal, dan pasien yang harus dirawat di ICU .

Penilaian dan pemantauan pasien perioperatif terlihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 4. Summary of recommendations for Assessment and Pemantauan

Routine Selected patients

Respiratory

Respiratory rate

610
Jalan nafas patency

Oxygen saturasion

Cardiovascular

Pulse rate Electrocardiogram

Blood pressure

Neuromuscular

Physical examination Neuromuscular blockade

Nerve stimulator

Mental Status

Temperature

Pain

Nausea and Vomiting

Urin

Voiding

Output

Drainage and bleeding

Penatalaksanaan perioperatif dan postanesthetic pasien termasuk penilaian secara periodik dan
pemantauan dari fungsi respirasi dan kardiovaskular, neuromuskular, status mental, temperatur, nyeri,
mual dan muntah, drainase dan perdarahan, serta urin.

Fungsi respirasi: literatur menunjukkan bahwa penilaian dan pemantauan fungsi respirasi selama
pemulihan, dengan pulse oksimetri, dapat mendeteksi secara dini adanya hipoksemia. Penilaian dan
pemantauan secara periodik/ berkala dari patensi jalan nafas, frekuensi nafas, SpO 2 harus dilakukan pada
emergence dan pemulihan.

Fungsi kardiovaskular: pemantauan denyut nadi, tekanan darah, elektrokardiografi dapat


mendeteksi komplikasi kardiovaskular, mengurangi outcome yang buruk, dan harus dilakukan selama
emergence dan pemulihan.

Dari tabel di atas yang rutin berarti harus dilakukan secara rutin pada semua kasus sedangkan
selected patient tidak selalu dilakukan bergantung pada kasusnya, jadi bersifat individual.

611
Pemulangan Pasien
Program bedah rawat jalan yang sukses bergantung pada pada pemulangan pasien yang tepat
waktu setelah anestesia. Chung dkk membuat sistem skoring yang disebut PADSS (Postanesthesia
discharge scoring sistem) yang secara objektif menilai ke fit-an pasien untuk dipulangkan. Untuk
menjamin pendelegasian yang aman pada perawat, suatu sistem skoring harus praktis, simpel, mudah
untuk diingat, dan tidak membebani perawat. PADSS berdasarkan 5 kriteria yaitu: 1) tanda vital (tekanan
darah, denyut jantung, frekuensi nafas, temperatur), 2) ambulasi 3) mual/muntah, 4) nyeri dan 5)
perdarahan akibat pembedahan (lihat tabel). Bila skor mencapai 9, pasien cukup aman untuk
dipulangkan kerumah. Chung mendemonstrasikan bahwa dengan menggunakan PADSS pasien dapat
dipulangkan dalam waktu 1-2 jam pascabedah.

Sebelum ada (PGPAC), ada beberapa cara untuk pemulangan pasien yang aman antara lain:
Table 5. Guidelines for Safe Discharge After Ambulatory Surgery.

Vital signs must have been stable for at least 1 hour

The patient must be

Oriented to person, place, and time

Able to retain orally administered fluids

Able to void

Able to dress

Able to walk without assistance

The patients must not have

More than minimal nausea and vomiting

Excessive pain

Bleeding

The patient must be discharge by both the person who administered

anaesthesia and the person who performed surgery, or by their designates.

Written instruction for the postoperative period at home, including a

contact place and person, must be reinforced.

The patient must have a responssible, vested adult escort them home and

stay with them at home.

Tabel 6: PADSS untuk menentukan kesiapan pasien

612
dipulangkan kerumah.

Setelah dibuat PGPAC lalu dilakukan modifikasi dari PADSS seperti terlihat di bawah ini:

Tabel 7: Modified PADSS untuk menentukan kesiapan pasien

dipulangkan kerumah.

613
AFTER
GUIDE
LINES

Dapatkah pasien aman dipulangkan tanpa toleransi terhadap cairan peroral?


Di masa lalu, klinisi enggan untuk memulangkan pasien kerumahnya bila tidak bisa minum
karena adanya mual atau alasan lainnya. Kepustakaan tidak cukup untuk mengevaluasi
keuntungan minum cairan sebelum pulang. Schreiner dkk meneliti anak dan menemukan lebih
tingginya kejadian mual dan lambat pulang pada yang disuruh minum daripada yang minum
bila merasa haus .
PGPAC merekomendasikan bahwa minum pascabedah tidak dimasukkan ke dalam protokol
kriteria pemulangan pasien dan hanya diperlukan pada pasien tertentu. Karena itu, staf medis dan
perawat harus berfikir bahwa minum bukan merupakan prasyarat untuk pemulangan pasien sehingga
protokol untuk pemulangan pasien harus dimodifikasi.

Apakah Voiding/kencing diperlukan sebelum dipulangkan?


Voiding umumnya dipertimbangkan sebagai syarat mutlak untuk pulang setelah operasi rawat
jalan untuk mencegah berkembangnya retensi urin setelah pasien dipulangkan. Tuntutan bahwa pasien
harus kencing sebelum dipulangkan mungkin tidak perlu memperpanjang lama tinggal di RS.
Ketidakmampuan untuk mengeluarkan urin telah dilaporkan memperlambat kepulangan pada 5-19%
pasien setelah bedah rawat jalan.

Retensi urin pascabedah dapat disebabkan inhibisi refleks kencing akibat manipulasi bedah,
pemberian cairan yang berlebihan sehingga menyebabkan distensi kandung kemih, nyeri, kecemasan,
atau efek sisa dari analgesia spinal atau epidural. Faktor risiko untuk retensi urin adalah ada riwayat
retensi urin, analgesia spinal/epidural, operasi pelvik atau urologi, katerisasi perioperatif. PGPAC
merekomendasikan bahwa urinasi sebelum pasien dipulangkan tidak merupakan bagian dari protokol

614
pemulangan pasien dan mungkin hanya diperlukan untuk untuk pasien tertentu. Bila voiding merupakan
bagian dari pemulihan, pasien dapat dipulangkan dengan instruksi yang jelas untuk minta pertolongan
apabila tidak bisa kencing dalam 6-8 jam pascabedah.

Pemulangan pasien setelah Analgesia regional


Sejumlah teknik analgesia regional dapat dipakai untuk bedah rawat jalan mulai dari analgesia
spinal sampai ke blok ekstrimitas. Pasien yang dilakukan analgesia regional mempunyai kriteria
pemulangan yang sama dengan pasien yang di anestesia umum.

Analgesia spinal
Analgesia spinal sering digunakan untuk bedah rawat jalan dan mempunyai beberapa
keuntungan dibandingkan anestesia umum yaitu lebih rendahnya kejadian PONV, ngantuk, dan nyeri
pascabedah. Di samping keuntungan tsb, analgesia spinal bukannya tanpa problema. Lidokain adalah
obat yang populer untuk analgesia spinal akan tetapi mempunyai problema dengan terjadinya TNS
(transient neurologic symptom). TNS jelas dihubungkan dengan pemberian lidokain intratekal dan
kejadiannya bervariasi dari 16% sampai 40%.

Penelitian menunjukkan perbedaan pendapat. Vaghadia dkk menemukan bahwa analgesia spinal
dengan lidokain memperlambat pemulihan, peneliti yang lain mengatakan pemulangan pasien dengan
analgesia spinal lebih cepat daripada anestesia umum. Wong dkk menemukan bahwa pemulangan pasien
sama antara spinal dan anestesia umum pada pasien yang mengalami antroskopi.

Akibat adanya kekhawatiran kemungkinan efek neurotoksik dari lidokain membawa minat
kearah pemilihan obat analgetik lokal yang lain. Bupivakain merupakan alternatif lain dari
lidokain, akan tetapi mempunyai lama kerja yang lebih panjang, yang memungkinkan akan
memperlambat pemulangan pasien. Berbagai usaha dilakukan untuk mengurangi dosis
bupivakain yang diperlukan untuk anestesia dengan harapan pemulihannya cepat. Dosis kecil
bupivakain 4-8 mg dapat digunakan untuk mencapai pemulangan yang sama dengan spinal
lidokain. Penambahan fentanil menyebabkan sinergistik analgesia dan dapat mengurangi dosis
bupivakain, lebih cepatnya ambulasi, dan mengurangi risiko retensi urin. Banyak penelitian
yang mendukung hal ini (misalnya tambahkan 10 ug fentanil pada 5mg bupivakain). Sebelum
pasien diperbolehkan berjalan, penting untuk menilai apakah motor blok telah regresi. Bila
sensasi perianal (S4-5) normal, pleksi plantar, propriosepsi pada ibu jari kaki, pasien aman
untuk dimulainya ambulasi.

Faktor yang memperlambat Pemulangan Pasien


Tujuan suksesnya unit ambulatory adalah pemulangan pasien yang aman tepat waktu. Ada
beberapa faktor yang memperlambat waktu pemulangan pasien. Meningkatnya umur dihubungkan
dengan lambatnya pemulihan, suatu perbedaan umur 10 tahun dihubungkan dengan 2% perubahan lama
tinggal. Operasi THT, strabismus, CHF merupakan prediktor prabedah yang penting untuk lambatnya
pemulangan. Faktor intraoperatif adalah anestesia umum, operasi yang lama, adanya kejadian kardiak
intraoperatif. Nyeri pascabedah dan PONV juga merupakan faktor yang memperlambat pemulangan

615
pasien, selain itu kadang-kadang problema logistik akan memperlambat pemulangan pasien.

Nyeri pascabedah dan PONV adalah 2 faktor utama yang memperlambat pemulihan.

Nyeri
Dalam usaha untuk mempertahankan keuntungan dari obat anestetik yang baru, spesialis
anestesia harus mengembangkan untuk penatalaksanaan nyeri pascabedah yang efektif, yang
harus dipikirkan sejak saat prabedah. Analgesia harus dimulai di kamar bedah dan dilanjutkan
dengan lebih agresif saat pascabedah. Jenis obat, saatnya pemberian obat, dan dengan
mempertimbangkan faktor emosional yang akan menambah nyeri, adalah elemen penting untuk
keberhasilan terapi nyeri.
Opioid masih merupakan obat yang paling umum digunakan untuk nyeri pascabedah, akan
tetapi, adanya efek samping seperti depresi nafas, sedasi, PONV akan mengurangi keuntungan
opioid untuk analgesia pascabedah. Keadaan ini yang menyebabkan berkembangnya pemakaian
NSAID pada pasien bedah rawat jalan.
Untuk pengobatan nyeri akut pascabedah, dibandingkan ketorolac, fentanil memberikan
hasil yang unggul dalam 15 menit pertama, karena itu, kedua kelompok obat (opioid dan
opioid) memberikan hasil yang efektif. Ketorolac 30-60 mg (0,5-2mg/kg) memberikan hasil
yang efektif, akan tetapi, gejala mual kurang daripada opioid, dan adanya peningkatan
perdarahan akan membatasi pemakaian ketorolac pada beberapa kasus bedah.
Salah satu kriteria utama dari ambulatori adalah nyeri pascabedah yang minimal yang dapat
dikendalikan dengan analgesik per oral. Walaupun banyak cara dalam memberikan analgesia, nyeri
masih merupakan alasan umum pasien lambat dipulangkan, untuk kontak dengan dokter keluarga, dan
untuk menjadi dirawatnya pasien yang direncanakan bedah rawat jalan.

Untuk dapat mengobati nyeri secara efektif, harus mengerti tentang pola nyeri dan membatasi
setiap faktor yang menimbulkan nyeri hebat. Chung dan Mezei meneliti 10.008 pasien bedah rawat
jalan untuk melakukan identifikasi faktor risiko untuk nyeri hebat. Operasi ortopedi mempunyai
kejadian paling tinggi untuk nyeri hebat pascabedah, terutama operasi bahu dan pengangkatan metal.
Lama operasi juga mempunyai pengaruh untuk terjadinya nyeri pascabedah. Bila lama operasi lebih dari
90 menit, 10% pasien akan mengalami nyeri hebat. Bila operasi melebihi 120 menit, 20% pasien akan
mengalami nyeri hebat.

Penatalaksanaan nyeri pascabedah harus dimulai intraoperatif atau idealnya prabedah untuk
menjamin pemulihan yang bebas nyeri. Pendekatannya harus multimodal, menggunakan NSAIDs,
opioid, dan analgesia lokal. Harus diingat bahwa NSAIDs perlu waktu sekitar 30 menit untuk menjadi
effektif dan sediaan parenteral lebih mahal daripada sediaan per oral.

PONV
PONV masih merupakan problema yang umum setelah bedah rawat jalan, dan kejadiannya
sekitar 20-30% setelah pemberian anestesia umum dan dilaporkan masih terjadi pada 35% pasien setelah
dipulangkan ke rumah, sehingga mencegah PONV merupakan prioritas bagi pasien. Chung
menunjukkan bahwa PONV adalah satu faktor paling penting yang menyebabkan pasien bedah rawat

616
jalan lambat dipulangkan.

Untuk mengelola pasien lebih efektif, Apfel dkk membuat suatu sistem skoring untuk risiko
terjadinya PONV yang terdiri dari 4 kategori yaitu : jenis kelamin wanita, ada riwayat PONV dan mabuk
perjalanan, tidak merokok, dan penggunaan opioid pascabedah. Bila satu, dua, tiga, atau empat faktor
tersebut ada maka kejadian PONV adalah 10%, 20%, 39%, dan 79%. Prosedur bedah yang lama dan
jenis operasi tertentu akan menyebabkan lebih tingginya risiko terjadinya PONV. Kejadian PONV yang
tinggi terjadi pada operasi intraabdominal, operasi ginekologis besar, laparoskopi, operasi payudara,
mata, dan THT. Disebabkan karena bila telah terjadi PONV biaya akan lebih mahal daripada
pencegahan, maka identifikasi faktor prediktor terjadinya PONV sangat penting sehingga dapat
diberikan terapi profilaksis.

Dibandingkan dengan plasebo, deksametason 10 mg secara nyata mengurangi PONV dari 73%
menjadi 34% dalam 24 jam setelah laparoskopi. Deksametason 4 mg sebanding dengan ondansetron 4
mg setelah operasi ginekologis rawat jalan. Dalam suatu metaanalisis, Henzi dkk melaporkan
deksametason terutama efektif melawan late PONV. Kombinasi droperidol dan ondansetron dapat
mengurangi kejadian PONV sampai 90%, karena droperidol lebih baik dalam melawan nausea daripada
emesis, sedangkan 5HT3 antagonis lebih menguntungkan untuk melawan emesis daripada mual.

PONV tidak hanya terjadi di PACU, akan tetapi, dapat saja terjadi pada pasien rawat
inap setelah kembali ke ruangan atau pasien rawat jalan setelah pasien pulang ke rumahnya.
Sebelum itu, sedikit perhatian untuk mengendalikan PONV setelah pasien dipulangkan ke
rumah. Pemberian ondansetron sebelum pasien dipulangkan akan mengurangi kejadian PONV
setelah pasien dipulangkan ke rumah. Pasien dengan risiko besar untuk terjadi PONV seperti
laparoskopi, strabismus sebaiknya diberikan ondansetron sesaat sebelum pasien dipulangkan.
Profilaksis antiemetik dengan intravena droperidol 0,625 mg, ondansetron 4 mg,
metoklopromid 10 mg, deksametason 150 uk/g atau sampai 8 mg iv efektif untuk mencegah
PONV.
Pada tanggal 5 Desember 2001, FDA menyatakan peringatan black box untuk
droperidol. Hal ini disebabkan karena adanya kematian tiba-tiba pada dosis tinggi droperidol
(>25 mg) pada kasus psikiatri, adanya risiko aritmia jantung. Peringatan ini berdasarkan pada 9
laporan kasus. Pada 7 laporan di mana diberikan 2,5 mg droperidol, 4 orang meninggal
sedangkan 3 orang lagi selamat setelah terjadi henti jantung. Henti jantung juga terjadi pada 2
pasien yang diberi droperidol dengan dosis 1 mg, di mana 1 pasien meninggal. Oleh karena itu,
sebaiknya tidak memberikan droperidol untuk terapi PONV.

Table 9. Summary of Treatment recommendation

Prophylaxis and treatment Antiemetic agent (5-HT3 antagonist, droperidol,


of PONV dexamethason, metoklopromid) may be use for
prophylaxis or treatment when indicated.
Multiple agent maybe use for prophylaxis or
treatment when indicated.
Other antiemetic or nonpharmacologic agent maybe
use for treatment when indicated, although the

617
evidence supporting their use is less robust.
Supplemental oxygen Supplemental

Fluid administrasion and


management

Normalizing patient
temperature

Pharmacologic agent for


the reduction of shivering

Antagonism of the effects of


sedatives, analgesiacs, and
neuromuscular block

Faktor Lain yang memperlambat pemulangan


Simptom yang lain seperti adanya nyeri tenggorokan, sakit kepala, ngantuk, pusing dapat terjadi
setelah anestesia bedah rawat jalan. Teknik yang sederhana, seperti hidrasi perioperatif dengan 20 ml/kg
BB cairan intravena akan mengurangi simptom pascabedah seperti rasa haus, mual, pusing, ngantuk
sampai 24 jam pascabedah. Penelitian pada 5264 pasien menunjukkan kejadian sore throat sekitar
12,1%. Faktor yang menimbulkan kejadian sore throat adalah intubasi endotrakeal, jenis kelamin
wanita, pasien muda, penggunaan suksinilkolin, operasi ginekologis.

Wu dkk meneliti simptom keseluruhan setelah pasien dipulangkan dan kejadiannya kira-kira
45% untuk nyeri, 17% untuk mual, 8% untuk muntah, simptom lainnya adalah ngantuk, pusing, dan
lemah.

Pesan/instruksi pada pasien sebelum dipulangkan


Pasien bedah rawat jalan harus disertai orang dewasa yang bertanggung jawab membawanya
pulang dan menjaganya di rumahnya karena akan mengurangi kejadian adanya efek yang tidak
diinginkan, meningkatkan kenyamanan pasien. Dianjurkan pasien harus diberikan instruksi tertulis
tentang prosedur diet, obat, aktivitas, dan nomor telepon bila ada kejadian darurat. Pasien secara rutin
diminta untuk tidak minum alkohol, menyetir, membuat keputusan penting dalam 24 jam. Pasien jangan
menyetir untuk 24 jam bila diberi anestesia kurang dari 1 jam, bila lama anestesia 2 jam atau lebih,
pasien tidak boleh nyetir sampai 48 jam, ini bila diberi anestesia dengan tiopental dan halotan. Dengan
adanya obat anestetik yang baru yaitu propofol, sevofluran, desfluran, remifentanil maka penelitian
Sinclair dengan simulator nyetir menyebutkan bahwa hanya perlu 3 jam.

Harus diingat faktor kenyamanan pasien merupakan salah satu tujuan utama bedah rawat jalan.
Faktor yang menentukan kenyamanan pasien adalah keramahan personil kamar bedah, diskusi ahli
bedah dengan pasien tentang apa yang ditemukan saat pembedahan, penatalaksanaan PONV dan nyeri
pascabedah, pemasangan jalur vena yang lancar, dan hindari keterlambatan.

618
Simpulan
2. Bedah rawat jalan menguntungkan karena lebih murah dibandingkan dengan bedah
rawat inap, juga menguntungkan untuk pasien dan keluarganya.
3. Pemantauan di PACU (pemulihan fase I/early recovery) dengan Modifikasi sistem
Aldrete Skoring dan pasien boleh keluar PACU atau kamar bedah bila skor mencapai 9
atau lebih.
4. Pemantauan di ruang pulih fase II (intermediat recovery) dengan PADSS dan pasien
boleh dipulangkan bila sudah mencapai skore 9 atau lebih.
5. Kejadian PONV dan nyeri pascabedah masih merupakan problema utama yang dapat
dikurangi dengan perencanaan anestesia yang tepat.
6. Instruksi pada yang diberikan pada pasien saat dipulangkan harus jelas dan tertulis.

Referensi :

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

MODUL 34 Penatalaksanaan nyeri

Mengembangkan komepetensi Waktu, semester 2 dan semester 6

Sesi di dalam kelas Terintegritas waktu menangani pasien


PACU dan ICU
Sesi dengan fasilitas pembimbing

Sesi praktek dan pencapaian kompetensi

619
Persiapan Sesi

Audiovisual

1.LCD proyektor dan layar

34. Laptop
35. OHP
36. Flipchart
37. Pemutar video
Materi presentasi :

CD power point

Sarana

- Ruang belajar
- Ruang pemeriksaan
- Ruang pulih
- Ruang rawat inap / pengamat lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU dan ICU

Alat bantu latih : model anatomi / simulator

Penuntun belajar : lihat acuan materi

Daftar tilik kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

38. Basic & Clinical Pharmacology Katzung BG 9th ed 2004


39. Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr 4th ed 2006
40. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2005.
41. Millers Anesthesia RD 6th ed 2005

1. Tujuan Umum :

Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik akan mampu melakukan penatalaksanaan
nyeri akut dan kronik termasuk nyeri kanker dan pendekatan farmakologis dan non
farmakologis menggunakan teknik noninvasif maupun invasif.

620
2. Tujuan Khusus :

Kognitif

1. Mampu menjelaskan pendekatan farmakologis dan nonfarmakologis yang dipergunakan


dalam penatalaksanaan nyeri kronik

2. Mampu menjelaskan titik tangkap kerja pendekatan farmakalogis maupun non


farmakologis pada nyeri kronik

3. Mampu menjelaskan penatalaksanaan nyeri pada nyeri khusus antara lain nyeri pada luka
bakar, nyeri herpes, nyeri neuropatik diabetikum.

4. Mampu menjelaskan aspek psikologis, efek plasebo pada penatalaksanaan nyeri kronik

Psikomotor

1. Mampu melakukan evaluasi dan menilai efektifitas penatalaksanaan nyeri kronik

2. Mampu memilih dan menetapkan kombinasi penkatan yang dipergunakan pada nyeri
kronik termasuk nyeri kanker sesuai tahapannya.

3. Mampu mengenali dan mengatasi efek samping yang disebabkan penatalaksanaan nyeri
kronik

4. Mampu melakukan penatalaksanaan nyeri pada pasien nyeri kronik yang mengalami
nyeri akut karena pembedahan

Komunikasi
1. Mampu berinteraksi dan menciptakan kondisi kerjasama tim dengan sejawat yang terkait
dari keahlian lain, perawat dan petugas home care.

2. Mampu menjelaskan tentang program penatalaksanaan nyeri, langkah-langkah dan efek


samping yang mungkin terjadi

3. Mampu menjelaskan kepada pasien maupun keluarga tentang tindakan dan efek samping
yang mungkin terjadi

Profesionalisme
1. Mampu bekerja dengan etis dan sesuai standard prosedur .

621
2. Mampu bekerja dalam tim dan menghargai sejawat lain, termasuk perawat, petugas
kesehatan dan perugas home care sesuai kompetensinya masing-masing.

3. Mampu menghargai dan mendapatkan kepercayaan pasien

4. Mampu menentukan pilihan pendekatan untuk pasien yang berada pada stadium akhir
dan terapi paliatif .

5. Mampu memberi informasi dan penjelasan profesional kepada keluarga pasien

3. Key notes
1. Nyeri dapat diklasifikasi menurut patofisiologi (misalnya, nyeri nosiseptif, atau nyeri
neuropatik), etiologi (misalnya, nyeri pascabedah atau nyeri kanker), atau area yang
menderita (misalnya, nyeri kepala atau nyeri bokong bawah/low back pain).

2. Nyerti nosiseptif disebabkan oleh aktifasi atau sensitisasi nosiseptor perifer, reseptor
yang menghantarkan rangsangan noksious. Nyeri neuropatik adalah akibat cedera atau
kelainan yang didapat pada struktur perifer atau sentral.

3. Nyeri akut dapat didefinisikan sebagai nyeri yang disebabkan oleh rangsangan noksious
karena cedera, proses penyakit, atau fungsi abnormal otot atau visera. Hampir selalu
merupakakan nyeri nosiseptif.

4. Nyeri kronik didefinisikan sebagai nyeri yang menetap melebihi perjalanan satu penyakit
atau setelah waktu penyembuhan terjadi; periode dapat bervariasi antara 1 sampai 6
bulan. Nyeri kronik mungkin nyeri atau neuropatik atau campuran.

5. Modulasi nyeri terjadi perifer pada nosiseptor, di medula spinalis atau di struktur
supraspinal. Modulasi ini dapat menghambat atau mempermudah (memperkuat) nyeri.

6. Nyeri akut yang moderat sampai berat, di mana saja letaknya dapat mengenai setiap
fungsi organ serta memperburuk morbiditas dan mortalitas pascabedah.

7. Blok neuron dengan analgetik lokal dapat dipergunakan untuk menggambarkan


mekanisme nyeri, tetapi lebih penting melaksanakan peranan besar dalam
penatalaksanaan pasien dengan nyeri akut atau kronik. Peran sistem simpatikus dan
jaringannya dapat dievaluasi.

8. Antidepresan umumnya sangat berguna untuk pasien dengan nyeri neuropatik. Obat ini
terbukti memberikan efek analgesia pada dosis yang lebih kecil dari pada dosis sebagai
antidepresan.

9. Antikovulsan telah dibuktikan sangat berguna untuk pasien dengan nyeri neuropatik.

622
10. Pemberian neuroaksial campuran analgetik lokal-opioid (terutama epidural) adalah
teknik anestesia yang sempurna untuk penanganan nyeri pascabedah setelah operasi
abdominal, pelvik, toraks, atau ortopedik ekstrimitas bawah.

11. Efek samping yang berat opioid epidural atau intratekal bergantung pada dosis dan
depresi nafas tunda (delayed respiratory depresion). Kebanyakan kasus depresi nafas
terjadi pada pasien yang bersamaan mendapat opioid atau sedatif parenteral.

Gambaran Umum

Setelah melalui sesi peserta didik mampu menangani nyeri akut terutama nyeri pascabedah,
nyeri kronik terutama nyeri kanker. Peserta didik dilatih melakukan pendekatan yang
multidisiplin untuk bekerja sama dengan bidang ilmu lain seperti, internis, neurologis,
onkologis, psikolog atau akupungturis.

Tujuan Pembelajaran
Selama mengikuti sesi ini peserta akan mengetahui definisi dan klasifikasi nyeri akut dan
nyeri kronik, serta anatomi dan fisiologi nosiseptif. Karena nyeri bersifat multi modulasi,
maka intervensi ditempuh berbagai cara yaitu secara farmakologik atau blok neuroaksial
atau kombinasi. Khususnya untuk nyeri pascabedah peserta didik juga harus mampu
memberikan analgesia preemtif.

Sumber Belajar
- Buku teks, jurnal ilmiah
- Spesialis anestesia sebagai pengajar dan pelatih

Metode belajar:

Diskusi kelompok, belajar mandiri

Magang, melakukan dengan pendampingan.

Media Pembelajaran
Perpustakaan

Animasi di komputer (interaktif)

Pasien di kamar bedah, poli paliatif dan klinik nyeri

623
Kata kunci:

1 .Aspek psikologis sangat berperan pada penatalaksanaan nyeri kronik

2. Penanganan terpadu dari dokter, perawat, petugas home care, petugas

sosial sangat diperlukan.

3.Evaluasi efektifitas obat dan perubahan toleransi obat harus dilakukan

secara berkala untuk re ajusment.

Evaluasi:

- Pre-tes

- tes tulis (entry behaviour, kognitif)

- Pos-tes

- tes tulis

- diskusi/laporan penatalaksanaan kasus

- clinical performance test(pasien)

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR PENATALAKSANAAN NYERI

Sudah Belum
N
Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia dikerja dikerja
o.
kan kan

PERSIAPAN

Persetujuan setelah mendapatkan informasi yang


1
adekuat

History taking dan pemeriksaan fisis.Prioritas fungsi


2
vital stabil, pada kasus darurat.

