Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN SIROSIS HATI DI RUANG PDP DAN PDW

RSUD ULIN BANJARMASIN

I. Konsep penyakit
1.1. Definisi
Sirosis hepatis adalah stadium akhir penyakit hati menahun dimana secara
anatomis didapatkan proses fibrosis dengan pembentukan nodul regenerasi
dan nekrosis. Sirosis hepatis adalah penyakit hati menahun yang ditandai
dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai
dengan adanya proses peradangan nekrosis sel hati yang luas, pembentukan
jaringan ikat, dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan
menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur
akibat penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut (Suzanne C. Smeltzer dan
Brenda G. Bare, 2011:1154).

Sirosis hepatis adalah penyakit kronik yang ditandai oleh distorsi susunan hati
normal oleh pita-pita jaringan penyambung dan oleh nodul-nodul sel hati
yang mengalami regenerasi yang tidak berhubungan dengan susunan normal
(Sylvia Anderson, 2009:445).

Sirosis Hepatis (Sirosis Hati) adalah penyakit hati kronis yang tidak diketahui
penyebabnya dengan pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan
stadium terakhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati
(Kuncara, 2002).

1.2. Etiologi
Penyebab Chirrosis Hepatis :
Secara morfologis, penyebab sirosis hepatis tidak dapat dipastikan. Tapi ada
dua penyebab yang dianggap paling sering menyebabkan Chirrosis hepatis
adalah:
1) Hepatitis virus
Hepatitis virus terutama tipe B sering disebut sebagai salah satu penyebab
chirrosis hati, apalagi setelah penemuan Australian Antigen oleh
Blumberg pada tahun 1965 dalam darah penderita dengan penyakit hati
kronis , maka diduga mempunyai peranan yang besar untuk terjadinya
nekrosa sel hati sehingga terjadi chirrosisi. Secara klinik telah dikenal
bahwa hepatitis virus B lebih banyak mempunyai kecenderungan untuk
lebih menetap dan memberi gejala sisa serta menunjukan perjalanan yang
kronis, bila dibandingkan dengan hepatitis virus A

2) Zat hepatotoksik atau Alkoholisme.


Beberapa obat-obatan dan bahan kimia dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan pada sel hati secara akut dan kronis. Kerusakan hati akut akan
berakibat nekrosis atau degenerasi lemak, sedangkan kerusakan kronis
akan berupa sirosis hati. Zat hepatotoksik yang sering disebut-sebut ialah
alcohol. Sirosis hepatis oleh karena alkoholisme sangat jarang, namun
peminum yang bertahun-tahun mungkin dapat mengarah pada kerusakan
parenkim hati.

3) Hemokromatosis
Bentuk chirrosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada dua kemungkinan
timbulnya hemokromatosis, yaitu:
a. Sejak dilahirkan si penderita menghalami kenaikan absorpsi dari Fe.
b. Kemungkinan didapat setelah lahir (acquisita), misalnya dijumpai
pada penderita dengan penyakit hati alkoholik. Bertambahnya
absorpsi dari Fe, kemungkinan menyebabkan timbulnya sirosis hati.

Penyebab lain dari sirosis hepatis, yaitu:


