KARI
MODUL
PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS ANESTESIOLOGI DAN REANIMASI
1
KOLEGIUM ANESTESIOLOGI & REANIMASI INDONESIA
2008
DAFTAR ISI
2
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur disampaikan ke hadirat Ilahi Robbi, karena akhirnya Modul Pendidikan
Anestesiologi & Reanimasi dapat diselesaikan.
Modul adalah profil suatu program pendidikan dokter spesialis atau subspesialis (spesialis
konsultan) yang disusun oleh masing-masing kolegium ilmu kedokteran. Katalog mencakup visi
dan misi, kompetensi, persyaratan dan alur pendaftaran peserta didik, pelaksanaan seleksi, lama
serta isi program dan cara evaluasi, serta daftar Institusi Pendidikan Dokter Spesialis (IPDS).
Dengan demikian pada Modul ini pun berisi hal-hal yang tersebut di atas.
Katalog ini dibuat oleh Komisi Ujian Nasional, Komisi Kompetensi KARI yang terdiri dari
anggota tetap komisi dan para Ketua Program Studi (KPS) dan atau Sekretaris Program Studi
(SPS) semua Pusat Pendidikan Anestesiologi & Reanimasi di Indonesia yaitu Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran, Universitas Airlangga, Universitas
Diponegoro, Universitas Gajah Mada, Universitas Hasananudin, Universitas Sumatra Utara,
Universitas Udayana, Universitas Sebelas Maret dan Universitas Sriwijaya.
Isi Katalog ini sebagian besar diambil dari Katalog KARI edisi 1998 yang disusun oleh
Prof.dr. Siti Chasnak Saleh, Prof.dr. Karyadi Wirjoatmojo, dr. Said Latief, dr. Ruswan Dachlan,
dr. Bambang Suryono sebagai panitia ad hoc. Dengan penambahan hal-hal yang baru yang
merupakan komponen Katalog seperti yang diharuskan Konsil Kedokteran Indonesia (KKI),
akhirnya dapat dibuat Katalog edisi 2008.
3
TIM PEMBUAT MODUL
4
Orientasi &Pembekalan Magang Mandiri CR
Sem 1 Sem 2 Sem 3 Sem 4 Sem 5 Sem 6 Sem 7
3 bulan kuliah
6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan 6 bulan
3 bulan di OK
Catatan : Waktu dan semester di atas tidak mengikat. Hasil pembelajaran (learning outcome) bergantung
pada pencapaian kompetensi. Bila sudah dianggap kompeten bisa naik semester (penilaian meliputi segi
kognitif, afektif, psikomotor. Kognitif : lulus ujian, menyelesaikan tugas ilmiah. Psikomotor: mencapai
jumlah kasus sesuai tabel di bawah. Afektif: penilaian tingkah laku/kepribadian)
Semester
No Modul SKS
I II III IV V VI VII
1 Modul Keterampilan Dasar Anestesiologi I
2 Modul Keterampilan Dasar Anestesiologi II
3 Modul Keterampilan Dasar Anestesiologi III
4 Modul Kedokteran Perioperatif I
5 Modul Kedokteran Perioperatif II
6 Modul Persiapan Obat dan Alat Anestesia
7 Modul Traumatologi I
8 Modul Anestesia Umum
9 Modul Analgesia regional I (Biers block, spinal)
10 Modul Analgesia regional II (epidural, kaudal, blok saraf)
11 Modul Anestesia Bedah Ortopedi I
12 Modul Anestesia Bedah Ortopedi II
13 Modul Anestesia Bedah Onkologi dan Bedah Plastik
14 Modul Anestesia Bedah Urologi
15 Modul Anestesia Obstetri I
16 Modul Anestesia Obstetri II
17 Modul Anestesia Bedah THT I
18 Modul Anestesia Bedah THT II
19 Modul Anestesia Bedah Mata
20 Modul Anestesia Bedah Pediatrik I (prosedur sederhana)
21 Modul Anestesia Bedah Pediatrik II (lanjutan)
22 Modul Anestesia Bedah Saraf I
23 Modul Anestesia Bedah Saraf II
24 Modul Anestesia Bedah Rawat Jalan
25 Modul Anestesia Kardiotorasik I
26 Modul Anestesia Kardiotorasik II
27 Modul Anestesia Bedah Darurat
28 Modul Anestesia Bedah Invasif Minimal
5
29 Modul Anestesia Di luar Kamar Bedah
30 Modul Anestesia dan Penyakit Khusus
31 Modul Anestesia dan Penyakit Langka
32 Modul Traumatologi II
33 Modul Post Anesthesia Care Unit (PACU)
34 Modul Penatalaksanaan Nyeri
35 Modul Intensive Care I
36 Modul Intensive Care II
37 Modul Penelitian
38 Modul Kemampuan Komunikasi dan Profesionalisme
Jumlah Modul 7 10 9 7 4 7 2
SKS 11 15 15 15 12 12 14 94
JENJANG 1 JENJANG 2
KETERAMPILAN DASAR
ANESTESIOLOGI I
MODUL 1 Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi untuk
Spesialis Anestesiologi
Mengembangkan kompetensi Waktu (selama Semester 1)
Sesi di dalam kelas 5 X 4 jam (kuliah kuliah )
Sesi dengan fasilitasi pembimbing 3 X 2 jam (diskusi dengan pembimbing)
Sesi aplikasi klinis 3 pekan ( saat sesi praktek keterampilan dasar
anestesia umum dan regional)
Persiapan Sesi
1. Komputer/Laptop,
2. Proyektor LCD dan Layar,
3. Flip chart,
4. Pemutar video,
5. OHP
6
Anatomi ,fisiologi, patofisiologi dan farmakologi klinis/terapan dalam anestesiologi:
1. Sistem pernafasan
2. Sistem kardiovaskular
3. Sistem saraf pusat
4. Sistem renal,
- Sarana belajar:
1. Ruang kuliah
2. Ruang diskusi
1.RANAH KOMPETENSI
7
KOGNITIF
PSIKOMOTOR
8
6. Mampu melakukan penilaian penunjuk anatomi (landmark) untuk analgesia lokal dan
regional.
7. Mampu melakukan penilaian penunjuk anatomi untuk akses vena perifer dan sentral.
8. Mampu melakukan penilaian anatomi jalan nafas pada saat tindakan pembebasan jalan
nafas.
1. Mampu menjelaskan penyakit atau kelainan jalan nafas, pernafasan, sirkulasi dan
otak, saraf serta fungsi kesadaran kepada tim dokter, pasien dan keluarga pasien.
2. Mampu menjelaskan kepada tim dokter, pasien dan keluarga pasien tentang
manfaat dan risiko terapi untuk penyakit atau kelainan jalan nafas, pernafasan, sirkulasi
darah dan fungsi kesadaran
3. Mampu menjelaskan kepada tim dokter, pasien dan keluarga pasien tentang
manfaat dan risiko obat-obat anestetik dan analgesik
PROFESIONALISME
Pada keynotes tersebut di bawah ini akan ditekankan topik fisiologi, sedangkan untuk anatomi
dan farmakologi dapat dilihat pada buku rujukan Morgan.
9
Fisiologi
Fisiologi kardiovaskular:
1. Sangat berbeda dengan aksi potensial pada saraf, aksi potensial pada jantung spike diikuti
dengan fase plateau selama 0.2 0.3 detik. Pada otot dan saraf aksi potensial terjadi oleh
karena pembukaan kanal cepat natrium di membran sel. Pada otot jantung ini terjadi
karena pembukaan kanal cepat sodium (spike) dan kanal lebih lambat kalsium (plateau).
2. Halotan, enfluran dan isofluran menekan nodus sinoatrial (SA) secara automatis. Obat-
obat ini hanya memiliki efek langsung, sedang pada nodus atrioventrikular (AV), efeknya
memanjangkan masa konduksi dan meningkatkan masa refrakter. Efek kombinasi ini
dapat menjelaskan mengapa sering timbul junctional tachycardia bilamana suatu
antikolinergik diberikan untuk sinus bradikardia selama anestesia inhalasi; junctional
pacemakers lebih ditingkatkan daripada SA.
3. Studi-studi menunjukkan bahwa semua anestetik uap menekan kontraktilitas jantung
dengan menurunkan masuknya ion Ca ke dalam sel selama depolarisasi. (mengenai kanal
Ca tipe T dan L), mengubah kinetik pelepasan dan ambilan ke dalam retikulum
endoplasma, dan menurunkan sensitivitas protein-protein kontraktil terhadap kalsium.
4. Oleh karena indeks jantung (CI) memiliki rentang lebar, relatif tidak sensitif sebagai
ukuran untuk menilai fungsi ventrikular. Nilai CI yang abmormal biasanya menunjukkan
gangguan ventrikular secara umum.
5. Bila tidak ada anemia berat atau hipoksia, pengukuran tekanan oksigen vena campur atau
saturasi merupakan cara terbaik untuk menilai adekuat tidaknya curah jantung.
6. Oleh karena peran atrium dalam pengisian ventrikular penting dalam mempertahankan
low mean ventricular diastolic pressures, pasien-pasien dengan penurunan kekembangan
ventrikular sangat terpengaruh oleh gangguan pada sistol atrial.
7. Curah jantung pada pasien dengan gangguan yang jelas pada ventrikel kanan atau kiri
sangat sensitif terhadap peninggian pascabeban.
8. Fraksi ejeksi ventrikular (EF) adalah fraksi volume ventrikular diastolik akhir yang
dipompakan ke luar, merupakan penilaian ukuran fungsi sistolik yang paling umum
dipakai dalam klinik.
10
9. Fungsi diastolik ventrikel kiri dapat dinilai secara klinis dengan ekokardiografi Doppler,
pemeriksaan secara transtorasik atau transesofageal.
10. Oleh karena endokardium merupakan bagian intramural yang paling tertekan selama
sistol, ini cenderung merupakan bagian yang mudah rusak oleh akibat iskemia pada
waktu terjadi penurunan tekanan perfusi koroner.
11. Pada gagal jantung ketergantungan pada katekolamin meningkat. Penghentian tiba-tiba
simpatetik atau penurunan kadar katekolamin dalam sirkulasi, seperti terjadi sesudah
induksi anestesia, bisa menyebabkan dekompensasi jantung akut.
1. Anestesia umum menurunkan konsumsi O2 dan produksi CO2 kira kira 15%. Tambahan
penurunan sering terjadi pada hipotermia. Penurunan tertinggi konsumsi O2 terjadi di
otak dan jantung.
2. Pada akhir ekspirasi, tekanan intrapleural normal rata-rata 5 sm H2O dan karena
tekanan alveolar adalah nol (tidak ada aliran), tekanan transpulmoner adalah +5smH2O.
3. Volume paru pada akhir ekshalasi normal disebut kapasitas residual fungsional (FRC).
Pada volume ini, rekoil elastik masuk paru kira-kira sama dengan rekoil elastik keluar
dada (termasuk tonus diafragma yang istirahat).
4. Kapasitas penutupan normal lebih rendah dari FRC, tetapi meningkat sesuai dengan
peningkatan usia. Peningkatan ini mungkin yang menyebabkan penurunan PaO2 terkait
dengan peningkatan umur.
5. Induksi anestesia secara konsisten menurunkan FRC 15-40% (400ml pada hampir semua
pasien), di luar yang terjadi akibat posisi telentang.
6. Pada volume ekspiratori paksa detik pertama (FEV1) dan kapasitas vital paksa (FVC) ada
upaya yang terikat, aliran ekspiratori tengah paksa (FEF25-75%) adalah upaya yang
bebas dan mungkin lebih handal untuk menilai obstruksi.
7. Faktor-faktor lokal lebih penting daripada sistem autonom dalam mempengaruhi tonus
vaskular paru. Hipoksia adalah rangsangan kuat untuk vasokonstriksi pulmoner
(kebalikan efek sistemik).
8. Oleh karena ventilasi alveolar kira-kira 4 liter/menit dan curah jantung 5 liter/menit,
maka V/Q rasio keseluruhan adalah 0.8
11
9. Pintasan menunjukkan proses di mana desaturasi, vena campur dari jantung kanan
kembali ke jantung kiri tanpa mengalami resaturasi O2 di paru. Efek keseluruhan
pintasan adalah menurunkan (dilusi) kandungan O2: jenis pintasan ini adalah pintasan
kanan ke kiri.
10. Anestesia umum biasanya meningkatkan percampuran vena sampai 5-10%, mungkin
sebagai akibat atelektasis dan kolaps jalan nafas di area bergantung pada paru.
11. Peningkatan PaCO2(>75mmHg) pada udara kamar akan menimbulkan hipoksia
(PaO2<60mmHg) tetapi tidak bilamana menghirup oksigen konsentrasi tinggi.
12. Ikatan O2 pada hemoglobin merupakan faktor prinsip transfer O2 dari gas alveolus ke
darah.
13. Makin besar pintasan, makin kecil kemungkinan peningkatan FiO2 (fraksi O2 inspirasi)
akan dapat mencegah hipoksemia.
14. Pergeseran ke kanan kurva dissosiasi oksigen, menurunkan afinitas O2, menggeser
tempat O2 dari hemoglobin, dan membuat O2 lebih banyak terkirim ke jaringan;
pergeseran ke kiri meningkatkan afinitas O2, menurunkan ketersediaannya di jaringan.
15. Bikarbonat merupakan bagian terbesar fraksi CO2 dalam darah.
16. Kemoreseptor sentral terletak di permukaan anterolateral medula dan berespons
utamanya terhadap perubahan ion H dalam cairan serebrospinal. Mekanisme ini efektif
dalam pengaturan PaCO2 sebab sawar darah otak (BBB) permeabel terhadap CO2
terlarut tetapi tidak terhadap bikarbonat.
17. Dengan makin dalamnya anestesia, grafik PaCO2/ventilasi semenit menurun dan ambang
apnea meningkat.(?)
1. Tekanan perfusi serebral (CPP) adalah perbedaan antara tekanan arterial rata-rata (MAP)
dengan tekanan intrakranial (ICP). (atau tekanan vena sentral (CVP), mana yang lebih
besar)
2. Kurva autoregulasi serebral bergeser ke kanan pada pasien-pasien dengan hipertensi
arterial kronik.
12
3. Faktor ekstrinsik terbesar yang mempengaruhi aliran darah serebral (CBF) adalah
tekanan gas darah terutama PaCO2. CBF secara langsung berbanding lurus dengan
PaCO2 antara 20-80mmHg. Aliran darah berubah 1-2ml/100g/menit per mmHg
perubahan PaCO2.
4. CBF berubah 5 -7 % per 1 derajat perubahan temperatur. Hipotermia menurunkan laju
metabolik serebral dan CBF, sementara pireksia mempunyai efek kebalikannya.
5. Perpindahan substansi menembus BBB ditentukan oleh ukuran, muatan listrik, kelarutan
dalam lemak, dan derajat ikatan dengan protein.
6. BBB bisa rusak oleh hipertensi, tumor, trauma, strok, infeksi, hiperkapnia berat,
hipoksia, dan kejang terus menerus.
7. Tengkorak kepala merupakan struktur dengan volume total yang tetap, terdiri dari otak
(80%), darah (12%), cairan serebrospinal (8%). Setiap peningkatan satu komponen harus
dikompensasikan dengan penurunan komponen yang lain agar mencegah peningkatan
tekanan intrakranial.
8. Dengan perkecualian ketamine, semua obat anestetik intravena memiliki efek ringan atau
menurunkan laju metabolik serebral dan CBF.
9. Pada autoregulasi yang normal dan BBB yang utuh, vasopresor meningkatkan CBF
hanya apabila MAP di bawah 50-60mmHg atau di atas 150-160mmHg.
10. Otak sangat mudah terancam rusak akibat cedera oleh iskemia oleh karena konsumsi
oksigen yang relatif tinggi dan hampir semuanya bergantung pada metabolisme glukose
aerobik.
11. Hipotermia merupakan cara yang paling efektif untuk proteksi otak selama iskemia fokal
atau global.
12. Barbiturat efektif untuk perlindungan otak pada iskemia fokal pada manusia dan
binatang.
13
3. Sintesis vasodilator prostaglandin (PGD2, PGE2, PGI2) penting sebagai mekanisme
proteksi selama periode hipotensi sistemik dan iskemia ginjal.
4. Dopamin dan fenoldopam melebarkan aferen arteriol dan eferen melalui aktivasi reseptor
D-1. Infusi fenoldopam dan dosis kecil dopamin paling tidak dapat melawan sebagian
vasokonstriksi renal karena norepinefrin.
5. Penurunan aliran darah, laju filtrasi glomerular, aliran uriner, dan ekskresi sodium
reversibel terjadi selama analgesia regional maupun umum. Efek ini paling tidak dapat
diatasi dengan mempertahankan volume intravaskular yang adekuat dan tekanan darah
normal.
6. Respons endokrin terhadap pembedahan dan anestesia mungkin paling tidak
menimbulkan retensi cairan sementara pascabedah; terjadi pada banyak pasien.
7. Metoksifluran dikaitkan dengan gagal ginjal poliuria. Nefrotoksiknya bergantung pada
dosis dan sebagai akibat pelepasan ion fluorida hasil metabolismenya.
8. Kadar tinggi fluorida setelah anestesia dengan enfluran bisa terjadi pada pasien obesitas
dan mereka yang mendapat isoniazid
9. Compound A , hasil pemecahan sevofluran yang terbentuk pada aliran rendah, dapat
menyebabkan kerusakan ginjal pada binatang percobaan. Studi klinis pada pasien tidak
menunjukkan cedera renal yang berarti.
10. Beberapa prosedur bedah secara bermakna mengganggu fisiologi ginjal.
Pneumoperitoneum selama prosedur laparoskopi menimbulkan dampak seperti sindroma
kompartemen abdominal. Peningkatan tekanan intra-abdominal dapat menimbulkan
oliguria, seperti juga pada prosedur pintasan jantung paru dan penjepitan aorta.
3. GAMBARAN UMUM
Memahami ilmu dasar anatomi , fisiologi dan farmakologi sistem pernafasan, kardiovaskular dan
sistem saraf akan mendukung untuk memahami tindakan anestesia umum maupun analgesia
lokal/ regional dan tindakan lain yang terkait dengan anestesia, seperti penanggulangan nyeri dan
syok. Sebagai contoh: untuk dapat melakukan analgesia regional dengan baik kita harus
mengetahui penunjuk anatomi saraf yang bersangkutan. Bila terjadi reaksi toksik obat analgetik
14
lokal, untuk mengetahui gejala-gejala dan tindakan penanggulangannya, diperlukan
pengetahuan farmakologi obat analgetik lokal. Contoh lain adalah pasien dengan depresi nafas
atau apnea berkepanjangan setelah anestesia. Untuk dapat menjelaskan penyebabnya, maka harus
difahami fisiologi pernafasan, farmakologi obat-obat yang dapat menimbulkan apnea.
4. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah melewati proses alih pengetahuan, keterampilan dan perilaku melalui modul ini,
diharapkan peserta didik memiliki kemampuan untuk memahami
1. Anatomi
a. Anatomi jalan nafas
2. Fisiologi
3. Farmakologi
15
d. Farmakologi obat-obat untuk patologi otak, medula spinalis dan saraf perifer baik
sensori, motorik maupun autonom
5. METODE :
Peserta didik sudah harus mempelajari:
Metode pembelajaran:
a. Kuliah pengantar
b. Belajar mandiri/ tugas membaca buku referensi
c. Pre-tes
d. Bimbingan atau diskusi dengan staf pengajar
e. Diskusi kelompok
f. Pos-tes
g. Ujian Nasional
Untuk memberikan gambaran tentang keterampilan dan materi ilmu dasar secara komprehensif
dan terintegrasi. Memahami anatomi pembuluh darah perifer daerah lengan dan tungkai,
pembuluh darah sentral daerah subklavia, leher untuk memudahkan akses vaskular. Memahami
anatomi dan fisiologi jantung untuk mengerti hemodinamik, aliran darah, sehingga mengerti
faktor-faktor yang penting dalam menimbulkan tekanan darah. Apa yang terjadi pada patologi
atau kelainan organik, kelainan katup, kelainan septum jantung, sehingga memahami hal-hal
yang harus dilakukan maupun dihindari pada misalnya mitral stenosis. Memahami anatomi saraf,
16
pleksus saraf ekstremitas atas dan ekstremitas bawah, anatomi vertebra tulang belakang dan
medula spinalis untuk penunjuk anatomi analgesia regional . Memahami anatomi jalan nafas
atas untuk tindakan intubasi, krikotirotomi dan trakeostomi.
6. MEDIA:
1. Kuliah
2. Belajar mandiri
3. Diskusi kelompok
4. Tugas baca dan belajar secara berkelompok
5. Bimbingan dengan staf mengajar
6. Membahas soal-soal terkait ilmu dasar.
8.EVALUASI
9.REFERENSI
Pharmacology and Physiology Stoelting ed. 4th 2006
Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr. 4th ed 2006
17
terkait praktek anestesiologi) dikerjakan dikerjakan
1. Anatomi sistem pernafasan : jalan nafas atas dan
bawah, paru, rongga toraks, otot-otot pernafasan
2. Fisiologi sistem pernafasan: pengaturan pernafasan,
volume pernafasan, pertukaran gas oksigenasi,
ventilasi, pengiriman oksigen
3. Patofisiologi sistem pernafasan: gagal nafas
oksigenasi dan/atau ventilasi, obstruksi jalan nafas
atas dan bawah, gangguan difusi pertukaran gas,
apnea lama, henti paru
4. Farmakologi obat pelumpuh otot dan antidotumnya,
bronkodilator, depresan nafas, interaksi obat,
sekretolitik, antikolinergik, antikolinesterase
5. Anatomi sistem kardiovakular: topografi batas-batas
jantung normal, ruang jantung, septum, katup
jantung, sirkulasi koroner, penunjuk anatomi vena-
vena jugularis interna, subklavia, femoralis
6. Fisiologi sistem kardiovaskular: pengaturan fungsi
jantung, tekanan darah, irama jantung, sirkulasi
koroner, pengiriman oksigen
7. Patofisiologi sistem kardiovaskular: hipertensi,
hipotensi, syok, henti jantung, aritmia, gangguan
konduksi, gangguan sirkulasi koroner, infark jantung,
gangguan katup, gangguan septum, sindroma
Eisenmenger, anemia
8. Farmakologi: inotropik, vasopresor, antihipertensi,
antiaritmia, vasodilator arteri, vasodilator vena,
vasodilator pulmoner, darah, komponen darah, cairan
kristaloid, koloid, diuretika
9. Anatomi sistem saraf pusat, serebrum, serebelum,
batang otak, medula spinalis, sistem ventrikular otak.
Saraf otak, saraf perifer, saraf simpatetik dan saraf
para simpatetik. Tulang belakang dan medula
spinalis, pleksus brakialis, aksilaris. Ruang
18
subarahnoid, ruang epidural. aliran darah otak.
10. Fisiologi sistem saraf: kesadaran, motorik, nyeri atau
sensori, simpatetik dan parasimpatetik. Refleks
spinal, refleks vagal, sistem neurohormonal, sistem
cairan serebrospinal, pengaturan tekanan intrakranial,
autoregulasi otak, Aliran darah dan metabolime otak
11. Patofisiologi sistem saraf: kesadaran menurun
serebral/metabolik. Peningkatan tekanan intrakranial,
kejang-kejang, paralisis, gangguan sistem autonom,
termasuk pusat pengaturan sistem vital.
12. Farmakologi obat anestetik umum inhalasi,
intravena, obat analgetik lokal, analgetik
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standard atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih
19
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
melakukan prosedur
Teknik anestesia meliputi dua teknik utama yaitu anestesia umum dan analgesia regional atau
dapat pula kombinasi keduanya. Obat anestetik umum dapat diberikan secara intravena atau
secara inhalasi atau kombinasi. Obat analgetik regional atau lokal dapat diberikan dengan cara
20
infiltrasi lokal, blok saraf, blok pleksus saraf atau blok neuraksial (blok subarahnoid atau
epidural).
Bagaimana mempelajari ilmu dasarnya?. Pertama, harus ada buku ajar rujukan untuk masing
masing ilmu dasar. Kedua, kita memilih obat yang akan digunakan, terkait dengan teknik
anestesia, apakah obat inhalasi, intravena atau analgetik lokal. Untuk mempelajari ilmu dasar
yang terkait dengan tindakan anestesia, dapat secara sekaligus mempelajari ketiganya secara
simultan yaitu anatomi, fisiologi dan farmakologi. Terminologi dalam fisiologi, patofisiologi
farmakologi, ilmu anatomi harus dimengerti secara benar. Pengertian terminologi secara benar
akan memudahkan pemahaman semua ilmu dasar klinis.
Contoh:
1. Kita akan mempelajari obat inhalasi. Kita harus membayangkan obat yang akan diberikan
itu akan dihirup oleh pasien (bila pasien bernafas spontan) atau didorong masuk (bila
pasien tidak bernafas spontan atau dengan nafas kendali) melalui jalan nafas yaitu
hidung, faring, laring dan seterusnya sampai ke dalam alveolus. Oleh karena itu kita
harus memahami anatomi jalan nafas. Tatkala obat tersebut akan masuk dari alveolus ke
dalam sistem sirkulasi, maka kita harus mempelajari sifat-sifat fisis obat inhalasi tersebut,
mempelajari fungsi paru, mempelajari fisiologi sistem kardiovaskular tentang perfusi
darah ke paru sehingga dapat mengerti difusi obat . Ketika obat tersebut diedarkan ke
seluruh tubuh, maka kita harus tahu farmakologi tentang distribusi obat, selanjutnya
harus mengerti lokasi reseptor obat tersebut dan mengerti mekanisme kerja obat yang
menyebabkan pasien menjadi tidak sadar. Oleh karena itu kita harus mengerti fisiologi
dan anatomi sistem saraf pusat maupun sistem sirkulasi pada susunan saraf. Selain itu
kita harus mempelajari farmakologi bagaimana nasib obat tersebut sehingga efek obat
bisa hilang kembali. Efek samping obat dapat berupa gangguan fisiologi misalnya
peningkatan tekanan intrakranial, depresi nafas, hipotensi atau hipertensi, gangguan
fungsi hepar atau ginjal, sehingga kita harus mengerti dosis, indikasi dan indikasi-kontra
obat inhalasi tersebut.
Di samping itu kita harus mengerti cara menggunakan mesin anestesia agar dapat
memberikan obat inhalasi.
21
2. Kita akan mempelajari obat anestetik umum intravena. Kita harus dapat mempersiapkan
obat tersebut dan harus memahami sifat-sifat fisis obat tersebut. Ketika kita akan
menyuntikkan intravena maka kita harus mengerti anatomi pembuluh vena, dari vena
dorsum manus ke vena kubiti, vena aksilaris, vena subklavia, ke vena kava superior, ke
atrium kanan, ventrikel kanan, arteri pulmonalis dan seterusnya sampai ke jantung kiri
dan obat didistribusikan ke seluruh tubuh sampai ke reseptornya dan menimbulkan efek
yang diinginkan. Pengetahuan tentang apa yang terjadi pada obat tersebut di dalam darah,
misalnya berapa persen terikat protein, kecepatan aliran darah yang dilalui obat mulai
perifer sampai ke jantung, kemudian distribusi obat sehingga sampai ke otak dan
menimbulkan efek pasien tidak sadar, mengapa pasien tidak sadar, dan mengapa dapat
pulih sadar, bagaimana nasib obat tersebut, mengharuskan kita memahami efek samping
obat, overdosis obat dan cara mengatasinya. Oleh karena itu kita harus mengerti
anatomi dan fisiologi sistem sirkulasi, dan farmakologi , terkait dengan pemakaian
obat tersebut. Di samping itu kita harus mengerti teknik pemberian obat intravena,
secara bolus tunggal, kontinyu intermiten, kontinyu secara tetesan, atau kontinyu dengan
pompa semprit.
3. Kita akan mempelajari obat analgetik lokal untuk anestesia subarahnoid. Kita harus
mengerti jenis obat yang akan digunakan, sifat-sifat fisis, konsentrasi dan kandungan
obat. Ketika kita akan menyuntikkan obat tersebut harus diketahui lokasi yang aman
tempat suntikan dengan mempelajari anatomi tulang belakang, lapisan yang akan
ditembus jarum spinal untuk sampai ke rongga subarahnoid. Setelah obat ditempatkan di
ruang subarahnoid, harus difahami farmakologi obat yaitu tempat dan mekanisme kerja
obat sehingga timbul blok sensori, motorik dan simpatetik. Efek samping yang timbul
akibat blok simpatetik, hipotensi, juga harus difahami melalui pemahaman efek
farmakologis dan dampak fisiologis agar dapat memahami cara mencegah atau
penanggulangannya.
4. Ilmu dasar yang terkait dengan anestesiologi
Anatomi : jalan nafas atas dan jalan nafas bawah, sistem saraf perifer, anggota gerak atas
dan bawah, pleksus aksilaris, pleksus brakialis, medula spinalis, tulang belakang.
22
Fisiologi : volume paru, pengaturan pernafasan, oksigenasi darah, pengaturan tekanan
darah, pengaturan frekuensi denyut jantung, pengaturan irama jantung, konduksi jantung,
sistem sirkulasi paru, pengaturan tekanan intrakranial, tekanan perfusi otak.
Farmakologi: obat anestetik umum yang menimbulkan penurunan tekanan darah,
peningkatan tekanan darah, gangguan irama jantung, gangguan resistensi pembuluh
sistemik, resistensi sirkulasi paru, depresi miokard, depresi otak, gangguan tekanan
intrakranial, kejang, depresi pernafaran, gangguan fungsi ginjal, hepar, Obat analgetik
lokal, obat pelumpuh otot depolarisasi dan non-depolarisasi serta antagonisnya. Obat-
obat opioid dan antagonisnya
5. Lihat penuntun belajar pada daftar tilik.
a. Jantung: aksi potensial jantung, awal dan konduksi impuls jantung, mekanisme
kontraksi, inervasi jantung, daur jantung, fungsi ventrikular (HR, isi sekuncup,
prabeban, pascabeban, kontraktilitas, disfungsi valvular, kurva fungsi ventrikular,
penilaian fungsi sistolik, penilaian fungsi diastolik)
b. Sistem sirkulasi: autoregulasi, faktor-faktor derivat endotelium, kendali autonom
pembuluh sistemik, tekanan darah arterial (kendali segera, kendali intermediat,
kendali jangka panjang), anatomi dan fisiologi sirkulasi koroner (anatomi, perfusi
koroner, kendali aliran darah koroner, keseimbangan oksigen miokard, efek obat
anestetik)
c. Patofisiologi gagal jantung: mekanisme kompensasi (peningkatan prabeban,
peningkatan tonus simpatetik, hipertrofi ventrikular).
23
3. Basic Mechanism of Breathing: Spontaneos Ventilalion, Mechanical Ventilation,effects of
anesthesia on respiratory pattern.
4. Mechanics of Ventialtion: Elastic Resistance; surface tension forces, compliance, Lung
volumes; kapasitas residual fungsional, kapasitas penutupan, vital capacity, Non Elastic
resistances; jalan nafas resistance to gas flow, volume-related jalan nafas collapse, flow related
jalan nafas colapse, forced vital capacity ( tissue resistance),Work of breathing; Effects of
anesthesia on pulmonary mechanics (effects of lung volumes and compliance, effects on jalan
nafas resistance, effects on work of breathing)
5. Ventilation/Perfusion Relationships: Ventilation; distribution of ventilation, time constant,
Pulmonary perfusion; distribution of pulmonary perfusion, ventilation/perfusion rasios,
Pintasans; percampuran vena, Effects of Anesthesia on Gas Exchange
6. Alveolar, Arterial, &Venous Gas Tensions: Oxygen; alveolar oxygen tension, pulmonary-end
capillary oxygen tension, arterial oxygen tension, mixed veous oxygen tension, Carbon dioxide;
pulmonary end-capillary carbon dioxide tension, arterial carbondioxide tension, end-tidal
carbondioxide tension.
1. Serebral physiology:
24
a. Serebral metabolism
b. Serebral Blood Flow
c. Regulation of Blood Flow: Serebral Perfusion Pressure, Autoregulation, Extrinsic
Mechanisms; respiratory gas tension, temperature, viscosity, autonomic
influences.
d. BBB
e. Cerebrospinal Fluid
f. Intrakranial Pressure
1. Nephron
a. The glomerular capillaries
b. The proximal tubule
25
c. The loop of Henle
d. The distal tubule
e. The collecting Tubule: cortical collecting tubule, medullary collecting tubule, role
of the collecting tubule in maintaining a hypertonic medulla
f. TheJuxtaglomerular Apparatus
2. The Renal Circulation
a. Renal Blood Flow & Glomerular Filtrasion: clerance, renal blood flow,
glomerular filtrasion rate, control mechanisms; intrinsic regulation,
tubuloglomerular balance and feedback, hormonal regulation, neuronal
regulation
3. Effects of anesthesia on renal function
a. Indirect Effects: Cardiovascular effects, neural effects, endocrine effects.
b. Direct Anesthetic Effects: uap agents, intravenous agents, other drugs.
c. Direct Surgical Effects
4. Diuretics
a. Osmotic diuretics (manitol): Uses; prophylaxis against acute renal failure in hihg
risk patients, evaluation of acute oliguria, conversion of oliguriic renal failure to
non oliguric renal failure, acute reduction of intrakranial pressure and serebral
edema, acute reduction of intraocular pressure in the perioperatif periode,
intravenous dosage, side effects.
b. Loop diuretics: Uses; edematous states (sodium overloads), hypertension,
evaluation of acute oliguria, conversion of oliguric renal failure to nonoliguric
renal failure, treatment of hyperglycemia, rapid correction of hyponatremia,
intravenous dosage, side effects.
c. Thiazide-type diuretics: Uses: hypertension, edematous disorders (sodium
overload), hypercalciuria, nephrogenic diabetes insipidus , oral dosages, side
effects.
d. Potassium-sparing diuretics: Aldosteron Antagonists (spironolactone); uses:
primary and secondary hyperaldosteronism, hirsutism, oral dosage, side effects.
26
Noncompetitive Potassium-Sparing Diuretics; uses: hypertension, CHF,
intravenous dosages, side effects.
e. Carbonic Anhydrase Inhibitors; Uses; correction of metabolic alkalosisi in
edematous patients, alakalinization of urin, reduction of intraocular pressure,
intravenous dosage, side effects
1. Functional Anatomy
2. Vascular Functions of the Liver : control of hepatic blood flow, reservoir function,
blood-cleansing function
3. Metabolic Functions: Carbohydrate metabolism, Fat metabolism, Protein Metabolism,
Drug metabolism, Other Metabolic Functions.
4. Bile formation & Excretion: Bile Acids & Fat Absorption, Bilirubi Excretion.
5. Liver Tests: Serum bilirubin, Serum Aminotransferase (transaminase), serum alkaline
phosphatase, serum albumin, blood ammonia, prothrombin time
6. Effect of Anesthesia on hepatic function: hepatic blood flow, metabolic functions, drug
metabolism, biliary function, liver tests.
7. Hepatic dysfunction associated with halogenated anesthetics.
27
KETERAMPILAN DASAR
MODUL 2 ANESTESIOLOGI II :
Penatalaksanaan Jalan Nafas Neonatus -
Dewasa
Mengembangkan kompetensi Waktu (semester 1, 2 dan 3)
Sesi di dalam kelas 2 X 2 jam (semester 1 pasien dewasa)
2 X 2 jam (semester 2 -3 pasien anak)
2 X 2 jam (semester 3 pasien neonatus)
Sesi dengan fasilitasi pembimbing 3X(3X2 jam) (diskusi dengan pembimbing)
Sesi aplikasi klinis 3 X 3 pekan ( saat sesi praktek pasien)
Persiapan Sesi
Audiovisual
a. Laptop
b. LCD proyektor dan layar
c. Flip chart
28
d. OHP
e. Pemutar video
Materi kuliah : CD atau flashdisc power point
a. Obstruksi jalan nafas pada dewasa (sebab2, tanda-tanda dan diagnosis)
b. Penatalaksanaan jalan nafas tanpa alat
c. Penatalaksanaan jalan nafas dengan alat (pipa orofaring, pipa nasofaring,
intubasi trakeal, pipa sungkup laring (LMA), krikotirotomi, trakeostomi)
d. Obstruksi jalan nafas pada neonatus dan anak-anak
e. Penatalaksanaan jalan nafas atas secara manual.
f. Intubasi trakea pada neonatus dan anak-anak
Sarana belajar
1. Ruang kuliah
2. Ruang skill lab.
3. Ruang operasi
Alat bantu latih: manikin neonatus, anak dan dewasa, alat-alat untuk penatalaksanaan
jalan nafas
Kasus : pasien langsung
Penuntun belajar : lihat materi acuan
Daftar tilik kompetensi: lihat daftar tilik
Referensi:
1. Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr. 4th ed 2006
Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan menguasai
penatalaksanaan jalan nafas atas pada pasien dewasa, anak-anak dan neonatus, yang merupakan
syarat mutlak selama tindakan anestesia.
Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk menilai kondisi
jalan nafas, menilai dan melakukan penatalaksanaan jalan nafas, baik tanpa alat maupun dengan
alat-alat bantu , seperti pemasangan jalan nafas Guedel, LMA dan pipa endotrakeal,
krikotirotomi, trakeostomi perkutaneus dan penatalaksanaan jalan nafas pada intubasi sulit
1. RANAH KOMPETENSI
Kognitif
29
1. Mampu menjelaskan anatomi dan fisiologi jalan nafas atas
2. Mampu menegakkan diagnosis sumbatan jalan nafas dan kegawatan pernafasan yang
memerlukan pembebasan jalan nafas
3. Mampu menjelaskan teknik membebaskan jalan nafas secara manual, memasang pipa
oro dan nasofaring, memasang LMA, intubasi endotrakeal.
4. Mampu menjelaskan indikasi dan indikasi kontra pemasangan LMA dan intubasi
endotrakeal.
5. Mampu menjelaskan komplikasi pemasangan pipa oro/naso-faring, LMA dan pipa
endotrakeal.
6. Mampu mengenali dan menjelaskan algoritma JALAN NAFAS SULIT
7. Mampu menjelaskan penggunaan obat-obat guna memudahkan penatalaksanaan jalan
nafas
Psikomotor
1. Mampu membebaskan jalan nafas secara manual: ekstensi kepala, angkat dagu (manuver
tripel), pembersihan mulut dan faring, pemasangan pipa orofaring, pemasangan
nasofaring.
2. Mampu melakukan pemasangan LMA
3. Mampu melakukan tindakan laringoskopi dan intubasi endotrakeal
4. Mampu melakukan identifikasi indikasi dan indikasi kontra pemasangan LMA dan
intubasi endotrakeal
5. Mampu mengenali dan menanggulangi komplikasi pemasangan pipa oro/nasofaring,
LMA dan pipa endotrakeal
6. Mampu melakukan pemasangan LMA dan intubasi endotrakeal pada pasien dengan
dugaan fraktur vertebra servikal.
7. Mampu melakukan penatalaksanaan jalan nafas menurut algoritma JALAN NAFAS
SULIT
1. Mampu menjelaskan kepada pasien atau keluarga pasien tentang manfaat dan risiko
tindakan pembebasan jalan nafas, terutama intubasi endotrakeal untuk memperoleh
persetujuan setelah menerima informasi yang adekuat (informed consent)
2. Mampu berkomunikasi dengan sejawat operator tentang kemungkinan problema yang
ada pada jalan nafas, sedang atau akan timbul berkaitan dengan patensi jalan nafas dan
penanggulangannya selama masa perioperatif.
Profesionalime
30
2. Bekerja sesuai prosedur.
1.Bila teknik memegang sungkup muka tidak benar, balon reservoar anestesia tidak akan
mengembang , walaupun adjustable pressure limiting (APL) katup tertutup, biasanya disebabkan
oleh kebocoran sekitar sungkup muka. Keadaan yang kontras bilamana terjadi peningkatan
tekanan di sirkuit nafas disertai sedikit gerakan dada dan bunyi nafas berarti ada obstruksi jalan
nafas.
2. LMA melindungi laring dari ekskresi faring (tetapi tidak terhadap regurgitasi lambung), dan
harus dipertahankan sampai ada refleks-refleks jalan nafas.
3.Seteleh insersi pipa endotrakeal (ETT), kaf dikembangkan dengan sedikit udara cukup untuk
menghindari kebocoran selama ventilasi tekanan positif untuk menghindari penyebab tekanan ke
mukosa trakea.
4.Walaupun deteksi CO2 secara persisten dengan kapnograf merupakan cara konfirmasi terbaik
penempatan ETT, ini tidak mendeteksi kemungkinan terjadi intubasi endobronkial. Manifestasi
paling dini terjadi intubasi endobronkial adalah peningkatan tekanan puncak jalan nafas.
5.Sesudah intubasi kaf ETT tidak boleh terletak setinggi di atas kartilago krikoid, sebab
penempatan di intralaring yang lama akan menimbulkan suara serak dan risiko tercabut.
6.Pencegahan intubasi esofageal bergantung pada visualisasi langsung ujung ETT yang masuk di
antara pita suara, auskultasi bunyi nafas sama kedua paru kiri kanan, tidak ada bunyi gargling di
lambung. Dan cara paling handal adalah adanya CO2 pada udara ekshalasi, pemeriksaan foto
toraks, penggunaan bronkoskop serat optik.
7.Cara menegakkan diagnosis intubasi endobronkial : bunyi nafas unilateral, hipoksia yang tidak
diduga (oksimetri pulsa) dengan oksigen inspirasi tinggi dan penurunan kekembangan balon
pernafasan
8.Tekanan negatif intratoraks yang besar yang ditimbulkan oleh upaya keras pasien untuk
bernafas karena spasme laring dapat menimbulkan edema paru tekanan negatif, bahkan pada
pasien sehat sekalipun.
31
12.SpO2 dapat menunjukkan kemungkinan intubasi endobronkial
13.Bila saat tindakan intubasi, terjadi desaturasi Hb, hentikan dulu upaya intubasi, berikan
oksigen dulu, sampai saturasi Hb meningkat kembali. Lanjutkan upaya intubasi.
14.Algoritma jalan nafas sulit harus selalu tersedia untuk jadi pedoman guna menghadapi
kesulitan intubasi yang tidak diperkirakan sebelumnya.
3. GAMBARAN UMUM
Penatalaksanaan jalan nafas adalah suatu pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai
oleh peserta didik. Problema jalan nafas pada pasien sadar maupun pasien tidak sadar oleh
sebab apapun termasuk anestesia umum pada umumnya adalah karena terjadi sumbatan jalan
nafas. Sumbatan jalan nafas atas maupun jalan nafas bawah terutama yang berat adalah kondisi
yang harus dikenali dan segera dilakukan pertolongan. Keterlambatan mengatasi kondisi
tersebut dapat berakibat fatal. Beberapa teknik yang harus dikuasai adalah pembebasan jalan
nafas baik secara manual maupun dengan alat. Keterampilan keduanya hanya akan diperoleh
melalui banyak latihan pada manikin dan diikuti dengan banyak melakukan praktek klinis.
4. TUJUAN PEMBELAJARAN
10. Mampu menggunakan alat-alat bantu untuk jalan nafas sulit seperti: glidescope,
bronkoskop serat optik dan alat lain untuk jalan nafas sulit (opsi).
32
5. METODE
Peserta didik sudah harus membaca/mempelajari buku referensi (Morgan) dan buku lain
mengenai penatalaksanaan jalan nafas (opsi)
Tujuan 1 sampai dengan 10 merupakan paket penatalaksanaan jalan nafas secara menyeluruh
Metode Pembelajaran:
1. Pembelajaran terpadu
2. Pembelajaran independen
3. Pembelajaran berdasarkan problema
4. Kuliah perkenalan
5. Diskusi kelompok kecil dan umpan balik
6. Problema penatalaksanaan pasien
7. Simulasi pasien, skenario, pajangan dll
Psikomotor
1. Kuliah perkenalan
2. Simulasi pasien, skenario, pajangan dll.
33
Keterampilan dan materi yang harus dikuasai:
f. Melakukan intubasi pada jalan nafas sulit ( satu atau dua teknik)
g. Melakukan krikotirotomi
Teknik intubasi sadar dan intubasi dengan nafas spontan pada prinsipnya sama. Tetapi pasien
sadar memerlukan sedasi dan analgesia topikal yang adekuat pada jalan nafas atas (laring dan
sekitarnya). Karena tidak menggunakan relaksan, secara teknis lebih sulit dan lebih traumatik.
6.MEDIA
a.kuliah,
b.diskusi kelompok,
c.simulasi kasus,
e. bedside teaching,
g. praktek mandiri
34
7. ALAT BANTU PEMBELAJARAN
d. Alat-alat lain seperti cunam Magill, katup sungkup balon (bag mask valve, BMV), stetoskop.
f. Materi kasus : rumah sakit kelas B (jumlah dan variasi kasus memadai)
8. EVALUASI
Pelatihan di skill lab intubasi pada manikin dengan keberhasilan mendekati 100%
Pelatihan di kamar bedah intubasi pada pasien, dengan bimbingan dan pengawasan staf pengajar.
35
5. Pengetahuan : Multiple Choice Question (MCQ): pre-tes dan pos-tes
EMQ
9. REFERENSI
36
12. Melakukan pemasangan pipa orofaring pada anak-
anak
11.DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur sandard atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih
37
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
38
melakukan prosedur
Mempertahankan jalan nafas atas agar tetap bebas merupakan syarat mutlak selama tindakan
anestesia umum maupun regional. Pasien yang tidak sadar dapat mengalami sumbatan jalan
nafas atas parsial atau total. Tanda-tanda sumbatan ini harus dapat dikenali secara dini. Sumbatan
parsial ditandai dengan adanya bunyi berisik saat inspirasi seperti ngorok, atau melengking,
pengurangan aliran udara keluar masuk paru, saat inspirasi terjadi retraksi pada suprasternal,
supraklavikular, interkostal dan epigastrium, mungkin ada gerakan dada paradoksal. Pada
sumbatan total jalan nafas gejala tersebut akan terlihat makin berat, tetapi justru tidak terdengar
bunyi nafas, sehingga bila tidak diatasi dengan baik dapat membahayakan pasien, karena dapat
menimbulkan desaturasi yang mengancam nyawa. Pemantauan saturasi sangat bermanfaat untuk
deteksi dini terjadinya desaturasi oksigen.
Peserta didik harus melakukan latihan pada manikin lebih dulu sampai mahir sebelum
melakukannya pada pasien. Tanpa alat: melakukan ekstensi kepala, angkat dagu atau dengan
manuver tripel. Dengan alat: memasang pipa orofaring, pipa nasofaring, LMA dan pipa
endotrakeal., melakukan krikotirotomi serta trakeostomi.
39
8. Kendala saat memasukkan atau insersi LMA adalah terhalang lidah. Dapat diatasi dengan
menarik lidah keluar saat insersi posisi.
9. LMA dianggap tepat pada tempatnya bila terasa udara keluar masuk secara bebas, ada
gerakan kembang kempis pada kantong reservoar anestesia
10. Obstruksi setelah insersi biasanya oleh karena epiglotis terlipat ke bawah atau spasme
laring ringan.
11. Lakukan fiksasi dengan baik.
Mempertahankan jalan nafas pada neonatus pada dasarnya sama dengan dewasa tetapi harus
dilakukan dengan cara lebih hati-hati atau lembut ( lihat modul anestesia pediatrik)
Penatalaksanaan jalan nafas pada anak-anak dan neonatus pada prinsipnya sama dengan dewasa.
Neonatus lebih rentan terhadap trauma, sehingga harus dilakukan secara hati-hati. Proporsi
kepala bayi atau anak relatif lebih besar daripada orang dewasa, sehingga posisi tidak stabil dan
menimbulkan kesulitan fiksasi saat dilakukan intubasi endotrakeal. Pipa endotrakeal neonatus
tanpa kaf, nomor 2.5 atau 3. Pipa endotrakeal untuk anak-anak sampai usia 6-8 thn hendaknya
40
juga tanpa kaf. Penatalaksanaan jalan nafas pada neonatus dan anak dapat dilihat pada modul
anestesia pediatrik.
A. Ventilasi sulit
B. Intubasi sulit
D. Trakeostomi sulit.
41
4. Buatlah strategi primer dan alternatif lain (ASA 2003)
A Awake intubation
Succeed FAIL
Cancel Consider Invasive airway
Case feasibility access
of other options
42
B Intubation attempts after
Induction
of General Anesthesia
2. Returning to spontaneous
Consider/attempt
LMA
43
KETERAMPILAN DASAR ANESTESIOLOGI III
MODUL 3
RJP Neonatus Dewasa
Persiapan Sesi
Audiovisual
1. Laptop
2. LCD proyektor dan layar
3. Flip chart
4. OHP
5. Pemutar video
Materi kuliah : CD atau flashdisc power point
1. RJP pada pasien dewasa.
2. RJP pada anak-anak
3. RJP pada neonatus
4. RJPO (RJP Otak modul ICU)
5. Penatalaksanaan pasca henti jantung
6. Pencegahan henti jantung
Sarana belajar
1. Ruang kuliah
2. Ruang skill lab.
Alat bantu latih: manikin neonatus, anak dan dewasa, alat-alat untuk RJP
Kasus : ilustrasi kasus/ retrospektif
Penuntun belajar : lihat materi acuan
Daftar tilik kompetensi: lihat daftar tilik
Referensi:
1. Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr. 4th ed 2006
44
Salah satu kejadian paling berat pada pasien selama masa perioperatif adalah henti jantung.
Kejadian tersebut dapat terjadi di mana saja, di kamar bedah atau di luar kamar bedah.
Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan bekerja sama dalam tim
dan secara individu untuk melakukan RJP dengan baik dan benar, sebelum terlibat atau
memberikan anestesia
Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik akan memiliki kemampuan menjelaskan sebab-
sebab henti jantung, menegakkan diagnosis henti jantung, melakukan RJP yaitu pembebasan
jalan nafas, ventilasi buatan, kompresi dada luar, defibrilasi, pemberian obat-obat resusitasi,
penilaian hasil resusitasi, penghentian resusitasi dan/atau merujuk pasien ke ICU pasca
resusitasi. Kemampuan tersebut meliputi RJP pada pasien dewasa, anak-anak, bayi/neonatus
baik di kamar operasi maupun di luar kamar operasi
1. RANAH KOMPETENSI
Kognitif
45
Psikomotor
Komunikasi/Hubungan interpersonal
1. Bila henti jantung terjadi dalam masa perioperatif, mampu berkomunikasi dengan
sejawat, sejawat disiplin lain dan tenaga kesehatan lain untuk bekerja sama dalam tim
melakukan pertolongan RJP dengan menunjuk seorang atau bertindak sendiri sebagai
kepala tim (dari disiplin anestesia)
2. Mampu berkomunikasi dengan keluarga pasien untuk menjelaskan tindakan RJP dan
mengapa RJP dilakukan, perkembangan hasil RJP, sampai pasien dirawat ICU dan
bagaimana prognosisnya.
1. RJP dan asuhan kardiak darurat harus dipertimbangkan setiap saat pada pasien yang tidak
mendapat oksigenasi secara adekuat atau ada gangguan perfusi organ tidak hanya setelah
terjadi henti jantung
2. Ventilasi dan kompresi jantung/dada luar harus tidak boleh terlambat oleh tindakan
intubasi apabila jalan nafas telah bebas dengan manuver dorong mandibula
3. Upaya intubasi harus berhasil dalam 30 detik.
4. Kompresi dada harus dilakukan segera bila ada pasien tanpa nadi
5. Petugas kesehatan yang bertugas di rumah sakit, rawat jalan harus mampu melakukan
defibrilasi dini segera pada pasien dengan fibrilasi ventrikular. Syok harus dilakukan
dalam waktu 3 ( 1min) sesudah henti jantung.
6. Lidokain, epinefrin, atropin, dan vasopresin dan bukan Na-bikarbonat dapat diberikan
melalui kateter dalam pipa trakea. Dosis 2-21/2 kali dosis IV, diencerkan dalam 10ml
aquades atau NaCl 0.9% pada pasien dewasa.
7. Bila akses intravena sulit, pada anak-anak dapat dilakukan intraoseus
3. GAMBARAN UMUM
46
Henti jantung merupakan keadaan yang dapat terjadi di mana saja dan memerlukan tindakan
segera RJP. Peluang yang besar kejadian henti jantung selama anestesia mengharuskan setiap
peserta didik memiliki kemampuan melakukan RJP dengan baik. Tindakan RJP merupakan suatu
paket berupa Airway (A), Breathing (B), Circulation (C) yang sering disebut bantuan hidup dasar
(Basic Life Support) dan bila dilanjutkan dengan Drugs (D), pemeriksaan EKG (E) dan
Fibrillation treatment (F) merupakan bantuan hidup lanjut dan bila harus masuk ICU disebut
sebagai Prolonged Life Support. Pada modul ini hanya dibatasi pada RJP bantuan hidup dasar.
Bila RJP baru dilakukan pada henti jantung yang telah berlangsung 4 menit, kemungkinan akan
timbul kerusakan otak ireversibel.
Keberhasilan RJP bergantung dari cepatnya memulai RJP dan teknik RJP yang benar.
Kemampuan ini tidak terbatas dimiliki oleh anestetis tetapi juga oleh dokter atau pertugas
kesehatan lain yang terlibat pada pelayanan darurat, di mana peluang besar terjadi henti jantung
atau henti nafas
4. TUJUAN PEMBELAJARAN
a. Mampu melakukan diagnosis henti jantung pada pasien dewasa,anak-anak dan bayi/neonatus
5. METODE
RJP merupakan satu paket tindakan secara keseluruhan yaitu yang tidak dapat dipisah-pisahkan
antara A, B, C, oleh karena itu metode yang dilakukan untuk mencapai tujuan juga tidak dapat di
pisah-pisahkan.
Metode Pembelajaran:
Kognitif
47
6. Problema penatalaksanaan pasien
7. Simulasi pasien, skenario, pajangan dll
Psikomotor
Manikin based
Profesionalisme
Pengetahuan
1. Kuliah perkenalan
2. Diskusi kelompok kecil dan umpan balik
6.MEDIA
48
b. Belajar bersama secara terintegrasi
c. Belajar mandiri
d. Pembelajaran berdasarkan problema
e. Diskusi kelompok kecil dan umpan balik
f. Problema penatalaksanaan pasien
g. Simulasi pasien, skenario, pajangan dll
h. Demonstrasi/pajangan dan supervisi klinis
i. Mengikuti kursus perkembangan mutakhir RJP.
a. Sarana belajar mengajar : ruang kuliah, perpustakaan, internet, ruang skill lab,
alat audiovisual
b. Manikin untuk latihan RJP bantuan hidup dasar, manikin simulasi bantuan hidup
lanjut (opsi)
c. BMV resusitator
d. Alat EKG dan defibrilator manual atau opsi automatic external defibrillator
(AED)
e. Papan keras untuk alas pasien
f. Alat-alat untuk penatalaksanaan jalan nafas (lihat modul 2)
8. EVALUASI
Pre-tes:
Evaluasi kemampuan dilakukan berdasarkan keterampilan RJP pada manikin, keberhasilan lebih
dari 75% dianggap kompeten melakukan RJP.
49
1. Kognitif :
EMQ lisan
Beberapa pengamat
2. Psikomotor:
Pengamatan dan penilaian beberapa kali
Beberapa pengamat
Beberapa pengamat
4. Profesionalisme:
Pengamatan dan penilaian beberapa kali
Beberapa pengamat
5. Pengetahuan :
MCQ atau esai (pre-tes) dan pos-tes
EMQ tertulis
Prosedur RJP
Algoritma untuk henti jantung karena VF, VT, PEA dan asistol (AHA Guidelines for CPR 2005)
50
PULSELESS ARREST
*BLS : Call for help, give CPR
*Give oxygen when available
*Attach monitor/defibrillator
2 when 9
available
Shockabl Check rhythm Not Asystole/PE
3 e shockable A
Shockable 10
VF/VT rhythm?
Resume CPR immediately for 5
siklus
4
When IV/IO available, give
vasopresor
* Epinefrin 1mg IV/IO
Give 1 shock
Repeat every 3to5min
*Manual biphasic: device specific
or
(typically 120 to 200J)
* May give 1 dose of vasopresin
If unknown, use 200J
40U
*AED: device specific
IV/IO to replace first or second
*Monophasic:360J 1
dose of epinefrin
Resume CPR immediately 1
Consider atropin 1mg IV/IO
5 Give 5 siklus of for asystole or slow PEA rate
CPR* Give 5 siklus of
No CPR*
Check rhythm 1
Give 1 shock
51
Box 12
7
No
Check rhythm
Shockable
rhythm?
Shockabl
e
8
During During CPR
Continue CPR while defibrillator is
CPR
charging
*Push hard and fast
Give 1 shock Rotate compressors
(100/min)
every
*Manual biphasic: device specific
*Ensure full chest
recoil 2 minutes with rhythm
(same as first shock or higher dose)
checks
Note: If unknown use 200J
Search for and treat
*AED :device specific
*Minimize interruption possible
*Monophasic : 360J in chest
contributing factors:
compressions
Resume CPR immediately after the
- Hypovolemia
shock
*One cycle of CPR: - Hypoxia
- Hydrogen ion
30 compressions then (acidosis)
2breaths
5siklus = 2 minutes
*Avoid hyperventilation
placement
placed, rescuers no
longer deliver siklus of
CPR. Give continuous
Chest compressions
without
52
pauses for breaths. Give
8 to 10
breaths/minute. Check
every 2 minutes.
9. REFERENSI
Algoritma untuk henti jantung karena VF, VT, PEA dan asistol (AHA Guidelines for CPR
2005)
53
10. DAFTAR PENUNTUN BELAJAR
54
18. Melakukan resusitasi pada neonatus.
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standard atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
55
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
RJP atau Cardio pulmonary resuscitation (CPR) di kamar operasi adalah tanggung jawab
anestetis, yang mengetahui lokasi dan fungsi alat resusitasi, obat-obatan untuk resusitasi dan
56
pembagian tugas. Pedoman di bawah ini telah dimodifikasikan mengikuti 2005 American Heart
Association Guidelines for Cardiopulmonary Resusucitation and EmergencyCardiac Care.
Tidak terabanya denyut/pulsasi arteri besar (karotis, radial atau femoral), tidak sadar. EKG
mungkin memperlihatkan asistol, fibrilasi ventrikular (VF), takikardia ventrikular (VT), atau
pulseless electrical activity (PEA).
Sebab paling sering henti jantung adalah: infark miokard, hipoksia, gangguan keseimbangan
asam-basa, gangguan kalium, kalsium, dan magnesium, hipovolemia, efek obat yang tidak
diinginkan, tamponade perikardial, pneumotoraks ventil, embolus paru, hipotermia.
Henti jantung menyebabkan aliran darah yang efektif berhenti, hipoksia jaringan, metabolisme
anaerobik, dan kumulasi sisa metabolisme sel. Fungsi organ terganggu, dan kerusakan permanen
akan timbul, kecuali resusitasi dilakukan dalam hitungan menit (tidak lebih dari 4 menit).
Asidosis akibat metabolisme anaerobik menyebabkan vasodilatasi sistemik, vasokonstriksi
pulmoner, dan penurunan respons terhadap katekolamin.
A. Bantuan hidup dasar. Henti jantung harus selalu dicurigai pada setiap pasien yang tanpa
diduga jatuh tidak sadar. Bila tidak dapat dibangunkan, resusitasi ABCD (airway, breathing,
circulation, defibrillation) harus dilakukan setelah lebih dulu minta bantuan. Untuk penolong
tunggal/ sendirian dengan penolong orang awam ada aturan phone first/phone fast Pada
dewasa dan semua anak di atas 12-14 tahun dengan risiko disritmia dapat dilakukan AED, kalau
alat tersedia, sebelum RJP dimulai oleh penolong yang sendirian.
1. Jalan nafas dan pernafasan. Posisi kepala untuk pembebasan jalan nafas, dibantu dengan
pemasangan pipa oro atau nasofaring. Nafas spontan dinilai dengan observasi, merasakan dan
mendengar. Bila nafas spontan tidak ada atau tidak efektif, berikan bantuan nafas buatan dengan
sungkup balon katup dengan oksigen 100%. Berikan nafas buatan dua kali pelan dengan tekanan
rendah (untuk mencegah distensi gaster), dilanjutkan dengan 8 sampai 10 kali nafas bantuan per
menit. Bila ventilasi tidak mungkin, fikirkan akan adanya benda asing di jalan nafas dan
keluarkan secara manual, lakukan manuver Heimlich, kompresi dada.
57
2. Sirkulasi. Sirkulasi dinilai dengan palpasi arteri karotis selama 5 detik. Bila tidak teraba,
lakukan kompresi dada luar (bila denyut teraba, tidak berarti bahwa tekanan arteri rata-rata
adekuat, bila tidak ada nafas, batuk-batuk atau gerakan, kompresi jantung/dada luar boleh
dilakukan). Tempatkan pasien pada alas yang keras, kepala satu level dengan toraks. Tumpuan
kompresi dada luar dilakukan dengan menempatkan pangkal tangan pada sternum di antara dua
puting susu, tangan lain ditempatkan di atas tangan pertama. Dokter pemegang pisau dapat
diminta bantuan untuk melakukan tindakan tersebut. Lengan lurus, kompresi tegak lurus ke
sternum, dengan ke dalaman 1.5 2.0 inci (4-5sm) pada orang dewasa. Rasio kompresi :
relaksasi = 1:1 dengan laju kompresi 100x/menit. Pada pasien dengan posisi tengkurap yang
tidak dapat dibuat telentang secara cepat, seorang penolong dapat meletakkan kepalan tangan di
antara subsifoid dan meja operasi sementara kompresi dilakukan pada punggung pada tempat
yang sesuai. Rasio kompresi dada: ventilasi adalah 30:2, pada dewasa dan anak bila hanya ada
satu penolong. Bila ada dua penolong dan sudah terpasang pipa endotrakeal atau LM, ventilasi
dapat diberikan 8 10 kali per menit dan kompresi dada harus diberikan dengan kecepatan
kompresi 100 kali per menit. Tanpa menunggu pause ventilasi.
3. Defibrilasi. Bila di rumah sakit harus dilakukan dalam waktu 3 menit atau dalam waktu 5
menit (sambil melakukan RJP dengan sangat baik). Ini merupakan faktor utama yang
menentukan keberhasilan resusitasi karena VF merupakan penyebab yang sering pada henti
jantung pasien dewasa. Bila tersedia AED di tempat umum, defibrilasi dapat dilakukan oleh
tenaga seperti polisi, personil pemadam kebakaran, keamanan dan lain lain. Melalui analisis
frekuensi, amplitudo dan gambaran signal ECG, alat AED tersebut dapat digunakan untuk
indikasi syok atau tidak ada indikasi untuk syok.AED dipicu secara manual tidak secara
automatis melakukan defibrilasi pasien.
4. Penilaian ulang RJP harus dinilai segera setelah dilakukan syok tanpa harus istirahat untuk
memeriksa nadi atau ritme dan harus dilanjutkan sampai lima siklus (atau kira-kira 2 menit bila
pasien dengan ETT terpasang) sebelum ritme dinilai ulang. Penolong harus memeriksa nadi
bilamana ritme yang teratur telah kembali. Bilamana tidak ada nadi atau tidak ada indikasi syok
dengan AED, RJP harus dilanjutkan dengan menilai ritme setiap lima siklus.
Protokol khusus:
1. Intubasi, harus secara cepat dilakukan dengan interupsi kompresi dada seminimal mungkin
dan tanpa menunda defibrilasi, akan mengoptimalkan oksigenasi dan pengeluaran CO2 selama
resusitasi. Bila ada alatnya dikonfirmasikan dengan kapnografi. Jalur endotrakeal ini bisa
dipakai untuk memberikan obat bila akses intravena sulit, misalnya nalokson, atropin,
58
vasopresin, epinefrin dan lidokain (NAVEL). Obat diencerkan dengan 10 ml NaCl 0,9% steril
dan diberikan 2 sampai 3 kali.
2. Defibrilasi. VT dan VF bila berlangsung lama maka aktivitas jantung menurun dan akan sulit
untuk dikonversi ke ritme normal. Lakukan defibrilasi sedini mungkin, tanpa melihat lapangan
operasi. Itu merupakan tanggung jawab yang melakukan defibrilasi agar anggota tim resusitasi
tidak kontak dengan pasien selama tindakan defibrilasi.
a. Defibrilasi bentuk gelombang bifasik. Energi optimal untuk mengakhiri VF yang dipakai
bergantung pada spesifikasi alat antara 120 200 Joule, bila tidak ada pakai yang 200J.
Bilamana VF berhasil diatasi tetapi timbul VF ulang, syok berikut gunakan energi yang sama.
3. Pemacuan, blok jantung derajat tinggi dengan bradikardia yang menonjol adalah etiologi
henti jantung. Pacu jantung temporer harus dipasang bila laju jantung tidak meningkat dengan
terapi farmakologis. Pemacuan transkutaneus adalah cara yang mudah untuk meningkatkan laju
ventrikular.
4. Akses intravena merupakan keharusan untuk resusitasi agar berhasil. Tempat terbaik adalah
vena sentral, vena jugularis interna, vena jugularis eksterna, vena subklavia, vena femoralis atau
vena perifer dengan kateter panjang, atau pendek tetapi aliran harus lancar.
5. Obat-obatan, ikuti ACLS. Obat-obat yang dipakai pada keadaan hemodinamik tak stabil,
iskemia atau infark miokard dan aritmia.
a. Adenosin, untuk mengkonversi PSVT ke irama sinus, waktu paruh 5 menit, memperlambat
A-V konduksi nodal, menginterupsi jalur reentry A-V node. Ini dapat pula digunakan untuk
59
membantu membuat diagnosis diferensial takikardia ventrikular ( misalnya flater atrial dengan
respons cepat versus PSVT). Dosis 6 mg dengan bolus IV cepat. Bila PSVT tak berhasil diatasi,
dapat diberikan suntikan kedua dengan dosis 12 mg. Pada anak-anak dosis 0,1 mg/kg; dosis
ulang 0,2 mg/kg; dosis maksimal 12 mg.
b. Amiodaron obat yang paling bermanfaat dalam ACLS. Memiliki sifat-sifat anti-aritmik,
memperpanjang aksi potensial, blokade kanal natrium, kronotropik negatif. Obat ini sangat
efektif dan tidak memiliki efek prodisritmik, sehingga disukai sebagai antidisritmia pada
gangguan fungsi kardiak yang berat. Dosis untuk VF dan VT yang tidak stabil, 300mg
diencerkan dalam 20 30 ml NaCl 0.9% atau dekstrosa 5% secara cepat. Untuk pasien dengan
kondisi lebih stabil dosis 150 mg diberikan dalam waktu 10 menit, dilanjutkan dengan infusi
1mg/menit selama 6 jam kemudian 0,5 mg/menit. Dosis maksimal adalah 2 g sehari. Efek
samping yang timbul segera adalah bradikardia dan hipotensi. Pada anak-anak dosis
pengisian(loading dose) 5 mg/kg, dosis maksimum 15 mg/kg/hari. Indikasi penggunaan
amiodaron adalah: (1) VT tidak stabil (2) VF sesudah gagal dilakukan defibrilasi elektrik dan
terapi adrenalin. (3) Mengendalikan laju jantung selama VT yang monomorfik, VT polimorfik
(4) Mengendalikan laju ventrikular pada aritmia atrium yang tidak berhasil dengan terapi
digitalis. Atau bilamana takikardia sekunder oleh jalur lain. (5) Bagian kardioversi elektrik PSVT
yang refrakter atau takikardia atrial.
c.Atropin bermanfaat pada bradikardia atau blok A-V. Ini meningkatkan laju irama sinus dan
meningkatkan konduksi nodus A V oleh karena efek vagolitik.
Dosis atropin untuk bradikardia atau blok A-V adalah 0,5 mg diulang tiap 3-5 menit sampai
dosis total 0,04 mg/kg. Untuk asistol, atropin diberikan 1 mg bolus diulang tiap 3 5 menit bila
perlu. Blok vagal total dicapai bila dosis kumulatif 3 mg. PALS: 0,02 mg/kg; dosis minimal 0,1
mg, dosis maksimal 0,5 mg pada anak, 1 mg pada dewasa.
d. Penghambat beta (atenolol, metoprolol dan propanolol) sudah dipakai untuk pasien-pasien
dengan angina tidak stabil, infark miokard. Obat-obat ini mengurangi iskemia rekurens, reinfark
nonfatal, VF pasca-infark. Kontras dengan penghambat kalsium, penghambat beta bukan inotrop
negatif direk. Esmolol, berguna pula untuk terapi akut PSVT, AF, flater atrial, takikardia atrial
ektopik. Dosis awal dan lanjut bila timbul toleransi adalah: atenolol 5 mg selama 5 menit, ulangi
sekali pada 10 menit; metoprolol 5 mg sebanyak tiga kali setiap 5 menit; propranolol 0,1 mg/kg
dibagi dalam tiga dosis setiap 2 -3 menit; esmolol 0,5 mg/kg dalam 1 menit dilanjutkan dengan
infusi mulai dari 50 mkg/menit dan titrasi sampai 200 mkg/menit. Indikasi-kontra adalah blok
jantung derajat dua atau tiga, hipotensi dan gagal jantung kongestif berat. Atenolol dan
metoprolol, relatif lebih beta-1 bloker, lebih disukai daripada propranolol pada pasien dengan
jalan nafas reaktif. Sebagian besar pasien dengan penyakit obstruktif menahun, umumnya
tolerans terhadap beta-bloker.
60
e. Kalsium diindikasikan pada pasien henti jantung hanya bilamana dicurigai ada hiperkalemia,
hipermagnesemia, hipokalsemia, atau toksik karena penghambat kanal kalsium. Kalsium klorida
5 10 mg/kg IV, dapat diulang bila perlu. (PALS: 20 mg/kg)
h. Epinefrin masih merupakan terapi farmakologik utama pada henti jantung , meskipun sedikit
bukti akan memperbaiki survival. Efek vasokonstriksi alfa-adrenergik pembuluh nonserebral
dan nonkoroner menimbulkan kompensasi pintasan darah ke otak dan jantung. Dosis tinggi tidak
dianjurkan karena dapat ikut menimbulkan disfungsi miokard.
Dosis tinggi diindikasikan pada overdosis penghambat beta atau penghambat kanal Ca. Dosis
yang dianjurkan adalah 1,0 mg IV, ulangi tiap 3-5 menit, atau pemberian infusi 1-4
mikrogram/menit. Epinefrin juga dipakai untuk bradikardia simptomatik (PALS: bradikardia
0,01 mkg/kg; nadi berhenti 0,01 mg/kg)
i.Isoproterenol adalah beta-1 dan beta-2 agonis adrenergik. Ini merupakan obat lini kedua untuk
mengatasi bradikardia yang tidak responsif terhadap atropin dan dobutamin di mana alat pacu
jantung temporer tidak tersedia. Aktivitas beta-2 dapat menyebabkan hipotensi. Isoproterenol
diberikan dengan IV 210 mikrogram/menit, dititrasikan untuk mencapai laju nadi yang
diinginkan.
61
k. Magnesium adalah kofaktor dalam bermacam reaksi enzim termasuk Na, K-ATPase.
Hipomagnesemia dapat mencetuskan VF yang refrakter sekaligus eksaserbasi hipokalemia.
Penggantian magnesium efektif untuk torsade de pointes akibat pemberian obat. Dosis untuk
keadaan segera 1 2 g dalam dekstrosa 5% diberikan selama 1 -2 menit. Efek samping dengan
pemberian cepat adalah hipotensi dan bradikardia (PALS: 25-50mg/kg, dosis maksimal 2g).
l.Oksigen (100%) harus diberikan pada semua pasien henti jantung, dengan/ tanpa nafas bantu.
m.Prokainamid mungkin bisa dipertimbangkan pada pasien-pasien dengan yang masih ada
cadangan fungsi ventrikular. Dosis pengisian adalah 20 mg/menit sampai aritmia dapat
tersupresi, timbul hipotensi, kompleks QRS melebar 50% dari nilai asal atau dosis total 17
mg/kg tercapai. Bila aritmia dapat diatasi, infusi rumatan 1 4 mg/menit harus dimulai, dosis
kurangi bila ada gagal ginjal.
n.Natrium bikarbonat pada henti jantung dapat memperburuk karena dapat menimbulkan
asidosis intraselular paradoksal. Ini dapat dipertimbangkan bila Standard protokol ACLS gagal
dengan adanya asidosis metabolik berat, dan ini bisa membantu terapi hiperkalemia atau
keracunan anti depresan tricyclic.. Dosis awal 1mEq/kg IV, dengan dosis berikut 0,5mEq/kg
diberikan setiap 10menit (dipandu dengan nilai pH dan PaCO2). (PALS: 1mEq/kg)
o. Vasopresin, sebuah antidiuretik dan presor bisa dipakai untuk pengganti dosis 1 dan dosis 2
epinefrin, pada terapi henti jantung (40 unit IV), lebih efektif daripada epinefrin, konstriksi otot
polos vaskular pada dosis tinggi. Lebih efektif dalam mempertahankan coronary perfusion
pressure dan half life lebih panjang 10 20 menit.
6. Kompresi jantung langsung dada terbuka, dilakukan bila ada sumber daya yang memadai
untuk penatalaksanaan trauma tembus dada, trauma abdominal dengan henti jantung, perikardial
tamponade, hipotermia, atau embolus paru. Kompresi langsung juga diindikasikan untuk pasien-
pasien dengan kelainan anatomi pada dada yang menyebabkan kompresi dada tertutup sulit.
7. Pengakhiran RJP. Tidak ada pedoman yang mutlak untuk menentukan kapan menghentikan
resusitasi yang tidak berhasil, tetapi peluang hidup kecil setelah berlangsung 30 menit. Ini
merupakan keputusan yang harus diambil oleh dokter yang bertugas untuk menentukan kapan
sistem kardiovaskular tidak bereaksi lagi terhadap bantuan hidup dasar maupun bantuan hidup
lanjut dan bahwa pasien telah meninggal.
Menurut fatwa IDI tentang mati (Surat keputusan PB. IDI No.336/PB/A.4/88), pada resusitasi
darurat, di mana kita tidak mungkin menentukan MBO, seseorang dapat dinyatakan mati bila 1) terdapat
tanda-tanda mati jantung atau 2) terdapat tanda-tanda klinis mati otak yaitu bilamana setelah dimulai
resusitasi, pasien tetap tidak sadar, tidak timbul pula nafas spontan dan refleks muntah (gag reflex) serta
pupil tetap dilatasi selama 15-30 menit atau lebih, kecuali kalau pasien hipotermik, di bawah pengaruh
barbiturat atau anestesia umum. Diagnosis mati jantung (henti jantung ireversibel) ditegakkan bila
62
telah ada asistol listrik membandel (intractable, garis datar pada EKG) selama paling sedikit 30
menit, walaupun telah dilakukan RJP dan terapi obat yang optimal
8. Pernyataan do not resuscitate (DNR) menempatkan anestetis sebagai posisi kunci pada
masa intraoperatif dan pascabedah. Tidak berarti bahwa DNR berlaku pada masa perioperatif.
Pedoman tertulis khusus untuk institusi harus diulas. Kelanjutan tindakan resusitasi pada pasien
dengan DNR harus disesuaikan dengan harapan pasien.
A. Bantuan hidup dasar. Kebutuhan untuk RJP pada pediatri setelah masa neonatus jarang.
Henti jantung pada pediatri biasanya karena hipoksemia terkait dengan gagal nafas atau obstruksi
jalan nafas. Pediatri meliputi bayi (usia 1 bulan sampai 1 tahun), anak-anak (1 sampai 8 tahun).
Untuk anak-anak lebih tua dari 8 tahun, resusitasi sama dengan dewasa. Perbedaan resusitasi
pada anak-anak dan dewasa:
1. Jalan nafas dan pernafasan. Tindakan menjaga jalan nafas sama dengan dewasa. Pada
anak-anak kurang dari 1 tahun, hentakan abdominal tidak digunakan karena mudah merusak
saluran cerna. Hiperekstensi kepala leher neonatus (head tilt/chin lift) dapat menimbulkan
obstruksi jalan nafas. Kompresi submental saat angkat dagu dapat menimbulkan obstruksi jalan
nafas karena lidah terdorong ke dalam faring. Ventilasi harus diberikan secara pelan dengan
tekanan jalan nafas rendah guna mencegah distensi gaster dan harus diberikan volume ventilasi
yang baik
2.Sirkulasi. Pada bayi arteri brakialis dan arteri femoralis dipakai untuk menilai denyut, karena
arteri karotis sulit diraba. Bila tidak ada denyut, kompresi dada dimulai dengan rasio
kompresi/relaksasi 1:1 dengan dua ujung jari atau dengan kedua ujung ibu jari sembari kedua
tangan melingkari dada. Tempat tumpuan kompresi adalah di sternum satu jari di bawah garis
interpapiler. Pada anak lebih besar tempat tumpuan sama dengan dewasa, kompresi dilakukan
hanya dengan satu tangan menekan sternum sedalam 1/3 sampai kedalaman anterior posterior
toraks. Untuk satu penolong rasio kompresi/ventilasi 30:2. Untuk dua penolong 15:2. Ventilasi
diberikan 8 sampai 10 kali per menit, dan kompresi dada diberikan dengan kecepatan 100 x per
menit.
B. Pediatric advanced life suppot. Kebanyakan henti jantung pediatrik lebih sering
menunjukkan gambaran EKG asistol atau bradikardia daripada aritmia ventrikular. Pada anak
kurang dari 1 tahun, etiologinya adalah idiopatik atau pernafasan. Karena perbedaan anatomi dan
fisiologi dengan dewasa, pada anak-anak dipakai dosis defibrilasi dan obat berdasarkan berat
badan.
63
1.Intubasi. Ukuran ETT berdasarkan usia pasien (= 4 + usia/4) untuk anak-anak di atas 2 tahun.
Gunakan ukuran lebih kecil untuk ETT dengan kaf. Atropin, epinefrin, lidokain, atau nalokson
dapat diberikan melalui ETT sebelum ada akses vena.
2. Defibrilasi. Padel defibrilator untuk bayi berdiameter 4,5 sm dan untuk anak lebih besar 8 sm.
Untuk alat monofasik dan bifasik level energi 2 J/kg dosis awal dan dosis ulang 4 J/kg.
Hipoksemia, asidosis dan hipotermia harus dipertimbangkan sebagai penyebab henti jantung
yang perlu diatasi bila upaya defibrilasi tidak berhasil. Untuk kardioversi mulai dengan energi
0,2 J/kg, dinaikkan sampai 1 J/kg bila diperlukan.
3. Akses intravena. Akses vena sentral lebih disukai, tetapi bila ada, jalur IV perifer harus
segera dipakai, jangan ditunda-tunda. Vena femoralis masih bisa dipakai dengan kateter khusus
yang cukup panjang. Akses intraoseus dapat dipakai pada anak-anak, dengan jarum khusus
ditusukkan ke bagian spongiosa tibia, hindari epifisis tibia, mencapai akses sinus vena sumsum
tulang. Bila tak satupun di atas tersedia, dapat diberikan melalui ETT dengan pengenceran 2 5
ml NaCl 0,9%.
4.Medikasi. Semua obat yang dipakai pada ACLS dewasa dapat diberikan pada anak-anak
(PALS), disesuaikan dengan berat badan anak.
Resusitasi Neonatus. Neonatus adalah usia 28 hari pertama kehidupan. Seseorang yang sudah
mahir dalam resusitasi neonatus hendaknya hadir pada setiap persalinan. Resusitasi dibagi dalam
4 fase: rangsangan dan isap, ventilasi, kompresi dada dan pemberian obat dan cairan resusitasi.
Resusitasi sering diperlukan pada operasi sesarea darurat atas indikasi gawat janin. Anestetis
harus mengambil alih terapi bayi baru lahir sampai spesialis anak tiba.
A. Penilaian. Resusitasi segera pada neonatus merupakan hal yang sulit bila hipoksemia berat
mudah terjadi dengan cepat dan menyebabkan asidosis respiratori, sirkulasi fetal resisten dan
pintasan kanan ke kiri. Neonatus yang membutuhkan resusitasi pada umumnya menderita
pintasan kanan ke kiri.
1. Skor Apgar merupakan penilaian obyektif kondisi fisiologis bayi baru lahir pada 1 dan 5
menit sesudah lahir.
2. Skor Apgar 0-2 harus dilakukan RJP. Skor 3-4 memerlukan balon resusitator dan sungkup
dan mungkin memerlukan resusitasi lebih lanjut. Suplemen oksigen dan rangsangan secara
normal cukup untuk bayi dengan skor 5 7. Aktivitas respirasi harus dinilai dengan mengamati
gerakan dada dan auskultasi. HR diperiksa dengan auskultasi atau perabaan pembuluh
umbilikalis.
64
1. Rangsangan dan pengisapan. Tempatkan neonatus dalam lingkungan hangat untuk
menghindari kehilangan panas dan asidosis kambuhan. Letakkan neonatus pada posisi
Trendelenberg dengan posisi mendongak untuk membuka jalan nafas dan memudahkan drainase
sekresi. Mulut dan hidung harus diisap (dengan alat khusus) untuk mengeluarkan darah, mukus,
mekonium. Pengisapan paling lama 10 detik, dan oksigen diberikan antara 2 upaya isap. Selama
pengisapan, denyut jantung harus dipantau untuk kemungkinan timbulnya bradikardia akibat
hipoksemia, refleks vagal atau rangsangan faring. Pengisapan dan mengeringkan merupakan
rangsangan pernafasan yang adekuat. Cara lain adalah secara lembut menggosok punggung atau
menepuk telapak tumit kaki. Bila ada mekonium dalam air ketuban, spesialis obstetri sering
melakukan pengisapan jalan nafas saat kepala lahir tetapi toraks belum lahir (intrapartum isap).
Akan tetapi, cara ini secara rutin tidak memberikan hasil lebih baik terhadap risiko aspirasi,
karena itu sudah tidak dianjurkan lagi. Pengisapan melalui ETT tak bermanfaat untuk bayi yang
usaha nafas kuat, tonus otot bagus, HR >100 kali/menit. Pengisapan melalui ETT harus
dilakukan segera setelah lahir pada bayi dengan mekonium dan diulangi sampai trakea bersih.
Tiap upaya isap harus singkat untuk mencegah bradikardia.
2. Ventilasi. Sesudah rangsangan dan stabilisasi, bayi yang bernafas spontan dan HR > 100
x/menit tetapi tampak sianosis sentral (wajah, tubuh dan membran mukosa), harus diberi
suplemen oksigen. Sianosis akral (hanya di kaki dan tangan) biasanya normal dan tidak handal
sebagai indikator hipoksemia. Beri ventilasi tekanan positif dengan oksigen 100% bila apnea,
sianosis dan HR < 100 x/menit. Balon resusitator dan sungkup muka harus diupayakan segera.
Nafas awal bisa memerlukan tekanan jalan nafas 30-40 sm H2O yang dipertahankan selama 2
detik. Tekanan jalan nafas harus dijaga serendah mungkin (pastikan paru mengembang dan cegah
distensi lambung). Lakukan terus ventilasi bantu sampai timbul ventilasi spontan adekuat dan
HR >100 x/menit. ETT dipasang bilamana ventilasi dengan sungkup muka tidak efektif,
diperlukan pengisapan melalui ETT (aspirasi mekonium), atau diperlukan ventilasi
berkepanjangan.
3. Kompresi dada. Untuk HR < 100, harus dievaluasi setelah pemberian ventilasi adekuat
dengan oksigen 100% selama 30 detik. Bila HR < 60 kompresi dada harus juga dilakukan di
samping bantuan nafas. Dilakukan pada sepertiga bawah dari sternum, dan kompresi dada
sedalam 1/3 kedalaman antero-posterior. Kompresi dan ventilasi harus dikoordinasikan dengan
rasio 3:1, dengan 90 kompresi dan 30 nafas sehingga dalam 1 menit diperoleh 120 kali upaya.
Kompresi dihentikan seiap 30 detik untuk menilai ulang respirasi, HR, warna dan harus
dilanjutkan terus sampai HR spontan > 60 x/menit
4. Pemberian obat-obat dan cairan resusitasi . Obat-obat resusitasi harus diberikan bila HR
masih < 60 x/menit kalaupun ventilasi sudah adekuat dengan oksigen 100% dan kompresi dada.
Vena umbilikalis, terbesar dan tertipis di antara 3 pembuluh darah dalam tali pusat, merupakan
akses vaskular untuk resusitasi neonatus. Bila tak ada akses vaskular, epinefrin, atropin, lidokain,
nalokson dibilas dengan larutan NaCl 0,9% 5 mL dapat diberikan melalui ETT.
65
5. Dosis obat dan cairan
a. Suplemen oksigen harus diberikan pada waktu ventilasi tekanan positif. Berikan oksigen bila
nafas spontan, tetapi ada sianosis sentral. Dianjurkan untuk tidak memberikan oksigen 100%
dalam waktu lama.
c.Nalokson adalah antagonis spesifik untuk opiat diberikan bila ada depresi nafas pada neonatus
sekunder karena pemberian narkotik pada ibunya. Dosis 0.1 mg/kg. Harus selalu diobservasi
akan timbulnya ulang depresi atau terjadi reaksi withdrawal.
d. Pemberian sodium bikarbonat secara rutin tidak dianjurkan. Dapat dipertimbangkan selama
henti jantung yang berkepanjangan untuk mengatasi depresi fungsi miokard dan penurunan kerja
katekolamin yang ditimbulkan oleh asidosis. Perdarahan intraventrikular pada bayi prematur
terjadi karena beban osmolar yang terjadi karena pemberian Na-bikarbonat. Preparat untuk
neonatus 4,2% atau 0,5 mEq/mL dapat menghindarkan efek samping di atas. Dosis awal 1
mEq/kg intavena diberikan selama 2menit. Selanjutnya 0,5 mEq/kg diberikan setiap 10 menit
dan pH dan PaCO2 harus selalu diperiksa.
e. Atropin, kalsium, glukosa tidak dianjurkan pada resusitasi neonatus kecuali dengan indikasi
khusus.
f. Cairan. Hipovolemia harus dipertimbangkan pada perdarahan peripartum atau bila hipotensi,
nadi lemah, tetap pucat sekalipun sudah dilakukan oksigenasi dan kompresi dada. Cairan yang
digunakan kristaloid 10 ml/kg dan diulang bila perlu. Pemberian volume ekspander seperti
albumin secara cepat dapat menimbulkan perdarahan intraventrikular.
66
Sesi di dalam kelas 2 X 1 jam (classroom session)
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
CD powerpoint
Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang pulih
4. Bangsal rawat inap/pengamatan lanjut
Kasus : pasien di ruang BEDAH (Bedah, Kebidanan dll)
Referensi :
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
3. Millers Anesthesia 6th ed 2005.
4. Perioperatif Medicine, Gillman, J,1998
5. Perioperatif Care, Stone,DJ,2004
67
1. Tujuan Pembelajaran Umum :
Setelah menyelesaikan modul ini peserta didikan akan memiliki pengetahuan dan
keterampilan melakukan evaluasi, mempersiapkan anestesia, melakukan asuhan pascabedah
untuk pasien ASA 1 dan 2 yang dilakukan pembedahan untuk mengurangi morbiditas bedah,
meningkatkan kualitas asuhan perioperatif dan menghemat biaya.
a. Kognitif
b. Psikomotor
c. Komunikasi/hubungan interpersonal
68
i. Mampu berinteraksi dengan orang lain atas dasar saling menghargai dan
menghormati.
ii. Mampu memberikan keterangan tentang kondisi pasien kepada sejawat senior atau
konsulen.
iii. Mampu menjelaskan pada pasien atau keluarga pasien tentang kondisi pasien
preoperatif dan langkah-langkah tindakan anestesia yang akan dilakukan serta
risiko yang bisa terjadi.
iv. Mampu menciptakan kondisi kerjasama tim di antara semua petugas kesehatan
yang terlibat di kamar operasi.
v. Mampu memberikan kepercayaan pada pasien tentang penanggulangan nyeri dan
rasa tidak nyaman pascabedah.
d. Profesionalisme
3. Key notes
a. Sasaran utama asesmen medis prabedah dan praprosedur pasien yang akan menerima
anestesia adalah untuk menurunkan angka kematian bedah, meningkatkan kualitas
asuhan medis tetapi menurunkan biaya asuhan perioperatif dan pasien kembali
dengan fungsi yang diinginkan secepat mungkin.
b. Evaluasi dasar untuk prabedah dan praprosedur adalah data yang memperlihatkan
kondisi pasien dan optimasi asuhan perioperatif yang menjadi prediktor signifikan
untuk kematian pascabedah.
c. Evaluasi prabedah dan praprosedur mengajukan oportuniti untuk memotivasi pasien
agar mendapatkan kualitas hidup yang lebih tinggi dengan demikian memperbaiki
outcome secepatnya dan peningkatan jangka panjang.
d. Tiga area riwayat cepat yang mempengaruhi evaluasi perioperatif adalah toleransi
latihan, riwayat penyakit sekarang dan kapan kunjungan akhir pasien ke rumah sakit
(primary care physician).
e. Tiga aspek riwayat menahun yang mempengaruhi evaluasi perioperatif adalah
pengobatan alasan pemakaiannya serta alergi; riwayat sosial, termasuk obat (drug),
alkohol, penggunaan rokok dan penghentiannya; riwayat keluarga dan penyakit
sebelumnnya.
f. Tiga aspek pemeriksaan fisis adalah, jalan nafas, kardiovaskular dan evaluasi paru.
69
g. Pada umumnya, tidak banyak benefit yang didapat tes laboratorium yang tak
terindikasi, dan tes sebaiknya dicadangkan untuk yang condong menghasilkan
meningkatkan mengobatan atau pencegahan problem potensial.
h. Prosedur bedah yang luas mempengaruhi kebutuhan tes rutin sedangkan prosedur
dengan risiko ringan tidak atau sedikit memerlukan tes diagnostik.
4. Pokok Bahasan
a. Definisi Kedokteran Perioperatif
b. Perubahan fisiologi akibat anestesia dan pembedahan
c. Pemeriksaan laboratorium darah, fungsi ginjal, fungsi hati, dan endokrin
d. Membaca foto toraks dan elektrokardiogram
e. Faktor-faktor yang menentukan risiko perioperatif
f. Persiapan preoperatif (Modul Persiapan Anestesia)
g. Penatalaksanaan Anestesia Umum
h. Pemantauan
i. Penatalaksanaan pasca-anestesia
j. Penatalaksanaan nyeri pascabedah (Modul Penatalaksanaan Nyeri)
6. Metode:
a. Pre-tes
b. Kognitif
i. Kuliah pendahuluan
70
ii. Belajar mandiri
iii. Belajar berkelompok
iv. Belajar berbasis problema
v. Diskusi kelompok
vi. Simulasi pasien
c. Psikomotor
i. Supervisi klinis
ii. Penatalaksanaan pasien berdasarkan problema
d. Komunikasi/hubungan interpersonal
i. Supervisi klinis
ii. Penatalaksanaan pasien berdasarkan problema
e. Profesionalisme
i. Penatalaksanaan pasien berdasarkan problema
7. Sumber Pembelajaran
a. Audiovisual
b. Praktek di kamar operasi
c. Internet
8. Media
a. Audiovisual
b. Praktek di kamar operasi
9. Alat Bantu
a. Audiovisual
b. Praktek di kamar operasi
10. Evaluasi
a. MCQ
b. EMQ
c. OSCE
d. Minicheck
e. Multiple observations and assessments
Sudah Belum
No Daftar cek penuntun belajar
dikerjakan dikerjakan
3. KUNJUNGAN PRAANESTESIA
B. Persiapan STATICS
72
E. Pemantauan selama anestesia
G. Penanggulangan nyeri
Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda
DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur Standard atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur Standard atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
73
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
74
Layak
Tidak layak
melakukan prosedur
75
MODUL 5 : KEDOKTERAN PERIOPERATIF II
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
Laptop
OHP
Flipchart
Pemutar video
Materi presentasi:
CD PowerPoint
Sarana:
Ruang belajar
Ruang pemeriksaan
Ruang Pulih
76
Alat Bantu Latih : Model anatomi /Simulator
Referensi :
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
1.Tujuan Pembelajaran Umum : Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik akan memiliki
pengetahuan dan keterampilan memberikan anestesia umum dan analgesia regional
2.Tujuan Pembelajaran Khusus: Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik akan memiliki
kemampuan:
a. Kognitif
77
xi.Mampu menjelaskan indikasi pasien rawat ICU
b. Psikomotor
i. Mampu melakukan pencatatan hal-hal penting yang terkait dengan tindakan anestesia
dalam rekam medis preoperatif
ii. Mampu mengoptimalkan kondisi pasien dengan riwayat penyakit atau kelainan
preoperatif
iii. Mampu mempersiapkan alat anestesia umum atau regional yang diperlukan
iv. Mampu memasang alat/mesin anestesia dengan benar
v. Mampu melakukan tindakan anestesia umum yaitu premedikasi, induksi, intubasi
trakea atau LMA atau sungkup muka, pemeliharaan anestesia, dan penatalaksanaan
pasca-anestesia
vi. Mampu melakukan tindakan analgesia regional (Biers, SAB) dan penatalaksanaan
pasca-anestesianya
vii. Mampu memasang alat monitor invasif dan noninvasif dengan benar
viii. Mampu melakukan interpretasi hasil monitor dan mampu melakukan tindakan segera
sesuai hasil monitor sebelum, selama dan sesudah anestesia
ix. Mampu melakukan pencatatan rekam medis anestesia secara benar pada tindakan yang
dilakukan pada butir 2
x. Mampu melakukan penanggulangan nyeri pascabedah
xi. Mampu menilai pasien yang indikasi rawat ICU
c. Komunikasi/hubungan interpersonal
i. Mampu berinteraksi dengan orang lain atas dasar saling menghargai dan menghormati
ii. Mampu memberikan keterangan tentang kondisi pasien dan kemungkinan untuk
dilakukan pemeriksaan tambahan, pemberian obat-obatan atau upaya optimalisasi
kondisi pasien kepada sejawat senior atau konsulen
iii. Mampu menjelaskan pada pasien atau keluarga pasien tentang kondisi pasien
preoperatif dan langkah-langkah tindakan anestesia yang akan dilakukan serta risiko
yang bisa terjadi
iv. Mampu menciptakan kondisi kerjasama tim di antara semua petugas kesehatan yang
terlibat di kamar operasi
v. Mampu memberikan kepercayaan pada pasien tentang penanggulangan nyeri dan rasa
tidak nyaman pascabedah
vi. Mampu memperoleh kemudahan agar pasien dapat di rawat di ICU atau ruang rawat
lain sesuai kondisi pasien pascabedah
d. Profesionalisme
78
iii. Mampu berinteraksi dengan sejawat lain maupun tenaga paramedis dan tenaga
kesehatan lain atas dasar menghargai kompetensi masing-masing
iv. Mampu menjaga kerahasian pasien
v. Mampu memahami, memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarganya tentang
kondisi pasien sesuai hak pasien
vi. Mampu melakukan pekerjaan secara efisien
3. Key-notes
i.. Faktor kebiasaan pasien, seperti merokok, minum alkohol dan kebergantung padaan
merupakan problem yang harus dipertanyakan dan menjadi konsideran dalam
persiapan perioperatif
ii. Penyakit penyerta selainan bedah yang akan menentukan nilai ASA menjadi
pertimbangan tersendiri dalam persiapan perioperatif.
iii. Obat yang diberikan pada pasien sebelum pembedahan dapat berinteraksi dengan
obat-obat yang akan diberikan selama anestesia yang menjadi pertimbangan apakah
diteruskan , dihentikan atau perubahan dosis selama perioperatif.
4. Pokok Bahasan
4. Waktu : Semester II
5. Metode:
a. Pre-tes
79
iii. Jelaskan cara mempersiapkan pasien dengan riwayat diabetes melitus pada operasi
berencana dan darurat
iv. Jelaskan cara mengoptimalkan pasien dengan riwayat penyakit jantung koroner
pada operasi berencana dan darurat
v. Jelaskan tentang peralatan, obat-obatan termasuk terapi cairan yang harus
dipersiapkan untuk memberikan anestesia umum ataupun regional
vi. Jelaskan pemantauan yang harus dilakukan pada saat induksi, intubasi dan selama
tindakan anestesia umum ( pada butir 2-4)
vii. Jelaskan pemantauan yang harus dilakukan pada tindakan analgesia regional (pada
butir 2-4)
viii. Sebutkan tanda-tanda kegawatan mengancam nyawa selama pemantauan
ix. Jelaskan cara mengakhiri tindakan anestesia
x. Jelaskan penatalaksanaan pasien pasca-anestesia termasuk penanggulangan nyeri
xi. Jelaskan indikasi masuk pasien ke ICU
b. Kognitif
i. Kuliah pendahuluan
ii. Belajar mandiri
iii. Belajar berkelompok
iv. Belajar berbasis problema
v. Diskusi kelompok
vi. Simulasi pasien
c. Psikomotor
i. Supervisi klinis
ii. Penatalaksanaan pasien berdasarkan problema
d. Komunikasi/hubungan interpersonal
i. Supervisi klinis
ii. Penatalaksanaan pasien berdasarkan problema
e. Profesionalisme
6.Sumber Pembelajaran
a. Audiovisual
b. Praktek di kamar operasi
c. Internet
80
7. Media
a. Audiovisual
b. Praktek di kamar operasi
8. Alat Bantu
a. Audiovisual
b. Praktek di kamar operasi
9. Evaluasi
a. MCQ
b. EMQ
c. OSCE
d. Minicheck
e. Multiple observations and assessments
c. diabetes melitus
f. penatalaksanaan pascabedah
g. penatalaksanaan nyeri
81
Sudah Belum
No Daftar cek penuntun belajar
dikerjakan dikerjakan
3. KUNJUNGAN PRAANESTESIA
B. .Persiapan STATICS
G. Penanggulangan nyeri
Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda
82
DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR
Sudah Belum
No Daftar cek penuntun belajar
dikerjakan dikerjakan
1. PERSIAPAN PRAANESTESIA
a. Persiapan STATICS
3. PENATALAKSANAAN PASCABEDAH
a. Penanggulangan nyeri
83
Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda
DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur Standard atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur Standard atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
84
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
85
MATERI ACUAN
11. URAIAN:
11.1. Introduksi
a. Definisi
Suatu ilmu kedokteran yang mencakup problema-problema sebelum
anestesia/pembedahan, dalam anestesia/pembedahan dan sesudah anestesia/pembedahan.
b. Ruang lingkup
Meliputi semua aspek fisiologis dan patologis yang mempengaruhi anestesia dan
pembedahan, pengaruh anestesia dan pembedahan terhadap fisiologi tubuh dan risiko
maupun komplikasi yang diakibatkannya.
a. Risiko Perioperatif
Risiko yang berhubungan dengan anestesia dan pembedahan dapat diklasifikasikan
dalam:
1. risiko yang berhubungan dengan kondisi pasien
2. risiko yang berhubungan dengan prosedur pembedahan
3. risiko yang berhubungan fasilitas termasuk sumber daya manusia di rumah sakit
4. risiko yang berhungan dengan obat atau teknik anestesia
c. Tanggapan fisiologi yang terjadi akibat pembedahan :
1. Pengaruh langsung obat anestetik terhadap sekresi hormone-hormon: ACTH,
kortisol, antidiuretik, tiroid, katekolamin, sistem renin-angiotensin-aldosteron,
insulin dan metabolisme glukosa.
