Anda di halaman 1dari 10

Konsumsi kikas dan penyakit neurologi

Gambar 9.4 Efek motorik dan kognitif dari makanan kikas. (A) perpanjangan kaki menurunkan makan
kikas vs. tikus kontrol sebagai fungsi dari waktu (hari). (B) panjangnya cara berjalan pada hewan yang
sama sebagai fungsi waktu (hari). Lingkaran menandakan panjang langkah kanan, segitiga menandakan
panjang langkah kiri. (C) Hasil labirin air Morris mengikuti relokasi bentuk yang tersembunyi ke posisi
yang baru. (D) Data lengan radial menunjukkan pembelajaran yang signifikan dan penurunan ingatan
dalam makanan kikas untuk tikus pada referensi tugas ingatan. Signifikansi *P < 0.05, **P < 0.001, *P <
0.0001 ANOVA.

Bahwa model memang mewakili tanda dari semua ciri ketiga komponen neurologi dari ALS-
PDC : penurunan motorik, gangguan cara berjalan, dan penurunan fungsi kognitif (gejala
ALS, PD, dan AD, berurutan) (tabel 9.5).
Analisis histologi memperlihatkan daerah neurodegenerasi yang tetap dengan
penurunan perilaku yang diamati, serta dengan daerah neurodegenerasi yang ditemukan di
ALS-PDC, AD, PD, dan ALS (Wilson et al., 2002). Berkaitan dengan fungsi kognitif, sel
apoptosis, seperti yang diungkapkan oleh caspase-3 dan TUNEL immunohistochemistry,
diamati dalam berbagai kortikal dan daerah hippocampal. Tambahannya, ada penurunan yang
signifikan dalam kortikal dan volume hippocampal yang diukur dalam bagian yang melewati
daerah otak yang relevan, hasil indikatif dari hilangnya sel dan atrofi. Hasil ini telah
diduplikasi menggunakan teknologi magnetic resonance imaging (MRI) yang memungkinkan
40x resolusi yang lebih besar sebagai perbandingan gambar MRI standar (Wilson et al.,
2004). Ketika pekerjaan ini telah selesai pada jaringan postmortem, percobaan selanjutnya
menggunakan hewan hidup yang akan memfasilitasi pelacakan perubahan volume sepanjang
protokol pemberian makanan dan induksi penyakit neurodegeneratif, membolehkan kita
untuk menghubungkan perubahan dalam daerah spesifik dengan penurunan motorik dan
kognitif.
Tabel 9.5. Ringkasan dari Tujuh Uji Perilaku Dalam Menilai Berbagai Fungsi pada Tikus yang Dapat Disamakan pada Sim
Uji Fungsi yang Dievaluasi Persam
Deskripsi
Panjang cara berjalan Tikus berjalan sepanjang terowongan dengan kaki belakang Panjang cara berjalan: indikasi dari PD: panja
yang dicat keutuhan ganglia basal AD: kela
Scoring: jarak antara cetakan kaki ipsilateral berurutan yang mempred
diukur

Perpanjangan kaki Tikus dipegang terbalik dengan ekornya akan refleks Fungsi neuron motorik kaki ALS: kem
memanjangkan kaki belakang belakang motorik y
Scoring: pencabutan tungkai menunjukkan disfungsi neuron fungsi tun
motorik

Kawat yang Tikus menangkap kawat dengan kaki depan dan Fungsi neuron motorik: kekuatan ALS: kem
menggantung menggantung, atau menyeimbangkan bagian atas kawat; dan keseimbangan neuromuskuler: tungkai at
mengulangi tiga kali refleks menggenggam
Scoring: potensi untuk jatuh

Jaringan listrik yang Tikus menangkap jaringan listrik dan menggantung terbalik Fungsi neuron motorik: kekuatan ALS: kem
menggantung dengan keempat tungkainya; mengulangi tiga kali neuromuskuler pada tungkai: keempat t
Scoring: potensi untuk jatuh refleks menggenggam