a. Alkohol, suatu penyebab yang paling umum dari sirosis, terutama di
daerah Barat. Perkembangan sirosis tergantung pada jumlah dan
keteraturan mengonsumsi alkohol. Mengonsumsi alkohol pada tingkat-
tingkat yang tinggi dan kronis dapat melukai sel-sel hati. Alkohol
menyebabkan suatu jajaran dari penyakit-penyakit hati, yaitu dari hati
berlemak yang sederhana dan tidak rumit(steatosis), ke hati berlemak
yang lebih serius dengan peradangan(steatohepatitis atau alcoholic
hepatitis), ke sirosis.
b. Sirosis kriptogenik, disebabkan oleh (penyebab-penyebab yang tidak
teridentifikasi, misalnya untuk pencangkokan hati). Sirosis kriptogenik
dapat menyebabkan kerusakan hati yang progresif dan menjurus pada
sirosis, dan dapat pula menjurus pada kanker hati.
c. Kelainan-kelainan genetik yang diturunkan/diwariskan berakibat pada
akumulasi unsur-unsur beracun dalam hati yang menjurus pada kerusakan
jaringan dan sirosis. Contohnya akumulasi besi yang
abnormal (hemochromatosis) atau tembaga (penyakit Wilson). Pada
hemochromatosis, pasien mewarisi suatu kecenderungan untuk menyerap
suatu jumlah besi yang berlebihan dari makanan.
d. Primary Biliary Cirrhosis (PBC) adalah suatu penyakit hati yang
disebabkan oleh suatu kelainan dari sistem imun yang ditemukan pada
sebagian besar wanita. Kelainan imunitas pada PBC menyebabkan
peradangan dan kerusakan yang kronis dari pembuluh-pembuluh kecil
empedu dalam hati. Pembuluh-pembuluh empedu adalah jalan-jalan
dalam hati yang dilalui empedu menuju ke usus. Empedu adalah suatu
cairan yang dihasilkan oleh hati yang mengandung unsur-unsur yang
diperlukan untuk pencernaan dan penyerapan lemak dalam usus serta
produk-produk sisa, seperti pigmen bilirubin (bilirubin dihasilkan dengan
mengurai/memecah hemoglobin dari sel-sel darah merah yang tua).
e. Primary Sclerosing Cholangitis (PSC) adalah suatu penyakit yang tidak
umum yang seringkali ditemukan pada pasien dengan radang usus besar.
Pada PSC, pembuluh-pembuluh empedu yang besar diluar hati menjadi
meradang, menyempit, dan terhalangi. Rintangan pada aliran empedu
menjurus pada infeksi-infeksi pembuluh-pembuluh empedu dan jaundice
(kulit yang menguning) dan akhirnya menyebabkan sirosis.
f. Hepatitis Autoimun adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh suatu
kelainan sistem imun yang ditemukan lebih umum pada wanita. Aktivitas
imun yang abnormal pada hepatitis autoimun menyebabkan peradangan
dan penghancuran sel-sel hati(hepatocytes) yang progresif dan akhirnya
menjurus pada sirosis.
g. Bayi-bayi dapat dilahirkan tanpa pembuluh-pembuluh empedu (biliary
atresia) kekurangan enzim-enzim vital untuk mengontrol gula-gula yang
menjurus pada akumulasi gula-gula dan sirosis. Pada kejadian-kejadian
yang jarang, ketidakhadiran dari suatu enzim spesifik dapat menyebabkan
sirosis dan luka parut pada paru (kekurangan alpha 1 antitrypsin).
h. Penyebab-penyebab sirosis yang lebih tidak umum termasuk reaksi-reaksi
yang tidak umum pada beberapa obat-obatan dan paparan yang lama pada
racun-racun, dan juga gagal jantung kronis (cardiac cirrhosis). Pada
bagian-bagian tertentu dari dunia (terutama Afrika bagian utara), infeksi
hati dengan suatu parasit(schistosomiasis) adalah penyebab yang paling
umum dari penyakit hati dan sirosis (Kelompok Diskusi Medikal Bedah
Universitas Indonesia, tt).

1.3. Tanda dan gejala


a. Pembesaran Hati ( hepatomegali ):
Pada awal perjalanan sirosis, hati cenderung membesar dan sel-selnya
dipenuhi oleh lemak. Hati tersebut menjadi keras dan memiliki tepi tajam
yang dapat diketahui melalui palpasi. Nyeri abdomen dapat terjadi
sebagai akibat dari pembesaran hati yang cepat sehingga mengakibatkan
regangan pada selubung fibrosa hati (kaosukalisoni). Pada perjalanan
penyakit yang lebih lanjut, ukuran hati akan berkurang setelah jaringan
parut sehingga menyebabkan pengerutan jaringan hati.
b. Obstruksi Portal dan Asites:
Manifestasi lanjut sebagian disebabkan oleh kegagalan fungsi hati yang
kronis dan sebagian lagi oleh obstruksi sirkulasi portal. Semua darah dari
organ-organ digestif akan berkumpul dalam vena portal dan dibawa ke
hati. Cairan yang kaya protein dan menumpuk di rongga peritoneal akan
menyebabkan asites. Hal ini ditujukan melalui perfusi akan adanya
shifting dullness atau gelombang cairan. Jarring-jaring telangiektasis atau
dilatasi arteri superfisial menyebabkan jarring berwarna biru kemerahan,
yang sering dapat dilihat melalui inspeksi terhadap wajah dan seluruh
tubuh.
c. Varises Gastroinstestinal:
Obstruksi aliran darah lewat hati yang terjadi akibat perubahan fibrotik
yang mengakibatkan pembentukan pembuluh darah kolateral dalam
sistem gastrolintestinal dan pemintasan (shunting) darah dari pembuluh
portal ke dalam pembulu darah dengan tekanan yang lebih rendah.
d. Edema:
Gejala lanjut lainnya pada sirosis hepatis ditimbulkan oleh gagal hati yang
kronis. Konsentrasi albumin plasma menurun sehingga menjadi
predisposisi untuk terjadinya edema. Produksi aldosteron yang berlebihan
akan menyebabkan retensi natrium serta air dan ekskresi kalium.

e. Defisiensi Vitamin dan Anemia:


