Anda di halaman 1dari 9

EMFISEMA

A. PENGERTIAN
Emfisema adalah penyakit obstruktif kronik akibat kurangnya elastisitas paru dan luas
permukaan alveoli (Corwin, 2006).
Emfisema merupakan keadaan dimana alveoli menjadi kaku mengembang dan terus
menerus terisi udara walaupun setelah ekspirasi (Mansjoer, 2008).
Emfisema adalah penyakit paru kronik dan progresif yang terjadi ketika dinding-dinding
alveoli rusak/hancur bersama dengan pembuluh-pembuluh darah kapiler yang mengalir
didalamnya. Hal ini mengurangi total area didalam paru dimana darah dan udara dapat
bersentuhan sehingga membatasi potensi untuk pertukaran oksigen dan karbon dioksida.
Akibatnya terjadi penurunan aliran udara ekspirasi dan terjadi hiper-inflasi yang
menyebabkan aliran udara terhambat dan terperangkap di paru-paru, sehingga tubuh tidak
mendapatkan oksigen yang diperlukan (Price & Wilson, 2013).

Gambar 1. Perbedaan alveoli normal dan alveoli yang terkena emfisema


B. KLASIFIKASI
Terdapat 2 (dua) jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan berdasarkan tempat terjadinya
yaitu:
1. Centriacinar atau Centrilobular Emfisema (CLE)
CLE ini secara selektif hanya menyerang bagian bronkhiolus respiratorius. Dinding-
dinding mulai berlubang, membesar, bergabung dan akhirnya cenderung menjadi satu
ruang. Penyakit ini sering kali menyerang bagian atas paru-paru, tapi cenderung
menyebar tidak merata. CLE lebih banyak ditemukan pada perokok berat dengan
bronchitis kronik, dan jarang ditemukan pada mereka yang tidak merokok.
2. Panacinar atau Panlobular Emfisema (PLE)
Panlobular Emfisema mempengaruhi bagian bawah paru-paru. Jenis emfisema ini
disebabkan terutama karena kekurangan enzim alfa-1 antitrypsin, yang penting untuk
fungsi normal paru-paru. Merupakan bentuk emfisema yang kurang umum, dan dapat
dijumpai pada orang yang tidak pernah merokok/perokok pasif.

CLE dan PLE sering kali ditandai dengan adanya bullae tetapi bisa juga tidak. Biasanya
bullae timbul akibat adanya penyumbatan katup pengatur bronkhiolus. Pada waktu inspirasi
lumen bronkhiolus melebar sehingga udara dapat melewati penyumbatan akibat penebalan
mukosa dan banyaknya mucus. Tetapi sewaktu ekspirasi, lumen bronkhiolus tersebut
kembali menyempit, sehingga sumbatan dapat menghalangi keluarnya udara (Brunner &
Suddarth, 2008).

C. PENYEBAB
Emfisema disebabkan karena hilangnya elastisitas alveolus. Alveolus sendiri adalah
gelembung-gelembung yang terdapat dalam paru-paru. Pada penderita emfisema, volume
paru-paru lebih besar dibandingkan dengan orang yang sehat karena karbondioksida yang
seharusnya dikeluarkan dari paru-paru terperangkap di dalamnya. Asap rokok dan
kekurangan enzim alfa-1-antitripsin adalah penyebab kehilangan elastisitas pada paru-paru
ini (Mansjoer, 2008).
Penyebab lainnya menurut Price & Wilson (2013) yaitu :
1. Merokok
Merokok merupakan penyebab utama emfisema. Terdapat hubungan yang erat antara
merokok dan penurunan volume ekspirasi paksa (FEV).
2. Keturunan
Belum diketahui jelas apakah factor keturunan berperan atau tidak pada emfisema kecuali
pada penderita dengan defisiensi enzim alfa 1-antitripsin. Kerja enzim ini menetralkan
enzim proteulitik yang sering dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan,
termasuk jaringan paru, karena itu kerusakan jaringan lebih jauh dapat dicegah.
Defisiensi alfa 1-antitripsin adalah suatu kelainan yang diturunkan secara autosom
resesif. Orang yang sering menderita emfisema paru adalah penderita yang memiliki gen
S atau Z. emfisema paru akan lebih cepat timbul bila penderita tersebut merokok.
3. Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga gejala-gejalanya pun
menjadi lebih berat. Infeksi saluran pernafasan atas pada seseorang penderita bronchitis
kronis hamper selalu menyebabkan infeksi paru bagian bawah, dan menyebabkan
kerusakan paru bertambah. Eksaserbasi bronchitis kronis disangka paling sering diawali
dengan infeksi skunder oleh bakteri.
4. Hipotesis Elastase Antielastase
Di dalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik elastase dan antielastase
agar tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan keseimbangan antara keduanya akan
menimbulkan kerusakan pada jaringan elastis paru. Struktur paru akan berubah dan
timbulah emfisema. Sumber elastase yang penting adalah pancreas, sel-sel PMN, dan
makrofag alveolar (pulmonary alveolar macropagePAM). Rangsangan pada paru
antara lain oleh asap rokok dan infeksi protease-inhibitor terutama enzim alfa 1-
antitripsin menjadi menurun. Akibat yang ditimbulkan karena tidak ada lagi
keseimbangan antara elastase dan antielastase akan menimbulkan kerusakan jaringan
elastic paru dan kemudian emfisema
D. TANDA DAN GEJALA
Tanda dan Gejala Emfisema ringan semakin bertambah buruk selama penyakit terus
berlangsung. Tanda dan gejala emfisema antara lain:
1. Sesak napas
2. Batuk kronis
3. Kehilangan nafsu makan dan berat badan menurun
4. Kelelahan
5. Pada inspeksi: bentuk dada burrel chest
6. Pernapasan dada, pernapasan abnormal tidak efektif, dan penggunaan otot-otot aksesori
pernapasan (sternokleidomastoid)
7. Pada perkusi: hiperesonans dan penurunan fremitus pada seluruh bidang paru.
8. Pada auskultasi: terdengar bunyi napas dengan krekels, ronki, dan perpanjangan ekspirasi
9. Distensi vena leher selama ekspirasi (Price & Wilson, 2013).

