Anda di halaman 1dari 12

HOSPITAL BYLAWS

Oleh
Sofwan Dahlan

SESUDAH cukup inten berdiskusi, bertukar pikiran dan informasi dalam berbagai
seminar dan pertemuan di tingkat nasional maupun regional serta melihat-lihat berbagai
model hospital bylaws dari banyak rumah sakit di Amerika (baik rumah sakit yang
berorientasi pada profit, nonprofit maupun rumah sakit pendidikan) maka rasa-rasanya
pemahaman kita mengenai masalah tersebut sekarang ini sudah mulai mengerucut. Kini
terminologi hospital bylaws tidak lagi dipahami secara keliru sebagai segala macam
bentuk peraturan yang ada di atau yang dibuat oleh rumah sakit, melainkan sudah dibatasi
hanya pada peraturan dasar atau anggaran dasarnya saja. Oleh sebab itu terminologi
hospital bylaws perlu dibedakan dengan terminologi rule and regulation dalam banyak
hal; antara lain dalam hal materi (substansi) serta badan (otoritas) yang punya
kewenangan mengesahkannya.

Jika materi hospital bylaws masih berisi prinsip-prinsip yang bersifat umum
(general principles) maka rule and regulation sudah mulai memuat hal-hal yang lebih
bersifat spesifik bagi kebutuhan implementasi dari prinsip-prinsip umum yang tercantum
dalam hospital bylaws. Bila hospital bylaws harus disahkan oleh pemilik, atau governing
board atau badan yang setara dengannya (sebagai pemegang otoritas tertinggi yang
mewakili pemilik) maka rule and regulation cukup oleh eksekutif (yaitu komponen
rumah sakit yang oleh hospital bylaws diberi tanggungjawab terhadap manajemen
keseharian). Ibarat hospital bylaws itu sebuah undang-undang maka rule and regulation
merupakan peraturan pelaksanaannya agar undang-undang (yang masih bersifat abstrak,
umum dan pasif) menjadi lebih konkrit dan operasional guna menyelesaikan berbagai
tugas dan tanggungjawab serta permasalahan nyata di rumah sakit. Konkritnya, apabila
didalam hospital bylaws tertulis ketentuan dasar yang memberikan kewenangan kepada
eksekutif untuk menetapkan kewenangan klinik (clinical privilege) kepada setiap dokter
yang bekerja di rumah sakit misalnya maka ketentuan dalam peraturan dasar tadi perlu
ditindaklanjuti oleh pihak eksekutif dengan membuat rule and regulation tentang
tatalaksana pemberian kewenangan itu.

Tentunya rule and regulation yang berkaitan dengan dokter tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan dalam hospital bylaws, sementara hospital bylaws itu
sendiri juga tidak boleh bertentangan dengan berbagai peraturan perundang-undangan
yang berlaku; sehingga dilihat dari hakekatnya, hospital bylaws merupakan legal
restatement, dimana peraturan perundang-undangan yang terkait dirumuskan kembali
oleh tiap-tiap rumah sakit menjadi sebuah hospital bylaws. Dengan adanya hospital
bylaws dan rule and regulation maka dokter yang bekerja di rumah sakit tidak perlu lagi
mencari-cari aturan perundang-undangan yang berlaku yang berkaitan dengan peran,
tugas dan tanggung-jawabnya.

Selain materinya tidak boleh bertentangan, tatalaksana pembuatan rule and


regulation itu sendiri juga tidak boleh menyalahi pedoman pembuatan yang ada dalam

1
hospital bylaws. Berdasarkan alasan itu maka seyogyanya didalam hospital bylaws juga
dicantumkan pasal-pasal yang berisi prinsip-prinsip umum yang harus dipatuhi oleh
eksekutif dalam pembuatan rule and regulation; misalnya tentang siapa saja yang boleh
mengajukan rancangan (draft) dan siapa yang diberi kewenangan mengesahkannya,
kapan mulai berlaku, untuk setiap berapa lama ditinjau ulang dan direvisi serta siapa saja
yang boleh mengusulkan amendemen.

