Anda di halaman 1dari 23

Tuberkulosis Paru: Pencitraan dan Pengelolaan Terbaru

TUJUAN: Tuberculosis paru (TB) adalah infeksi umum di seluruh dunia dan masalah medis
dan sosial yang menyebabkan tingginya angka kematian dan morbiditas, terutama di negara-
negara berkembang. Konsep pencitraan tradisional TB primer dan reaktivasi baru-baru ini
ditentang, dan gambaran radiologis bergantung pada tingkat imunitas penderita daripada
waktu setelah infeksi. Kami bertujuan untuk menguraikan konsep baru mengenai diagnosis
dan pengobatan TB paru, untuk meninjau temuan karakteristik pencitraan berbagai bentuk
TB paru, dan untuk menilai peran CT dalam diagnosis dan pengelolaan TB paru.
KESIMPULAN: Uji TB yang cepat dan lebih akurat misalnya bacterial DNA fingerprinting
dan whole-blood interferon- assay telah dikembangkan. Pola miliaria atau primer yang
menyebar atau manifestasi atipikal dari TB paru adalah hal yang umum pada pasien dengan
gangguan imunitas. CT memainkan peran penting dalam mendeteksi TB pada pasien yang
hasil rontgen thorax-nya normal atau tidak meyakinkan, dalam penentuan aktivitas
penyakit, dalam pendeteksian komplikasi, dan dalam pengelolaan TB dengan menyediakan
roadmap untuk rencana pembedahan. PET menggunakan 18F-FDG atau 11C-choline
terkadang dapat membantu membedakan tuberkulosis granuloma dari keganasan paru.

Tuberkulosis (TB) adalah penyakit yang menular melalui udara yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis dan merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas,
khususnya negara berkembang [1-3]. Pada tahun 2005, 8.8 juta orang terserang TB aktif dan
1,6 juta meninggal karena penyakit tersebut [4]. Sebagian besar kasus terjadi di Asia
Tenggara dan Afrika.
Pasien dengan TB paru aktif mungkin asimtomatik, mengalami gejala ringan atau bartuk
kering yang progresif, atau muncul dengan beberapa gejala, termasuk demam, kelelahan,
penurunan berat badan, berkeringat malam, dan batuk yang menghasilkan dahak berdarah.
Jika TB terdeteksi dini dan sepenuhnya diobati, penderita penyakit ini dapat dengan cepat
tidak menjadi infeksius dan akhirnya sembuh. Namun, TB multidrug-resistant (MDR) dan
ekstensif yang resistan terhadap obat, HIV terkait TB, dan simtem kesehatan yang lemah
adalah tantangan besar. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengupayakan pengurangan
secara dramatis beban akibat TB dan untuk mengurangi separuh kematian akibat TB dan
prevalensi pada tahun 2015, melalui Strategi Stop TB dan mendukung Rencana Global untuk
Stop TB [5].
Diagnosis yang cepat dari TB sangat penting untuk langkah-langkah pengendalian
infeksi kesehatan masyarakat serta untuk memastikan terapi yang sesuai untuk pasien yang
terinfeksi. Sayangnya, BTA yang ditemukan dalam dahak jumlahnya terbatas pada pasien
dengan TB paru aktif [6]. Oleh karena itu, diagnosis pencitraan akan memberikan terapi yang
sesuai untuk pasien yang terinfeksi sebelum diagnosis definitif ditegakkan oleh bakteriolog.
Tujuan artikel ini adalah untuk menguraikan konsep-konsep baru dalam diagnosis dan
pengobatan TB paru di abad ke-21, untuk meninjau temuan karakteristik pencitraan berbagai
bentuk TB paru, dan untuk menilai peran CT dalam diagnosis dan pengelolaan TB paru.

Perkembangan Infeksi dan Patogenesis


M. tuberculosis bersifat aerobik, tidak motil, berbentuk batang-tidak berspora yang
sangat tahan terhadap pengeringan, asam, dan alkohol. Bakteri ini ditularkan dari orang ke
orang melalui droplet nuklei yang mengandung organisme dan tersebar terutama melalui
batuk. Seseorang dengan TB aktif yang tidak diobati dapat menginfeksi sekitar 10-15 orang
lainnya setiap tahun. Probabilitas penularan dari satu orang ke orang lain tergantung pada
jumlah droplet infeksius yang disebarkan oleh pembawa, durasi paparan, dan virulensi dari
M. tuberculosis. Risiko berkembangnya TB aktif paling besar pada pasien dengan perubahan
imunitas seluler penderita, termasuk usia yang ekstrim, malnutrisi, kanker, terapi
imunosupresif, infeksi HIV, stadium akhir penyakit ginjal, dan diabetes.
Infeksi TB dimulai ketika mycobacteria mencapai alveoli paru, di mana mereka
menyerang dan bereplikasi di dalam makrofag alveolar. Micobacterium yang terhirup
difagosit oleh makrofag alveolar, yang berinteraksi dengan limfosit T, menghasilkan
diferensiasi dari makrofag menjadi histiosit epiteloid [7]. Histiosit epiteloid dan limfosit
beragregasi menjadi kelompok kecil, menghasilkan granuloma. Di dalam granuloma, CD4 T
limfosit (sel T efektor) mensekresi sitokin, seperti interferon-, yang mengaktifkan makrofag
untuk menghancurkan bakteri dan sel-sel yang terinfeksi. Limfosit T CD8 (T sitotoksik sel)
juga dapat langsung membunuh sel yang terinfeksi [8]. Hal penting yang perlu diperhatikan,
bakteri tidak selalu tersingkir dari granuloma, tapi dapat menjadi dorman, sehinggaterjadi
infeksi laten. Gambaran lain dari TB granuloma pada manusia adalah berkembangya nekrosis
pada pusat tuberkel.
Tempat utama infeksi di paru-paru disebut fokus Ghon [9]. Fokus ini membesar selama
penyakit berkembang atau, yang lebih umum, mengalami penyembuhan. Penyembuhan dapat
mengakibatkan bekas luka terlihat yang mungkin padat dan mengandung fokus kalsifikasi.
Selama tahap awal infeksi, organisme tersebut secara umum menyebar melalui saluran getah
bening ke daerah hilus dan kelenjar getah bening mediastinum dan melalui aliran darah ke
tempat yang lebih jauh di dalam tubuh. Kombinasi fokus Ghon dan kelenjar getah bening
yang terpengaruh dikenal sebagai kompleks Ranke. Infeksi awal biasanya secara klinis
asimptomatik. Pada sekitar 5% dari individu yang terinfeksi, imunitasnya tidak adekuat dan
secara klinis penyakit aktif berkembang dalam 1 tahun infeksi, kondisi yang dikenal sebagai
infeksi primer progresif [10]. Bagi kebanyakan individu yang terinfeksi, walaupun tidak
semua, TB tetap secara klinis dan mikrobiologis laten selama bertahun-tahun.
Pada sekitar 5% dari populasi yang terinfeksi, reaktivasi endogen infeksi laten
berkembang bertahun-tahun setelah infeksi awal (ini juga disebut "postprimary TB ") [10].
Reaktivasi TB cenderung melibatkan sebagian besar segmen apikal dan posterior dari lobus
atas dan segmen atas dari lobus bawah. Lokasi ini disukai karena kombinasi relatif tekanan
oksigen yang lebih tinggi dan gangguan drainase limfatik di wilayah ini [11]. Yang berbeda
dari tempat infeksi primer, dimana terletak pada proses penyembuhan, reaktivasi TB
cenderung terus berkembang. Kelainan utama adalah perpanjangan progresif peradangan dan
nekrosis, sering kali dengan perkembangan berhubungan dengan saluran nafas dan
pembentukan rongga. Penyebaran endobronkial dari material nekrotik dari cavitas dapat
menyebabkan infeksi TB di lobus yang sama atau pada lobus lainnya. Diseminasi hematogen
dapat menyebabkan TB milier.

