Anda di halaman 1dari 36

PRESENTASI KASUS

HIPERBILIRUBINEMIA

Disusun Oleh :
Arnita Ilanur
030.12.035

Pembimbing :
dr. Kirana Kamima, Sp.A

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
PERIODE 3 APRIL 10 JUNI 2017
JAKARTA

1
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan kasus dengan judul :


Hiperbilirubinemia

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan


Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit Anak RSUD Budhi Asih
Periode 3 April 10 Juni 2017

Disusun oleh :
Arnita Ilanur
030.12.035

Telah diterima dan disetujui oleh dr. Kirana Kamima, Sp. A


Selaku dokter pembimbing Departemen Ilmu Penyakit Anak RSUD Budhi Asih

Jakarta, 27 April 2017


Mengetahui,

dr. Kirana Kamima, Sp. A

KATA PENGANTAR

2
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat
dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang berjudul
"Hiperbilirubinemia" dengan baik dan tepat waktu. Laporan kasus ini disusun untuk
memenuhi persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan kepaniteraan klinik ilmu penyakit
anak di RSUD Budhi Asih.
Penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada dr. Kirana Kamima, Sp. A
sebagai pembimbing yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya untuk
memberikan bimbingan, arahan, serta motivasi kepada penulis. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada keluarga dan rekan-rekan sejawat yang telah memberikan dukungan,
saran, dan kritik yang membangun. Keberhasilan penyusunan laporan kasus ini tidak akan
tercapai tanpa adanya bantuan, dan bimbingan dari berbagai pihak-pihak tersebut.

Jakarta, 27 April 2017

Arnita Ilanur

DAFTAR ISI

3
LEMBAR PENGESAHAN2
KATA PENGANTAR3
DAFTAR ISI...4
BAB I PENDAHULUAN.5
BAB II LAPORAN KASUS...6
BAB III TINJAUAN PUSTAKA..16
BAB IV PEMBAHASAN KASUS...38
DAFTAR PUSTAKA39

BAB I
PENDAHULUAN

4
Ikterus adalah deskolorasi kuning pada kulit, membran mukosa, mukosa, dan sklera akibat
peningkatan kadar bilirubin darah. Orang dewasa tampak kuning bila kadar bilirubin serum >
2mg/dl, sedangkan pada neonatus bila kadar bilirubin serum >5mg/dl. Hiperbilirubinemia
adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus ke arah terjadinya kern
ikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin tidak dikendalikan. Ikterus lebih
mengacu pada gambaran klinis berupa pewaranaan kuning pada kulit, sedangkan
hiperbilirubinemia lebih mengacu pada gambaran kadar bilirubin serum total.
Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non
patologis sehingga disebut Excess Physiological Jaundice. Digolongkan sebagai
hiperbilirubinemia patologis (Non Physiological Jaundice) apabila kadar serum bilirubin
terhadap usia neonatus >95%.1,2

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RS PENDIDIKAN: RSUD BUDHI ASIH
STATUS PASIEN KASUS II

Nama Mahasiswa : Arnita Ilanur Pembimbing : Dr. Kirana K, SpA


NIM : 030.12.035 Tanda tangan :

IDENTITAS PASIEN
Nama : By. J Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 6 hari Suku Bangsa : Batak
Tempat / tanggal lahir : Jakarta, 12 April 2016 Agama : Kristen
Alamat : Jl. Kampung Kramat RT 005/RW005 Cililitan, Kramat Jati
Pendidikan :-
5
Orang tua / Wali
Ayah : Ibu :
Nama : Tn. A Nama : Ny. R
Umur : 30 tahun Umur : 31 tahun
Alamat : Jl. Kampung Kramat Alamat : Jl. Kampung Kramat
Pekerjaan : Karyawan Swasta Pekerjaan : Karyawan swasta
Penghasilan : Rp. 1500.000 Penghasilan : 1.500.000
Suku bangsa : Batak Suku bangsa : Batak
Agama : Kristen Agama : Kristen
Hubungan dengan orang tua : pasien merupakan anak kandung

I. RIWAYAT PENYAKIT
A. ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis dengan
Lokasi : Ruang Perinatologi
Tanggal / waktu : 18 April 2017 pk. 12.30 WIB
Tanggal masuk : 18 April 2017
Keluhan utama : Badan tampak kuning
Keluhan tambahan : -

A. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :


Pasien datang ke Poliklinik Anak RSUD Budhi Asih dengan keluhan badan tampak kuning.
Ibu pasien tidak mengetahui kapan awalnya tubuh pasien tampak kuning. Sekarang tubuh
pasien tampak kekuningan mulai dari leher, dada, perut, punggung, dan kedua paha serta kaki
dan tanan. Adanya demam disangkal, tidak ada muntah, batuk, pilek, maupun kejang. BAB
berwarna kuning, 2 3 x/hari, BAK biasa, berwarna kekuningan.
Pasien diberi minum ASI sejak lahir, hisapan minum baik. Pasien lahir di RSUD
Budhi Asih pada tanggal 12 April 2017 secara SC atas indikasi CPD, pukul 15.55. Pasien
sempat dirawat bersama ibu di ruang perawatan RSUD Budhi Asih selama 4 hari.
Golongan darah ibu O+, ayah B+, anak B+. Pasien merupakan anak pertama.

B. RIWAYAT PENYAKIT YANG PERNAH DIDERITA


Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur
Alergi (-) Difteria (-) penyakit jantung (-)
Cacingan (-) Diare (-) Penyakit ginjal (-)
DBD (-) Kejang (-) Radang paru (-)
Otitis (-) Morbili (-) TBC (-)
Parotitis (-) Operasi (-) Lain-lain (-)

Kesimpulan Riwayat Penyakit yang pernah diderita: pasien belum pernah menderita
keluhan seperti sekarang maupun mengidap penyakit lain.
6
C. RIWAYAT KEHAMILAN / KELAHIRAN
Morbiditas kehamilan Tidak ada penyakit selama kehamilan
Rutin kontrol ke klinik bidan 1 bulan
KEHAMILAN
Perawatan antenatal sekali dan sudah mendapat imunisasi
vaksin TT
Tempat persalinan RSUD Budhi Asih
Penolong persalinan Dokter Obsgyn

Cara persalinan SC ai CPD

Masa gestasi Cukup bulan, 38-39 minggu


KELAHIRAN Berat lahir : 3087 gr
Panjang lahir : 46 cm
Lingkar kepala : 35 cm
Keadaan bayi Langsung menangis ( + )
Kemerahan ( + )
Nilai APGAR : 9/10
Kelainan bawaan : tidak ada
Kesan: Pasien dilahirkan secara SC ai CPD

D. RIWAYAT MAKANAN

Umur
ASI/PASI Buah / Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
(bulan)
02 ASI - - -
Kesimpulan riwayat makanan : Pasien minum ASI, hisapan minum baik

E. RIWAYAT IMUNISASI
Vaksin Dasar ( umur )
BCG - - -
DPT / PT - - -
Polio - - -
Campak - - -
Hepatitis B - - -
Kesimpulan riwayat imunisasi : Pasien belum diberikan imunisasi