Kerena pembentukan, penggunaan, dan penyimpanan vitamin tertentu
yang tidak memadai (terutama vitamin A, C, dan K), maka tanda-tanda
defisiensi vitamin tersebut sering dijumpai khususnya sebagai fenomena
hemoragi yang berkaitan dengan defisiensi vitamin K. Gastritis kronis dan
gangguan fungsi gastrointestinal bersama-sama asupan diet yang tidak
adekuat dan gangguan fungsi hati akan menimbulkan anemia yang sering
menyertai sirosis hepatis. Gejala anemia dan status nutrisi serta kesehatan
pasien yang buruk akan mengakibatkan kelelahan hebat yang
mengganggu kemampuan untuk melakukan aktivitas rutin sehari-hari.
f. Kemunduran mental:
Manifestasi klinik lainnya adalah kemunduran fungsi mental dengan
ensefalopati. Karena itu, pemeriksaan neurologi perlu dilakukan pada
sirosis hepatis yang mencakup perilaku umum pasien, kemampuan
kognitif, orientasi terhadap waktu serta tempat, dan pola bicara.
Manifestasi lainnya pada sirosis hepatis, yaitu:
a) Mual-mual dan nafsu makan menurun
b) Cepat lelah
c) Kelemahan otot
d) Penurunan berat badan
e) Air kencing berwarna gelap
f) Kadang-kadang hati teraba keras
g) Ikterus, spider navi, erytema Palmaris
h) Hematemesis, melena

1.4. Patofisiologi
Hati dapat terlukai oleh berbagai macam sebab dan kejadian. Kejadian
tersebut dapat terjadi dalam waktu yang singkat atau dalam keadan yang
kronis atau perlukaan hati yang terus menerus yang terjadi pada peminum
alkohol aktif. Hal ini kemudian membuat hati merespon kerusakan sel
tersebut dengan membentuk ekstraselular matriks yang mengandung kolagen,
glikoprotein, dan proteoglikans, dimana sel yang berperan dalam proses
pembentukan ini adalah sel stellata. Pada cedera yang akut sel stellata
membentuk kembali ekstraselular matriks ini dimana akan memicu timbulnya
jaringan parut disertai terbentuknya septa fibrosa difus dan nodul sel hati
sehingga ditemukan pembengkakan pada hati (Sujono, 2002).

Peningkatan deposisi kolagen pada perisinusoidal dan berkurangnya ukuran


dari fenestra endotel hepatic menyebabkan kapilerisasi (ukuran pori seperti
endotel kapiler) dari sinusoid. Sel stellata dalam memproduksi kolagen
mengalami kontraksi yang cukup besar untuk menekan daerah perisinusoidal.
Adanya kapilarisasi dan kontraktilitas sel stellata inilah yang menyebabkan
penekanan pada banyak vena di hati sehingga mengganggu proses aliran
darah ke sel hati dan pada akhirnya sel hati mati. Kematian hepatocytes dalam
jumlah yang besar akan menyebabkan banyaknya fungsi hati yang rusak
sehingga menyebabkan banyak gejala klinis. Kompresi dari vena pada hati
akan menyebabkan hipertensi portal yang merupakan keadaan utama
penyebab terjadinya manifestasi klinis (Sujono, 2002).

Mekanisme primer penyebab hipertensi portal adalah peningkatan resistensi


terhadap aliran darah melalui hati. Selain itu, biasanya terjadi peningkatan
aliran arteria splangnikus. Kombinasi kedua factor ini yaitu menurunnya
aliran keluar melalui vena hepatica dan meningkatnya aliran masuk bersama-
sama yang menghasilkan beban berlebihan pada system portal. Pembebasan
system portal ini merangsang timbulnya aliran kolateral guna menghindari
obstruksi hepatic (variseses) (Sujono, 2002).

Hipertensi portal ini mengakibatkan penurunan volume intravascular


sehingga perfusi ginjal pun mneurun. Hal ini meningkatkan aktivitas plasma
rennin sehingga aldosteron juga meningkat. Aldosteron berperan dalam
mengatur keseimbangan elektrolit terutama natrium. Dengan peningkatan
aldosteron maka terjadi retensi natrium yang pada akhirnya menyebabkan
retensi cairan lama-lama menyebabkan asites dan juga edema (Sujono, 2002).

