Anda di halaman 1dari 30

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tinea corporis adalah suatu penyakit kulit menular yang menyerang daerah
kulit tak berambut yang disebabkan jamur dermatofita spesies Trichophyton,
Microsporus, Epidermophyton. Dari tiga golongan tersebut penyebab tersering
penyakit tinea corporis adalah Tricophyton rubrum dengan prevalensi 47% dari
semua kasus tinea corporis. Tinea corporis merupakan infeksi yang umum terjadi
pada daerah dengan iklim tropis seperti Negara Indonesia dan dapat menyerang
semua usia terutama dewasa.1,2,3
Penegakan diagnosis tinea corporis berdasarkan gambaran klinis, status
lokalis dan pemeriksaan penunjang. Keluhan yang dirasakan penderita biasanya
gatal terutama saat berkeringat. Keluhan gatal tersebut memacu pasien untuk
menggaruk lesi yang pada akhirnya menyebabkan perluasan lesi terutama di
daerah yang lembab. Kelainan kulit berupa lesi bentuk bulat atau lonjong,
berbatas tegas, terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan
papul di tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang. Pada pemeriksaan
mikroskopis kerokan lesi dengan larutan kalium hidroksida (KOH) 10%
didapatkan hifa. 1,2
Penegakan diagnosis penting untuk memberikan terapi yang adekut agar
tidak terjadi penyulit berupa kekambuhan, reaksi alergi, hiperpigmentasi, maupun
infeksi sekunder yang membuat penderita menjadi tidak kunjung sembuh. Berikut
ini dilaporkan satu kasus tinea korporis. Pembahasan akan menekankan pada
penegakan diagnosis pasien.1,3

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Tinea korporis adalah Infeksi jamur dermatofita pada kulit halus (glabrous
skin) di daerah wajah, leher, badan, lengan, tungkai dan pantat (glutea). Penyakit
ini lebih sering menyerang anak-anak daripada orang dewasa karena umumnya
mereka mendapat infeksi baru pertama kali.
Tinea Korporis (tinea sirsinata, tinea glabrosa, Scherende Flechte, herpes
sircine trichophytique) atau yang dikenal dengan kurap adalah penyakit kulit yang
disebabkan oleh jamur superfisial golongan dermatofita, menyerang daerah kulit
tak berambut pada wajah, badan, lengan dan tungkai.
Gejala tinea korporis bervariasi, mulai dari rasa gatal disertai kemerahan,
skuama yang semakin parah dan besar. Gejala tersebut dapat berakhir dengan
peradangan, krusta, papul, vesikel, dan bahkan bulla.
Klasifikasi
Terdapat Berbagai variasi gambaran klinis dermatofitosis, hal ini
bergantung pada spesies penyebab, ukuran inokulum jamur, bagian tubuh yang
terkena, dan sistem imun pejamu. Selanjutnya untuk kemudahan diagnosis dan
tatalaksana maka dermatofitosis dibagi menjadi beberapa bentuk, yaitu :
- Tinea capitis, dermatofitosis pada kulit dan rambut kepala
- Tinea barbae, dermatofitosis pada dagu dan jenggot
- Tinea kruris, dermatofitosis pada daerah genitokrural, sekitar anus,
bokong, dan kadang kadang sampai perut bagian bawah
- Tinea pedis at manum, dermatofitosis pada kaki dan tangan
- Tinea unguium, dermatofitosis pada kuku jari, tangan dan kaki
- Tinea korporis, dermatofitosis pada kuilit glabrosa pada bagian lain yang
tidak termasuk bentuk lima tinea diatas.
Selain enam bentuk tinea masih di kenal istilah yang punya arti khusus yaitu :
- Tinea imbrikata : dermatofitosis dengan susunan skuama yang konsentris
dan disebabkan Trichophyton concentricum

2
- Tinea favosa atau favus : dermatofitosis yang terutama disebabkan oleh
Trichopyton schoenleini : secara klinis antara lain terbentuk skutula dan
berbagai seperti macam seperti tikus (mousy odor)
- Tinea fasialis, tinea aksilaris, yang juga menunjukkan kelainan
- Tinea sirsinata, arkuata yang merupakan penamaan deskriptif morfologis
Keempat istilah tersebut di angggap sebagai tinea korporis. Selain itu, dikenal
istilah tinea incognito, yang berarti dermatofitosis dengan bentuk klinis yang tidak
khas oleh karena telah di obati dengan steroid topical yang kuat.