3 Evaluasi tingkat nyeri dan aspek psikologis

624
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan terkait
3
prosedur/obat (faal hemostasis, liver profile)

4 Pemilihan teknik pendekatan

5 Persiapan alat, obat

6 Pendekatan psikologis

PERSIAPAN ANALGESIA REGIONAL/LOKAL

1. Penjelasan prosedur pada penderita

Penderita diatur dalam posisi sesuai dengan teknik yang


2
dipilih dan senyaman mungkin.

Lakukan desinfeksi dan tindakan aseptis/antiseptis pada


3
daerah anestesia

TINDAKAN ANESTESIA

1 Induksi, intubasi

2 Rumatan

3 Ekstubasi

PERAWATAN PASCABEDAH

1 Komplikasi dan penangannya

2 Pengawasan terhadap fungsi vital

3 Pemantauan khusus dengan alat khusus

Catatan : sudah/belum dikerjakan beri tanda

625
DAFTAR TILIK

Beri tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan
dengan memuaskan dan berikan tanda x bila tidak dikerjakan dengan memuaskan
serta T/D bila tidak dilakukan pengamtan

Memuaskan Langkah/tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur s tandard


atau penuntun

x Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/tugas sesuai dengan


prosedur

Memuaskan standard atau penuntun

T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta

Nama peserta didik Tanggal

Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK

No. Kegiatan/langkah klinis Kesempatan ke

1 2 3 4 5

626
Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih

Layak

Tidak layak

Melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

MATERI ACUAN : Penatalaksanaan Nyeri

627
Nyeri adalah gejala umum yang membawa pasien datang ke dokter, yang hampir selalu
merupakan manifestasi proses patologis. Umumnya penatalaksanaan nyeri ini merupakan
bagian dari disiplin anestesiologi tetapi pada perkembangan kemudian pemakaian di luar kamar
operasi. Dalam praktek penatalaksanaan nyeri dibagi menjadi penatalaksanaan nyeri akut dan
penatalaksanaan nyeri kronik. Pada mulanya menghilangkan nyeri pascabedah atau karena
kondisi akut penyakit sebagai pasien rawat inap, sedangkan yang kemudian penatalaksanaan
nyeri untuk berbagai kelompok sebagai pasien rawat jalan. Sudah tentu ada tumpang tindih
antara keduanya misalnya pasien nyeri kanker yang dapat menjadi pasien rawat inap dan rawat
jalan.

Praktek penatalaksanaan nyeri tidak terbatas pelayanan anestesia saja tetapi akan mencakup
praktisi lain seperti, internis, onkologi, neurologi, atau non-dokter seperti, psikologi, akupungtur.
Yang jelas bidang ini memerlukan pendekatan multidisiplin.

Anestetis yang terlatih dalam penatalaksanaan nyeri dapat menjadi koordinator pengelolaan nyeri
yang multidisiplin di klinik nyeri karena telah terlatih menagani nyeri pasien bedah, obstetri-
ginekologis, pediatrik atau spesialis lain dengan pendekatan farmakologis atau neuroaksial
dengan cara blok saraf perifer atau saraf pusat.

DEFINISI DAN KLASIFIKASI NYERI

Persepsi nyeri bergantung pada neuron yang berfungsi, apakah sebagai reseptor, detektor
rangsangan, dan kemudian transdusi dan konduksi ke dalam susunan saraf pusat. Sensasi
sering dibagi sebagai protopatik (noksious) atau epikritik (non-noksious). Sensasi epikritik
(cahaya, perabaan, tekanan, proprioseptif, suhu) yang diberi tanda oleh reseptor ambang rendah
(low-thresholdreceptors) dan umumnya dihantarkan oleh serabut saraf besar bermielin (large
myelinated nerve fibers). Sebaliknya sensasi protopatik (nyeri) dilayani oleh reseptor ambang
tinggi (high-threshold rceptors) dan dihantarkan oleh serabut saraf kecil bermielin ( mielinated
nerve fibers) (Adan
serabut saraf tak bermielin (unmyelinated nerve fibers) (C).

Nyeri tidak hanya modaliti sensasi tetapi suatu pengalaman. The International Association for
the Study of Pain ( IASP) mendefinisikan nyeri sebagai: as unpleasant sensory and emotional
experience associated with actual or potential tissue damage, or described in terms of such
damage

628
Nosiseptif (nociception), berasal dari bahasa latin : noci (cedera atau injury), dipergunakan
untuk menjelaskan respons neural hanya terhadap trauma atau rangsangan noksious. Semua
nosiseptif menghasilkan nyeri, tetapi tidak semua nyeri akibat dari nosiseptif. Banyak pula
pasien mengalami nyeri tidak disertai rangsangan noksious. Karena itu untuk penggunaan
klinis, nyeri dibagi menjadi : 1) nyeri akut, yang terutama karena nosiseptif; 2) nyeri kronik,
yang mungkin disebabkan oleh nosiseptif, tetapi faktor psikologi dan behavior yang lebih banyak
berperan. Tabel yang dipergunakan untuk menangani nyeri.

Table. Terms used in pain management.

Term Description

Allodynia Perception of an ordinarily nonnoxious stimuli as pain

Analgesia Absence of pain perception

Anesthesia Absence of all sensation

Anesthesia dolorosa Pain in an area that lacks sensation

Dysesthesia Unpleasant or abnormal sensation with or without a stimuli

Hypalgesia Diminished responsse to noxious stimulation (eg, pinprick)


(hypoalgesia)

Hyperalgesia Increased responsse to noxious stimulation

Hyperesthesia Increased responsse to mild stimulation

Hyperpathia Presence of hyperesthesia, allodynia, and hyperalgesia usually associated


with overreaction, and persistence of the sensation after the stimuli

Hypesthesia Reduced cutaneous sensation (eg, light touch, pressure, or temperature)


(hypoesthesia)

Neuralgia Pain in the distribution of a nerve or a group of nerves

Paresthesia Abnormal sensation perceived without an apparent rangsangan

Radiculopathy Functional abnormality of one or more nerve roots

629
Nyeri dapat diklasifikasi menurut patofisiologi, (misalnya: nyeri nosiseptif atau nyeri
neuropatik; etiologi (pascabedah atau kanker); area yang terkena ( nyeri kepala, nyeri punggung
bawah). Klasifikasi dipergunakan untuk menentukan modaliti pengobatan dan jenis obat ysng
dipergunakan. Nyeri nosiseptif disebabkan oleh aktivasi atau sensitisasi nosiseptor perifer,
terutama reseptor yang menghantarkan rangsangan noksious. Nyeri neuropatik adalah nyeri
yang disebabkan oleh cedera atau kelainan yang didapat pada struktur saraf perifer atau saraf
pusat

a. Nyeri akut

Nyeri akut dapat didefinisikan sebagai nyeri yang disebabkan oleh rangsangan noksious karena
cedera, fungsi abnormal dari otot atau visera. Nyeri nosiseptif membantu untuk mendeteksi,
melokalisir dan membatasi kerusakan jaringan melalui 4 proses : transduksi, transmisi, modulasi,
dan persepsi. Jenis nyeri ini tipikal dan berkaitan dengan stres neuroendokrin yang proporsional
dengan intensitasnya. Bentuk yang paling umum meliputi: nyeri pascatrauma, nyeri perioperatif
dan nyeri obstetrik dan penyakit akut seperti, infark miokard, pankreatitis, dan batu ginjal. Nyeri
ini pudar sendiri atau dengan pengobatan setelah beberapa hari atau pekan. Kalau tidak
menghilang mungkin disebabkan oleh penyembuhan yang abnormal atau pengobatan tidak
adekuat. Nyeri akut dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu: 1) nyeri somatik dan 2) nyeri viseral

1. Nyeri somatik

Nyeri somatik dapat diklasifikasi lebih jauh lagi menjadi : nyeri somatik dalam dan
permukaan. Nyeri somatik permukaan terjadi karena masukan nosiseptif muncul dari kulit,
jaringan subkutan dan membran mukosa. Nyeri berkarakteristik dan terlokalisasi jelas, dapat
dideskripsi sebagai nyeri yang tajam, menusuk, berdenyut atau sensasi terbakar.

Nyeri somatik dalam, berasal dari otot, tendon, sendi atau tulang sebagai nyeri tumpul dan
lokalisasi kurang jelas; contohnya trauma pada siku tetapi lokalisasi nyeri ada pada hampir
seluruh lengan.

2. Nyeri viseral

Nyeri viseral adalah nyeri akut yang muncul proses abnormal organ internal atau yang
menutupinya (misalnya pleura parietalis, perikardium, atau peritoneum). Nyeri viseral masih
dibagi menjadi 4 subtipe: 1) true localized visceral pain; 2) localized parietal pain; 3)
reffered visceral pain; 4) reffered parietal pain.Nyeri viseral murni biasanya tumpul difus
dan di garis tengah. Biasanya sering disertai dengan peningkatan aktifitas simpatikus atau
parasimpatikus hingga menyebabkan, mual, muntah berkeringat dan perubahan tekanan
darah dan laju nadi. Nyeri parietalis khas tajam dan sering didiskripsikan sebagai sensasi
tusukan dengan lokasi sekitar organ atau dialihkan lebih jauh (reffered to a distant site).

630
b. Nyeri kronik

Nyeri kronik adalah nyeri yang berlangsung melampaui waktu perjalanan penyakit akut atau
setelah waktu yang wajar untuk terjadi penyembuhan; waktu ini dapat bervariasi antara 1 6
bulan. Nyeri dapat berupa nyeri nosiseptif, neuropatik atau campuran. Aspek mekanisme
psikologi dan faktor lingkungan sering sangat berperan dalam menentukan perbedaan gambaran
nyeri kronik tersebut. Pasien dengan nyeri kronik sering menekan atau menghilangkan respons
stres neuroendokrin hingga cenderung mengalami gangguan tidur dan afektif (mood). Nyeri
neuropatik adalah paroksimal klasik dan rasa tersayat serta terasa panas dan berkaitan dengan
hiperpati.

Bentuk nyeri kronik yang paling umum berkait dengan gangguan muskuloskeletal, gangguan
viseral kronik, lesi saraf perifer, radiks saraf (nerve roots), (termasuk neuropatik diabetik,
kausalgia, nyeri fantom dan neuralgia posterapeutik), lesi SSP (strok, cedera medula spinalis, dan
multipel skelerosis), dan nyeri kanker. Kebanyakan nyeri gangguan muskuloskeletal (misalnya
reumatoid artritis, dan osteoartritis) adalah nyeri nosiseptif, di mana nyeri bercampur dengan
gangguan saraf perifer dan sentral yang terutama neuropatik. Nyeri yang berkaitan dengan
gangguan-gangguan seperti, kanker dan nyeri punggung kronik (terutama setelah opersi) sering
merupakan nyeri campuran. Beberapa klinikus menyebutnya sebagai nyeri kronik benigna.

ANATOMI DAN FISIOLOGI NOSISEPTIF

Pathways nyeri

Lihat gambar :

631
Untuk mempermudah menyerderhanakan ilustrasi, nyeri dihantarkan melalui 3 jaring neuron
(three-neuron pathways) yang menghantarkan rangsangan noksious dari perifer sampai korteks
serebri (Gambar). Neuron aferen primer berada di radiks dorsalis ganglia (dorsal root ganglia),
yang terletak di foramen vertebra pada tiap level medula spinalis. Setiap neuron mempunyai
satu akson yang terbagi dua, satu ujung menuju ke jaringan perifer yang dipersarafi, dan yang
lain masuk ke tanduk dorsalis (dorsal horn) medula spinalis. Di tanduk dorsalis neuron aferen
primer bersinaps dengan neuron kedua (second order neuron) yang aksonnya menyilang garis
tengah dan naik di kontralateral traktus spinotalamikus sampai ke talamus. Neuron kedua
bersinaps di nukleus talamikus dengan neuron ketiga (third order neuron) yang membelok
menuju girus pos-sentralis di korteks serebri melalui kapsul interna (gambar).

632
Fisiologi nosiseptif

1. Nosiseptor

Sensasi noksious sering diperinci lagi menjadi 2 komponen menjadi nyeri pertama dan nyeri
kedua. Nyeri pertama, cepat, tajam dan lokasi sensasi baik, dihantarkan oleh serabut A dengan
latensi yang pendek (0.1 s); nyeri kedua, tumpul, mula kerja lambat, dan lokasi sensasi sering
tidak jelas yang dihantarkan oleh serabut C.

Nosiseptor kutaneus

Nosiseptor kutaneus ada di kedua jaringan somatik dan viseral.. Neuron aferen primer sampai
ke jaringan melalui somatik, simpatikus dan parasimpatikus spinal. Nosiseptor somatik ada di
kulit (kutaneus) dan jaringan dalam (otot, tendon, fasia dan tulang), sedangkan nosiseptor viseral
ada di organ dalam.

Nosiseptor somatik dalam (deep somatic nociceptors)

Nosiseptor somatik dalam kurang sensitif dari pada nosiseptor kutaneus, tetapi disensitifkan
oleh inflamansi. Karakter nyeri yang timbul tumpul dan lokasi tidak jelas. Nyeri nosiseptor ini
berada di otot, sendi dan respons terhadap rangsangan mekanis, panas dan kimia

Nosiseptor viseral

Organ viseral umumnya adalah jaringan yang kurang sensitif, yang terutama mengandung
silnet nociceptors, seperti jantung, paru dan saluran empedu. Kebanyakan organ seperti usus
dipersarafi oleh nosiseptor polimodal nosiseptor yang tanggap terhadap spasme otot, iskemia,
dan inflamasi (alogens). Sebagian kecil organ seperti otak tidak mempunyai nosiseptor
samasekali, walapun pemukaan selaput otak meningeal berisi banyak nosiseptor.

Seperti halnya nosiseptor somatik di visera tidak terdapat ujung saraf dari neuron aferen
primer yang sel saraf (cell bodies) terletak di tanduk dorsalis medula spinalis. Serabut saraf
aferen ini berjalan bersama serabut saraf eferen simpatikus sampai ke visera.

2. Mediator kimiawi untuk nyeri

633
Beberapa neuropeptid dan asam amino eksitatori berfungsi sebagai neutransmiter untuk neuron
aferen yang menghantarkan nyeri. (tabel)

Table. Major Neurotransmitters Mediating or Modulating Pain.

Neurotransmitter Receptor1 Effect on Nociception

Substance P NK1 Excitatory

Calcitonin gene-related peptide Excitatory

Glutamate NMDA, AMPA, kainite, quisqualate Excitatory

Aspartate NMDA, AMPA, kainite, quisqualate Excitatory

Adenosine triphosphate (ATP) P1, P2 Excitatory

Somatostatin Inhibitory

Acetylcholine Muscarinic Inhibitory

Enkephalins , , Inhibitory

-Endorphin , , Inhibitory

Norepinefrin 2 Inhibitory

Adenosine A1 Inhibitory

Serotonin 5-HT1 (5-HT3) Inhibitory

-Aminobutyric acid (GABA) A, B Inhibitory

Glycine Inhibitory

1
NMDA, N-methyl-D-aspartate; AMPA, 2-(aminomethyl)phenilacetic acid; 5-HT, 5-

634
hydroxytryptamine

Kebanyakan, walaupun tidak semua neuron mengandung lebih dari satu neurotransmiter yang
dilepaskan secara simultan. Neurotransmiter terpenting yaitu : substance P, Calcitonin Gene-
Related Peptide(CGRP). Glutamat adalah eksitatori asam amino yang terpenting. Neuron yang
melepaskan substance P juga mempersarafi visera dan berkolateral dengan serabut saraf yang
menuju ganglion simpatikus paravertebra; rangsangan kuat pada visera akan menyebabkan
langsung postganglionic sympathetic discharge.

3. Modulasi nyeri

Modulasi nyeri terjadi di perifer pada nosiseptor dalam medula spinalis atau supraspinal.
Modulasi ini dapat menekan atau memperkuat nyeri.

Mana no 4???

5. Analgesia preemtif
Kiat ini adalah pemberian picu farmakologik hingga terjadi efek analgesia efektif sebelum
trauma bedah. Termasuk cara ini, termasuk infiltrasi sekitar luka operasi, pemberian obat blok
neural sentra, atau pemberian opioid dengan dosis efektif, NSAID, atau ketamin.

PATOFISIOLOGI NYERI KRONIK

Nyeri kronik mungkin disebabkan oleh kombinasi pengaruh sentral, perifer dan psikologik.
Sensitisasi nosiseptif memainkan peran besar pada nyeri dengan mekanisme perifer seperti
gangguan muskuloskeletal dan viseral. Nyeri neuropatik melibatkan saraf sentral dan perifer.
Mekanisme sentral yang kompleks dan umumnya berhubungan dengan lesi parsial atau
keseluruhan dari saraf perifer, ganglia radiks dorsalis, radiks sarea, atau struktur yang lebih
sentral (tabel)

Table. Mechanisms of Neuropathic Pain.

Spontaneous self-sustaining neuronal activity in the primary afferent neuron (such as a

635
neuroma).

Marked mechanosensitivity associated with chronic nerve compression.

Short-circuits between pain fibers and other types of fibers following demyelination, resulting in
activation of nociceptive fibers by nonnoxious stimuli at the site of injury (ephaptic
transmission).

Functional reorganization of receptive fields in dorsal horn neurons such that sensory input
from surrounding intact nerves emphasizes or aggravates any input from the area of injury.

Spontaneous electrical activity in dorsal horn cells or thalamic nuclei.

Release of segmental inhibition in the spinal cord.

Loss of descending inhibitory influences that are dependent on normal sensory input.

Lesions of the thalamus or other supraspinal structures.

Sistem saraf simpatis nampaknya memegang peran besar pada pasien dengan mekanisme perifer
dan sentral. Keampuhan blok saraf simpatis pada beberapa pasien mendukung konsep
pemeliharaan nyeri simpatikus; gangguan dengan nyeri yang sering menjadi respons terhadap
blok simpatikus termasuk distrofi simpatikus, sindroma karena amputasi, neuralgia pasca
herpes.

Mekanisme psikologi atau faktor lingkungan jarang merupakan satu-satunya mekanisme nyeri
kronik, tretapi umumnya berhubungan dengban mekanisme lain (Tabel)

Table. Psychological Mechanisms or Environmental Factors Associated with Chronic Pain.

Psychophysiological mechanisms in which emotional factors act as the initiating cause for
somatic or visceral dysfunction (eg, tension headaches).

Learned or operant behavior in which chronic behavior patterns are rewarded (eg, by attention
of a spouse) following an often minor cedera.

Psychopathology due to psychiatric disorders such as major affective disorders (depresion),


schizophrenia, and somatization disorders (conversion hysteria) in which the patient has an

636
abnormal preomlupation with bodily functions.

Pure psychogenic mechanisms (somatoform pain disorder), in which real suffering is


experienced despite the absence of any nonciceptive input.

INTERVENSI FARMAKOLOGI NYERI

Intervensi farmokologis pada penatalaksanaan nyeri mencakup COX inhibitor, opioid,


antidepresan, neuroleptik, kortikosteroid, pemakaian intravena obat, pemakaian lokal anestetik
secara sistemik. COX inhibitor dapat dipergunakan untuk managemen nyeri pascabedah, opioid
dipergunakan terutama untuk nyeri akut moderat sampai nyeri berat6 dan kanker.

Antidepresan

Obat ini mempunyai efek analgesia pada dosis yuang lebih kecil dari pada dosis antidepresan..
kedua efek ini disebabakan oleh blokade reambilan serotonin atau noepinefrin atau keduanya
dari presinaptik. Antidepresan umumnya sangat bermanfaat untuk pasien dengan nyeri
neuropatik, misalnya neuralgia pasca herpes, dan neuropati diabetik.

Antikonvulsan

Antikonvulsan sangat berguna untuk pasien dengan nyeri neuropatik, terutama neuralgia
trigeminus, neuropatik diabetik. Obat ini juga efektif sebagai adjuvan untuk nyeri pascabedah
misalnya gabapentin. Dalam Tabel di bawah diperlihatkan daftar obat antikovulsan.

637
Table 1810. Anticonvulsants Possibly Useful in Pain Management.

Anticonvulsant Half-Life Daily Dose Therapeutic Level1 ( g/mL)


(h) (mg)

Carbamazepine (Tegratol) 1020 2001200 412

Clonazepam (Clonopin) 1830 118 0.010.08

Gabapentin (Neurontin) 57 9001800 >2

Lamotrigine (Lamictal) 24 25400 220

Fenitoin (Dilantin) 22 200600 1020

Topiramate (Topamax) 2030 25200 Unknown

Valproic acid (Depakene) 616 7501250 50100

1
Efficacy in pain management may not correlate with blood level.

Neuroleptik

Neuroleptik bermanfaat untuk nyeri neuropatik refrakter. Neuroleptik juga sangat berguna untuk
pasien yang agitasi atau dengan gejala psikotik. Obat-obat yang banyak dan umum dipakai
adalah; haloperidol, flufenazin, klorpromazin, dan perferazin. Efek terapeutik obat ini karena
blokade reseptor dopaminergik di sisi mesolimbik Sayang sekali obat ini dapat memberikan
dampak samping gejala ektrapiramidal. Obat ini juga dapat memberikan efek, antihistamin,
antimuskarinil, blok -adrenergik.

Kortikosteroid

Glukokortikoid sangat ekstensif dipergunakan penatalaksanaan nyeri karena efek antiinflamasi


dan analgesia. Obat dapat diberikan topikal, oral atau parenteral.(intravena, subkutan, intrabursa,
intra-artikular, dan epidural). Tabel di bawah ini diperlihatkan daftar obat yang sering
dipergunakan.

638
Table. Selected Corticosteroids.1

Drug Routes Glucocorticoid Mineralocorticoid Equivalent Half-


Given2 Activity Activity Dose (mg) Life
(h)

Hydrocortisone O, I, T 1 1 20 812

Prednisone O 4 0.8 5 1236

Prednisolone O, I 4 0.8 5 1236

Methylprednisolone O, I, T 5 0.5 4 1236


(Depo-Medrol, Solu-
Medrol)

Triamcinolone O, I, T 5 0 4 1236
(Aristocort)

Betamethasone O, I, T 25 0 0.75 3672


(Celestone)

Dexamethasone O, I, T 25 0 0.75 3672


(Decadron)

1
Adapted from Goodman LS, Gilman AG: The Pharmacologic Basis of Therapeutics, 8th ed.
Pergamon, 1990.
2
O, oral; I, injectable; T, topical.
Kalau aktivitas glukokortikoid berlebihan dapat menghasilkan hipertensi, hiperglikemia, rentan
infeksi, ulkus peptikus,nekrosis aseptik kaput humerus, proksimal miopati, katarak dan psikosis
(jarang); dan juga gambaran sindroma Cushing. Terlalu berlebihan mineralokortikoid dapat
memacu terjadi gagal jantung.

Analgetik lokal sistemik

Analgetik lokal biasanya diberikan sistemik untuk pasien nyeri neuropatik dan menghasilkan
sedasi dan analgesia; analgesia sering bertahan lebih lama dari profil farmakokinetik obat
analgetik lokal dan memutuskan pain cycle. Obat yang banyak dipergunakan adalah
lidokain, prokain dan kloroprokain. Lidokain diberikan secara infusi selama 5 30 menit
dengan dosis total 1 5 mg/kg; prokain diberikan 200 400 mg intravena selama 1 2 jam;
639
sedangkan kloroprokain (1 % ) diberika infusi dengan kecepatan 1 mg /kg / menit untuk total 10
20 mg/kg. Pemantauan sebaiknya mempergunakan, EKG, tekanan darah, respirasi dan status
mental, alat resusitasi harus tertsedia. Kalau terdapat tanda-tanda toksik seperti, tinitus, sedasi
berlebihan, atau nistagmus, segera infusi diperlambat atau hentikan.

A2- agonis adrenergik

Efek utama obat golongan ini seperti klonidin dan deksmedetomidin adalah mengaktivasi jaras
desending inhibisi (descending inhibitory pathways) di tanduk dorsali medula spinalis dan di
SSP. Obat dapat diberikan secara sistemik (parenteral), peroral, perkutan (patch), dan
neuroaksial. A2-agonis adrenergik epidural atau intratekal efektif untuk nyeri neuropatik dan
toleransi opioid.

NYERI PASCABEDAH

Konsep analgesia preemtif (di atas) dianggap penatalaksanaan nyeri pascabedah terbaik yang
dimulai pra-bedah. Penempatan kateter yang dipertahankan untuk nyeri pascabedah merupakan
cara yang handal. Analgesia interkostal dan epidural tambahan dapat memperbaiki fungsi
respirasi setelah bedah toraks dan abdominal atas. Analgesia epidural dan spinal dapat
menurunkan kejadian tromboembolus operasi panggul dan mengurangi hiperkoagulasi setelah
prosedur vaskular.

Kontrol nyeri pascabedah umum terbaik jika dikelola oleh seorang anestetis, karena mereka
dapat melakukan intervensi dengan analgesia regional atau farmakologik atau keduanya.

Modaliti analgesia pascabedah mencakup pemberian analgesia oral, analgesia parenteral, blok
saraf, blok neuroaksial, dengan analgetik lokal, opioids intraspinal dan juga teknik adjuvan
seperti TENS dan terapi fisis. Seleksi teknik analgesia umumnya berdasarkan, tiga faktor, yaitu :
pasien, prosedur dan setting (rawat jalan atau rawat inap)

Pasien rawat jalan

1. Analgetik oral

640
Kebanyakan pasien dengan nyeri ringan sampai sedang setelah operasi dapat ditanggulangi
dengan COX inhibitor oral, opioid, atau kombinasi. Pasien yang mungkin mendapat oral intake
atau nyeri hebat memerlukan pemberian seperti rawat inap tanpa memperhatikan prosedur.

Inhibitor siklooksigenase (Cyclooxygenase ihibitors / COX inhibitors)

Analgetik oral nonopioid, adalah salisilat, asetaminofen, dan NSAIOD (Tabel).

Table 1812. Selected Oral Nonopioid Analgesiacs.

Analgesiac Half- Onset Dose Dosing Maximum Daily


Life (h) (h) (mg) Interval (h) Dosage (mg)

Salicylates

Acetylsalicylic acid 23 0.5 500 4 36006000


(aspirin) 1.0 1000

Diflunisal (Dolobid) 812 12 500 812 1500


1000

Choline magnesium 812 12 500 12 20003000


trisalicylate (Trilisate) 1000

p-Aminophenols

Acetaminophen

(Tylenol, others) 14 0.5 500 4 12004000


1000

Proprionic acids

Ibuprofen (Motrin, 1.82.5 0.5 400 46 3200


others)

Naproxen (Naprosyn) 1215 1 250 12 1500


500

Naproxen sodium 13 12 275 68 1375


(Anaprox) 550

641
Analgesiac Half- Onset Dose Dosing Maximum Daily
Life (h) (h) (mg) Interval (h) Dosage (mg)

Indoles

Indomethacin (Indocin) 4 0.5 2550 812 150200

Ketorolac (Toradol) 46 0.51 10 46 40

COX-2 Inhibitors

Celecoxib (Celebrex) 11 3 100 12 400


200

Obat-obat ini menghambat sintesis prostaglandin (COX) dan mempunyai berbagai khasiat
analgesia, antipiretik, antiinflamasi. Asetaminofen sedikit mempunyai aktivitas antiinflamasi.
Analgesia disebabkan oleh blokade sistesis prostaglandin, yang menambah peka dan
memperkuat input nosiseptif. Beberapa jenis nyeri terutama nyeri setelah bedah ortopedi dan
ginekologi. Setidak-tidaknya dikenal 2 jenis COX inhibitor; COX 1 cukup kuat dan tersebar ke
seluruh tubuh, tetapi COX 2 menonjol dengan inflamasi. Selektif COX 2 inhibitor seperti
celecoxib, nampaknya sedikit toksik terutama dampak terhadap gastrointestinal; selain itu tidak
mengganggu agregasi trombosit., tetapi rofecoxib lebih mudah memberikan komplikasi
kardiovaskulkar.