Penjelasan diatas menunjukkan bahwa sirosis hepatis merupakan penyakit


hati menahun yang ditandai dengan pembentukan jaringan ikat disertai nodul
dimana terjadi pembengkakan hati. Patofisiologi sirosis hepatis sendiri
dimulai dengan proses peradangan, lalu nekrosis hati yang meluas yang
akhirnya menyebabkan pembentukan jaringan ikat yang disertai nodul
(Sujono, 2002).
1.5. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan Laboratorium
a) Urine
Dalam urine terdapat urobilnogen juga terdapat bilirubin bila
penderita ada ikterus. Pada penderita dengan asites , maka ekskresi Na
dalam urine berkurang ( urine kurang dari 4 meq/l) menunjukkan
kemungkinan telah terjadi syndrome hepatorenal.
b) Tinja
Terdapat kenaikan kadar sterkobilinogen. Pada penderita dengan
ikterus, ekskresi pigmen empedu rendah. Sterkobilinogen yang tidak
terserap oleh darah, di dalam usus akan diubah menjadi sterkobilin
yaitu suatu pigmen yang menyebabkan tinja berwarna cokelat atau
kehitaman.
c) Darah
Biasanya dijumpai normostik normokronik anemia yang ringan,
kadang kadang dalam bentuk makrositer yang disebabkan
kekurangan asam folik dan vitamin B12 atau karena splenomegali.
Bilamana penderita pernah mengalami perdarahan gastrointestinal
maka baru akan terjadi hipokromik anemi. Juga dijumpai likopeni
bersamaan dengan adanya trombositopeni.
d) Tes Faal Hati
Penderita sirosis banyak mengalami gangguan tes faal hati, lebih lagi
penderita yang sudah disertai tanda-tanda hipertensi portal. Pada
sirosis globulin menaik, sedangkan albumin menurun. Pada orang
normal tiap hari akan diproduksi 10-16 gr albumin, pada orang
dengan sirosis hanya dapat disintesa antara 3,5-5,9 gr per hari.9 Kadar
normal albumin dalam darah 3,5-5,0 g/dL38. Jumlah albumin dan
globulin yang masing-masing diukur melalui proses yang disebut
elektroforesis protein serum. Perbandingan normal albumin : globulin
adalah 2:1 atau lebih. 39 Selain itu, kadar asam empedu juga termasuk
salah satu tes faal hati yang peka untuk mendeteksi kelainan hati
secara dini.

2) Sarana Penunjang Diagnostik


a) Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang sering dimanfaatkan ialah,: pemeriksaan
fototoraks, splenoportografi, Percutaneus Transhepatic Porthography
(PTP)
b) Ultrasonografi
Ultrasonografi (USG) banyak dimanfaatkan untuk mendeteksi
kelaianan di hati, termasuk sirosi hati. Gambaran USG tergantung
pada tingkat berat ringannya penyakit. Pada tingkat permulaan sirosis
akan tampak hati membesar, permulaan irregular, tepi hati tumpul, .
Pada fase lanjut terlihat perubahan gambar USG, yaitu tampak
penebalan permukaan hati yang irregular. Sebagian hati tampak
membesar dan sebagian lagi dalam batas nomal.
c) Peritoneoskopi (laparoskopi)
Secara laparoskopi akan tampak jelas kelainan hati. Pada sirosis hati
akan jelas kelihatan permukaan yang berbenjol-benjol berbentuk
nodul yang besar atau kecil dan terdapatnya gambaran fibrosis hati,
tepi biasanya tumpul. Seringkali didapatkan pembesaran limpa.

1.6. Komplikasi
Komplikasi chirrosis hati yang dapat terjadi antara lain:
a) Perdarahan
Penyebab perdarahan saluran cerna yang paling sering dan berbahaya
pada chirrosis hati adalah perdarahan akibat pecahnya varises esofagus.
Sifat perdarahan yang ditimbulkan ialah muntah darah atau hematemesis,
biasanya mendadak tanpa didahului rasa nyeri. Darah yang keluar
berwarna kehitam-hitaman dan tidak akan membeku karena sudah
bercampur dengan asam lambung. Penyebab lain adalah tukak lambung
dan tukak duodeni.
b) Koma hepatikum
Timbulnya koma hepatikum akibat dari faal hati yang sudah sangat rusak,
sehingga hati tidak dapat melakukan fungsinya sama sekali. Koma
hepatikum mempunyai gejala karakteristik yaitu hilangnya kesadaran
penderita. Koma hepatikum dibagi menjadi dua, yaitu: Pertama koma
hepatikum primer, yaitu disebabkan oleh nekrosis hati yang meluas dan
fungsi vital terganggu seluruhnya, maka metabolism tidak dapat berjalan
dengan sempurna. Kedua koma hepatikum sekunder, yaitu koma
hepatikum yang timbul bukan karena kerusakan hati secara langsung,
tetapi oleh sebab lain, antara lain karena perdarahan, akibat terapi
terhadap asites, karena obat-obatan dan pengaruh substansia nitrogen.
c) Ulkus Peptikum
Timbulnya ulkus peptikum pada penderita Sirosis Hepatis lebih besar bila
dibandingkan dengan penderita normal. Beberapa kemungkinan
disebutkan diantaranya ialah timbulnya hiperemi pada mukosa gaster dan
duodenum, resistensi yang menurun pada mukosa, dan kemungkinan lain
ialah timbulnya defisiensi makanan
d) Karsinoma Hepatoselular
Kemungkinan timbulnya karsinoma pada Sirosis Hepatis terutama pada
bentuk postnekrotik ialah karena adanya hiperplasi noduler yang akan
berubah menjadi adenomata multiple kemudian berubah menjadi
karsinoma yang multiple
e) Infeksi
Setiap penurunan kondisi badan akan mudah kena infeksi, termasuk juga
penderita sirosis, kondisi badannya menurun. Infeksi yang sering timbul
pada penderita sirosis, diantaranya adalah : peritonitis,
bronchopneumonia, pneumonia, tbc paru-paru, glomeluronefritis kronik,
pielonefritis, sistitis, perikarditis, endokarditis, erysipelas maupun
septikemi.