Putaran Tikus mencoba untuk tetap di atas memutari batang Fungsi neuron motorik: koordinasi ALS: disf
Scoring: potensi untuk jatuh motorik, keseimbangan, ditunjukk
pembelajaran motorik, fungsi koordinas
sensorik

Labirin ar Tikus berenang di air dan masuk ke lengan labirin, di mana Fungsi kognitif: mengenai ruang, AD: penu
satu dari empat lengan mempunyai panggung penghargaan: petunjuk, dan ingatan pekerjaan ingatan
mengulang tiga kali ALS: sam
Scoring: jumlah memasuki lengan yang benar PD: sama

Penciuman Tikus terbiasa dengan aroma, kemudian tepapar dengan Penciuman: deteksi aroma dan PD: penu
aroma baru perbedaan antara aroma yang baru AD: penu
Scoring: jumlah mencium yang baru vs. aroma yang dan yang dikenal
dikenal; mengulangi tiga kali

Catatan :Referensimenunjukkan tanggung jawab peneliti untuk mengembangkan uji. Lihat teks untuk referensi mengenai symptomatolog
Seperti yang dilihat pada bentuk klasik dari ALS, PD, dan AD. Karena ALS-PDC mempunyai kesamaan symptomatologi pada penyakit in
untuk ALS-PDC.
Gambar 9.5 Efek dari makanan kikas pada immunoreaktif tyrosin
hydroxylase. (A) Kuantifikasi pewarnaan TH striatal menunjukkan
penurunan 30% pada tikus yang makan kikas (N = 4 tikus/kelompok,p ,
0.05, uji-t dua sampel berpasangan). Bagian dari startium menunjukkan
penurunan ekspresi dari TH dalam makanan tikus kikas (B dan C).

