TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tanah
Dalam pengertian teknik secara umum, tanah didefinisikan sebagai material
yang terdiri dari agregat (butiran) mineral-mineral padat yang tidak tersementasi
(terikat secara kimia) satu sama lain dari bahan-bahan organik yang telah melapuk
(yang berpartikel padat) disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi ruang-
ruang kosong diantara partikel-partikel padat tersebut. Tanah berguna sebagai
bahan bangunan pada berbagai macam pekerjaan teknik sipil, disamping itu tanah
juga berfungsi sebagai pendukung pondasi dari bangunan. Jadi seorang ahli teknik
sipil harus juga mempelajari sifat-sifat dasar dari tanah seperti asal usulnya,
penyebaran ukuran butiran, kemampuan mengalirkan air, sifat pemampatan bila
dibebani (compressibility), kekuatan geser, kapasitas daya dukung terhadap beban
dan lain-lain. (Braja 1995)
Sistem klasifikasi tanah adalah suatu sistem pengaturan beberapa jenis tanah
yang berbeda-beda tapi mempunyai sifat yang serupa kedalam kelompok dan
subkelompok berdasarkan pemakaiannya. Sebagian besar sistem klasifikasi tanah
yang telah dikembangkan untuk tujuan rekayasa didasarkan pada sifat-sifat indeks
tanah yang sederhana seperti distribusi ukuran dan plastisitas.
Ada beberapa macam sistem klasifikasi tanah yang umumnya digunakan
sebagai hasil pengembangan dari sistem klasifikasi yang sudah ada. Beberapa
sistem tersebut memperhitungkan distribusi ukuran butiran dan batas-batas
Atterberg, sistem-sistem tersebut adalah sistem klasifikasi AASHTO (American
Association of State Highway and Transportation Official) dan sistem klasifikasi
tanah unified (USCS).
1. Sistem Klasifikasi Tanah Berdasarkan AASHTO
Sistem klasifikasi AASHTO awalnya membagi tanah kedalam 8 kelompok,
A-1 sampai A-8 termasuk subkelompok. Sistem yang direvisi (Proc. 25 th
Annual Meeting of Highway Research Board, 1945) mempertahankan delapan
kelompok dasar tanah tadi tapi menambahkan dua subkelompok dalam A-1,
empat kelompok dalam A-2, dan dua subkelompok dalam A-7. Kelompok A-8
tidak diperlihatkan tetapi merupakan gambut atau rawang yang ditentukan
3
berdasarkan klasifikasi visual. Tanah-tanah dalam tiap kelompoknya dievaluasi
terhadap indeks kelompok, yang dihitung dengan rumus-rumus empiris.
Pengujian yang dilakukan hanya analisis saringan dan batas-batas Atterberg
(Bowles, 1984).
Tabel 2.1 Sistem Klasifikasi Tanah Berdasarkan AASTHO
4
pengikat (binder) yang mempunyai plastisitas sangat kecil atau tidak sama
sekali (Ip = 6). Kelompok A-3 terdiri dari campuran pasir halus, bergradasi
buruk, dengan sebagian kecil pasir kasar dan kerikil, fraksi lanau yang
merupakan bahan tidak plastis lolos saringan No.200. Kelompok A-2 juga
merupakan bahan berbutir tetapi dengan jumlah bahan yang lolos saringan
No.200 yang cukup banyak (tidak lebih dari 35 persen). Bahan ini terletak di
anatara bahan dalam kelompok A-1 dan A-3 dan bahan lanau lempung dari
kelompok A-4 sampai A-7. Kelompok A-4 sampai A-7 adalah tanah berbutir
halus dengan lebih dari 35 persen bahan lolos saringan No.200.
5
P = poorly graded (tanah dengan gradasi buruk)
L = low plasticity (plastisitas rendah) (LL < 50)
H = high plasticity (plastisitas tinggi) ( LL > 50)
6
Sumber : Hary Christady 1992
7
Menurut Terzaghi (1987) tanah lempung merupakan tanah dengan ukuran
mikrokonis sampai dengan sub mikrokonis yang berasal dari pelapukan unsur-
unsur kimiawi penyusun batuan. Tanah lempung sangat keras dalam keadaan
kering, dan tak mudah terkelupas hanya dengan jari tangan. Permeabilitas
lempung sangat rendah, bersifat plastis pada kadar air sedang. Sedangkan pada
keadaan air yang lebih tinggi tanah lempung akan bersifat lengket (kohesif) dan
sangat lunak.
Sedangkan menurut Hardiyatmo (1992) mengatakan sifat-sifat yang dimiliki
dari tanah lempung yaitu antara lain ukuran butiran halus lebih kecil dari 0,002
mm, permeabilitas rendah, kenaikan air kapiler tinggi, bersifat sangat kohesif,
kadar kembang susut yang tinggi dan proses konsolidasi lambat. Dengan adanya
pengetahuan mengenai mineral tanah tersebut, pemahaman mengenai perilaku
tanah lempung dapat diamati. Mineral lempung merupakan senyawa aluminium
silikat yang kompleks. Mineral ini terdiri dari dua lempung kristal pembentuk
kristal dasar, yaitu silika tetrahedra dan aluminium oktahedra (Das. Braja M,
1988).
Das. Braja M (1988) menerangkan bahwa tanah lempung sebagian besar
terdiri dari partikel mikroskopis dan sub-mikroskopis (tidak dapat dilihat dengan
jelas bila hanya dengan mikroskopis biasa) yang berbentuk lempengan-lempengan
pipih dan merupakan partikel-partikel dari mika, mineral-mineral lempung (clay
mineral), dan mineral-mineral yang sangat halus lain. Tanah lempung sangat keras
dalam kondisi kering dan bersifat plastis pada kadar air sedang. Namun
pada kadar air yang lebih tinggi lempung akan bersifat lengket (kohesif) dan
sangat lunak. Kohesif menunjukan kenyataan bahwa partikel-pertikel itu
melekat satu sama lainnya sedangkan plastisitas merupakan sifat yang
memungkinkan bentuk bahan itu dirubah-rubah tanpa perubahan isi atau tanpa
kembali ke bentuk aslinya dan tanpa terjadi retakan-retakan atau terpecah-pecah.
Dalam klasifikasi tanah secara umum, partikel tanah lempung memiliki
diameter 2 m atau sekitar 0,002 mm (USDA, AASHTO, USCS). Namun
demikian, dibeberapa kasus partikel berukuran antara 0,002 mm sampai 0,005
mm
8
masih digolongkan sebagai partikel lempung (ASTM-D-653). Disini tanah
diklasifikasikan sebagai lempung hanya berdasarkan ukuran saja, namun belum
tentu tanah dengan ukuran partikel lempung tersebut juga mengandung mineral-
mineral lempung. Jadi, dari segi mineral tanah dapat juga disebut sebagai tanah
bukan lempung (non clay soil) meskipun terdiri dari partikel-partikel yang sangat
kecil (partikel-partikel quartz, feldspar, mika dapat berukuran sub mikroskopis
tetapi umumnya tidak bersifat plastis). Partikel-partikel dari mineral lempung
umumnya berukuran koloid, merupakan gugusan kristal berukuran mikro, yaitu <
1 m (2 m merupakan batas atasnya). Tanah lempung merupakan hasil proses
pelapukan mineral batuan induknya, yang salah satu penyebabnya adalah air yang
mengandung asam atau alkali, oksigen, dan karbondioksida.
9
2.2.3 Sifat Tanah Lempung
Sifat-sifat yang dimiliki tanah lempung adalah sebagai berikut (Hardiyatmo,
1992) :
a. Ukuran butir halus, yaitu kurang dari 0,002mm.
b. Permeabilitas rendah.
c. Kenaikan air kapiler tinggi.
d. Bersifat sangat kohesif.
e. Kadar kembang susut yang tinggi.
f. Proses konsolidasi lambat.
10
mineral lempung umumnya mempunyai pH > 7. Flokulasi larutan dapat
dinetralisir dengan menambahkan bahan-bahan yang mengandung asam (ion
H), sedangkan penambahan bahan-bahan alkali akan mempercepat flokulasi.
Untuk menghindari flokulasi larutan air dapat ditambahkan zat asam.
d. Pengaruh Zat cair
Fase air yang berada dibawah struktur tanah lempung adalah air yang
tidak murni secara kimiawi. Pemakaian air suling yang relatif bebas ion
dapat membuat hasil yang cukup berbeda dari apa yang didapatkan dari
tanah di lapangan dengan air yang telah terkontaminasi. Air berfungsi
sebagai penentu sifat plastisitas dari lempung. Fenomena hanya terjadi pada
air yang molekulnya dipolar dan tidak terjadi pada cairan yang tidak dipolar
seperti karbon tetrakolrida (Cc14) yang jika dicampur lempung tidak akan
terjadi apapun.
e. Sifat kembang susut (swelling potensial)
Plastisitas yang tinggi terjadi akibat adanya perubahan sistem tanah
dengan air yang mengakibatkan terganggunya keseimbangan tenaga-tenaga
dibawah struktur tanah. Tenaga tarik yang bekerja pada partikel yang
berdekatan yang terdiri dari tenaga elektrostatis yang bergantung pada
komposisi mineral, serta bergantung pada jarak antar permukaan partikel.