Masalahnya sekarang ialah, bagaimana merumuskan hospital bylaws yang baik


dan benar agar supaya peraturan dasar atau peraturan internal tersebut dari sudut yuridis-
formal efektif?

Meski pada tahapan sekarang ini semua rumah sakit sudah menyadari kegunaan
hospital bylaws, baik untuk kepentingan pengelolaan bagi sebuah institusi yang memiliki
kompleksitas demi terciptanya good corporate governance (tatakelola rumah sakit
korporasi) dan good clinical governance (tatakelola klinik) maupun untuk keperluan
formalitas (syarat akreditasi atau pengajuan ijin), namun masih ada banyak keragu-
raguan pada sebagian besar rumah sakit dalam merumuskannya. Barangkali keraguan itu
muncul karena kurang menyadari bahwa apa yang hendak dirumuskannya adalah
seperangkat peraturan dasar untuk kebutuhan di rumah sakitnya sendiri. Ibarat hendak
menjahit baju tentunya tidak boleh lupa akan ukuran tubuhnya sendiri. Oleh sebab itu
dalam menyusun hospital bylaws, yang terpenting adalah tidak terlalu berorientasi pada
rumah sakit di Amerika (baik menyangkut outline maupun materi) sebab kondisi,
kebutuhan dan kebiasaanya berbeda.

Memang ada banyak bagian dari outline yang dapat ditiru dan ada banyak pula
prinsip umum yang dapat diadopsi, tetapi menjiplak secara utuh outline dan materi dari
mereka justru bisa menyulitkan diri sendiri. Selain tidak akan efektif, konsekuensinya
juga harus melengkapi rumah sakitnya dengan segala macam perangkat seperti yang ada
di rumah sakit di Amerika. Dalam kontek inilah maka Kerangka Statuta Rumah Sakit
hasil keputusan rapat kerja PERSI di Bali dan Keputusan Menteri Kesehatan Tahun 2005
Tentang Pedoman Peraturan Internal Staf Medis patut dijadikan referensi.

Tentunya untuk dapat membuat hospital bylaws yang baik dan benar maka
perancang (bylaws drafter) harus memiliki persyaratan tertentu. Pertama, harus
memahami sungguh-sungguh mengenai luas serta batas ruang lingkup yang hendak
diatur. Kedua, harus bisa menangkap aspek-aspek penting yang perlu pengaturan serta
mengidentifikasi dan menjaring esensialianya saja untuk kemudian dirumuskan secara
sistematik dalam bentuk pasal-pasal agar supaya peraturan tersebut mampu
mengantisipasi perubahan-perubahan di masa mendatang. Hospital bylaws yang terlalu
detil pasti akan rentan terhadap perubahan tak prinsipiel sehingga tidak akan mampu
bertahan lama. Ketiga, harus mampu merumuskan hospital bylaws yang sinkron dengan
berbagai macam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keempat, harus mampu
mencermati kecenderungan internasional sebab dalam era globalisasi seperti sekarang ini
banyak terjadi perubahan paradigma menyangkut rumah sakit. Terakhir, perancang juga
harus mampu menuangkan kedalam bahasa yang sederhana tetapi jelas, tegas dan lugas
agar tercipta kepastian hukum karena pada hakekatnya hospital bylaws merupakan

2
hukum yang berlaku internal dan mengikat semua pihak yang secara sadar menjalin
hubungan hokum dengan rumah sakit. Oleh karena itu rumusannyapun harus sedemikian
rupa agar supaya tidak menimbulkan penafsiran ganda.

PENGERTIAN RUMAH SAKIT

Berbicara mengenai rumah sakit, Morris and Moritz menggambarkannya sebagai


berikut:
1. A place in which a patient may receive food, shelter, and nursing care while
receiving medical or surgical treatment (sebuah tempat dimana pasien mendapat
makanan, penginapan dan asuhan keperawatan selagi pasien menjalani
pengobatan atau operasi).
2. An institution for the reception, care and medical treatment of the sick or
wounded; also the building used for that purpose (sebuah lembaga tempat
menerima, merawat dan melakukan pengobatan medis terhadap orang sakit atau
terluka; meliputi pula gedung yang digunakan untuk tujuan itu).
3. A place where medicine is practiced by physician (sebuah tempat dimana ilmu
kedokteran dipraktikkan oleh para dokter).