Diagnosis
Diagnosis pasti TB hanya dapat ditegakkan dengan kultur organisme M. tuberculosis dari
spesimen yang diambil dari pasien. Namun, TB dapat menjadi penyakit yang sulit untuk
didiagnosa, terutama karena kesulitan dalam mengkultur organisme yang tumbuh lambat ini
di laboratorium. Evaluasi lengkap untuk TB harus termasuk di dalamnya riwayat medis,
rontgen thorax, pemeriksaan fisik, dan kultur dan apusan mikrobiologis. Hal ini juga dapat
mencakup tes tuberkulin dan tes serologis.
Pengobatan infeksi TB laten untuk mencegah timbulnya penyakit aktif telah menjadi
komponen penting dari upaya kesehatan masyarakat untuk menghilangkan TB [12]. Saat ini,
infeksi laten didiagnosis pada orang yang belum pernah diimunisasi dengan tuberculin skin
test (TST), yang menghasilkan respon hipersensitifitas tipe lambat untuk derivat protein
murni dari M. tuberculosis. Namun, TST, yang telah digunakan selama bertahun-tahun untuk
diagnosis infeksi TB laten, memiliki banyak keterbatasan, termasuk hasil tes positif palsu
pada individu yang divaksinasi dengan Bacille Calmette-Guerin (BCG) dan pada individu
yang memiliki infeksi tidak terkait dengan M. tuberculosis [13, 14].
Penemuan peran limfosit T dan interferon- dalam proses kekebalan tubuh menyebabkan
berkembangnya tes in vitro untuk reaktivitas kekebalan yang dimediasi sel M. tuberculosis
[15]. Baru-baru ini, uji whole blood interferon- telah diperkenalkan untuk mendiagnosis
infeksi TB laten dan menunjukkan akurasi diagnostik lebih tinggi dari TST [13, 16]. Tes TB
baru ini sedang dikembangkan dengan harapan ditemukannya tes TB yang murah, cepat, dan
lebih akurat. Tes baru ini menggunakan deteksi PCR dari DNA bakteri dan whole blood
interferon- assay [17]. Individu dengan TST atau whole blood interferon- assay positif,
terutama orang atau mereka yang terinfeksi HIV yang memiliki temua rontgen thorax atau
CT yang konsisten terhadap TB, harus dipertimbangkan untuk pengobatan infeksi laten [18].