1.7. Penatalaksanaan
a) Istirahat di tempat tidur sampai terdapat perbaikan ikterus, asites, dan
demam.
b) Diet rendah protein (diet hati III protein 1gr/kg BB, 55 gr protein, 2.000
kalori). Bila ada asites diberikan diet rendah garam II (600-800 mg) atau
III (1.000-2000 mg). Bila proses tidak aktif diperlukan diet tinggi kalori
(2.000-3000 kalori) dan tinggi protein (80-125 gr/hari). Bila ada tanda-
tanda prekoma atau koma hepatikum, jumlah protein dalam makanan
dihentikan (diet hati II) untuk kemudian diberikan kembali sedikit demi
sedikit sesuai toleransi dan kebutuhan tubuh. Pemberian protein yang
melebihi kemampuan pasien atau meningginya hasil metabolisme protein,
dalam darah viseral dapat mengakibatkan timbulnya koma hepatikum.
Diet yang baik dengan protein yang cukup perlu diperhatikan.
c) Mengatasi infeksi dengan antibiotik diusahakan memakai obat-obatan
yang jelas tidak hepatotoksik.
d) Mempebaiki keadaan gizi bila perlu dengan pemberian asam amino
esensial berantai cabang dengan glukosa.
e) Roboransia. Vitamin B compleks. Dilarang makan dan minum bahan yang
mengandung alkohol.

Penatalaksanaan asitesis dan edema adalah :


a) Istirahat dan diet rendah garam. Dengan istirahat dan diet rendah garam
(200-500 mg perhari), kadang-kadang asitesis dan edema telah dapat
diatasi. Adakalanya harus dibantu dengan membatasi jumlah pemasukan
cairan selama 24 jam, hanya sampai 1 liter atau kurang.
b) Bila dengan istirahat dan diet tidak dapat diatasi, diberikan pengobatan
diuretik berupa spironolakton 50-100 mg/hari (awal) dan dapat
ditingkatkan sampai 300 mg/hari bila setelah 3 4 hari tidak terdapat
perubahan.
c) Bila terjadi asites refrakter (asites yang tidak dapat dikendalikan dengan
terapi medikamentosa yang intensif), dilakukan terapi parasentesis.
Walupun merupakan cara pengobatan asites yang tergolong kuno dan
sempat ditinggalkan karena berbagai komplikasinya, parasentesis banyak
kembali dicoba untuk digunakan. Pada umunya parasentesis aman apabila
disertai dengan infus albumin sebanyak 6 8 gr untuk setiap liter cairan
asites. Selain albumin dapat pula digunakan dekstran 70 % Walaupun
demikian untuk mencegah pembentukan asites setelah parasentesis,
pengaturan diet rendah garam dan diuretik biasanya tetap diperlukan.
d) Pengendalian cairan asites. Diharapkan terjadi penurunan berat badan 1
kg/hari. Hati-hati bila cairan terlalu banyak dikeluarkan dalam suatu saat,
dapat mencetuskan ensefalopati hepatic
II. Rencana asuhan keperawatan
2.1 Pengkajian
2.1.1 Riwayat keperawatan
1) Identitas Klien
Riwayat Sakit dan Kesehatan
a. Riwayat Kesehatan Sekarang
Mengapa pasien masuk Rumah Sakit dan apa keluahan utama
pasien, sehingga dapat ditegakkan prioritas masalah keperawatan
yang dapat muncul.
b. Riwayat Kesehatan Sebelumnya:
Apakah pasien pernah dirawat dengan penyakit yang sama atau
penyakit lain yang berhubungan dengan penyakit hati, sehingga
menyebabkan penyakit Sirosis hepatis. Apakah pernah sebagai
pengguna alkohol dalam jangka waktu yang lama disamping
asupan makanan dan perubahan dalam status jasmani serta rohani
pasien. Selain itu apakah pasien memiliki penyakit hepatitis,
obstruksi empedu, atau bahkan pernah mengalami gagal jantung
kanan.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga:
Adakah penyakit-penyakit yang dalam keluarga sehingga
membawa dampak berat pada keadaan atau yang
menyebabkan Sirosis hepatis, seperti keadaan sakit DM,
hipertensi,ginjal yang ada dalam keluarga. Hal ini penting
dilakukan bila ada gejala-gejala yang memang bawaan dari
keluarga pasien.