2. Pengaruh langsung obat anestetik terhadap sistem respirasi dan kardiovaskular
d. Penilaian prabedah meliputi:
1. penilaian terhadap keadaan pasien secara menyeluruh termasuk riwayat penyakit,
pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang yang mendukungnya
2. melakukan identifikasi faktor-faktor risiko anestesia, dan bila bermakna pasien harus
diberitahu
3. mengoptimalkan kondisi kesehatan pasien sebelum tindakan anestesia dan
pembedahan, seperti melakukan fisioterapi dada, latihan nafas dsb.
4. menentukan status fisis berdasarkan American Society of Anesthesiologist (ASA)
5. merencanakan teknik anestesia dan penatalaksanaan perioperatif seperti terapi
cairan dan transfusi darah
6. memperkenalkan diri kepada pasien agar dapat megurangi kecemasan dan akan
mempermudah dalam melakukan induksi anestesia
7. memberikan instruksi yang jelas tentang obat yang harus diteruskan atau dihentikan
pada hari pembedahan
8. mempersiapkan obat-obat premedikasi
d. Instruksi praanestesia kepada perawat ruangan harus tertulis dengan jelas meliputi:
1. pemeriksaan penunjang tambahan
2. lamanya puasa
3. persiapan darah atau produk darah, golongan darah dan jumlah yang diperlukan
4. jenis obat yang harus terus diberikan atau dihentikan pada hari pembedahan
86
5. terapi inhalasi pada pasien PPOK atau riwayat asma
6. pemasangan infusi dekstrosa pada pasien diabetes
7. obat premedikasi: dosis, cara dan waktu pemberian
e. Pemeriksaan penunjang rutin yang harus dilakukan:
6. uji fungsi hati: pada pembedahan besar pasien umur > 50 tahun
87
ii. Penyakit paru sedang sampai berat, seperti PPOK, bronkiektasi, penyakit
paru restriksi
8. Uji fungsi hati
i. Penyakit hepatobilier
ii. Riwayat peminum alkohol
iii. Tumor dengan kemungkinan metastase ke hati
9. Uji hemostase dan koagulasi darah
i. Penyakit/kelainan darah
ii. Penyakit hati berat
iii. Koagulopati apapun sebabnya
iv. Riwayat terapi antikoagulan seperti heparin atau warfarin
10. Uji fungsi tiroid
i. Riwyat penyakit tiroid
ii. Gangguan endokrin seperti tumor hipofise
iii. Bedah tiroid
11. Uji fungsi jantung: Ekokardiografi
i. Penyakit jantung
ii. Kelainan EKG yang bermakna
g. Terapi cairan perioperatif
1. menilai volume intravaskular
i. pemeriksaan klinis
1. kesadaran
2. turgor kulit, suhu ujung-ujung ekstremitas
3. tekanan nadi, laju nadi, tekanan darah terhadap perubahan posisi
4. keluaran urin
5. tampak perdarahan atau kehilangan cairan (muntah)
ii. pemeriksaan laboratorium
1. kadar hemoglobin dan hematokrit
2. kadar urea dan elektrolit
3. analisis gas darah, laktat darah
4. BJ urin, natrium urin
iii. pengukuran hemodinamik
1. tekanan vena sentral
2. tekanan arteri pulmoner
3. saturasi vena sentral
2. terapi cairan selama pembedahan
i. cairan pemeliharaan
ii. cairan pengganti defisit
iii. cairan pengganti perdarahan
3. terapi cairan pascabedah: dapat diberikan berdasarkan
i. pembedahan non digesti dengan analgesia regional
ii. pembedahan minor non digesti dengan anestesia umum
iii. pembedahan mayor, atau pembedahan digestif
4. jenis cairan
i. cairan kristaloid
88
1. cairan hipotonik
2. cairan isotonik
3. cairan hipertonik
ii. cairan koloid
1. cairan koloid sintetik
a. cairan starch
b. cairan gelatin
2. cairan koloid derivat darah
a. human albumin
b. fraksi protein plasma
Pasien yang akan menjalani operasi dan anestesia wajib dikunjungi oleh seorang anestesiolog.
Hal-hal yang harus dilakukan adalah :
Riwayat anestesia
Melakukan pemeriksaan fisis yang sesuai.
Melakukan evaluasi hasil pemeriksaan laboratorium
Anestesiolog sebaiknya membiarkankan pasien untuk mengajukan pertanyaan.
Mencatat kegelisahan pasien
Menginformasikan rencana pembiusan
Perhatian khusus harus diberikan pada hal-hal berikut yang ditemukan pada anamnesis
89
3. Gejala-gejala yang berhubungan dengan sistem respirasi, seperti
batuk, sputum, bronkospasme, kemampuan untuk mengeluarkan lendir.
4. Sistem kardiovaskular : toleransi latihan, nyeri angina, Gagal
jantung, hipertensi yang tidak diterapi.
5. Kecenderungan untuk muntah. Pilihan obat dan tindakan
anestesia untuk mengurangi mual muntah pascabedah
6. Riwayat kehamilan dan menstruasi.
7. Kebiasaan pasien ; merokok, minum alkohol, adiksi obat.
Penilaian preoperatif seringkali kurang daripada yang seharusnya, dan terkadang adanya kurang
komunikasi antara dokter bedah dan anestesiolog.
1. Tanda-tanda penyakit pernafasan : pola dan karakter pernafasan seperti dispneu, adanya
suara tambahan pada auskultasi, jari tabuh, sianosis. Gejala-gejala tambahan yang perlu
didiskusikan lagi pada kondisi-kondisi tertentu, seperti :
Pemeriksaan fisis
90
Tes-tes ini hanya menyediakan informasi yang minimal tentang fungsi pernafasan dan terkadang
direkomendasikan sebagai tes skrining untuk menentukan fit untuk operasi. Tes sederhana
yang dapat dilakukandalam klinik adalah :
a. Tes tahan nafas Sabrasez : pasien dalam keadaan istirahat diminta untuk menarik nafas
dalam dan selanjutnya menahan nafasnya. Apabila dapat menahan nafas selama 25-30
detik pasien dapat dianggap normal. Pasien yang hanya bisa menahan nafas kurang dari 15
detik mengindikasikan kurangnya cadangan kardiorespirasi.
b. Tes Snider : kemampuan untuk meniup korek api pada jarak 6 inci dari depan mulut.
Ketidakmampuan melakukan tes Snider mengindikasikan forced expiratory volume dalam
satu detik kurang dari satu liter.
Penyakit jantung yang serius hampir selalu berhubungan dengan gejala dan tanda yang jelas
seperti nyeri dada sewaktu aktivitas, dispneu, hemoptisis, sinkop, palpitasi dan edema. Tetapi
iskemik miokardium akut dapat terjadi tanpa gejala yang jelas.
Pemeriksaan fisis
Sianosis adalah warna kebiruan pada kulit akibat adanya desaturasi hemoglobin
pada pembuluh darah kapiler.
Sianosis perifer berhubungan dengan peningkatan ekstraksi oksigen pada jaringan
berhubungan dengan penurunan aliran darah kapiler pada kulit. Hal ini terjadi saat curah
jantung menurun ; pada pasien yang normal ; berhubungan vasokonstriksi perifer saat
terpapar dingin.Pada sianosis sentral, kulit tetap hangat dan perubahan warna juga terlihat
pada lidah akibat tercampurnya darah yang mengalami desaturasi dan yang mengalami
oksigenasi pada jantung, pembuluh darah besar atau paru-paru.
Frekuensi nadi dan irama dapat dinilai dari palpasi arteri radialis, akan tetapi
volume dan karakter gelombang nadi hanya dapat dinilai secara akurat melalui arteri karotis.
Impuls jantung (apeks jantung) secara normal ditemukan pada ruangan interkostal
5 sesuai dengan linea midklavikularis. Posisinya mungkin dapat berubah akibat pembesaran
jantung atau faktor ekstrakardiak lain. Penyebab apapun pergeseran tersebut lebih penting
dibanding dengan mencari lokasi yang pasti dari impuls tersebut.
Langkah penting pada auskultasi adalah identifikasi secara benar dari suara
jantung pertama dan kedua. Pulsasi arteri karotis harusnya diraba selama auskultasi.
Murmur adalah bunyi yang dihasilkan akibat turbulensi aliran darah pada titik
tertentu pada sirkulasi dan secara normal terjadi pada tempat-tempat tertentu. Diastolik
murmur merupakan bukti yang jelas adanya penyakit jantung. Murmur sistolik dengan tanpa
adanya interval dengan bunyi jantung kedua biasanya berhubungan dengan penyakit organik.
Adanya thrill mengindikasikan adanya penyakit jantung organik.
91
3. Status Gizi : obesitas atau malnutrisi
6. Jalan nafas,
Investigasi
Secara umum diterima bahwa riwayat klinis dan pemeriksaan fisis adalah metode terbaik untuk
skrining yang terbaik untuk menentukan adanya suatu penyakit. Sebelum meminta suatu
pemeriksaan yang lebih lanjut, seorang anestesiolog harus bertanya pada dirinya sendiri,
pertanyaan-pertanyaan di bawah ini :
Apakah investigasi ini menyedialan informasi yang tidak bisa disingkap oleh
pemeriksaan fisis ?
Apakah hasil dari pemeriksaan akan mengubah penatalaksanaan pasien ?
Perlu dicatat bahwa hal-hal ini hanya merupakan panduan dan dapat dimodifikasi sesuai dengan
penilaian yang diperoleh dari anamnesis dan pemeriksaan klinis.
Anestesiolog disarankan untuk tidak menerima pasien pembedahan elektif sampai investigasi
yang sesuai tersedia. Tes sederhana yang diindikasikan adalah sebagai berikut :
92
Penyakit hepar
Status nutrisi abnormal atau penyakit metabolik
Riwayat konsumsi alkohol dalam jumlah yang banyak (>80 g/ hari)
4. Konsentrasi gula darah
Pengukuran gula darah diperlukan pada pasien yang mempunyai penyakit diabetes
atau penyakit vaskular atau sedang mendapat terapi kortikosteroid.
5. Status sickle
Pasien dengan asal etnik atau riwayat keluarga dengan kecurigaan adanya
hemoglobinopathy hendaknya dilakukan pengukuran konsentrasi hemoglobin dan
elektroforesis hemoglobin
Analisa gas darah arteri diperlukan pada semua pasien dengan dispneu saat istirahat dan
pada pasien dengan rencana akan dilakukan toraksotomi elektif
7. Foto toraks
Foto toraks tidak diperlukan secara rutin pada pasien di bawah usia 60 tahun
tetapi harus dilakukan pada situasi :
1. Jika terdapat riwayat atau tanda-tanda fisis penyakit jantung atau penyakit
respirasi.
2. Jika terdapat kemungkinan metastasis dari karsinoma
3. Sebelum operasi toraks
4. Pada imigran yang baru, dalam 12 bulan terakhir dari negara-negara dengan
endemik TBC
Foto toraks umumnya dilakukan sebagai pemeriksaan rutin pada semua pasien
dengan penyakit paru. Hal-hal yang penting adalah apakah terdapat deviasi trakea
atau distorsi, apakah terdapat deformitas pada dinding toraks, dan apakah terdapat
kelainan lokal pada paru atau pleura yang mungkin terlewatkan pada pemeriksaan
fisis.
Foto toraks seringkali kurang memperlihatkan adanya kelainan fungsi paru
9. Fungsi paru
Tes fungsi paru dilakukan sebagai tambahan, bukan sebagai pengganti penilaian klinis.
Tes ini diindikasikan ketika diperlukan :
93
3. Untuk mengerti lebih lanjut mengenai patologi fisiologi
Tes fungsi paru yang sederhana, seperti forced expiratory volume dalam satu detik
(FEV 1.0), forced vital capacity (FVC) dan peak expiratory flow rate dapat
langsung dilakukan di tempat tidur pasien menggunakan spirometer berukuran
paket dan Wright peak flowmeter.
Rasio FEV1.0 : FVC menurun pada penyakit paru obstruktif dan normal pada penyakit
restriktif.
10. Elektrokardiogram
Pengukuran saturasi oksigen arterial udara nafas dan konsentrasi oksigen tinggi
memberikan indeks pertukaran gas pulmoner yang cepat dan berguna
12. Echogardiogram
Ini merupakan tes noninvasif yang sangat berguna yang memperlihatkan abnormalitas
anatomi dari jantung, menilai fungsi ventrikular dan gradien tekanan yang melalui katup
yang mengalami stenosis, dan mendeteksi adanya regurgitasi valvular. Ini dapat
dilakukan di tempat tidur pasien, tetapi memerlukan perlengkapan yang mahal dan
operator yang terlatih.
13. Pemeriksaan khusus yang lain yang mungkin diperlukan ketika diindikasikan
ASA I : Pasien tidak memiliki kelainan organik, fisiologik, biokimia atau gangguan psikiatri.
94
ASA II : Gangguan sistemik ringan sampai sedang yang disebabkan oleh kondisi yang akan
diterapi dengan pembedahan atau oleh proses patofisiologi lainnya. Misalnya : penyakit organik
ringan pada jantung, diabetes, hipertensi ringan, anemia, kegemukan, bronkitis kronis ringan.
ASA III : keterbatasan melakukan aktivitas; pasien dengan gangguan sistemik berat atau
karena penyakit apapun penyebabnya, walaupun mungkin belum bisa dinilai derajat
kemampuannya, misalnya angina, diabetes berat, dan gagal jantung.
ASA IV : Penderita dengan kelainan sistemik berat yang mengancam nyawa, tidak selalu
dikoreksi dengan operasi, misalnya insufisiensi jantung, angina persisten, insufisiensi renal atau
hepatik.
ASA V : Penderita yang diperkirakan tidak akan selamat dalam 24 jam, dengan atau tanpa
operasi.
ASA VI : Penderita mati batang otak yang organ-organnya dapat digunakan untuk donor.
Klasifiksai ASA merupakan sistem yang secara umum sering digunakan untuk menilai status
fisis pasien, walaupun ahli anestesia yang lain tidak selalu setuju dengan klasifikasi ini.
Klasifikasi ini tidak dapat dipakai untuk pasien tanpa gejala, misalnya penderita dengan penyakit
jantung koroner berat.
Penilaian risiko
2. Apakah keuntungan pembedahan lebih besar dari risiko anestesia dan pembedahan akibat
penyakit yang ada ?
Apabila terdapat beberapa keadaan medis yang mungkin dapat diperbaiki ( misalnya, penyakit
paru, hipertensi, gagal jantung), pembedahan sebaiknya ditunda, dan diberikan terapi yang
sesuai.
Terdapat hubungan antara menilai faktor-faktor preoperatif dan perkembangan morbiditas dan
mortalitas pascabedah. Mungkin pada beberapa pasien dapat diukur secara tepat, tetapi tidak
dapat diterapkan secara tepat untuk masing-masing individu. Keputusan untuk meneruskan
penatalaksanaan hanya dapat dibuat setelah adanya diskusi antara ahli bedah dan anestesiolognya
95
Pada studi mortalitas dalam skala besar, umumnya, faktor-faktoir yang memberikan kontribusi
pada mortalitas anestesia meliputi :
1.Kebiasaan pasien
Merokok
Efek yang merusak dari merokok meliputi penyakit vaskular perifer, sirkulasi koroner dan
serebral, karsinoma paru dan bronkitis kronik. Merokok harus dihentikan 6 pekan sebelum
operasi untuk meminimalisasi komplikasi paru selama pembedahan, termasuk di antaranya
infeksi, laringospasme dan bronkospasme. Penghentian selama 12 jam sebelumnya mencegah
efek samping dari CO dan nikotin pada pasokan dan kebutuhan oksigen otot jantung. Berhenti
selama beberapa hari akan memperbaiki aktivitas siliar. Merokok juga dapat mempengaruhi
penyembuhan luka. Pada anak-anak yang secara pasif terpapar dengan rokok, terjadi peningkatan
insiden komplikasi jalan nafas, jika dilakukan pembiusan.
Alkoholisme
Pada pasien dengan alkoholisme kronik, dapat terjadi toleransi dengan beberapa obat anestetik
seperti eter, terjadi resistensi terhadap obat-obatan anestesia.
Alkohol dieliminasi dengan oksidasi di hati tetapi juga dapat menginduksi enzim-enzim yang
memetabolisme obat-obatan, sehingga respons terhadap obat tidak dapat diperkirakan.
96
Dapat terjadi vasodilatasi perifer, kardiomiopati, sirosis dan perioperatif withdrawal crisis
(delirium tremens)
Alkohol sebaiknya tidak dihentikan saat menunggu operasi. Analgesia regional sebaiknya
dipertimbangkan namun fungsi koagulasi mungkin abnormal.
Untuk mencegah gejala withdrawal, pemberian alkohol 8-10% dalam NaCl 0,9% 500 ml dalam
beberapa jam dapat menolong.
To prevent withdrawal symptoms 8 10 % alcohol in salin 500 ml i.v. for over several hours
may be helpful.
Tromboflebitis dan abses multipel dapat timbul akibat penyuntikan obat yang tidak higienis,
sehingga terapi intravena melalui vena sentral.
Hipotensi umumnya terjadi selama operasi berlangsung. Gejala withdrawal narkotik termasuk
kram, muntah dan diare, dan dapat menyerupai obstruksi intestinal.
97
98
MODUL 6 : PERSIAPAN ALAT DAN OBAT
ANESTETIK
Persiapan Sesi
Audiovisual Aid:
1. LCD Proyektor dan layar
2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Pemutar video
Materi kuliah: CD PowerPoint
1. Persiapan alat-alat dan obat-obat untuk anestesia umum dan analgesia regional
4. Persiapan alat-alat dan obat-obat dengan kelainan sistemik jantung, PPOK, ginjal,
Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
99
3. Kamar operasi
4. Ruang Pulih
5. Bangsal Rawat
Kasus : anestesia pasien langsung , di ruang rawat, kamar pemeriksaan dan kamar operasi
Alat Bantu Latih : Alat-alat, mesin anestesia dan obat-obat virtual, boneka simulasi bila ada.
Penuntun belajar : lihat Materi acuan
Daftar Tilik Kompetensi : lihat daftar tilik
Referensi :
Bacaan yang dianjurkan
Peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari referensi tambahan untuk sub-modul
Persiapan alat dan obat anestetik yang lain.
Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan memiliki pengetahuan dan keterampilan
melakukan persiapan alat-alat dan obat-obat anestetik umum dan analgesia regional.
Setelah melalui sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi berikut ini:
1. KOMPETENSI
Mampu mengenali dan melakukan persiapan preoperatif pasien, melakukan persiapan alat-alat
dan obat-obat anestetik umum maupun regional secara tepat dan memadai , persiapan
pemantauan yang memadai untuk mencegah kemungkinan akibat komplikasi lebih berat dan
penanggulangan secara dini bila terjadi komplikasi serta untuk penatalaksanaan pasca-anestesia.
RANAH KOMPETENSI
100
Kognitif
1. Mampu melakukan identifikasi kelainan atau penyakit pasien preoperatif yang akan
mempengaruhi persiapan alat dan obat anestetik.
2. Mampu menjelaskan rencana anestesia untuk prosedur bedah yang akan dilakukan serta
alat dan obat-obat yang diperlukan
3. Mampu menjelaskan persiapan alat dan obat untuk rencana operasi dengan anestesia
umum atau analgesia regional.
4. Mampu menjelaskan secara umum cara kerja mesin anestesia, flowmeter, vaporizer, alat
monitor, kateter intravena, set infusi cairan, set transfusi darah, set infusi tetes
mikrogram, set infusi tetes makro, alat pompa semprit, infusiion pump, mesin pengisap
dan kelengkapannya.
5. Mampu menjelaskan setup mesin anestesia secara benar, breathing circuit mesin
anestesia, termasuk filter, susunan vaporizer secara benar, trouble shooting sederhana,
pemeliharaan mesin dan asesorisnya.
6. Mampu menjelaskan pemasangan dan menginterpretasikan hasil monitor
7. Mampu menjelaskan tanda-tanda yang mengarah kegawatan pasien, alat-alat dan obat-
obat yang diperlukan
8. Mampu menjelaskan penanggulangan nyeri pascabedah, alat dan obat-obat yang
dibutuhkan.
9. Mampu menjelaskan alat-alat dan obat yang dibutuhkan untuk transport pasien dan bila
pasien indikasi rawat ICU
Psikomotor
1. Mampu melakukan pencatatan hal-hal penting dalam rekam medis preoperatif terkait
dengan alat-alat dan obat-obat yang dipakai dalam tindakan anestesia.
2. Mampu mempersiapkan dan memasang alat/ mesin anestesia dengan benar
3. Mampu mempersiapkan dan menggunakan alat-alat dan obat untuk tindakan anestesia
umum, mulai premedikasi, induksi, intubasi atau LMA atau intubasi atau sungkup muka ,
pemeliharaan anestesia, dan penatalaksanaan pasca-anestesia teknik intravena total,
anestesia inhalasi, anestesia balans, sungkup muka, teknik intubasi, sungkup muka, LMA
4. Mampu mempersiapkan dan mengoperasikan pompa semprit, infusiion pump,
defibrilator.
5. Mampu mempersiapkan dan menggunakan alat-alat dan obat-obat untuk analgesia
regional, teknik epidural, spinal atau blok saraf lain.
6. Mampu mempersiapkan dan menggunakan alat-alat dan obat-obat untuk keadaan darurat
dan resusitasi.
7. Mampu memasang dan menggunakan alat pemantau noninvasif dan invasif dengan
benar
8. Mampu melakukan pencatatan rekam medis terkait alat dan obat anestetik yang dipakai
dalam anestesia secara benar
9. Mampu melakukan persiapan alat dan obat untuk penanggulangan nyeri pascabedah
10. Mampu mempersiapkan alat dan obat pada transportasi pasien masuk ICU.
101
Komunikasi/ Keterampilan interpersonal
1. Mampu menjelaskan tentang alat-alat dan obat-obat yang diperlukan pada tindakan
anestesia kepada orang lain atas dasar saling menghargai dan menghormati
2. Mampu memberikan penjelasan kepada sejawat senior dan atau konsulen tentang kondisi
pasien untuk kemungkinan pemeriksaan tambahan, kebutuhan obat-obatan, kebutuhan
alat-alat dalam upaya optimalisasi kondisi pasien.
3. Mampu menjelaskan pada pasien atau keluarga pasien tentang kondisi pasien preoperatif
dan kebutuhan alat-alat dan obat-obat yang dibutuhkan terhadap kemungkinan risiko
yang dapat timbul.
4. Mampu menciptakan kondisi kerja sama tim di antara semua petugas kesehatan yang
terlibat di kamar bedah.
5. Mampu memberi penjelasan kebutuhan alat dan obat-obat untuk penanggulangan nyeri
dan rasa tidak nyaman pascabedah.
6. Mampu menjelaskan kebutuhan alat-alat dan obat-obat yang diperlukan untuk
transportasi dan perawatan di ICU.
Profesionalisme
2. KEYNOTES
kelayakan mesin anestesia: sistem perpipaan gas dan udara tekan rumah sakit
(bila ada), tabung gas portabel, flow meter, vaporizer, Fresh Gas Flow,
sirkuit nafas, katup inspirasi, katup ekspirasi, pop-off valve, reservoir bag.
2. Harus selalu dipikirkan untuk kemungkinan timbul problema jalan nafas sulit
sehingga persiapan alat-alat penatalaksanaan jalan nafas dasar dan lanjut dan
3. Alat untuk akses vaskular perifer dan sentral, alat-alat infusi, pompa semprit,
102
infusion pump dipersiapkan sesuai kebutuhan.
5. Kesiapan alat-alat dan obat-obat untuk darurat resusitasi harus selalu dicek
3. GAMBARAN UMUM
Rencana anestesia harus dibuat agar secara optimal dapat mengakomodasikan kondisi fisiologik
pasien, termasuk penyakit saat ini, riwayat penyakit, riwayat operasi, riwayat alergi, riwayat
anestesia dan kesiapan psikologik, gangguan atau keterbatasan aktifitas. Rencana preoperatif
yang tidak adekuat dan kesalahan dalam persiapan pasien merupakan sebab paling sering
timbulnya komplikasi anestesia, termasuk persiapan alat dan obat-obat yang diperlukan. Alat-
alat tersebut meliputi mesin anestesia, alat-alat monitor, alat-alat untuk darurat dan resusitasi
sekaligus obat-obat yang diperlukan. Bila obat atau alat tidak tersedia akan menimbulkan
problema. Keterlambatan dalam penanggulangan karena kurangnya fasilitas atau persiapan tidak
baik akan dapat berakibat buruk sampai kematian. Pengertian akan mekanisme kerja alat dan
obat-obat anestetik merupakan pengetahuan dasar yang seharusnya dimiliki calon spesialis
anestesiologi.
4. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah proses alih pengetahuan, keterampilan dan perilaku melalui modul ini, diharapkan
peserta didik memiliki kemampuan untuk:
1. Mempersiapkan alat-alat dan obat-obat yang dipergunakan dalam anestesia umum atau
analgesia regional secara tepat dan benar.
2. Melakukan pengecekan mesin anestesia, persiapan alat-alat dan obat-obat anestetik
secara benar
3. Melakukan persiapan alat-alat dan pelaksanaan pemantauan
4. Melakukan persiapan alat dan obat-obat untuk transportasi pasien ke ICU
5. METODE PEMBELAJARAN
103
Peserta didik sudah harus mempelajari:
Metode pembelajaran
1. Diskusi kelompok kecil
2. Bedside teaching
3. Task-based medical education
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Pengetahuan dan keterampilan dalam melakukan pemasangan mesin anestesia sampai
siap pakai, sesuai check-list
2. Pengetahuan dan keterampilan dalam memasang mesin anestesia, untuk semiclosed
maupun semiopen system.
3. Pengetahuan dan keterampilan dalam menetapkan alat-alat dan obat-obat analgetik
regional (spinal, epidural, kaudal, blok saraf ekstermitas atas dan bawah)
Tujuan 2:. Melakukan pengecekan mesin anestesia, persiapan alat-alat dan obat-obat
anestetik secara benar
Metode pembelajaran
1. Diskusi kelompok kecil
2. Bedside teaching
3. Task-based medical education
4. Praktek klinis
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai: Mengetahui, dan mampu menilai laik atau tidak
1. Sistem sumber gas sentral, perpipaan gas oksigen dan N2O bila fasilitas ada,
sampai sistem tersambung ke mesin anestesia.
2. Sistem aliran gas, flow-meter , vaporizer dalam mesin anestesia , breathing circuit
anesthesia.
104
Metode pembelajaran
1. Diskusi kelompok kecil
2. Bedside teaching
Tujuan 4 : Melakukan persiapan alat dan obat-obat untuk transportasi pasien ke ICU
Metode pembelajaran
1. Diskusi kelompok kecil
2. Studi Kasus
3. Bedside teaching
4. Praktek klinis
6. MEDIA
1. Kuliah
Kuliah khusus Persiapan Obat dan Alat Anestesia untuk anestesia umum
dan regional. .
3. Diskusi kelompok
105
4. Tugas baca dan tulisan (tinjauan pustaka, journal reading)
5. Laporan kasus, morbiditas dan mortalitas, dikaitkan dengan keberadaan alat dan obat-
obatan.
6. Continuing Profesional Development (CPD)
8. EVALUASI
8.1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-tes dalam bentuk esai dan lisan untuk menilai
kinerja awal peserta didik dan melakukan identifikasi kekurangan yang ada. Materi pre-
tes terdiri atas :
8.2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang
teridentifikasi, membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.
8.3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam penuntun belajar
pada pasien bersama teman-temannya (peer assisted learning), dievaluasi oleh teman-
temannya (peer assisted evaluation).
8.4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di bawah
pengawasan fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien sesungguhnya.
Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan langsung (direct observation)
dan mengisi lembar penilaian:
- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak dilakukan
- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya tindakan anestesia
tidak mulus sehingga kurang memberi kenyamanan kepada pasien
8.5. Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.
106
8.6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun belajar.
8.8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan atau
diberi tugas untuk memperbaiki kinerja.
Isi pre-tes :
Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).
Bentuk ujian :
1. PengetahuanKognitif
- MCQ
- EMQ (Extended Medical Question)
Ujian lisan
107
- Minicheck
2. Skill
Tindakan / operasi :
ANESTESIA
108
2 Alat dan obat untuk Analgesia regional blok saraf
PASCABEDAH
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda X bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
X Tidak memuaskanTidak mampu untuk mengerjakan langkah /tugas sesuai dengan Prosedur
Standard atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dialakukan oleh peserta Latih
selama penilaian oleh pelatih
109
Kegiatan / langkah klinis 1 2 3 4 5
Layak
Tidak layak
Melakukan prosedur
110
Pasien yang akan menjalani anestesia pada operasi elektif / darurat harus dilakukan
pemeriksaan preoperatif ; anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang, informed
consent, penetapan status fisis ASA dan lakukan persiapan anestesia (puasa, rencana
premedikasi), termasuk persiapan alat dan obat-obat yang diperlukan selama tindakan
anestesia.
8. Mesin anestesia. Sebelum memeriksa mesin anestesia, lebih dulu periksa apakah sistem
sumber gas tersebut sentral atau tidak (tabung gas portabel ada pada mesin anestesia).
Periksa dulu sistem tersebut apakah sudah terhubung baik dengan mesin. Selanjutnya
periksa kerja flow-meter, vaporizer, katup inspirasi dan katup ekspirasi apakah berfungsi
dengan baik. Katup APL (adjustable pressure limit) valve, anesthetic breathing circuit,
Reservoir bag, CO2 absorber canister apakah telah terpasang dengan baik. Setelah itu
periksa apakah ada kebocoran gas atau uap dalam sistem sirkuit mesin tersebut. Perlu harus
diingat bila kondisi sudah menjadi rutin pengecekan ini sering dilupakan.
9. Alat-alat yang diperlukan untuk anestesia umum: jalan nafas (oral, nasal), sungkup muka,
LMA, laringoskop, pipa endotrakeal, cunam Magill, stilet (introducer), tape, stetoskop,
konektor pipa endotrakeal dengan mesin, pipa nasogatrik. Alat pengisap (isap) harus
diperiksa berfungsi baik.
10. Obat-obat anestetik umum, intravena (tiopental, propofol, ketamin) dan inhalasi N2O,
halotan, etran, isofluran, sevofluran..
11. Alat-alat untuk analgesia regional: jarum-jarum untuk analgesia spinal, jarum epidural,
kateter epidural atau jarum khusus lain untuk analgesia regional tertentu seperti blok
pleksus saraf.. Bila ada perlu disiapkan nerve stimulator/nerve locator. Obat analgetik lokal
seperti lidokain, bupivakain.
12. Obat darurat seperti oksigen, adrenalin, sulfas atropin, efedrin, aminofilin, steroid, obat anti
aritmia (lidokain, amiodaron), loop diuretics, inotropik, vasopresor(norepinefrin), obat-obat
hipotensif (nitrogliserin, nitroprusid), antikonvulsan (diazepam, tiopental MgSO4),
pelumpuh otot, obat antidotum (nalokson, antikolinesterase dan bila ada flumazenil,
dantrolen), natriumbikarbonat, kalsium glukonas, kalsium klorida, KCl, morfin dan opioid
lain, fentanil, petidin.
13. Alat untuk darurat : (set Ambu bag dengan kelengkapannya) alat Defibrilator.
14. Alat-alat untuk menanggulangi dificult intubation (Glidescope, Brochoscope) termasuk
peralatan trakeosotmi merupakan opsi.
15. Cairan kristaloid dan kolloid termasuk jarum/kateter infusi dan set infusinya. Obat-obat
yang diberikan parenteral harus disiapkan tetesan mikrogram, pompa semprit, atau
infusiion pump.
16. Alat monitor standard noninvasif seperti EKG, NIBP, saturasi O2, suhu, ETCO2 harus
dipersiapkan dan dicek layak pakai atau tidak. Alat monitor invasif dipersiapkan sesuai
indikasi saja.
17. Setelah semua persiapan alat dan obat lengkap, pastikan ada asisten yang membantu
tindakan anestesia. Pasang jalur intravena pasang jalur infusi dan jalankan infusi. Lakukan
anestesia umum sesuai modul pada anestesia umum atau analgesia regional sesuai modul
analgesia regional. Premedikasi dapat diberikan secara intravena atau intramuskular atau
inhalasi.Lakukan pemantauan fungsi vital oksigenasi, O2), tekanan darah, nadi, EKG, suhu,
111
aliran cairan infusi, ventilasi dengan ETCO2 kalau ada, produksi urin, jumlah perdarahan.
Atur kebutuhan obat untuk pertahankan sedasi, analgesia dan relaksasi. Akhir operasi
yakinkan pasien bernafas spontan dan volume nafas adekuat (kecuali bila direncanakan
untuk melanjutkan bantuan nafas pascabedah). Bila perlu berikan antidotum obat-obat yang
menyebabkan apnea berkepanjangan atau hipoventilasi . Lakukan pengakhiran anestesia
dengan mulus, dan mengawasi masa siuman. Lakukan pengawasan terhadap komplikasi
pascabedah dan penanggulangan terhadap mual muntah, nyeri, obstruksi jalan nafas,
gangguan oksigenasi, bradipnea, apnea, gangguan tekanan darah, dan lama pulih sadar.
Mortalitas dapat terjadi bergantung pada kondisi awal, ASA, atau penyakit penyerta.
Pastikan rekam medis anestesia dibuat secara baik dan lengkap.
12. REFERENSI
Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
112
MODUL 7 TRAUMATOLOGI I
Persiapan Sesi
Audiovisual
Laptop
OHP
Flipchart
Pemutar video
Materi presentasi :
CD Power Point
Sarana
Ruang Belajar
Ruang pemeriksaan
Ruanfg Pulih
113
Alat bantu Latih : Model anatomi / Simulator
REFERENSI
114
14. Mampu menjelaskan peranan anetesia sebagai bagian dari darurat tim
b. PSIKOMOTOR
1. Mampu melakukan penilaian cepat pasien trauma (penilaian awal/survei primer)
2. Mampu melakukan penatalaksanaan kegawatan jalan nafas sampai paripurna
3. Mampu melakukan penatalaksanaan kegawatan gangguan bernafas dan
memberikan tatalaksana pernafasan mekanik
4. Mampu melakukan penatalaksanaan penderita syok
5. Mampu melakukan penatalaksanaan penderita penurunan kesadaran
6. Mampu melakukan penatalaksanaan penderita kejang
7. Mampu melakukan pemasangan akses vena dengan jarum besar,melalui akses
vena tepi dan sentral (untuk anak intraosseus)
8. Mampu melakukan penatalaksanaan resusitasi cairan
9. Mampu melakukan kardioversi
10. Mampu melakukan pemantauan invasif dan noninvasif kontinyu
d. PROFESIONALISME
1. Bekerja sesuai dengan prosedur Standard
2. Memahami etik profesi dalam melakukan tindakan medis penanganan awal
korban trauma, stabilisasi dan rujukan
3. Menjamin bahwa peralatan yang diperlukan untuk tindakan medis penanganan
awal korban trauma, stabilisasi dan rujukan ada lengkap dan berfungsi baik
4. Menjamin bahwa dokter telah memiliki keterampilan cukup untuk melakukan
tindakan medis penanganan awal korban trauma, stabilisasi dan rujukan
5. Leader shifting
6. KEY NOTES
1. Asesmen pertama pasien trauma dapat dibagi menjadi, primary survey, secondary
survey dan tetiary survey. Primary survey akan berlang sung 2 5 menit dan
mencakup urutan ABCDE trauma : Jalan nafas, Breathing, Circulation,
Disability dan Exposure. Resusitasi dan assesmen berlangsung simultan.
115
Resusitasi trauma mencakup 2 tahap: menghentikan perdarahan dan
memperbaiki cedera. Secondary dan tertiary survey lebih komprehensif
mengikuti primary survey.
2. Lima kriteria meningkatkan risiko yang potensial tidak stabil pada tulang
servikal : 1) nyeri leher, 2) nyeri yang sangat mengganggu, 3) adanya tanda atau
gejala neurologik, 4) intoksikasi, dan 5) penurunan kesadaran. Fraktur tulang
servikal harus dicurigai jika terdapat satu dari kriteria tersebut. Dengan kriteria
ini, kejadian cedera tulang servikal sekitar 2 %. Kejadian ketidakstabilan servikal
meningkat menjadi 10 % pada cedera kepala berat.
4. Terapi utama syok hemorhagik adalah resusitasi cairan dan transfusi. Kateter
pendek (multiple short, 1.5 2 in, lubang besar (14 16 gauge atau 7 - 8.5 F)
ditempatkan di vena apa saja yang mudah diperoleh.
1. POKOK BAHASAN
116
E. GAMBARAN UMUM
i. Setelah melalui sesi pada tahap ini peserta didik mampu mengelola
pasien trauma survei primer pada tahap awal
1. METODE
Peserta didik sudah harus mempelajari:
Metode pembelajaran
1. Small group medical education
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktek klinis
117
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Kemampuan menegakkan diagnosis sumbatan jalan nafas, penyebab sumbatan jalan
nafas, melakukan tindakan pembebasan jalan nafas dan menjelaskan penyebab
kegawatan pernafasan pasien trauma.
2. Penilaian kesadaran pasien secara cepat AVPU (A=Awake, V= Verbal /respons bicara,
P= Pain/ respons nyeri, U= Unresposive/tidak ada respons)
3. Tindakan pembebasan jalan nafas: Chin Lift/ Jaw thrust, pemasangan pipa
oro/nasofaring, intubasi endotrakeal, LMA, Krikotirotomi
4. Pemberian oksigen dan melakukan pernafasan buatan (ventilasi)
5. Kemampuan menegakkan diagnosis pasien syok, mencari penyebab syok dan
melakukan tindakan mengatasi syok pada pasien trauma, terutama syok
hemoragik/perdarahan
6. Pemasangan dua jalur infusi intravena dengan jarum besar (16-14G) dan memberikan
cairan resusitasi
Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktek klinis
118
Tujuan 3 : melakukan survei sekunder yang dilakukan bilamana ABC pasien harus
sudah stabil
Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktek klinis
1. Pemeriksaan kepala, batok kepala, kulit kepala, bola mata , telinga, jaringan lunak
periorbita
2. Pemeriksaan leher: luka tembus leher, emfisema subkutan, deviasi trakea, distensi
vena leher
3. Pemeriksaan neurologik : Glasgow Coma Scale (GCS), pemeriksaan fungsi medula
spinalis, penilaian sen sasi dan refleks
4. Pemeriksaan dada : klavikula, semua tulang iga, bunyi nafasdan jantung ,
pemantauan EKG
5. Pemeriksaan abdomen: luka tembus abdomen yang memerlukan eksplorasi bedah ,
mampu melakukan pemasangan pipa nasogastrik pada trauma tumpul abdomen
6. Pemeriksaan dubur
7. Pemasangan kateter kandung kemih bila tidak ada darah di meatus eksernus uretra
8. Pemeriksaan pelvis dan ekstremitas
Tujuan 4 : menilai adanya cedera leher, trauma kepala, dada, abdomen, pelvis,
tulang belakang dan ekstremitas
Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktek klinis
119
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Pada trauma multipel, abdomen merupakan bagian tersering yang mengalami cedera,
evaluasi awal terhadap pasien trauma abdomen tetap harus menyertakan A(Jalan
nafas and C-Spine), B (breathing), C(circulation), dan D (disability dan penilaian
neurologik) dan E (exposure)
2. Kemampuan menjelaskan jenis trauma abdomen, trauma penetrasi luka tembak, luka
tusuk atau trauma non penetrasi, kompresi, hancur(crash), sabuk pengaman (seat
belt), cedera akselerasi/deselerasi.
3. Indikasi dan indikasi-kontra DPL(Diagnostic Peritoneal Lavage)
4. Kemampuan menjelaskan problema khusus fraktur tulang pelvis
5. Pemeriksaan tonus spingter anus, darah dalam rektum, pemeriksaan darah di meatus
uretra eksterna.
6. Stabilisasi jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi dengan segera dan immobilisasi
tulang leher
7. Penilaian tanda-tanda fungsi vital dan derajat kesadaran (GCS) secara berulang-ulang.
8. Kemampuan menjelaskan tanda klinis trauma tulang belakang, menjelaskan posisi
netral pada waktu pemeriksaan pasien trauma tulang belakang, log rolling, in-line
immobilization, pemasangan stiff servikal collar.
9. Kemampuan menjelaskan gangguan fungsi autonom pada cedera medula spinalis.
10. Pemeriksaan/keadaan-keadaan yang harus diperiksa, pasien dengan trauma
ekstremitas (warna dan suhu kulit, perabaan nadi distal, tempat-tempat yang berdarah,
deformitas ekstremitas, gerakan ekstremitas secara aktif dan pasif, gerakan
ekstremitas tak wajar dan ada krepitasi, derajat nyeri bagian yang cedera.
11. Sindroma kompartemen pada ekstremitas, penyebab dan terjadi pada kasus trauma
ekstermitas yang bagaimana dan menjelaskan kerusakan jaringan pada sindroma
kompartemen akibat hipoksemia dan akibat reperfusi
12. Penatalaksanaan cedera ekstremitas dengan tetap memelihara aliran darah ke
jaringan perifer, mencegah infeksi dan nekrosis kulit, mencegah kerusakan pada
saraf perifer.
13. Penghentian perdarahan eksternal, immobilisasi dan mengatasi nyeri.
2. SUMBER PEMBELAJARAN
g. SDM: Anestetis sebagai pengajar, pelatih dan penilai
h. Sarana belajar mengajar : Ruang Kuliah, Perpustakaan, Skill Lab dan Rumah
Sakit setara Klas B pendidikan untuk menjamin jumlah dan variasi kasus sesuai sub 5c
(Metode)
3. MEDIA :
120
1. Kursus / pelatihan
Pelatihan di skill lab intubasi, LMA, kanulasi vena dan arteri pada
manikin
2. Belajar mandiri
3. Kuliah
4. Diskusi kelompok
1. Pelatihan resusitasi dan stabilisasi, anestesia umum dan regional di kamar bedah,
ruang resusitasi pada pasien trauma.
2. Dilakukan dengan bimbingan dan pengawasan staf pengajar.
7. Tugas baca dan tulisan (tinjauan pustaka, journal reading)
4. ALAT BANTU :
1. Manikin dan simulator.
2. Perpustakaan, internet, skill lab
15. EVALUASI
15.1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-tes dalam bentuk esai dan lisan untuk menilai
kinerja awal peserta didik dan melakukan identifikasi kekurangan yang ada. Materi pre-
tes terdiri atas :
121
1. Pemilihan/seleksi pasien trauma
2. Survei primer, resusitasi dan stabilisasi, survei sekunder, manajemen trauma
3. Persiapan preoperatif
4. Persiapan alat, obat, pengecekan mesin, pemasangan alat monitor noninvasif dan
invasif
5. Pemilihan teknik anestesia dan penggunaan obat yang sesuai untuk anestesia pasien
trauma
6. Penatalaksanaan anestesia umum dan regional
7. Pemantauan
8. Penatalaksanaan pasca-anestesia pasien trauma
15.2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang
teridentifikasi, membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.
15.3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam penuntun belajar
pada manikin anestesia bersama teman-temannya (peer assisted learning), dievaluasi
oleh teman-temannya (peer assisted evaluation).
15.4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di bawah
pengawasan fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien sesungguhnya.
Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan langsung (direct observation)
dan mengisi lembar penilaian:
- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak dilakukan
- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya tindakan
anestesia tidak mulus sehingga kurang memberi kenyamanan kepada pasien
15.5.Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.
15.6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun belajar.
15.8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan atau
diberi tugas untuk memperbaiki kinerja.
122
15.9. Pencapaian pembelajaran :
Isi pre-tes :
Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).
Bentuk ujian :
1. PengetahuanKognitif
- MCQ
- EMQ (Extended Medical Question)
Ujian lisan
123
- Multiple observation and assessments
- Multiple observers
4.Profesionalisme
Sudah Belum
No Daftar cek penuntun belajar
dikerjakan dikerjakan
1. DEFINISI TRAUMATOLOGI
124
f. Pelimpahan untuk penatalaksanaan selanjutnya, ke
kamar bedah, ICU, PACU atau ke bangsal biasa
Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur Standard atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur Standard atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih
125
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
126
Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih
Layak
Tidak layak
melakukan prosedur
1. MATERI ACUAN
Introduksi :
Pada pasien trauma pertama kali yang dilakukan adalah penilaian survey primer ABCDE, dan
pembebasan jalan nafas. Bila ada dugaan trauma leher, tindakan inline position. Lakukan
pemberian oksigenasi dan ventilasi bila perlu. Pasang akses vena dengan jarum 16-14 G, dan
resusitasi cairan kristaloid hangat. Selanjutnya adalah menghentikan perdarahan eksternal bila
ada.
Setelah ABC aman, lakukan survei sekunder meliputi pemeriksaan fisis kepala sampai
ekstremitas. Pasang pemantauan, bila kondisi stabil lakukan pemeriksaan foto toraks,
abdomen, pelvis, C-spine bila perlu ultrasonografi (USG) untuk menegakkan diagnosis adanya
trauma dada, fraktur iga, pneumotoraks tension, flail chest, hemotoraks, kontusio paru, aspirasi
kontusio miokard, trauma abdomen luka penetrasi, non penetrasi, nyeri abdomen , penyebab
tidak jelas. Pemeriksaan CT scan dilakukan bila ada indikasi seperti trauma kepala.
Pemeriksaan DPL, hematologi, golongan darah dan permintaan komponen darah bila
diperlukan.
127
intramuskular. Lakukan pemantauan fungsi vital oksigenasi, saturasi Hb (SpO2), tekanan
darah, nadi, EKG, suhu, aliran cairan infusi, ventilasi dengan ETCO2 kalau ada, produksi urin,
jumlah perdarahan. Bila diperlukan pemasangan kateter vena sentral dan jalur intra arterial.
Atur kebutuhan obat untuk pertahankan sedasi, analgesia dan relaksasi. Untuk beberapa kasus
dibutuhkan pemasangan NGT.
Akhir operasi yakinkan pasien bernafas spontan dan volume nafas adekuat (kecuali bila
direncanakan untuk melanjutkan bantuan nafas pascabedah). Bila perlu berikan antidotum
obat-obat yang menyebabkan apnea berkepanjangan atau hipoventilasi . Lakukan
pengakhiran anestesia dengan mulus, dan mengawasi masa siuman. Lakukan pengawasan
terhadap komplikasi pascabedah dan penanggulangan terhadap mual muntah, nyeri, obstruksi
jalan nafas, gangguan oksigenasi, bradipnea, apnea, gangguan tekanan darah, dan lama pulih
sadar. Mortalitas dapat terjadi bergantung pada kondisi awal, ASA, atau penyakit penyerta.
Untuk kasus dan kondisi pasien tertentu memerlukan perawatan ICU pascabedah.
Asesmen pertama pada pasien trauma dapat dibagi menjadi pemeriksaan primer, sekunder dan
tertier (primary, secondary and tertiatry survey). Primary survey akan berlangsung 2 5 menit
dan terdiri dari urutan ABCDE trauma: Jalan nafas. Breathing , Circulation , Disability dan
Exposure. Jika fungsi tiga sistem pertama terganggu, resusitasi harus segera dilakukan
secepatnya. Pada pasien kritis, resusitasi dan asesmen berlangsung simultan oleh tim
pelaksana penangulangan trauma. Pemantauan dasar mencakup, EKG, tekanan darah
noninvasif dan oksimeter pulsa dapat diprakarsai dari tempat kejadian dan diteruskan selama
perteolongan. Prinsip-prinsip resusitasi Jantung Paru dapat dilihat dalam Modul 3:
Keterampilan Anestesiologi III. Resusitasi trauma terdiri dari 2 langkah : menghentikan
perdarahan dan memperbaiki cedera definitif. Primary survey akan diikuti oleh secondary dan
teriary survey yanhg lebih komprehensif.
Primary survey
Jalan nafas
Menentukan dan mempertahankan jalan nafas selalu meruipakan perioritas pertama. Jika
pasien dapat berbicara, jalan nafas selalu bersih; pasien yang tidak sadar akan selalu
membutuhkan bantuan jalan nafas dan ventilasi. Gejala penting obstruksi jalan termasuk,
128
dengkur (snoring), stridor dan gerakan dada paradoksal. Pada pasien yang tidak sadar
sebaiknya dipertimbangkan kemungkinan adanya benda asing. Menejemen jalan nafas lanjut
(seperti intubasi endotrakeal, krikotirotomi, atau trakestomi) menjadi indikasi jika terjadi
apnea, obstruksi persisten, cedera kepala berat, trauma maksilofasial, luka tembus leher
hematom besar dan cedera dada berat.
Cedera tulang leher tidak mungkin pada pasien yang alert tanpa nyeri leher. Lima kriteria
dapat meningkatkan risiko yang berpotensi ketidakstabilan tulang servikal yaitu: 1) nyeri
leher, 2) nyeri yang sangat mengganggu, 3) adanya tanda atau gejala neurologik, 4)
intoksikasi, 5) gangguan kesadaran. Fraktur servikal harus diduga jika terdapat salah satu
kriteria tersebut; walaupun dengan kriteria ini kejadian fraktur trauma servikal mendekati 2 %.
Angka kejadian ketidakstabilan tulang servikal meningkat sampai 10 % jika terjadi cedera
kepala berat. Hindarkan hiperekstensi leher; jaw-thrust maneuver lebih baik untuk
mempertahankan keutuhan jalan nafas. Jalan nafas oral atau nasal dapat menolong
mempertahankan jalan nafas. Pasien tidak sadar dengan trauma berat mempunyai risiko tinggi
aspirasi, karena itu jalan nafas harus segera diamankan dengan pipa endotrakeal atau
trakeostomi. Hiperekstensi leher dan traksi aksial berlebihan harus dicegah dan immobilisasi
manual kepala dan leher oleh asisten harus dilakukan untuk menstabilkan tulang servikal
selama laringoskopi (manual in-line stabilization atau MILS). Asisten menempatkan kedua
tangan pada salahsatu sisi kepala, menahan bawah osiput dan mencegah rotasi kepala. Studi-
studi telah mendemonstrasikan, pergerakan leher terjadi terutama di daerah C1 dan C2 selama
ventilasi dengan sungkup muka dan laringoskopi langsung yang memerlukan upaya stabilisasi
(misalnya dengan: MILS, traksi aksial, bantal pasir, fiksasi kepala, kollare lunak atau kollar
keras). Dari emua teknik ini, MILS mungkin sangat efektif, tetapi juga mengakibatkan
laringoskopi menjadi lebih sulit. Karena alasan ini, beberapa ahli lebih menyukai intubasi
nasal (buta atau serat optik) poada pasien yang bernafasspontan dengan kecurigaan cedera
tulang servikal, walaupun teknik ini mempunyai risiko untuk aspirasi paru. Kebanyakan
praktisi sangat terbiasa dengan intubasi oral dilakukan pada pasien apne yang memmerlukan
intubasi segera. Intubasi nasal seharusnya dihindarkan untuk pasien dengan cedera muka
tengah (midface) atau fraktur tulang dasar tengkorak.
Trauma laring menyebabkan situasi lebih kompleks dan buruk. Cedera terbuka dapat
berkaitan dengan perdarahan dari pembuluh darah besar di leher, obstruksi jalan nafas karena
hematom atau edema. Cedera tertutup laring kurang membahayakan tetapi dapat berdampak
kripitasi leher, hematoma, disfagi, hemoptisis atau hilang suara. Intubasi sadar dengan pipa
endotrakeal kecil mempergunakan laringoskop direk atau brokoskop serat optik dan
analgesia topikal, dapat diupayakan jika laring dapat dilihat dengan baik. Jika cedera muka
dan leher tidak memungkinkan untuk dilakukan intubasi sebaiknya dipertimbangkan
trakeostomi dengan analgesia lokal.Obstruksi jalan nafas akut mungkin memerlukan
krikotomi darurat atau trakeostomi perkutan atau bedah.
129
Breathing
Asesmen ventilasi dicapai dengan baik sekali dengan cara melihat, mendengar dan
merasakan. Melihat untuk sianosis, penggunaan otot nafas asesories, flail chest, luka tembus
toraks. Mendengar untuk ada atau tidak ada atau penurunan bunyi nafas. Merasakan untuk
emfesa subkutan, pergeseran trakea, iga patah. Adanya tension pneumothorax dan hemothorax
harus dapat dicurigai gangguan pernafasan sebelum dilakukan foto toraks. Kebanyakan
pasien trauma yang kritis membutuhkan nafas bantu kalau tidak nafas kendali. Bag-valve
devices (misalnya, self inflating bag dengan one way valve) dapat dipergunakan untuk ventilasi
yang adekuat segera setelah intubasi selama transportasi pasien. Oksigen 100 % diberikan
sampai gas darah arteri dapat dinilai.
Circulation
Sirkulasi yang adekuat berdasarkan laju nadi, kekuatan nadi, tekanan darah dan tanda-tanda
perfusi perifer. Gejala sirkulasi tidak adekuat mencakup, takikardia, pulsa perifer lemah atau
tidak teraba, hipotensi, pucat, dingin atau ekstrimitas sianosis. Perioritas pertama adalah
menghentikan perdarahan, kalau terlihat dari luar tekan langsung; kedua, menggantikan
cairan intravaskular melalui kanul besar agar infusi dapat diberikan cepat. Contoh darah harus
diambil
Perdarahan
Pertolongan pertama perdarahan adalah menekan dari luar, hati-hati kalau mempergunakan
turnike karena dapat menyebabkan cedera reperfusi. Derajat hipotensi pasien saat sampai di
ruang darurat dan kamar operasi sangat menentukan mortalitas pasien. Respons fisiologik
perdarahan bervariasi yaitu, takikardia, perfusi kapiler buruk, penurunan tekanan nadi pada
hipotensi, takipne dan delerium. (Tabel)
130
Pathophysiology Clinical Manifestations
1
Modified and reprinted, with permission, from Ho MT, Saunders CE: Current
Emergency Diagnosis & Treatment, 4th ed. Appleton & Lange, 1992.
2
These clinical findings are most consistently observed in hemorrhagic shock
but apply to other types of shock as well.
Terapi cairan
Perdarahan masif memerlukan transfusi sel darah merah (SDM) yang sesuai. SDM gol. O
yang tidak dicocok silang, dicadangkan untuk perdarahan yang mengancam nyawa dan
tidak dapat lagi diganti dengan cairan lain. Transfusi SDM diberikan jika Hb < 7 gr / dl.
Cairan kristaloid yang diberikan akan memerlukan volume yang besar, karena tidak lama
bertahan dalam sirkulasi. Larutan ringer laktat lebih mudah menghasilkan asidosis kloremik
dibandingkan NaCl normal. Ringer laktat merupakan caiaran yang sedikit hipotonik, tetapi
pemberian yang berlebihan akan berdampak edema serebri. Cairan hipertonik seperti NaCL 3
7,5 % efektif untuk resusitasi cairan karena kurang mengakibat edema serebri
dibandingkan ringer laktat atau NaCl normal. Tetapi hati-hati memberikan cairan hipertonik
karena mudah memberi dampak hipernatremia. Cairan yang mengandung dekstrosa
berlebihan mudah menyebabkan eksaserbasi iskemia otak. Cairan koloid lebih efektif
sebagai pengisi volume intravaskular karena lebih lama bertahan dalam sirkulasi; tetapi harga
131
jauh lebih mahal. Cairan apapun yang dipilih, harus dihangatkan dulu sebelum diberikan.
Infusii cepat yang mempergunakan kanul besar (14- 16 gauge) dan cairan hangat sangat baik
untuk transfusi masif. Selimut hangat atau humidifier hangat juga sangat penting untuk
mempertahankan suhu tubuh. Hipotermia akan memperburuk gangguan asam-basa,
koagulopati, dan fungsi miokard.(Tabel)
Perfusi organ yang tidak adekuat akan mengganggu metabolisme aerobik dan menghasilkan
asam laktat dan asisdosis metabolik. Na bikarbonat yang berdisosiasi menjadi ion bikarbonat
dan CO2, dapat memperburuk asidosis intrasel karena membran sel relatif sulit larut
bikarbonat dibandingkan dengan CO2. Ketidakseimbangan asam basa, akhirnya
132
diperbaiki dengan hidrasi dan pemulihan perfusi organ. Laktat akan dimetabolisme di hati
dan ion H akan diekskresi melalui ginjal.
Hipotensi pada pasien syok hipovolemik akan diatasi cairan intravena dan produk darah,
bukan oleh vasopresor ; kecuali hipotensi berat yang tidak respons terhadap terapi cairan,
syok kardiogenik atau henti jantung.
Disability
Upaya ini dilakukan untuk mengevaluasi neurologik dengan cepat, besar pupil, reaksi cahaya,
skala Glasgow Coma Scale (GCS), pergerakan spontan kaki dan tangan atau respons terhadap
rangsangan.
Category Skor
Eye opening
Spontaneous 4
To speech 3
To pain 2
Nil 1
To verbal command
Obeys 6
133
Category Skor
To pain
Localizes 5
Withdraws 4
Decorticate flexion 3
Extensor responsse 2
Nil 1
Oriented 5
Confused conversation 4
Inappropriate words 3
Incomprehensible sounds 2
Nil 1
Exposure
Seluruh pasien dilepascan agar dapat memeriksan semua cedera yang ada. Mobilisasi in line
harus dipergunakan untuk cedera lehr dan tulang belakang
18. REFERENSI
134
Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr. 4th ed 2006
135
MODUL 8 : ANESTESIA UMUM
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
CD PowerPoint
Sarana:
5. Ruang belajar
6. Ruang pemeriksaan
7. Ruang Operasi
Kasus : pasien di kamar operasi
Referensi :
136
6. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
7. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
TUJUAN UMUM
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu memberikan anestesia umum
intravena, inhalasi, intramuskular baik nafas spontan atau kendali, diintubasi atau
dengan LMA pada pasien dengan status fisis ASA I-II.
TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi dalam ranah-ranah
berikut ini :
Kognitif
1. Memahami cara kerja alat pemantauan, mesin anestesia dan obat-obatan apa
yang perlu disediakan di kamar operasi.
2. Mengetahui mekanisme terjadinya anestesia umum
3. Mengetahui cara pemberian dan obat yang dipakai untuk induksi anestesia
umum
4. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi selama anestesia: obstruksi jalan
nafas, hipoksemia, hiperkarbia, hipotensi, hipertensi.
5. Mengetahui farmakokinetik dan farmakodinamik obat anestetik intra vena dan
anestetik inhalasi.
6. Mengetahui tentang keseimbangananestesia umum intravena,
keseimbangananestesia umum inhalasi.
7. Memahami indikasi dan cara memberikan anestesia dengan sungkup, LMA,
endotrakeal.
8. Memahami indikasi dan komplikasi intubasi untuk keperluan anestesia umum.
9. Memahami kapan dilakukan ekstubasi serta komplikasi ekstubasi.
Psikomotor
1. Mampu melakukan pembebasan jalan nafas tanpa alat (manuver tripel), dengan
OPA, LMA, dan intubasi.
2. Mampu melakukan induksi intravena dan induksi inhalasi dengan tepat.
3. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi akibat induksi intravena, induksi
inhalasi seperti obstruksi jalan nafas, hipoksemia, hiperkarbia, hipotensi,
137
hipertensi.
4. Mampu mengetahui stadium anestesia.
5. Mampu melakukan ekstubasi.
6. Mampu mengatasi komplikasi akibat ekstubasi.
Komunikasi
Profesionalisme
KEYNOTES:
GAMBARAN UMUM
Untuk dapat memberikan anestesia umum dengan aman diperlukan pengetahuan dan
keterampilan dalam mekanisme kerja alat pemantauan, cara kerja mesin anestesia
dan obat-obatan apa yang perlu disediakan di kamar operasi, mekanisme terjadinya
anestesia umum, cara pemberian dan obat induksi anestesia umum, komplikasi yang
sering terjadi selama anestesia (obstruksi jalan nafas, hipoksemia, hiperkarbia,
hipotensi, hipertensi), farmakokinetik dan farmakodinamik obat anestetik intra vena
dan anestetik inhalasi, keseimbangananestesia umum intravena,
keseimbangananestesia umum inhalasi, indikasi dan cara anestesia dengan sungkup,
LMA, endotrakeal. Memahami indikasi dan komplikasi intubasi unuk keperluan
anestesia umum, kapan dilakukan ekstubasi serta komplikasi ekstubasi, melakukan
138
pembebasan jalan nafas tanpa alat (manuver tripel), dengan OPA, LMA, dan
intubasi, melakukan induksi intravena dan induksi inhalasi dengan tepat, mampu
mengatasi komplikasi akibat ekstubasi.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu memberikan anestesia umum
inhalasi dan intravena pada pasien dengan status fisis ASA I-II.
METODE PEMBELAJARAN
Metode pembelajaran
1. Diskusi kelompok kecil
2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education
Metode pembelajaran
1. Diskusi kelompok kecil
2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education
MEDIA
1. Papan tulis
139
2. Komputer
3. LCD dan slide projector
4. Pasien di kamar bedah .
1. Virtual patients
2. Reading assigment
3. Audiovisual
4. Perpustakaan, internet, skill lab
EVALUASI
1. Kognitif :
EMQ (Extended Medical Question)
Multiple observers/raters
Minicheck
2. Skill/psikomotor :
Multiple observations and assessments
Multiple observers
OSCE
Minicheck
Multiple observers/rater
4. Profesionalisme
Multiple Observations and assessments
Multiple observers/rater
140
Pre-tes
10. Jelaskan tentang alat pantau dan obat-obatan apa yang diperlukan di kamar
operasi.
11. Bagaimana cara melakukan induksi inhalasi dan induksi intravena?
12. Jelaskan tentang komplikasi yang sering saat induksi anestesia dan saat
ekstubasi dan cara mengatasinya!
13. Jelaskan tentang indikasi anestesia umum.
14. Jelaskan tentang indikasi intubasi dan tekniknya untuk keperluan anestesia
umum.
15. Jelaskan tentang ambilan dan distribusi anestetik inhalasi.
16. Jelaskan tentang MAC, MAC EI, MAC BAR, MAC sadardan keadaan apa
saja yang mempengaruhinya.
17. Jelaskan pasien efek obat anestetik inhalasi halotan, enfluran, isofluran,
sevofluran, desfluran terhadap organ tubuh.
18. Jelaskan tentang efek obat anestetik intravena propofol, tiopental, ketamin,
etomidat terdap organ tubuh.
Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan
(semester).
Bentuk ujian :
1. Kognitif
a. EMQ (Extended Medical Question)
b. Multiple observation and assessments
c. Multiple observers
d. OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
e. Minicheck
2. Skill/psikomotor
a. Multiple observation and assessments
b. Multiple observers
c. OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
d. Minicheck
3. Affective : Profesionalisme, Communication and Interpersonal Skills
a. Multiple observation and assessments
b. Multiple observers
141
DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA
Tindakan / operasi :
1 Pemasangan monitor
13 Melakukan ekstubasi
142
DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur Standard atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur Standard atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
143
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
144
MATERI ACUAN
I. Pendahuluan
Anestesia adalah hilangnya sensasi sakit. Pada anestesia umum hilangnya rasa
nyeri terjadi pada seluruh tubuh disertai hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel.
Anestesia dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu anestesia umum dan analgesia lokal.
Pada analgesia lokal hilangnya rasa nyeri hanya pada sebagian tubuh dan tidak disertai
hilangnya kesadaran.
Obat anestetik inhalasi dapat berbentuk gas misalnya N2O, siklopropan dan
etilen. Yang berbentuk cair melalui alat penguap akan diubah menjadi gas. Obat
anestetik inhalasi yang berbentuk cair dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu
golongan halogen hidrokarbon misalnya halotan dan halogen eter yang contohnya
adalah eter, enfluran, isofluran, desfluran, dan sevofluran. Teknik anestesia umum
inhalasi bisa dilakukan dengan nafas spontan dengan sungkup muka, nafas spontan
diintubasi, nafas spontan dengan LM, nafas spontan dengan COPA (Kafed Orofaringeal
Jalan nafas) atau nafas kendali diintubasi.
Anestesia umum didefinisikan sebagai hilangnya rasa nyeri diseluruh tubuh yang
disertai hilangnya kesadaran yang reversibel akibat pemberian obat anestetik. Pada
anestesia umum ada penekanan Susunan Saraf Pusat (SSP) yang menurun secara
ireguler. Anestesia umum dapat didefinisikan lebih jauh sebagai suatu keadaan yang
mana sistem fisiologi tertentu dari tubuh di bawah kendali pengaturan luar oleh obat-
obat anestetik. Urut-urutan SSP yang terdepresi selama anestesia umum adalah corteks
dan pusat psikis, basal ganglia dan serebelum, medula spinalis dan terakhir medula
oblongata
Anestesia umum dapat diberikan secara inhalasi, intravena, intra muskular, per oral
dan per-rektal. Yang paling sering dipakai adalah pemberian secara inhalasi dan
intravena. Agak jarang yang diberikan secara intramuskular dan lebih jarang lagi yang
145
diberikan secara per-rektal atau per-oral.
Obat anestetik yang diberikan secara inhalasi adalah eter, halotan, enfluran,
isofluran, sevofluran dan desfluran. Yang dapat diberikan secara intravena adalah
tiopental, ketamin, propofol, etomidat, diazepam, midazolam. Yang diberikan secara
intramuskular adalah ketamin. Contoh yang dapat diberikan per rektal adalah diazepam,
eter oil. Yang dapat diberikan secara oral adalah ketamin dan midazolam.
Pada anestesia umum terdapat trias anestesia yaitu hipnotik (hilang kesadaran),
analgetik dan relaksasi. Hipnotik dapat dilakukan dengan hambatan mental, analgetik
dapat dilakukan dengan hambatan sensori dan relaksasi dengan hambatan refleks dan
hambatan motorik.
Analgesia :
Relaksasi:
Bisa terjadi karena adanya hambatan motorik dan hambatan refleks. Pada
hambatan motorik terjadi depresi area motorik di otak dan hambatan impuls efferent,
sehingga terjadi relaksasi otot skelet. Efek depresi motorik ini bergantung pada ke
dalaman anestesia, di mana otot pernafasan / diafragma yang paling akhir ditekan.
Pada hambatan refleks, terjadi penekanan refleks misalnya ada sistem respirasi untuk
mencegah brokospasme, laringospasme, pembentukan mukus. Pada sirkulasi untuk
mencegah terjadinya aritmia dan pada gastrointestinal untuk mencegah mual, muntah.
Hipnotik:
Terjadi hambatan mental. Ada beberapa tingkatan dimulai dari tenang, sedasi,
light sleep atau hipnosis, deep sleep atau narkosis, complete anaesthesia, dan terakhir
146
terjadi depresi medula oblongata.
- relaksasi
Pada anestesia umum inhalasi atau intravena, trias anestesia dapat diperoleh dengan
dosis besar satu macam obat anestetik inhalasi atau intravena, tetapi akan disertai adanya
efek samping. Misalnya dengan pentothal saja atau dengan halotan saja.
Untuk mencegah adanya efek samping tersebut, maka anestesia umum dilakukan dengan
konsep anestesia seimbang di mana pasien diberikan obat untuk setiap komponen
anestesia, yaitu hipnotik, analgetik dan relaksasi.
147
Vekuronium, Atrakurium)
Untuk terjadinya trias ini, maka pada anestesia umum inhalasi terjadi blok sensori, blok
motorik, blok refleks dan blok mental.
Blok sensori:
Rangsangan pada organ akhir diblok secara sentral dan rangsangan tidak masuk ke
dalam korteks
tingkatan bervariasi, dari stadium I sampai dengan stadium III di mana semua
sensasi hilang
yang ditekan adalah korteks, hipotalamus, subkortikal talamik nuklei, semua sel
sensori kranial.
Blok motorik
Yang ditekan adalah premotor dan motor korteks subkortical dan
ekstrapiramidall. Yang terakhir dipengaruhi adalah otot pernafasan. Mula-mula pada otot
interkostal bawah, lalu otot interkostal atas, dan kemudian otot diafragma.
Blok refleks:
Refleks yang tidak menyenangkan harus diblok, misalnya pada sistem respirasi
adalah pembentukan mukus, spasme laring, spasme bronkus. Pada sistem kardiovaskular
adanya aritmia, dan pada sistem gastrointestinal adanya salivasi dan muntah.
Blok mental :
Untuk mencapai tidur ada beberapa tahapan :
1. Tenang.
2. Sedasi (ngantuk).
3. Hipnosis (light sleep).
4. Narkosis (deep sleep).
5. Anestesia penuh (complete anesthesia).
6. Paralisis pada medula (medulary paralysis).
Pada pemberian anestesia umum inhalasi, urutan bagian SSP yang terdepresi adalah :
148
3. Surface Tension atau Adsorpsion Theory (1904).
4. Cell Permeability Theory (1907).
5. Biochemical Theories (1952).
6. Neurophysiologic Theories (1952).
7. Physical Theories (1961).
8. Multiple Mechanistic Theories (1967).
b. Faktor Sirkulasi
d. Faktor Jaringan
a. Faktor Respirasi
Faktor Pulmoner :
Ada dua faktor yang menentukan kecepatan zat anestesia sehingga kadar zat
anestesia dalam alveolus meningkat, yaitu konsentrasi inspirasi dan ventilasi alveolus.
Konsentrasi Inspirasi :
Semakin tinggi konsentrasi gas inspirasi, akan menyebabkan peninggian yang
lebih cepat dari konsentrasi alveolar.
Efek Ventilasi :
Jika ventilasi lebih besar, maka konsentrasi gas alveolar akan lebih cepat
meningkat.
b. Faktor Sirkulasi
149
Fase Sirkulasi :
Bergantung pada koefisien partisi (kelarutan), curah jantung dan perbedaan
tekanan gas pada alveolus dan vena.
Kelarutan :
Kelarutan suatu gas selalu konstan. Istilah kelarutan adalah partition coefficient
(p.c.), misalnya blood/gas p.c., tissue/gas p.c., oil/gas p.c. Contoh : blood/gas p.c. =
2, artinya volume gas pada tekanan parsial gas yang sama di kedua fase
perbandingannya adalah 2:1.
Pada tekanan parsial yang sama, volume gas anestesia dalam alveolus adalah 1 vol%.
Sedangkan pada darah adalah 2 vol%. Partition coefficient blood/gas adalah 2/1 =2.
Curah jantung :
Darah membawa gas dari paru, maka bila curah jantung meningkat, ambilan juga
meningkat. Pada keadaan curah jantung yang menurun terjadi penurunan gradien
tekanan gas dalam alveolus dengan tekanan gas dalam vena dan makin rendahnya
kelarutan gas anestesia, maka pengeluaran zat anestesia akan menurun.
-.Bila tekanan parsial gas lebih tinggi di darah daripada di otak, gas akan pindah
dari darah ke otak. Demikian pula sebaliknya.
-.Tekanan parsial gas di otak selalu mencoba ekuilibrium dengan tekanan gas di
dalam darah.
150
c. Faktor Gas Anestesia
Minimal Alveolar Concentrasion (MAC) :
Dosis obat pada umumnya ditentukan oleh berat badan. Misalnya : mg/kgBB atau
mcg/kgBB, tetapi dosis obat anestetik inhalasi ditentukan oleh MAC.
MAC50, atau lebih sering disebut MAC saja, adalah konsentrasi minimal gas anestesia
di dalam alveolus pada tekanan 1 atmosfir di mana 50% penderita tidak bergerak bila
diberikan noxious rangsangan. Ada istilah lain, yaitu MAC95, MACEI50, MACEI95,
MACBAR50, MACBAR95, dan MACAWAKE.
95 artinya 95% penderita. EI adalah singkatan dari Endotrakeal Intubation, dan BAR
adalah singkatan dari blockade adreno receptor.
MAC95 adalah konsentrasi minimal gas anestesia di dalam alveolus pada tekanan 1
atmosfir di mana 95% penderita tidak bergerak bila diberikan noxious rangsangan.
MACEI50 adalah konsentrasi minimal gas anestesia di dalam alveolus pada tekanan 1
atmosfir di mana 50% penderita tidak bergerak bila dilakukan laringoskopi dan
intubasi endotrakeal.
MACEI95 adalah konsentrasi minimal gas anestesia di dalam alveolus pada tekanan 1
atmosfir di mana 95% penderita tidak bergerak bila dilakukan laringoskopi dan
intubasi endotrakeal.
MACBAR50 adalah konsentrasi minimal gas anestesia di dalam alveolus pada tekanan 1
atmosfir di mana 50% penderita tidak memberikan respons adrenergik bila diberikan
noxious rangsangan.
MACBAR95 adalah konsentrasi minimal gas anestesia di dalam alveolus pada tekanan 1
atmosfir di mana 95% penderita tidak memberikan respons adrenergik bila diberikan
noxious rangsangan.
Di bawah ini dapat kita lihat perbedaan MAC obat anestetik inhalasi.
151
Concentrasion (Vol%) (Vol%)
Halotan Enflurane
MAC50 1.0 MAC (0.74 0.03%) 1.0 MAC (1.68 0.04%)
152
Nilai MAC tidak selalu konstan, tetapi berubah-ubah bergantung pada beberapa
keadaan seperti yang tertera pada tabel di bawah ini.
pankuronium
153
Kolinesterase inhibitors
Pregnancy
Hypercalcemia
Hypotension
Hypothermia
d. Faktor Jaringan
Jaringan dibagi atas 4 kelompok :
a. Kelompok jaringan kaya pembuluh darah :
Organ-organ ini beratnya < 7%BB, tetapi menerima 75% curah jantung. Jaringan
ini menerima zat anestesia dalam jumlah banyak sejak awal induksi.
otot, skelet, dan kulit. Perfusi jaringan rendah ( < 3ml darah/100mg
jaringan/menit).
c. Lemak merupakan depo yang efektif untuk penimbunan zat anestesia. Walaupun
perfusinya lebih rendah dari kelompok otot, tetapi mempunyai kemampuan besar
dalam pengambilan zat anestesia. Hal ini dapat melambatkan induksi maupun
pemulihan pada pasien yang gemuk.
ligamen dan tendo. Jaringan ini hampir tidak mengambil zat anestesia.
Pada pasien yang gemuk (obesitas) bisa terjadi reanestesia karena banyaknya obat
anestetik pada jaringan lemak (terutama yang larut dalam lemak).
154
Bila penderita tidak sadar, maka problema utama adalah jalan nafas, karena dapat
terjadi sumbatan jalan nafas yang bisa parsial atau total. Tanda-tanda sumbatan parsial
adalah adanya dengkuran (snoring), keadaan tercekik (crowing), bunyi kumur-kumur
(gargling), atau wheezing, adanya retraksi dada dan sianosis. Bunyi itu bergantung pada
lokasi sumbatannya, misalnya snoring adalah akibat pangkal lidah jatuh ke belakang,
crowing adalah sumbatan pada daerah laring, dan whezing adalah sumbatan pada
bronkus. Pada sumbatan total tidak terdengar atau terasa aliran udara dari mulut /
hidung, adanya retraksi supraklavikular, retraksi interkostal, dada tidak mengembang
bila dilakukan ventilasi / inflasi paru, dan juga sianosis.
Problema lain selama induksi anestesia adalah sungkup muka (face mask) yang
tidak rapat (misalnya karena hidung terlalu mancung, pasien ompong, atau jenggotnya
sangat lebat), depresi nafas, batuk, spasme laring, adanya mukus dan saliva, atau juga
muntah. Semuanya harus segera ditanggulangi. Cara penanggulangannya adalah dengan
membebaskan jalan nafas, misalnya dengan Manuver tripel Safar (ekstensi kepala, tarik
angulus mandibula, buka mulut), pengisapan lendir / saliva / muntahan, pasang pipa
orofaring (mayo), intubasi endotrakeal, bahkan kalau tetap tidak bisa membebaskan
jalan nafas, bisa dilakukan krikotirotomi atau trakeostomi
155
Less than control + 30 1
Pertama kali dibuat oleh Priestley pada tahun 1776; berbentuk gas, tidak
berwarna, dan tidak merangsang. Senyawa ini 1,5 kali lebih berat dari udara; merupakan
obat anestetik lemah. Pemakaiannya harus selalu dicampur dengan oksigen 100% untuk
mencegah hipoksia; induksi-dan-pemulihan cepat, serta tidak menyebabkan iritasi;
analgesia kuat tetapi bisa menyebabkan mual-muntah; tidak ada relaksasi otot. Bisa
menyebabkan terjadinya agranulositosis, displasia sumsum tulang, maupun teratogenik
156
bila dipakai dalam jangka waktu lama. Maka dari itu hati-hati bila operasi lebih dari 7
jam.
Halotan:
Halotan dibuat pertama kali oleh C.W. Suckling di tahun 1951; merupakan zat
anestesia yang sangat poten dan tidak berwarna; dapat meningkatkan tekanan intra
kranial serta dapat menyebabkan relaksasi uterus. Halotan dapat menimbulkan
terjadinya halotan hepatitis, terutama bila obat ini diberikan dalam jangka waktu pendek
(pemberian berkali-kali dalam jangka waktu pendek). Induksi dan pemulihan cepat;
tidak menyebabkan iritasi; tidak mengakibatkan mual, dan berefek bronodilator.
Menekan jantung; menyebabkan vasodilatasi, aritmia, mengiritasi miokard bila ada
epineprin. Obat ini dimetabolisme di hepar sebanyak 20-45%. Hasil metabolismenya
berupa Br-, F-, Cl-, asam trifluorasetat, gas klorodifluoroetilen serta klorotrifluoroetilen.
Enfluran / Etran :
Dibuat pertama kali oleh Terrel pada tahun 1963; merupakan obat anestetik
poten. Dapat menimbulkan eksitasi SSP terutama bila ada hipokapnia. Induksi dan
pemulihan cepat. Tidak menimbulkan hipersekresi; bersifat bronkodilator, non-emetik,
compatible dengan epineprin; menyebabkan penurunan tekanan darah akibat depresi
miokard dan vasodilatasi perifer; dimetabolisme sebanyak 2,4%, dan 80% dikeluarkan
dalam bentuk utuh melalui paru.
Isofluran :
Isofluran suatu obat anestetik uap yang induksinya cepat dan pemulihannya
cepat, tidak iritasi dan tidak menimbulkan sekresi. Seperti halnya halotan dan enfluran,
Isofluran berefek bronkodilator, tidak menimbulkan mual-muntah, dan bersifat
kompatibel dengan epineprin. Efek penurunan tekanan darah sama besarnya dengan
halotan, hanya berbeda dalam mekanisme kerjanya. Halotan menurunkan tekanan darah,
terutama dengan menekan miokardium dan sedikit vasodilatasi. Etrane menurunkan
tekanan darah dengan menekan miokardium dan vasodilatasi perifer. Isofluran
menurunkan tekanan darah terutama dengan vasodilatasi perifer dan hampir tidak
menekan miokardium.
Sevofluran
Sevofluran adalah suatu obat anestetik umum inhalasi derivat eter dengan
kelarutan dalam darah yang lebih rendah dari halotan, enfluran dan isofluran.
Rendahnya kelarutan serta tidak adanya bau yang menyengat menyebabkan induksi
inhalasi berjalan dengan cepat dan mulus, juga kelarutan dalam darah yang rendah
157
menyebabkan pemulihan berjalan dengan cepat. Dibandingkan dengan Desfluran,
Sevofluran mempunyai MAC yang lebih rendah (2,05). Desfluran mempunyai
kelarutan yang lebih rendah, akan tetapi, iritasi jalan nafas lebih besar dengan
Desfluran, maka obat anestetik inhalasi yang paling cocok untuk teknik VIMA adalah
Sevofluran.
Tidak ada iritasi saluran nafas, sehingga induksi berjalan lancar. Kejadian
iritasi saluran nafas serta kelarutan lebih rendah daripada halotan, sehingga induksi
inhalasi (baik untuk pediatri atau dewasa) akan lebih cepat dengan sevofluran
daripada dengan halotan. Pada induksi inhalasi kejadian batuk, menahan nafas,
spasme laring, eksitasi lebih rendah daripada halotan, sehingga VIMA dengan
Sevofluran akan lebih menyenangkan daripada dengan halotan.
Bangun dari anestesia, pemulihan fungsi psikomotor, kognitif, orientasi lebih
cepat dengan sevofluran daripada dengan halotan.
Sevofluran menekan SSP, kardiovaskular dan respirasi paralel dengan isofluran.
Sevofluran didegradasi oleh soda lime membentuk suatu haloalken yang bersifat toksik
pada ginjal tikus, tetapi efek tersebut tidak terlihat pada manusia.
Aman digunakan untuk operasi bedah saraf, pasien dengan kelainan serebral,
bedah Caesar, CABG, pasien dengan risiko miokardial iskemia, penyakit hepar,
penyakit ginjal.
Obat anestetik intravena disebut ideal bila memenuhi persyaratan larut dalam air, tidak
iritasi pada vena, tidak mempunyai efek anti analgesik, induksi cepat dan lancar, stabil
kardiovaskular pada dosis klinis, dan lama kerja pendek sehingga pemulihan cepat.
Thiopentone
Tiopental mempunyai efek menurunkan tekanan darah, denyut jantung dapat menurun
atau meningkat bergantung pada fungsi jantung, dilatasi perifer, menekan kontraksi
jantung, spasme laring, spasme bronkus, depresi nafas sampai terjadi henti nafas,. Dosis
tiopental adalah 4-6 mg/kg BB.
Indikasi-kontra relatif tiopental adalah asma bronkial, penyakit jantung berat, penyakit
ginjal berat, anemia berat, hipotensi dan syok.
158
Ketamin
Indikasi penggunaan ketamin adalah untuk operasi yang berlangsung singkat, akan
tetapi dengan dosis rendah dapat dipakai sebagai analgetik intraoperatif dan pascabedah.
Karena efek pada sistem kardivaskular maka indikasi-kontra penggunaan ketamin
adalah bila tekanan sistolik > 160 mmHg, aritmia, gagal jantung. Karena refleks jalan
nafas masih dipertahankan dan juga menimbulkan hipersekresi maka operasi faring dan
laring tanpa dilakukan intubasi merupakan indikasi-kontra.
Propofol
Merupakan suatu obat anestetik intravena baru, dengan mula kerja yang berat, lama
kerja singkat, akumulasi minimal, pemulihan cepat, metabolisme ceapat. Tidak ada
komplikasi pada tempat suntikan. Dosisnya 2-2.5 mg/kg BW.
Sangat berguna dalam anestesia umum misalnya laringoskopi dan intubasi jadi lebih
mudah serta menghindari cedera, digunakan selama operasi dengan ventilasi kendali.
Disebut Pelumpuh otot yang ideal bila termasuk golongan non depolarisasi, mula
kerjacepat, mula kerja singkat, pemulihan cepat, potensi tinggi, tidak kumulatif,
metabolitnya tidak aktif, tidak ada efek kardiovaskular, tidak ada pelepasan histamin,
dapat dilawam dengan antikolinesterase.
159
menurun dengan obat antikolinesterase, obat pelumpuh otot golongan depolarisasi,
penurunan suhu tubuh, epinefrin, asetilkolin. Efeknya meningkat dengan obat pelumpuh
otot non-depolarisasi, anestetik uap.
Narcotic analgesiac disebut ideal bila mempunyai Wide margin of safety yang lebar,
onsetnya cepat, lama kerja singkat, pengendalian analgesia mudah, analgesia kuat, tidak
ada pelepasan histamin, tidak mempunyai metabolit aktif.
Laringoskop berbentuk huruf L, peganggannya disebut "gagang" yang berisi batu batere
dan yang melengkungnya disebut "daun". Daun ada yang lurus, ada juga yang
160
melengkung. Puncak dari daun, pada saat melakukan laringoskopi, akan menyentuh
epiglotis atau vallecula (sudut yang dibentuk oleh lidah dan epiglotis) yang secara
langsung atau tidak langsung akan menaikkan epiglotis, sehingga pita suara akan
terlihat.
-.visualisasi epiglotis.
-.mengangkat epiglotis.
Posisi kepala :
Insersi daun :
Gagang dipegang tangan kiri, jari-jari tangan kanan membuka mulut,
masukkan daun laringoskop, lidah didorong ke kiri sehingga kita melihat
melalui sisi kanan mulut.
Visualisasi epiglotis :
Daun didorong ke dalam sampai epiglotis terlihat.
Mengangkat epiglotis :
Ada 2 teknik :
a) Cara pertama. Untuk daun yang lurus, dimasukkan di bawah
epiglotis, yang bila ujungnya diangkat pita suara akan terlihat.
b) Cara kedua. Untuk daun yang lengkung ujung daun diletakkan pada
valekula. Dengan mengangkat dasar lidah, epiglotis juga akan
terangkat dan glotis akan terlihat.
161
Bagian superior epiglotis dipersarafi oleh N IX (glosofaringeal) dan bagian inferior
(posterior) oleh N. laringeal. Jadi, disebabkan karena bagian inferior epiglotis tidak
disentuh dan tidak dirangsangan, daun yang lengkung dapat dipergunakan pada "light
anestesia" tanpa menimbulkan spasme laring.
2. intubasi endotrakeal :
Ada istilah yang disebut anestesia endotrakeal, artinya adalah memasukkan gas anestesia
ke dalam trakea melalui pipa yang dimasukkan melalui laring (atau trakeostoma) ke
dalam trakea.
Memasukkan pipa tersebut dapat melalui mulut (orotrakeal), hidung (nasotrakeal) atau
trakeal stoma.
-.operasi intratorakal.
-.laparotomi.
162
-.operasi dengan kemungkinan perdarahan yang banyak.
-.pasien pediatrik.
-.non-operatif (resusitasi).
-.ventilasi dapat dikendalikan tanpa masuknya gas ke dalam lambung dan usus.
-.ventilasi dapat dikendalikan pada pasien dengan posisi telungkup, miring atau
posisi lain yang tidak umum (bukan posisi terlentang).
-.trauma pada bibir, gigi, tenggorokan, maupun laring yang menimbulkan suara
serak, nyeri, atau juga sakit saat menelan. Bila terjadi aberasi mukosa, dapat
timbul emfisema. Bila terjadi perforasi membran dapat terjadi mediastinitis.
-.Tipe ETT bisa yang non-kingking (spiral) yang dibuat dari spiral koil nilon atau
kawat yang ditanam di dalam lateks. Yang king-king tentu tanpa spiral.
-.ETT, untuk pasien pediatrik umumnya tanpa balon (kaf). Kaf ini harus diperiksa
163
dahulu sebelum digunakan, apakah bocor atau tidak. Setelah intubasi, kaf diisi
udara kira-kira 5-10ml, tapi hanya sampai tidak terdengar suara kebocoran bila
diventilasi.
-.Yang paling umum dan sering digunakan adalah dari bahan PVC karena :
-.Nomor ETT adalah ukuran diameter interna dalam mm. Misalnya ETT no.8, artinya
diameter internalnya 8mm.
b). Stilet.
Stilet harus dilubrikasi sebelum dimasukkan ke dalam ETT. Ujung stilet tidak
boleh keluar melewati ujung ETT, sebab ada risiko cedera pada fosa piriformis,
membran krikotiroid, membran krikofaringeal dengan akibat terjadinya eemfisema
subkutis, mediastinitis, pneumotoraks.
-.pemasangan yang tidak betul akan mendorong lidah pada hipofaring sehingga
terjadi obstruksi jalan nafas .
-.bila terlalu panjang, ujungnya akan menyentuh epiglotis atau pita suara, sehingga
bisa terjadi batuk-batuk atau spasme laring.
-. bila terlalu panjang, pada operasi yang lama bisa menimbulkan edema faring, sakit
menelan.
164
e). Lubrikans.
Lubrikans dipakai untuk melicinkan ETT bila akan melakukan intubasi
nasotrakeal, untuk melicinkan stilet yang akan dimasukkan ke dalam ETT atau untuk
melicinkan pipa nasogastrik atau maag slang (NGT )
Intubasi bisa dilakukan dalam anestesia ringan dengan obat pelumpuh otot atau dalam
keadaan sadar.
Setelah melalui pita suara, kaf diisi dengan udara secukupnya sampai tidak terdengar
kebocoran udara saat diventilasi (tekanan dalam kaf < 25 mmHg). Kaf tersebut harus
ada di sebelah distal pita suara. Bila ETT tidak mempunyai kaf, harus dimasukkan
sampai 3-4 sm distal pita suara (pada dewasa), atau 1-2 sm distal pita suara (pada anak-
anak).
4. Ekstubasi
Ekstubasi dilakukan bila operasi telah selesai, nafas adekuat. Pemakaian pipa
dilakukan saat pasien inspirasi maksimal. Tidak boleh ada kateter isap dalam pipa saat
penarikan pipa karena akan menurunkan PO2 dalam paru-paru. Bila ekstubasi dilakukan
pada light anaesthesia bisa terjadi komplikasi batuk-batuk, spasme laring dan spasme
bronkus.
Bila pipa dimasukkan terlalu dalam bisa masuk ke bronkus primer kanan
sehingga bisa terjadi obstruksi, atelektasis, kolaps dari paru kiri dan lobus atas
paru kanan. Maka setiap kali telah melakukan intubasi harus diperiksa supaya
ventilasi pada kedua paru sama, dengan cara :
e. Trakeal stenosis.
f. Granuloma laring.
166
rapid
Smooth None Transien None Mini Smooth /
etomidat / rapid t mal rapid
depresio
n
Propofol Smooth Depresion Depresio None Mini Smooth /
/ n mal rapid
rapid /
pain
Diazepa Smooth Mininal Depresio None Yes Smooth /
m / slow / n prolonged
pain
Midazol Smooth Vasodilata Depresio None Yes Smooth /
am / tion n rapid
interme
diat
Alfentani Smooth Depresion Depresio Yes Mini Smooth /
l / n mal rapid
rapid /
kakuity
Sufentan Smooth Minimal Depresio Yes Mini Smooth /
il / n mal intermediat
rapid /
kakuity
Table : Benzodiazepines
167
Drug Inducti Intra- Amnesia Night
on Pre-op operative Hypnotic
Me Sedation
dic
ine
Midazolam
Diazepam
Lorazepam
Triazolam
Chlordiazep
oxide
Flurazepam
Oxazepam
Prazepam
Temazepam
Alprazolam
Dizepa 0.1 0.2 mg/kg p.o. Postoperatives sedation may last for
168
m premed. several hours.
Triazol 0.25 0.5 mg p.o. premed. Shorter durasion than diazepam with
am less postoperative sedation and greater
amnesia.
Boiling Point oC
(25oC / 4oC)
169
4
Vapour Pressure
Blood/Gas
Partition
Coefficient 2.35 1.91 1.4 0.42 0.63
Minimum Alveolar
Concentrasion
(MAC.%)
0.76 1.68 1.15 6.0 2.05
(40 years of age)
Soda Lime No No No No No
Stability
Flamable No No No No No
Explosive No No No --- No
170
Metabolites F-, Cl-, F-, CDA F-, TFA F-, TFA F-,
Br-, TFA,
BCDFE, HFIP
CDE,
CTE,
DBE
Cardiovascular
171
Respiratory
Tidal volume
Respiratory rate
PaCO2
Resting N/C
Challenge
Serebral
Blood flow
Intrakranial
pressure
Serebral metabolic
rate**
Seizures
Neuromuscular
Nondepolarizing
blockade***
Renal
Glomerular ? ?
filtrasion rate
? ?
Urinary output
172
anesthetic undergoing methabolism; N/C = No Change; ? = Uncertain.
Pada saat ini obat-obat anestetik yang tersedia di Rumah Sakit Kabupaten,
umumnya adalah eter dengan alat EMO, ketamin, tiopental untuk induksi anestesia dan
alat serta obat untuk regional analgesia. Tanpa mengurangi arti dan efektivitas eter yang
diketahui sebagai obat anestetik dengan margin of safety yang luas, murah serta mudah
diperoleh, kita ketahui juga bahwa pemakaian eter adalah terbatas dan tidak semua
penderita dapat dilakukan anestesia dengan eter terlebih-lebih pasien dengan kenaikan
ICP, tidak boleh dianestesia dengan eter. Juga frekuensi mual-muntah pascabedah tinggi
serta penderita lama untuk sadar. Faktor lain yang merugikan eter adalah sifatnya yang
menimbulkan polusi.
Demikian pula penggunaan ketamin tidak dapat dilakukan untuk semua penderita.
Ketamin diketahui mempunyai efek halusinasi, mual-muntah pascabedah, menaikan
tekanan darah dan ICP, serta mimpi buruk yang bisa terjadi sampai 24 jam pascabedah.
Karena itu perlu diketahui suatu teknik anestesia yang dapat dilakukan dengan peralatan
yang sangat sederhana, obatnya murah serta mudah didapat, penggunaannya mudah
serta cukup menyenangkan untuk penderitanya. Untuk itu dipikirkan teknik TIVA (Total
Intra Venous Anaesthesia) dengan memakai Tiopental.
TIVA adalah suatu teknik anestesia yang menguntungkan, bukan saja untuk
pasien tetapi juga untuk dokter dan perawat yang mengelola pasien tersebut di kamar
operasi dan ruang pemulihan. Tetapi sayangnya hanya dilakukan oleh sebagian kecil
anestetis. Mengapa ? Ada beberapa alasan, salah satunya adalah anestetis takut tidak
mendapatkan anestesia yang adekuat, pasien bergerak-gerak, awareness dan operator
tidak puas.
TIVA adalah teknik anestesia seimbang di mana terdapat trias anestesia, yaitu
hipnotik, analgetik dan relaksasi. Hipnotik dapat diperoleh dengan obat anestetik
intravena tiopental, propofol, ketamin, midazolam. Analgetik dengan petidin, morfin,
fentanil, alfentanil atau sufentanil. Relaksasi dengan pankuronium, vekuronium atau
atrakurium.
173
- larutan yang stabil, tidak berubah bila kena cahaya
- tidak merusak vena (sakit waktu suntikan, plebitis atau trombosis) atau
kerusakan jaringan bila ada ekstravasasi atau suntikan intraarteri
- situasi di mana sulit memberikan anestesia inhalasi karena tidak adanya N2O
- mencegah awareness selama cardio pulmonary by pass, untuk proteksi otak pada
periode iskemia otak
Komplikasi dan efek samping seperti mual-muntah, rasa nyeri hebat, lama
bangun, maupun pusing akan memperlambat pasien tinggal di ruang pemulihan, maka
174
pemilihan obat anestetik menjadi faktor penting untuk menghilangkan komplikasi ini.
TIVA dapat diberikan secara bolus, intermiten atau kontinyu. Teknik pemberian
kontinyu mempunyai efek samping yang lebih kecil dan pemulihan yang lebih cepat
daripada pemberian secara intermiten (White, 1983; White dkk 1986). Tetapi manakah
yang lebih baik antara TIVA dengan anestesia inhalasi untuk pasien bedah rawat jalan
sampai sekarang masih kontroversial.
Walaupun obat anestetik yang ideal belum ada, tetapi beberapa obat tetap masih
bisa digunakan, bergantung pada tujuannya. Misalnya :
Untuk operasi pasien yang ICP-nya tinggi dapat dipakai TIVA dengan Tiopental +
Norkuron + Fentanil.
175
Tiopental seperti halnya golongan barbiturat lainnya yaitu metoheksiton dan
pentobarbiton merupakan suatu obat hipnotik yang pada dosis tertentu dapat bekerja
sebagai obat anestesia. Tetapi kebanyakan obat ini mempunyai mula kerja yang lambat
dan lama kerja yang lama, karena itu mempunyai nilai yang kecil untuk praktek
anestesia. Untuk tujuan praktek anestesia, hanya tiopental dan metoheksiton dapat
dipertimbangkan.
Brooks dkk (1948), menunjukkan bahwa fase pertama adalah adanya redistribusi
yang sangat cepat kepada jaringan bukan neuron. Kembalinya kesadaran setelah
tiopental anestesia terutama disebabkan karena adanya redistribusi ke jaringan lain di
luar jaringan otak, bukan disebabkan karena obat tersebut dimetabolisme.
Kerugiannya adalah larutannya tidak stabil, pH-nya tinggi dan iritan bila terjadi
ekstravasasi, hiperalgesi pada dosis rendah, tidak mempunyai efek analgesik pada dosis
klinis, tidak menimbulkan relaksasi otot pada dosis yang aman dan bersifat forfirogenik,
serta kumulatif efek.
- melarutkan tiopental pada cairan infusi dalam botol infusi dan diberikan secara tetes
dengan kecepatan tertentu.
- melalui komputer, dengan cara ini diperoleh hasil pemberian dosis yang betul-betul
sesuai dengan kebutuhan.
Karena adanya efek kumulatif, tiopental tidak disukai untuk dipakai pada TIVA karena
menimbulkan efek eksesif somnolen. Tetapi keadaan ini dapat dikurangi dengan cara
mengatur dosis dan tiopental dihentikan 30 menit sebelum operasi selesai.
