Anda di halaman 1dari 3

PENGERTIAN DEFEKASI

Defekasi adalah pengeluaran feses dari anus dan rektum. Hal ini juga disebut bowel movement.
Frekwensi defekasi pada setiap orang sangat bervariasi dari beberapa kali perhari sampai 2 atau 3
kali perminggu. Banyaknya feses juga bervariasi setiap orang. Ketika gelombang peristaltik
mendorong feses kedalam kolon sigmoid dan rektum, saraf sensoris dalam rektum dirangsang
dan individu menjadi sadar terhadap kebutuhan untuk defekasi (Kozier, 2010).

FISIOLOGI DEFEKASI

Menurut Pearce (2002) proses dari defekasi yaitu :

Jenis gelombang peristaltik yang terlihat dalam usus halus jarang timbul pada sebagian kolon,
sebaliknya hampir semua dorongan ditimbulkan oleh pergerakan lambat kearah anus oleh
kontraksi haustrae dan gerakan massa. Dorongan di dalam sekum dan kolon asenden dihasilkan
oleh kontraksi haustrae yang lambat tetapi berlangsung persisten yang membutuhkan waktu 8
sampai 15 jam untuk menggerakkan kimus hanya dari katup ileosekal ke kolon transversum,
sementara kimusnya sendiri menjadi berkualitas feses dan menjadi lumpur setengah padat bukan
setengah cair.

Pergerakan massa adalah jenis pristaltik yang termodifikasi yang ditandai timbulnya sebuah cincin
konstriksi pada titik yang teregang di kolon transversum, kemudian dengan cepat kolon distal
sepanjang 20 cm atau lebih hingga ke tempat konstriksi tadi akan kehilangan haustrasinya dan
berkontraksi sebagai satu unit, mendorong materi feses dalam segmen itu untuk menuruni kolon.

Kontraksi secara progresif menimbulkan tekanan yang lebih besar selama kira-kira 30 detik,
kemudian terjadi relaksasi selama 2 sampai 3 menit berikutnya sebelum terjadi pergerakan massa
yang lain dan berjalan lebih jauh sepanjang kolon. Seluruh rangkaian pergerakan massa biasanya
menetap hanya selama 10 sampai 30 menit, dan mungkin timbul kembali setengah hari lagi atau
bahkan satu hari berikutnya. Bila pergerakan sudah mendorong massa feses ke dalam rektum,
akan timbul keinginan untuk defekasi.

Tentang Defekasi

Sebagian besar waktu, rectum tidak berisi feses, hal ini karena adanya sfingter yang lemah 20
cm dari anus pada perbatasan antara kolon sigmoid dan rectum serta sudut tajam yang
menambah resistensi pengisian rectum. Bila terjadi pergerakan massa ke rectum, kontraksi
rectum dan relaksasi sfingter anus akan timbul keinginan defekasi. Pendorongan massa yang
terus menerus akan dicegah oleh konstriksi tonik dari 1) sfingter ani interni; 2) sfingter ani
eksternus (Sherwood, 2001).

Refleks Defekasi. Keinginan berdefekasi muncul pertama kali saat tekanan rectum mencapai 18
mmHg dan apabila mencapai 55 mmHg, maka sfingter ani internus dan eksternus melemas dan
isi feses terdorong keluar. Satu dari refleks defekasi adalah refleks intrinsic (diperantarai sistem
saraf enteric dalam dinding rectum).

Ketika feses masuk rectum, distensi dinding rectum menimbulkan sinyal aferen menyebar melalui
pleksus mienterikus untuk menimbulkan gelombang peristaltic dalam kolon descendens, sigmoid,
rectum, mendorong feses ke arah anus. Ketika gelombang peristaltic mendekati anus, sfingter ani
interni direlaksasi oleh sinyal penghambat dari pleksus mienterikus dan sfingter ani eksterni dalam
keadaan sadar berelaksasi secara volunter sehingga terjadi defekasi. Jadi sfingter melemas
sewaktu rectum teregang. Sebelum tekanan yang melemaskan sfingter ani eksternus tercapai,
defekasi volunter dapat dicapai dengan secara volunter melemaskan sfingter eksternus dan
mengontraksikan otot-otot abdomen (mengejan). Dengan demikian defekasi merupakan suatu
reflex spinal yang dengan sadar dapat dihambat dengan menjaga agar sfingter eksternus tetap
berkontraksi atau melemaskan sfingter dan megontraksikan otot abdomen (Guyton, 2007).
Sebenarnya stimulus dari pleksus mienterikus masih lemah sebagai relfeks defekasi, sehingga
diperlukan refleks lain, yaitu refleks defekasi parasimpatis (segmen sacral medulla spinalis). Bila
ujung saraf dalam rectum terangsang, sinyal akan dihantarkan ke medulla spinalis, kemudian
secara refleks kembali ke kolon descendens, sigmoid, rectum, dan anus melalui serabut
parasimpatis nervous pelvikus. Sinyal parasimpatis ini sangat memperkuat gelombang peristaltic
dan merelaksasi sfingter ani internus. Sehingga mengubah refleks defekasi intrinsic menjadi
proses defekasi yang kuat (Arthur, 2006).

Sinyal defekasi masuk ke medula spinalis menimbulkan efek lain, seperti mengambil napas dalam,
penutupan glottis, kontraksi otot dinding abdomen mendorong isi feses dari kolon turun ke
bawah dan saat bersamaan dasar pelvis mengalami relaksasi dan menarik keluar cincin anus
mengeluarkan feses.

Refleks dalam Proses Defekasi

Menurut Tarwoto dan Wartonah (2006) dalam proses defekasi terjadi dua refleks yaitu :

1. Refleks Defekasi Instrinsik

Refleks defekasi instrinsik. Ketika feses masuk kedalam rektum, pengembangan dinding rektum
memberi suatu signal yang menyebar melalui pleksus mesentrikus untuk memulai gelombang
peristaltik pada kolon desenden, kolon sigmoid, dan didalam rektum. Gelombang ini menekan
feses kearah anus. Begitu gelombang peristaltik mendekati anus, sfingter anal interna tidak
menutup dan bila sfingter eksternal tenang maka feses keluar.

2. Refleks Defekasi Parasimpatis

Ketika serat saraf dalam rektum dirangsang, signal diteruskan ke spinal cord (sakral 2 4) dan
kemudian kembali ke kolon desenden, kolon sigmoid dan rektum. Sinyal-sinyal parasimpatis ini
meningkatkan gelombang peristaltik, melemaskan sfingter anus internal dan meningkatkan
refleks defekasi instrinsik. Sfingter anus eksternal tenang dengan sendirinya. Pengeluaran feses
dibantu oleh kontraksi otot-otot perut dan diaphragma yang akan meningkatkan tekanan
abdominal dan oleh kontraksi muskulus levator ani pada dasar panggul yang menggerakkan feses
melalui saluran anus. Defekasi normal dipermudah dengan refleksi paha yang meningkatkan
tekanan didalam perut dan posisi duduk yang meningkatkan tekanan kebawah kearah rektum.

Feses

Feses terdiri atas sisa makanan seperti selulosa yang tidak direncanakan dan zat makanan lain
yang seluruhnya tidak dipakai oleh tubuh, berbagai macam mikroorganisme, sekresi kelenjar
usus, pigmen empedu, dan cairan tubuh. feaes yang normal terdiri atas masa padat, berwarna
coklat karena disebabkan ole;h mobilitas sebagai hasil reduksi pigmen empedu dan usus kecil
(Aziz Alimul, 2002).

Feses normal tersusun ats 75% air dan 25% materi padat. Feses lunak tetapi memiliki bentuk.
Apabila feses didorong sangat cepat di usus besar, tidak ada waktu sebagian besar air didalam
kime diserap kembali dan feses akan mengandung lebih banyak cairan, mungkin hingga 95% air.
Feses normal memerlukan asupan cairan normal yang mengandung sedikit air mungkin keras dan
sulit dikeluarkan. Feses normalnya berwarna coklat, terutama karena keberadaan sterkobilin dan
urobilin yang berasal dari bilirubin (sebuah pingmen merah didalam empedu). Factor lain yang
mempengaruhi adalah kerja bakteri Escherichia coli atau stafilokokus yang normalnya berasal
didalam usus besar. Kerja mikro organisme pada kime juga menimbulkan bau feses ( Kozier,
2010).
DAFTAR PUSTAKA

Arthur GC. (2006). Gastrointestinal Physiology: Propulsion and Mixing of Food in the Alimentary
Tract. Philadelphia : Elsevier

Aziz, Alimul H. (2002). Buku Saku Praktikum Kebutuhan Dasar Manusia. Jakarta : EGC.

Guyton, Hall. (2007). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran.Ed 9. Jakarta : EGC

Kozier, B., Erb. G., Berman A.,Synder S., (2004). Fundamental of Nursing : Concept, Process, and
Practice, 7 th, New Jersey.

Pearce, Evelyn C. (2002). Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta: PT. Gramedia

Sherwood, L. (2001). Fisiologi Manusia : dari Sel ke Sistem. Edisi 2. Jakarta : EGC

Anda mungkin juga menyukai