Anda di halaman 1dari 20

BAGIANILMUKARDIOVASKULAR

FAKULTASKEDOKTERAN REFERAT

UNIVERSITASMUSLIMINDONESIA SEPTEMBER2016

SINDROMKORONERAKUT

DISUSUNOLEH:

MubdiAfdhal

1102080072

SUPERVISORPEMBIMBING:

Prof.Dr.dr.AliAsparM,Sp.PD,Sp.JP

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU KARDIOVASKULAR

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2016

1
A. SINDROM KORONER AKUT

Sindroma koroner akut (SKA) merupakan suatu istilah atau

terminologi yang digunakan untuk menggambarkan spektrum penyakit arteri

koroner yang bersifat trombotik. Kelainan dasarnya adalah aterosklerosis

yang akan menyebabkan terjadinya plaque aterom. Pecahnya plaque aterom

ini akan menimbulkan trombus yang nantinya dapat menyebabkan iskemia

sampai infark miokard.1

Spektrum klinis dari SKA terdiri dari angina pektoris tidak

stabil/APTS (unstable angina/UA), infark miokard gelombang non-Q atau

infark miokard tanpa elevasi segmen ST (Non-ST elevation myocardial

infarction/NSTEMI), dan infark miokard gelombang Q atau infark miokard

dengan elevasi segmen ST (ST elevation myocardial infarction/STEMI).2

APTS dan NSTEMI mempunyai patogenesis dan presentasi klinik

yang sama, hanya berbeda dalam derajatnya. Bila ditemui petanda biokimia

nekrosis miokard (peningkatan troponin I, troponin T, atau CK-MB) maka

diagnosis adalah NSTEMI; sedangkan bila petanda biokimia ini tidak

meninggi, maka diagnosis adalah APTS. Pada APTS dan NSTEMI pembuluh

darah terlibat tidak mengalami oklusi total/oklusi tidak total (patency),

sehingga dibutuhkan stabilisasi plak untuk mencegah progresi, trombosis dan

vasokonstriksi. Sedangkan pada STEMI terjadi oklusi koroner total yang

bersifat akut sehingga diperlukan tindakan reperfusi segera, komplit dan

menetap dengan angioplasti primer atau terapi fibrinolitik.3

2
B. DEFENISI
ST Elevation Myocardial Infraction (STEMI) merupakan sebagian dari

spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pectoris tak

stabil, IMA tanpa elevasi ST dan IMA dengan elevasi ST. 4


Ketika aliran darah menurun tiba-tiba akibat oklusi trombus di arteri koroner,

maka terjadi infark miokardium tipe elevasi segmen ST (STEMI).

Perkembangan perlahan dari stenosis koroner tidak menimbulkan STEMI

karena dalan rentang waktu tesebut dapat terbentuk pembuluh darah kolateral.

Dengan kata lain STEMI hanya terjadi jika arteri koroner tersumbat secara

cepat. 5
STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak

setelah oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudaha da sebelumnya.

Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak

memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu.

STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lesi

vascular, dimana lesi ini dicetuskan oleh faktor-faktor pencetus. 6


Oklusi koroner akut dengan iskemia miokard berkepanjangan yang pada

akhirnya akan menyebabkan kematian miosit kardiak. Kerusakan miokard

yang terjadi bergantung pada letak dan lamanya sumbatan lairan darah, ada

atau tidaknya kolateral dan luas wilayah miokard yang diperdarahhi

pembuluh darah yang tersumbat. 7


C. EPIDEMIOLOGI
Infark miokard akut merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di

negara maju. Data dari GRACE 2001, didapatkan bahwa dari semua pasien

yang datang ke rumah sakit dengan keluhan nyeri dada ternyata penyebab

terbanyak adalah STEMI (34%), NSTEMI (31%) dan APTS (29%). Angka

3
mortalitas dalam rawatan rumah sakit pada STEMI ialah 7 % sedangkan

NSTEMI adalah 4%, tetapi pada jangka panjang (4 tahun), angka kematian

pasien NSTEMI ternyata 2 kali lebih tinggi dibanding pasien STEMI. Infark

miokard akut merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di negara

maju. Laju mortalitas awal (30 hari) pada IMA adalah 30% dengan lebih dari

separuh kematian terjadi sebelum pasien mencapai rumah sakit. Angka

kejadian NSTEMI lebih sering di bandingkan dengan STEMI.8


D. FAKTOR RISIKO
Faktor risiko seseorang untuk menderita SKA ditentukan melalui interaksi

dua atau lebih faktor risiko.Faktor risiko SKA dibagi menjadi dua bagian

besar yaitu faktor yang tidak dapat dimodifikasi dan faktor yang dapat

dimodifikasi.
Faktor risiko yang dapat dimodifikasi antara lain seperti : merokok,

hipertensi, hiperlipidemia, diabetes mellitus, stress, diet tinggi lemak, dan

kurangnya aktivitas fisik. Faktor-faktor risiko ini masih dapat diubah,

sehingga berpotensi dapat memperlambat proses aterogenik Sedangkan faktor

risiko yang tidak dapat dimodifikasi antara lain seperti : usia, jenis kelamin,

suku/ras, dan riwayat penyakit (Bender, 2011).


E. PATOFISIOLOGI

Aterosklerosis merupakan dasar penyebab utama terjadinya PJK.

Aterosklerosis merupakan suatu proses multifaktorial dengan mekanisme

yang saling terkait. Proses aterosklerosis awalnya ditandai dengan adanya

kerusakan pada lapisan endotel, pembentukan foam cell (sel busa) dan fatty

streaks (kerak lemak), pembentukan fibrouscap (lesi jaringan ikat) dan proses

ruptur plak aterosklerotik yang tidak stabil. Inflamasi memainkan peranan

4
penting dalam setiap tahapan aterosklerosis mulai dari perkembangan plak

sampai terjadinya ruptur plak yang dapat menyebabkan trombosis.

Aterosklerosis dianggap sebagai suatu penyakit inflamasi sebab sel yang

berperan seperti makrofag yang berasal dari monosit dan limfosit merupakan

hasil proses inflamasi .9

Patogenesis aterosklerosis (aterogenesis) dimulai ketika terjadi

kerusakan (akibat berbagai faktor risiko dalam berbagai intensitas dan lama

paparan yang berbeda) pada endotel arteri, sehingga menimbulkan disfungsi

endotel. Kerusakan pada endotel akan memicu berbagai mekanisme yang

menginduksi dan mempromosi lesi aterosklerotik. Disfungsi endotel ini

disebabkan oleh faktor-faktor risiko tradisional seperti dislipidemia,

hipertensi, DM, obesitas dan merokok dan faktor-faktor risiko lain misalnya

homosistein dan kelainan hemostatik.9

Pembentukan aterosklerosis terdiri dari beberapa fase yang saling

berhubungan. Fase awal terjadi akumulasi dan modifikasi lipid (oksidasi,

agregasi dan proteolisis) dalam dinding arteri yang selanjutnya

mengakibatkan aktivasi inflamasi endotel. Pada fase selanjutnya terjadi

rekrutmen elemen - elemen inflamasi seperti monosit ke dalam tunika intima.

Awalnya monosit akan mengalami adhesi pada endotel, penempelan endotel

ini diperantarai oleh beberapa molekul adhesi pada permukaan sel endotel,

yaitu Inter Cellular Adhesion Molecule-1 (ICAM-1), Vascular Cell Adhesion

Molecule -1 (VCAM-1) dan Selectin. Molekul adhesi ini diatur oleh sejumlah

faktor yaitu produk bakteri lipopolisakarida, prostaglandin dan sitokin.