F. RIWAYAT KELUARGA
a. Corak Reproduksi

7
Tanggal lahir Jenis Lahir Mati Keterangan
No Hidup Abortus
(umur) kelamin mati (sebab) kesehatan

1. 12 April 2013 Laki-laki + - - - (Pasien)

b. Riwayat Pernikahan
Ayah / Wali Ibu / Wali
Nama Tn. A Ny. R
Perkawinan ke- 1 1
Umur saat menikah 29 tahun 29 tahun
Pendidikan terakhir SMA SMA
Agama Kristen Kristen
Suku bangsa Batak Batak
Keadaan kesehatan Sehat Sehat
Kosanguinitas - -
Penyakit, bila ada - -

c. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada keluarga yang pernah menderita penyakit seperti pasien. Tidak ada yang
menderita penyakit kuning, atau penyakit hati pada keluarga pasien

G. RIWAYAT LINGKUNGAN PERUMAHAN


Pasien tinggal bersama ayah, ibu, dan neneknya di sebuah rumah tinggal di perumahan
dengan dua kamar tidur, satu kamar mandi, dapur, beratap genteng, berlantai keramik,
berdinding tembok.
Keadaan rumah cukup luas, pencahayaan baik, ventilasi baik.
Sumber air bersih dari air PAM. Air limbah rumah tangga disalurkan dengan baik dan
pembuangan sampah setiap harinya diangkut oleh petugas kebersihan.
Kesimpulan Keadaan Lingkungan : Cukup baik

II. PEMERIKSAAN FISIK (Tanggal 18 April 2013 jam 12.45 WIB)


A. Status Generalis
Keadaan Umum
Kesan Sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Composmentis
Keadaan lain : anemis (-), ikterik (+), sianosis (-), dyspnoe (-)
Data Antropometri
Berat Badan sekarang : 2800 gr Lingkar Kepala : 35 cm
Ballard Score:
NCB-SMK Gestasi 38-39 minggu

8
Tanda Vital
Nadi : 134 x / menit, kuat, isi cukup, ekual kanan dan kiri, regular
Tekanan Darah : -
Napas : 32 x / menit, tipe abdomino-torakal, inspirasi : ekspirasi = 1 : 2
Suhu : 36,7 C, axilla (diukur dengan termometer air raksa)

KEPALA : Normocephali, sutura belum menutup


RAMBUT : Rambut hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabut, cukup tebal
WAJAH : Wajah simetris, tidak ada pembengkakan, luka atau jaringan parut
MATA:
Sklera ikterik : +/+ Lagofthalmus : -/-
Konjunctiva anemis : -/- Cekung : -/-
Exophthalmus : -/- Kornea jernih : +/+
Strabismus : -/- Lensa jernih : +/+
Nistagmus : -/- Pupil : bulat, isokor
Refleks cahaya : langsung +/+ , tidak langsung +/+
TELINGA :
Bentuk : normotia Tuli : -/-
Nyeri tarik aurikula : -/- Nyeri tekan tragus : -/-
Liang telinga : lapang Membran timpani : sulit dinilai
Serumen : -/- Refleks cahaya : sulit dinilai
Cairan : -/-
HIDUNG :
Bentuk : simetris Napas cuping hidung :-
Sekret : -/- Deviasi septum :-
Mukosa hiperemis : -/-
BIBIR : Simetris saat diam, mukosa berwarna merah muda, kering (-), sianosis (-)
MULUT : Oral higiene baik, trismus (-), mukosa gusi dan pipi : merah muda, hiperemis (-),
ulkus (-), halitosis (-), lidah : normoglosia, ulkus (-), hiperemis (-) massa (-)
TENGGOROKAN : tonsil T1 T1 tenang tidak hiperemis, kripta tidak melebar, detritus (-),
faring tidak hiperemis, ulkus (-) massa (-)
LEHER : Bentuk tidak tampak kelainan, tidak tampak pembesaran tiroid maupun KGB,
tidak tampak deviasi trakea, tidak teraba pembesaran tiroid maupun KGB, trakea teraba di
tengah
THORAKS :
Inspeksi : Bentuk thoraks simetris pada saat statis dan dinamis, tidak ada pernapasan
yang tertinggal, pernapasan abdomino-torakal, pada sela iga tidak terlihat adanya
retraksi, pembesaran KGB aksila -/- , tidak ditemukan efloresensi pada kulit dinding
dada, ictus cordis tidak terlihat, pulsasi abnormal (-)
Palpasi : tidak terdapat nyeri tekan dan benjolan, gerak napas simetris kanan dan kiri,
vocal fremitus sama kuat kanan dan kiri, ictus cordis tidak teraba, denyut kuat
Perkusi : sonor di kedua lapang paru, jantung dalam batas normal
Auskultasi : suara napas vesikuler, reguler, ronki -/-, wheezing -/-, bunyi jantung I-II
reguler, murmur (-), gallop (-)
ABDOMEN :
9
Inspeksi : bentuk perut buncit, simetris. Tidak terdapat efloresensi. Ikterik (+)
Auskultasi: BU (+) 4x/menit, tidak terdengar arterial bruit maupun venous hum
Perkusi: timpani pada seluruh lapang abdomen
Palpasi: hangat, supel, nyeri tekan (-), hepar lien teraba dalam batas normal
ANOGENITALIA : jenis kelamin perempuan, tanda radang (-), ulkus (-), sekret (-),
fissura ani (-)
KGB :
Preaurikuler : tidak teraba membesar
Postaurikuler : tidak teraba membesar
Submandibula : tidak teraba membesar
Supraclavicula : tidak teraba membesar
Axilla : tidak teraba membesar
Inguinal : tidak teraba membesar

ANGGOTA GERAK :
Ekstremitas : akral hangat di keempat ekstremitas
Tangan Kanan Kiri
Tonus otot normotonus normotonus
Sendi aktif aktif
Refleks fisiologis (+) (+)
Refleks patologis (-) (-)
Lain-lain oedem (-) oedem (-)

Kaki Kanan Kiri


Tonus otot normotonus normotonus
Sendi aktif aktif
Refleks fisiologis (+) (+)
Refleks patologis (-) (-)
Lain-lain oedem (-) oedem (-)
KULIT : tampak ikterik (kramer derajat 5), tidak sianosis, turgor kulit baik, lembab,
pengisian kapiler < 3 detik, petechie (-)
TULANG BELAKANG : bentuk normal, tidak terdapat deviasi, benjolan (-), ruam (-)

III. PEMERIKSAAN LABORATORIUM


Tanggal 18 April 2013
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Bilirubin total 19.81 mg/dl < 12 mg/dl
Bilirubin direk 0.62 mg/dl <1.2mg/dl

IV. RESUME
Pasien laki-laki, usia 6 hari, datang dengan keuhan badan tampak kuning. Tidak ada keluhan
penyerta lain. Pada pemerikasaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang.
10
Didapatkan sklera ikterik dan kulit ikterik Kramer derajat 5. Golongan darah ibu O+, ayah
B+, anak B+
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan peningkatan pada kadar bilirubin total dan
bilirubin indirek.