Seperti halnya etomidat, yang menimbulkan mual-muntah sampai 30 - 40% kasus, maka
tiopental dan etomidat jarang digunakan untuk TIVA. Tetapi bila karena keadaan, di
176
mana kita tidak mempunyai obat lain kecuali tiopental, ketamin dan eter, maka
pemilihan TIVA dengan tiopental akan lebih menyenangkan pasien daripada dengan
menggunakan eter dan ketamin. Sekarang ini, TIVA dengan tiopental hanya digunakan
untuk anestesia bedah saraf. Bila tidak mempunyai pompa semprit atau pompa infusi,
kita bisa mengatur tetesan secara biasa, dengan mencocokkan jumlah tetesan per menit.
- alat yang dipakai tidak banyak, hanya perlu infusi set dan bellow atau ambu
bag dan oksigen.
Setelah suatu suntikan tiopental, dengan dosis 400 mg, penderita akan bangun
dalam waktu 15 menit. Keadaan ini bukan karena obat tersebut dimetabolisme, tetapi
terjadi redistribusi ke organ-organ lain seperti jaringan otot dan lemak.
PEMANTAUAN
Alat monitor yang dipasang adalah standard monitor di OK. Yang disebut
standard monitor untuk anestesia adalah tekanan darah non invasif, oksimeter pulsa
(untuk mengukur O2 saturasi dan denyut nadi), EKG, stimulator saraf (untuk mengukur
TOF = Train of Four), kaponograf. Karena kita tidak punya alat-alat monitor tersebut,
maka kita gunakan tensimeter yang biasa saja.
177
1. TIVA secara Intermiten :
Persiapan pasien adalah seperti biasa, dipasang venous line 1 buah sesuai
dengan kebutuhan. Kanul vena yang dipakai adalah kanul vena yang mempunyai
lubang untuk memasukkan obat, misal dengan teflon, atau memasang konektor 3
cabang.
Pemberian tiopental yang berikutnya adalah pada 30 menit pertama setiap 10 menit
dengan dosis 0,5-1 mg/kgBB. Setelah itu interval pemberian adalah setiap 30 menit.
Ventilasi diberikan sesuai dengan kebutuhan pasien, untuk pasien yang diinginkan
PaCO2nya turun tentu harus dilakukan hiperventilasi, tetapi bila ingin PaCO2 dalam
batas normal dilakukan normoventilasi. Kebutuhan analgetik dan pelumpuh otot
disesuaikan dengan kebutuhan pasien. Selesai operasi, bergantung pada apakah sisa
obat pelumpuh otot masih ada atau tidak, diberikan antagonis prostigmin yang
sebelummnya diberikan sulfas atropin dulu.
Karena tiopental mempunyai efek depresi miokard, maka harus selalu dilakukan
pengukuran tekanan darah dan frekuensi nadi sebelum kita memberikan dosis
ulangan tiopental.
178
Persiapan pasien seperti biasa, dipasang kanul vena dengan konektor 3
cabang. Kalau pada teknik intermiten, cabang yang ketiga dihubungkan dengan
semprit yang berisi tiopental 2,5% sekarang cabang yang ketiga ini dihubungkan
dengan botol infusi yang berisi larutan tiopental atau dengan larutan tiopental dalam
semprit pada pompa semprit.
a). Induksi dengan fentanil 1-2 mcg/kgBB atau petidin 1 mg/kgBB lalu berikan
tiopental bolus 4-5 mg/kgBB dan pankuronium 0,1 mg/kgBB. Sesaat sebelum
laringoskopi dan intubasi berikan lagi dosis ulangan tiopental 2-2,5 mg/kgBB.
Rumatan anestesia diperoleh dengan memberikan tiopental 1-3 mg/kgBB/jam.
Kalau berat badan penderita sekitar 60 kg, maka dosisnya adalah 150 mg/jam atau
2,5 mg/menit. Jadi untuk rumatan anestesia diberikan tiopental tetes sebanyak 2,5
mg/menit. Tadi disebutkan bahwa cabang yang ketiga dihubungkan dengan
larutan dekstrosa 5% yang berisi tiopental. Supaya kita tidak memberikan tetesan /
cairan yang terlalu banyak terutama pada penderita-penderita tertentu, maka kita
buat larutan tiopental 1%, berarti 10 mg/ml. Tetesan pada infusi set dewasa
diperkirakan 1 ml adalah 20 tetes. Untuk mencapai dosis 2,5 mg/menit maka kita
berikan 5 tetes per menit larutan tiopental 1%. Untuk pengaturan kecepatan, kita
bisa menggunakan pompa infusi.
b).Cara lain adalah berikan fentanil 1-2g/kgBB, lalu teteskan larutan tiopental 0,1-
0,2% sebanyak 80-180 tetes/menit, sampai penderita tidur. Untuk rumatan
anestesia diberikan 60-80 tetes/menit.
Atau : buat larutan 1000 mg tiopental dalam 500ml dekstrosa 5%. Beri tiopental
4-5mg/kgBB secara bolus, setelah pasien tidur, beri suksinilkolin 1mg/kgBB,
ventilasi, intubasi, beri tiopental 60 tetes/menit dan untuk rumatan beri tiopental
20-30 tetes/menit (2-3mg/menit). Analgetik dengan petidin 1 mg/kgBB, pelumpuh
otot dengan pankuronium 0,08 mg/kgBB.
c).Tiopental kontinyu yang lebih akurat lagi adalah dengan memberikan tiopental
melalui pompa semprit. Teknik induksinya seperti tadi. Untuk rumatan anestesia,
tiopental diberikan kepada pasien dengan dosis 1-3 mg/kgbb/jam. Kita buat
larutan tiopental 2,5% di dalam semprit dan diberikan kepada pasien dengan dosis
1-3mg/kgBB/jam. Misalnya berat badan pasien 60 kg, maka dosis tiopental adalah
150 mg/jam. Larutan tiopental yang kita buat adalah 2,5% berarti 25 mg/ml, jadi
berikan dengan kecepatan 6 ml/jam. Kita tinggal memutar angka pada pompa
semprit ke angka 6, yang berarti kecepatannya adalah 6 ml/jam.
179
Seperti halnya vaporizer yang memberikan plasma level tertentu untuk obat
anestetik inhalasi maka komputer dapat membantu infusi memberikan level
plasma tertentu untuk obat anestetik intravena. Selanjutnya, mendapatkan level
obat dalam plasma untuk mencegah pergerakan terhadap rangsangan bedah,
kenaikan tekanan darah atau takikardia, jadi analog dengan MAC pada obat
anestetik inhalasi. Obat yang berbeda memerlukan program komputer yang
berbeda, misalnya pemberian 3 macam obat (tiopental, pankuronium dan petidin)
yang dilakukan melalui program komputer akan memerlukan 3 buah komputer.
Komputer akan membantu mencegah tercapainya konsentrasi puncak dari obat
seperti halnya pada pemberian bolus atau intermiten.
Dosis lebih berdasarkan pada LBM (Lean Body Mass) daripada berat badan total.
LBM diperkirakan dengan metoda yang dilaporkan oleh James dengan
menggunakan Berat Badan (kg) dan Tinggi Badan (sm), yakni sebagai berikut :
LBM 35 40 45 50 55 60 65 70 75
(kg)
Bolus 2.8 3.2 3.6 4.0 4.4 4.8 5.2 5.6 6.0
(ml)
(min) 0- 26. 30. 34. 37. 41. 45.3 49.1 52.9 56.7
5 5 2 0 8 6
5-10 18. 21. 23. 26. 29. 31.6 34.3 36.9 39.5
180
5 1 7 4 0
10-20 13. 15. 17. 19. 20. 22.8 24.7 26.6 28.5
3 2 1 0 9
20-30 10. 12. 13. 15. 17. 18.6 20.1 21.7 23.2
8 4 9 5 0
30-60 9.6 10. 12. 13. 15. 16.4 17.8 19.1 20.5
9 3 7 0
60-90 8.7 10. 11.2 12. 13. 15.0 16.2 17.5 18.7
0 5 7
90-120 8.3 9.4 10. 11.8 13. 14.2 15.3 16.5 17.7
6 0
120-150 7.9 9.1 10. 11.4 12. 13.6 14.8 15.9 17.0
2 5
150-180 7.7 8.9 10. 11.1 12. 13.3 14.4 15.5 16.6
0 2
Referensi :
181
MODUL 9 : ANALGESIA REGIONAL I
Audiovisual Aid:
CD PowerPoint
Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU
Referensi :
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed,
New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
182
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
TUJUAN UMUM
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik memahami dan mengerti tentang anatomi fungsional,
farmakologi analgesia lokal, fisiologi anestesia neuroaksial
dan analgesia regional intravena, dapat melakukan analgesia regional neuroaksial dan analgesia
regional intravena secara baik dan benar, melakukan penatalaksanaan komplikasi analgesia regional
dan penatalaksanaan nyeri akut pascabedah dengan anestesia neuroaksial.
TUJUAN KHUSUS
Kognitif
a. Mampu menjelaskan jenis-jenis obat analgetik lokal, mekanisme kerja dan sifat obat
analgetik lokal
b. Mampu menjelaskan jenis-jenis serabut saraf yang dihambat serta jenis hambatan motorik
dan sensori yang dihasilkan dan cara pengecekkannya.
c. Mampu menjelaskan faktor-faktor patofisiologi yang mempengaruhi kerja obat analgetik
lokal.
d. Mampu menjelaskan dosis, dosis maksimum, mula kerja, masa kerja, cara pemberian
masing-masing obat analgetik lokal.
e. Mampu menjelaskan penggunaan klinis masing-masing obat analgetik lokal termasuk
bentuk preparasinya, penambahan dengan adjuvan lain.
f. Mampu menjelaskan berbagai efek samping dan toksisitas yang dapat ditimbulkan obat
analgetik lokal beserta tanda-tanda klinisnya
g. Mampu menjelaskan anatomi tulang belakang dan medula spinalis, lapisan-lapisannya mulai
dari kulit, ligamen-ligamen, sampai ke rongga subarahnoid , variasi anatomi yang mungkin
dijumpai, dan implikasinya terhadap anestesia subarahnoid
h. Mampu menjelaskan tentang fisiologi cairan serebrospinal
i. Mampu menjelaskan perubahan fisiologi yang terjadi pada anestesia subarahnoid dan
penatalaksanaan perubahan fisiologis yang terjadi.
j. Mampu menjelaskan fisiologi terjadinya analgesia pada analgesia regional intravena
k. Mampu menjelaskan indikasi dan indikasi-kontra tindakan anestesia subarahnoid dam
analgesia regional intravena
l. Mampu menjelaskan persiapan preoperatif termasuk kunjugan preanestesia dan melakukan
identifikasi kelainan atau penyakit pasien yang akan mempengaruhi jalannya anestesia
subarahnoid dan analgesia regional intravena.
m. Mampu menjelaskan persiapan alat , jenis-jenis jarum dan obat analgetik lokal yang
akan dipakai untuk anestesia subarahnoid dan analgesia regional intravena.
n. Mampu menjelaskan prosedur tindakan anestesia subarahnoid dan analgesia regional
intravena yang baik dan benar.
o. Mampu menyebutkan berbagai posisi pasien anestesia subarahnoid serta keuntungan dan
183
kerugiannya untuk efek penyebaran obat.
p. Mampu menjelaskan level ketinggian minimal dan jenis blok yang diinginkan termasuk
dermatom yang dipengaruhinya, untuk masing-masing tindakan operasi yang akan
dilakukan.
q. Mampu menyebutkan jenis obat, dosis, konsentrasi, pengenceran, mula kerja, lama kerja
obat analgetik lokal yang dapat dipakai untuk anestesia subarahnoid, serta jenis adjuvan
yang dapat mempengaruhi atau membantu kerja obat analgetik lokal.
r. Mampu menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi penyebaran obat, ketinggian blok
anestesia subarahnoid, mula dan masa kerja anestesia subarahnoid
s. Mampu menjelaskan komplikasi yang dapat terjadi pada anestesia subarahnoid dan
analgesia regional intravena, cara mencegah dan mengatasi komplikasi tersebut.
Psikomotor
a. Mampu memilih dan mempersiapkan jenis obat analgetik lokal yang akan dipakai dengan
dosis, konsentrasi dan pengenceran, penambahan adjuvan yang sesuai dengan indikasi dan
kebutuhan.
b. Mampu menjaga sterilitas dan melakukan penyimpanan obat analgetik lokal dengan baik
dan benar.
c. Mampu mengenali tanda-tanda klinis dan melakukan pemeriksaan adanya hambatan sensori
dan motorik saat obat analgetik lokal mulai bekerja atau akan habis.
d. Mengenali tanda- tanda klinis , dan mampu mencegah dan melakukan penatalaksanaan efek
samping dan toksisitas obat analgetik lokal.
e. Mampu melakukan persiapan preoperatif yaitu kunjungan preanestesia, memilih pasien
yang sesuai untuk tindakan anestesia subarahnoid dan analgesia regional intravena, dan
melakukan identifikasi kelainan atau penyakit pasien yang akan mempengaruhi jalannya
anestesia subarahnoid dan analgesia regional intravena.
f. Mampu melakukan persiapan alat (alat anestesia subarahnoid , alat analgesia regional
intravena dan alat resusitasi) , monitor , dan obat obatan (analgesia lokal, adjuvan, obat
resusitasi) untuk anestesia subarahnoid dan analgesia regional intravena.
g. Mampu melakukan prosedur tindakan anestesia subarahnoid dan analgesia regional
intravena yang baik dan benar
h. Mampu melakukan prosedur anestesia subarahnoid dengan berbagai posisi pasien dan
melalui pendekatan midline dan paramedian
i. Mampu memeriksa level ketinggian minimal dan jenis blok pada anestesia subarahnoid yang
diinginkan termasuk dermatom yang dipengaruhinya, untuk masing-masing tindakan
operasi yang akan dilakukan.
j. Mampu menyiapkan berbagai jenis obat, dosis, konsentrasi, pengenceran dan memakai
berbagai jenis obat analgetik lokal yang dapat dipakai untuk anestesia subarahnoid dan
analgesia regional intravena, serta jenis adjuvan yang dapat mempengaruhi atau membantu
kerja obat analgetik lokal.
k. Mampu melakukan pemantauan pasien dalam anestesia subarahnoid dan analgesia regional
intravena
l. Mampu mengenali komplikasi yang terjadi pada anestesia subarahnoid dan analgesia
regional intravena, melakukan pencegahan dan mengatasi komplikasi yang tersebut
184
Keterampilan komunikasi interpersonal
a. Mampu menjelaskan kepada pasien, keluarga pasien dan teman sejawat operator tentang
manfaat, efek yang ditimbulkan anestesia subarahnoid dan analgesia regional intravena dan
risiko yang dapat timbul dari pemberiannya
b. Berkomunikasi dengan pasien dan sejawat operator bila timbul efek samping.
c. Mampu berkomunikasi dengan sejawat operator tentang kondisi pasien sebelum, selama dan
sesudah operasi, terutama bila terjadi keadaan yang tidak diinginkan, untuk kerjasama dalam
penatalaksanaan pasien.
d. Mampu memberikan kepercayaan pada pasien tentang rasa tidak nyaman yang dapat timbul,
penanggulangan nyeri dan penatalaksanaan pascabedah.
Profesionalisme
KEYNOTES:
1. Hampir semua obat analgetik lokal memblok terowongan Na dari sisi sebelah dalam sel,
mencegah aktivasi terowongan dan terjadi Na influks secara selintas yang banyak dan
dihubungkan dengan depolarisasi membran. Konduksi impuls melambat, kecepatan
peningkatan dan besarnya aksi potensial menurun, dam ambang untuk eksitasi meningkat
dengan cepat sampai aksi potensial yang dihasilkan tidak lebih lama dan perambatan impuls
berakhir.
2. Tidak semua serabut saraf dipengaruhi obat analgetik lokal dengan akibat yang sama.
Sensitivitas terhadap blokade ditentukan oleh diameter akson, tebalnya meilinisasi, dan
berbagai faktor anatomi dan fisiologis lain.
3. Potensi berkorelasi dengan kelarutan dalam lemak, itu adalah kemampuan molekul obat
analgetik lokal untuk menembus membran, yang merupakan lingkungan yang hidrofobik.
4. Mula kerja bergantung pada banyak faktor, termasuk kelarutan dalam lemak dan konsentrasi
relatif bentuk non-ion yang larut dalam lemak (B) dan bentuk ion yang larut dalam air (BH +),
yang ditunjukkan dengan pKa. Obat analgetik lokal dengan nilai pKa hampir sama dengan
pH fisiologis, mempunyai konsentrasi basa non-ion yang lebih tinggi yang dapat menembus
membran sel saraf, dan umumnya mempunyai mula kerjayang lebih cepat.
185
5. Lama kerja umumnya berkorelasi dengan kelarutan dalam lemak. Lebih tinggi kelarutan obat
analgetik lokal dalam lemak lebih panjang lama kerjanya, kemungkinan disebabkan karena
sedikit diambil oleh aliran darah.
6. Disebabkan karena obat analgetik lokal disuntikkan sangat dekat ke site of action, gambaran
farmakokinetik umumnya lebih penting ditentukan oleh eliminasi dan toksisitas daripada
efek klinis.
8. Obat analgetik lokal golongan ester terutama dimetabolisme oleh pseudokolinesterase. Obat
analgetik lokal golongan amid dimetabolisme (N-dealkilasi dan hidroksilasi) oleh enzim
mikrogramsomal P-450 dalam hepar.
9. Susunan saraf pusat tempat dari tanda permulaan dari overdosis pada pasien yang sadar.
Tanda dini adalah rasa baal, parestesi lidah, dan pusing. Keluhan perasaan berupa tinitus, dan
pandangan kabur. Gejala eksitatori (misalnya gelisah, agitasi, cemas, paranoid) sering
mendahuli depresi SSP (misalnya bicara seperti menelan, ngantuk, dan tidak sadar).
Twitching otot merupakan petanda akan terjadinya kejang tonik-klonik.
10. Toksisitas kardiovaskular yang berat umumnya memerlukan 3 kali konsentrasi dalam darah
yang menimbulkan kejang. Aritmia jantung atau kolaps sirkulasi merupakan tanda yang biasa
pada overdosis obat analgetik lokal selama anestesia umum.
11. Suntikan intravaskular yang tidak disengaja dari bupivakain selama analgesia regional
menimbulkan reaksi kardiotoksik yang berat, termasuk hipotensi, AV blok, irama
idioventrikular, dan aritmia yang mengancam nyawa seperti ventrikular takikardia dan
fibrilasi.
12. Reaksi hipersensitivitas yang betul-betul disebabkan oleh obat analgetik lokalseperti dari
toksisitas sistemik yang disebabkan karena konsentrasi plasma yang besaradalah jarang
terjadi. Golongan ester lebih sering menimbulkan reaksi alergi disebabkan karena golongan
ester merupakan derivat asam para aminobenzoik yang diketahui merupakan suatu alergen.
13. Blok spinal, epidural dan kaudal juga disebut sebagai neuroaksial anestesia. Setiap blok ini
dapat dilakukan dengan suntikan tunggal atau dengan kateter sehingga dapat dilakukan
pemberian secara intermiten atau kontinyu.
14. Melakukan tusukan lumbal (subarahnoid) harus di bawah L1 pada dewasa (L3 pada anak)
untuk menghindari kemungkinan trauma oleh jarum pada medula spinalis.
186
15. Tempat kerja utama blok neuroaksial adalah pada radiks saraf.
16. Terdapat perbedaan blokade pada blokade simpatis (sensitivitas temperatur) 2 segmen lebih
tinggi dari blok sensori (nyeri, raba halus), dan 2 segmen lebih tinggi daripada blokade
motorik. Sensori 2 segmen lebih tinggi dari motorik.
17. Interupsi transmisi eferen autonom pada radiks saraf spinalis dapat menimbulkan blokade
simpatis dan parasimpatis.
18. Blokade neuroaksial dapat menurunkan tekanan darah yang disertai penurunan denyut
jantung dan kontraksi jantung.
19. Efek kardiovaskular yang berbahaya harus diantisipasi untuk mengurangi derajat hipotensi.
Pengisian volume 10-20 ml/kg intravena pada pasien sehat untuk mengkompensasi pooling
vena.
20. Bradikardia harus diterapi dengan sulfas atropin, dan hipotensi diterapi dengan vasopresor.
GAMBARAN UMUM
Untuk dapat melakukan analgesia regional diperlukan pengetahuan dan keterampilan tentang
farmakologi obat analgetik lokal, mekanisme terjadi blok saraf, teknik melakukan analgesia regional,
mencegah dan melakukan terapi bila ada komplikasi
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu melakukan dan memahami:
METODE PEMBELAJARAN
187
dilakukan semester 1 mulai dari pekan ke 18 dan semester 2, dengan bimbingan dan
pengawasan staf pengajar.
- Diskusi dan laporan tentang problema yang timbul pada anestesia subarahnoid sesuai sasaran
pembelajaran.
- Kuliah partisipatif
- Tugas tulisan (tinjauan pustaka) dan tugas baca
- Laporan kasus
- Diskusi kelompok
- Demonstrasi dan bedside teaching
- Tutorial individual
MEDIA
- Papan tulis
- Komputer
- LCD dan slide projector
- Pasien di kamar bedah.
EVALUASI
Pre-tes
11. Jelaskan mekanisme kerja obat analgetik lokal pada anestesia subarahnoid dan analgesia
regional intravena.
188
kelainan atau penyakit pasien yang akan mempengaruhi jalannya analgesia spinal dan anesteia
regional intravena
11. Jelaskan persiapan alat dan obat yang akan dipakai untuk anestesia subarahnoid dan analgesia
regional intravena.
12.Jelaskan prosedur tindakan anestesia subarahnoid dan analgesia regional intravena yang baik
dan benar.
13.Sebutkan beberapa cara penusukkan jarum spinal
14.Jelaskan level ketinggian minimal dan yang diinginkan termasuk dermatom yang
dipengaruhinya, untuk masing-masing tindakan operasi yang akan dilakukan.
15.Jelaskan indikasi dan indikasi-kontra tindakan analgesia spinal dan analgesia regional intravena
16.Sebutkan dan jelaskan jenis obat, dosis, konsentrasi, pengenceran, mula kerja, lama kerja obat
analgetik lokal yang dapat dipakai untuk analgesia spinal dan analgesia regional intravena serta
jenis adjuvan yang dapat mempengaruhi atau membantu kerja obat analgetik lokal.
17.Jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi mula dan masa kerja, penyebaran obat, ketinggian
blok anestesia subarahnoid.
18.Jelaskan komplikasi yang dapat terjadi pada analgesia spinal dan analgesia regional intravena,
tanda tanda dan gejala, cara mencegah dan mengatasi komplikasi tersebut.
Kognitif
-
Multiple observation and assessments
-
Multiple observers
-
OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
-
Minicheck
Communication and Interpersonal Skills
- MCQ (pre-tes)
- EMQ (Extended Medical Question)
189
N Prosedur Anestesia Blok
o Subarahnoid
Sudah Belum
(pendekatan cara midline) dikerjakan dikerjakan
1 Informed consent
3 Pemeriksaan tambahan
PROSEDUR ANESTESIA
SUBARAHNOID
190
atau sefalad.
DURANTE ANESTESIA
SUBARAHNOID
191
PASCABEDAH
1 Informed consent
3 Pemeriksaan tambahan
PROSEDUR ANALGESIA
REGIONAL INTRAVENA
192
7 Lengan dibalut dengan vellband dan
turnike kaf ganda dipasang pada bagian
proksimal ekstremitas yang diblok
DURANTE ANALGESIA
REGIONAL INTRAVENA
1 Monitor ABC
PASCABEDAH
193
1 Lepascan turnike pelan dan bertahap
DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur Standard atau penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur
memuaskan Standard atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
194
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
MATERI ACUAN
195
I. Mekanisme Kerja
Seperti telah diketahui bahwa sel-sel saraf dalam keadaan rehat (rehat). Begitu ada
rangsangan terhadap perubahan permeabilitas dari membran sel, sehingga dinding sel relatif lebih
permeabel terhadap ion Na daripada ion K, maka terjadi influx Na ke dalam sel, kemudian diikuti
dengan keluarnya ion K. Jadi pada waktu Na masuk ke dalam sel, maka di dalam sel relatif lebih
positif, sedangkan di luar lebih negatif, maka terjadi depolarisasi.
Pada waktu pemulihan, terjadi pergerakan ion-ion yang sebaliknya, dan kembali kepada
keadaan rehat, selanjutnya siap untuk menerima rangsang kembali dalam beberapa mili-
detik. Pemberian obat analgetik lokal mencegah terjadinya migrasi ion-ion ini (membran
sel stabil dalam keadaan rehat) dengan akibat terjadinya hambatan impuls saraf.
3. Kompetisi obat analgetik lokal dan asetilkolin yang selalu diproduksi oleh sel-sel saraf yang
terkena rangsang terhadap reseptor site.
II. Farmakologi
Komponen kimia yang menunjukkan aktivitas lokal anestesia umumnya mempunyai ujung
aromatik, ujung amine, dan rantai intermediet. Obat analgetik lokal dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu
amino-ester dan amino-amid.
Obat analgetik lokal dengan suatu rantai ester di antara bagian aromatik dan rantai
intermediet disebut amino-ester, misalnya prokain, kloroprokain, dan tetrakain. Obat analgetik lokal
dengan rantai amid antara ujung aromatik dan rantai intermediet disebut amino-amid, misalnya
lidokain, mepivakain, prilokain, bupivakain dan etidokain. Perbedaan dasar antara golongan ester dan
amid adalah dalam cara metabolisme obat dan potensial alerginya. Golongan ester dihidrolisa di
plasma oleh enzim di hati. Metabolit hasil hidrolisa golongan ester adalah asam paraaminobenzoik
yang dapat menimbulkan reaksi alergi. Metabolisme golongan amid tidak menghasilkan asam
paraaminobenzoik dan laporan adanya reaksi dengan obat golongan ini sangat jarang.
1) Lipid solubility
2) Protein binding
196
3) pKa
1) Lipid solubility :
Kelarutan dalam lemak menggambarkan potensi intrinsik obat analgetik lokal tersebut.
Makin tinggi kelarutannya dalam lemak, semakin poten obat tersebut. Lipid solubility prokain kurang
dari satu, dan obat ini paling kecil potensinya. Sebaliknya koefisien partisi/kelarutan bupivakain,
tetrakain dan etidokain bervariasi dari 30-140, menunjukkan lipid solubility yang tinggi. Obat ini
menunjukkan blokade konduksi pada konsentrasi yang sangat rendah karena potensi intrinsik
anestesianya 30 kali lebih besar dari prokain. Hubungan antara lipid solubility dan potensi intrinsik
anestesia selalu konsisten dengan komposisi lipoprotein dari membran saraf (ada 3 lapisan membran
saraf terdiri dari protein-lipid-protein). Kira-kira 90% aksolemma terdiri dari lemak. Karena itu obat
analgetik lokal yang kelarutan lemaknya tinggi dapat menembus membran saraf dengan lebih mudah,
yang direfleksikan sebagai peningkatan potensi.
2) Protein binding :
Kekhasan protein binding adalah mempengaruhi lama kerja obat analgetik lokal tersebut.
Prokain, pengikatan oleh proteinnya buruk, maka lama kerjanya pendek. Sebaliknya, tetrakain,
bupivakain, etidokain protein binding nya tinggi, maka lama kerjanya panjang. Hubungan antara
protein binding obat analgetik lokal dan lama kerjanya adalah konsisten dengan struktur dasar
membran saraf. Protein membran saraf 10%. Karena itu obat yang menembus aksolemma dan
diikat pada protein membran bertendensi untuk memperpanjang lama aktivitas obat.
3) pKa :
pKa komponen kimia didefinisikan sebagai pH di mana bentuk ion dan non-ion ada dalam
keseimbangan. Obat analgetik lokal yang tidak berubah bentuk, bertanggungjawab untuk difusi
menembus selubung saraf. Mula kerja secara langsung berhubungan dengan kecepatan menembus
epineurium, yang kolerasi dengan jumlah obat dalam bentuk dasar. Persentase dari obat analgetik
lokal dalam bentuk dasar bila disuntikkan ke dalam jaringan yang mempunyai pH 7,4 adalah
sebaliknya proporsional pada pKa obat tersebut. Sebagai contoh, lidokain yang mempunyai pKa 7,74
adalah 65% dalam bentuk ion dan 35% dalam bentuk non-ion pada pH jaringan 7,4. Dari penelitian
invivo dan invitro telah dikonfirmasikan bahwa obat analgetik lokal yang mempunyai pKa hampir
mendekati pH jaringan mempunyai mula kerja yang lebih cepat daripada obat analgetik lokal dengan
197
pKa yang tinggi.
Faktor ini akan mempengaruhi potensi dan lama kerja obat analgetik lokal. Tingkatan dan
lamanya blokade saraf dihubungkan dengan jumlah obat analgetik lokal yang menembus ke reseptor
pada membran saraf. Setelah suntikan obat analgetik lokal sebagian obat akan diambil jaringan saraf
dan beberapa bagian akan diabsorbsi ke dalam sistem sirkulasi. Derajat absorbsi vaskular
berhubungan dengan aliran darah ke daerah di mana disuntikkan obat analgetik lokal. Semua obat
analgetik lokal, kecuali kokain, bersifat vasodilator, tetapi derajat vasodilatasi yang ditimbulkan oleh
setiap obat berbeda-beda. Pada penelitian invitro telah ditunjukkan bahwa potensi intrinsik obat
anestetik lidokain lebih besar daripada mepivakain, tetapi invivo, mepivakain mempunyai potensi
yang sama dan lama kerja yang lebih panjang dari pada lidokain. Perbedaan antara invivo dengan
invitro adalah akibat lebih besarnya vasodilator activity dari lidokain sehingga absorbsi lidokain lebih
besar dan obat yang tersisa untuk memblokade saraf tinggal sedikit.
Obat analgetik lokal relatif bebas dari efek samping bila diberikan dalam dosis yang tepat dan lokasi
anatomis yang tepat. Reaksi toksis yang cepat umumnya bila terjadi suntikan intravaskular atau dosis
besar subarahnoid. Pemberian dosis yang besar tetapi lokasi anatomisnya tepat dapat membawa ke
arah toksisitas sistemik setelah absorbsi vaskular obat analgetik lokal tersebut.
Pengaruh toksisitas bergantung pada kadar obat analgetik lokal dalam plasma. Bila kadarnya
6g/ml gejalanya adalah gangguan penglihatan, disorientasi dan ngantuk. Bila kadarnya 10g/ml
gejalanya adalah tidak sadar, twitching otot, tremor (muka, ujung ekstrimitas). Bila kadarnya 12g/ml
timbul kejang-kejang, dan bila kadarnya 20g/ml terjadi henti nafas.
198
(1) Susunan Saraf Pusat
Eksitasi
Depresi
Hipertensi
Hipotensi
Iritasi Lokal
(1) Kerusakan serabut saraf
(2) Kerusakan otot skelet
Lain-lain
(1) Alergi
(2) Metemoglobinemia (prilokain)
(3) Kecanduan (Kokain)
Toksisitas Sistemik :
Toksisitas sistemik obat analgetik lokal secara primer umumnya mengenai SSP dan sistem
kardiovaskular. Pada umumnya SSP lebih dahulu terkena daripada sistem kardiovaskular. Penelitian
pada anjing dan biri-biri menunjukkan bahwa diperlukan dosis dan kadar obat analgetik lokal yang
lebih kecil untuk menimbulkan toksisitas SSP daripada toksisitas kardiovaskular.
CNS excitation
Tinnitus
Lightheadedness
Confusion
Circumoral numbness
Tonic-clonic konvulsions
199
Drowsiness
Unconciousness
Respiratory arrest
2. Kadar CO2: bila kadar CO2 darah meningkat, ambang konvulsi menurun.
Pada sukarelawan yang diinfusi obat analgetik lokal merasakan adanya perasaan melayang, pening,
diikuti gangguan penglihatan dan pendengaran (seperti kesulitan memfokuskan pandangan dan
tinnitus) serta adanya disorientasi dan mual. Tanda-tanda lain adalah adanya eksitasi, menggigil,
twitching otot dan tremor pada otot-otot muka dan bagian distal ekstrimitas dan terjadi kejang-kejang
yang menyeluruh. Bila dosis besar diberikan secara sistemik, gejala pertama SSP eksitasi segera
diikuti oleh SSP depresi, depresi nafas dan henti nafas. Perbandingan relatif toksisitas SSP dari
bupivakain, etidokain dan lidokain adalah 4:2:1.
Toksisitas Kardiovaskular :
Obat analgetik lokal dapat menyebabkan pengaruh yang besar terhadap sistem
kardiovaskular. Pemberian secara sistemis dapat mempengaruhi otot jantung dan otot polos dinding
pembuluh darah.
Lidokain :
Lidokain biasanya digunakan untuk terapi aritmia (ventricular extrasystole). Efek primer dari
lidokain adalah menurunkan kecepatan maksimal dari depolarisasi. Bupivakain dapat mempresipitasi
timbulnya aritmia jantung, yaitu adanya blok unilateral dan suatu aritmia jantung tipe reentrant.
Bergantung pada dosisnya, obat analgetik lokal bisa bersifat inotropik negatif. Makin poten obat
analgetik lokal tersebut, semakin kuat menekan jantung.
Lidokain :
Onsetnya lebih cepat dan lama kerja lebih lama dari prokain.
Efek topikalnya baik.
200
Sering dipakai sebagai anti aritmia.
Dipakai untuk menumpulkan rangsangan akibat laringoskopi-intubasi yang
menimbulkan kenaikkan tekanan darah dan frekuensi nadi dengan dosis 1-1,5 mg/kg
BB intravena.
Obat analgetik lokal yang paling banyak dipakai dan sebagai pembanding obat analgetik
lokal lainnya.
Konsentrasi untuk pemberian infiltrasi 0,5-1%, epidural 1-2%, blok saraf 1-1,5%, topikal
4%, spinal 5%.
Onsetnya cepat, durasi 60-120 menit.
Dosis maksimalnya 300mg tanpa epinefrin, 500mg bila dicampur dengan epinefrin.
Dosis rata-ratanya 7-8mg/kgBB.
Bupivakain :
Potensinya lebih kuat.
Durasinya lebih lama.
Toksisitasnya hampir sama dengan tetrakain, 4-5 kali lebih besar dari lidokain.
Motor blockade lebih lemah daripada lidokain.
Onset-nya lebih lama daripada lidokain.
Banyak dipakai pada nyeri pascabedah dan analgesia pada persalinan.
Konsentrasi infiltrasinya 0,25-0,5%, blok saraf 0,25-0,5%, epidural 0,5-0,75%, spinal 0,5.
Onset-nya lambat, durasi 180-300 menit.
Single dose maksimumnya 175mg.
Dosis rata-ratanya 3-4mg/kgBB.
Bergantung pada jenis teknik analgesia lokal apa yang akan digunakan. Secara umum pasien
harus diberitahu bahwa untuk yang bersangkutan anestesia terbaik adalah analgesia lokal. Bila perlu
bisa juga sedikit dijelaskan tentang cara melakukan tindakan analgesia lokal tersebut. Pasien tetap
dianjurkan puasa untuk mencegah muntah bila diperlukan kombinasi dengan anestesia umum.
Diperiksa tempat yang akan disuntik, apakah memungkinkan dilakukan tindakan analgesia lokal.
Diberikan premedikasi sedatif dan analgetik kalau perlu. Contoh premedikasi misalnya dengan
diazepam atau lorazepam. Pada keadaan-keadaan tertentu lebih baik tidak dilakukan analgesia lokal,
misalnya pasien tidak kooperatif, ditemukan penyakit saraf, anemia berat, ataupun infeksi kulit.
Disebut juga spinal analgesia atau subarahnoid nerve block, terjadi karena deposit obat
analgetik lokal di dalam ruangan subarahnoid. Terjadi blok saraf yang reversibel pada radiks anterior
201
dan posterior, radiks ganglion posterior dan sebagian medula spinalis yang akan menyebabkan
hilangnya aktivitas sensori, motorik dan autonom.
Berbagai fungsi yang dibawa saraf-saraf medula spinalis misalnya temperatur, sakit, aktivitas
autonom, rabaan, tekanan, lokalisasi rabaan, fungsi motorik dan proprioseptif. Secara umum fungsi-
fungsi tersebut dibawa oleh serabut saraf yang berbeda dalam ketahanannya terhadap obat analgetik
lokal. Oleh sebab itu ada obat analgetik lokal yang lebih mempengaruhi sensori daripada motorik.
Blokade dari medula spinalis dimulai kaudal dan kemudian naik ke arah sefalad.
Serabut saraf yang bermielin tebal (fungsi motorik dan propioseptif) paling resisten dan
kembalinya fungsi normal paling cepat, sehingga diperlukan konsentrasi tinggi obat
analgetik lokal untuk memblokade saraf tersebut.
Level blokade autonom 2 atau lebih dermatom ke arah sefalik daripada level analgesia
kulit, sedangkan blokade motorik 2 sampai 3 segmen ke arah kaudal dari level analgesia.
2. Operasi di daerah perineal : anal, rektum bagian bawah, vagina, dan urologi.
3. Abdomen bagian bawah : hernia, usus halus bagian distal, apendiks, rektosigmoid,
kandung kencing, ureter distal, dan ginekologis
4. Abdomen bagian atas : kolesistektomi, gaster, kolostomi transversum. Tetapi analgesia spinaluntuk
abdomen bagian atas tidak dapat dilakukan pada semua pasien sebab dapat menimbulkan
perubahan fisiologis yang hebat.
Indikasi-kontra Absolut :
1. Gangguan pembekuan darah, karena bila ujung jarum spinal menusuk pembuluh darah, terjadi
perdarahan hebat dan darah akan menekan medula spinalis.
3. Tekanan intrakranial yang meningkat, karena bisa terjadi pergeseran otak bila terjadi kehilangan
cairan serebrospinal.
5. Adanya dermatitis kronis atau infeksi kulit di daerah yang akan ditusuk jarum spinal.
202
6. Penyakit sistemis dengan sequele neurologis misalnya anemia pernikiosa, neurosifilis, dan porfiria.
7. Hipotensi.
Indikasi-kontra Relatif :
3. Anak-anak.
Anatomi :
Terdapat 33 ruas tulang vertebra, yaitu 7 servikal, 12 toraksal, 5 lumbal, 5 sakral dan 4
koksigeal. Medula spinalis berakhir di vertebra L2, karena ditakutkan menusuk medula spinalis saat
penyuntikan, maka analgesia spinalumumnya dilakukan setinggi L4-L5, L3-L4, L2-L3. Ruangan
epidural berakhir di vertebra S2.
Ligamen-ligamen yang memegang kolumna vertebralis dan melindungi medula spinalis, dari
luar ke dalam adalah sebagai berikut :
1. Ligamentum supraspinosum.
2. Ligamentum interspinosum.
3. Ligamentum flavum.
4. Ligamentum longitudinal posterior.
5. Ligamentum longitudinal anterior.
2. Posisi pasien :
a) Posisi Lateral.
Pada umumnya kepala diberi bantal setebal 7,5-10sm, lutut dan paha fleksi mendekati perut,
kepala ke arah dada.
203
b) Posisi duduk.
Dengan posisi ini lebih mudah melihat kolumna vertebralis, tetapi pada pasien-pasien yang
telah mendapat premedikasi mungkin akan pusing dan diperlukan seorang asisten untuk
memegang pasien supaya tidak jatuh. Posisi ini digunakan terutama bila diinginkan sadle
block.
c) Posisi Prone.
Jarang dilakukan, hanya digunakan bila dokter bedah menginginkan posisi Jack Knife atau
prone.
3. Kulit dipersiapkan dengan larutan antiseptik seperti betadin, alkohol, kemudian kulit ditutupi
dengan doek bolong steril.
4. Cara penusukan.
Pakailah jarum yang kecil (no. 25, 27 atau 29). Makin besar nomor jarum, semakin kecil
diameter jarum tersebut, sehingga untuk mengurangi komplikasi sakit kepala (PSH=post spinal
headache), dianjurkan dipakai jarum kecil. Penarikan stilet dari jarum spinal akan menyebabkan
keluarnya likuor bila ujung jarum ada di ruangan subarahnoid. Bila likuor keruh, likuor harus
diperiksa dan spinal analgesia dibatalkan. Bila keluar darah, tarik jarum beberapa mili meter
sampai yang keluar adalah likuor yang jernih. Bila masih merah, masukkan lagi stilet-nya, lalu
ditunggu 1 menit, bila jernih, masukkan obat analgetik lokal, tetapi bila masih merah, pindahkan
tempat tusukan. Darah yang mewarnai likuor harus dikeluarkan sebelum menyuntik obat analgetik
lokal karena dapat menimbulkan reaksi benda asing (Meningismus).
Obat analgetik lokal yang biasa dipakai untuk analgesia spinaladalah lidokain,
bupivakain, levobupivakain, prokain, dan tetrakain. Lidokain adalah suatu obat analgetik
lokal yang poten, yang dapat memblokade autonom, sensori dan motorik. Lidokain berupa
larutan 5% dalam 7,5% dekstrosa, merupakan larutan yang hiperbarik. Mula kerjanya 2
menit dan lama kerjanya 1,5 jam. Dosis rata-rata 40-50mg untuk persalinan, 75-100mg
untuk operasi ekstrimitas bawah dan abdomen bagian bawah, 100-150mg untuk spinal
analgesia tinggi.
Lama analgesia prokain < 1 jam, lidokain 1-1,5 jam, tetrakain 2 jam lebih.
Level anestesia yang terlihat dengan analgesia spinaladalah sebagai berikut : level
segmental untuk paralisis motorik adalah 2-3 segmen di bawah level analgesia kulit,
204
sedangkan blokade autonom adalah 2-6 segmen sefalik dari zone sensori. Untuk
keperluan klinis, level anestesia dibagi atas :
--. Sadle block anesthesia : zona sensori anestesia kulit pada segmen lumbal bawah dan sakral.
--. Low spinal anesthesia : level anestesia kulit sekitar umbilikus (T10) dan termasuk segmen
toraksal bawah, lumbal dan sakral.
--. Mid spinal anesthesia : blok sensori setinggi T6 dan zona anestesia termasuk segmen toraksal,
lumbal, dan sacral.
--. High spinal anesthesia : blok sensori setinggi T4 dan zona anestesia termasuk segmen toraksal
4-12, lumbal, dan sacral.
Makin tinggi spinal anestesia, semakin tinggi blokade vasomotor, motorik dan hipotensi, serta
respirasi yang tidak adekuat semakin mungkin terjadi.
Level anestesia bergantung pada volume obat, konsentrasi obat, barbotase, kecepatan
suntikan, valsava, tempat suntikan, peningkatan tekanan intra-abdomen, tinggi pasien, dan
gravitas larutan. Makin besar volume obat, akan semakin besar penyebarannya, dan level
anestesia juga akan semakin tinggi. Barbotase adalah pengulangan aspirasi dari suntikan obat
analgetik lokal. Bila kita mengaspirasi 0,1ml likuor sebelum menyuntikkan obat; dan
mengaspirasi 0,1ml setelah semua obat analgetik lokal disuntikkan, akan menjamin bahwa ujung
jarum masih ada di ruangan subarahnoid. Penyuntikan yang lambat akan mengurangi penyebaran
obat sehingga akan menghasilkan low spinal anesthesia, sedangkan suntikan yang terlalu cepat
akan menyebabkan turbulensi dalam likuor dan menghasilkan level anestesia yang lebih tinggi.
Kecepatan yang dianjurkan adalah 1ml per 3 detik.
Berdasarkan berat jenis obat analgetik lokal yang dibandingkan dengan berat jenis likuor,
maka dibedakan 3 jenis obat analgetik lokal, yaitu hiperbarik, isobarik dan hipobarik.
Berat jenis likuor serebrospinal adalah 1,003-1,006. Larutan hiperbarik : 1,023-1,035,
sedangkan hipobarik 1,001-1,002.
Perawatan Selama pembedahan.
205
Perawatan Pascabedah.
5. Yakinkan bahwa perasaan yang hilang dan kaki yang berat akan pulih.
7. Perhatikan tekanan darah dan frekuensi nadi karena ada kemungkinan penurunan tekanan
darah dan frekuensi nadi.
--. Vasodilatasi arteriol dan arteri terjadi pada daerah yang diblokade akibat penurunan tonus
vasokonstriksi simpatis.
--. Venodilatasi akan menyebabkan peningkatan kapasitas vena dan venous return.
--. Proksimal dari daerah yang diblokade akan terjadi mekanisme kompensasi, yakni terjadinya
vasokonstriksi.
Penurunan tekanan darah bergantung pada tingginya blokade simpatis. Bila tekanan darah
turun rendah sekali, terjadi risiko penurunan aliran darah otak. Bila terjadi iskemia medula
oblongata terlihat adanya gejala mual-muntah. Tekanan darah jarang turun > 15 mmHg dari
tekanan darah asal. Tekanan darah dapat dipertahankan dengan pemberian cairan dan atau obat
vasokonstriktor. Duapuluh menit sebelum dilakukan analgesia spinaldiberikan cairan RL atau
NaCl 10-15 ml/kgBB. Vasokonstriktor yang biasa digunakan adalah efedrin. Dosis efedrin 25-
50 mg i.m. atau 15-20 mg i.v. Mula kerja-nya 2-4 menit pada pemberian intravena, dan 10-
20menit pada pemberian intramuskular. Lama kerja-nya 1 jam.
Bradikardia umumnya terjadi karena penurunan pengisian jantung yang akan mempengaruhi
myocardial chronotropic stretch receptor, blokade anestesia pada serabut saraf cardiac
206
amlelerator simpatis (T1-4). Pemberian sulfas atropin dapat meningkatkan denyut jantung dan
mungkin juga tekanan darah.
2. Sistem Respirasi
Bisa terjadi apnea yang biasanya disebabkan karena hipotensi yang berat sehingga terjadi iskemia
medula oblongata. Terapinya : berikan ventilasi, cairan dan vasopresor. Jarang disebabkan karena
terjadi blokade motorik yang tinggi (pada radiks n.frenikus C3-5). Kadang-kadang bisa terjadi
batuk-batuk kering, maupun kesulitan bicara.
3. Sistem Gastrointestinal :
Diperlihatkan dengan adanya mual muntah yang disebabkan karena hipotensi, hipoksia, pasien
sangat cemas, pemberian narkotik, over-aktivitas parasimpatis dan traction reflex (misalnya dokter
bedah manipulasi traktus gastrointestinal).
--. Menusukkan jarum paralel pada serabut longitudinal duramater sehingga jarum tidak
merobek dura tetapi menyisihkan duramater.
--. Hidrasi adekuat, dapat diperoleh dengan minum 3lt/hari selama 3 hari, hal ini akan
menambah produksi CSF sebagai pengganti yang hilang.
--. Epidural blood patch : suntikkan 10ml darah pasien itu sendiri di ruang epidural tempat
kebocoran.
Kejadian PSH 10-20% pada umur 20-40 tahun; > 10% bila dipakai jarum besar (no. 20 ke bawah);
207
9% bila dipakai jarum no.22 ke atas. Wanita lebih banyak yang mengalami sakit kepala daripada
laki-laki.
5. Backache
Sakit punggung merupakan problema setelah suntikan di daerah lumbal untuk spinal anestesia.
6. Retensi urin
Penyebab retensi urin mungkin karena hal-hal sebagai berikut : operasi di daerah perineum pada
struktur genitourinaria, pemberian narkotik di ruang subarahnoid, setelah anestesia fungsi kandung
kemih merupakan yang terakhir pulih.
Jarang sekali terjadi komplikasi neurologis permanen. Hal-hal yang menurunkan kejadiannya
adalah karena : dilakukan sterilisasi panas pada ampul gelas, memakai semprit dan jarum yang
disposibel, analgesia spinaldihindari pada pasien dengan penyakit sistemik, serta penerapan teknik
antiseptik.
Suatu reaksi proliferasi arahnoid yang akan menyebabkan fibrosis, distorsi serta obliterasi dari
ruangan subarahnoid. Biasanya terjadi bila ada benda asing yang masuk ke ruang subarahnoid.
Referensi :
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed,
New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
208
MODUL 10 ANALGESIA REGIONAL II
Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 3)
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
CD PowerPoint
Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU
Referensi :
209
TUJUAN UMUM
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik memahami dan mengerti tentang anatomi fungsional ,
fisiologi anestesia epidural , kaudal dan analgesia regional blok perifer, dapat memberikan
anestesia epidural , kaudal dan analgesia regional blok perifer secara baik dan benar, melakukan
penatalaksanaan komplikasi anestesia epidural , kaudal dan analgesia regional blok perifer
TUJUAN KHUSUS
Kognitif
210
blok anestesia epidural,dan kaudal
o. Mampu menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi mula dan masa kerja obat pada
anestesia epidural, kaudal, blok pleksus brakialis dan blok pleksus lumbosakral
p. Mampu menjelaskan komplikasi yang dapat terjadi pada anestesia epidural, kaudal,
blok pleksus brakialis dan blok pleksus lumbosakral, tanda- tanda dan gejala, cara
mencegah dan mengatasi komplikasi tersebut.
q. Mampu menjelaskan penatalaksanaan pencabutan kateter epidural pada pasien yang
mendapat terapi antikoagulan.
Psikomotor
Komunikasi/Hubungan interpersonal
a. Mampu menjelaskan kepada pasien atau keluarga pasien tentang kondisi pasien
preoperatif manfaat dan risiko tindakan anestesia epidural, kaudal, blok pleksus
brakialis, blok pleksus lumbosakral untuk memperoleh persetujuan setelah mendapat
informasi (informed consent).
b. Mampu menjelaskan kepada sejawat senior atau konsulen tentang kondisi pasien untuk
kemungkinan pemeriksaan tambahan, pemberian obat-obatan atau upaya optimalisasi
kondisi pasien.
c. Mampu berkomunikasi dengan sejawat operator tentang kondisi pasien sebelum,
211
selama dan sesudah operasi, terutama bila terjadi keadaan yang tidak diinginkan, untuk
kerjasama dalam penatalaksanaan pasien.
d. Mampu memberikan kepercayaan pada pasien tentang rasa tidak nyaman yang dapat
timbul, penanggulangan nyeri dan penatalaksanaan pascabedah.
Profesionalisme
KEYNOTES:
1. Spinal, epidural dan kaudal blok juga disebut sebagai Neuroaksial anestesia. Setiap blok
ini dapat dilakukan dengan suntikan tunggal atau dengan kateter sehingga dapat
dilakukan pemberian secara intermiten atau kontinyu.
2. Melakukan tusukan lumbal (subarahnoid) harus di bawah L1 pada dewasa (L3 pada
anak) untuk menghindari kemungkinan trauma oleh jarum pada medula spinalis.
5. Interupsi transmisi eferen autonom pada radiks saraf spinalis dapat menimbulkan
blokade simpatis dan parasimpatis.
6. Blokade neuroaksial dapat menurunkan tekanan darah yang disertai penurunan denyut
jantung dan kontraksi jantung.
8. Bradikardia harus diterapi dengan sulfas atropin, dan hipotensi diterapi dengan
vasopresor.
212
9. Indikasi-kontra neuroaksial blokade adalah pasien menolak, gangguan perdarahan,
hipovolemia berat, peningkatan tekanan intrakranial, infeksi di tempat suntikan,
penyakit katup jantung stenosis berat atau obstruksi outflow ventricular.
10. Untuk anestesia epidural, hilangnya tahanan yang tiba-tiba menunjukkan jarum masuk
rongga epidural. Untuk analgesia spinalditandai dengan keluarnya likuor
serebrospinalis.
11. Epidural anestesia adalah suatu teknik neuroaksial yang tempat pemasangannya
mempunyai rentang yang lebih luas daripada Spinal Anestesia. Epidural blok dapat
dilakukan pada level lumbal, toraksal, servikal.
12. Epidural teknik digunakan secara luas untuk anestesia operasi, obstetri analgesia,
penatalaksanaan nyeri pascabedah, penatalaksanaan nyeri kronis.
13. Mula kerjaepidural anestesia lebih lambat (10-20 menit), dan kurang dalam
dibandingkan dengan spinal anestesia.
14. Kuantitas (volume dan konsentrasi) obat analgetik lokal yang diperlukan untuk epidural
anestesia lebih banyak dibandingkan dengan spinal anestesia. Toksisitas yang nyata
dapat terjadi bila jumlah tersebut disuntikan intratekal atau intravena. Panduan yang
aman adalah gunakan test dose dan berikan secara incremental.
15. Epidural kaudal anestesia adalah salah satu teknik regional anestesia yang sering
digunakan pada pasien pediatrik.
GAMBARAN UMUM
Untuk dapat melakukan analgesia regional spinal atau epidural lumbal/epidural kaudal
diperlukan pengetahuan dan keterampilan dalam anatomi, farmakologi obat, komplikasi akibat
obat anestetik, pemasangan alat, dan komplikasi akibat perubahan fisiologis yang besar.
TUJUAN PEMBELAJARAN
213
3. Blok pleksus brakialis pendekatan interskalenus dan aksilaris
4. Blok pleksus lumbosakral : blok siatik, blok femoralis, blok poplitea
METODE PEMBELAJARAN
- Kuliah Persiapan Anestesia Epidural , Blok Kaudal, Blok Pleksus Brakialis, Blok
Pleksus lumbosakral dilakukan pada semester 3
- Pelatihan di skill lab anestesia epidural lumbal dan blok kaudal pada manikin epidural
dilakukan semester 3
- Pelatihan di skill lab dengan sukarelawan untuk menggambar penunjuk anatomi blok
pleksus brakialis dan blok pleksus lumbosakral
- Pelatihan di kamar bedah anestesia epidural lumbal, blok kaudal, blok pleksus brakialis
dan blok pleksus lumbosakral pada pasien dilakukan semester 3 dan selanjutnya
terintegrasi dengan rotasi lainnya, dengan bimbingan dan pengawasan staf pengajar.
- Diskusi dan laporan tentang problema yang timbul pada anestesia epidural lumbal , blok
kaudal, blok pleksus brakialis dan blok pleksus lumbosakral sesuai sasaran
pembelajaran.
- Kuliah partisipatif
- Tugas tulisan (tinjauan pustaka) dan tugas baca
- Laporan kasus
- Diskusi kelompok
- Demonstrasi dan bedside teaching
- Tutorial individual
MEDIA
- Papan tulis
- Komputer
- LCD dan slide projector
- Pasien di kamar bedah.
- Sukarelawan
EVALUASI
Pre-tes
214
4. Jelaskan anatomi dan dermatom, osteotom, miotom yang disarafi pleksus lumbosakral
dan cabang- cabangnya
5. Jelaskan perubahan fisiologi yang terjadi pada anestesia epidural
6. Jelaskan perubahan fisiologi yang terjadi pada blok kaudal
7. Jelaskan berbagai teori timbulnya tekanan negatif pada rongga epidural.
8. Jelaskan mekanisme kerja obat analgetik lokal pada anestesia epidural, blok kaudal,
blok pleksus brakialis dan blok pleksus lumbosakral
9. Jelaskan persiapan preoperatif termasuk kunjugan preanestesia, pemilihan pasien yang
sesuai dan melakukan identifikasi kelainan atau penyakit pasien yang akan
mempengaruhi jalannya anestesia epidural, blok kaudal, blok pleksus brakialis dan blok
pleksus lumbosakral
10. Jelaskan persiapan alat dan obat yang akan dipakai untuk anestesia epidural, blok
kaudal, blok pleksus brakialis, dan blok pleksus lumbosakral .
11. Jelaskan prosedur tindakan anestesia epidural dan blok kaudal yang baik dan benar.
12. Jelaskan prosedur tindakan anestesia blok pleksus brakialis pendekatan interskalenus
dan aksilaris dengan menggunakan nerve stimulator yang baik dan benar
13. Jelaskan prosedur tindakan anestesia blok pleksus lumbosakral : blok siatik, blok
femoralis, blok poplitea dengan menggunakan nerve stimulator yang baik dan benar
14. Sebutkan beberapa cara penusukan jarum epidural
15. Jelaskan level ketinggian minimal dan yang diinginkan termasuk dermatom , osteotom,
miotom yang dipengaruhinya untuk anestesia epidural, blok kaudal, blok pleksus
brakialis, blok pleksus lumbosakral untuk masing-masing tindakan operasi yang akan
dilakukan.
16. Jelaskan indikasi dan indikasi-kontra tindakan anestesia epidural, blok kaudal, blok
pleksus brakialis (interskalenus dan aksilaris), blok pleksus lumbosakral (siatik, femoral,
poplitea)
17. Sebutkan dan jelaskan jenis obat, dosis, konsentrasi, pengenceran, mula kerja, lama
kerja obat analgetik lokal yang dapat dipakai untuk anestesia epidural, blok kaudal, blok
pleksus brakialis (interskalenus, aksilaris) dan blok pleksus lumbosakral (siatik, femoral,
poplitea) serta jenis adjuvan yang dapat mempengaruhi atau membantu kerja obat
analgetik lokal.
18. Jelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi mula dan masa kerja, penyebaran obat,
penyebaran dan intensitas blok anestesia epidural, blok kaudal, blok pleksus brakialis,
blok pleksus lumbosakral .
19. Jelaskan komplikasi yang dapat terjadi pada anestesia epidural, blok kaudal, blok
pleksus brakialis (interskalenus , aksilaris), blok pleksus lumbosakral (siatik, femoralis,
poplitea), tanda tanda dan gejala, cara mencegah dan mengatasi komplikasi tersebut.
Kognitif
215
- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
Communication and Interpersonal Skills
- MCQ (pre-tes)
- EMQ (Extended Medical Question)
Daftar Cek Penuntun Belajar Anestesia Epidural Lumbal Teknik Loss of Resistance
1 Informed consent
3 Pemeriksaan tambahan
PROSEDUR ANESTESIA
EPIDURAL
216
premedikasi bila perlu
217
11 Pastikan kateter epidural yang masuk
ke ruang epidural sepanjang lebih
kurang 4 sm (fiksasi di kulit :
kedalaman ruang epidural + 4 sm)
DURANTE ANESTESIA
EPIDURAL
218
berlangsung lama
PASCABEDAH
1 Informed consent
3 Pemeriksaan tambahan
219
7 Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis
pada penunjuk anatomi yang
ditentukan.
220
3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan
dan penatalaksanaannya
5 Penatalaksanaan ketidaknyamanan
pasien bila ada
PASCABEDAH
1 Informed consent
3 Pemeriksaan tambahan
PROSEDUR BLOK
INTERSKALENUS
221
lain yang tidak diblok
DURANTE BLOK
INTERSKALENUS PLEKSUS
BRAKIALIS
222
2 Penatalaksanaan rasa tidak nyaman
pasien selama blok interskalenus
pleksus brakialis
PASCABEDAH
Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda
1 Informed consent
3 Pemeriksaan tambahan
PROSEDUR BLOK
INTERSKALENUS
223
asepsis dan antisepsis
224
2 Penatalaksanaan rasa tidak nyaman
pasien selama blok interskalenus
pleksus brakialis
PASCABEDAH
Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda
1 Informed consent
3 Pemeriksaan tambahan
225
asepsis dan antisepsis
226
3 Komplikasi yang terjadi, pencegahan
dan penatalaksanaannya
PASCABEDAH
Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda
1 Informed consent
3 Pemeriksaan tambahan
227
4 Pasang jalur intravena pada ekstremitas
lain yang tidak diblok
PASCABEDAH
228
1 Monitor ABC di ruang pulih
1 Informed consent
3 Pemeriksaan tambahan
229
dan otot biseps femoris
PASCABEDAH
230
DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur Standard atau penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur
memuaskan Standard atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
231
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
MATERI ACUAN
Sama seperti spinal anestesia. Bila dibandingkan keuntungan dan kerugian epidural
232
anestesia dibandingkan dengan spinal anestesia, maka :
b) Waktu yang diperlukan untuk mendapatkan blokade yang adekuat lebih singkat.
e) Dapat dipertahankan untuk 1-2 hari dengan memakai kateter untuk terapi sakit
pascabedah.
b) Karena ruangan epidural sangat vaskular dan diperlukan obat analgetik lokal yang
lebih banyak, maka kemungkinan reaksi sistemis akibat absorbsi vaskular lebih
besar.
c) Bila ada kesalahan menusuk dura dan jarum masuk ke ruangan subarahnoid, lalu
diberikan jumlah besar obat anestetik yang bisa menyebabkan henti nafas, hilangnya
kesadaran, mungkin juga blokade simpatis yang menyeluruh.
d) Diperlukan 5-10 kali lebih banyak obat untuk mencapai level anestesia yang
diinginkan.
c) Dapat diberikan pada pasien yang tidak dapat menerima pelumpuh otot (misalnya
miastenia gravis).
233
Anatomi :
Duramater berakhir di ujung foramen magnum. Hal ini menguntungkan karena dapat
mencegah masuknya obat analgetik lokal dari ruangan peridural ke ruangan otak. Kantong dura
berakhir di S2, kira-kira 1sm di bawah dan medial dari level spina iliaka posterior superior.
Ruangan epidural dibatasi oleh duramater di sebelah dalam, ligamentum flavum dan periosteum
di sebelah luar.
Ruangan epidural meluas mulai dari dasar kepala (foramen magnum) di mana terjadi
fusi duramater dengan periosteum sampai koksigeus (membran sakrokoksigeal). Diameternya
0,5sm dan paling lebar di daerah L2. Jarak rata-rata antara kulit dengan ruangan epidural
adalah 4-5sm. Ruangan epidural berisi jaringan pengikat, lemak, vena dan arteri serta pembuluh
limfe dan saraf. Vena di sini berhubungan dengan vena di pelvis dan vena intrakranial, karena itu
obat analgetik lokal atau udara yang disuntikkan ke fleksus venosus ini dapat langsung naik ke
otak. Vena menjadi distensi pada keadaan batuk, mengedan atau gravida aterm, sehingga
ruangan epidural ini mengecil pada gravida aterm.
Dosis obat analgetik lokal yang diperlukan untuk mencapai level tertentu dari obat
berbeda-beda karena :
--. Variasi ukuran ruangan epidural.
--. Foramen intervertebralis libih permeabel pada orang muda daripada usia tua, maka
pada pemberian dosis yang sama dapat menyebabkan blokade yang lebih tinggi
pada orang tua.
Pada metode loss of resistance, digunakan semprit yang diisi udara atau NaCl atau obat
analgetik lokal. Ketika jarum menusuk ligamentum flavum, dirasakan ada tahanan; dan ketika
menembus ligamentum flavum dan masuk ke ruangan epidural, kita akan merasakan sekonyong-
konyong kehilangan tahanan. Bila digunakan udara, maka udara yang masuk ke ruangan
epidural jangan melebihi 3ml. Dengan metoda hanging drop, maka tetesan air akan terisap ke
ruangan epidural akibat tekanan negatif dalam ruangan epidural.
234
memegang peranan.
Cara-cara melakukan epidural anestesia :
a) Seperti untuk spinal anestesia, posisi pasien bisa duduk atau miring.
c) Setelah tindakan a dan antiseptik, pada tempat yang akan disuntik beri lokal anestesia,
misalnya dengan lidokain 1% sebanyak 2ml.
d) Suntikkan jarum epidural; dan setelah menembus ligamen interspinal, cabut touchy-nya, dan
pasang semprit10ml yang telah diisi udara / NaCl / obat analgetik lokal.
Test dose 3ml (10% dari dosis total), tunggu selama 5 menit untuk melihat apakah ada blokade
subarahnoid. Kecepatan penyuntikan 1ml/detik dengan jumlah total obat analgetik lokal tidak
melebihi 20ml.
Komplikasi :
1. Duramater tertusuk.
--. Bisa terjadi high atau total analgesia spinalbila disuntikkan lebih dari 7ml obat analgetik
lokal.
--. Post spinal headache yang terjadi sekunder akibat kebocoran cairan serebrospinal.
2. Reaksi sistemik karena absorbsi yang cepat dari obat analgetik lokal dan epinefrin.
Pasien mungkin mengeluh rasa pahit di lidah, sakit kepala berat, mendenging, iritabilitas,
kejang-kejang, hipotensi, dan hilangnya kesadaran. Overdosis epinefrin bisa menyebabkan
takikardia, tremor, hipertensi dan iskemia lokal pada medula spinalis.
Kaudal Anestesia
Kaudal anestesia dapat diperoleh dengan menyuntikkan obat analgetik lokal melalui
hiatus sakralis ke dalam ruangan epidural pada kanalis sakralis.
235
Indikasi Kaudal Anestesia :
Indikasi dilakukan kaudal anestesia untuk operasi-operasi daerah perineal seperti
haemoroid, fistula ani, dan kista bartolini
Kaudal Anestesia tidak memerlukan jarum khusus seperti spinal atau epidural lumbal.
Kita bisa memakai semprit 20ml, 10ml, atau 5ml dengan jarum no. 21 atau 22.
Pasien dalam posisi lateral atau telungkup dengan diganjal di daerah pubis. Cari
penunjuk anatomi dengan meraba kornu sakralis kanan kiri, dan di antaranya adalah
membran sakrokoksigeal
Kerugian Kaudal Anestesia adalah :
--. Sulit mencapai level anestesia yang tinggi.
Referensi :
236
MODUL 11. ANESTESIA BEDAH ORTOPEDI I
Sesi praktek dan pencapaian Meliputi bedah ortopedi elektif tertentu, darurat dan
kompetensi trauma.
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
CD PowerPoint
Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang perawatan, kamar operasi, ruang pulih.
237
Referensi :
1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New York:
Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
Selain referensi wajib di atas, peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari referensi
tambahan untuk modul PACU seperti yang diuraikan berikut ini:
TUJUAN UMUM
Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan mampu melakukan anestesia umum dengan
sungkup atau LMA (inhalasi), TIVA, regional blok subarahnoid (SAB), untuk prosedur
bedah ortopedi tertentu ( misalnya reposisi patah tulang tertutup, debridemen patah tulang
terbuka, ORIF anggota gerak bawah, artroskopi sendi lutut, dll ), mencakup evaluasi pasien
preoperatif, merancang pelaksanaan anestesia, pemantauan intra operatif, penatalaksanaan
masa pulih dan penatalaksanaan nyeri pascabedah
238
TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi dalam ranah-ranah berikut
ini :
Kognitif
1. Menjelaskan tindakan anestesia umum dengan sungkup dan regional SAB, TIVA
untuk operasi fraktur anggota gerak bawah, hip fracture, artroskopi,
2. Melakukan identifikasi problema preoperatif yang umum ditemukan pada pasien
ortopedi dan membuat rencana anestesia yang tepat untuk prosedur bedah ortopedi
yang paling sering .
3. Melakukan identifikasi dan penatalaksanaan problema-problema umum pada pasien
trauma serta menjelaskan persiapan preoperatif untuk pembedahan darurat dan trauma,
termasuk puasa dan penggunaan antasid, antagonis H2 dan antiemetik.
4. Merencanakan dan memilih obat anestetik inhalasi untuk prosedur anstesia umum
dengan sungkup.
5. Menjelaskan farmakologi obat anestetik inhalasi .
6. Merencanakan dan memilih obat anestetik intravena.
7. Menjelaskan farmakologi obat anestetik intravena.
8. Merencanakan dan memilih alat dan obat analgetik lokal untuk semua prosedur
analgesia regional, sesuai dengan lama, lokasi prosedur bedah, dan berat penyakit.
9. Menjelaskan farmakologi analgetik lokal, termasuk hal khusus yang menentukan
onset, durasi , potensi dan toksisitas.
10. Melakukan identifikasi dan mengatasi problema-problema yang dapat terjadi selama
pembedahan, misalnya syok perdarahan.
11. Membahas topik topik spesifik dalam anestesia ortopedi, termasuk turnike pneumatik,
emboluslemak, penyebab deep vein thrombosis, tromboemboli, pulmonary embolism.
12. Menjelaskan dampak dari penyakit-penyakit yang menyertai pasien ortopedi, seperti
hipertensi, penyakit arteri koroner, rheumatoid arthritis, diabetes melitus, ankylosing
spondylitis.
13. Menjelaskan dan membedakan penanggulangan nyeri dengan patient controlled
analgesia (PCA), subarahnoid, analgesia lokal intra-artikular, non-steroidal anti-
inflammatory drugs (NSAIDs)
239
Psikomotor
1. Memberikan anestesia umum dengan sungkup, analgesia spinal, dengan peralatan dan
obat-obatan yang benar dan penatalaksanaan pasien intraoperatif dengan intervensi
minimal supervisor.
2. Memberikan anestesia yang benar dan aman untuk:
a. debridemen fraktur terbuka anggota gerak bawah
Komunikasi
240
Profesionalisme
KEYNOTES:
GAMBARAN UMUM
241
Untuk dapat memberikan anestesia pada operasi ortopedi diperlukan pengetahuan dan
keterampilan dalam memahami prosedur pembedahan ortopedi, terapi cairan, penatalaksanan
nyeri pascabedah, penggunaan turnike pneumatik, memahami patofisiologi emboluslemak,
rematoid artritis, profilaksis deep vein thrombosis (DVT), tromboembolusdan embolusparu,
serta hubungan antara analgesia regional dan antikoagulan.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu melakukan anestesia untuk operasi
ortopedi berupa tindakan anestesia umum dengan sungkup atau LMA, analgesia regional
untuk , anestesia dengan TIVA, memahami prosedur pembedahan ortopedi, terapi cairan,
penatalaksanan nyeri pascabedah, penggunaan turnike pneumatik, memahami patofisiologi
emboluslemak, reumatoid artritis, profilaksis deep vein thrombosis (DVT),
tromboembolusdan embolusparu, serta hubungan antara analgesia regional dan antikoagulan.
METODE PEMBELAJARAN
242
MEDIA
1. Kuliah
2. Belajar mandiri
3. Kursus / Pelatihan
4. Grup diskusi
5. Visite, bed site teaching PACU
6. Bimbingan di kamar bedah.
7. Kasus morbiditas dan mortalitas
8. Continuing Profesional Development (CPD)
1. Virtual patients
2. Reading assigment
3. Audiovisual
4. Perpustakaan, internet, skill lab
EVALUASI
1. Kognitif :
EMQ (Extended Medical Question)
Multiple observers/raters
Minicheck
2. Skill/psikomotor :
Multiple observations and assessments
Multiple observers
243
OSCE
Minicheck
Multiple observers/rater
4. Profesionalisme
Multiple Observations and assessments
Multiple observers/rater
Pre tes:
1. Jelaskan tentang teknik anestesia umum atau lokal atau regional untuk
prosedur bedah ortopedi rawat jalan dan rawat inap.
2. Jelaskan tentang teknik anestesia blok subarahnoid (SAB).
3. Jelaskan tentang pemberian terapi cairan selama dan pasca pembedahan
4. Jelaskan pemberian transfusi darah dan komponen darah
5. Jelaskan tentang dampak turnike pneumatik.
6. Jelaskan tentang embolus lemak, trombosis vena dalam, embolus paru
7. Jelaskan tentang penanggulangan nyeri pascabedah ortopedi
Bentuk Ujian :
1. Ujian pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan.
1.Kognitif
244
- Multiple observation and assessments
- Multiple observers
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
21. Affective : Profesionalisme, Communication and Interpersonal Skills
- Multiple observation and assessments
- Multiple observers
Tindakan / operasi :
2 Penentuan ASA :
4 Pemasangan monitor
ANESTESIA
2 Anestesia subarahnoid
3 Anestesia intravena
PENATALAKSANAAN PASCABEDAH
245
Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda ( )
DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur Standard atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur Standard atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
246
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
MATERI ACUAN
a.definisi :
247
dengan PS ASA 1-2, bisa berupa sungkup atau LMA (inhalasi), TIVA, regional SAB.
b. ruang lingkup :
Setelah memahami, menguasai dan mengerjakan modul ini, maka diharapkan seorang ahli
anestesia akan memiliki kompetensi melakukan tindakan anestesia dan penerapannya dapat
dikerjakan di RS Pendidikan dan RS jaringan pendidikan.
248
Flow (FGF) sementara pasien bernafas spontan.
LMA
Bila menggunakan LMA maka LMA dipasang setelah pasien dalam keadaan tidur
dalam ditandai dengan hilangnya refleks bulu mata, kemudian disambungkan ke
konektor mesin anestesia dan berikan obat anestetik inhalasi 1 kali MAC.
Rumatan O2 2l/menit : N2O 2l/menit dan obat anestetik inhalasi
(halotan,isofluran,sevofluran) 0,5-2 % untuk anak dan bayi sesuai dengan FGF dan
pasien bernafas spontan
Selesai operasi pasien dibangunkan dengan nenurunkan obat inhalasi secara bertahap
sampai nol dan mematikan N2O dan menaikkan O2 6-8 l/ menit sampai pasien sadar
benar bisa angkat kepala atau bisa berkomunikasi
Pasien ditransport ke PACU dan diobservasi minimal 2jam
Komplikasi Anestesia
Komplikasi
Depresi nafas
Nyeri daerah suntikan
249
Anestesia dengan Regional Blok Subarahnoid (SAB)
250
No Prosedur Anestesia Blok Subarahnoid
3 Posisikan pasien lateral dekubitus atau duduk, ganjal bahu dan kepala pasien bila
diposisikan lateral dekubitus.
4 Tentukan penunjuk anatomi celah antara L2-3, L3-4 atau L4-5. Celah antara L3-4
atau prosesus spinosus L4 tegak lurus dari spina iliaka anterior superior.
5 Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada penunjuk anatomi yang ditentukan.
6 Berikan analgesia lokal pada celah yang akan dilakukan penusukan jarum spinal.
7 Lakukan penusukan jarum spinal (atau introduser) pada celah yang telah diberi
analgesia lokal. Penusukan jarum harus sejajar dengan prosesus spinosus atau
sedikit membentuk sudut kearah sefalad, dengan arah bevel ke lateral atau sefalad.
8 Dorong jarum sampai melewati resistensi ligamentum flavum dan dura, terasa
kehilangan tahanan pada rongga subarahnoid.
9 Cabut mandren jarum, dan pastikan posisi jarum sudah tepat yang ditandai dengan
mengalir keluar cairan serebrospinal yang bening. Jarum dapat dirotasikan 90
untuk memastikan kelancaran likuor yang keluar. Penusukkan harus diulang bila
likuor tidak keluar atau keluar darah.
10 Sambungkan jarum dengan spuit berisi obat analgetik lokal yang sudah
dipersiapkan. Aspirasi sedikit likuor, bila lancar suntikan obat analgetik lokal
secara perlahan. Lakukan aspirasi ulang untuk memastikan ujung jarum tetap pada
posisi yang tepat dan suntikan kembali obat.
11 Setelah selesai cabut jarum dan kembalikan posisi pasien sesuai dengan yang
diinginkan.
Cara penyuntikkan paramedian pada dasarnya sama seperti di atas, hanya jarum
spinal disuntikkan pada 1,5 sm lateral dan 1sm kaudal dari celah penyuntikkan
yang dituju.
251
ANESTESIA UNTUK BEDAH ORTOPEDI II
MODUL 12
Komplikasi
Mengembangkan Kompetensi Waktu (Semester 4)
Sulit
Sesi bernafaskarena
di dalam kelas ketinggian BlockRotasi
(Th 4 pada
keatas)
Semester 4 (total 8 pekan/2bulan)
Hipotensi
Sesi denganatau
PDPH fasilitasi
NyeriPembimbing
Kepala Pasca SAB Meliputi bedah ortopedi elektif tertentu, darurat
Hematom daerah insersi dan trauma.
Sesi praktek dan pencapaian
kompetensi Kompetensi didapat dengan pembelajaran teori
dan praktek dilakukan utamanya di kamar bedah
Referensi : elektif dan darurat
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed,
New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
PERSIAPAN SESI PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
2. Barash
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
Audiovisual Aid:
CD PowerPoint
Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU
Referensi :
Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan mampu melakukan anestesia umum
M0DUL 13 ANESTESIA BEDAH ONKOLOGI
DAN PLASTIK
Persiapan Sesi
Audiovisual Aid:
1. LCD Proyektor dan layar
2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Pemutar video
Materi presentasi: CD PowerPoint
1. Indikasi persiapan anestesia bedah umum dan digestif khusus
dengan penyulit
2. Persiapan preoperatif
3. Teknik anestesia
Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Kamar operasi
4. Ruang pulih
5. Bangsal rawat
253
Kasus : anestesia pasien langsung , di ruang rawat, kamar pemeriksaan dan kamar operasi
Alat bantu latih : model anatomi /Simulator tidak ada
Penuntun belajar : lihat materi acuan
Daftar tilik kompetensi : lihat daftar tilik
Referensi :
3. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 3th
ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2002
2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006
Selain referensi wajib di atas, peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari referensi
tambahan untuk sub-modul persiapan alat dan obat anestetik yang lain.
Setelah melalui sesi ini peserta didik mempunyai pengetahuan dan kemampuan untuk melakukan
pelayanan anestesiologi untuk berbagai prosedur bedah onkologi dan bedah plastik, mencakup
evaluasi pasien preoperatif, merancang pelaksanaan anestesia, pemberian anestesia intraoperatif ,
pemantauan pasien, dan penatalaksanaan masa siuman (emergence) dan masa pemulihan
Kognitif
1. Menjelaskan anestesia untuk bedah onkologi umum, bedah rekonstruksi atau bedah
plastik, prosedur flap, abdominoplasty, breast reduction, skin grafting.
2. Melakukan identifikasi problema preoperatif yang umum ditemukan pada pasien
onkologi dan plastik/rekonstruksi dan membuat rencana anestesia yang tepat untuk
prosedur bedah yang paling sering .
3. Melakukan identifikasi dan mengatasi problema-problema umum pada pasien onkologi
dan bedah rekonstruksi trauma serta menjelaskan persiapan preoperatif untuk
254
pembedahan onkologi/rekonstruksi termasuk puasa dan penggunaan antasid, antagonis
H2 dan antiemetik
4. Merencanakan dan memilih alat dan obat analgetik lokal untuk semua prosedur analgesia
regional, sesuai dengan lama, lokasi prosedur bedah, dan beratnya penyakit.
5. Menjelaskan dasar farmakologi analgetik lokal, termasuk hal khusus yang menentukan
onset, durasi , potensi dan toksisitas.
6. Membahas topik topik anestesia yang khusus untuk bedah onkologi dan rekonstruksi
7. Menjelaskan problema penyakit penyerta, seperti penyakit respirasi, hipertensi, penyakit
arteri koroner, diabetes melitus dan penyakit endokrin/metabolik yang lain.
8. Menjelaskan dan membedakan penanggulangan nyeri dengan patient controlled
analgesia (PCA) menggunakan beberapa jenis opiat , subarahnoid, epidural, kateter saraf
perifer kontinyu, obat-obat antiinflamatori nonsteroid.
9. Menjelaskan teknik hemodilusi dan konservasi darah perioperatif.
Psikomotor
1. memberikan anestesia umum dengan alat dan obat yang benar dan penatalaksanaan
pasien intraoperatif dengan sesedikit mungkin intervensi oleh staf.
2. Melakukan analgesia regional dengan alat dan obat yang benar dan penatalaksanaan
pasien intraoperatif dengan sesedikit mungkin intervensi oleh staf.
3. Melakukan tindakan anestesia yang benar dan aman untuk:
a. bedah onkologi kepala dan leher
b. bedah plastik kepala dan leher
c. prosedur flap
d. abdominoplasty
e. breast reduction dan reconstruction
f. skin grafting.
4. Mampu mengelola jalan nafas sulit pada bedah onkologi dan bedah plastik daerah kepala
leher
255
Profesionalisme
3. Key notes
2. Setelah pembedahan onkologi dan bedah plastik daerah kepala-leher-mulut dapat terjadi
perdarahan yang sulit terjadi
4. Waktu : Rotasi atau stase selama 2 bulan pada tahapan klinis pertama/semester 2
5. Metode:
Pre-tes
1. Menjelaskan teknik anestesia umum dan analgesia regional yang dibutuhkan untuk bedah
onkologi dan bedah plastik
2. Menjelaskan penatalaksanaan jalan nafas sulit
Kognitif
1. Pembelajaran terpadu
2. Pembelajaran independen
3. Pembelajaran berdasarkan problema
4. Kuliah perkenalan
5. Diskusi kelompok kecil dan umpan balik
6. Problema penatalaksanaan pasien
7. Simulasi pasien, skenario, pajangan dll
256
Skill
1. Kuliah perkenalan
2. Diskusi kelompok kecil, and feed backs.
6. Sumber Pembelajaran/Media
1. Virtual patients
2. Reading assigment
3. Audiovisual
7. Evaluasi
1. Kognitif :
EMQ (Extended Medical Question)
Multiple observers/raters
Minicheck
2. Skill :
Multiple observations and assessments
Multiple observers
OSCE
Minicheck
257
Multiple Observations and assessments
Multiple observers/rater
4. Profesionalisme
Multiple Observations and assessments
Multiple observers/raters
5. Pengetahuan
MCQ (Pre-tes)
8. Uraian:
1. Melakukan kunjungan preoperatif untuk menilai kondisi pasien dan prosedur operasi
yang akan dilakukan (lihat modul perioperatif care)
2. Menetapkan status fisis pasien, merencanakan tindakan anestesia yang akan dilakukan
dan memperoleh persetujuan setelah mendapatkan informasi
3. Bila akan dilakukan anestesia umum lihat modul anestesia umum
4. Bila akan dilakukan analgesia regional lihat modul analgesia regional
5. Tindakan pada masa siuman atau emergence lihat modul anestesia umum
6. Penangulangan nyeri pascabedah lihat modul anestesia umum dan analgesia regional.
1. Anestesia umum
2. Analgesia regional
3. Penanggulangan nyeri pascabedah
4. Intubasi sulit
5. Bedah onkologi
6. Bedah plastik dan rekonstruksi
7. Nyeri pascabedah
258
Sudah Belum
dikerjakan dikerjakan
No Daftar cek penuntun belajar prosedur anetesia
Kunjungan preoperasi
6. Informed consent
Berikan tanda v dalam kotak yang tersedia bila keterampilan telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda x bila tidak dikerjakan serta T/D bila tidak dilakukan pengamatan
259
v Memuaskan: Langkah/tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur Standard atau
penuntun
T/D Tidak diamati: Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta didik
Daftar Tilik
1 2 3 4 5
260
Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih/pengajar
Layak
Tidak layak
MATERI ACUAN :
Kasus pasien bedah onkologi pada umumnya adalah kasus dengan pembesaran yang tampak
dan atau teraba pada permukaan kulit mulai dari kepala sampai ujung kaki. Kasus bedah plastik
adalah bedah plastic rekonstruksi dan bedah plastik kosmetik. Anestesia pada bedah onkologi-
plastik dapat dilakukan dengan anestesia umum atau analgesia regional.
261
Beberapa problema yang dapat dihadapi pada tindakan anestesia adalah kusulitan jalan nafas,
perdarahan atau karena kondisi penyakit primer berat yang dialami pasien.
Kasus-kasus dengan kesulitan ventilasi atau kesulitan intubasi misalnya tumor besar daerah leher
kepala, tumor rongga mulut apalagi bila mudah berdarah, harus selalu dipikirkan rencana
tindakan penatalaksanaan jalan nafas dan anestesia yang akan dilakukan. Pada keadaan bahwa
kesulitan mempertahankan jalan nafas sudah dapat diprediksi, algoritma jalan nafas sulit sudah
harus direncanakan, sehingga alat-alat dan obat-obatan yang diperlukan sudah dipersiapkan lebih
dulu (lihat modul Anestesia bedah THT). Apabila diprediksi bahwa tidak akan sulit ternyata sulit
intubasi, dan pasien sudah dalam keadaan tidak sadar upayakan untuk membangunkan pasien
kembali. Pada kasus yang diduga akan timbul perdarahan karena operasi, jalur intravena dengan
kanula intravena diameter besar harus sudah dipersiapkan.
REFERENSI
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 3th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2002
2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006
262
Persiapan Sesi
Audiovisual Aid:
6. LCD Proyektor dan layar
7. Laptop
8. OHP
9. Flipchart
10. Pemutar video
Materi presentasi: CD PowerPoint Presentation
1. Indikasi persiapan anestesia bedah urologi dengan penyulit
Sarana:
6. Ruang belajar
7. Ruang pemeriksaan pasien
8. Kamar operasi
9. Ruang pemulihan
10. Bangsal perawatan
Kasus: anestesia pasien langsung , di ruang rawat, di kamar pemeriksaan, dan kamar operasi
Alat Bantu Latih: Model Anatomi / Simulator tidak ada
Penuntun Belajar: lihat Materi Acuan
Daftar Tilik Kompetensi: lihat Daftar Tilik
Referensi:
1. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 3 th ed, New York-Chicago-San
Francisco: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006.
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anesthesia, 5 th ed, New York: Lippincott Williams
& Wilkins; 2006
3. Miller RD. Millers Anesthesia, 6th ed, Philadelphia-London-Toronto: Churchill Livingstone;
2005
4. Martini FH. Fundamental of Anatomy & Physiology. 7th ed, 2006
Selain referensi wajib di atas, peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari referensi tambahan
untuk Sub-Modul Persiapan Alat dan Obat anestetik yang lain.
263
Setelah mengikuti modul ini, peserta didik akan mampu memberikan anestesia pada tindakan
diagnostik dan/atau bedah urologi, sistoskopi, bedah prostat, onkologi urologi, operasi batu ginjal terbuka,
dan operasi uretero-reno sistoskopi.
1.1.1.Kognitif:
1.1.2.Psikomotor:
Mampu melakukan penatalaksanaan jalan nafas normal atau dengan derajat kesulitan sedang memakai
bag-mask, LMA, dan pipa endotrakeal
Mampu mengoperasionalkan alat-alat pemantauan secara benar dan menjelaskan risiko dan keuntungan
penggunaan pemantauan invasif
Mampu melakukan dan mempertahankan akses vena
Mampu melakukan induksi dan pemeliharaan anestesia umum pada pasien ASA-I dan II, serta ASA III
dan IV dengan lebih mandiri
Mampu memberikan analgesia regional spinal, epidural secara lebih mandiri
Mampu menginterpretasi hasil analisa gas darah, dan menjelaskan gangguan keseimbangan asam-basa
yang paling sering, termasuk asidosis dan alkalosis metabolik serta perencanaan terapinya
Mampu mengenali gejala-gejala dan tanda-tanda sindroma TURP dan cara penatalaksanaannya.
264
1.1.3.2.Mampu menjelaskan kepada pasien atau keluarga pasien untuk memperoleh persetujuan
setelah mendapatkan informasi tentang manfaat dan risiko anestesia.
1.1.3.4.Menjamin kebutuhan tenaga untuk dapat mengatur posisi pasien atau memindahkan
pasien
1.1.3.5.Mampu menjelaskan kepada pasien dan keluarga pasien kebutuhan dan manfaat dari
obat analgetik.
1.1.3.7.Mampu untuk menentukan berapa kebutuhan darah untuk operasi urologi tertentu.
1.1.3.9.Mampu melakukan komunikasi tentang kondisi pasien dengan petugas ruang pemulihan
tentang kesulitan penatalaksanaan pasien (misal sindroma TURP)
1.1.4.Profesionalisme:
1.1.4.5.Mampu mengetahui dan mengatasi problema-problema yang terjadi pada saat maupun
pasca pembedahan urologi khusus, misalnya sindroma TURP dan perdarahan
pascabedah.
1.1.4.7.Mampu mengatasi nyeri pascabedah yang optimal dengan berbagai teknik analgesia
2.Keynotes
265
2.1.Posisi litotomi merupakan posisi yang paling sering dipergunakan untuk pasien bedah urologi dan
ginekologi. Posisi yang tidak tepat dapat menyebabkan cedera iatrogenik.
2.2.Posisi litotomi berkaitan dengan perubahan fisiologi yang penting; kapasitas residu fungsional
berkurang, memprediksi pasien terjadi atelektasis dan hipoksia. Menaikkan kaki akan
meningkatkan aliran balik vena. Elevasi kedua tungkai dapat meningkatkan aliran balik darah
vena mendadak. Tekanan Arteri Rata-rata (MAP) sering meningkat, tetapi curah jantung tidak
berubah signifikan. Sebaliknya, menurunkan kedua tungkai mendadak akan menurunkan aliran
balik darah vena yang menyebabkan hipotensi. Tekanan darah selalu segera diukur setelah
tungkai diturunkan.
2.3.Karena durasi prosedur pendek (15-20 menit) dan setting outpatient dari sistoskopi, biasanya
dipergunakan anestesia umum.
2.4.Anestesia epidural dan spinal dapat menghasilkan anestesia yang memuaskan. Level blok sampai
T10 menghasilkan anestesia yang baik untuk hampir semua prosedur traktus urinarius bagian
bawah misalnya sistoskopi, sedangkan level blok sampai T 6 untuk tindakan traktus urinarius bagian
atas.
2.5.Manifestesi sindroma TURP mencakup terutama overload cairan sirkulasi, intoksikasi air, dan
biasanya toksisitas cairan irigasi.
2.6.Absorbsi cairan irigasi yang terjadi bergantung pada lama irigasi dan tekanan / tinggi letak cairan
irigasi.
2.7.Jika dibandingkan dengan anestesia umum, analgesia regional sedikit menimbulkan kejadian
trombosis pascabedah; juga lebih sedikit menyembunyikan gejala dari sindroma TURP atau
perforasi buli-buli.
2.8.Pasien dengan riwayat aritmia jantung dan pasien yang mempunyai alat pacu jantung atau
internal cardiac defibrilator (ICD) dapat mempunyai risiko yang dicetuskan oleh shock wave
selama extracorporeal shock wave lithotripsy (ESWL). Shock wave dapat merusak komponen
dalam pacu jantung dan ICD.
266
4.Waktu
Rotasi dilakukan selama 2 (dua) bulan dapat dilakukan pada tahun pertama untuk kasus operasi
urologi ringan sampai sedang dan tahun ketiga untuk kasus-kasus operasi urologi berat (lihat pemetaan
kurikulum).
5.Metode
5.1.Pre-tes:
5.2.Strategi Pembelajaran:
5.2.1.Pembelajaran terpadu
5.2.2.Pembelajaran independen
5.3.Proses Pembelajaran:
5.3.1.Kuliah introduksi
267
6.Media
6.1.Virtual patients
6.2.Reading assignment
6.3.Audio Visual
7.1.Ruang Kuliah
7.2.Kamar operasi
7.3.Pasien
8.Evaluasi
8.3.Multiple observers
Sudah Belum
No Daftar Cek Penuntun Belajar Prosedur Anestesia
Dikerjakan Dikerjakan
1 Informed consent
268
5 Pemeriksaan peralatan dan instrumen anestesia lainnya
6 Obat-obat anestetik
7 Obat-obat darurat
1 Premedikasi
2 Induksi anestesia
2 Pemeliharaan anestesia
3 Pemulihan aanestesia
PERAWATAN PASCA-ANESTESIA
Catatan:
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah-langkah, tugas atau keterampilan dikerjakan oleh peserta
269
didik sesuai dengan prosedur Standard atau penuntun
Tidak Peserta didik tidak mampu untuk mengerjakan langkah-langkah, tugas
memuaskan atau keterampilan sesuai dengan prosedur Standard atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah-langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh
peserta latih selama penilaian oleh pelatih
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / Langkah Klinis
1 2 3 4 5
270
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / Langkah Klinis
1 2 3 4 5
No Kasus ke
1 2 3 4
271
MATERI ACUAN:
1.Pendahuluan:
1.1.Definisi :
Yang dimaksud dengan anestesia bedah urologi adalah tindakan anestesia untuk tindakan bedah
pada kasus-kasus urologi seperti sistostomi, operasi batu buli-buli, prostatektomi terbuka, TUR buli-
buli, TUR prostat, URS, ESWL, operasi batu ginjal, operasi pengangkatan ginjal (nefrektomi), operasi
tumor ginjal dan buli-buli dengan PS ASA 1-4, dapat berupa anestesia umum (inhalasi dengan intubasi
ETT atau LMA) maupun analgesia regional (SAB atau epidural).
1.2.Ruang Lingkup:
1.3.Iindikasi:
1.3.1.Sistostomi
1.3.3.Prostatektomi terbuka
1.3.4.TUR buli-buli
1.3.5.TUR Prostat
1.3.6.URS
1.3.7.ESWL,
272
1.4.Pemeriksaan Penunjang:
Pemeriksaan penunjang diperlukan untuk menentukan status fisis (PS) ASA, berdasarkan status
atau keadaan pasien saat tersebut.
Bedah atau tindakan urologi meliputi sistoskopi, ureteroskopi, TURP, prostatektomi terbuka,
nefrolitotomi, nefrektomi, sistektomi radikal, orchidopexy, orchiectomy, bedah plastik urogenital, teknik
laparoskopi, transplantasi ginjal, ESWL, dan bedah laser.
Tindakan anestesia dapat dilakukan dengan anestesia umum, analgesia regional epidural atau
subarahnoid atau mungkin hanya analgesia topikal., bergantung pada jenis tindakan yang dilakukan.
Anestesia umum untuk prosedur singkat dapat dilakukan dengan anestesia intravena. Analgesia regional
untuk prosedur instrumentasi atau operasi traktus urinarius bagian atas memerlukan ketinggian blok
mencapai T6, sedang untuk traktus urinarius bagian bawah cukup sampai T 10. Bilamana akan dilakukan
anestesia umum, maka batuk harus dicegah atau pasien bergerak-gerak karena hal ini dapat menyebabkan
peningkatan perdarahan atau perforasi buli-buli karena instrumentasi.
Teknik anestesia umum dan anestesia epidural dan subarahnoid pada bedah urologi umumnya
tidak berbeda dengan prosedur bedah lain. Pemantauan fungsi-fungsi vital juga tidak berbeda dengan
tindakan bedah lain.
Beberapa hal khusus dalam bedah urologi adalah posisi, usia, komplikasi. Posisi litotomi harus
dilakukan sedemikian rupa agar tidak terjadi komplikasi akibat penekanan atau peregangan saraf
berlebihan demikian juga dengan posisi ginjal lateral dekubitus.
Usia lanjut yang sering pada pasien dengan hipertrofi prostat harus diwaspadai akan
kemungkinan menderita gangguan penyakit jantung koroner, hipertensi, gangguan pernafasan, diabetes
melitus, gangguan ginjal dan lain lain. Teknik anestesia yang akan dilakukan harus dilakukan sesuai
dengan gangguan yang diderita pasien. Komplikasi perdarahan sering terjadi pada operasi prostat terbuka,
batu cetak/staghorn, nefrektomi dengan perlengkatan pada pembuluh darah besar.
Sindroma TURP merupakan komplikasi yang terjadi karena absorbsi cairan irigasi secara
berlebihan pada waktu operasi prostat dengan TURP. Gejala dapat timbul segera/dini (absorbsi
intravaskular langsung) atau setelah beberapa jam (absorbsi peritoneal dan perivaskular). Gejala sindroma
TURP meliputi: perubahan pada susunan saraf pusat, agitasi, nausea, confusion, gangguan penglihatan,
kejang, dan koma. Gangguan kardiovaskular berupa: hiper- atau hipotensi, bradikardia, disritmia, edema
paru, henti jantung , karena fluid shift hipervolemia masuk ke ruang interstitial, dan gangguan elektrolit.
Terapi restriksi cairan, pemberian diuretik (furosemid), larutan garam hipertonik untuk hiponatremia
simptomatik secara lambat peningkatan tidak melebihi 12 mEq/L per hari.
273
Setelah memahami, menguasai dan mengerjakan modul ini, maka diharapkan seorang ahli
anestesia akan memiliki kompetensi melakukan tindakan anestesia dan penerapannya dapat dikerjakan di
RS Pendidikan atau RS Jaringan Pendidikan.
Tahapan-tahapan anestesia:
3.1.Persiapan Preanestesia:
3.1.1.Anamnesis
3.1.2.Pemeriksaan fisis
3.1.3.Pemeriksaan penunjang
3.1.4.Informed consent
3.2.Persiapan Premedikasi
3.4.Pelaksanaan Anestesia:
3.5.Pengakhiran Anestesia
3.6.Follow-up Pasca-anestesia:
Tidak ada
5.Teknik Anestesia
274
5.2.Anestesia umum (inhalasi) dengan LMA
5.1.4.Periksa kesiapan mesin anestesia, tes mesin dengan manual baging maupun dengan
ventilator
5.1.5.Pasien di premedikasi dengan opiod (petidin, fentanil, atau morfin) dan sedatif (diazepam,
midazolam) selama 10-15 menit
5.1.8.Injeksi relaksan (depolarisasi atau non depolarisasi) seperti suksinilkolin atau rokuronium
5.1.10.Rumatan anestesia dengan O2 2 ltr/menit : N2O 2 ltr/menit dan inhalation agent (halotan,
isofluran, atau sevofluran) 0,5-2% untuk anak dan bayi sesuai dengan Fresh Gas Flow
(FGF) dan relaksan otot.
5.1.11.Untuk LMA; LMA dipasang setelah pasien sudah tidur dalam ditandai dengan hilangnya
refleks bulu mata, kemudian di sambungkan ke konektor mesin anestesia dan diberikan
inhalation agent 1 kali MAC dan rumatan O 2 2 ltr/menit : N2O 2 ltr/menit dan inhalation
agent (halotan, isofluran, atau sevofluran) 0,5-2 % untuk anak dan bayi sesuai dengan FGF
dan pasien bernafas spontan
5.1.12.Selesai operasi, pasien dibangunkan dengan menurunkan inhalation agent secara bertahap
sampai nol dan menutup N2O dan menaikkan aliran O2 6-8 ltr/menit sampai pasien sadar
benar (dapat angkat kepala atau dapat berkomunikasi)
5.1.13.Untuk yang menggunakan relaksan otot, direversal dengan prostigmin dan atropin sulfat
setelah pasien sudah nafas spontan dan bisa mengangkat kepala
5.1.14.Ekstubasi setelah pasien sadar penuh dan dapat mengangkat kepala dan mengikuti perintah
275
5.2.Komplikasi Anestesia:
5.2.3.Depresi nafas
5.2.4.Spasme bronkialis
5.2.5.Sadar lama
276
No Prosedur Anestesia Blok Subarahnoid
(Pendekatan Midline)
3 Posisikan pasien lateral dekubitus atau duduk, ganjal bahu dan kepala pasien bila
diposisikan lateral dekubitus.
4 Tentukan penunjuk anatomi celah antara L2-3, L3-4 atau L4-5. Celah antara L3-4 atau
prosesus spinosus L4 tegak lurus dari spina iliaka anterior superior (SIAS).
5 Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada penunjuk anatomi yang telah ditentukan.