5
Setelah berikatan dengan endotel kemudian monosit bermigrasi ke lapisan

lebih dalam dibawah lapisan intima. Monosit-monosit yang telah memasuki

dinding arteri ini akan teraktivasi menjadi makrofag dan mengikat LDL yang

telah dioksidasi melalui reseptor scavenger. Hasil fagositosis ini akan

membentuk sel busa atau "foam cell" dan selanjutnya akan menjadi

fattystreaks. Aktivasi ini menghasilkan sitokin dan growth factor yang

akan merangsang proliferasi dan migrasi sel-sel otot polos dari tunika media

ke tunika intima dan penumpukan molekul matriks ekstraselular seperti

elastin dan kolagen, yang mengakibatkan pembesaran plak dan terbentuk

fibrous cap.

Pada tahap ini proses aterosklerosis sudah sampai pada tahap lanjut

dan disebut sebagai plak aterosklerotik. Pembentukan plak aterosklerotik

akan menyebabkan penyempitan lumen arteri, akibatnya terjadi penurunan

aliran darah. Trombosis sering terjadi setelah rupturnya plak aterosklerosis,

terjadi pengaktifan platelet dan jalur koagulasi. Apabila plak pecah, robek

atau terjadi perdarahan subendotel, mulailah proses trombogenik, yang

menyumbat sebagian atau keseluruhan suatu arteri koroner. Pada saat inilah

muncul berbagai presentasi klinik seperti angina atau infark miokard. Proses

aterosklerosis ini dapat stabil, tetapi dapat juga tidak stabil atau progresif.

Konsekuensi yang dapat menyebabkan kematian adalah proses aterosklerosis

yang bersifat tidak stabil/progresif yang dikenal juga dengan sindroma

koroner akut.7

6
Patogenesis Inflamasi pada Aterosklerosis (Packard 2008)

Ruptur plak memegang peranan penting untuk terjadinya sindroma

koroner akut. Resiko terjadinya ruptur plak tergantung dari kerentanan atau

ketidakstabilan plak. Ciri-ciri plak yang tidak stabil antara lain gumpalan lipid

(lipid core) besar menempati > 40% volume plak, fibrous cap tipis yang

mengandung sedikit kolagen dan sel otot polos serta aktivitas dan jumlah sel

makrofag, limfosit T dan sel mast yang meningkat. Trombosis akut yang

terjadi pada plak yang mengalami ruptur memegang peran penting dalam

kejadian sindroma koroner akut. Setelah plak mengalami ruptur, komponen

trombogenik akan menstimulasi adhesi, agregasi dan aktivasi trombosit,

pembentukan trombin dan pembentukan trombus.5

Trombus yang terbentuk mengakibatkan oklusi atau suboklusi pembuluh

koroner dengan manifestasi klinis angina pektoris tidak stabil atau sindroma

7
koroner lainnya. Bukti angiografi menunjukkan pembentukan trombus

koroner pada > 90% pasien STEMI, dan sekitar 35-75% pada pasien UAP

dan NSTEMI. 5

Pada APTS terjadi erosi atau fisur pada plak aterosklerosis yang relatif

kecil dan menimbulkan oklusi trombus yang transien. Trombus biasanya labil

dan menyebabkan oklusi sementara yang berlangsung antara 10-20 menit.

Pada NSTEMI kerusakan plak lebih berat dan menimbulkan oklusi trombus

yang lebih persisten dan berlangsung lebih dari 1 jam. Pada sekitar 25%

pasien NSTEMI terjadi oklusi trombus yang berlangsung > 1 jam, tetapi

distal dari penyumbatan terjadi kolateral. Pada STEMI disrupsi plak terjadi

pada daerah yang lebih besar dan menyebabkan terbentuknya trombus yang

menetap yang menyebabkan perfusi miokard terhenti secara tiba-tiba yang

berlangsung > 1 jam dan menyebabkan nekrosis miokard transmural. 5

Lipid core mengandung bahan-bahan yang bersifat sangat trombogenik

karena mengandung banyak tissue factor yang diproduksi oleh

makrofag.Tissue factor adalah suatu protein prokoagulan yang akan

mengaktifkan kaskade pembekuan ekstrinsik sehingga paling kuat sifat

trombogeniknya. Faktor jaringan akan membentuk komplek dengan faktor

Vva dan akan mengaktifkan faktor IX dan faktor X yang selanjutnya terjadi

mata rantai pembentukan trombus.5

Vasokonstriksi pembuluh darah koroner juga ikut berperan pada

patogenesis sindroma koroner akut. Ini terjadi sebagai respon terhadap

disrupsi plak khususnya trombus yang kaya platelet dari lesi itu sendiri.