2.1.2 Pemeriksaan fisik


Tanda tanda vital dan pemeriksaan fisik Kepala kaki, TD, Nadi,
Respirasi, Temperatur yang merupakan tolak ukur dari keadaan umum
pasien / kondisi pasien dan termasuk pemeriksaan dari kepala sampai kaki
dan lebih fokus pada pemeriksaan organ seperti hati, abdomen, limpa
dengan menggunakan prinsip-prinsip inspeksi, auskultasi, palpasi,
perkusi), disamping itu juga penimbangan BB dan pengukuran tinggi
badan dan LLA untuk mengetahui adanya penambahan BB karena retreksi
cairan dalam tubuh disamping juga untuk menentukan tingakat gangguan
nutrisi yang terjadi, sehingga dapat dihitung kebutuhan Nutrisi yang
dibutuhkan.
1) Hati : perkiraan besar hati, bila ditemukan hati membesar tanda
awal adanya cirosis hepatis, tapi bila hati mengecil prognosis kurang
baik, konsistensi biasanya kenyal / firm, pinggir hati tumpul dan ada
nyeri tekan padaperabaan hati.
2) Limpa: ada pembesaran limpa, dapat diukur dengan 2 cara
:-Schuffner, hati membesar ke medial dan ke bawah menuju umbilicus
(S-I-IV) dan dari umbilicus ke SIAS kanan (S V-VIII)-Hacket, bila
limpa membesar ke arah bawah saja.
3) Pada abdomen dan ekstra abdomen dapat diperhatikan adanya vena
kolateral dan acites, manifestasi diluar perut: perhatikan adanya
spinder nevi pada tubuh bagian atas, bahu, leher, dada, pinggang,
caput medussae dan tubuh bagian bawah, perlunya diperhatikan
adanya eritema palmaris, ginekomastiadan atropi testis pada pria, bias
juga ditemukan hemoroid
4) Pemeriksaan Fisik ( ROS : Review of System )
a) B1 (Breathing)
Sesak, keterbatasan ekspansi dada karena hidrotoraks dan asites.
b) B2 (Blood)
Pendarahan, anemia, menstruari menghilang. Obstruksi
pengeluaran empedu mengakibatkan absorpsi lemak menurun,
sehingga absorpsi vitamin K menurun. Akibatnya, factor-faktor
pembekuan darah menurun dan menimbulkan pendarahan.
Produksi pembekuan darah menurun yang mengakibatkan
gangguan pembekuan darah, selanjutnya cenderung mengalami
pendarahan dan mengakibatkan anemia. produksi albumin
menurun mengakibatkan penurunan tekanan osmotic koloid, yang
akhirnya menimbulkan edema dan asites. Gangguan system imun :
sistesis protein secara umum menurun, sehingga menggangu
system imun, akhirnya penyembuhan melambat.
c) B3 (Brain)
Kesadaran dan keadaan umum pasien Perlu dikaji tingkat
kesadaran pasien dari sadar tidak sadar (composmentis coma)
untuk mengetahui berat ringannya prognosis penyakit pasien,
kekacuan fungsi dari hepar salah satunya membawa dampak yang
tidak langsung terhadap penurunan kesadaran, salah satunya
dengan adanya anemia menyebabkan pasokanO2 ke jaringan
kurang termasuk pada otak.
d) B4 (Bladder)
Urine berwarna kuning tua dan berbuih. Bilirubin tak-terkonjugasi
meningkat bilirubin dalam urine dan ikterik serta pruritus
e) B5 (Bowel)
Anoreksia, mual, muntah, nyeri abdomen. Vena-vena
gastrointestinal menyempit, terjadi inflamasi hepar, fungsi
gastrointestinal terganggu. Sintetisb asam lemak dan trigliserida
meningkat yang mengakibatkan hepar berlemak, akhirnya menjadi
hepatomegali : oksidasi asam lemak menurun yang menyebabkan
penurunan produksi tenaga. Akibatnya, berat badan menurun.
f) B6 (Bone)
Keletihan metabolism tubuh meningkat produksi energy kurang.
Glikogenesis meningkat, glikogenolisis dan glikoneogenesis
meningkat yang menyebabkan gangguan metabolisme glukosa.
Akibatnya terjadi penurunan tenaga (Soeparman, 2008).

2.1.3 Pemeriksaan penunjang


1) Pemeriksaan Laboratorium
a) Urine
Dalam urine terdapat urobilnogen juga terdapat bilirubin bila
penderita ada ikterus. Pada penderita dengan asites , maka ekskresi
Na dalam urine berkurang ( urine kurang dari 4 meq/l)
menunjukkan kemungkinan telah terjadi syndrome hepatorenal.
b) Tinja
Terdapat kenaikan kadar sterkobilinogen. Pada penderita dengan
ikterus, ekskresi pigmen empedu rendah. Sterkobilinogen yang
tidak terserap oleh darah, di dalam usus akan diubah menjadi
sterkobilin yaitu suatu pigmen yang menyebabkan tinja berwarna
cokelat atau kehitaman.

c) Darah
Biasanya dijumpai normostik normokronik anemia yang ringan,
kadang kadang dalam bentuk makrositer yang disebabkan
kekurangan asam folik dan vitamin B12 atau karena splenomegali.
Bilamana penderita pernah mengalami perdarahan gastrointestinal
maka baru akan terjadi hipokromik anemi. Juga dijumpai likopeni
bersamaan dengan adanya trombositopeni.
d) Tes Faal Hati
Penderita sirosis banyak mengalami gangguan tes faal hati, lebih
lagi penderita yang sudah disertai tanda-tanda hipertensi portal.
Pada sirosis globulin menaik, sedangkan albumin menurun. Pada
orang normal tiap hari akan diproduksi 10-16 gr albumin, pada
orang dengan sirosis hanya dapat disintesa antara 3,5-5,9 gr per
hari.9 Kadar normal albumin dalam darah 3,5-5,0 g/dL38. Jumlah
albumin dan globulin yang masing-masing diukur melalui proses
yang disebut elektroforesis protein serum. Perbandingan normal
albumin : globulin adalah 2:1 atau lebih. 39 Selain itu, kadar asam
empedu juga termasuk salah satu tes faal hati yang peka untuk
mendeteksi kelainan hati secara dini.
2) Sarana Penunjang Diagnostik
a) Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang sering dimanfaatkan ialah,:
pemeriksaan fototoraks, splenoportografi, Percutaneus
Transhepatic Porthography (PTP).
b) Ultrasonografi
Ultrasonografi (USG) banyak dimanfaatkan untuk mendeteksi
kelaianan di hati, termasuk sirosi hati. Gambaran USG tergantung
pada tingkat berat ringannya penyakit. Pada tingkat permulaan
sirosis akan tampak hati membesar, permulaan irregular, tepi hati
tumpul, . Pada fase lanjut terlihat perubahan gambar USG, yaitu
tampak penebalan permukaan hati yang irregular. Sebagian hati
tampak membesar dan sebagian lagi dalam batas nomal.
c) Peritoneoskopi (laparoskopi)
Secara laparoskopi akan tampak jelas kelainan hati. Pada sirosis
hati akan jelas kelihatan permukaan yang berbenjol-benjol
berbentuk nodul yang besar atau kecil dan terdapatnya gambaran
fibrosis hati, tepi biasanya tumpul. Seringkali didapatkan
pembesaran limpa.

2.2 Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa 1 : Keidakefektifan pola nafas
2.2.1 Definisi
Inspirasi dan/atau ekspirasi yang tidak memberi ventilasi adekuat
(Herdman, 2015)
2.2.2 Batasan karakteristik
Bradipnea
Dispnea
Fase ekspirasi memanjang
Penggunaan otot bantu pernafasan
Pernapasan bibir
Pernapasan cuping hidung
Pola nafas abnormal (misalnya, irama, frekuensi, kedalaman)
2.2.3 Faktor yang berhubungan
Ansietas
Keletihan
Nyeri
Obesitas
Asites
Posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru
Sindrom hipoventilasi