Konsep Baru Manifestasi Radiologis pada Tuberkulosis


Pasien yang penyakitnya berkembang setelah paparan awal yang dianggap menderita TB
primer, sedangkan pasien yang penyakitnya berkembang sebagai hasil reaktivasi fokus TB
sebelumnya dianggap menderita TB reaktivasi. Secara tradisional, diyakini bahwa klinis,
patologis, dan manifestasi radiologis TB reaktivasi cukup berbeda dari penderita TB primer.
Konsep ini baru-baru ini ditentang atas dasar sidik jari DNA.
Pola sidik jari DNA dengan batasan analisis panjang fragmen polymorphism (RFLP)
M. tuberculosis isolat dapat memberikan dokter wawasan mengenai penularan TB [19]. Isolat
dari pasien yang terinfeksi strain yang secara epidemiologi tidak terkait TB memiliki pola
RFLP yang berbeda, sedangkan pasien dengan strain yang secara epidemiologi terkait
umumnya memiliki pola RFLP identik. Oleh karena itu, kumpulan kasus TB, yang
didefinisikan sebagai isolat yang memiliki kemiripan atau genotipe yang terkait erat, biasanya
telah ditransmisikan baru-baru ini. Sebaliknya, kasus yang isolatnya memiliki genotipe khas
umumnya adalah infeksi reaktivasi yang diperoleh di masa lalu [20, 21].
Sebuah studi terbaru berdasarkan isolat genotip M.tuberculosis dengan RFLP
menunjukkan bahwa gambaran radiografi seringkali sama pada pasien yang tampaknya
memiliki penyakit primer dan mereka yang memiliki TB reaktivasi [22, 23]. Oleh karena itu,
waktu dari akuisisi infeksi pada perkembangan klinis penyakit klinis tidak dapat memprediksi
gambaran radiografi TB. Satu-satunya prediktor independen dari gambaran radiografi yang
mungkin integritas adalah respon imun penderita; yaitu, pasien immunocompromised berat
yang menunjukkan kecenderungan untuk memiliki bentuk TB primer, sedangkan pasien
imunokompeten cenderung memiliki bentuk reaktivasi [22, 23]. Karena hasil ini adalah data
awal dan paling sering dipublikasikan berdasarkan pada konsep tradisional penyakit primer
dan reaktivasi, kami mengikuti konsep tradisional pada artikel ini.
Manifestasi Radiologis pada Penderita yang Imunokompeten
Tuberkulosis primer
Fokus parenkim awal pada TB mungkin membesar dan membentuk daerah dengan
konsolidasi pada rongga udara atau, lebih umumnya, mengalami penyembuhan melalui
transformasi granulomatosa yang jaringan ke jaringan fibrosa dewasa. TB primer paling
sering terjadi pada anak-anak tetapi baru terlihat peningkatan frekuensinya pada saat dewasa
[24]. Kelainan yang paling umum pada anak-anak adalah pembesaran kelenjar getah bening,
yang terlihat pada 90-95% kasus [25, 26]. Limfadenopati ini biasanya unilateral dan terletak
di hilus atau daerah paratrakeal. Pada CT, nodus yang membesar biasanya menunjukkan
atenuasi rendah yang sentral, yang mewakili nekrosis caseosa, dan pinggiran perifer
tambahan, yang merupakan pembuluh darah tepi dari jaringan inflamasi granulomatosa [27,
28] (Gbr. 1).

Konsolidasi rongga udara, terkait dengan peradangan granulomatosa parenkim dan


biasanya unilateral, hal ini tampak jelas secara radiografi pada sekitar 70% dari anak-anak
dengan TB primer [26]. Ini menunjukkan tidak ada predileksi untuk setiap zona paru tertentu
[26]. Pada CT, konsolidasi parenkim pada TB primer paling sering berbentuk padat dan
homogen tetapi mungkin juga tidak rata, linear, nodular, atau sesuatu yang seperti massa [29]
(Gbr. 2).

Efusi pleura biasanya unilateral dan pada sisi yang sama dengan fokus utama dari TB.
Efusi yang muncul mungkin besar dan terjadi pada pasien tanpa bukti adanya penyakit
parenkim dari rontgen thorax [30].

Tuberkulosis Reaktivasi
Manifestasi radiografi yang paling umum dari TB paru reaktivasi adalah fokus atau
konsolidasi heterogen tak rata yang melibatkan segmen apikal dan posterior dari lobus atas
dan segmen superior dari lobus bawah [29, 31]. Temuan umum lainnya adalah adanya nodul
yang tidak jelas dan kekeruhannya linier, yang terlihat pada sekitar 25% dari pasien [31].
Kavitas, ciri radiologis TB reaktivasi, jelas secara radiografi pada 20-45% dari pasien [29-
31]. Pada sekitar 5% dari pasien dengan TB reaktivasi, manifestasi utamanya adalah
tuberculoma, didefinisikan sebagai lesi bulat atau oval dengan pinggiran tajam berukuran 0,5-
4,0 cm [29, 31]. Secara histologis, bagian tengah tuberculoma terdiri dari bahan caseosa dan
bagian pinggir, dari histiosit epiteloid dan sel raksasa berinti banyak dan sejumlah variabel
kolagen. Nodul satelit di sekitar tuberculoma yang mungkin ditemukan pada sebanyak 80%
kasus [32]. Karena metabolisme glukosa aktif disebabkan oleh peradangan granulomatosa
18
aktif, tuberculomas kadang-kadang telah dilaporkan mengakumulasi F-FDG dan
menimbulkan tafsiran PET scan berupa positif palsu untuk keganasan [33] (Gbr. 3). Tidak
seperti PET scan 18F-FDG, PET scan 11C-kolin dapat membantu membedakan antara kanker
paru dan tuberculoma [34]. Nilai serapan standar dari tuberculoma adalah rendah pada PET
scan 11C-choline.

Limfadenopati hilus atau mediastinum jarang terjadi pada TB reaktivasi, terlihat pada
sekitar 5-10% dari pasien [30, 31]. Efusi pleura, biasanya unilateral, terjadi dalam 15-20%
dari pasien [35].
Temuan CT yang paling umum dari TB paru reaktivasi adalah nodul kecil centrilobular,
bercabang linier dan kekeruhan nodular (tanda tree-in-bud), daerah yang tidak rata atau
konsolidasi lobular, dan kavitasi [24, 36, 37]. Nodul kecil centrilobular dan tanda tree-in-bud
mencerminkan adanya penyebaran endobronkial dan disebabkan oleh adanya nekrosis
caseosa dan pegisian peradangan granulomatosa dan terminal sekitarnya dan bronkiolus
pernapasan dan duktus alveolar [36, 38] (Gbr. 4). Tanda tree-in-bud dianggap sebagai
penanda nyata dari proses aktif [6]. Kavitasi juga merupakan tanda dari proses penyakit aktif
dan biasanya sembuh sebagai lesi linear atau fibrotik.
Meskipun biasanya hal ini disertai dengan kelainan parenkim, efusi pleura mungkin
merupakan manifestasi pencitraan tunggal dari TB. Dalam situasi tertentu, penetapan tingkat
cairan adenosin deaminase (ADA) dari pleura (meningkat pada pleuritis TB) dapat
bermanfaat untuk menentukan karakteristik cairan pleura; uji ADA memiliki sensitivitas 92%
(95% CI, 90-93%) dan spesifisitas 90% (89-91%) untuk mendiagnosis TB pleura [39]. Nodul
baru paru subpleural dapat berkembang selama pengobatan untuk TB efusi pleura. Hal itu
tidak boleh dianggap sebagai kegagalan pengobatan. Nodul subpleural paradoksikal akhirnya
akan menunjukkan perbaikan dengan pengobatan berlanjut [40].