8
Endotel berfungsi mengatur tonus vaskuler dengan melepaskan faktor

relaksasi yaitu nitrit oksida (NO) yang dikenal dengan Endothelium Derived

Relaxing Factor (EDRF), prostasiklin dan faktor kontraksi seperti endothelin-

1, thromboxan A2, prostaglandin H2. Trombus kaya platelet yang mengalami

disrupsi, terjadi platelet dependent vasoconstriction yang diperantarai

serotonin dan thromboxan A2 sehingga menginduksi vasokonstriksi pada

daerah ruptur plak atau mikrosirkulasi.5

F. DIAGNOSIS
1. Anamnesis
Pasien datang dengan keluhan nyeri dada perlu dilakukan anamnesis

secara cermat apakah nyeri dadanya berasal dari jantung atau diluar

jantung. Jika dicurigai nyeri dadadnya berasal dari jantung perlu

dibedakan apakah nyerinya berasal dari koroner atau bukan. Perlu

dianamnesis pula apakah ada riwayat infark miokard sebelumnya serta

faktor-faktor risiki anatara lain hipertensi, disbetes melitus, dislipidemia,

merokok stress serta riwayat sakit jantung koroner pada keluarga.


Pada hampir setengah kasus, terdapat faktor pencetus sebelum terjadi

STEMI, seperti aktivitas fisik berat, stress emosi atau penyakit medis atau

bedah. Walaupun STEMI bisa terjadi sepanjang hari atau malam. Variasi

sirkadian dilaporkan pada pagi hari dalam beberapa jam setelah bangun

tidur. 10
2. Nyeri dada
Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejla kardinal pasien SKA. Nyeri

dada atau rasa tidak nyaman di dada merupakan keluhan dari sebagian

besar pasien dengan SKA. Seorang dokter harus mampu mengenal nyeri

9
dada angina dan mampu membedakan dengan nyeri dada lainnya karena

gejala ini merupakan pertanda awal dalam pengelolaan pasien SKA.


Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut : 4
a. Lokasi : substernal, retrosternal dan prekordial
b. Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih

benda berat seperit ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir.


c. Penjalaran ke leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung/

interskapula, dan dapat juga kelengan kanan.


d. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat
e. Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosional, udara dingin dan

sesudah makan
f. Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin,

dan lemas.5

3. ELEKTROKARDIOGRAFI (EKG)
Pemeriksaan pasien EKG di IGD merupakan landasan dalam menentukan

terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi ST dapat

mengidentifikasikan pasien yang bermafaat untuk dilakukan terapi

referfusi. Jika EKG awal tidak diagnostik untuk STEMI tapi pasien tetap

simtomatik dan terdapat kecurigaan kuat STEMI. EKG serial dengan

interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sadapan serta kontinu harus

dilakukan untuk medeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST.

Pada pasien dengan STEMI inferior, EKG sisi kanan harus diambil untuk

medeteksi kemungkinan infark pada ventrikel kanan.11


Untuk menentukan lokasi iskemia atau infark serta predileksi pembuluh

koroner mana yang terlibat, diperlukan dua atau lebih sadapan yang

berhubungan yang menunjukkan gambaran anatomi daerah jantung yang

sama dan dapat ditentukan seperti yang terlihat pada tabel dibawah : 12

10
LOKASI IMA LOKASI ELEVASI SEGMEN
Anterior V3, V4
Anteroseptal V1, V2, V3, V4
Anterolateral I, AvL, V3, V4, V5, V6
Inferior II, III, aVF
Lateral I, AVL, V5, V6
Septum V1, V2