E. PATOFISIOLOGI
Adanya inflamasi, pembengkakan bronchi, produksi lender yang berlebihan, kehilangan
recoil elastisitas jalan napas, dan kolaps bronkhiolus, serta penurunan redistribusi udara ke
alveoli menimbulkan gejala sesak pada klien dengan emfisema.
Pada paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang menarik jaringan paru ke
luar (yang disebabkan tekanan intrapleural dan otot-otot dinding dada) dengan tekanan yang
menarik jaringan paru kedalam (elastisitas paru). Keseimbangan timbul antara kedua tekanan
tersebut, volume paru yang terbentuk disebut sebagai fuctional residual capacity (FRC) yang
normal. Bila elastisitas paru berkurang timbul keseimbangan baru dan menghasilkan FRC
yang lebih besar. Volume residu bertambah pula, tetapi VC menurun. Pada orang normal
sewaktu terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang,
sehingga saluran bagian bawah paru akan tertutup.
Pada klien dengan emfisema, saluran-saluran pernafasan tersebut akan lebih cepat dan
lebih banyak yang tertutup. Akibat cepatnya saluran-saluran pernafasan tersebut akan lebih
cepat dan lebih banyak yang tertutup. Akibat cepatnya saluran pernapasan menutup dan
dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang.
Namun, semua itu bergantung pada kerusakannya. Mungkin saja terjadi alveoli dengan
ventilasi kurang/tidak ada, tetapi perfusinya baik sehingga penyebaran udara pernafasan
maupun aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata. Atau dapat dikatakan juga tidak ada
keseimbangan antara ventilasi dan perfusi di alveoli (V/Q rasio yang tidak sama).
Pada tahap akhir penyakit, system eliminasi karbon dioksida mengalami kerusakan. Hal
ini mengakibatkan peningkatan tekanan karbon dioksida dalam darah arteri (hiperkapnea)
dan menyebabkan asidosis respiratorik. Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan,
maka jaringan-jaringan kapiler pulmonal berkurang. Aliran darah pulmonal meningkat dan
ventrikel kanan dipaksa untuk mempertahankan tekanan darah yang tinggi dalam area
pulmonal. Dengan demikian, gagal jantung sebelah kanan (kor pulmonal) adalah salah satu
komplikasi emfisema. Terdapatnya kongesti, edema tungkai (edema dependen), distensi vena
jugularis, atau nyeri pada region hepar menandakan terjadinya gagal jantung (Nowak, 2004).
Sekresi Yang meningkat dan tertahan menyebabkan klien tidak mampu melakukan batuk
efektif untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut dan kronis menetap dalam paru yang
mengalami emfisema, ini memperberat masalah. Individu dengan emfisema akan mengalami
obstruksi kronis yang ditandai oleh peningkatkan tahanan jalan nafas aliran masuk dan aliran
keluar udara dari paru. Jika demikian, paru berada dalam keadaan hiperekspansi kronis.
Untuk mengalirkan udara ke dalam dan keluar paru dibutuhkan tekanan negative selama
inspirasi dan tekanan positif dalam tingkat adekuat yang harus dicapai dan dipertahankan
selama ekspirasi berlangsung. Kinerja ini membutuhkan kerja keras otot-otot pernafasan
yang berdampak pada kekakuan dada dan iga-iga terfikasi pada persendiannya dengan
bermanifestasi pada perubahan bentuk dada dimana rasio diameter AP:Tranversal mengalami
peningkatan (barrel chest). Hal ini terjadi akibat hilangnya elastisitas paru karena adanya
kecenderungan yang berkelanjutan pada dinding dada untuk mengembang.
Pada beberapa kasus, barrel chest terjadi akibat kifosis dimana tulang belakang bagian
atas secara abnormal bentuknya membulat atau cembung. Beberapa klien membungkuk ke
depan untuk dapat bernafas, menggunakan otot-otot bantu nafas. Retraksi fosa supraklavikula
yang terjadi pada inspirasi mengakibatkan bahu melengkung ke depan.
Pada penyakit lebih lanjut, otot-otot abdomen juga ikut berkontraksi saat inspirasi.
Terjadi penurunan progresif dalam kapasitas vital paru. Ekshalasi normal menjadi lebih sulit
dan akhirnya tidak memingkinkan terjadi. Kapasitas vital total (VC) mungkin normal, tetapi
rasio dan volume ekspirasi kuat dalam 1 detik dengan kapasitas vital (FEV1:VC) rendah. Hal
ini terjadi karena elastisitas alveoli yang mengalami kerusakan dan jalan nafas yang
menyempit meningkatkan upaya pernafasan (Smeltzer & Bare, 2002).