6 Suntikkan analgetik lokal pada celah yang akan dilakukan penusukan jarum spinal.
7 Lakukan penusukan jarum spinal (atau introduser) pada celah yang telah diberi analgetik
lokal. Penusukan jarum harus sejajar dengan prosesus spinosus atau sedikit membentuk
sudut kearah sefalad, dengan arah bevel ke lateral atau sefalad.
8 Dorong jarum sampai melewati resistensi ligamentum flavum dan dura, sampai terasa
kehilangan tahanan pada rongga subarahnoid.
9 Cabut mandrin jarum, dan pastikan posisi jarum sudah tepat yang ditandai dengan
mengalir keluar cairan serebrospinal (CSS) yang bening. Jarum dapat dirotasikan 90
untuk memastikan kelancaran cairan yang keluar. Penusukkan harus diulang bila CSS
tidak keluar atau keluar darah.
10 Sambungkan jarum dengan spuit berisi obat analgetik lokal yang sudah dipersiapkan.
Aspirasi sedikit CSS, bila lancar suntikan obat analgetik lokal secara perlahan-lahan.
Lakukan aspirasi ulang untuk memastikan ujung jarum tetap pada posisi yang tepat dan
suntikan kembali obat.
11 Setelah selesai, cabut jarum dan kembalikan posisi pasien sesuai dengan yang diinginkan.
Cara penyuntikkan paramedian pada dasarnya sama seperti di atas, hanya jarum spinal
disuntikkan pada 1,5 sm lateral dan 1 sm kaudal dari celah penyuntikkan yang dituju.
5.4.Komplikasi:
5.4.2.Hipotensi
277
No Prosedur Anestesia Blok Epidural
(Pendekatan Midline)
Pengisian dengan cairan kristaloid atau koloid (RL, R sol, NS, atauKoloid) 500-1000
mL
3 Posisikan pasien lateral dekubitus atau duduk, ganjal bahu dan kepala pasien bila
diposisikan lateral dekubitus.
4 Tentukan penunjuk anatomi celah antara L2-3, L3-4 atau L4-5. Celah antara L3-4 atau
prosesus spinosus L4 tegak lurus dari spina iliaka anterior superior (SIAS).
5 Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis pada penunjuk anatomi yang ditentukan.
6 Suntikkan analgetik lokal pada celah yang akan dilakukan penusukan jarum epidural.
7 Lakukan penusukan jarum epidural pada celah yang telah diberi analgetik lokal.
Penusukan jarum harus sejajar dengan prosesus spinosus atau sedikit membentuk sudut
ke arah sefalad, dengan arah bevel ke lateral atau sefalad.
8 Dorong jarum sampai melewati resistensi ligamentum flavum, lalu cabut mandrin jarum
9 Pangkal jarum epidural dihubungkan dengan spuit 10 ml yang berisi NaCl 0,9% atau
udara, dan jarum didorong sampai ke rongga epidural yang ditandai dengan adanya loss
of resistance
10 Lakukan tes dose, tes dose(-), cabut spuit, masukkan epidural kateter sesuai kebutuhan
tinggi blok,
11 Setelah selesai cabut jarum, dan fiksasi dengan baik serta kembalikan posisi pasien
sesuai dengan yang diinginkan.kemudian injeksikan obat analgetik lokal sesuai
kebutuhan.
Cara penyuntikkan paramedian pada dasarnya sama seperti di atas, hanya jarum spinal
disuntikan pada 1,5 sm lateral dan 1 sm kaudal dari celah penyuntikan yang dituju.
5.6.Komplikasi:
278
5.6.1.PDPH
5.6.2.Sulit bernafas
5.6.3.Hipotensi
6.Referensi
6.1.Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 3 th ed, New York-Chicago-San
Francisco: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006.
6.2.Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anesthesia, 5 th ed, New York: Lippincott Williams &
Wilkins; 2006
6.3.Miller RD. Millers Anesthesia, 6th ed, Philadelphia-London-Toronto: Churchill Livingstone; 2005
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
279
Materi presentasi:
CD PowerPoint
Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU
Referensi :
TUJUAN UMUM
Setelah mengikuti rotasi ini peserta didik mampu melakukan persiapan preoperatif
dengan baik dan cermat, melakukan pembiusan umum dan regional pada pasien
obstetrik sederhana tanpa penyulit untuk memperoleh keberhasilan yang tinggi,
melakukan pemantauan intraoperatif dengan baik dan mencegah komplikasi yang
mungkin terjadi.
TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk :
Kognitif
280
3. Memiliki pengetahuan tentang kehamilan multipara, persalinan pervaginam
dengan riwayat seksio sesarea sebelumnya.
4. Memiliki pengetahuan farmakologi dan interaksi obat antara sintosnon, metergin,
magnesium sulfat, indosin, prostaglandin, steroid yang biasa dipakai pada pasien
obstetrik dengan obat anestetik.
5. Mampu menjelaskan penatalaksanaan preoperatif termasuk premedikasi dan puasa
untuk pasien obstetrik elektif.
6. Mampu menjelaskan persiapan alat dan obat untuk anestesia umum dan
subarahnoid (lihat prosedur anestesia umum dan subarahnoid).
7. Mampu menjelaskan indikasi anestesia umum atau subarahnoid untuk pasien
obstetrik tanpa penyulit.
8. Mampu menjelaskan rencana anestesia subarahnoid untuk prosedur seksio
sesarea (lihat modul dan prosedur anestesia subarahnoid).
9. Mampu menjelaskan rencana anestesia umum (intubasi, LMA) untuk prosedur
seksio sesarea termasuk teknik induksi cepat dan penatalaksanaan jalan nafas
pada ibu hamil (lihat modul dan prosedur anestesia umum).
10. Mampu menjelaskan rencana anestesia umum intravena untuk tindakan kuretase.
11. Memiliki pengetahuan tentang aortokaval compression dan penanganannya.
12. Mampu menjelaskan evaluasi bayi baru lahir.
13. Mampu menjelaskan penatalaksanaan pospartum, penanganan nyeri dan mual
muntah pascabedah.
Psikomotor
281
Komunikasi/Hubungan Interpersonal
1. Mampu menjelaskan pada pasien atau keluarga pasien tentang kondisi pasien
preoperatif , tindakan anestesia umum yang akan dilakukan serta risiko yang dapat
timbul.
2. Mampu memberikan penjelasan kepada rekan sejawat atau konsulen tentang
kondisi pasien untuk kemungkinan pemeriksaan tambahan, pemberian obat-
obatan atau upaya optimalisasi kondisi pasien.
3. Mampu menjelaskan tentang kondisi pasien kepada operator sebelum operasi
terutama untuk mencegah terjadi keadaan atau kondisi pasien yang tidak
diinginkan.
4. Mampu berinteraksi atas dasar saling menghormati dan menciptakan kondisi
kerjasama tim yang terlibat di kamar bedah.
Profesionalisme
KEYNOTES:
1. Morbiditas paling umum pada pasien obsetri (OB) adalah perdarahan berat
dan preeklampsia
2. Tanpa memandang kapan saat makan terakhir semua pasien OB dianggap
lambung penuh dan berisiko untuk terjadinya aspirasi paru.
3. hampir semua opioid analgesia dan sedatif yang diberikan parenteral
menembus sawar plasenta dan mempengaruhi fetus. Teknik analgesia
regional lebih disukai untuk penatalaksanaan nyeri persalinan.
4. Penggunaan campuran obat analgetik lokal dengan opioid untuk analgesia
lumbal epidural untuk penatalaksanaan nyeri persalinan secara nyata akan
mengurangi keperluan obat, dibandingkan dengan pemberian obat tersebut
secara sendiri-sendiri.
5. Analgesia optimal untuk persalinan blokade neural setinggi T10-L1 pada
kala I dan T10-S4 pada kalaII persalinan.
GAMBARAN UMUM
282
keterampilan dalam penatalaksanaan perioperatf dari mulai persiapan prabedah sampai
penatalaksanaan pascabedah. Melakukan penatalaksanaan nyeri persalinan dan
memberikan anestesia umum atau regional untuk seksio sesarea pada seksio sesarea
tanpa penyulit.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu melakukan penatalaksanaan
anestesia obstetri dari mulai persiapan preoperatif, penatalaksanaan jalan nafas ibu
hamil, fisiologi kehamilan, farmakologi perinatal, sirkulasi janin, pola persalinan
normal, pengawasan ibu dan janin, deselerasi cepat, lambat dan variabel denyut jantung
janin, variabilitas denyut jantung janin, persalinan prematur, multipara, perdarahan
trimester ke tiga, asfiksia dan resusitasi neonatus, analgesia regional untuk ibu
melahirkan (ILA, PCEA), persalinan pervaginam dengan riwayat seksio sesarea
sebelumnya, anestesia dengan crash atau induksi cepat, akses vaskular, terapi cairan dan
transfusi darah, penatalaksanaan anestesia umum dan regional, pemantauan,
penatalaksanaan pasca-anestesia.
METODE PEMBELAJARAN
D. Tempat belajar (training setting) : ruang rawat pasien, kamar operasi, ruang pulih
pascabedah.
MEDIA
1. Kursus / pelatihan
283
Pelatihan di skill lab intubasi, LMA, spinal pada manikin.
2. Belajar mandiri
3. Kuliah
Kuliah khusus Penatalaksanaan Anestesia Obstetrik dan 1 termasuk
semua sub pokok bahasan dilakukan semester 2 pekan 1.
4. Diskusi kelompok
Laporan dan diskusi tentang problema preoperatif, penatalaksanaan jalan nafas,
anestesia umum atau subrahnoid, pemantauan dan penatalaksanaan pascabedah.
5. Kunjungan preoperatif
6. Bimbingan pembiusan dan asistensi
Pelatihan di kamar bedah intubasi, LMA, subarahnoid pada pasien Obstetrik
EVALUASI
1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-tes dalam bentuk esai dan lisan untuk
menilai kinerja awal peserta didik dan melakukan identifikasi kekurangan yang
ada. Materi pre-tes terdiri atas :
- Penatalaksanaan pascabedah
284
3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam
penuntun belajar pada manikin anestesia bersama teman-temannya (peer assisted
learning), dievaluasi oleh teman-temannya (peer assisted evaluation).
- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya tindakan
anestesia tidak mulus sehingga kurang memberi kenyamanan kepada pasien
7. Pendidik/fasilitator melakukan :
8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan
atau diberi tugas untuk memperbaiki kinerja.
9. Pencapaian pembelajaran
Pre-tes :
285
sulfat, indosin, prostaglandin, steroid yang biasa dipakai pada kasus obstetrik
dengan obat anestetik.
5. Jelaskan patofisiologi preeklampsia dan eklampsia, penatalaksanaannya dan
pengaruhnya terhadap tindakan anestesia.
6. Jelaskan penatalaksanaan preoperatif termasuk premedikasi dan puasa untuk
pasien obstetrik dan elektif.
7. Jelaskan persiapan alat dan obat untuk anestesia umum dan subarahnoid (lihat
prosedur anestesia umum dan regional).
8. Jelaskan indikasi anestesia umum atau subarahnoid untuk pasien obstetrik
sederhana tanpa penyulit.
9. Jelaskan teknik anestesia subarahnoid untuk prosedur bedah obstetrik (lihat
modul dan prosedur analgesia regional).
10. Jelaskan teknik anestesia umum (intubasi, LMA) untuk prosedur seksio sesarea
termasuk teknik induksi cepat dan penatalaksanaan jalan nafas pada ibu hamil
(lihat modul dan prosedur anestesia umum).
11. Jelaskan teknik anestesia intravena untuk tindakan kuretase.
12. Jelaskan evaluasi bayi baru lahir.
13. Jelaskan penatalaksanaan pospartum, penanganan nyeri dan mual muntah
pascabedah.
Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan
(semester).
Bentuk ujian :
1. Pengetahuan
- MCQ
- EMQ (Extended Medical Question)
- Ujian lisan
2.Kognitif
286
- OSCE (Objective Structure Clinical Examination)
- Minicheck
4.Communication and Interpersonal Skills
Tindakan / operasi :
2 Penentuan ASA
4 Pemasangan monitor
ANESTESIA
2 Anestesia subarahnoid
3 Anestesia intravena
PENATALAKSANAAN PASCABEDAH
287
Catatan: Sudah / Belum dikerjakan beri tanda ( )
DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur Standard atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur Standard atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
288
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
289
MATERI ACUAN
Anestesia untuk obstetri berbeda dengan tindakan anestesia yang lain karena :
Pada wanita hamil mulai 3 bulan terakhir, terjadi perubahan fisiologis sistem
respirasi, kardiovaskular, susunan saraf pusat, susunan saraf perifer, gastrointestinal,
muskuloskeletal, dermatologi, jaringan buah dada, dan mata.
a. Sistem Respirasi
Ventilasi semenit meningkat pada aterm kira-kira 50% di atas nilai waktu tidak
hamil. Peningkatan volume semenit ini disebabkan karena peningkatan volume tidal
(40%) dan peningkatan frekuensi nafas (15%). Ventilasi alveolus meningkat seperti
volume tidal tetapi tanpa perubahan pada dead space anatomi.
290
Pada kehamilan aterm kapasitas residual fungsional (FRC), expiratory reserve
volume dan residual volume menurun. Perubahan-perubahan ini disebabkan karena
diafragma terdorong keatas oleh uterus yang gravid. FRC menurun 15-20%,
menimbulkan peningkatan "Pintasan" dan kurangnya reserve oksigen. Dalam
kenyataannya, "jalan nafas closure" bertambah pada 30% gravida aterm selama ventilasi
tidal. Kebutuhan oksigen meningkat sebesar 30-40%. Peningkatan ini disebabkan
kebutuhan metabolisme untuk fetus, uterus, plasenta serta adanya peningkatan kerja
jantung dan respirasi. Produksi CO2 juga berubah sama seperti O2. Faktor-faktor ini akan
menimbulkan penurunan yang cepat dari PaO2 selama induksi anestesia, untuk
menghindari kejadian ini, sebelum induksi pasien mutlak harus diberikan oksigen 100%
selama 3 menit (nafas biasa) atau cukup 4 kali nafas dengan inspirasi maksimal (dengan
O2 100%). Vital capacity dan resistensi paru menurun.
Pada kala 1 persalinan, dapat terjadi hiperventilasi karena adanya rasa nyeri (his) yang
dapat menurunkan PaCO2 sampai 18 mmHg, dan menimbulkan asidosis fetal. Pemberian
analgetik (misal : epidural analgesia) akan menolong. Semua parameter respirasi ini
akan kembali ke nilai ketika tidak hamil dalam 6-12 pekan pospartum.
291
proses kehamilan, dengan bertambahnya umur kehamilan, jumlah trombosit menurun.
Perubahan-perubahan ini adalah untuk perlindungan terhadap perdarahan katastropik
tapi juga akan merupakan predisposisi terhadap fenomena tromboemboli. Karena
plasenta kaya dengan tromboplastin, maka bila pada solusio plasenta, ada risiko
terjadinya DIC.
Delapan pekan setelah melahirkan volume darah kembali normal. Jumlah perdarahan
normal partus pervaginam kurang lebih 400-600ml dan 1000ml bila dilakukan seksio
sesarea, tapi pada umumnya tidak perlu dilakukan transfusi darah.
292
tersebut tidak hamil, hal ini disebabkan karena pada saat kontraksi uterus terjadi
plasental autotransfusi sebanyak 300-500ml. CVP meningkat 4-6sm H2O karena ada
peningkatan volume darah ibu. Peningkatan isi sekuncup dan denyut jantung adalah
untuk mempertahankan peningkatan curah jantung. Peningkatan curah jantung ini tidak
bisa ditoleransi dengan baik pada pasien dengan penyakit jantung valvula (misal : aorta
stenosis, mitral stenosis) atau penyakit jantung koroner. Gagal jantung yang berat dapat
terjadi pada kehamilan 24 pekan, selama persalinan dan segera setelah persalinan. Curah
jantung, denyut jantung, isi sekuncup menurun ke sampai nilai sebelum persalinan pada
24-72 jam pospartum dan kembali ke level saat tidak hamil pada 6-8 pekan setelah
melahirkan. Kecuali peningkatan curah jantung, tekanan darah sistolik tidak berubah
selama kehamilan, tetapi, tekanan diastolik turun 1-15mmHg. Ada penurunan MAP
sebab ada penurunan resistensi vaskular sistemik. Hormon-hormon kehamilan seperti
estradiol-17- dan progesteron mungkin berperan dalam perubahan vaskular ini.
Disritmia benigna
Gelombang ST, T, Q terbalik
Left axis deviation
GFR meningkat selama kehamilan karena peningkatan renal plasma flow. RBF
dan GFR meningkat 150% pada trimester pertama kehamilan, tetapi menurun lagi
sampai 60% di atas wanita yang tidak hamil pada saat kehamilan aterm. Hal ini akibat
pengaruh hormon progesteron. Kreatinin, BUN, asam urat juga menurun tapi umumnya
normal. Suatu peningkatan dalam laju filtrasi menyebabkan penurunan plasma BUN dan
konsentrasi kreatinin kira-kira 40-50%. Reabsorbsi natrium pada tubulus meningkat,
tetapi, glukosa dan asam amino tidak diabsorbsi dengan efisien, maka glikosuri dan
amino acid uri merupakan hal yang normal pada Ibu hamil. Pelvis renalis dan ureter
berdilatasi dan peristaltiknya menurun. Nilai BUN dan kreatinin normal pada parturien
(BUN 8-9 mg/dl, kreatinin 0,4 mg/dl) adalah 40% lebih rendah dari yang tidak hamil.
Maka bila pada wanita hamil, nilainya sama seperti yang tidak hamil berarti ada
kelainan ginjal. Pasien preeklampsi mungkin ada di ambang gagal ginjal, walaupun hasil
pemeriksaan laboratorium normal. Diuresis fisiologi pada periode pospartum, terjadi
antara hari ke-2 dan ke-5. GFR dan kadar BUN kembali ke keadaan sebelum hamil pada
293
pekan ke-6 pospartum.
Aktivitas serum kolinesterase berkurang 24% sebelum persalinan dan paling rendah
(33%) pada hari ke-3 pospartum. Walaupun aktivitas lebih rendah, dosis normal
suksinilkolin untuk intubasi (1-1,5 mg/kg) tidak dihubungkan dengan memanjangnya
blokade neuromuskular selama kehamilan. Karena perubahan-perubahan tersebut
wanita hamil harus selalu diperhitungkan lambung penuh, dengan tidak mengindahkan
waktu makan terakhir misalnya walaupun puasa sudah > 6 jam lambung bisa saja masih
penuh. Penggunaan antasid yang non-partikel secara rutin adalah penting sebelum
operasi sesarea dan sebelum induksi regional anestesia. Walaupun efek mekanis dari
uterus yang gravid pada lambung hilang dalam beberapa hari tetapi perubahan GIT yang
lain kembali ke keadaan sebelum hamil dalam 6 pekan pospartum .
SSP dan susunan saraf perifer berubah selama kehamilan, MAC menurun 25-
40% selama kehamilan. Halotan menurun 25%, isofluran 40%, metoksifluran 32%.
Peningkatan konsentrasi progesteron dan endorfin adalah penyebab penurunan MAC
tersebut. Tetapi beberapa penelitian menunjukan bahwa konsentrasi endorfin tidak
meningkat selama kehamilan sampai pasien mulai ada his, maka mungkin endorfin tidak
berperan dalam terjadinya perbedaan MAC tetapi yang lebih berperan adalah akibat
progesteron.
Terdapat penyebaran dermatom yang lebih lebar pada parturien setelah epidural
294
anestesia bila dibandingkan dengan yang tidak hamil. Hal ini karena ruangan epidural
menyempit karena pembesaran pleksus venosus epidural disebabkan karena kompresi
aortokaval oleh uterus yang membesar. Tetapi penelitian-penelitian yang baru
menunjukkan bahwa perbedaan ini sudah ada pada kehamilan muda (8-12 pekan) di
mana uterus masih kecil sehingga efek obstruksi mekanik masih sedikit ada maka
faktor-faktor lain penyebabnya. Faktor-faktor lain itu adalah :
Respiratori alkalosis kompensata.
Penurunan protein plasma atau protein likuor serebrospinal.
Hormon-hormon selama kehamilan (progesteron).
Walaupun mekanisme pasti dari peningkatan sensitivitas SSP dan susunan saraf perifer
pada anestesia umum dan antesi regional belum diketahui tetapi dosis obat anestetik
pada wanita hamil harus dikurangi. Peningkatan sensitivitas terhadap lokal anestesia
untuk epidural atau analgesia spinaltetap ada sampai 36 jam pospartum.
295
UAP UVP
UBF = ------------------
UVR
Maka semua keadaan yang menurunkan tekanan darah rata-rata ibu atau meningkatkan
resistensi vaskular uterus akan menurunkan UPBF dan akhirnya menurunkan umbilikal
blood flow (UmBF). Pada kehamilan aterm, 10% dari curah jantung atau sekitar 500-
700ml/menit akan memasok uterus di mana 80%-nya akan memasuki plasenta.
Pembuluh plasenta berdilatasi secara maksimal, jadi placental blood flow sangat
bergantung pada pada tekanan perfusi.
296
pasokan arteri ini menyebabkan pengukuran langsung UBF sangat sulit, terutama pada
manusia, dan pada kebanyakan kasus keadekuatan perfusi plasenta dapat diperkirakan
secara tidak langsung dengan monitor denyut jantung fetus dan keadaan asam-basa.
Pembuluh darah uterus, misalnya arteri spinalis, banyak mengandung serabut simpatis
yang terutama terdapat pada tunika media. Penelitian pada distribusi relatif dan
reseptor adrenergik pada pembuluh darah ini menunjukkan reseptor ini berkurang
atau bahkan tidak ada. Karena itu terapi vasopresor dapat membahayakan fetus. Obat
adrenergik dapat menurunkan UPBF.
Seksio sesarea adalah melahirkan bayi melalui insisi abdominal dan dinding
uterus. Keberhasilan anestesia untuk seksio sesarea dapat dilakukan dalam berbagai
jalan, tetapi anestetis harus betul-betul mengerti tentang fisologi, patofisiologi dan
farmakologi ibu hamil dan fetus.
Tindakan anestesia yang biasa dilakukan adalah analgesia regional dan anestesia
umum. Analgesia regional yang akan dibicarakan disini adalah spinal dan epidural
anestesia karena kami jarang melakukan infiltrasi atau field block untuk seksio sesarea.
I. SPINAL ANALGESIA
Keuntungan analgesia spinaluntuk seksio sesarea adalah tekniknya sederhana,
induksinya cepat, kontak fetus dengan obat-obatan minimal, pasiennya sadar dan bahaya
aspirasi sedikit.
Lebih tinggi blokade simpatis, lebih tinggi risiko hipotensi dan timbulnya gejala
muntah-muntah. Posisi supine meningkatkan kejadian hipotensi secara nyata. Ueland
dkk mengamati adanya pengurangan tekanan darah rata-rata dari 124/72 ke 67/38
mmHg pada ibu yang diletakkan dalam posisi supine setelah dilakukan spinal anestesia,
tetapi bila dalam posisi lateral tekanan darah rata-rata sekitar 100/60mmHg.
297
Maternal hipotensi bisa mengancam kehidupan ibu dan fetus bila penurunan
tekanan darah dan curah jantung tidak cepat dikoreksi. Keadaan hipotensi maternal yang
singkat, bisa menyebabkan penurunan Skor Apgar pemanjangan waktu mencapai
keadaan nafas yang adekuat, dan menyebabkan asidosis pada fetus. Bila hipotensi tidak
lebih dari 2 menit, asidosis fetal minimal dan tidak ada pengaruh pada neurobehavioral
bayi yang baru lahir pada umur 2-4 jam. Dengan lebih lamanya periode hipotensi
Holman dkk menunjukkan adanya perubahan neurologis paling sedikit 48 jam pada bayi
yang lahir dari Ibu yang dilakukan seksio sesarea dengan epidural analgesia.
Vasopresor :
beri cairan
bila memungkinkan ubah posisi pasien
beri efedrin, dimulai dengan dosis 5-10mg intravena. (Dosis efedrin 0,1-
0,2mg/kgBB)
Dalam beberapa keadaan, timbulnya takikardia akibat efedrin merupakan indikasi-
kontra, bila demikian kita bisa memberikan fenilefrin. Penelitian terakhir, menunjukkan
bahwa pemberian fenilefrin 40g intravena, intra operatif setelah dilakukan analgesia
spinalatau epidural anestesia untuk terapi maternal hipotensi selama seksio sesarea,
tidak mempunyai efek yang jelek pada fetus, tetapi harus diingat bahwa penelitian
tersebut dilakukan pada ibu yang sehat, bayi yang sehat dan tanpa insufisiensi
uteroplasenta.
298
hal ini karena :
Mual-muntah sering terjadi pada spinal anestesia. Hal ini disebabkan karena :
Mual-muntah setelah bayi lahir dapat dikurangi dengan pemberian dosis kecil
droperidol atau metoklopramid.
Sakit Kepala :
ujung jarum, kejadian PSH dengan pencil point lebih rendah daripada Quincke.
299
Dengan no. 25 pencil point kejadian PSH sekitar 1%. Kebanyakan PSHringan dan
bisa sembuh sendiri. Pemberian kafein intravena atau peroral kadang-kadang dapat
menurunkan kejadian sakit kepala .
Ringkasan analgesia spinaluntuk seksio sesarea :
1. Berikan cairan yang tidak mengandung dekstrosa (2000ml) jika tidak ada indikasi-
kontra.
2. Monitor tekanan darah, nadi, EKG, saturasi O2.
3. Obat anestetik bupivakain 0,5% atau levobupivakain 0,5%
4. Gunakan jarum spinal Quincke No.27 atau Whitacre No.27.
5. Posisi kanan lateral saat induksi spinal anestesia.
6. Posisi pasien miring kiri sampai bayi lahir.
7. Terapi penurunan tekanan darah ibu dengan efedrin 5-10 mg dan berikan cairan. Bila
ada indikasi-kontra pemberian efedrin, berikan fenilefrine 40ug.
8. Berikan oksigen melalui sungkup.
Indikasi-kontra analgesia spinaluntuk seksio sesarea :
1. perdarahan hebat pada ibu.
2. hipotensi hebat
3. gangguan pembekuan
4. kelainan neurologis
5. pasien menolak
6. kesulitan teknis
7. tubuh pasien pendek atau morbid obesiti
8. sepsis, baik lokal atau general.
III. ANESTESIA UMUM
Keuntungan anestesia umum adalah induksinya cepat, mudah dikendalikan,
kegagalan anestesia tidak ada, dapat menghindari terjadinya hipotensi.
Maternal aspirasi :
300
dan aspirasi.
Simetidin dan ranitidin suatu histamin (H2) reseptor antagonis dapat menghambat
sekresi asam lambung dan menurunkan volume gaster.
Metoklopramid dapat meningkatkan motilitas gaster dan karena itu tonus sfingter
esofagus meningkat, sering diberikan sebelum anestesia umum pada seksio sesarea.
Metoklopramid juga berefek anti emetik sentral yang bekerja di CTZ (chemoreceptor
trigger zone).
Hal ini dihubungkan dengan peningkatan konsumsi O2 dan penurunan kapasitas residual
fungsional. Preoksigenasi dengan oksigen 100% mutlak harus dilakukan sebelum mulai
induksi anestesia. Norris dan Dewo membandingkan dua cara preoksigenasi,yang
pertama dengan oksigen 100% selama 3 menit dan yang kedua dengan 4 kali nafas
dalam yang maksimal selama 30 detik. Ternyata P aO2 rata-rata tidak berbeda antara
kedua kelompok. Oleh karena itu dalam keadaan fetal distres akut, 4 kali nafas dalam
dengan oksigen 100% mungkin sudah mencukupi.
Induksi yang cepat dengan tekanan krikoid (manuver Sellick) diikuti intubasi
endotrakeal adalah metode yang sering dilakukan. Monitor O2 dan CO2 harus dilakukan.
Problema lain untuk anestesia umum pada seksio sesarea adalah kesulitan intubasi.
Bila hal itu terjadi, harus dilakukan ventilasi melalui sungkup atau dipasang LM, tetapi
problema adanya aspirasi tetap tidak bisa dihilangkan.
Depresi Neonatus :
1. Penyebab fisiologis :
hipoventilasi ibu
hiperventilasi ibu
penurunan perfusi uteroplasenta disebabkan kompresi aortokaval.
2. Penyebab farmakologi :
obat-obat induksi
pelumpuh otot
rendahnya konsentrasi oksigen
N2O dan obat anestetik inhalasi lainnya
efek memanjangnya interval induction-delivery dan uterine incision-delivery.
301
1. Penyebab fisiologis :
2. Penyebab farmakologis :
a. Obat induksi :
penurunan yang cepat dari konsentrasi tiobarbiturat dalam darah Ibu karena
redistribusi yang cepat.
distribusi yang tidak homogen dalam ruangan intervilli.
ekstraksi tiobarbiturat dari darah vena umbilikal oleh liver fetus.
dilusi yang progresif melalui pintasan pada sirkulasi fetal.
Ketamin 1-1,5mg/kg mungkin merupakan obat induksi yang terpilih pada kasus-kasus
perdarahan. Propofol dengan dosis 2-2,5mg/kg tidak menunjukkan kelebihan untuk
seksio sesarea. etomidat 0,3mg/kg efek depresi miokardium lebih kecil dan
hemodinamik lebih stabil dibandingkan dengan tiopental.
b. Pelumpuh otot :
302
Ibu dan bayi baru lahir. Banyak penulis menganjurkan pemberian dosis kecil pelumpuh
otot non depolarizing sebelum penggunaan suksinilkolin untuk mencegah fasciculasi
dan peningkatan tekanan intragastrik, tetapi tidak semua anesthesiologist setuju pada
konsep ini dengan alasan :
c. Oksigenasi :
Oksigenasi fetus dipengaruhi oleh konsentrasi oksigen inspirasi Ibu. Lebih tinggi
konsentrasi oksigen inspirasi akan meninggikan tekanan O 2 pada ibu dan fetal dan akan
memperbaiki kondisi bayi saat lahir. Konsentrasi O2 65-75% cukup untuk mendapatkan
hasil yang optimal.
d. N2O :
N2O menembus plasenta dengan cepat dan mencapai rasio konsentrasi dalam
darah arteri umbilikal/vena umbilikal 0,8 setelah pemberian 15 menit. Pemberian N 2O
konsentrasi tinggi yang lama dapat menyebabkan rendahnya Skor Apgar, mungkin
disebabkan karena difusi hipoksia dan depresi SSP secara langsung. Dalam praktek tidak
pernah memberikan N2O lebih dari 50%.
Ada pemikiran yang berbeda tentang waktu optimal untuk melahirkan bayi bila
digunakan anestesia umum untuk seksio sesarea. Beberapa peneliti menemukan
keadaan neonatus yang lebih baik bila interval ID kurang dari 10 menit. Yang lebih baru,
Crawford dkk, mengatakan bahwa bila kompresi aortokaval dihindari, konsentrasi O 2
inspirasi 65-70%, tidak ada hipotensi, maka pada ID 30 menit tidak terdapat pengaruh
303
yang nyata pada status asam-basa bayi.
Bila digunakan N2O/O2 50% : 50% dan konsentrasi kecil uap untuk
mendapatkan amnesia, tidak ada efek yang nyata pada status asam-basa bayi dan Skor
Apgar bila bayi dilahirkan dalam waktu 10 menit. Faktor lain yang mempengaruhi
kondisi bayi adalah interval UD. Pada spinal anestesia, bila tidak ada hipotensi,
pemanjangan ID interval tidak mempengaruhi Apgar dan status asam-basa bayi, tetapi
bila UD interval lebih dari 180 detik dihubungkan dengan lebih rendahnya Skor Apgar
dan bayi yang asidotik.
Selama anestesia umum, bila ID interval lebih dari 8 menit atau UD interval
sama atau lebih dari 180 detik, ditemukan adanya penurunan Skor Apgar (kurang dari 7)
dan asidosis neonatal.
Awareness :
1. Premedikasi dengan metoklopromid dan beri antasid yang tidak berpartikel (30 ml).
2. Monitor tekanan darah, nadi, EKG, saturasi O2, kapnograf, suhu, TOF.
3. Pasien miring kiri.
4. Preoksigenasi dengan O2 100%.
5. Induksi dengan tiopental/ketamin/propofol + relaksan.
6. Intubasi dengan pipa endotrakeal + balon.
7. N2O/O2 50% + isofluran 0,75% atau enfluran 1% atau sevofluran 2%.
8. Hindari hiperventilasi atau hipoventilasi.
304
9. Kosongkan lambung dengan NGT.
1. ID interval singkat.
2. UD interval singkat.
3. Berikan narkotik pada ibu setelah bayi lahir.
4. Ekstubasi bila ibu sudah sadar penuh.
Referensi :
LAMPIRAN
5 Lakukan intubasi
6 Isi kaf pipa endotrakeal sampai tidak ada tanda bocor (tetapi
jangan terlalu keras)
305
9 Atur aliran oksigen, aliran gas anestesia (N2O) dan atur kadar
zat anestetik uap
Teknik intubasi nasal pada prinsipnya sama seperti di atas. Tetapi memerlukan analgesia topikal
dan tampon vasokonstriktor pada mukosa nasal. pipa endotrakeal dimasukkan melalui lubang
hidung, didorong sampai ke faring, lalu dengan bantuan laringoskop didorong ke arah glotis
melewati pita suara (dapat dengan bantuan forseps Magill). Teknik ini juga dapat dilakukan
secara buta.
1 2 3 4
306
2 Periksa kesiapan mesin anstesia, peralatan anestesia dan obat-
obat anestetik.
1 2 3 4
1 Periksa kesiapan alat dan obat yang diperlukan
2 Diperlukan seorang asisten untuk melakukan manuver Sellick
(penekanan pada krikoid)
308
Prosedur Anestesia Blok Subarahnoid
1 2 3 4
309
yang bening. Jarum dapat dirotasikan 90 untuk memastikan
kelancaran likuor yang keluar. Penusukkan harus diulang bila
likuor tidak keluar atau keluar darah.
310
ANESTESIA OBSTETRI II
MODUL 16 :
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
CD PowerPoint
Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU
311
Referensi :
GAMBARAN UMUM
TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk :
Kognitif
312
13. Mampu menjelaskan evaluasi dan resusitasi bayi baru lahir.
14. Mampu menjelaskan penatalaksanaan anestesia operasi non obstetrik pada
pasien obstetrik.
15. Mampu menjelaskan penatalaksanaan anestesia operasi laparoskopi.
16. Mampu menjelaskan tentang ILA (Intrathecal labor analgesia) dan PCEA
(Patient controlled epidural analgesia) untuk persalinan pervaginam.
17. Mampu menjelaskan tindakan resusitasi ibu hamil.
18. Mampu menjelaskan penatalaksanaan pospartum dan pascabedah termasuk
penanganan nyeri dan mual muntah.
19. Mampu menjelaskan indikasi rawat ICU pascabedah.
Psikomotor
1. Mampu menjelaskan pada pasien atau keluarga pasien tentang kondisi pasien
preoperatif , tindakan anestesia umum yang akan dilakukan serta risiko yang
dapat timbul.
2. Mampu memberikan penjelasan kepada rekan sejawat atau konsulen tentang
313
kondisi pasien untuk kemungkinan pemeriksaan tambahan, pemberian obat-
obatan atau upaya optimalisasi kondisi pasien.
3. Mampu menjelaskan tentang kondisi pasien kepada operator sebelum operasi
terutama untuk mencegah terjadi keadaan atau kondisi pasien yang tidak
diinginkan.
4. Mampu berinteraksi atas dasar saling menghormati dan menciptakan kondisi
kerjasama tim yang terlibat di kamar bedah.
5. Mampu memperoleh kemudahan pasien untuk rawat ICU atau ruang lain
sesuai kondisi pasien pascabedah.
Profesionalisme
KEYNOTES:
1. Morbiditas paling umum pada pasien obstetri (OB) adalah perdarahan berat
dan preeklampsia
2. Tanpa memandang kapan saat makan terakhir semua pasien OB dianggap
lambung penuh dan berisiko untuk terjadinya aspirasi paru.
3. Hampir semua opioid analgesia dan sedatif yang diberikan parenteral
menembus sawar plasenta dan mempengaruhi fetus. Teknik analgesia
regional lebih disukai untuk penatalaksanaan nyeri persalinan.
4. Penggunaan campuran obat analgetik lokal dengan opioid untuk analgesia
lumbal epidural untuk penatalaksanaan nyeri persalinan secara nyata akan
mengurangi keperluan obat, dibandingkan dengan pemberian obat tersebut
secara sendiri-sendiri.
5. Analgesia optimal untuk persalinan blokade neural setinggi T10-L1 pada
kala I dan T10-S4 pada kala II persalinan.
GAMBARAN UMUM
314
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu melakukan penatalaksanaan
anestesia obstetri pada kasus sulit:
Embolusair ketuban.
Sindrom Meigs
METODE PEMBELAJARAN
D. Tempat belajar (training setting) : ruang rawat pasien, kamar operasi, ruang pulih
MEDIA
1. Kursus / pelatihan
2. Pelatihan di skill lab intubasi, LMA, subarahnoid, epidural, dan kaudal pada
manikin.
3. Belajar mandiri
4. Kuliah
5. Kuliah khusus Penatalaksanaan Anestesia Obstetrik dan 2
termasuk semua sub pokok bahasan dilakukan semester 3 pekan 1.
315
6. Diskusi kelompok
7. Laporan dan diskusi tentang problema preoperatif , penatalaksanaan jalan nafas,
anestesia umum atau regional, pemantauan dan penatalaksanaan pascabedah.
8. Kunjungan preoperatif
9. Bimbingan pembiusan dan asistensi
10. Pelatihan di kamar bedah intubasi, LMA, subarahnoid, epidural dan kaudal pada
pasien obstetrik dan dengan bimbingan dan pengawasan staf
pengajar.
EVALUASI
1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-tes dalam bentuk esai dan lisan untuk menilai
kinerja awal peserta didik dan melakukan identifikasi kekurangan yang ada. Materi pre-
tes terdiri atas :
- Pengawasan intraoperasi
- Penatalaksanaan pascabedah
4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di bawah
316
pengawasan fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien sesungguhnya.
Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan langsung (direct observation)
dan mengisi lembar penilaian:
- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak dilakukan
- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya tindakan
anestesia tidak mulus sehingga kurang memberi kenyamanan kepada pasien
5. Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.
7. Pendidik/fasilitator melakukan :
8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan atau
diberi tugas untuk memperbaiki kinerja.
Pre-tes :
317
penyulit dan penyakit penyerta.
9. Jelaskan rencana analgesia regional untuk prosedur bedah obstetrik dan (lihat
modul dan prosedur analgesia regional).
10. Jelaskan rencana anestesia umum untuk prosedur bedah obstetrik dan termasuk
teknik induksi cepat dan penatalaksanaan jalan nafas sulit pada ibu hamil (lihat
modul dan prosedur anestesia umum).
11. Jelaskan penatalaksanaan cairan dan transfusi darah pada kasus obstetrik .
12. Jelaskan evaluasi dan resusitasi bayi baru lahir.
13. Jelaskan penatalaksanaan anestesia operasi non obstetrik pada pasien obstetrik.
14. Jelaskan penatalaksanaan anestesia operasi laparoskopi.
15. Jelaskan tentang ILA (Intrathecal labor analgesia) dan PCEA (Patient controlled
epidural analgesia) untuk persalinan pervaginam.
16. Jelaskan tindakan resusitasi ibu hamil.
17. Jelaskan penatalaksanaan pospartum dan pascabedah termasuk penanganan nyeri
dan mual muntah.
18. Jelaskan indikasi rawat ICU pascabedah.
Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).
Bentuk ujian :
1. Pengetahuan
- MCQ
- EMQ (Extended Medical Question)
- Ujian lisan
2.Kognitif
318
4.Communication and Interpersonal Skills
Tindakan / operasi :
2 Penentuan ASA :
Kelainan/penyulit :
4 Pemasangan monitor
ANESTESIA
PENATALAKSANAAN PASCABEDAH
319
DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur Standard atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur Standard atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
320
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
321
MATERI ACUAN
PLASENTA PREVIA
Perdarahan antepartum adalah penyebab utama kematian ibu pada pasien-pasien
kebidanan. Perdarahan hebat pada periode antepartum umumnya disebabkan karena
plasenta previa atau solusio plasenta. Kejadian plasenta previa antara 0,1-1%.
Perdarahan ini disebabkan karena robeknya plasenta. Pada plasenta previa dengan
perdarahan aktif, seksio sesarea dilakukan dengan anestesia umum. Berikan kristaloid,
koloid atau darah untuk mempertahankan volume intravaskular yang dilihat dari tekanan
darah, frekuensi nadi, CVP dan diuresis. Bila plasenta previa sudah ada perdarahan,
anestesia dilakukan dengan anestesia umum. Bila belum ada perdarahan dapat dengan
spinal atau epidural anestesia.
Induksi anestesia dengan dosis kecil tiopental atau ketamin (1mg/kg) bila ada
hipotensi. Apabila operasinya bekas seksio, maka penanganan plasenta previa ini harus
lebih hati-hati karena mungkin ada plasenta akreta, inkreta atau perkreta sehingga
diperlukan histerektomi setelah dilakukan seksio sesarea. Penanganan anestesia pada
seksio sesarea pada bekas seksio harus dipasang jarum infusi yang besar, selimut
penghangat dan darah. Clark dkk, mengamati hubungan antara jumlah seksio sesarea
sebelumnya dan kejadian plasenta previa. Kejadian plasenta akreta pada plasenta previa
bila pasien pernah satu kali di seksio adalah 24%, bila sudah menjadi 4 kali atau lebih
seksio sesarea, kejadian plasenta akreta mencapai 67%.
Teknik anestesia yang ideal untuk prosedur ini masih kontroversial, bisa dengan
regional atau anestesia umum dengan berbagai keuntungan dan kerugiannya masing-
masing.
SOLUSIOPLASENTAE
Adalah lepasnya plasenta dari tempat implantasinya yang normal dari desidua
basalis, kejadiannya 0,2-2% dan mortalitas perinatal sekitar 50%. Diklasifikasikan
sebagai ringan, sedang dan berat. Penyebabnya bisa karena trauma, tali pusat yang
pendek, yang tiba-tiba pada penekanan uterus, dan hipertensi. Perdarahan mungkin
tersembunyi dan berkumpul dibelakang plasenta. Gejala klinis awal berupa sakit perut
hebat disertai dengan tanda-tanda fetal distres.
Pada solusio plasenta ada gangguan pembekuan darah maka harus diperiksa Hb,
hematokrit, waktu perdarahan, trombosit, waktu protrombin, fibrinogen dan parsial
thromboplastin time. Bila tidak ada hipovolemia ibu atau insufisiensi uteroplasenta dan
322
bila pemeriksaan pembekuan normal dapat digunakan epidural analgesia kontinyu untuk
persalinan pervaginam. Pada solusioplasenta berat, maka perlu dilakukan seksio sesarea
dengan anestesia umum dan mungkin diperlukan transfusi darah masif. Bila ketika
dilahirkan bayinya masih hidup, maka perlu resusitasi aktif sebab maternal hipovolemia
akan menyebabkan terjadinya syok pada neonatus.
Perbedaan solusioplasenta dan plasenta previa terlihat pada tabel di bawah ini :
RUPTURA UTERI
Ruptur uteri paling sering terjadi pada pasien yang telah mengalami operasi pada
uterus misalnya seksio sesarea atau invasi trofoblas. Pada beberapa keadaan harus
dilakukan histerektomi. Jadi pasien-pasien yang melahirkan pervaginam tetapi ada
riwayat seksio sesarea atau operasi uterus harus diobservasi dengan ketat, karena ada
kemungkinan terjadi ruptur uteri karena adanya sikatrik pada uterus merupakan
problema utama, sehingga epidural analgesia untuk persalinan pada pasien-pasien
tersebut menjadi indikasi-kontra relatif karena hilangnya gejala sakit dari ruptur uteri,
karena rasa nyeri diblokade oleh epidural analgesia.
323
para. Pre-eklampsi khas dengan adanya trias : hipertensi, protein uria, dan edema yang
menyeluruh.
Disebut pre-eklampsi ringan bila pada wanita yang sebelumnya normotensi ada
kenaikan tekanan diastolik menjadi > 90 mmHg dengan protein uria < 0,25 gr/lt. Disebut
pre-eklampsi berat bila tekanan sistolik > 160mmHg atau diastolik > 110 mmHg,
peningkatan yang cepat dari protein uria, oliguria < 100 ml/24 jam, ada gangguan
serebral atau penglihatan, edema paru atau sianosis. Pre-eklampsi bisa menjadi
ekslampsi pada setiap tingkatan bila terjadi kejang-kejang. Kejang-kejang bisa terjadi
sebelum persalinan, selama persalinan dan segera pada periode pospartum.
Etiologinya masih belum jelas, tapi semua peneliti setuju bahwa kelainan yang
esensial adalah adanya iskemia utero plasental. Ada 3 faktor :
hipertensi
lesi pada glomerulus yang menyebabkan proteinuria
324
penurunan GFR yang menimbulkan peningkatan reabsorbsi sodium dan terjadi
edema.
Penyebab kematian Ibu adalah edema paru dengan gagal jantung kongestif (CHF),
hipertensive serebral encephalopathy, perdarahan otak, abruptio plasentae, renal
failure, necorosis hypophyse.
Terjadi penurunan volume darah kira-kira 10-15% dibandingkan dengan wanita hamil
normal. Sistemic Vascular Resistance (SVR) meningkat. Peneliti lain, mendapatkan
bahwa sampai 25% dari pasien menunjukkan fungsi miokardial yang suboptimal, dan
menyokong bahwa ada ketidak sesuai antara CVP dan PCWP, walaupun keduanya
umumnya rendah.
Dibandingkan dengan kehamilan yang normal, pada pre-eklampsi volume
intravaskular menurun, curah jantung menurun, dan sistemik vaskular resisten
meningkat.
c) Koagulasi :
325
Gangguan koagulasi sering terjadi pada pasien pre-eklampsi/eklampsi dengan
trombositopenia, terjadi pada 1/3 pasien pre-eklampsi. Juga bisa terjadi hemolisis,
terutama dihubungkan dengan kelainan fungsi hepar dan disebut HELLP syndrome
(Haemolysis, Elevated Liver enzimes, Low Platelets) dan DIC terjadi kira-kira 7%
kasus. Kelton dkk, menyokong bahwa defisit fungsi trombosit bisa terlihat tanpa
dihubungkan dengan jumlah trombositnya.
Ramanathan dkk., menyatakan bahwa wanita dengan pre-eklampsi berat mempunyai
waktu perdarahan yang memanjang dengan jumlah trombosit yang adekuat,
hematokrit meningkat akibat hemokonsentrasi.
d) Sistem Respirasi :
Bisa terjadi kesulitan intubasi karena gangguan lapangan penglihatan oleh karena
adanya edema saluran nafas bagian atas dan laring.
e) Liver :
Disfungsi hepar mungkin penyebab dari keluhan sakit epigastrium, dan telah
diketahui bahwa disebabkan karena iskemia hepatik nekrosis, walaupun hal ini juga
bisa disebabkan karena perdarahan sub kapsula hepatis. Hipotensi yang tiba-tiba bisa
disebabkan karena ruptur hepar spontan, walaupun jarang terjadi tetapi dapat
menyebabkan kematian. Penurunan fungsi liver dapat mengubah klirens obat yang
dimetabolisme di hepar dan memerlukan penyesuaian dosis obat untuk mencegah
overdosis.
f) Ginjal :
Microangiopathic
hemolytic anemia + + +
326
Trombositopenic
bleeding + + + +
Neurological
dysfunction + ++
g) Feto-plasental unit :
a) Pengendalian Konvulsi
327
Terapi untuk kejang-kejang terdiri dari oksigenasi, ventilasi, antikonvulsan.
Pengendalian konvulsi pada pasien pre eklampsi masih dalam perdebatan, di Eropa /
Inggris dengan obat-obat antikonvulsan sedangkan di Amerika dengan MgSO4.
Sedangkan di negara-negara lain dengan memakai kedua obat tadi, antikonvulsan dan
MgSO4. Pemberian MgSO4 sendiri tidak bekerja sebagai antikonvulsan karena tidak
menembus BBB, tetapi memberikan gambaran palsu dengan hilangnya kejang-kejang
karena efek MgSO4 untuk blokade neuromuskular, tapi alasan ini tidak kena untuk
pasien yang bangun dan bernafas spontan. Prinsip adanya serebral vasospasme
menyokong pemberian MgSO4 karena magnesium adalah suatu serebral vasodilator
kuat, maka rasional kalau bisa mengendalikan komplikasi SSP.
Obat-obat Antikonvulsan:
1) Magnesium Sulfat :
328
Antidotum magnesium ialah dengan pemberian kalcium intravena. Umumnya
diberikan dengan dosis 1gr Ca.glukonas atau Ca.klorida intravena. Magnesium
diekskresi melalui ginjal.
2) Diazepam :
3) Fenitoin :
Fenitoin lebih populer daripada diazepam karena kurangnya efek samping sedasi
dan level terapeutik 40-100 mol/lt. Dosis awal 10 mg/kg dilarutkan dalam 100
ml NaCl fisiologis, diberikan i.v. dengan kecepatan 50 mg/menit. Dua jam
kemudian, diberikan bolus yang kedua, diberikan dengan cara yang sama dengan
dosis 5 mg/kg. Terapi rumatan dimulai 12 jam setelah bolus yang kedua dengan
329
kecepatan 200 mg/8 jam secara oral atau intravena. Penggunaan cara ini sering
menimbulkan komplikasi rasa terbakar pada tempat infusi, diikuti dengan pusing
dan vertigo. Komplikasi hipotensi bisa terjadi, tapi sangat jarang.
b) Penatalaksanaan Kardiovaskular
1. Pemantauan
2. Pengendalian hipertensi :
Pasien harus dirawat di rumah sakit dan istirahat. Harus dipertimbangkan efek
postural, terutama untuk menghindari kompresi aortakaval. Pasien pre-eklampsi
umumnya relatif hipovolemia, juga ada vasospasme, yang dapat mengurangi perfusi
jaringan, sehingga akan berefek buruk pada ibu dan bayi. Walaupun ada anjuran
untuk terapi hipertensi secara agresif, kebanyakan penulis setuju untuk menurunkan
tekanan darah secara gradual sampai level di atas tekanan normal, pada umumnya
pada tekanan diastolik 90mmHg. Perhatian ditujukan pada perfusi plasenta dan fungsi
ginjal ibu, juga adanya cedera serebral bila tekanan darah diturunkan terlalu cepat.
Dalam hal konsep adanya serebral vasospasme dan serebral iskemia, penurunan
tekanan darah secara hati-hati disertai dengan pemantauan kardiovaskular yang
adekuat sangat baik sekali.
Harus diingat bahwa, sebelum pemakaian vasodilator, harus dilakukan dulu koreksi
hipovolemia, kalau tidak, bisa terjadi penurunan tekanan darah yang hebat. Obat yang
dipilih adalah yang menimbulkan arteriolar vasodilatasi daripada yang venodilatasi
yang akan mencegah kenaikkan curah jantung. Dihidralazin adalah obat yang paling
330
populer karena berefek dilatasi arterial dan mula kerja cepat.
a. Dihidralazin
b. Metil dopa
Obat ini umumnya untuk pasien dengan hipertensi kronis. Dipakai dalam dosis
standard, tapi dapat menyebabkan ngantuk, depresi dan postural hipotensi, tapi
aman pada ibu hamil pada dosis 1-3 g/hari dengan pembagian dosis.
c. Nifedipin
d. Trimetafan
Keuntungan obat ini adalah tidak adanya efek serebral vasodilatasi. Obat
dipecah oleh kolinesterase dan karena tidak menembus sawar plasenta dapat
menyebabkan pemanjangan efek suxamethonium. Bisa terjadi takikardia dan
menyebabkan penurunan venous return.
Nitrogliserin bekerja primer pada kapasitas vena dan terbukti kurang efektif
bila sebelumnya diberikan ekspansi volume. Dianjurkan untuk pengendalian
tekanan darah pada waktu intubasi. Nitroprusid, sodium nitroprusid (Niprid)
adalah suatu vasodilator dengan mula kerjayang cepat dan lama kerja yang
pendek. Obat ini ideal untuk mencegah peningkatan tekanan darah yang sangat
berbahaya waktu induksi anestesia atau untuk terapi krisis hipertensi. Tetapi
pada kehamilan hanya dipakai untuk mengendalikan tekanan darah akibat
331
intubasi, karena ketakutan akan adanya intoksikasi sianida pada fetus. Kedua
obat ini mempanyai tendensi untuk menaikkan tekanan intra kranial ibu.
4. Penatalaksanaan Respirasi
Problema utama adalah penatalaksanaan jalan nafas, karena ada laporan tentang
adanya edema hebat pada jalan nafas bagian atas. Bila ada konvulsi, bisa terjadi trauma
pada lidah yang bisa menyebabkan obstruksi jalan nafas, dan intubasi menjadi sangat
sulit. Adanya edema paru terutama disebabkan karena pemberian cairan yang
berlebihan. ARDS jarang terjadi.
5. Fungsi Ginjal
Walaupun ada oliguria dan edema, tidak dianjurkan pemberian diuretik, sebab
penyebabnya adalah vasospasme dan penurunan volume sirkulasi darah. Pemberian
volume dan vasodilator akan meningkatkan RBF dan curah jantung. Pemakaian
dopamin dengan dosis <_5g/kg/menit, cukup menguntungkan, walaupun ada
peningkatan sensitivitas Ibu terhadap kathecholamin disirkulasi dengan akibat risiko
terjadinya hipertensi. Pemakaian nifedipin juga dicoba untuk memperbaiki keluaran
332
ginjal. Diuretik jangan digunakan kecuali bila ada hipertensi berat, CHF, retensi air yang
hebat, bila diperlukan efek potensiasi dengan obat anti hipertensi.
6. Koagulopati
DIC bisa terjadi pada pre-eklampsi yang berat. Pemberian trombosit, FFP, sel
darah merah sering diperlukan. Bila ada DIC, regional analgesia merupakan indikasi-
kontra.
Teknik Anestesia
Bisa digunakan untuk seksio sesarea pada pasien pre-eklampsi dengan volume
cairan dan pembekuan yang normal. Dengan regional anestesia terjadi pengurangan
endogenous epinefrin dan norepinefrin, jadi akan memperbaiki aliran darah
uteroplasental. Penurunan rasa nyeri dan ansietas mengurangi gejolak tekanan
darah dan kebutuhan narkotik.
Dihubungan dengan hipotensi yang berat dan tiba-tiba akibat blokade simpatis,
yang bisa menyebabkan penurunan perfusi uteroplasental dan fetal asfiksia.
2. Anestesia umum :
Mungkin diperlukan untuk seksio sesarea darurat dengan fetal distres. Adanya
edema jaringan lunak dapat menyebabkan kesulitan saat induksi karena adanya
pembengkakan periglotis. Adanya hipertensi sistemik dan hipertensi pulmonal
meningkatkan risiko terjadinya strok dan edema paru. Dihindari pemakaian ketamin.
Bisa dipakai 0,67 MAC enfluran, halotan atau isofluran. Karena ada sensitasi pelumpuh
otot dengan magnesium, perlu dipakai monitor simulator saraf (TOF = Train of Four).
Anestesia umum indikasi untuk seksio sesarea darurat karena induksi cepat dan
menghindari pelebaran ruangan intravaskular akibat blokade simpatis.
Indikasinya :
333
atau solusio plasenta akan lebih buruk dengan regional daripada dengan anestesia
umum.
Fetal distres akut : Pada keadaan ini diperlukan melahirkan bayi dengan segera.
Dengan regional anestesia akan lebih lambat, karena menunggu bekerjanya obat dan
persiapannya.
1. N2O
Sedikit sekali atau hampir tidak menekan bayi bila diberikan dengan minimal 50% O 2
dan diberikan dalam periode < 20 menit. Tidak ada depresi yang nyata pada bayi,
bila diberikan N2O 50% sebelum bayi lahir. Untuk seksio sesarea berikan O 2 50-
70%.
2. Halotan
Pada konsentrasi anestesia menyebabkan
Indikasi pemakaian halotan hanya untuk relaksasi uterus, misalnya : kontraksi tetanik
uterus, versi luar atau versi dalam, pelepasan plasenta secara manual, inversi uterus,
Bandl's ring.
3. Tiopental
Pada dosis 4 mg/kg tidak menyebabkan depresi pada bayi.
4. Pelumpuh otot
Untuk fasilitas intubasi bisa dipakai suksinilkolin, kurare, vekuronium, pankuronium,
atrakurium. Obat-obat ini tidak menembus sawar plasenta.
5. Pitosin
Obat-obat oksitosin yang paling sering digunakan adalah sintetik hormon pituitari
posterior yaitu oksitosin (Pitosin) dan ergot alkaloid ergonovin (Ergotrat) dan metil
ergonovin (metergin).
Oksitosin bekerja pada otot polos uterus untuk menrangsangan frekuensi dan kekuatan
kontraksi. Efek pada sistem kardiovaskular adalah penurunan tekanan sistolik,
diastolik, takikardia, aritmia. Pada dosis tinggi, bisa bekerja sebagai antidiuretik,
yang bisa membawa kearah intoksikasi air, serebral edema, konvulsi bila diberikan
cairan i.v. yang berlebihan.
6. Ergot alkaloi
334
Dalam dosis kecil meningkatkan kekuatan dan frekuensi kontraksi uterus,
dilanjutkan dengan relaksasi normal uterus. Pada dosis yang lebih tinggi, kontraksi
menjadi lebih kuat dan lama. Tonus saat istirahat meningkat, dan terjadi kontaksi
tetanik. Efek pada sistem kardiovaskular adalah vasokontriksi dan hipertensi,
terutama dengan adanya obat-obatan vasopresor. Bisa diberikan intramuskular atau
per oral. Suntikan intravena bisa menimbulkan terjadinya hipertensi, konvulsi, strok,
kerusakan retina, edema paru.
Ekstubasi :
Pada saat ekstubasi bisa terjadi kenaikan tekanan darah. Untuk mengatasinya
bisa diberikan analgetik (fentanil), lidokain, MgSO4, beta-bloker.
Asuhan pascabedah :
Kesimpulan
DIABETES MELITUS
335
Problema utama pada wanita hamil yang menderita diabetes melitus adalah :
Penatalaksanaan anestesia :
a. Persalinan pervaginam :
Dapat diberikan epidural analgesia. Telah diketahui bahwa fetus pada permulaan kala
II kurang asidotik bila ibu menerima epidural anestesia dari pada fetus yang tidak
menerima analgesia.
Dipasang infusi yang tidak mengandung dekstrosa bila diperlukan untuk terapi
hipotensi. Juga penting bahwa fetus pada ibu yang diabetes lebih cenderung hipoksia
akibat hipotensi ibu.
Kejadian depresi kardiovaskular lebih tinggi pada regional anestesia untuk seksio
sesarea dan dihubungkan dengan lebih tingginya blokade simpatis karena penekanan
vena kava inferior dan aorta oleh uterus yang gravid.
Penelitian tahun 1977 yang membandingkan analgesia spinaldan anestesia umum untuk
seksio sesarea sehat dan ibu diabetes. Ternyata bahwa bayi dari ibu diabetes yang
menerima analgesia spinallebih asidotik dari pada bayi dari ibu diabetes yang menerima
336
anestesia umum. Asidosis ini dihubungkan dengan ibu diabetes dan mengalami
hipotensi. Bila dilakukan epidural analgesia, asidosis neonatal sekitar 60% kejadian ini
akibat hipotensi ibu, sebab pH selalu lebih dari 7,2 bila bila tidak ada hipotensi ibu.
Faktor-faktor yang menyebabkan bayi asidosis pada ibu yang diabetes adalah :
Analgesia spinalaman digunakan untuk seksio sesarea pada ibu diabetes, asal :
diabetes terkontrol
jangan berikan dekstrosa untuk mengisi volume sebelum dilakukan spinal anestesia.
hindari hipotensi ibu.
Jadi berikan infusi yang bebas dekstrosa dan terapi segera hipotensi dengan efedrin dan
posisi pasien miring kekiri.
ASMA BRONKIAL
Progesteron mempunyai efek relaksasi bronkus, sehingga ada perbaikan penyakit
asma selama kehamilan, tetapi hal ini tidak selalu pasti. Terapi obat-obatan untuk
problema respirasi sama antara wanita hamil dan wanita yang tidak hamil.
Bila diperlukan analgesia untuk persalinan biasanya epidural kontinyu. Bila akan
dilakukan seksio sesarea harus diingat kemungkinan interaksi obat karena penderita
asma umumnya mendapat terapi :
Pada pasien dengan problema respirasi ini sebaiknya dihindari pemberian anestesia
umum. Tetapi bila diperlukan anestesia umum, maka harus diperhatikan hal-hal sebagai
337
berikut :
HAMIL KEMBAR
kompresi aortokaval lebih besar dan lebih tinggi angka kejadian hipotesi.
diafragma tertekan ke atas sehingga mudah terjadi hipoksia.
risiko aspirasi lebih besar.
bayinya sering prematur atau pertumbuhan terhambat. Teknik anestesianya : lebih
disukai analgesia epidural daripada analgesia spinal, sebab dengan analgesia
epidural kejadian hipotensi dan penyebaran analgetik lokal ke arah sefalad lebih
jarang. Dengan analgesia spinalkejadiankejadian tersebut lebih sering.
Anestesia umum juga dapat digunakan. Yang harus diperhatikan ID dan UD interval
harus singkat sebab ada risiko pelepasan plasenta.
OBESITAS
Obesitas adalah gambaran klinis yang sering ditemukan di negara-negara di
mana malnutrisi dan kemelaratan jarang dijumpai.
BB sebenarnya
(kg)
338
BB relatif = -------------------- x
----- 100%
TB (sm) - 100
Morbid obesitas dibagi 2 golongan yaitu Obesitas sederhana (SO) dan Sindroma
obesitas hipoventilasi (OHS) atau Pickwickian sindroma. OHS adalah bila sudah ada
hipoventilasi, hiperkapnia. Pasien OHS terlihat somnolen, letargi, pletora, sianosis,
edema, pembesaran jantung kanan, polisitemia, penurunan kapasitas vital, hipertensi
339
pulmonal, hipervolemia.
EMBOLUSCAIRAN AMNION
Terapinya adalah resusitasi, segera lahirkan bayinya. Intubasi dan FiO2 tinggi, PEEP,
berikan furosemid, transfusi komponen darah untuk mengoreksi edema paru dan
perubahan hematologi.
Referensi :
LAMPIRAN
340
No Prosedur anestesia umum Kasus ke
5 Lakukan intubasi
6 Isi kaf pipa endotrakeal sampai tidak ada tanda bocor (tetapi
jangan terlalu keras)
341
pasca ekstubasi
Teknik intubasi nasal pada prinsipnya sama seperti di atas. Tetapi memerlukan analgesia topikal
dan tampon vasokonstriktor pada mukosa nasal. pipa endotrakeal dimasukkan melalui lubang
hidung, didorong sampai ke faring, lalu dengan bantuan laringoskop didorong ke arah glotis
melewati pita suara (dapat dengan bantuan forcep Magill). Teknik ini juga dapat dilakukan
secara buta.
1 2 3 4
342
cairan infusi, produksi urin, perdarahan.
343
yang adekuat.
1 2 3 4
1 Periksa kesiapan alat dan obat yang diperlukan
2 Diperlukan seorang asisten untuk melakukan manuver Sellick
(penekanan pada krikoid)
344
No Prosedur Anestesia Blok Subarahnoid Kasus ke
1 2 3 4
345
Cara penyuntikkan paramedian pada dasarnya sama seperti
di atas, hanya jarum spinal disuntikkan pada 1,5 sm lateral
dan 1sm kaudal dari celah penyuntikkan yang dituju.
1 2 3 4
346
10 Pastikan bevel jarum mengarah ke sefalad, perlahan masukan
kateter epidural sampai kira-kira 4-5 sm keluar dari ujung
jarum dan perlahan tarik jarum keluar.
1 2 3 4
347
analgesia lokal. Penusukan jarum membentuk sudut 45
dengan kulit dengan arah bevel ke sefalad menembus
membran sakrokoksigeus dan menyentuh bagian anterior
tulang sakrum. Arahkan jarum membentuk 30 dengan kulit
dorong sampai terasa seperti kehilangan tahanan.
348
membutuhkan waktu 1 bulan (4 pekan) untuk
peserta didik semester 2, yang meliputi
Sesi dengan fasilitasi pembimbing anestesia untuk jenis operasi THT sederhana
Sesi praktek dan pencapaian tanpa penyulit.
kompetensi
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
CD PowerPoint
Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU
Referensi :
TUJUAN UMUM
Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan mempunyai cukup pengetahuan
dan kemampuan untuk melakukan pelayanan anestesiologi untuk berbagai prosedur
349
bedah THT sederhana tanpa penyulit, mencakup evaluasi pasien preoperatif,
merancang pelaksanaan anestesia, pemberian anestesia intraoperatif, pemantauan
pasien, penatalaksanaan masa siuman (emergence) dan pascabedah (pemulihan).
TUJUAN KHUSUS
Kognitif
1. Mampu menginterpretasikan anatomi jalan nafas atas, laring hingga trakea dan
telinga.
2. Mampu mendiskusikan efek pemakaian N2O pada bedah telinga tengah.
3. Mampu mendiskusikan tingginya insiden PONV pascabedah telinga.
4. Mampu menjelaskan teknik hipotensi.
5. Mampu menjelaskan interaksi katekolamin dengan zat volatil.
6. Mampu menjelaskan pengaruh vasokonstriktor lokal terhadap kardiovaskular
dan penatalaksanaan masuknya secara tak sengaja infiltrasi epinefrin ke dalam
intravaskular.
7. Mampu menjelaskan teknik pembiusan tonsilektomi beserta risiko dan
komplikasi serta penanganannya.
8. Mampu menjelaskan mekanisme terjadinya spasme laring dan penanganannya.
9. Mengetahui patofisiologi apnea tidur .
10. Menjelaskan alasan untuk mengeliminasi N2O dari campuran gas anestetik
selama periode apnea.
11. Mendiskusikan apneic oxygenation dan kecepatan peningkatan PaCO2 yang
terjadi.
Psikomotor :
Komunikasi :
350
berbagi tempat dengan ahli bedah.
3. Berkoordinasi dengan tim bedah jika terjadi gangguan pada jalan nafas.
4. Menginformasikan tim bedah jika terjadi ketidakstabilan hemodinamik akibat
injeksi epinefrin.
5. Menyatakan ketidaklayakan penggunaan teknik hipotensi kepada tim bedah.
Profesionalisme :
KEYNOTES:
1. Untuk operasi THT, jalan nafas harus berbagi dengan ahli bedah THT.
2. Keadaan patologis, adanya sikatrik akibat operasi sebelumnya atau iradiasi,
deformitas kongenital, trauma atau manipulasi dapat menyebabkan obstruksi
jalan nafas akut atau kronis, perdarahan, dan kemungkinan jalan nafas sulit .
3. Penggunaan N2O dan pelumpuh otot merupakan hal penting yang harus
dilakukan. Pasien untuk operasi THT mungkin mempunyai riwayat perokok
berat, kecanduan alkohol, apnea tidur obstruktif, dan infeksi kronis saluran nafas
bagian atas.
4. Ekstubasi setelah operasi jalan nafas bagian atas memerlukan perencanaan yang
baik. Perdarahan jalan nafas bagian atas yang banyak, edema, atau patologi
mungkin menunda ekstubasi di kamar bedah.
GAMBARAN UMUM
Untuk dapat memberikan anestesia untuk bedah THT diperlukan pengetahuan dan
keterampilan dalam: evaluasi jalan nafas sulit, blok saraf untuk jalan nafas, obat
vasokonstriktor, jalan nafas bersama, bedah endobronkial, epiglotitis, abses
retrofaringeal, tumor jalan nafas, angioedema jalan nafas, post-tonsillectomy bleeding,
The ASA Jalan nafas sulit.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu memahami tentang: anatomi jalan
nafas, analgesia topikal, evaluasi jalan nafas, blok saraf untuk jalan nafas, obat
vasokonstriktor, teknik hipotensi, dan jalan nafas bersama.
351
METODE PEMBELAJARAN
MEDIA
1. Kursus / pelatihan
Pelatihan di skill lab : intubasi dan pemasangan LMA pada manikin.
2. Belajar mandiri
3. Kuliah
Kuliah khusus Penatalaksanaan Anestesia THT 1 termasuk semua sub pokok
4. Diskusi kelompok
Laporan dan diskusi tentang problema preoperatif , penatalaksanaan
5. Kunjungan preoperatif
6. Bimbingan pembiusan dan asistensi di kamar operasi
352
Pelatihan di kamar bedah, intubasi, LMA pada pasien THT dengan
EVALUASI
1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-tes dalam bentuk esai dan lisan untuk menilai
kinerja awal peserta didik dan melakukan identifikasi kekurangan yang ada. Materi
pre-tes terdiri atas :
- analgesia topikal
- obat vasokonstriktor
- teknik hipotensi
- Penatalaksanaan pascabedah
353
langsung dan mengisi lembar penilaian:
- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya tindakan
anestesia tidak mulus sehingga kurang memberi kenyamanan kepada pasien
7. Pendidik/fasilitator melakukan :
8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan
atau diberi tugas untuk memperbaiki kinerja.
9. Pencapaian pembelajaran :
Isi pre-tes :
Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan
(semeser).
354
Bentuk ujian :
1. Pengetahuan
- MCQ
- EMQ (Extended Medical Question)
- Ujian lisan
2.Kognitif
Tindakan / operasi :
355
1 Anamnesis, periksaan fisis, pemeriksaan penunjang
2 Penentuan ASA
4 Pemasangan monitor
ANESTESIA
3 Anestesia intravena
PENATALAKSANAAN PASCABEDAH
DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standard atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih
356
Nama peserta didik Tanggal
Nama pasien No Rekam Medis
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
357
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
MATERI ACUAN
I. Pertimbangan Umum
Untuk operasi THT, jalan nafas harus berbagi dengan ahli bedah. Keadaan
patologis, adanya sikatrik akibat operasi sebelumnya atau iradiasi, deformitas
kongenital, trauma atau manipulasi dapat menyebabkan obstruksi jalan nafas akut atau
kronis, perdarahan, dan kemungkinan jalan nafas sulit. Diskusi prabedah dengan ahli
bedah dan analisis catatan anestesia yang lalu mengenai penatalaksanaan jalan nafas
perioperatif, ukuran dan posisi pipa endotrakeal, posisi pasien, penggunaan N 2O dan
pelumpuh otot merupakan hal penting yang harus dilakukan. Pasien mungkin
memerlukan pemeriksaan jalan nafas saat pasien masih sadar dengan diberikan sedasi
dan analgesia topikal atau intubasi saat masih sadar dengan serat optik sebelum induksi
anestesia umum.
Pasien untuk operasi THT mungkin mempunyai riwayat perokok berat, kecanduan
alkohol, apnea tidur obstruktif, dan infeksi kronis saluran nafas bagian atas. Mungkin
diperlukan pemeriksaan laboratorium prabedah, pencitraan, dan pemeriksaan fungsi
jantung, paru dan hepar.
358
Sebagai tambahan pada pemantauan Standard, mungkin diperlukan tekanan darah
intra-arterial dan keluaran urin.
Ekstubasi setelah operasi jalan nafas bagian atas memerlukan perencanaan yang
baik. Tampon faring diambil, faring diisap, dan pasien dioksigenasi. Ekstubasi dilakukan
bila refleks jalan nafas telah pulih kembali secara penuh. Perdarahan jalan nafas bagian
atas yang banyak, edema, atau patologi mungkin menunda ekstubasi di kamar bedah.
Pertimbangan Umum
Selama pembedahan, kepala pasien sering dalam posisi elevasi dan diputar pada
satu sisi. Posisi kepala yang ekstrim harus dinilai sebelum operasi untuk menentukan
batas rentang pergerakan, terutama pada pasien artritis atau penyakit serebrovaskular.
Mata harus ditutup dengan plester.
Anestesia
Induksi dengan hipnotik (tiopental, propofol, atau etomidat) dan pelumpuh otot
yang mempunyai lama kerja singkat atau dengan induksi inhalasi, pemeliharaan
anestesia dengan anestetik volatil. Penggunaan N2O harus didiskusikan dengan ahli
bedah, N2O harus dihentikan 30 menit sebelum pemasangan graft membran timpani.
359
Miringotomi dengan pemasangan pipa paling sering dilakukan untuk operasi
bedah anak sehari (bedah rawat jalan anak/ambulatori). Prosedur ini sangat singkat dan
umumnya dapat dilakukan dengan anestesia sungkup muka dengan atau tanpa
pemasangan jalur vena. Tidak diperlukan pelumpuh otot. Bila prosedur dilakukan tanpa
memasang jalur vena, fentanil intranasal (1-2 ug/kg bb) dan asetaminofen prabedah (20
mg/kg) dapat digunakan untuk penatalaksanaan nyeri pascabedah.
Harus diberikan antiemetik karena kejadian PONV sangat sering pada operasi
telinga.
Operasi nasal dapat dilakukan dengan analgesia lokal atau anestesia umum. Pada
kedua teknik anestesia tersebut, ahli bedah akan memberikan kokain 4% pada mukosa
nasal, diikuti dengan suntikan lidokain 1-2% yang mengandung adrenalin 1/100.000
1/200.000 untuk hemostasis. Obat ini dapat menimbulkan terjadinya takikardia,
hipertensi, dan aritmia, terutama bila dilakukan anestesia dengan halotan. Pada pasien
dewasa sehat, kokain jangan diberikan melebihi 1,5 mg/kg bb (setiap tetes larutan
kokain 4% mengandung 3 mg kokain). Harus diberikan dosis yang lebih kecil bila
digunakan besama-sama dengan epinefrin, anestesia dengan halotan, atau pasien dengan
penyakit kardiovaskular. Anestesia umum diberikan supaya pasien tidak bergerak,
proteksi jalan nafas, dan amnesia.
Setelah operasi kosmetik nasal, hidung tidak stabil dan pemasangan sungkup muka
harus dengan penuh perhitungan atau malahan jangan dilakukan. Emergens (bangun dari
anestesia) dan ekstubasi yang mulus merupakan suatu keharusan untuk menurunkan
pedarahan pascabedah dan menghindari spasme laring dan keperluan ventilasi tekanan
positif dengan sungkup muka.
Kehilangan darah selama operasi nasal banyak dan sulit diperkirakan. Tampon
mulut dapat mengurangi kejadian PONV dengan mencegah masuknya darah ke dalam
lambung. Tampon ini harus dikeluarkan sebelum dilakukan ekstubasi. Pipa orogastrik
harus dipasang untuk mengeluarkan darah yang masuk ke lambung.
Pasien dengan epistaksis berat yang dilakukan ligasi arteri maksilaris interna atau
dilakukan embolisasi sering mengalami cemas, lelah, hipertensi, takikardia, dan
hipovolemi. Pasien ini memerlukan penenteraman hati, hidrasi, dan perawatan. Pasien
ini dianggap lambung penuh dan induksi anestesia dan intubasi endotrakeal harus
direncanakan dengan tepat. Hipertensi harus dikontrol untuk mengurangi kehilangan
darah. Tampon nasal posterior, walaupun berguna, dapat menyebabkan edema dan
hipoventilasi. Disebabkan karena kehilangan darah yang banyak sulit dinilai, harus
360
dilakukan pemasangan jalur vena yang adekuat ( no 16 atau no 14) dan darah untuk
transfusi harus tersedia. Penarikan packing nasal posterior dapat menyebabkan
kehilangan darah yang banyak.
Pada akhir pembedahan, tampon harus diangkat dan pipa orogastrik dimasukkan
untuk mengosongkan lambung dari darah yang tertelan dan dilakukan pengisapan faring.
Ekstubasi dapat dilakukan saat anestesia dalam atau setelah pasien bangun dan
refleks proteksi jalan nafas telah pulih. Batuk akibat adanya ETT dapat ditekan dengan
pemberian lidokain 1-1,5 mg/kg intravena 5 menit sebelum ekstubasi. Penggunaan jalan
nafas orofaringeal (OPA) setelah pembedahan dapat menyebabkan rusaknya luka operasi
dan perdarahan bila penempatan tidak dilakukan secara hati-hati di garis tengah. Nasal
jalan nafas dapat sebagai alternatif.
361
Referensi :
362
MODUL 18 : ANESTESIA BEDAH THT II
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
CD PowerPoint
Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang pulih
4. Bangsal rawat inap/pengamatan lanjut
Kasus : pasien di ruang bangsal THT atau poliklinik THT
Referensi :
363
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology,
4th ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
TUJUAN UMUM
Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan mempunyai cukup pengetahuan
dan kemampuan untuk melakukan pelayanan anestesiologi untuk berbagai prosedur
bedah THT yang disertai penyulit, mencakup evaluasi pasien preoperatif,
merancang pelaksanaan anestesia, pemberian anestesia intraoperatif, pemantauan
pasien, penatalaksanaan masa siuman (emergence) dan pascabedah (pemulihan).
TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk :
Kognitif
Psikomotor :
364
3. Memberikan anestesia untuk tindakan bronkoskopi kaku dan serat optik.
4. Melakukan asistensi/ membantu prosedur intubasi dengan bronkoskopi serat
optik.
5. Memberikan anestesia untuk pembedahan tumor kepala-leher, termasuk
pemantauan, manajemen cairan dan penanganan nyeri pascabedah.
6. Memberikan anesthesia topikal pada jalan nafas, termasuk injeksi transkrikoid.
7. Mempertahankan jalan nafas dengan tekanan jalan nafas positif pada obstruksi
parsial jalan nafas atas.
8. Melakukan teknik hipotensi.
9. Memperagakan tindakan krikotirotomi darurat pada manikin.
10. Melakukan krikotirotomi jarum dan ventilasi jet pada pasien.
Komunikasi :
Profesionalisme :
KEYNOTES:
365
atau cairan lambung.
4. Abses parafaringeal atau abses tonsilar dapat disertai dengan adanya
trismus, disfagia, dan distorsi serta mengganggu jalan nafas.
5. Trismus, edema jalan nafas, distorsi anatomi, sering membuat visualisasi
dengan laringoskopi untuk membuka glotis sulit.
6. Anestesia umum merupakan indikasi-kontra kalau terjadi stridor pada
saat istirahat. Pertimbangan dilakukan trakeostomi dengan analgesia
lokal melalui daerah yang selulitis, walaupun tidak ideal, untuk menjamin
jalan nafas.
7. Indikasi tindakan laringoskopi adalah untuk diagnostik (biopsi) atau
terapi (mengambil polip pita suara) yang mempunyai kemungkinan
membahayakan jalan nafas.
8. Pada direk laringoskopi dapat terjadi edema jalan nafas pascabedah.
GAMBARAN UMUM
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu mengelola pasien untuk operasi
THT dengan risiko tinggi.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu memahami tentang bagaiaman cara
memberikan anestesia untuk operasi THT dengan risiko tinggi dengan aman, dapat
mencegah dan melakukan terapi segera bila terjadi komplikasi.
METODE PEMBELAJARAN
366
ruang pulih pascabedah.
MEDIA
1. Kursus / pelatihan
Pelatihan di skill lab intubasi, LMA, spinal pada manikin.
2. Belajar mandiri
3. Kuliah
Kuliah khusus Penatalaksanaan Anestesia THT 2 termasuk semua
4. Diskusi kelompok
Laporan dan diskusi tentang problema preoperatif , penatalaksanaan
penatalaksanaan pascabedah.
5. Kunjungan preoperatif
6. Bimbingan pembiusan dan asistensi di kamar operasi
Pelatihan di kamar bedah intubasi, LMA, IVA pada pasien THT
pengajar.
EVALUASI
lisan untuk menilai kinerja awal peserta didik dan melakukan identifikasi
367
kekurangan yang ada. Materi pre-tes terdiri atas :
368
7. Pendidik/fasilitator melakukan :
8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan
atau diberi tugas untuk memperbaiki kinerja.
9. Pencapaian pembelajaran :
Isi pre-tes :
1. Jelaskan seluruh penatalaksanaan jalan nafas sulit sesuai algoritma jalan nafas
sulit menurut ASA
2. Jelaskan teknik anestesia yang aman pada perdarahan tonsil yang memerlukan
tindakan bedah ulang
3. Jelaskan teknik anestesia untuk tindalkan panendoskopi (laringoskopi,
esofagoskopi, bronkoskopi)
4. Jelaskan patofisiologi apnea tidur
5. Jelaskan komplikasi trakeostomi yang dilakukan untuk ventilasi lama dan
trakeostomi akut untuk mengatasi obstruksi jalan nafas.
6. Jelaskan bentuk pita suara pada berbagai keadaan, pada trauma adanya tumor
atau paralisis.
7. Jelaskan adanya co-existing problem pada tumor kepala leher.
8. Jelaskan rancangan pemberian anestesia umum pada pasien yang dilakukan
glosektomi atau mandibulektomi.
9. Jelaskan perawatan pascabedah pasien dengan bedah laring seperti
hemilaringektomi, supraglotik, atau laringektomi total.
Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan
(semester).
Bentuk ujian :
1. Pengetahuan
- MCQ
- EMQ (Extended Medical Question)
369
- Ujian lisan
2.Kognitif
Tindakan / operasi :
2 Penentuan ASA :
4 Pemasangan monitor
ANESTESIA
370
3 Anestesia intravena
PENATALAKSANAAN PASCABEDAH
DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standard atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
371
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
372
Tanda tangan dan nama terang
MATERI ACUAN
1. Perdarahan tonsil
Disebabkan karena lambung penuh dengan darah, idealnya induksi cepat dengan
tekanan pada krikoid dan dengan posisi sedikit Trendelenburgh harus dilakukan untuk
melindungi trakea dan glotis dari aspirasi dari darah atau cairan lambung. Dua buah isap
harus siap dan stilet pipa endotrakeal satu nomor lebih kecil dari yang diperkirakan
harus sudah tersedia. Ahli bedah harus sudah siap di kamar bedah. Ekstubasi paling
aman setelah pasien bangun.
Dapat disertai dengan adanya trismus, disfagia, dan distorsi serta jalan nafas yang
terganggu. Ahli bedah harus mampu untuk melakukan dekompresi abses dengan
melakukan aspirasi dengan jarum sebelum induksi anestesia. Bila diperlukan, dilakukan
intubasi dengan serat optik dengan pasien dalam keadaan bagun. Penatalaksanaan
anestesia dan prosedur ekstubasi sama dengan untuk tonsilektomi. Pada angina Ludwig
suatu selulitis pada rongga submandibula dan sublingua yang dapat meluas ke
kompartemen leher di bagian anterior. Trismus, edema jalan nafas, distorsi anatomi
373
sering membuat visualisasi dengan laringoskopi untuk membuka glotis sulit. Anestesia
umum merupakan indikasi-kontra kalau terjadi stridor pada saat istirahat. Pertimbangan
dilakukan trakeostomi dengan analgesia lokal melalui daerah yang selulitis, walaupun
tidak ideal, untuk menjamin jalan nafas.
3. Laringoskopi langsung
Pada laringoskopi langsung dapat terjadi edema jalan nafas pascabedah, dan untuk
terapi dapat diberikan deksametason 4-10 mg intravena. Tambahan terapi lain adalah
elevasi kepala, humidifikasi oksigen melalui sungkup , nebulizer racemic epinefrin.
Kadang-kadang, penghentian nebulizer racemic epinefrin menimbulkan kembalinya
edema jalan nafas.
Referensi :
374
Anestesia bedah mata adalah suatu rotasi yang
membutuhkan waktu paling sedikit 2 bulan (8
Sesi di dalam kelas pekan) untuk peserta didik semester 2 keatas,
Sesi dengan fasilitasi pembimbing yang meliputi anestesia bedah mata rawat inap
dan rawat jalan.
Sesi praktek dan pencapaian
kompetensi
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
CD PowerPoint
Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang pulih
4. Bangsal rawat inap/pengamatan lanjut
Kasus : pasien di ruang mata atau poliklnik mata
Referensi :
TUJUAN UMUM
Setelah mengikuti rotasi ini peserta didik mempunyai cukup pengetahuan dan
375
kemampuan untuk melakukan pelayanan anestesiologi untuk berbagai prosedur bedah
mata baik untuk operasi rawat jalan maupun rawat inap, mencakup evaluasi pasien
preoperatif, merancang pelaksanaan anestesia, pemberian anestesia intraoperatif,
pemantauan pasien, penatalaksanaan masa siuman (emergence) yang mulus, mencegah
komplikasi yang mungkin terjadi dan penatalaksanaan pascabedah (pemulihan).
TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk :
Kognitif
Psikomotor:
1. Melakukan pemeriksaan dan persiapan anestesia yang benar untuk pasien bedah
mata.
2. Mendeteksi kelainan fisis maupun sistem tubuh yang diderita pasien bedah mata,
membuat klasifikasi ASA dengan benar serta merencanakan teknik anestesia
376
yang tepat, termasuk persiapannya.
3. Menjelaskan teknik analgesia regional untuk bedah mata.
4. Melakukan teknik anestesia untuk mencegah peningkatan tekanan intraokular.
5. Memberikan anestesia umum dengan teknik yang tepat untuk bedah mata.
6. Melakukan pemantauan yang cermat dihubungkan dengan risiko dan komplikasi
bedah mata.
7. Dapat mendeteksi dini komplikasi yang terjadi dan mengambil tindakan yang
tepat untuk mengatasi.
8. Mampu menjelaskan keuntungan dan kerugian ekstubasi sadar dan ekstubasi
dalam.
Komunikasi:
1. Dapat menjelaskan secara lisan maupun tertulis kepada pasien atau keluarganya
tentang teknik anestesia yang akan dilakukan, kemungkinan interaksi dengan
teknik pembedahan serta kemungkinan komplikasinya.
2. Mengadakan komunikasi dengan ahli bedah tentang interaksi keadaan pasien
dengan teknik anestesia dan mendiskusikan hal-hal yang perlu ditempuh untuk
mencegah komplikasi.
3. Melakukan serah terima pasien dengan memberikan menjelaskan secara terang
dengan petugas di ruang pulih.
Profesionalisme:
1. Menyadari perlunya komunikasi dengan seluruh tim bedah mata untuk mencegah
dan mengantisipasi komplikasi yang mungkin timbul selama dan sesudah
prosedur bedah mata.
2. Merencanakan dan memberikan anestesia dengan penuh tanggungjawab sesuai
SOP, etika dan norma yang berlaku dengan prioritas pada keselamatan pasien.
3. Disiplin waktu, datang tepat waktu
4. Bekerja efisien dan cepat menyesuaikan
5. Memahami kebutuhan pasien-pasien geriatri
KEYNOTES:
377
menetap, 4) pada episode yang membandel, lakukan infiltrasi otot rektus
dengan analgesia lokal. Refleks pada umumnya melemah sendiri (hilang
sendiri) dengan pengulangan traksi pada otot ekstraokular.
5. Tetes mata yang diberikan secara topikal diabsorbsi melalui pembuluh
darah dalam sakus konjuntiva dan mukosa duktus nasolakrimalis
sehingga dapat mempunyai efek sistemik.
GAMBARAN UMUM
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu mengelola pasien untuk operasi
mata baik operasi mata elektif atau darurat.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu memahami tentang anatomi mata
dan fisiologi tekanan intraokular, farmakologi obat-obatan topikal mata, farmakologi
obat-obat analgetik lokal, kelainan-kelainan kongenital multipel yang melibatkan
kelainan mata, patofisiologi mual-muntah, patofisiologi refleks okulokardiak,
patofisiologi sindroma seperti hipertermia malignan, anestesia bedah mata intraokular,
anestesia bedah mata ekstraokular, pemantauan pasien dalam sedasi ringan sampai berat,
penatalaksanaan pascabedah mata terhadap nyeri, mual muntah dan komplikasi yang
lain, anestesia umum nafas spontan vs anestesia umum nafas kendali
METODE PEMBELAJARAN
1. Bahan acuan
2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran
3. Ilmu klinis dasar
C. Penuntun belajar terlampir
D. Tempat belajar : ruang rawat pasien, kamar operasi, ruang pulih pascabedah.
378
MEDIA
1. Kursus / pelatihan
Pelatihan di skill lab intubasi, LMA pada manikin.
2. Belajar mandiri
3. Kuliah
Kuliah khusus penatalaksanaan anestesia bedah mata termasuk
4. Diskusi kelompok
Laporan dan diskusi tentang problema preoperatif , penatalaksanaan
penatalaksanaan pascabedah.
5. Kunjungan preoperatif
6. Bimbingan pembiusan dan asistensi di kamar operasi
Pelatihan di kamar bedah intubasi, LMA, pada pasien bedah mata
EVALUASI
1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-tes dalam bentuk esai dan lisan untuk
menilai kinerja awal peserta didik dan melakukan identifikasi kekurangan yang
ada. Materi pre-tes terdiri atas :
379
- Patofisiologi mual-muntah (PONV)
380
7. Pendidik/fasilitator melakukan :
8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan
atau diberi tugas untuk memperbaiki kinerja.
9. Pencapaian pembelajaran :
Isi pre-tes :
Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan
(semester).
Bentuk ujian :
1. Pengetahuan
- MCQ
- EMQ
- Ujian lisan
2.Kognitif
- EMQ
- Multiple observation and assessments
- Multiple observers
- OSCE
381
- Minicheck
3. Skill
Tindakan / operasi :
2 Penentuan ASA :
4 Pemasangan monitor
ANESTESIA
2 Teknik MAC
4 Pemberian cairan
PENATALAKSANAAN PASCABEDAH
382
1 Pengawasan ABC dan tanda vital
DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standard atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
383
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
384
MATERI ACUAN
Mata dapat dipertimbangkan sebagai suatu bidang cekung dengan dinding yang
kaku. Bila isi dari cekungan itu meningkat, tekanan intraokular (TIO yang normalnya
12-20 mmHg) akan meningkat. Sebagai contoh, glaukoma adalah suatu keadaan yang
disebabkan obstruksi aliran humor aqueous. Hal yang sama, tekanan intraokular akan
naik bila volume darah dalam bola mata meningkat. Suatu peningkatan dari tekanan
vena akan meningkatkan tekanan intraokular dengan menurunkan drainase aqueous dan
meningkatkan volume darah koroidal. Perubahan ekstrim tekanan darah dan ventilasi
juga mempengaruhi tekanan intraokular (lihat tabel 1). Setiap kejadian anestesia yang
mengubah parameter ini dapat mempengaruhi tekanan intraokular (misalnya
laringoskopi, intubasi, obstruksi jalan nafas, batuk, posisi trendelenburg).
Meningkat
Menurun
385
Tekanan darah arteri
Meningkat
Menurun
PaCO2
Meningkat (hipoventilasi)
Menurun (hiperventilasi)
PaO2
Meningkat 0
Menurun
Bila bola mata terbuka selama operasi tertentu (tabel 2) atau setelah trauma yang
menimbulkan perforasi, tekanan intraokular sama dengan tekanan atmosfir. Setiap faktor
yang normalnya meningkatkan tekanan intraokular akan bertendensi menurunkan
volume intraokular dengan drainase aqueous atau ekstrusi vitreus melalui luka yang
terbuka. Ekstrusi vitreus adalah suatu komplikasi yang serius yang dapat menimbulkan
kerusakan penglihatan yang permanen.
Ekstraksi katarak
386
Iridektomi perifer
Vitrektomi
Anestetik inhalasi
Anestetik volatil
N2O
Anestetik intravena
Barbiturat
Benzodiazepin
Ketamin ?
387
Opioid
Pelumpuh Otot
Depolarisasi (suksinilkolin)
Non depolarisasi 0/
Refleks okulokardiak
Traksi otot ekstraokular atau tekanan pada bola mata dapat menimbulkan variasi
yang lebar dari aritmia jantung dari mulai bradikardia dan ventrikular ektopik sampai
sinus arest atau ventrikular fibrilasi. Refleks ini, permulaannya diuraikan pada tahun
1908, terdiri dari jalur trigeminal aferen (V1) dan vagal aferen. Refleks okulokardiak
paling umum terjadi pada pasien pediatrik yang dilakukan operasi strabismus. Meskipun
demikian, refleks ini dapat terjadi pada semua kelompok umur dan selama prosedur
mata apapun, termasuk ekstraks katarak, enukleasi, perbaikan ablasio retina. Pada pasien
388
yang bangun, adanya okulokardiak refleks akan menyebabkan pasien jadi somnolen dan
mual.
Gelembung gas mungkin disuntikkan oleh dokter mata ke dalam posterior chamber
selama operasi vitreus. Suntikan udara intravitreal akan bertendensi mendatarkan retina
yang ablasio dan terjadi penyembuhan secara anatomi. Gelembung udara ini akan
diserap dalam 5 hari dengan difusi gradual melalui jaringan dan masuk ke dalam aliran
darah. Bila pasien diberikan N2O, besarnya gelembung ini akan meningkat, hal ini
disebabkan karena N2O 35 kali lebih larut daripada nitrogen di dalam darah. Jadi, hal ini
bertendensi untuk difusi ke dalam gelembung udara lebih cepat daripada nitrogen
(komponen utama udara) yang diabsorbsi ke dalam aliran darah. Bila gelembung udara
membesar setelah mata ditutup/dijahit, akan terjadi kenaikan tekanan intraokular.
Sulfur heksaflourida (SF6) adalah gas yang innert yang kurang larut dalam darah
dibandingkan dengan nitrogen dan N2O. Mempunyai lama kerja yang lebih panjang
(sampai 10 hari) dibandingkan dengan gelembung udara sehingga dapat memberikan
keuntungan bagi dokter mata. Ukuran gelembung menjadi dua kali lipat dalam waktu 24
jam setelah penyuntikkan, sebab nitrogen dari udara inspirasi masuk ke gelembung lebih
cepat daripada SF6 difusi ke aliran darah. Meskipun demikian, kecuali kalau volume
besar dari SF6 disuntikkan, pembesaran gelembung yang lambat tidak selalu
meningkatkan tekanan intraokular. Kalau pasien diberikan N2O, ukuran gelembung
akan meningkat dengan cepat dan menyebabkan hipertensi intraokular. Inspirasi dengan
N2O 70% akan meningkatkan gelembung 3 kali lipat dari 1 ml gelembung dan
peningkatan tekanan dua kali lipat pada mata yang tertutup dalam waktu 30 menit.
389
Penghentian N2O akan menyebabkan reabsorbsi gelembung, yang menjadi campuran
N2O dengan SF6. Konsekuensi dari penurunan tekanan intraokular akan mempresipitasi
pelepasan retina.
Tetes mata yang diberikan secara topikal diabsorbsi melalui pembuluh darah dalam
sakus konjungtiva dan mukosa duktus nasolakrimalis. Satu tetes (kira-kira 1/20 ml) dari
fenilefrin 10% berisi 5 mg obat, sebanding dengan dosis intravena fenilefrin 0,05-1 mg
yang digunakan untuk terapi hipotensi. Obat yang diberikan secara topikal diabsorbsi
dengan kecepatan intermediat antara suntikan intravena dan subkutis (dosis toksik
fenilefrin yang diberikan secara subkutan adalah 10 mg). Anak-anak dan geriatri
berisiko untuk efek toksik dari obat yang diberikan secara topikal dan harus menerima
paling banyak larutan fenilefrin 2,5%.
390
Cyclopentolate Antikolinergik (midriasis) Disorientasi, psikosis,
konvulsi
391
Timolol, suatu beta adrenergik antagonis non selektif, mengurangi tekanan
intraokular dengan menurunkan produksi humor aqueous. Pemberian timolol topikal
pada mata, umumnya digunakan untuk terapi glaukoma, jarang dihubungkan dengan
bradikardia yang resisten dengan atropin, hipotensi, dan bronkospasme selama anestesia
umum.
Pemilihan antara anestesia umum dan analgesia lokal harus dilakukan dengan
mengikut sertakan pasien, spesialis anestesia, dan spesialis bedah mata yang melakukan
tindakan pembedahan. Beberapa pasien menolak dilakukan analgesia lokal disebabkan
kecemasan takut bangun selama prosedur pembedahan atau sakit saat dilakukan
analgesia lokal. Walaupun tidak ada bukti bahwa salah satu teknik anestesia lebih aman,
analgesia lokal kurang menimbulkan stres. Anestesia umum diindikasikan untuk pasien
anak dan dewasa yang tidak kooperatif, misalnya kepala sedikit bergerak yang dapat
menimbulkan kecelakaan selama dilakukan bedah mikrogram. Kombinasi lokal-general
anestesia, suatu teknik sedasi dalam, sering menimbulkan problema dengan jalan nafas,
maka harus dihindari disebabkan mempunyai risiko kombinasi akibat analgesia lokal
dan anestesia umum.
Premedikasi
Pasien yang akan dilakukan operasi mata mungkin ketakutan, terutama bila
dilakukan multiple prosedur dan ada kemungkinan kebutaan yang permanen. Pasien
pediatrik sering dihubungkan dengan adanya cacat kongenital (misalnya sindrom rubela,
sindrom Goldenhar, Down syndrom). Pasien dewasa pada umumnya geriatri, dengan
banyak sekali penyakit sistemik (misalnya hipertensi, diabetes melitus, penyakit jantung
koroner). Faktor-faktor tersebut harus diperhatikan bila memilih premedikasi.
Induksi
Pemilihan teknik induksi untuk operasi mata terutama bergantung pada penyakit
yang menyertainya daripada kepada penyakit mata atau tindakan pembedahannya. Satu
pengecualian adalah pasien dengan ruptur bola mata. Kunci dari induksi anestesia pada
pasien dengan cedera mata terbuka adalah mengendalikan tekanan intraokular dengan
melakukan induksi yang mulus. Khususnya, batuk selama induksi harus dihindari
dengan mendalamkan anestesia dan paralisis. Respons TIO terhadap laringoskopi dan
intubasi, dapat ditumpulkan dengan pemberian lidokain intravena 1,5 mg/kg bb atau
392
opioid (misalnya remifentanil 0,5-1 ug/kg atau alfentanil 20 ug/kg). Pelumpuh otot yang
digunakan jangan suksinilkolin karena mempengaruhi TIO. Kebanyakan pasien dengan
cedera bola mata terbuka tidak puasa/lambung penuh dan memerlukan teknik rapid-
sequence induction.