2.2. Epidemiologi
Tinea korporis merupakan infeksi yang umumnya sering dijumpai
didaerah yang panas, Tricophyton rubrum merupakan infeksi yang paling umum
diseluruh dunia dan sekitar 47 % menyebabkan tinea korporis. Tricophyton
tonsuran merupakan dermatofit yang lebih umum menyebabkan tinea kapitis, dan
orang dengan infeksi tinea kapitis antropofilik akan berkembang menjadi tinea
korporis.. Walaupun prevalensi tinea korporis dapat disebabkan oleh peningkatan
Tricophyton tonsuran, Microsporum canis merupakan organisme ketiga sekitar
14 % menyebabkan tinea korporis.
Tinea korporis adalah infeksi umum yang sering terlihat pada daerah
dengan iklim yang panas dan lembab. Seperti infeksi jamur yang lain, kondisi
hangat dan lembab membantu menyebarkan infeksi ini. Oleh karena itu daerah
tropis dan subtropis memiliki insiden yang tinggi terhadap tinea korporis. Tinea
korporis dapat terjadi pada semua usia bisa didapatkan pada pekerja yang
berhubungan dengan hewan-hewan. Maserasi dan oklusi kulit lipatan
menyebabkan peningkatan suhu dan kelembaban kulit yang memudahkan infeksi.
Penularan juga dapat terjadi melalui kontak langsung dengan individu yang
terinfeksi atau tidak langsung melalui benda yang mengandung jamur, misalnya
handuk, lantai kamr mandi, tempat tidur hotel dan lain-lain.
Tinea korporis dapat ditularkan secara langsung melalui infeksi dari
manusia dan hewan, melalui muntahan atau melalui autoinokulasi dari reservoir
seperti T. Rubrum yang berkolonisasi di kaki. Pada anak-anak paling banyak

3
berasal dari pathogen zoophilc, khususnya M. Canis yang berasal dari anjing dan
kucing.
Pakaian yang tertutup dan panas, iklim yang panas dapat dihubungkan
dengan frekuensi dan juga beratnya penyakit. Pakaian yang bersifat oklusif,
kontak dari kulit ke kulit yang sering dan trauma minor (luka bakar) akan
menciptakan lingkungan dimana dermatophytosis dapat berkembang. Pada
kebanyakan kasus tinea corporis gladiatorum sebagian besar disebabkan oleh
T. tonsurans.
Prevalensi infeksi jamur superfisial di seluruh dunia diperkirakan
menyerang 20-25% populasi dunia dan merupakan salah satu bentuk infeksi kulit
tersering (Rezvani dan Sefidgar,2010). Penyakit ini tersebar di seluruh dunia yang
dapat menyerang semua ras dan kelompok umur sehingga infeksi jamur
superfisial ini relatif sering terkena pada negara tropis (iklim panas dan
kelembaban yang tinggi) dan sering terjadi eksaserbasi.
Penyebab tinea korporis berbeda-beda di setiap negara, seperti di Amerika
Serikat penyebab terseringnya adalah Tricophyton rubrum Trycophyton
mentagrophytes, Microsporum canis dan Trycophyton tonsurans. Di Afrika
penyebab tersering tinea korporis adalah Tricophyton rubrum dan Tricophyton
mentagrophytes, sedangkan di Eropa penyebab terseringnya adalah Tricophyton
rubrum, sementara di Asia penyebab terseringnya adalah Tricophyton rubrum,
Tricophyton mentagropytes dan Tricophyton violaceum.
Dilaporkan penyebab dermatofitosis yang dapat dibiakkan di Jakarta
adalah T. rubrum 57,6%, E. floccosum 17,5%, M. canis 9,2%, T.mentagrophytes
var. granulare 9,0%, M. gypseum 3,2%, T. concentricum 0,5%.
2.3. Etiologi
Dermatofita adalah golongan jamur yang menyebabkan dermatofitosis.
Golongan jamur ini mempunyai sifat mencerna keratin. Dermatofita termasuk
kelas fungi imperfecti yang terbagi menjadi tiga genus, yaitu Trichophyton spp,
Microsporum spp, dan Epidermophyton spp. Walaupun semua dermatofita bisa
menyebabkan tinea korporis, penyebab yang paling umum adalah Trichophyton
Rubrum dan Trichophyton Mentagrophytes.