4. LABORATORIUM
Pertanda biomarker kerusakan jantung. Pemeriksaan yang

dianjurkan adalah creatinine kinase (CK)MB dan cardiac specific

troponin (cTn) T atau cTn I dan dilakukan secara serial. cTn harus

digunakan sebagai penanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai

kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti

peningkatan CKMB. Pada pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA,

terapi referfusi diberikan sesegera mungkin dan tidak tergantung

pemeriksaan biomarker.
Peningkatan enzim dua kali di atas nilai batas atas normal

menunjukkan ada nekrosis jantung (infark miokard).


a. CKMB meningkat setelah 3 jam bila ada infark miokard dan

mencapai puncak dalam 10-24 jam dan kembali normal dalam 2-4

hari, operasi jantung, miokarditis dan kardioversi elektrik dapat

meningkatkan CKMB
b. cTn ada dua jenis cTnT dan cTnI, enzim ini meningkat setelah 2 jam

bila infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn

T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-

10 hari.3

11
G. PENATALAKSANAAN 13
1. Gawat Darurat
Penatalaksanaan STEMI dimulai sejak kontak medis pertama, baik

untuk diagnosis dan pengobatan. Yang dimaksud dengan kontak medis

pertama adalah saat pasien pertama diperiksa oleh paramedis, dokter atau

pekerja kesehatan lain sebelum tiba di rumah sakit, atau saat pasien tiba di

unit gawat darurat, sehingga seringkali terjadi dalam situasi rawat jalan.

Diagnosis kerja infark miokard harus telah dibuat berdasarkan riwayat

nyeri dada yang berlangsung selama 20 menit atau lebih yang tidak

membaik dengan pemberian nitrogliserin. Adanya riwayat PJK dan

penjalaran nyeri ke leher, rahang bawah atau lengan kanan memperkuat

dugaan ini. Pengawasan EKG perlu dilakukan pada setiap pasien dengan

dugaan STEMI. Diagnosis STEMI perlu dibuat sesegera mungkin melalui

perekaman dan interpretasi EKG 12 sadapan, selambat-lambatnya 10

menit dari saat pasien tiba untuk mendukung penatalaksanaan yang

berhasil. Gambaran EKG yang atipikal pada pasien dengan tanda dan

gejala iskemia miokard yang sedang berlangsung menunjukkan perlunya

tindakan segera.
Sebisa mungkin, penanganan pasien STEMI sebelum di rumah

sakit dibuat berdasarkan jaringan layanan regional yang dirancang untuk

memberikan terapi reperfusi secepatnya secara efektif, dan bila fasilitas

memadai sebanyak mungkin pasien dilakukan IKP. Pusat-pusat kesehatan

yang mampu memberikan pelayanan IKP primer harus dapat memberikan

pelayanan setiap saat (24 jam selama 7 hari) serta dapat memulai IKP

primer sesegera mungkin di bawah 90 menit sejak panggilan inisial.

12
Semua rumah sakit dan Sistem Emergensi Medis yang terlibat dalam

penanganan pasien STEMI harus mencatat dan mengawasi segala

penundaan yang terjadi dan berusaha untuk mencapai dan

mempertahankan target kualitas berikut ini:


a. Waktu dari kontak medis pertama hingga perekaman EKG pertama 10

menit
b. Waktu dari kontak medis pertama hingga pemberian terapi reperfusi:
1) Untuk fibrinolisis 30 menit
2) Untuk IKP primer 90 menit (60 menit apabila pasien datang dengan

awitan kurang dari 120 menit atau langsung dibawa ke rumah sakit

yang mampu melakukan IKP)


Keterlambatan
Pencegahan delay amat penting dalam penanganan STEMI karena waktu

paling berharga dalam infark miokard akut adalah di fase sangat awal, di

mana pasien mengalami nyeri yang hebat dan kemungkinan mengalami henti

jantung. Defibrilator harus tersedia apabila ada pasien dengan kecurigaan

infark miokard akut dan digunakan sesegera mungkin begitu diperlukan.