Sementara Magula (1982) menggambarkan rumah sakit sebagai sebuah tempat


dimana:
1. Orang dengan problem kesehatannya pergi kesana.
2. Dokter, perawat dan tenaga kesehatan lainnya melakukan aktifitas profesionalnya.
3. Pendidikan dan riset di bidang kesehatan dilakukan.
4. Segmen dari masyarakat dapat memperoleh pekerjaan.

Dilihat dari gambaran itu maka rumah sakit memiliki peran simultan, yang oleh
Hematram Yadave (2006) peran tersebut dirinci sebagai berikut:
1. Patient Care: to cure and care the sick, the injured, and the infirm.
2. Training or Teaching: hands on training, basic training, practical training, and
undergraduate training.
3. Research: pure or clinical research to understand illness better and seek or
develop new modalities of treatment.
4. Health Education: to be focused on the staff, patient, patients relatives, and the
community.

Dengan peran simultan tersebut diatas maka Magula melukiskan rumah sakit
sebagai berikut:
1. Sebuah institusi besar; yang sarat dengan peralatan berteknologi canggih, diopera-
sionalkan oleh sekumpulan orang dengan keahlian dan bakat tertentu sesuai yang
dibutuhkan.

2. Sebuah struktur organisasi yang komplek; yang didalamnya ditempatkan banyak


orang untuk melakukan pekerjaan tertentu (dg kompensasi finansial) sesuai
kebutuhan rencana kerja yang dibatasi oleh peraturan, regulasi dan prosedur
sesuai kebutuhan birokrasi dan hukum.

3
3. Sebuah lembaga yang rumit; dengan banyak unit, departemen, staf, jabatan dan
peran; yang kesemuanya itu saling kait-mengkait dan saling kebergantungan satu
sama lain.

4. Sebuah sistem yang harus dinamis dan adaptif; karena harus berinteraksi terus-
menerus dengan lingkungan eksternal, sosial dan lingkungan organisasi.

5. Sebuah tempat kerja; yang sangat sarat dengan masalah, sehingga oleh karenanya
perlu ada problem-solving system.

6. Sebuah fasilitas publik esensial; yang merepresentasikan infestasi sumber daya


manusia, modal dan sumber daya lainnya guna memberikan layanan penting
(critical services) bagi masyarakat.

7. Sebuah proses manajemen; yang inputnya berupa personil, peralatan, dana,


informasi dan pasien; ------ untuk dirubah melalui proses kerja organisasi, alokasi
sumber daya, koordinasi, integrasi psiko-sosial dan manajemen; ------- yang
kemudian hasilnya diserahkan kembali kepada lingkungannya dalam bentuk
finished outputs; disamping harus tetap mempertahankan identitas dan
integritasnya sebagai sebuah sistem sepanjang waktu.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 983 Th. 1992, rumah sakit
didefinisikan sebagai berikut:
Rumah sakit adalah sarana upaya kesehatan yangmenyelenggarakan kegiatan
kesehatan serta dapat dimanfaatkan untuk pendidikan tenaga kesehatan dan penelitian.

Sedangkan definisi yuridis menurut RUU TENTANG RUMAH SAKIT adalah


sebagai berikut:
Rumah sakit adalah suatu fasilitas yang menyediakan rawat inap dengan atau
tanpa rawat jalan yang memberikan pelayanan kesehatan jangka pendek dan jangka
panjang yang terdiri dari observasi, diagnosis, terapetik dan rehabilitatif untuk orang-
orang yang menderita sakit, cidera dan melahirkan

Mengenai rumah sakit pemerintah (Governmental Hospital) Morris dan Moritz


memberi ciri sebagai berikut:
a. Also called a public hospital.
b. Established and operated by the federal government, a state, or one of its
subdivisions.
c. An instrumentality of the state.
d. Founded and owned in the public interest.
e. Supported by public funds.
f. Governed by those deriving their authority from the state.
g. Owned by the people.
h. Devoted chiefly to public purposes.
i. Administered by public officials.

