Anda di halaman 1dari 10

KASUS : PENGEMBANGAN EKSPATRIAT DALAM INTERNASIONALISASI PT

SEMEN INDONESIA (Persero) Tbk.

Pendahuluan
Pada 7 Januari 2013, telah diresmikan PT. Semen Indonesia Tbk sebagai perusahaan induk
yang menaungi beberapa perusahaan semen milik negara Republik Indonesia yaitu PT. Semen
Gresik, PT. Semen Tonasa, PT. Semen Padang dan Thang Long Cement1. Langkah ini
merupakan cara BUMN yang bergerak pada produksi semen untuk menunjukkan kemampuan
bersaing dan memperluas pasar khususnya di kawasan Asia Tenggara. Langkah ini terbilang
strategis karena pada akhir tahun 2015 akan diberlakukan ASEAN Economic Community yang
memungkinkan arus perdagangan berjalan semakin cepat dengan kecilnya hambatan yang ada2.
Dalam lembar biru (blueprint) ASEAN Economic Community disebutkan bahwa pada tahun
2015, ASEAN akan menjadi pasar tunggal. Dalam pasar tunggal tersebut baik barang, jasa,
modal, investasi dan tenaga kerja terlatih bisa mengalir secara bebas dari satu negara ke negara
lain dalam ruang lingkup ASEAN3. Perluasan pemasaran PT Semen Indonesia yang didukung
oleh visi ASEAN dalam ASEAN Community menjadi kombinasi yang nyaris sempurna untuk
menjadikan PT Semen Indonesia sebagai BUMN yang go international.
Selain meresmikan nama dan logo baru PT Semen Indonesia, Dwi Soetjipto, CEO PT
Semen Indonesia kemudian berhasil mendapatkan 70% saham dari Thang Long Cement yang
merupakan perusahaan semen asal Vietnam pada 18 Desember 20124. Langkah tersebut
dilakukan untuk memperkuat produksi semen PT Semen Indonesia untuk menghadapi pesaing
utama PT Semen Indonesia di Asia Tenggara, PT Siam Cement asal Thailand. Akuisisi tersebut
membuat PT Semen Indonesia mampu melampaui produksi PT Siam Cement yaitu mencapai 27
juta ton, sementara Siam Cement hanya 23 juta ton5. Selain itu, PT Semen Indonesia juga
berencana untuk membangun pabrik semen di Myanmar pada tahun 2014 senilai $200 juta6.
Secara bertahap, PT Semen Indonesia ingin merebut pasar ASEAN wilayah utara yang
sebelumnya dikuasai oleh Siam Cement. Seperti yang diketahui bahwa pada 6 tahun terakhir
perkembangan industri properti di kawasan ASEAN utara terutama Vietnam sangat menjanjikan.
Ekspansi bisnis yang dilakukan oleh PT Semen Indonesia di kawasan Asia Tenggara
menjadikan PT Semen Indonesia sebagai perusahaan multinasional baru yang dimiliki oleh
Indonesia. Selain beberapa kemudahan dalam ekspansi bisnis yang sudah dijelaskan sebelumnya,
PT Semen Indonesia dalam rencananya akan menghadapi beberapa tantangan. Sebagai
perusahaan multinasional yang mempunyai anak usaha di luar negeri, perusahaan induk harus
mempunyai fungsi kontrol dan pengawasan terhadap perusahaan anak. Dalam hal ini, PT Semen
Indonesia merupakan induk perusahaan dari Thang Long Cement yang berada di Vietnam.
Kemudian, PT. Semen Indonesia juga mempunyai rencana untuk membangun pabrik baru di
Myanmar pada tahun 2014.
Selain modal finansial, faktor modal sumber daya manusia harus dipertimbangkan oleh
perusahaan mutinasional dengan tujuan untuk mempertahankan fungsi kontrol dan pengawasan
terhadap anak perusahaan di negera lain. Modal sumber daya manusia yang dimaksudkan dalam
tulisan ini adalah ekspatriat. Ekspatriat adalah sumber daya manusia, sering kali manager, yang
ditugaskan untuk bekerja di anak perusahaan yang berada di negara lain atau ditugaskan di luar
perusahaan induk berada. Fungsi ekspatriat dalam hal ini adalah sebagai perwakilan dari
perusahaan induk dalam berjalannya produksi atau operasional dari anak perusahaan di luar
negeri. Oleh karena itu, ekspatriat adalah pihak yang mempunyai peran atau fungsi sebagai
pengawas, pengatur dan transfer agent dalam hal budaya dan standar organisasi dalam
operasinya.
Dalam tulisan ini, penulis ingin mengetahui strategi modal sumber daya manusia (human
capital) dalam proses internasionalisasi PT. Semen Indonesia. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa sekarang ini, PT. Semen Gresik yang berubah nama menjadi PT. Semen
Indonesia dan menjadi perusahaan induk dari tiga perusahaan semen nasional yaitu PT. Semen
Tonasa, PT. Semen Padang dan Thang Long Cement. Selain Thang Long Cement yang berada di
Vietnam, PT. Semen Indonesia juga berencana untuk membangun anak perusahaan di Myanmar.
Khusus untuk anak perusahaan yang berada di luar Indonesia, PT. Semen Indonesia tentunya
akan menempatkan beberapa manager di anak perusahaan tersebut. Persiapan dan pelatihan
terhadap strategi tersebut tentu menjadi hal yang penting untuk mendukung suksesnya
operasional dan tujuan dari internasionalisasi PT. Semen Indonesia.