Asetaminofen mempunyai efek samping paling kecil, tetapi pada dosis besar mudah terjadi
hepatotoksik. Aspirin dan NSAID lain, paling banyak memberikan dampak, nyeri lambung,
nausea, dispepsia. Kecuali asetaminofen dan COX 2, semua COX inhibitors memacu disfungi
trombosit. Aspirin dan NSAID dapat mencetuskan bronkospasme pasien tria nasal, polip, rinitis
dan asma. NSAID dapat menyebabkan insufisiensi ginjal dan nekrosis papilari ginjal.

Opioid

Nyeri sedang pascabedah sebaiknya diatasi dengan opiod oral seperti tertera dalam tabel.

Table. Oral Opioids.

642
Opioid Half- Onset Durasion Relative Initial Dosing
Life (h) (h) Potency Dose Interval
(h) (mg) (h)

Codeine 3 0.25 34 20 3060 4


1.0

Hydromorphone 23 0.3 23 0.6 24 4


(Dilaudid) 0.5

Hydrocodone1 13 0.5 36 3 57.5 46


(Oxycontin) 1.0

Oxycodone2 23 0.5 36 3 510 6

Levorphanol (Levo- 1216 12 68 0.4 4 68


Dromoran)

Methadone 1530 0.5 46 1 20 68


(Dolophine) 1.0

Propoxyphene 612 12 36 30 100 6


(Darvon)3

Tramadol (Ultram) 67 12 36 30 50 46

Morphine solution4 24 0.51 4 1 10 34


(Roxanol)

Morphine controlled- 24 1 812 1 15 812


release4 (MS Contin)

1
Preparasions also contain acetaminophen (Vicodin, others).
2
Preparasions may contain acetaminphen (Percocet) or aspirin (Percodan).
3
Some preparasions contain acetaminophen (Darvocet).
4
Used primarily for cancer pain.
Umumnya opioid dikombinasi dengan COX inhibitor oral; Yang akan menambah efek
analgesia dan mengurangi efek samping.
643
1. Infiltrasi analgesia lokal

Infiltrasi sekitar insisi luka, blok saraf dengan analgetik lokal adalah cara yang paling aman
menghilangkan nyeri pascabedah. Blok saraf ilioinguinal dan femoral dapat dipergunakan untuk
pasca heniotomi dan prosedur skrotum; blok saraf penile untuk sirkumsisi; dengan
mempergunakan analgetik lokal bupivakain. Efek analgesia dapat melebihi durasi
farmakokinetik analgetik lokal. Lebih baik anestetik diberikan sebelum pembedahan dilakukan
untuk mendapat efek preemtif analgesia.

Suntikan intra-artikular analgetik lokal atau opioid atau kombinasi sangat efektif prosedur
artroskopi.

Pasien rawat inap

Kebanyakan pasien dengan nyeri sedang sampai berat pascabedah membutuhkan analgetik
parenteral atau blok saraf dengan analgetik lokal selama 1- 6 hari pascabedah. Jika pasien
dapat memulai dengan intake oral dan intensitas nyeri berkurang, analgetik oral diteruskan.
Analgetik paentral termasuk NSAIDs (ketorolak), opioid dan ketamin. Ketorolak dapat diberikan
secara intramuskular atau intravena, sedangkan opioid dapat diberikan subkutan, intramuskular,
intravena atau intraspinal. Opioid transdermal tidak dianjurkan untuk nyeri pascabedah.

1. Opioid

Analgesia opioid dicapai pada level darah tertentu setiap pasien untuk diberikan pada intesitas
nyeri. Pasien dengan nyeri berat melaporkan nyeri secara khusus dan kontinyu sampai level
darah analgesia tercapai, di atas konsentrasi tertentu dengan pengalaman analgesia pasien dan
beratnya segera berkurang. Titik (point) tersebut dinyatakan sebagai konsetrasi efektif

644
analgesia minimum (the minimum effective analgesiac concentrasion / MEAC). Sedikit kenaikan
di atas titik tersebut akan sangat meningkatkan analgesia.

Suntikan subkutan dan intramuskular

Kedua cara pemberian ini tidak dianjurkan karena sakit suntikan dan level dalam darah
tidak dapat diperkirakan karena absorbsi tidak pasti. Pasien biasanya tidak puas, karena
pemberian terlambat dan dosis kurang tepat.

Pemberian intravena

Keseimbangan optimal antara analgesia, sedasi dan depresi respirasi dapat dicapai dengan
cara frekuen, intermiten dan dosis kecil (misalnya morfin 1-2 mg). Tanpa memperhatikan eleksi
obat dan karena distribusi obat durasi efek yang singkat diobservasi hingga beberapa telah
diberikan; kemudian level dalam darah dapat dipertahankan melalui infusi kontinyu. Sayang
sekali teknik ini merupakan kerja intensif dan pemantauan respirasi ketat. Karena itu teknik ini
terbatas untuk PACU, ICU atau unit khusus ongkologi.

PCA (Patient-Controlled Analgesia)

Teknologi komputer telah memungkinkan perkembangan PCA. Dengan menekan tombol


pasien dapat memberikan sendiri dengan dosis tepat opioid intravena (atau intraspinal) sesuai
kebutuhannya. Dokter memprogram pump infusi untuk memberikan dosis tertentu, interval
minimum antara dosis-dosis (lockout period), dan jumlah maksimum opioid yang diberikan
dalam satu periode (biasanya 1 atau 4 jam); infusi basal dapat juga diberikan secara simultan
(tabel)

Table. General Guidelines for Patient-Controlled Analgesia (PCA) Orders for


the Average Adult.

Opioid Bolus Dose Lockout (min) Infusion Rate1

Morphine 13 mg 1020 01 mg/h

Meperidine (Demerol) 1015 mg 515 020 mg/h

645
Opioid Bolus Dose Lockout (min) Infusion Rate1

Fentanyl (Sublimaze) 1525 g 1020 050 g/h

Hydromorphone (Dilaudid) 0.10.3 mg 1020 00.5 mg/h

1
The authors do not recommend continuous infusion for most patients.

Jika PCA pertama kali dipergunakan, dosis pengisian dengan opioid harus diberikan dan
ditunggu oleh dokter; bergantung pada setting pasien mungkin memberikan loading
sendiri.

2. Blok saraf perifer

Blok pada pleksus interkosta, interpleura, brakial dan saraf femoral dapat memberikan analgesia
pasca bedah yang baik sekali. Pemasanagan kateter memungkin pemberian analgetik lokal secara
intermiten atau kontinyu (bupivakain 0.125 % atau ropivakain 0.125 % yang dapat menghasilkan
analgesia selama 3 5 hari pascabedah.

3. Blokade neuroaksial sentra & opioid intraspinal

Pemberian campuran analgetik lokal opioid neuroaksial (terutama epidural) merupakan teknik
yang handal untuk penatalaksanaan nyeri pascabedah setelah prosedur abdominal, pelvik, toraks
atau ortopedi pada ekstrimitas bawah. Pasien sering mempunyai preservasi fungsi respirasi yang
lebih baik, dapat segera dipulangkan dan keuntungan serta dapat latihan fisis. Satu suntikan
tunggal neuroaksial (subarakhnoid atau epidural) analgetik lokal, opioid atau kombinasi dapat
dipergunakan untuk preventif analgesia pada hari operasi. Teknik ini akan efektif jika
mempergunakan kateter dan ditinggalkan agar obat analgetik lokal diberikan intermiten atau
kontinyu.

Analgetik lokal

646
Analgetik lokal saja dapat menghasilkan analgesia yang sangat baik tetapi berdampak
blokade simpatikus dan motorik. Pengenceran analgetik lokal masih memberikan efek analgesia
tetapi blok motorik ringan. Bupivakain dan ropivakain 0,125 0,25 % sangat dipergunakan
untuk kebutuhan di atas.

Opioid

Opioid intratekal dapat dilihat pada tabel

Table. Epidural Opioids.

Opioid Relative Dose Onse Peak Durasio Infusio PCA1 PCA


Lipid t (min n (h) n Rate Dose Lockou
Solubilit (min) ) t (min)
y

Morphine 1 25 15 60 424 0.30.9 0.2 30


mg 30 90 mg/h 0.3
mg

Fentanil 600 50 510 10 13 2550 20 15


100 20 g/h 30
g g

Hydromorphone 1.5 0.75 10 20 618 0.10.2 0.15 30


1.5 15 30 mg/h g
mg

Morfin intratekal 0.2 -0.4 mg (untuk orang Indonesia 0,02 0,04 mg) dapat memberikan
analgesia yang sangat baik untuk 4 24 jam. Morfin epidural 3 -5 mg (untuk orang Indonesia
0,3 0,5 mg) memberikan efek yang sama dan lebih umum dipergunakan..

Opioid yang diberikan epidural atau intratekal berpenetrasi ke dalam medula spinalis dan
bergantung pada waktu dan konsentrasi. Obat hidrofilik yang diberikan epidural (seperti
morfin) menghasilkan analgesia pada level dalam darah yang lebih rendah daripada obat
lipofilik (seperti fentanil). Yang terakhir mungkin menghasilkan efek segmental jadi
sebaiknya hanya dipergunakan bila ujung kateter dekat dengan dermatom insisional.
Level dalam darah sistemik fentanil selama infusi epidural hampir ekuivalen pemberian

647
intravena. Kekuatan alfentanil epidural dan mungkin juga sufentanil tampaknya semuanya
karena absorbsi sistemik

Obat hidrofilik menyebar ke atas dengann waktu; jadi morfin yang disuntikkan dari
lumbah bawah, dapat menghasilkan analgesia untuk toraks dan abdominal atas (walaupun
terlambat). Faktor-faktor penting yang mempengaruhi dosis pemberian mencakup, lokasi
ujung kateter, yang terkait dengan insisi dan usia pasien. Jika ujung kateter lebih dekat
dengan dermatom insisi, opioid yang dibutuhkan lebih sedikit. Kalau morfin epidural
dipergunakan sebagai analgesik tunggal infusi kontinyu (0.1 mg/mL), 3 5 mg bolus awal
diberikan, kemudian diikuit infusii 0.1 0.7 mg / jam. Teknik bolus intermiten dapat juga
dipergunakan, tetapi infusii kontinyu mungkin lebih sedikit memhasilkan dampak samping
seperti retensi urin dan gatal-gatal.

Fentanil sangat sering dipergunakan sebagai obat lipofilik berupa larutan 3 10 g / mL


dengan kecepatan 5 10 mL / jam.

Analgetik lokal & campuran opioid

Walapun opioid intraspinal sendiri dapat menghasilkan analgesia yang sangat baik,
banyak pasien mengalami dampak samping yang signifikan dengan bergantung pada dosis,
terutama dengan opioid larut lemak. Kalau larutan anestetik lokal dikombinasi dengan opioid,
akan terlihat sinergi yang signifikan. Buvipakain0.0625 - 0.125 % (atau ropivakain 0.1 0.2 %)
dikombinasi dengan morfin 0.1 mg / mL (atau fentanil 5 g /mL) memberikan analgesia
sangat baik dengan dosis lebih kecil dan sedikit efek samping. Penambahan epinefrin walapun
dosis kecil (2 g / mL) memperkuat dan memperpanjang analgesia epidural dan dapat
mengurangi absorbsi sistemik opioid lipofilik (misalnya fentanil). Penambahan klonidin dosis
kecil (50 75 g) sama juga menambah memperpanjang analgesia epidural.

Indikasi kontra

Indikasi kontra mencakup, penolakan pasien, koagulopati, atau trombosit abnormal, dan
adanya infeksi atau tumor sekitar tusukan. Infeksi sistemik hanya indikasi kontra relatif kecuali
terbukti ada bakterimia. Pemasangan kateter intraspinal pada pasien yang akan menjalani
heparinisasi intraoperatif masih kontroversial karena kemungkinan terjadi hematom epidural.

Efek samping opioid intraspinal

Dampak samping yang serius opioid epidural atau intratekal, adalah bergantung pada
dosis berupa depresi respirasi tunda (delayed respiratory depresion). Terjadinya karena difusi
648
opioid ke dalam cairan serebrospinal yang bermigrasi ke pusat respirasi medula. Kejadian
depresi respirasi lebih besar setelah pemberian intratekal daripada epidural. Depresi awal dapat
juga terjadi setelah opoioid epidural (dalam waktu 1 2 jam), mekanismenya berbeda yaitu
absorbsi opioid sistemik melalui pembuluh darah spinal. Angka kejadian depresi respirasi serius
dengan opioid epidural yang memerlukan nalokson masih rendah yaitu 0.1 %.

Jumlah nalokson yang diberikan berdasarkan urgensi kondisi klinis. Depresi respirasi yang
jelas membutuhkan pengobatan nalokson dosis besar (0.4 mg). Infusi nalokson kontinyu
mungkin masih diperlukan karena masa paruh (half life) nalokson umumnya lebih singkat
daripada opioid. Dosis kecil nalokson (0.04 mg) dapat menawarkan depresi nafas tetapi tidak
menghilangkan analgesia.

Dampak samping lain, adalah gatal, mual , muntah, retensi urin, sedasi dan ileus. Angka
kejadian pruritus dapat mencapai 30 % sedangkan retensi urin dilaporkan sampai 40 100 %.
Mekanisme pruritus belum dapat dipastikan tetapi tidak ada hubungannya dengan pelepasan
histamin. Nalokson dosis kecil (0.04 mg) dapat menawarkan pruritus tetapi tidak menghilangkan
efek analgesia.

NYERI KANKER

Hampir 19 juta penduduk dunia mengalami penyakit kanker setiap tahun. 40 80 % dari
jumlah tersebut mengalami nyeri mulai sedang sampai berat. Nyeri kanker disebabkan oleh lesi
kaker itu sendiri, metastasis, komplikasi seperti kompresi neuronal atau infeksi, pengobatan
atau faktor-faktor yang yang tidak terkait.

Kebanyakan pasien, dapat diobati dengan analgetik oral. WHO merekomendasikan pendekatan
3 langkah (three step approach): 1) analgetik nonopioid seperti aspirin, asetominofen, atau
NSAID untuk nyeri sedang; 2) opioid oral lemah (kodein, oksikodon) untuk nyeri sedang, dan 3)
opioid kuat (morfin, dan hidromorfin) untuk nyeri berat. Terapi parenteral perlu untuk nyeri
refrakter atau bila pasien dapat menerima terapi oral atau absobrsi enteral tidak baik.Tanpa
memperhatikan jenis obatnya, terapi harus mengikuti jadwal waktu tertentu .

Terapi opioid oral

Nyeri kanker sedang sampai berat biasanya diobati dengan morfin lepas cepat (immediate-
release morphine) (misalnya, morfin likuid, Roksanol 10 30 mg setiap 1 4 jam). Preparat ini
mempunyai masa paruh 2 4 jam. Bila pasien telah ditentukan kebutuhan per hari, dosis yang
sama dapat diberikan dalam bentuk morfin lepas lambat (sustained-release morphine) (MS
Cortin atau Oramorph SR). Yang diberikan setiap 8 12 jam.

649
Hidromorfin (dilaudid) adalah alternatif yang baik untuk morfin, terutama pasien tua dan pasien
dengan gangguan fungsi ginjal. Metadon dilaporkan mempunyai masa paruh 15 30 jam tetapi
durasi klinis lebih pendek dan sangat bervariasi (6 8 jam). Toleransi psikologis, dengan
perubahan tingkah laku karena menginginkan obat jarang pada pasien kanker. Toleransi yang
muncul berbeda di antara orang-orang dan mengakibatkan efek yang diinginkan seperti,
kesadaran menurun, mual, depresi respirasi. Kebergantung pada fisis terjadi pada pasien yang
mendapat opioid dosis besar untuk jangka waktu tertentu. Fenomena ketagihan (withdrawal)
dapat dipercepat oleh pemberian antagonis opioid. Penggunaan yang cocok kedepan
antagonis opioid perifer yang tidak menembus sawar darah otak (BBB) seperti metil naltrekson
dan alvimopan, dapat menolong mengurangi efek samping sistemik tanpa mengurangi
analgesia dengan signifikan.

Opioid transdermal

Fentanil transdermal merupakan alternatif yang baik untuk preparat morfin lepas lambat,
terutama medikasi oral tidak memungkinkan. Tambalan (patch) dibuat sebagai reservoar obat
yang dipisahkan dari kulit oleh membran mikrogrampor dan polimer adesif. Fentanil akan
berdifusi melalui kulit. Tambalan transdermal fentanil mempunyai ukuran 25, 50, 75 dan 100
g / jam. Yang dapat memberikan obat selama 2 3 hari. Tambalan yang terbesar ekuivalen
dengan 60 mg / hari morfin intravena.

Kerugian cara ini adalah mula kerja lambat dan mengubah dosis kalau tidak dilakukan dengan
cepat. Level fentanil dalam darah setelah dipasang bertambah dan mencapai plateau dalam
waktu 12 18 jam, dengan konsentrasi rata-rata 1, 1.5, dan 2 mg / ml untuk tambalan 50, 75
dan 100. Dermis bekerja sebagai reservoar sekunder walaupun tambalan dilepaskan, absorbsi
fentanil diteruskan untuk beberapa jam.

Terapi parentral

Beberapa nyeri kanker yang tak terkontrol memerlukan konversi dari oral opioid menjadi
parenteral atau intraspinal opioid. Kalau karakter nyeri berubah signifikan, penting sekali untuk
melakukan reevaluasi progresi penyakit pasien. Dalam banyak hal, pengobatan adjuvan seperti,
pembedahan, radiasi, kemoterapi atau terapi hormonal sangat menolong.

Terapi opioid parenteral biasanya dicapai dengan infusi intravena kontinyu atau dapat juga
diberikan subkutan melalui jarum bersayap (butterfly needle)

650
Opioid intraspinal

Penggunaan opioid intraspinal menjadi alternatif yang sangat baik untuk pasien yang gagal
mengatasi nyeri dengan cara lain atau mengalami dampak yang hebat. Opioid epidural atau
subarakhnoid dapat mengatasi secara substansial dengan dosis lebih rendah dan sedikit efek
samping. Kateter epidural atau intratekal dapat dipergunakan, kalau perlu ditempatkan perkutan
atau implan untuk pemberian jangka panjang.

Problema opioid intraspinal adalah terdinya toleransi. Umumnya terjadi lambat tetapi pada
beberapa orang berlangsung cepat. Dalam hal ini. Harus dipergunakan terapi adjuvan seperti,
analgesia lokal intermiten, atau campuran opioid dengan analgetik lokal, atau klonidin intratekal
atau epidural 2 4 g /kg /jam.

Teknik neurolitik

Blok neurolitik pada pleksus siliakus sangat efektif untuk keganasan intraabdominal, terutama
kanker pankreas. Simpatikus lumbal, pleksus hipogastrikus, atau ganglion rusak karena blok
neurolitik dapat dipergunakan untuk tumor malignan di pelvik. Blok neurolitik interkostal
dapat menolong pasien dengan metastase di tulang iga. Pasien dengan nyeri pelvik refrakter, blok
pelana neurolitik dapat mgnhilangkan nyeri; meskipun akan terjadi disfungsi usus dan buli-buli.
Karena angka kejadian kesakitan yang signifikan pasien yang mendapat blok neurolitik (hilang
fungsi motorik dan sensori), teknik sebaiknya dipakai hanya setelah mempertimbangkan
dengan cermat semua alternatif. Prosedur neurodestruktif, seperti adenolisis hipofisis dan
kordotomi dapat dipergunakan untuk pasien terminal.

Referensi :

a. Basic & Clinical Pharmacology Katzung BG 9th ed 2004.


b. Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr 4th ed 2006
3. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2005.

Millers Anesthesia RD 6th ed

651
KEDOKTERAN CRITICAL CARE /
INTENSIVE CARE
MODUL 35 dan MODUL 36 :
(I dan II)

Mengembangkan kompetensi Waktu (semester 2)

Sesi di dalam kelas 2 X 1 jam (classroom session)

Sesi dengan fasilitasi pembimbing 3 X 2 (coaching session)

Sesi praktek dan pencapaian kompetensi 4 pekan (facilitation & assessment)

PERSIAPAN SESI

Audiovisual Aid:

16. LCD proyektor dan layar


17. Laptop
18. OHP
19. Flipchart
20. Pemutar video
Materi presentasi:

CD powerpoint

Sarana:

12. Ruang belajar


13. Ruang pemeriksaan
14. Ruang pulih
15. Bangsal rawat inap/pengamatan lanjut
Kasus : pasien di ruang ICU dan HCU

Alat bantu latih : model anatomi /simulator

Penuntun belajar : lihat acuan materi

652
Daftar tilik kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006

2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006

Selain referensi wajib di atas, peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari
referensi tambahan untuk modul ICU seperti yang diuraikan berikut ini:

1. Texbook of Critical Care

Modul ini terdiri dari modul dasar (modul 1) atau modul 36 dan modul lanjut (modul 2) atau
modul 37. Modul dasar diberikan pada residen yunior selama 2 bulan dan modul lanjut
diberikan pada residen senior selama 3 bulan. Panduan untuk lama stase ICU yunior dan senior
mungkin berbeda-beda pada masing-masing pusat pendidikan tetapi hasil sasaran pembelajaran
diharapkan akan sama.

1.Tujuan Pembelajaran Umum

Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan memiliki latar belakang kemampuan
intelektual dan keterampilan dalam merawat pasien kritis bedah dan non-bedah. Program
pendidikan ini dilakukan oleh anestetis konsultan intensive care, meliputi pengetahuan teori dan
klinis yang penting dalam praktek multidisiplin maupun multiprofesi dalam kedokteran critical
care dan intensive care

Setelah menyelesaikan modul 1 ICU peserta didik diharapkan:

653
1. Memiliki bekal yang memadai tentang dasar-dasar : pengetahuan,
keterampilan, perubahan sikap dalam bidang kedokteran intensive care.
2. Memahami prinsip umum kedokteran intensive care, mengetahui indikasi
masuk ICU, dapat melakukan identifikasi pasien yang berisiko gagal organ.
3. Melakukan resusitasi dan stabilisasi pasien-pasien kritis.
4. Mengetahui keterbatasan kemampuan diri dan urgensi untuk meminta
bantuan senior.

Setelah menyelesaikan modul 2 ICU peserta didik diharapkan :

1. Mengetahui lebih rinci aspek-aspek umum critical care


2. Mampu mengembangkan keterampilan yang diperoleh pada modul 1
lebih lanjut,
3. Melakukan stabilisasi, penilaian, penatalaksanaan pasien dan investigasi
rutin setiap hari
4. Meningkatkan keterampilan menegakkan diagnosis pasien kritis
5. Secara proaktif melakukan pengajaran/pendidikan pada petugas/
mahasiswa kedokteran/ paramedis yunior.
6. Secara proaktif melakukan koordinasi dan supervisi kegiatan yunior
7. Mengembangkan keterampilan secara integratif.
8. Mengetahui secara umum organisasi penatalaksanaan ICU
9. Mengetahui keterbatasan kemampuan diri untuk meminta tolong atau
konsultasi

2. Tujuan pembelajaran khusus

Setelah mengikuti modul ICU 1 dan 2 ini peserta didik akan memiliki pengetahuan dan atau
keterampilan meliputi:

1. Indikasi pasien masuk ICU

2. Tanda2 pasien yang memerlukan resusitasi dan stabilisasi awal di ICU

3. Penilaian klinis pasien ICU

4. Investigasi/ pemeriksaan penunjang ,interpretasi data dan diagnosis

5. Bantuan organ dan prosedur prosedur praktis terkait

6. Pemantauan dan pengukuran klinis

7. Pemakaian alat-alat di ICU dengan aman

8. Kondisi khusus (tidak termasuk trauma, luka bakar dan pasien pediatrik)

a. Sistem respirasi

654
b. Sistem kardiovaskular

c. Sistem renal

d. Sistem saraf

e. Trauma dan luka bakar

f. Pasien pediatrik

g. Pasien obstetri

h. Sepsis dan pengendalian infeksi

i. Transportasi pasien kritis

9.End-of- life- care

Kognitif

Sasaran pembelajaran modul 1 (M1) dan sasaran pembelajaran modul 2 (M2)

V+ : Modul untuk jenjang fellow

No Kognitif Sasaran Belajar

Modul 1 Modul 2

Memahami resusitasi dan stabilisasi awal (Modul 36) (Modul 37)

1. Pasien kritis mengancam nyawa termasuk henti


jantung paru
V

2. Cara2 melakukan resusitasi kardiopulmoner V V

3. Memahami penatalaksanaan segera pasien-pasien


darurat medis (gagal nafas akut, asma akut, PPOK,
hipertensi, infark miokard akut, gagal jantung, V V
hipotensi, syok, gangguan irama jantung, penurunan
kesadaran)

4. Cara2 menjaga jalan nafas bebas termasuk intubasi V

655
trakeal pada pasien kritis

5. Cara2 melakukan nafas buatan V

6. Cara mencegah dan menangani aspirasi pnemonia V V


karena muntahan

7. Penatalaksanaan jalan nafas sulit dan kegagalan V


intubasi

8. Penatalaksanaan jalan nafas pada cedera kepala V


lambung penuh, obstruksi jalan nafas, syok

9. Farmakologi obat-obat untuk resusitasi, dan obat- V


obat untuk keadaan kritis

10. Farmalokogi obat-obat sedatif, analgesia dan V


pelumpuh otot.

11. Tanda2 dan penatalaksanaan reaksi anafilaksis dan V V


anafilaktoid

12. Problema pada pasien obesitas atau imobilitas V V

13. Cara2 melakukan akses vaskular yang cepat dan V V


aman

Modul 1 Modul 2

Memahami penilaian klinis (Modul 36) (Modul 37)

1. Manfaat anamnesis untuk diagnosis V V

2. Tanda2 fisis pada pasien kritis V V

3. Reaksi inflamasi dalam kaitan disfungsi sistem organ V

4. Dampak terapi obat terhadap fungsi sistem organ V V

5. Infeksi dan hubungannya dengan respons inflamasi V+

6. Patogenesis disfungsi organ multipel V V

7. Prinsip2 pencegahan disfungsi organ multipel V V

656
Modul 1 Modul 2

Memahami investigasi, interpretasi data dan (Modul 36) (Modul 37)


diagnosis

1. Memahami pemeriksaan laboratori yang sesuai V

2. Keuntungan dan kerugian pemeriksaan laboratori V

3. Indikasi dan interpretasi dasar pemeriksaan2 : EKG,


ECHO, USG, gas darah, tes fungsi paru, foto toraks,
foto: kepala, vertebra dan iga2, level cairan bebas di V V+
abdomen, CT Scan, MRI, mikrogrambiologi,
keseimbangan cairan, hematologi, urea/kreatinin,
elektrolit (Na, K, Ca, Mg), tes fungsi hati, kadar obat
dalam darah, fungsi endokrin:diabetes, gangguan
V V+
tiroid, gagal adrenal.