Diagnosa 2: Risiko, kelebihan volume cairan


2.2.4 Definisi
Peningkatan retensi cairan isotonic ( NANDA, NIC NOC, 2012:317)
2.2.5 Batasan karakteristik
Ansietas
Perubahan elektrolit
Asites
Edema
Asupan melebihi haluaran
Perubahan elektrolit
Perubahan tekanan darah
Perubahan pola pernafasan
Penurunan hemoglobin dan hematokrit
2.2.6 Faktor yang berhubungan
Gangguan mekanisme pengaturan
Asupan cairan yang berlebihan
Asupan natrium yang berlebihan
Disfungsi faal ginjal, hati, jantung, retensi natrium
2.3 Perencanaan
N Rencana keperaawatan
Dx kep
o Noc Nic Rasional
1. Pola napas yang tidak Diharapkan dalam waktu 1x24 jam pola 1. Tinggikan bagian kepala tempat tidur. 1. Mengurangi tekanan abdominal pada diafragma dan
2. Hemat tenaga pasien (manajemen energy).
efektif berhubungan nafas efektif dengan memungkinkan pengembangan toraks dan ekspansi paru
3. Ubah posisi dengan interval.
dengan asites dan restriksi Kriteria Hasil: 4. Bantu pasien dalam menjalani parasentesis yang maksimal.
2. Mengurangi kebutuhan metabolik dan oksigen pasien.
pengembangan toraks 1. Mengalami perbaikan status pernapasan. atau torakosentesis.
3. Meningkatkan ekspansi (pengembangan) dan oksigenasi
2. Melaporkan pengurangan gejala sesak a. Berikan dukungan dan pertahankan
akibat aistes, distensi
pada semua bagian paru).
napas. posisi selama menjalani prosedur.
abdomen serta adanya 4. Parasentesis dan torakosentesis (yang dilakukan untuk
3. Melaporkan peningkatan tenaga dan rasa b. Mencatat jumlah dan sifat cairan yang
cairan dalam rongga toraks mengeluarkan cairan dari rongga toraks) merupakan
sehat. diaspirasi serta melakukan observasi
4. Memperlihatkan frekuensi respirasi yang tindakan yang menakutkan bagi pasien. Bantu pasien agar
terhadap bukti terjadinya batuk,
normal (12-18/menit) tanpa terdengarnya bekerja sama dalam menjalani prosedur ini dengan
peningkatan dispnu atau frekuensi
suara pernapasan tambahan. meminimalkan resiko dan gangguan rasa nyaman.
denyut nadi.
5. Memperlihatkan pengembangan toraks a. Menghasilkan catatan tentang cairan yang dikeluarkan
yang penuh tanpa gejala pernapasan dan indikasi keterbatasan pengembangan paru oleh
dangkal. cairan.
6. Memperlihatkan gas darah yang normal. b. Menunjukkan iritasi rongga pleura dan bukti adanya
7. Tidak mengalami gejala konfusi atau
gangguan fungsi respirasi oleh pneumotoraks atau
sianosis.
hemotoraks (penumpukan udara atau darah dalam
rongga pleura).

2. Reikio, kelebihan volume Dalam 3x24 jam diharapkan volume cairan 1. Batasi asupan natrium dan cairan jika 1. Meminimalkan pembentukan asites dan edema.
2. Meningkatkan ekskresi cairan lewat ginjal dan
cairan berhubungan seimbang diinstruksikan.
2. Berikan diuretik, suplemen kalium dan mempertahankan keseimbangan cairan serta elektrolit
dengan asites dan Kriteria Hasil:
protein seperti yang dipreskripsikan. yang normal.
pembentukan edema. 1. Mengikuti diet rendah natrium dan
pembatasan cairan seperti yang 3. Catat asupan dan haluaran cairan. 3. Menilai efektivitas terapi dan kecukupan asupan cairan.
4. Ukur dan catat lingkar perut setiap hari. 4. Memantau perubahan pada pembentukan asites dan
diinstruksikan.
5. Jelaskan rasional pembatasan natrium dan
2. Menggunakan diuretik, suplemen kalium penumpukan cairan.
cairan. 5. Meningkatkan pemahaman dan kerjasama pasien dalam
dan protein sesuai indikasi tanpa
menjalani dan melaksanakan pembatasan cairan
mengalami efek samping.
3. Memperlihatkan peningkatan haluaran
urine.
4. Memperlihatkan pengecilan lingkar perut.
5. Mengidentifikasi rasional pembatasan
natrium dan cairan.
III. Daftar pustaka
Buku saku diagnosis keperawatran Ed. 9, Jakarta : EGC, 2012

Herdman, T. Heathet. Nanda internasional inc. diagnosis keperawatan: definisi &


klasifikasi 2015 2017. Ed, 10,.

Kuncara, H.Y, dkk, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah Brunner &
Suddarth, EGC, Jakarta

Smeltzer, Suzanne C dan Brenda G. Bare. (2011). Keperawatan medikal bedah 2.


(Ed 8). Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran (EGC).

Soeparman. (2008). Ilmu Penyakit Dalam, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

Sujono Hadi. 2002. Lambung. Dalam: Gastroenterologi hepatologi. Edisi 7.


Bandung: Alumni. hal.146-247.

Sylvia A dan Lorraine M. Wilson. (2009). Patofisiologi, konsep klinis proses


penyakit hati.

Banjarmasin, Januari 2017


Ners Muda

Sri Herviati

Preseptor Akademik, Preseptor Klinik,

(.) ()

Anda mungkin juga menyukai