4
j. The powers, duties, and purposes of the hospital are established or modified by
the action of legislative branch of government (for example, the Federal
Congress, a state legislature, a city council, or county commissioners).
k. The control and management of a public hospital are determined by statute or
ordinance.

Sedangkan untuk rumah sakit swasta (Private Hospital) beliau memberi ciri
seperti dibawah ini, yaitu:
a. Founded and maintained by private persons or private corporation.
b. The state having no voice in the management or control of hospital property or
the formulation of rules for its government.

Mengacu pada apa yang dikemukakan oleh Morris dan Moritz bahwa rumah sakit
pemerintah dimiliki oleh rakyat maka rumah sakit vertikal juga milik rakyat yang
dikuasakan kepada Departemen Kesehatan untuk mengurusnya. Demikian juga rumah
daerah yang dikuasakan kepada pemerintah daerah (kepala daerah beserta perangkatnya)
untuk mengelolanya. Namun mengingat pengelolaan rumah sakit memerlukan pemikiran
dan waktu maka seyogyanya diserahkan kepada governing board atau badan yang setara
dengannya; yang bentuk, susunan dan tanggungjawabnya perlu dibahas lebih lanjut oleh
pihak eksekutif dan legislative. Yang jelas paradigma pengelolaan rumah sakit sekarang
ini menuntut adanya badan seperti itu.

PENGERTIAN HOSPITAL BYLAWS

Terminologi bylaws (sering ditulis byelaw, by-law, atau bye-law) berasal dari dua
buah kata, yaitu bys dan "laws. Menurut Blum, kata bys berasal dari terminologi
Inggris kuno yang artinya kota sehingga bylaws dapat diartikan sebagai town laws,
yaitu peraturan kota atau peraturan setempat.

Dalam kamus Oxford Dictionary, terminology bylaws didefinisikan sebagai


regulation made by local authority or corporation (peraturan yang dibuat oleh
penguasa setempat atau korporasi). Sementara Websters Dictionary mengartikannya
sebagai a rule adopted by an organization chiefly for the government of its members
and the regulation its affairs. Sedangkan Wharton memaknai bylaws dengan
memasukkan ciri yang dapat memiliki kekuatan mengikat, yakni laws, rules,
regulations, orders and constitution of corporations, for giving their members. They are
binding unless opened to law or reason and against the common good, benefit, under
which circumstances they are void.

Definisi bylaws dari Blacks Law Dictionary (yaitu kamus hukum yang paling
populer dan banyak dijadikan acuan bagi kalangan hukum) ialah regulations,
ordinances, rules or laws adopted by an association or corporation or the like for its
internal governance. Bylaws define the rights and obligations of various officers, persons
or group with in the corporate structure and provide rules for routine matters such as

5
calling meetings and the like. Most state corporation statutes contemplate that every
corporation will adopt bylaws.

Jika berbagai batasan diatas dirangkum maka pengertian yang sebenarnya dari
hospital bylaws adalah seperangkat peraturan internal atau kaidah yang dibuat oleh
rumah sakit dan oleh karenanya hanya berlaku di rumah sakit yang bersangkutan.
Meskipun dibuat oleh rumah sakit, namun hospital bylaws dapat mengikat pihak-pihak
lain yang secara syah (conscious, voluntary dan unequivocal) mengadakan interaksi
dengan rumah sakit, sepanjang peraturan atau kaidah tadi memenuhi persyaratannya;
antara lain tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.

LINGKUP HOSPITAL BYLAWS

Jika kita mengamati sejenak model Amerika dalam mengelola rumah sakit, akan
tampak jelas bahwa pada umumnya mereka menggunakan konsep three legged stool
model, yaitu suatu model institusi dengan tiga pilar penyangga atau tiga pusat kekuatan
yang terdiri atas board of trustees / governing board (dewan komisaris, dewan penyantun
atau badan yang setara), adminstration (eksekutif) dan medical staff. Dari ketiga pilar tadi
dipisahkan secara tajam tugas tanggungjawabnya masing-masing agar tidak tumpang
tindih dan tidak terjadi gesekan-gesekan yang tidak perlu.