F. KOMPLIKASI
1. Sering mengalami infeksi pada saluran pernafasan.
2. Daya tahan tubuh kurang sempurna.
3. Tingkat kerusakan paru semakin parah.
4. Proses peradangan yang kronis pada saluran nafas.
5. Pneumonia.
6. Atelektasis.
7. Pneumothoraks.
8. Meningkatkan resiko gagal nafas (Corwin, 2006).

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Sinar x dada: dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru; mendatarnya diafragma;
peningkatan area udara retrosternal; penurunan tanda vaskularisasi/bula (emfisema);
peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkitis), hasil normal selama periode remisi (asma).
2. Tes fungsi paru: dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan
apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat
disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi, mis., bronkodilator.
3. TLC: peningkatan pada luasnya bronkitis dan kadang-kadang pada asma; penurunan
emfisema.
4. Kapasitas inspirasi: menurun pada emfisema.
5. Volume residu: meningkat pada emfisema, bronkitis kronis, dan asma.
6. FEV1/FVC: rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat menurun pada
bronkitis dan asma
7. GDA: memperkirakan progresi proses penyakit kronis
8. Bronkogram: dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kollaps
bronkial pada ekspirasi kuat (emfisema); pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada
bronchitis.
9. JDL dan diferensial: hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil
(asma)
10. Kimia darah: Alfa 1-antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi dan diagnosa
emfisema primer
11. Sputum: kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen; pemeriksaan
sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi
12. EKG: deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat); disritmia atrial
(bronkitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronkitis, emfisema); aksis
vertikal QRS (emfisema)
13. EKG latihan, tes stres: membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru, mengevaluasi
keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan/evaluasi program latihan (Mansjoer, 2008).

H. PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN


Jika penderita adalah perokok aktif, berhenti merokok dapat membantu mencegah
penderita dari penyakit ini. Jika emfisema sudah menjalar, berhenti merokok mencegah
perkembangan penyakit.
Pengobatan / terapi farmakologi didasarkan pada gejala yang terjadi, apakah gejalanya
ringan, sedang atau berat. Tujuan utama adalah untuk mengurangi obstruksi jalan nafas yang
masih mempunyai komponen yang reversible meskipun sedikit. Hal ini dapat dilakukan
dengan:
1. Pemberian Bronkodilator
a. Golongan Teofilin
Biasanya diberikan dengan dosis 10-15 mg/kg BB per oral dengan memperhatikan
kadar teofilin dalam darah. Konsentrasi dalam darah yang baik antara 10-15 mg/L
b. Golongan Agonis B2
Biasanya diberikan secara aerosol / nebulizer. Efek samping utama adalah tremor,
tetapi menghilang dengan pemberian agak lama.
2. Pemberian Kortikosteroid
Pada beberapa pasien, pemberian kortikosteroid akan berhasil mengurangi obstruksi
saluran nafas. Hinshaw dan Murry menganjurkan untuk mencoba pemberian
kortikosteroid selama 3-4 minggu. Kalau tidak ada respon baru dihentikan.
3. Mengurangi Sekresi Mucus
a. Minum cukup,supaya tidak dehidrasi dan mucus lebih encer sehingga urine tetap
kuning pucat.
b. Ekspektoran, yang sering digunakan ialah gliseril guaiakolat, kalium yodida, dan
amonium klorida.
c. Nebulisasi dan humidifikasi dengan uap air menurunkan viskositas dan
mengencerkan sputum.
d. Mukolitik dapat digunakan asetilsistein atau bromheksin (Mansjoer, 2008).
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth (2008) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Corwin, E. J. (2006) Patofisiologi. Jakarta: EGC

Mansjoer, A. (2008) Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius

Price, S.A. dan Wilson, L.M. (2013) Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed. 6.
Jakarta: EGC

Smeltzer, S.C & Bare, B.G. (2002) Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai