Anda di halaman 1dari 12

Etiologi Diabetes tipe 2

Etiologi dan Patogenesis


Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi
diabetes mellitus bermacam macam. Akan tetapi,
penyakit ini sering dihubungkan dengan faktor genetik
yang autosomal dominan di mana factor lingkungan
memiliki kontribusi pada manifestasinya terutama pada
orang orang dengan predisposisi genetik. Dari
penelitian diketahui bahwa pada kembar monozigot
kejadian DM tipe 2 meningkat hingga 91 % dan tidak
berubah meskipun perbedaan berat badan telah
dihitung. Besarnya resiko terkena DM tipe 2 adalah
sebesar 14 % jika tak satu pun orang tua menderita DM,
25 % jika salah satu orang tua menderita DM dan 45 %
jika kedua orang tua menderita DM (Darmono,2000).
a. Sekresi Insulin
Patogenesis DM tipe 2 dihubungkan dengan
gangguan sekresi insulin. Semua penelitian
menunjukkan bahwa pada fase awal penderita dengan
DM tipe 2 memiliki kadar insulin yang normal atau
meningkat, yang kemudian dihubungkan dengan
terjadinya obesitas meski obesitas tidak selalu terjadi.
Peningkatkan kadar insulin ini menunjukkan bahwa
pada saat itu lebih banyak insulin harus disekresikan
untuk mempertahankan kadar glukosa darah dalam
batas normal. Selanjutnya kadar insulin menjadi
normal, baik dalam proporsi proinsulin maupun
bioaktivitasnya. Meski kadar insulin normal,
abnormalitas sekresi insulin dapat diidentifikasi setelah
stimulasi sel pankreas dengan cara memberikan
glukosa intra vena. Di mana kadar insulin meningkat
akan tetapi glukosa darah tetap normal, menunjukkan
adanya resistensi insulin. Pada fase kedua, resistensi
insulin cenderung memburuk sehingga meskipun
konsentrasi insulin meningkat, tampak bentuk
intoleransi glukosa dalam bentuk hiperglikemia setelah
makan. Bagi beberapa penderita intoleransi glukosa ini
dapat bertahan bertahun tahun berkembang menjadi
DM, tapi bagi sebagian penderita, ini adalah fase
intermediate sebelum menjadi diabetes. Umumnya
pasien tidak memiliki keluhan, akan tetapi perubahan
makroangiopati dan lesi lesi vaskuler telah dapat
ditemukan dalam fase ini. Akhirnya pada fase ketiga,
resistensi insulin tidak berubah tetapi sekresi insulin
menurun dengan akibat kadar glukosa darah yang
sangat tinggi menyebabkan hiperglikemia puasa dan
diabetes yang nyata (Sylvia,1995).

b. Resistensi Insulin
Kadar insulin plasma yang normal atau meningkat pada
penderita DM tipe 2 menunjukkan resistensi insulin
yang muncul sebagai akibat adanya defek pada
beberapa tahapan kerja insulin. Dalam keadaan normal,
insulin terikat pada reseptor di membrane sel yang
selanjutnya mentransmisikan second messenger untuk
memulai perubahan metabolism glukosa didalam sel.
Pada DM tipe 2 defek pertama adalah adanya
penurunan jumlah respetor insulin, sedangkan defek
kedua adalah adanya defek pada pengiriman sinyal/
pesan intraseluler yang diduga terkait dengan
abnormalitas metabolism karbohidrat (Sylvia,1995).

Diabetes dan periodontitis kronis


Diabetes merupakan faktor sekunder sistemik pada
lingkungan gingiva merupakan predisposisi dari
akumulasi deposit plak sehingga menghalangi
pembersihan plak dan terjadinya penuruan respon
imun host sehingga meningkatkan signifikansi
terjadinya periodontitis kronis. Faktor ini disebut
sebagai faktor retensi plak.
Plak subgingiva yang meluas ke arah apical
menyebabkan junctional epithelium terpisah dari
permukaan gigi.
Respon jaringan inflamasi epithelium poket
berakibat pada destruksi dari jaringan ikat gingiva,
mebran periodontal dan tulang alveolar.
Proliferasi di apical dari junctional epithelium
menyebabkan migrasi dari perlekatan epithelium.
Tingkat kerusakan jaringan tidak bersifat konstan,
tetapi episodic, sejumlah tipe penyakit dapat
terjadi, mulai dari kerusakan slowly progressive
hingga aktivitas episodic yang berkembang cepat.
Ada lima tahapan yang diketahui pada
perkembangan penyakit periodontal, yaitu : (4)
Early gingivitis nampak setelah 10-20 hari setelah
akumulasi plak. Terdapat peningkatan sel inflamasi
di dalam jaringan dan meningkatnya migrasi
neutrofil ke dalam gingiva crevice. Epithelium
gingiva menjadi lebih tebal. Jaringan ikat gingiva
telah banyak mengandung sel inflamasi dan terjadi
dilatasi pada pembuluh darah.

Gambar 7. Early lesion gingivitis


Sumber : Essential of microbiology for dental students

Established gingivitis memiliki jaringan ikat yang


lebih banyak didominasi oleh sel plasma (10-30%)

Gambar 8. Established gingivitis


Sumber : Essential of microbiology for dental students

Periodontitis ditandai dengan migrasi ke arah


apical dari junctional epithelium tahap pertama
dari hilangnya perlekatan. Infiltrasi yang sama dari
sel inflamasi dapat dilihat, namun lebih dominan
(>50 %). Kehilangan tulang mulai terjadi disini.

Mekanisme Obat
OBAT ANTIDIABETIK ORAL
Ada 5 golongan antidiabetik oral ( ADO) yang dapat
digunakan untuk DM dan telah dipasarkan di Indonesia
yakni golongan: sulfonylurea, meglitinid, biguanid,
penghambat -glikosidase, dan tiazolidineson. Kelima
golingan ini dapat diberikan pada DM tipe II yang tidak
dapat dikontrol hanya dengan diet dan latihan fisik saja.

Golongan Sulfonilurea
Dikenal 2 generasi sulfonylurea, generasi 1 terdiri dari
tolbutamid, asetoheksimid dan klopropamid. Generasi
II yang potensi hipoglikemik lebih besar antara lain
gliburid ( glibenklamid), glipizid, glikazid dan
glimepirid.

Mekanisme kerja
Golongan obat ini disebut sebagai insulin
secretagogeus, kerjanya merangsang sekresi insulin dari
granul sel sel Langerhans pankreas. Rangsangan
melalui interaksinya dengan ATP- sensitive K channel
pada membrane sel sel yang menimbulkan
depolarisasi membrane dan keadaan ini akan membuka
kanal Ca. Dengan terbukanya kanal Ca maka ion Ca+
+
akan masuk sel , merangsang granula yang berisi
insulin dan akan terjadi sekresi insulin dengan jumlah
yang ekuivalen dengan peptide C. kecuali itu,
sulforilurea dapat mengurangi kliren insulin di hepar.
Pada penggunaan jangka panjang atau dosis yang besar
dapat menyebabkan hipoglikemia.
Efek samping
Insiden efek samping generasi I sekitar 4 %,
insidensnya lebih rendah lagi untuk generasi II.
Hipoglikemia, bahkan sampai koma tentu dapat timbul.
Reaksi ini sering terjadi pada pasien usia lanjut dengan
gangguan fungsi hepar dan ginjal, terutama yang
menggunakan sediaan dengan masa kerja panjang.
Efek samping lain, reaksi alergi jarang sekali terjadi ,
mual,muntah, diare, gejala hematologic, susunan saraf
pusat, mata, dan sebagainya.

Interaksi
Obat yang dapat meningkatkan risiko hipoglikemia
sewaktu penggunaan sulfonylurea adalah insulin,
alcohol, feniformin, sulfonamide, salisilat dosis besar,
fenibutazon, oksifenbutazon, probenezid, dikumarol,
kloramfenikol, penghambat MAO, guanetidin, anabolic
steroid, fenfluramin dan klofibrat.
Propranolol dan penghambat adrenoreseptor lainnya
menghambat reaksi takikardia, berkeringat dan tremor
pada hipoglikemia oleh berbagai sebab termasuk oleh
ADO, sehingga keadaan hipoglikemia menjadi hebat
tanpa diketahui. Sulfonylurea terutama klorpropamid
dapat menurunkan toleransi terhadap alcohol, hal ini
ditunjukkan dengan kemerahan terutama dimuka dan
leher.

Meglitinid
Repaglinid dan nateglinid merupakan golongan
meglitinid, mekanisme kerjanya sama dengan
sulfonylurea tetapi struktur kimianya sangat berbeda.
Golongan AOD ini merangsang insulin dengan menutup
kanal K yang ATP- independent di sel pankreas.
Pada pemberian oral absorpsinya cepat dan kadar
puncaknya dicapai dalam kurun waktu 1 jam. Masa
paruhnya 1 jam, karenanya harus diberikan beberapa
kali sehari, sebelum makan. Metabolism utamaya di
hepar dan metabolitnya tidak aktif. Sekitar 10 %
dimetabolisme di ginjal. Pada pasien dengan gangguan
fungsi hati atau ginjal harus diberikan secara hati hati.
Efek samping utamanya hipoglikemia dan gangguan
saluran cerna. Reaksi alergi juga pernah dilaporkan.

Biguanid
Sebenarnya dikenal 3 jenis ADO dai golongan
biguanid: fenformin, buformin, dan metformin, tetapi
yang pertama telah ditarik dari peredaran karena sering
menyebabkan asidosis laktat. Sekaang yang banyak
digunakan adalah metformin.

Mekanisme kerja
Biguanid sebenarnya bukan obat hipoglikemia, tetapi
antihiperglikemia, tidak menyebabkan rangsangan
sekresi insulin dan umumnya tidak menyebabkan
hipoglikemia. Metformin menurunkan produksi
glukosa di hepar dan meningkatkan sensivitas jaringan
otot dan adipose terhadap insulin.
Efek samping
Hampir 20% pasien dengan metformin mengalami
mual, muntah, diare serta kecap logam, tetapi dengan
menurunkan dosis keluhan keluhan tersebut dapat
hilang. Pada beberapa pasien yang mutlak bergantung
pada insulin eksogen, kadang kadang biguanid
menimbulkan ketosis yang tidak disertai hiperglikemia.
Hal ini harus dibedakan dengan ketosis karena
defisiensi insulin.
Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau system
kardiovaskuler, pemberian biguanid dapat menimbulkan
peningkatan kadar asam laktat dalam darah, sehingga
hal ini sapat mengganggu keseimbangan elektrolit
dalam cairan tubuh.

Golongan Tiazolidinedion
Makanisme kerja dan efek metabolic
Telah diterangkan diatas, insulin merangsang
pembentukan dan translokasi GLUT ke membrane sel
organ perifer. Ini terjadi karena insulin
merangsang Peroxisome proliferators-activated
reseptor- (PPAR) di inti sel dan mengaktivasi insulin-
responsive genes, gen yang berperan dalam metabolism
karbohidrat dan lemak. PPAR terdapat di target
insulin, yakni di jaringan adipose, pankreas, hepar,
keberadaannya di otot skelet masih meragukan.
Tiazolidinedion merupakan agonist potent dan selektif
PPAR membentuk kompleks PPAR-RXR dan
terbentuklah GLUT baru. Di jaringan adipose PPAR
mengurangi keluarnya asam lemak ke otot, dan
karenanya dapat mengurangi resistensi insulin.
Efek samping antara lain, peningkatkan berat badan ,
edema, menambah volume plasma dan memperburuk
gagal jantung kongesif. Edema sering terjadi pada
penggunaannya bersama insulin. Kecuali heap, tidak
dianjurkan pada gagal ginjal kelas 3 dan 4 menurut New
York Heart Association. Hipoglikemia pada penggunaan
monoterapi jarang terjadi.

Penghambat Enzim -Glikosidase


Obat golongan penghambat enzim -glikosidase ini
dapat memperlambat absorpsi polisakarida, dekstrin,
dan disakarida di intestine. Dengan menghambat kerja
enzim -glikosidase di brush border intestine, dapat
mencegah peningkatan glukosa plasma pada orang
normal dan pasien DM.
Karena kerjanya tidak mempengaruhi sekresi insulin,
maka tidak akan menyebabkan efek samping
hipoglikemia. Akarbose dapat digunakan sebagai
monoterapi pada DM usia tipe lanjut atau DM yang
glukosa postprandialnya sangat tinggi. Di klinik sering
digunakan bersama antidiabetik oral lain dan atau
insulin.
Obat golongan ini diberikan pada waktu mulai makan;
dan absorspsi buruk.
Akarbose merupakan oligosakaida yang berasal dari
mikroba, dan migitol suatu derivate desoksinojirimisin,
secara kompetitif juga menghambat glukoamilase dan
sukrase, tetapi efeknya pada -amilase pankreas lemah.
Efek samping yang bersifat dose- dependent antara lain
malabsorbsi, flatulen, diare, dan abdominal bloating.
Untuk mengurangi efek samping ini sebaiknya dosis
dititrasi (FK UI,2007).
Rasa Terbakar
Nyeri neuropatik perifer ( Peripheral neuropathic pain )
Nyeri neuropatik adalah sensasi nyeri yang disebabkan
oleh lesi atau disfungsi pada system saraf sentral atau
perifer. Perasaan nyeri tersebut tidak selalu berlokasi
pada daerah saraf yang rusak, tapi bisa saja ditempat
lain. Biasanya respons pengobatan dengan
menggunakan obat obat anti nyeri yang konvensional
tidak begitu memuaskan. Nyeri neuropatik perifer yang
paling sering ditemukan adalah nyeri yang disebabkan
gangguan metabolisme yakni diabetes mellitus.
Penyebab lain dari nyeri neuropatik perifer misalnya
akibat trauma, defisiensi nutrisi, infeksi, dan beberapa
penyebab lain.
Pada diabetes mellitus, kerusakan sel ( saraf
) merupakan dampak dari stres metabolik
yang menyebabkan anoksia. Keadaan
anoksia bermula dari pengaruh gangguan
pembentukan ATP didalam sel yang terjadi
akibat stress metabolik yang berkelanjutan,
yang dipicu gangguan metabolisme glukosa.
Jalur metabolisme alternatif berupa glikolisis
anaerob, berdampak menurunnya kadar
glikogen serta meningkatnya asam laktat.
pada penderita diabetes. Pada mulanya
timbul kelainan yang bersifat reversible
pada saraf, ditandai proses edema dan
terhambatnya sintesis protein dalam sel.
Bila stress berlanjut, kelainan bersifat
irreversible dimana terlihat kerusakan pada
membranesel serta disintegrasi DNA.
Secara patofisiologi, terjadinya nyeri
neuropati perifer disebabkan terjadinya
keadaan hipersensitivitas pada saraf perifer
disamping kehilangan fungsi inhibisi pada
saraf tersebut oleh gangguan metabolisme
seperti diabetes. Keadaan ini berakibat
meningkatnya produksi neurotransmitter
yang berperan dalam sensasi nyeri.

Kadar Gula Darah

Anda mungkin juga menyukai