Kikas sebagai makanan tikus juga menunjukkan neuropatologi berhubungan dengan


gangguan motorik yang diamati dan sama dengan ALS-PDC. Ada 30% kehilangan neuron
motorik dalam ventral horn dari daerah tulang belakang leher (Wilson et al., 2002). Analisis
MRI juga membuktikan sebuah penurunan signifikan dalam volume ventral horn (Wilson et
al., 2004). Selain itu, beberapa neuron motorik menunjukkan sugesti morfologi yang berubah
dari bagian yang tidak berfungsi. Perubahan yang serupa dilihat dalam ALS-PDC dan klasik
ALS (Shaw et.al, 2002).
Berkenaan dengan fitur neuropatologi dari parkinsonisme, kikas sebagai makanan tikus
menunjukkan penurunan dopaminergik substansial, bersama dengan kematian sel dalam nigra
substansial. Tyrosine hydroxylase (TH), enzim yang bertanggung jawab untuk mengubah L-
dopa ke dopamin dan oleh karena itu penanda spesifik untuk neuron dopaminergik,
berkurang secara signifikan dalam striatum kikas untuk tikus (Schulz et al., 2003) (Gambar
9.5). Striatum menerima persarafan dopaminergik dari SNpc, daerah yang utama dari
hilangnya sel dalam PD. Sementara kita belum melihat hilangnya sel secara signifikan dalam
SNpc, hilangnya proyeksi dopaminergik, digabung dengan parkinsonisme seperti
penurunan perilaku, dianjurkan kita melihat tahap awal dari penyakit, yang diberikan waktu
dan paparan toksin lanjutan yang akan berkembang menjadi tahap akhir perilaku yang lebih
terbuka dan hasil neuropatologi mengingatkan akan gangguan neurodegeneratif klasik ALS,
PD, dan AD.
Analisis dari biomarker tambahan berhubungan dengan neurodegenerasi yang
mengungkap bukti lebih lanjut bahwa model hewan kami meniru aspek kunci dari penyakit
neurodegeneratif manusia. Salah satu perubahan paling awal diamati pada hewan yang makan
kikas adalah penurunan pengaturan dari alat pengangkut glutamat pada daerah yang
bervariasi dari NCS (Wilson et al., 2003). Ini muncul sebagai bintik tambalan tanpa alat
pengangkut. Menariknya, tambalan ini biasanya dipusatkan pada kapiler, kemungkinan jalan
masuk dari racun kikas ke dalam NCS (Khabazian et al., 2002). Jika toksin memasuki NCS
lewat suplai darah, mereka akan mempengaruhi sel sekitar pembuluh darah sebelum
mengubah daerah yang berdekatan. Sesuai dengan pendapat ini, tambalan kecil dipustakan
pada kapiler mungkin menggambarkan secara keseluruhan tahap awal dari tindakan toksin,
dan dengan paparan kikas yang berkelanjutan mungkin ada peningkatan dalam ukuran
tambalan, akhirnya berpuncak pada hilangnya keseluruhan alat pengangkut glutamat seperti
yang diamati pada tahap akhir penyakit neurologi manusia (Wilson et al., 2003). Sehubungan
dengan kematian sel neuron, peningkatan transpor glutamat sangat signifikan, sebagai
transpor glutamat melepaskan glutamat dari sinapsis, sehingga mencegah rangsangan yang
berlebih dan kematian sel eksitotoksik berikutnya dari neuron postsinaptik (Trotti et al., 2001;
mengacu pada Wilson et al., 2003). Ada bukti pemasangan bahwa kematian sel eksitotoksik
mempunyai peran dalam gangguan neurodegeneratif manusia, seperti ALS (Rothstein et al.,
1995) dan AD (Masliah et al. 1996) lebih mendukung gagasan bahwa model murine dari
ALS-PDC mirip dengan tahap awal penyakit pada manusia.
Maksud waktu kejadian yang mengarah pada kematian sel untuk ALS-PDC pada tikus
telah digambarkan dalam Shaw dan temannya (2002). Berdasarkan pekerjaan kita sampa saat
ini, kita mempertimbangkan bahwa awal kejadian pada induksi neurodegenerasi pakis adalah
jalan masuk racun pakis ke dalam NCS melalui sistem pembuluh darah. Dengan cara yang
masih belum diketahui, tetapi kemungkinan melibatkan peningkatan fosforilasi protein kinase
C (PKC) yang abnormal (Khabazian et al., 2002), penurunan kadar transpor glutamat,
menyebabkan penurunan penyerapan dari glutamat dan seiring peningkatan dari ruang
sinaptik dari glutamat. Peningkatan dalam glutamat sinaptik ekstra menyebabkan aktivasi
yang berlebih dan kemudian kematian neuron yang berdekatan. Dalam pandangan ini,
penurunan pencocokan dari transpor glutamat adalah kejadian awal aliran neurodegeneratif,
menganjurkan bahwa patologi lannya diamati dalam postmortem manusia, akhir penyakit
bagian jaringan seperti NFTs dan inflamasi adalah kejadian hilir bahwa berlangsung
kemudian dalam proses penyakit. Pandangan ini didukung oleh karya yang baru dengan
contoh tikus iskemia di mana penurunan transpor glutamat mendahului kematian sel neuron
dalam hippocampus (Raghavendra Rao et al., 2000).
Mengingat bahwa contoh tikus kita pada ALS-PDC meniru banyak aspek kunci dari
gangguan neurodegeneratif manusia kita mengemukakan bahwa itu adalah valid dan alat
yang berharga untuk investigasi lebih lanjut dalam penyakit neurodegeneratif alamiah.
Sementara penurunan kognitif dan motorik, bersama dengan perubahan neuropatologi
disebabkan oleh konsumsi pakis, menunjukkan bahwa racun yang tertelan dapat bertanggung
jawab untuk gangguan tersebut, karya saat ini bertujuan untuk memahami interaksi dari
faktor lainnya yang berhubungan dengan neurodegenerasi seperti umur dan kerentanan
genetik.