Kebutuhan Ekspatriat dalam Internasionalisasi PT. Semen Indonesia


PT. Semen Indonesia adalah gabungan dari beberapa perusahaan semen nasional yang
dipimpin oleh PT. Semen Gresik. Tepatnya pada bulan September tahun 1995 PT. Semen Gresik
berkonsolidari dengan PT. Semen Tonasa dan PT. Semen Padang dengan tujuan untuk
mengintegrasikan produksi semen nasional. Kemudian pada 18 Desember 2012, langkah besar
dilakukan oleh PT. Semen Gresik yaitu membeli 70% saham dari Thang Long Cement yang
merupakan perusahaan semen yang memimpin pasar semen Vietnam. Hal ini merupakan langkah
besar karena industry properti di Vietnam sedang berkembang pesat dan sebentar lagi ASEAN
Economic Community diimplementasikan. Semenjak akuisisi saham Thang Long Cement, PT.
Semen Gresik mengubah nama menjadi PT. Semen Indonesia yang merupakan induk dari PT.
Semen Padang, PT. Semen Tonasa dan Thang Long Cement11. PT. Semen Indonesia sudah
menjadi perusahaan semen nasional dengan kelas mutinasional sekarang ini. Namun, manajemen
sumber daya manusia terkait dengan kontrol dan pengawasan anak perusahaan yang berada di
Vietnam dan nantinya di Myanmar masih belum diketahui secara jelas oleh penulis.

PT. Semen Indonesia yang dipimpin oleh PT. Semen Gresik sekarang ini mempunyai
program Human Capital Master Plan (HPCM) yang terbagi ke dalam 4 tahap, yaitu sebagai
berikut :
1. Tahap Pertama (2009-2010)
Setting human capital foundation, yakni penyusunan HCMP dan dimulainya transisi
implementasi sistem dengan kegiatan penyelarasan sistem manajemen SDM dan optimalisasi
framework aliran human capital di antara anggota group Perseroan.
2. Tahap Kedua (2011-2012)
Growth & strengthening. Perseroan melakukan penguatan human capital system dan
percepatan peningkatan performance SDM secara berkesinambungan. Target tahap ini yaitu
terjadinya akselerasi kemampuan dan kinerja SDM secara signifikan guna mendukung
pencapaian tujuan Perseroan.
3. Tahap Ketiga (2013)
Excellent performance. Pada tahapan ini seluruh Human Capital System telah mencapai
kondisi yang optimal dan berada pada derajat aligment yang tinggi untuk menunjukkan high
performance system and culture.
4. Tahap Keempat (2014 dan seterusnya)
Pengelolaan HC Perseroan yang sejajar dengan pengelolaan HC perusahaan kelas dunia.
Pada tahap ini, pengelolaan HC yang dilakukan Perseroan mampu membuat citra atau persepsi
publik terhadap Perseroan berubah. Perseroan telah menjadi perusahaan kelas dunia dengan
standar manajemen internasional, perusahaan pilihan dalam bisnis persemenan dan perusahaan
pilihan para talenta terbaik yang berminat terjun di bidang persemenan.

Disebutkan juga bahwa fokus dari HCMP adalah leadership development dan penguatan
budaya perusahaan dengan performance based culture13. Secara garis besar, PT. Semen
Indonesia telah menetapkan milestone dan juga target ke depan yang harus dicapai. Kondisi yang
berkembang sekarang ini menunjukkan bahwa HCMP tahap ketiga sudah mulai berjalan karena
akuisisi yang dilakukan terhadap perusahaan semen Vietnam. Kepemimpinan dan performa
berdasarkan kepada budaya organisasi yang juga menjadi fokus dari pengembangan sumber daya
manusia PT. Semen Indonesia kemudian disesuaikan dengan internasionalisasi yang ingin
dicapai pada tahun 2014 sesuai dengan HMCP.
Sementara itu, dalam hal pengembangan perusahaan dalam hal ini adalah internasionalisasi
yang dilakukan oleh PT. Semen Indonesia membutuhkan tenaga dari ekspatriat yang mampu
menintepretasikan tujuan dari perusahaan induk di negara dimana ekspatriat tersebut ditugaskan.
Klaus Schuster menyebutkan bahwa terdapat tiga alasan perusahaan multinasional memilih
ekpatriat sebagai pemimpin di anak perusahaan, yaitu, pertama, ekspatriat adalah representasi
dari citra dan branding perusahaan di luar negeri; kedua, ekspatriat berperan sebagai pegawai
yang melakukan transfer of knowledge dari perusahaan induk ke anak perusahaan; ketiga,
ekspatriat berfungsi sebagai monitor/pengawas dari perusahaan induk tentang apa saja yang
terjadi di lingkungan internal dan eksternal anak perusahaan.
Perusahaan multinasional menggunakan tenaga ekspatriat dalam tiga hal yang esensial bagi
perusahaan yaitu fill position, management development dan organizationaldevelopment. Fill
position mempunyai arti bahwa kebeadaan ekpatriat di anak perusahaan berfungsi untuk transfer
of knowledge yang di dalamnya juga mencakup budaya organisasi. Management development
adalah pengiriman ekspatriat ke luar negeri sebagai model pelatihan untuk menambah
pengalaman dari ekspatriat dalam menjalankan tugas berikutnya. Sementara organizational
development berarti keberadaan ekspatriat di anak perusahaan berfungsi sebagai penghubung
dari perusahaan induk dengan anak perusahaan dalam hal control dan kooridnasi. Anne-Wil
Harzing dalam penelitiannya lebih menjabarkan mengenai strategi penempatan dan fungsi
ekspatriat dalam perusahaan multinasional yang dibagi menjadi tiga yaitu bear (dominasi),
bumble-bee (komunikasi informal), dan spider (jaringan). Penggunaan dari masing-masing
strategi tersebut tentunya berdasar kepada kondisi actual perusahaan multinasional. PT. Semen
Indonesia bisa menjadikan penelitian tersebut sebagai acuan untuk pengembangan perusahaan
selanjutnya.
Pernyataan tersebut di atas menunjukkan bahwa peran ekspatriat bagi perusahaan
multinasional adalah penting dan perlu. PT. Semen Indonesia yang merupakan perusahaan yang
baru memulai multinasionalisme-nya harus jeli dalam melihat peluang serta cost and benefit
khususnya dalam pengembangan sumber daya manusia. Berdasarkan kepada data sekunder yang
sudah dijelaskan sebelumnya, masih belum ditemukan strategi pengembangan ekspatriat dalam
PT. Semen Indonesia. Meskipun secara umum, PT. Semen Indonesia sudah mencanangkan
menjadi perusahaan multinasional yang kompetitif. Oleh karena itu, melihat signifikansi dari
ekspatriat, PT. Semen Indonesia seharusnya menggunakan tenaga ekspatriat dalam operasional
usahanya.

Permasalahan Ekspatriat
Penjelasan tersebut di atas menunjukkan bahwa ekspatriat diperlukan PT. Semen Indonesia
untuk menjalankan operarionalisasi anak perusahaan di luar negeri yakni di Vietnam dan
Myanmar. Tetapi, pemilihan, persiapan dan pelatihan bagi calon ekspatriat seharusnya
dipersiapkan sejak awal. Penelitian menunjukkan bahwa secara keseluruhan tingkat kegagalan
ekspatriat dalam menjalankan tugasnya berkisar antara 20% - 50%16. Asia Tenggara tergolong
sebagai kawasan dengan kegagalan ekspatriat yang paling tinggi. Hal tersebut menunjukkan
bahwa betapa pentingnya bagi PT. Semen Indonesia untuk memilih pegawai yang tepat
kemudian melatihnya sehingga anak perusahaan bisa bertahan dan tidak merugi. Diketahui juga
bahwa biaya yang dikeluarkan untuk tugas ekspatriatisasi tidak sedikit. Jika ekspatriat gagal
dalam menjalankan tugasnya, akan terjadi kerugian ganda yakni kerugian secara finansial dan
jeleknya reputasi manajemen dan pengembangan sumber daya manusia dari perusahaan.
Kegagalan ekspatriat dalam menjalani tugasnya di luar perusahaan induk secara umum
dibedakan menjadi dua hal yakni internal dan eksternal. Faktor internal adalah penyebab
kegagalan yang berasal dari ekspatriat secara pribadi atau individi. Faktor internal ini meliputi:
1. Faktor Keluarga
Berada jauh dengan keluarga adalah salah satu penyebab tidak maksimalnya ekspatriat
dalam menjalankan tugasnya. Penolakan dari istri untuk mengikuti tempat bekerja suami atau
sebaliknya sering kali menjadi penyebab kinerja yang buruk dari ekspatriat.
2. Faktor Emosional
Kurang matangnya ekspatriat secara emosional juga menjadi penyebab kegagalan
ekspatriat dalam menjalankan tugas. Rata-rata ekspatriat adalah manager kelas menengah yang
harus berhadapan dengan top manager yang ada di negara dimana anak perusahaan berada.
Mental dan ketahanan yang kuat jelas dibutuhkan dalam menghadapi tantangan tersebut.
Homesick juga menjadi kendala yang menyebabkan kinerja ekspatriat tidak maksimal.
3. Faktor Fisik
Ekspatriat sering kali bekerja 5-10 kali lipat lebih berat dari apa yang dikerjakan di
perusahaan induk. Kondisi tersebut dikombinasikan dengan faktor emosional dan keluarga
sebelumnya menjadikan stress yang berpotensi membuat ekspatriat jatuh sakit sehingga kinerja
ikut menurun.

Kemudian faktor eksternal yang memengaruhi kegagalan ekspatriat dalam menjalankan


tugasnya di anak perusahaan adalah:
1. Cultural Shock and Chaos
Perbedaan budaya negara dimana ekspatriat ditempatkan dengan negara asal ekspatriat
membuat ekspatriat dituntut untuk bisa beradaptasi dalam kehidupan sehari-hari terutama di
lingkungan perusahaan. Hal ini dikarenakan ekspatriat dituntut untuk menjalin komunikasi yang
baik dengan terlabih dahulu mengenal dan mengetahui seluk beluk budaya lokal dengan tujuan
untuk menciptakan keharmonisan. Sering kali, ekspatriat yang terlalu kaku tidak mampu untuk
beradaptasi dengan lingkungan sekitar dan mengakibatkan komunikasi dengan stakeholder
setempat tidak efektif. Sementara itu, kondisi yang tidak stabil atau disebut chaos juga menjadi
penyebab kegagalan dan sekaligus tantangan bagi ekspatriat dalam menjalankan tugasnya.
Koordinasi dan pelatihan yang memadai dari perusahaan induk sangat dibutuhkan dalam hal ini.
2. Dukungan Perusahaan Induk
Perusahaan induk mempunyai peran yang besar dalam keberhasilan dari ekspatriat dalam
menjalankan tugasnya. Brynningsen menyebutkan bahwa manajemen ekspatriat dibagi ke dalam
tiga tahap yaitu sebelum penugasan; selama penugasan; dan setelah penugasan. Tahap sebelum
penugasan meliputi seleksi dan pelatihan. Tahap selama penugasan meliputi penyesuaian dan
integrasi dengan budaya local. Kemudian setelah penugasan atau repatriat perusahaan
seharusnya mampu untuk memberikan penghargaan terhadap hasil kerja dari repatriate sehingga
tidak terjadi demotivasi. Ketiga tahapan tersebut harus diatur dan dijalankan dengan baik
sehingga kegagalan ekspatriat dalam bertugas bisa diminimalisir. Sementara itu, penelitian lain
meyebutkan bahwa kegagalan ekspatriat dalam menjalankan tugasnya lebih bersifat teknis yang
antara lain adalah (a) tidak mampu berkomunikasi dengan pegawai lokal; (b) tidak mampu
menerapkan manajeman yang baik di negara tempat bekerja; (c) ketidakmampuan untuk
menyesuaikan atau beradaptasi dengan lingkungan kerja20. Baik secara teknis maupun non-
teknis kegagalan ekspatriat dalam menjalankan tugas mereka jelas merugikan perusahaan. Dalam
tugas ini, penulis bermaksud untuk memberikan alternatif cara untuk mengatasi resiko atau
kegagalan yang ditimbulkan oleh kebijakan ekspatriatisme di PT. Semen Indonesia. Seperti yang
sudah dijelaskan sebelumnya bahwa PT. Semen Indonesia yang sedang menjalankan strategi
internasionalisasinya akan menghadapi tantangan tersebut di atas. Oleh karena itu, penting bagi
PT. Semen Indonesia untuk merencanakan dan memulai strategi deployment of effective
expatriate yakni dimulai dengan berfokus kepada pelatihan atau predeployment. Fokus tersebut
dipilih karena PT. Semen Indonesia masih baru statusnya sebagai perusahaan multinasional.

Solusi Alternatif: Cross Cultural Training vs Coaching


Belum banyak terdapat literatur yang menyebutkan solusi efektif untuk meminimalisir
kegagalan ekspatriat dalam menjalankan tugasnya. PT. Semen Indonesia mungkin saja beruntung
mendapatkan sumber daya manusia yang mempunyai kemampuan yang lengkap terkait dengan
tugas di luar negeri. Hal tersebut terjadi pada tahap seleksi. Memaksimalkan seleksi sumber daya
manusia merupakan langkah preventif untuk mengatasi resiko gagalnya ekspatriat dalam
menjalankan tugasnya. Akan tetapi, prosentasi dari metode ini adalah kecil. Cross Cultural
Training (CCT) adalah solusi yang banyak ditemui oleh penulis dalam literatur dan penelitian
dalam bentuk data sekunder. CCT adalah proses edukatif yang digunakan untuk belajar secara
intercultural melalui pengembangan kompetensi kognitif, behavioral dan afektif yang dibutuhkan
agar interaksi dengan budaya yang berbeda berjalan dengan lancar. Ekspatriat sering kali
menemui keadaan yang tidak pasti ketika mereka bertugas di anak perusaaan yang berada di luar
negeri. CCT bertujuan untuk meningkatkan kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan sekitar dan mengurangi ketidakpastian yang dihadapi di tempat bertugas22. Kata
kunci yang harus dicermati dalam hal ini adalah adaptasi terutama terhadap budaya lokal. Karena
CCT memang berfungsi sebagai solusi untuk mengatasi kegagalan ekspatriat yang berhubungan
dengan hal teknis. CCT mencakup empat teori yaitu Social Learning Theory, U-Curve, Cultural
Shock Theory dan Sequential Model of Adjustment.
1. Social Learning Theory
Postulat dari teori tersebut menjelaskan bahwa proses belajar dipengaruhi oleh observasi
dan pengalaman. Dalam hubungannya dengan CCT, teori tersebut menjelaskan betapa
pentingnya pengetahuan mengenai aturan dan norma yang berlaku dalam budaya lokal.
2. U-Curve Theory
Teori menjelaskan siklus dari ekspatriat dalam menjelaskan tugasnya di anak perusahaan.
Dimulai dari ketertarikan atau antusiasme dalam menjalani tugas di awal. Kemudian eksptariat
mulai merasakan frustasi karena tekanan lingkungan kerja. Pada akhirnya ekspatriat kembali
pada posisi awal dan menyelesaikan proses penyesuaian.
3. Cultural Shock Theory
Proses normal dari individu melakukan transisi, adaptasi dan penyesuaian terhadap
lingkungan baru. Kondisi tersebut menyebabkan individu merasakan stress, frustasi dan
terganggu. Ekspatriat sering kali menemui bahwa kondisi lingkungan kerja baru tidak sesuai
dengan harapan mereka. Hal tersebut menimbulkan demotivasi dan juga berlaku kebalikannya.
4. Sequential Model of Adjustment
Teori tersebut menjelaskan mengenai empat fase dalam tahap penyesuaian seorang
ekspatriat yang meliputi fase etnosentrik, fase cultural shock, fase konformasi, fase penyesuaian.
Fase etnosentrik terjadi pada pre-keberangkatan ekspatriat yakni berupa pengetahuan mengenai
budaya setempat. Fase cultural shock terjadi ketika ekspatriat berada di lapangan dan bertemu
dengan budaya yang berbeda. Fase konformasi adalah waktu ketika ekspatriat belajar secara
praktik tentang budaya lokal. Fase terakhir adalah ekspatriat suda benar-benar menyesuaikan dan
memahami budaya lokal. Dengan demikian penulis menarik simpulan bahwa CCT adalah sistem
pelatihan yang terbuka terhadap evaluasi. Karena pelatihan dalam CCT berlangsung dari masa
prekeberangkatan sampai dengan kepulangan ke negara asal. Tujuan dari CCT sendiri terdiri dari
empat tujuan yaitu (a) menyediakan solusi terhadap permasalah yang mungkin akan dihadapi
oleh ekspatriat di negara bertugas, (b) mengembangkan hubungan dan interaksi yang positif
antara ekspatriat dengan lingkungan perusahaan, (c) membantu ekspatriat menyelesaikan tugas
terkait, (d) membuat ekspatriat mampu mengatasi stress dan tekanan pekerjaan24. Cara lain yang
bisa digunakan untuk mencegah kegagalan ekspatriat dalam menjalankan tugasnya adalah
melakukan mentoring dan coaching. Namun, dalam tulisan ini penulis akan lebih focus kepada
coaching karena mentoring membutuhkan senior manager yang mempunyai pengalaman
ekspatriatisme yang kuat. Kasus PT. Semen Indonesia yang baru saja menjadi perusahaan
mutinasional tidak memungkinkan adanya banyak senior manager yang mempunyai pengalaman
bekerja di luar negeri yang kuat terutama di Vietnam dan Myanmar. Coaching adalah suatu
metode pelatihan yang digunakan untuk meningkatkan kinerja dengan cara pendekatan yang
lebih intensif antara coach dengan trainee. Bukan hanya mencakup halhal yang teragenda seperti
dalam pelatihan, coaching lebih bersifat holistik bahkan mencapai tahapan perbincangan bersifat
pribadi. Jasa dan keahlian yang ditawarkan dan dihasilkan oleh metode coaching antara lain
adalah meningatkan strategic planning, kemampuan presentasi, manajemen stress, team
building, leadership development. Focus dari coaching sebenarnya adalah terletak pada kata
konsultasi antara coach trainee. Konsultasi kedua belah pihak mencakup secara afektif
(berhubungan dengan meningkatkan nilai dan motivasi) dan juga secara kognitif (teman berpikir
dalam memecahkan masalah). Kedekatan yang bersifat holistik adalah keunggulan utama dari
coaching dibandingkan dengan mentoring dan pelatihan.

Konklusi & Rekomendasi


Berdasarkan kepada kondisi PT. Semen Indonesia dan solusi alternatif yang ada, perpaduan
antara CCT dengan coaching adalah solusi paling relevan untuk meningkatkan kinerja dan
meminimalisir kegagalan dari ekspatriat di PT. Semen Gresik. CCT yang merupakan bentuk
pelatihan teknis dari ekspatriat dalam menjalankan tugasnya nanti harus tetap dilaksanakan. Pada
waktu yang sama, metode coaching juga harus dilaksanakan untuk memastikan faktor emosional
dan personal dari ekspatriat bisa dikontrol dengan baik oleh perusahaan. Sehingga apabila terjadi
sesuatu hal yang tidak diinginkan baik itu secara teknis maupun non teknis tersebut, maka
perusahaan bisa melaksanakan langkah preventif dan segera melakukan tindakan misalnya
melakukan mutasi.
Terdapat tujuh pendekatan dalam melaksanakan CCT yaitu attribution, culture awareness,
cognitive-behavior modification, interaction, language, didactic, dan experiential training.
Tujuah pendekatan tersebut bersifat teknis ketika bertugas di luar negeri dan paling efektif
dilaksanakan pada pre-keberangkatan dan pra-kepulangan. Sementara itu, coaching bisa
dilakukan pada setiap fase sistem ekspatriatisme, tetapi bisa dimaksimalkan ketika ekspatriat
menjalani tugasnya. Hal tersebut dikarenakan pada saat bertugas di lapangan kadang ekspatriat
menemui hal di luar ekspektasi. Pada saat ini lah, coach memainkan perannya seperti tersebut di
atas.
Permsalahan yang mungkin muncul dari solusi tersebut adalah banyaknya dana yang
dikeluarkan oleh PT. Semen Indonesia untuk menghasilkan tenaga kerja ekspatriat yang berhasil.
Oleh karena itu lah, strategi pelatihan dan coaching ekpatriat harus dipertimbangkan dan
diperhitungkan sesuai dengan tujuan dan anggaran perusahaan. Prosentase kegagalan ekspatriat
dalam menjalankan tugasnya tidak mungkin dihilangkan tetapi hanya dikurangi. Hal tersebut
dipengaruhi oleh faktor manusiawi dalam hal ini emosional yang sulit untuk dikendalikan
bahkan oleh coach sekalipun.

Anda mungkin juga menyukai