Board of trustees atau governing board diberi beban tanggungjawab hukum


menyangkut kebijakan serta jalannya rumah sakit secara keseluruhan. Administration
(eksekutif) diserahi tanggungjawab yang berkaitan dengan manajemen keseharian agar
fungsi rumah sakit (yang terbagi menjadi berbagai operational departements) dapat
berjalan dengan baik. Sedangkan pilar medical staff (yang terbagi menjadi sekian banyak
clinical departements) dibebani tugas tanggungjawab atas jalannya semua jenis layanan
kesehatan di rumah sakit.

Dari tanggungjawab tiap-tiap pilar tadi kemudian dirinci lagi tugas dan
kewenangannya masing-masing. Tugas lebih menggambarkan rincian kewajiban yang
harus dilaksanakan sedangkan kewenangan menggambarkan rincian power (juga bisa
berarti hak) yang secara jelas dan tegas diberikan kepada masing-masing pilar agar dapat
melaksanakan tanggungjawabnya secara baik.

Yang membedakan antara rumah sakit dengan perusahaan-perusahaan lain di


Amerika ialah adanya fakta unik yang tidak dapat dipisahkan dari historisnya, bahwa
medical staff merupakan self-governing intity dengan bylaws-nya sendiri sehingga oleh
karenanya hospital bylaws disana dibagi menjadi corporate bylaws dan medical staff
bylaws. Tujuan utama corporate bylaws adalah agar supaya rumah sakit sebagai sebuah
korporasi dapat tercipta tatakelola yang baik (good corporate governance), sedangkan
tujuan utama medical staff bylaws adalah agar tercipta tatakelola klinik yang baik (good
clinical governance).

6
Ada beberapa aspek penting yang harus dirumuskan dalam corporate bylaws di
Amerika, antara lain:
1. The role and purpose of the hospital.
2. The duties and responsibilities of the Governing Board.
3. The mechanismes for selecting members of the Governing Board.
4. The Governing Boards organizational structure, including at least
mechanisms for selecting officers, the responsibility of officers, the procedures
for meetings, the composition and responsibilities of the Governing Board
Committees, inclusion of medical staff members on Governing Board
Committees.
5. The relationship between the Governing Board and the hospital chief
executive officer and the medical staff.
6. The requirement for establishment of medical staff.
7. The requirement for the establishment of auxiliary organizations.
8. Mechanism for adopting the Governing body bylaws.
9. Mechanism for review and revision of bylaws.

Menurut hemat saya tidak ada masalah apabila kita membuat corporate bylaws
rumah sakit dengan memasukkan materi yang tidak biasa dilakukan di Amerika, misalnya
materi mengenai pengelolaan sumber daya manusia dan keuangan. Namun demikian kita
harus taat asas, yaitu hanya merumuskan prinsip-prinsipnya saja sebagai landasan bagi
eksekutif dalam mengelola kedua hal tersebut.

Sedangkan aspek penting dari medical staff bylaws mencakup hal-hal sebagai
berikut:
1. The purpose and authority of a medical staff, membership, categories of
membership, the processes of appointment, the delineation of clinical
privileges, non-physician membership, and dealing with physicians whose
performance is inadequate (i.e. correctives action programs, suspension,
hearing and appeal procedures).
2. The detailed descriptions of clinical departements, medical staff
committees, meeting requirements, and confidentiality policies.
3. The medical staff rules, which cover hospital admissions, autopsies, consent,
emergency services, medical records, and surgery policies.