Validitas dan Empat Dimensi dari Model Kami

Sebuah model didefinisikan sebagai persiapan eksperimental yang dikembangkan untuk


tujuan mempelajari kondisi dari spasies yang sama atau berbeda (Geyer dan Markou, 1995).
Kriteria standar bahwa model apapun harus memenuhi etiologi, membangun, dan validitas
prediksi. Kita mempercayai bahwa validitas etiologi dari model kita menggantikan beberapa
model penyakit neurodegeneratif saat ini. Beberapa model hewan dari penyakit neurologi,
seperti model pengeluaran berlebih -sinuklein dari PD (Kirik et al., 2002), bergantung pada
induksi penyakit yang relatif mendadak dan berat. Sebaliknya, model kita meniru situasi
manusia yang cukup erat : Konsumsi harian dari kikas yang diproses adalah kecil tetapi
proporsi yang signifikan dari total asupan makanan memancing munculnya secara bertahap
dari ALS-PDC. Bahwa model kita berhubungan penurunan perilaku spesifik dengan
kesesuaian yang mendasari disfungsi neuronal dan/atau indikasi kematian yang membangun
validitas ketepatan dengan ukuran uji yang mana yang di maksudkan untuk mengukur
juga memuaskan. Sehubungan dengan validitas prediksi (kemampuan suatu uji untuk
memprediksi kriteria yang menarik kepada peneliti), kita berharap untuk dapat menggunakan
data perjalanan waktu secara akurat memprediksi tahap selanjutnya dari penyakit dengan
memperhatikan tanda awal, serta menggunakan pengujian perilaku untuk memprediksi
neuropatologi biokimia, dan sebaliknya.
Idealnya, kita berusaha untuk menganalisis ALS-PDC dalam empat dimensi (Shaw
dan Wilson, 2003). Penurunan perilaku, perubahan biokimia, dan morfologi atau hasil
patologi kita melihat dalam hewan kita terjadi dalam empat dimensi waktu, dan empat
dimensi ini bersama-sama membolehkan kita untuk lebih mengerti sepenuhnya pada penyakit
neurodegeneratif. Inilah empat dimensi waktu yang membicarakan penambahan validitas
etiologi untuk model kita. Banyak model hewan dari penyakit neurodegeneratif, seperti 6-
hydroxy-dopamine (6-OHDA) melukai model nigra substantia dari PD (Oiwa et al., 2003),
hanya bagian yang diperhatikan yang berhubungan dengan lambat atau bahkan fase bagian
akhir dari penyakit. Sebaliknya, kita berusaha untuk memasukkan angka, jenis, dan luasnya
perkembangan penyakit sebagai subyek berpindah dari bagian CNS normal, melalui
kerusakan neurologi praklinis, ke diagnosis klinis, dan akhirnya, tiba pada bagian akhir.
Setibanya pada titik akhir ini harus cukup lambat untuk memungkinkan kita menangkap
beberapa kejadian dari cercaan ke tahap akhir yang memungkinkan. Bahkan, induksi yang
sangat cepat dari ALS-PDC (misalnya, membandingkan MPTP yang diinduksi PD;
Renkawek, 1986) akan menjadi model valid etiologi yang kurang dari penyakit
neurodegeneratif manusia, karena akan menjadi lebih kecil kemungkinan secara akurat yang
mencerminkan rangkaian yang sebenarnya dari kejadian yang terjadi pada pasien manusia.

Rencana Perjalanan Waktu


Realistis kami lambat, model dasar kikas telah memungkinkan kita untuk memulai bagian
bersama perkembangan penyakit dari ALS-PDC dalam tikus. Dengan mengorbankan hewan
pada sejumlah titik waktu selama perjalanan penyakit, rencanaperjalanan waktu kami akan
memberikan jalan keluar dari apa yang biokimia dan perubahan neuron dasari dari hubungan
perilaku dari waktu ke waktu. Sebagaimana di maksud, penurunan pengaturan dari transpor
glutamat, sebagai contoh adalah perubahan yang terjadi sangat awal dalam perkembangan
penyakit (Wilson et al., 2003), sementara apoptosis neuron, yang diukur dengan TUNEL,
muncul belakangan (Wilson et al., 2002). Selama perjalanan penyakit neurodegeneratif, fase
dari tindakan pengamanan (misalnya respon goncangan panas), respon imunologi melibatkan
aktivasi mikroglia, seperti fase neurodegenerasi akan muncul semua pada titik waktu yang
berbeda dalam berbagai daerah yang terkena efek NCS.