V. DIAGNOSIS BANDING
Hiperbilirubinemia indirek ec
Inkompatibilitas ABO
Ikterus fisiologis
Anemia hemolitik
Breastfeeding jaundice
Breastmilk jaundice

VI. DIAGNOSIS KERJA


Hiperbilirubinemia indirek ec Inkompatibilitas ABO

VII. PEMERIKSAAN ANJURAN


Bilirubin ulang
Darah rutin

VII. PENATALAKSANAAN
Non Medikamentosa
Blue light therapy

Medikamentosa
(-)

VIII. PROGNOSIS
Ad Vitam : ad bonam
Ad Sanationam : ad bonam
Ad Fungtionam : ad bonam

FOLLOW UP
Tgl S O A P
19/04/2017 Kulit KU: TSS, Ikterik (+) Hiperbilirubinemia Blue light therapy
Kesadaran: CM
berwarna
N: 130 x/m
kuning RR: 34 x/m
Demam (-) S: 36,5 C
Muntah (-) Kepala:
normocephali, sutura
belum menutup
11
Mata: CA -/-, SI +/+
Hidung: NCH (-)
Mulut: sianosis (-)
Leher: KGB tiroid
TTM
Thorax:
C/ S1 S2 reguler
m (-), g (-)
P/ SN ves,
rh -/-, wh -/-
Abdomen:
Buncit, supel, BU
(+), timpani, turgor
baik
Ekstremitas: Akral
hangat

20/04/2017 Kulit KU: TSS, Ikterik (-) Hiperbilirubinemia Fototherapy


Kesadaran: CM Boleh pulang
berwarna
N: 132 x/m
kuning (-) RR: 32 x/m
Demam (-) S: 36,7 C
Muntah (-) Kepala:
normocephali, sutura
belum menutup
Mata: CA -/- SI -/-
Hidung: NCH (-)
Mulut: sianosis (-)
Leher: KGB tiroid
TTM
Thorax:
C/ S1 S2 reguler
m (-), g (-)
P/ SN ves
rh -/-, wh -/-
Abdomen:
Buncit, supel, BU
(+), timpani, turgor
baik
Ekstremitas: Akral
hangat

Laboratorium

12
Tanggal 18 April 2017 Pukul 23.08
Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Bilirubin total 14.22 mg/dl < 12 mg/dl
Bilirubin direk 0.81 mg/dl <1.2mg/dl

Tanggal 19 April 2017


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Bilirubin total 12.29 mg/dl < 12 mg/dl
Bilirubin direk 0.45 mg/dl <1.2mg/dl

Tanggal 20 April 2017


Jenis Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Bilirubin total 9.8 mg/dl < 12 mg/dl
Bilirubin direk 0.31 mg/dl <1.2mg/dl

13
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Ikterus adalah deskolorasi kuning pada kulit, membran mukosa, mukosa, dan sklera akibat
peningkatan kadar bilirubin darah. Orang dewasa tampak kuning bila kadar bilirubin serum >
2mg/dl, sedangkan pada neonatus bila kadar bilirubin serum >5mg/dl. Hiperbilirubinemia
adalah ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus ke arah terjadinya kern
ikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin tidak dikendalikan. Ikterus lebih
mengacu pada gambaran klinis berupa pewaranaan kuning pada kulit, sedangkan
hiperbilirubinemia lebih mengacu pada gambaran kadar bilirubin serum total.
Hiperbilirubinemia fisiologis yang memerlukan terapi sinar, tetap tergolong non
patologis sehingga disebut Excess Physiological Jaundice. Digolongkan sebagai

hiperbilirubinemia patologis (Non Physiological Jaundice) apabila kadar serum bilirubin


terhadap usia neonatus >95%.1,2

14
Gambar 1. Faktor risiko pada peningkatan bilirubin pada bayi baru lahir.3,4

3.2 Etiologi
Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkanoleh
beberapa faktor. Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi : 1. Produksi
yang berlebihan. Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada
hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, ABO, golongan darah lain,
defisiensi enzim G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis. 2. Gangguan dalam
proses uptake dan konjugasi hepar. Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas hepar,
kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis,
hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom
Criggler- Najjar). Penyebab lain ialah defisiensi protein Y dalam hepar yang
berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel hepar. 3. Gangguan transportasi bilirubin
dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke hepar. Ikatan bilirubin dengan
albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat. Defisiensi albumin menyebabkan
lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke
sel otak. 4. Gangguan dalam eksresi. Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar
atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan.
Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.2

3.3 Metabolisme Bilirubin


Bilirubin adalah pigmen kristal berbentuk jingga ikterus yang merupakan bentuk akhir dari
pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi-reduksi. Bilirubin berasal dari
katabolisme protein heme, dimana 75% berasal dari penghancuran eritrosit dan 25% berasal
dari penghancuran eritrosit yang imatur dan protein heme lainnya seperti mioglobin,
sitokrom, katalase dan peroksidase. Metabolisme bilirubin meliputi pembentukan bilirubin,
transportasi bilirubin, asupan bilirubin, konjugasi bilirubin, dan ekskresi bilirubin.
Langkah oksidase pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan bantuan
enzim heme oksigenase yaitu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati, dan organ
lain. Biliverdin yang larut dalam air kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim

15
biliverdin reduktase. Bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hidrogen serta pada pH
normal bersifat tidak larut.
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya dilepaskan ke
sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bilirubin yang terikat dengan albumin serum
ini tidak larut dalam air dan kemudian akan ditransportasikan ke sel hepar. Bilirubin yang
terikat pada albumin bersifat nontoksik.
Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran plasma hepatosit, albumin akan
terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin, ditransfer melalui sel membran yang
berikatan dengan ligandin (protein Y), mungkin juga dengan protein ikatan sitotoksik lainnya.
Berkurangnya kapasitas pengambilan hepatik bilirubin yang tak terkonjugasi akan
berpengaruh terhadap pembentukan ikterus fisiologis
Obat obat yang dapat melepaskan ikatan bilirubin dengan albumin:

Analgetik, antipiretik (Natrium salisilat, fenilbutazon)

Antiseptik, desinfektan (metal, isopropyl)

Antibiotik dengan kandungan sulfa (Sulfadiazin, dll.)

Penicilin (propicilin, cloxacillin)

Lain lain ( novabiosin, triptophan, kontras x ray )

16
Gambar 2.2. Metabolisme bilirubin pada neonatus5

Bilirubin yang tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang larut
dalam air di retikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphosphate glucoronosyl
transferase (UDPG-T). Bilirubin ini kemudian diekskresikan ke dalam kanalikulus empedu.
Sedangkan satu molekul bilirubin yang tak terkonjugasi akan kembali ke retikulum
endoplasmik untuk rekonjugasi berikutnya.
Setelah mengalami proses konjugasi, bilirubin akan diekskresikan ke dalam kandung
empedu, kemudian memasuki saluran cerna dan diekskresikan melalui feces. Setelah berada
dalam usus halus, bilirubin yang terkonjugasi tidak langsung dapat diresorbsi, kecuali
dikonversikan kembali menjadi bentuk tidak terkonjugasi oleh enzim beta-glukoronidase
yang terdapat dalam usus. Resorbsi kembali bilirubin dari saluran cerna dan kembali ke hati
untuk dikonjugasi disebut sirkulasi enterohepatik.

Kecepatan produksi bilirubin adalah 6-8 mg/kgBB per 24 jam pada neonatus cukup
bulan sehat dan 3-4 mg/kgBB per 24 jam pada orang dewasa sehat. Sekitar 80% bilirubin
yang diproduksi tiap hari berasal dari hemoglobin. Bayi memproduksi bilirubin lebih besar
per kilogram berat badan karena massa eritrosit lebih besar dan umur eritrositnya lebih
pendek.