Memahami bantuan sistem organ dan prosedur2 Modul 1 Modul 2


praktis terkait
(Modul 36) (Modul 37)

1. Indikasi ventilasi mekanis V V

2. Modus ventilasi mekanis dasar (SMV, SIMV, V


PS,CPAP)

3. Modus ventilasi mekanis lanjut (PCV, PSV, BiPAP, V+

NIV)

4. Komplikasi ventilasi mekanis dan V


penatalaksanaannya

5. Deteksi dan penatalaksanaan pneumotoraks V V

6. Indikasi bronkoskopi V

7. Prinsip penyapihan dari ventilasi mekanis V V

8. Kanulasi vena perifer dan sentral V V

9. Punksi dan kateterisasi arterial V V

657
10. Penggunaan inotropik, kronotropik, vasodilator,
vasokonstriktor,
V V

11. Penggunaan kristaloid, koloid, darah dan produk V V


darah

12. Prinsip IABP, TEE, Esofageal Dopler, transvenous V+


cardiac pacing

13. Cara2 mencegah gagal ginjal V V

14. Investigasi gangguan fungsi ginjal V V

15. Obat-obat nefrotoksik V

16. Penyesuaian dosis obat pada gagal ginjal V

17. Renal Replacement Therapy V+

18. Prinsip2 penilaian status nutrisi pada pasien ICU V

19. Prinsip2 nutrisi enteral dan parenteral pasien ICU V V

20. Kanulasi pipa nasogastrik, nasojejunal V V

21. Insersi pipa sengstaken V+

22. Pencegahan tukak lambung V

23. Prinsip2 bantuan gagal hepar V+

24. Teknik mencegah translokasi mikrogramba V

25. Prinsip2 penatalaksanaan cedera kepala tertutup V

26. Prinsip2 penatalaksanaan peningkatan tekanan V V+


intrakranial

27. Prinsip2 penatalaksanaan cedera spinal V V+

28. Pencegahan pressure sores V V

29. Kebutuhan surveillance mikrogrambiologi V

30. Pemakaian antibiotik yang benar V

Memahami pemantauan dan pengukuran klinis Modul 1 Modul 2

658
(Modul 36) (Modul 37)

1. Peran penilaian klinis dalam pemantauan V

2. Indikasi dan indikasi kontra penggunaan alat monitor V

3. Interpretasi informasi dari alat monitor V

4. Identifikasi penyebab error alat V

5. Prinsip monitor minimal V

6. Komplikasi akibat alat monitor V

7. Cara2 mengukur suhu V

8. Cara2 menilai nyeri dan sedasi V

9. Cara menilai sistem skoring keparahan penyakit V

10. Glasgow Coma Scale V

11. Pemantauan kadar obat

Modul 1 Modul 2

Memahami penggunaan alat secara aman (Modul 36) (Modul 37)

1. Alat-alat untuk jalan nafas, jalan nafas, LMA, ETT, V


terapi oksigen, bag, humidifikasi, nebulizer

2. Ventilator invasif dan non-invasif dan asesorisnya V V

3. Alat-alat monitor dan asesorisnya V V

4. Pembersihan dan sterilisasi alat V V

5. Keamanan kelistrikan V

6. Jarum2 untuk akses vaskular, spinal, epidural, toraks V

7. Alat-alat resusitasi, defibrilator dan alat transfusi V V

8. Alat-alat untuk hemofiltrasi V+

9. Alat bronkoskopi V+

659
10. Alat ECHO V+

Modul 1 Modul 2

Memahami kondisi medis dan penatalaksanaan (Modul 36) (Modul 37)

1. Gagal nafas oksigenasi V

2. Gagal nafas ventilasi V

3. ALI, ARDS V+

4. Obstruksi jalan nafas V

5. Nosocomial pneumonia V

6. Ventilator- associated pneumonia V

7. Aspirasion pneumonia V

8. Asma V

9. PPOK V

10. Edema paru kardiogenik V V

11. Efusi pleura, pneumotoraks (simple, tension) V

12. Syok hipovolemik V

13. Syok kardiogenik V

14. Hipotensi, hipertensi V V

15. Infark miokard akut V+

16. Gagal jantung kiri V+

17. Gagal jantung kanan V+

18. Hipertensi pulmonal V+

19. Gangguan irama jantung V+

20. Henti jantung V V

21. Oliguria, anuria, poliuria V

22. Gagal ginjal akut V

660
23. Urosepsis V

24. Confusion dan koma V V

25. Traumatic brain cedera V

26. SIH V+

27. SAH V+

28. Hypoxic brain damage V

29. Konvulsion, status epileptikus V

30. Meningitis, ensefalitis V+

31. Neuro muskular (Guillain-Barre, miastenia gravis, V+


tetanus, malignant hyperpyrexia)

32. Cedera spinal V V+

33. MBO V

34. Gangguan koagulasi V+

35. Pasien immunocompromised V+

36. DIC V+

37. Gangguan elektrolit, Na, K, V

38. Gangguan elektrolit Ca, Mg V

39. Kegawatan pada diabetes melitus V+

40. Disfungsi tiroid V+

41. Keracunan akut V V+

42. Preeklamsia, eklamsia, sindroma HELLP V V

43. Perdarahan peripartum V

44. Gangguan jantung pada kehamilan. V

45. SIRS, sepsis, severe sepsis, syok septik V V

46. Pireksia dan hipotermia V

Modul 1 Modul 2

661
Memahami transportasi pasien kritis (Modul 36) (Modul 37)

1. Prinsip2 transfer pasien kritis dengan aman V

2. Mengerti pemantauan saat transportasi. V

Memahami asuhan akhir kehidupan Modul 1 Modul 2


(Modul 36)
(Modul 37)

1. Prinsip2 etika dasar V

2. Penundaan dan penarikan terapi bantuan hidup (with- V+


holding and withdrawing life supports therapy)

3. Decision making V

4. Cara2 menilai atau mengukur kualitas hidup V+

Psikomotor

Pada akhir stase peserta didik akan memiliki keterampilan

1. Menjelaskan hal-hal yang telah difahami pada wawasan kognitif

2. Menjelaskan diferensial diagnosis, fisiologi, dan manajemen problema

problema umum sistem organ atau kondisi penyakit yang mengancam

nyawa pada kasus kasus neurologi, respirasi, kardiovaskular, renal,

gastrointestinal, metabolik

3.Menjelaskan farmakologi dasar dan pemakaian obat-obat: antiaritmia,

antihipertensi, inotropik, vasoaktif , vasopresor, metabolik, anti

trombotik/antikoagulan, metabolik, analgetik, pelumpuh otot

4.Menjelaskan dasar indikasi, indikasi-kontra, dan atau interpretasi

tentang a. intubasi endotrakeal

b. Ventilasi mekanis, modus dasar dan teknik penyapihan

662
c. Pemeriksaan radiologi

d. Renal replacement therapy termasuk teknik dialisis

e. Gas darah dan elektrolit

f. Monitor hemodinamik

g. Monitor tekanan vena sentral bedside

h. Teknik non-invasif untuk oksigenasi dan ventilasi

i. Nutrisi enteral dan parenteral

j. Teknik manajemen sedasi dan nyeri

k. Pemasangan kateter arteri pulmonalis

5. Peserta didik senior harus mampu

a. Menjelaskan lebih mendalam pengetahuan yang didapat waktu yunior

b. Mengajar dan membimbing residen yunior dan mahasiswa medis/paramedis

c. Melakukan atau berpartisipasi dalam penelitian

d. Bertindak sebagai konsultan untuk beberapa problema intensive care yang umum

6. Pada akhir sesi peserta didik akan mampu

a. Melakukan koordinasi pasien masuk, penilaian dan manajemen pasien-pasien yang


menjadi tanggung jawabnya.
b. Melakukan prosedur klinis ICU (lihat matriks)
c. Melakukan penatalaksanaan medis, administratif dan sosial pasien-pasien kritis

Keterampilan komunikasi interpersonal

Pada akhir sesi peserta didik akan mampu

a. Melakukan pengumpulan data/informasi pasien untuk dijelaskan pada waktu


ronde
b. Melakukan komunikasi dengan keluarga pasien tentang perkembangan keadaan
pasien dan kasus asuhan akhir kehidupan
c. Melakukan komunikasi dengan keahlian disiplin dan profesi lain yang terkait
d. Melakukan identifikasi secara benar pasien-pasien yang membutuhkan ICU

663
e. Mampu mengkomunikasikan pada tim ICU terhadap pasien-pasien kritis yang
ada di luar ICU
Profesionalismee

a. Mampu menghadapi kasus dengan end of life


b. Mampu bekerja sama dengan dokter primer dalam penatalaksanaan pasien kritis
c. Bekerja sesuai standard prosedur
d. Proaktif untuk mempertahankan dan meningkatkan kemampuan profesi mengikuti
perkembangan.

Keynotes

1. Kriteria MBO hanya dapat t diterapkan bila tidak terdapat hipotermia, hipotensi,
kelainan metabolik atau endokrin, penggunaan zat blokade neuromuskular, atau
obat yang diketahui menekan fungsi otak
2. Risiko retinopati prematuritas (retinopathy of prematurity /ROP) bertambah
dengan menurunnya berat dan komplekssnya komorbiditas (misalnya, sepsis).
Sebaliknya pada toksisitas pulmonar, lebih terkait dengan tekanan O2 arterial dari
pada tekanan O2 alveolar..
3. Pressure controlled ventilation (PCV) sama dengan pressure support ventilation
dalam peak tekanan jalan nafas, tetapi berbeda dalam rate mandatory, inspiratory
time. Seperti halnya dengan pressure support, gas flow berhenti bila level pressure
tercapai; walapun ventilator tidak bekerja selama ekspirasi sampai preset
inspiratory time telah dilewati.
4. Kerugian PCV adalah volum tidal tidak pasti.
5. Kalau dibandingkan dengan intubasi oral untuk periode waktu lama di ICU,
intubasi nasal mungkin lebih nyaman untuk pasien, lebih aman, dan sedikit
menyebabkan cedera laring.
6. Mempertahankan intubasi oral atau nasal lebih dari 2-3 pekan cenderung
mengakibatkan stenosis subglotik. Jika diperlukan ventilasi mekanis jangka
panjang sebaiknya diganti dengan pipa trakeostomi yang mempunyai balon.
7. PEEP berlebihan atau penambahan tekanan positif kontinyu terbukti dapat
meningkatkan kejadian barotrauma paru, terutama pada level lebih dari 20 sm
H2O.
8. Manuver yang menghasilkan sustained maximum lung inflation seperti
penggunaan incentive spirometer sangat menolong merangsang batuk dan
mencegah atelektasis serta mempertahankan volum paru normal.
9. Pada pasien dengan ARDS dengan VT > 10 mL/kg berkaitan dengan peningkatan
mortalitas.
10. Intubasi takea dini dianjurkan bila terdapat gejala hebat dari cedera panas pada
jalan nafas.
11. Usia lanjut (> 70 tahun), terapi kortikosteroid, kemoterapi, pemakaian alat invasif
yang lama, gagal nafas, gagal ginjal, cedera kepala, dan luka bakar akan
mempermudah terjadi infeksi nosokomiaL.
12. Venodilatasi sistemik dan transudasi cairan ke dalam jaringan mengakibatkan
hipovolemia relatif pada pasien sepsis.

664
13. Berlawanan dengan pasien yang nonstres yang memerlukan sekitar 0,5 g /kg /hari
protein, umumnya pasien sakit kritis membutuhkan 1,0 1,5 g / kg / hari protein.
14. Bantuan nutrisi melalui jalur gastrointestinal merupakan pilihan untuk pasien
dengan integritas fungsional yang utuh.
15. Penghentian mendadak nutrisi parentral (TPN) dapat mencetuskan hipoglikemia
karena level darah insulin tinggi; tetapi umumnya mudah diatasi dengan
substitusi glukosa 10 % secara temporer kemudian dihentikan bertahap.

3.Kata kata kunci

d. Indikasi pasien masuk ICU


e. Resusitasi dan penilaian awal pasien kritis
f. Investigasi , interpretasi data dan diagnosis
g. Bantuan sistem organ, prosedur tindakan terkait dan terapi farmakologik
h. Pemantauan dan pengukuran klinis
i. Gagal organ dan gagal multiorgan
j. Sepsis, sepsis berat dan syok septik, pengendalian infeksi
k. Prognostic score
l. Asuhan akhir kehidupan
m. Cost effectiveness therapy

4.Pokok bahasan/sub pokok bahasan

1. Penatalaksanaan pasien dengan gangguan kesadaran


2. Penatalaksanaan pasien gagal nafas
3. Penatalaksanaan pasien gagal sirkulasi
4. Penatalaksanaan pasien gangguan metabolik
5. Penatalaksanaan pasien infeksi dan sepsis
6. Penatalaksanaan pasien gagal ginjal
7. Penatalaksanaan gangguan keseimbangan cairan, asam basa dan elektrolit
8. Penatalaksanaan nutrisi.

5.Waktu pendidikan : Yunior , semester 3 (2bulan),

Senior, semester 6 (3bulan)

6. Metode pengajaran

1. Keterampilan kognitif:

a. Strategi pendidikan

- Pembelajaran terpadu

665
- Pembelajaran independen
- Pembelajaran berdasarkan problema
b. Situasi belajar

- Kuliah perkenalan
- Diskusi kelompok kecil dan umpan balik
- Problema penatalaksanaan pasien
- Simulasi pasien, skenario, pajangan dll.
c.Sumber belajar

- Virtual patients

- Reading assignment

- Audio vVisual

d.Penilaian

- EMQ

- Multiple observations and assessment

- Multiple observers

- OSCE

- Minicheck

2. Keterampilan teknik/ psikomotor

a. Strategi pendidikan

- Practice-based learning

b. Situasi belajar

- Demonstrasi/pajangan dan supervisi klinis

- Problema penatalaksanaan pasien

c. Sumber belajar

- Virtual patients

d. Penilaian

- Multiple observations and assessments

666
- Multiple observers

- OSCE

- Minicheck

3. Keterampilan komunikasi interpersonal

a. Strategi pendidikan

- Practice based learning

b. Situasi belajar

- Demonstrasi/pajangan dan supervisi klinis

- Problema penatalaksanaan pasien

c. Sumber belajar

- Virtual patient

d. Penilaian

- Multiple observations dan assessment

- Multiple observers

4. Profesionalismee

a. Strategi pendidikan

- Patient-based learning

b. Situasi belajar

- Problema penatalaksanaan pasien

c. Sumber belajar

- Virtual patients

d. Penilaian

- Multiple observations dan assessments

667
- Multiple observers

5. Pengetahuan

a. Strategi pendidikan

- Pembelajaran terpadu

- Pembelajaran mandiri

b. Situasi belajar

- Kuliah perkenalan

- Diskusi kelompok kecil , dan umpan balik

c. Sumber belajar

- Reading assignment

- Audiovisual

d. Penilaian

- MCQ (pre-tes)

- EMQ

7..Media:

5. Virtual Patients di ICU


6. Audiovisual
8. Evaluasi :

Pre-tes:

1. Jelaskan indikasi pasien masuk ICU

2. Jelaskan resusitasi dan penilaian awal pasien dalam kondisi kritis

3. Jelaskan penilaian dan penanggulangan kegawatan respirasi

4. Jelaskan penilaian dan penanggulangan kegawatan sirkulasi

668
5. Jelaskan penilaian dan penanggulangan kegawatan SSP

6. Jelaskan beberapa jenis pemeriksaan pendukung diagnosis

kegawatan di atas

7. Jelaskan interpretasi data hasil investigasi masing-masing jenis

kegawatan

8. Jelaskan tentang delivery oxygen

9. Jelaskan tentang EGDT

10. Jelaskan bantuan dengan ventilasi mekanis

11. Jelaskan bantuan dengan vasopresor dan inotropik

12. Jelaskan bantuan pada gagal ginjal.

13. Jelaskan tentang SIRS, sepsis berat dan syok septik

14. Jelaskan tentang withdrawing dan withholding therapy

15. Jelaskan tentang asuhan akhir kehidupan

16. Jelaskan tentang DNR dan mati batang otak

Evaluasi kognitif:

- EMQ
- Multiple observations and assessments
- Multiple observers/raters
- OSCE
- Minicheck
Evaluasi psikomotor:

- Multiple observations and assessments


- Multiple observers
- OSCE
- Minicheck
Evaluasi komunikasi dan hubungan interpersonal dan evaluasi profesionalisme

- Multiple observationa dan assessments


- Multiple observers/rater
Evaluasi pengetahuan:

669
- MCQ ( pre-tes)
- EMQ

9.Referensi:

1.GE Morgan Jr. Clinical Anesthesiology

2.Texbook of Critical Care

10.Daftar cek penuntun belajar Modul 36 dan Modul 37

No Prosedur Penatalaksanaan(Umum) Pasien Kritis Kasus ke

1 2 3 4

Antisipasi terhadap kondisi yang mengancam nyawa

Penolong mencuci tangan dengan antiseptik/ pakai sarung


tangan steril, masker

1. Penilaian kesadaran

2. Penilaian jalan nafas pasien kritis

3. Pembebasan jalan nafas

4. Pemberian oksigen dan ventilasi dengan balon-katup-sungkup

5. Penilaian sirkulasi/kardiovaskular

6. Pemasangan artifisial jalan nafas (intubasi, LMA, krikotirotomi)

7. Pemasangan akses vena perifer

8. Pemasangan akses vena sentral

9. Menentukan pasien gagal nafas

10. Penanggulangan awal gagal nafas

11. Setting ventilator pada pasien gagal nafas

12. Menentukan pasien dalam keadaan gagal sirkulasi

13 Resusitasi cairan pada pasien syok

670
14. Penggunaan cairan kristaloid

15 Penggunaan cairan koloid

16 Melakukan target resusitasi dalam 6jam Early Goal Directed


Therapy (EGDT)

17. Melakukan pemasangan ventilator dengan seting yang benar

18. Melakukan pemberian obat-obat vasoaktif (inotropik dan


vasopresor)

19. Menentukan pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan untuk


investigasi: darah perifer lengkap, kimia darah fungsi ginjal,
fungsi hepar, hemostasis, kultur dan resistensi tes, EKG 12 lead,
radiologi, pencitraan lain (CT, USG, Echo), bronkoskopi, analisis
gas darah, elektrolit, lain lain sesuai indikasi

Menentukan skor prognosis bila ada.

20. Melakukan pemantauan kesadaran, tekanan darah (S,D,MAP),


HR, EKG, SpO2, ETCO2, suhu, produksi urin, keseimbangan
cairan

21. Melakukan terapi titrasi untuk mencapai target fungsi vital

:pernafasan, kardiovaskular, susunan saraf, metabolik, renal.

Melakukan dukungan terapi nutrisi enteral

Melakukan dukungan terapi nutrisi parenteral

22. Melakukan posisi pasien, pencegahan tukak lambung, pencegahan


DVT, pencegahan dekubitus, pencegahan infeksi nosokomial,
pencegahan pnemonia karena ventilator (VAP)

23. Melakukan terapi simptomatik dan bantuan hidup

24. Melakukan interpretasi hasil pemeriksaan penunjang : biokimia


oksigenasi, hasil pencitraan, hasil kultur dan resisitensi tes.

25. Melakukan terapi kausal sesuai hasil investigasi

26. Melakukan interpretasi hasil terapi titrasi

27. Melakukan konsultasi/koordinasi dengan spesialis lain dan

671
kolaborasi dengan profesi lain.

28. Melakukan prosedur invasif untuk pemantauan maupun terapi


sesuai indikasi: pemasangan pipa toraks, trakeostomi perkutaneus

29. Melakukan follow up pasien terhadap hasil terapi atau tindakan


invasif secara terus menerus dengan interval waktu sesuai kondisi
pasien sampai kondisi stabil normal

30. Melakukan penilaian prognosis pasien dengan APACHE II

31. Melakukan penilaian prognosis pasien dengan SAPS II

32. Melakukan penilaian prognosis pasien dengan SOFA

33. Melakukan perkiraan beaya untuk menilai manfaat dan risiko

33. Menetapkan Do Not Resuscitate (DNR) pada pasien

34. Memutuskan withdrawing dan wWithholding therapy

35. Memutuskan asuhan akhir kehidupan

36. Menetapkan mati batang otak

11. Daftar tilik

Berikan tanda v dalam kotak yang tersedia bila keterampilan telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda x bila tidak dikerjakan serta T/D bila tidak dilakukan pengamatan

v Memuaskan: langkah/tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau

penuntun

x Tidak memuaskan: tidak mampu untuk mengerjakan langkah/tuga sesuai prosedur

standard atau penuntun

T/D Tidak diamati: langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta didik

selama penilaian oleh pelatih

672
Nama peserta didik Tanggal

Nama pasien No.Rekam medis

Daftar Tilik

No Kegiatan/ Tindakan Anestesia Kesempatan ke

1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih/pengajar

673
Layak

Tidak layak

Melakukan prosedur Nama terang pelatih/pengajar

12. Materi Acuan

INTENSIVE CARE

GAMBARAN UMUM

Intensive Care Unit (ICU) adalah ruangan khusus dengan peralatan dan sumber daya manusia
/petugas kesehatan khusus untuk merawat pasien-pasien kritis yang mengancam nyawa, yang
potensial dapat pulih kembali. Peralatan khusus adalah alat-alat monitor fungsi vital dan alat-alat
untuk memberikan bantuan hidup apakah bantuan pernafasan, bantuan kardiovaskular atau
bantuan sistem ginjal, maupun bantuan untuk sistem yang lain. Sumber daya manusia khusus
adalah dokter, ners yang telah terlatih untuk mengelola pasien ICU, ditambah dengan petugas
kesehatan lain, seperti fisioterapis, ahli farmasi, petugas laboratorium, radiologi, ahli nutrisi
maupun petugas-petugas non kesehatan seperti tenaga administrasi, keuangan, rekam medis,
teknik maupun pekarya.

Indikasi pasien masuk ICU dapat berdasarkan prioritas, diagnosis atau nilai2 parameter hasil
laboratori. Pasien mengancam nyawa atau akan mengancam nyawa yang memerlukan
pemantauan dan atau terapi dengan pengawasan ketat. Pasien dengan diagnosis misalnya tetanus
berat, miastenia gravis. Pasien dengan hasil laboratori hiperkarbia, hipoksemia berat atau
hipokalemia berat. Bagi pasien-pasien dengan penyakit primer yang kecil kemungkinan sembuh
seperti keganasan lanjut, maka indikasi rawat ICU tidak merupakan prioritas utama.

Bilamana pasien masuk ICU maka lakukan resusitasi awal dan lakukan stabilisasi artinya
pasien misalnya dengan gagal nafas atau ancaman gagal nafas maka fungsi pernafasan, jalan
674
nafas maupun ventilasi harus diambil alih. Tanda-tanda klinis pasien gagal atau ancaman gagal
nafas merupakan hal sangat penting dan harus dikuasai dengan baik. Tindakan ambil alih fungsi
nafas harus didahulukan, tidak usah menunggu pemeriksaan anamnesis dan fisis lengkap.

Pasien dengan gagal nafas, apapun penyebabnya tindakan awalnya akan sama. Upaya untuk
memperbaiki oksigenasi maupun ventilasi tidak lepas dari kondisi sirkulasi yang baik. Bukankah
V/Q rasio adalah rasio ventilasi/perfusi dan merupakan dasar patofisiologi untuk menjelaskan
pasien dengan gagal nafas? Oleh karena itu keterampilan melakukan insersi kateter ke dalam
vena perifer dan vena sentral harus dikuasai.

Pasien dengan gagal sirkulasi, segera lakukan resusitasi dengan pemberian cairan lebih dulu, dan
bila volume sirkulasi dianggap adekuat tapi tekanan darah belum adekuat dapat diberikan secara
titrasi inotropik dengan tanpa vasopresor. Kondisi sirkulasi adekuat atau tidak dapat dinilai
secara klinis disesuaikan dengan penuntun tekanan vena sentral, kalau mungkin tekanan kapiler
baji paru.

Pasien dengan kesadaran menurun lebih dulu harus dilakukan pembebasan jalan nafas, lakukan
ventilasi dan oksigenasi, untuk mencegah hipoksia dan hiperkarbia, sementara itu lakukan
kanulasi vena dan lakukan resusitasi dengan cairan untuk menjamin tekanan darah atau perfusi
yang adekuat.

Setelah upaya awal di atas dilakukan dan kondisi stabil, artinya segala sesuatu menyangkut
fungsi vital tersebut adekuat dan terkendali, lakukan pemeriksaan laboratori yang bertujuan
untuk mencari penyebabnya, mulai dari anamnesis atau aloanamnesis riwayat penyakit, dan
pemeriksan fisis menyeluruh.

Selama pasien di ICU akses jalan nafas dan vaskular sekaligus fungsi pernafasan dan
kardiovaskular harus selalu dijamin aman. Oleh karena itu keterampilan-keterampilan
pemasangan jalan nafas artifisial, seting ventilator, pemberian resusitasi cairan, penggunaan
inotropik dan vasopresor, monitor fungsi vital dan interpretasi hasil monitor harus dikuasai
dengan baik.

Salah satu tulang punggung utama pelayanan ICU adalah perawat ICU yang terampil, terlatih
dengan baik dan berupaya mengembangkan diri secara terus menerus, serta mempunyai dedikasi
yang baik. Dalam bahasa perang, ners ICU berfungsi di garis depan, artinya ners yang baik akan
mengenal kondisi pasien yang mengalami perburukan, dan mengerti apa yang harus awal
dilakukan. Beberapa aspek keilmuan ners banyak tumpang tindih dengan ilmu kedokteran.
Komunikasi yang baik dengan ners dalam mengelola pasien akan menjamin kenyamanan bekerja
dan mendatangkan manfaat pada pasien.

Beberapa kasus ICU memerlukan konsultasi atau komunikasi dengan disiplin lain untuk
terapi yang menyangkut tingkat kekhususan tertentu apakah neurologi, ginjal, jantung,

675
hematologi, subdivisi bedah, bedah saraf, bedah toraks, bedah digestif, THT, obgin, endokrin,
paru, fisioterapi, farmasi, gizi klinis, mikrogrambiologi dan lain-lain.

Sampai batas mana konsultasi dilakukan? Bila masih menyangkut kondisi kritis dan pasien yang
dapat ditanggulangi segera maka tidak perlu dikonsultasikan, tetapi bila telah sampai terapi
definitif yang sangat khusus terhadap kausa perlu dikomunikasi dengan disiplin
terkait.Kemampuan komunikasi merupakan proses dan ini harus dilatih secara terus menerus.

Kedokteran gawat darurat dan ICU merupakan komponen yang esensial dari sistem pelayanan
kesehatan modern, di mana ilmu ini mengajarkan cara untuk menanggulangi penyakit gawat
(kritis) dengan cara memperbaiki keadaan gagal fungsi-fungsi vital dari sistem dan organ tubuh
sehingga pasien dapat pulih dari penyakit kritis tersebut.

ASPEK EKONOMIS, ETIS DAN HUKUM

Di Amerika, jumlah tempat tidur ICU hanya 8-10% dari kapasitas rumah sakit, namun dapat
menghabiskan >20% biaya pengeluaran rumah sakit, atau 1% dari Gross National Product
pertahun.

Mengingat biaya perawatan ICU cukup mahal, dokter harus dapat mengetahui syarat-syarat
merujuk pasien ke ICU. Faktor yang mempengaruhi angka keberhasilan pasien adalah derajat
penyakit, reversibilitas, status kesehatan premorbid dan umur. Oleh karena itu diperlukan suatu
metode yang dapat dipercaya untuk memperkirakan pasien mana yang mendapat manfaat bila
dirawat di ICU. Beberapa sistem skoring telah diciptakan misalnya APACHE (Acute Physiology
and Chronic Health Evaluation) dan TISS (Therapeutic Intervention Scoring Sistem) namun
sejauh ini belum ada yang memuaskan.

ASPEK ETIS DAN HUKUM

Banyak pasien yang masuk ICU menjadi lebih baik dan sebagian lagi meninggal dengan cepat,
walau diberi terapi yang paling canggih. Bagi mereka tidak bisa disembuhkan lagi, timbul
pertanyaan apakah yang harus dilakukan ?. Bila pasien dengan prognosis tidak ada harapan lagi
diberi terapi, maka sebenarnya terapi ini hanyalah memperpanjang proses kematian. Pada
kenyataannya, biasanya diberikan terapi heroik yang kompleks, menggunakan prosedur dan
peralatan canggih seperti RJP, ventilasi mekanis, pemberian vasoaktif dan inotropik yang sangat
mahal.