Seperti kita menemukan urutan waktu ini, kita akan menjadi lebih membedakan antara
penyebab penyakit, terjadi tiba-tiba, dan sebagai komponen pengganti (berhasil atau gagal)
(Shaw et al., 2002). Keterbatasan saat ini termasuk ketidakmampuan untuk mengenali
penyakit secara klinis sampai sebanyak dua pertiga dari populasi neuron yang bersangkutan
telah merosot dan ketergantungan pada jaringan postmortem untuk wawasan dalam penyakit
neurodegeneratif. Dengan demikian, kebanyakan model gagal untuk mengidentifikasi cara-
cara intervensi yang mana yang akan berhenti, atau bahkan mencegah, kerusakan neurologi;
sebagai gantinya, intervensi telah meringankan sebagian besar secara alamiah untuk pasien
ini. Model seperti yang kita miliki termasuk sifat progresif dari penyakit neurodegeneratif
akan memperbolehkan kita melampaui perawatan yang ringan ini dan mengembangkan
target terapi yang berpotensi menghentikan perkembangan penyakit ini dengan sebenar-
benarnya. Seperti yang digambarkan secara skematis dalam Gambar 9.6 sangat penting
bahwa kita mulai mengerti perubahan patologi yang lebih awal dari penyakit neurologi untuk
memberikan diagnosis yang optimal dan intervensi.
Gambar 9.6 Skema waktu dari tahap yang diduga dalam
bentuk sporadik pada penyakit neurologi. Skema ini
menyajikan waktu mulai yang ideal dari kondisi utuh
(sebelum penyakit) sistem saraf. Diagnosa klinis
(permulaan penyakit) terjadi dalam kebanyakan kasus
gejala perilaku menjadi jelas, yang mana secara umum
terjadi kira-kira 50 sampai 70% neuron yang mati.
Permulaan ini digambarkan dalam garis horizontal.

Untuk memindahkan dari model tikus ke pengalaman manusia dari penyakit degeneratif kita
harus mengubah data kita (Shaw et al., 2002; Shaw and Wilson, 2003). Proses contoh
pencocokan ini, tergantung dari validitas prediktif model, melibatkan pengetahuan khusus
dari semua penyakit dalam empat dimensinya, terutama perkembangan alamiahnya. Karena
kami memperluas pengetahuan dari penurunan perilaku, perubahan biokimia, dan morfologi
atau hasil patologi dari makanan kikas untuk tikus, kita akan semakin mampu berpindah dari
tikus ke manusia. Pengamatan (misalnya, MRI: Wilson et al., 2004; PET: Snow et al., 1990)
dan berdasarkan proses deteksi biomarker, dan menggunakan hubungan, model perjalanan
waktu kita, mungkin di masa depan digunakan untuk mengidentifikasi tahap awal dari
penyakit neurodegeneratif pada pasien manusia.

Jenis Kelamin, Umur, dan Genetik: Variabel Penting

Kita berusaha menerapkan informasi yang dikumpulkan dari model kita ke populasi manusia,
kita harus menyebut tiga variabel dari efek yang signifikan: jenis kelamin, umur, dan genetik.
Walaupun proses penyakit yang mendasar akan serupa untuk populasi yang berbeda ini, ada
perbedaan yang signifikan, dikenal dan tidak dikenal, antara mereka. Rasio jenis kelamin dari
Guamian ALS dan PDC condong ke arah laki-laki pada 1950an dan 1960an, tetapi telah
berubah menjadi angka yang sebanding pada laki-laki dan perempuan di1980 (Plato et al.,
2003). Selanjutnya, tidak berarti bahwa serangan umur atau durasi kesakitan adalah sama
untuk laki-laki dan perempuan menderita ALS atau PDC (Rodgers-Johnson et al., 1986).
Sementara kita belum tahu sedikit tentang perbedaan jenis kelamin dalam ALS-PDC,
pekerjaan saat ini dalam laboratorium berbicara persoalan ini.