Pada sebagian besar kasus, lebih dari satu mekanisme terlibat, misalnya kelebihan
bilirubin akibat hemolisis dapat menyebabkan kerusakan sel hati atau kerusakan duktus
biliaris, yang kemudian dapat mengganggu transpor, sekresi dan ekskresi bilirubin. Di pihak
lain, gangguan ekskresi bilirubin dapat menggangu ambilan dan transpor bilirubin. Selain itu,
kerusakan hepatoseluler memperpendek umur eritrosit, sehngga menmbah hiperbilirubinemia
dan gangguan proses ambilan bilirubin olah hepatosit.2,5

3.4 Hiperbilirubinemia

Hiperbilirubinemia bisa disebabkan proses fisiologis atau patologis atau kombinasi keduanya.
Risiko hiperbilirubinemia meningkat pada bayi yang mendapat ASI, bayi kurang bulan, dan
bayi yang mendekati cukup bulan. Neonatal hiperbilirubinemia terjadi karena peningkatan
produksi atau penurunan clearance bilirubin dan lebih sering terjadi pada bayi imatur.
Hiperbilirubinemia yang signifikan dalam 36 jam pertama biasanya disebabkan karena
peningkatan produksi bilirubin (terutama karena hemolisis), karena pada periode ini hepatic

17
clearance jarang memproduksi bilirubin lebih dari 10 mg/dL. Peningkatan penghancuran
hemoglobin 1% akan meningkatkan kadar bilirubin 4 kali lipat.
Pada hiperbilirubinemia fisiologis bayi baru lahir, terjadi peningkatan bilirubin tidak
terkonjugasi >2 mg/dl pada minggu pertama kehidupan. Kadar bilirubin tidak terkonjugasi itu
biasanya meningkat menjadi 6 sampai 8 mg/dl pada umur 3 hari dan akan mengalami
penurunan. Pada bayi kurang bulan, kadar bilirubin tidak terkonjugasi akan meningkat
menjadi 10 sampai 12 mg/dl pada umur 5 hari.3
Dikatakan hiperbilirubinemia patologis apabila terjadi saat 24 jam setelah bayi lahir,
peningkatan kadar bilirubin serum >0,5 mg/dl setiap jam, ikterus bertahan setelah 8 hari pada
bayi cukup bulan atau 14 hari pada bayi kurang bulan, dan adanya penyakit lain yang
mendasari (muntah, letargi, penurunan berat badan yang berlebihan, apnu, asupan kurang).

Terdapat 4 mekanisme umum dimana hiperbilirubinemia dan ikterus dapat


terjadi : pembentukan bilirubin secara berlebihan, gangguan pengambilan bilirubin tak
terkonjugasi oleh hati, gangguan konjugasi bilirubin, penurunan ekskresi bilirubin
terkonjugasi dalam empedu akibat faktor intra -hepatik yang bersifat obstruksi fungsional
atau mekanik. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi terutama disebabkan oleh tiga mekanisme
yang pertama, sedangkan mekanisme yang keempat terutama mengakibatkan terkonjugasi.

1. Pembentukan bilirubin secara berlebihan : penyakit hemolitik atau peningkatan


kecepatan destruksi sel darah merah merupakan penyebab utama dari pembentukan
bilirubin yang berlebihan. Ikterus yang timbul sering disebut ikterus hemolitik. Konjugasi
dan transfer pigmen empedu berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi
melampaui kemampuan. Beberapa penyebab ikterus hemolitik yang sering adalah
hemoglobin abnormal (hemoglobin S pada anemia sel sabit), sel darah merah abnormal
(sferositosis herediter), antibodi dalam serum (Rh atau autoimun), pemberian beberapa
jenis obat-obatan, dan beberapa limfoma atau pembesaran (limpa dan peningkatan
hemolisis). Sebagaian kasus ikterus hemolitik dapat di akibatkan oleh peningkatan
destruksi sel darah merah atau prekursornya dalam sum-sum tulang (talasemia, anemia
pernisiosa, porfiria). Proses ini dikenal sebagai eritropoiesis tak efektif. Kadar bilirubin
tak terkonjugasi yang melebihi 20 mg/100 ml pada bayi dapat mengakibatkan Kern
Ikterus.

2. Gangguan pengambilan bilirubin : Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi yang terikat


albumin oleh sel-sel hati dilakukan dengan memisahkannya dari albumin dan mengikatkan
18
pada protein penerima. Hanya beberapa obat yang telah terbukti menunjukkan pengaruh
terhadap pengambilan bilirubin oleh sel-sel hati, asam flafas pidat (dipakai untuk
mengobati cacing pita), nofobiosin, dan beberapa zat warna kolesistografik.
Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dan Ikterus biasanya menghilang bila obat yang
menjadi penyebab di hentikan. Dahulu ikterus neonatorum dan beberapa kasus sindrom
Gilbert dianggap oleh defisiensi protein penerima dan gangguan dalam pengambilan oleh
hati. Namun pada kebanyakan kasus demikian, telah di temukan defisiensi glukoronil
tranferase sehingga keadaan ini terutama dianggap sebagai cacat konjugasi bilirubin.

3. Gangguan konjugasi bilirubin : Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi yang ringan (<


12,9/100 ml) yang mulai terjadi pada hari ke-dua sampai ke-lima setelah lahir disebut
ikterus fisiologis pada neonatus. Ikterus neonatorum yang normal ini disebabkan oleh
kurang matangnya enzim glukoronik transferase. Aktivitas glukoronil tranferase biasanya
meningkat beberapa hari setelah lahir sampai sekitar minggu ke-dua, dan setelah itu ikterus
akan menghilang. Kern ikterus atau bilirubin ensefalopati timbul akibat penimbunan
bilirubin tak terkonjugasi pada daerah basal ganglia yang banyak lemak. Bila keadaan ini
tidak segera ditangani maka akan terjadi kematian atau kerusakan neorologik berat.
Tindakan pengobatan saat ini dilakukan pada neonatus dengan hiperbilirubinemia tak
terkonjugasi adalah dengan fototerapi. Fototerapi berupa pemberian sinar biru atau sinar
fluoresen (gelombang yang panjangnya 430 sampai dengan 470 nm) pada kulit bayi yang
telanjang. Penyinaran ini menyebabkan perubahan struktural bilirubin (foto isomerisasi)
menjadi isomer-isomer yang larut dalam air, isomer ini akan di ekskresikan dengan cepat
ke dalam empedu tanpa harus dikonjugasi terlebih dahulu. Fenobarbital (luminal) yang
meningkatkan aktivitas glukoroniltransferase seringkali dapat menghilang ikterus pada
penderita ini.

4. Penurunan eksresi bilirubin terkonjugasi : Gangguan eskresi bilirubin, baik yang


disebabkan oleh faktor-faktor fungsional maupun obstruksi, terutama mengakibatkan
hiperbilirubinemia terkonjugasi. Karena bilirubin terkonjugasi larut dalam air, maka
bilirubin ini dapat diekskresi ke dalam kemih, sehingga menimbulkan urin berwarna gelap.
Urobilinogen feses dan urobilinogen kemih sering berkurang sehingga terlihat pucat.
Peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi dapat di sertai bukti-bukti kegagalan ekskresi hati
lainnya, seperti peningkatan kadar fosfatasealkali dalam serum, AST, Kolesterol, dan
garam-garam empedu. Peningkatan garam-garam empedu dalam darah menimbulkan

19
gatal-gatal pada ikterus. Ikterus yang diakibatkan oleh hiperbilirubinemia terkonjugasi
biasanya lebih kuning dibandingkan dengan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi.
Perubahan warna berkisar dari kuning jingga muda atau tua sampai kuning hijau bila
terjadi obstruksi total aliran empedu perubahan ini merupakan bukti adanya ikterus
kolestatik, yang merupakan nama lain dari ikterus obstruktif. Kolestasis dapat bersifat
intrahepatik (mengenai sel hati, kanalikuli, atau kolangiola) atau ekstrahepatik (mengenai
saluran empedu di luar hati). Pada kedua keadaan ini terdapat gangguan biokimia yang
sama.

Sumber lain ada juga yang menyatakan penyebab dari hiperbilirubinemia adalah : a.
Produksi bilirubin yang meningkat : peningkatan jumlah sel darah merah, penurunan umur
sel darah merah, peningkatan pemecahan sel darah merah (inkompatibilitas golongan darah
dan Rh), defek sel darah merah pada defisiensi G6PD atau sferositosis, polisitemia, sekuester
darah, infeksi.; b. Penurunan konjugasi bilirubin, prematuritas, ASI, defek kongenital yang
jarang.; c. Peningkatan reabsorpsi bilirubin dalam saluran cerna : ASI, asfiksia,
pemberianASI yang terlambat, obstruksi saluran cerna.; d. Kegagalan eksresi cairan empedu :
infeksi intrauterine, sepsis, hepatitis, sindrom kolestatik, atresia biliaris, fibrosis kistik.2

3.5 Penyebab Ikterus

3.5.1 Ikterus pra-hepatik

Ikterus ini terjadi akibat produksi bilirubin yang meningkat, yang terjadi pada hemolisis
eritrosit (ikterus hemolitik). Kapasitas sel hati ntuk mengadakan konjugasi terbatas apalagi
bila disertai oleh adanya disfungsi sel hati. Akibatnya bilirubin indirek akan meningkat.
Dalam batas tertentu bilirubin direk juga meningkat. Dalam batas tertentu bilirubin direk
jga meningkat dan akan segera diekskresikan ke dalam saluran pencernaan, sehingga akan
didapatkan peninggian kadar urobilinogen di dalam tinja.

Peningkatan kadar bilirubin dapat disebabkan oleh :

1. Kelainan pada sel darah merah.

2. Infeksi seperti malaria, sepsis, dan lain-lain.

3. Toksin yang berasal dari luar tubuh seperti obat-obatan, maupun yang berasal dari
dalam tubuh seperti yang terjadi pada reaksi transfusi dan eritroblastosis fetalis.

20
3.5.2 Ikterus intra-hepatik

Kerusakan sel hati akan menyebabkan konjugasi bilirubin terganggu, sehngga bilirubin
direk akan meningkat. Kerusakan sel hati juga akan menyebabkan bendungan di dalam
hati sehingga bilirubin darah akan menyebabkan peninggian kadar bilirubin konjugasi di
dalam aliran darah. Bilirubin direk larut dalam air sehingga mudah diekskresikan ginjal ke
dalam urin. Adanya sumbatan intra-hepatik akan menyebabkan penurunan ekskresi
biliruin dalam saluran pencernaan yang kemudian akan menyebabkan tinja berwarna
pucat, karena sterkobilinogen menurun. Kerusakan sel hati dapat terjadi pada :

1. Hepatitis (oleh virus, bakteri, parasit).

2. Sirosis hepatis

3. Tumor

4. Bahan kimia seperti : fosfor, arsen.

5. Penyakit lain seperti : hemokromatosis, hipertiroid, dan penyakit Nieman Pick.

3.5.3 Ikterus pasca-hepatik (obstruktif)

Bendungan dalam saluran empedu akan menyebabkan peninggian bilirubin konjugasi


yang larut dalam air. Sebagai akibat bendungan, bilirubin ini akan mengalami regurgitasi
kembali ke dalam sel hati dan terus memasuki sirkulasi. Selanjutnya akan masuk ke ginjal
dan diekskresikan oleh ginjal sehingga kita akan menemukan bilirubin dalam urin.
Sebaliknya karena ada bendungan, maka pengeluaran bilirubin ke dalam saluran
pencernaan berkurang, maka pengeluarann bilirubin ke dalam saluran pencernaan
berkurang, sehingga tinja akan berwarna dempul akibat berkurangnya sterkobilin.
Urobilinogen dalam tinja dan dalam urin akan menurun. Akibat penimbunan bilirubin
direk, maka kulit dan sklera akan berwarna kuning kehijauan. Kulit akan terasa gatal.
Penyumbatan empedu (kolestasis) dibagi dua, yaitu intra-hepatik apabila penyumbatan
terjadi di antara hepatosit dan duktus koledokus, dan ekstra-hepatik bila sumbatan terjadi
di dalam duktus koledokus.6

3.6 Klasifikasi

21
Ikterus fisiologis: terjadi setelah 24 jam pertama. Pada bayi cukup bulan nilai puncak 6-8
mg/dL biasanya tercapai pada hari ke 3-5. Pada bayi kurang bulan nilainya 10-12 mg/dL,
bahkan sampai 15 mg/dL. Peningkatan/akumulasi bilirubin serum < 5 mg/dL/hr.

Ikterus patologis: terjadi dalam 24 jam pertama. Peningkatan akumulasi bilirubin serum>
5 mg/dL/hr. Bayi yang mendapat ASI, kadar bilirubin total serum >17mg/dL. Ikterus menetap
setelah 8 hari pada bayi cukup bulan dan setelah 14 hari pada bayi kurang bulan. Bilirubin
direk >2 mg/dL.2

Pembagian derajat hiperbilirubinemia menurut Kramer :

Berdasarkan Kramer dapat dibagi :

Derajat Daerah ikterus Perkiraan


ikterus kadar bilirubin

22
I Kepala dan leher 5,0 mg%

II Sampai badan atas (diatas umbilicus) 9,0mg%

Sampai badan bawah (dibawah umbilicuks hingga


III tungkai atas diatas lutut) 11,4mg%

IV Sampai lengan, tungkai bawah lutut 12,4mg%

V Sampai telapak tangan dan kaki 16,0mg%

3.7 Manifestasi Klinis

Pada permulaan tidak jelas, tampak mata berputar-putar


Letargi
Kejang
Tidak mau menghisap
Dapat tuli, gangguan bicara, retardasi mental
Bila bayi hidup pada umur lanjut disertai spasme otot, kejang, stenosis yang disertai
ketegangan otot
Perut membuncit
Pembesaran pada hati
Feses berwarna seperti dempul
Muntah, anoreksia, fatigue,
Warna urin gelap.

Ensefalopati Bilirubin dan Kern Icterus

Istilah bilirubin ensefalopati lebih menunjukkan kepada manifestasi klinis yang mungkin
timbul akibat efek toksis bilirubin pada system syaraf pusat yaitu basal ganglia dan pada

23
berbagai nuclei batang otak. Sedangkan istilah kern ikterus adalah perubahan neuropatologi
yang ditandai oleh deposisi pigmen bilirubin pada beberapa daerah di otak terutama di
ganglia basalis, pons, dan serebelum. Manifestasi klinis akut ensefalopati bilirubin :

Pada fase awal, bayi dengan ikterus berat akan tampak letargi, hipotonik, dan reflek
hisap buruk.

Pada fase intermediate dan moderate, bayi akan mrngalami stupor, iritabilitas dan
hipertoni.

Selanjutnya bayi akan demam, high pitched cry, kemudian akan menjadi drowsiness
dan hipotoni.

Pada tahap yang kronis bilirubin ensefalopati, bayi yang bertahan hidup, akan
berkembang menjadi bentuk athetoid cerebral palsy yang berat, gangguan pendengaran,
displasia dental enamel, paralysis upward gaze.

3.8 Penatalaksanaan

3.8.1. Pencegahan

a. Pencegahan Primer

Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8 12 kali/ hari untuk
beberapa hari pertama.

Tidak memberikan cairan tambahan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang
mendapat ASI dan tidak mengalami dehidrasi.

b. Pencegahan Sekunder

Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus serta penyaringan
serum untuk antibody isoimun yang tidak biasa.

Harus memastikan bahwa semua bayi secar rutin di monitor terhadap timbulnya ikterus
dan menetapkan protocol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat memeriksa
tanda tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari setiap 8 12 jam.

3.8.2. Penggunaan Farmakoterapi


24
a. Imunoglobulin intravena telah digunakan pada bayi bayi dengan rhesus yang berat dan
inkompatibilitas ABO untuk menekan hemolisis isoimun dan menurunkan tindakan
transfusi tukar.

b. Fenobarbital merangsang aktivitas dan konsentrasi UDPG T dan ligandin serta dapat
meningkatkan jumlah tempat ikatan bilirubin sehingga konjugasi bilirubin berlangsung
lebih cepat .Pemberian phenobarbital untuk mengobatan hiperbilirubenemia pada
neonatus selama tiga hari baru dapat menurunkan bilirubin serum yang berarti. Bayi
prematur lebih banyak memberikan reaksi daripada bayi cukup bulan. Phenobarbital dapat
diberikan dengan dosis 8 mg/kg berat badan perhari, mula-mula parenteral, kemudian
dilanjutkan secara oral. Keuntungan pemberian phenobarbital dibandingkan dengan terapi
sinar ialah bahwa pelaksanaanya lebih murah dan lebih mudah. Kerugiannya ialah
diperlukan waktu paling kurang 3 hari untuk mendapat hasil yang berarti.

c. Metalloprotoprophyrin adalah analog sintesis heme.

d. Tin Protoporphyrin ( Sn Pp ) dan Tin Mesoporphyrin ( Sn Mp ) dapat


menurunkan kadar bilirubin serum.

e. Pemberian inhibitor b - glukuronidasi seperti asam L aspartikdan kasein holdolisat


dalam jumlah kecil ( 5 ml/dosis 6 kali/hari ) pada bayi sehat cukup bulan yang mendapat
ASI dan meningkatkan pengeluaran bilirubin feses dan ikterus menjadi berkurang
dibandingkan dengan bayi kontrol.

3.8.3. Fototerapi

Pengaruh sinar terhadap ikterus pertama sekali diperhatikan dan dilaporkan oleh seorang
perawat di salah satu rumah sakit di Inggris. Perawat Ward melihat bahwa bayi bayi yang
mendapat sinar matahari di bangsalnya ternyata ikterusnya lebih cepat menghilang
dibandingkan bayibayi lainnya. Cremer (1958) yang mendapatkan laporan tersebut mulai
melakukan penyelidikan mengenai pengaruh sinar terhadap hiperbilirubinemia ini. Dari
penelitiannya terbukti bahwa disamping pengaruh sinar matahari, sinar lampu tertentu juga
mempunyai pengaruh dalam menurunkan kadar bilirubin pada bayi bayi prematur lainnya.

Sinar fototerapi akan mengubah bilirubin yang ada di dalam kapiler-kapiler superfisial dan
ruang-ruang usus menjadi isomer yang larut dalam air yang dapat diekstraksikan tanpa
metabolisme lebih lanjut oleh hati. Maisels, seorang peneliti bilirubin, menyatakan bahwa
25
fototerapi merupakan obat perkutan.3 Bila fototerapi menyinari kulit, akan memberikan
foton-foton diskrit energi, sama halnya seperti molekul-molekul obat, sinar akan diserap oleh
bilirubin dengan cara yang sama dengan molekul obat yang terikat pada reseptor.

Molekul-molekul bilirubin pada kulit yang terpapar sinar akan mengalami reaksi
fotokimia yang relatif cepat menjadi isomer konfigurasi, dimana sinar akan merubah bentuk
molekul bilirubin dan bukan mengubah struktur bilirubin. Bentuk bilirubin 4Z, 15Z akan
berubah menjadi bentuk 4Z,15E yaitu bentuk isomer nontoksik yang bisa diekskresikan.
Isomer bilirubin ini mempunyai bentuk yang berbeda dari isomer asli, lebih polar dan bisa
diekskresikan dari hati ke dalam empedu tanpa mengalami konjugasi atau membutuhkan
pengangkutan khusus untuk ekskresinya. Bentuk isomer ini mengandung 20% dari jumlah
bilirubin serum. Eliminasi melalui urin dan saluran cerna sama-sama penting dalam
mengurangi muatan bilirubin. Reaksi fototerapi menghasilkan suatu fotooksidasi melalui
proses yang cepat. Fototerapi juga menghasilkan lumirubin, dimana lumirubin ini
mengandung 2% sampai 6% dari total bilirubin serum.4

Lumirubin diekskresikan melalui empedu dan urin. Lumirubin bersifat larut dalam air.

Gambar 2.4. Mekanisme fototerapi.

Penelitian Sarici mendapatkan 10,5% neonatus cukup bulan dan 25,5% neonatus kurang
bulan menderita hiperbilirubinemia yang signifikan dan membutuhkan fototerapi. Fototerapi
26
diindikasikan pada kadar bilirubin yang meningkat sesuai dengan umur pada neonatus cukup
bulan atau berdasarkan berat badan pada neonatus kurang bulan, sesuai dengan rekomendasi
American Academy of Pediatrics (AAP).

Sinar Fototerapi

Sinar yang digunakan pada fototerapi adalah suatu sinar tampak yang merupakan suatu
gelombang elektromagnetik. Sifat gelombang elektromagnetik bervariasi menurut frekuensi
dan panjang gelombang, yang menghasilkan spektrum elektromagnetik. Spektrum dari sinar
tampak ini terdiri dari sinar merah, oranye, kuning, hijau, biru, dan ungu. Masing masing dari
sinar memiliki panjang gelombang yang berbeda beda.

Panjang gelombang sinar yang paling efektif untuk menurunkan kadar bilirubin adalah
sinar biru dengan panjang gelombang 425-475 nm.Sinar biru lebih baik dalam menurunkan
kadar bilirubin dibandingkan dengan sinar biru-hijau, sinar putih, dan sinar hijau. Intensitas
sinar adalah jumlah foton yang diberikan per sentimeter kuadrat permukaan tubuh yang
terpapar. Intensitas yang diberikan menentukan efektifitas fototerapi, semakin tinggi
intensitas sinar maka semakin cepat penurunan kadar bilirubin serum. Intensitas sinar, yang
ditentukan sebagai W/cm2/nm.

Intensitas sinar yang diberikan menentukan efektivitas dari fototerapi. Intensitas sinar
diukur dengan menggunakan suatu alat yaitu radiometer fototerapi.28,36 Intensitas sinar 30
W/cm2/nm cukup signifikan dalam menurunkan kadar bilirubin untuk intensif fototerapi.
Intensitas sinar yang diharapkan adalah 10 40 W/cm2/nm. Intensitas sinar maksimal untuk
fototerapi standard adalah 30 50 W/cm2/nm. Semakin tinggi intensitas sinar, maka akan
lebih besar pula efikasinya.

Faktor-faktor yang berpengaruh pada penentuan intensitas sinar ini adalah jenis sinar,
panjang gelombang sinar yang digunakan, jarak sinar ke neonatus dan luas permukaan tubuh
neonatus yang disinari serta penggunaan media pemantulan sinar.

Intensitas sinar berbanding terbalik dengan jarak antara sinar dan permukaan tubuh. Cara
mudah untuk meningkatkan intensitas sinar adalah menggeser sinar lebih dekat pada bayi.

Rekomendasi AAP menganjurkan fototerapi dengan jarak 10 cm kecuali dengan


menggunakan sinar halogen. Sinar halogen dapat menyebabkan luka bakar bila diletakkan
terlalu dekat dengan bayi. Bayi cukup bulan tidak akan kepanasan dengan sinar fototerapi
27
berjarak 10 cm dari bayi. Luas permukaan terbesar dari tubuh bayi yaitu badan bayi, harus
diposisikan di pusat sinar, tempat di mana intensitas sinar paling tinggi.2

Kontraindikasi fototerapi adalah pada kondisi dimana terjadi peningkatan kadar


bilirubin direk yang disebabkan oleh penyakit hati atau obstructive jaundice.
Usia ( jam ) Pertimbangan Terapi sinar Transfusi Transfusi tukar
terapi sinar tukar dan terapi sinar
25-48 >12mg/dl >15 mg/dl >20 mg/dl >25 mg/dl
(>200 mol/L) ( >250 mol/L) (>340 mol/L) (425 mol/L)

49-72 >15mg/dl >18 mg/dl >25mg/dl >30 mg/dl


(>250 mol/L) (>300mol/L) (425 mol/L) (510mol/L)

>72 >17 mg/dl >20mg/dl >25mg/dl >30mg/dl


(>290 mol/L) (>340mol/L (>425 mol/L) (>510 mol/L)
Tabel 2.2. Rekomendasi AAP penanganan hiperbilirubinemia pada neonatus sehat dan cukup
bulan.

Neontaus kurang bulan Neontaus kurang bulan sakit :


sehat : Kadar Total Bilirubin Kadar Total Bilirubin Serum
Serum (mg/dl) (mg/dl)
Berat Terapi sinar Transfusi Terapi sinar Transfusi
tukar tukar
Hingga 1000 g 5-7 10 4-6 8-10
1001-1500 g 7-10 10-15 6-8 10-12
1501-2000 g 10 17 8-10 15
>2000 g 10-12 18 10 17
Tabel 2.3. Tatalaksana hiperbilirubinemia pada Neonatus Kurang Bulan Sehat dan Sakit ( >37
minggu )

3.8.3.1 Komplikasi Foto terapi

Setiap cara pengobatan selalu akan disertai efek samping. Di dalam penggunaan terapi
sinar, penelitian yang dilakukan selama ini tidak memperlihatkan hal yang dapat
mempengaruhi proses tumbuh kembang bayi, baik komplikasi segaera ataupun efek lanjut
yang terlihat selama ini ebrsifat sementara yang dapat dicegah atau ditanggulangi dengan

28
memperhatikan tata cara pengunaan terapi sinar yang telah dijelaskan diatas. Kelainan yang
mungkin timbul pada terapi sinar antara lain :

1. Peningkatan insensible water loss pada bayi : Hal ini terutama akan terlihat pada
bayi yang kurnag bulan. Oh dkk (1972) melaporkan kehilangan ini dapat meningkat
2-3 kali lebih besar dari keadaan biasa. Untuk hal ini pemberian cairan pada penderita
dengan terapi sinar perlu diperhatikan dengan sebaiknya.

2. Frekuensi defekasi yang meningkat : Banyak teori yang menjelaskan keadaan ini,
antara lain dikemukankan karena meningkatnya peristaltik usus (Windorfer dkk,
1975). Bakken (1976) mengemukakan bahwa diare yang terjadi akibat efek sekunder
yang terjadi pada pembentukan enzim lactase karena meningkatnya bilirubin indirek
pada usus. Pemberian susu dengan kadar laktosa rendah akan mengurangi timbulnya
diare. Teori ini masih belum dapat dipertentangkan (Chung dkk, 1976)

3. Timbulnya kelainan kulit yang sering disebut flea bite rash di daerah muka,
badan dan ekstremitas. Kelainan ini segera hilang setelah terapi dihentikan. Pada
beberapa bayi dilaporkan pula kemungkinan terjadinya bronze baby syndrome
(Kopelman dkk, 1976). Hal ini terjadi karena tubuh tidak mampu mengeluarkan
dengan segera hasil terapi sinar. Perubahan warna kulit yang bersifat sementara ini
tidak mempengaruhi proses tumbuh kembang bayi.

4. Gangguan retina : Kelainan retina ini hanya ditemukan pada binatang percibaan
(Noel dkk 1966). Pnelitain Dobson dkk 1975 tidak dapat membuktikan adanya
perubahan fungsi mata pada umumnya. Walaupin demikian penyelidikan selanjutnya
masih diteruskan.

5. Gangguan pertumbuhan : Pada binatang percobaan ditemukan gangguan


pertumbuhan (Ballowics 1970). Lucey (1972) dan Drew dkk (10976) secara klinis
tidak dapat menemukan gangguan tumbuh kembang pada bayi yang mendapat terapi
sinar. Meskipun demikian hendaknya pemakaian terapi sinar dilakukan dengan
indikasi yang tepat selama waktu yang diperlukan.

6. Kenaikan suhu : Beberapa penderita yang mendapatkan terapi mungkin


memperlihatkan kenaikan suhu, Bila hal ini terjadi, terapi dapat terus dilanjutkan
dengan mematikan sebagian lampu yang dipergunakan.

29
7. Beberapa kelainan lain seperti gangguan minum, letargi, iritabilitas kadang-kadang
ditemukan pada penderita. Keadaan ini hanya bersifat sementara dan akan
menghilang dengan sendirinya.

8. Beberapa kelainan yang sampai saat ini masih belim diketahui secara pasti adalah
kelainan gonad, adanya hemolisis darah dan beberapa kelainan metabolisme lain.

Sampai saat ini tampaknya belum ditemukan efek lanjut terapi sinar pada bayi.
Komplikasi segera juga bersifat ringan dan tidak berarti dibandingkan dengan manfaat
penggunaannya. Mengingat hal ini, adalah wajar bila terapi sinar mempunyai tempat
tersendiri dalam penatalaksanaan hiperbilirubinemia pada bayi baru lahir.

3.8.4. Transfusi Tukar

Transfusi tukar adalah suatu tindakan pengambilan sejumlah kecil darah yang dilanjutkan
dengan pengembalian darah dari donor dalam jumlah yang sama yang dilakukan berulang-
ulang sampai sebagian besar darah penderita tertukar (Friel, 1982).

Pada hiperbilirubinemia, tindakan ini bertujuan mencegah terjadinya ensefalopati bilirubin


dengan cara mengeluarkan bilirubin indirek dari sirkulasi. Pada bayi dengan isoimunisasi,
transfusi tukar memiliki manfaat tambahan, karena membantu mengeluarkan antibodi
maternal dari sirkulasi bayi. Sehingga mencegah hemolisis lebih lanjut dan memperbaiki
anemia. Darah Donor Untuk Tranfusi Tukar :

1. Darah yang digunakan golongan O.

2. Gunakan darah baru (usia < style="">whole blood. Kerjasama dengan dokter
kandungan dan Bank Darah adalah penting untuk persiapan kelahiran bayi yang
membutuhkan tranfusi tukar.

3. Pada penyakit hemolitik rhesus, jika darah disiapkan sebelum persalinan, harus
golongan O dengan rhesus (-), crossmatched terhadap ibu. Bila darah disiapkan setelah
kelahiran, dilakukan juga crossmatched terhadap bayi.

30
4. Pada inkomptabilitas ABO, darah donor harus golongan O, rhesus (-) atau rhesus yang
sama dengan ibu dan bayinya. Crossmatched terhadap ibu dan bayi yang mempunyai titer
rendah antibodi anti A dan anti B. Biasanya menggunakan eritrosit golongan O dengan
plasma AB, untuk memastikan bahwa tidak ada antibodi anti A dan anti B yang muncul.

5. Pada penyakit hemolitik isoimun yang lain, darah donor tidak boleh berisi antigen
tersensitisasi dan harus di crossmatched terhadap ibu.

6. Pada hiperbilirubinemia yang nonimun, darah donor ditiping dan crossmatched terhadap
plasma dan eritrosit pasien/bayi.

7. Tranfusi tukar biasanya memakai 2 kali volume darah (2 volume exchange) - 160
mL/kgBB, sehingga diperoleh darah baru sekitar 87%.

3.8.4.1. Teknik Transfusi Tukar

a. Simple Double Volume

Push-Pull tehnique : jarum infus dipasang melalui kateter vena umbilikalis/ vena
saphena magna. Darah dikeluarkan dan dimasukkan bergantian.

b. Isovolumetric

Darah secara bersamaan dan simultan dikeluarkan melalui arteri umbilikalis dan
dimasukkan melalui vena umbilikalis dalam jumlah yang sama.

c. Partial Exchange Transfusion

Tranfusi tukar sebagian, dilakukan biasanya pada bayi dengan polisitemia.

Di Indonesia, untuk kedaruratan, transfusi tukar pertama menggunakan golongan darah O


rhesus positif.

3.8.4.2. Indikasi Transfusi Tukar

31
Hingga kini belum ada kesepakatan global mengenai kapan melakukan transfusi tukar pada
hiperbilirubinemia. Indikasi transfusi tukar berdasarkan keputusan WHO tercantum dalam
tabel di bawah ini.

Bayi Cukup Bulan Dengan Faktor


Usia
Sehat Risiko

Hari mg/dL mg/Dl

Hari ke-1 15 13

Hari ke-2 25 15

Hari ke-3 30 20

Hari ke-4 dan 30 20


seterusnya
Tabel 2.4 Indikasi transfusi tukar berdasarkan kadar bilirubin serum 4

Berat badan (gram) KadKadar Bilirubin


(mg/dL)

<> >> 1000 10-12

1000-1500 12-15

1500-2000 15-18

2000-2500 18-20
Tabel 2.5 Indikasi transfusi tukar pada bayi berat badan lahir rendah

Pada penyakit hemolitik segera dilakukan tranfusi tukar apabila ada indikasi:

a. Kadar bilirubin tali pusat > 4,5 mg/dL dan kadar Hb <>

b. Kadar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam walaupun sedang mendapatkan terapi sinar

c. Selama terapi sinar bilirubin meningkat > 6 mg/dL/12jam dan kadar Hb 11 13 gr/dL

d. Didapatkan anemia yang progresif walaupun kadar bilirubin dapat dikontrol secara
adekuat dengan terapi sinar.

Transfusi tukar harus dihentikan apabila terjadi:


32
Emboli (emboli, bekuan darah), trombosis

Hiperkalemia, hipernatremia, hipokalsemia, asidosis, hipoglikemia

Gangguan pembekuan karena pemakaian heparin

Perforasi pembuluh darah

3.8.4.3. Komplikasi Transfusi Tukar

1) Vaskular: emboli udara atau trombus, trombosis

2) Kelainan jantung: aritmia, overload, henti jantung

3) Gangguan elektrolit: hipo/hiperkalsemia, hipernatremia, asidosis

4) Koagulasi: trombositopenia, heparinisasi berlebih

5) Infeksi: bakteremia, hepatitis virus, sitomegalik, enterokolitis nekrotikan

6) Lain-lain: hipotermia, hipoglikemia.3,4

33
BAB IV

ANALISIS KASUS

Pada pasien didapatkan badan kuning sampai ke telapak kaki hal ini sesuai dengan kriteria
diagnosis pada ikterus neonatorum yaitu ikterik kramer 5. Dimana sklera ikterik dan kadar
bilirubin yang tinggi yaitu diatas 12.

Disamping itu pada ibu didapatkan golongan darah O dan pada pasien golongan
darah B. Hal ini bisa disimpulkan bila pasien menderita ikterus neonatorum karena
inkompabilitas ABO. Hal ini sesuai dengan penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri
sendiri ataupun dapat disebabkanoleh beberapa faktor. Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum
dapat dibagi : 1. Produksi yang berlebihan. Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk
mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, ABO,
golongan darah lain, defisiensi enzim G6PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis. 2.
Gangguan dalam proses uptake dan konjugasi hepar. Gangguan ini dapat disebabkan oleh imaturitas
hepar, kurangnya substrat untuk konjugasi bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia
dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom Criggler- Najjar). Penyebab
lain ialah defisiensi protein Y dalam hepar yang berperanan penting dalam uptake bilirubin ke sel
hepar. 3. Gangguan transportasi bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkut ke
hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat. Defisiensi
albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang
mudah melekat ke sel otak. 4. Gangguan dalam eksresi. Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi
34
dalam hepar atau di luar hepar. Kelainan di luar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan.
Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain

DAFTAR PUSTAKA

35
1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Ajar Neonatologi. Ikatan Dokter Anak
Indonesia. 1stEd. Hal 147-168. FKUI : Jakarta. 2008

2. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Buku Ajar Gastroenterologi-Hepatologi. Ikatan


Dokter Anak Indonesia. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia: Jakarta.
2015

3. Behrmand Kliegelman. Nelson Essential of Pediatrics. 20thEd. Elsevier:


Philadelphia. 2006. hal 871-880

4. Management of Hyperbilirubinemia in the Newborn Infant 35 or More Weeks of


Gestation. Available at:
pediatrics.aappublications.org/content/pediatrics/114/1/297.full.pdf. Diakses pada
tanggal 24 April 2017

5. Price, Sylvia M.Wilson Lorraine. Patofisiologi kedokteran. l994. EGC : Jakarta.

6. Bilgin et all. Factors Affecting Bilirubin Levels during First 48 Hours of Life in
Healthy Infant. 2013; BioMed Research International. Doi: 10.1155.2013.316430

7. Olusanya B, et all. Risk Factors for Severe Neonatal Hyperbilirubinemua in Low


and Middle Income Countries: A Systematic Review and Meta-Analysis. 2015;
PLOS ONE. Doi: 10.1371/journal.pone.0117229

8. Bagchi A. Phototherapy. Philadelphia: Lippincott Williams and Wikins, 2002. Hal


373-80. Philadelphia
9. Costantino et all. Italian guidelines for management and treatment of
hyperbilirubinemia of newborn infant > 35 weeks gestational age. Italian Journal
of Pediatics. 2014

36

Anda mungkin juga menyukai