Tuberkulosis Milier
TB milier mengacu pada penyebarluasan TB melalui penyebaran hematogen. Hal ini
terjadi pada 2-6% dari TB primer dan juga terjadi agak lebih sering pada TB reaktivasi [41].
Dalam situasi yang terakhir, TB milier mungkin terlihat berkaitan dengan perubahan
parenkim yang tipikal atau mungkin hanya merupakan satu-satunya kelainan paru. Setiap
fokus hasil dari infeksi milier pada granuloma lokal itu, ketika berkembang dengan baik,
terdiri dari daerah nekrosis sentral yang dikelilingi oleh pinggiran yang relatif berbatas baik
dari histiosit epithelioid dan jaringan fibrosa.
Karakteristik radiografi dan temuan CT resolusi tinggi terdiri dari nominal tak terhitung,
diameter nodul 1 hingga 3 mm secara acak didistribusikan keseluruh lapang paru [41-44]
(Gbr. 5). Penebalan septa interlobular dan jaringan intralobular yang lain sering tampak jelas
[37]. Kekeruhan difus atau lokal terkadang terlihat, yang mungkin menyebabkan sindrom
gangguan pernapasan akut [43-45] (Gbr. 6).
Tuberkulosis Jalan Nafas
Penyebab paling umum dari inflamasi penyempitan bronkus adalah TB. TB
trakeobronkial telah dilaporkan pada 10-20% dari semua pasien dengan TB paru [24, 46].
Temuan CT dari TB saluran napas adalah penebalan dinding yang melingkar dan
penyempitan lumen, dengan keterlibatan segmen panjang bronchi [46, 47]. Pada penyakit
aktif, saluran nafas yang tidak teratur menyempit di lumina dan memiliki dinding tebal,
sedangkan pada penyakit fibrosis, saluran nafas menyempit dan memiliki dinding tipis [46,
47]. Bronkus utama kiri terlibat lebih sering pada penyakit fibrosis, sedangkan kedua bronkus
utama sama-sama terlibat pada penyakit aktif [46] (Gbr. 7).
Manifestasi Radiologis pada Penderita dengan Immunocompromised
Gangguan imunitas penderita telah dianggap sebagai faktor predisposisi pada TB. Faktor
risiko yang dikenal pada perkembangan TB aktif mencakup kondisi yang berkaitan dengan
cacat pada imunitas yang diperantarai oleh sel, seperti infeksi HIV; malnutrisi; narkoba dan
penyalahgunaan alkohol; keganasan; stadium akhir penyakit ginjal; diabetes mellitus; dan
kortikosteroid atau terapi imunosupresif lainnya [48]. Infliximab dan etanercept (digunakan
dalam pengobatan penyakit Crohn dan rheumatoid arthritis) adalah antibodi manusia terhadap
tumor necrosis factor- (TNF-), yang terlibat dalam pertahanan di tubuh penderita untuk
melawan TB membunuh M. tuberculosis melalui makrofag, pembentukan granuloma, atau
apoptosis dan pencegahan penyebaran infeksi ke tempat lain. TB aktif dapat berkembang
segera setelah pengobatan awal dengan obat tersebut. Oleh karena itu, sebelum meresepkan
obat ini, penilaian faktor risiko infeksi TB dan TST atau uji interferon- sangat dianjurkan
untuk menentukan status pasien infeksi TB laten dan risiko penyakit aktif [49, 50].
TB merupakan penyebab utama kematian di antara orang-orang yang hidup dengan
infeksi HIV atau AIDS. Pada tahun 2005, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO)
memperkirakan bahwa 12% kematian HIV secara global adalah akibat TB dan bahwa
terdapat 630.000 koinfeksi baru dengan TB dan HIV [51]. Restorasi imun diinduksi oleh
highly active anti-retroviral (HAART) di negara maju telah meningkatkan hasil pada pasien
HIV-positif dan mengurangi prevalensi infeksi oportunistik dan TB pada pasien ini. Namun,
HIV yang terkait TB masih terus terjadi di Negara-negara di mana HAART secara luas
digunakan [52]. Selanjutnya, HAART dapat mengakibatkan perburukan paradoks atau
manifestasi TB pada pasien dengan imunitas pemulihan sindrom inflamasi [53, 54] (Gbr. 8).
Manifestasi radiografi HIV terkait TB paru dianggap tergantung pada tingkat
imunosupresi pada saat penyakit yang jelas [55-57]. Pada CT, pasien HIV-seropositif dengan
limfosit jumlah T CD4 <200 / mm3 memiliki prevalensi lebih tinggi dari limfadenopati hilus
atau mediastinum, prevalensi yang lebih rendah dari kavitasi, dan keterlibatan paru lebih
sering dibandingkan dengan pasien HIV-seropositif dengan jumlah T CD4 limfosit sama atau
200 / mm3 [58] (Gambar. 9 dan 10). Penyakit milier atau yang tersebarluas juga telah
dilaporkan terkait dengan imunosupresi [58] (Gbr. 9).
Manifestasi yang tidak biasa atau yang tidak khas dari TB paru adalah umum pada pasien
dengan gangguan imunitas. Dalam kasus TB paru aktif, pasien diabetes dan
immunocompromised memiliki prevalensi lebih tinggi dari kavitas multipel dalam lesi
tuberkulosa dan distribusi nonsegmental dibandingkan pasien tanpa penyakit yang mendasari
[48]. Insidensi TB pada pasien dengan fibrosis paru idiopatik (IPF) lebih dari empat kali lebih
tinggi dari populasi umum. Manifestasi atipikal seperti nodul subpleural atau lobar atau
konsolidasi segmental rongga udara umum terdapat pada pasien dengan IPF, yang mungkin
meniru kanker paru atau bakteri pneumonia [59]. TB paru pada pasien dengan systemic lupus
erythematosus (SLE) memiliki insiden dan prevalensi yang lebih tinggi karena fungsi
abnormal makrofag alveolar dan paparan kortikosteroid dan obat sitotoksik. TB pada pasien
dengan SLE cenderung menunjukkan temuan radiologis beruppa penyebaran milier,
konsolidasi menyebar, atau TB primer [60].