Bila pada suatu waktu, pasien tidak ada harapan sembuh, maka sering kali tepatlah tindakan
untuk menghentikan sebagian terapi yang sudah terlanjur diberikan, atau tanpa menghentikan

676
terapi yang sedang diberikan, tidak lagi memberi terapi untuk kelainan baru yang timbul
belakangan.

Pada situasi penderita belum mati, tetapi tindakan terapeutik/paliatif tidak ada gunanya, maka
tindakan tersebut dapat dihentikan. Penghentian tindakan tersebut di atas sebaiknya
dikonsultasikan dengan pasien dan keluarganya dan harus sesuai dengan kebijakan rumah sakit
serta hukum yang berlaku.

Eutanasia merupakan tindakan aktif dan langsung untuk mengakhiri kehidupan dan di banyak
negara tidak dapat diterima, sedangkan menarik kembali atau menolak terapi merupakan
tindakan yang dapat diterima dan dibenarkan manakala penangann medis hanya memperpanjang
proses kematian. Penghentian bantuan hidup tidak berarti meninggalkan pasien, tetapi hanya
mengehentikan terapi yang tidak efektif dan dapat disertai dengan terapi yang lebih tepat
(misalnya meredakan nyeri, sedasi dan sebagainya).

GANGGUAN KESADARAN

Bilamana pasien masuk dalam keadaan tidak sadar, harus didahulukan bahwa jalan nafas,
pernafasan, akses vaskular dijamin aman. Lakukan resusitasi awal artinya fungsi pernafasan dan
kardiovaskular dikendalikan dalam batas normal, dengan pemberian cairan dan dengan nafas
kendali atau nafas bantu secra manual lebih dulu, targetnya adalah tekanan darah adekuat,
oksigenasi dan ventilasi adekuat. Upaya ditujukan untuk menghindarkan peningkatan tekanan
intrakranial lebih lanjut, memperbaiki tekanan perfusi serebral. Untuk mempertahankan kondisi
tersebut mungkin perlu dilanjutkan dengan nafas kendali dengan ventilator dan pemberian cairan
terukur dengan/tanpa inotropik dan vasopresor.

Secara buta dapat diberikan dekstrosa, natrium dan vitamin B1 intravena. Bilamana dari
anamnesis ditemukan penyebab yang dapat diatasi dengan cepat misalnya keracunan morfin
dapat diberikan antidotumnya. Selanjutnya untuk mencari penyebab tidak sadar harus dipikirkan
apakah penyebabnya serebral atau non-serebral. Lakukan pemeriksaan CT scan atau MRI,
lakukan pemeriksaan fungsi hepar, ginjal, gula darah, kadar elektrolit Na, laktat, kadar obat
(misalnya diduga keracunan obat tidur), periksa likuor serebrospinal.

Resusitasi otak dimaksudkan untuk mencegah peningkatan tekanan intrakranial dapat


dilakukan pendekatan secara fisiologis maupun farmakologis. Pendekatan secara fisiologis
posisikan kepala pasien dengan head up position 30-45 derajat, cegah batuk, kendali nafas
normoventilasi, hindarkan hipertemia, pertahankan osmolaritas dalam batas-batas normal,
pertahankan MAP 90mmHg (bergantung nilai base line tekanan darah), PaO2 100mmHg, nilai
Hb 10g%, pertahankan keseimbangan cairan imbang atau sedikit negatif. Pendekatan secara
farmakologis memerlukan komunikasi atau diskusi dengan ahli neurologi, misalnya untuk

677
pemberian obat-obatan yang dapat mengurangi edema otak atau memperbaiki metabolisme sel
otak.

Trakeostomi merupakan tindakan jalan nafas artifisial yang sudah harus secara dini
direncanakan pada pasien tidak sadar, yang pulih sadarnya sulit diprediksi.

Mati Batang Otak (MBO)

MBO adalah kematian batang otak. Pada tahun 1985 Ikatan Dokter Indonesia telah menetapkan bahwa
bila terjadi MBO maka pasien dinyatakan meninggal, meskipun jantung, paru, hati, ginjal dan organ-
organ lain masih hidup.

Diagnosis MBO

Diagnosis MBO barangkali merupakan diagnosis paling penting yang pernah dibuat oleh dokter, karena
bila telah dipastikan, normalnya ventilator akan dilepaskan dari pasien dan henti jantung akan terjadi
tidak lama kemudian. Jadi, diagnosis ini merupakan ramalan yang terlaksana dengan sendirinya (self-ful
filling prophecy). Kebanyakan dokter yang merawat dapat membenarkan dilepaskannya ventilator dari
pasien, karena meneruskan ventilasi mekanis memberikan stres bagi famili pasien dan staf perawatan.
Selain itu, terapi yang diteruskan secara tidak langsung menyatakan bahwa pemulihan masih
dimungkinkan dan memberi famili pasien harapan palsu. Namun ventilasi yang diteruskan selama periode
yang singkat sesudah diagnosis MBO memungkinkan perolehan organ kualitas bagus untuk tujuan
transplantasi dan seringkali dilakukan.

Sekarang ini sudah dapat diterima bahwa batang otak, dan bukan seluruh otak, pengatur respirasi dan
stabilitas kardiovaskular. Diyakini bahwa untuk mendapatkan kesadaran harus ada kontinyuitas neuronal
antara sistem saraf periferal dan korteks. Bila batang otak yang menghubungkan keduanya mati,
kontinyuitas sistem yang diaktifkan oleh retikular terganggu dan tidak dapat timbul kesadaran.

Diagnosis MBO dan petunjuknya dapat dilihat pada fatwa IDI tentang MBO. Diagnosis MBO
mempunyai dua komponen utama. Komponen pertama terdiri dari pemenuhan prasyarat-prasyarat dan
komponen kedua adalah tes klinik fungsi batang otak.

Tabel. Menegakkan diagnosis MBO

Prasyarat:

Pasien koma dengan ventilator.

678
Diagnosis + kerusakan struktural otak yang menyebabkan koma.

Eksklusi:

Obat-obatan, hipotermia, gangguan metabolik.

Tes:

Refleks batang otak negatif.

Tes klinis. Sebelum melakukan tes formal, famili pasien harus diberitahu tentang akan
dilakukannya tes dan juga perlu disampaikan bahwa jika hasil tes negatif pasien dinyatakan meninggal.
Selain itu, kita harus memastikan bahwa pasien tidak menunjukkan postur abnormal (deserebrasi dan
dekortikasi) dan tidak mempunyai refleks okulo-sefal aktif (fenomena mata kepala boneka) atau aktivitas
kejang. Bila ada salah satu gejala tersebut, pasti terjadi hantaran impuls saraf lewat batang otak dan
selanjutnya tes tidak diperlukan dan tidak tepat untuk dilakukan. Batang otak berarti masih hidup. Tes
formal fungsi batang otak dilaksanakan di samping tempat tidur dan memerlukan demonstrasi apnea
dalam keadaan hiperkarbia dan tidak adanya refleks batang otak. Peralatan canggih tidak diperlukan
selain analisis gas darah. Tes ini sendiri mudah dilakukan, hanya memerlukan waktu beberapa menit dan
hasilnya jelas. Bila memang tanda-tanda fungsi batang otak yang hilang di atas ada semua, maka
hendaknya secara sistematis diperiksa 5 refleks batang otak (lihat tabel. Refleks batang otak tidak ada).
Kelima refleks harus negatif sebelum diagnosis MBO ditegakkan. Tes terhadap refleks-refleks batang
otak dapat menilai integritas fungsional batang otak dengan cara yang unik. Tidak ada daerah otak lainnya
yang dapat diperiksa sepenuhnya seperti ini. Ini menguntungkan karena konsep mati yang baru secara tak
langsung menyatakan bahwa semua yang berarti bagi kehidupan manusia bergantung pada integritas
jaringan yang hanya beberapa sm3 ini. Tes ini mencari ada atau tidak ada respons, dan bukan gradasi
fungsi. Ini mudah dilakukan dan dapat dimengerti oleh setiap dokter atau perawat yang terlatih. Ini tidak
bergantung pada mesin, atau super spesialis.

Tabel. Refleks batang otak tidak ada

Tak ada respons terhadap cahaya.

Tak ada refleks kornea.

Tak ada refleks vestibulo-okular.

Tak ada respons motor dalam distribusi saraf kranial terhadap rangsang adekuat pada area somatik.

Tak ada refleks muntah (gag reflex) atau refleks batuk terhadap rangsang oleh kateter isap yang
dimasukkan ke dalam trakea.

679
Tes yang paling pokok untuk fungsi batang otak adalah tes untuk henti nafas (lihat tabel Tes untuk henti
nafas).

Tabel . Tes untuk henti nafas.

Preoksigenasi dengan 100% O2 selama 10 menit.

Beri 5% CO2 dalam 95% O2 selama 5 menit berikutnya untuk menjamin PaCO2 awal : 53 kPa (40 torr).

Lepaskan pasien dari ventilator. Insuflasikan trakea dengan 100% O 2 : 6L/menit melalui kateter
intratrakeal lewat karina.

Lepas dari ventilator selama 10 menit. Jika mungkin periksa PaCO 2 akhir.

Namun, apnea dan arefleksia saraf kranial juga terjadi pada keadaan nonfatal lain seperti ensefalitis
batang otak dan sindroma Guillain-Barre.Lagi-lagi perlu ditekankan bahwa tes-tes jangan dilakukan bila
prasyarat-prasyarat belum dipenuhi. Ini perlu diperhatikan agar jangan sampai terjadi kesalahan prosedur
sebab selalu ada saja laporan kasus yang menggambarkan keadaan yang menyerupai MBO tetapi ternyata
dapat pulih kembali. Bila setiap kasus didekati secara sistematis, tidak akan terjadi kesalahan.

Pernyataan mati

Perlakuan pasien MBO yang sembrono atau insensitif dapat menimbulkan derita dan distres yang tak
perlu bagi keluarga dan perawat. Kekurangan komunikasi atau informasi sering menimbulkan
kesalahpahaman, seperti pemakaian istilah mencabut pipa ventilator, menghentikan bantuan hidup
dan sebagainya. Perlu dijelaskan (kepada keluarga dan juga khalayak yang lebih luas), bahwa sewaktu
melepas ventilator, dokter tidak menghentikan terapi dan membiarkan seseorang meninggal, tetapi
sekedar menghentikan upaya yang sia-sia terhadap seseorang yang telah meninggal.

Tabel. Pernyataan MBO

1. Sudahkah ditemui prasyarat ?

680
Apakah pasien koma dan mendapat ventilasi buatan ?

Adakah kerusakan otak struktural ?

2. Sudahkah diteliti adanya kriteria penolakan ?


3. Adakah tanda-tanda:
refleks batang otak negatif ?

henti nafas menetap (sewaktu dilepas dari ventilator ?)

4. Bila ya maka tes arefleksia batang otak diulang dalam kurun waktu 20 menit sampai 24
jam. Bila hasilnya sama, maka pasien dinyatakan mati, kendatipun jantung masih berdenyut.
5. Setelah pasien dinyatakan mati, ventilator memberi ventilasi kepada sesosok mayat.
Maka dari itu ventilator harus segera dihentikan.
6. Pasien mati ketika batang otak dinyatakan mati, bukan sewaktu mayat dilepas dari ventilator dan
jantung berhenti berdenyut.

7. Untuk diagnosis mati batang otak, tidak diperlukan EEG atau angiografi.

8. Bila pasien merupakan donor organ, ventilator dan segala terapi diteruskan sampai organ
yang dibutuhkan diambil.

Dianjurkan agar tes dilakukan oleh 3 orang dokter yang berpengalaman dalam soal ini. Dalam praktek
mereka ini biasanya anestetis, spesialis neurologi, bedah saraf atau dokter intensivis, tetapi tentunya hal
ini tidak esensial. Siapa saja yang memahami prasyarat dapat melakukan tes ini ! Jika ada kaitannya
dengan kepentingan transplantasi organ, yang berwenang menentukan kematian adalah 3 orang dokter
yang tidak terikat dengan tindakan transplantasi tersebut. Setelah dilakukan tes dan tes ulang, dan
dipastikan MBO, maka hendaknya pasien dinyatakan mati, keluarga diberitahu, dan dibuat catatan
seperlunya. Seseorang mati saat dokter (dengan menggunakan kriteria yang diterima) menyatakannya
mati. Sertifikat kematian dapat kemudian dikeluarkan. Bila ventilasi buatan diteruskan guna kepentingan
donasi organ, perlu dijelaskan bahwa ini tidak akan menghidupkan. Pembedahan dapat dilaksanakan
kemudian sesuai kehendak tim operasi. Pertimbangan utama diteruskannya ventilasi buatan ini ialah
untuk menjamin bahwa resipien dapat menerima organ dengan kondisi sebagus mungkin. Pemberian
vasopresor atau antibiotika mungkin pula harus diteruskan.

Untuk mengurangi risiko timbul kesalahpahaman di kemudian hari, semua diskoneksi sebaiknya
dilakukan oleh dokter, bukan perawat. Memang tidak alasan yang logis untuk ini, tetapi dalam masalah
ini, masih mungkin dijumpai perilaku yang irasional !

GAGAL NAFAS

681
Gagal nafas adalah ketidakmampuan paru memenuhi kebutuhan metabolik tubuh. Hal ini dapat
terjadi akibat kegagalan oksigenasi pada tingkat jaringan dan atau kegagalan homeostasis
karbondioksida (CO2).

Fungsi sistem respirasi adalah untuk menghantarkan oksigen dari atmosfir ke dalam darah dan
mengeluarkan karbondioksida dari dalam darah. Secara klinis gagal nafas ditegakkan bila
didapatkan PaO2 <60 mmHg bila bernafas dengan udara atau PaCO2 > 50 mmhg. Gagal nafas
dapat diklasifikasikan dalam 2 tipe yaitu gagal nafas hipoksemik (tipe 1) dan gagal nafas
hiperkapnik (tipe 2).

Gagal nafas tidak selalu mengancam nyawa, bergantung kepada derajat berat ringan gagal nafas,
mungkin tidak memerlukan rawat ICU. Pasien gagal nafas akut dan mengancam nyawa, dapat
dinilai secara klinis, yang dikenal sebagai distres pernafasan. Kesadaran apatis, delirium, sampai
tidak sadar, pernafasan cepat, dangkal, nafas cuping hidung, berkeringat, kesadaran menurun,
mungkin sianosis. Tanda-tanda klinis hiperkarbia sering tumpang tindih dengan tanda-tanda
hipoksemia. Bila tanda-tanda tersebut nyata, harus dilakukan antisipasi, dengan mengambil alih
fungsi pernafasan, memberikan oksigen dan melakukan ventilasi dengan baik, tanpa harus
menunggu hasil analisis gas darah.

Hasil analisis gas darah, gagal nafas tipe oksigenasi bila PaO2 menurun lebih rendah dari
60mmHg dan tipe ventilasi bila PaCO2 meningkat lebih tinggi dari 55mmHg.

Terapi gagal nafas oksigenasi adalah terapi oksigen dan terapi gagal nafas ventilasi adalah
mengambil alih fungsi pernafasan dengan ventilator. Terapi oksigen dapat dilakukan dengan cara
kanula nasal, sungkup muka (rebreathing, non rebreathing, venture mask), atau mungkin
memerlukan ventilator.

Indikasi pasien membutuhkan ventilator harus diketahui dengan baik. Modus dasar ventilasi
mekanis juga harus diketahui dengan baik. Begitu pasien masuk ventilator, pasien dalam nafas
kendali, dan harus tetap disadari bahwa ventilator hanya sebagai alat bantuan nafas untuk
mempertahankan agar fungsi nafas tetap dalam batas-batas normal, dan terapi terhadap penyebab
gagal nafas harus dicari agar dapat dilakukan terapi definitif.

Mencari sebab gagal nafas secara sistematik dapat dicari satu persatu, apakah ada proses di
SSP, batang otak, medula spinalis, toraks, fraktur iga, kelumpuhan otot nafas interkostal
/diafragma, efusi pleura, proses di paru, problema pada jalan nafas. Proses tersebut dapat berupa
reaksi radang atau infeksi, tumor, perdarahan, trauma, gangguan vaskularisasi, proses auto
imunologik, penumpukan cairan dalam paru. Proses yang terjadi dalam paru kemungkinan bisa
disebabkan oleh proses lain di luar paru, misalnya sepsis, traumatic wet lung, neurogenic edema
paru, transfusion related acute lung injury (trali)

Melepaskan pasien dari ventilator bukan merupakan hal yang mudah, metode penyapihan
atau modus untuk penyapihan harus diketahui dengan baik. Mulai penyapihan dari FiO2 sampai

682
kurang 50% dan bila analisis gas darah menunjukkan batas-batas normal, mulai dengan
menyapih ventilator dari nafas kendali menjadi nafas dengan modus penyapihan, artinya usaha
nafas spontan mulai ditimbulkan dan pasien akan mendapat sebagian nafas dari usaha pasien
sendiri dan sebagian masih dari ventilator. Demikian selanjutnya secara bertahap usaha nafas
spontan makin ditingkatkan, sampai akhirnya sebagian besar dan seluruh nafas spontan berasal
dari pasien sendiri.

Kondisi gagal nafas yang merupakan problema besar dan sulit adalah acute lung injury (ALI)
dan ARDS. Strategi yang dianjurkan pada pasien ini adalah modus dengan pressure control, low
tidal volume 6ml/kg, permissive hypercapnia, inspiratory plateu pressure tidak lebih dari
30smH2O, PEEP tinggi 10-20smH2O. Salah satu prinsip adalah open the lung open and keep
the open.

Akhirnya sebaik apapun upaya ventilasi mekanis dilakukan harus disertai dengan kondisi
hemodinamik yang baik oleh karena upaya memperoleh hasil oksigenasi dan ventilasi yang baik
tidak hanya memerlukan ventilasi tetapi juga memerlukan perfusi yang baik.

Gagal nafas tipe 1 merupakan gagal nafas yang paling sering terjadi. Secara klinis didapatkan
PaO2< 60 mmHg, sedang level PaCO2 normal atau rendah. Penyebabnya adalah gangguan
jantung, misalnya pintasan intrakardiak (pintasan dari kanan ke kiri : tetralogi falot). Penyebab
lain adalah kelainan patologis dari paru sendiri, misalnya adanya pintasan intrapulmonar karena
pneumonia, atelektasis dan ARDS.

Gagal tipe 2 terjadi bila paCO2>50 mmHg. Biasanya disertai dengan keadaan hipoksemia,
sedangkan pH bergantung pada pada level HCO3 yang juga bergantung pada lamanya
mengalami hiperkapnea. Berdasarkan onsetnya serangan bisa terjadi akut atau kronik eksaserbasi
akut. Pada serangan akut didapatkan pH darah rendah. Serangan ini dapat disebabkan oleh
overdosis obat sedatif, kelemahan otot akut (misalnya miastenia gravis) dan penyakit paru berat
(asma atau pneumonia) sehingga ventilasi alveolar tidak dapat dipertahankan.

Serangan kronik eksaserbasi akut terjadi pada pasien dengan retensi CO2 kronik yang memburuk
dan terjadi peningkatan CO2 serta penurunan pH. Mekanisme terjadinya karena adanya
kelelahan otot-otot pernfasan.

Patofisiologi gagal nafas

Mekanisme yang mendasari terjadinya gagal nafas adalah pintasan (perfusi tanpa ventilasi), dead
space ventilation (ventilasi tanpa perfusi), difusi abnormal dan hipoventilasi alveolar.

1. Pintasan

683
Pintasan terjadi bila ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang (V/Q mismatch) di mana
alveolus yang tidak terventilasi (disebabkan karena kolaps, terdapat pus atau cairan)
akibatnya darah yang melewati alveolus tidak teroksigenasi

Pada pintasan, penderita relatif resisten terhadap terapi oksigen. Peningkatan FiO2 hanya
akan berefek sedikit.

2. Dead space ventilation


Merupakan kebalikan dari pintasan. Gas yang masuk dan keluar dari alveolus tidak
mengalami pertukaran gas oleh karena alveolus tidak mengalami perfusi dan ventilasi
menjadi tidak efektif, namun jika penderita mampu mengkompensasi keadaan ini,
peningkatan ventilasi yang efektif akan meningkatan paCO2. Penyebabnya adalah curah
jantung yang rendah, tekanan alveolar yang tinggi pada pasien dengan ventilasi mekanis.

3. Difusi abnormal
Disebabkan oleh abnormalitas membran alveolar atau penurunan jumlah alveolus yang
mengakibatkan pengurangan alveolar surface area, misalnya ARDS atau penyakit paru
fibrotik.

4. Hipoventilasi alveolar
Ketka CO2 melewati alveolus dan O2 melewati darah, terjadi perbedaan tekanan antara gas
alveolar dan darah secara bertahap. Ventilasi diperlukan untuk mengembalikan perbedaan
tekanan tersebut. Hipoventilasi ditandai dengan peningkatan PaCO2 dan penurunan PaO2.
Penyebabnya bisa karena trauma/perdarahan batang otak, tumor medula spinalis, sindrom
guillan barre, miastenia gravis, penggunaan obat depresan, malnutrisi atau kelainan paru
karena sumbatan jalan nafas dan penurunan kekembangan.

Tanda klinis gagal nafas

Manifestasi gagal nafas berupa kompensasi pernafasan (takipnea, penggunaan otot-otot bantu
nafas, nafas flaring, retraksi dinding dada), peningkatan tonus simpatis (takikardia, hipertensi,
berkeringat), hipoksia organ (penurunan kesadaran, bradikardia) serta desaturasi (sianosis). Pada
hipoksemia kronik akan timbul kompensasi polisitemia.

Penatalaksanaan

Prinsip penanganan penderita gagal nafas adalah menangani hipoksemia dengan terapi oksigen
atau ventilasi mekanis. Tujuan selanjutnya adalah mengontrol paCO2 dan asidosis respiratorik
dan yang paling penting adalah terapi penyebab dasarnya.

684
RESPIRATORY CARE

Ventilasi mekanik

Udara dapat masuk ke dalam paru karena adanya perbedaan antara tekanan udara luar dengan
tekanan udara dalam alveolus. Pada pernafasan spontan, perbedaan tersebut terjadi karena pada
awal inspirasi terjadi tekanan negatif (tekanan dalam alveolus lebih rendah daripada tekanan
udara luar). Pada saat inspirasi kontraksi diafragma dan otot-otot interkostal menimbulkan
pengembangan rongga dada dan tekanan negatif pada alveolus, sehingga udara luar masuk. Pada
keadaan normal ekspirasi akan berlangsung pasif.

Pada nafas buatan atau mekanik perbedaan tekanan tersebut terjadi karena adanya tekanan
positif yang ditimbulkan oleh mesin

Macam-macam mode ventilasi

1. Controlled Mechanical ventilation (SMV)


Ada 2 macam, yaitu Volume-SMV (V-SMV) dan Pressure-SMV (P-SMV). Pada mode ini,
perpindahan inspirasi ke ekspirasi (cycling) terjadi setelah interval waktu yang telah
ditentukan. Pada mode ini dilakukan pembatasan bantuan (limitation) berdasarkan pressure
(P-SMV) atau volume (V-SMV). Awal bantuan (initiating) ditentukan berasarkan trigger
waktu.

Ciri khas pada mode ini adalah pasien bersifat pasif, artinya tidak ada usaha nafas. Berarti
semua variabel dalam pernafasan bergantung pada sepenuhnya pada seting ventilator.

2. Assist-control mechanical ventilation (ASMV)


Pada prinsipnya sama dengan SMV. Perbedaannya terletak pada triggernya. Pada ASMV
yang mentrigger ventilator adalah pasien, yaitu dengan menimbulkan perbedaan tekanan
(pressure triggering) atau perbedaan aliran gas (flow triggering). Dengan demikian yang
menentukan frekuensi pernafasan adalah pasien, sedang ventilator menentukan besarnya
volume tidal (A-SMV) atau tekanan (P-ASMV)

3. SYNCHRONIZED INTERMITEN MANDATORY VENTILATION (SIMV)


Mode ini bekerja dengan mengawali bantuan berasal dari trigger nafas pasien. Bantuan
ventilasi dibatasi oleh tekanan (P-SIMV) atau volume (V-SIMV). Perpindahan inspirasi ke
ekspirasi ditentukan oleh waktu.

Pada prinsipnya mode ini adalah ASMV yang diberikan secara intermiten dengan frekuensi
bantuan yang jauh lebih sedikit dibanding ASMV/sehingga pasien diberi kesempatan untuk
bernafas spontan di luar bantuan.

4. PRESSURE SUPPORT VENTILATION (PSV)

685
Pada mode ini initiaiting (awal bantuan) berasal dari trigger pasien, bantuan nafas yang
diberikan dibatasi oleh tekanan dan perpindahan inspirasi ke ekspirasi, ditentukan dengan
aliran / ETS (ekspiratory trigger sensitivity).

Setelah ada trigger dari pasien, gas pada ventilator akan mengalir untuk mempertahankan
tekanan sesuai dengan seting dan kebutuhan pasien dan pasien akan melakukan inspirasi
(inspiratory flow) turun di bawah seting ETS, katup ekspirasi akan terbuka kemudian pasien
akan memulai ekspirasi. Oleh karenanya jumlah volume yang diinspirasi oleh pasien (VT)
bergantung pada seting tekanan dan ETS. Bila ETS rendah maka waktu inspirasi akan lama
dan volume tidal akan besar.

5. CPAP (CONTINOUS TEKANAN JALAN NAFAS POSITIF)


Akhir ekspirasi masih ada tekanan positif di alveolus.

Perawatan pasien dengan ventilator

Intubasi

Intubasi nasal atau oral relatif cukup aman dipakai dalam 2-3 pekan. Dibandingkan dengan
intubasi oral, intubasi nasal lebih nyaman untuk pasien, lebih aman (insiden kecelakaan ekstubasi
lebih kecil) dan lebih sedikit menyebabkan kerusakan laring. Intubasi nasal mempunyai beberapa
efek samping, seperti perdarahan nasal, bakterimia, iritasi, diseksi mukosa, sinusitis dan otitis
media (akibat obstruksi tuba auditori).

Bila pasien memerlukan bantuan ventilasi mekanis lebih dari 2-3 pekan, intubasi nasal dan oral
memberi kecenderungan terjadi stenosis subglotis. Pada kondisi ini sebaiknya dilakukan
trakeostomi, sejak beberapa hari pertama intubasi.

Seting awal ventilator

Pada umumnya frekuensi pernafasan diset 10-12 kali permenit dan volume tidal 8-10 mL/kg.
VT lebih rendah (6-8 mL/kg) mungkin dibutuhkan untuk menghindari tekanan plateu berlebih
(>35-40 smH20), barotrauma dan volume trauma. Jalan nafas tekanan tinggi (tekanan
transalveolar > 35 smH20 ) menyebabkan overdistensi alveolus, pada eksperimen terbukti
menyebabkan cedera paru.

Pasien dengan nafas spontan SIMV harus bisa mengatasi resistensi tambahan karena adanya
ETT, demand valve, dan sirkuit nafas. Pada orang dewasa, ukuran ETT kecil (diameter internal
<7mm) sebisa mungkin dihindari. Penggunaan pressure support 5-15 smH20 selama SIMV
dapat mengkompensasi resistensi dari ETT dan sirkuit.