Selain itu, pemberian terapi pada tahap awal, terutama terapi reperfusi, amat

bermanfaat. Jadi, delay harus diminimalisir sebisa mungkin untuk

meningkatkan luaran klinis. Selain itu delay pemberian pengobatan

merupakan salah satu indeks kualitas perawatan STEMI yang paling mudah

diukur. Setiap delay yang terjadi di sebuah rumah sakit saat menangani pasien

STEMI perlu dicatat dan diawasi secara teratur untuk memastikan kulaitas

perawatan tetap terjaga. Beberapa komponen delay dalam penanganan

STEMI dapat dilhat di gambar 2

13
a. Delay pasien
Adalah keterlambatan yang terjadi antara awitan gejala hingga

tercapainya kontak medis pertama. Untuk meminimalisir delay pasien,

masyarakat perlu diberikan pemahaman mengenai cara mengenal gejala-

gejala umum infark miokard akut dan ditanamkan untuk segera

memanggil pertolongan darurat. Pasien dengan riwayat PJK dan

keluarganya perlu mendapatkan edukasi untuk mengenal gejala IMA dan

langkah-langkah praktis yang perlu diambil apabila SKA terjadi.

b. Delay antara kontak medis pertama dengan diagnosis


Penilaian kualitas pelayanan yang cukup penting dalam penanganan

STEMI adalah waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan hasil EKG

pertama. Di rumah sakit dan sistem medis darurat yang menangani pasien

STEMI, tujuan ini sebaiknya dicapai dalam 10 menit atau kurang.


c. Delay antara kontak medis pertama dengan terapi reperfusi

14
Dikenal juga sebagai delay sistem, komponen ini lebih mudah diperbaiki

melalui pengaturan organisasi dibandingkan dengan delay pasien. Delay

ini merupakan indikator kualitas perawatan dan prediktor luaran. Bila

terapi reperfusi yang diberikan adalah IKP primer, diusahakan delay

(kontak medis pertama hingga masuknya wire ke arteri yang menjadi

penyebab) 90 menit (60 menit bila kasus risiko tinggi dengan infark

anterior besar dan pasien datang dalam 2 jam). Bila terapi reperfusi yang

diberikan adalah fibrinolisis, diusahakan mengurangi delay (waktu kontak

pertama dengan tindakan) menjadi 30 menit. Di rumah sakit yang

mampu melakukan IKP, target yang diinginkan adalah door-to-balloon

delay 60 menit antara datangnya pasien ke rumah sakit dengan IKP

primer. Delay yang terjadi menggambarkan performa dan kualitas

organisasi rumah sakit tersebut. Dari sudut pandang pasien, delay antara

awitan gejala dengan pemberian terapi reperfusi (baik dimulainya

fibrinolisis atau masuknya wire ke arteri penyebab) merupakan yang

paling penting, karena jeda waktu tersebut menggambarkan waktu

iskemik total, sehingga perlu dikurangi menjadi sesedikit mungkin.


2. TERAPI REPERFUSI
Terapi reperfusi segera, baik dengan IKP atau farmakologis, diindikasikan

untuk semua pasien dengan gejala yang timbul dalam 12 jam dengan elevasi

segmen ST yang menetap atau Left Bundle Branch Block (LBBB) yang

(terduga) baru. Terapi reperfusi (sebisa mungkin berupa IKP primer)

diindikasikan apabila terdapat bukti klinis maupun EKG adanya iskemia

yang sedang berlangsung, bahkan bila gejala telah ada lebih dari 12 jam

15
yang lalu atau jika nyeri dan perubahan EKG tampak tersendat. Dalam

menentukan terapi reperfusi, tahap pertama adalah menentukan ada tidaknya

rumah sakit sekitar yang memiliki fasilitas IKP. Bila tidak ada, langsung

pilih terapi fibrinolitik. BIla ada, pastikan waktu tempuh dari tempat

kejadian (baik rumah sakit atau klinik) ke rumah sakit tersebut apakah

kurang atau lebih dari (2 jam). Jika membutuhkan waktu lebih dari 2 jam,

reperfusi pilihan adalah fibrinolitik. Setelah fibrinolitik selesai diberikan,

jika memungkinkan pasien dapat dikirim ke pusat dengan fasilitas IKP.