Pada operasi mata, anestetis jauh dari jalan nafas pasien, sehingga penting untuk
melakukan pemantauan ketat dengan oksimetri pulsa dan kapnograf. Kinking dan
obstruksi pipa endotrakeal dapat dikurangi dengan menggunakan pipa endotrakeal
khusus yang melengkung di daerah bibir. Kemungkinan aritmia yang disebabkan
okulokardiak refleks menyebabkan pentingnya dilakukan pemantauan EKG kontinyu
dan bunyi denyut nadi harus dapat didengar. Pada pediatri, temperatur tubuh bayi sering
meningkat selama operasi mata karena kain operasi yang menyelimuti seluruh tubuhnya.
Pemantauan end-tidal CO2 dapat membedakannya dengan hipertermia malignan.
Nyeri dan stres pada operasi mata lebih kecil dibandingkan dengan operasi
abdomen besar. Level anestesia yang lebih dangkal sudah cukup asal pasien tidak
bergerak saat operasi. Kurangnya rangsangan kardiak dari operasi mata digabung
dengan kebutuhan kedalaman anestesia dapat menyebabkan hipotensi pada geriatri.
Problema ini umumnya dapat dicegah dengan mempertahankan hidrasi yang adekuat,
memberikan dosis kecil efedrin (2-5 mg), atau paralisis adekuat dengan pelumpuh otot
non depolarisasi. Dengan memakai pelumpuh otot maka dapat diatur level anestesia
yang lebih dangkal.
Walaupun benang jahit modern dan teknik penutupan luka operasi menurunkan
risiko terbukanya luka operasi pascabedah, tetap harus dilakukan emergens dari
anestesia yang mulus. Batuk akibat adanya pipa endotrakehal dapat dicegah dengan
393
esktubasi saat level anestesia yang cukup dalam. Ketika operasi berakhir, pelumpuh otot
dilawan dan pasien bernafas spontan. Obat anestetik diteruskan saat melakukan
pengisapan jalan nafas. N2O kemudian dihentikan, dan diberikan lidokain 1,5 mg/kgbb
untuk menumpulkan refleks batuk sementara. Ekstubasi dilakukan 1-2 menit setelah
pemberian lidokain dan selama bernafas spontan dengan oksigen 100%. Kontrol jalan
nafas yang tepat sangat penting sampai refleks batuk dan menelan pulih. Akan tetapi,
teknik ini tidak menyenangkan untuk pasien dengan risiko aspirasi yang tinggi.
Nyeri hebat setelah operasi mata tidak biasa terjadi. Prosedur tekuk sklera,
enukleasi dan perbaikan ruptur bola mata adalah operasi mata yang paling sakit. Dosis
kecil narkotik intravena (misalnya petidin 15-25 mg untuk dewasa) umumnya cukup
efektif. Nyeri hebat mungkin merupakan tanda adanya hipertensi intraokular, aberasi
kornea, atau komplikasi bedah lainnya.
Referensi :
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
394
MODUL 20:
ANESTESIA BEDAH
PEDIATRI I
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
CD PowerPoint
Sarana:
5. Ruang belajar
6. Ruang pemeriksaan
7. Ruang pulih
8. Bangsal rawat inap/pengamatan lanjut
Kasus : pasien di ruang bangsal anak atau dari poliklinik anak
Referensi :
395
3. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th
ed, New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
4. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
1. TUJUAN.
Kognitif :
1. Mampu menjelaskan perbedaan anatomi, fisiologi, farmakologi dan psikologis pada bayi anak dan
orang dewasa.
2. Mampu menjelaskan hal apa saja yang perlu diperhatikan pada kunjungan praanestesia, meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang, premedikasi, puasa pada bayi dan anak.
3. Mampu menjelaskan penatalaksanaan perioperatif pasien bayi dan anak dengan infeksi saluran
nafas atas.
4. Mampu menjelaskan jenis dan ukuran ETT, LMA, laringoskop , sistem sirkuit nafas beserta
peralatan pelengkap lain (cunam Magill, stilet,jalan nafas oro/nasofarings, dll) yang dipakai untuk
anestesia bayi, anak.
5. Mampu menjelaskan pemberian cairan perioperatif bayi dan anak, seperti jumlah dan jenis cairan
yang diberikan.
6. Mampu menghitung volume darah total dan banyaknya perdarahan yang boleh hilang selama
operasi dan kapan membutuhkan transfusi darah.
396
7. Mampu menjelaskan obat premedikasi apa saja , cara pemberiannya serta penyulit yang bisa
ditimbulkan dari pemberian obat premedikasi untuk bayi dan anak.
8. Mampu menjelaskan cara induksi kasus bedah sederhana untuk bayi dan anak.
9. Mampu menjelaskan bagaimana melaksanakan pemulihan yang mulus dan mengatasi nyeri
pascabedah pada kasus sederhana bayi dan anak.
10. Mampu menjelaskan mekanisme terjadinya spasme laring, spasme bronkus, edema glotis pada
bayi dan anak.
11. Mampu menjelaskan cara mencegah dan mengatasi spasme laring, spasme bronkus, edema glotis
yang terjadi pada bayi dan anak.
12. Mampu menjelaskan penatalaksanaan analgesia regional kaudal epidural , dosis dan jenis obat
analgetik lokal apa saja yang dapat dipakai untuk bayi dan anak serta penyulit yang bisa
ditimbulkan.
Psikomotor :
1. Melakukan koordinasi dan diskusi mengenai penatalaksanaan anestesia pada kasus bedah
sederhana bayi dan anak.
2. Melakukan koordinasi, konsultasi, diskusi dengan ahli bedah, dokter anak dan pihak yang terkait
mengenai penatalaksanaan perioperatif.
3. Menjelaskan kepada orang tua dan keluarga pasien mengenai pentingnya dilakukan operasi dan
rencana anestesia yang akan dilakukan.
4. Melakukan persetujuan setelah mendapatkan informasi yang adekuat secara lisan dan tertulis.
397
5. Melakukan koordinasi yang baik dengan tim bedah bila terjadi komplikasi intraoperatif.
6. Menyatakan ketidaklayakan kondisi pasien untuk menjalani operasi kepada ahli bedah, dokter
anak maupun orang tua pasien.
Profesionalisme :
KEYNOTES
2. POKOK BAHASAN.
KATA KUNCI :
Neonatus , pediatri , kelainan kongenital , anatomi , fisiologi , farmakologi , psikologi , jalan nafas , terapi
cairan dan elektrolit , transfusi , resusitasi , analgesia regional-umum , bedah darurat , perawatan pasca
bedah-anestesia , penatalaksanaan nyeri.
WAKTU.
398
Rotasi pendidikan anestesia bedah bayi dan anak untuk peserta PPDS dilakukan pada semester IV keatas,
berlangsung selama 3 x 4 pekan, yang mencakup 8 pekan di kamar operasi dan 4 pekan di ruang rawat
intensif bayi dan anak.
3. METODE.
Pelaksanaan.
4. MEDIA.
1. Kursus / pelatihan
2. Belajar mandiri
3. Kuliah
4. Group diskusi
5. Visite, bed site teaching
6. Bimbingan tindakan anestesia dan pemulihan
7. Kasus morbiditas dan mortalitas
8. Continuing profesional development
- SDM : Staf Pengajar Divisi Anestesia Pediatrik Departemen Anestesiologi-Reanimasi dan Terapi
Intensif FK bersangkutan serta RS pendidikan yang terkait.
- Sarana : ruang kuliah dan perpustakaan Departemen Anestesiologi dan Terapi intensif, fasilitas
internet, seluruh ruang operasi elektif dan darurat di lingkungan RS pendidikan terkait.
- Alat bantu : manikin bayi / anak.
399
6. EVALUASI.
1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-tes dalam bentuk,MCQ, esai dan oral sesuai dengan tingkat
masa pendidikan, yang bertujuan untuk menilai kinerja awal yang dimiliki peserta didik dan untuk
melakukan identifikasi kekurangan yang ada.
Materi pre-tes terdiri atas:
400
Kriteria penilaian keseluruhan: cakap/ tidak cakap/ lalai.
7. Di akhir penilaian peserta didik diberi masukan dan bila diperlukan diberi tugas yang dapat
memperbaiki kinerja (task-based medical education)
8. Pencapaian pembelajaran:
Evaluasi.
Isi evaluasi :
Bentuk evaluasi :
Kognitif
- EMQ
- Multiple observation and assessments
- Multiple observers
- OSCE
- Minicheck
Skill
401
- Multiple observation and assessments
- Multiple observers
Pengetahuan
- MCQ (pre-tes)
- EMQ
Sudah Belum
No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia
dikerjakan dikerjakan
2 Persiapan puasa
Pemeriksaan tambahan
Pendekatan psikologis
Infusi lancar
PELAKSANAAN ANESTESIA
1 Premedikasi
Induksi anestesia
402
2 Rumatan anestesia
8. DAFTAR TILIK.
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur
memuaskan standard atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih
403
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
404
Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih
Layak
Tidak layak
melakukan prosedur
9. Referensi.
405
M0DUL 21 ANESTESIA PEDIATRIK II
Mengembangkan kompetensi Waktu (semester 4)
Persiapan Sesi
Audiovisual Aid:
1. LCD proyektor dan layar
2. Laptop
3. OHP
4. Flipchart
5. Pemutar video
Materi presentasi: CD PowerPoint
1. Indikasi persiapan anestesia
2. Persiapan preoperatif
Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Kamar operasi
4. Ruang pulih
5. Bangsal rawat
Kasus : anestesia pasien langsung , di ruang rawat, kamar pemeriksaan dan kamar operasi
Alat Bantu Latih : model anatomi (manikin pediatrik)
Penuntun belajar : lihat materi acuan
Daftar tilik kompetensi : lihat daftar tilik
Referensi :
406
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 3th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2002
2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006
3. Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005
4. Martini FH. Fundamental of Anatomy & Physiology. 7th ed. 2006
5. Basic & Clinical Pharmacology Katzung BG 9th ed 2004
Selain referensi wajib di atas, peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari referensi tambahan
untuk sub-modul persiapan alat dan obat anestetik yang lain.
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki pengetahuan prinsip-prinsip dasar dan teknik
lanjutan anestesia pediatrik, mampu mempersiapkan, memberikan anestesia dan mengelola pasca-
anestesia elektif maupun darurat untuk berbagai tindakan bedah pediatrik dengan kondisi penyulit dan
kelainan jalan nafas.
Setelah melalui sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi berikut ini:
1. KOMPETENSI
Mampu mengenali dan melakukan persiapan preoperatif pasien, melakukan pembiusan umum maupun
regional yang baik dan tepat, pemantauan, mecegah komplikasi dan penatalaksanaan pasca-anestesia
pediatrik dengan penyulit.
RANAH KOMPETENSI
Kognitif
1. Menjelaskan penatalaksanaan anestesia untuk kasus bayi dan anak dengan sepsis, kelainan jalan
nafas, kesulitan intubasi dan ventilasi seperti labiopalatognatoskisis bilateral komplit, Pierre
Robin, tumor gigi mulut dan jalan nafas.
2. Menjelaskan hal penting apa saja yang harus diperhatikan pada kasus bayi dengan kelainan
kongenital dan anomali seperti hernia diafragmatika, omfalokel, gastroskisis, fistel trakeo-
esofagus.Mampu menjelaskan penatalaksanaan anestesia untuk kasus bayi dengan kelainan
kongenital dan anomali seperti hernia diafragmatika, omfalokel, gastroskisis, fistel trakeo-
esofagus.
3. Menjelaskan mekanisme terjadinya spasme laring, spasme bronkus, edema glotis dan trakea pada
bayi dan anak.
407
4. Menjelaskan mekanisme terjadinya hipotermia pada kasus pediatrik, cara mencegah, cara
mengatasi dan komplikasi apa saja yang dapat ditimbulkannya
5. Menjelaskan cara mencegah dan mengatasi spasme laring, spasme bronkus, edema glotis dan
trakea yang terjadi pada bayi dan anak.
6. Menjelaskan penatalaksanaan analgesia regional, dosis dan jenis obat analgetik lokal apa saja
yang dapat dipakai untuk bayi dan anak.
Psikomotor
1. Mampu mengevaluasi jalan nafas yang normal dan abnormal secara klinis dan radiologis pada
pasien pediatrik.
2. Mampu menyiapkan kamar bedah secara lengkap untuk operasi pediatrik.
3. Mampu memasang dan mengatur alat, obat-obat, cairan dan kelengkapan lain yang diperlukan
untuk operasi pediatrik.
4. Mampu mempersiapkan alat untuk monitor noninvasif dan invasif.
5. Mampu mempersiapkan alat untuk transfusi darah pasien pediatrik.
6. Mampu melakukan pengecekan kelengkapan alat pembiusan, mesin anestesia dan obat , cairan
yang diperlukan untuk anestesia umum maupun regional.
7. Mampu melakukan akses vena perifer dengan jarum 20-24G dan akses vena sentral.
8. Mampu melakukan induksi anestesia umum pada pasien pediatrik dengan penyulit.
9. Mampu melakukan ventilasi pada pasien pediatrik dengan kelainan jalan nafas menggunakan
sungkup muka, bag dan oral jalan nafas yang sesuai.
10. Mampu melakukan intubasi trakea dengan/tanpa teknik cepat, terutama pada pasien pediatrik
dengan penyulit maupun kelainan jalan nafas.
11. Mampu melakukan ventilasi tekanan positif melalui pipa trakea.
12. Mampu memberikan anestesia pediatrik dengan posisi pasien lateral, litotomi dan telungkup.
13. Mampu melakukan tindakan anestesia pada kasus khusus dengan kelainan kongenital dan
anomali (lihat prosedur anestesia umum, intubasi dan pemasangan LMA).
14. Mampu melakukan jalur akses / pengambilan darah intraarterial.
15. Mampu melakukan transportasi pasien ke ruang pulih, ruang rawat atau PICU
16. Mampu melakukan tindakan atau terapi terhadap komplikasi yang biasa terjadi di ruang pulih.
Kemampuan komunikasi
7. Melakukan koordinasi dan diskusi mengenai penatalaksanaan anestesia pada kasus bedah bayi
dan anak.
8. Melakukan koordinasi, konsultasi, diskusi dengan ahli bedah dan dokter anak mengenai
penatalaksanaan perioperatif, terutama untuk kasus sulit dan berproblema.
9. Mengumpulkan data dan literatur mengenai penatalaksanaan anestesia bayi dan anak, terutama
untuk kasus sulit dan berproblema.
10. Menjelaskan kepada orang tua dan keluarga pasien mengenai pentingnya dilakukan operasi dan
rencana anestesia yang akan dilakukan.
11. Memperoleh persetujuan setelah mendapatkan informasi yang adekuat secara lisan dan tertulis.
12. Melakukan koordinasi yang baik dengan tim bedah bila terjadi komplikasi intraoperatif.
13. Menyatakan ketidaklayakan kondisi pasien untuk menjalani operasi kepada ahli bedah, dokter
anak maupun orang tua pasien.
14. Mendiskusikan perlunya perawatan di ruang perawatan intensif anak pascabedah.
408
Profesionalisme
1. Menghormati dan bersikap etis pada pasien, keluarga pasien, sejawat lain, atasan, bawahan
2. Mengetahui tugas sehari hari
3. Datang /hadir tepat waktu
4. Mampu melakukan pekerjaan sesuai prosedur
5. Mengatasi problema bersama ahli bedah agar tidak terjadi penundaan operasi.
2. KEYNOTES
1. Kapasitas residu fungsional pada bayi lebih kecil sehingga cadangan oksigen pada periode apnea
terbatas, sehingga mudah terjadi atelektasis dan hipoksemia.
2. Bayi memiliki kepala yang besar, lidah yang besar, laring yang lebih sempit, lebih anterior dan
sefalad, epiglotis yang lebih panjang, trakea yang lebih pendek dan bagian tersempit sekitar
kartilage krikoid, dan bernafas terutama lewat hidung, sehingga memerlukan teknik khusus dalam
melakukan ventilasi dan intubasi.
3. Fungsi pompa jantung kiri yang belum sempurna di mana curah jantung sangat bergantung pada
laju jantung (HR).
4. Hipotermia sangat mudah terjadi karena kulit yang tipis, cadangan lemak coklat yang sedikit, luas
penampang tubuh yang mempermudah pelepasan panas, sehingga akibatnya dapat menghambat
proses siuman dan pemulihan, mengganggu fungsi jantung dan menekan pernafasan, dan
mempengaruhi kerja obat anestetik.
5. Bayi dan anak memiliki volume ventilasi permenit yang lebih tinggi dengan kapasitas residu
fungsional yang rendah terhadap aliran darah paru yang tinggi menyebabkan konsentrasi gas
inhalasi alveolus cepat meningkat sehingga proses induksi dan pemulihan lebih cepat terjadi.
6. Infeksi saluran nafas atas dalam 2-4 pekan sebelum tindakan anestesia dan intubasi meningkatkan
risiko terjadinya spasme laring.
7. Spasme laring dapat dicegah dengan melakukan ekstubasi saat pasien masih teranestesia cukup
dalam atau saat sudah sadar betul.
8. Edema laring dan trakea sering terjadi pada anak usia di bawah 4 tahun, antara lain akibat
intubasi berulang, penggunaan ETT yang terlalu besar, operasi daerah kepala leher yang lama.
9. Teknik pembiusan untuk bedah pediatrik didasarkan pada pengetahuan mengenai anatomi,
fisiologi, patofisiologi, farmakologi, pemberian cairan dan transfusi darah.
10. Pemilihan teknik anestesia berdasarkan kasus bedah elektif atau darurat, bergantung pada jenis
operasi, lama operasi, penatalaksanaan pascabedah dan fasilitas rumah sakit.
11. Terjadi perubahan fisiologi pernafasan, kardiovaskular akibat tindakan selama anestesia pada
operasi pediatrik.
12. Pada kasus operasi abdomen pediatrik terdapat indikasi untuk melakukan induksi cepat
13. Setting ventilator merupakan hal penting selama anestesia umum untuk bedah pediatrik.
14. Beberapa prosedur operasi memiliki posisi dan risiko tersendiri misalnya posisi telungkup,
miring, duduk, litotomi, posisi ginjal.
15. Terapi cairan dan transfusi darah merupakan salah satu prosedur yang sering dilakukan sesuai
indikasi selama operasi.
16. Pasien pediatrik terutama neonatus memiliki risiko hipotermia yang tinggi sehingga perlu
diketahui penyebabnya, cara pencegahan, cara penanggulangan dan komplikasi yang dapat
ditimbulkannya
17. Penting memiliki pengetahuan mengenai farmakologi klinis obat anestetik intravena, inhalasi,
opioid, sedatif, pelumpuh otot.
409
18. Mual muntah, hipotermia dan nyeri pascabedah merupakan komplikasi yang sering terjadi
pascabedah pediatrik.
3. GAMBARAN UMUM
Anestesia Pediatrik II diperlukan pada kasus-kasus pediatrik/neonatus elektif maupun darurat yang
disertai penyulit. Kasus pediatrik tersebut misalnya operasi hernia diafragmatika, omfalokel, gastroskisis,
fistel trakeo-eofageal, atresia ileum, jejunum yang disertai distensi abdomen, labiopalatognatoskisis,
operasi tumor jalan nafas, yang disertai kondisi penyulit seperti sepsis, gangguan/anomali organ,
kongenital, maupun kelainan jalan nafas. Dengan demikian, pemilihan jenis prosedur dan obat-
obatan/bahan anestesia harus dipadankan dengan kondisi pasien, jenis tindakan bedah, lamanya prosedur
bedah, risiko dan fasilitas rumah sakit. Hal-hal seperti inilah yang kemudian perlu untuk diketahui dan
dikuasai oleh petugas pelaksana anestesia dan modul ini disusun untuk mencapai tujuan tersebut.
4. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah proses alih pengetahuan, keterampilan dan perilaku melalui modul ini, diharapkan peserta didik
memiliki kemampuan untuk:
1. memilih/seleksi pasien pediatrik untuk operasi yang relatif sulit dan disertai kondisi penyulit
2. melaksanakan persiapan preoperatif
3. menguasai teknik anestesia khusus dan penggunaan obat yang sesuai untuk anestesia pediatrik
4. memberikan anestesia umum dan regional
5. melakukan pemantauan
6. mengelola pasca-anestesia pasien pediatrik
5. METODE PEMBELAJARAN
1. Bahan acuan
2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran
3. Ilmu klinis dasar
Tujuan 1 : memilih/seleksi pasien pediatrik untuk operasi yang relatif sulit dan disertai kondisi
penyulit
Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)
410
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktek klinis
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
Pemilihan pasien bergantung pada kepada kasus elektif atau darurat, kondisi pasien, jenis
operasi, lama operasi, penatalaksanaan pascabedah, dan fasilitas rumah sakit.
Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktek klinis
Tujuan 3 : menguasai teknik anestesia khusus dan penggunaan obat yang sesuai untuk anestesia
pediatrik
Metode pembelajaran
1. Diskusi kelompok kecil
2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education
5. Demo & Coaching
6. Praktek klinis
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Mengetahui bahwa anestesia kasus bedah pediatrik sederhana tanpa penyulit dapat dilakukan
dengan anestesia umum, analgesia regional, atau MAC
2. Menguasai jenis-jenis anestesia untuk tindakan bedah pediatrik sederhana tanpa kondisi penyulit
dan persiapan untuk melaksanakan prosedur tersebut.
3. Menguasai resusitasi neonatus lanjutan
411
Metode pembelajaran
1. Diskusi kelompok kecil
2. Studi Kasus
3. Bedside teaching
4. Demo & Coaching dengan menggunakan Penuntun Belajar
5. Praktek klinis
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
Anestesia umum inhalasi dengan sungkup muka, intubasi dan LMA, intravena (lihat modul
anestesia umum dan prosedur intubasi pediatrik).
Analgesia regional spinal, epidural, kaudal (lihat modul analgesia regional)
Metode pembelajaran
1. Diskusi kelompok kecil
2. Studi Kasus
3. Bedside teaching
4. Demo & Coaching dengan menggunakan Penuntun Belajar
5. Praktek klinis
1. Pemantauan anestesia kasus bedah pediatrik noninvasif dan invasif meliputi EKG, NIBP, saturasi
O2, temperatur, keluaran urin, tekanan vena sentral dan IABP
2. Pemantauan selama prosedur anestesia sejak awal hingga akhir prosedur bedah
Metode pembelajaran
1. Diskusi kelompok kecil
2. Studi Kasus
3. Bedside teaching
4. Demo & Coaching
5. Praktek klinis
412
6. MEDIA
1. Kursus / pelatihan
Pelatihan di skill lab ventilasi sungkup, intubasi, LMA pada manikin pediatrik.
2. Belajar mandiri
3. Kuliah
4. Diskusi kelompok
a. Pelatihan anestesia umum dan regional di kamar bedah pada pasien bedah pediatrik
8. EVALUASI
8.1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-tes dalam bentuk esai dan lisan untuk menilai kinerja awal
peserta didik dan melakukan identifikasi kekurangan yang ada. Materi pre-tes terdiri atas :
413
2. Persiapan preoperatif
3. Pemilihan teknik anestesia dan penggunaan obat yang sesuai untuk anestesia bedah pediatrik
4. Penatalaksanaan anestesia umum dan regional
5. Pemantauan
6. Penatalaksanaan pasca-anestesia pasien pediatrik
8.2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang teridentifikasi,
membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.
8.3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam penuntun belajar pada
manikin anestesia bersama teman-temannya (peer assisted learning), dievaluasi oleh teman-
temannya (peer assisted evaluation).
8.4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di bawah pengawasan
fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien sesungguhnya. Pada saat pelaksanaan,
evaluator melakukan pengawasan langsung dan mengisi lembar penilaian:
- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak dilakukan
- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya tindakan anestesia tidak
mulus sehingga kurang memberi kenyamanan kepada pasien
8.5. Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.
8.6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun belajar.
8.8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan atau diberi
tugas untuk memperbaiki kinerja.
Isi pre-tes :
1. Jelaskan perbedaan anatomi, fisiologi, farmakologi pada bayi anak dan orang dewasa.
2. Jelaskan hal apa saja yang perlu diperhatikan pada kunjungan praanestesia, meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang, premedikasi, puasa pada bayi dan
anak.
3. Jelaskan penatalaksanaan perioperatif pasien bayi dan anak dengan infeksi saluran nafas atas.
414
4. Jelaskan perbedaan, jenis dan ukuran ETT, LMA, laringoskop dan sistem sirkuit nafas yang
dipakai untuk anestesia bayi, anak dan orang dewasa.
5. Jelaskan pemberian cairan intraoperatif bayi dan anak, seperti jumlah dan jenis cairan yang
diberikan.
6. Bagaimana menghitung volume darah total pada bayi dan anak, banyaknya perdarahan yang
boleh hilang selama operasi dan kapan membutuhkan transfusi darah.
7. Jelaskan obat premedikasi apa saja dan cara pemberiannya untuk bayi dan anak.
8. Jelaskan cara induksi apa saja yang dapat dilakukan untuk bayi dan anak.
9. Jelaskan prinsip persiapan anestesia untuk bedah pediatrik elektif dan darurat
10. Jelaskan penatalaksanaan anestesia untuk kasus bayi dan anak dengan problema jalan nafas,
kesulitan intubasi dan ventilasi seperti labiopalatognatoskisis bilateral komplit, Pierre Robin,
tumor gigi mulut dan jalan nafas.
11. Jelaskan penatalaksanaan anestesia untuk kasus bayi dan anak dengan kelainan kongenital
dan anomali seperti hernia diafragmatika, omfalokel, gastroskisis, fistel trakeo-esofagus, dan
hal penting apa saja yang harus diperhatikan pada masing-masing kelainan.
12. Jelaskan penanggulangan nyeri pascabedah pasien pediatrik.
Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).
Bentuk ujian :
1. PengetahuanKognitif
- MCQ
- EMQ
Ujian lisan
415
- Multiple observers
Tindakan / operasi :
2 Penentuan ASA :
4 Pemasangan monitor
ANESTESIA
2 Analgesia regional
7. Tindakan ekstubasi
PENATALAKSANAAN PASCABEDAH
416
Prosedur Intubasi pada pasien pediatrik :
417
No. Prosedur intubasi endotrakeal pada Pasien Pediatrik Dilakukan
1. Periksa kesiapan alat dan obat yang diperlukan. Periksa laringoskop dan
lampunya berfungsi dengan baik.
2. Berikan oksigen 100% melalui sungkup muka. Pastikan tidak ada kesulitan
ventilasi.
3.
Pegang sungkup sembari melakukan manuver angkat dagu dengan satu tangan.
Jika jalan nafas belum bebas, lakukan buka mulut dan dorong mandibula ke
depan dengan dua tangan.
11. Bila epiglotis terangkat dengan benar akan tampak rima glotis dengan pita
suara berwarna putih, berbentuk huruf V terbalik.
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan memuaskan,
dan berikan tanda X bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah / tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau penuntun
X Tidak memuaskan Tidak mampu untuk mengerjakan langkah /tugas sesuai dengan prosedur
standard atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dialakukan oleh peserta Latih selama
penilaian oleh pelatih
419
Peserta dinyatakan: Tanda tangan pelatih
Layak
Tidak layak
Melakukan prosedur
Pasien kasus bedah pediatrik dengan penyulit yang menjalani anestesia harus dilakukan penatalaksanaan
preoperatif ; allo/autoanamnesis, pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang, persetujuan setelah
mendapatkan informasi yang adekuat dan lakukan persiapan anestesia (puasa, rencana premedikasi).
Pasien elektif anak puasa 2, 4, 6, 8 jam bergantung pada intake nya. Dilakukan penetapan status fisis
ASA.
Persiapan anestesia meliputi STATICS, obat, mesin anestesia sesuai dengan tindakan anestesia yang
dipilih. Periksa kesiapan alat dan obat yang diperlukan seperti : laringoskop bayi/anak (Miller dan
Macintosh) dan lampunya berfungsi dengan baik, ETT dengan kaf atau tanpa kaf, mandren bayi, cunam
Magill, sungkup bayi, LMA. Berikan obat premedikasi untuk menenangkan pasien, bisa secara oral atau
intramuskular. Setelah semua persiapan alat dan obat lengkap, pastikan ada asisten yang membantu
tindakan anestesia. Pemasangan jalur intravena dan jalur infusi terkadang memerlukan premedikasi atau
induksi inhalasi terlebih dahulu. Posisikan pasien dalam sniffing position dengan mengganjal bagian
bawah leher, atau mengganjal bawah bahu setinggi 5-10 sm. Hindari hiperekstensi leher. Berikan oksigen
100% melalui sungkup muka. Pastikan dulu apakah ada kesulitan ventilasi. Pegang sungkup sembari
melakukan manuver angkat dagu dengan satu tangan. Jika ventilasi tidak bebas, lakukan mouth opening
dan dorong mandibula dengan dua tangan. Bila ventilasi sulit dapat dilakukan dengan berbagai sungkup
muka atau LMA atau intubasi sadar tanpa relaksan. Bila ventilasi baik dengan melihat kembang-
kempisnya balon (anesthetic bag). Berikan obat induksi. Pastikan kesadaran pasien hilang. Bila jalan
nafas aman dapat diberikan pelumpuh otot. Pastikan obat telah bekerja pada otot nafas. Berikan nafas
420
buatan dengan oksigen 100% selama 2-3 menit. Lakukan laringoskopi dengan laringoskop bilah lurus
(Miller). Pegang gagang dengan tangan kiri. Pastikan lagi cahaya lampu laringoskop cukup terang. Buka
mulut pasien. Masukkan daun melalui sudut kanan mulut. Geser lidah ke kiri sambil meneruskan daun ke
dalam, menyusuri pinggir kanan lidah menuju laring. Perhatikan epiglotis. Letakkan ujung daun pada
vallecula. Angkat epiglotis ke depan (bukan diungkit) dengan daun. Bila epiglotis terangkat dengan benar
akan tampak rima glotis dengan pita suara berwarna putih, berbentuk huruf V terbalik. Masukkan pipa
endotrakeal dengan tangan kanan hingga batas berwarna hitam melewati pita suara, atau jika pipa
mempunyai kaf dimasukkan hingga seluruh kaf melewati pita suara. Yakinkan bunyi nafas kanan dan kiri
sama. Lakukan fiksasi pipa endotrakeal. Berikan nafas buatan dengan resuscitation bag atau anesthesia
bag. Jika dilakukan intubasi sadar atau dengan nafas spontan, harus diberikan sedasi yang cukup dan
anestetik topikal. Untuk menghindari refleks vagal dapat diberikan injeksi atropin 0,1 mg intravena.
Analgesia regional dilakukan sesuai modul analgesia regional dengan memakai prinsip anatomi, fisiologi
dan farmakologi untuk pasien pediatrik. Lakukan pemantauan fungsi vital oksigenasi, saturasi Hb
(SpO2), tekanan darah, nadi, EKG, suhu, aliran cairan infusi, ventilasi dengan ETCO2 kalau ada,
produksi urin, jumlah perdarahan. Bila diperlukan pemasangan jalur vena sentral atau intra arterial. Atur
kebutuhan obat untuk pertahankan sedasi, analgesia dan relaksasi. Untuk beberapa kasus dibutuhkan
pemasangan NGT.
Akhir operasi yakinkan pasien bernafas spontan dan volume nafas adekuat (kecuali bila direncanakan
untuk melanjutkan bantuan nafas pascabedah). Bila perlu berikan antidotum obat-obat yang
menyebabkan apnea berkepanjangan atau hipoventilasi . Lakukan pengakhiran anestesia dengan mulus,
dan mengawasi masa siuman. Lakukan pengawasan terhadap komplikasi pascabedah dan
penanggulangan terhadap mual muntah, nyeri, obstruksi jalan nafas, gangguan oksigenasi, bradipnea,
apnea, gangguan tekanan darah, dan lama pulih sadar. Mortalitas dapat terjadi bergantung pada kondisi
awal, ASA, atau penyakit penyerta.
12. REFERENSI
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 3th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2002
2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006
3. Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005
4. Martini FH. Fundamental of Anatomy & Physiology. 7th ed. 2006
421
422
MODUL 22 ANESTESIA BEDAH SARAF I
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
CD PowerPoint
Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang pulih
4. Bangsal rawat inap/pengamatan lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU
Referensi :
423
1. Cottrell JE, Smith DS. Anesthesia and Neurosurgery, 4 th ed. St Louis : Mosby;
2001.
2. Newfield P, Cottrell JE. Handbook of Neuroanesthesia, 4th ed, Philadelphia :
Lippincott Williams&Wilkins ; 2007.
3. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New
York : Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
4. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed. Philadelphia :
Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
5. ISNAML participant workbook 2007.
Selain referensi wajib di atas, peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari
referensi tambahan untuk anestesia untuk bedah saraf seperti yang diuraikan berikut
ini:
TUJUAN UMUM
TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi dalam ranah-ranah
berikut ini :
Kognitif:
424
10. Memahami pilihan-pilihan untuk mengatasi peningkatan tekanan intrakranial
11. Memahami cara melakukan proteksi otak perioperatif.
Psikomotor
Komunikasi
Profesionalisme
1. Mampu mengenali dan memahami urgensi dari berbagai kasus bedah saraf
2. Memberikan pelayanan yang baik untuk penatalaksanaan perioperatif pasien
bedah saraf.
KEYNOTES:
GAMBARAN UMUM
Untuk dapat mengelola pasien pembedahan bedah saraf maka para peserta didik harus
mengerti dan memahami neuroanatomi, neurofisiologi, neurofarmakologi, pemantauan,
penatalaksanaan kenaikan tekanan intrakranial, anestesia untuk pasien dengan trauma
otak, proteksi otak perioperatif.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Memberikan anestesia pada operasi intrakranial, operasi di luar otak akan tetapi
426
pasiennya mempunyai kelainan otak, bedah spinal dan kolumna verebralis.
METODE PEMBELAJARAN
1. Bahan acuan
2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran
3. Ilmu klinis dasar
Tujuan 2: Mampu memberikan anestesia untuk operasi di luar otak akan tetapi
pasiennya mempunyai kelainan otak.
Tujuan 3: Mampu memberikan anestesia untuk bedah spinal dan columna verebralis,
MEDIA
1. Papan tulis
2. Komputer
3. LCD dan slide projector
4. Pasien di kamar bedah dan PACU
427
ALAT BANTU PEMBELAJARAN
1. Virtual patients
2. Reading assigment
3. Audiovisual
4. Perpustakaan, internet, skill lab
EVALUASI
1. Kognitif :
EMQ
Multiple observers/raters
OSCE
Minicheck
2. Skill / psikomotor:
Multiple observations and assessments
Multiple observers
OSCE
Minicheck
Multiple observers/rater
Multiple observers/rater
Pre-tes
428
likuor serebrospinalis, metabolisme otak, dan tekanan intrakranial.
4. Terangkan tentang penatalaksaaan jalan nafas pada pasien dengan cedera trauma
otak.
5. Jelaskan tentang patofisiologi peningkatan tekanan intrakranial (hal-hal apa saja
yang dapat menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial).
6. Terangkan tentang cara penilaian GCS.
7. Bagaimana tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial pada pasien yang masih
sadar dan tidak sadar.
8. Bagaimana penatalaksanaan pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial.
9. Jelaskan tentang ABCDE neuroanestesia.
10. Jelaskan tentang cara melakukan proteksi otak pada periode perioperatif.
Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan
(semester).
Bentuk ujian :
1. Kognitif
EMQ
Multiple observers
OSCE
Minicheck
2. Skill/psikomotor
Multiple observation and assessments
Multiple observers
OSCE
Minicheck
429
3. Afektif: Profesionalisme Communication and Interpersonal Skills
Multiple observation and assessments
Multiple observers
Tindakan / operasi :
2 Penentuan ASA
4 Pemasangan monitor
ANESTESIA
2 Pemantauan
5 Ekstubasi
PENATALAKSANAAN PASCABEDAH
430
DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standard atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
431
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
432
MATERI ACUAN
Dokter anestesia akan terlibat secara menyeluruh dalam penanganan pasien cedera
kepala, mulai di Unit Gawat Darurat (UGD), kamar bedah, dan perawatan di Unit
Perawatan Intensif (UPI). Penatalaksanaan perioperatif ini memerlukan pengetahuan
yang mendalam mengenai fisiologi otak yang normal dan patofisiologi cedera kepala
akut sehingga harus mengerti tentang fisiologi dan farmakologi dari aliran darah otak,
metabolisme serebral, dan tekanan intrakranial.
Aliran darah otak bergantung pada tekanan arteri serebral dan resistensi
pembuluh-pembuluh serebral. Aliran darah otak rata-rata sekitar 50-
54_ml/100_gr/menit. Bila aliran darah otak 20 ml/100 gr/menit, elektroensefalografi
(EEG) menunjukkan tanda iskemik. Bila aliran darah otak 6-9 ml/100 gr/menit, Ca 2+
masuk ke dalam sel. Aliran darah otak proporsional terhadap tekanan perfusi otak.
Tekanan perfusi otak adalah perbedaan tekanan arteri rata-rata (pada saat masuk)
dengan tekanan vena rata-rata (saat keluar) pada sinus sagitalis lymph / serebral venous
junction. Nilai normalnya 80-90_mmHg. Akan tetapi, secara praktis, adalah perbedaan
tekanan arteri rata-rata (MAP= mean arterial pressure) dan tekanan intrakranial rata-rata
yang diukur setinggi foramen Monroe. Tekanan perfusi otak _=_MAP_ tekanan
intrakranial, akan menurun bila ada penurunan tekanan arteri atau kenaikkan tekanan
intrakranial. Bila tekanan perfusi otak turun sampai 50 mmHg, EEG akan terlihat
melambat dan ada perubahan-perubahan ke arah serebral iskemia. Tekanan perfusi otak
kurang dari_40_mmHg, EEG menjadi datar, menunjukkan adanya proses iskemik yang
berat yang bisa reversibel atau ireversibel. Bila tekanan perfusi otak kurang
dari_20_mmHg untuk jangka waktu lama, terjadi iskemik neuron yang ireversibel .
Pasien cedera kepala dengan tekanan perfusi otak kurang dari 70 mmHg akan
mempunyai prognosa yang buruk. Pada tekanan intrakranial yang tinggi, supaya tekanan
perfusi otak adekuat, maka perlu tetap mempertahankan tekanan darah yang normal atau
sedikit lebih tinggi. Usaha kita adalah untuk mempertahankan tekanan perfusi otak
normal, oleh karena itu, hipertensi yang memerlukan terapi adalah bila tekanan arteri
rata-rata lebih besar dari_130-140_mmHg.
433
Gambar 2.4 : Luxury Perfusion
Gambar
Gambar 2.1 : 2.5 : Hubungan
Fungsi Volume dandengan
Otak Dihubungkan TekananPaO 2, DO2,
Aliran Darah Otak danIntrakranial
Tekanan Perfusi Otak.
Gambar 2.3 : Pengaturan aliran darah otak.
434
435
MODUL 23 ANESTESIA BEDAH SARAF II
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
CD PowerPoint
Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang Pulih
4. Bangsal Rawat Inap/Pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU
Referensi :
1. Cottrell JE, Smith DS. Anesthesia and Neurosurgery, 4th ed. St Louis : Mosby; 2001.
436
2. Newfield P, Cottrell JE. Handbook of Neuroanesthesia, 4th ed, Philadelphia : Lippincott
Williams&Wilkins ; 2007.
3. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New York :
Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
4. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed. Philadelphia :
Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
5. ISNAML participant workbook 2007.
TUJUAN UMUM
Memberikan anestesia pada operasi intrakranial, operasi di luar otak akan tetapi pasiennya
mempunyai kelainan otak, bedah spinal dan columna verebralis, anestesia pada prosedur
intervensional neuroradiologi di dalam maupun di luar kamar operasi. Mampu melakukan
proteksi otak selama periode perioperatif
TUJUAN KHUSUS
Kognitif:
Psikomotor
437
(keberhasilan 75%)
6. Mampu memasang kateter vena sentral tanpa mengganggu drainase vena serebral
(75% berhasil).
7. Mampu melakukan induksi anestesia umum untuk operasi besar, rumatan, ekstubasi
tanpa gejolak hemodinamik.
8. Mampu melakukan intubasi pasien dengan kelanan serebral atau cervikal dengan
benar (dengan fibreoptic intubation, kalau ada).
9. Mampu melakukan teknik anestesia hipotensif.
10. Mampu menilai adanya embolusudara dan menanganinya.
11. Mampu memberikan anestesia pada prosedur diagnostik (MRI, CTScan)
12. Mampu menangani komplikasi pascabedah saraf diruang pulih
13. Mampu melakukan tindakan proteksi otak selama periode perioperatif.
Komunikasi
1. Berkomunikasi dengan ahli bedah tentang prosedur yang akan dilakukan, posisi
yang diperlukan, dan keadaan kekhususan lainnya.
2. Mengetahui hasil pemeriksaan diagnostik yang diperlukan untuk rencana anestesia
3. Ikut dalam rencana pemantauan pascabedah pada pasien bedah saraf yang kritikal.
Profesionalismee
1. Mampu mengenali dan memahami urgensi dari berbagai kasus bedah saraf
2. Memberikan pelayanan yang baik untuk penatalaksanaan perioperatif pasien bedah
saraf.
KEYNOTES:
438
berat, hipoksia, dan kejang.
9. Isi rongga kranium adalah jaringan otak (80%), darah (12%), dan cairan
serebrospinal (8%). Setiap peningkatan salah satu komponen akan
dikompensasi dengan penurunan volume yang lain untuk mencegah kenaikan
tekanan intrakranial.
10. Dengan pengecualian ketamin, semua obat anestetik intravena menurunkan
metabolisme otak dan aliran darah otak.
11. Autoregulasi antara MAP 50-150 mmHg. MAP yang < 50 mmHg akan
menimbulkan iskemia otak dan bila MAP > 150 mmHg dapat menimbulkan
edema otak atau perdarahan otak.
12. Hipotermia merupakan metode yang efektif untuk proteksi otak selama
iskemia fokal atau global.
13. Pada penelitian manusia dan binatang barbiturat efektif untuk perlindungan
otak pada keadaan fokal iskemia.
14. Semua obat anestetik inhalasi bersifat serebral vasodilator.
15. Sasaran terapi pada trauma otak adalah normotensi, normokania,
normovolemia, isoosmoler, normotermi
16. Tekanan intrakranial normal 5-15 mmHg, bila sudah > 20 mmHg harus
segera diterapi, akan tetapi herniasi otak sudah dapat terjadi pada tekanan
intrakranial 18 mmHg.
17. Problema utama pada operasi tumor supratentorial/meningioma besar adalah
perdarahan.
18. Problema utama pada operasi fosa posterior/infratentorial adalah embolus
udara.
GAMBARAN UMUM
Untuk dapat mengelola pasien pembedahan bedah saraf maka para peserta didik harus mengerti
dan memahami neuroanatomi, neurofisiologi, neurofarmakologi, pemantauan, penatalaksanaan
kenaikan tekanan intrakranial, anestesia untuk pasien dengan trauma otak, proteksi otak
perioperatif, anestesia untuk pasien dengan tumor otak, embolusudara pada anestesia pasien
dengan posisi kepala lebih tinggi/posisi duduk, penatalaksanaan cedera medula spinalis,
anestesia untuk pasien dengan prosedur neuroradiologis intervensional
TUJUAN PEMBELAJARAN
Memberikan anestesia pada operasi tumor intrakranial, operasi di luar otak akan tetapi
pasiennya mempunyai kelainan otak, bedah spinal dan kolumna verebralis.
439
METODE PEMBELAJARAN
1. Bahan acuan
2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran
3. Ilmu klinis dasar
Tujuan 2: Mampu memberikan anestesia untuk operasi di luar otak akan tetapi pasiennya
mempunyai kelainan otak.
Tujuan 3: Mampu memberikan anestesia untuk bedah spinal dan columna verebralis,
MEDIA
1. Papan tulis
2. Komputer
3. LCD dan slide projector
4. Pasien di kamar bedah dan PACU
440
1. Virtual patients
2. Reading assigment
3. Audiovisual
4. Perpustakaan, internet, skill lab
EVALUASI
1. Kognitif :
EMQ
Multiple observers/raters
OSCE
Minicheck
2. Skill :
Multiple observations and assessments
Multiple observers
OSCE
Minicheck
Multiple observers/rater
4. Professionalisme
Multiple Observations and assessments
Multiple observers/rater
5. Pengetahuan
MCQ (pre-tes)
EMQ
Pre-tes
441
yang dapat menimbulkan peningkatan tekanan intrakranial).
4. Terangkan tentang cara penilaian GCS.
5. Bagaimana tanda-tanda peningkatan tekanan intrakranial pada pasien yang masih
sadar dan tidak sadar.
6. Bagaimana penatalaksanaan pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial.
7. Jelaskan tentang ABCDE neuroanestesia.
8. Bagaimana melakukan proteksi otak perioperatif.
Pembelajaran independen
Proses Pembelajaran
Kuliah introduksi
Tindakan / operasi :
2 Penentuan ASA :
4 Pemasangan monitor
ANESTESIA
442
1 Induksi dan pemeliharaan anestesia umum
2 Pemantauan
PENATALAKSANAAN PASCABEDAH
DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila
tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau
penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan
memuaskan prosedur standard atau penuntun
T/D Tidak Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih
diamati selama penilaian oleh pelatih
443
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
444
melakukan prosedur
MATERI ACUAN
Pendahuluan
Anestesia untuk bedah saraf memerlukan pengetahuan mengenai prinsip dasar dari
neurofisiologi dan pengaruh obat anestetik pada dinamika intrakranial (neurofarmakologi).
Kebanyakan prosedur bedah saraf intrakranial adalah karena adanya lesi massa. Prosedur
supratentorial termasuk operasi untuk tumor, hematom, trauma, dan vaskular. Walaupun
gambaran patofisiologis berbeda untuk setiap lesi yang berbeda, tetapi pertimbangan
anestesianya sama.
Pada tahun 2001 di USA > 180.000 pasien ditegakkan diagnosis tumor serebri. Kira-kira
36.000 pasien ditegakkan diagnosis sebagai tumor otak primer dan lebih dari 150.000 pasien
merupakan metastase dari tumor buah dada, paru, melanoma atau kanker di tempat lain.
Tumor otak primer yang dilaporkan adalah meningioma (26%), glioblastoma (23%), dan
astrositoma (13%). Kira-kira 10% tumor otak primer terjadi pada anak dan mempunyai
predominan yang berbeda dengan dewasa, misalnya astrositoma 37,5%, meduloblastoma
16%. Umumnya tumor otak lebih banyak mengenai laki-laki daripada wanita. Distribusi dari
keseluruhan tumor otak dan tumor SSP menunjukkan bahwa kebanyakan merupakan tumor
supratentorial (36%) dan hanya 6,5% merupakan tumor infratentorial.
Astrosit anaplastik dan glioblastoma merusak BBB. Aliran darah ke tumor bervariasi, akan
tetapi, autoregulasi umumnya hilang dan adanya hipertensi menyebabkan meningkatnya
aliran darah ke tumor. Adanya edema yang luas di sekeliling tumor akan menambah efek
massa. Daerah ini juga mungkin menderita iskemia akibat kompresi, aliran darah peritumor
28 % lebih rendah dari jaringan hemisfer yang kontralateral. Reseksi meningioma total akan
menyebabkan rendahnya rekurent daripada reseksi parsial, maka prosedur bedah untuk
meningioma lebih rumit dan lebih lama daripada debulking untuk tumor glia. Prosedur bedah
untuk supratentorial sering melalui frontal atau pterional. Pendekatan pterional dilakukan
melalui lobus temporal dan memerlukan pemutaran kepala pasien ke posisi yang berlawanan.
Pada pendekatan frontal, termasuk bi-frontal kraniotomi untuk lesi bi-lateral atau lesi di garis
tengah. Karena sinus sagitalis berjalan transversal, maka ada risiko perdarahan dan embolus
udara pada pendekatan bi-frontal.
Tumor dalam SSP menimbulkan gejala karena efek penekanan pada struktur saraf
sehingga terjadi gejala neurologis spesifik atau kenaikan ICP yang tidak spesifik, atau adanya
445
kejang-kejang. Kejang dan defisit neurologis fokal bisa disebabkan karena efek penekanan oleh
tumor. Tumor pada kelenjar hipofise menimbulkan efek hormonal. Beberapa tumor harus
dieksisi, lainnya hanya paliatif dengan dekompresi, pemasangan VP-pintasan, atau radioterapi.
Edema hebat di sekeliling tumor sering terjadi pada tumor malignan. Meningioma yang besar
tetapi jinak sering khas dengan tingginya pintasan aliran darah dalam tumor. Dalam jaringan
tumor autoregulasi hilang, juga hal ini terjadi di jaringan sekeliling tumor. Bila ada penekanan
dan efek tekanan yang nyata oleh tumor, dan selanjutnya terjadi kenaikan ICP bisa terjadi
herniasi tentorial. Karena itu pertimbangan prinsip untuk anestesia tumor serebri adalah
pengendalian ICP.
Kebanyakan tumor supratentorial bersifat jinak, dan astrositoma yang kurang agresif
dapat diangkat secara lengkap. Kesulitan bisa terjadi dengan beberapa tumor, misalnya
meningioma yang berdekatan dengan struktur penting atau tumor basis. Kebanyakan malignan
glioma berhubungan rapat dengan jaringan otak normal dan hanya parsial debulking yang
mungkin dilakukan tanpa menyebabkan kerusakan neurologis. Jika lesi terdapat pada lobus
temporal atau frontal, pengangkatan tumor yang lengkap dapat dilakukan dengan lobektomi.
Meningioma merupakan suatu tantangan bagi anestetis dan dokter bedah saraf, karena
jinak dan bisa sembuh, tetapi komplikasi operasi dapat mengerikan. Meningioma bisa mencapai
ukuran besar sebelum menimbulkan gejala klinis serta sangat vaskular yang bisa menyebabkan
kehilangan darah yang banyak saat dilakukan pembedahan. Beberapa konveksitas meningioma
menekan ke dalam vauet tulang tengkorak, Anestetis harus mempersiapkan terhadap adanya
kemungkinan perdarahan yang banyak ketika tulang diangkat. Bahaya ini juga terdapat pada
operasi ulangan (redo craniotomi) untuk meningioma reccurent. Dalam keadaankeadaan ini,
juga pada tumor yang berasal dari pembuluh darah harus dipasang monitor CVP. Tumor yang
lebih besar dan vaskular, teknik hipotensi akan mengurangi jumlah perdarahan. Kadangkadang
pasien menunjukkan adanya edema otak setelah tumor direseksi semuanya. Dalam keadaan ini
monitor ICP harus dipasang dan pasien harus diventilasi pascabedah untuk menjamin bahwa
edema otak yang telah ada tidak diperburuk oleh hipoksia atau hiperkapnia, serta adanya risiko
episode apnea yang tibatiba. Adanya ICP monitor akan menyebabkan kita waspada terhadap
adanya hematoma pascabedah. Pada keadaan ada kenaikan ICP, tujuan prinsip adalah
menghindari hiperkarbia dan hipotensi atau hipertensi. Bila pembengkakan otak terjadi setelah
operasi tumor, steroid harus diteruskan pascabedah. Di beberapa senter memberikan tambahan
bolus deksametason 12 16 mg perioperatif, diikuti dengan penambahan dosis untuk beberapa
hari pertama pascabedah. Daerah yang iskemik atau trauma pada tempat operasi seperti halnya
darah dalam ventrikel akan merupakan predisposisi terjadinya konvulsi, karena itu berikan
antikonvulsi.
446
- Menjamin CPP yang adekuat.
- Cepat bangun sehingga bisa memberikan keadaan untuk pemeriksaan neurologis.
Terapi dan cegah hipertensi, batuk dan gangguan nafas yang membahayakan pada periode
pascabedah.
Koagulopati
447
Peningkatan Volume Darah Otak
Hiperkarbia
Hipoksia
Obstruksi jugularis
Penatalaksanaan Anestesia
Evaluasi preoperatif:
Suatu pemeriksaan neurologis lengkap dilakukan dengan perhatian khusus pada level
kesadaran, ada atau tidak adanya kenaikan tekanann intrakranial, extent of defisit neurologis
dan riwayat kejang.
Evaluasi prabedah untuk operasi supratentorial sama seperti tindakan anestesia lainnya
dengan riwayat medis lengkap yang menekankan terhadap fungsi jantung dan paru. Pada
prosedur bedah saraf, seperti halnya prosedur bedah lain, kebanyakan morbiditas dan mortalitas
anestesia perioperatif adalah akibat disfungsi paru atau jantung.
a. Anamnesa :
Pasien bedah saraf membutuhkan pertanyaan khusus tentang penyakit SSP. Gejala kenaikan
ICP harus ditanyakan (sakit kepala, mual, muntah, penurunan kesadaran, gangguan
penglihatan). Adanya kejang dan defisit neurologis fokal akibat efek penekanan lokal dari
tumor. Perdarahan otak atau cerebrovascular accident sebelumnya dicatat sebagai residu
defisit neurologis. Telaahlah dengan hatihati hasil operasi intrakranial atau prosedur
diagnostik sebelumnya, dan pertimbangkan kemungkinan pneumosefalus residu atau
interaksi anestetik lain.
Telaahlah kembali obatobatan yang lalu dengan lebih menekankan perhatian kita pada
obatobatan yang mempunyai efek pada periode preoperatif. Terapi obatobatan pada pasien
bedah saraf dapat menyebabkan penurunan volume intravaskular. Manitol dan diuretik lain
yang digunakan prabedah untuk mengurangi edema serebral, dapat menimbulkan hipovolemia
dan gangguan keseimbangan elektrolit yang bisa menyebabkan terjadinya hipotensi berat dan
aritmia pada saat induksi anestesia. Kortikosteroid, yang juga digunakan untuk menurunkan
edema serebral, akan meningkatkan kadar glukosa darah dengan rangsangan glukoneogenesis
dan menyebabkan penekanan adrenal secara langsung yang dapat menyebabkan terjadinya
hipotensi dan insufisiensi kardiovaskular dengan adanya stres bedah. Obat anti hipertensi dapat
mengubah volume intravaskular. Trisiklik antidepresan dan levodopa telah nyata dapat memicu
terjadinya hipertensi intraoperatif dan disritmia jantung. Benzodiazepin, fenotiazin dan
butirofenon dapat berperan terjadinya hipertensi perioperatif.
448
b. Pemeriksaan fisis :
Pemeriksaan fisis prabedah ditujukan pada jalan nafas, paru, sistem kardiovaskular dan SSP.
Pada pasienpasien dengan penyakit sertaan, pemeriksaan ditujukan terhadap kemungkinan
adanya hipovolemia. Pasienpasien bedah saraf sering somnolen dan intake oral yang tidak
adekuat yang dapat menyebabkan keadaan hipovolemi. Juga bisa terjadi peningkatan diuresis
akibat diabetes insipidus, atau pemberian diuretik. Hipovolemi ringan atau sedang umumnya
dapat ditolerir dengan baik, tetapi hipovolemi yang nyata harus dikoreksi sebelum induksi
anestesia.
Pemeriksaan neurologis harus dilakukan, tingkat kesadaran dan setiap defisit sensori /
motorik harus dicatat. Pemeriksaan neurologis harus diulang di kamar operasi sesaat sebelum
dilakukan induksi. Pemeriksaan tandatanda kenaikan ICP, seperti adanya sakit kepala, mual,
muntah, midriasis unilateral, pupil edema, okulomotor palsi atau abdusen. Bila ICP
meningkat lebih jauh, kesadaran pasien memburuk dan diikuti dengan disfungsi respirasi dan
jantung. Adanya pernafasan CheyneStokes atau bradikardia disertai hipertensi merupakan
tanda penekanan batang otak.
Tujuan dari penilaian neurologis adalah untuk mengerti tentang tipe dan beratnya proses
intrakranial. Hal ini penting sebab penatalaksanaan anestesia akan bergantung pada pada
volume intrakranial. Untuk mendapatkan penilaian yang tepat pertanyaan pertanyaan di
bawah ini harus ditanyakan.
1. Bagaimana keadaan pasien ? Gejala kenaikan tekanan intrakranial termasuk sakit
kepala, mual, muntah, penglihatan blurred, dan somnolen. Gejala penekanan lokal dari
tumor misalnya adanya kejang, dan defisit neurologis fokal.
2. Di mana lokasi tumor ?
3. Apa diagnosis tumornya ?
4. Bagaimana bukti adanya kenaikan ICP ?
5. Apa terapi yang telah diberikan ?
6. Apakah pasien pernah dilakukan kraniotomi ?
c. Pemeriksaan Laboratori :
Pemeriksaan laboratori rutin, termasuk jumlah sel darah, kimia serum dan koagulasi harus
dilakukan. Hiperventilasi dan diuresis akan menurunkan kadar K serum, jadi pemberian K
harus dipertimbangkan. Bila kadar glukosa serum > 200 mg % diperlukan terapi insulin
untuk menurunkan kadar glukosa ke nilai normal yang berguna untuk proteksi otak dan
tekanan osmotik. Osmolaritas serum harus diukur pada pasien dalam terapi ICP. Pasien
dengan cedera kepala sering EKGnya abnormal, maka pemantauan EKG prabedah harus
dilakukan, untuk melihat perubahan selama operasi dan anestesia. Pemeriksaan radiologis
prabedah untuk informasi tentang ukuran tumor atau perdarahan serta lokasinya, edema
serebral, dan mid-line shift. Mid-line shift 0,5 sm pada MRI atau CT-scan atau gangguan dari
jaringan otak pada sisterna basalis menunjukkan adanya kenaikan ICP.
d. Penatalaksanaan Obat :
449
Sekali diagnosis ditegakkan dan direncanakan untuk tindakan pembedahan, tujuan prinsip
pemberian obat adalah untuk mengendalikan ICP dan terapi epilepsi. Steroid efektif untuk
mengurangi edema peritumor dan meningkatkan kekembangan otak pada pasien tumor ganas
dan meningioma. Dosis umum deksametason adalah 4 mg 3x sehari bersamasama dengan
hidrogen reseptor antagonis. Epilepsi diterapi dengan fenitoin 100 mg 3x sehari. Rentang
normal terapeutik adalah 40 100 umol/l.
e. Premedikasi
Sedasi prabedah merupakan indikasi-kontra pada pasien dengan penurunan kesadaran, jadi
pasien letargi tidak memerlukan premedikasi. Bila premedikasi diperlukan, misalnya pasien
yang sadar dan cemas dapat diberikan ansiolitik seperti benzodiazepin ( diazepam,
lorazepam atau midazolam ). Diazepam 510 mg atau lorazepam 12 mg atau midazolam 5
mg dapat diberikan 12 jam prabedah peroral. Diazepam dan lorazepam mempunyai paruh
waktu yang cukup panjang dan bisa memperlambat bangun pascabedah, karena itu mungkin
lebih baik dengan midazolam jang diberikan intravena, intramuskular atau oral.
Bila ada keraguan tentang level kesadaran pasien, pasien dapat diberikan sedasi atau
analgesia di kamar bedah di bawah pengawasan anestetis dan diberikan setelah terpasang
jalur vena. Narkotik harus dihindari karena meningkatkan risiko muntah dan hipoventilasi,
yang keduanya dapat meningkatkan ICP. Akan tetapi, bila akan memasang alat pantau invasif
pada saat prainduksi (CVP, jalur arteri) dosis kecil narkotik dapat dipertimbangkan untuk
menghindari rasa tidak nyaman ketika menusukkan jarum untuk memasang alat pantau
invasif tersebut.
Sasaran pemberian anestesia pada pasien ini adalah untuk memaksimalkan cara terapi untuk
mengurangi volume intrakranial. ICP harus dapat dikendalikan sebelum kranium dibuka dan
optimal kondisi operasi dengan cara menghasilkan otak yang slack brain. Berbagai manuver
dan obat dapat digunakan untuk mengurangi brain bulk (tabel 2)
450
mempertahankan CPP
Diuretik
Dehidrasi otak dan penurunan ICP yang cepat dapat diperoleh dengan pemberian
osmotik diuretik manitol (0,25 1 gr/kg intravena yang mulai berefek dalam waktu 10-15 menit
dan berakhir kira-kira 2 jam) atau loop diuretik furosemid (0,5 1 mg/kg atau 0,15 0,3 mg/kg
intravena bila dikombinasikan dengan manitol). Disebabkan karena manitol pertama-tama
menimbulkan efek peningkatan ICP (efek dari vasodilatasi akibat manitol), maka manitol harus
diberikan perlahan-lahan (10 menit atau lebih) disertai manuver lain untuk menurunkan ICP
(misalnya hiperventilasi atau pemberian steroid). Manitol harus diberikan secara hati-hati pada
pasien dengan penyakit kardiovaskular. Pada pasien ini, peningkatan selitas volume
intravaskular dapat mempresipitasi gagal jantung kiri. Furosemid merupakan obat yang lebih
disukai dalam mengurangi ICP pada pasien dengan penyakit kardiovaskular. Kombinasi manitol
dengan furosemid lebih efektif dalam menurunkan ICP dan brain bulk daripada manitol sebagai
obat tunggal, akan tertapi lebih besar menimbulkan dehidrasi dan gangguan keseimbangana
elektrolit sehingga diperlukan pemantauan elektrolt intraoperatif dan penggantian kalium bila
memang diperlukan.
NaCl Hipertonik
NaCl hipertonik merupakan osmotik diuretik lain yang baru-baru ini sedang diteliti lagi.
Terapi NaCl hipertonik mungkin lebih efektif daripada diuretik lain pada kondisi klinis tertentu,
misalnya pasien dengan hipertensi intrakranial yang refrakter atau yang memerlukan debulking
otak atau untuk mempertahankan volume intravaskular. NaCl hipertonik juga dapat digunakan
sebagai suatu alternatif atau tambahan pada pemakaian manitol intraoperatif. Data yang telah
dipublikasikan encouraging, akan tetapi, ada beberapa akibat yang merugikan akibat pemberian
NaCl hipertonik.
451
Kortikosteroid
Kortikosteroid mengurangi edema sekeliling tumor otak tetapi memerlukan beberapa
jam atau hari sebelum penurunan ICP terlihat. Pemberian steroid prabedah sering menimbulkan
perbaikan neurologis sebelum terjadi penurunan ICP, hal ini mungkin karena perbaikan dari
BBB yang sebelumnya abnormal.
Hiperventilasi
Hiperventilasi mengurangi volume otak dengan menurunkan CBF dengan cara
vasokonstriksi serebral. Setiap 1 mmHg perubahan PaCO 2, CBF berubah 1-2 ml/100gr
jaringan/menit. Hiperventilasi hanya efektif bila reaktivitas terhadap CO 2 dari pembuluh darah
otak masih utuh. Faktor yang mempengaruhi reaktivitas terhadap CO 2 adalah iskemia, trauma,
tumor, dan infeksi. Obat anestetik inhalasi berbeda-beda pengaruhnya pada reaktivitas CO 2
pembuluh darah otak, oleh karena itu penting sekali pemilihan obat anestetik inhalasi yang tepat
(paling kecil mempengaruhi reaktivitas CO2 dan autoregulasi adalah sevofluran).
Target PaCO2 untuk operasi tumor otak adalah 30-35 mmHg (hasil analisa gas darah).
Pada keadaan PaCO2 kurang dari 25-30 mmHg dapat menimbulkan iskemia otak akibat
vasokonstriksi serebral.
Pemantauan
452
Pemantauan rutin untuk operasi supratentorial adalah EKG, tekanan darah noninvasif, jalur
arterial, stetoskop esofageal, FiO2, pulsaoksimetri, temperatur, perangsang saraf, kateter
urin. Idealnya EKG monitor di lead II, V5 dan modifikasi V5 ditempelkan pada semua
pasien dengan penyakit jantung iskemik. Jalur arterial digunakan bukan saja untuk
memantau tekanan darah dari denyutke denyut jantung, tetapi juga untuk analisa gas darah
serta dapat juga menolong melihat status volume pasien : (tekanan nadi = tekanan sistolik
tekanan diastolik ). Untuk melihat CPP, transduser jalur arterial ditempelkan ke level
sirkulisi Wilisi setinggi meatus akustikus eksterna. Indikasi monitor arteri terlihat pada
tabel di bawah ini :
Monitor Et CO2 sangat penting, dapat melihat secara kasar nilai PaCO 2, adanya
diskoneksi dan obstruksi jalan nafas. Untuk pasien dengan kemungkinan kehilangan darah yang
banyak atau keadaan kardiopulmonal yang terbatas dipasang monitor CVP dan dapat
dipertimbangkan dipasang PA kateter. Pergeseran cairan akut akibat diuretik atau manitol
memerlukan pemantauan CVP, sebab keluaran urin tidak dapat dipercaya untuk mendeteksi
hipovolemia. Indikasi pemasangan CVP monitor terlihat pada tabel di bawah ini :
Sebagai tambahan pada pemantauan rutin, pengukuran tekanan darah intra-arterial, gas
darah arteri, CVP, diuresis dianjurkan untuk semua bedah saraf yang besar. Suatu kanula arteri
yang dipasang sebelum induksi anestesia untuk memantau secara kontinyu tekanan darah dan
453
untuk memperkirakan CPP. Pemeriksaan gas darah penting untuk menilai adekuatnya ventilasi.
Disebabkan karena kebanyakan pasien bedah saraf dehidrasi prabedah, dan kemudian
intraoperatif diberikan diuretika, pengukuran prabeban jantung dan keluaran urin penting
dilaksanakan. Kateter pada atrium kanan akan merefleksikan prabeban dan hal itu digunakan
untuk melihat defisit cairan prabedah dan kecepatan infusi intraoperatif. Pemantauan ICP
prabedah jarang digunakan untuk operasi tumor supratentorial. Suatu pemantauan bulbus vena
jugularis dapat untuk secara kontinyu CEO2 (SaO2 SjvO2) menyebabkan dapat menarik
kesimpulan tentang adekuatnya perfusi serebral global.
Penatalaksanaan anestesia
Sasaran utama selama induksi anestesia adalah mempertahankan level normal dari ICP
sambil mempertahankan CPP yang adekuat. Sasaran ini kebanyakan dilakukan dengan
menurunkan volume otak. Penurunan jumlah volume CSF sebagai kompensasi pada kenaikan
ICP kronis. Drain lumbal dapat dipakai untuk menurunkan volume CSF, tetapi di kamar operasi
penurunan volume darah otak umumnya dilakukan dengan terapi farmakologik atau ventilasi.
Kejadian embolus udara pada pasien dengan posisi supine, kepala naik, adalah kurang
lebih 14,6 %, karena itu diperlukan pemantauan end tidal CO2.
a. Induksi Anestesia :
Walaupun induksi anestesia untuk kraniotomi dapat dilakukan dengan berbagai macam
obat, tetapi yang paling baik adalah dengan barbiturat. Tiopental akan menurunkan SMRO 2,
CBF dan ICP. Propofol juga menurnkan SMRO2, CBF dan ICP. Narkotik juga menurunkan
SMRO2 tetapi lebih kecil daripada penurunan CBF, sehingga dalam teori disebutkan dapat
membawa ke arah iskemia, walaupun demikian efek ini tidak relevan secara klinis. Narkotik
memberikan pengendalian tekanan darah dan denyut jantung yang lebih baik, sehingga selalu
dipakai dalam anestesia.
Ketamin menyebabkan peningkatan denyut jantung, tekanan darah dan ICP serta
menimbulkan gambaran kejang pada EEG, maka ketamin tidak dipakai pada neuroanestesia.
Induksi yang lancar lebih penting dari kombinasi obat yang digunakan. Pasien dipreoksigenasi
lalu diberikan Tiopental 3 5 mg/kg atau Propofol (1,25-2,5mg/kg) intravena, diikuti dengan
fentanil 3-5ug/kg dan pelumpuh otot.harus diikuti dengan ventilasi melalui sungkup muka
untuk menjamin patensi jalan nafas dan hiperventilasi. Neuromuskular blokade dapat dilakukan
dengan vekuronium ( 0,1 0,15 mg/kg ) atau rokuronium ( 0,6 0,8 mg/kg ) IV, lalu
dihiperventilasi melalui sungkup muka dengan oksigen 100% atau O 2 Isofluran konsentrasi
rendah ( 0,5% ). Lidokain IV ( 1,5 mg/kg dberikan 90 detik sebelum laringoskopi/intubasi) dan
dosis obat anestetik intravena (Tiopental 2-3 mg/kg) untuk induksi diberikan menit
sebelum dilakukan intubasi. Setelah induksi, dilakukan ventilasi kendali untuk mepertahankan
PaCO2 antara 30-35 mmHg.
454
Dosis obat induksi diatur untuk pasien dengan ketidakstabilan kardiovaskular. Kombinasi
narkotik (fentanil 5 ug/kg atau sufentanil 0,5 1 ug/kg ) dan dosis kecil tiopental dapat
mengendalikan ICP serta kardiovaskular tetap stabil. Ventilasi adekuat harus dilakukan untuk
menghindari hipoventilasi dan hiperkarbia akibat narkotik yang akan menyebabkan kenaikan
CBF.
b. Pemeliharaan Anestesia :
Teknik teknik ini umumnya termasuk dalam 3 kategori : obat anestetik inhalasi,
teknik anestesia intravena dan teknik balans. Gambaran paling penting dalam pemberian
anestesia adalah bukan teknik mana yang digunakan, tetapi bagaimana tepatnya teknik tersebut
digunakan.
Banyak penulis yang memikirkan bahwa anestesia dengan dasar narkotik dengan N 2O
atau dosis rendah isofluran (< 1 %) dalam oksigen, cukup optimal. Tetapi baru baru ini teknik
tersebut dihubungkan dengan meningkatnya kejadian mual muntah pascabedah dibandingkan
dengan teknik anestesia inhalasi atau mesin berbasiskan propofol. Bila anestesia berbasiskan
narkotik, maka dapat digunakan fentanil, alfentanil atau sufentanil. Sufentanil mungkin
mempengaruhi ICP dan CPP (tak menguntungkan / tak baik ). Fentanil 5 ug/kg dikombinasikan
dengan isofluran < 1 % dalam oksigen mungkin cukup baik. Alternatif lain, sufentanil 0,5 1
ug/kg bolus, diikuti intermiten dengan dosis tidak lebih dari 0,5 ug/kg/jam, atau infusi 0,25
0,5 ug/kg/jam kombinasi dengan isofluran < 1 % dalam O 2. Sufentanil kontinyu dihentikan +/-
1 jam sebelum akhir operasi.
Obat anestetik inhalasi lebih disukai isofluran dengan sedikit atau tanpa suplemen
narkotik. Hiperventilasi dengan kombinasi isofluran < 1 % umumnya menghasilkan intrakranial
dinamik yang lebih stabil. Disebabkan karena operasi intrakranial berlangsung lama, bila pada
akhir operasi ada kenaikan tekanan darah dan frekwensi nadi, lebih baik di atasi dengan
labetolol atau esmolol, bukan dengan menaikkan konsentrasi obat anestetik inhalasi, supaya
pasien lebih cepat bangun.
N2O bisa digunakan kecuali pada pasien dengan pneumosefalus (trauma atau
postcraniotomi) atau embolusudara. Penggunaan N2O akan mengurangi dosis narkotik dan
isofluran serta bangun dari anestesia dengan tenang.
TIVA dapat dilaksanakan dengan propofol dan fentanil. Setelah induksi, propofol
dimulai dengan 200 ug/kg/menit dan kemudian diturunkan disertai dengan infusi, fentanil 2
ug/kg/jam. Teknik ini akan memberikan anestesia yang stabil dan pasien cepat bangun, serta
kejadian mual muntahnya rendah. Setiap teknik anestesia ini menyebabkan keadaan anestesia
455
yang baik, tetapi seni memberikan anestesia, pengalaman pengalaman dan pengetahuan
anestetis akan menolong supaya tidak terjadi pemberian obat yang berlebihan atau kurang. Jika
pasien sulit bangun pasca bedah, salah satu kemungkinannya adalah ekses obat anestetik.
Kemungkinan yang lain adalah kerusakan jaringan otak (operasi, perdarahan, iskemia)
gangguan elektrolit, hipotermia.
Pelumpuh otot mencegah pasien bergerak pada saat saat kritis. Juga bisa menurunkan
ICP dengan rileksnya dinding dada, yang akan menurunkan tekanan intrakranial dan terjadi
drainase vena serebral yang baik. Pemilihan obat harus berdasar pada lamanya operasi dan
pengaruh obat pada hemodinamik serta ICP. Untuk kebanyakan operasi supratentorial dipilih
norkuron /esmeron/atrakurium.
Cairan yang diberikan lebih disukai NaCl 0,9 %. Pemberian cairan dibatasi selama
induksi anestesia dan dipertahankan tetap sedikit selama hemodinamik stabil dan produksi urin
baik. Bila dibutuhkan resusitasi volume dan nilai hematokrit tidak menunjukkan perlunya darah,
maka dapat diberikan koloid sebanyak 500 1000 ml.
456
yang banyak.
Teknik hipotensi dilakukan sebelum mulai mengangkat tulang, lebih baik dengan
trimetafan daripada dengan nitroprusid. Pada awalnya tekanan sistolik dipertahankan antara 70
80 mmHg pada pasien yang normotensi dan pada level yang lebih tinggi pada pasien yang
hipertensi. Bila tulang telah diangkat, tekanan darah bisa diturunkan lagi (tetapi harus diingat
dalam menurunkan tekanan darah ini, harus diperhatikan CPP adekuat).
Darah dan cairan harus diberikan untuk mempertahankan kestabilan sirkulasi tanpa ada
edema serebral pascabedah. Disebabkan bahaya dari gangguan pembekuan, maka FFP dan
trombosit harus diberikan setelah jumlah perdarahan mencapai 2 liter bila perdarahan terus
berlangsung. Pemberian ini lebih dini daripada yang biasanya, karena untuk mencegah
terjadinya DIC, sebab hal ini secara nyata tidak mungkin untuk mengobati kadaan ini pada
pasien bedah saraf karena kebutuhan heparin dan penggantian cairan secara masif.
N2O:
N2O secara tersendiri bersifat merangsang serebral, meningkatkan SMR, CBF dan ICP.
Untuk otak yang normal, efek ini dapat dihilangkan dengan hiperventilasi/hipokapni atau obat
anestetik intravena. Volatil anestetik menambah peningkatan CBF akibat N 2O. Penelitian
menunjukkan bahwa isofluran mempunyai efek yang kurang daripada N2O terhadap CBF dan
ICP.
Volatil anestetik:
457
Penatalaksanaan edema serebral intraoperatif
CSF darinase
c. Akhir anestesia :
Bangun dari anestesia sesudah operasi supratentorial harus lancar dan lembut.
Keputusan apakah pasien harus bangun dan diekstubasi bergantung pada derajat kesadaran
prabedah, lokasi operasi, luasnya edema serebri, jumlah obat yang diberikan.
Pasien yang prabedahnya dalam keadaan koma atau tumor besar di sentral, tidak usah
segera diekstubasi. Kebanyakan pasien tetap diintubasi dan bangun pelan pelan di ICU setelah
terus dimonitor dan diventilasi. Ada dua situasi klinis di mana pasien yang sebelumnya koma
dicoba untuk bangun sesegera mungkin :
Kebanyakan pasien operasi supratentorial diekstubasi di kamar operasi. Labetolol atau esmolol
dan lidokain 1,5 mg/kg IV, dapat digunakan untuk terapi hipertensi, takikardia dan rangsangan
simpatis yang dihubungkan pada periode sesaat sebelum ekstubasi. Adanya hipertensi pada
periode ini harus diterapi karena bisa terjadi perdarahan otak pada daerah luka operasi.
Bangun dari anestesia harus smooth dan hindari straining atau bucking akibat adanya ETT,
hipertensi arterial dan kenaikan ICP. Untuk menghindari bucking saat bangun dari anestesia,
pelumpuh otot jangan dilawan sampai selesai membalut kepala. Lidokain intravena (1,5
mg/kg) dapat diberikan 90 detik sebelum pengisapan lendir dan ekstubasi untuk mengurangi
batuk, straining dan hipertensi. Adanya hipertensi saat bangun dari anestesia dapat
menimbulkan terjadinya hematom intrakranial pascabedah.
Pada operasi tumor supratentorial diharapkan pasien segera bangun dan diekstubasi pada
458
ahir operasi supaya dapat mengevaluasi hasil pembedahan dan fungsi neurologis pascabedah.
Keuntungan dan kerugian antara segera bangun dan pasien dibiarkan tidur pascabedah masih
diperdebatkan. Faktor di luar obat anestetik yang menyebabkan pasien lama sadar adalah tumor
intrakranial yang besar, prabedah sudah ada penurunan kesadaran, komplikasi bedah (kejang,
edema serebral, hematoma, pneumosefalus, oklusi pembuluh darah/iskemia), gangguan
elektrolit, dan hipotermia.
Cara baru dalam mencegah hipertensi saat bangun dari anestesia seraya pasien tetap
akan sadar, adalah dengan pemberian alfa 2 agonis deksmedetomidin yang dimulai 10 menit
sebelum ekstubasi, dengan dosis rata-rata 0,4 ug/kg/jam.
Simpulan
Problema pada operasi tumor supratentorial adalah adanya iskemia atau herniasi serta
banyaknya perdarahan saat eksisi tumor. Penilaian status neurologis prabedah, penentuan
adanya kenaikan tekanan intrakranial dan mengoptimalkan penyakit sertaan harus dilakukan.
Dapat digunakan teknik anestesia intravena atau inhalasi dengan pemilihan obat anestetik
inhalasi yang paling kecil meningkatkan aliran darah otak, mempengaruhi autoregulasi, dan
reaktivitas terhadap CO2. Pertahankan normotensi, normovolemia, dan slack brain intraoperatif.
Bangun dari anestesia harus mulus dan cepat untuk memudahkan evaluasi neurologis
pascabedah. Tidak diperlukan analgesia opioid pascabedah yang kuat untuk menghilangkan
sakit pascabedah.
Referensi :
459
MODUL 24
ANESTESIA BEDAH PASIEN
RAWAT JALAN
Sesi di dalam kelas Anestesia bedah pasien rawat jalan adalah suatu
rotasi yang membutuhkan waktu paling sedikit 2
Sesi dengan fasilitasi pembimbing bulan (8 pekan) untuk peserta didik semester 2
460
Sesi praktek dan pencapaian kompetensi keatas, yang meliputi anestesia bedah pasien rawat
jalan.
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
CD PowerPoint
Sarana:
5. Ruang belajar
6. Ruang pemeriksaan
7. Ruang pulih
8. Bangsal rawat inap/pengamatan lanjut
Kasus : pasien dari poliklinik bedah atau bidang lain
Referensi :
1. TUJUAN
461
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik mampu melakukan persiapan preoperatif pasien ambulatori
dengan baik dan cermat, melakukan pembiusan umum maupun regional yang baik dan tepat, pemantauan
dan penatalaksanaan pascabedah pasien ambulatori.
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk :
Kognitif
Psikomotor
462
6. Mampu memberikan anestesia umum seperti anestesia intravena, sungkup, LMA atau intubasi
ETT, dan regional seperti spinal, epidural, kaudal untuk operasi pasien ambulatori yang akan
dilakukan (lihat prosedur anestesia umum dan regional).
7. Mampu melakukan persiapan alat anestesia umum maupun regional.
8. Mampu melakukan pemberian obat-obatan dengan masa kerja singkat yang sesuai untuk
anestesia ambulatori.
9. Mampu melakukan pemantauan yang baik dan sesuai untuk anestesia ambulatori.
10. Mampu melakukan penatalaksanan nyeri, mual muntah pascabedah untuk pasien ambulatori.
11. Mampu mengenali tanda-tanda dan mengatasi komplikasi yang dapat timbul pascabedah
ambulatori.
12. Mampu menilai kondisi pasien keluar dari PACU/ruang pulih fase 1 ke ruang pulih fase 2
dengan Modifikasi Aldrete skor atau pulang (dengan PADSS skor), atau dirawat pascabedah
ambulatori.
Komunikasi/Hubungan Interpersonal
1. Mampu menjelaskan pada pasien atau keluarga pasien tentang kondisi pasien preoperatif,
tindakan anestesia yang akan dilakukan serta risiko yang dapat timbul pada pasien ambulatori.
2. Mampu memberikan penjelasan kepada rekan sejawat atau konsulen tentang kondisi pasien
untuk kemungkinan pemeriksaan tambahan, pemberian obat-obatan atau upaya optimalisasi
kondisi pasien.
3. Mampu menjelaskan tentang kondisi pasien kepada operator sebelum operasi terutama untuk
mencegah terjadi keadaan atau kondisi pasien yang tidak diinginkan.
4. Mampu berinteraksi atas dasar saling menghormati dan menciptakan kondisi kerjasama tim
yang terlibat di kamar bedah.
5. Mampu memperoleh kemudahan jika pasien tidak dapat pulang dan harus dirawat sesuai
kondisi pasien pascabedah.
Profesionalisme
KEYNOTES
463
2. Persiapan preoperatif
3. Pemilihan teknik anestesia dan penggunaan obat yang sesuai untuk anestesia ambulatori
4. Penatalaksanaan anestesia umum dan regional
5. Pemantauan
6. Penatalaksanaan pasca-anestesia pasien ambulatori
7. Modified Aldrete Skor, PADSS
Waktu
Metode
7. Bahan acuan
8. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran
9. Ilmu klinis dasar
C. Penuntun belajar terlampir
D. Tempat belajar: ruang rawat pasien, kamar operasi, ruang pulih pascabedah.
4. MEDIA
7. Kursus / pelatihan
Pelatihan di skill lab intubasi, LMA pada manikin.
8. Belajar mandiri
9. Kuliah
Kuliah khusus Penatalaksanaan Anestesia Ambulatori termasuk
464
penatalaksanaan pascabedah dan kriteria pasien pulang.
6. EVALUASI
6.1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-tes dalam bentuk esai dan lisan untuk menilai kinerja awal
peserta didik dan melakukan identifikasi kekurangan yang ada. Materi pre-tes terdiri atas :
6.2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang teridentifikasi,
membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.
6.3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam penuntun belajar pada
manikin anestesia bersama teman-temannya (peer assisted learning), dievaluasi oleh teman-
temannya (peer assisted evaluation).
6.4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di bawah pengawasan
fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien sesungguhnya. Pada saat pelaksanaan,
evaluator melakukan pengawasan langsung dan mengisi lembar penilaian:
- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak dilakukan
- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya tindakan anestesia tidak
mulus sehingga kurang memberi kenyamanan kepada pasien
465
6.5. Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.
6.6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun belajar.
6.8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan atau diberi
tugas untuk memperbaiki kinerja.
Isi pre-tes :
19. Jelaskan kriteria pemilihan pasien yang sesuai untuk operasi ambulatori.
20. Jelaskan pemeriksaan preoperatif pasien untuk operasi ambulatori, meliputi pemeriksaan fisis
dan penunjang yang tepat.
21. Jelaskan status fisis yang sesuai untuk pasien ambulatori berdasarkan klasifikasi ASA.
22. Jelaskan kondisi pasien yang tidak sesuai untuk operasi ambulatori dan risikonya.
23. Jelaskan persiapan preoperatif operasi ambulatori seperti puasa dan premedikasi.
24. Jelaskan jenis anestesia umum dan regional yang sesuai untuk operasi pasien ambulatori yang
akan dilakukan.
25. Jelaskan persiapan alat anestesia umum maupun regional untuk anestesia ambulatori.
26. Jelaskan jenis obat-obatan dengan masa kerja singkat yang sesuai untuk anestesia ambulatori,
dosis dan cara pemberiannya.
27. Jelaskan pemantauan yang baik dan sesuai untuk anestesia ambulatori.
28. Jelaskan cara pemulihan pembiusan yang cepat untuk pasien ambulatori.
29. Jelaskan penatalaksanan nyeri, mual muntah pascabedah untuk pasien ambulatori.
30. Jelaskan komplikasi yang dapat timbul pascabedah ambulatori.
31. Jelaskan kriteria pasien pulang atau dirawat pascabedah ambulatori (dengan Modifikasi
Aldrete skor dan PADSS skor).
Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).
Bentuk ujian :
1. Pengetahuan
466
- MCQ
- EMQ
- Ujian lisan
2.Kognitif
- EMQ
- Multiple observation and assessments
- Multiple observers
- OSCE
- Minicheck
3. Skill
-
Multiple observation and assessments
-
Multiple observers
-
OSCE
-
Minicheck
4.Communication and Interpersonal Skills
7. REFERENSI
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 3th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2002
2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006
3. Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005
4. Tatang Bisri : Literasi Anestesiologi : Ambulatori Anestesia, 2007.
Tindakan / operasi :
467
dilakukan dilakukan
2 Penentuan ASA :
4 Pemasangan monitor
ANESTESIA
3 Anestesia intravena
PENATALAKSANAAN PASCABEDAH
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan memuaskan,
dan berikan tanda X bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah / tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau penuntun
X Tidak memuaskan Tidak mampu untuk mengerjakan langkah /tugas sesuai dengan prosedur
standard atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dialakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih
468
Nama pasien No Rekam Medis
469
Layak
Tidak layak
Melakukan prosedur
MATERIN ACUAN
anestesia.
tekanan darah, nadi, EKG, suhu, aliran cairan infusi, produksi urin,
perdarahan.
470
8. Akhir operasi yakinkan pasien bernafas spontan dan volume nafas
8.3 Komplikasi
- mual-muntah
- nyeri pascabedah
- bradipnea-apnea
8.4 Mortalitas
Kriteria pasien ambulatori, persiapan preoperatif, farmakologi obat anestetik ambulatori, anestesia umum
dan regional, pemantauan, PONV, nyeri pasca bed, Modified Aldrete Skor, PADSS
471
Activity
2=Moves all extremities voluntarily or on command.
Respirasion
2=breathes deeply & cough freely
0=apneic
Circulation
2=BP20 mm of preanesthetic level
Oxygen saturasion
2=SpO2 > 92% on room air
dipulangkan kerumah.
472
REFERENSI
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 3th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2002
473
Modul 25 ANESTESIA BEDAH KARDIOTORASIK
I
474
Sesi di dalam kelas 2 X 1 jam (classroom session)
Persiapan Sesi
Audiovisual Aid:
6. LCD proyektor dan layar
7. Laptop
8. OHP
9. Flipchart
10. Pemutar video
Materi presentasi: CD PowerPoint
1. Persiapan prabedah toraks
9. Miastenia gravis
Sarana:
475
6. Ruang belajar
7. Ruang perawatan prabedah
8. Kamar operasi toraks
9. Ruang perawatan intensif pascabedah toraks
Books/McGraw-Hill; 2002
1. KOMPETENSI
Mampu melakukan persiapan preoperatif pasien bedah toraks, melakukan pembiusan dan
pemantauan yang baik dan tepat, dan penatalaksanaan pascabedah pasien bedah toraks.
RANAH KOMPETENSI
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi dalam ranah-ranah berikut
ini :
Kognitif
476
5. Mampu menjelaskan indikasi, indikasi kontra dan komplikasi ventilasi satu paru.
6. Mampu menjelaskan teknik anestesia, peralatan dan pemantauan yang diperlukan pada
ventilasi satu paru.
7. Mampu menjelaskan berbagai lokasi massa mediastinum dan konsekuensi fisiologisnya.
8. Mampu menjelaskan penatalaksanaan perioperatif pasien dengan massa mediastinum.
9. Mampu menjelaskan teknik anestesia pada massa mediastinum.
10. Mampu menjelaskan patofisiologi sindrom vena kava superior.
11. Mampu menjelaskan penatalaksanaan perioperatif pasien dengan sindrom vena kava
superior.
12. Mampu menjelaskan patofisiologi miastenia gravis dan implikasinya pada teknik
anestesia.
13. Mampu menjelaskan penatalaksanaan perioperatif pasien miastenia gravis.
14. Mampu menjelaskan kegawatan torasik yang mengancam nyawa, termasuk trauma
toraks.
15. Mampu menjelaskan teknik anestesia pada bedah darurat trauma toraks.
16. Mampu menjelaskan penatalaksanaan pascabedah dan tatalaksana nyeri pasien bedah
toraks.
Psikomotor
mediastinum.
477
9. Mampu memberikan anestesia pada bedah darurat toraks.
Komunikasi/Hubungan Interpersonal
bedah toraks.
bedah.
Profesionalisme
478
1. Mampu bekerja sesuai prosedur.
kompetensi masing-masing.
2. KEYNOTES:
1. Keberhasilan anestesia pada bedah toraks bergantung pada kondisi prabedah dan
antisipasi terhadap komplikasi yang mungkin timbul selama atau pascabedah.
2. Pada semua pasien harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan prabedah yang
disesuaikan dengan jenis kelainan dan jenis pembedahan.
3. Persiapan prabedah yang optimal dapat menurunkan risiko komplikasi anestesia.
4. Pemantauan yang optimal sangat penting.
5. Komplikasi pascabedah toraks terutama mengenai sistem pernafasan.
6. Nyeri pascabedah yang tidak di atasi dapat meningkatkan komplikasi.
7. Komplikasi pada pasien dengan massa mediastinum berhubungan dengan obstruksi
mekanik oleh massa pada struktur vital di sekitarnya, terutama jalan nafas.
8. Komplikasi pada pasien dengan miastenia gravis terutama akibat patofisiologi
penyakitnya.
9. Komplikasi pada pasien dengan sindrom vena kava superior berhubungan dengan
gangguan hemodinamik akibat obstruksi pada vena kava superior.
3. GAMBARAN UMUM
Anestesia bedah toraks sangat bervariasi, bergantung jenis kelainan dan jenis
pembedahannya. Kasus yang memerlukan pembedahan bervariasi dari kelainan paru
meliputi infeksi; tumor dan trauma atau kelainan nonparu seperti massa mediastinum.
Persamaan dari semua prosedur adalah dibukanya rongga toraks dengan segala
479
konsekuensinya. Seringkali operasi memerlukan ventilasi satu paru yang dapat
menyebabkan perubahan fisiologi yang dapat menimbulkan komplikasi.
4. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah proses alih pengetahuan, keterampilan dan perilaku melalui modul ini, diharapkan
peserta didik memiliki kemampuan untuk:
5. METODE PEMBELAJARAN
1. Bahan acuan
Metode pembelajaran
1. Diskusi kelompok kecil
480
3. Bedside teaching
terlibat beberapa sistem dan organ vital, seperti sistem dan jalan
Metode pembelajaran
1. Diskusi kelompok kecil
3. Bedside teaching
6. Praktek klinis
perubahan tersebut.
481
2. Mengetahui pasien yang mampu mentoleransi perubahan
Metode pembelajaran
1. Diskusi kelompok kecil
2. Studi Kasus
3. Bedside teaching
5. Praktek klinis
Metode pembelajaran
1. Diskusi kelompok kecil
2. Studi Kasus
482
3. Bedside teaching
5. Praktek klinis
Metode pembelajaran
1. Diskusi kelompok kecil
2. Studi Kasus
3. Bedside teaching
4. Demo & Coaching dengan menggunakan Penuntun Belajar dan
5. Praktek klinis
483
5. Pemantauan tanda vital terutama tekanan darah yang dapat
Metode pembelajaran
1. Diskusi kelompok kecil
2. Studi kasus
3. Bedside teaching
4. Demo & Coaching
5. Praktek klinis
6. MEDIA
1. Kursus / pelatihan.
tatalaksana nyeri.
484
19. Pemeriksaan preoperatif.
20. Bimbingan pembiusan dan asistensi di kamar operasi.
Pelatihan di kamar bedah intubasi double lumen tube, dengan
8. EVALUASI
8.1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-tes dalam bentuk esai dan lisan untuk menilai
kinerja awal peserta didik dan melakukan identifikasi kekurangan yang ada. Materi pre-
tes terdiri atas :
8.2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang
teridentifikasi, membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.
8.3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam penuntun belajar
pada manikin anestesia bersama teman-temannya (peer assisted learning), dievaluasi
oleh teman-temannya (peer assisted evaluation).
8.4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di bawah
pengawasan fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien sesungguhnya.
Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan langsung dan mengisi lembar
penilaian:
485
langkah tidak dilakukan
8.5. Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.
8.6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun belajar.
8.8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan atau
diberi tugas untuk memperbaiki kinerja.
Isi pre-tes :
32. Jelaskan persiapan preoperatif pasien bedah toraks, meliputi anamnesis, pemeriksaan
fisis dan penunjang yang tepat serta terapi yang diperlukan sebelum pembedahan.
33. Jelaskan hubungan antara hasil spirometri dengan risiko bedah toraks.
34. Jelaskan kondisi-kondisi yang dapat menjadi penyulit selama anestesia dan
pembedahan toraks.
35. Jelaskan kondisi pasien yang tidak layak untuk menjalani bedah toraks dan ventilasi
satu paru.
36. Jelaskan persiapan alat anestesia yang diperlukan untuk anestesia bedah toraks.
37. Jelaskan teknik anestesia untuk ventilasi satu paru.
38. Jelaskan pembagian anatomi rongga medastinum dan implikasinya pada anestesia.
39. Jelaskan teknik anestesia untuk massa mediastinum sesuai lokasi massanya.
40. Jelaskan tentang penyakit miastenia gravis dan hubungannya dengan anestesia.
41. Jelaskan tentang sindroma vena kava superior dan teknik anestesia yang sesuai pada
pasien dengan kelainan ini.
42. Jelaskan pemantauan yang sesuai untuk bedah toraks, termasuk yang menggunakan
teknik ventilasi satu paru.
43. Jelaskan penatalaksanaan pascaanestesia pasien bedah toraks,
44. Jelaskan tatalaksana nyeri pascabedah toraks.
486
Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan
Bentuk ujian :
1. PengetahuanKognitif
- MCQ
- EMQ
Ujian lisan
Tindakan / operasi :
487
No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia Sudah Belum
dilakukan dilakukan
PERSIAPAN PRAANESTESIA
2 Penentuan ASA :
4 Pemasangan monitor
ANESTESIA
2 Anestesia
3 Anestesia intravena
7. Tindakan ekstubasi
PENATALAKSANAAN PASCABEDAH
488
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda X bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah / tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau penuntun
X Tidak memuaskanTidak mampu untuk mengerjakan langkah /tugas sesuai dengan prosedur
standard atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dialakukan oleh peserta latih
selama penilaian oleh pelatih
489
Peserta dinyatakan: Tanda tangan pelatih
Layak
Tidak layak
Melakukan prosedur
Pasien yang menjalani bedah toraks harus dilakukan pemeriksaan preoperatif : anamnesis,
pemeriksaan fisis, pemeriksaan penunjang, persetujuan setelah mendapatkan informasi yang
adekuat dan dilakukan persiapan anestesia (inhalasi, puasa, rencana premedikasi). Pasien
dewasa dipuasakan 6 8 jam, anak-anak 4, 6, 8 jam. Dilakukan penetapan status fisis ASA
dan persetujuan setelah mendapatkan informasi yang adekuat. Persiapan anestesia (statics,
obat, mesin anestesia). Setelah semua persiapan alat dan obat lengkap, pastikan ada asisten
yang membantu tindakan anestesia.
Pasang jalur intravena dan infusi. Lakukan pemantauan fungsi vital oksigenasi, saturasi Hb
(SpO2), tekanan darah, nadi, EKG, suhu, ETCO2 kalau ada. Premedikasi dapat diberikan
secara intravena. Untuk pasien yang tidak ada problema obstruksi atau potensi obstruksi jalan
nafas, lakukan anestesia umum sesuai modul pada anestesia umum. Untuk pasien yang perlu
ventilasi satu paru intubasi dilakukan dengan Double Lumen Tube (DLT). Teknik anestesia
sedikit berbeda pada massa mediastinum anterior, miastenia gravis atau sindroma vena kava
superior.
490
analgesia dan relaksasi. Harus diingat bahwa tanpa perdarahan berarti pun, kehilangan cairan
dapat hebat ketika rongga toraks terbuka.
Pada akhir operasi, jika menggunakan DLT harus diganti dengan ETT biasa untuk tindakan
bronkoskopi dan penghisapan sekret. Sebelum anestesia berakhir pastikan analgesia
pascabedah telah dimulai. Anelgesia pascabedah dapat diberikan melalui kateter epidural,
blok saraf interkostal, infiltrasi analgetik lokal, bolus analgetik intravena, infusi kontinyu
analgetik (opioid atau morfin) maupun kombinasi beberapa hal tersebut.
Mortalitas dapat terjadi bergantung pada kondisi awal dan status fisis, penyakit penyerta atau
trauma operasi.
12. REFERENSI
Books/McGraw-Hill; 2002
491
Modul 26 ANESTESIA BEDAH KARDIOTORASIK
II
(MODUL PILIHAN)
Persiapan Sesi
Audiovisual Aid :
11. LCD proyektor dan layar
12. Laptop
13. OHP
14. Flipchart
15. Pemutar video
492
9. Anestesia pada pembedahan penyakit jantung bawaan
Sarana :
Books/McGraw-Hill; 2002
5.Lake CL, Booker PD. Pediatric Cardiac Anesthesia. 4th ed, 2005
1. KOMPETENSI
493
Mampu melakukan persiapan preoperatif pasien dengan kelainan jantung dengan optimal
(termasuk persetujuan setelah mendapatkan informasi yang adekuat), baik untuk bedah kardiak
maupun nonkardiak, melakukan pemantauan yang baik dan tepat, melakukan pemasangan dan
interpretasi monitor invasif serta penatalaksanaan pascabedah pasien bedah jantung, mampu
berespons adekuat dalam kegawatan kardiovaskular dan mampu menggunakan obat-obat
kardiovaskular dengan tepat.
RANAH KOMPETENSI
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi dalam ranah-ranah berikut
ini :
Kognitif
Psikomotor
13. Mampu melakukan pemeriksaan preoperatif pasien untuk bedah jantung, meliputi
anamnesis, pemeriksaan fisis dan penunjang yang tepat.
14. Mampu menilai kelayakan anestesia untuk bedah jantung dan bedah non jantung.
494
15. Mampu menentukan pasien yang berisiko tinggi untuk tindakan bedah jantung dan
bedah nonjantung.
16. Mampu melakukan persiapan preoperatif bedah jantung dan bedah nonjantung,
termasuk menentukan puasa dan premedikasi, dengan pengawasan dan persetujuan
konsulen .