686
Penambahan PEEP 5-8 smH20 selama ventilasi tekanan positif dapat mempertahankan FRC dan
pertukaran gas. PEEP fisiologis ini bertujuan untuk mengkompensasi hilangnya intrinsik PEEP
dan penurunan FRC pada pasien yang terintubasi.

Sedasi dan pelumpuh otot

Sedasi yang dalam dan pelumpuh otot mungkin diperlukan pada pasien yang mengalami agitasi
dan melawan ventilator. Batuk berulang (bucking) dan mengejan mempunyai pengaruh buruk
pada hemodinamik, mengganggu pertukaran gas, dan dapat menyebabkan barotrauma. Sedasi
dengan atau tanpa pelumpuh otot mungkin diperlukan pula pada pasien yang mengalami
takipneu (f >16-18 x/mnt).

Umumnya, digunakan sedatif opioid (morfin atau fetanil), benzodiazepin, propofol dan
deksmedetomidin.

Penyapihan dari bantuan ventilasi mekanis

Untuk memulai penyapihan, pertamakali dipertimbangkan bahwa bantuan ventilasi mekanis


tidak akan berhasil dihentikan apabila problem yang mengindikasikan bantuan ventilasi mekanis
belum sembuh/teratasi. Untuk menilai hal ini perlu dilakukan evaluasi terhadap kondisi klinis
bronkospasme, gagal janrtung, malnutrisi, asidosis atau alkalosis metabolik, peningkatan
produksi CO2 akibat kelebihan intake karbohidrat, tingkat kesadaran, dan adanya gangguan
tidur.

Parameter penyapihan yang sangat bermanfaat adalah tekanan parsial gas arteri, frekuensi
pernafasan, dan rapid shallow breathing index (RSBI). Oksigenasi yang adekuat (saturasi
oksigen >90% pada FiO2 40-50% dan PEEP < 5 smH20) harus tercapai sebelum dilakukan
ekstubasi. RSBI bermanfaat untuk memprediksi keberhasilan penyapihan dari ventilasi mekanis
dan ekstubasi. Pengukuran dilakukan pada saat pasien bernafas spontan dengan T-pice.

RSBI = f ( nafas/menit)

TV (L)

Nilai RSBI < 100 dapat dilakukan ekstubasi.

Nilai RSBI > 120 bantuan ventilasi mekanis sebaiknya jangan dilepas.

687
Penyapihan dengan SIMV

Penyapihan dilakukan dengan pengurangan bantuan ventilasi secara gradual. Otot pernafasan
pasien tetap melakukan kerja ketika terjadi nafas spontan maupun nafas mandtorik. Beberapa
pasien bisa mengalami dissynchrony pada SIMV dengan laju rendah. Pada umumnya SIMV
dilakukan kombinasi dengan PSV.

Penyapihan dengan PSV

Penyapihan dilakukan dengan pengurangan secara gradual level PSV untuk mencapai target
volume tidal dan frekuensi nafas. PSV diturunkan levelnya sampai terendah antara 5-8 smH20,
bila target pola nafas dan pertukaran gas dapat dipertahankan, maka ventilasi mekanis dapat
dihentikan.

Penyapihan dengan T-piece atau CPAP

Teknik ini dilakukan pada pasien yang memenuhi kriteria Pa02/Fi02 > 200mmHg, PEEP <5
smH20, reflek jalan nafas baik dan tidak memerlukan topangan obat intotropik atau vasoaktif.

Pasien yang bisa mentoleransi T-piece dengan baik selama 30 sampai 120 menit, berarti sudah
tidak memerlukan ventilator dan dipertimbangkan untuk ekstubasi. Pada umumnya pasien
merespons sama baik antara T-piece dan CPAP level 0 pada ventilator. Pada CPAP Fi02
dipertahankan seperti ketika masih dengan bantuan ventilasi mekanis.

PEEP (Positive End Expiratory Pressure))

Yaitu tekanan positif yang diberikan di jalan nafas (tepatnya di alveolus) pada akhir ekspirasi.
Tujuan pemberian PEEP adalah agar alveolus tidak kolaps dan agar oksigen dapat berdifusi dari
alveolus ke kapiler lebih baik sehingga dengan demikian Sa02 dan Pa02 lebih baik. Level PEEP
diset dengan memperhatikan kekembangan paru dan target oksigenasi.

Perlu diperhatikan adanya efek negatif seperti gangguan hemodinamik, barotrauma.

GAGAL SIRKULASI

688
Kegagalan sirkulasi atau syok di ICU bisa hipovolemik, kardiogenik atau septik. Pada dasarnya
tanda-tanda klinis syok adalah sama; tekanan darah menurun, laju nadi naik serta adanya
gangguan perfusi perifer, capillary filling yang lambat, gelisah sampai kesadaran menurun,
jumlah urin menurun, pemeriksaan gas darah mungkin asidosis, hiperkalemia, peningkatan
laktat. Pada dasarnya target yang akan dicapai untuk terapi pasien syok adalah sama dengan
target terapi pasien gagal nafas yaitu memperbaiki pengiriman oksigen. Dalam hal syok adalah
bagaimana memperbaiki curah jantung. Curah jantung ditentukan oleh isi sekuncup dan HR. Isi
sekuncup bergantung pada prabeban, kontraktilitas dan pascabeban. Pada syok hipovolemik
diberikan cairan. Pada syok kardiogenik diberikan inotropik, bila volume sirkulasi sudah
dianggap cukup.

GAGAL GINJAL

Definisi gagal ginjal akut adalah penurunan fungsi ginjal yang terjadi secara cepat dan yang tidak
dapat dipulihkan secara cepat walaupun dilakukan perbaikan faktor eksternal seperti tekanan
darah, volume intravaskular, curah jantung dan volume urin. Gejala utama dari gagal ginjal
adalah azotemia dan oliguria.

Gagal ginjal akut dapat dikenali dengan peningkatan BUN dan kreatin plasma dalam 24-72 jam.
Penyebab azotemia bisa dibagi karena faktor prerenal, renal dan pos-renal.

Azotemia

Azotemia prerenal terjadi sebagai akibat hipoperfusi ginjal, jika tidak diterapi akan berkembang
menjadi gagal ginjal akut. Hipoperfusi ginjal paling sering disebabkan oleh penurunan tekanan
perfusi arterial. Diagnosis azotemia prerenal dilakukan berdasarkan gejala klinis dan
dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratori (lihat tabel di bawah). Terapi azotemia prerenal
ditujukan untuk mengoreksi defisit cairan intra vaskular, memperbaiki fungsi jantung,
mempertahankan tekanan darah normal dan mengatasi vasokonstriksi vaskular ginjal.

Azotemia pos-renal timbul akibat adanya obstruksi traktus urinarius. Obstruksi yang komplit
dapat berkembang menjadi gagal ginjal akut, sedang obstruksi parsial dalam jangka lama dapat
menimbulkan gangguan ginjal kronis. Diagnosis dan penanganan obstruksi yang cepat dapat
segera memulihkan fungsi ginjal

Tabel 2 Urinary indices in azotemia

Indek Prerena Renal Postrenal

689
l

Specific gravity > 1.018 <0.012 variable

Osmolality (mmol/kg) > 500 <350 variable

Urin/plasma urea nitrogen >8 <3 variable


rasio

Urin/plasma creatinin rasio >40 <20 variable

Urin/sodium (mEq/L) <10 >40 variable

Fractional excretion of sodium <1 >3 variable


(%)

Renal failure index <1 >1 variable

Azotemia reversibel vs gagal ginjal akut

Kemampuan untuk membedakan azotemia prerenal dan pos-renal sangatlah penting. Yang paling
mudah pertamakali adalah dengan menyingkirkan kemungkinan obstruksi pos-renal. Kelainan
prerenal biasanya bisa dilihat dengan melihat respons terhadap perbaikan perfusi ginjal. Analisis
indeks urin pada tabel di atas juga dapat membantu membedakan ketiga hal tersebut.

Perhitungan fractional excretion of filter sodium (FE Na+) sangat berguna pada kondisi oliguria.

Urin Na+/ Serum Na+

FE Na+ = ---------------------------------------- x 100%

Urin creatinin/ Serum creatinin

Nilai FE Na+ <1% dan disertai oliguria terdapat pada azotemia prerenal, nilai >3% terdapat pada
pasien ARF nonoliguria. Nilai 1-3% mungkin terdapat pada pasien ARF nonoliguria.

Renal failure index ( Na+ urin / plasma creatinin rasio ) merupakan indeks yang paling sensitif
untuk menegakkan diagnosis gagal ginjal, namun penggunaan diuretik akan meningkatkan
sekresi Na sehingga nilainya tidak akurat.

690
Etiologi gagal ginjal akut dapat dilihat pada tabel 3. hampir 50% terjadi pada kasus trauma
mayor atau pembedahan ; dan sebagian besar diakibatkan oleh iskemia dan nefrotoksin.

Patogenesis gagal ginjal sangat kompleks karena melibatkan sistem vaskular dan tubulus ginjal.
Konstriksi arteriol aferen, penurunan permeabilitas glomerulus, injuri langsung sel epitel dan
obstruksi tubular oleh debris intralumen atau edema, dapat mengurangi filtrasi ginjal.

Iskemia ginjal atau hipoksia merupakan faktor pencetus pada hampir semua kasus.
ketidakseimbangan antara produksi ATP dan kebutuhan sel epitel memyebabkan perubahan
transport ion, pembengkakan sel, mengganggu metabolisme fosfolipid dan menyebabkan
penumpukan kalsium di dalam sel. Produksi radikal bebas selama periode reperfusi dan
reoksigenasi dapat pula menimbulkan cedera sel.

Gagal ginjal akut terjadi hampir 15% pada pasien ICU, dengan mortalitas mencapai 50%. Terapi
utama gagal ginjal akut bersifat suportif. Diuretik dan manitol mungkin bermanfaat pada kasus
gagal ginjal nonoligurik, walaupun beberapa penelitian menunjukkan tidak menurunkan
mortalitasnya. Terapi simptomatis diberikan sesuai dengan kondisi pasien misalnya koreksi
gangguan elektrolit dan koreksi keseimbangan cairan. Perlu diperhatikan pada pemberian obat-
obat yang diekskresi melalui ginjal, harus dilakukan penghitungan dosis sesuai dengan klirens
ginjal agar tidak terjadi akumulasi.

SEPSIS

Menurut AMLP/SCSM Consensus Conference, sepsis didefinisikan sebagai infeksi yang disertai
dengan 2 atau lebih manifestasi sistemik dari SIRS ( tabel 3). Septik syok adalah sepsis yang
disertai hipotensi refrakter walaupun telah diberikan resusitasi cairan yang adekuat. Kriteria
hipotensi adalah tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau MAP < 65 mmHg atau penurunan
tekanan darah sistolik > 40 mmHg. Syok septik biasanya disertai gangguan perfusi jaringan dan
disfungsi sel yang ditandai dengan asidosis laktat, oliguria atau penurunan kesadaran.

Tabel 3. Sistemic Inflammatory Responsse Syndrome (SIRS)

Temperature > 38C or < 36C

691
HR > 90 beats/min

Respiratory rate > 20 breaths/min or PaCO2 < 32 mm Hg

WBC count > 12,000/mm3 , < 4000/mm3 , or > 10% immature (band) forms.

Patofisiologi

Syok septik paling sering disebabkan oleh infeksi bakteri gram-negatif yang berasal dari traktus
genitourinarius atau dari paru. Bakterimia bisa ditemukan bisa tidak. Peningkatan kadar nitrik
oksida mungkin menjadi penyebab vasodilatasi. Hipotensi juga terjadi karena penurunan volume
intravaskular akibat kebocoran vaskular. Pemeriksaan jantung dapat menunjukan adanya depresi
miokard. Aktivasi platelet dan kaskade koagulasi menimbulkan pembentukan agregrat fibrin-
platelet, yang dapat mengganggu aliran darah, bila terjadi di paru akan menimbulkan hipoksemia
/ ARDS. Dikeluarkannya bahan-bahan vasoaktif, pembentukan mikrogramtrombus di sirkulasi
paru, akan memperburuk fungsi paru karena meningkatnya resistensi vaskular paru.

Menurut guideline dari Surviving sepsis campaign tahun 2008, dalam 6 jam pertama setelah
sepsis didiagnosa, harus dapat dilakukan resusitasi sesuai dengan protocol Early Goal-
Directed Therapy (EGDT). Pasien dengan hipotensi diberikan resusitasi cairan koloid atau
kristaloid sampai mencapai CVP 8-12 mmHg. Apabila MAP < 65 mmHg, diberikan obat
vasoaktif (noerepinefrin atau dopamin). Apabila MAP telah 65mmHg, dilakukan pengukuran
saturasi oksigen vena sentral /vena kava superior. Target ScVO2 >70% atau vena campur
>65% harus dapat dicapai. Bila target saturasi oksigen vena tidak tercapai, diberikan transfusi
PRC sampai hematokrit 30% . Apabila hematokrit telah mencapai target tetapi saturasi
oksigen vena sentral masih rendah, maka mulai diberikan infusi dobutamin.

Apabila hasil kultur kuman belum ada, terapi antibiotik empirik diberikan seawal mungkin
dalam jam pertama EGDT. Antibiotik broad-spectrum diberikan secara intravena dipilih
berdasarkan dugaan bakteri / fungi yang menjadi sumber sepsis.

Effect of inotropes and vasopresors in septic patient

692
Agent Blood Curah Pengirima
pressure jantung n oksigen

Dopamin

Dobutamin

Norepinefri 0 0
n

Epinefrin

Vasopresin 0 0

Gambar 1. Protocol for Early Goal-Directed Therapy.

693
CVP : central venous pressure, MAP : mean arterial pressure, dan ScvO :
central venous oxygen saturasion.

Diambil dari Surviving Sepsis Campaign: International guidelines for

management of severe sepsis and septic shock: 2008

PERDARAHAN SALURAN CERNA

Perdarahan akut sering menjadi alasan utnuk mengirim pasien ke ICU. Faktor-faktor yang dapat
meningkatkan mortalitas adalah umur (>60tahun), penyakit komorbid, hipotensi, perdarahan
masif (>5 unit) dan perdarahan berulang.

Penatalaksanaan di ICU meliputi evaluasi, identifikasi sumber perdarahan dan stabilisasi. Pasien
harus dipasang 2 kanula vena besar (14-16G), kalau mungkin dipasang CVC dan jalur arterial.
Pemeriksaan kadar Hb, hematokrit, trombosit, PT dan aPTT serta persiapan transfusi darah harus
dilakukan. Pemantauan yang dilakukan meliputi hematokrit serial dan penilaian hemodinamik
kontinyu.

Perdarahan saluran cerna bagian atas

Penyebab perdarahan paling sering adalah ulkus duodenum, ulkus gaster, gastritis erosif dan
varises esofagus. Yang terakhir biasanya disebabkan oleh stres, konsumsi alkohol, aspirin,
NSAID dan obat obat steroid.

Esophagogastroduodenoscopy (EGD) atau arteriografi sebaiknya dilakukan untuk menentukan


diagnosis penyebab perdarahan. Keuntungan kedua pemeriksaan tersebut adalah dapat dipakai
untuk menghentikan perdarahan. Pembedahan biasanya diperlukan apabila terjadi perdarahan
hebat (>5 U) atau perdarahan berulang. Pemakaian H2 reseptor bloker tidak efektif untuk
menghentikan perdarahan tetapi mungkin mengurangi risiko perdarahan ulang. Infusi vasopresin
atau embolisasi arteri dapat dilakukan secara selektif melalui arteriografi.

Terapi paling efektif untuk gastritis erosif adalah melakukan pencegahan dengan proton pum
inhibitor, H2 reseptor bloker, antasid dan sukralfat. Namun apabila perdarahan sudah terjadi
semua obat ini tidak akan efektif.

Terapi endoskopi dengan elektrokoagulasi bipolar atau probe heater, merupakan terapi nonbedah
yang efektif untuk mengurangi transfusi, perdarahan ulang, lama rawat dan risiko operasi.

694
Perdarahan Saluran cerna bagian bawah

Penyebab umum adalah divertikulosis, angiodisplasia, inflamasion bowel disease, kolitis


iskemik, kolitis infeksi dan penyakit anorektal (hemoroid, fisura, fistula). Diagnosis bisa
ditegakkan dengan pemeriksaan rektal, anoskopi, sigmoidoskopi, kolonoskopi, EGD dan
technetium-99-labeled red blood scan.

Terapi yang dilakukan adalah kauterisasi sumber perdarahan via kolonoskopi, embolisasi / infusi
vasopresin via arteriografi, dan dilakukan operasi bila perdarahan berulang.

TERAPI NUTRISI

Pasien sakit kritis biasanya mengalami cedera jaringan, stres neuroendokrin dan kakeksia.
Respons terhadap cedera yang terjadi meliputi peningkatan sekresi katekolamin, kortisol,
glukagon, tiroksin, angiotensin, aldosteron, hormon pertumbuhan dan ACTH, hormon
antidiuretik dan TSH. Pada awalnya sekresi insulin sedikit turun tetapi kemudian akan meningkat
sesuai dengan peningkatan kadar hormone pertumbuhan.

Katekolamin, glukagon dan hormon pertumbuhan akan memacu glikogenolisis, di mana


glukagon dan kortisol mungkin memacu glukoneogenesis. Hal tersebut ditambah dengan
penurunan utilitas oleh jaringan perifer menyebabkan hiperglikemia. Penurunan toleransi
terhadap glukosa, tampaknya diakibatkan oleh penurunan seksresi insulin dan peningkatan
resistensi. oleh jaringan perifer. Kedua efek tersebut terjadi karena peningkatan sekresi
katekolamin, yang juga meningkatkan lipolisis.

Sintesa dan pemecahan protein meningkat, namun pemecahannya lebih besar daripada sintesa
sehingga terjadi penurunan massa otot. Selama sepsis pemakaian lemak dan karbohidrat otot
mengalami gangguan, mengakibatkan pemecahan protein meningkat. Di samping itu sel-sel lebih
banyak memakai asam amino rantai cabang, misalnya glutamin, Glutamin merupakan asam
amino yang banyak diperlukan untuk jalur metabolisme.

Pemberian glukosa selama fase akut tidak dapat menekan pemecahan protein. Intake kalori dan
protein yang adekuat dapat mengurangi tetapi tidak dapat mencegah katabolisme pada pasien

Penilaian status nutrisi

695
Penilaian status nutrisi bisa dilakukan dengan menggunakan berbagai metode misalnya
subjective global assessment (SGA), berat badan, lingkar lengan atas, ekskresi kreatinin urin,
kadar albumin dan transferin dalam darah, dll

Pasien yang memerlukan perhatian khusus apabila mempunyai berat badan kurang dari 80%
berat normal, mengalami penurunan BB >10% dalam 6 bulan terakhir, hipoalbumin <3 g/dL atau
transferin <150 mg/dL, kulit lembek atau jumlah limfosit darah < 1200 sel/mL

Penilaian kebutuhan energi

Ada berbagai metode perhitungan energi, namun pada pasien sakit kritis umumnya cukup
diberikan 20-30 kcal/kg per hari dengan pertimbangan karena mengalami gangguan metabolisme
sel ; glukosa dan asam lemak tidak dapat dioksidasi secara sempurna.

Kebutuhan energi tersebut dipenuhi dengan komposisi : karbohidrat 30-70%, protein 15-20%
(1-2 gr/kg/hari), dan lemak 20-50%.

Nutrisi enteral

Pemberian nutrisi enteral adalah cara pemberian nutrisi melalui selang menuju saluran cerna.
Selang yang dipakai bermacam-macam, yaitu pipa nasogastrik, pipa orogastrik, pipa naso-
duodenal, gastrostomi, jejunostomi, dan ileostomi.

Keuntungan cara ini adalah integritas dan morfologis mukosa usus tetap terjaga, mengurangi
risiko translokasi bakteri, murah dan mudah.

Cara pemberian nutrisi secara kontinyu artinya diberikan terus menerus dalam 24 jam dengan
kecepatan konstan, dapat mengurangi risiko aspirasi. Untuk merangsang nafsu makan pasien,
beberapa ahli gizi tidak memberikan nutrisi pada malam hari saat tidur. Pemberian nutrisi enteral
intermiten, artinya nutrisi diberikan bertahap beberapa kali perhari. Biasanya satu kali
pemberian dilakukan dalam 20-30 menit menggunakan syring pump atau feeding bag.

Problema yang sering timbul dengan nutrisi enteral adalah diare, biasanya berhubungan dengan
hiperosmolaritas sediaan dan intoleransi laktosa. Problema lain yaitu retensi lambung dan residu
gaster yang berlebihan sehingga bisa menyebabkan aspirasi.

Nutrisi Parenteral

Cara pemberian nutrisi parenteral adalah pemberian nutrisi langsung ke pembuluh vena.
Pemberian nutrisi ini dibagi dalam 2 bagian, yaitu nutrisi parenteral perifer dan nutrisi parenteral

696
total (TPN). Syarat pemberain nutrisi parenteral adalah hemodinamik pasien dalam kondisi
stabil. Pada pemberian TPN sebaiknya melalui CVC karena osmolaritas sediaan biasanya cukup
tinngi.

Indikasi TPN adalah apabila saluran cerna mengalami obstruksi, atau saluran cerna tidak
berfungsi. Pemberian TPN memerlukan perhitungan komposisi yang lebih sulit karena harus
menyesuaikan antara volume cairan dan kandungan nutrisi di dalamnya. Komplikasi yang terjadi
disebabkan oleh faktor CVC atau komposisi nutrien. Komplikasi yang berkaitan dengan
komposisi yang tidak adekuat adalah hiperglikemia, hipoglikemia, hipertrigliseridemia, asidosis
metabolik, dan gangguan elektrolit.

Pemantauan pemberian nutrisi penting untuk meminimalkan komplikasi yang timbul.


Hiperglikemia dapat timbul karena tetesan infusi terlalu cepat, dapat diatasi dengan mengurangi
kecepatan tetesan. Apabila pasien mengalami sepsis, bisa diberikan insulin drip dan mengatasi
sepsisnya.

Hipoglikemia kadang-kadang terjadi karena infusi distop dalam waktu cukup lama, bisa diatasi
dengan pemberian D40%. Pemeriksaan elektrolit sebaiknya dilakukan setiap hari dan diatasi
dengan mengatur komposisi elektrolit pada nutrisi. Azotemia bisa terjadi pada pemberian asam
amino yang berlebihan, terapinya adalah mengurangi asupan asam amino atau bila tidak ada
masalah bisa diberikan tambahan air.

697
698
PENELITIAN
MODUL 37 :

Mengembangkan kompetensi Waktu

Sesi di dalam kelas Proposal penelitian disusun dan diajukan pada


permulaan semester 5
Sesi dengan fasilitasi pembimbing
Penelitian dilaksanakan selama semester 5-7
Sesi praktek dan pencapaian kompetensi
Ujian penelitian dilaksanakan sebelum atau
bersamaan dengan ujian akhir untuk spesialis.

PERSIAPAN SESI

Audiovisual aid:

1. LCD proyektor dan layar


2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart

Materi presentasi:

CD powerpoint

Sarana:

1. Ruang belajar
Penuntun belajar : lihat acuan materi

Daftar tilik kompetensi : lihat daftar tilik

Referensi :

1. Pitono S, Putra ST dan Harjanto. Filsafat Ilmu Kedokteran,GRAMIK FK Unair,2000.


2. Widodo JP, Herjanto Purnomo, Moch Hasan Machfoed. Metode Penelitian dan Statistik
Terapan, Airlangga University Press,1995
3. Arjatmo Tjokronegoro, Sumedi Sudarsono. Metodologi Penelitian Bidang Kedoteran,

699
Fakultas Kedokteran UI,1995
4. Beauchamp TL,Childress JF. Principle of Biomedical Ethic, Oxford University Press
1994
5. Sudigdo Sastroasmoro, Sofyan Ismael. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis,
Sagung Seto,2002
6. Matthews JR, Bowen JM, Matthews RW. Sumlessful scientific writing. Cambridge
University Press,2006 .

TUJUAN UMUM

Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik akan mampu menerapkan alur fikir ilmiah
dengan menggunakan pendekatan ilmu kedokteran dasar maupun klinis untuk meneliti
perproblemaan dalam bidang anestesiologi, perioperatif care,critical care dan penatalaksanaan
nyeri.

TUJUAN KHUSUS

Kognitif :

1. Mampu menjelaskan pengertian filsafat ilmu


2. Mampu melakukan identifikasi dan merumuskan problema yang mempunyai
kontribusi profesional (anestesiologi, perioperatif care, critical care dan
penatalaksanaan nyeri)
3. Mampu menerapkan alur fikir ilmiah dengan pendekatan ilmu dasar dan klinis untuk
meneliti perproblemaan klinis.
4. Mampu menyusun kerangka konsep dari penelitian
5. Mampu memilih metode penelitian yang sesuai
6. Mampu meng analisis dan mensintesis sumber ilmiah terkait
7. Mampu menerapkan prinsip evidence based dalam memilih sumber informasi
ilmiah
8. Mampu menetapkan analisis stastistik yang sesuai
9. Mampu menyimpulkan hasil penelitian dan menulis laporan penelitian
10. Mampu mempertahankan kesimpulan penelitian pada sidang ujian.

Psikomotor
1.Mampu melakukan pengambilan data penelitian

2.Mampu melakukan komunikasi interpersonal, pemeriksaan fisis maupun


laboratori atau pemeriksaan penunjang lain yang terkait dengan penelitian.

3.Mampu melatih bila diperlukan tim pendukung yang membantu proses penelitian

Komunikasi:

700
1.Mampu melakukan kolaborasi dengan tim pendukung penelitian

2.Mampu memberikan penjelasan kepada subjek penelitian

3.Mampu melakukan komunikasi efektif dengan pembimbing penelitian.

Profesional
1.Mampu bekerjasama dengan sesama sejawat anestetis, bidang ilmu lain, perawat,
maupun petugas kesehatan yang terlibat dalam pelaksanaan penelitian.

2.Mampu mempertahankan nilai etis dalam rancangan dan pelaksanaan penelitian.

3.Mampu memperlakukan subjek penelitian dengan etis dan penghargaan

4.Mampu membuat rancangan biaya dengan memperhitungkan cost benefit rasio dan
tenggat waktu.

KEYNOTES:

1. Perproblemaan yang dipilih harus researchable


2. Hasil penelitian selayaknya mempunyai kontribusi profesional
3. Feasibility dari segi waktu dan biaya harus dipertimbangkan
4. Memperhatikan aspek etik dan medicolegal

GAMBARAN UMUM

Untuk dapat membuat usulan penelitian dan menulis laporan penelitian (tesis) diperlukan
pengetahuan dan keterampilan dalam cara menulis laporan, pengetahuan metodologi penelitian,
filsafat penelitan, statistik, dan kejujuran dalam melakukan penelitian.

TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu membuat usulan penelitian, mengerti
tentang dasar penelitian dari mulai filsafat penelitian, metode, statistik untuk penarikan besar
sampel, dan statistik untuk melakukan uji data penelitian, serta mampu menarik kesimpulan
penelitian serta kegunaannya.

Pokok bahasan kuliah dan diskusi:

1.Filsafat ilmu

701
2.Bio-etik

3.Metodologi penelitian

4.Epidemiologi klinis

5.Statistika dan EBM

6.Penulisan karya ilmiah

METODE PEMBELAJARAN

- Kuliah interaktif
- Diskusi dengan dosen pembimbing anestetis
- Diskusi dengan dosen pembimbing bidang lain terkait penelitian(expert)
- Belajar mandiri

MEDIA

- Audiovisual
- Perpustakaan & e Library

ALAT BANTU PEMBELAJARAN

Usulan penelitian dan tesis yang sudah disetujui dan disidangkan.

EVALUASI

- Seminar pra penelitian


Seminar pra penelitian dilakukan untuk mengevaluasi usulan/proposal penelitian yang
telah disusun.