Intinya, corporate bylaws menyediakan roadmap untuk operasionalisasi rumah


sakit sebagai sebuah badan usaha atau badan layanan umum sedangkan medical staff
bylaws menyediakan framework agar para dokter dan pembantunya dapat melaksanakan
fungsi profesionalnya dengan baik guna menjamin terlaksananya mutu layanan klinik
sebagaimana yang diharapkan. Bahwa umumnya rumah sakit di Amerika membagi
hospital bylaws menjadi corporate bylaws dan medical staff bylaws tidak dapat
dilepaskan dari perundang-undangan yang berlaku disana, yang memasukkan rumah sakit
(for profit maupun non profit) sebagai badan usaha yang harus tunduk pada General
Corporate Law (UU Badan Usaha) serta kenyataan sejarah yang mengakui staf klinik
sebagai entitas yang harus mengatur diri sendiri.

7
Kita sendiri harus menyadari bahwa selain masalah kerumahsakitan kita sedang
mengalami perubahan, perangkat hokum yang mengaturnya juga belum mapan. Peraturan
dalam bentuk undang-undang belum ada, padahal peraturan semacam itu dapat menjadi
faktor penentu warna bagi hospital bylaws, utamanya medical staff bylaws sebab
pemerintah (dalam rangka melindungi masyarakat) sangat berkepentingan terhadap
terlaksananya mutu layanan klinik yang baik di setiap rumah sakit. Yang ada hanyalah
peraturan Menteri atau Dirjen yang terlalu berorientasi pada rumah sakit pemerintah,
walaupun saya tak menyangkal materinya banyak berguna bagi penyusunan hospital
bylaws. Kedepan tentunya perlu ada Undang-Undang tentang Rumah Sakit (Hospital
Act) yang dapat dijadikan acuan lebih baik lagi bagi penyusunan hospital bylaws rumah
sakit (baik rumah sakit pemerintah maupun swasta) dengan tetap menghormati ciri
masing-masing rumah sakit.

GOVERNING BOARD

Governing board atau govering body oleh Blacks law dictionary didefinisikan
sebagai berikut:
Governing body of organization means that body which has ultimate power to
determine its policies and control its activities.

Sementara Houle memaknai govering board atau governing body sebagai


kelompok orang terorganisir dengan kewenangan kolektif untuk mengendalikan dan
membantu pengembangan suatu institusi yang pada umumnya dikelola oleh eksekutif dan
staf yang memenuhi persyaratan..

Masih menurut Houle, fungsi dari govering board atau governing body adalah
sebagai berikut:
1. Mengawal pelaksanaan misi organisasi secara keseluruhan.
2. Menyetujui atau merevisi rencana jangka panjang institusi.
3. Mengawasi program-program institusi.
4. Memilih eksekutif dan menentukan persyaratannya.
5. Bekerjasama secara dekat dan interaktif dengan para eksekutif.
6. Berperan sebagai penengah bila terjadi konflik antar staf atas permintaan
eksekutif serta konflik antara staf dengan eksekutif.
7. Mengeluarkan kebijakan umum yang mengatur program.
8. Memastikan dasar legal dan tanggungjawab etik terpenuhi.
9. Menerima tanggungjawab untuk menjaga dan mengurus sumber dana yang cukup.
10. Memastikan bahwa organisasi terintegrasi dengan baik dengan lingkungan
sosialnya.
11. Memantau diri sendiri secara kontinyu serta menganalisa secara periodik (baik
struktur maupun kinerja governing board).

Selain itu, Houle juga membandingkan ciri governing board atau governing body
dengan eksekutif, antara lain:

8
1. Governing board merupakan lembaga yang bertindak atas dasar diskusi grup dan
keputusan badan tersebut, sedangkan eksekutif bersifat individual dan bertindak
berdasarkan otoritasnya serta bertanggungjawab secara personal.
2. Governing board bersifat kontinyu, sementara eksekutif bersifat temporer serta
bertanggungjawab langsung terhadap operasional institusi.
3. Governing board bersifat part-time, sedangkan eksekutif bersifat full-time.
4. Governing board memiliki staf tersendiri yang jumlahnya sedikit untuk
mendukung pekerjaannya, sementara eksekutif banyak memiliki pembantu
berjenjang (a hierarchy of helpers).
5. Governing board memiliki tanggunggjawab tertinggi untuk institusi yang
bersangkutan, sedangkan eksekutif terbatas.
6. Governing board terdiri atas beberapa anggota yang biasanya non-expert di
bidang pelayanan rumah sakit (walaupun bias saja mereka memiliki keahlian di
bidang lain), sementara eksekutif terdiri atas professional yang memiliki keahlian
di bidang manajemen.