17. Mampu mempersiapkan peralatan dan obat-obatan yang diperlukan untuk anestesia
bedah jantung dan bedah non jantung, atas persetujuan konsulen.
18. Mampu melakukan pemantauan yang baik dan sesuai untuk anestesia bedah jantung dan
bedah nonjantung, dengan pengawasan ketat konsulen.
19. Mampu melakukan pemasangan monitor invasif, seperti pemasangan kateter vena
sentral (CVC) dan kanul arterial untuk pemantauan tekanan darah arterial, di bawah
supervisi konsulen.
20. Mampu melakukan penatalaksanaan pascabedah pasien bedah jantung dan bedah non
jantung, dengan supervisi ketat konsulen.
21. Mampu mengenali tanda-tanda komplikasi yang dapat timbul pascabedah jantung.
22. Mampu melakukan tindakan penyelamatan nyawa, termasuk RJP pada kegawatan
kardiovaskular sebelum, selama dan sesudah operasi bedah jantung dan bedah non
jantung.
23. Mampu menggunakan obat-obat kardiovaskular dengan tepat indikasi, tepat dosis dan
tepat cara pemberian.
Komunikasi/Hubungan Interpersonal
6. Mampu menjelaskan kepada pasien dan keluarganya tentang kondisi prabedah pasien,
tindakan anestesia yang akan dilakukan serta risiko yang dapat timbul pada pasien
bedah jantung dan bedah nonjantung.
7. Mampu menjelaskan pada pasien atau keluarga pasien tentang garis besar tindakan
pembedahan dan penggunaan teknik CPB beserta risiko dan komplikasinya.
8. Mampu memberikan penjelasan kepada rekan sejawat atau konsulen tentang kondisi
pasien untuk kemungkinan pemeriksaan tambahan, pemberian obat-obatan atau upaya
optimalisasi kondisi pasien.
9. Mampu menjelaskan tentang kondisi pasien kepada operator sebelum operasi, terutama
untuk mencegah terjadi keadaan atau kondisi pasien yang tidak diinginkan.
10. Mampu berinteraksi atas dasar saling menghormati dan menciptakan kondisi kerjasama
tim yang terlibat di kamar bedah.
Profesionalisme
495
11. Mampu memahami, memberikan penjelasan kepada pasien atau keluarganya tentang
kondisi pasien sesuai hak pasien.
12. Mampu melakukan pekerjaan secara efisien.
2. KEYNOTES :
10. Bedah jantung mencakup serangkaian tindakan yang kompleks dan dapat menyebabkan
perubahan anatomik maupun hemodinamik yang dramatis sesudahnya.
11. Anestesia pada bedah jantung dan bedah nonjantung juga sangat bervariasi, bergantung
pada diagnosis, kondisi pasien dan jenis operasi yang akan dijalani.
12. Pada semua pasien harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan prabedah yang
disesuaikan dengan jenis kelainan dan jenis pembedahan.
13. Persiapan prabedah yang optimal dapat menurunkan risiko komplikasi anestesia.
14. Pemantauan hemodinamik secara kontinyu adalah krusial.
15. Komplikasi pascabedah jantung dan bedah nonjantung menyangkut semua sistem dan
organ tubuh.
3. GAMBARAN UMUM
Bedah jantung adalah kerja tim yang memerlukan keterlibatan penuh ahli bedah, anestetis,
perfusionis dan tenaga medis lain. Prosedur anestesia untuk bedah jantung dan bedah non
jantung pada pasien dengan kelainan jantung sangat bervariasi, bergantung diagnosis,
kondisi klinis dan jenis pembedahannya. Penatalaksanaan anestesia bedah jantung dan
bedah nonjantung pada pasien dengan kelainan jantung adalah penatalaksanaan
perioperatif. Seorang anestetis yang akan memberikan anestesia bedah jantung dan
bedah nonjantung harus terlibat sejak prabedah, selama pembedahan maupun
pascabedah. Pada pasien dengan kelainan jantung, kedaruratan dapat terjadi setiap saat.
Oleh karena itu seorang anestetis harus menguasai benar RJP dan obat-obat
kardiovaskular.
4. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah proses alih pengetahuan, keterampilan dan perilaku melalui modul ini, diharapkan
peserta didik memiliki kemampuan untuk:
5. menilai kelayakan pasien untuk menjalani bedah jantung dan bedah nonjantung pada
pasien dengan kelainan jantung
6. melaksanakan penatalaksanaan perioperatif pasien bedah jantung dan bedah non
jantung pada pasien dengan kelainan jantung, di bawah supervisi konsulen (konsultan
anestesia kardiovaskular)
7. memberi penjelasan yang adekuat kepada pasien atau keluarga pasien tentang hal-hal
yang berhubungan dengan pembedahan, menyangkut risiko dan kemungkinan
496
komplikasi yang berhubungan dengan anestesia, CPB maupun teknik pembedahannya
sendiri
8. melakukan pemasangan dan interpretasi pemantauan untuk bedah jantung, invasif
maupun tidak
9. melakukan penatalaksanaan pascabedah jantung
10. mendeteksi dan melakukan tindakan penyelamatan dengan cepat dan tepat pada
kegawatan kardiovaskular
11. menggunakan obat-obat kardiovaskular secara tepat
5. METODE PEMBELAJARAN
Bahan acuan
Tujuan 1 : Menentukan kelayakan pasien untuk menjalani bedah jantung dan bedah non
jantung pada pasien dengan kelainan jantung
Metode pembelajaran
Diskusi kelompok kecil
Peer assisted learning (PAL)
Bedside teaching
Task-based medical education
Demo & Coaching
Praktek klinis
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
7. Menguasai klasifikasi NYHA.
8. Memahami bahwa kondisi yang optimal bagi pasien dengan kelainan jantung dapat
sangat individual.
9. Memahami bahwa kondisi tertentu mungkin tidak dapat mentoleransi anestesia,
pembedahan atau digunakannya teknik CPB.
10. Menguasai batas nilai-nilai berbagai parameter yang dapat mentoleransi bedah jantung.
11. Menguasai persyaratan penghentian beberapa medikamentosa prabedah atau konversi
obat perioperatif.
497
Tujuan 2: Melaksanakan persiapan preoperatif bedah jantung dan bedah nonjantung
pada pasien dengan kelainan jantung
Metode pembelajaran
Diskusi kelompok kecil
Peer assisted learning (PAL)
Bedside teaching
Task-based medical education
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Memahami bahwa operasi jantung adalah tindakan berisiko tinggi terhadap pasien yang
juga berisiko tinggi dan dapat meningkat oleh karena faktor-faktor tambahan, seperti
kebiasaan/gaya hidup, usia, kelainan endokrin, kelainan ginjal dll.
2. Menguasai teknik anamnesis yang sesuai untuk kelainan jantung yang bertujuan
mengetahui beratnya penyakit, faktor risiko dan penyulit lain.
3. Memahami interpretasi hasil pemeriksaan penunjang.
4. Menguasai persiapan prabedah jantung, termasuk pemeriksaan tambahan yang
diperlukan, pemberian premedikasi dan penentuan puasa, penghentian obat-obat oral
prabedah.
Tujuan 3: Menguasai teknik memberikan penjelasan yang adekuat tentang risiko dan
kemungkinan komplikasi yang berhubungan dengan anestesia, CPB maupun teknik
pembedahannya sendiri
Metode pembelajaran
Diskusi kelompok kecil
Studi kasus
Bedside teaching
Praktek klinis
Memberi penjelasan tentang faktor-faktor risiko yang dimiliki pasien yang dapat menjadi
penyulit anestesia maupun keseluruhan prosedur pembedahan, dalam bahasa yang
difahami pasien.
498
Memberi penjelasan kepada sejawat yang merawat pasien tentang penatalaksanaan prabedah
yang diperlukan.
Memberi penjelasan kepada tim bedah tentang risiko maupun penyulit pada pasien dan
mendiskusikan cara-cara untuk mengurangi komplikasi yang dapat timbul.
Metode pembelajaran
Diskusi kelompok kecil
Studi kasus
Bedside teaching
Demo & Coaching dengan menggunakan penuntun belajar dan
Praktek klinis
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Menguasai operasional semua alat monitor yang ada. Monitor standard untuk bedah
jantung memiliki minimal 8 channels (EKG 2 leads, 2 invasif pressure, SpO2, suhu,
ETCO2, RR/ NIBP).
2. Mempersiapkan peralatan untuk pemantauan kontinyu, termasuk pemasangan transducer
line. Pressure bag diatur hingga tekanan 300 mmHg dan cairan transducer adalah
kristaloid berisi 500-1000 IU heparin per 500 ml.
3. Mempersiapkan perlatan untuk insersi pemantauan invasif. Ukuran CVC dan kanula
arterial disesuaikan dengan umur dan berat badan pasien. CVC minimal 2 lumen, satu
untuk pemantauan kontinyu dan satu lumen untuk jalur obat infusi.
4. Menguasai teknik insersi kateter vena sentral (CVC) dan kanula arterial, di bawah
pembiusan maupun analgetik lokal. Insersi CVC dianjurkan melalui v. jugularis atau vena
subklavia. Insersi kanula arterial dapat melalui a. radialis, a. brakialis atau a. femoralis.
5. Menguasai proses kalibrasi pemantauan invasif.
6. Melakukan pemantauan noninvasif (suhu inti tubuh, produksi urin, SpO2) harus
dilakukan secara kontinyu. Penggunaan CPB dan kardioplegia memerlukan hipotermia.
Suhu ruangan yang dapat diatur adalah krusial. Pada periode rewarming suhu pasien
pun ditingkatkan bertahap. Penggunaan blanket roll/heater-cooler blanket juga
keharusan.
7. Menguasai interpretasi hasil pemantauan kontinyu dan berespons cepat terhadap
perubahan nilai parameter yang mengancam nyawa.
8. Setiap bentuk aritmia harus diwaspadai. Aritmia yang mengancam nyawa harus diatasi,
dengan defibrilasi/ kardioversi; baik internal (ketika rongga toraks terbuka) maupun
eksternal (ketika toraks utuh); atau dengan medikamentosa.
499
Tujuan 5: Melakukan penatalaksanaan pascabedah jantung dan bedah nonjantung pada
pasien dengan kelainan jantung
Metode pembelajaran
6. MEDIA
500
Pelatihan di kamar bedah insersi CVC dan kanula arterial, dengan bimbingan dan
pengawasan konsulen/ konsultan anestesia kardiovaskular.
8. EVALUASI
8.1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-tes dalam bentuk esai dan lisan untuk menilai kinerja
awal peserta didik dan melakukan identifikasi kekurangan yang ada. Materi pre-tes terdiri
atas :
18. kelayakan pasien untuk menjalani bedah jantung dan bedah nonjantung pada pasien
dengan kelainan jantung
19. penatalaksanaan perioperatif pasien bedah jantung dan bedah nonjantung pada pasien
dengan kelainan jantung
20. risiko dan kemungkinan komplikasi yang berhubungan dengan anestesia, CPB maupun
teknik pembedahan jantung
21. pemantauan invasif maupun noninvasif untuk bedah jantung
22. penatalaksanaan pascabedah jantung dan bedah nonjantung pada pasien dengan
kelainan jantung
23. kedaruratan kardiovaskular
24. obat-obat kardiovaskular
8.2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang
teridentifikasi, membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.
8.3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam penuntun belajar
pada manikin anestesia bersama teman-temannya (peer assisted learning), dievaluasi
oleh teman-temannya (peer assisted evaluation).
8.4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di bawah
pengawasan fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien sesungguhnya.
Pada saat pelaksanaan, evaluator melakukan pengawasan langsung dan mengisi lembar
penilaian:
- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak dilakukan
501
- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya tindakan anestesia
tidak mulus sehingga kurang memberi kenyamanan kepada pasien
8.5. Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.
8.6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun belajar.
8.8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan atau
diberi tugas untuk memperbaiki kinerja.
Isi pre-tes :
502
Bentuk ujian :
1. Pengetahuan kognitif
- MCQ
- EMQ
Ujian lisan
Tindakan / operasi :
PERSIAPAN PRAANESTESIA
2 Penentuan NYHA
503
3 Persiapan alat, mesin anestesia, STATICS, obat
ANESTESIA
2 Insersi CVC
PENATALAKSANAAN PASCABEDAH
504
10. DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda X bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah / tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau penuntun
X Tidak memuaskanTidak mampu untuk mengerjakan langkah /tugas sesuai dengan prosedur
standard atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dialakukan oleh peserta latih
selama penilaian oleh pelatih
505
Peserta dinyatakan: Tanda tangan pelatih
Layak
Tidak layak
Melakukan prosedur
Bedah jantung mencakup serangkaian tindakan yang kompleks dan dapat menyebabkan
perubahan anatomik maupun hemodinamik yang dramatis sesudahnya. Anestesia pada bedah
jantung sangat bervariasi, bergantung pada diagnosis, kondisi pasien dan jenis operasi yang akan
dijalani. Pada semua pasien harus dilakukan anamnesis dan pemeriksaan prabedah untuk
mengetahui derajat beratnya penyakit, mempertimbangkan risiko dan kemungkinan komplikasi
serta merencanakan tindakan anestesia yang tepat. Status kelas fungsional menurut NYHA harus
ditentukan. Pemeriksaan penunjang harus memberi petunjuk fungsi sistem dan organ-organ vital,
misalnya sistem koagulasi darah, fungsi ginjal, pernafasan, dsb.
Persiapan prabedah yang optimal dapat menurunkan risiko komplikasi anestesia. Fungsi
pernafasan yang buruk sebaiknya diterapi dulu dengan inhalasi, fisioterapi, terapi oksigen dan
bila perlu antibiotika.
Pasien yang mendapat antidiabetika oral harus dikonversi dengan insulin, setidaknya 24 jam
sebelum pembedahan. Diuretika sebaiknya dihentikan. Antihipertensi dapat diteruskan hingga
pagi sebelum operasi. Demikian pula obat antiaritmia. Obat-obat antikoagulan oral harus sudah
dihentikan 1 pekan sebelum pembedahan. Jika pasien mempunyai risiko trombosis dapat
diberikan heparin. Pemberian heparin dihentikan 6 jam prabedah.
506
Persetujuan setelah mendapatkan informasi yang adekuat adalah mutlak. Pasien dan keluarganya
harus mengerti benar prosedur anestesia dan pembedahan yang akan dijalani, risiko yang
dimiliki pasien dan kemungkinan komplikasi yang mungkin terjadi. Premedikasi disesuaikan.
Pada pasien dengan kondisi yang sangat buruk tidak perlu diberikan premedikasi. Penentuan
puasa sama dengan operasi yang lain.
Pemantauan tanda-tanda vital harus segera dilakukan begitu pasien tiba dalam kamar bedah.
EKG, SpO2, NIBP segera dipasang. Dalam bedah jantung diperlukan pemantauan hemodinamik
invasif dan kontinyu. Insersi CVC dan kanula arterial dapat dilakukan sebelum induksi, terutama
pada pasien dengan kondisi yang buruk. Pemasangan CVC dan kanula arterial pada anak-anak
dilakukan setelah induksi dan intubasi.
CVC juga sangat berguna untuk jalur pemberian obat-obatan. Seringkali sejak awal diperlukan
pemberian inotropik untuk menjaga hemodinamik pasien. Obat-obat lain, seperti antiperdarahan,
antiinflamasi dll diberikan sebelum CPB dimulai.
Induksi pada bedah jantung dapat dilakukan dengan berbagai obat, namun dianjurkan dengan
dosis titrasi. Patut dihindari obat-obat yang sangat menekan fungsi kardiovaskular. Analgesia
yang baik adalah krusial, karena itu digunakan analgetik yang kuat (opioid). Pelumpuh otot
disesuaikan dengan efeknya pada hemodinamik dan lama kerjanya.
Komplikasi pascabedah jantung dapat sangat luas, bukan hanya menyangkut sistem
kardiovaskular namun juga semua sistem dan organ tubuh. Perawatan intensif pascabedah
bertujuan untuk stabilisasi hemodinamik. Pemantauan ketat dan kontinyu harus dilakukan untuk
semua sistem dan organ. Deteksi dini keadaan yang dapat membahayakan nyawa diikuti dengan
respons yang cepat.
12. REFERENSI
Books/McGraw-Hill; 2002
5.Lake CL, Booker PD. Pediatric Cardiac Anesthesia. 4th ed, 2005
507
Modul 27 ANESTESIA BEDAH
DARURAT
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
CD power point
Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang radiologi
4. Ruang ECT RS Jiwa
5. Ruang pulih
6. Bangsal rawat inap/pengamatan Lanjut
Kasus : pasien di ruang bedah darurat
508
Penuntun belajar : lihat acuan materi
Referensi :
1. Donegan JH. Manual of Anesthesia for Darurat Surgery. New York: Churchill
Livingstone; 1987.
TUJUAN UMUM
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu memberikan anestesia untuk bedah darurat.
TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi dalam ranah-ranah berikut ini
:
Kognitif
2. Mengetahui alat pemantauan dan obat-obatan apa yang perlu diadakan di kamar operasi
bedah darurat.
3. Memahami persiapan anestesia untuk operasi bedah darurat
4. Memahami teknik anestesia untuk operasi bedah darurat baik anestesia umum atau
analgesia regional.
5. Memahami komplikasi anestesia untuk operasi bedah darurat
6. Memahami kasus-kasus yang dilakukan operasi bedah darurat.
Psikomotor
1. Mampu melakukan persiapan obat dan alat untuk memberikan anestesia operasi
bedah darurat
2. Mampu melakukan persiapan pemberian anestesia untuk operasi bedah darurat
3. Mampu memberikan anestesia untuk bedah darurat baik anestesia umum atau
analgesia regional.
4. Mampu mengatasi komplikasi anestesia untuk operasi bedah darurat
Profesionalisme
509
darurat
KEYNOTES:
1. Operasi darurat dapat mengenai semua kelompok umur pasien dan semua kelompok satus fisis.
2. Tidak cukup waktu untuk mengevaluasi dan mempersiapkan pasien.
3. Lambung penuh yang memperbesar risiko terjadinya aspirasi pneumonia
4. Dapat disertai intoksikasi obat atau alkohol
5. Adanya hipoksia dan hiperkarbia prabedah
6. Adanya kemungkinan ketidak stabilan hemodinamik prabedah
7. Adanya kemungkinan cedera multipel.
8. Bedah darurat dapat dilakukan dengan anestesia umum atau analgesia regional.
GAMBARAN UMUM
Untuk dapat mengelola pasien pembedahan gawat darurat maka para peserta didik harus mengerti dan
memahami alat pemantauan dan obat-obatan apa yang perlu diadakan di kamar operasi bedah darurat,
memahami persiapan anestesia untuk operasi bedah darurat, memahami teknik anestesia untuk operasi
bedah darurat, memahami komplikasi anestesia untuk operasi bedah darurat, memahami kasus-kasus yang
dilakukan pada operasi bedah darurat.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik diharapkan mampu melakukan persiapan obat dan alat untuk
memberikan anestesia operasi bedah darurat, mampu melakukan persiapan pemberian anestesia untuk
operasi bedah darurat, mampu memberikan anestesia untuk bedah darurat, mampu mengatasi komplikasi
anestesia untuk operasi bedah darurat.
METODE PEMBELAJARAN
510
MEDIA
5. Papan tulis
6. Komputer
7. LCD dan slide projector
8. Pasien di ruang diagnostik dan ECT
5. Virtual patients
6. Reading assigment
7. Audiovisual
8. Perpustakaan, internet, skill lab
EVALUASI
5. Kognitif :
EMQ
Multiple observers/raters
OSCE
Minicheck
6. Skill/psikomotor :
Multiple observations and assessments
Multiple observers
OSCE
Minicheck
Multiple observers/rater
8. Profesionalisme
Multiple Observations and assessments
Multiple observers/rater
Pre-tes
511
1. Terangkan tentang persiapan pasien yang akan dilakukan bedah darurat
2. Sebutkan macam-macam bedah darurat pada bedah saraf, mata, THT, toraks,
abdominal, pediatrik, obstetri.
3. Kenapa glaukoma maligna merupakan operasi darurat ? bagaimana cara
memberikan anestesianya?
4. Bagaimana cara persiapan dan anestesia untuk perdarahan tonsil?
5. Bagaimana persiapan anestesia pasien dengan ileus obstruktif?
6. Bagaimana cara persiapan dan teknik anestesia untuk epidural hematoma dengan
GCS < 8?
7. Bagaimana persiapan dan teknik anestesia untuk operasi pediatrik dengan
gastroskizis?
8. Bagaimana persiapan dan teknik anestesia untuk seksio sesarea dengan gawat
janin?
9. Apakah keuntungan dan kerugian analgesia regional untuk operasi darurat?
Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).
Bentuk ujian :
4. Kognitif
a. EMQ
b. Multiple observation and assessments
c. Multiple observers
d. OSCE
e. Minicheck
5. Skill/psikomotor
a. Multiple observation and assessments
b. Multiple observers
c. OSCE
d. Minicheck
6. Affective : professionalisme, communication and interpersonal skills
a. Multiple observation and assessments
b. Multiple observers
Tindakan / operasi :
512
dilakukan dilakukan
2 Teknik induksi
DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur
memuaskan standard atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih
513
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
514
Tanda tangan dan nama terang
MATERI ACUAN
Pendahuluan:
Rentang pasien yang memerlukan anestesia untuk operasi bedah atau obstetri darurat mengenai
semua kelompok umur dan berbagai status fisis. Sejumlah problema terdapat dalam setting
darurat yang memerlukan pertimbangan khusus bila dilakukan anestesia untuk pasien-pasien
ini. Tidak adekuatnya waktu untuk melakukan evaluasi prabedah dan mengoptimalkan
problema medis prabedah. Kekurangan pengendalian problema medis prabedah merupakan
faktor utama untuk tingginya mortalitas pada operasi darurat dibandingkan dengan operasi
terencana.
Adanya lambung penuh karena faktor-faktor yang memperlambat pengosongan lambung
umumnya terdapat pada situasi darurat seperti nyeri, sedasi, cemas, syok, persalinan. Problema
medis lain yang memperlambat pengosongan lambung adalah diabetes, obesitas, hiatal hernia,
dan baru dilakukan dialisis.
Problema lain adalah pasien mungkin sedang dalam intoksikasi obat atau alkohol. Hipoksia
sering terjadi pada pasien dengan kecelakaan lalu lintas, dan penyebab hipoksia adalah cedera
jalan nafas atas dan muka, cedera kardiotorasik, syok, aspirasi paru, cedera kepala, cedera
medula spinalis, luka bakar pada saluran nafas dan smoke inhalasi, sepsis, overload cairan,
embolus paru. Pasien mungkin mengalami instabilitas hemodinamik, atau cedera di berbagai
tempat (multipel cedera).
Persiapan:
Kesiapsiagaan untuk operasi darurat adalah persiapan kamar bedah dan alat-alat anestesia yang
siap pakai misalnya:
1) mesin anestesia yang telah disiapkan, 2) alat-alat untuk ventilasi, oksigenasi, intubasi, dan
isap, 3) alat monitor, 4) set untuk infusi dan transfusi, 5) pompa untuk pemberian darah dan
penghangat darah, 6) selimut pemanas, 7) label untuk obat dan 8) defibrilator.
Penilaian pasien:
Evaluasi prabedah dilakukan segera sebelum pembedahan dan kadang-kadang saat pasien
didorong ke meja operasi. Penilaian harus mengikuti prinsip triage yaitu jalan nafas control and
servikal spine control, oksigenasi dan ventilasi, pertahankan stabilitas hemodinamik termasuk
pengendalian aritmia jantung dan perdarahan, evaluasi problem medis dan cedera lain, lakukan
observasi dan pemantauan terus menerus. Anamnesis tentang penyakit yang menyertai, riwayat
alergi, komplikasi yang terjadi bila telah mengalami anestesia dan transfusi, obat yang dimakan,
515
riwayat pengalaman keluarga yang telah mengalami pembedahan/anestesia, makan-minum
terakhir.
Persiapan pasien:
Perbaikan kondisi pasien dilakukan semampu mungkin karena kita berkejaran dengan waktu
bahwa pasien harus segera dilakukan tindakan pembedahan. Persiapan ini, yang walaupun
hanya tersedia waktu yang singkat, misalnya pembedahan darurat untuk seksio sesarea, harus
dilakukan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas. Keadaan ini terutama untuk pasien
dengan gagal jantung, penyakit jantung iskemik, dan gagal ginjal.
Premedikasi:
Premedikasi sering tidak dilakukan pada bedah darurat disebabkan karena tidak adanya waktu
atau karena kondisi pasien yang buruk. Akan tetapi, premedikasi tetap diberikan jika pasien
tidak sakit kritis, operasi tidak betul-betul darurat, dan pasien memerlukan dukungan psikologis.
Hal ini sering terlupakan oleh personil yang bekerja di kamar bedah darurat. Anestetis dapat
memberikan keterangan kepada pasien dengan hati-hati, pelahan dan tenang kenapa dan
bagaimana proses anestesia akan dilakukan.
Pemberian obat untuk menaikkan pH gaster, menurunkan volume gaster, meningkatkan tonus
sfingter gastroesofageal digunakan sebagai usaha untuk mengurangi kemungkinan terjadinya
aspirasi cairan gaster. Obat yang diberikan antara lain antasid, antikolinergik, H2 reseptor
antagonis, dan metoklopramid. Obat tersebut mempunyai keuntungan dan kerugian tertentu,
tapi tidak 100% efektif, jadi tetap diperlukan tindakan untuk mencegah regurgitasi dan aspirasi
selama induksi anestesia.
Obat Keuntungan Kerugian
Antasid pH gaster meningkat Volume gaster meningkat
Beberapa jenis partikulate
menyebabkan sekuele pulmonal bila
teraspirasi
Antikolinergik Mungkin meningkatkan pH Menurunkan tonus sfinger
gaster gastroesofageal
Memperlambat pengosongan lambung
H2-reseptor bloker Menurunkan produksi cairan Tidak mempengaruhi volume atau pH
lambung : menurunkan isi gaster
volume gaster, meningkatkan
Efeknya baru ada bila diberikan 60-90
pH gaster.
menit bila diberikan peroral atau IM.
Tidak menurunkan tonus
Simetidin dapat menyebabkan aritmia
sfingter gastroesofageal
jantung bila diberikan intravena.
Dapat menimbulkan bronkospasme
pada pasien asma
Metoklopramid Menurunkan volume gaster Tidak meningkatkan pH gaster
Meningkatkan tonus sfingter Dapat menimbulkan sedasi dan gejala
gastroesofageal. ekstrapiramidal.
516
Operasi darurat untuk bedah saraf adalah untuk memindahkan space occupying lesion dalam
rangka untuk menghilangkan tekanan pada otak atau medula spinalis. Penting untuk diingat
bahwa pasien dengan lesi massa intrakranial melebihi 100 ml berisiko untuk terjadi hipertensi
intrakranial bila mengalami stres. Sasaran dokter anestesia adalah mencegah terjadinya stres
yang mempresipitasi atau memperburuk hipertensi intrakranial.
Kondisi yang memerukan opearsi darurat mata adalah glaukoma malignan, ablasi retina,
trauma, dan transplantasi kornea.
Trauma pada muka dapat berupa kombinasi dari kontusio jaringan lunak, laserasi, fraktur
maksilofasial, dan kerusakan gigi. Bergantung pada penyebab trauma, mungkin dihubungkan
dengan terjadinya trauma pada mata, laringotrakeal, atau serebrospinal. Disebabkan karena >
50% semua trauma maksilofasial akibat kecelakaan lalu lintas, maka dapat juga disertai dengan
trauma dada, abdomen, tulang panjang sehingga pertimbangan umumnya adalah pemeliharaan
jalan nafas yang adekuat, pengendalian perdarahan, dan lambung penuh. Operasi darurat akibat
perdarahan tonsil memerlukan perhatian pada masih adanya efek anestesia, hipovolemia akibat
perdarahan, dan lambung penuh darah yang tertelan sehingga ada bahaya aspirasi saat induksi
anestesia.
Referensi:
1. Donegan JH. Manual of Anesthesia for Darurat Surgery. New York: Churchill Livingstone; 1987.
INVASIF MINIMAL
517
Persiapan Sesi
Audiovisual
26. Laptop
27. OHP
28. Flipchart
29. Pemutar video
Materi prsentasi :
CD power point
Sarana
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang pulih
4. Ruang rawat inap / pengamat lanjut
Kasus : pasien di ruang bedah digesttif dan kebidanan
Referensi :
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik mampu melakukan tatalaksana perioperatif operasi invasif
minimal (selanjutnya disingkat dengan OIM) atau operasi laparoskopi (selanjutnya disingkat OL) yang
meliputi: evaluasi dan persiapan preoperatif dengan baik dan cermat, melakukan penatalaksanaan
anestesia secara benar dan aman sehingga menghasilkan trias anestesia yang optimal, melakukan
518
penatalaksanaan reanimasi yang adekuat selama prosedur berlangsung, melakukan pemantauan,
melakukan prosedur pemulihan anestesia yang aman dan mulus serta melakukan tatalaksana pasca-
anestesia/operasi yang rasional.
Kognitif
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk menjelaskan langkah-langkah
evaluasi preoperatif yang meliputi; anamnesis, pemeriksaaan fisis, pemeriksaan penunjang, dan konsultasi
untuk menentukan status fisis ASA preoperatif pasien OIM atau OL.
1. Penyakit sistemik lain yang diderita pasien yang dapat mempengaruhi jalannya anestesia
untuk OIM atau OL.
2. Deskripsi prosedur OIM atau OL, elemen esensial, bahaya dan pertimbangan keamanan
pasien yang akan dilakukan OIM atau OL.
3. Persiapan preoperatif yang harus dilaksanakan baik persiapan rutin maupun persiapan
khusus; di rumah (pada pasien rawat jalan), di bangsal/ruang perawatan, di kamar persiapan IBS dan
di kamar operasi.
4. Rencana anestesia dan reanimasi yang akan dilakukan untuk prosedur OIM atau OL
5. Pemantauan dan penyulit yang dapat terjadi selama OIM atau OL.
6. Perubahan fisiologis akibat insuflasi gas CO2 dan perubahan posisi trendelenburg, anti-
trendelenburg, lateral, litotomi, terhadap kondisi pasien selama anestesia untuk OIM atau OL.
7. Cara mengenali dan menangani komplikasi pemakaian gas CO2 dan pemakaian alat bedah
elektrik pada OIM atau OL.
8. Pemantauan, beberapa penyulit yang dapat terjadi dan penatalaksanaannya pasca OIM atau
OL.
9. Rekam medis perioperatif pasien OIM atau OL.
Psikomotor
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk :
519
6. Melakukan pemantauan dan segera melakukan penanggulangan terhadap penyulit yang
dapat terjadi selama OIM atau OL.
7. Melakukan antisipasi terhadap perubahan fisiologis akibat insuflasi gas CO2 dan
perubahan posisi trendelenburg, anti-trendelenburg, lateral, litotomi, terhadap kondisi pasien selama
anestesia untuk OIM atau OL.
8. Mengenali dan menangani komplikasi pemakaian gas CO2 dan pemakaian alat bedah
elektrik pada OIM atau OL.
9. Melakukan pemantauan, menegakkan diagnosis penyulit-penyulit yang dapat terjadi dan
melakukan penatalaksanaannya pasca OIM atau OL.
10. Membuat rekam medis perioperatif OIM atau OL.
Komunikasi/hubungan interpersonal
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan berkomunikasi /hubungan
interpersonal, untuk :
1. Menjelaskan kepada pasien atau keluarganya tentang kondisi pasien preoperatif, tindakan
anestesia dan reanimasi yang akan dilakukan dan risiko yang dapat timbul selama OIM atau OL.
2. Menjelaskan kepada rekan sejawat atau konsulen tentang kondisi pasien untuk kemungkinan
pemeriksaan tambahan, pemberian obat-obatan atau upaya optimalisasi kondisi pasien.
3. Menjelaskan tentang kondisi pasien kepada operator sebelum operasi terutama untuk mencegah
terjadi keadaan atau kondisi pasien yang tidak diinginkan.
4. Berinteraksi atas dasar saling menghormati dan menciptakan kondisi kerjasama tim yang
terlibat di kamar bedah.
5. Memperoleh dan atau memberikan kemudahan kepada pasien untuk dirawat di ICU atau ruang
lain sesuai kondisi pasien pascabedah.
Profesionalisme
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk :
Key notes :
520
1. CO2 pneumoperitonium dapat mempengaruhi perubahan ventilasi dan pernafasan.
Pneumoperitonioum dapat menurunkan kekembangan toraksopulmoner. PaCO meningkat (15 %
menjadi 25 %) karena absorbsi CO2 dari rongga peritonium. Kapnograf mencerminkan kenaikan
ini dengan benar yang mendatar (plateau ) setelah 20 30 menit.
3. Kenaikan PETCO2 lebih dari 25 % dan / atau terjadi lebih dari 30 menit setelah memulai insuflasi
CO2 ke dalam peritonioum akan memberi kesan emfisema subkutan, komplikasi yang paling
sering selama laparoskopi.
4. Insuflasi peritonium menyebabkan ganguan hemodinamik yang karakteristik berupa curah jantung
turun, tekanan nadi naik dan peningkatan resistensi pembuluh darah sistemik dan pulmoner.
5. Perubahan patofisiologi hemodinamik dapat dikurangi atau dicegah dengan optimasi prabeban
sebelum pneumoperitonium, obat vasodilator, antagoinis 2- reseptor adrenergik, opioid dosis
besar, dan obat bloker.
6. Perubahan patofisiologis yang sama terjadi selama kehamilan dan pada anak-anak. Laparoskopi
dapat dilaksanakan dengan aman pada kehamilan sebelum pekan ke 23, asal saja hindari
hiperkarbia. Laparoskopi terbuka sebaiknya dipertimbangkan untuk menghindarkan kerusakan
uterus.
7. Laparoskopi dengan sedikit gas dapat menolong mengurangi perubahan patofisiologi yang
dicetuskan oleh pneumoperitonium CO2 tetapi sayang sekali akan menambah kesulitan teknis
operasi.
9. Walaupun tidak ada teknik anestesia yang superior secara klinis dari yang lain, anestesia umum
dengan nafas kendali nampaknya merupakan teknik yang paling aman untuk operasi laparoskopi.
10. Peningkatan ilmu sebagai konsequensi laparoskopi intraoperatif, memungkinkan manajemen yang
aman untuk pasien dengan penyakit kardiorespiratori yang makin berat, yang dapat menghasilkan
keuntungan berikutnya dari keuntungan pascabedah yang ditawarkan oleh teknik ini
521
1.2.Elemen esensial untuk OIM atau OL
Target
Gambaran umum
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu mengelola pasien bedah digestif dan bedah obstetri
ginekologi untuk operasi laparoskopi.
Tujuan Pembelajaran
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu memahami tentang pneumoperitoneum dan posisi
pasien untuk laparoskopi yang dapat mencetuskan perubahan patofisilogis yang dapat mempersulit
tindakan anestesia. Lama tindakan untuk beberapa operasi laparoskopi, risiko cedera visera yang tak
terduga, dan kesulitan melakukan evaluasi perdarahan menjadi faktor yang penyebab bahwa anestesia
untuk laparoskopi merupakan prosedur dengan risiko tinggi. Pengertian patofisiologi peningkatan
tekanan intra-abdominal sangat penting untuk seorang anestetis yang seharusnya dihindarkan; atau bila
tidak mungkin perubahan ini harus dapat dievaluasi dan pasien disiapkan dengan baik.
Metode pembelajaran
522
Pembelajaran Classroom orientation
independen
Diskusi kelompok kecil dan
Pembelajaran umpan balik
berdasarkan problema
Problema penatalaksanaan
pasien (morning report).
Problema penatalaksanaan
pasien
Problema penatalaksanaan
pasien
Problema penatalaksanaan
pasien
Internet
523
4 Profesionalisme Poliklinik, bangsal Buku teks/diktat/protap
Evaluasi
Multiple observers
Logbook
Multiple observers
Multiple observers
524
1. Prosedur OIM atau OL
Waktu : 50 menit
Skenario kasus
Seorang wanita usia 20 tahun diantar oleh keluarganya ke poliklinik bedah umum dengan keluhan utama
nyeri perut kanan bawah yang dideritanya sudah sejak 3 (tiga) bulan. Pada saat kumat sering disertai
mual-muntah dan nyeri waktu berjalan. Dokter bedah umum di poliklinik mencurigai radang usus buntu
kronis. Selanjutnya pasien dikonsulkan ke divisi bedah digestif untuk pertimbangan operasi dengan teknik
OIM atau OL.
Tugas :
1. Jelaskan secara singkat apa yang mendasari dokter bedah umum untuk mempertimbangkan
prosedur OIM atau OL bagi penderita ini.
2. Uraikan secara singkat elemen esensial yang dibutuhkan untuk prosedur OIM pada apendektomi
3. Menurut analisis saudara apa saja kemungkinan penyulit atau bahaya OIM atau OL pada
apendektomi.
4. Jelaskan upaya-upaya untuk mengamankan pasien dari sudut pandang prosedur OIM atau OL
pada apendektomi
Penilaian mandiri :
1. Jelaskan secara singkat deskripsi/terminologi yang berkaitan dengan OIM atau OL dan latar
belakang perkembangan OIM
2. Uraikan secara singkat 8 (delapan) elemen esensial untuk OIM atau OL .
3. Uraikan secara singkat 3 (tiga) bahaya potensial pada saat punksi endoscopy.
4. Jelaskan beberapa pertimbangan yang perlu dilakukan untuk keamanan dan keselamatan pasien
OIM atau OL.
525
Referensi :
Endoscopic Surgery di dalam buku Berry & Kohns; Operating Room Technique edisi 10. 2004. hal 622
634.
Waktu : 3 x 50 menit
Skenario kasus
Seorang wanita usia 20 tahun diantar oleh keluarganya ke poliklinik bedah umum dengan keluhan utama
nyeri perut kanan bawah yang dideritanya sudah sejak 3 (tiga) bulan. Pada saat kumat sering disertai
mual-muntah dan nyeri waktu berjalan. Dokter bedah umum di poliklinik mencurigai radang usus buntu
kronis. Selanjutnya pasien dikonsulkan ke divisi bedah digestif untuk pertimbangan operasi dengan teknik
OIM atau OL. Divisi bedah digestif sepakat untuk melakukan prosedur OIM atau OL untuk apendektomi
berencana.
Tugas :
1. Jelaskan langkah-langkah evaluasi preanestesia yang perlu dilakukan untuk menilai kebugaran
pasien preanestesia OIM atau OL untuk apendektomi berencana
2. Jelaskan persiapan preanestesia yang harus dilakukan pada prosedur OIM atau OL untuk
apendektomi berencana
3. Uraikan secara singkat tatalaksana penatalaksanaan anestesia dan reanimasi untuk prosedur
OIM atau OL untuk apendektomi berencana
4. Uraikan secara singkat tatalaksana pengelolan pasca-anestesia/bedah OIM atau OL untuk
apendektomi berencana.
526
Penilaian Mandiri.
5. Jelaskan kelainan atau penyakit lain yang diderita pasien preoperatif yang akan mempengaruhi
jalannya anestesia untuk prosedur OIM atau OL
6. Jelaskan rencana langkah-langkah evaluasi yang diperlukan untuk memastikan adanya kelainan
atau penyakit lain yang dideritanya.
7. Jelaskan langkah-langkah persiapan praanestesia yang harus dilakukan untuk mengurangi risiko
perioperatif.
8. Jelaskan rencana anestesia umum yang akan dilakukan untuk prosedur OIM atau OL, mulai dari
premedikasi, induksi, pemeliharaan trias anestesia dan pemulihannya..
9. Jelaskan langkah-langkah reanimasi (usaha untuk mempertahankan hidup) yang harus dilakukan
untuk mengantisipasi bahaya OIM dan risiko akibat anestesia yang diberikan.
10. Jelaskan pemantauan dasar intraoperatif pada prosedur OIM atau OL.
11. Jelaskan perubahan fisiologis akibat insuflasi gas CO2 dan perubahan posisi trendelenburg, anti-
trendelenburg, lateral, litotomi, terhadap kondisi pasien selama anestesia untuk prosedur OIM atau
OL
12. Jelaskan cara mengenali dan menangani komplikasi pemakaian gas CO2 pada prosedur OIM atau
OL
13. Jelaskan penatalaksanaan pasca OIM atau OL di ruang pulih dan selanjutnya baik untuk pasien
tanpa mondok, dirawat di bangsal atau di ICU termasuk penanggulangan nyeri, terapi cairan dll sesuai
dengan indikasi
Sudah Belum
dikerjakan dikerjakan
No Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia
1 Anamnesis
2 Pemeriksaan fisis
3 Pemeriksaan penunjang
527
4 Konsultasi
IV PERAWATAN PASCA-ANESTESIA
DAFTAR TILIK
528
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur
memuaskan standard atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
529
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
Materi Acuan
Pada pasien dengan penyakit jantung, fungsi jantung harus dinilai karena perubahan hemodinamik
dipacu oleh pneuperitoneum dan posisi pasien terutamna pasien dengan ganguan ventrikular.(Tabel 1)
Pasien dengan penyakit jantung kongestif berat dan insufisiensi katup lebih condong memberikan
komplikasi daripada pasien dengan penyakit jantung iskemia selama laparoskopi. Mengecilkan gas untuk
laparoskopi dilakukan sebagai alternatif.
530
Tabel 1. Manajemen pasien dengan kelainan jantung untuk laparoskopi
______________________________________________________________
Pemantauan intraoperatif
Ekhokardiografi transesofagus ?
Laparotomi ?
Manajemen intraopertatif
Insuflasi lambat
(augmentasi prabeban)
Perawatan pascabedah
_______________________________________________________________
Pasien penyakit jantung kongestif berat dan insufisiensi katup terminal akan cenderung mengalami
komplikasi jantung daripada pasien dengan penyakit jantung iskemik selama laparoskopi. Jika
laparoskopi lebih berbahaya daripada laparotomi, pada pasien-pasien yang belum dipelajari dengan
seksama, selayaknya pertimbangan dilakukan dengan hati-hati. Untuk pasien-pasien ini keuntungan
pascabedah laparoskopi harus dibandingkan dengan risiko intraoperatif (Tabel 2). Laparoskopi dengan
sedikit gas mungkin menjadi alternatif untuk pasien ini.
531
Tabel 2. Perbandingan laparotomi dan laparoskopi
Faktor-faktor intraoperatif
++
Perubahan ventilasi
+ ++
Elevasi diafragma
+ ++
Peningkatan tekanan intratoraks
0 ++
Absorbsi CO2
0 ++
Nafas kendali (ventilasi min)
+ ++
Posisi pasien
+
=
Ketubutuhan anestesia
= ++
Respons endokrin
++ +
Trauma bedah
++
Faktor-faktor pascabedah
+
Nyeri (kebutuhan analgesik)
++ +
Disfungsi paru
++ +
Respons metabolik fase reaksi akut
++ +
Fatigue pascabedah
++ +
Pemulihan
++ +
Puasa
++ ++
Mual, muntah
+ +
Lama tinggal di rumah sakit
532
Mortalitas ++ (+)
Morbiditas + (+)
Karena efek samping yang meningkatkan TIA pada ginjal, pasien dengan gagal ginjal memerlukan
optimasi hemodinamik selama pneumoperitoneum dan hindari penggunaan bersama obat nefrotoksik.
Pasien dengan penyakit respirasi, laparoskopi nampaknya lebih baik daripada laparotomi karena
penurunan disfungsi respirasi pascabedah. Efek positif ini menjadi counterbalance risiko pneumotoraks
selama pneumoperitoneum dan risiko pertukaran gas yang inadekuat dari Va/Q mismatching. Stasis vena-
vena tungkai selama laparoskopi dapat menimbulkan trombosis vena dalam (deep vein thrombosis),
sehingga sebaiknya dipertimbangkan sebelum pembedahan. Premedikasi sebaiknya disesuaikan dengan
lama tindakan laparoskopi yang menginginkan cepat pulih. Pemakaian NSAID dapat menolong
mengatasi nyeri pascabedah. Klonidin atau deksmedetomidin prabedah mengurangi respons stres
intraoperatif dan memperbaiki stabilisasi hemodinamik.
Pasien harus diletakkan pada posisi menghindari cedera saraf; ganjal (padding) sebaiknya melindungi
tekanan pada saraf dan penahan bahu, jika perlu ditempatkan di atas prosesus korakoid. Kemiringan
pasien ke atas tidak melebihi 15 20 derajat. Kemiring harus dilakukan perlahan untuk mencegah
perubahan hemodinamik dan respirasi yang cepat. Perubahan posisi harus diikuti dengan pengontrolan
pipa endotrakeal. Induksi dan pengeluaran pneumoperitoneum dilakukan dengan mulus. Ventilasi dengan
sungkup muka sebelum intubasi dapat mengisi udara lambung yang harus diaspirasi sebelum operator
memasang trokar untuk mencegah perforasi lambung terutama pada laparoskopi supramesokolik.
Kandung kencing dikosongkan sebelum prosedur laparoskopi.
Selama anestesia dan prosedur laparoskopi, tekanan darah, laju jantung, EKG, kapnograf, oksimeter pulsa
harus dipantau kontinyu. Walapun tingkat pemantauan ini bermanfaat untuk mendeteksi aritmia jantung,
emboli, emfisema CO2 subkutan dan pneumotoraks, tetapi hanya menunjukkan perubahan indirek
hemodinamik yang dicetuskan oleh pneuperitoneum. Pemantauan hemodinamik invasif lain masih
diperlukan pada pasien penyakit jantung, pasien dengan peningkatan tekanan intratoraks, peningkatan
tekanan intratoraks yang diukur melalui pengukuran CVP, ekhokardiografi transesofagus mungkin lebih
membantu untuk pasien jantung berat. PETCO dan SpO2 memberikan refleksi yang lebih dipercaya
daripada PaCO2 dan SaO2. Walapun a - ETCO2 (gradien antara PaCO2 dan end tidal karbon dioksida)
bervariasi dari pasien ke pasien dan pada pasien yang sama selama tindakan laparoskopi. PETCO2 harus
dipantau dengan hati-hati untuk menghindari hiperkapnia dan mendeteksi embolus gas. Gradien ini dapat
533
bertambah pada pasien dengan penyakit jantung dan respirasi. Kanulasi arteri radialis dapat menolong
mengukur langsung Pa CO2.
Teknik anestesia
Anestesia, analgesia lokal dan analgesia regional dapat dipergunakan dengan aman untuk laparoskopi
dengan kondisi yang sesuai.
Anestesia umum
Anestesia umum dengan intubasi endotrakeal dan nafas kendali merupakan teknik yang paling aman,
karena itu direkomendasikan untuk pasien rawat inap dan prosedur laparoskopi yang lama. Selama
pneumoperitoneum, nafas kendali harus disesuaikan untuk mempertahankan PETCO2 sekitar 35 mm
Hg. Menambah laju nafas lebih baik daripada meningkatkan volum tidal untuk pasien dengan PPOM dan
pasien dengan riwayat pneumotoraks spontan atau dengan bula efisema untuk mencegah
penggembungan alveolus dan mengurangi risiko pneumotoraks. Dianjurkan untuk memberikan obat
vasodilator seperti nikardipin, reseptor 2- adrenergik agonis seperti klonidin dan deksmedetomidin,
fentanil atau remifentanil untuk mengurangi hemodinamik reperkusi pneumoperitoneum dan
memfasilitasi manejemen pasien jantung. Belum terbukti keuntungannya untuk tidak mempergunakan
N2O; kontribusi N2 O sebagai penyebab mual dan muntah masih kontroversial. N2O bukan merupakan
indikasi kontra untuk laparoskopi kolesistektomi; penghentian penggunaan N2O dapat memperbaiki
kondisi bedah untuk operasi usus dan kolon. Pilihan anestetik tidak berperan penting untuk menentukan
keluaran pasien.
TIA sebaiknya dipantau; usahakan serendah mungkin dan tidak lebih dari 20 mmHg untuk mengurangi
perubahan hemodinamik dan respirasi. Peningkatan tonus vagal selama laparoskopi dapat dicegah
dengan pemberian atropin.
LMA yang lebih sedikit memberikan komplikasi sakit menelan dianjurkan sebagai altertnatif intubasi
endotrakeal, walapun tidak menjamin terhindar dari aspirasi isi lambung. Dengan LMA, nafas kendali
dapat dilakukan dengan akurat dengan pemantauan PETCO2. Tetapi penurunan kekembangan
torakopulmonal selama pneumoperitoneum sering mengakibatkan tekanan jalan nafas bertambah lebih
dari 20 sm H2O. Karena LMA tidak dapat menjamin sekitar sungkup, nafas kendali hanya terbatas untuk
pasien yang sehat dan pasien kurus.
Anestesia umum dengan nafas spontan tanpa intubasi dan tanpa obat pelumpuh otot masih mungkin
untuk tindakan laparoskopi terbatas, yaitu singkat, TIA rendah dan kemiringan sedikit.
534
Laparoskopi terbatas masih dapat dilakukan dengan analgesia lokal seperti ligasi tuba; keuntungannya
cepat, mual dan muntah pascabedah sedikit perubahan hemodinamik ringan. Tetapi ahli bedah harus
terampil dan cepat, karena pasien masih kesakitan, ansietas dan diskomfort selama manipulasi pelvik dan
organ obdominal. Untuk ini masih diperlukan pemberian suplementasi sedatif intravena. Kombinasi
pneumoperitoneum dan sedatif condong mengakibatkan hipoventilasi dan penurunan saturasi oksigen.
Analgesia regional seperti, teknik epidural atau spinal yang dikombinasi dengan posisi kepala rendah
(head-down) dipergunakan untuk laparoskopi ginekologi tanpa banyak mengganggu ventilasi. Sistektomi
laparoskopi telah berhasil dilakukan dengan anestesia epidural pada pasien dengan PPOM. Respons
metabolik berkurang pada analgesia regional. Analgesia regional beberapa keuntungan antara lain, lebih
sedikit memerlukan sedatif dan narkotik, relaksasi cukup baik untuk tindakan laparoskopi selain ligasi
tuba. Nyeri bahu karena rangsangan diafragma dan diskomfort karena distensi abdomen tidak mereda
pada anestesia epidural. Tambahan opioid dan klonidin pada anestesia epidural dapat menambah efek
analgesia yang adekuat. Keberhasilan anestesia epidural pada laparoskopi memerlukan kerjasama
pasien, pengalaman dan keterampilan operator, TIA rendah dan kemiringan pasien tidak berlebihan serta
prosedur tidak terlalu lama.
Karena penurunan fungsi paru pascabedah, PaO2 masih rendah setelah laparoskopi kolesistomi, oksigen
tetap diberikan pascabedah walapun pasien sehat.
Pencegahan dan pengobatan mual, muntah dan nyeri penting dilaksanakan terutama setelah prosedur
laparoskopi pasien rawat jalan.
Referensi :
535
MODUL 29 ANESTESIA DI LUAR KAMAR
BEDAH
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
CD power point
Sarana:
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang radiologi
4. Ruang ECT RS jiwa
5. Ruang pulih
6. Bangsal rawat inap/pengamatan lanjut
536
Kasus : pasien di ruang ECT atau radio diagnostik
Referensi :
TUJUAN UMUM
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu memberikan anestesia di luar kamar bedah
TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi dalam ranah-ranah berikut ini
:
Kognitif
1. Mengetahui alat pemantauan dan obat-obatan apa yang perlu diadakan di tempat
ECT dan radiologi
2. Mengetahui teknik anestesia untuk CT-scan
3. Mengetahui teknik anestesia untuk MRI
4. Mengetahui teknik anestesia untuk neuroradiolgi
5. Mengetahui teknik anestesia untuk terapi radiasi
6. Mengetahui teknik Monitored Anesthesia Care (MAC)
7. Mengetahui teknik anestesia ECT
8. Mengetahui interaksi obat anestetik dan obat psikiatrik
Psikomotor
1. Mampu melakukan persiapan obat dan alat untuk memberikan anestesia di luar
kamar bedah.
2. Mampu melakukan pemberian anestesia untuk CT-scan
3. Mampu melakukan pemberian anestesia untuk MRI
4. Mampu melakukan pemberian anestesia untuk neuroradiologi
5. Mampu melakukan pemberian anestesia untuk terapi radiasi
6. Mampu melakukan pemberian anestesia dengan teknik Monitored Anesthesia Care
(MAC)
537
7. Mampu melakukan pemberian anestesia untuk ECT
8. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi akibat interaksi obat anestetik dan obat
psikiatrik.
9. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi akibat zat kontras untuk radiodiagnostik.
Komunikasi
Profesionalisme
KEYNOTES:
GAMBARAN UMUM
Untuk dapat memberikan anestesia di luar kamar bedah diperlukan pengetahuan dan
keterampilan dalam melakukan persiapan obat dan alat untuk memberikan anestesia di luar
538
kamar bedah, pemberian anestesia untuk CT-scan, MRI, neuroradiologi, terapi radiasi,
Monitored Anesthesia Care (MAC), ECT, Mampu menilai dan mengatasi komplikasi akibat
interaksi obat anestetik dan obat psikiatrik serta menilai dan mengatasi komplikasi akibat zat
kontras untuk radiodiagnostik.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu memberikan anestesia di luar kamar
bedah, mengatasi komplikasi yang terjadi, bekerja sama dengan tenaga medis dan paramedis
yang tidak biasa bekerja di kamar bedah.
METODE PEMBELAJARAN
MEDIA
9. Papan tulis
10. Komputer
11. LCD dan slide projector
12. Pasien di ruang diagnostik dan ECT
9. Virtual patients
10. Reading assigment
11. Audiovisual
12. Perpustakaan, internet, skill lab
EVALUASI
9. Kognitif :
539
EMQ
Multiple observers/raters
OSCE
Minicheck
10. Skill/psikomotor :
Multiple observations and assessments
Multiple observers
OSCE
Minicheck
Multiple observers/rater
12. Profesionalisme
Multiple Observations and assessments
Multiple observers/rater
Pre-tes
10. Jelaskan cara melakukan persiapan obat dan alat untuk memberikan anestesia di luar
kamar bedah.
11. Jelaskan cara melakukan pemberian anestesia untuk CT-scan
12. Jelaskan cara melakukan pemberian anestesia untuk MRI
13. Jelaskan cara melakukan pemberian anestesia untuk Neuroradiologi
14. Jelaskan cara melakukan pemberian anestesia untuk Terapi Radiasi
15. Jelaskan cara melakukan pemberian anestesia dengan teknik Monitored Anesthesia
Care (MAC)
16. Jelaskan cara melakukan pemberian anestesia untuk ECT
17. Jelaskan cara menilai dan mengatasi komplikasi akibat interaksi obat anestetik dan
obat psikiatrik.
18. Jelaskan cara menilai dan mengatasi komplikasi akibat zat kontras untuk
radiodiagnostik.
Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).
540
Bentuk ujian :
7. Kognitif
a. EMQ
b. Multiple observation and assessments
c. Multiple observers
d. OSCE
e. Minicheck
8. Skill/psikomotor
a. Multiple observation and assessments
b. Multiple observers
c. OSCE
d. Minicheck
9. Affective : Profesionalisme, Communication and Interpersonal Skills
a. Multiple observation and assessments
b. Multiple observers
Tindakan / operasi :
541
9 Menilai dan mengatasi komplikasi akibat interaksi obat
anestetik dan obat psikiatrik
DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur
memuaskan standard atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
542
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
543
MATERI ACUAN
Pendahuluan
Sejak diperkenalkannya CT scan yang pertama pada tahun 1975, alat-alat diagnostik dari
spesialis radiologi pencitraan-neuro berkembang secara konsisten. Walaupun prosedur
diagnostik hanya menyebabkan rasa nyeri yang minimal, anestetis akan ikut serta dalam
penanganan pasien tersebut dengan alasan antara lain pemberian sedasi yang sulit untuk
pasien usia lanjut, klaustrofobia (penyakit rasa takut pada ruangan sempit dan tertutup),
penyakit neurologik dan sistemik yang berat, serta ketidak mampuan pasien untuk tidak
bergerak selama prosedur diagnostik.
Banyak Bagian Radiologi yang mengambil panduan pemberian sedasi dari AAPCD (American
Academy of Pediatrics Committee on Drugs) seperti yang terlihat pada tabel 1. Seleksi pasien,
puasa prabedah, alat-alat, pemantauan, dan kriteria pemulangan pasien sudah dimasukkan pada
panduan ini dan seleksi kriteria yang ketat mengurangi efek samping yang terjadi akibat
pemberian sedatif. Akan tetapi, sekitar 10-15% pemberian sedasi gagal dan skrining sebelum
prosedur sering mendapatkan pasien kesulitan membebaskan jalan nafas atau dalam keadaan
sakit berat yang mana dianjurkan keterlibatan anestetis.
544
Obat Dosis Keterangan
Pertimbangan Umum
Sekali terlibat dalam prosedur neuroradiologi, anestetis dihadapkan pada situasi
umum memberikan anestesia dalam lingkungan yang asing di luar kamar bedah dan
hampir semua prosedur neurodiagnostik mensyaratkan anestetis di posisi jauh dari
pasien yang berbeda situasinya dengan di kamar bedah di mana anestetis selalu dekat
dengan pasien. Sebagai tambahan, alat-alat dan pemantauan nonferromagnetic harus
tersedia di kamar MRI serta adanya persoalan kontras media dengan efek osmolar
dan kemungkinan reaksi toksik harus dipertimbangkan. Akhirnya, pola fasilitas medis
modern sering memerlukan pemulihan pasien dengan personal medis yang handal di
ruangan yang berbatasan dengan ruangan radiologi atau ditransfer ke ruang pulih
anestesia yang jaraknya jauh dari ruang radiologi.
Evaluasi prabedah yang baik harus dilakukan pada setiap pasien yang direncanakan
untuk dilakukan prosedur diagnostik. Perhatian utama harus ditujukan pada
pemeriksaan neurologis, akan tetapi riwayat penyakit sebelumnya, anestesia dan
sedasi, adanya alergi, obat yang telah dan sedang dimakan harus diketahui. Pasien
harus dievaluasi tentang tanda-tanda adanya kenaikkan tekanan intrakranial, defisit
neurologis, dan pada kasus darurat harus diketahui keadaan kolumna vertebralis,
medula spinalis dan organ tubuh lainnya.
Alat-alat yang tersedia di ruang radiologi harus seperti di kamar bedah. Adanya
monitor EKG, pulsa oksimetri, tekanan darah yang harus kompatibel dengan alat
MRI. Alat lain yang mampu memberikan pasokan gas anestesia, oksigen 100%, alat
pengisap, alat untuk membebaskan jalan nafas, alat resusitasi, serta obat harus
545
tersedia.
Persiapan Pasien
Berlawanan dengan bedah rawat jalan yang pada umumnya dalam keadaan sehat,
kebanyakan pasien saraf atau bedah saraf yang dijadwalkan untuk dilakukan tindakan
di luar kamar bedah, dalam keadaan sakit akut atau kronis, terganggu fungsi
neurologis dan nutrisi, mempunyai riwayat telah dilakaukan beberapa tindakan
sebelumnya dan mendapatkan terapi obat-obatan termasuk kemoterapi.
Sering pasien dalam keadaan infeksi traktus respiratorius bagian atas, atau adanya
efek samping pengobatan seperti mual, muntah dan diare, akan tetapi pasien tidak
dapat menunggu untuk perbaikan kondisinya. Harus diingat kemungkinan adanya
hipoglikemi dan hipovolemi pada pasien dewasa dengan bedrest atau anak dengan
sakit kronis. Kemoterapi yang baru dilaksanakan dapat mempengaruhi penggunaan
volatil anestetik potent.
Kebanyakan pasien dengan gangguan neurologis tidak mampu untuk menjawab
pertanyaan saat anamnesa. Informasi pasien harus dicari dari semua sumber yang ada
misalnya status lama, catatan perawatan pasien di rumah, keluarga) dan memeriksa
adanya tanda-tanda kenaikan tekanan intrakranial. GCS harus dicatat sebagai data
dasar. Pasien gangguan neurologis dapat terjadi aritmia, respons ventilasi terhadap
obat anestetik abnormal, perubahan reaksi terhadap obat anestetik seperti
suksinilkolin dan pelumpuh otot non depolarisasi. Mereka juga sering mendapat
terapi kortikosteroid untuk terapi kenaikkan ICP dan mesti dberikan kortikosteroid
sebelum, selama dan setelah tindakan.
546
1 bulan sampai 12 tahun.
Narkotik mengurangi keperluan total obat anestetik, analgetik pra dan pos-prosedur,
dan dapat direverse dengan nalokson. Walaupun narkotik tidak diperlukan untuk
prosedur yang tidak sakit, tetapi sangat berguna untuk radiologi intervensi dan yang
tidak toleran terhadap volatil anestetik, seperti setelah kemoterapi dengan antrasiklin
dengan adanya gangguan miokardium. Narkotik mendrepresi pusat nafas, dan harus
menjadi pertimbangan pada apsin tumor otak yang mendapat terapi radiasi. Narkotik
juga dapat menimbulkan mual muntah.
Diazepam menimbulkan rasa sangat sakit selama suntikan intravena dan dapat
menimbulkan terjadinya tromboplebitis. Midazolam larut dalam air, karena lebih
nyaman bila digunakan secara intravena atau intramuskular.
Ketamin sangat populer lebih dari 20 tahun untuk sedasi dan anestesia di luar kamar
bedah disebabkan karena tidak menekan sirkulasi dan respirasi, serta efek analgesia
baik. Tidak diberikan pada pasien dengan peningkatan ICP. Bisa terjadi toleransi
setelah pemberian berulang, dan kemungkinan terjadi obstruksi jalan nafas parsial
atau total, hipersekresi, dan refleks jalan nafas menjadi hiperaktif, menimbulkan
mimpi buruk dan nyeri bila disuntikan intramuskular.
Propofol diberikan untuk sedasi dan anestesia untuk diagnostik, terapeutik dan
prosedur interventional.
547
pertolongan segera pada pasien. Beberapa hal yang harus dipertimbangkan antara
lain:
Alat metal yang berada dalam tubuh pasien dapat mengalami pemanasan dan
berpindah tempat. Probe EKG dan temperatur yang biasa dipakai di kamar bedah
dapat menimbulkan luka bakar pada kulit, maka sudah tersedia alat-alat tersebut yang
khusus digunakan di ruangan MRI.
Alat metal yang kecil dapat tersedot ke arah magnet. Alat yang lebih besar seperti
tabung oksigen dapat terdorong ke arah magnet, bisa jatuh dan melukai personil
medis dan pasien, maka secara umum semua alat metal harus jauh dari magnet dan
terfiksasi dengan kuat. Personil medis harus meninggalkan alat metal yang dimiliki
seperti jam tangan, kacamata, kartu kredit dsbnya dan disimpan di ruang persiapan.
Baru-baru ini sudah tersedia alat monitor seperti tekanan darah, kapnograf, pulsa
oksimetri, doppler, mesin anestesia, ventilator yang kompatibel dengan mesin MRI.
Juga tersedia laringoskop plastik, akan tetapi batrei dalam handel laringoskop dapat
terisap ke pusat magnet. Problema lain adalah adanya kesulitan memantau pasien,
adanya hipotermia, serta pasien obesitas yang sulit masuk ke jalur MRI.
Penatalaksanaan anestesia dengan pemberian sedasi dapat dipertanggung jawabkan,
juga untuk bayi. Akan tetapi, pada kasus di mana anestetis dipanggil untuk membantu
MRI pada pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial, sakit kritis atau problem
jalan nafas, maka membebaskan jalan nafas dengan intubasi endotrakeal merupakan
pilihan utama, lalu dilakukan ventilasi kendali melalui sirkuit anestesia yang panjang
untuk menjamin adekuatnya ventilasi.
Serebral Angiografy
Angiografi serebral penting untuk mengevaluasi perdarahan subarahnoid dan
penyakit arteri karotis. Paling aman dan paling sering digunakan adalah melalui arteri
femoralis dan penggunaan transfemoral kateter yang didorong sampai ke arteri
karotis. Sayangnya, problem neurologis akibat angiografi masih terjadi. Pada
penelitian prospektif pada 1002 angiogram, kejadian iskemik pada 0-24 jam setelah
prosedur sekitar 1,3% dan 2,5% pada pasien yang sedang diperiksa karena penyakit
serebrovaskular. Komplikasi kateterisasi yang lain adalah amnesia global selintas,
kebutaan kortikal, sindroma emboluskolesterol multipel.
Bila anestetis diminta untuk membantu prosedur diagnostik angiografi harus diingat
bahwa medium kontras dapat menyebabkan vasodilatasi dan perasaan terbakar.
Sering dosis sedatif harus dinaikkan untuk melawan rasa tidak enak tersebut.
Mielografi
Mielografi dilakukan untuk melihat isi sakus tekalis dan setiap penekanan intrinsik
atau ekstrinsik. Kontras media yang dimasukkan langsung ke ruangan subarahnoid,
akan membypass BBB. Obat kontras mielografi terbaru bersifat osmolaritas rendah,
nonionik, dan tercampur baik dengan cairan serebrospinal. Komplikasi utama dari
mielografi adalah sakit kepala, komplikasi akibat kontras, suntikan subdural atau
548
epidural, hematom kanalis spinalis, meningitis, kejang, dan berbagai bentuk defisit
neurologis.
Pertimbangan anestesia adalah posisi pasien terutama bayi dan anak karena meja
mielogram berputar untuk mendapatkan aliran kontras yang baik.
549
jantung yang baru terjadi, abgina, gagal jantung kongestif, glaukoma yang tidak
diobati, fraktur tulang panjang, tromboplebitis, kehamilan, dan ablasio retina. Pasien
yang sedang diterapi dengan benzodiazepin atau litium, obat tersebut harus
dihentikan sebelum dilakukan ECT. Benzodiazepin adalah antikonvulsan dan
menghilangkan atau mengurangi induced seizure akibat ECT. Litium dihubungkan
dengan delirium setelah ECT. Teknik anestesianya tidak memerlukan premedikasi,
pasien tetap dipuasakan. Sulfas atropin hanya diberikan bila pasien sebelunnya
bradikardia. Pasang kanula intravena, standard monitor, berikan preoksigenasi
dengan oksigen 100%. Anestesia diberikan dengan propofol dan suksinilkolin.
Referensi:
1. Hurford WE et al. Clincal Anesthsia Procedure of the Massachusetts General Hospital.
6th ed, Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins 2002.
2. Stone DJ, Sperry RJ, Johnson JO, Spiekermann BF, Yemen TA. The
Neuroanesthesia Handbook. St Louis : Mosby 1996, 297-329.
3. Matta BF, Menon DK, Turner JM. Textbook of Neuroanesthesia and Critical
care. London :Greenwich Medical Media 2000,413-25.
4. Newfield P, Cottrell JE., eds. Handbook of Neuroanesthesia, 3 rd ed,
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 1999:310-25.
550
MODUL 30 ANESTESIA PASIEN DENGAN
PENYAKIT KHUSUS
Persiapan Sesi
Audiovisual
30. Laptop
31. OHP
32. Flipchart
33. Pemutar video
Materi prsentasi :
CD power point
Sarana
5. Ruang belajar
6. Ruang pemeriksaan
7. Ruang pulih
8. Ruang rawat Inap / pengamat Lanjut
Kasus : pasien dari berbagai bidang Ilmu dari Bangsal biasa dan ICU
Referensi :
551
- Basic & Clinical Pharmacology Katzung BG 9th ed 2004
- Clinical Anesthesiology GE Morgan, Jr 4th ed 2006
- Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2005.
4. Millers Anesthesia RD 6th ed 2005
Tujuan Umum :
Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik dapat memberikan anestesia dan perioperatif care
pada pasien dengan penyakit dan kondisi khusus yang umum didapatkan.
Tujuan Khusus :
Kognitif
1. Mampu menjelaskan patofisiologi gangguan hormon tiroid,dan gangguan
metabolisme karbohidrat
Psikomotor
Mampu melakukan anamnesis dan diagnosis fisis pada pasien dengan penyakit khusus yang akan
mengalami pembedahan untuk penyakit primer atau penyakit lain yang menyertai.
Mampu melakukan persiapan pra anestesia untuk pasien dengan penyakit khusus
552
Mampu melakukan penatalaksanaan anestesia pada pasien dengan penyakit khusus
Komunikasi
1. Mampu menjelaskan proses anestesia dan risiko anestesia kepada pasien
2. Mampu menjelaskan proses anestesia dan risiko anestesia kepada keluarga pasien
3. Mampu menimbulkan kepercayaan dan rasa aman bagi pasien
4. Mampu mendiskusikan problema pasien dan bekerja sama dengan spesialis Bedah
Profesionalism
1. Mampu memberikan penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang prosedur anestesia,
penatalaksanaan nyeri, kemungkinan efek samping dan prediksi keberhasilan prosedur anestesia.
Key notes :
1.a. Pada pasien geriatri, pelbagai perubahan fungsi organ dan adanya berbagai penyakit yang
menyertai membutuhkan pemilihan teknik dan obat anestetik yang sesuai.
2.a. Anestesia dan pembedahan tidak dilakukan pada saat eksarsebasi akut
dan adanya infeksi traktus respiratori pada penderita PPOM dan asma bronkial.
c. Persiapan terapi status asmatikus selama anestesia dan pembedahan adalah mutlak.
3.a. Kadar gula darah dan komplikasi yang diakibatkannya harus terkendali pada
553
b. Perhatian khusus pada kemungkinan telah terjadinya autonomic neurophaty terutama
cardiac autonomic neuropathy yang dapat berakibat fatal.
4. Gangguan fungsi tubuh karena obesitas terutama sistem kardivaskular dan pernafasan
meningkatkan risiko anestesia baik dari segi kesulitan teknik, pengendalian fungsi vital
dan perawatan pascabedah.
dengan opiod. Anestesia pada pasien umumnya berhasil baik dengan obat anestetik
inhalasi.
Gambaran Umum
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu memberikan anestesia dan melaksanakan
asuhan perioperatif pada pasien dengan penyakit-penyakit khusus yang umum didapat.
Tujuan Pembelajaran
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memahami patofisiologi berbagai penyakit khusus
yang umum ditemukan, seperti penyakit jantung, penyakit ginjal dan hipertensi, penyakit
endokrin, penyakit paru dan gangguan respirasi, gangguan nutrisi dan obesitas, penyakit hati,
pasien geriatri dan gangguan degeratif, pasien dengan adiksi obat seperti narkotika dan
amfetamin. Demikian juga obat apa yang dikonsumsi pasien untuk jangka panjang. Atas dasar
hal tersebut dapat direncana teknik, dan jenis obat yang akan dipergunakan. Asuhan medis
perioperatif sudah tentu dapat dilaksanakan dengan baik
Waktu:
554
Sumber pembelajaran
- Buku teks,jurnal ilmiah
- Dosen pembimbing
- Pasien di ruang rawat,ruang pembedahan,PACU
Metode pembelajaran
- Belajar mandiri
- Bed site teaching,preoperatif visite
- Magang/asistensi
- Diskusi kasus
- Reading Assignment
2.Patofisiologi Obesitas
Evaluasi:
- Pre- test
Dilakukan dengan tes tulis,materi pengetahuan dasar
- Pos-tes
Dilakukan dengan tes tulis,clinical vignette
- Practice
555
DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA
Sudah Belum
No. Daftar cek penuntun belajar prosedur Anestesia
dikerjakan dikerjakan
2 Laboratorium
3 Pemeriksaan tambahan
4 Antibiotik propilaksis
ANESTESIA
1 Teknik anestesia
2 Obat anestetik
TINDAKAN ANESTESIA
1 Induksi, intubasi
2 Rumatan
3 Ekstubasi
PERAWATAN PASCABEDAH
556
1 Komplikasi dan penangannya
Beri tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan
dengan memuaskan dan berikan tanda x bila tidak dikerjakan dengan memuaskan
serta T/D bila tidak dilakukan pengamtan
DAFTAR TILIK
DAFTAR TILIK
1 2 3 4 5
557
Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih
Layak
Tidak layak
Melakukan prosedur
558
Materi Acuan
Penyakit-penyakit penyerta dan perubahan fungsi fisiologis pada pasien gemuk memerlukan
penilaian preoperatif yang lebih teliti; karena hipertensi, arterosklerosis dan kardiomegali
sering ditemukan, juga dapat disertai diabetes. Perubahan patologis yang berat dapat terjadi
pada banyak sistem organ pada pasien obese. Walaupun tidak ada penyakit yang menyertai,
obesitas meningkatkan risiko anestesia.
Fungsi pernafasan: kapasitas vital dan kapasitas residu fungsional menurun, tetapi closing
volume meningkat. Akibatnya, pintasan meningkat sehingga mudah terjadi hipoksemia.
Perubahan ini disebabkan oleh peningkatan tekanan abdominal terhadap diafragma pada posisi
supine, trendelenberg, dan lithotomy. Kekembangan paru atau dada menurun, kerja nafas dan
kebutuhan oksigen meningkat, produksi CO2 meningkat, sehingga menyebabkan hiperventilasi.
Secara teknis, operasi menjadi lebih sulit, karena kehilangan darah lebih banyak dan
meningkatkan risiko infeksi luka operasi.
Keseimbangan cairan harus dimonitor lebih ketat. Ventilasi mekanis pascabedah harus
dipertimbangkan terutama setelah pembedahan abdomen.
Tromboembolus paru dan komplikasi luka lebih sering terjadi sehingga pencegahan,
pemeriksaan, diagnosis dini serta pengobatan penting.
Sindrom Pickwickian ditandai dengan adanya kombinasi obesitas, episode somnolen dan
hipoventilasi yang disertai sianosis, polisitemia, hipertensi pulmonal dan gagal jantung kanan.
Pencegahan terjadinya hipoksia sangat penting dan ventilasi mekanis pascabedah mungkin
diperlukan, terutama setelah pembedahan abdomen.
Lima puluh persen pasien yang menjalani pembedahan menderita diabetes. Morbiditas dan
mortalitas perioperatif lebih tinggi pada pasien diabetes dibandingkan dengan non-diabetes.
Terdapat 2 tipe diabetes:
-Tipe I; bergantung pada insulin; terjadinya penyakit pada usia muda namun tidak selalu dari
kecil. Penyakit ini ditandai dengan tidak adanya atau aktivitas insulin yang rendah disertai
kecenderungan terjadinya ketoasidosis. Pengobatan terdiri dari penggunaan insulin seumur hidup
dikombinasi dengan diet dan olahraga.
559
-Tipe II; biasanya timbul pada usia lebih tua (> 40 tahun); tipe ini dapat memiliki kadar insulin
plasma yang rendah, normal, atau tinggi dan kebanyakan disertai obesitas, juga sering
membutuhkan tambahan insulin dari luar untuk mengatasi gejala hiperglikemia. Tipe ini jarang
mengalami ketosis dan tidak bergantung pada pada insulin.
Pemeriksaan fisis harus dilakukan untuk menilai komplikasi dari diabetes, seperti adanya
pandangan yang tidak normal, harus diperiksa apakah ada perdarahan atau eksudat. Kelainan
denyut nadi dan tekanan darah pada perubahan posisi atau ortostatik dapat menandakan adanya
gangguan fungsi autonom. Harus dilakukan pemeriksaan proprioseptif dan sensori pada
ekstremitas atas dan bawah untuk mendeteksi adanya neuropati. Jika pada pemeriksaan fisis
jantung, pernafasan dan ekstremitas ditemukan kelainan maka harus dievaluasi apakah ada
insufisiensi aliran pembuluh darah.
Kadar gula darah harus diperiksa. Penilaian kadar gula darah harian dapat membantu penilaian
terhadap derajat diabetes.
Fungsi ginjal harus dievaluasi dengan mengukur kadar ureum kreatinin, klirens kreatinin, nilai
ekskresi protein, elektrolit, analisis urin dan analisis gas darah.
Belum ada kesepakatan mengenai regimen terapi tunggal untuk penanganan perioperatif
penderita diabetes. Pembedahan yang akan dilakukan juga harus dipertimbangkan; satu protokol
perioperatif saja mungkin tidak sesuai untuk semua jenis pembedahan, sehingga penatalaksanaan
perioperatif harus dilakukan dengan pendekatan individual.
Pengukuran gula darah perioperatif harus dilakukan secara rutin dan pemberian insulin
disesuaikan. Target gula darah sekitar 200 250 mg/dL. Diharapkan dapat mencegah
hipoglikemia maupun hiperglikemia berat.
- Tingginya gula darah : menimbulkan poliuri, rasa haus, infeksi dan sulitnya penyembuhan
luka
- Ketoasidosis : asidosis metabolik berat, kehilangan natrium dan air ekstrasel, gagal sirkulasi
dan koma
560
- Penyakit jantung : arteriosklerosis koroner dan meningkatnya risiko operasi
- Gangguan pembuluh darah perifer : pembedahan pada arteri besar sering dibutuhkan dan
memiliki risiko lebih tinggi daripada pasien non-diabetes
- Nefropati diabetes : menyebabkan sindrom nefrotik dan uremia
- Neuropati perifer : menyebabkan ulkus pedis
- Neuropati autonom : menyebabkan henti nafas-henti jantung, hipotensi postural,gastroparesis
dan retensi urin. Apnea tidur dan kematian mendadak dapat terjadi karena pemberian obat
yang menekan pernafasan
- Retinopati dan katarak : memerlukan oeprasi
Pemberian insulin harus dipertimbangkan pada pasien diabetes yang akan menjalani
pembedahan. Insulin dapat mencegah hiperglikemia dan menghambat mobilisasi lemak, yang
dapat memperberat terbentuknya keton. Dengan pengecualian pasien diabetes tipe 2 yang
terkontrol dengan diet, semua pasien diabetes membutuhkan pemberian insulin sebelum
pembedahan.
Penyakit asma ditandai dengan gejala mengi, sesak nafas atau batuk yang disebabkan
penyempitan jalan nafas ringan sampai berat dalam suatu periode waktu dan membaik secara
spontan atau dengan terapi. Gejala yang timbul disebabkan oleh spasme otot polos bronkial,
sumbatan mukus dan edema jalan nafas, dan dapat dialami pasien semua umur.
- Intrinsik, gejala timbul pada usia dewasa, bersifat kronik, terus menerus dan sering memerlukan
terapi steroid jangka panjang.
- Anamnesis, frekuensi dan beratnya serangan, faktor pencetus dan riwayat pengobatan
- Pemeriksaan fisis : dengan atau tanpa ronki, fase ekspirasi yang memanjang, overdistensi
rongga dada, adanya infeksi
- Uji fungsi paru (spirometri) : FEV1.0 / FVC sebelum dan sesudah inhalasi bronkodilator,
analisa gas darah bila perlu pada kasus berat.
561
Hampir 10% dari pasien asma dewasa rentan terhadap aspirin dan obat jenis NSAIDs, sehingga
pemakaian obat tersebut harus hati-hati kecuali terbukti tidak mencetuskan serangan.
PPOK meliputi semua pasien yang memiliki gangguan/keterbatasan inspirasi ekspirasi yang
ireversibel karena bronkitis kronik dan emfisema.
1. Bronkitis kronik adalah kelainan yang ditandai dengan batuk kronik dan berulang yang
ditimbulkan oleh sekresi mukus bronkus yang berlebihan. Hipoksia kronik yang terjadi
dapat menyebabkan polisitemia dan cor pulmonale (blueboater). Hipoventilasi
menyebabkan PCO2 meningkat dan pusat pernafasan menjadi tidak sensitif. Sehingga
bila ada infeksi paru hipoventilasi yang terjadi akan semakin berat. Sputum harus
dikeluarkan dengan drainase postural sebelum dilakukan anestesia. Sebaiknya dilakukan
fisioterapi pre dan pos operasi.
2. Emfisema adalah kelainan yang ditandai dengan melebarnya jalan nafas distal sampai ke
bronkiolus terminalis karena kerusakan pada dindingnya. Hal ini menyebabkan hilangnya
kemampuan elastis rekoil paru, terjadinya ekspansi rongga dada yang berlebihan,
penutupan jalan nafas yang lebih cepat pada ekspirasi dan gas trapping. Ventilasi dapat
berfungsi dengan baik tapi dengan kerja nafas yang berat (pink puffer). Diafragma
menjadi lebih horisontal dan mendatar dan akan menarik iga bagian bawah pada saat
inspirasi. Otot nafas tambahan seperti otot skalenus dan sternomastoid juga ikut bekerja
saat inspirasi.
Deteksi dan pengobatan infeksi aktif. Kultur sputum dan uji sensitifitas harus dilakukan untuk
pemilihan antibiotik.
Pemeriksaan foto toraks untuk mendeteksi adanya pneumotoraks spontan atau bula paru.
Pengobatan untuk gagal jantung kongestif yang sering terjadi pada pasien PPOK dan diatasi
dengan pemberian diuretik.
562
7. Penilaian pada penderita penyakit jantung iskemik
Pada penderita ini, sebanyak 15% tidak menunjukkan adanya kelainan pada pemeriksaan
fisis maupun EKG saat istirahat. Sebesar 5% penderita berusia lebih dari 35 tahun memiliki
penyakit jantung iskemik tanpa gejala. Pada penderita yang mengalami anestesia dan
pembedahan dalam jangka waktu 3 bulan setelah terjadinya infark, sebesar 40% penderita
berisiko untuk timbul perioperatif infark. Angka ini menurun 15% pada waktu 3 6 bulan dan
menurun 5% lagi setelah 6 bulan.
Unstable angina berhubungan dengan meningkatnya risiko infark miokard perioperatif dan
seharusnya dikontrol dengan penghambat beta, nitrat atau kalsium canel bloker sebelum
pembedahan.
Tidak ada bukti bahwa insidens infark pascabedah menurun dengan penggunaan teknik analgesia
lokal atau regional.
Pada penggunaan 2 atau lebih obat yang menghasilkan efek yang tidak diharapkan, anestetis
harus mempertimbangkan terjadinya suatu interaksi obat sebagai penyebabnya. Oleh karena
banyaknya kombinasi obat yang digunakan maka semua interaksi obat tidak dapat diketahui atau
diprediksi. Pengetahuan mengenai klasifikasi obat, mekanisme aksi dan potensi terjadinya efek
yang tidak diinginkan dapat membantu memprediksi terjadinya interaksi obat.
Interaksi obat terjadi ketika suatu obat mengubah intensitas efek farmakologis obat lain yang
diberikan hampir bersamaan. Interaksi obat menggambarkan perubahan farmakokinetik dan
farmakodinamik. Hasil suatu interaksi obat adalah bertambahnya atau berkurangnya efek dari
satu atau kedua obat, sehingga dapat timbul efek yang diinginkan.
563
Suatu contoh interaksi obat yang menguntungkan adalah propanolol dengan hidralazin untuk
mencegah peningkatan denyut jantung akibat kompensasi turunnya tekanan darah oleh karena
hidralazin. Interaksi obat juga sering digunakan untuk mengkontra efek agonis obat, misalnya
penggunaan nalokson untuk mengantagonis opioid.
Obat anti-hipertensi: Biasanya dilanjutkan sampai saat pembedahan. Terapi yang adekuat
menghasilkan volume darah normal dan mengurangi risiko terjadinya peningkatan atau
penurunan tekanan darah yang berbahaya saat induksi anestesia. Pengisian volume sebelum
induksi dapat mencegah penurunan tekanan darah dan menghindari terjadinya hipovolemi saat
pembedahan adalah hal yang penting. Bradikardia lazim terjadi pasien yang diterapi dengan
penghambat beta. Obat parenteral alternatif mungkin diperlukan untuk mengganti obat
antihipertensi yang hanya dapat digunakan secara oral saja, misalnya ACE-inhibitor.
Obat anti-angina: Misalnya calsium channel blocker atau nitrat (NTG) seharusnya tidak
dihentikan sebelum pembedahan tanpa ada alasan spesifik. Kalau perlu, glyceryl trinitrate patch
transdermal yang ditempelkan di dada lateral dapat bertahan selama 24 jam. Spray NTG
sublingual dapat digunakan untuk mula kerja cepat.
Litium seharusnya dihentikan 2 hari sebelum pembedahan mayor karena dapat mempotensiasi
pelumpuh otot non-depolarisasi; tetapi pada kasus darurat pelumpuh otot depolarisasi
(suksametonium) dan blok regional dapat dipertimbangkan sebagai alternatif. Toksisitas litium
dapat terjadi jika pasien dalam keadaan dehidrasi. Umumnya, terapi litium aman dilanjutkan
sebelum pembedahan minor, asalkan keseimbangan cairan dan elektrolit diperhatikan.
564
Untuk analgesia pascabedah pada penderita dengan terapi MAO inhibitor, kombinasi kodein dan
klorpromazin dapat digunakan tanpa terjadi efek samping. Analgesia regional dan NSAID juga
dapat digunakan.
Terapi steroid
Sekresi normal hidrokortison dari korteks adrenal adalah 20 mg/hari, namun dapat
meningkat 300 500 mg/ hari sebagai respons terhadap pembedahan dan anestesia.
CONTOH EFEK
565
5.Perubahan metabolisme
- Perubahan aliran
darah hepatik
6.Gangguan ekskresi Eliminasi lebih lama
7.Antagonisme atau
Alkohol dan barbiturat Konsentrasi tinggi
potensiasi obat yang penisilin
8.Perubahan
keseimbangan cairan dan
elektrolit
9. Dan lain-lain
Premedikasi
566
Target dari pemberian premedikasi adalah :
Mengatasi kecemasan
Rasa cemas secara efektif dapat diatasi dengan cara non-farmakologis yaitu dengan psikoterapi.
Cara ini dapat dilakukan saat kunjungan preoperatif dengan menjelaskan apa saja yang akan
dilakukan selama perioperatif dan mendapat kepercayaan sehubungan dengan yang dicemaskan
dan ditakutkan pasien. Pada beberapa pasien penjelasan dan memberi keyakinan tidak cukup
efektif menghilangkan rasa cemas dan takut, sehingga diperlukan bantuan medikasi yang bersifat
ansiolitik seperti benzodiazepin.
Obat anestetik lama seperti eter dapat menimbulkan sekresi jalan nafas faring dan kelenjar
bronkial yang berlebihan, sehingga premedikasi antikolinergik seperti atropin sangat diperlukan.
Dengan keberadaan obat-obat anestetik modern saat ini seperti halotan, maka efek yang
dihasilkan menjadi tidak jauh berbeda dibandingkan dengan tanpa pemberian. Walaupun
demikian beberapa anestetis tetap menggunakan obat antikolinergik untuk mengurangi sekresi
yang terjadi karena penggunaan alat-alat untuk mengamankan jalan nafas seperti pipa orofaring
atau pipa endotrakeal. Penggunaan ketamin juga dapat menimbulkan sekresi yang berlebihan
sehingga pemberian antikolinergik sangat diperlukan.
Sedasi
567
Sedasi berbeda dengan penghilang kecemasan (ansiolisis) Beberapa obat seperti barbiturat dan
opioid mempunyai efek sedasi namun tidak mempunyai efek menghilangkan kecemasan. Pada
umumnya tidak diperlukan penggunaan sedasi sebelum operasi kecuali pasien merasa perlu.
Antiemetik pascabedah
Antiemetik dapat diberikan sebagai premedikasi namun akan lebih efektif bila diberikan pada
saat pengakhiran anestesia.
Menimbulkan amnesia
Pasien seharusnya mengalami amnesia sesaat menjelang operasi karena operasi adalah suatu
pengalaman yang kurang menyenangkan bagi banyak pasien. Akan tetapi beberapa anestetis
berpendapat bahwa amnesia tidak seharusnya diberikan pada pasien anak, karena akan
menyamarkan keadaan tidur alami atau efek akibat amnesia sehingga pasien anak akan
terbangun pada saat diinsisi.
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa amnesia retrograde tidak akan tercapai. Namun
amnesia anterograde (setelah pemnberian obat) dapat diperoleh dengan penggunaan
bezodiazepin.
Pada pasien dengan risiko muntah dan regurgitasi, dapat dipergunakan obat untuk membantu
pengosongan lambung dan peningkatan pH isi lambung. Hal ini dapat dicapai dengan
menggunakan :
568
Penurunan refleks vagal
Bradikardia adalah manifestasi dari rangsangan refleks vagal yang dapat berakibat fatal. Hal ini
dapat terjadi pada beberapa keadaan :
Penarikan otot-otot mata, yang lebih sering terjadi pada otot rektus medialis pada operasi
strabismus yang menyebabkan bradikardia dan atau aritmia (reflek okulokardiak). Premedikasi
dengan atropin dapat mencegah efek ini.
Pemberian berulang suksametonium sering diikuti dengan bradikardia yang dapat menyebabkan
asistol. Pemberian atropin sebelum pemberian suksametonium akan membantu mencegah
kejadian ini.
Induksi anestesia dengan menggunakan halotan pada anak dikaitkan dengan kejadian
bradikardia. Pemberian atropin dapat mencegah komplikasi ini.
Opioid
- bloker
Agonis reseptor 2
Referensi :
569
MODUL 31 ANESTESIA PASIEN DENGAN
PENYAKIT LANGKA
Persiapan Sesi
Audiovisual
CD power point
Sarana
1. Ruang belajar
2. Ruang pemeriksaan
3. Ruang pulih
4. Ruang rawat inap / pengamat lanjut
Kasus : pasien dari berbagai bidang ilmu dari bangsal biasa dan ICU
570
Referensi :
Tujuan Umum :
Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik dapat memberikan anestesia dan asuhan perioperatif pada
pasien dengan penyakit langka.
Tujuan Khusus :
Kognitif
1. Mampu merencanakan pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk
diagnosis pasien penyakit langka yang akan mengalami pembedahan untuk penyakit primer atau
penyakit lain yang menyertai.
2. Mampu menjelaskan patofisiologi penyakit-penyakit langka.
3. Mampu menjelaskan anestesia dan perawatan pasca-anestesia untuk pasien penderita penyakit
langka.
4. Mampu menjelaskan komplikasi yang terjadi selama anestesia dan masa perioperatif pasien
dengan penyakit langka.
Psikomotor
1. Mampu melakukan anamnesis, pemeriksaan fisis dan pemeriksaan penunjang yang diperlukan
untuk diagnosis pasien penyakit langka yang akan mengalami pembedahan untuk penyakit
primer atau penyakit lain yang menyertai.
2. Mampu melakukan persiapan dan optimalisasi pra anestesia untuk pasien dengan penyakit
langka.
3. Mampu melakukan penatalaksanaan anestesia pada pasien dengan penyakit langka.
4. Mampu melakukan perawatan pasca-anestesia pada pasien dengan penyakit langka.
Komunikasi
1. Mampu menjelaskan proses anestesia dan risiko anestesia kepada pasien
2. Mampu menjelaskan proses anestesia dan risiko anestesia kepada keluarga pasien
3. Mampu menimbulkan kepercayaan dan rasa aman bagi pasien
4. Mampu mendiskusikan problema pasien dan bekerjasama dengan spesialis terkait.
Profesionalisme
571
2. Mampu mendiskusikan tentang asuhan perioperatif, proses anestesia, problema anestesia,
kemungkinan komplikasi selama pembedahan dan pascabedah dengan spesialis-spesialis terkait.
Key notes :
1. Penyakit langka adalah penyakit yang jarang dijumpai, tidak hanya karena jumlahnya
yang sedikit, tapi juga mempunyai gejala, patofisiologi, dan morfologi yang tidak biasa.
2. Penyakit langka melibatkan dan mempengaruhi beberapa sistem tubuh yang mempunyai
konsekuensi yang sangat berbeda terhadap.
3. Penyakit langka memerlukan penanganan multidisipliner, perawatan dan pemantauan
khusus.
Gambaran Umum
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu memberikan anestesia dan melaksanakan asuhan
perioperatif pada pasien penyakit langka yang dirawat karena penyakitnya atau penyakit penyerta.
Tujuan Pembelajaran
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memahami patofisiologi berbagai penyakit langka,
Demikian juga obat apa yang dikonsumsi pasien untuk jangka panjang. Atas dasar hal tersebut dapat
direncana pemilihan teknis, obat, perawatan, dan pemantauan yang akan dipergunakan. Asuhan medis
perioperatif penyakit langka dilaksanakan dengan baik
Waktu:
Sumber Pembelajaran
- Buku teks, jurnal ilmiah
- Dosen pembimbing
- Pasien di ruang rawat, ruang pembedahan, PACU
Metode pembelajaran
- Belajar mandiri
- Bed site teaching,preoperatif visite
- Magang/asistensi
- Diskusi kasus
- Reading Assignment
572
Pokok Bahasan Kuliah Interaktif dan Diskusi kelompok
1.Patofisiologi penyakit langka.
Evaluasi:
- Pre- tes
Dilakukan dengan tes tulis,materi pengetahuan dasar
- Pos-tes
Dilakukan dengan tes tulis, clinical vignette
- Practice
Pre-tes
a) Marfans sindrom
1. Sebutkan manifestasi klinis Marfans sindrom
2. Bagaimanakah patofisologi kelainan Marfans sindrom
3. Sebutkan problem potensial penatalaksanaan anestesia pada Marfans sindrom
b) Tetralogy of Fallots
1. Sebutkan manifestasi klinis tetralogy of fallots
2. Bagaimanakah patofisiologi tetralogy of fallot
3. Sebutkan problem potensial penatalaksanaan anestesia pada penderita tetralogy
of fallots
4. Apa yang dimaksud ted spell dan bagaimana penatalaksanaanya
c) Miastenia gravis
1. Sebutkan gejala dan klinis tanda-tanda klinis miastenia gravis
2. Bagaimanakah patofisologi miastenia gravis
3. Sebutkan problem potensial penatalaksanaan anestesia miastenia gravis
d) Feokromositoma
1. Sebutkan gejala dan tanda klinis feokromositoma
2. Bagaimanakah patofisiologi feokromositoma
3. Pemeriksaan apakah yang diperlukan untuk feokromositoma
4. Bagaimanakah penatalaksanaan anestesia pada penderita feokromositoma
e) Hipertermia malignan
1. Sebutkan manifestasi klinis dan diagnosis hipertermia malignan
2. Bagaimanakah patofisiologi hipertermia malignan
3. Bagaimanakah penatalaksanaan anestesia pada curiga hipertemia malignan
4. Bagaimanakah penatalakanaan hipertermia malignan
f) Talasemia
1. Bagaimanakah patofisilogi talasemia
573
2. Bagaimanakah penatalaksanaan anestesia penderitra talasemia
3. Apakah potensial problema anestesia pada talasemia
No. Daftar cek penuntun belajar prosedur Anestesia Sudah dikerjakan Belum dikerjakan
2 Laboratorium
3 Pemeriksaan tambahan
4 Antibiotik propilaksis
ANESTESIA
1 Teknik anestesia
2 Obat anestetik
TINDAKAN ANESTESIA
1 Induksi, intubasi
2 Rumatan
3 Ekstubasi
PERAWATAN PASCABEDAH
574
Beri tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan
dengan memuaskan dan berikan tanda x bila tidak dikerjakan dengan memuaskan
serta T/D bila tidak dilakukan pengamtan
DAFTAR TILIK
DAFTAR TILIK
1 2 3 4 5
575
Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih
Layak
Tidak layak
Materi Acuan
Feokromositoma
Katekolamin dilepas dari akhir saraf simpatis posganglion. Katekolamin disintesa dari tirosin
melalui hidroksilasi menjadi dopa, dopa melalui dekarboksilasi menjadi dopamin di dalam sel dopamin
diubah menjadi norepinefrin, norepinefrin oleh fenil-etanolamin-Ntranferase diubah menjadi epinefrin di
adrenal, sedikit di dalam sistem saraf dan sebagian di glia.
Nyeri dan stres intubasi menyebabkan pelepasan katekolamin yang berlebihan. Pada penderita
feokromositoma dengan stres ringan dapat menyebabkan peningkatan kadar katekolamin sampai 10x
pada pasien normal. Manipulasi pada tumor meski hati-hati dapat menyebabkan peningkatan kadar
katekolamin di darah hingga 100 -500x.
576
Tanda-tanda klinis penderita feokromositoma : paroksimal sweating hipertensi, sakit kepala,
sebagai tanda klinis yang sensitif dan spesifik dibanding tes laboratori.
Hipertermia malignan
Hipertermia malignan jarang terjadi, pada pasien anak-anak 1: 15.000, pada pasien dewasa 1:40.000.
Miopati yang karakteristik oleh kejadian acute hypermetabolistik state dalam jaringan otot akibat induksi
anestesia umum dapat juga terjadi pada pascabedah lebih dari 1 jam setelah anestesia tanpa diketahui
agen yang mencetuskannya.
Hipermetabolisme
- takikardia
- awal hipertensi
- aritmia
-
- hipernatremia
- hiperfosfatemia
- mioglobinemia
- mioglobinuria
kerusakan otot
- spasme maseter
- generalized kakuity
- kenaikan serum kreatin kinase
- hiperkalemia
577
Hipertermia
- demam
- berkeringat
Patofisiologi MH
Penatalaksanaan MH
MIASTENIA GRAVIS
Adalah gangguan pada neuro muscular junction (NMJ) dengan karakteristik kelemahan otot yang
fluktuasi dan kelemahan yang abnormal. NMJ dimulai dari presinaptik dan pascasinaptik yang dipisahkan
oleh ruang inap. Terminal saraf mengandung acetilcoline membrane-enclosed synaptic vesicles, yang
akan dilepas sebagai respons terhadap potensial aksi. Molekul asetilkolin kemudian akan diikat oleh
reseptor pascasinaptik dan menimbulkan suatu potensial aksi otot. Selain acquired myastenia gravis dan
Eaton-Lambert sindroma, beberapa toksin dan obat-obatan dapat menyebabkan myasthenic-like syndrom
578
yang menyerupai NMJ, termasuk botulism, tetanus, racun ular, aminoglikosida, hipermagnesemia,
quinidin, dan racun organofosfat
Sindroma klasik berupa kelemahan yang fluktuasi dan kelelahan termasuk okular dan otot-otot lain yang
dipersarafi nervus kranialis. Dengan memburuknya gejala dalam satu hari. Menyerang berbagai usia,
wanita pada usia < 40 tahun dan pria > 60 tahun. Gangguan terjadi akibat penurunan asetilkolin pada
pascasinaptik. Reseptor asetilkolin dinonaktifkan oleh antibodi dengan cara blokade jalan masuk ke
reseptor asetilkolin.