Evaluasi dilakukan oleh pembimbing maupun pakar terkait dari

anestesiologi maupun bidang ilmu lain yang terkait.

Proposal dapat langsung diterima atau diterima dengan perbaikan.

Selanjutnya penelitian dapat dilaksanakan setelah diperoleh ethical clearance dari


komisi etik rumah sakit.

- Seminar hasil penelitian


Seminar hasil penelitian dilakukan untuk mengevaluasi laporan penelitian

702
termasuk hasil penelitian.

Evaluasi dilakukan oleh pembimbing dan pakar dari anestesiologi maupun bidang
ilmu lain yang terkait.

Evaluasi ini akan menentukan apakah peserta didik dapat segera menempuh ujian
penelitian atau memerlukan perbaikan dengan menambah data yang diperlukan.

- Ujian
Ujian Penelitian dilakukan untuk menilai pola dan kemampuan berpikir ilmiah peserta
didik yang di refleksikan oleh kemampuan menganalisis dan menyimpulkam hasil
penelitian.

Pre-tes

1. Bagaimana cara membuat suatu judul penelitian, apa syaratnya bisa diteliti?
2. Apa yang ditulis dalam tema sentral problema?
3. Apa yang disebut metode deduksi dan induksi? Apa perbedaan dan keuntungan-
kerugiannya masing-masing?
4. Apa definisi hipotesis?
5. Apa yang disebut variabel? Terangkan tentang variabel bebas, variabel terikat, dan
variabel perancu!
6. Apa yang disebut definisi operasional variabel? Beri contohnya1
7. Bagaimana cara membuat hipotesis yang baik?
8. Bagaimana cara membuat premis yang baik?

DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR

Sudah Belum
No Daftar cek penuntun belajar
dikerjakan dikerjakan

STUDI LITERATUR

1 Mencari topik penelitian

2 Membuat judul yang merupakan hubungan variabel

3 Membuat latar belakang : alasan kenapa penelitian perlu


dilakukan

4 Membuat tema sentral problema

703
5 Membuat rumusan problema

6 Membuat maksud dan tujuan penelitian

7 Membuat kegunaan penelitian

8 Membuat kerangka pemikiran

9 Membuat premis dan hipotesis

10 Menentukan subjek penelitian, kriteria inklusi, eklui, drop


out

11 Menentukan variabel penelitian

12 Menentuka definisi operasional variabel

13 Menentukan besar sampel

14 Membuat narasi tata cara kerja

15 Maju UP di bagian

16 Maju UP di komite etik peneltian

17 Melakukan penelitian

18 Pengumpulan data

19 Uji statistik

20 Membuat tesis

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda

DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur
memuaskan standard atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama

704
penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal


Nama pasien No Rekam Medis

DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5

705
Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih
Layak
Tidak layak
melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

MATERI ACUAN

Cara membuat usulan penelitian dan menulis tesis

Usulan Penelitian (UP) adalah rencana penelitian tertulis yang bersifat formal, yang dapat
berbeda dari institusi ke institusi dan diperlukan untuk :

- Memperoleh persetujuan penelitian dari institusi tempat ia meneliti.

- Sebagai alat untuk menuntun peneliti dalam melaksanakan seluruh proses

penelitian.

- Untuk mengajukan permintaan dana.

5 Hal Pokok dalam menyiapkan UP adalah:

Latar belakang pengetahuan tentang topik yang diteliti.


Persoalan tentang maksud dan tujuan serta kegunaan penelitian.
Persoalan tentang data yang diperlukan.
Persoalan tentang penentuan sampel (teknik sampling).
Persoalan tentang teknik analisis data.

Pemilihan topik penelitian

Topik berada dalam jangkauan kemampuan


Cukup tersedia data yang diperlukan
Cukup penting untuk diteliti.
Cukup menarik untuk diteliti

706
Sistematika UP

Judul penelitian
Pendahuluan
Latar belakang penelitian

Rumusan problema

Maksud dan tujuan penelitian

Kegunaan penelitian

Tinjauan pustaka, kerangka pemikiran, premis, dan hipotesis


Subjek dan metode
Daftar pustaka.
Lampiran.

Judul

Judul merupakan identitas atau cermin dari keseluruhan isi dan proses kegiatan
penelitian yang akan dilakukan.
Judul perlu dinyatakan dengan menggunakan kata-kata yang jelas, singkat, dan
ekspresif, kalimat yang sederhana, kalau perlu dapat dibuat sub-judul.
Terdiri dari 2 variabel yang berkaitan: variabel bebas berkaitan dengan variabel terikat
Pendahuluan:
Latar belakang Penelitian

Pertama kali tentukan problemanya karena tidak semua problema kesehatan dapat
dikembangkan menjadi penelitian.
Syarat problema dapat diangkat jadi penelitian: kemampulaksanaan, menarik,
memberikan sesuatu yang baru, etis, serta relevan FINER (Feasible, Interesting,
Novel, Ethical, Relevant)
Feasible

Tersedia subjek penelitian


Tersedia dana
Tersedia waktu
Tersedia alat
Tersedia keahlian
Interesting, Novel, Ethical, Relevant

Interesting : problema hendaknya menarik bagi peneliti.


Novel : membantah atau mengkonfirmasi penelitian terdahulu, melengkapi-
mengembangkan hasil penelitian terdahulu, menemukan sesuatu yang
baruorisinalitas.
Ethical: tidak bertentangan dengan etikaharus ada persetujuan Komisi Etika Medis

707
Relevant: dg kemajuan ilmu, untuk tata- laksana pasien, dasar penelitian selanjutnya
Sumber problema penelitian

Studi kepustakaan
Hasil konferensi, seminar, simposium, lokakarya.
Pengalaman dalam praktek sehari-hari.
Pendapat pakar yang masih spekulatif.
Sumber non-ilmiah.
Apapun sumbernya problema akan ada kalau banyak membaca.
Apakah problema layak dan sesuai untuk diteliti ?

FINER
Pertimbangan dari arah problemanya: apakah akan memberi sumbangan pada
pengembangan teori dan pemecahan problema praktis.
Pertimbangan dari arah peneliti: biaya, waktu, alat dan perlengkapan, kemampuan
teoritis, penguasaan metode yang diperlukan.
Komponen yang harus nampak dalam latar belakang

Ada fenomena problema


Implikasi problema tersebut terhadap berbagai aspek
Pendekatan umum yang akan digunakan dalam meneliti problema.
Kegunaan umum dari problema yang akan diteliti.
Problemaalasan alternatif pemecahan problema.
Latar belakang.

Latar belakang situasional


Latar belakang kondisional
Apa tantangannya
jadi apa kepentingannya, untuk apa, apa dampak positifnya, dan ditekan

dampak negatifnya.

Buat tema sentral problema yang isisnya adalah latar belakang situasi, kondisi dan apa
tantangannya. Tantangan ini akan dijabarkan dalan rumusan problema.

Rumusan problema

Syaratnya : dikemukakan dalam kalimat tanya, substansi harus khas, bila terdapat
beberapa pertanyaan maka harus dipisah.
Dimulai dengan kalimat pembuka. Contoh:
1) berdasarkan uraian dalam latar belakang penelitian tersebut di atas dapat

dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

2) Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan, dapat dirumuskan dan

diidentifikasikan problema yang timbul yang patut diteliti, yaitu:

Contoh rumusan problema

708
Apakah tiopental dapat menurunkan metabolisme otak ?
Apakah obat A menurunkan curah jantung ?
Tidak disebutkan sbb:

1) Apakah tiopental mempunyai efek proteksi otak?

2) Apakah obat A mempengaruhi fungsi ventrikular kiri ?

Karena banyak parameter untuk menentukan fungsi ventrikular kiri atau proteksi otak.

Maksud dan tujuan penelitian

Kalimat positif, merupakan kebalikan dari kalimat tanya pada rumusan problema.
Didahului kata pembuka, misalnya: mengacu pada RM, maksud dan tujuan penelitian
ini adalah:.
Bila RM ada 2, maka maksud dan tujuan ada 2, dan hipotesis ada 2.
Kegunaan penelitian

Diuraikan manfaat apa yang diharapkan diperoleh dari penelitian yang dilakukan nanti.
Biasanya disebutkan manfaat dalam bidang akademik atau ilmiah, pelayanan
masyarakat serta pengembangan penelitian itu sendiri
Kerangka pemikiran

Mencari teori, konsep yang dijadikan landasan teoritis penelitian penelaahan


kepustakaan.
Sumber kepustakaan : sumber acuan umum (buku), sumber acuan khusus (jurnal,
buletin penelitian, tesis, disertasi, laporan penelitian lain)
Prinsipnya harus mutakhir dan relevan.
Premis dideduksi menjadi hipotesis
Dari premis diuraikan lebih luas menjadi bagian dari kerangka pemikiran.
Tidak semua penelitian perlu hipotesis (penelitian deskriptif).
Penelitian analitik : perlu hipotesis, karena mencari hubungan antar variabel.
Hipotesis

Adalah jawaban sementara terhadap problema penelitian yang kebenarannya masih


harus diuji secara empiris.
Dibuat secara induksi atau deduksi dari premis.
Premis merupakan pernyataan yang benar yang diambil dari buku, jurnal.
Pada deduksi ada premis mayor, premis minor dan simpulan (hipotesis)

Uji hipotesis

H0 adalah hipotesis yang menyatakan tidak adanya saling hubungan antara 2 variabel
atau tidak ada perbedaan antara kelompok satu dengan kelompok lainnya.
HA ((Hipotesis Alternatif) menyatakan adanya saling hubungan antara 2 variabel atau
ada perbedaan antara kelompok satu dengan lainnya.
Hipotesis penelitian boleh H0 atau HA

709
Sasaran uji statistik pada umumnya menolak H0 (menerima HA)

Syarat hipotesis yang baik

Dinyatakan dalam kalimat deklaratif yang jelas dan sederhana.


Mempunyai landasan teori yang kuat (ingat hipotesis dibuat berdasarkan premis)
Menyatakan hubungan antara variabel bergantung pada dengan satu atau lebih variabel
bebas
Memungkinkan diuji secara empirik
Rumusan harus khas dan menggambarkan variabel yang diukur
Dikemukakan apriori: dikemukakan sebelum penelitian dimulai

BAB III Subjek dan metode penelitian

Subjek penelitian
Pemilihan subjek : kriteria inklusi,

kriteria eksklusi, kriteria pengeluaran

Penentuan besar sampel

Metode penelitian
Tipe dan rancangan penelitian

Definisi konsepsional dan operasional variabel

Definisi konsepsional: variabel bebas, terikat, perancu

Definisi operasional :

Analisis data

Tata cara kerja penelitian

Pemilihan obat dan alat

Tata cara kerja

Tempat dan lama penelitian

Kriteria inklusi

Merupakan persyaratan umum yang harus dipenuhi oleh subjek penelitian.


Umumnya mencakup karakteristik klinis (misal ASA-I), demografis, geografis dan
periode waktu.
Yang sering dipakai diagnosis, jenis kelamin, kelompok umur, pasien yang datang dalam
periode waktu tertentu

710
Kriteria eksklusi

Keadaan yang menyebabkan subjek yang sudah memenuhi kriteria inklusi tidak dapat
diikutsertakan dalam penelitian.
Indikasi-kontra, terdapatnya penyakit lain yang mempengaruhi variabel yang diteliti,
kepatuhan pasien, pasien menolak diteliti, problema etik.

Kriteria pengeluaran

Sample sudah masuk inklusi kriteria, sudah dirandom, tapi karena sesuatu hal tidak
diikutkan dalam penelitian.
Dalam perhitungan statistik harus diikutkan.

Besar sampel

Bila ada 3 perlakuan:


t ( r-1 ) > 6

3 ( r-1) > 6

3r3 >6

3r >9

r >3

Gomes & Gomes : Principles and Procedure of Statistic.

Rule of thumb : setiap variabel 10 sampel.


(n-1)(t-1) 16
dll

Desain:

Hal penting sebelum menentukan jenis desain

Sejak pertama peneliti harus menentukan apakah akan melakukan penelitian


intervensi/eksperimental atau hanya observasi. Penelitian dibagi atas 2 macam:
observasional dan eksperimental. Observasional misalnya laporan kasus, serial kasus,
kohort, case control. Eksperimental misalnya RCT.

Bila memilih observasi tentukan apakah hanya pengamatan sewaktu (cross seksional)
atau melakukan follow up (studi longitudinal).
Apakah retrospektif atau prospektif.
Harus diingat jenis penelitian yang satu tidak lebih unggul dari yang lain. Jenis

711
penelitian dipilih berdasarkan tujuan penelitian.

Contoh desain penelitian

Penelitian eksperimental dengan RCT untuk mengetahui manfaat penambahan obat X


pada anestesia cedera ekstrimitas.
Penelitian ini merupakan studi cross seksional untuk menentukan prevalens miokarditis
pada pasien demam tifoid.

Definisi konsepsional variabel

Semua variabel yang diteliti harus diidentifikasi.


Variabel bebas (prediktor, kausa)
Variabel bergantung pada (keluaran efek)
Variabel perancu (confounding variable)

Variabel: contoh

Membandingkan pengaruh obat anestetik A dan B terhadap tekanan darah.


Variabel bebas : obat anestetik A dan B

Variabel bergantung pada: tekanan darah

Variabel perancu : faktor lain yang akan menurunkan tekanan darah bila diberi

obat A atau B, misalnya hipovolemia, payah jantung jadi pasien harus

normovolemia, tidak payah jantung

Definisi operasional variabel:

Supaya tidak ada makna ganda dari semua istilah yang digunakan.

Contoh:

1. Cedera kepala berat adalah cedera kepala yang pada pemeriksaan klinis
menunjukkan nilai GCS < 8.
2. Hipotensi adalah tekanan darah sistolik < 90 mmHg
3. Serebral iskemia adalah bila SJO2 < 50%

Rencana pengumpulan data: pengukuran dan alat ukur

Pengukuran adalah observasi fenomena dengan maksud agar dapat dilakukan analisis
menurut aturan tertentu.
Standarisasi cara pengukuran, pelatihan pengukur, penyempurnaan instrumen, kalibrasi
alat.
Contoh: gas darah dengan I-stat yang telah dikalibrasi dan dibandingkan dengan alat lain

712
yang telah dikalibrasi. Tekanan darah dilakukan secara noninvasif dengan tekanan darah
automatis.

Rencana pengolahan dan analisis data

Sebutkan analisa statistik yang digunakan, misal uji-t.


Tentukan batas kemaknaan yang dipakai. Signifikan bila p<0,05

Daftar Pustaka

Perhatikan cara penulisan kepustakaan yang diminta. Penulisan titik, titik koma, titik dua
harus diperhatikan.

Contoh:

1. Cooper KR, Boswell PA.Save use of PEEP in patient with severe head cedera. J
Neurosurg 1995;63(2):552-55.
2. Wilson RF. Trauma.In: Shoemaker WC, Thomson WL,eds.Textbook of Critical
Care. Philadelphia:WB Saunders;1984.877-912.

Prinsip: mengikuti pedoman yg dikeluarkan oleh organisasi internasional, contoh dari BJA

Referensi

1. Pitono S, Putra ST dan Harjanto. Filsafat Ilmu Kedokteran,GRAMIK FK Unair,2000.


2. Widodo JP, Herjanto Purnomo, Moch Hasan Machfoed. Metode Penelitian dan Statistik
Terapan, Airlangga University Press,1995
3. Arjatmo Tjokronegoro, Sumedi Sudarsono. Metodologi Penelitian Bidang Kedoteran,
Fakultas Kedokteran UI,1995
4. Beauchamp TL,Childress JF. Principle of Biomedical Ethic, Oxford University Press
1994
5. Sudigdo Sastroasmoro, Sofyan Ismael. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis,
Sagung Seto,2002
6. Matthews JR, Bowen JM, Matthews RW. Sumlessful scientific writing. Cambridge
University Press,2006 .

713
MODUL 39 :MANAJEMEN ANESTESIA KOMPREHENSIF

MODUL 39 : MANAJEMEN ANESTESIA


KOMPREHENSIF

Mengembangkan kompetensi Waktu (semester 7)

Sesi dalam kelas 5 x 2 jam (classroom session)

Sesi dengan fasiitas pembimbing 5 x 2 jam (coaching session)

Sesi praktek dan pencapaian kompetensi 24 pekan (facilitation & assessment)

Persiapan Sesi

Audiovisual Aid:
16. LCD proyektor dan layar
17. Laptop
18. OHP
19. Flipchart
20. Pemutar video
Materi presentasi: CD powerpoint
1. Rencana dan indikasi anestesia
2. Persiapan perioperatif pasien
3. Teknik anestesia umum, regional, kombinasi atau MAC
4. Penatalaksanaan pascabedah
5. Indikasi rawat intensif
6. Penatalaksanaan pasien rawat intensif
Sarana:
14. Ruang belajar
15. Ruang pemeriksaan
16. Kamar operasi elektif dan darurat
17. Ruang pulih
18. Bangsal rawat

714
19. ICU / HCU
Kasus : penatalaksanaan pasien langsung di ruang rawat, kamar pemeriksaan, kamar operasi elektif ,
IGD dan rawat jalan, ruang radiologi, ruang endoskopi, ICU
Alat bantu latih : model anatomi /simulator tidak ada
Penuntun belajar : lihat materi acuan
Daftar tilik kompetensi : lihat daftar tilik
Referensi :
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 3th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2002
2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006
3. Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005
4. Martini FH. Fundamental of Anatomy & Physiology. 7th ed. 2006
5. Fink MP et al. Textbook of Critical Care, 5th ed, Philadelphia : Elsevier Saunders ; 2005
6. Oh TE. Intensive Care Manual, 5th ed, London : Elsevier Science ; 2005
7. Critical Care Handbook of the Massachusetts General Hospital, 4th ed, Philadelphia : Lipincott
William & Wilkins ; 2006

Tujuan Pembelajaran Umum

Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan memiliki pengetahuan dan keterampilan melakukan
penatalaksanaan kasus-kasus yang kompleks; baik pasien dengan tingkat komorbid yang tinggi maupun
teknik pembedahan yang sangat kompleks atau keduanya, dan melakukan manajemen dan supervisi
terhadap residen yang lain

Tujuan Pembelajaran Khusus

Setelah melalui sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi berikut ini:

1. KOMPETENSI

Mampu melakukan penatalaksanaan perioperatif dan pembiusan pada seluruh jenis kasus, dan
penatalaksanaan pasien rawat intensif.

RANAH KOMPETENSI

Setelah melalui sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan:

Kognitif:

1. Menjelaskan rencana anestesia pada seluruh jenis kasus.


2. Menjelaskan persetujuan setelah mendapatkan informasi yang adekuat pada seluruh jenis kasus.

715
3. Menjelaskan teknik manajemen dan supervisi yang sesuai.
4. Menjelaskan prinsip-prinsip konsultasi yang benar.
5. Menjelaskan indikasi rawat intensif.
6. Menjelaskan penatalaksanaan dan manajemen pasien rawat intensif.

Psikomotor :

1. Melakukan sebagian besar teknik anestesia umum.


2. Melakukan sebagian besar teknik analgesia regional
3. Memberikan anestesia pada kasus yang kompleks: komorbid tinggi, teknik operasi yang sulit.
4. Melakukan penatalaksanaan pascabedah termasuk nyeri pascabedah.
5. Melakukan penatalaksanaan pasien kritis di unit perawatan intensif.
6. Melakukan pengaturan, pembagian tugas dan supervisi terhadap semua tindakan anestesia yang
dilakukan residen lain.

Komunikasi/Hubungan Interpersonal

1. Melakukan komunikasi dan menciptakan kondisi kerja yang baik dengan seluruh tim.
2. Melakukan komunikasi yang baik dengan staf konsulen, rekan ahli bedah dan personel kamar
bedah yang lain.
3. Melakukan komunikasi yang baik dengan dokter disiplin lain, melakukan konsultasi terutama
untuk kasus yang sulit.
4. Melakukan komunikasi yang baik dengan dokter disiplin lain, konsultasi dengan konsulen,
kerjasama dengan tim perawat unit perawatan intensif.
5. Melakukan komunikasi yang baik dan persetujuan setelah menerima informasi yang adekuat
dengan pasien dan keluarganya.

Profesionalisme :

7. Mampu bekerja sesuai prosedur.


8. Mampu berinteraksi dengan sejawat lain maupun tenaga paramedis dan tenaga kesehatan lain
atas dasar menghargai kompetensi masing masing.
9. Mampu melakukan pekerjaan secara efisien.

2. KEYNOTES

1. Keterampilan dasar anestesiologi


2. Kedokteran perioperatif
3. Persiapan anestesia
4. Post Anestesia Care Unit (PACU)
5. Anestesia Bedah Umum dan Digestif
6. Anestesia Bedah Ortopedi
7. Anestesia Bedah Onkologi dan Bedah Plastik
8. Anestesia Bedah Urologi
9. Anestesia Obstetri Ginekologi
10. Anestesia Bedah THT
11. Anestesia Bedah Mata

716
12. Anestesia Bedah Pediatrik
13. Anestesia Bedah Neuro
14. Anestesia Kardiotorasik
15. Anestesia Rawat Jalan
16. Anestesia Bedah Darurat
17. Anestesia Bedah Invasif Minimal
18. Anestesia Di luar Kamar Bedah
19. Anestesia dan Penyakit Khusus
20. Penatalaksanaan Nyeri
21. Analgesia regional
22. Traumatologi
23. Intensive Care

3. GAMBARAN UMUM

Manajemen anestesia komprehensif merupakan suatu metode pembelajaran di mana peserta didik sudah
melewati semua tahap pembelajaran teknik pembiusan berbagai macam kasus dan teknik operasi dari
yang mudah sampai yang kompleks serta melewati tahap pembelajaran di unit perawatan intensif.
Selama 1 semester (24 pekan) peserta didik bertanggung jawab untuk mengatur pembagian tugas dan
melakukan supervisi terhadap peserta didik yang lain (terutama yang lebih junior) dalam penatalaksanaan
anestesia maupun perawatan intensif semua jenis kasus. Selain itu peserta didik juga melakukan tindakan
anestesia dan perawatan intensif secara mandiri di rumah sakit pendidikan utama dan rumah sakit
pendidikan yang lain.

4. TUJUAN PEMBELAJARAN

Setelah proses alih pengetahuan, keterampilan dan perilaku melalui modul ini, diharapkan peserta didik
memiliki kemampuan untuk:

1. Melakukan sebagian besar teknik anestesia umum secara mandiri.


2. Melakukan sebagian besar teknik analgesia regional secara mandiri.
3. Memberikan anestesia pada kasus yang kompleks: komorbid tinggi, teknik operasi yang sulit
atau keduanya.
4. Melakukan penatalaksanaan pasien kritis di unit perawatan intensif.
5. Melakukan penatalaksanaan dan manajemen pasien rawat intensif.
6. Melakukan pengaturan, pembagian tugas dan supervisi terhadap semua tindakan anestesia yang
dilakukan residen lain.

5. METODE PEMBELAJARAN

Peserta didik sudah harus mempelajari:

1. Bahan acuan
2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran
3.Ilmu klinis dasar

717
Tujuan 1 : Melakukan sebagian besar teknik anestesia umum secara mandiri.

Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktek klinis
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Teknik anestesia umum dengan obat intravena, inhalasi dengan sungkup muka, LMA, intubasi
dan MAC (lihat modul keterampilan dasar anestesia, anestesia umum)
2. Teknik pemantauan dan pemasangan akses vaskular seperti kanulasi vena, arterial, kanulasi vena
sentral (lihat modul keterampilan dasar anestesia)

Tujuan 2 : Melakukan sebagian besar teknik analgesia regional secara mandiri.

Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktek klinis
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Teknik analgesia regional neuroaksial seperti subarahnoid, epidural, kaudal (lihat modul
analgesia regional)
2. Teknik blok ekstremitas atas seperti blok skalenus, blok pleksus brakialis, blok aksilaris, blok
radialis dan ulnaris (lihat modul analgesia regional)
3. Teknik blok ekstremitas bawah seperti blok skiatik, femoral, pudendal, politea, ankle blok

Tujuan 3 : Memberikan anestesia pada kasus yang komplekss: komorbid tinggi, teknik operasi
yang sulit atau keduanya.

Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktek klinis
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:

718
1. Teknik balanced anesthesia, opioid based balanced anesthesia, terutama untuk pasien dengan
komorbid tinggi atau ketidakstabilan hemodinamik.
2. Teknik penatalaksanaan jalan nafas terutama pada pasien dengan jalan nafas sulit
3. Teknik anestesia kombinasi (umum dan regional)
4. Teknik anestesia untuk operasi dengan teknik khusus dan sulit (tumor jalan nafas, operasi besar
digestif, operasi vaskular besar, bedah torasik, operasi transplantasi)

Tujuan 4 : Melakukan penatalaksanaan pasien kritis di unit perawatan intensif.

Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktek klinis
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Prinsip umum kedokteran perawatan intensif, indikasi masuk ICU dan dapat melakukan
identifikasi pasien yang berisiko gagal organ
2. Keterampilan melakukan resusitasi dan stabilisasi pasien kritis
3. Keterampilan menegakkan diagnosis pasien kritis, tindakan stabilisasi, penilaian, penatalaksanaan
pasien dan investigasi rutin setiap hari.

Tujuan 5 : Melakukan penatalaksanaan dan manajemen pasien rawat intensif.

Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktek klinis
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Proaktif melakukan koordinasi dan supervisi kegiatan peserta didik lain di ICU terutama yang
lebih junior.
2. Pendidikan dan pengajaran kepada petugas, mahasiswa kedokteran maupun paramedis di ICU.
3. Pengetahuan umum organisasi penatalaksanaan ICU.
4. Kemampuan untuk bekerjasama dan konsultasi dengan konsulen maupun ahli disiplin limu yang
lain.
Tujuan 6: Melakukan pengaturan, pembagian tugas dan supervisi terhadap semua tindakan
anestesia yang dilakukan residen lain.

Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion

719
3. Peer assisted learning (PAL)
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktek klinis
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Pengetahuan mengenai sistem dan jadwal semua jenis operasi dan tindakan lain yang
memerlukan tindakan anestesia, MAC maupun perawatan intensif.
2. Kemampuan melakukan pembagian tugas dan supervisi terhadap semua tindakan anestesia yang
dilakukan peserta didik terutama yang lebih junior.
3. Bertanggung jawab, membuat laporan dan bila perlu memberi sangsi bila ada yang melakukan
pelanggaran dari tugas yang telah diatur.
4. Kemampuan melakukan komunikasi dan lingkungan kerja yang baik antar sesama peserta didik,
konsulen maupun rekan disiplin lain.

6. MEDIA

1. Kursus / pelatihan
Pelatihan di skill lab intubasi, LMA pada manikin

2. Belajar mandiri
3. Kuliah
Kuliah khusus mengenai penatalaksanaan dan problema dari kasus

tiap stase/modul pembelajaran

4. Diskusi kelompok
a. Laporan dan diskusi tentang problema perioperatif elektif maupun darurat
b. Penatalaksanaan pasien unit perawatan intensif
c. Organisasi, pembagian tugas dan supervisi peserta didik
d. Pendidikan dan pengajaran mahasiswa kedokteran, perawat maupun peserta didik yang
lebih junior
5. Pemeriksaan preoperatif
6. Bimbingan pembiusan dan asistensi di kamar operasi
a. Pelatihan anestesia umum dan regional di kamar bedah elektif maupun darurat secara
mandiri
b. Untuk kasus kompleks atau teknik operasi dan pembiusan yang sulit mendapat
bimbingan dan pengawasan staf pengajar.
7. Tugas baca dan tulisan (tinjauan pustaka, journal reading)
8. Laporan kasus, morbiditas dan mortalitas
9. Continuing Professional Development (CPD)

7. ALAT BANTU PEMBELAJARAN

Perpustakaan, internet, skill lab

8. EVALUASI

720
8.1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-tes dalam bentuk esai dan lisan untuk menilai kinerja awal
peserta didik dan melakukan identifikasi kekurangan yang ada. Materi pre-tes terdiri atas :

1. Pemilihan/seleksi pasien semua jenis operasi untuk kasus sederhana maupun dengan penyulit
2. Persiapan preoperatif
3. Pemilihan teknik anestesia dan penggunaan obat yang sesuai untuk semua kasus terutama kasus
kompleks
4. Penatalaksanaan anestesia umum dan regional
5. Pemantauan
6. Penatalaksanaan pasca-anestesia
7. Indikasi dan penatalaksanaan intensif pasien rawat

8.2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang teridentifikasi,
membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.