Mengingat hospital bylaws bagi rumah sakit di Indonesia merupakan hal baru
maka tentunya hal-hal seputar governing board belum banyak difahami. Oleh sebab itu
harus ada sosialisasi kepada kepala daerah dan perangkatnya (utamanya yang menangani
masalah kesehatan). Karena pemerintahan daerah itu sendiri terdiri atas eksekutif daerah
dan legislatif daerah (DPRD) maka lembaga legislatif tersebut juga perlu dilibatkan.
Masalahnya adalah karena pengelolaan rumah sakit selama ini menggunakan pola yang
tak sesuai dengan konsep hospital bylaws.

MEDICAL STAFF BYLAWS

Sebagaimana diuraikan di bagian depan bahwa medical staff bylaws menyediakan


framework agar para dokter dan pembantunya dapat melaksanakan fungsi profesionalnya
dengan baik guna menjamin terciptanya mutu layanan klinik sebagaimana yang
diharapkan semua pihak, termasuk pasien.

Tujuan utama dibuatnya medical staff bylaws di tiap rumah sakit adalah sebagai
berikut:
1. Untuk memastikan agar setiap pasien yang berobat atau dirawat disetiap fasilitas
pelayanan rumah sakit memperoleh layanan kesehatan dengan mutu tinggi tanpa
membedakan ras, agama, warna kulit, keturunan, status ekonomi, latar belakang
pendidikan, status perkawinan, ketidakmampuan, jenis kelamin, umur, orientasi
sex, kebangsaan atau sumber pembayaran.
2. Untuk mengatur agar pelaksanaan pendidikan, pelatihan dan penelitian dapat
dilaksanakan dengan tetap mempertahankan mutu layanan kesehatan dan
martabat untuk semua pasien.
3. Untuk mengembangkan dan melestarikan berbagai peraturan bagi staf medik
yang dapat menjamin kualitas profesional di rumah sakit.
4. Untuk menyediakan forum guna membahas yang dengan itu isu-isu menyangkut
staf medik rumah sakit.

9
5. Untuk mengawasi dan menjamin adanya kesesuaian antara bylaws, rule and
regulation of medical staff dengan kebijakan rumah sakit.

Guna menjamin tercapainya tujuan diatas maka materi yang perlu diatur dalam
medical staff bylaws antara lain:
1. Tujuan dan otoritas staf klinik, keanggotaan, katagori keanggotaan, proses
pengangkatan, hak-hak klinik (clinical privileges), keanggotaan non-dokter dan
penanganan terhadap performance profesional dan etik yang kurang baik
(misalnya tindakan korektif, skorsing, prosedur persidangan dan banding).
2. Diskripsi yang rinci mengenai departemen klinik, komite medik, rapat (meeting)
dan kebijakan berkaitan dengan masalah konfidensialitas.
3. Hal-hal yang menyangkut admisi, otopsi, informed consent, rekam medik dan
kebijakan operasi.

Adapun fungsi dari medical staff bylaws menurut pedoman yang dikeluarkan
Menteri Kesehatan adalah:
1. Menggambarkan pengorganisasian staf medis di rumah sakit.
2. Memuat prosedur persyaratan dan penerimaan tenaga medis di rumah sakit.
3. Mengatur mekanisme peer group, reappointment, kewenangan yang diberikan
(clinical privilleges) dan pendisiplinan.
4. Memuat prosedur pengajuan permohonan sebagai staf medis.
5. Sebagai acuan pemberian pelayanan berdasarkan standar profesi dan kode etik
profesi medis.