Tanda-tanda :
Dua pertiga pasien mempunyai hiperplasia timus dan 10% timoma. Sekitar 10 % dari kasus MG
dihubungkan dengan penyakit autoimun, termasuk hipertiroidisme, polimiolitis, SLE, Syogren sindroma,
rematoid artritis, koloitis ulseratif, sarkoidosis dan anemia pernisiosa. MG dapat pula terjadi pada pasien
yang diterapi D-penisilamin dan terapi interferon dan setelah transplantasi sum-sum tulang.
Sekitar 50 % pasien dengan gejala awal melibatkan otot ekstraokular, tetapi bulbar dan otot anggota gerak
mungkin juga terlihat di awal.
Klasifikasi MG
579
I. Ocular myasthenia
II. Chronic generalized
A. Mild
B. Moderate
III. Acute, Fulminating
IV. Late, Severe
Sindroma Marfan
Sindroma Marfan adalah kelainan pada jaringan konektif, utamanya mengenai kardiovaskular,
tulang, dan sistem okular. Akan tetapi kulit, fasia, paru, otot rangka, dan jaringan lemak dapat juga
terkena. Etiologi adalah mutasi pada FBNI, gen yang memberikan sandi fibrillin-1, suatu komponen
utama dari miofibril-miofibril ekstraselular, yang merupakan komponen-komponen utama dari serabut-
serabut elastis yang menyangga dermis, epidermis dan zonula okular. Jaringan konektif pada kelainan ini
menurunkan kekuatan regangan dan elastisitas.
Anestetis sebaiknya menyiapkan untuk kemungkinan terjadinya potensi intubasi yang sulit (lihat
tabel di bawah ini).
580
Intubasi sulit
Kista paru
- Pertimbangkan blocker
Laringoskopi hendaknya dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah kerusakan jaringan dan
utamanya untuk mencegah hipertensi dengan risiko diseksi aorta yang menyertai. Penderita sebaiknya
diposisikan dengan hati-hati untuk menghindari cidera-cidera pada tulang belakang servikal atau sendi
lainnya termasuk dislokasi. Bahaya hipertensi pada pasien dengan sindroma Marfan telah diketahui
dengan jelas. Adanya insufisiensi aorta menjamin bahwa tekanan darah (khususnya tekanan diastolik)
yang cukup tinggi untuk memberikan aliran darah koroner yang cukup tetapi tidak begitu tinggi yang
berisiko menyebabkan diseksi aorta. Memelihara tekanan darah pasien normal adalah rencana yang
terbaik. Tidak ada satupun obat anestetik atau teknik anestesia intraoperatif yang memperlihatkan
keunggulannya. Namun jika terdapat kista paru, ventilasi tekanan positif dapat menyebabkan
pneumotoraks. Pada saat ekstubasi, satu hal yang perlu diperhatikan adalah mencegah peningkatan
tekanan darah atau denyut jantung yang tiba-tiba. Penatalaksanaan nyeri pascabedah yang adekuat sangat
penting untuk mencegah efek-efek yang merugikan dari hipertensi dan takikardia.
Referensi :
581
MODUL 32 TRAUMATOLOGI II
Persiapan Sesi
Audiovisual
Laptop
OHP
Flipchart
Pemutar video
Materi prsentasi :
CD power point
Sarana
Ruang belajar
Ruang pemeriksaan
Ruang pulih
582
Referensi :
Primary Trauma Care Course Manual (current edition)
Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik akan memiliki kemampuan untuk melakukan
penatalaksanaan lanjut pasien trauma baik fase critical care tanpa pembedahan, fase pembedahan dan
pascabedah
e. KOGNITIF
1. Mampu menjelaskan kebutuhan pemantauan fungsi vital pada pasien trauma yang tidak
memerlukan pembedahan segera
2. Mampu menjelaskan kebutuhan bantuan hidup pada pasien trauma yang tidak
memerlukan pembedahan segera
3. Mampu menjelaskan kebutuhan anestesia yang khusus untuk berbagai pembedahan
penyelamatan (damage control surgery)
4. Mampu menjelaskan kebutuhan anestesia yang khusus untuk pembedahan definitif
5. Mampu menjelaskan bantuan nafas, sirkulasi, kendali tekanan intra-kranial, nutrisi
artifisial, bantuan renal, langkah penanganan sepsis dan analgesia pada pasien trauma
yang tidak memerlukan pembedahan segera
6. Mampu menjelaskan bantuan nafas, sirkulasi, kendali tekanan intra-kranial, nutrisi
artifisial, bantuan renal, langkah penanganan sepsis dan analgesia pada pasien trauma
yang menjalani pembedahan dan pada masa pascabedah
7. Mampu menjelaskan teknik hemodilusi dan transfusi masif
8. Mampu menjelaskan hipotermia insidental maupun hipotermia yang disengaja untuk
konservasi organ
f. PSIKOMOTOR
1. Mampu melakukan perawatan perioperatif dan peritrauma
2. Mampu melakukan pemantauan fungsi vital dengan alat maupun tanpa alat
583
3. Mampu melakukan Prolonged Life Support di bidang pernafasan, sirkulasi darah dan
kesadaran serta fungsi otak.
4. Mampu melakukan komunikasi dan koordinasi perawatan pasien dengan tim dokter
spesialis lain dan tim perawat serta paramedis lainnya
5. Mampu memberikan anestesia khusus untuk pembedahan penyelamatan maupun
pembedahan definitif.
6. Mampu membaca ECG dan foto sinar-X toraks, vertebra servikal, dan CT scan kepala.
h. PROFESIONALISME
1. Bekerja sesuai dengan prosedur standard
2. Memahami etik profesi dalam melakukan tindakan medis penanganan lanjut korban
trauma
3. Menjamin bahwa peralatan yang diperlukan untuk tindakan medis penanganan lanjut
korban trauma ada lengkap dan berfungsi baik
4. Menjamin bahwa dokter telah memiliki keterampilan cukup untuk melakukan tindakan
medis penanganan lanjut korban trauma secara multi-disiplin dan komprehensif
3. KEY NOTES
1. Obat induksi yang umum dipergunakan untuk pasien trauma adalah ketamin dan
etomidat. Walaupun setelah resusitasi cairan cukup, kebutuhan induksi dengan propofol
sangan berkurang untuk pasien trauma (80 90 %). Walaupun obat-obat seperti ketamin
dan N2O yang normalnya tidak langsung merangsang fungsi jantung, dapat
memperlihat efek kardiodepresan pada pasien dalam keadaan syok dan telah menerima
stimulan simpatikus. Hipotensi dapat diatasi setelah pemberian etomidat.
2. Pemantauan invasif (arteri langsung, vena sentral, monitor arteri pulmonal) sangat
menolong dalam memandu resusitasi cairan tetapi penempatan monitor ini tidak akan
mengurangi resusitasi sendiri. Serial Ht atau Hb, pengukuran gas darah arteri, elektrolit
serum (terutama K+ ) sangat berharga pada resusitasi yang berkepanjangan.
4. POKOK BAHASAN
584
ii. Penggunaan ventilator dengan berbagai patologi pasien yang menyebabkan
interaksi berbeda
iii. Thoracic drainage dan pompanya
iv. Pemantauan tekanan intra-kranial
v. Penggunaan pompa infusi, pompa suntik (syringe-pump), alat untuk membuat
hipotermia / hipertermia
vi. Pembacaan foto sinar-X dan CT scan kepala
vii. Resusitasi otak
viii. Sedasi dan analgesia pasien trauma
5. GAMBARAB UMUM
Setelah melalui sesi ini peserta didik akan mampu mengelola pasien trauma yang telah mendapat
resusitasi tahap awal untuk dilakukan terapi selanjutnya di ICU atau anestesia untuk pembedahan
dan penatalaksanaan pascabedah serta penangulangan nyeri pascabedah.
6. TUJUAN PEMBELAJARAN
Pada sesi traumatologi II ini, peserta dididik untuk mampu menangani pasien setelah melalui survei
primer urutan ABC. Pasien menjalani berbagai pemeriksaan, klinis, neurologik, laboratorium,
radiologi, CTScan, dan pemeriksaan diagnostik lain invasif atau noninvasif untuk persiapan anestesia
jika diperlukan pembedahan; sesuai lokasi trauma yang dialami pasien. Sesudah sesi ini peserta akan
mampu mengelola pasien perioperatif sampai dirawat di ICU.
5. METODE :
d. Kuliah
h. Pre-tes dan pos-tes
i. Latihan dengan manikin dan simulator
j. Praktek pada pasien yang dirawat di Ruang Resusitasi Gawat Darurat, Ruang Observasi
Intensif, ICU atau yang setara
6. SUMBER PEMBELAJARAN
b. Sarana belajar mengajar : Ruang Kuliah, Perpustakaan, Skill Lab dan Rumah Sakit setara Klas B
pendidikan untuk menjamin jumlah dan variasi kasus sesuai sub 5c (Metode)
585
8. ALAT BANTU : manikin dan simulator
9. EVALUASI
a. Kognitif: uji lisan, MCQ dan Extended Medical Question,OSCE dan evaluasi harian.
Sudah Belum
No Daftar cek penuntun belajar
dikerjakan dikerjakan
B. .Persiapan STATICS
586
C. PERSIAPAN OBAT-OBAT DAN CAIRAN INFUSI
G. Penanggulangan nyeri
Sudah Belum
No Daftar cek penuntun belajar
dikerjakan dikerjakan
1. PERSIAPAN PRAANESTESIA
a. Persiapan STATICS
587
c. Persiapan peralatan analgesia regional
3. PENATALAKSANAAN PASCABEDAH
a. Penanggulangan nyeri
DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur
memuaskan standard atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih
588
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
589
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
MATERI ACUAN
Secondary survey mulai hanya bila urutan ABC stabil. Pasien dievaluasi dari kepala sampai kaki jika
terdapat indikasi, misalnya radiologi, tes laboratori atau prosedur diagnostik invasif. Pemeriksaan kepala
mencakup kulit kepala dan rambut, mata dan telinga. Pemeriksaan neuroligis meliputi, skala GCS, fungsi
motoris dan sensori dan refleks-refleks. Pemeriksaan dada untuk menilai adanya pneumotoraks,
tamponade perikard. Pemeriksaan abdomen untuk evaluasi adanya perdarahan intraabdomen.
Pemeriksaan ekstrimitas untuk menentukan adanya fraktur atau luksasi. Kateter urin dan pipa nasogastrik
biasanya juga dipasang.
Pemeriksaan laboratori termasuk darah lengkap (Hb, Ht), elektrolit, gula darah, ureum, kreatinin. Analisa
gas darah akan sangat menolong. Foto toraks harus dibuat pada trauma berat. Pada trauma leher harus
diperiksa foto PA, lateral dan swimmer view leher; kalau perlu CTScan. FAST (Focused assessment with
sonografy for trauma) dilakukan bila mungkin untuk mendeteksi perdarahan intraperitoneal atau
tamponade perikard. Bergantung pada lokasi cedera dan status hemodinamik pemeriksaan pencitraan lain
dapat dianjurkan CTScan dada, angiografi atau diagnotic peritoneal lavage (DPL) jika ada indikasi.
Pada beberapa trauma senter juga menyelenggarakan tertiary trauma survey untuk menghindari missed
injuries(cedera yang tidak tertangkap). Antara 2 % 50 % cedera trauma luput dari primary dan
secondary survey terutama setelah trauma tajam multipel (kecelakaan kendaraan). Tertiary survey dapat
didefinisikan sebagai evaluasi pasien yang melakukan identifikasi dan mendaftar semua cedera
setelah resusitasi awal dan intervensi operatif. Hal yang tipikal ini dilakukan dalam 24 jam setelah
cedera. Evaluasi (delayed evaluation) ini biasanya berakhir pada pasien yang sudah mulai sadar yang
590
dapat mengkomunikasikan semua keluhan dan lebih terperinci menjelaskan terjadinya cedera. Tertiary
survey terjadi sebelum pasien dipulangkan untuk reevaluasi dan konfirmasi cedera yang diketahui dan
identifikasi hal yang tidak mungkin terjadi. Reevaluasi ini termasuk pemeriksaan head to toe dan
mempelajari semua pemeriksaan laboratori dan pencitraan. Missed injuries dapat mencakup fraktur
tungkai dan pelvik, medula spinalis dan cedera kepala dan saraf abdominal dan saraf perifer.
Konsiderasi anestesia
Konsiderasi umum
Analgesia regional tidak praktis dan tidak tepat untuk pasien dengan kondisi hemodinamik yang tidak
stabil dan keselamatan terancam.
Kalau pasien tiba di kamar operasi sudah terintubasi perbaiki posisi . Pasien dengan kecurigaan trauma
kepala dilakukan hiperventilasi untuk menurunkan tekanan intrakranial. Jika tidak terintubasi, prinsip-
prinsip yang tetap dipergunakan mempertahankan jalan nafas di kamar operasi. Jika memungkinkan ,
hipovolemia diperbaiki dulu sebelum melakukan intubasi. Resusitasi cairan dan transfusi SDM selama
induksi dan pemeliharaan anestesia..
Lambang penuh adalah kondisi yang akan dihadapi pada trauma mendadak; di mana kita tidak mungkin
mengamankan jalan nafas dengan obat yang menurunkan volume gastrik dan keasaman lambung. Upaya
yang tepat melaklukan induksi cepat (induksi cepat) dan penekanan krikoid. Hati-hati jika menekan
krikoid pada pasien dengan fraktur servikal karena berpotensi merusak medula spinalis servikal.
Sebagai tindakan alternatif intubasi pipa endotrakeal, LMA masih dapat dipergunakan untuk proteksi
trakea, atau untuk memfasilitasi intubasi yang akan dibantu dengan bronkoskop serat optik. Pada pasien
dengan trauma maksilofasial , LMA dapat pula dipergunakan untuk menghindari aspirasi bekuan darah
dan sekret faring . Walaupun LMA dapat dipakai untuk ventilasi tekanan positif tetapi sulit dilaksanakan
untuk pasien dengan kontusio paru, edema atau aspirasi. Problem ini mungkin diatasi lagi dengan teknik
mempergunakan intubating laringeal mask (ILM) yaitu intubasi buta dengan memasukkan pipa
endotrakeal kecil ( No, 6) melalui LMA.
Induksi anestesia pada pasien trauma umumnya mempergunakan ketamin atau etomidat. Propofol
dipergunakan dengan dosis yang sangat diturunkan (80 90 %) pada trauma berat walaupun telah diberi
resusitasi cairan yang adekuat. Ketamin dan N2O yang normalnya merupakan stimulan kardiak tak
langsung, masih berefek kardiodepresan pada pasien yang mengalami syok dan sudah terjadi
rangsangan simpatikus maksimal. Hipotensi dapat juga dihambat setelah induksi etomidat.
591
Pemeliharaan anestesia pada pasien yang tidak stabil mempergunakan terutama obat pelumpuh otot dan
titrasi anestetik umum (MAP > 50 60 mmHg) yang cukup menghasilkan amnesia. Intermiten ketamin (
10 15 mg tiap 15 menit) cukup baik memberikan toleransi dan membuat pasien lupa, terutama jika
dipergunakan volatil anestetik dosis kecil (< 0,5 MAC).
Barbiturates
Thiopental
Thiamylal
Methohexital 0
Benzodiazepines
Diazepam 0/ 0
Lorazepam 0/ 0
Midazolam 0
Opioids
Meperidine 2 2
Morfine2 2 2
Fentanil 0
Sufentanil 0
Alfentanil 0
Remifentanil 0
Ketamine
592
Cardiovascular Respiratory Serebral
etomidat 0 0
Propofol 0 0
Droperidol 0 0 0
HR, HR; MAP, mean arterial pressure; Vent, ventilatory drive; B'dil, bronchodilation; CBF, serebral blood flow; SMRO 2, serebral oxygen
consumption; ICP, intrakranial pressure; 0, no effect; 0/ , no change or mild increase; , decrease (mild, moderate, marked); , increase (mild,
moderate, marked).
2
The effects of meperidine and morfine on MAP and bronchodilation depend upon the extent of histamine release.
Adjuvan lain agar pasien tidak ingat dapat dipergunakan midazolam (1 mg intermiten) atau skopolamin
0,3 mg. Penggunaan N2O dibatasi pada pasien taruma yang diduga pneumotoraks. Pada pasien yang
mengalami syok lebih mempergunakan pola penatalaksanaan yang aman untuk pasien yaitu pemberian
dosis secara inkremental untuk semua obat anestetik.
Pemantauan invasif ( arteri langsung, CVP, PAWP) akan sangat menolong untuk memandu resusitasi
cairan, tetapi insersinya tidak akan menghambat reesusitasi itu sendiri.
Tiap Korban trauma dengan ganguan kesadaran dipikirkan adanya cedera otak.. Tingkat kesadaran
dinilai dengan mempergunakan skala GCS. Umumnya cedera ini memerlukan tindakan bedah segera
termasuk, hematom epidural, subdural hematom akut, cedera tembus otak, atau tekanan pecahan tulang
tengkorak. Cedera lain yang dapat dikelola secara konservatif, adalah fraktur basis kranii dan hematom
intraserebral. Fraktur basis kranii sering memberikan gejala memar pada kedua kelopak mata (ramloon
eyes), atau hematom di atas prosesus mastoid (Battles sign), cairan serebrospinal keluar melalui
hidung dan telinga (CSF rhinorrhea). Gejala lain cedera otak, berupa gelisah, konvulsi, disfungsi saraf
otak (misalnya pupil nonreaktif). Gejala klasik Triad Cushing (hipertensi, bradikardia, gangguan
pernafasan) adalah terlambat dan tidak dapat dipastikan yang biasanya mendahuli herniasi otak.
Hipotensi jarang karena hanya cedera kepala.
593
Cedera otak sering disertai oleh peningkatan tekanan intrakranial karena perdarahan otat atau edema.
Hipertensi intrakranial dikontrol dengan kombinasi resktriksi caiaran (kecuali terdapat syok
hipovolemik), diuretik (misalnya manitol 0,5 g /kg), barbiturat dan hiperventilasi agar terjadi deliberate
hypocapnia (Pa CO2 28 32 mmHg); dua yang terakhir memerlukan intubasi endotrakeal. Hipertensi
atau takikardia selama intubasi dapat ditekan dengan pemberian lidokain atau fentanil intravena. Intubasi
sadar dapat cepat meningkatkan tekanan intrakranial. Pemasangan pipa nasotrakeal atau pipa nasogastrik
pada pasien dengan fraktur basis kranii mempunyai risiko perforasi plat kribriformis (bagian etmoid)
dan infeksi cairan serebrospinal. Meninggikan posisi kepala dapat memperbaiki drainase vena dan
menurunkan tekanan intrakranial. Pemakaian kortikosteroid pada cedera kepala masih kontroversial.
Hiperglikemia harus dicegah dan diobati dengan insulin. Hipotermia sedang terbukti menguntungkan
untuk pasien dengan cedera kepala karena dapat mencegah iskemia yang dicetuskan oleh trauma
(iskemia-induced injury).
Pada bagian otak yang cedera, autoregulasi aliran darah otak terganggu; hipertensi arterial akan
memperburuk edema serebri dan meningkatkan tekanan intrakranial.Tetapi hipotensi arterial
menyebabkan iskemia serebral. Umumnya tekanan perfusi serebral (selisih MAP pada level otak dan
CVP yang lebih besar atau ICP) yang seharusnya dipertahankan sekitar 60 mm Hg.
Pasien dengan cedera otak berat lebih mudah mengalami hipoksemia arterial karena tak sebandingnya
pintas paru (pulmonary bypass) ventilasi / perfusi. Perubahan ini mungkin disebabkan oleh aspirasi,
atelektasis, atau efek neurologis langsung terhadap pembuluh darah paru. Hipertensi intrakranial dapat
mempengaruhi pasien terjadi edema paru karena peningkatan tonus simpatikus.
Tingkat gangguan fisiologis setelah cedera medula spinalis proporsional dengan level lesi. Selama
intubasi dan transportasi harus dilakukan hati-hati untuk mencegah kerusakan lebih berat. Lesi tulang
servikal dapat melibatkan saraf frenikus (C3-C5) dan mengakibatkan apnea. Hilang fungsi interkostal
terbatas pada cadangan paru dan kemampuan batuk. Cedera toraks tinggi (T1-T4) akan mengganggu
saraf simpatikus jantung hingga condong bradikardia. Cedera mendadak medula spinalis dapat
menyebabkan syok medula spinalis, kondisi spesifik karena hilangnya tonus simpatikus pada pembuluh
darah di bawah lesi; akibatnya terjadi hipotensi, bradikardia, arefleksia, atonia gastrointestinal. Gejala
yang segera terlihat, distensi vena kaki. Hipotensi memerlukan resusitasi cairan yang cepat, tetapi
diperlambat jika kemungkinan edema paru. Suksinilkolin dapat berakibat fatal jika diberikan pada
cedera medula spinalis karena menyebabkan hiperkalemia hebat yang mengancam jiwa. Tetapi
dilaporkan masih aman jika diberi dalam 48 jam setelah trauma. Kortikosteroid dosis tinggi
(metilprednisolon 30 mg/jg kemudian 5,4 mg/kg/jam selama 23 jam) dapat memperbaiki keluaran
neurologis pada pasien dengan trauma medula spinalis. Hiper-refleksi autonomik berkaitan dengan lesi di
atas T5 tetapi tidak menjadi problema selama menejen mendadak.
Trauma dada
594
Trauma dada dapat sangat membahayakan fungsi jantung dan paru, terutama syok kardiogenik dan
hipoksia. Pneumotoraks sederhana adalah adanya akumulasi udara di antara pleura parietalis dan
viseralis. Ipsilateral jaringan paru kolaps akan menyebabkan gangguan hebat ventilasi / perfusi dan
hipoksia. N2O akan memperbesar pneumotoraks, karena itu menjadi indikasi-kontra untuk pasien ini.
Pengobatannya pasang waters seal; drainase pada sela iga 4 5 di garis midaksiler anterior. Jika masih
bocor, yang cedera mungkin mengenai cabang bronkus utama.
Pneumotoraks tegang (tension pneumothorax) terjadi bila udara masuk ke dalam rongga pleura jalan
berkatup (one-way valve) di paru atau dada; atau udara masuk dengan paksa melalui inspirasi tetapi tidak
dapat keluar selama ekspirasi. Akibatnya ipsilateral paru kolaps sedangkan mediastinum dan trakea
bergeser ke sisi kontra lateral. Pneumotoraks sederhana dapat berkembang menjadi pneumotoraks
tegang bila ventilasi diberi tekanan positif. Darah balik ke jantung dan ekspansi paru kontra lateral
terganggu. Gejala klinis adalah hilangnya bunyi nafas pada sisi ipsilateral dan hiper-resonan pada perkusi,
trakea bergeser kontralateral serta vena-vena leher membesar. Terapinya, tusukan jarum ukuran 14 gauge
sedalam 3 6 sm pada sela iga ke 2 di garis midklavikular; akan mengubah pneumotoraks tegang
menjadi pneumotoraks terbuka (open pneuthorax).Selanjut dilakukan terapi definitif seperti
pneumotoraks biasa.
Fraktur iga multipel akan mengganggu integritas toraks hingga terjadi flail chest. Hipoksia sering
diperburuk oleh kontusio paru atau hemotoraks sebelumnya pada pasien ini. Hemotoraks dan
hemomediastinum dapat menyebabkan syok hemorhagik. Hemoptisis masif mungkin memerlukan
pemasangan double lumen tube (DLT) atau single lumen tube dan bronchial blocker agar bekuan darah
tidak masuk ke paru sehat.
Tamponade jantung adalah cedera dada yang mengancam keselamatan pasien yang harus segera
diketahui. Gejala berupa, Trias Beck (vena leher yang membesar, hipotensi, suara jantung lemah), pulsus
paradoksus (a > 10 mmHg tekanan darah turun selama nafas spontan. Pengobatan sementara dapat
dilakukan berupa perikardiosentesis. Penatalaksanaan anestesia harus memaksimalkan efek
kardioinotropik, kronotropik,dan prabeban. Karena alasan ini ketamin dapat dianjurkan sebagai obat
induksi.
Kontusio miokard biasanya ditegakkan diagnosis dengan melihat perubahan ECG berupa iskemia
(elevasi ST segmen), elevasi enzim ( kreatin kinase MB atau level tiroponin), atau ekhokardiogram
abnormal.
ARDS (acute respiratory distres syndrome) biasanya merupakan komplikasi kemudian setelah trauma
yang mempunyai banyak penyebab : sepsis, cedera toraks, aspirasi, cedera kepala, embolus lemak,
595
transfusi masif, keracunan oksigen. Kematian ARDS dapat mencapai 50 % walapun sudah dilakukan
dengan teknologi tinggi.
Trauma abdomen
Pasien dengan trauma berat sebaiknya dipertimbangkan juga mengalami cedera abdomen sampai terbukti
tidak. Hampir 20 % pasien dengan cedera intraabdominal tidak nyeri dan tanpa gejala iritasi peritoneum
(defans otot, nyeri ketok atau ileus) pada pemeriksaan pertama.
Luka tembus abdomen biasanya jelas dengan tanda masuk ke perut atau dada bagian bawah; mengenai
organ hati. Pasien cenderung dimasukkan menjadi 3 kelompok : 1) tanpa nadi, 2) hemodinamik tidak
stabil, 3) stabil. Pasien tanpa nadi dan hemodinamik tidak stabil, sulit mempertahankan tekanan darah
antara 80 90 mmHg dengan 1 2 L resusitasi cairan; segera untuk persiapan laparotomi. Sebaliknya
pada trauma tembus abdomen dengan hemodinamik stabil dan tidak disertai gejala klinis peritonitis
memerlukan evaluasi yang teliti untuk menghindari tindakan laparotomi yang tidak perlu. Gejala klinis
cedera intra-abdominal mencakup adanya udara bebas di bawah diafragma (pemeriksaan radiologi),
darah dari nasogastrik, hematuria, darah dari rektum. Trauma tumpul yang yang paling menonjol sebagai
penyebab kematian dan kesakitan dari trauma dan yang paling terkenal adalah trauma intraabdominal.
Yang paling sering terjadi adalah limpa robek atau pecah.
Hipotensi berat dapat terjadi setelah rongga perut dibuka karena efek tamponade dari ekstravasasi darah
atau usus yang membesar dikeluarkan. Bila waktu memungkinkan, persiapkan dulu pasien dengan
resusitasi cairan atau darah sebelum tindakan ;laparotomi. Pemakaian N2O dihindarkan untuk mencegah
dilatasi usus. Transfusi masif sebaiknya diantisipasi terutama bila trauma abdomen berkaitan dengan
perdarahan dari pembuluh darah hati, limpa, atau cedera ginjal, fraktur pelvis, atau retroperitoneal. Jika
terjadi komplikasi hiperkalemia karena transfusi darah masif, harus segera diobati.
Perdarahan masif intraabdomen memerlukan resusitasi cairan dan darah yang banyak dan kadang-kadang
operator menjepit aorta abdominal dengan risiko cedera iskemia hati, ginjal dan tungkai. Hal ini harus
diantisipasi dengan baik tidak sampai terjadi komplikasi, gagal organ terkait dan rabdomiolisis.
Edema usus progresif karena cedera dan resusitasi cairan dapat mengganggu penutupan dinding perut
pada akhir operasi. Kalau dinding perut terlalu tegang, tekanan intra-abdomen meningkat dan
mengakibatkan abdominal compartment syndrome hingga terjadi iskemia ginjal dan splangnikus.
Oksigenasi dan ventilasi sering sangat terganggu, walapun otot dinding perut sudah cukup relaksasi
(paralisis). Pada kasus ini dinding perut dibiarkan terbuka dan hanya ditutup dengan plastik steril selama
48 72 jam sampai edema hilang dan penutupan sekunder dapat dilakukan..
596
Trauma ekstrimitas
Cedera ekstrimitas dapat mengancam nyawa karena berkaitan dengan cedera pembuluh darah besar
komplikasi infeksi sekunder. Cedera pembuluh darah dapat cederung masif dan menganca m
kelangsungan hidup tungkai. Misalnya, fraktur femur dapat dikaitkan dengan kehilangan 1 2 L darah
dan fraktur tertutup pelvis kehilangan darah lebih banyak lagi dan mengakibatkan syok hipovolemik.
Embolus lemak berkaitan dengan fraktur pelvis dan fraktur tulang panjang, hingga menyebabkan
insufisiensi, disritmia, petechera kulit dan kemunduran mental dalam 1 3 hari setelah trauma.
REFERENSI
MODUL 33
POST ANESTHESIA CARE UNIT
(PACU)
597
Sesi dengan fasilitasi pembimbing
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
CD power point
Sarana:
8. Ruang belajar
9. Ruang pemeriksaan
10. Ruang pulih
11. Bangsal rawat inap/pengamatan lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU
Referensi :
8. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New York: Lange
Medical Books/McGraw-Hill; 2006
9. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed. Philadelphia:Lippincott
Williams & Wilkins ; 2006
Selain referensi wajib di atas, peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari referensi tambahan
untuk modul PACU seperti yang diuraikan berikut ini:
1. Chung F. Discharge process. In: Twersky RS, ed. The Ambulatory Anesthesia Handbook. St
Louis: Mosby;1995,431-49.
2. Practice Guidelines for Postanesthetic Care. Anesthesiology 2002; 96(3).
598
TUJUAN UMUM
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu mengelola pasien pasca-anestesia umum dan
regional di PACU, mengetahui kapan pasien dipulangkan (untuk ambulatori), kapan boleh dipindah ke
ruangan (untuk pasien rawat inap), serta kapan indikasi masuk ICU, HCU, atau perlu operasi lagi.
TUJUAN KHUSUS
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi dalam ranah-ranah berikut ini :
Kognitif
10. Mengetahui alat pemantauan dan obat-obatan apa yang perlu diadakan di PACU
11. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: obstruksi jalan nafas,
12. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipoksemia
13. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: hiperkarbia.
14. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipotensi.
15. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipertensi.
16. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: aritmia.
17. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: menggigil.
18. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: PONV.
19. Mengetahui komplikasi yang sering terjadi di PACU: delirium.
20. Mengetahui komplikasi akibat pemasangan jarum untuk analgesia lokal atau akibat kateternya.
21. Memahami kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 1 (pindah ke ruangan atau ke PACU fase
2).
22. Memahami kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 2 (boleh pulang ke rumah).
23. Memahami indikasi pasien harus masuk ke ICU atau HCU.
Psikomotor
7. Mampu melakukan pemantauan pasien PACU dan persiapan obat-obatan yang harus ada di
PACU.
8. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: obstruksi jalan nafas,
9. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipoksemia
10. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: hiperkarbia.
11. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipotensi.
12. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: hipertensi.
13. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: aritmia.
14. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: menggigil.
15. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: PONV.
16. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: delirium.
17. Mampu menilai dan mengatasi komplikasi yang sering terjadi di PACU: akibat penusukan jarum
untuk analgesia regional atau kateternya.
18. Mampu menilai kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 1 dengan Modifikasi Aldretes skor
599
19. Mampu menilai kapan pasien boleh keluar dari PACU fase 2 (boleh pulang ke rumah) dengan
PADSS skor.
20. Mampu menilai kapan pasien harus masuk ke ICU atau HCU.
Komunikasi
2. Berkomunikasi dengan ahli bedah bila terjadi komplikasi yang memerlukan tindakan
pembedahan ulang akibat pembedahannya.
3. Berkomunikasi dengan ahli bedah bila terjadi komplikasi yang memerlukan tindakan
pembedahan akibat pemasangan jarum atau kateter untuk analgesia regional.
Profesionalisme
KEYNOTES:
10. Pasien jangan meninggalkan kamar bedah jika jalan nafas belum stabil, ventilasi dan oksigenasi
adekuat, stabil hemodinamik.
11. Menggigil dapat menyebabkan peningkatan kebutuhan oksigen, produksi CO2, dan curah
jantung. Efek fisiologis sering kurang dapat ditolerir oleh pasien dengan gangguan fungsi paru
dan jantung.
12. Problema respirasi merupakan hal yang paling sering terjadi, yang dihubungkan dengan
obstruksi jalan nafas, hipoventilasi, atau hipoksemia.
13. Hipoventilasi di PACU paling sering disebabkan efek residu obat anestetik
14. Depresi sirkulasi, atau asidosis berat merupakan indikasi untuk dilakukan intubasi pada pasien
yang mengalami hipoventilasi.
15. Hipovolemia merupakan penyebab paling sering dari hipotensi di PACU
16. Nyeri daerah insisi, intubasi endotrakeal, distensi kandung kemih merupakan penyebab
hipertensi.
17. Pemulihan di PACU berdasarkan Modifikasi Aldret skor
18. Pemulangan pasien ke rumahnya berdasarkan kriteria PADSS
GAMBARAN UMUM
Untuk dapat mengelola pasien di PACU diperlukan pengetahuan dan keterampilan dalam membuat
rancangan PACU, emergens dari anestesia umum, transportasi dari OK, pemulihan dari anestesia umum,
pemulihan dari analgesia regional, penatalaksanaan nyeri, agitasi, PONV, menggigil dan hipotermia,
kriteria pemulangan dari PACU ke ruangan, kriteria pemulangan dari RS ke rumah, penatalaksanaan
komplikasi obstruksi jalan nafas, hipoventilasi, hipoksemia, hipotensi, hipertensi, aritmia.
TUJUAN PEMBELAJARAN
600
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu mengelola pasien pasca-anestesia umum dan
regional di PACU, mengetahui kapan pasien dipulangkan (untuk ambulatori), kapan boleh dipindah ke
ruangan (untuk pasien rawat inap), serta kapan indikasi masuk ICU, HCU, atau perlu operasi lagi.
METODE PEMBELAJARAN
Metode pembelajaran
13. Diskusi kelompok kecil
14. Peer assisted learning (PAL)
15. Bedside teaching
16. Task-based medical education
Metode pembelajaran
5. Diskusi kelompok kecil
6. Peer assisted learning (PAL)
7. Bedside teaching
8. Task-based medical education
Metode pembelajaran
1. Diskusi kelompok kecil
2. Peer assisted learning (PAL)
3. Bedside teaching
4. Task-based medical education
MEDIA
601
16. Pasien di kamar bedah dan PACU
EVALUASI
13. Kognitif :
EMQ
Multiple observers/raters
OSCE
Minicheck
14. Skill/psikomotor :
Multiple observations and assessments
Multiple observers
OSCE
Minicheck
Multiple observers/rater
16. Professionalisme
Multiple Observations and assessments
Multiple observers/rater
Pre-tes
45. Jelaskan tentang alat pantau dan obat-obatan apa yang diperlukan di PACU!
46. Bagaimana cara mendesain PACU?
602
47. Jelaskan tentang komplikasi yang sering terjadi di PACU dan cara mengatasinya!
48. Jelaskan tentang kriteria Modifikasi Aldretes skor!
49. Jelaskan tentang kriteria pemulangan pasien dengan PADSS!
50. Jelaskan pasien yang bagaimana yang harus masuk ICU padahal sebelumnya tidak
direncanakan masuk ICU!
Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).
Bentuk ujian :
10. Kognitif
a. EMQ
b. Multiple observation and assessments
c. Multiple observers
d. OSCE
e. Minicheck
11. Skill/psikomotor
a. Multiple observation and assessments
b. Multiple observers
c. OSCE
d. Minicheck
12. Affective : Professionalisme, Communication and Interpersonal Skills
a. Multiple observation and assessments
b. Multiple observers
Tindakan / operasi :
PENGENALAN KOMPLIKASI
1 Pemasangan monitor
603
3. menilai dan mengatasi komplikasi hipoksemia
DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur
memuaskan standard atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih
604
Nama pasien No Rekam Medis
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
605
Tidak layak
melakukan prosedur
MATERI ACUAN
Definisi Pemulihan
Pemulihan adalah proses yang kontinyu dan proses tersebut secara tradisional dibagi dalam 3
bagian yang saling tumpang tindih: early recovery, saat pasien bangun dari anestesia; intermediat
recovery, bila pasien mencapai kriteria boleh pulang, dan late recovery bila pasien kembali ke keadaan
fisiologis seperti sebelum operasi.
Early recovery (fase 1) dimulai dari saat dihentikannya obat anestetik supaya pasien bangun,
pulih refleks proteksi jalan nafas, dan kembalinya aktivitas motorik. Fase ini biasanya terjadi di PACU
dengan pengawasan ketat dan supervisi perawat. Aldrete merancang suatu sistem skoring untuk
menentukan kapan pasien fit untuk keluar dari PACU. Nilai skoring 0, 1, atau 2 ditujukan untuk aktivitas
motorik, respirasi, sirkulasi, kesadaran, dan warna. Total skor maksimalnya 10. Penggunaan pulse
oximetri dapat menolong lebih akuratnya indikator oksigenasi, dan diusulkanlah suatu Modifikasi
Skoring Aldrete yang mengganti kriteria warna pada Aldrete skor dengan SpO 2 pada Modifikasi Aldrete
Skoring sistem. Bila pasien mencapai skor 9, pasien tersebut cukup fit untuk dipindahkan ke ruang
pulih fase 2 di mana fase 2 recovery terjadi sampai mencapai kriteria untuk dipulangkan. Fase 3
recovery terjadi setelah keluar dari RS dan berlangsung sampai pasien mampu melakukan aktivitas
sehari-hari.
606
Tabel 2. Criteria for Fast Tracking and Discharge
607
Activity
2=Moves all extremities voluntarily or on command.
Respirasion
2=breathes deeply & cough freely
0=apneic
Circulation
2=BP20 mm of preanesthetic level
Oxygen saturasion
2=SpO2 > 92% on room air
Fast Tracking
Tersedianya obat dengan mula kerja cepat dan lama kerja pendek untuk induksi dan
pemeliharaan anestesia akan memfasilitasi cepatnya pulih setelah operasi bedah sehari. Sebagai hasilnya,
pasien dapat mencapai skor 9 atau 10 ketika tiba di PACU. Pasien-pasien ini juga mungkin lebih cepat
pulih di unit fase 2. Biasanya, semua pasien ditransfer ke PACU, tak terkecuali dengan Aldrete skor 9
atau 10, tetap diperlukan untuk tinggal di PACU hanya sebagai persyaratan/protokol perawatan. Faktor-
faktor ini yang kadang memperlambat pasien yang telah betul-betul pulih untuk meninggalkan PACU.
Teknik Fast-tracking akan menyebabkan pasien dari kamar bedah langsung dipindahkan ke
pemulihan fase 2 tanpa melalui PACU, sehingga biaya di PACU tidak ada, yang berarti akan menekan
biaya sehingga akan menguntungkan bagi pasien. Pada kasus pediatrik, orang tua pasien tidak
diperbolehkan ada di PACU karena tempatnya terbatas, akan tetapi, diijinkan masuk ASU (Ambulatory
Surgical Unit) saat induksi anestesia. Anak-anak mendapat keuntungan tambahan dengan fast-tracking
karena cepat berkumpul dengan orang tuanya.
Penelitian Song menunjukkan bahwa pasien yang dianestesia dengan desfluran dan sevofluran
untuk rumatan anestesia ketika ligasi tuba, menunjukkan lebih cepat bangun daripada dengan propofol.
Modifikasi Aldrete aslinya digunakan untuk memenuhi syarat fast track. Sistem skoring ini tidak
mempertimbangkan faktor nyeri dan muntah, suatu efek samping yang sering terlihat di PACU. White
dkk, memasukkan faktor nyeri dan muntah ke dalam Skoring Aldrete. Dengan sistem skoring yang baru
608
skor maksimum adalah 14 dan bila skore pasien 12 dapat dapat langsung ke fase 2 .
Fase 2.
Skor
Level of consciousness
Physical activity
Hemodynamic stability
Respiratory stability
609
Postoperative pain assessment
Total skor 14
Adanya Practice Guideline for Post Anesthetic Care (PGPAC) ini bertujuan untuk memperbaiki
outcome postanesthetic care yang diberikan anestesia atau sedasi dan analgesia. Hal ini dilaksanakan
dengan mengevaluasi bukti-bukti dan memberikan rekomendasi untuk penilaian pasien, pemantauan,
dan penatalaksanaan dengan sasaran optimalisasi keselamatan pasien. Diharapkan bahwa setiap
rekomendasi akan individual bergantung pada kebutuhan setiap pasien.
Fokus dari Guidelines pada penatalaksanaan pasien perioperatif dengan sasaran memperbaiki
kualitas hidup post anestesia, mengurangi efek yang tidak diinginkan pascabedah, memberikan penilaian
pemulihan pasien yang seragam, dan pelurusan kriteria postoperative care dan discharge. Guidelines ini
diperuntukan untuk semua umur yang telah mendapat anestesia umum, analgesia regional, sedasi sedang
dan dalam. Guidelines ini mungkin perlu dimodifikasi untuk pasien anak atau geriatri. Guidelines ini
tidak ditujukan untuk pasien yang dilakukan infiltrasi analgesia lokal tanpa sedasi, pasien yang
menerima sedasi minimal, dan pasien yang harus dirawat di ICU .
Penilaian dan pemantauan pasien perioperatif terlihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 4. Summary of recommendations for Assessment and Pemantauan
Respiratory
Respiratory rate
610
Jalan nafas patency
Oxygen saturasion
Cardiovascular
Blood pressure
Neuromuscular
Nerve stimulator
Mental Status
Temperature
Pain
Urin
Voiding
Output
Penatalaksanaan perioperatif dan postanesthetic pasien termasuk penilaian secara periodik dan
pemantauan dari fungsi respirasi dan kardiovaskular, neuromuskular, status mental, temperatur, nyeri,
mual dan muntah, drainase dan perdarahan, serta urin.
Fungsi respirasi: literatur menunjukkan bahwa penilaian dan pemantauan fungsi respirasi selama
pemulihan, dengan pulse oksimetri, dapat mendeteksi secara dini adanya hipoksemia. Penilaian dan
pemantauan secara periodik/ berkala dari patensi jalan nafas, frekuensi nafas, SpO 2 harus dilakukan pada
emergence dan pemulihan.
Dari tabel di atas yang rutin berarti harus dilakukan secara rutin pada semua kasus sedangkan
selected patient tidak selalu dilakukan bergantung pada kasusnya, jadi bersifat individual.
611
Pemulangan Pasien
Program bedah rawat jalan yang sukses bergantung pada pada pemulangan pasien yang tepat
waktu setelah anestesia. Chung dkk membuat sistem skoring yang disebut PADSS (Postanesthesia
discharge scoring sistem) yang secara objektif menilai ke fit-an pasien untuk dipulangkan. Untuk
menjamin pendelegasian yang aman pada perawat, suatu sistem skoring harus praktis, simpel, mudah
untuk diingat, dan tidak membebani perawat. PADSS berdasarkan 5 kriteria yaitu: 1) tanda vital (tekanan
darah, denyut jantung, frekuensi nafas, temperatur), 2) ambulasi 3) mual/muntah, 4) nyeri dan 5)
perdarahan akibat pembedahan (lihat tabel). Bila skor mencapai 9, pasien cukup aman untuk
dipulangkan kerumah. Chung mendemonstrasikan bahwa dengan menggunakan PADSS pasien dapat
dipulangkan dalam waktu 1-2 jam pascabedah.
Sebelum ada (PGPAC), ada beberapa cara untuk pemulangan pasien yang aman antara lain:
Table 5. Guidelines for Safe Discharge After Ambulatory Surgery.
Able to void
Able to dress
Excessive pain
Bleeding
The patient must have a responssible, vested adult escort them home and
612
dipulangkan kerumah.
Setelah dibuat PGPAC lalu dilakukan modifikasi dari PADSS seperti terlihat di bawah ini:
dipulangkan kerumah.
613
AFTER
GUIDE
LINES
Retensi urin pascabedah dapat disebabkan inhibisi refleks kencing akibat manipulasi bedah,
pemberian cairan yang berlebihan sehingga menyebabkan distensi kandung kemih, nyeri, kecemasan,
atau efek sisa dari analgesia spinal atau epidural. Faktor risiko untuk retensi urin adalah ada riwayat
retensi urin, analgesia spinal/epidural, operasi pelvik atau urologi, katerisasi perioperatif. PGPAC
merekomendasikan bahwa urinasi sebelum pasien dipulangkan tidak merupakan bagian dari protokol
614
pemulangan pasien dan mungkin hanya diperlukan untuk untuk pasien tertentu. Bila voiding merupakan
bagian dari pemulihan, pasien dapat dipulangkan dengan instruksi yang jelas untuk minta pertolongan
apabila tidak bisa kencing dalam 6-8 jam pascabedah.
Analgesia spinal
Analgesia spinal sering digunakan untuk bedah rawat jalan dan mempunyai beberapa
keuntungan dibandingkan anestesia umum yaitu lebih rendahnya kejadian PONV, ngantuk, dan nyeri
pascabedah. Di samping keuntungan tsb, analgesia spinal bukannya tanpa problema. Lidokain adalah
obat yang populer untuk analgesia spinal akan tetapi mempunyai problema dengan terjadinya TNS
(transient neurologic symptom). TNS jelas dihubungkan dengan pemberian lidokain intratekal dan
kejadiannya bervariasi dari 16% sampai 40%.
Penelitian menunjukkan perbedaan pendapat. Vaghadia dkk menemukan bahwa analgesia spinal
dengan lidokain memperlambat pemulihan, peneliti yang lain mengatakan pemulangan pasien dengan
analgesia spinal lebih cepat daripada anestesia umum. Wong dkk menemukan bahwa pemulangan pasien
sama antara spinal dan anestesia umum pada pasien yang mengalami antroskopi.
Akibat adanya kekhawatiran kemungkinan efek neurotoksik dari lidokain membawa minat
kearah pemilihan obat analgetik lokal yang lain. Bupivakain merupakan alternatif lain dari
lidokain, akan tetapi mempunyai lama kerja yang lebih panjang, yang memungkinkan akan
memperlambat pemulangan pasien. Berbagai usaha dilakukan untuk mengurangi dosis
bupivakain yang diperlukan untuk anestesia dengan harapan pemulihannya cepat. Dosis kecil
bupivakain 4-8 mg dapat digunakan untuk mencapai pemulangan yang sama dengan spinal
lidokain. Penambahan fentanil menyebabkan sinergistik analgesia dan dapat mengurangi dosis
bupivakain, lebih cepatnya ambulasi, dan mengurangi risiko retensi urin. Banyak penelitian
yang mendukung hal ini (misalnya tambahkan 10 ug fentanil pada 5mg bupivakain). Sebelum
pasien diperbolehkan berjalan, penting untuk menilai apakah motor blok telah regresi. Bila
sensasi perianal (S4-5) normal, pleksi plantar, propriosepsi pada ibu jari kaki, pasien aman
untuk dimulainya ambulasi.
615
pasien, selain itu kadang-kadang problema logistik akan memperlambat pemulangan pasien.
Nyeri pascabedah dan PONV adalah 2 faktor utama yang memperlambat pemulihan.
Nyeri
Dalam usaha untuk mempertahankan keuntungan dari obat anestetik yang baru, spesialis
anestesia harus mengembangkan untuk penatalaksanaan nyeri pascabedah yang efektif, yang
harus dipikirkan sejak saat prabedah. Analgesia harus dimulai di kamar bedah dan dilanjutkan
dengan lebih agresif saat pascabedah. Jenis obat, saatnya pemberian obat, dan dengan
mempertimbangkan faktor emosional yang akan menambah nyeri, adalah elemen penting untuk
keberhasilan terapi nyeri.
Opioid masih merupakan obat yang paling umum digunakan untuk nyeri pascabedah, akan
tetapi, adanya efek samping seperti depresi nafas, sedasi, PONV akan mengurangi keuntungan
opioid untuk analgesia pascabedah. Keadaan ini yang menyebabkan berkembangnya pemakaian
NSAID pada pasien bedah rawat jalan.
Untuk pengobatan nyeri akut pascabedah, dibandingkan ketorolac, fentanil memberikan
hasil yang unggul dalam 15 menit pertama, karena itu, kedua kelompok obat (opioid dan
opioid) memberikan hasil yang efektif. Ketorolac 30-60 mg (0,5-2mg/kg) memberikan hasil
yang efektif, akan tetapi, gejala mual kurang daripada opioid, dan adanya peningkatan
perdarahan akan membatasi pemakaian ketorolac pada beberapa kasus bedah.
Salah satu kriteria utama dari ambulatori adalah nyeri pascabedah yang minimal yang dapat
dikendalikan dengan analgesik per oral. Walaupun banyak cara dalam memberikan analgesia, nyeri
masih merupakan alasan umum pasien lambat dipulangkan, untuk kontak dengan dokter keluarga, dan
untuk menjadi dirawatnya pasien yang direncanakan bedah rawat jalan.
Untuk dapat mengobati nyeri secara efektif, harus mengerti tentang pola nyeri dan membatasi
setiap faktor yang menimbulkan nyeri hebat. Chung dan Mezei meneliti 10.008 pasien bedah rawat
jalan untuk melakukan identifikasi faktor risiko untuk nyeri hebat. Operasi ortopedi mempunyai
kejadian paling tinggi untuk nyeri hebat pascabedah, terutama operasi bahu dan pengangkatan metal.
Lama operasi juga mempunyai pengaruh untuk terjadinya nyeri pascabedah. Bila lama operasi lebih dari
90 menit, 10% pasien akan mengalami nyeri hebat. Bila operasi melebihi 120 menit, 20% pasien akan
mengalami nyeri hebat.
Penatalaksanaan nyeri pascabedah harus dimulai intraoperatif atau idealnya prabedah untuk
menjamin pemulihan yang bebas nyeri. Pendekatannya harus multimodal, menggunakan NSAIDs,
opioid, dan analgesia lokal. Harus diingat bahwa NSAIDs perlu waktu sekitar 30 menit untuk menjadi
effektif dan sediaan parenteral lebih mahal daripada sediaan per oral.
PONV
PONV masih merupakan problema yang umum setelah bedah rawat jalan, dan kejadiannya
sekitar 20-30% setelah pemberian anestesia umum dan dilaporkan masih terjadi pada 35% pasien setelah
dipulangkan ke rumah, sehingga mencegah PONV merupakan prioritas bagi pasien. Chung
menunjukkan bahwa PONV adalah satu faktor paling penting yang menyebabkan pasien bedah rawat
616
jalan lambat dipulangkan.
Untuk mengelola pasien lebih efektif, Apfel dkk membuat suatu sistem skoring untuk risiko
terjadinya PONV yang terdiri dari 4 kategori yaitu : jenis kelamin wanita, ada riwayat PONV dan mabuk
perjalanan, tidak merokok, dan penggunaan opioid pascabedah. Bila satu, dua, tiga, atau empat faktor
tersebut ada maka kejadian PONV adalah 10%, 20%, 39%, dan 79%. Prosedur bedah yang lama dan
jenis operasi tertentu akan menyebabkan lebih tingginya risiko terjadinya PONV. Kejadian PONV yang
tinggi terjadi pada operasi intraabdominal, operasi ginekologis besar, laparoskopi, operasi payudara,
mata, dan THT. Disebabkan karena bila telah terjadi PONV biaya akan lebih mahal daripada
pencegahan, maka identifikasi faktor prediktor terjadinya PONV sangat penting sehingga dapat
diberikan terapi profilaksis.
Dibandingkan dengan plasebo, deksametason 10 mg secara nyata mengurangi PONV dari 73%
menjadi 34% dalam 24 jam setelah laparoskopi. Deksametason 4 mg sebanding dengan ondansetron 4
mg setelah operasi ginekologis rawat jalan. Dalam suatu metaanalisis, Henzi dkk melaporkan
deksametason terutama efektif melawan late PONV. Kombinasi droperidol dan ondansetron dapat
mengurangi kejadian PONV sampai 90%, karena droperidol lebih baik dalam melawan nausea daripada
emesis, sedangkan 5HT3 antagonis lebih menguntungkan untuk melawan emesis daripada mual.
PONV tidak hanya terjadi di PACU, akan tetapi, dapat saja terjadi pada pasien rawat
inap setelah kembali ke ruangan atau pasien rawat jalan setelah pasien pulang ke rumahnya.
Sebelum itu, sedikit perhatian untuk mengendalikan PONV setelah pasien dipulangkan ke
rumah. Pemberian ondansetron sebelum pasien dipulangkan akan mengurangi kejadian PONV
setelah pasien dipulangkan ke rumah. Pasien dengan risiko besar untuk terjadi PONV seperti
laparoskopi, strabismus sebaiknya diberikan ondansetron sesaat sebelum pasien dipulangkan.
Profilaksis antiemetik dengan intravena droperidol 0,625 mg, ondansetron 4 mg,
metoklopromid 10 mg, deksametason 150 uk/g atau sampai 8 mg iv efektif untuk mencegah
PONV.
Pada tanggal 5 Desember 2001, FDA menyatakan peringatan black box untuk
droperidol. Hal ini disebabkan karena adanya kematian tiba-tiba pada dosis tinggi droperidol
(>25 mg) pada kasus psikiatri, adanya risiko aritmia jantung. Peringatan ini berdasarkan pada 9
laporan kasus. Pada 7 laporan di mana diberikan 2,5 mg droperidol, 4 orang meninggal
sedangkan 3 orang lagi selamat setelah terjadi henti jantung. Henti jantung juga terjadi pada 2
pasien yang diberi droperidol dengan dosis 1 mg, di mana 1 pasien meninggal. Oleh karena itu,
sebaiknya tidak memberikan droperidol untuk terapi PONV.
617
evidence supporting their use is less robust.
Supplemental oxygen Supplemental
Normalizing patient
temperature
Wu dkk meneliti simptom keseluruhan setelah pasien dipulangkan dan kejadiannya kira-kira
45% untuk nyeri, 17% untuk mual, 8% untuk muntah, simptom lainnya adalah ngantuk, pusing, dan
lemah.
Harus diingat faktor kenyamanan pasien merupakan salah satu tujuan utama bedah rawat jalan.
Faktor yang menentukan kenyamanan pasien adalah keramahan personil kamar bedah, diskusi ahli
bedah dengan pasien tentang apa yang ditemukan saat pembedahan, penatalaksanaan PONV dan nyeri
pascabedah, pemasangan jalur vena yang lancar, dan hindari keterlambatan.
618
Simpulan
2. Bedah rawat jalan menguntungkan karena lebih murah dibandingkan dengan bedah
rawat inap, juga menguntungkan untuk pasien dan keluarganya.
3. Pemantauan di PACU (pemulihan fase I/early recovery) dengan Modifikasi sistem
Aldrete Skoring dan pasien boleh keluar PACU atau kamar bedah bila skor mencapai 9
atau lebih.
4. Pemantauan di ruang pulih fase II (intermediat recovery) dengan PADSS dan pasien
boleh dipulangkan bila sudah mencapai skore 9 atau lebih.
5. Kejadian PONV dan nyeri pascabedah masih merupakan problema utama yang dapat
dikurangi dengan perencanaan anestesia yang tepat.
6. Instruksi pada yang diberikan pada pasien saat dipulangkan harus jelas dan tertulis.
Referensi :
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
619
Persiapan Sesi
Audiovisual
34. Laptop
35. OHP
36. Flipchart
37. Pemutar video
Materi presentasi :
CD power point
Sarana
- Ruang belajar
- Ruang pemeriksaan
- Ruang pulih
- Ruang rawat inap / pengamat lanjut
Kasus : pasien di ruang PACU dan ICU
Referensi :
1. Tujuan Umum :
Setelah menyelesaikan modul ini, peserta didik akan mampu melakukan penatalaksanaan
nyeri akut dan kronik termasuk nyeri kanker dan pendekatan farmakologis dan non
farmakologis menggunakan teknik noninvasif maupun invasif.
620
2. Tujuan Khusus :
Kognitif
3. Mampu menjelaskan penatalaksanaan nyeri pada nyeri khusus antara lain nyeri pada luka
bakar, nyeri herpes, nyeri neuropatik diabetikum.
4. Mampu menjelaskan aspek psikologis, efek plasebo pada penatalaksanaan nyeri kronik
Psikomotor
2. Mampu memilih dan menetapkan kombinasi penkatan yang dipergunakan pada nyeri
kronik termasuk nyeri kanker sesuai tahapannya.
3. Mampu mengenali dan mengatasi efek samping yang disebabkan penatalaksanaan nyeri
kronik
4. Mampu melakukan penatalaksanaan nyeri pada pasien nyeri kronik yang mengalami
nyeri akut karena pembedahan
Komunikasi
1. Mampu berinteraksi dan menciptakan kondisi kerjasama tim dengan sejawat yang terkait
dari keahlian lain, perawat dan petugas home care.
3. Mampu menjelaskan kepada pasien maupun keluarga tentang tindakan dan efek samping
yang mungkin terjadi
Profesionalisme
1. Mampu bekerja dengan etis dan sesuai standard prosedur .
621
2. Mampu bekerja dalam tim dan menghargai sejawat lain, termasuk perawat, petugas
kesehatan dan perugas home care sesuai kompetensinya masing-masing.
4. Mampu menentukan pilihan pendekatan untuk pasien yang berada pada stadium akhir
dan terapi paliatif .
3. Key notes
1. Nyeri dapat diklasifikasi menurut patofisiologi (misalnya, nyeri nosiseptif, atau nyeri
neuropatik), etiologi (misalnya, nyeri pascabedah atau nyeri kanker), atau area yang
menderita (misalnya, nyeri kepala atau nyeri bokong bawah/low back pain).
2. Nyerti nosiseptif disebabkan oleh aktifasi atau sensitisasi nosiseptor perifer, reseptor
yang menghantarkan rangsangan noksious. Nyeri neuropatik adalah akibat cedera atau
kelainan yang didapat pada struktur perifer atau sentral.
3. Nyeri akut dapat didefinisikan sebagai nyeri yang disebabkan oleh rangsangan noksious
karena cedera, proses penyakit, atau fungsi abnormal otot atau visera. Hampir selalu
merupakakan nyeri nosiseptif.
4. Nyeri kronik didefinisikan sebagai nyeri yang menetap melebihi perjalanan satu penyakit
atau setelah waktu penyembuhan terjadi; periode dapat bervariasi antara 1 sampai 6
bulan. Nyeri kronik mungkin nyeri atau neuropatik atau campuran.
5. Modulasi nyeri terjadi perifer pada nosiseptor, di medula spinalis atau di struktur
supraspinal. Modulasi ini dapat menghambat atau mempermudah (memperkuat) nyeri.
6. Nyeri akut yang moderat sampai berat, di mana saja letaknya dapat mengenai setiap
fungsi organ serta memperburuk morbiditas dan mortalitas pascabedah.
8. Antidepresan umumnya sangat berguna untuk pasien dengan nyeri neuropatik. Obat ini
terbukti memberikan efek analgesia pada dosis yang lebih kecil dari pada dosis sebagai
antidepresan.
9. Antikovulsan telah dibuktikan sangat berguna untuk pasien dengan nyeri neuropatik.
622
10. Pemberian neuroaksial campuran analgetik lokal-opioid (terutama epidural) adalah
teknik anestesia yang sempurna untuk penanganan nyeri pascabedah setelah operasi
abdominal, pelvik, toraks, atau ortopedik ekstrimitas bawah.
11. Efek samping yang berat opioid epidural atau intratekal bergantung pada dosis dan
depresi nafas tunda (delayed respiratory depresion). Kebanyakan kasus depresi nafas
terjadi pada pasien yang bersamaan mendapat opioid atau sedatif parenteral.
Gambaran Umum
Setelah melalui sesi peserta didik mampu menangani nyeri akut terutama nyeri pascabedah,
nyeri kronik terutama nyeri kanker. Peserta didik dilatih melakukan pendekatan yang
multidisiplin untuk bekerja sama dengan bidang ilmu lain seperti, internis, neurologis,
onkologis, psikolog atau akupungturis.
Tujuan Pembelajaran
Selama mengikuti sesi ini peserta akan mengetahui definisi dan klasifikasi nyeri akut dan
nyeri kronik, serta anatomi dan fisiologi nosiseptif. Karena nyeri bersifat multi modulasi,
maka intervensi ditempuh berbagai cara yaitu secara farmakologik atau blok neuroaksial
atau kombinasi. Khususnya untuk nyeri pascabedah peserta didik juga harus mampu
memberikan analgesia preemtif.
Sumber Belajar
- Buku teks, jurnal ilmiah
- Spesialis anestesia sebagai pengajar dan pelatih
Metode belajar:
Media Pembelajaran
Perpustakaan
623
Kata kunci:
Evaluasi:
- Pre-tes
- Pos-tes
- tes tulis
Sudah Belum
N
Daftar cek penuntun belajar prosedur anestesia dikerja dikerja
o.
kan kan
PERSIAPAN
624
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan terkait
3
prosedur/obat (faal hemostasis, liver profile)
6 Pendekatan psikologis
TINDAKAN ANESTESIA
1 Induksi, intubasi
2 Rumatan
3 Ekstubasi
PERAWATAN PASCABEDAH
625
DAFTAR TILIK
Beri tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan
dengan memuaskan dan berikan tanda x bila tidak dikerjakan dengan memuaskan
serta T/D bila tidak dilakukan pengamtan
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta
DAFTAR TILIK
1 2 3 4 5
626
Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih
Layak
Tidak layak
Melakukan prosedur
627
Nyeri adalah gejala umum yang membawa pasien datang ke dokter, yang hampir selalu
merupakan manifestasi proses patologis. Umumnya penatalaksanaan nyeri ini merupakan
bagian dari disiplin anestesiologi tetapi pada perkembangan kemudian pemakaian di luar kamar
operasi. Dalam praktek penatalaksanaan nyeri dibagi menjadi penatalaksanaan nyeri akut dan
penatalaksanaan nyeri kronik. Pada mulanya menghilangkan nyeri pascabedah atau karena
kondisi akut penyakit sebagai pasien rawat inap, sedangkan yang kemudian penatalaksanaan
nyeri untuk berbagai kelompok sebagai pasien rawat jalan. Sudah tentu ada tumpang tindih
antara keduanya misalnya pasien nyeri kanker yang dapat menjadi pasien rawat inap dan rawat
jalan.
Praktek penatalaksanaan nyeri tidak terbatas pelayanan anestesia saja tetapi akan mencakup
praktisi lain seperti, internis, onkologi, neurologi, atau non-dokter seperti, psikologi, akupungtur.
Yang jelas bidang ini memerlukan pendekatan multidisiplin.
Anestetis yang terlatih dalam penatalaksanaan nyeri dapat menjadi koordinator pengelolaan nyeri
yang multidisiplin di klinik nyeri karena telah terlatih menagani nyeri pasien bedah, obstetri-
ginekologis, pediatrik atau spesialis lain dengan pendekatan farmakologis atau neuroaksial
dengan cara blok saraf perifer atau saraf pusat.
Persepsi nyeri bergantung pada neuron yang berfungsi, apakah sebagai reseptor, detektor
rangsangan, dan kemudian transdusi dan konduksi ke dalam susunan saraf pusat. Sensasi
sering dibagi sebagai protopatik (noksious) atau epikritik (non-noksious). Sensasi epikritik
(cahaya, perabaan, tekanan, proprioseptif, suhu) yang diberi tanda oleh reseptor ambang rendah
(low-thresholdreceptors) dan umumnya dihantarkan oleh serabut saraf besar bermielin (large
myelinated nerve fibers). Sebaliknya sensasi protopatik (nyeri) dilayani oleh reseptor ambang
tinggi (high-threshold rceptors) dan dihantarkan oleh serabut saraf kecil bermielin ( mielinated
nerve fibers) (Adan
serabut saraf tak bermielin (unmyelinated nerve fibers) (C).
Nyeri tidak hanya modaliti sensasi tetapi suatu pengalaman. The International Association for
the Study of Pain ( IASP) mendefinisikan nyeri sebagai: as unpleasant sensory and emotional
experience associated with actual or potential tissue damage, or described in terms of such
damage
628
Nosiseptif (nociception), berasal dari bahasa latin : noci (cedera atau injury), dipergunakan
untuk menjelaskan respons neural hanya terhadap trauma atau rangsangan noksious. Semua
nosiseptif menghasilkan nyeri, tetapi tidak semua nyeri akibat dari nosiseptif. Banyak pula
pasien mengalami nyeri tidak disertai rangsangan noksious. Karena itu untuk penggunaan
klinis, nyeri dibagi menjadi : 1) nyeri akut, yang terutama karena nosiseptif; 2) nyeri kronik,
yang mungkin disebabkan oleh nosiseptif, tetapi faktor psikologi dan behavior yang lebih banyak
berperan. Tabel yang dipergunakan untuk menangani nyeri.
Term Description
629
Nyeri dapat diklasifikasi menurut patofisiologi, (misalnya: nyeri nosiseptif atau nyeri
neuropatik; etiologi (pascabedah atau kanker); area yang terkena ( nyeri kepala, nyeri punggung
bawah). Klasifikasi dipergunakan untuk menentukan modaliti pengobatan dan jenis obat ysng
dipergunakan. Nyeri nosiseptif disebabkan oleh aktivasi atau sensitisasi nosiseptor perifer,
terutama reseptor yang menghantarkan rangsangan noksious. Nyeri neuropatik adalah nyeri
yang disebabkan oleh cedera atau kelainan yang didapat pada struktur saraf perifer atau saraf
pusat
a. Nyeri akut
Nyeri akut dapat didefinisikan sebagai nyeri yang disebabkan oleh rangsangan noksious karena
cedera, fungsi abnormal dari otot atau visera. Nyeri nosiseptif membantu untuk mendeteksi,
melokalisir dan membatasi kerusakan jaringan melalui 4 proses : transduksi, transmisi, modulasi,
dan persepsi. Jenis nyeri ini tipikal dan berkaitan dengan stres neuroendokrin yang proporsional
dengan intensitasnya. Bentuk yang paling umum meliputi: nyeri pascatrauma, nyeri perioperatif
dan nyeri obstetrik dan penyakit akut seperti, infark miokard, pankreatitis, dan batu ginjal. Nyeri
ini pudar sendiri atau dengan pengobatan setelah beberapa hari atau pekan. Kalau tidak
menghilang mungkin disebabkan oleh penyembuhan yang abnormal atau pengobatan tidak
adekuat. Nyeri akut dapat dibedakan menjadi 2 jenis, yaitu: 1) nyeri somatik dan 2) nyeri viseral
1. Nyeri somatik
Nyeri somatik dapat diklasifikasi lebih jauh lagi menjadi : nyeri somatik dalam dan
permukaan. Nyeri somatik permukaan terjadi karena masukan nosiseptif muncul dari kulit,
jaringan subkutan dan membran mukosa. Nyeri berkarakteristik dan terlokalisasi jelas, dapat
dideskripsi sebagai nyeri yang tajam, menusuk, berdenyut atau sensasi terbakar.
Nyeri somatik dalam, berasal dari otot, tendon, sendi atau tulang sebagai nyeri tumpul dan
lokalisasi kurang jelas; contohnya trauma pada siku tetapi lokalisasi nyeri ada pada hampir
seluruh lengan.
2. Nyeri viseral
Nyeri viseral adalah nyeri akut yang muncul proses abnormal organ internal atau yang
menutupinya (misalnya pleura parietalis, perikardium, atau peritoneum). Nyeri viseral masih
dibagi menjadi 4 subtipe: 1) true localized visceral pain; 2) localized parietal pain; 3)
reffered visceral pain; 4) reffered parietal pain.Nyeri viseral murni biasanya tumpul difus
dan di garis tengah. Biasanya sering disertai dengan peningkatan aktifitas simpatikus atau
parasimpatikus hingga menyebabkan, mual, muntah berkeringat dan perubahan tekanan
darah dan laju nadi. Nyeri parietalis khas tajam dan sering didiskripsikan sebagai sensasi
tusukan dengan lokasi sekitar organ atau dialihkan lebih jauh (reffered to a distant site).
630
b. Nyeri kronik
Nyeri kronik adalah nyeri yang berlangsung melampaui waktu perjalanan penyakit akut atau
setelah waktu yang wajar untuk terjadi penyembuhan; waktu ini dapat bervariasi antara 1 6
bulan. Nyeri dapat berupa nyeri nosiseptif, neuropatik atau campuran. Aspek mekanisme
psikologi dan faktor lingkungan sering sangat berperan dalam menentukan perbedaan gambaran
nyeri kronik tersebut. Pasien dengan nyeri kronik sering menekan atau menghilangkan respons
stres neuroendokrin hingga cenderung mengalami gangguan tidur dan afektif (mood). Nyeri
neuropatik adalah paroksimal klasik dan rasa tersayat serta terasa panas dan berkaitan dengan
hiperpati.
Bentuk nyeri kronik yang paling umum berkait dengan gangguan muskuloskeletal, gangguan
viseral kronik, lesi saraf perifer, radiks saraf (nerve roots), (termasuk neuropatik diabetik,
kausalgia, nyeri fantom dan neuralgia posterapeutik), lesi SSP (strok, cedera medula spinalis, dan
multipel skelerosis), dan nyeri kanker. Kebanyakan nyeri gangguan muskuloskeletal (misalnya
reumatoid artritis, dan osteoartritis) adalah nyeri nosiseptif, di mana nyeri bercampur dengan
gangguan saraf perifer dan sentral yang terutama neuropatik. Nyeri yang berkaitan dengan
gangguan-gangguan seperti, kanker dan nyeri punggung kronik (terutama setelah opersi) sering
merupakan nyeri campuran. Beberapa klinikus menyebutnya sebagai nyeri kronik benigna.
Pathways nyeri
Lihat gambar :
631
Untuk mempermudah menyerderhanakan ilustrasi, nyeri dihantarkan melalui 3 jaring neuron
(three-neuron pathways) yang menghantarkan rangsangan noksious dari perifer sampai korteks
serebri (Gambar). Neuron aferen primer berada di radiks dorsalis ganglia (dorsal root ganglia),
yang terletak di foramen vertebra pada tiap level medula spinalis. Setiap neuron mempunyai
satu akson yang terbagi dua, satu ujung menuju ke jaringan perifer yang dipersarafi, dan yang
lain masuk ke tanduk dorsalis (dorsal horn) medula spinalis. Di tanduk dorsalis neuron aferen
primer bersinaps dengan neuron kedua (second order neuron) yang aksonnya menyilang garis
tengah dan naik di kontralateral traktus spinotalamikus sampai ke talamus. Neuron kedua
bersinaps di nukleus talamikus dengan neuron ketiga (third order neuron) yang membelok
menuju girus pos-sentralis di korteks serebri melalui kapsul interna (gambar).
632
Fisiologi nosiseptif
1. Nosiseptor
Sensasi noksious sering diperinci lagi menjadi 2 komponen menjadi nyeri pertama dan nyeri
kedua. Nyeri pertama, cepat, tajam dan lokasi sensasi baik, dihantarkan oleh serabut A dengan
latensi yang pendek (0.1 s); nyeri kedua, tumpul, mula kerja lambat, dan lokasi sensasi sering
tidak jelas yang dihantarkan oleh serabut C.
Nosiseptor kutaneus
Nosiseptor kutaneus ada di kedua jaringan somatik dan viseral.. Neuron aferen primer sampai
ke jaringan melalui somatik, simpatikus dan parasimpatikus spinal. Nosiseptor somatik ada di
kulit (kutaneus) dan jaringan dalam (otot, tendon, fasia dan tulang), sedangkan nosiseptor viseral
ada di organ dalam.
Nosiseptor somatik dalam kurang sensitif dari pada nosiseptor kutaneus, tetapi disensitifkan
oleh inflamansi. Karakter nyeri yang timbul tumpul dan lokasi tidak jelas. Nyeri nosiseptor ini
berada di otot, sendi dan respons terhadap rangsangan mekanis, panas dan kimia
Nosiseptor viseral
Organ viseral umumnya adalah jaringan yang kurang sensitif, yang terutama mengandung
silnet nociceptors, seperti jantung, paru dan saluran empedu. Kebanyakan organ seperti usus
dipersarafi oleh nosiseptor polimodal nosiseptor yang tanggap terhadap spasme otot, iskemia,
dan inflamasi (alogens). Sebagian kecil organ seperti otak tidak mempunyai nosiseptor
samasekali, walapun pemukaan selaput otak meningeal berisi banyak nosiseptor.
Seperti halnya nosiseptor somatik di visera tidak terdapat ujung saraf dari neuron aferen
primer yang sel saraf (cell bodies) terletak di tanduk dorsalis medula spinalis. Serabut saraf
aferen ini berjalan bersama serabut saraf eferen simpatikus sampai ke visera.
633
Beberapa neuropeptid dan asam amino eksitatori berfungsi sebagai neutransmiter untuk neuron
aferen yang menghantarkan nyeri. (tabel)
Somatostatin Inhibitory
Enkephalins , , Inhibitory
-Endorphin , , Inhibitory
Norepinefrin 2 Inhibitory
Adenosine A1 Inhibitory
Glycine Inhibitory
1
NMDA, N-methyl-D-aspartate; AMPA, 2-(aminomethyl)phenilacetic acid; 5-HT, 5-
634
hydroxytryptamine
Kebanyakan, walaupun tidak semua neuron mengandung lebih dari satu neurotransmiter yang
dilepaskan secara simultan. Neurotransmiter terpenting yaitu : substance P, Calcitonin Gene-
Related Peptide(CGRP). Glutamat adalah eksitatori asam amino yang terpenting. Neuron yang
melepaskan substance P juga mempersarafi visera dan berkolateral dengan serabut saraf yang
menuju ganglion simpatikus paravertebra; rangsangan kuat pada visera akan menyebabkan
langsung postganglionic sympathetic discharge.
3. Modulasi nyeri
Modulasi nyeri terjadi di perifer pada nosiseptor dalam medula spinalis atau supraspinal.
Modulasi ini dapat menekan atau memperkuat nyeri.
Mana no 4???
5. Analgesia preemtif
Kiat ini adalah pemberian picu farmakologik hingga terjadi efek analgesia efektif sebelum
trauma bedah. Termasuk cara ini, termasuk infiltrasi sekitar luka operasi, pemberian obat blok
neural sentra, atau pemberian opioid dengan dosis efektif, NSAID, atau ketamin.
Nyeri kronik mungkin disebabkan oleh kombinasi pengaruh sentral, perifer dan psikologik.
Sensitisasi nosiseptif memainkan peran besar pada nyeri dengan mekanisme perifer seperti
gangguan muskuloskeletal dan viseral. Nyeri neuropatik melibatkan saraf sentral dan perifer.
Mekanisme sentral yang kompleks dan umumnya berhubungan dengan lesi parsial atau
keseluruhan dari saraf perifer, ganglia radiks dorsalis, radiks sarea, atau struktur yang lebih
sentral (tabel)
635
neuroma).
Short-circuits between pain fibers and other types of fibers following demyelination, resulting in
activation of nociceptive fibers by nonnoxious stimuli at the site of injury (ephaptic
transmission).
Functional reorganization of receptive fields in dorsal horn neurons such that sensory input
from surrounding intact nerves emphasizes or aggravates any input from the area of injury.
Loss of descending inhibitory influences that are dependent on normal sensory input.
Sistem saraf simpatis nampaknya memegang peran besar pada pasien dengan mekanisme perifer
dan sentral. Keampuhan blok saraf simpatis pada beberapa pasien mendukung konsep
pemeliharaan nyeri simpatikus; gangguan dengan nyeri yang sering menjadi respons terhadap
blok simpatikus termasuk distrofi simpatikus, sindroma karena amputasi, neuralgia pasca
herpes.
Mekanisme psikologi atau faktor lingkungan jarang merupakan satu-satunya mekanisme nyeri
kronik, tretapi umumnya berhubungan dengban mekanisme lain (Tabel)
Psychophysiological mechanisms in which emotional factors act as the initiating cause for
somatic or visceral dysfunction (eg, tension headaches).
Learned or operant behavior in which chronic behavior patterns are rewarded (eg, by attention
of a spouse) following an often minor cedera.
636
abnormal preomlupation with bodily functions.
Antidepresan
Obat ini mempunyai efek analgesia pada dosis yuang lebih kecil dari pada dosis antidepresan..
kedua efek ini disebabakan oleh blokade reambilan serotonin atau noepinefrin atau keduanya
dari presinaptik. Antidepresan umumnya sangat bermanfaat untuk pasien dengan nyeri
neuropatik, misalnya neuralgia pasca herpes, dan neuropati diabetik.
Antikonvulsan
Antikonvulsan sangat berguna untuk pasien dengan nyeri neuropatik, terutama neuralgia
trigeminus, neuropatik diabetik. Obat ini juga efektif sebagai adjuvan untuk nyeri pascabedah
misalnya gabapentin. Dalam Tabel di bawah diperlihatkan daftar obat antikovulsan.
637
Table 1810. Anticonvulsants Possibly Useful in Pain Management.
1
Efficacy in pain management may not correlate with blood level.
Neuroleptik
Neuroleptik bermanfaat untuk nyeri neuropatik refrakter. Neuroleptik juga sangat berguna untuk
pasien yang agitasi atau dengan gejala psikotik. Obat-obat yang banyak dan umum dipakai
adalah; haloperidol, flufenazin, klorpromazin, dan perferazin. Efek terapeutik obat ini karena
blokade reseptor dopaminergik di sisi mesolimbik Sayang sekali obat ini dapat memberikan
dampak samping gejala ektrapiramidal. Obat ini juga dapat memberikan efek, antihistamin,
antimuskarinil, blok -adrenergik.
Kortikosteroid
638
Table. Selected Corticosteroids.1
Hydrocortisone O, I, T 1 1 20 812
Triamcinolone O, I, T 5 0 4 1236
(Aristocort)
1
Adapted from Goodman LS, Gilman AG: The Pharmacologic Basis of Therapeutics, 8th ed.
Pergamon, 1990.
2
O, oral; I, injectable; T, topical.
Kalau aktivitas glukokortikoid berlebihan dapat menghasilkan hipertensi, hiperglikemia, rentan
infeksi, ulkus peptikus,nekrosis aseptik kaput humerus, proksimal miopati, katarak dan psikosis
(jarang); dan juga gambaran sindroma Cushing. Terlalu berlebihan mineralokortikoid dapat
memacu terjadi gagal jantung.
Analgetik lokal biasanya diberikan sistemik untuk pasien nyeri neuropatik dan menghasilkan
sedasi dan analgesia; analgesia sering bertahan lebih lama dari profil farmakokinetik obat
analgetik lokal dan memutuskan pain cycle. Obat yang banyak dipergunakan adalah
lidokain, prokain dan kloroprokain. Lidokain diberikan secara infusi selama 5 30 menit
dengan dosis total 1 5 mg/kg; prokain diberikan 200 400 mg intravena selama 1 2 jam;
639
sedangkan kloroprokain (1 % ) diberika infusi dengan kecepatan 1 mg /kg / menit untuk total 10
20 mg/kg. Pemantauan sebaiknya mempergunakan, EKG, tekanan darah, respirasi dan status
mental, alat resusitasi harus tertsedia. Kalau terdapat tanda-tanda toksik seperti, tinitus, sedasi
berlebihan, atau nistagmus, segera infusi diperlambat atau hentikan.
Efek utama obat golongan ini seperti klonidin dan deksmedetomidin adalah mengaktivasi jaras
desending inhibisi (descending inhibitory pathways) di tanduk dorsali medula spinalis dan di
SSP. Obat dapat diberikan secara sistemik (parenteral), peroral, perkutan (patch), dan
neuroaksial. A2-agonis adrenergik epidural atau intratekal efektif untuk nyeri neuropatik dan
toleransi opioid.
NYERI PASCABEDAH
Konsep analgesia preemtif (di atas) dianggap penatalaksanaan nyeri pascabedah terbaik yang
dimulai pra-bedah. Penempatan kateter yang dipertahankan untuk nyeri pascabedah merupakan
cara yang handal. Analgesia interkostal dan epidural tambahan dapat memperbaiki fungsi
respirasi setelah bedah toraks dan abdominal atas. Analgesia epidural dan spinal dapat
menurunkan kejadian tromboembolus operasi panggul dan mengurangi hiperkoagulasi setelah
prosedur vaskular.
Kontrol nyeri pascabedah umum terbaik jika dikelola oleh seorang anestetis, karena mereka
dapat melakukan intervensi dengan analgesia regional atau farmakologik atau keduanya.
Modaliti analgesia pascabedah mencakup pemberian analgesia oral, analgesia parenteral, blok
saraf, blok neuroaksial, dengan analgetik lokal, opioids intraspinal dan juga teknik adjuvan
seperti TENS dan terapi fisis. Seleksi teknik analgesia umumnya berdasarkan, tiga faktor, yaitu :
pasien, prosedur dan setting (rawat jalan atau rawat inap)
1. Analgetik oral
640
Kebanyakan pasien dengan nyeri ringan sampai sedang setelah operasi dapat ditanggulangi
dengan COX inhibitor oral, opioid, atau kombinasi. Pasien yang mungkin mendapat oral intake
atau nyeri hebat memerlukan pemberian seperti rawat inap tanpa memperhatikan prosedur.
Salicylates
p-Aminophenols
Acetaminophen
Proprionic acids
641
Analgesiac Half- Onset Dose Dosing Maximum Daily
Life (h) (h) (mg) Interval (h) Dosage (mg)
Indoles
COX-2 Inhibitors
Obat-obat ini menghambat sintesis prostaglandin (COX) dan mempunyai berbagai khasiat
analgesia, antipiretik, antiinflamasi. Asetaminofen sedikit mempunyai aktivitas antiinflamasi.
Analgesia disebabkan oleh blokade sistesis prostaglandin, yang menambah peka dan
memperkuat input nosiseptif. Beberapa jenis nyeri terutama nyeri setelah bedah ortopedi dan
ginekologi. Setidak-tidaknya dikenal 2 jenis COX inhibitor; COX 1 cukup kuat dan tersebar ke
seluruh tubuh, tetapi COX 2 menonjol dengan inflamasi. Selektif COX 2 inhibitor seperti
celecoxib, nampaknya sedikit toksik terutama dampak terhadap gastrointestinal; selain itu tidak
mengganggu agregasi trombosit., tetapi rofecoxib lebih mudah memberikan komplikasi
kardiovaskulkar.
Asetaminofen mempunyai efek samping paling kecil, tetapi pada dosis besar mudah terjadi
hepatotoksik. Aspirin dan NSAID lain, paling banyak memberikan dampak, nyeri lambung,
nausea, dispepsia. Kecuali asetaminofen dan COX 2, semua COX inhibitors memacu disfungi
trombosit. Aspirin dan NSAID dapat mencetuskan bronkospasme pasien tria nasal, polip, rinitis
dan asma. NSAID dapat menyebabkan insufisiensi ginjal dan nekrosis papilari ginjal.
Opioid
Nyeri sedang pascabedah sebaiknya diatasi dengan opiod oral seperti tertera dalam tabel.
642
Opioid Half- Onset Durasion Relative Initial Dosing
Life (h) (h) Potency Dose Interval
(h) (mg) (h)
Tramadol (Ultram) 67 12 36 30 50 46
1
Preparasions also contain acetaminophen (Vicodin, others).
2
Preparasions may contain acetaminphen (Percocet) or aspirin (Percodan).
3
Some preparasions contain acetaminophen (Darvocet).
4
Used primarily for cancer pain.
Umumnya opioid dikombinasi dengan COX inhibitor oral; Yang akan menambah efek
analgesia dan mengurangi efek samping.
643
1. Infiltrasi analgesia lokal
Infiltrasi sekitar insisi luka, blok saraf dengan analgetik lokal adalah cara yang paling aman
menghilangkan nyeri pascabedah. Blok saraf ilioinguinal dan femoral dapat dipergunakan untuk
pasca heniotomi dan prosedur skrotum; blok saraf penile untuk sirkumsisi; dengan
mempergunakan analgetik lokal bupivakain. Efek analgesia dapat melebihi durasi
farmakokinetik analgetik lokal. Lebih baik anestetik diberikan sebelum pembedahan dilakukan
untuk mendapat efek preemtif analgesia.
Suntikan intra-artikular analgetik lokal atau opioid atau kombinasi sangat efektif prosedur
artroskopi.
Kebanyakan pasien dengan nyeri sedang sampai berat pascabedah membutuhkan analgetik
parenteral atau blok saraf dengan analgetik lokal selama 1- 6 hari pascabedah. Jika pasien
dapat memulai dengan intake oral dan intensitas nyeri berkurang, analgetik oral diteruskan.
Analgetik paentral termasuk NSAIDs (ketorolak), opioid dan ketamin. Ketorolak dapat diberikan
secara intramuskular atau intravena, sedangkan opioid dapat diberikan subkutan, intramuskular,
intravena atau intraspinal. Opioid transdermal tidak dianjurkan untuk nyeri pascabedah.
1. Opioid
Analgesia opioid dicapai pada level darah tertentu setiap pasien untuk diberikan pada intesitas
nyeri. Pasien dengan nyeri berat melaporkan nyeri secara khusus dan kontinyu sampai level
darah analgesia tercapai, di atas konsentrasi tertentu dengan pengalaman analgesia pasien dan
beratnya segera berkurang. Titik (point) tersebut dinyatakan sebagai konsetrasi efektif
644
analgesia minimum (the minimum effective analgesiac concentrasion / MEAC). Sedikit kenaikan
di atas titik tersebut akan sangat meningkatkan analgesia.
Kedua cara pemberian ini tidak dianjurkan karena sakit suntikan dan level dalam darah
tidak dapat diperkirakan karena absorbsi tidak pasti. Pasien biasanya tidak puas, karena
pemberian terlambat dan dosis kurang tepat.
Pemberian intravena
Keseimbangan optimal antara analgesia, sedasi dan depresi respirasi dapat dicapai dengan
cara frekuen, intermiten dan dosis kecil (misalnya morfin 1-2 mg). Tanpa memperhatikan eleksi
obat dan karena distribusi obat durasi efek yang singkat diobservasi hingga beberapa telah
diberikan; kemudian level dalam darah dapat dipertahankan melalui infusi kontinyu. Sayang
sekali teknik ini merupakan kerja intensif dan pemantauan respirasi ketat. Karena itu teknik ini
terbatas untuk PACU, ICU atau unit khusus ongkologi.
645
Opioid Bolus Dose Lockout (min) Infusion Rate1
1
The authors do not recommend continuous infusion for most patients.
Jika PCA pertama kali dipergunakan, dosis pengisian dengan opioid harus diberikan dan
ditunggu oleh dokter; bergantung pada setting pasien mungkin memberikan loading
sendiri.
Blok pada pleksus interkosta, interpleura, brakial dan saraf femoral dapat memberikan analgesia
pasca bedah yang baik sekali. Pemasanagan kateter memungkin pemberian analgetik lokal secara
intermiten atau kontinyu (bupivakain 0.125 % atau ropivakain 0.125 % yang dapat menghasilkan
analgesia selama 3 5 hari pascabedah.
Pemberian campuran analgetik lokal opioid neuroaksial (terutama epidural) merupakan teknik
yang handal untuk penatalaksanaan nyeri pascabedah setelah prosedur abdominal, pelvik, toraks
atau ortopedi pada ekstrimitas bawah. Pasien sering mempunyai preservasi fungsi respirasi yang
lebih baik, dapat segera dipulangkan dan keuntungan serta dapat latihan fisis. Satu suntikan
tunggal neuroaksial (subarakhnoid atau epidural) analgetik lokal, opioid atau kombinasi dapat
dipergunakan untuk preventif analgesia pada hari operasi. Teknik ini akan efektif jika
mempergunakan kateter dan ditinggalkan agar obat analgetik lokal diberikan intermiten atau
kontinyu.
Analgetik lokal
646
Analgetik lokal saja dapat menghasilkan analgesia yang sangat baik tetapi berdampak
blokade simpatikus dan motorik. Pengenceran analgetik lokal masih memberikan efek analgesia
tetapi blok motorik ringan. Bupivakain dan ropivakain 0,125 0,25 % sangat dipergunakan
untuk kebutuhan di atas.
Opioid
Morfin intratekal 0.2 -0.4 mg (untuk orang Indonesia 0,02 0,04 mg) dapat memberikan
analgesia yang sangat baik untuk 4 24 jam. Morfin epidural 3 -5 mg (untuk orang Indonesia
0,3 0,5 mg) memberikan efek yang sama dan lebih umum dipergunakan..
Opioid yang diberikan epidural atau intratekal berpenetrasi ke dalam medula spinalis dan
bergantung pada waktu dan konsentrasi. Obat hidrofilik yang diberikan epidural (seperti
morfin) menghasilkan analgesia pada level dalam darah yang lebih rendah daripada obat
lipofilik (seperti fentanil). Yang terakhir mungkin menghasilkan efek segmental jadi
sebaiknya hanya dipergunakan bila ujung kateter dekat dengan dermatom insisional.
Level dalam darah sistemik fentanil selama infusi epidural hampir ekuivalen pemberian
647
intravena. Kekuatan alfentanil epidural dan mungkin juga sufentanil tampaknya semuanya
karena absorbsi sistemik
Obat hidrofilik menyebar ke atas dengann waktu; jadi morfin yang disuntikkan dari
lumbah bawah, dapat menghasilkan analgesia untuk toraks dan abdominal atas (walaupun
terlambat). Faktor-faktor penting yang mempengaruhi dosis pemberian mencakup, lokasi
ujung kateter, yang terkait dengan insisi dan usia pasien. Jika ujung kateter lebih dekat
dengan dermatom insisi, opioid yang dibutuhkan lebih sedikit. Kalau morfin epidural
dipergunakan sebagai analgesik tunggal infusi kontinyu (0.1 mg/mL), 3 5 mg bolus awal
diberikan, kemudian diikuit infusii 0.1 0.7 mg / jam. Teknik bolus intermiten dapat juga
dipergunakan, tetapi infusii kontinyu mungkin lebih sedikit memhasilkan dampak samping
seperti retensi urin dan gatal-gatal.
Walapun opioid intraspinal sendiri dapat menghasilkan analgesia yang sangat baik,
banyak pasien mengalami dampak samping yang signifikan dengan bergantung pada dosis,
terutama dengan opioid larut lemak. Kalau larutan anestetik lokal dikombinasi dengan opioid,
akan terlihat sinergi yang signifikan. Buvipakain0.0625 - 0.125 % (atau ropivakain 0.1 0.2 %)
dikombinasi dengan morfin 0.1 mg / mL (atau fentanil 5 g /mL) memberikan analgesia
sangat baik dengan dosis lebih kecil dan sedikit efek samping. Penambahan epinefrin walapun
dosis kecil (2 g / mL) memperkuat dan memperpanjang analgesia epidural dan dapat
mengurangi absorbsi sistemik opioid lipofilik (misalnya fentanil). Penambahan klonidin dosis
kecil (50 75 g) sama juga menambah memperpanjang analgesia epidural.
Indikasi kontra
Indikasi kontra mencakup, penolakan pasien, koagulopati, atau trombosit abnormal, dan
adanya infeksi atau tumor sekitar tusukan. Infeksi sistemik hanya indikasi kontra relatif kecuali
terbukti ada bakterimia. Pemasangan kateter intraspinal pada pasien yang akan menjalani
heparinisasi intraoperatif masih kontroversial karena kemungkinan terjadi hematom epidural.
Dampak samping yang serius opioid epidural atau intratekal, adalah bergantung pada
dosis berupa depresi respirasi tunda (delayed respiratory depresion). Terjadinya karena difusi
648
opioid ke dalam cairan serebrospinal yang bermigrasi ke pusat respirasi medula. Kejadian
depresi respirasi lebih besar setelah pemberian intratekal daripada epidural. Depresi awal dapat
juga terjadi setelah opoioid epidural (dalam waktu 1 2 jam), mekanismenya berbeda yaitu
absorbsi opioid sistemik melalui pembuluh darah spinal. Angka kejadian depresi respirasi serius
dengan opioid epidural yang memerlukan nalokson masih rendah yaitu 0.1 %.
Jumlah nalokson yang diberikan berdasarkan urgensi kondisi klinis. Depresi respirasi yang
jelas membutuhkan pengobatan nalokson dosis besar (0.4 mg). Infusi nalokson kontinyu
mungkin masih diperlukan karena masa paruh (half life) nalokson umumnya lebih singkat
daripada opioid. Dosis kecil nalokson (0.04 mg) dapat menawarkan depresi nafas tetapi tidak
menghilangkan analgesia.
Dampak samping lain, adalah gatal, mual , muntah, retensi urin, sedasi dan ileus. Angka
kejadian pruritus dapat mencapai 30 % sedangkan retensi urin dilaporkan sampai 40 100 %.
Mekanisme pruritus belum dapat dipastikan tetapi tidak ada hubungannya dengan pelepasan
histamin. Nalokson dosis kecil (0.04 mg) dapat menawarkan pruritus tetapi tidak menghilangkan
efek analgesia.
NYERI KANKER
Hampir 19 juta penduduk dunia mengalami penyakit kanker setiap tahun. 40 80 % dari
jumlah tersebut mengalami nyeri mulai sedang sampai berat. Nyeri kanker disebabkan oleh lesi
kaker itu sendiri, metastasis, komplikasi seperti kompresi neuronal atau infeksi, pengobatan
atau faktor-faktor yang yang tidak terkait.
Kebanyakan pasien, dapat diobati dengan analgetik oral. WHO merekomendasikan pendekatan
3 langkah (three step approach): 1) analgetik nonopioid seperti aspirin, asetominofen, atau
NSAID untuk nyeri sedang; 2) opioid oral lemah (kodein, oksikodon) untuk nyeri sedang, dan 3)
opioid kuat (morfin, dan hidromorfin) untuk nyeri berat. Terapi parenteral perlu untuk nyeri
refrakter atau bila pasien dapat menerima terapi oral atau absobrsi enteral tidak baik.Tanpa
memperhatikan jenis obatnya, terapi harus mengikuti jadwal waktu tertentu .
Nyeri kanker sedang sampai berat biasanya diobati dengan morfin lepas cepat (immediate-
release morphine) (misalnya, morfin likuid, Roksanol 10 30 mg setiap 1 4 jam). Preparat ini
mempunyai masa paruh 2 4 jam. Bila pasien telah ditentukan kebutuhan per hari, dosis yang
sama dapat diberikan dalam bentuk morfin lepas lambat (sustained-release morphine) (MS
Cortin atau Oramorph SR). Yang diberikan setiap 8 12 jam.
649
Hidromorfin (dilaudid) adalah alternatif yang baik untuk morfin, terutama pasien tua dan pasien
dengan gangguan fungsi ginjal. Metadon dilaporkan mempunyai masa paruh 15 30 jam tetapi
durasi klinis lebih pendek dan sangat bervariasi (6 8 jam). Toleransi psikologis, dengan
perubahan tingkah laku karena menginginkan obat jarang pada pasien kanker. Toleransi yang
muncul berbeda di antara orang-orang dan mengakibatkan efek yang diinginkan seperti,
kesadaran menurun, mual, depresi respirasi. Kebergantung pada fisis terjadi pada pasien yang
mendapat opioid dosis besar untuk jangka waktu tertentu. Fenomena ketagihan (withdrawal)
dapat dipercepat oleh pemberian antagonis opioid. Penggunaan yang cocok kedepan
antagonis opioid perifer yang tidak menembus sawar darah otak (BBB) seperti metil naltrekson
dan alvimopan, dapat menolong mengurangi efek samping sistemik tanpa mengurangi
analgesia dengan signifikan.
Opioid transdermal
Fentanil transdermal merupakan alternatif yang baik untuk preparat morfin lepas lambat,
terutama medikasi oral tidak memungkinkan. Tambalan (patch) dibuat sebagai reservoar obat
yang dipisahkan dari kulit oleh membran mikrogrampor dan polimer adesif. Fentanil akan
berdifusi melalui kulit. Tambalan transdermal fentanil mempunyai ukuran 25, 50, 75 dan 100
g / jam. Yang dapat memberikan obat selama 2 3 hari. Tambalan yang terbesar ekuivalen
dengan 60 mg / hari morfin intravena.
Kerugian cara ini adalah mula kerja lambat dan mengubah dosis kalau tidak dilakukan dengan
cepat. Level fentanil dalam darah setelah dipasang bertambah dan mencapai plateau dalam
waktu 12 18 jam, dengan konsentrasi rata-rata 1, 1.5, dan 2 mg / ml untuk tambalan 50, 75
dan 100. Dermis bekerja sebagai reservoar sekunder walaupun tambalan dilepaskan, absorbsi
fentanil diteruskan untuk beberapa jam.
Terapi parentral
Beberapa nyeri kanker yang tak terkontrol memerlukan konversi dari oral opioid menjadi
parenteral atau intraspinal opioid. Kalau karakter nyeri berubah signifikan, penting sekali untuk
melakukan reevaluasi progresi penyakit pasien. Dalam banyak hal, pengobatan adjuvan seperti,
pembedahan, radiasi, kemoterapi atau terapi hormonal sangat menolong.
Terapi opioid parenteral biasanya dicapai dengan infusi intravena kontinyu atau dapat juga
diberikan subkutan melalui jarum bersayap (butterfly needle)
650
Opioid intraspinal
Penggunaan opioid intraspinal menjadi alternatif yang sangat baik untuk pasien yang gagal
mengatasi nyeri dengan cara lain atau mengalami dampak yang hebat. Opioid epidural atau
subarakhnoid dapat mengatasi secara substansial dengan dosis lebih rendah dan sedikit efek
samping. Kateter epidural atau intratekal dapat dipergunakan, kalau perlu ditempatkan perkutan
atau implan untuk pemberian jangka panjang.
Problema opioid intraspinal adalah terdinya toleransi. Umumnya terjadi lambat tetapi pada
beberapa orang berlangsung cepat. Dalam hal ini. Harus dipergunakan terapi adjuvan seperti,
analgesia lokal intermiten, atau campuran opioid dengan analgetik lokal, atau klonidin intratekal
atau epidural 2 4 g /kg /jam.
Teknik neurolitik
Blok neurolitik pada pleksus siliakus sangat efektif untuk keganasan intraabdominal, terutama
kanker pankreas. Simpatikus lumbal, pleksus hipogastrikus, atau ganglion rusak karena blok
neurolitik dapat dipergunakan untuk tumor malignan di pelvik. Blok neurolitik interkostal
dapat menolong pasien dengan metastase di tulang iga. Pasien dengan nyeri pelvik refrakter, blok
pelana neurolitik dapat mgnhilangkan nyeri; meskipun akan terjadi disfungsi usus dan buli-buli.
