Anda di halaman 1dari 11

SANKSI PIDANA DALAM HUKUM ADMINISTRASI NEGARA DAN

PIDANA PENJARA PENDEK

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas


Mata Kuliah Kapita Selekta Hukum Pidana

Disusun Oleh :
Maya Novia Pramesthi
E0013271

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2015
SANKSI PIDANA DALAM HUKUM ADMINISTRASI

1. Pengertian
A. Pengertian Hukum Administrasi
Kusumadi Pudjosewojo
Pengertian Hukum Administrasi Negara menurut adalah keseluruhan
aturan hukum yang menentukan cara bagaimana negara sebagai penguasa
itu menjalankan usaha-usaha untuk memenuhi tugas-tugasnya, atau
bagaimana cara penguasa itu seharusnya bertingkah laku dalam
mengusahakan tugas-tugasnya.
Oppen Hein
Hukum Administrasi Negara adalah sebagai suatu gabungan ketentuan-
ketentuan yang mengikat badan-badan yang tinggi maupun rendah apabila
badan-badan itu menggunakan wewenagnya yang telah diberikan
kepadanya oleh Hukum Tata Negara.
Jadi dari pengertian hukum administrasi negara di atas kemudian dapat
disimpulkan bahwa, Hukum Administrasi Negara adalah Peraturan hukum
mengenai administrasi dalam suatu negara, dimana hubungan antar warga
negara dan pemerintahannya dapat berjalan dengan baik dan aman.
W.G Vegting mengatakan bahwa Hukum Administrasi Negara dan Hukum
Tata Negara mempelajari satu bidang peraturan yang sama, namun cara
pendekatan yang digunakan berbeda. Ilmu hukum tata negara bertujuan
mengetahui tentang organisasi negara dan pengorganisasian alat-alat
perlengkapan suatu negara, sedangkan ilmu hukum administrasi negara
bertujuan mengetahui tentang cara tingkah laku negara dan alat-alat
perlengkapan negara.1

1 Titik Triwulan Tutik, 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Prestasi Pustakaraya
Untuk pengertian Hukum Pidana Administrasi, dalam Blacks Law
Dictionary, kata administrative crime sebagai padanan kata tindak pidana
administrasi diartikan: An offense consisting of a violation of an
administrative rule or regulation that carries with a criminal sanction.2
Menurut Barda Nawawi Arif, hukum pidana administrasi merupakan hukum
pidana di bidang pelanggaran-pelanggaran administrasi.3 Pada hakikatnya,
hukum pidana administrasi merupakan perwujudan dari kebijakan
menggunakan hukum pidana sebagai sarana untuk menegakkan/melaksanakan
hukum administrasi. Jadi merupakan
fungsionalisasi/operasionalisasi/instrumentalisasi hukum pidana di bidang
hukum administrasi.
Pendefinisian tindak pidana administrasi sebagai pendayagunaan hukum
pidana untuk menegakkan hukum administrasi membawa hukum pidana hanya
dapat diterapkan pada suatu peristiwa tertentu tergantung apakah peristiwa
tersebut tergolong perbuatan melawan hukum dalam hukum administrasi atau
tidak.

2. Kebijakan Hukum Pidana Administrasi dalam Perundang-Undangan


Indonesia
Berdasarkan uraian diatas terlihat bahwa masalah penggunaan hukum/sanksi
pidana dalam hukum administrasi pada hakikatnya termasuk bagian dari
kebijakan hukum pidana. Dari berbagai bab Ketentuan Pidana dalam
kebijakan legislasi yang mengandung aspek hukum administrasi, dapat
diidentifikasikan tidak adanya keseragaman pola kebijakan penal, antara lain:

2 Blacks Law Dictionary, Eight Edition, Editor in Chief Bryan A. Garner, West Publishing,
United State of America, 2004, hlm 399