Umur juga adalah sebuah variabel yang harus kita perhatikan untuk memasukkan
analisis dasar model kita dari ALS-PDC. Hal itu adalah bersama dengan genetik dan
lingkungan, satu dari tiga faktor utama yang bertanggung jawab untuk perkembangan
penyakit neurodegeneratif. Seperti yang diperlihatkan pada Gambar 9.1, peningkatan umur
berhubungan dengan peningkatan resiko penyakit. Karena kita belum mengerti empat
dimensi dari faktor ini bagaimana hal itu mempengaruhi biokimia, fisiologi, dan
manifestasi perilaku ALS-PDC dari waktu ke waktu laboratorium kita telah melakukan
studi penting tergantung usia. Pekerjaan ini memperbanyak model kita dari ALS-PDC, dan
kemudian etiologi dan validitas prediksi. Kita memperkirakan bahwa hewan yang lebih muda
akan mempunyai resistensi yang lebih baik, mekanisme pengganti yang lebih kuat, dan
proses perbaikan lebih efisien dibandingkan hewan yang sudah tua dan akibatnya akan
kurang rentan untuk perkembangan ALS-PDC. Bagaimanapun, hubungan antara umur dan
kerentanan mungkin tidak linier. Sebagai contoh, keduanya hewan yang sangat muda dan
sangat tua adalah lebih rentan daripada tikus yang berusia pertengahan untuk
mengembangkan penyakit. Sebagai tambahan untuk peningkatan kerentanan ini, kita
mengharapkan bahwa hewan yang lebih rentan akan membuat juga lebih parah dan/atau
mempercepat neurodegenerasi.

Meskipun kekurangan pola umum yang jelas dari turunan menyarankan bahwa genetik
tunggal bukan dasar dari mayoritas penyakit neurologi kasus ini, untuk mengabaikan peran
genetik akan menjadi terlalu sederhana. Kenyataannya, kerentanan genetik, bersama dengan
umur, sebuah faktor yang pada waktunya memainkan peran etiologi yang signifikan dalam
perkembangan dan kemajuan penyakit. Kerentanan genetik ini, namun, berkisar dari
penurunan resiko perkembangan penyakit neurologi ke perubahan kecil dalam kemampuan
organisme merespon racun (misalnya, respon heat shock yang dilemahkan yang kemudian
menyebabkan pengumpulan yang kacau, mengembangkan protein) ke perubahan yang
sangat spesifik yang cukup mengganggu dan karenanya penyebab langsung penyakit
neurologi (misalnya disebabkan oleh mutasi SOD-1).

Kita mulai memeriksa gen - interaksi lingkungan menggunakan model induksi kikas
dari ALS-PDC dengan apolipoprotein E (ApoE) memukul tikus. ApoE adalah lipoprotein
utama dari CNS dan terlibat dalam transpor plasma lipid dan dalam pembagian kembali lipid
antara sel (Mahley, 1998). Selama dekade terakhir, banyak studi yang terkait berbagai
isoform ApoE untuk kedua perlindungan dari dan kerentanan untuk penyakit
neurodegeneratif. Sebagai contoh, ApoE4 berhubungan dengan peningkatan resiko dari AD
dan hasil yang buruk stelah cedera kepala akut atau stroke (Slooter et al., 1997) sedangkan
ApoE2 menurunkan resiko dari perkembangan gangguan neurodegeneratif tertentu (Buee et
al., 1996). Kita menemukan bahwa makanan pakis untuk tikus dengan tumbukan lengkap
ApoE allele mengembangkan penurunan motorik yang tidak signifikan dibandingkan
makanan kikas dengan tikus liar yang menampilkan penurunan (seperti yang dijelaskan
sebelumnya). Hasil ini memberi dukungan untuk pendapat bahwa racun kikas adalah
glukosida sterol. Kegagalan untuk membawa toksin ini ke otak, berpotensi diinduksi oleh
ApoE knockout, dapat menjelaskan ketidakadaan hasil neurologi yang diamati secara normal
dari konsumsi kikas. Sekarang, efek dari allele ApoE spesifik tambahan atau penghilangan
hasil konsumsi kikas sedang diselidiki.