Fibrinolisis merupakan strategi reperfusi yang penting, terutama pada

tempat-tempat yang tidak dapat melakukan IKP pada pasien STEMI dalam

waktu yang disarankan. Terapi fibrinolitik direkomendasikan diberikan

dalam 12 jam sejak awitan gejala pada pasien-pasien tanpa indikasi kontra

apabila IKP primer tidak bisa dilakukan oleh tim yang berpengalaman

dalam 120 menit sejak kontak medis pertama (Kelas I-A). Pada pasien-

pasien yang datang segera (<2 jam sejak awitan gejala) dengan infark yang

besar dan risiko perdarahan rendah, fibrinolisis perlu dipertimbangkan bila

waktu antara kontak medis pertama dengan inflasi balon lebih dari 90 menit

(Kelas IIa-B). Fibrinolisis harus dimulai pada ruang gawat darurat. Agen

yang spesifik terhadap fibrin (tenekteplase, alteplase, reteplase) lebih

disarankan dibandingkan agen-agen yang tidak spesifik terhadap fibrin

(streptokinase) (Kelas I-B). Aspirin oral atau intravena harus diberikan

(Kelas I-B). Clopidogrel diindikasikan diberikan sebagai tambahan untuk

aspirin (Kelas I-A).

16
17
18
DAFTAR PUSTAKA

1. Achar, Suraj. 2005. Diagnosis of Acute Coronary Syndrome. University of

California, San Diego, School of Medicine, La jolla, California


2. Dafsah et al. 2012. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut.

Persatuan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Jakarta


3. Hamm CW. Braunwald E. A Classification of Unstable Angina revised

Circulation. 2000.
4. Alwi, I. 2006. Infark Miokard Akut dengan elevasi ST dalam Aru W.S,

Bambang S, Idrus A, Marcelius, Sti S.s (eds). Buku ajar Ilmu Penyakit

dalam. Jilid III. Edisi IV FK UI. Jakarta


5. Antman, E.M, ST Elevation Myocardial Infraction. In Kasper. D.I et al

(eds). Harrisons Principle of Internal Medicine. 16 th ed. USA. 2005.


6. Brown, T.C. 2006. Penyakit Aterosklerosis Koroner. Dalam : Price, S.A

William L.M (ed) Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Ed

6. EGC. Jakarta
7. Barriento, Aida Suaze et al. 2011. Circardian variations of Infarct Size in

Acute Myocardial Infraction.


8. Bassand, jean. 2007. Guidelines for the diagnosis and treatment of non st

segment elevation acute coronary syndrome. Eropean Heart Journal.

European Society of Cardiologi


9. Elizabeth J. Corwin. Buku saku patofisiologi. Edisi ke-3. Jakarta: penerbit

Buku Kedokteran EGC. 2009.


10. Boedi Darmojo. Epidemiology of Atherosclerotic disease: special focus on

cardiovascular disease. Dalam : Tanuwidjojo S, Atherosklerosis from

theory to clinical practice. Naskah lengkap cardiology-update. Semarang:

Badan penerbit Undip, 2003

19
11. Chou, T. Electrocardiography in Clinical Practice Adult and Pediatric:

Myocardial Infraction. Myocardial Injury, and Myocardial Ischemia. 4th

ed. Pennsylvania: W.B. Saunders Company. 1996


12. Dharma Surya et.al. 2015. Cara mudah Membaca EKG. Penerbit Buku

Kedoktera EGC. Jakarta


13. Irmalita et al. 2015. Pedoman Tatalaksana Sindrom Koroner Akut.

Persatuan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Jakarta

20

Anda mungkin juga menyukai