Manifestasi Radiologis Tuberculosis Multidrug-Resistant


Resistensi obat anti-TB adalah masalah kesehatan masyarakat yang utama yang
mengancam keberhasilan pengendalian TB global. Kekhawatiran utama resistensi obat adalah
ketakutan tentang penyebaran organisme yang resistan terhadap obat dan ketidakefektifan
kemoterapi pada pasien terinfeksi dengan organisme resisten. Selain itu, TB MDR adalah
penyakit yang fatal karena tingkat kematian yang tinggi, tergantung pada penyakit yang
mendasari, khususnya pada pasien yang terinfeksi HIV [61, 62].
Temuan pencitraan TB MDR pada dasarnya tidak berbeda dengan TB yang sensitif
terhadap obat. Namun, kavitas multipel dan temuan kronisitas, seperti bronkiektasis dan
kalsifikasi granuloma, lebih sering terjadi pada pasien dengan TB MDR [63, 64] (Gbr. 11).
Sebuah korelasi yang kuat terlihat antar gambaran radiologis TB MDR dan modus akuisisi
resistensi obat. Pasien dengan resistensi obat primer, yang mengembangbiakkan TB MDR
tanpa riwayat kemoterapi anti-TB atau riwayat terapi kurang dari 1 bulan, yang ditemukan
adanya konsolidasi non-kavitas, efusi pleura, dan pola penyakit tuberkulosis primer [65]. Di
sisi lain, penderita TB MDR dengan riwayat kemoterapi yang lebih dari 1 bulan sering
menunjukkan konsolidasi kavitas dan secara umum menunjukkan pola reaktivasi penyakit.
TB yang resistan-obat-secara luas didefinisikan sebagai TB yang telah berkembang
menjadi resistensi terhadap rifampisin dan isoniazid, serta setiap golongan kuinolon dan
setidaknya salah satu dari pengobatan TB lini kedua berikut: kanamisin, kapreomisin, atau
amikasin [66]. TB yang resistan-obat-secara luas dikaitkan dengan tingkat kematian yang
jauh lebih tinggi daripada TB MDR karena berkurangnya jumlah efektifitas pilihan
pengobatan. Epidemiologi dan temuan pencitraan TB yang resistan-obat-secara luas belum
diteliti dengan baik, tapi hal itu dipercaya bahwa penyebaran TB yang resistan-obat-secara
luas sangat erat kaitannya dengan tingginya prevalensi HIV dan pengendalian infeksi yang
buruk [67]. Belum ada laporan tentang temuan radiologis TB yang resistan-obat-secara luas;
tetapi berdasarkan pengalaman kami, penyakit memanifestasikan pola lanjutan dari TB
primer (konsolidasi luas dengan atau tanpa limfadenopati) pada pasien AIDS dan pola
lanjutan dari TB MDR (lesi multiple kavitas pada lesi konsolidatif atau nodular) pada pasien
non-AIDS.

Komplikasi dan Gejala sisa Tuberkulosis


Berbagai gejala sisa dan komplikasi dari TB paru dapat terjadi dan mungkin melibatkan
paru-paru, saluran nafas, pembuluh darah, mediastinum, pleura, atau dinding dada [47, 68-
71] (Lampiran 1, Gambar. 12 dan 13).
Manifestasi radiologis dari sindrom sekunder saluran pernapasan akut untuk TB
mencakup area bilateral luas kekeruhan atau konsolidasi di atas temuan dari penyebaran TB
milier atau endobronkial. Lesi kistik multipel dapat berkembang pada pasien yang kembali
pulih dari sindrom gangguan saluran pernapasan akut atau pada pasien dengan konsolidasi
yang luas karena TB [71]. Lesi kistik mungkin menyerupai pneumatokel atau bula, yang
dapat kembali membalik selama lebih dari beberapa bulan atau bertahan [71].
Aneurisma rasmussen adalah sebuah pseudoaneurisma yang dihasilkan dari melemahnya
dinding arteri paru oleh kavitas TB kavitas yang berdekatan (Gbr. 12). Empyema necessitatis
(Gbr. 13) terjadi akibat kebocoran empyema TB melalui pleura parietal dan isinya ke dalam
jaringan subkutan dinding thorax atau, lebih jarang, ke perikardium, kolumna vertebralis,
atau esofagus [69].