Sehingga kita saat ini memperluas model murine kita ALS-PDC untuk memasukkan
dalam kerentanan variabel genetik, jenis kelamin, dan umur. Bahkan, sejak jenis kelamin dan
efek umur bersama-sama dihubungkan dengan ramalan yang lebih baik (Mukai et al., 1982),
dan jenis kelamin berhubungan dengan umur saat diserang (Reed et al., 1975), kita juga
mencari untuk menggabungkan variabel ini. Bersama dengan pertimbangan genetik kita
didasarkan pada penyakit neurologi (misalnya, SOD-1, yang menyebabkan ALS, ApoE) dan
kenyataannya bahwa kerentanan genetik mungkin baik meningkatkan dan menurunkan resiko
perkembangan penyakit (Gambar 9.1), ini menciptakan model yang jauh lebih beraneka
ragam dari ALS-PDC.

Keterbatasan dari Model Saat Ini

Seperti pasti terjadi ketika menggunakan model hewan untuk mempelajari penyakit
pada manusia, model murine kita saat ini dari ALS-PDC mempunyai keterbatasan. Beberapa
dari ini dapat dengan mudah ditujukan dengan memanipulasi sedikit variabel kunci (misalnya
umur), dan pekerjaan saat ini dalam laboratorium kita dimulai dengan membahas issu ini.
Kita percaya bahwa model kita adalah valid dan akan berlanjut untuk menyediakan kita
dengan pengetahuan yang signifikan ke dalam Rosetta Stone dari penyakit neurologi, ALS-
PDC.

Satu masalah model kami saat ini tidak membahas kenyataan bahwa ada beberapa studi
kasus individu, sebagai anak-anak, menderita akut dan reaksi parah pada konsumsi kikas,
jangan memakannya lagi, dan ALS-PDC tidak berkembang sepenuhnya dalam dekade
terakhir (Calne dan Eisen, 1989). Studi dependen-umur kita menyatakan interaksi umur dan
paparan toksin ini, tetapi kita belum menguji interaksi antara derajat insult awal dan waktu
inkubasi. Hingga kini, kita tidak dapat menguraikan efek awal vs. paparan yang larut pada
kikas.

Kekurangan lainnya pada model saat ini adalah ketergantungan kita pada kegunaan
kikas, dan tidak sepenuhnya racun. Kita mengetahui bahwa meskipun proses kikas adalah
relatif bebas dari azoxyglykosida dan BMAA, dan glukosida sterol yang tetap, itu tetap masih
mengandung senyawa yang belum teridentifikasi, apapun yang dapat membuktikan akan
sebab akibat baik sendiri, maupun bersama dengan toksin lainnya untuk perkembangan
ALS-PDC. Model hewan yang lebih jelas dari kikas menyebabkan ALS-PDC oleh karena itu
akan melibatkan paparan hewan untuk toksin spesifik tunggal.

Kesimpulan

Bab ini merangkum kejadian yang menghubungkan konsumsi kikas untuk perkembangan
gangguan neurologi yang khas. Contoh toksisitas gizi ini mungkin juga memberikan
wawasan dalam hubungan gangguan neurodegeneratif, yang mengarah ke konsepsi dari ALS-
PDC sebagai Rosetta Stone neurologi dalam hubungannya dengan bentuk klasik ALS, AD,
dan PD. Secara khusus, model ALS-PDC lebih jauh memahami perilaku dan komponen
neuropatologi dari perkembangan penyakit pada tikus, dan kita percaya bahwa informasi ini
dapat dialihkan untuk penyakit neurologi pada manusia. Pada fase yang paling awal dari
penyakit terkait dengan manifestasi klinis selanjutnya, dan sebagai kejadian awal yang juga
dihubungkan pada fase awal ini, kita dapat memutarbalikan rencana penyakit neurologi dan
menyarankan intervensi yang akan mencegah, memberhentikan, atau membalikkan
perkembangan penyakit. Lagi pula, wawasan dalam mekanisme dari kikas (neuro)toksisitas
dapat menjelaskan pada toksisitas gizi yang mirip di sekeliling dunia.

Anda mungkin juga menyukai