Berdasarkan hal tersebut diatas maka substansi medical staff bylaws yang perlu
diatur menurut pedoman tersebut adalah:
1. Umum, antara lain:
a. Uraian tentang staf medis, kelompok staf medis dan komite medis yang
ada di rumah sakit.
b. Uraian tentang garis-garis besar tugas dan tanggungjawab staf medis.
c. Pernyataan tentang kewajiban bagi semua staf medis untuk mentaati dan
menjalankan ketentuan-ketentuan etika profesi medis, etika rumah sakit,
etika rumah sakit, hospital bylaws rumah sakit dan peraturan-peraturan
pelaksanaan yang ditetapkan berdasar medical staff bylaws.

2. Tugas dan Kewajiban Komite Medis, antara lain:


a. Menyusun, mengevaluasi dan jika perlu pengusulkan perubahan medical
staff bylaws.
b. Menetapkan standar pelayanan medis yang dibuat oleh kelompok staf
medis.
c. Menetapkan kebijakan umum dalam melaksanakan pelayanan medis
secara profesional.
d. Mengusulkan rencana pengembangan sumber daya manusia dan teknologi
untuk profesi medis.

10
3. Persyaratan dan Tatacara, antara lain:
a. Seleksi dan penapisan terhadap dokter / dokter gigi yang akan bekerja di
rumah sakit.
b. Penetapan kewenangan klinis (clinical privileges) bagi masing-masing
dokter / dokter gigi yang akan bekerja di rumah sakit sesuai kebutuhan
rumah sakit.
Tenaga dokter / dokter gigi yang diterima bekerja di rumah sakit harus
sesuai dengan sertifikasi, registrasi, perijinan, kompetensi, pengalaman,
ketrampilan, kesehatan dan prilaku etika.
c. Pemantauan dan pengamatan bahwa dokter yang diberikan kewenangan
klinis (clinical privileges) sebagaimana yang ditetapkan benar-benar
melakukan tindakan medis dalam batas-batas ijin yang diberikan
kepadanya.
d. Sanksi bagi dokter / dokter gigi yang diputuskan melanggar disiplin,
berlaku tidak baik, memberikan pelayanan medis atau tindakan medis
yang tidak sesuai dengan ijin yang diberikan, tidak sesuai dengan standar
pelayanan, secara profesional tidak kompeten atau tidak kompeten lagi
atau melanggar ketentuan-ketentuan dalam medical staff bylaws.

4. Aturan Staf Medis (yang merupakan lampiran), antara lain berisi:


a. Kewajiban staf medis mematuhi ketentuan pelaksanaan praktek
kedokteran.
b. Kewajiban staf medis mematuhi standar profesi.
c. Kewajiban staf medis mematuhi standar pelayanan dan standar prosedur
operasional.
d. Kewajiban staf medis mematuhi kebijakan rumah sakit tentang informed
consent.
e. Ketentuan untuk mematuhi kebijakan rumah sakit tentang rahasia
kedokteran.
f. Kewajiban staf medis untuk mematuhi kebijakan rumah sakit tentang obat
dan formularium rumah sakit.

DAFTAR PUSTAKA

Blum, J, D.: Hospital Bylaws, Not Just Words, But a Reflection of Legal Realities,
International Conference For Hospital Bylaws, Jakarta, 2001.
Guwandi, J.: Hospital Bye-Law (Arti, Fungsi dan Sistematik), Seminar Sehari Hospital
Bylaws, Jakarta, 1999.
Dahlan, S, : Hukum Kesehatan, Rambu-Rambu Bagi Profesi Medik, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang, 2nd Ed, 2000.
Karbala, H.: Peraturan Pemerintah Dan Perundangan Yang Berkaitan Dengan Rumah
Sakit Dan Hospital Bylaws, Seminar Sehari Hospital Bylaws, Jakarta, 1999.
Magula, M. : Understanding Organization, An Aspen Publication, Wakefield,
Masachusetts, 1st Ed, 1982.

11
Morris, R, C. , Moritz, A, R. : Doctor and Patient and the Law, The C.V. Mosby
Company, Saint Louis, 5th ed, 1971.
Indroharto. : Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994.

12

Anda mungkin juga menyukai