CT pada Tuberkulosis
Rontgen thorax memainkan peran utama dalam skrining, diagnosis, dan respon terhadap
pengobatan pasien dengan TB. Namun, hasil rontgen mungkin normal atau hanya
menunjukkan temuan ringan atau temuan nonspesifik pada pasien dengan penyakit aktif [30].
Penyebab umum dari luputnya diagnosis TB adalah kegagalan untuk mengenali
limfadenopati hilus dan mediastinum sebagai manifestasi penyakit primer pada orang
dewasa, mengabaikan kelainan parenkim ringan pada pasien dengan penyakit reaktivasi, dan
kegagalan untuk mengakui bahwa nodul atau massa lobus atas dikelilingi oleh kekeruhan
nodular kecil atau jaringan parut dapat mewakili TB [30].
CT lebih sensitif dibandingkan rontgen thorax dalam mendeteksi dan mencirikan
penyakit parenkim lokal atau yang meluas dan limfadenopati mediastinum [37, 42, 72, 73].
Diagnosis radiografi TB awalnya benar hanya 49% dari semua kasus----- 34% untuk
diagnosis TB primer dan 59% untuk diagnosis TB reaktivasi [30]. Dengan CT, diagnosis TB
paru benar pada 91% pasien dan TB dikecualikan benar pada 76% pasien [74]. CT dan CT
resolusi tinggi sangat bermanfaat dalam mendeteksi fokus kecil dari kavitas di daerah
konfluen pneumonia dan di daerah nodularitas padat dan jaringan parut [37]. Dalam salah
satu penelitian terhadap 41 pasien dengan TB aktif [37], CT resolusi tinggi menunjukkan
kavitas pada 58%, sedangkan rontgen thorax menunjukkan kavitas hanya sekitar 22%.
Selain diagnosis TB, CT resolusi tinggi berguna dalam menentukan aktivitas penyakit.
Diagnosis sementara TB aktif pada CT dapat didasarkan pada pola kelainan parenkim
kelainan dan adanya kavitas atau bukti penyebaran endobronkial, seperti adanya nodul
centrilobular atau pola tree-in-bud. Dalam artikel yang ditulis oleh Lee dkk [74], 80% pasien
dengan penyakit aktif dan 89% dari mereka dengan penyakit yang tidak aktif secara benar
dibedakan pada CT resolusi tinggi.
CT juga membantu dalam evaluasi komplikasi pleura, termasuk tuberkulosis efusi,
empyema, dan fistula bronkopleural, dan mungkin menunjukkan penyakit pleura yang tidak
jelas pada rontgen thorax [75].
Selain peran utama dalam diagnosis TB, CT memainkan peran penting dalam
pengelolaan TB, terutama pada TB dengan penyulit atau TB MDR. TB MDR sering
menunjukkan multipel kavitas, yang menyebabkan dahak dari sejumlah besar basil dan
endobronkial menyebar ke daerah-daerah paru yang sebelumnya tidak terkena. Penetrasi
obat terbatas ke dalam kavitas yang terdapat sejumlah besar Mycobacteria diyakini
berkontribusi terhadap perlawanan obat tersebut. Oleh karena itu, operasi mungkin menjadi
terapi adjuvant untuk TB MDR, meskipun pengobatan TB masa kini bergantung pada
kemoterapi [76]. CT dapat menemukan lokasi kavitasi dan luasnya penyakit aktif dan oleh
karena itu dapat menjadi petunjuk untuk perencanaan terapi bedah.

Kesimpulan
Meskipun lambatnya penurunan kejadian TB telah terlihat di negara maju, TB masih
merupakan tantangan besar di antara penyakit menular, bahkan di abad 21. Tes TB yang
cepat dan akurat, seperti analisis DNA bakteri dan uji whole-blood interferon-, telah
dikembangkan untuk mendeteksi infeksi laten. Konsep pencitraan tradisional pada TB primer
dan reaktivasi baru-baru ini ditentang atas dasar DNA fingerprinting, dan gambaran
radiologisnya tergantung pada tingkat kekebalan penderita, bukan waktu yang telah berlalu
setelah infeksi. PET menggunakan 18F-FDG atau 11C-choline kadang-kadang dapat membantu
membedakan nodul tuberkulosis dari keganasan paru. CT merupakan metode diagnostik yang
efektif ketika rontgen thorax normal atau tidak meyakinkan, dan menyediakan informasi
berharga untuk diagnosis dan pengelolaan TB.
Daftar Pustaka
1. Cegielski JP, Chin DP, Espinal MA, et al. Theglobal tuberculosis situation: progress and
problems in the 20th century, prospects for the 21st century. Infect Dis Clin North Am
2002; 16:158

2. Corbett EL, Watt CJ, Walker N, et al. The growing burden of tuberculosis: global trends
and interactions with the HIV epidemic. Arch Intern Med 2003; 163:10091021

3. Tufariello JM, Chan J, Flynn JL. Latent tuberculosis: mechanisms of host and bacillus
that contributeto persistent infection. Lancet Infect Dis 2003; 3:578590

4. World Health Organization. Fact sheet no. 104.Tuberculosis.


www.who.int/mediacentre/factsheets/fs104. WHO Website. Revised March 2007.
Accessed May 21, 2008

5. World Health Organization. Programmes and projects. Tuberculosis. The Stop TB


Strategy.www.who.int/tb/strategy/en/. WHO Website. Accessed May 21, 2008

6. Lee KS, Im JG. CT in adults with tuberculosis of the chest: characteristic findings and
role in management.AJR 1995; 164:13611367

7. Houben EN, Nguyen L, Pieters J. Interaction of pathogenic mycobacteria with the host
immune system. Curr Opin Microbiol 2006; 9:7685

8. Kaufmann SH. Protection against tuberculosis:cytokines, T cells, and macrophages. Ann


Rheum Dis 2002; 61[suppl 2]:ii54ii58

9. Ober WB. Ghon but not forgotten: Anton Ghon and his complex. Pathol Annu 1983; 18
Pt 2:7985

10. American Thoracic Society. Diagnostic standards and classification of tuberculosis. Am


Rev RespirDis 1990; 142:725735

11. MacGregor RR. Tuberculosis: from history to current management. Semin Roentgenol
1993;28:101108

12. Jasmer RM, Nahid P, Hopewell PC. Clinical practice:latent tuberculosis infection. N
Engl J Med 2002; 347:18601866

13. Mazurek GH, LoBue PA, Daley CL, et al. Comparison of a whole-blood interferon
gamma assay with tuberculin skin testing for detecting latent Mycobacterium
tuberculosis infection. JAMA 2001; 286:17401747

14. Wang L, Turner MO, Elwood RK, Schulzer M, FitzGerald JM. A meta-analysis of the
effect of bacille Calmette Guerin vaccination on tuberculin skin test measurements.
Thorax 2002; 57:804809
15. Rothel JS, Jones SL, Corner LA, Cox JC, Wood PR.A sandwich enzyme immunoassay
for bovine interferon-gamma and its use for the detection of tuberculosis in cattle. Aust
Vet J 1990; 67:134 137