11
2.3.2 Spesifikasi dan Jenis Pengujian
Berikut ini adalah jenis pengujian yang dilakukan:
12
f. Pasang keping pengembangan diatas permukaan benda uji dan kemudian
pasang keping pemberat yang dikehendaki minimum seberat 4,5 kg atau 10
lb atau sesuai dengan keadaan beban perkerasan. Rendam cetakan beserta
beban didalam air sehingga air dapat meresap dari atas maupun dari bawah.
Pasang tripod beserta arloji pengukur pengembangan. Catat pembacaan
pertama dan biarkan benda uji selam 4 x 24 jam. Permukaan air selama
perendaman harus tetap (kira-kira 2,5 cm diatas permukaan benda uji).
Tanah berbutir halus atau berbutir kasar yang dapat melakukan air lebih
cepat dapat direndam dalam waktu yang lebih singkat sampai pembacaan
arloji tetap. Pada akhir perendaman catat pembacaan arloji pengembangan.
g. Keluarkan cetakan dari bak air dan miringkan selama 15 menit sehingga air
bebas mengalir habis. Jagalah agar selama pengeluaran air tersebut
permukaan benda uji tidak terganggu.
h. Ambil beban dari cetakan, kemudian cetakan beserta isinya ditimbang.
Benda uji CBR yang direndam telah siap untuk dilakukan pengujian.
2. Cara Pengujian
a. Letakan keping pemberat diatas permukaan benda uji seberat minimal 4,5
kg atau 10 lb atau sesuai dengan perkerasan.
b. Untuk benda uji yang direndam, beban harus sama dengan beban yang
dipergunakan waktu perendaman. Pertama, letakan keping pemberat 2,27 kg
atau 5 lb untuk mencegah mengembangnya permukaan benda uji pada
bagian lubang keping pemberat. Pemberatan selanjutnya dipasang setelah
torak disentuhkan pada permukaan benda uji.
c. Kemudian atur torak penetrasi pada permukaan benda uji sehingga arloji
beban menunjukan beban permulaan sebesar 4,5 kg atau 10 lb. Pembebanan
permulaan ini diperlukan untuk menjamin bidang sentuh yang sempurna
antara torak dengan permukaan benda uji. Kemudian arloji penunjuk beban
dan arloji pengukur penetrasi di nol kan.
d. Berikan pembebanan dengan teratur sehingga kecepatan penetrasi
mendekati kecepatan 1,27 mm/menit atau 0,05/menit. Catat pembacaan
13
pembebanan pada penetrasi 0,312 mm atau 0,0125; 0,62 mm atau 0,025;
1,25 mm atau 0,05; 0,187 mm atau 0,075; 2,5 mm atau 0,10; 3,75 mm
atau 0,15; 5 mm atau 0,20; 7,5 mm atau 0,30; 10 mm atau 0,40; dan
12,5 mm atau 0,50.
e. Catat beban maksimum dan penetrasinya bila pembebanan maksimum
terjadi sebelum penetrasi 12,5 mm atau 0,50.
f. Keluarkan benda uji dari cetakan dan tentukan kadar air dari lapisan atas
benda uji setebal 25,4 mm atau 1.
g. Bila diperlukan kadar air rata-rata maka pengembalian benda uji untuk
kadar air dapat diambil dari seluruh kedalaman. Benda uji untuk
pemeriksaan kadar air sekurang-kurangnya 100 gram untuk tanah. Berbutir
halus atau sekurang-kurangnya 500 gram untuk tanah berbutir kasar.
Tata cara perhitungannya adalah:
Keterangan :
b. Hitung pembebanan dalam kg atau lb, dan gambarkan grafik beban terhadap
penetrasi. Pada beberapa kejadian permulaan, terdapat keadaan kurva beban
cekung akibat dari tidak keteraturan permukaan atau sebab-sebab lain.
Dalam keadaan ini titik nolnya harus dikoreksi.
c. Dengan menggunakan harga-harga beban yang sudah dikoreksi pada
penetrasi 2,54 mm atau 0,1 dan 50,8 mm atau 0,2 hitung harga CBR
dengan cara membagi beban yang terjadi masing-masing dengan beban
standar 70,31 kg/cm2 atau 1000 psi dan 105,47 kg/cm2 atau 1500 psi dan
kalikan masing-masing dengan 100. Umumnya harga CBR diambil pada
14
penetrasi 2,54 mm atau 0,1. Bila harga yang didapat pada penetrasi 2,54
mm atau 0,1, percobaan tersebut harus diulangi. Apabila percobaan
ulangan ini masing tetap menghasilkan nilai CBR pada penetrasi 5,08 mm
atau 0,2 lebih besar dari nilai CBR pada penetrasi 2,54 mm atau 0,1, maka
harga CBR diambil pada penetrasi 5,08 mm atau 0,2. Bila beban
maksimum dicapai pada penetrasi sebelum 5,08 mm atau 0,2 maka harga
CBR diambil dari beban maksimum tersebut dan dibagi dengan beban
standar yang sesuai.
15