Karena angka kejadian kesakitan yang signifikan pasien yang mendapat blok neurolitik (hilang
fungsi motorik dan sensori), teknik sebaiknya dipakai hanya setelah mempertimbangkan
dengan cermat semua alternatif. Prosedur neurodestruktif, seperti adenolisis hipofisis dan
kordotomi dapat dipergunakan untuk pasien terminal.
Referensi :
651
KEDOKTERAN CRITICAL CARE /
INTENSIVE CARE
MODUL 35 dan MODUL 36 :
(I dan II)
PERSIAPAN SESI
Audiovisual Aid:
CD powerpoint
Sarana:
652
Daftar tilik kompetensi : lihat daftar tilik
Referensi :
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ. Clinical Anaesthesiology, 4th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2006
2. Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK. Clinical Anaesthesia, 5th ed.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins ; 2006
Selain referensi wajib di atas, peserta didik dianjurkan untuk juga mempelajari
referensi tambahan untuk modul ICU seperti yang diuraikan berikut ini:
Modul ini terdiri dari modul dasar (modul 1) atau modul 36 dan modul lanjut (modul 2) atau
modul 37. Modul dasar diberikan pada residen yunior selama 2 bulan dan modul lanjut
diberikan pada residen senior selama 3 bulan. Panduan untuk lama stase ICU yunior dan senior
mungkin berbeda-beda pada masing-masing pusat pendidikan tetapi hasil sasaran pembelajaran
diharapkan akan sama.
Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan memiliki latar belakang kemampuan
intelektual dan keterampilan dalam merawat pasien kritis bedah dan non-bedah. Program
pendidikan ini dilakukan oleh anestetis konsultan intensive care, meliputi pengetahuan teori dan
klinis yang penting dalam praktek multidisiplin maupun multiprofesi dalam kedokteran critical
care dan intensive care
653
1. Memiliki bekal yang memadai tentang dasar-dasar : pengetahuan,
keterampilan, perubahan sikap dalam bidang kedokteran intensive care.
2. Memahami prinsip umum kedokteran intensive care, mengetahui indikasi
masuk ICU, dapat melakukan identifikasi pasien yang berisiko gagal organ.
3. Melakukan resusitasi dan stabilisasi pasien-pasien kritis.
4. Mengetahui keterbatasan kemampuan diri dan urgensi untuk meminta
bantuan senior.
Setelah mengikuti modul ICU 1 dan 2 ini peserta didik akan memiliki pengetahuan dan atau
keterampilan meliputi:
8. Kondisi khusus (tidak termasuk trauma, luka bakar dan pasien pediatrik)
a. Sistem respirasi
654
b. Sistem kardiovaskular
c. Sistem renal
d. Sistem saraf
f. Pasien pediatrik
g. Pasien obstetri
Kognitif
Modul 1 Modul 2
655
trakeal pada pasien kritis
Modul 1 Modul 2
656
Modul 1 Modul 2
NIV)
6. Indikasi bronkoskopi V
657
10. Penggunaan inotropik, kronotropik, vasodilator,
vasokonstriktor,
V V
658
(Modul 36) (Modul 37)
Modul 1 Modul 2
5. Keamanan kelistrikan V
9. Alat bronkoskopi V+
659
10. Alat ECHO V+
Modul 1 Modul 2
3. ALI, ARDS V+
5. Nosocomial pneumonia V
7. Aspirasion pneumonia V
8. Asma V
9. PPOK V
660
23. Urosepsis V
26. SIH V+
27. SAH V+
33. MBO V
36. DIC V+
Modul 1 Modul 2
661
Memahami transportasi pasien kritis (Modul 36) (Modul 37)
3. Decision making V
Psikomotor
gastrointestinal, metabolik
662
c. Pemeriksaan radiologi
f. Monitor hemodinamik
d. Bertindak sebagai konsultan untuk beberapa problema intensive care yang umum
663
e. Mampu mengkomunikasikan pada tim ICU terhadap pasien-pasien kritis yang
ada di luar ICU
Profesionalismee
Keynotes
1. Kriteria MBO hanya dapat t diterapkan bila tidak terdapat hipotermia, hipotensi,
kelainan metabolik atau endokrin, penggunaan zat blokade neuromuskular, atau
obat yang diketahui menekan fungsi otak
2. Risiko retinopati prematuritas (retinopathy of prematurity /ROP) bertambah
dengan menurunnya berat dan komplekssnya komorbiditas (misalnya, sepsis).
Sebaliknya pada toksisitas pulmonar, lebih terkait dengan tekanan O2 arterial dari
pada tekanan O2 alveolar..
3. Pressure controlled ventilation (PCV) sama dengan pressure support ventilation
dalam peak tekanan jalan nafas, tetapi berbeda dalam rate mandatory, inspiratory
time. Seperti halnya dengan pressure support, gas flow berhenti bila level pressure
tercapai; walapun ventilator tidak bekerja selama ekspirasi sampai preset
inspiratory time telah dilewati.
4. Kerugian PCV adalah volum tidal tidak pasti.
5. Kalau dibandingkan dengan intubasi oral untuk periode waktu lama di ICU,
intubasi nasal mungkin lebih nyaman untuk pasien, lebih aman, dan sedikit
menyebabkan cedera laring.
6. Mempertahankan intubasi oral atau nasal lebih dari 2-3 pekan cenderung
mengakibatkan stenosis subglotik. Jika diperlukan ventilasi mekanis jangka
panjang sebaiknya diganti dengan pipa trakeostomi yang mempunyai balon.
7. PEEP berlebihan atau penambahan tekanan positif kontinyu terbukti dapat
meningkatkan kejadian barotrauma paru, terutama pada level lebih dari 20 sm
H2O.
8. Manuver yang menghasilkan sustained maximum lung inflation seperti
penggunaan incentive spirometer sangat menolong merangsang batuk dan
mencegah atelektasis serta mempertahankan volum paru normal.
9. Pada pasien dengan ARDS dengan VT > 10 mL/kg berkaitan dengan peningkatan
mortalitas.
10. Intubasi takea dini dianjurkan bila terdapat gejala hebat dari cedera panas pada
jalan nafas.
11. Usia lanjut (> 70 tahun), terapi kortikosteroid, kemoterapi, pemakaian alat invasif
yang lama, gagal nafas, gagal ginjal, cedera kepala, dan luka bakar akan
mempermudah terjadi infeksi nosokomiaL.
12. Venodilatasi sistemik dan transudasi cairan ke dalam jaringan mengakibatkan
hipovolemia relatif pada pasien sepsis.
664
13. Berlawanan dengan pasien yang nonstres yang memerlukan sekitar 0,5 g /kg /hari
protein, umumnya pasien sakit kritis membutuhkan 1,0 1,5 g / kg / hari protein.
14. Bantuan nutrisi melalui jalur gastrointestinal merupakan pilihan untuk pasien
dengan integritas fungsional yang utuh.
15. Penghentian mendadak nutrisi parentral (TPN) dapat mencetuskan hipoglikemia
karena level darah insulin tinggi; tetapi umumnya mudah diatasi dengan
substitusi glukosa 10 % secara temporer kemudian dihentikan bertahap.
6. Metode pengajaran
1. Keterampilan kognitif:
a. Strategi pendidikan
- Pembelajaran terpadu
665
- Pembelajaran independen
- Pembelajaran berdasarkan problema
b. Situasi belajar
- Kuliah perkenalan
- Diskusi kelompok kecil dan umpan balik
- Problema penatalaksanaan pasien
- Simulasi pasien, skenario, pajangan dll.
c.Sumber belajar
- Virtual patients
- Reading assignment
- Audio vVisual
d.Penilaian
- EMQ
- Multiple observers
- OSCE
- Minicheck
a. Strategi pendidikan
- Practice-based learning
b. Situasi belajar
c. Sumber belajar
- Virtual patients
d. Penilaian
666
- Multiple observers
- OSCE
- Minicheck
a. Strategi pendidikan
b. Situasi belajar
c. Sumber belajar
- Virtual patient
d. Penilaian
- Multiple observers
4. Profesionalismee
a. Strategi pendidikan
- Patient-based learning
b. Situasi belajar
c. Sumber belajar
- Virtual patients
d. Penilaian
667
- Multiple observers
5. Pengetahuan
a. Strategi pendidikan
- Pembelajaran terpadu
- Pembelajaran mandiri
b. Situasi belajar
- Kuliah perkenalan
c. Sumber belajar
- Reading assignment
- Audiovisual
d. Penilaian
- MCQ (pre-tes)
- EMQ
7..Media:
Pre-tes:
668
5. Jelaskan penilaian dan penanggulangan kegawatan SSP
kegawatan di atas
kegawatan
Evaluasi kognitif:
- EMQ
- Multiple observations and assessments
- Multiple observers/raters
- OSCE
- Minicheck
Evaluasi psikomotor:
669
- MCQ ( pre-tes)
- EMQ
9.Referensi:
1 2 3 4
1. Penilaian kesadaran
5. Penilaian sirkulasi/kardiovaskular
670
14. Penggunaan cairan kristaloid
671
kolaborasi dengan profesi lain.
Berikan tanda v dalam kotak yang tersedia bila keterampilan telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda x bila tidak dikerjakan serta T/D bila tidak dilakukan pengamatan
penuntun
T/D Tidak diamati: langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta didik
672
Nama peserta didik Tanggal
Daftar Tilik
1 2 3 4 5
673
Layak
Tidak layak
INTENSIVE CARE
GAMBARAN UMUM
Intensive Care Unit (ICU) adalah ruangan khusus dengan peralatan dan sumber daya manusia
/petugas kesehatan khusus untuk merawat pasien-pasien kritis yang mengancam nyawa, yang
potensial dapat pulih kembali. Peralatan khusus adalah alat-alat monitor fungsi vital dan alat-alat
untuk memberikan bantuan hidup apakah bantuan pernafasan, bantuan kardiovaskular atau
bantuan sistem ginjal, maupun bantuan untuk sistem yang lain. Sumber daya manusia khusus
adalah dokter, ners yang telah terlatih untuk mengelola pasien ICU, ditambah dengan petugas
kesehatan lain, seperti fisioterapis, ahli farmasi, petugas laboratorium, radiologi, ahli nutrisi
maupun petugas-petugas non kesehatan seperti tenaga administrasi, keuangan, rekam medis,
teknik maupun pekarya.
Indikasi pasien masuk ICU dapat berdasarkan prioritas, diagnosis atau nilai2 parameter hasil
laboratori. Pasien mengancam nyawa atau akan mengancam nyawa yang memerlukan
pemantauan dan atau terapi dengan pengawasan ketat. Pasien dengan diagnosis misalnya tetanus
berat, miastenia gravis. Pasien dengan hasil laboratori hiperkarbia, hipoksemia berat atau
hipokalemia berat. Bagi pasien-pasien dengan penyakit primer yang kecil kemungkinan sembuh
seperti keganasan lanjut, maka indikasi rawat ICU tidak merupakan prioritas utama.
Bilamana pasien masuk ICU maka lakukan resusitasi awal dan lakukan stabilisasi artinya
pasien misalnya dengan gagal nafas atau ancaman gagal nafas maka fungsi pernafasan, jalan
674
nafas maupun ventilasi harus diambil alih. Tanda-tanda klinis pasien gagal atau ancaman gagal
nafas merupakan hal sangat penting dan harus dikuasai dengan baik. Tindakan ambil alih fungsi
nafas harus didahulukan, tidak usah menunggu pemeriksaan anamnesis dan fisis lengkap.
Pasien dengan gagal nafas, apapun penyebabnya tindakan awalnya akan sama. Upaya untuk
memperbaiki oksigenasi maupun ventilasi tidak lepas dari kondisi sirkulasi yang baik. Bukankah
V/Q rasio adalah rasio ventilasi/perfusi dan merupakan dasar patofisiologi untuk menjelaskan
pasien dengan gagal nafas? Oleh karena itu keterampilan melakukan insersi kateter ke dalam
vena perifer dan vena sentral harus dikuasai.
Pasien dengan gagal sirkulasi, segera lakukan resusitasi dengan pemberian cairan lebih dulu, dan
bila volume sirkulasi dianggap adekuat tapi tekanan darah belum adekuat dapat diberikan secara
titrasi inotropik dengan tanpa vasopresor. Kondisi sirkulasi adekuat atau tidak dapat dinilai
secara klinis disesuaikan dengan penuntun tekanan vena sentral, kalau mungkin tekanan kapiler
baji paru.
Pasien dengan kesadaran menurun lebih dulu harus dilakukan pembebasan jalan nafas, lakukan
ventilasi dan oksigenasi, untuk mencegah hipoksia dan hiperkarbia, sementara itu lakukan
kanulasi vena dan lakukan resusitasi dengan cairan untuk menjamin tekanan darah atau perfusi
yang adekuat.
Setelah upaya awal di atas dilakukan dan kondisi stabil, artinya segala sesuatu menyangkut
fungsi vital tersebut adekuat dan terkendali, lakukan pemeriksaan laboratori yang bertujuan
untuk mencari penyebabnya, mulai dari anamnesis atau aloanamnesis riwayat penyakit, dan
pemeriksan fisis menyeluruh.
Selama pasien di ICU akses jalan nafas dan vaskular sekaligus fungsi pernafasan dan
kardiovaskular harus selalu dijamin aman. Oleh karena itu keterampilan-keterampilan
pemasangan jalan nafas artifisial, seting ventilator, pemberian resusitasi cairan, penggunaan
inotropik dan vasopresor, monitor fungsi vital dan interpretasi hasil monitor harus dikuasai
dengan baik.
Salah satu tulang punggung utama pelayanan ICU adalah perawat ICU yang terampil, terlatih
dengan baik dan berupaya mengembangkan diri secara terus menerus, serta mempunyai dedikasi
yang baik. Dalam bahasa perang, ners ICU berfungsi di garis depan, artinya ners yang baik akan
mengenal kondisi pasien yang mengalami perburukan, dan mengerti apa yang harus awal
dilakukan. Beberapa aspek keilmuan ners banyak tumpang tindih dengan ilmu kedokteran.
Komunikasi yang baik dengan ners dalam mengelola pasien akan menjamin kenyamanan bekerja
dan mendatangkan manfaat pada pasien.
Beberapa kasus ICU memerlukan konsultasi atau komunikasi dengan disiplin lain untuk
terapi yang menyangkut tingkat kekhususan tertentu apakah neurologi, ginjal, jantung,
675
hematologi, subdivisi bedah, bedah saraf, bedah toraks, bedah digestif, THT, obgin, endokrin,
paru, fisioterapi, farmasi, gizi klinis, mikrogrambiologi dan lain-lain.
Sampai batas mana konsultasi dilakukan? Bila masih menyangkut kondisi kritis dan pasien yang
dapat ditanggulangi segera maka tidak perlu dikonsultasikan, tetapi bila telah sampai terapi
definitif yang sangat khusus terhadap kausa perlu dikomunikasi dengan disiplin
terkait.Kemampuan komunikasi merupakan proses dan ini harus dilatih secara terus menerus.
Kedokteran gawat darurat dan ICU merupakan komponen yang esensial dari sistem pelayanan
kesehatan modern, di mana ilmu ini mengajarkan cara untuk menanggulangi penyakit gawat
(kritis) dengan cara memperbaiki keadaan gagal fungsi-fungsi vital dari sistem dan organ tubuh
sehingga pasien dapat pulih dari penyakit kritis tersebut.
Di Amerika, jumlah tempat tidur ICU hanya 8-10% dari kapasitas rumah sakit, namun dapat
menghabiskan >20% biaya pengeluaran rumah sakit, atau 1% dari Gross National Product
pertahun.
Mengingat biaya perawatan ICU cukup mahal, dokter harus dapat mengetahui syarat-syarat
merujuk pasien ke ICU. Faktor yang mempengaruhi angka keberhasilan pasien adalah derajat
penyakit, reversibilitas, status kesehatan premorbid dan umur. Oleh karena itu diperlukan suatu
metode yang dapat dipercaya untuk memperkirakan pasien mana yang mendapat manfaat bila
dirawat di ICU. Beberapa sistem skoring telah diciptakan misalnya APACHE (Acute Physiology
and Chronic Health Evaluation) dan TISS (Therapeutic Intervention Scoring Sistem) namun
sejauh ini belum ada yang memuaskan.
Banyak pasien yang masuk ICU menjadi lebih baik dan sebagian lagi meninggal dengan cepat,
walau diberi terapi yang paling canggih. Bagi mereka tidak bisa disembuhkan lagi, timbul
pertanyaan apakah yang harus dilakukan ?. Bila pasien dengan prognosis tidak ada harapan lagi
diberi terapi, maka sebenarnya terapi ini hanyalah memperpanjang proses kematian. Pada
kenyataannya, biasanya diberikan terapi heroik yang kompleks, menggunakan prosedur dan
peralatan canggih seperti RJP, ventilasi mekanis, pemberian vasoaktif dan inotropik yang sangat
mahal.
Bila pada suatu waktu, pasien tidak ada harapan sembuh, maka sering kali tepatlah tindakan
untuk menghentikan sebagian terapi yang sudah terlanjur diberikan, atau tanpa menghentikan
676
terapi yang sedang diberikan, tidak lagi memberi terapi untuk kelainan baru yang timbul
belakangan.
Pada situasi penderita belum mati, tetapi tindakan terapeutik/paliatif tidak ada gunanya, maka
tindakan tersebut dapat dihentikan. Penghentian tindakan tersebut di atas sebaiknya
dikonsultasikan dengan pasien dan keluarganya dan harus sesuai dengan kebijakan rumah sakit
serta hukum yang berlaku.
Eutanasia merupakan tindakan aktif dan langsung untuk mengakhiri kehidupan dan di banyak
negara tidak dapat diterima, sedangkan menarik kembali atau menolak terapi merupakan
tindakan yang dapat diterima dan dibenarkan manakala penangann medis hanya memperpanjang
proses kematian. Penghentian bantuan hidup tidak berarti meninggalkan pasien, tetapi hanya
mengehentikan terapi yang tidak efektif dan dapat disertai dengan terapi yang lebih tepat
(misalnya meredakan nyeri, sedasi dan sebagainya).
GANGGUAN KESADARAN
Bilamana pasien masuk dalam keadaan tidak sadar, harus didahulukan bahwa jalan nafas,
pernafasan, akses vaskular dijamin aman. Lakukan resusitasi awal artinya fungsi pernafasan dan
kardiovaskular dikendalikan dalam batas normal, dengan pemberian cairan dan dengan nafas
kendali atau nafas bantu secra manual lebih dulu, targetnya adalah tekanan darah adekuat,
oksigenasi dan ventilasi adekuat. Upaya ditujukan untuk menghindarkan peningkatan tekanan
intrakranial lebih lanjut, memperbaiki tekanan perfusi serebral. Untuk mempertahankan kondisi
tersebut mungkin perlu dilanjutkan dengan nafas kendali dengan ventilator dan pemberian cairan
terukur dengan/tanpa inotropik dan vasopresor.
Secara buta dapat diberikan dekstrosa, natrium dan vitamin B1 intravena. Bilamana dari
anamnesis ditemukan penyebab yang dapat diatasi dengan cepat misalnya keracunan morfin
dapat diberikan antidotumnya. Selanjutnya untuk mencari penyebab tidak sadar harus dipikirkan
apakah penyebabnya serebral atau non-serebral. Lakukan pemeriksaan CT scan atau MRI,
lakukan pemeriksaan fungsi hepar, ginjal, gula darah, kadar elektrolit Na, laktat, kadar obat
(misalnya diduga keracunan obat tidur), periksa likuor serebrospinal.
677
pemberian obat-obatan yang dapat mengurangi edema otak atau memperbaiki metabolisme sel
otak.
Trakeostomi merupakan tindakan jalan nafas artifisial yang sudah harus secara dini
direncanakan pada pasien tidak sadar, yang pulih sadarnya sulit diprediksi.
MBO adalah kematian batang otak. Pada tahun 1985 Ikatan Dokter Indonesia telah menetapkan bahwa
bila terjadi MBO maka pasien dinyatakan meninggal, meskipun jantung, paru, hati, ginjal dan organ-
organ lain masih hidup.
Diagnosis MBO
Diagnosis MBO barangkali merupakan diagnosis paling penting yang pernah dibuat oleh dokter, karena
bila telah dipastikan, normalnya ventilator akan dilepaskan dari pasien dan henti jantung akan terjadi
tidak lama kemudian. Jadi, diagnosis ini merupakan ramalan yang terlaksana dengan sendirinya (self-ful
filling prophecy). Kebanyakan dokter yang merawat dapat membenarkan dilepaskannya ventilator dari
pasien, karena meneruskan ventilasi mekanis memberikan stres bagi famili pasien dan staf perawatan.
Selain itu, terapi yang diteruskan secara tidak langsung menyatakan bahwa pemulihan masih
dimungkinkan dan memberi famili pasien harapan palsu. Namun ventilasi yang diteruskan selama periode
yang singkat sesudah diagnosis MBO memungkinkan perolehan organ kualitas bagus untuk tujuan
transplantasi dan seringkali dilakukan.
Sekarang ini sudah dapat diterima bahwa batang otak, dan bukan seluruh otak, pengatur respirasi dan
stabilitas kardiovaskular. Diyakini bahwa untuk mendapatkan kesadaran harus ada kontinyuitas neuronal
antara sistem saraf periferal dan korteks. Bila batang otak yang menghubungkan keduanya mati,
kontinyuitas sistem yang diaktifkan oleh retikular terganggu dan tidak dapat timbul kesadaran.
Diagnosis MBO dan petunjuknya dapat dilihat pada fatwa IDI tentang MBO. Diagnosis MBO
mempunyai dua komponen utama. Komponen pertama terdiri dari pemenuhan prasyarat-prasyarat dan
komponen kedua adalah tes klinik fungsi batang otak.
Prasyarat:
678
Diagnosis + kerusakan struktural otak yang menyebabkan koma.
Eksklusi:
Tes:
Tes klinis. Sebelum melakukan tes formal, famili pasien harus diberitahu tentang akan
dilakukannya tes dan juga perlu disampaikan bahwa jika hasil tes negatif pasien dinyatakan meninggal.
Selain itu, kita harus memastikan bahwa pasien tidak menunjukkan postur abnormal (deserebrasi dan
dekortikasi) dan tidak mempunyai refleks okulo-sefal aktif (fenomena mata kepala boneka) atau aktivitas
kejang. Bila ada salah satu gejala tersebut, pasti terjadi hantaran impuls saraf lewat batang otak dan
selanjutnya tes tidak diperlukan dan tidak tepat untuk dilakukan. Batang otak berarti masih hidup. Tes
formal fungsi batang otak dilaksanakan di samping tempat tidur dan memerlukan demonstrasi apnea
dalam keadaan hiperkarbia dan tidak adanya refleks batang otak. Peralatan canggih tidak diperlukan
selain analisis gas darah. Tes ini sendiri mudah dilakukan, hanya memerlukan waktu beberapa menit dan
hasilnya jelas. Bila memang tanda-tanda fungsi batang otak yang hilang di atas ada semua, maka
hendaknya secara sistematis diperiksa 5 refleks batang otak (lihat tabel. Refleks batang otak tidak ada).
Kelima refleks harus negatif sebelum diagnosis MBO ditegakkan. Tes terhadap refleks-refleks batang
otak dapat menilai integritas fungsional batang otak dengan cara yang unik. Tidak ada daerah otak lainnya
yang dapat diperiksa sepenuhnya seperti ini. Ini menguntungkan karena konsep mati yang baru secara tak
langsung menyatakan bahwa semua yang berarti bagi kehidupan manusia bergantung pada integritas
jaringan yang hanya beberapa sm3 ini. Tes ini mencari ada atau tidak ada respons, dan bukan gradasi
fungsi. Ini mudah dilakukan dan dapat dimengerti oleh setiap dokter atau perawat yang terlatih. Ini tidak
bergantung pada mesin, atau super spesialis.
Tak ada respons motor dalam distribusi saraf kranial terhadap rangsang adekuat pada area somatik.
Tak ada refleks muntah (gag reflex) atau refleks batuk terhadap rangsang oleh kateter isap yang
dimasukkan ke dalam trakea.
679
Tes yang paling pokok untuk fungsi batang otak adalah tes untuk henti nafas (lihat tabel Tes untuk henti
nafas).
Beri 5% CO2 dalam 95% O2 selama 5 menit berikutnya untuk menjamin PaCO2 awal : 53 kPa (40 torr).
Lepaskan pasien dari ventilator. Insuflasikan trakea dengan 100% O 2 : 6L/menit melalui kateter
intratrakeal lewat karina.
Lepas dari ventilator selama 10 menit. Jika mungkin periksa PaCO 2 akhir.
Namun, apnea dan arefleksia saraf kranial juga terjadi pada keadaan nonfatal lain seperti ensefalitis
batang otak dan sindroma Guillain-Barre.Lagi-lagi perlu ditekankan bahwa tes-tes jangan dilakukan bila
prasyarat-prasyarat belum dipenuhi. Ini perlu diperhatikan agar jangan sampai terjadi kesalahan prosedur
sebab selalu ada saja laporan kasus yang menggambarkan keadaan yang menyerupai MBO tetapi ternyata
dapat pulih kembali. Bila setiap kasus didekati secara sistematis, tidak akan terjadi kesalahan.
Pernyataan mati
Perlakuan pasien MBO yang sembrono atau insensitif dapat menimbulkan derita dan distres yang tak
perlu bagi keluarga dan perawat. Kekurangan komunikasi atau informasi sering menimbulkan
kesalahpahaman, seperti pemakaian istilah mencabut pipa ventilator, menghentikan bantuan hidup
dan sebagainya. Perlu dijelaskan (kepada keluarga dan juga khalayak yang lebih luas), bahwa sewaktu
melepas ventilator, dokter tidak menghentikan terapi dan membiarkan seseorang meninggal, tetapi
sekedar menghentikan upaya yang sia-sia terhadap seseorang yang telah meninggal.
680
Apakah pasien koma dan mendapat ventilasi buatan ?
4. Bila ya maka tes arefleksia batang otak diulang dalam kurun waktu 20 menit sampai 24
jam. Bila hasilnya sama, maka pasien dinyatakan mati, kendatipun jantung masih berdenyut.
5. Setelah pasien dinyatakan mati, ventilator memberi ventilasi kepada sesosok mayat.
Maka dari itu ventilator harus segera dihentikan.
6. Pasien mati ketika batang otak dinyatakan mati, bukan sewaktu mayat dilepas dari ventilator dan
jantung berhenti berdenyut.
7. Untuk diagnosis mati batang otak, tidak diperlukan EEG atau angiografi.
8. Bila pasien merupakan donor organ, ventilator dan segala terapi diteruskan sampai organ
yang dibutuhkan diambil.
Dianjurkan agar tes dilakukan oleh 3 orang dokter yang berpengalaman dalam soal ini. Dalam praktek
mereka ini biasanya anestetis, spesialis neurologi, bedah saraf atau dokter intensivis, tetapi tentunya hal
ini tidak esensial. Siapa saja yang memahami prasyarat dapat melakukan tes ini ! Jika ada kaitannya
dengan kepentingan transplantasi organ, yang berwenang menentukan kematian adalah 3 orang dokter
yang tidak terikat dengan tindakan transplantasi tersebut. Setelah dilakukan tes dan tes ulang, dan
dipastikan MBO, maka hendaknya pasien dinyatakan mati, keluarga diberitahu, dan dibuat catatan
seperlunya. Seseorang mati saat dokter (dengan menggunakan kriteria yang diterima) menyatakannya
mati. Sertifikat kematian dapat kemudian dikeluarkan. Bila ventilasi buatan diteruskan guna kepentingan
donasi organ, perlu dijelaskan bahwa ini tidak akan menghidupkan. Pembedahan dapat dilaksanakan
kemudian sesuai kehendak tim operasi. Pertimbangan utama diteruskannya ventilasi buatan ini ialah
untuk menjamin bahwa resipien dapat menerima organ dengan kondisi sebagus mungkin. Pemberian
vasopresor atau antibiotika mungkin pula harus diteruskan.
Untuk mengurangi risiko timbul kesalahpahaman di kemudian hari, semua diskoneksi sebaiknya
dilakukan oleh dokter, bukan perawat. Memang tidak alasan yang logis untuk ini, tetapi dalam masalah
ini, masih mungkin dijumpai perilaku yang irasional !
GAGAL NAFAS
681
Gagal nafas adalah ketidakmampuan paru memenuhi kebutuhan metabolik tubuh. Hal ini dapat
terjadi akibat kegagalan oksigenasi pada tingkat jaringan dan atau kegagalan homeostasis
karbondioksida (CO2).
Fungsi sistem respirasi adalah untuk menghantarkan oksigen dari atmosfir ke dalam darah dan
mengeluarkan karbondioksida dari dalam darah. Secara klinis gagal nafas ditegakkan bila
didapatkan PaO2 <60 mmHg bila bernafas dengan udara atau PaCO2 > 50 mmhg. Gagal nafas
dapat diklasifikasikan dalam 2 tipe yaitu gagal nafas hipoksemik (tipe 1) dan gagal nafas
hiperkapnik (tipe 2).
Gagal nafas tidak selalu mengancam nyawa, bergantung kepada derajat berat ringan gagal nafas,
mungkin tidak memerlukan rawat ICU. Pasien gagal nafas akut dan mengancam nyawa, dapat
dinilai secara klinis, yang dikenal sebagai distres pernafasan. Kesadaran apatis, delirium, sampai
tidak sadar, pernafasan cepat, dangkal, nafas cuping hidung, berkeringat, kesadaran menurun,
mungkin sianosis. Tanda-tanda klinis hiperkarbia sering tumpang tindih dengan tanda-tanda
hipoksemia. Bila tanda-tanda tersebut nyata, harus dilakukan antisipasi, dengan mengambil alih
fungsi pernafasan, memberikan oksigen dan melakukan ventilasi dengan baik, tanpa harus
menunggu hasil analisis gas darah.
Hasil analisis gas darah, gagal nafas tipe oksigenasi bila PaO2 menurun lebih rendah dari
60mmHg dan tipe ventilasi bila PaCO2 meningkat lebih tinggi dari 55mmHg.
Terapi gagal nafas oksigenasi adalah terapi oksigen dan terapi gagal nafas ventilasi adalah
mengambil alih fungsi pernafasan dengan ventilator. Terapi oksigen dapat dilakukan dengan cara
kanula nasal, sungkup muka (rebreathing, non rebreathing, venture mask), atau mungkin
memerlukan ventilator.
Indikasi pasien membutuhkan ventilator harus diketahui dengan baik. Modus dasar ventilasi
mekanis juga harus diketahui dengan baik. Begitu pasien masuk ventilator, pasien dalam nafas
kendali, dan harus tetap disadari bahwa ventilator hanya sebagai alat bantuan nafas untuk
mempertahankan agar fungsi nafas tetap dalam batas-batas normal, dan terapi terhadap penyebab
gagal nafas harus dicari agar dapat dilakukan terapi definitif.
Mencari sebab gagal nafas secara sistematik dapat dicari satu persatu, apakah ada proses di
SSP, batang otak, medula spinalis, toraks, fraktur iga, kelumpuhan otot nafas interkostal
/diafragma, efusi pleura, proses di paru, problema pada jalan nafas. Proses tersebut dapat berupa
reaksi radang atau infeksi, tumor, perdarahan, trauma, gangguan vaskularisasi, proses auto
imunologik, penumpukan cairan dalam paru. Proses yang terjadi dalam paru kemungkinan bisa
disebabkan oleh proses lain di luar paru, misalnya sepsis, traumatic wet lung, neurogenic edema
paru, transfusion related acute lung injury (trali)
Melepaskan pasien dari ventilator bukan merupakan hal yang mudah, metode penyapihan
atau modus untuk penyapihan harus diketahui dengan baik. Mulai penyapihan dari FiO2 sampai
682
kurang 50% dan bila analisis gas darah menunjukkan batas-batas normal, mulai dengan
menyapih ventilator dari nafas kendali menjadi nafas dengan modus penyapihan, artinya usaha
nafas spontan mulai ditimbulkan dan pasien akan mendapat sebagian nafas dari usaha pasien
sendiri dan sebagian masih dari ventilator. Demikian selanjutnya secara bertahap usaha nafas
spontan makin ditingkatkan, sampai akhirnya sebagian besar dan seluruh nafas spontan berasal
dari pasien sendiri.
Kondisi gagal nafas yang merupakan problema besar dan sulit adalah acute lung injury (ALI)
dan ARDS. Strategi yang dianjurkan pada pasien ini adalah modus dengan pressure control, low
tidal volume 6ml/kg, permissive hypercapnia, inspiratory plateu pressure tidak lebih dari
30smH2O, PEEP tinggi 10-20smH2O. Salah satu prinsip adalah open the lung open and keep
the open.
Akhirnya sebaik apapun upaya ventilasi mekanis dilakukan harus disertai dengan kondisi
hemodinamik yang baik oleh karena upaya memperoleh hasil oksigenasi dan ventilasi yang baik
tidak hanya memerlukan ventilasi tetapi juga memerlukan perfusi yang baik.
Gagal nafas tipe 1 merupakan gagal nafas yang paling sering terjadi. Secara klinis didapatkan
PaO2< 60 mmHg, sedang level PaCO2 normal atau rendah. Penyebabnya adalah gangguan
jantung, misalnya pintasan intrakardiak (pintasan dari kanan ke kiri : tetralogi falot). Penyebab
lain adalah kelainan patologis dari paru sendiri, misalnya adanya pintasan intrapulmonar karena
pneumonia, atelektasis dan ARDS.
Gagal tipe 2 terjadi bila paCO2>50 mmHg. Biasanya disertai dengan keadaan hipoksemia,
sedangkan pH bergantung pada pada level HCO3 yang juga bergantung pada lamanya
mengalami hiperkapnea. Berdasarkan onsetnya serangan bisa terjadi akut atau kronik eksaserbasi
akut. Pada serangan akut didapatkan pH darah rendah. Serangan ini dapat disebabkan oleh
overdosis obat sedatif, kelemahan otot akut (misalnya miastenia gravis) dan penyakit paru berat
(asma atau pneumonia) sehingga ventilasi alveolar tidak dapat dipertahankan.
Serangan kronik eksaserbasi akut terjadi pada pasien dengan retensi CO2 kronik yang memburuk
dan terjadi peningkatan CO2 serta penurunan pH. Mekanisme terjadinya karena adanya
kelelahan otot-otot pernfasan.
Mekanisme yang mendasari terjadinya gagal nafas adalah pintasan (perfusi tanpa ventilasi), dead
space ventilation (ventilasi tanpa perfusi), difusi abnormal dan hipoventilasi alveolar.
1. Pintasan
683
Pintasan terjadi bila ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang (V/Q mismatch) di mana
alveolus yang tidak terventilasi (disebabkan karena kolaps, terdapat pus atau cairan)
akibatnya darah yang melewati alveolus tidak teroksigenasi
Pada pintasan, penderita relatif resisten terhadap terapi oksigen. Peningkatan FiO2 hanya
akan berefek sedikit.
3. Difusi abnormal
Disebabkan oleh abnormalitas membran alveolar atau penurunan jumlah alveolus yang
mengakibatkan pengurangan alveolar surface area, misalnya ARDS atau penyakit paru
fibrotik.
4. Hipoventilasi alveolar
Ketka CO2 melewati alveolus dan O2 melewati darah, terjadi perbedaan tekanan antara gas
alveolar dan darah secara bertahap. Ventilasi diperlukan untuk mengembalikan perbedaan
tekanan tersebut. Hipoventilasi ditandai dengan peningkatan PaCO2 dan penurunan PaO2.
Penyebabnya bisa karena trauma/perdarahan batang otak, tumor medula spinalis, sindrom
guillan barre, miastenia gravis, penggunaan obat depresan, malnutrisi atau kelainan paru
karena sumbatan jalan nafas dan penurunan kekembangan.
Manifestasi gagal nafas berupa kompensasi pernafasan (takipnea, penggunaan otot-otot bantu
nafas, nafas flaring, retraksi dinding dada), peningkatan tonus simpatis (takikardia, hipertensi,
berkeringat), hipoksia organ (penurunan kesadaran, bradikardia) serta desaturasi (sianosis). Pada
hipoksemia kronik akan timbul kompensasi polisitemia.
Penatalaksanaan
Prinsip penanganan penderita gagal nafas adalah menangani hipoksemia dengan terapi oksigen
atau ventilasi mekanis. Tujuan selanjutnya adalah mengontrol paCO2 dan asidosis respiratorik
dan yang paling penting adalah terapi penyebab dasarnya.
684
RESPIRATORY CARE
Ventilasi mekanik
Udara dapat masuk ke dalam paru karena adanya perbedaan antara tekanan udara luar dengan
tekanan udara dalam alveolus. Pada pernafasan spontan, perbedaan tersebut terjadi karena pada
awal inspirasi terjadi tekanan negatif (tekanan dalam alveolus lebih rendah daripada tekanan
udara luar). Pada saat inspirasi kontraksi diafragma dan otot-otot interkostal menimbulkan
pengembangan rongga dada dan tekanan negatif pada alveolus, sehingga udara luar masuk. Pada
keadaan normal ekspirasi akan berlangsung pasif.
Pada nafas buatan atau mekanik perbedaan tekanan tersebut terjadi karena adanya tekanan
positif yang ditimbulkan oleh mesin
Ciri khas pada mode ini adalah pasien bersifat pasif, artinya tidak ada usaha nafas. Berarti
semua variabel dalam pernafasan bergantung pada sepenuhnya pada seting ventilator.
Pada prinsipnya mode ini adalah ASMV yang diberikan secara intermiten dengan frekuensi
bantuan yang jauh lebih sedikit dibanding ASMV/sehingga pasien diberi kesempatan untuk
bernafas spontan di luar bantuan.
685
Pada mode ini initiaiting (awal bantuan) berasal dari trigger pasien, bantuan nafas yang
diberikan dibatasi oleh tekanan dan perpindahan inspirasi ke ekspirasi, ditentukan dengan
aliran / ETS (ekspiratory trigger sensitivity).
Setelah ada trigger dari pasien, gas pada ventilator akan mengalir untuk mempertahankan
tekanan sesuai dengan seting dan kebutuhan pasien dan pasien akan melakukan inspirasi
(inspiratory flow) turun di bawah seting ETS, katup ekspirasi akan terbuka kemudian pasien
akan memulai ekspirasi. Oleh karenanya jumlah volume yang diinspirasi oleh pasien (VT)
bergantung pada seting tekanan dan ETS. Bila ETS rendah maka waktu inspirasi akan lama
dan volume tidal akan besar.
Intubasi
Intubasi nasal atau oral relatif cukup aman dipakai dalam 2-3 pekan. Dibandingkan dengan
intubasi oral, intubasi nasal lebih nyaman untuk pasien, lebih aman (insiden kecelakaan ekstubasi
lebih kecil) dan lebih sedikit menyebabkan kerusakan laring. Intubasi nasal mempunyai beberapa
efek samping, seperti perdarahan nasal, bakterimia, iritasi, diseksi mukosa, sinusitis dan otitis
media (akibat obstruksi tuba auditori).
Bila pasien memerlukan bantuan ventilasi mekanis lebih dari 2-3 pekan, intubasi nasal dan oral
memberi kecenderungan terjadi stenosis subglotis. Pada kondisi ini sebaiknya dilakukan
trakeostomi, sejak beberapa hari pertama intubasi.
Pada umumnya frekuensi pernafasan diset 10-12 kali permenit dan volume tidal 8-10 mL/kg.
VT lebih rendah (6-8 mL/kg) mungkin dibutuhkan untuk menghindari tekanan plateu berlebih
(>35-40 smH20), barotrauma dan volume trauma. Jalan nafas tekanan tinggi (tekanan
transalveolar > 35 smH20 ) menyebabkan overdistensi alveolus, pada eksperimen terbukti
menyebabkan cedera paru.
Pasien dengan nafas spontan SIMV harus bisa mengatasi resistensi tambahan karena adanya
ETT, demand valve, dan sirkuit nafas. Pada orang dewasa, ukuran ETT kecil (diameter internal
<7mm) sebisa mungkin dihindari. Penggunaan pressure support 5-15 smH20 selama SIMV
dapat mengkompensasi resistensi dari ETT dan sirkuit.
686
Penambahan PEEP 5-8 smH20 selama ventilasi tekanan positif dapat mempertahankan FRC dan
pertukaran gas. PEEP fisiologis ini bertujuan untuk mengkompensasi hilangnya intrinsik PEEP
dan penurunan FRC pada pasien yang terintubasi.
Sedasi yang dalam dan pelumpuh otot mungkin diperlukan pada pasien yang mengalami agitasi
dan melawan ventilator. Batuk berulang (bucking) dan mengejan mempunyai pengaruh buruk
pada hemodinamik, mengganggu pertukaran gas, dan dapat menyebabkan barotrauma. Sedasi
dengan atau tanpa pelumpuh otot mungkin diperlukan pula pada pasien yang mengalami
takipneu (f >16-18 x/mnt).
Umumnya, digunakan sedatif opioid (morfin atau fetanil), benzodiazepin, propofol dan
deksmedetomidin.
Parameter penyapihan yang sangat bermanfaat adalah tekanan parsial gas arteri, frekuensi
pernafasan, dan rapid shallow breathing index (RSBI). Oksigenasi yang adekuat (saturasi
oksigen >90% pada FiO2 40-50% dan PEEP < 5 smH20) harus tercapai sebelum dilakukan
ekstubasi. RSBI bermanfaat untuk memprediksi keberhasilan penyapihan dari ventilasi mekanis
dan ekstubasi. Pengukuran dilakukan pada saat pasien bernafas spontan dengan T-pice.
RSBI = f ( nafas/menit)
TV (L)
Nilai RSBI > 120 bantuan ventilasi mekanis sebaiknya jangan dilepas.
687
Penyapihan dengan SIMV
Penyapihan dilakukan dengan pengurangan bantuan ventilasi secara gradual. Otot pernafasan
pasien tetap melakukan kerja ketika terjadi nafas spontan maupun nafas mandtorik. Beberapa
pasien bisa mengalami dissynchrony pada SIMV dengan laju rendah. Pada umumnya SIMV
dilakukan kombinasi dengan PSV.
Penyapihan dilakukan dengan pengurangan secara gradual level PSV untuk mencapai target
volume tidal dan frekuensi nafas. PSV diturunkan levelnya sampai terendah antara 5-8 smH20,
bila target pola nafas dan pertukaran gas dapat dipertahankan, maka ventilasi mekanis dapat
dihentikan.
Teknik ini dilakukan pada pasien yang memenuhi kriteria Pa02/Fi02 > 200mmHg, PEEP <5
smH20, reflek jalan nafas baik dan tidak memerlukan topangan obat intotropik atau vasoaktif.
Pasien yang bisa mentoleransi T-piece dengan baik selama 30 sampai 120 menit, berarti sudah
tidak memerlukan ventilator dan dipertimbangkan untuk ekstubasi. Pada umumnya pasien
merespons sama baik antara T-piece dan CPAP level 0 pada ventilator. Pada CPAP Fi02
dipertahankan seperti ketika masih dengan bantuan ventilasi mekanis.
Yaitu tekanan positif yang diberikan di jalan nafas (tepatnya di alveolus) pada akhir ekspirasi.
Tujuan pemberian PEEP adalah agar alveolus tidak kolaps dan agar oksigen dapat berdifusi dari
alveolus ke kapiler lebih baik sehingga dengan demikian Sa02 dan Pa02 lebih baik. Level PEEP
diset dengan memperhatikan kekembangan paru dan target oksigenasi.
GAGAL SIRKULASI
688
Kegagalan sirkulasi atau syok di ICU bisa hipovolemik, kardiogenik atau septik. Pada dasarnya
tanda-tanda klinis syok adalah sama; tekanan darah menurun, laju nadi naik serta adanya
gangguan perfusi perifer, capillary filling yang lambat, gelisah sampai kesadaran menurun,
jumlah urin menurun, pemeriksaan gas darah mungkin asidosis, hiperkalemia, peningkatan
laktat. Pada dasarnya target yang akan dicapai untuk terapi pasien syok adalah sama dengan
target terapi pasien gagal nafas yaitu memperbaiki pengiriman oksigen. Dalam hal syok adalah
bagaimana memperbaiki curah jantung. Curah jantung ditentukan oleh isi sekuncup dan HR. Isi
sekuncup bergantung pada prabeban, kontraktilitas dan pascabeban. Pada syok hipovolemik
diberikan cairan. Pada syok kardiogenik diberikan inotropik, bila volume sirkulasi sudah
dianggap cukup.
GAGAL GINJAL
Definisi gagal ginjal akut adalah penurunan fungsi ginjal yang terjadi secara cepat dan yang tidak
dapat dipulihkan secara cepat walaupun dilakukan perbaikan faktor eksternal seperti tekanan
darah, volume intravaskular, curah jantung dan volume urin. Gejala utama dari gagal ginjal
adalah azotemia dan oliguria.
Gagal ginjal akut dapat dikenali dengan peningkatan BUN dan kreatin plasma dalam 24-72 jam.
Penyebab azotemia bisa dibagi karena faktor prerenal, renal dan pos-renal.
Azotemia
Azotemia prerenal terjadi sebagai akibat hipoperfusi ginjal, jika tidak diterapi akan berkembang
menjadi gagal ginjal akut. Hipoperfusi ginjal paling sering disebabkan oleh penurunan tekanan
perfusi arterial. Diagnosis azotemia prerenal dilakukan berdasarkan gejala klinis dan
dikonfirmasi dengan pemeriksaan laboratori (lihat tabel di bawah). Terapi azotemia prerenal
ditujukan untuk mengoreksi defisit cairan intra vaskular, memperbaiki fungsi jantung,
mempertahankan tekanan darah normal dan mengatasi vasokonstriksi vaskular ginjal.
Azotemia pos-renal timbul akibat adanya obstruksi traktus urinarius. Obstruksi yang komplit
dapat berkembang menjadi gagal ginjal akut, sedang obstruksi parsial dalam jangka lama dapat
menimbulkan gangguan ginjal kronis. Diagnosis dan penanganan obstruksi yang cepat dapat
segera memulihkan fungsi ginjal
689
l
Kemampuan untuk membedakan azotemia prerenal dan pos-renal sangatlah penting. Yang paling
mudah pertamakali adalah dengan menyingkirkan kemungkinan obstruksi pos-renal. Kelainan
prerenal biasanya bisa dilihat dengan melihat respons terhadap perbaikan perfusi ginjal. Analisis
indeks urin pada tabel di atas juga dapat membantu membedakan ketiga hal tersebut.
Perhitungan fractional excretion of filter sodium (FE Na+) sangat berguna pada kondisi oliguria.
Nilai FE Na+ <1% dan disertai oliguria terdapat pada azotemia prerenal, nilai >3% terdapat pada
pasien ARF nonoliguria. Nilai 1-3% mungkin terdapat pada pasien ARF nonoliguria.
Renal failure index ( Na+ urin / plasma creatinin rasio ) merupakan indeks yang paling sensitif
untuk menegakkan diagnosis gagal ginjal, namun penggunaan diuretik akan meningkatkan
sekresi Na sehingga nilainya tidak akurat.
690
Etiologi gagal ginjal akut dapat dilihat pada tabel 3. hampir 50% terjadi pada kasus trauma
mayor atau pembedahan ; dan sebagian besar diakibatkan oleh iskemia dan nefrotoksin.
Patogenesis gagal ginjal sangat kompleks karena melibatkan sistem vaskular dan tubulus ginjal.
Konstriksi arteriol aferen, penurunan permeabilitas glomerulus, injuri langsung sel epitel dan
obstruksi tubular oleh debris intralumen atau edema, dapat mengurangi filtrasi ginjal.
Iskemia ginjal atau hipoksia merupakan faktor pencetus pada hampir semua kasus.
ketidakseimbangan antara produksi ATP dan kebutuhan sel epitel memyebabkan perubahan
transport ion, pembengkakan sel, mengganggu metabolisme fosfolipid dan menyebabkan
penumpukan kalsium di dalam sel. Produksi radikal bebas selama periode reperfusi dan
reoksigenasi dapat pula menimbulkan cedera sel.
Gagal ginjal akut terjadi hampir 15% pada pasien ICU, dengan mortalitas mencapai 50%. Terapi
utama gagal ginjal akut bersifat suportif. Diuretik dan manitol mungkin bermanfaat pada kasus
gagal ginjal nonoligurik, walaupun beberapa penelitian menunjukkan tidak menurunkan
mortalitasnya. Terapi simptomatis diberikan sesuai dengan kondisi pasien misalnya koreksi
gangguan elektrolit dan koreksi keseimbangan cairan. Perlu diperhatikan pada pemberian obat-
obat yang diekskresi melalui ginjal, harus dilakukan penghitungan dosis sesuai dengan klirens
ginjal agar tidak terjadi akumulasi.
SEPSIS
Menurut AMLP/SCSM Consensus Conference, sepsis didefinisikan sebagai infeksi yang disertai
dengan 2 atau lebih manifestasi sistemik dari SIRS ( tabel 3). Septik syok adalah sepsis yang
disertai hipotensi refrakter walaupun telah diberikan resusitasi cairan yang adekuat. Kriteria
hipotensi adalah tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau MAP < 65 mmHg atau penurunan
tekanan darah sistolik > 40 mmHg. Syok septik biasanya disertai gangguan perfusi jaringan dan
disfungsi sel yang ditandai dengan asidosis laktat, oliguria atau penurunan kesadaran.
691
HR > 90 beats/min
WBC count > 12,000/mm3 , < 4000/mm3 , or > 10% immature (band) forms.
Patofisiologi
Syok septik paling sering disebabkan oleh infeksi bakteri gram-negatif yang berasal dari traktus
genitourinarius atau dari paru. Bakterimia bisa ditemukan bisa tidak. Peningkatan kadar nitrik
oksida mungkin menjadi penyebab vasodilatasi. Hipotensi juga terjadi karena penurunan volume
intravaskular akibat kebocoran vaskular. Pemeriksaan jantung dapat menunjukan adanya depresi
miokard. Aktivasi platelet dan kaskade koagulasi menimbulkan pembentukan agregrat fibrin-
platelet, yang dapat mengganggu aliran darah, bila terjadi di paru akan menimbulkan hipoksemia
/ ARDS. Dikeluarkannya bahan-bahan vasoaktif, pembentukan mikrogramtrombus di sirkulasi
paru, akan memperburuk fungsi paru karena meningkatnya resistensi vaskular paru.
Menurut guideline dari Surviving sepsis campaign tahun 2008, dalam 6 jam pertama setelah
sepsis didiagnosa, harus dapat dilakukan resusitasi sesuai dengan protocol Early Goal-
Directed Therapy (EGDT). Pasien dengan hipotensi diberikan resusitasi cairan koloid atau
kristaloid sampai mencapai CVP 8-12 mmHg. Apabila MAP < 65 mmHg, diberikan obat
vasoaktif (noerepinefrin atau dopamin). Apabila MAP telah 65mmHg, dilakukan pengukuran
saturasi oksigen vena sentral /vena kava superior. Target ScVO2 >70% atau vena campur
>65% harus dapat dicapai. Bila target saturasi oksigen vena tidak tercapai, diberikan transfusi
PRC sampai hematokrit 30% . Apabila hematokrit telah mencapai target tetapi saturasi
oksigen vena sentral masih rendah, maka mulai diberikan infusi dobutamin.
Apabila hasil kultur kuman belum ada, terapi antibiotik empirik diberikan seawal mungkin
dalam jam pertama EGDT. Antibiotik broad-spectrum diberikan secara intravena dipilih
berdasarkan dugaan bakteri / fungi yang menjadi sumber sepsis.
692
Agent Blood Curah Pengirima
pressure jantung n oksigen
Dopamin
Dobutamin
Norepinefri 0 0
n
Epinefrin
Vasopresin 0 0
693
CVP : central venous pressure, MAP : mean arterial pressure, dan ScvO :
central venous oxygen saturasion.
Perdarahan akut sering menjadi alasan utnuk mengirim pasien ke ICU. Faktor-faktor yang dapat
meningkatkan mortalitas adalah umur (>60tahun), penyakit komorbid, hipotensi, perdarahan
masif (>5 unit) dan perdarahan berulang.
Penatalaksanaan di ICU meliputi evaluasi, identifikasi sumber perdarahan dan stabilisasi. Pasien
harus dipasang 2 kanula vena besar (14-16G), kalau mungkin dipasang CVC dan jalur arterial.
Pemeriksaan kadar Hb, hematokrit, trombosit, PT dan aPTT serta persiapan transfusi darah harus
dilakukan. Pemantauan yang dilakukan meliputi hematokrit serial dan penilaian hemodinamik
kontinyu.
Penyebab perdarahan paling sering adalah ulkus duodenum, ulkus gaster, gastritis erosif dan
varises esofagus. Yang terakhir biasanya disebabkan oleh stres, konsumsi alkohol, aspirin,
NSAID dan obat obat steroid.
Terapi paling efektif untuk gastritis erosif adalah melakukan pencegahan dengan proton pum
inhibitor, H2 reseptor bloker, antasid dan sukralfat. Namun apabila perdarahan sudah terjadi
semua obat ini tidak akan efektif.
Terapi endoskopi dengan elektrokoagulasi bipolar atau probe heater, merupakan terapi nonbedah
yang efektif untuk mengurangi transfusi, perdarahan ulang, lama rawat dan risiko operasi.
694
Perdarahan Saluran cerna bagian bawah
Terapi yang dilakukan adalah kauterisasi sumber perdarahan via kolonoskopi, embolisasi / infusi
vasopresin via arteriografi, dan dilakukan operasi bila perdarahan berulang.
TERAPI NUTRISI
Pasien sakit kritis biasanya mengalami cedera jaringan, stres neuroendokrin dan kakeksia.
Respons terhadap cedera yang terjadi meliputi peningkatan sekresi katekolamin, kortisol,
glukagon, tiroksin, angiotensin, aldosteron, hormon pertumbuhan dan ACTH, hormon
antidiuretik dan TSH. Pada awalnya sekresi insulin sedikit turun tetapi kemudian akan meningkat
sesuai dengan peningkatan kadar hormone pertumbuhan.
Sintesa dan pemecahan protein meningkat, namun pemecahannya lebih besar daripada sintesa
sehingga terjadi penurunan massa otot. Selama sepsis pemakaian lemak dan karbohidrat otot
mengalami gangguan, mengakibatkan pemecahan protein meningkat. Di samping itu sel-sel lebih
banyak memakai asam amino rantai cabang, misalnya glutamin, Glutamin merupakan asam
amino yang banyak diperlukan untuk jalur metabolisme.
Pemberian glukosa selama fase akut tidak dapat menekan pemecahan protein. Intake kalori dan
protein yang adekuat dapat mengurangi tetapi tidak dapat mencegah katabolisme pada pasien
695
Penilaian status nutrisi bisa dilakukan dengan menggunakan berbagai metode misalnya
subjective global assessment (SGA), berat badan, lingkar lengan atas, ekskresi kreatinin urin,
kadar albumin dan transferin dalam darah, dll
Pasien yang memerlukan perhatian khusus apabila mempunyai berat badan kurang dari 80%
berat normal, mengalami penurunan BB >10% dalam 6 bulan terakhir, hipoalbumin <3 g/dL atau
transferin <150 mg/dL, kulit lembek atau jumlah limfosit darah < 1200 sel/mL
Ada berbagai metode perhitungan energi, namun pada pasien sakit kritis umumnya cukup
diberikan 20-30 kcal/kg per hari dengan pertimbangan karena mengalami gangguan metabolisme
sel ; glukosa dan asam lemak tidak dapat dioksidasi secara sempurna.
Kebutuhan energi tersebut dipenuhi dengan komposisi : karbohidrat 30-70%, protein 15-20%
(1-2 gr/kg/hari), dan lemak 20-50%.
Nutrisi enteral
Pemberian nutrisi enteral adalah cara pemberian nutrisi melalui selang menuju saluran cerna.
Selang yang dipakai bermacam-macam, yaitu pipa nasogastrik, pipa orogastrik, pipa naso-
duodenal, gastrostomi, jejunostomi, dan ileostomi.
Keuntungan cara ini adalah integritas dan morfologis mukosa usus tetap terjaga, mengurangi
risiko translokasi bakteri, murah dan mudah.
Cara pemberian nutrisi secara kontinyu artinya diberikan terus menerus dalam 24 jam dengan
kecepatan konstan, dapat mengurangi risiko aspirasi. Untuk merangsang nafsu makan pasien,
beberapa ahli gizi tidak memberikan nutrisi pada malam hari saat tidur. Pemberian nutrisi enteral
intermiten, artinya nutrisi diberikan bertahap beberapa kali perhari. Biasanya satu kali
pemberian dilakukan dalam 20-30 menit menggunakan syring pump atau feeding bag.
Problema yang sering timbul dengan nutrisi enteral adalah diare, biasanya berhubungan dengan
hiperosmolaritas sediaan dan intoleransi laktosa. Problema lain yaitu retensi lambung dan residu
gaster yang berlebihan sehingga bisa menyebabkan aspirasi.
Nutrisi Parenteral
Cara pemberian nutrisi parenteral adalah pemberian nutrisi langsung ke pembuluh vena.
Pemberian nutrisi ini dibagi dalam 2 bagian, yaitu nutrisi parenteral perifer dan nutrisi parenteral
696
total (TPN). Syarat pemberain nutrisi parenteral adalah hemodinamik pasien dalam kondisi
stabil. Pada pemberian TPN sebaiknya melalui CVC karena osmolaritas sediaan biasanya cukup
tinngi.
Indikasi TPN adalah apabila saluran cerna mengalami obstruksi, atau saluran cerna tidak
berfungsi. Pemberian TPN memerlukan perhitungan komposisi yang lebih sulit karena harus
menyesuaikan antara volume cairan dan kandungan nutrisi di dalamnya. Komplikasi yang terjadi
disebabkan oleh faktor CVC atau komposisi nutrien. Komplikasi yang berkaitan dengan
komposisi yang tidak adekuat adalah hiperglikemia, hipoglikemia, hipertrigliseridemia, asidosis
metabolik, dan gangguan elektrolit.
Hipoglikemia kadang-kadang terjadi karena infusi distop dalam waktu cukup lama, bisa diatasi
dengan pemberian D40%. Pemeriksaan elektrolit sebaiknya dilakukan setiap hari dan diatasi
dengan mengatur komposisi elektrolit pada nutrisi. Azotemia bisa terjadi pada pemberian asam
amino yang berlebihan, terapinya adalah mengurangi asupan asam amino atau bila tidak ada
masalah bisa diberikan tambahan air.
697
698
PENELITIAN
MODUL 37 :
PERSIAPAN SESI
Audiovisual aid:
Materi presentasi:
CD powerpoint
Sarana:
1. Ruang belajar
Penuntun belajar : lihat acuan materi
Referensi :
699
Fakultas Kedokteran UI,1995
4. Beauchamp TL,Childress JF. Principle of Biomedical Ethic, Oxford University Press
1994
5. Sudigdo Sastroasmoro, Sofyan Ismael. Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Klinis,
Sagung Seto,2002
6. Matthews JR, Bowen JM, Matthews RW. Sumlessful scientific writing. Cambridge
University Press,2006 .
TUJUAN UMUM
Setelah menyelesaikan modul ini peserta didik akan mampu menerapkan alur fikir ilmiah
dengan menggunakan pendekatan ilmu kedokteran dasar maupun klinis untuk meneliti
perproblemaan dalam bidang anestesiologi, perioperatif care,critical care dan penatalaksanaan
nyeri.
TUJUAN KHUSUS
Kognitif :
Psikomotor
1.Mampu melakukan pengambilan data penelitian
3.Mampu melatih bila diperlukan tim pendukung yang membantu proses penelitian
Komunikasi:
700
1.Mampu melakukan kolaborasi dengan tim pendukung penelitian
Profesional
1.Mampu bekerjasama dengan sesama sejawat anestetis, bidang ilmu lain, perawat,
maupun petugas kesehatan yang terlibat dalam pelaksanaan penelitian.
4.Mampu membuat rancangan biaya dengan memperhitungkan cost benefit rasio dan
tenggat waktu.
KEYNOTES:
GAMBARAN UMUM
Untuk dapat membuat usulan penelitian dan menulis laporan penelitian (tesis) diperlukan
pengetahuan dan keterampilan dalam cara menulis laporan, pengetahuan metodologi penelitian,
filsafat penelitan, statistik, dan kejujuran dalam melakukan penelitian.
TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah mengikuti sesi ini peserta didik akan mampu membuat usulan penelitian, mengerti
tentang dasar penelitian dari mulai filsafat penelitian, metode, statistik untuk penarikan besar
sampel, dan statistik untuk melakukan uji data penelitian, serta mampu menarik kesimpulan
penelitian serta kegunaannya.
1.Filsafat ilmu
701
2.Bio-etik
3.Metodologi penelitian
4.Epidemiologi klinis
METODE PEMBELAJARAN
- Kuliah interaktif
- Diskusi dengan dosen pembimbing anestetis
- Diskusi dengan dosen pembimbing bidang lain terkait penelitian(expert)
- Belajar mandiri
MEDIA
- Audiovisual
- Perpustakaan & e Library
EVALUASI
702
termasuk hasil penelitian.
Evaluasi dilakukan oleh pembimbing dan pakar dari anestesiologi maupun bidang
ilmu lain yang terkait.
Evaluasi ini akan menentukan apakah peserta didik dapat segera menempuh ujian
penelitian atau memerlukan perbaikan dengan menambah data yang diperlukan.
- Ujian
Ujian Penelitian dilakukan untuk menilai pola dan kemampuan berpikir ilmiah peserta
didik yang di refleksikan oleh kemampuan menganalisis dan menyimpulkam hasil
penelitian.
Pre-tes
1. Bagaimana cara membuat suatu judul penelitian, apa syaratnya bisa diteliti?
2. Apa yang ditulis dalam tema sentral problema?
3. Apa yang disebut metode deduksi dan induksi? Apa perbedaan dan keuntungan-
kerugiannya masing-masing?
4. Apa definisi hipotesis?
5. Apa yang disebut variabel? Terangkan tentang variabel bebas, variabel terikat, dan
variabel perancu!
6. Apa yang disebut definisi operasional variabel? Beri contohnya1
7. Bagaimana cara membuat hipotesis yang baik?
8. Bagaimana cara membuat premis yang baik?
Sudah Belum
No Daftar cek penuntun belajar
dikerjakan dikerjakan
STUDI LITERATUR
703
5 Membuat rumusan problema
15 Maju UP di bagian
17 Melakukan penelitian
18 Pengumpulan data
19 Uji statistik
20 Membuat tesis
DAFTAR TILIK
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan
memuaskan, dan berikan tanda bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak
dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah/ tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau penuntun
Tidak Tidak mampu untuk mengerjakan langkah/ tugas sesuai dengan prosedur
memuaskan standard atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dilakukan oleh peserta latih selama
704
penilaian oleh pelatih
DAFTAR TILIK
Kesempatan ke
No Kegiatan / langkah klinis
1 2 3 4 5
705
Peserta dinyatakan : Tanda tangan pelatih
Layak
Tidak layak
melakukan prosedur
MATERI ACUAN
Usulan Penelitian (UP) adalah rencana penelitian tertulis yang bersifat formal, yang dapat
berbeda dari institusi ke institusi dan diperlukan untuk :
penelitian.
706
Sistematika UP
Judul penelitian
Pendahuluan
Latar belakang penelitian
Rumusan problema
Kegunaan penelitian
Judul
Judul merupakan identitas atau cermin dari keseluruhan isi dan proses kegiatan
penelitian yang akan dilakukan.
Judul perlu dinyatakan dengan menggunakan kata-kata yang jelas, singkat, dan
ekspresif, kalimat yang sederhana, kalau perlu dapat dibuat sub-judul.
Terdiri dari 2 variabel yang berkaitan: variabel bebas berkaitan dengan variabel terikat
Pendahuluan:
Latar belakang Penelitian
Pertama kali tentukan problemanya karena tidak semua problema kesehatan dapat
dikembangkan menjadi penelitian.
Syarat problema dapat diangkat jadi penelitian: kemampulaksanaan, menarik,
memberikan sesuatu yang baru, etis, serta relevan FINER (Feasible, Interesting,
Novel, Ethical, Relevant)
Feasible
707
Relevant: dg kemajuan ilmu, untuk tata- laksana pasien, dasar penelitian selanjutnya
Sumber problema penelitian
Studi kepustakaan
Hasil konferensi, seminar, simposium, lokakarya.
Pengalaman dalam praktek sehari-hari.
Pendapat pakar yang masih spekulatif.
Sumber non-ilmiah.
Apapun sumbernya problema akan ada kalau banyak membaca.
Apakah problema layak dan sesuai untuk diteliti ?
FINER
Pertimbangan dari arah problemanya: apakah akan memberi sumbangan pada
pengembangan teori dan pemecahan problema praktis.
Pertimbangan dari arah peneliti: biaya, waktu, alat dan perlengkapan, kemampuan
teoritis, penguasaan metode yang diperlukan.
Komponen yang harus nampak dalam latar belakang
dampak negatifnya.
Buat tema sentral problema yang isisnya adalah latar belakang situasi, kondisi dan apa
tantangannya. Tantangan ini akan dijabarkan dalan rumusan problema.
Rumusan problema
Syaratnya : dikemukakan dalam kalimat tanya, substansi harus khas, bila terdapat
beberapa pertanyaan maka harus dipisah.
Dimulai dengan kalimat pembuka. Contoh:
1) berdasarkan uraian dalam latar belakang penelitian tersebut di atas dapat
708
Apakah tiopental dapat menurunkan metabolisme otak ?
Apakah obat A menurunkan curah jantung ?
Tidak disebutkan sbb:
Karena banyak parameter untuk menentukan fungsi ventrikular kiri atau proteksi otak.
Kalimat positif, merupakan kebalikan dari kalimat tanya pada rumusan problema.
Didahului kata pembuka, misalnya: mengacu pada RM, maksud dan tujuan penelitian
ini adalah:.
Bila RM ada 2, maka maksud dan tujuan ada 2, dan hipotesis ada 2.
Kegunaan penelitian
Diuraikan manfaat apa yang diharapkan diperoleh dari penelitian yang dilakukan nanti.
Biasanya disebutkan manfaat dalam bidang akademik atau ilmiah, pelayanan
masyarakat serta pengembangan penelitian itu sendiri
Kerangka pemikiran
Uji hipotesis
H0 adalah hipotesis yang menyatakan tidak adanya saling hubungan antara 2 variabel
atau tidak ada perbedaan antara kelompok satu dengan kelompok lainnya.
HA ((Hipotesis Alternatif) menyatakan adanya saling hubungan antara 2 variabel atau
ada perbedaan antara kelompok satu dengan lainnya.
Hipotesis penelitian boleh H0 atau HA
709
Sasaran uji statistik pada umumnya menolak H0 (menerima HA)
Subjek penelitian
Pemilihan subjek : kriteria inklusi,
Metode penelitian
Tipe dan rancangan penelitian
Definisi operasional :
Analisis data
Kriteria inklusi
710
Kriteria eksklusi
Keadaan yang menyebabkan subjek yang sudah memenuhi kriteria inklusi tidak dapat
diikutsertakan dalam penelitian.
Indikasi-kontra, terdapatnya penyakit lain yang mempengaruhi variabel yang diteliti,
kepatuhan pasien, pasien menolak diteliti, problema etik.
Kriteria pengeluaran
Sample sudah masuk inklusi kriteria, sudah dirandom, tapi karena sesuatu hal tidak
diikutkan dalam penelitian.
Dalam perhitungan statistik harus diikutkan.
Besar sampel
3 ( r-1) > 6
3r3 >6
3r >9
r >3
Desain:
Bila memilih observasi tentukan apakah hanya pengamatan sewaktu (cross seksional)
atau melakukan follow up (studi longitudinal).
Apakah retrospektif atau prospektif.
Harus diingat jenis penelitian yang satu tidak lebih unggul dari yang lain. Jenis
711
penelitian dipilih berdasarkan tujuan penelitian.
Variabel: contoh
Variabel perancu : faktor lain yang akan menurunkan tekanan darah bila diberi
Supaya tidak ada makna ganda dari semua istilah yang digunakan.
Contoh:
1. Cedera kepala berat adalah cedera kepala yang pada pemeriksaan klinis
menunjukkan nilai GCS < 8.
2. Hipotensi adalah tekanan darah sistolik < 90 mmHg
3. Serebral iskemia adalah bila SJO2 < 50%
Pengukuran adalah observasi fenomena dengan maksud agar dapat dilakukan analisis
menurut aturan tertentu.
Standarisasi cara pengukuran, pelatihan pengukur, penyempurnaan instrumen, kalibrasi
alat.
Contoh: gas darah dengan I-stat yang telah dikalibrasi dan dibandingkan dengan alat lain
712
yang telah dikalibrasi. Tekanan darah dilakukan secara noninvasif dengan tekanan darah
automatis.
Daftar Pustaka
Perhatikan cara penulisan kepustakaan yang diminta. Penulisan titik, titik koma, titik dua
harus diperhatikan.
Contoh:
1. Cooper KR, Boswell PA.Save use of PEEP in patient with severe head cedera. J
Neurosurg 1995;63(2):552-55.
2. Wilson RF. Trauma.In: Shoemaker WC, Thomson WL,eds.Textbook of Critical
Care. Philadelphia:WB Saunders;1984.877-912.
Prinsip: mengikuti pedoman yg dikeluarkan oleh organisasi internasional, contoh dari BJA
Referensi
713
MODUL 39 :MANAJEMEN ANESTESIA KOMPREHENSIF
Persiapan Sesi
Audiovisual Aid:
16. LCD proyektor dan layar
17. Laptop
18. OHP
19. Flipchart
20. Pemutar video
Materi presentasi: CD powerpoint
1. Rencana dan indikasi anestesia
2. Persiapan perioperatif pasien
3. Teknik anestesia umum, regional, kombinasi atau MAC
4. Penatalaksanaan pascabedah
5. Indikasi rawat intensif
6. Penatalaksanaan pasien rawat intensif
Sarana:
14. Ruang belajar
15. Ruang pemeriksaan
16. Kamar operasi elektif dan darurat
17. Ruang pulih
18. Bangsal rawat
714
19. ICU / HCU
Kasus : penatalaksanaan pasien langsung di ruang rawat, kamar pemeriksaan, kamar operasi elektif ,
IGD dan rawat jalan, ruang radiologi, ruang endoskopi, ICU
Alat bantu latih : model anatomi /simulator tidak ada
Penuntun belajar : lihat materi acuan
Daftar tilik kompetensi : lihat daftar tilik
Referensi :
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 3th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2002
2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006
3. Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005
4. Martini FH. Fundamental of Anatomy & Physiology. 7th ed. 2006
5. Fink MP et al. Textbook of Critical Care, 5th ed, Philadelphia : Elsevier Saunders ; 2005
6. Oh TE. Intensive Care Manual, 5th ed, London : Elsevier Science ; 2005
7. Critical Care Handbook of the Massachusetts General Hospital, 4th ed, Philadelphia : Lipincott
William & Wilkins ; 2006
Setelah menyelesaikan sesi ini peserta didik akan memiliki pengetahuan dan keterampilan melakukan
penatalaksanaan kasus-kasus yang kompleks; baik pasien dengan tingkat komorbid yang tinggi maupun
teknik pembedahan yang sangat kompleks atau keduanya, dan melakukan manajemen dan supervisi
terhadap residen yang lain
Setelah melalui sesi ini peserta didik akan memiliki kompetensi berikut ini:
1. KOMPETENSI
Mampu melakukan penatalaksanaan perioperatif dan pembiusan pada seluruh jenis kasus, dan
penatalaksanaan pasien rawat intensif.
RANAH KOMPETENSI
Kognitif:
715
3. Menjelaskan teknik manajemen dan supervisi yang sesuai.
4. Menjelaskan prinsip-prinsip konsultasi yang benar.
5. Menjelaskan indikasi rawat intensif.
6. Menjelaskan penatalaksanaan dan manajemen pasien rawat intensif.
Psikomotor :
Komunikasi/Hubungan Interpersonal
1. Melakukan komunikasi dan menciptakan kondisi kerja yang baik dengan seluruh tim.
2. Melakukan komunikasi yang baik dengan staf konsulen, rekan ahli bedah dan personel kamar
bedah yang lain.
3. Melakukan komunikasi yang baik dengan dokter disiplin lain, melakukan konsultasi terutama
untuk kasus yang sulit.
4. Melakukan komunikasi yang baik dengan dokter disiplin lain, konsultasi dengan konsulen,
kerjasama dengan tim perawat unit perawatan intensif.
5. Melakukan komunikasi yang baik dan persetujuan setelah menerima informasi yang adekuat
dengan pasien dan keluarganya.
Profesionalisme :
2. KEYNOTES
716
12. Anestesia Bedah Pediatrik
13. Anestesia Bedah Neuro
14. Anestesia Kardiotorasik
15. Anestesia Rawat Jalan
16. Anestesia Bedah Darurat
17. Anestesia Bedah Invasif Minimal
18. Anestesia Di luar Kamar Bedah
19. Anestesia dan Penyakit Khusus
20. Penatalaksanaan Nyeri
21. Analgesia regional
22. Traumatologi
23. Intensive Care
3. GAMBARAN UMUM
Manajemen anestesia komprehensif merupakan suatu metode pembelajaran di mana peserta didik sudah
melewati semua tahap pembelajaran teknik pembiusan berbagai macam kasus dan teknik operasi dari
yang mudah sampai yang kompleks serta melewati tahap pembelajaran di unit perawatan intensif.
Selama 1 semester (24 pekan) peserta didik bertanggung jawab untuk mengatur pembagian tugas dan
melakukan supervisi terhadap peserta didik yang lain (terutama yang lebih junior) dalam penatalaksanaan
anestesia maupun perawatan intensif semua jenis kasus. Selain itu peserta didik juga melakukan tindakan
anestesia dan perawatan intensif secara mandiri di rumah sakit pendidikan utama dan rumah sakit
pendidikan yang lain.
4. TUJUAN PEMBELAJARAN
Setelah proses alih pengetahuan, keterampilan dan perilaku melalui modul ini, diharapkan peserta didik
memiliki kemampuan untuk:
5. METODE PEMBELAJARAN
1. Bahan acuan
2. Ilmu dasar yang berkaitan dengan topik pembelajaran
3.Ilmu klinis dasar
717
Tujuan 1 : Melakukan sebagian besar teknik anestesia umum secara mandiri.
Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktek klinis
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Teknik anestesia umum dengan obat intravena, inhalasi dengan sungkup muka, LMA, intubasi
dan MAC (lihat modul keterampilan dasar anestesia, anestesia umum)
2. Teknik pemantauan dan pemasangan akses vaskular seperti kanulasi vena, arterial, kanulasi vena
sentral (lihat modul keterampilan dasar anestesia)
Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktek klinis
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Teknik analgesia regional neuroaksial seperti subarahnoid, epidural, kaudal (lihat modul
analgesia regional)
2. Teknik blok ekstremitas atas seperti blok skalenus, blok pleksus brakialis, blok aksilaris, blok
radialis dan ulnaris (lihat modul analgesia regional)
3. Teknik blok ekstremitas bawah seperti blok skiatik, femoral, pudendal, politea, ankle blok
Tujuan 3 : Memberikan anestesia pada kasus yang komplekss: komorbid tinggi, teknik operasi
yang sulit atau keduanya.
Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktek klinis
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
718
1. Teknik balanced anesthesia, opioid based balanced anesthesia, terutama untuk pasien dengan
komorbid tinggi atau ketidakstabilan hemodinamik.
2. Teknik penatalaksanaan jalan nafas terutama pada pasien dengan jalan nafas sulit
3. Teknik anestesia kombinasi (umum dan regional)
4. Teknik anestesia untuk operasi dengan teknik khusus dan sulit (tumor jalan nafas, operasi besar
digestif, operasi vaskular besar, bedah torasik, operasi transplantasi)
Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktek klinis
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Prinsip umum kedokteran perawatan intensif, indikasi masuk ICU dan dapat melakukan
identifikasi pasien yang berisiko gagal organ
2. Keterampilan melakukan resusitasi dan stabilisasi pasien kritis
3. Keterampilan menegakkan diagnosis pasien kritis, tindakan stabilisasi, penilaian, penatalaksanaan
pasien dan investigasi rutin setiap hari.
Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
3. Peer assisted learning (PAL)
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktek klinis
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Proaktif melakukan koordinasi dan supervisi kegiatan peserta didik lain di ICU terutama yang
lebih junior.
2. Pendidikan dan pengajaran kepada petugas, mahasiswa kedokteran maupun paramedis di ICU.
3. Pengetahuan umum organisasi penatalaksanaan ICU.
4. Kemampuan untuk bekerjasama dan konsultasi dengan konsulen maupun ahli disiplin limu yang
lain.
Tujuan 6: Melakukan pengaturan, pembagian tugas dan supervisi terhadap semua tindakan
anestesia yang dilakukan residen lain.
Metode pembelajaran
1. Small group medical education
2. Demo & Coaching discussion
719
3. Peer assisted learning (PAL)
4. Bedside teaching
5. Task-based
6. Praktek klinis
Materi dan keterampilan yang harus dikuasai:
1. Pengetahuan mengenai sistem dan jadwal semua jenis operasi dan tindakan lain yang
memerlukan tindakan anestesia, MAC maupun perawatan intensif.
2. Kemampuan melakukan pembagian tugas dan supervisi terhadap semua tindakan anestesia yang
dilakukan peserta didik terutama yang lebih junior.
3. Bertanggung jawab, membuat laporan dan bila perlu memberi sangsi bila ada yang melakukan
pelanggaran dari tugas yang telah diatur.
4. Kemampuan melakukan komunikasi dan lingkungan kerja yang baik antar sesama peserta didik,
konsulen maupun rekan disiplin lain.
6. MEDIA
1. Kursus / pelatihan
Pelatihan di skill lab intubasi, LMA pada manikin
2. Belajar mandiri
3. Kuliah
Kuliah khusus mengenai penatalaksanaan dan problema dari kasus
4. Diskusi kelompok
a. Laporan dan diskusi tentang problema perioperatif elektif maupun darurat
b. Penatalaksanaan pasien unit perawatan intensif
c. Organisasi, pembagian tugas dan supervisi peserta didik
d. Pendidikan dan pengajaran mahasiswa kedokteran, perawat maupun peserta didik yang
lebih junior
5. Pemeriksaan preoperatif
6. Bimbingan pembiusan dan asistensi di kamar operasi
a. Pelatihan anestesia umum dan regional di kamar bedah elektif maupun darurat secara
mandiri
b. Untuk kasus kompleks atau teknik operasi dan pembiusan yang sulit mendapat
bimbingan dan pengawasan staf pengajar.
7. Tugas baca dan tulisan (tinjauan pustaka, journal reading)
8. Laporan kasus, morbiditas dan mortalitas
9. Continuing Professional Development (CPD)
8. EVALUASI
720
8.1. Pada awal pertemuan dilaksanakan pre-tes dalam bentuk esai dan lisan untuk menilai kinerja awal
peserta didik dan melakukan identifikasi kekurangan yang ada. Materi pre-tes terdiri atas :
1. Pemilihan/seleksi pasien semua jenis operasi untuk kasus sederhana maupun dengan penyulit
2. Persiapan preoperatif
3. Pemilihan teknik anestesia dan penggunaan obat yang sesuai untuk semua kasus terutama kasus
kompleks
4. Penatalaksanaan anestesia umum dan regional
5. Pemantauan
6. Penatalaksanaan pasca-anestesia
7. Indikasi dan penatalaksanaan intensif pasien rawat
8.2. Diskusi kelompok kecil bersama fasilitator untuk membahas kekurangan yang teridentifikasi,
membahas tuntunan belajar dan proses penilaian.
8.3. Peserta didik diwajibkan untuk mengaplikasikan langkah-langkah dalam penuntun belajar pada
manikin anestesia bersama teman-temannya (peer assisted learning), dievaluasi oleh teman-
temannya (peer assisted evaluation).
8.4. Setelah dinilai memadai, peserta didik melalui metode bedside teaching di bawah pengawasan
fasilitator mengaplikasikan penuntun belajar kepada pasien sesungguhnya. Pada saat pelaksanaan,
evaluator melakukan pengawasan langsung dan mengisi lembar penilaian:
- Perlu perbaikan : pelaksanaan belum benar atau beberapa langkah tidak dilakukan
- Cukup baik : pelaksanaan sudah benar tetapi tidak efisien, misalnya tindakan anestesia tidak
mulus sehingga kurang memberi kenyamanan kepada pasien
8.5. Setelah bedside teaching dilakukan diskusi dan memberi masukan untuk memperbaiki
kekurangan yang ditemukan.
8.6. Self assessment dan peer assisted evaluation dengan mempergunakan penuntun belajar.
8.8. Task-based medical education, pada akhir penilaian peserta didik diberi masukan atau diberi
tugas untuk memperbaiki kinerja.
Isi pre-tes :
721
1. Jelaskan prinsip persiapan anestesia untuk elektif dan darurat.
2. Jelaskan perbedaan penatalaksanaan anestesia dan pasca anetesia untuk operasi elektif dan
darurat
3. Jelaskan teknik pembiusan dengan balanced anesthesia dan opioid base balanced anesthesia
4. Jelaskan algoritma penatalaksanaan jalan nafas sulit
5. Jelaskan pemantauan apa saja yang dapat dilakukan selama tindakan anestesia
6. Jelaskan dampak posisi pasien selama operasi khusus (terlungkup, miring, lumbotomi,
trendelenburg, anti-trendelenburg, litotomi)
7. Jelaskan penanggulangan nyeri pascabedah operasi besar atau khusus
8. Jelaskan penatalaksanaan pernafasan pascabedah operasi besar atau khusus
9. Jelaskan indikasi perawatan intensif
10. Jelaskan prinsip-prinsip resusitasi dan stabilisasi pasien kritis
11. Jelaskan cara dan isi persetujuan setelah mendapatkan informasi yang adekuat dan benar
Bentuk pre-tes : MCQ, ujian esai dan lisan sesuai tingkat masa pendidikan (semester).
Bentuk ujian :
1. Pengetahuan kognitif
- MCQ
- EMQ
Ujian lisan
722
9. DAFTAR CEK PENUNTUN BELAJAR PROSEDUR ANESTESIA
Tindakan / operasi :
723
1. Manfaat anamnesis untuk diagnosis
1. Menentukan ASA
ANESTESIA
2. Analgesia regional
724
6. Pengakhiran anestesia, masa siuman
7. Tindakan ekstubasi
PENATALAKSANAAN PASCABEDAH
NIV)
6. Indikasi bronkoskopi
725
16. Penyesuaian dosis obat pada gagal ginjal
726
Memahami penggunaan alat secara aman
5. Keamanan kelistrikan
9. Alat bronkoskopi
3. ALI, ARDS
5. Pneumonia nosokomial
7. Pneumonia aspirasi
8. Asma
9. PPOK
727
16. Gagal jantung kiri
23. Urosepsis
36. DIC
728
43. Perdarahan peripartum
3. Membuat keputusan
Berikan tanda dalam kotak yang tersedia bila keterampilan/tugas telah dikerjakan dengan memuaskan,
dan berikan tanda X bila tidak dikerjakan dengan memuaskan serta T/D bila tidak dilakukan pengamatan
Memuaskan Langkah / tugas dikerjakan sesuai dengan prosedur standard atau penuntun
X Tidak memuaskan Tidak mampu untuk mengerjakan langkah /tugas sesuai dengan Prosedur
standard atau penuntun
T/D Tidak diamati Langkah, tugas atau keterampilan tidak dialakukan oleh peserta latih selama
penilaian oleh pelatih
729
No DAFTAR TILIK Kesempatan ke
Kegiatan / langkah klinis 1 2 3 4 5
Layak
Tidak layak
Melakukan prosedur
730
Modul manajemen anestesia komprehensif ini merupakan tahap pembelajaran setelah peserta didik
melewati semua tahap stase anestesia maupun perawatan intensif (ICU). Modul ini memerlukan waktu
selama 1 semester (24 pekan) dan merupakan modul integrasi dari semua modul yang harus dikuasai
oleh peserta didik.
Selama menjalani tahap ini peserta didik pertama kali harus dapat membuat rencana manajemen yang
akan mereka lakukan selama 24 pekan ke depan yang meliputi pembagian tugas, pelaksanaan pelayanan
anestesia untuk semua kasus yang sederhana maupun yang kompleks, baik kasus yang ringan, komorbid
tinggi atau teknis operasi yang sulit.
Selain itu peserta didik harus aktif melakukan pengajaran dan supervisi terhadap peserta didik yang lebih
junior dan mahasiswa kedokteran. Bila terjadi pelanggaran dari tugas yang telah ditentukan peserta didik
dalam tahap ini harus dapat bertanggung jawab, membuat laporan dan bila perlu memberikan sangsi.
Selama tahap ini peserta didik diharapkan sudah mampu melakukan sebagian besar teknik anestesia
umum, regional, MAC secara mandiri baik di rumah sakit pendidikan utama maupun rumah sakit
pendidikan yang lain. Selain pelayanan anestesia peserta didik selama tahap ini juga diharapkan mampu
melakukan penatalaksanaan pasien di ruang perawatan intensif secara mandiri.
Secara terperinci dalam tahap pembelajaran ini peserta didik telah mampu melakukan resusitasi dan
stabilisasi awal yang meliputi diagnosis kondisi mengancam nyawa termasuk henti jantung-paru, cara
melakukan resusitasi kardiopulmoner, penatalaksanaan segera pasien-pasien darurat medis (gagal nafas
akut, asma akut, PPOK, hipertensi, infark miokard akut, gagal jantung, hipotensi, syok, gangguan irama
jantung, penurunan kesadaran), dapat menjaga jalan nafas bebas termasuk intubasi trakea pada pasien
kritis, melakukan nafas buatan, mencegah dan menangani aspirasi pnemonia karena muntahan,
penatalaksanaan jalan nafas sulit dan kegagalan intubasi, penatalaksanaan jalan nafas pada cedera kepala
lambung penuh, obstruksi jalan nafas, syok, mengenali tanda dan penatalaksanaan reaksi anafilaksis dan
anafilaktoid, problema pada pasien obesitas atau imobilitas, dapat melakukan akses vaskular yang cepat
dan aman, dan memiliki pengetahuan mengenai farmakologi obat-obat anestetik, resusitasi, obat anti
aritmia, inotropik, vasopresor, sedasi, analgesia dan pelumpuh otot. Dalam penilaian klinis pra anestesia
peserta didik dapat melakukan dan melakukan penilaian dari anamnesis untuk diagnosis, pemeriksaan
fisis termasuk pasien kritis, mengenali reaksi inflamasi dalam kaitan disfungsi sistem organ, mengetahui
dampak terapi obat terhadap fungsi sistem organ, menegakkan diagnosis infeksi dan hubungannya dengan
respons inflamasi, mengetahui patogenesis disfungsi organ multipel dan prinsip pencegahan disfungsi
organ multipel.
Peserta didik juga harus memahami berbagai pemeriksaan, dapat melakukan interpretasi data dan
menegakkan diagnosis berdasarkan pemeriksaan laboratori yang sesuai dan sesuai indikasi seperti: EKG,
ECHO, USG, gas darah, tes fungsi paru, foto toraks, foto: kepala, vertebra dan iga-iga, level cairan
bebas di abdomen, CT scan, MRI, mikrogrambiologi, keseimbangan cairan, hematologi, urea/kreatinin,
elektrolit (Na, K, Ca, Mg), tes fungsi hati, kadar obat dalam darah, fungsi endokrin:diabetes, gangguan
tiroid, gagal adrenal.
Sebelum melakukan tindakan anestesia dilakukan penentuan ASA, persiapan alat, mesin pembiusan,
STATICS, obat, pemasangan monitor non-invasif dan invasif dan interpretasi hasil monitor.
731
Secara mandiri peserta didik dapat melakukan sebagian besar teknik anestesia umum (intubasi, LMA),
analgesia regional, anestesia intravena dan MAC untuk semua kasus baik yang sederhana maupun yang
disertai penyulit , melakukan pemberian cairan dan transfusi, pemantauan fungsi vital, kesadaran,
kardiovaskular, pernafasan seperti tekanan darah, nadi, saturasi Hb (SpO2), ventilasi (ETCO2 bila ada),
jumlah urin, suhu. Dapat melakukan pengakhiran anestesia dan masa siuman yang mulus, melakukan
tindakan ekstubasi dengan aman, mencegah dan menangani komplikasinya. Peserta didik juga
bertanggung jawab atas penatalaksanaan pascabedah meliputi pengawasan ABC dan tanda vital
pascabedah, penanganan komplikasi, respirasi, kardiovaskular, kesadaran, metabolik, gastrointestinal
(mual muntah), penanganan nyeri pascabedah dan penetapan kriteria untuk boleh kembali ke ruang
rawat biasa atau ICU.
Tindakan memberi bantuan sistem organ dan prosedur praktis terkait di ICU yang harus difahami dan
dapat dilakukan adalah pemahaman indikasi ventilasi mekanis, modus ventilasi mekanis dasar (SMV,
SIMV, PS,CPAP), modus ventilasi mekanis lanjut (PCV, PSV, BiPAP, NIV), komplikasi ventilasi
mekanis dan penatalaksanaannya, deteksi dan penatalaksanaan pneumotoraks, indikasi bronkoskopi,
prinsip penyapihan dari ventilasi mekanis, pemasangan kanulasi vena perifer dan sentral, punksi dan
kateterisasi arterial, penggunaan inotropik, kronotropik, vasodilator, vasokonstriktor, pemberian
kristaloid, koloid, darah dan produk darah, prinsip IABP, TEE, Esofageal Dopler, transvenous cardiac
pacing, pencegahan gagal ginjal, monitor fungsi ginjal, pengawasan pemberian obat nefrotoksik,
penyesuaian dosis obat pada gagal ginjal, Renal Replacement Therapy, penilaian status nutrisi dan
pemberian nutrisi enteral dan parenteral pasien ICU, kanulasi pipa nasogastrik, nasojejunal, pencegahan
tukak lambung, prinsip support gagal hepar, pencegahan translokasi mikrogramba, penatalaksanaan
cedera kepala tertutup, penatalaksanaan peningkatan tekanan intrakranial, penatalaksanaan cedera spinal,
pencegahan pressure sores, surveillance mikrogrambiologi dan pemakaian antibiotik yang benar. Peserta
didik harus melakukan pemantauan dan memiliki pengetahuan mengenai indikasi dan indikasi kontra
penggunaan alat monitor, interpretasi informasi dari alat monitor, identifikasi penyebab error alat, prinsip
monitor minimal, komplikasi akibat alat monitor, pengukuran suhu, penilaian nyeri dan sedasi, penilaian
sistem skoring keparahan penyakit, Glasgow Coma Scale pemantauan kadar obat. Penggunaan alat
secara aman seperti alat untuk jalan nafas, jalan nafas, LMA, ETT, terapi oksigen, bag, humidifikasi,
nebulizer, ventilator invasif dan non-invasif dan asesorisnya, alat monitor dan asesorisnya, pembersihan
dan sterilisasi alat, keamanan kelistrikan, alat resusitasi, defibrilator dan alat transfusi, alat hemofiltrasi,
bronkoskopi dan ECHO. Pemahaman kondisi medis dan penatalaksanaan pasien kritis yang harus
dikuasai adalah gagal nafas oksigenasi, gagal nafas ventilasi, ALI, ARDS, obstruksi jalan nafas,
Nosocomial pneumonia, Ventilator- associated pneumonia, Aspirasion pneumonia, asma, PPOK, edema
paru kardiogenik, efusi pleura, pneumotoraks (simple, tension), syok hipovolemik, syok kardiogenik,
hipotensi, hipertensi, infark miokard akut, gagal jantung kiri, gagal jantung kanan, hipertensi pulmonal,
gangguan irama jantung, henti jantung, oliguria, anuria, poliuria, gagal ginjal akut, urosepsis, confusion
dan koma, traumatic brain injury, spontaneous intrakranial hemorrhage, subarahnoid hemorrhage,
hypoxic brain damage, miastenia gravis konvulsion, status epilepticus, meningitis, ensefalitis, mati
batang otak, neuromuskular (Guillain-Barre, tetanus, malignant hyperpyrexia), cedera spinal , gangguan
koagulasi, pasien immunocompromised, DIC, gangguan elektrolit, Na, K, gangguan elektrolit Ca, Mg,
kegawatan pada diabetes melitus, disfungsi tiroid, keracunan akut, preeklamsia, eklamsia, sindroma
HELLP, perdarahan peripartum, gangguan jantung pada kehamilan, SIRS, sepsis, severe sepsis, syok
septik, pireksia dan hipotermia. Peserta didik dapat melakukan transportasi pasien kritis berdasarkan
prinsip transfer pasien kritis dengan aman dan mengerti pemantauan saat transportasi. Sasaran terakhir
732
adalah pengetahuan tentang asuhan akhir kehidupan yang meliputi prinsip etika dasar, penundaan dan
penarikan terapi bantuan hidup, pengambilan keputusan dan penilaian kualitas hidup.
Pada pasien yang sudah tidak punya harapan hidup lagi, dapat dilakukan penundaan dan penarikan terapi
bantuan hidup karena pemberian terapi sudah sampai pada kesia-siaan medis (medical futility).
Penerusan terapi tidak akan memberi manfaat, bahkan merugikan pasien sehingga bertentangan dengan 4
prinsip dasar etika kedokteran yaitu: 1) beneficence, 2) non-maleficence, 3) autonomy dan 4) justice.
Menunda terapi bantuan hidup diartikan sebagai tidak pernah memberikan terapi yang dipertanyakan.
Sebagai contoh: pasien dengan gagal ginjal ireversibel yang memerlukan dialisis untuk melanjutkan
kehidupannya. Dokter yang memilih menunda terapi bantuan hidup tidak akan memulai dialisis untuk
pasien yang agaknya tidak akan mendapat manfaat darinya. Dalam skenario ini, mereka meyakini bahwa
gagal ginjal akan mengakibatkan kematian.
Menarik terapi bantuan hidup berarti menghentikan terapi yang sudah terlanjur diberikan.
Pendukungnya mungkin merasa lebih nyaman dengan menarik kembali terapi/bantuan hidup
daripada hanya menunda terapi baru, karena terapi tersebut telah terbukti tidak bermanfaat bagi
pasien. Mereka meyakini penarikan kembali terapi mengakibatkan penyakit utama dapat
mengalahkan pasien.
Mungkin pula dapat dibenarkan untuk menghentikan ventilasi paru buatan. Jelasnya, mematikan mesin
ventilator sewaktu pasien masih hidup tidaklah selalu salah secara moral. Jika kondisi pasien tak ada
harapan lagi, maka pemakaian mesin ventilator menjadi sia-sia. Tentu saja, sangat berat untuk mengambil
keputusan seperti ini, dan hendaknya keputusan ini dibuat setelah cukup mengadakan konsultasi.
Keputusan dibuat oleh tiga orang dokter yaitu anestetis dan spesialis lain yang terkait dengan penyakit
pasien.
Terapi bantuan hidup (lokakarya DepKes RI, IDSAI, PKGDI, PERDICI , Organisasi Profesi Klinis
lainnya dalam naungan IDI 2005) : rawat di ICU, RJP, pengendalian disritmia, intubasi trakeal, ventilasi
mekanis, vasoaktif kuat, nutrisi parenteral total, organ artifisial, transplantasi, transfusi darah, monitor
invasif, antibiotika, pipa enteral (untuk makan), infusi cairan dasar (NS, D5W, D5R dsb)
1. Jika tidak: ICU akan penuh dengan pasien tanpa harapan dengan terapi yang mahal dan juga
melanggar 4 prinsip dasar etis berikut ini:
a. Beneficence: keharusan untuk berbuat baik pada pasien. Apa manfaat meneruskan terapi yang
tidak efektif dan sia-sia tersebut, yang malah merugikan pasien dengan beaya besar ?
c. Autonomy: menghormati keputusan pasien untuk menentukan nasibnya. Andaikata pasien dapat
menjawab atas pertanyaan berikut ini: Maukah tetap diberi bantuan artifisial bila tidak ada
733
harapan lagi? Apakah mau jadi sayuran yang menjadi beban keluarga? Rasanya jawabannya
akan tidak.
d. Justice: kita harus adil dalam pembagian alokasi sumber dana kesehatan. Dengan meneruskan
terapi yang tidak efektif berarti memblok tempat tidur ICU sehingga pasien lain tidak bisa masuk.
Beaya untuk pasien yang tidak ada harapan tersebut lebih baik untuk kepentingan lain yang
bermanfaat.
2. Jika tidak: selalu timbul keraguan dalam bertindak ketika waktu menjadi penting. Misalnya
sewaktu menghadapi pasien dengan gagal nafas akut timbul keraguan untuk melakukan intubasi
dan ventilasi mekanis karena tidak yakin tentang riwayat pasien dan ingin memastikan tidak akan
memulai terapi yang mungkin sia-sia, tapi yang kemudian tidak ada pilihan untuk with-drawing.
Padahal bila pasien tersebut sebenarnya akan mendapat manfaat dari intubasi dan ventilasi
mekanis, namun karena ada waktu yang hilang akibat keraguan, maka angka kelangsungan hidup
pasien menjadi berkurang sebagai akibat hipoksia yang lebih lama.
3. Jika tidak: melanggar kode etik spesialis anestesiologi Indonesia dan Fatwa IDI.
Selama menjalankan tugasnya peserta didik harus dapat bekerja sama, berkomunikasi dan menciptakan
lingkungan kerja yang baik dengan sesama peserta didik, perawat, paramedis dan konsulen di kamar
operasi maupun di ICU.
12. REFERENSI
1. Morgan GE, Mikhhail MS, Murray MJ, Larson CP. Clinical Anaesthesiology, 3th ed, New
York: Lange Medical Books/McGraw-Hill; 2002
2. Clinical Anesthesia PG Barash 4th ed 2006
3. Millers Anesthesia RD Miller 6th ed 2005
4. Martini FH. Fundamental of Anatomy & Physiology. 7th ed. 2006
5. Fink MP et al. Textbook of Critical Care, 5th ed, Philadelphia : Elsevier Saunders ; 2005
6. Oh TE. Intensive Care Manual, 5th ed, London : Elsevier Science ; 2005
7. Critical Care Handbook of the Massachusetts General Hospital, 4th ed, Philadelphia :
Lipincott William & Wilkins ; 2006
734