16. Kang YA, Lee HW, Yoon HI, et al. Discrepancy between the tuberculin skin test and the
wholeblood interferon gamma assay for the diagnosis of latent tuberculosis infection in
an intermediate tuberculosis-burden country. JAMA 2005; 293:27562761

17. Nahid P, Pai M, Hopewell PC. Advances in the diagnosis and treatment of tuberculosis.
Proc Am Thorac Soc 2006; 3:103110

18. Centers for Disease Control and Prevention. Division of Tuberculosis Elimination. Fact
sheets. Treatment of Latent TB Infection.
www.cdc.gov/TB/pubs/tbfactsheets/treatmentLTBI.htm. Accessed April 7,2008

19. Barnes PF, Cave MD. Molecular epidemiology of tuberculosis. N Engl J Med 2003;
349:11491156

20. Small PM, Hopewell PC, Singh SP, et al. The epidemiology of tuberculosis in San
Francisco: a population-based study using conventional and molecular methods. N Engl
J Med 1994; 330:17031709

21. Alland D, Kalkut GE, Moss AR, et al. Transmission of tuberculosis in New York City: an
analysis by DNA fingerprinting and conventional epidemiologic methods. N Engl J Med
1994; 330:17101716

22. Jones BE, Ryu R, Yang Z, et al. Chest radiographic findings in patients with tuberculosis
with recent or remote infection. Am J Respir Crit Care Med 1997; 156:12701273

23. Geng E, Kreiswirth B, Burzynski J, Schluger NW.Clinical and radiographic correlates of


primary and reactivation tuberculosis: a molecular epide- miology study. JAMA 2005;
293:27402745

24. Lee KS, Song KS, Lim TH, Kim PN, Kim IY, Lee BH. Adult-onset pulmonary
tuberculosis: findings on chest radiographs and CT scans. AJR 1993; 160:753758

25. Weber AL, Bird KT, Janower ML. Primary tuberculosis in childhood with particular
emphasis on changes affecting the tracheobronchial tree. Am J Roentgenol Radium Ther
Nucl Med 1968;103:123132

26. Leung AN, Muller NL, Pineda PR, FitzGerald JM. Primary tuberculosis in childhood:
radiographic manifestations. Radiology 1992; 182:87 91

27. Pombo F, Rodriguez E, Mato J, Perez-Fontan J, Rivera E, Valvuena L. Patterns of


contrast enhancement of tuberculous lymph nodes demonstrated by computed
tomography. Clin Radiol 1992; 46:1317

28. Im JG, Song KS, Kang HS, et al. Mediastinal tuberculous lymphadenitis: CT
manifestations. Radiology1987; 164:115119
29. Leung AN. Pulmonary tuberculosis: the essentials.Radiology 1999; 210:307322

30. Woodring JH, Vandiviere HM, Fried AM, Dillon ML, Williams TD, Melvin IG. Update:
the radiographic features of pulmonary tuberculosis. AJR 1986; 146:497506

31. Krysl J, Korzeniewska-Kosela M, Muller NL, FitzGerald JM. Radiologic features of


pulmonary tuberculosis: an assessment of 188 cases. Can Assoc Radiol J 1994; 45:101
107

32. Sochocky S. Tuberculoma of the lung. Am Rev Tuberc 1958; 78:403410

33. Goo JM, Im JG, Do KH, et al. Pulmonary tuberculoma evaluated by means of FDG PET:
findings in 10 cases. Radiology 2000; 216:117121

34. Hara T, Kosaka N, Suzuki T, Kudo K, Niino H.Uptake rates of 18F-fluorodeoxyglucose


and 11Ccholine in lung cancer and pulmonary tuberculosis: a positron emission
tomography study. Chest 2003; 124:893901

35. Epstein DM, Kline LR, Albelda SM, Miller WT. Tuberculous pleural effusions. Chest
1987; 91:106109

36. Im JG, Itoh H, Lee KS, Han MC. CTpathology correlation of pulmonary tuberculosis.
Crit Rev Diagn Imaging 1995; 36:227285

37. Im JG, Itoh H, Shim YS, et al. Pulmonary tuberculosis: CT findingsearly active
disease and sequential change with antituberculous therapy. Radiology 1993; 186:653
660

38. Lee JY, Lee KS, Jung KJ, et al. Pulmonary tuberculosis: CT and pathologic correlation. J
Comput Assist Tomogr 2000; 24:691698

39. Liang QL, Shi HZ, Wang K, Qin SM, Qin XJ. Diagnostic accuracy of adenosine
deaminase in tuberculous pleurisy: a meta-analysis. Respir Med 2008; 102:744754

40. Choi YW, Jeon SC, Seo HS, et al. Tuberculous pleural effusion: new pulmonary lesions
during treatment. Radiology 2002; 224:493502

41. Kwong JS, Carignan S, Kang EY, Muller NL, FitzGerald JM. Miliary tuberculosis:
diagnostic accuracy of chest radiography. Chest 1996; 110:339342

42. McGuinness G, Naidich DP, Jagirdar J, Leitman B, McCauley DI. High-resolution CT


findings in miliary lung disease. J Comput Assist Tomogr 1992; 16:384390

43. Oh YW, Kim YH, Lee NJ, et al. High-resolution CT appearance of miliary tuberculosis.
J Comput Assist Tomogr 1994; 18:862866

44. Hong SH, Im JG, Lee JS, Song JW, Lee HJ, Yeon KM. High-resolution CT findings of
miliary tuberculosis.J Comput Assist Tomogr 1998; 22:220224
45. Im JG, Itoh H, Han MC. CT of pulmonary tuberculosis.Semin Ultrasound CT MR 1995;
16:420434

46. Moon WK, Im JG, Yeon KM, Han MC. Tuberculosis of the central airways: CT findings
of active and fibrotic disease. AJR 1997; 169:649653

47. Kim Y, Lee KS, Yoon JH, et al. Tuberculosis of the trachea and main bronchi: CT
findings in 17 patients. AJR 1997; 168:10511056