3 Barda Nawawie Arief. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti
a. Ada yang menganut double track system atau pemberian sanksi pidana pokok
dan tambahan, ada pula yang hanya single track system yang hanya memberi
sanksi pidana saja, bahkan ada pula yang semu yakni menyebut sebagai
sanksi pidana tetapi jika ditelaah ternyata terkesan seperti sanksi administrasi.
1) Yang menganut double track system antara lain:
a) Undang-Undang No 7/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi
Pidana : Pasal 6 (pokok) dan Pasal 7 (tambahan)
Tindakan Tata Tertib : Pasal 8
b) Undang-Undang No 5/1984 tentang Perindustrian
Pidana tambahan berupa pencabutan izin industri Pasal 24 dan Pasal
26. Sanksi ini bersifat tindakan administratif.
2) Yang menganut single track system antara lain:
a) Undang-Undang No 23/1992 tentang Kesehatan. Pasal 80-84
b) Undang-Undang No 15/1992 tentang Penerbangan, Pasal 54-72
b. Dalam pemberian sanksi pidana ada yang hanya memberi sanksi pidana pokok
saja, akan tetapi ada pula yang memberi sanksi pidana pokok dan pidana
tambahan.
1) Yang hanya memberi sanksi pidana pokok ialah:
a) Undang-Undang No 3/1972 tentang Pokok Transmigrasi, Pasal 16-21
b) Undang-Undang No 9/1992 tentang Keimigrasian, Pasal 48-61
2) Yang memberi sanksi pidana pokok dan tambahan ialah:
a) Undang-Undang No 15/1985 tentang Ketenagalistrikan
b) Undang-Undang No 31/1972 tentang Pokok Tenaga Atom, Pasal 23-24
c. Dalam menggunakan pidana pokok, ada yang hanya menggunakan pidana
denda, ada yang menggunakan pidana penjara kurungan dan denda, bahkan ada
yang diancam dengan pidana mati atau penjara seumur hidup. Contohnya
adalah Undang-Undang No 31/1972 tentang Pokok Tenaga Atom
d. Perumusan sanksi pidananya bervariasi.
1) Kumulasi sanksi pidana seperti yang ada dalam UU No 22/1997 tentang
Psikotropika, seperti mengakumulasikan pidana mati/penjara seumur hidup
dengan pidana denda.
e. Ada yang menggunakan pidana minimal (khusus), ada yang tidak.
1) Pada UU Perbankan No 7/1992 tidak memuat ancaman pidana minimal,
tetapi pada UU 10/1998 ada sanksi minimalnya.
2) Pada UU No 5/1999 tentang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak
Sehat, ada sanksi pidana minimum berupa sanksi denda, akan tetapi tidak
ada pedoman penerapannya.
f. Ada sanksi administratif yang berdiri sendiri, tetapi ada juga yang
dioperasionalisasi dan diintegrasikan ke dalam sistem pemidanaan.
1) Undang-Undang No 8/1992 tentang Pasar Modal , ada sanksi berupa
tindakan yang disebut sanksi administratif (Pasal 102) tetapi tidak
diintegrasikan dalam sistem pertanggungjawaban pidana karena hanya dapat
dijatuhkan oleh Bapepam.
g. Perbedaan dalam hal penggunaan istilah sanksi administratif dan tindakan
administratif
1) Yang memakai istilah sanksi administratif antara lain:
Undang-Undang No 3/1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Pasal
30
Undang-Undang No 101998 tentang Perbankan, Pasal 52-53
2) Yang memakai istilah tindakan administratif antara lain:
Undang-Undang No 5/1999 tentang Anti Monopoli dan Persaingan Usaha
Tidak Sehat, Pasal 47
h. Dalam hal sanksi administratif dioperasionalisasikan melalui sistem pidana, ada
yang menyebutnya sebagai pidana tambahan dan ada yang menyebutnya
sebagai tindakan tata tertib atau sanksi administratif, misalnya UU No
23/1997 tentang Lingkungan Hidup.
i. Ada yang mencantumkan korporasi sebagai subjek tindak pidana, ada juga
yang tidak mencantumkan pertanggungjawaban pidananya.
1) Yang mengatur pertanggungjawaban pidana korporasi antara lain:
Undang-Undang No 10/1998 tentang Perbankan, Pasal 46
Undang-Undang No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup
2) Yang tidak mengatur pertanggungjawaban pidana korporasi antara lain:
Undang-Undang No 16/1985 tentang Rumah Susun
Undang-Undang No 15/1985 tentang Ketenagalistrikan
j. Ada yang menyebutkan kualifikasi deliknya dan ada yang tidak, misalnya UU
31/1964, UU 4/1992 dan UU 8/1999. Bahkan ada UU yang semula
mencantumkan pasal mengenai kualifikasi deliknya, tapi kemudian dalam
perubahan UU pasal itu dihapuskan, misalnya UU 9/1994 menghapus Pasal 42
UU 6/1983.4