8.3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam penuntun belajar pada
manikin anestesia bersama teman-temannya (peer assisted learning), dievaluasi oleh teman-
temannya (peer assisted evaluation).

8.4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di bawah pengawasan
fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien sesungguhnya. Pada saat pelaksanaan,
evaluator melakukan pengawasan langsung dan mengisi lembar penilaian:

- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak dilakukan

- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya tindakan anestesia tidak
mulus sehingga kurang memberi kenyamanan kepada pasien

- Baik : pelaksanaan benar, baik dan efisien

8.5. Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.

8.6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun belajar.

8.7. Pendidik/fasilitator melakukan :

- Pengamatan langsung dengan memakai ceklis evaluasi (terlampir)

- Diskusi dan penjelasan lisan dari peserta didik

- Kriteria penilaian keseluruhan : baik/cukup/kurang

8.8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan atau diberi
tugas untuk memperbaiki kinerja.

8.9. Pencapaian pembelajaran :

Isi pre-tes :

721
1. Jelaskan prinsip persiapan anestesia untuk elektif dan darurat.
2. Jelaskan perbedaan penatalaksanaan anestesia dan pasca anetesia untuk operasi elektif dan
darurat
3. Jelaskan teknik pembiusan dengan balanced anesthesia dan opioid base balanced anesthesia
4. Jelaskan algoritma penatalaksanaan jalan nafas sulit
5. Jelaskan pemantauan apa saja yang dapat dilakukan selama tindakan anestesia
6. Jelaskan dampak posisi pasien selama operasi khusus (terlungkup, miring, lumbotomi,
trendelenburg, anti-trendelenburg, litotomi)
7. Jelaskan penanggulangan nyeri pascabedah operasi besar atau khusus
8. Jelaskan penatalaksanaan pernafasan pascabedah operasi besar atau khusus
9. Jelaskan indikasi perawatan intensif
10. Jelaskan prinsip-prinsip resusitasi dan stabilisasi pasien kritis
11. Jelaskan cara dan isi persetujuan setelah mendapatkan informasi yang adekuat dan benar

Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).

Bentuk ujian :

- Ujian akhir stase/ rotasi pos-tes tulis dan ujian pasien


- Ujian akhir profesi
Bisa dalam bentuk :

1. Pengetahuan kognitif

- MCQ
- EMQ
Ujian lisan

- Multiple observation and assessments


- OSCE
- Minicheck
2. Skill

-Multiple observation and assessments


-
Multiple observers
-
OSCE
-
Minicheck
3.Communication and Interpersonal Skills

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers
4.Profesionalisme

- Multiple observation and assessments


- Multiple observers

722
9. DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA

Tindakan / operasi :

No Daftar cek penuntun belajar tindakan anestesia dan


perawatan intensif

Memahami Resusitasi dan Stabilisasi Awal Sudah Belum


dilakukan dilakukan

1. Diagnosis kondisi mengancam nyawa termasuk henti


jantung-paru

2. Cara2 melakukan resusitasi kardiopulmoner

3. Memahami penatalaksanaan segera pasien-pasien darurat


medis (gagal nafas akut, asma akut, PPOK, hipertensi,
infark miokard akut, gagal jantung, hipotensi, syok,
gangguan irama jantung, penurunan kesadaran)

4. Cara2 menjaga jalan nafas bebas termasuk intubasi trakeal


pada pasien kritis

5. Cara2 melakukan nafas buatan

6. Cara mencegah dan menangani aspirasi pnemonia karena


muntahan

7. Penatalaksanaan jalan nafas sulit dan kegagalan intubasi

8. Penatalaksanaan jalan nafas pada cedera kepala lambung


penuh, obstruksi jalan nafas, syok

9. Farmakologi obat-obat anestetik, resusitasi, dan obat-obat


untuk keadaan kritis

10. Farmalokogi obat-obat sedatif, analgesia dan pelumpuh


otot.

11. Tanda2 dan penatalaksanaan reaksi anafilaksis dan


anafilaktoid

12. Problema pada pasien obesitas atau imobilitas

13. Cara2 melakukan akses vaskular yang cepat dan aman

PENILAIAN KLINIS PRA ANESTESIA

723
1. Manfaat anamnesis untuk diagnosis

2. Pemeriksaan fisis termasuk pasien kritis

3. Reaksi inflamasi dalam kaitan disfungsi sistem organ

4. Dampak terapi obat terhadap fungsi sistem organ

5. Infeksi dan hubungannya dengan respons inflamasi

6. Patogenesis disfungsi organ multipel

7. Prinsip2 pencegahan disfungsi organ multipel

Memahami investigasi, interpretasi data dan diagnosis

1. Memahami pemeriksaan laboratori yang sesuai

2. Keuntungan dan kerugian pemeriksaan laboratori

3 Indikasi dan interpretasi dasar pemeriksaan2 : EKG,


ECHO, USG, gas darah, tes fungsi paru, foto toraks, foto:
kepala, vertebra dan iga2, level cairan bebas di abdomen,
CT scan, MRI, mikrogrambiologi, keseimbangancairan,
hematologi, urea/kreatinin, elektrolit (Na, K, Ca, Mg), tes
fungsi hati, kadar obat dalam darah, fungsi
endokrin:diabetes, gangguan tiroid, gagal adrenal.

PERSIAPAN PRA ANESTESIA

1. Menentukan ASA

2. Persiapan alat, mesin pembiusan, STATICS, obat

3. Pemasangan monitor non-invasif dan invasif

4. Interpretasi hasil monitor

ANESTESIA

1. Anestesia umum (intubasi, LMA)

2. Analgesia regional

3. Anestesia intravena dan MAC

4. Pemberian cairan dan transfusi

5. Pemantauan fungsi vital, kesadaran, kardiovaskular,


pernafasan. Tekanan darah, nadi, saturasi Hb (SpO2),
ventilasi (ETCO2 bila ada), jumlah urin, suhu

724
6. Pengakhiran anestesia, masa siuman

7. Tindakan ekstubasi

8. Komplikasi dan penanganannya

PENATALAKSANAAN PASCABEDAH

1. Pengawasan ABC dan tanda vital pascabedah

2. Penanganan komplikasi, respirasi, kardiovaskular,


kesadaran, metabolik, gastrointestinal (mual muntah) dan
nyeri pascabedah

3. Penetapan kriteria untuk boleh kembali ke ruang rawat


biasa atau ICU

Memahami dukungan sistem organ dan prosedur


praktis terkait di ICU

1. Indikasi ventilasi mekanis

2. Modus ventilasi mekanis dasar (SMV, SIMV, PS,CPAP)

3. Modus ventilasi mekanis lanjut (PCV, PSV, BiPAP,

NIV)

4. Komplikasi ventilasi mekanis dan penatalaksanaannya

5. Deteksi dan penatalaksanaan pneumotoraks

6. Indikasi bronkoskopi

7. Prinsip penyapihan dari ventilasi mekanis

8. Kanulasi vena perifer dan sentral

9. Punksi dan kateterisasi arterial

10. Penggunaan inotropik, kronotropik, vasodilator,


vasokonstriktor,

11. Penggunaan kristaloid, koloid, darah dan produk darah

12. Prinsip IABP, TEE, Esofageal Dopler, transvenous


cardiac pacing

13. Cara2 mencegah gagal ginjal

14. Investigasi gangguan fungsi ginjal

15. Obat-obat nefrotoksik

725
16. Penyesuaian dosis obat pada gagal ginjal

17. Renal Replacement Therapy

18. Prinsip2 penilaian status nutrisi pada pasien ICU

19. Prinsip2 nutrisi enteral dan parenteral pasien ICU

20. Kanulasi pipa nasogastrik, nasojejunal

21. Insersi pipa sengstaken

22. Pencegahan tukak lambung

23. Prinsip2 dukungan gagal hepar

24. Teknik mencegah translokasi mikrogramba

25. Prinsip2 penatalaksanaan cedera kepala tertutup

26. Prinsip2 penatalaksanaan peningkatan tekanan intrakranial

27. Prinsip2 penatalaksanaan cedera spinal

28. Pencegahan pressure sores

29. Kebutuhan surveillance mikrogrambiologi

30. Pemakaian antibiotik yang benar

Memahami pemantauan dan pengukuran klinis

1. Peran penilaian klinis dalam pemantauan

2. Indikasi dan indikasi kontra penggunaan alat monitor

3. Interpretasi informasi dari alat monitor

4. Identifikasi penyebab error alat

5. Prinsip monitor minimal

6. Komplikasi akibat alat monitor

7. Cara2 mengukur suhu

8. Cara2 menilai nyeri dan sedasi

9. Cara menilai sistem skoring keparahan penyakit

10. Glasgow Coma Scale

11. Pemantauan kadar obat

726
Memahami penggunaan alat secara aman

1. Alat-alat untuk jalan nafas, jalan nafas, LMA, ETT, terapi


oksigen, bag, humidifikasi, nebulizer

2. Ventilator invasif dan non-invasif dan amlessoriesnya

3. Alat-alat monitor dan asesorisnya

4. Pembersihan dan sterilisasi alat

5. Keamanan kelistrikan

6. Jarum2 untuk akses vaskular, spinal, epidural, toraks

7. Alat-alat resusitasi, defibrilator dan alat transfusi

8. Alat-alat untuk hemofiltrasi

9. Alat bronkoskopi

10. Alat ECHO

Memahami kondisi medis dan penatalaksanaan

1. Gagal nafas oksigenasi

2. Gagal nafas ventilasi

3. ALI, ARDS

4. Obstruksi jalan nafas

5. Pneumonia nosokomial

6. Ventilator- associated pneumonia

7. Pneumonia aspirasi

8. Asma

9. PPOK

10. Edema paru kardiogenik

11. Efusi pleura, pneumotoraks (simple, tension)

12. Syok hipovolemik

13. Syok kardiogenik

14. Hipotensi, Hipertensi

15. Infark miokard akut

727
16. Gagal jantung kiri

17. Gagal jantung kanan

18. Hipertensi pulmonal

19. Gangguan irama jantung

20. Henti jantung

21. Oliguria, anuria, poliuria

22. Gagal ginjal akut

23. Urosepsis

24. Confusion dan koma

25. Traumatic brain cedera

26. Spontaneous intrakranial hemorrhage

27. Subarahnoid hemorrhage

28. Hypoxic brain damage

29. Kejang, status epileptikus

30. Meningitis, ensefalitis

31. Neuro muskular (Guillain-Barre, miastenia gravis, tetanus,


hiperpireksia malignan)

32. Cedera spinal

33. Mati batang otak

34. Gangguan koagulasi

35. Pasien immunocompromised

36. DIC

37. Gangguan elektrolit, Na, K,

38. Gangguan elektrolit Ca, Mg

39. Kegawatan pada diabetes melitus

40. Gangguan tiroid

41. Keracunan akut

42. Preeklamsia, eklamsia, sindroma HELLP

728
43. Perdarahan peripartum

44. Gangguan jantung pada kehamilan.

45. SIRS, sepsis, sepsis berat, syok septik

46. Pireksia dan hipotermia

TRANSPORTASI PASIEN KRITIS

1. Prinsip2 transfer pasien kritis dengan aman

2. Mengerti pemantauan saat transportasi.

ASUHAN AKHIR KEHIDUPAN

1. Prinsip2 etika dasar

2. Penundaan dan penarikan terapi bantuan hidup

3. Membuat keputusan

4. Cara2 menilai atau mengukur kualitas hidup

Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda ( )

10. DAFTAR TILIK

Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan memuaskan,
dan berikan tanda X bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak dilakukan pengamatan

Memuaskan Langkah / tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau penuntun

X Tidak memuaskan Tidak mampu untuk mengerjakan langkah /tugas sesuai dengan Prosedur
standard atau penuntun

T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dialakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih

Nama peserta didik Tanggal

Nama pasien No Rekam Medis

729
No DAFTAR TILIK Kesempatan ke
Kegiatan / langkah klinis 1 2 3 4 5

Peserta dinyatakan: Tanda tangan pelatih

Layak

Tidak layak

Melakukan prosedur

Tanda tangan dan nama terang

11. MATERI ACUAN:

730
Modul manajemen anestesia komprehensif ini merupakan tahap pembelajaran setelah peserta didik
melewati semua tahap stase anestesia maupun perawatan intensif (ICU). Modul ini memerlukan waktu
selama 1 semester (24 pekan) dan merupakan modul integrasi dari semua modul yang harus dikuasai
oleh peserta didik.

Selama menjalani tahap ini peserta didik pertama kali harus dapat membuat rencana manajemen yang
akan mereka lakukan selama 24 pekan ke depan yang meliputi pembagian tugas, pelaksanaan pelayanan
anestesia untuk semua kasus yang sederhana maupun yang kompleks, baik kasus yang ringan, komorbid
tinggi atau teknis operasi yang sulit.

Selain itu peserta didik harus aktif melakukan pengajaran dan supervisi terhadap peserta didik yang lebih
junior dan mahasiswa kedokteran. Bila terjadi pelanggaran dari tugas yang telah ditentukan peserta didik
dalam tahap ini harus dapat bertanggung jawab, membuat laporan dan bila perlu memberikan sangsi.

Selama tahap ini peserta didik diharapkan sudah mampu melakukan sebagian besar teknik anestesia
umum, regional, MAC secara mandiri baik di rumah sakit pendidikan utama maupun rumah sakit
pendidikan yang lain. Selain pelayanan anestesia peserta didik selama tahap ini juga diharapkan mampu
melakukan penatalaksanaan pasien di ruang perawatan intensif secara mandiri.

Secara terperinci dalam tahap pembelajaran ini peserta didik telah mampu melakukan resusitasi dan
stabilisasi awal yang meliputi diagnosis kondisi mengancam nyawa termasuk henti jantung-paru, cara
melakukan resusitasi kardiopulmoner, penatalaksanaan segera pasien-pasien darurat medis (gagal nafas
akut, asma akut, PPOK, hipertensi, infark miokard akut, gagal jantung, hipotensi, syok, gangguan irama
jantung, penurunan kesadaran), dapat menjaga jalan nafas bebas termasuk intubasi trakea pada pasien
kritis, melakukan nafas buatan, mencegah dan menangani aspirasi pnemonia karena muntahan,
penatalaksanaan jalan nafas sulit dan kegagalan intubasi, penatalaksanaan jalan nafas pada cedera kepala
lambung penuh, obstruksi jalan nafas, syok, mengenali tanda dan penatalaksanaan reaksi anafilaksis dan
anafilaktoid, problema pada pasien obesitas atau imobilitas, dapat melakukan akses vaskular yang cepat
dan aman, dan memiliki pengetahuan mengenai farmakologi obat-obat anestetik, resusitasi, obat anti
aritmia, inotropik, vasopresor, sedasi, analgesia dan pelumpuh otot. Dalam penilaian klinis pra anestesia
peserta didik dapat melakukan dan melakukan penilaian dari anamnesis untuk diagnosis, pemeriksaan
fisis termasuk pasien kritis, mengenali reaksi inflamasi dalam kaitan disfungsi sistem organ, mengetahui
dampak terapi obat terhadap fungsi sistem organ, menegakkan diagnosis infeksi dan hubungannya dengan
respons inflamasi, mengetahui patogenesis disfungsi organ multipel dan prinsip pencegahan disfungsi
organ multipel.

Peserta didik juga harus memahami berbagai pemeriksaan, dapat melakukan interpretasi data dan
menegakkan diagnosis berdasarkan pemeriksaan laboratori yang sesuai dan sesuai indikasi seperti: EKG,
ECHO, USG, gas darah, tes fungsi paru, foto toraks, foto: kepala, vertebra dan iga-iga, level cairan
bebas di abdomen, CT scan, MRI, mikrogrambiologi, keseimbangan cairan, hematologi, urea/kreatinin,
elektrolit (Na, K, Ca, Mg), tes fungsi hati, kadar obat dalam darah, fungsi endokrin:diabetes, gangguan
tiroid, gagal adrenal.

Sebelum melakukan tindakan anestesia dilakukan penentuan ASA, persiapan alat, mesin pembiusan,
STATICS, obat, pemasangan monitor non-invasif dan invasif dan interpretasi hasil monitor.

731
Secara mandiri peserta didik dapat melakukan sebagian besar teknik anestesia umum (intubasi, LMA),
analgesia regional, anestesia intravena dan MAC untuk semua kasus baik yang sederhana maupun yang
disertai penyulit , melakukan pemberian cairan dan transfusi, pemantauan fungsi vital, kesadaran,
kardiovaskular, pernafasan seperti tekanan darah, nadi, saturasi Hb (SpO2), ventilasi (ETCO2 bila ada),
jumlah urin, suhu. Dapat melakukan pengakhiran anestesia dan masa siuman yang mulus, melakukan
tindakan ekstubasi dengan aman, mencegah dan menangani komplikasinya. Peserta didik juga
bertanggung jawab atas penatalaksanaan pascabedah meliputi pengawasan ABC dan tanda vital
pascabedah, penanganan komplikasi, respirasi, kardiovaskular, kesadaran, metabolik, gastrointestinal
(mual muntah), penanganan nyeri pascabedah dan penetapan kriteria untuk boleh kembali ke ruang
rawat biasa atau ICU.

Tindakan memberi bantuan sistem organ dan prosedur praktis terkait di ICU yang harus difahami dan
dapat dilakukan adalah pemahaman indikasi ventilasi mekanis, modus ventilasi mekanis dasar (SMV,
SIMV, PS,CPAP), modus ventilasi mekanis lanjut (PCV, PSV, BiPAP, NIV), komplikasi ventilasi
mekanis dan penatalaksanaannya, deteksi dan penatalaksanaan pneumotoraks, indikasi bronkoskopi,
prinsip penyapihan dari ventilasi mekanis, pemasangan kanulasi vena perifer dan sentral, punksi dan
kateterisasi arterial, penggunaan inotropik, kronotropik, vasodilator, vasokonstriktor, pemberian
kristaloid, koloid, darah dan produk darah, prinsip IABP, TEE, Esofageal Dopler, transvenous cardiac
pacing, pencegahan gagal ginjal, monitor fungsi ginjal, pengawasan pemberian obat nefrotoksik,
penyesuaian dosis obat pada gagal ginjal, Renal Replacement Therapy, penilaian status nutrisi dan
pemberian nutrisi enteral dan parenteral pasien ICU, kanulasi pipa nasogastrik, nasojejunal, pencegahan
tukak lambung, prinsip support gagal hepar, pencegahan translokasi mikrogramba, penatalaksanaan
cedera kepala tertutup, penatalaksanaan peningkatan tekanan intrakranial, penatalaksanaan cedera spinal,
pencegahan pressure sores, surveillance mikrogrambiologi dan pemakaian antibiotik yang benar. Peserta
didik harus melakukan pemantauan dan memiliki pengetahuan mengenai indikasi dan indikasi kontra
penggunaan alat monitor, interpretasi informasi dari alat monitor, identifikasi penyebab error alat, prinsip
monitor minimal, komplikasi akibat alat monitor, pengukuran suhu, penilaian nyeri dan sedasi, penilaian
sistem skoring keparahan penyakit, Glasgow Coma Scale pemantauan kadar obat. Penggunaan alat
secara aman seperti alat untuk jalan nafas, jalan nafas, LMA, ETT, terapi oksigen, bag, humidifikasi,
nebulizer, ventilator invasif dan non-invasif dan asesorisnya, alat monitor dan asesorisnya, pembersihan
dan sterilisasi alat, keamanan kelistrikan, alat resusitasi, defibrilator dan alat transfusi, alat hemofiltrasi,
bronkoskopi dan ECHO. Pemahaman kondisi medis dan penatalaksanaan pasien kritis yang harus
dikuasai adalah gagal nafas oksigenasi, gagal nafas ventilasi, ALI, ARDS, obstruksi jalan nafas,
Nosocomial pneumonia, Ventilator- associated pneumonia, Aspirasion pneumonia, asma, PPOK, edema
paru kardiogenik, efusi pleura, pneumotoraks (simple, tension), syok hipovolemik, syok kardiogenik,
hipotensi, hipertensi, infark miokard akut, gagal jantung kiri, gagal jantung kanan, hipertensi pulmonal,
gangguan irama jantung, henti jantung, oliguria, anuria, poliuria, gagal ginjal akut, urosepsis, confusion
dan koma, traumatic brain injury, spontaneous intrakranial hemorrhage, subarahnoid hemorrhage,
hypoxic brain damage, miastenia gravis konvulsion, status epilepticus, meningitis, ensefalitis, mati
batang otak, neuromuskular (Guillain-Barre, tetanus, malignant hyperpyrexia), cedera spinal , gangguan
koagulasi, pasien immunocompromised, DIC, gangguan elektrolit, Na, K, gangguan elektrolit Ca, Mg,
kegawatan pada diabetes melitus, disfungsi tiroid, keracunan akut, preeklamsia, eklamsia, sindroma
HELLP, perdarahan peripartum, gangguan jantung pada kehamilan, SIRS, sepsis, severe sepsis, syok
septik, pireksia dan hipotermia. Peserta didik dapat melakukan transportasi pasien kritis berdasarkan
prinsip transfer pasien kritis dengan aman dan mengerti pemantauan saat transportasi. Sasaran terakhir

732
adalah pengetahuan tentang asuhan akhir kehidupan yang meliputi prinsip etika dasar, penundaan dan
penarikan terapi bantuan hidup, pengambilan keputusan dan penilaian kualitas hidup.

Pada pasien yang sudah tidak punya harapan hidup lagi, dapat dilakukan penundaan dan penarikan terapi
bantuan hidup karena pemberian terapi sudah sampai pada kesia-siaan medis (medical futility).
Penerusan terapi tidak akan memberi manfaat, bahkan merugikan pasien sehingga bertentangan dengan 4
prinsip dasar etika kedokteran yaitu: 1) beneficence, 2) non-maleficence, 3) autonomy dan 4) justice.

Menunda terapi bantuan hidup diartikan sebagai tidak pernah memberikan terapi yang dipertanyakan.
Sebagai contoh: pasien dengan gagal ginjal ireversibel yang memerlukan dialisis untuk melanjutkan
kehidupannya. Dokter yang memilih menunda terapi bantuan hidup tidak akan memulai dialisis untuk
pasien yang agaknya tidak akan mendapat manfaat darinya. Dalam skenario ini, mereka meyakini bahwa
gagal ginjal akan mengakibatkan kematian.

Menarik terapi bantuan hidup berarti menghentikan terapi yang sudah terlanjur diberikan.
Pendukungnya mungkin merasa lebih nyaman dengan menarik kembali terapi/bantuan hidup
daripada hanya menunda terapi baru, karena terapi tersebut telah terbukti tidak bermanfaat bagi
pasien. Mereka meyakini penarikan kembali terapi mengakibatkan penyakit utama dapat
mengalahkan pasien.
Mungkin pula dapat dibenarkan untuk menghentikan ventilasi paru buatan. Jelasnya, mematikan mesin
ventilator sewaktu pasien masih hidup tidaklah selalu salah secara moral. Jika kondisi pasien tak ada
harapan lagi, maka pemakaian mesin ventilator menjadi sia-sia. Tentu saja, sangat berat untuk mengambil
keputusan seperti ini, dan hendaknya keputusan ini dibuat setelah cukup mengadakan konsultasi.
Keputusan dibuat oleh tiga orang dokter yaitu anestetis dan spesialis lain yang terkait dengan penyakit
pasien.

Terapi bantuan hidup (lokakarya DepKes RI, IDSAI, PKGDI, PERDICI , Organisasi Profesi Klinis
lainnya dalam naungan IDI 2005) : rawat di ICU, RJP, pengendalian disritmia, intubasi trakeal, ventilasi
mekanis, vasoaktif kuat, nutrisi parenteral total, organ artifisial, transplantasi, transfusi darah, monitor
invasif, antibiotika, pipa enteral (untuk makan), infusi cairan dasar (NS, D5W, D5R dsb)

Mengapa dipilih menarik terapi bantuan hidup?

1. Jika tidak: ICU akan penuh dengan pasien tanpa harapan dengan terapi yang mahal dan juga
melanggar 4 prinsip dasar etis berikut ini:
a. Beneficence: keharusan untuk berbuat baik pada pasien. Apa manfaat meneruskan terapi yang
tidak efektif dan sia-sia tersebut, yang malah merugikan pasien dengan beaya besar ?

b. Non-maleficence: keharusan untuk menghindari berbuat yang merugikan pasien. Meskipun


dengan pemberian analgo-sedasi yang optimal, meneruskan terapi yang tidak efektif akan
menimbulkan distres dan ketidak-nyamanan (misalnya sewaktu pengisapan trakea).

c. Autonomy: menghormati keputusan pasien untuk menentukan nasibnya. Andaikata pasien dapat
menjawab atas pertanyaan berikut ini: Maukah tetap diberi bantuan artifisial bila tidak ada

733
harapan lagi? Apakah mau jadi sayuran yang menjadi beban keluarga? Rasanya jawabannya
akan tidak.

d. Justice: kita harus adil dalam pembagian alokasi sumber dana kesehatan. Dengan meneruskan
terapi yang tidak efektif berarti memblok tempat tidur ICU sehingga pasien lain tidak bisa masuk.
Beaya untuk pasien yang tidak ada harapan tersebut lebih baik untuk kepentingan lain yang
bermanfaat.

2. Jika tidak: selalu timbul keraguan dalam bertindak ketika waktu menjadi penting. Misalnya
sewaktu menghadapi pasien dengan gagal nafas akut timbul keraguan untuk melakukan intubasi
dan ventilasi mekanis karena tidak yakin tentang riwayat pasien dan ingin memastikan tidak akan
memulai terapi yang mungkin sia-sia, tapi yang kemudian tidak ada pilihan untuk with-drawing.
Padahal bila pasien tersebut sebenarnya akan mendapat manfaat dari intubasi dan ventilasi
mekanis, namun karena ada waktu yang hilang akibat keraguan, maka angka kelangsungan hidup
pasien menjadi berkurang sebagai akibat hipoksia yang lebih lama.
3. Jika tidak: melanggar kode etik spesialis anestesiologi Indonesia dan Fatwa IDI.

Selama menjalankan tugasnya peserta didik harus dapat bekerja sama, berkomunikasi dan menciptakan
lingkungan kerja yang baik dengan sesama peserta didik, perawat, paramedis dan konsulen di kamar
operasi maupun di ICU.

12. REFERENSI

1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 3th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2002
2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006
3. Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005
4. Martini FH. Fundamental of Anatomy & Physiology. 7th ed. 2006
5. Fink MP et al. Textbook of Critical Care, 5th ed, Philadelphia : Elsevier Saunders ; 2005
6. Oh TE. Intensive Care Manual, 5th ed, London : Elsevier Science ; 2005
7. Critical Care Handbook of the Massachusetts General Hospital, 4th ed, Philadelphia :
Lipincott William & Wilkins ; 2006

734

Anda mungkin juga menyukai