48. Ikezoe J, Takeuchi N, Johkoh T, et al. CT appearance of pulmonary tuberculosis in


diabetic and immunocompromised patients: comparison with patients who had no
underlying disease. AJR 1992; 159:11751179

49. Keane J, Gershon S, Wise RP, et al. Tuberculosis associated with infliximab, a tumor
necrosis factor alpha-neutralizing agent. N Engl J Med 2001; 345:10981104

50. Gardam MA, Keystone EC, Menzies R, et al.Anti-tumour necrosis factor agents and
tuberculosis risk: mechanisms of action and clinical management. Lancet Infect Dis
2003; 3:148155

51. World Health Organization. Programmes and Projects. Tuberculosis. Address TB/HIV,
MDR/XDR-TB and other challenges. www.who.int/tb/challenges/en/. Accessed May 21,
2008

52. Girardi E, Antonucci G, Vanacore P, et al. Tuberculosis in HIV-infected persons in the


context of wide availability of highly active antiretroviral therapy. Eur Respir J 2004;
24:1117

53. Aaron L, Saadoun D, Calatroni I, et al. Tuberculosis in HIV-infected patients: a


comprehensive review.Clin Microbiol Infect 2004; 10:388398

54. Shelburne SA 3rd, Hamill RJ. The immune reconstitution inflammatory syndrome. AIDS
Rev 2003;5:6779

55. Murray JF, Mills J. Pulmonary infectious complications of human immunodeficiency


virus infection. Part I. Am Rev Respir Dis 1990; 141:13561372

56. Barnes PF, Bloch AB, Davidson PT, Snider DE Jr.Tuberculosis in patients with human
immunodeficiency virus infection. N Engl J Med 1991; 324:16441650

57. Goodman PC. Pulmonary tuberculosis in patients with acquired immunodeficiency


syndrome. JThorac Imaging 1990; 5:3845

58. Leung AN, Brauner MW, Gamsu G, et al. Pulmonary tuberculosis: comparison of CT
findings in HIV-seropositive and HIV-seronegative patients.Radiology 1996; 198:687
691

59. Chung MJ, Goo JM, Im JG. Pulmonary tuberculosis in patients with idiopathic
pulmonary fibrosis.Eur J Radiol 2004; 52:175179
60. Kim HY, Im JG, Goo JM, Lee JK, Song JW, Kim SK. Pulmonary tuberculosis in patients
with systematic lupus erythematosus. AJR 1999; 173:16391642

61. Frieden TR, Sterling T, Pablos-Mendez A, Kilburn JO, Cauthen GM, Dooley SW. The
emergence of drug-resistant tuberculosis in New York City. N Engl J Med 1993;
328:521526

62. Goble M, Iseman MD, Madsen LA, Waite D, Ackerson L, Horsburgh CR Jr. Treatment
of 171 patients with pulmonary tuberculosis resistant to isoniazid and rifampin. N Engl J
Med 1993; 328:527532

63. Kim HC, Goo JM, Lee HJ, et al. Multidrug-resistant tuberculosis versus drug-sensitive
tuberculosis in human immunodeficiency virus-negative patients: computed tomography
features. J Comput Assist Tomogr 2004; 28:366371

64. Chung MJ, Lee KS, Koh WJ, et al. Drug-sensitive tuberculosis, multidrug-resistant
tuberculosis, and nontuberculous mycobacterial pulmonary disease in nonAIDS adults:
comparisons of thin-section CT findings. Eur Radiol 2006; 16:19341941

65. Fishman JE, Sais GJ, Schwartz DS, Otten J. Radiographic findings and patterns in
multidrug-resistant tuberculosis. J Thorac Imaging 1998; 13:6571

66. Yew WW, Leung CC. Management of multidrugresistant tuberculosis: update 2007.
Respirology 2008; 13:2146

67. Andrews JR, Shah NS, Gandhi N, Moll T, Friedland G. Multidrug-resistant and
extensively drug-resistant tuberculosis: implications for the HIV epidemic and
antiretroviral therapy rollout in South Africa. J Infect Dis 2007; 196[suppl3]:S482S490

68. Kim HY, Song KS, Goo JM, Lee JS, Lee KS, Lim TH. Thoracic sequelae and
complications of tuberculosis. RadioGraphics 2001; 21:839858; discussion 859860

69. Choi JA, Hong KT, Oh YW, Chung MH, Seol HY,Kang EY. CT manifestations of late
sequelae in patients with tuberculous pleuritis. AJR 2001; 176:441445

70. Choi D, Lee KS, Suh GY, et al. Pulmonary tuberculosis presenting as acute respiratory
failure: radiologic findings. J Comput Assist Tomogr 1999;23:107113

71. Ko KS, Lee KS, Kim Y, Kim SJ, Kwon OJ, Kim JS. Reversible cystic disease associated
with pulmonary tuberculosis: radiologic findings. Radiology 1997; 204:165169

72. Kim WS, Moon WK, Kim IO, et al. Pulmonary tuberculosis in children: evaluation with
CT. AJR 1997; 168:10051009

73. Pastores SM, Naidich DP, Aranda CP, McGuinnes G, Rom WN. Intrathoracic adenopathy
associated with pulmonary tuberculosis in patients with human immunodeficiency virus
infection. Chest 1993; 103:14331437

74. Lee KS, Hwang JW, Chung MP, Kim H, Kwon OJ. Utility of CT in the evaluation of
pulmonary tuberculosis in patients without AIDS. Chest 1996; 110:977984
75. Hulnick DH, Naidich DP, McCauley DI. Pleural tuberculosis evaluated by computed
tomography.Radiology 1983; 149:759765

76. Takeda S, Maeda H, Hayakawa M, Sawabata N,Maekura R. Current surgical intervention


for pulmonary tuberculosis. Ann Thorac Surg 2005;79:959963

Anda mungkin juga menyukai