4 Op. Cit hlm 12


PIDANA PENJARA PENDEK

Banyak kritik ditujukan terhadap pidana penjara. Secara garis besar, kritik tersebut
terdiri dari kritik yang moderat dan kritik ekstrim. Kritik moderat yaitu pada intinya
masih mempertahankan pidana penjara, tetapi penggunaannya dibatasi. Sedangkan
kritik ekstrem menghendaki hapusnya sama sekali pidana penjara. Gerakan
penghapusan pidana penjara (prison abolition) terlihat dalam International
Conference on Prison Abolition (ICOPA) di Toronto, Kanada Mei 1983, Amsterdam,
Belanda Juni 1985 dan Montreal, Kanada 1987.
Salah satu tokoh gerakan prison abolition, Prof.Herman Bianchi mengatakan
lembaga penjara dan pidana penjara harus dihapuskan untuk selama-lamanya dan
secara menyeluruh. Tidak satu pun (bekas) yang patut diambil dari sisi yang gelap
didalam sejarah kemanusiaan ini. Begitu pula dengan Prof. Hazairin yang
mengemukakan Negara Tanpa Penjara
Pandangan moderat terhadap pidana penjara dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga)
kritik, yaitu:
1. Dari sudut strafmodus, melihat dari sudut pelaksanaan pidana penjara (termasuk
didalamnya sistem pembinaan / treatment dan kelembagaan/institusinya)
2. Dari sudut strafmaat, melihat dari sudut lamanya pidana penjara khususnya ingin
membatasi atau mengurangi penggunaan pidana penjara pendek.
3. Dari sudut strafsoort, ditujukan terhadap penggunaan atau penjatuhan pidana
penjara sebagai jenis pidana yaitu adanya kecenderungan untuk mengurangi atau
membatasi penjatuhan pidana penjara secara limitatif dan selektif.
Terhadap pidana penjara pendek dikemukakan beberapa kritik, antara lain:
1. Rekomendasi Kongres ke-2.PBB mengenai The prevention Of Crime and The
Treatment Of Offenders menyatakan antara lain :
a. Kongres mengakui bahwa dalam banyak hal, pidana penjara pendek mungkin
berbahaya, yaitu di pelanggar dapat terkontaminasi dan sedikit/tidak memberi
kesempatan untuk menjalani pelatihan yang konstruktif, sehingga
penggunaannya secara luas tidak dikehendaki.
b. Kongres menyadari bahwa dalam prakteknya penghapusan menyeluruh pidana
penjara pendek tidaklah mungkin, pemecahan yang realistik hanya dapat
dicapai dengan mengurangi jumlah penggunaannya.
c. Pengurangan berangsur-angsur itu dengan meningkatkan bentuk-bentuk
pengganti / alternatif (pidana pengawasan/probation, denda, pekerjaan diluar
lembaga dan tindakan-tindakan lain yang tidak mengandung perampasan
kemerdekaan)
d. Dalam hal pidana penjara pendek tidak dapat dihindari, pelaksanaannya harus
terpisah/tersendiri dari yang dijatuhi pidana penjara untuk waktu yang lama dan
pembinaanya harus bersifat konstruktif dan dalam lembaga terbuka (open
institution)
2. Menurut Wolff Middendoft
a. Pidana pendek (misal 6 bulan kebawah) tidak mempunyai reputasi yang baik,
tetapi pada umumnya diyakini lebih baik dan tidak dapat dihindari.
b. Kebanyakan dijatuhkan, khususnya pada kasus lalu lintas, untuk kasus drinken
driving.
c. Penggunaan pidana pendek seharusnya dikenakan pada white collar crime,
dimana sering pidana denda tidak mempunyai pengaruh.
d. Dibeberapa negara, seperti Belanda, pidana penjara dilaksanakan dalam
lembaga minimum security dengan keberhasilan yang memadai.
e. Napi pidana penjara pendek harus dipisah dari napi lama. Napi pidana penjara
pendek seharusnya dikirim ke open camp, dimana mereka bisa dipekerjakan
untuk keuntungan kepentingan masyarakat.
3. Menurut Johannes Andenaes
a. Walaupun telah menjadi dogma, pidana penjara pendek merupakan pemecahan
yang buruk karena tidak memberikan kesempatan untuk melakukan pekerjaan
rehabilitasi, tetapi sedikit bukti bahwa pidana penjara lama memberikan hasil
yang lebih baik daripada pidana penjara pendek.
b. Pidana penjara pendek tidak memberikan kemungkinan untuk merehabilitasi si
pelanggar tetapi cukup mencap dia dengan stigma penjara dan membuat /
menetapkan kontak-kontak yang tidak menyenangkan. Ide ini berpengaruh
terhadap hukum Inggris dan Jerman, yang membatasi penerapan pidana penjara
pendek.
4. Menurut SR Brody
a. Lamanya waktu yang dijalani didalam penjara, tampaknya tidak berpengaruh
pada adanya penghukuman kembali (reconviction). Tidak ada bukti bahwa
pidana penjara yang lama, membawa hasil yang lebih baik daripada pidana
penjara pendek
5. Menurut Sir Rupert Cross5
a. Alasan untuk memastikan bahwa pidana penjara pendek sesuai dengan
kebutuhan-kebutuhan untuk mencegah si pelanggar dan membuat/menyebabkan
penghargaan bagi sasaransasaran lain dari penjara.
b. Tidak setuju dengan pernyataan bahwa pidana penjara tidak efektif sebagai
sarana pencegahan / penangkal individu, karena kenyataannya, banyak orang
yang dipidana penjara untuk pertama kali, tidak kembali lagi (75%),
diperkirakan kebanyakan dijatuhi penjara 6 bulan atau kurang, (karena
pengalaman mereka didalam penjara. )
6. Menurut K. Pokleeski Koziell
a. Pidana penjara bukan sama sekali tidak perlu / tidak penting.
b. perlu untuk mengenakan goncangan / kejutan jiwa, yang diperlukan.

5 Sir Rupert Cross. 1971. Punisment, Prison and the Public. pp 98 and101
7. Manuel Lopez-Rey
a. Mengkritik short term imprisonment karena dengan waktu terbatas tersebut,
meniadakan prospek-prospek rehabilitation. Khusus untuk yang dibawah 6
bulan dan dibawah 3 bulan.
8. Menurut Christiansen dan Bernsten
a. Short term incarceration dapat menjadi sanksi efektif, tetapi hanya:
Dalam keadaan-keadaan khusus (under special circumstances)
Untuk tipe-tipe pelanggar tertentu (for certain types of offenders)
Ketika digunakan sebagai langkah awal dalam proses resosialisasi. (when it
is utilized as the first step in the process of resocialization).

Kesimpulan
Hukum administrasi dan hukum pidana administrasi memiliki pengertian yang
jelas berbeda. Hukum pidana administrasi lebih menekankan kepada pemidanaan
administrasi yang ada dalam Undang-Undang. Dalam perundang-undangan di
Indonesia aspek hukum administrasi diatur berbeda-beda berdasarkan masing-masing
Undang-Undang sehingga hal ini dapat diindentifikasikan tidak adanya keseragaman
pola mulasi kebijakan penal.
Mengenai permasalahan terhadap pidana penjara pendek ada yang berpendapat
menyetujuinya adapula yang tidak. Yang menyetujuinya beranggapan bahwa waktu
pemidanaan penjara yang lama belum tentu membuat tersangka jera dalam
melakukan tindak pidana. Adapun yang tidak setuju beranggapan bahwa pidana
penjara pendek tidak menjamin adanya rehabilitasi kepada tersangka.
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Barda Nawawie Arief. 2003. Kapita Selekta Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya
Bakti
Titik Triwulan Tutik, 2006. Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Prestasi Pustakaraya

Jurnal
Blacks Law Dictionary, Eight Edition, Editor in Chief Bryan A. Garner, West
Publishing, United State of America, 2004, hlm 399
Sir Rupert Cross. 1971. Punisment, Prison and the Public. pp 98 and101

Anda mungkin juga menyukai