4
Tinea korporis disebabkan oleh epidermopyton floccusum dan beberapa
spesies dari trichopyton dan microsporum. infeksi dengan spesies anthropophilic,
seperti E. floccosum atau T. rubrum sering mengikuti autoinokulasi dari bagian
tubuh lain yang terinfeksi, seperti kaki. Tinea korporis yang disebabkan oleh T.
tonsurans kadang-kadang semakin terlihat pada anak-anak dengan tinea capitis
dan disertai kontak pada mereka.
Kejadian umum tinea korporis biasanya mengikuti kontak dengan infeksi
dari hewan peliharaan di rumah dan hewan di kebun, tetapi juga disebabkan
karena dari hewan liar atau yang terkontaminasi dengan tanah/kotoran dari M.
canis yang sering menyebabkan infeksi pada manusia. Dan infeksi T. verrucosum
umumnya terjadi di daerah pedesaan. Penyebaran infeksi dari manusia ke manusia
oleh spesies geophilic maupun zoophilic tidak biasa terjadi.
Meskipun berbagai macam dermatofita dapat menyebabkan tinea corporis,
namun yang paling sering menyebabkan adalah T. Rubrum, T. Mentagrophytes,
M. Canis dan T. Tonsuran yang bersifat pathogen.
Penularan dapat terjadi melalui kontak langsung dengan individu yang
terinfeksi atau tidak langsung melalui benda yang mengandung jamur, misalnya
handuk, lantai kamar mandi, tempat tidur hotel dan lain-lain. (5)
Infeksi dimulai dengan kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya di dalam
jaringan keratin yang mati. Hifa ini menghasilkan enzim keratolitik yang berdifusi
ke dalam jaringan epidermis dan menimbulkan reaksi peradangan.
Pertumbuhan jamur dengan pola radial di dalam stratum korneum
menyebabkan timbulnya lesi kulit yang sirsinar dengan batas yang jelas dan
meninggi. Reaksi kulit semula berbentuk papul kemudian berkembang menjadi
suatu reaksi peradangan berupa suatu dermatitis.

5
Gambar 1. Jamur Microsporum

Gambar 2. Jamur Trichophyton

Gambar 3. Jamur Epidermophyton

Klasifikasi dermatofit, antara lain:


1. Zoophilic dermatofit; sering ditemukan pada hewan tetapi dapat
ditransmisikan ke manusia, dapat menyebabkan inflamasi akut berupa pustul
dan vesikel. Beberapa spesies dermatofit jenis ini, antara lain:
Trichophyton erinacei (landak)

6
Trichophyton mentagrophytes (hewan pengerat)
Trichophyton interdigitale, zoophilic strains (hewan pengerat)
Trichophyton simii (monyet)
Trichophyton equinum (kuda)
Trichophyton verrucosum (hewan ternak)
Microsporum amazonicum (tikus)
Microsporum canis (kucing, anjing)
Microsporum gallinae (burung hantu dan burung lainnya)
Microsporum nanum (babi)
Microsporum persicolor (tikus dan hewan pengerat lainnya)
Microsporum praecox (kuda)
2. Anthropophilic dermatofit; sering ditemukan pada manusia dan sangat jarang
ditransmisikan ke hewan, menyebabkan inflamasi ringan atau tidak ada
inflamasi sama sekali, bersifat kronik. Beberapa spesies dermatofit jenis ini,
antara lain:
a. Spesies yang terdistribusi di seluruh dunia:
T. rubrumt
T. interdigitale
T. tonsurans
E. floccosum
M. audouinii
b. Spesies yang terbatas pada letak geografis:
M. ferrugineum (tersebar di Afrika, India, Eropa Timur, Asia, dan
Amerika Selatan)
T. concentricum (tersebar di Pulau Pasifik, India, dan Amerika
Selatan)
T. gourvilii (tersebar di Afrika Tengah dan Afrika Selatan)

7
T. schoenleinii (tersebar di Eropa, Mediterania, Timur Tengah, Afrika
Selatan, dan secara sporadis di Amerika Serikat)
T. soudanense (tersebar di Afrika Tengah dan Afrika Selatan)
T. violaceum (tersebar di Afrika, Eropa, dan Asia)
3. Geophilic dermatofit; sering ditemukan pada tanah, karena mereka
mendekomposisi rambut, bulu, dan sumber-sumber keratin yang lain. Jenis
dermatofit ini tidak hanya menginfeksi manusia, tetapi juga hewan,
menyebabkan inflamasi yang sedang. Beberapa spesies dermatofit jenis ini,
antara lain:
Trichophyton ajelloi
Trichophyton eboreum
Trichophyton flavescens
Trichophyton gloriae
Trichophyton phaseoliforme
Trichophyton terrestre
Trichophyton thuringiense
Trichophyton vanbreuseghemii
Microsporum cookei
Microsporum fulvum
Microsporum gypseum
Microsporum racemosum
2.4. Patogenesa
Patogenesis dermatofitosis tergantung pada faktor lingkungan, antara lain
iklim yang panas, kebersihan perseorangan, sumber penularan, penggunaan obat-
obatan steroid, antibiotik dan sitostatika, imunogenitas dan kemampuan invasi
organisme, lokasi infeksi serta respon imun dari pasien.
Penularan dermatofitosis, melalui 3 cara yaitu; antropofilik (transmisi dari
manusia ke manusia, ditularkan secara langsung maupun tidak langsung), zoofilik
(transmisi dari hewan ke manusia, melalui kontak langsung atau tidak langsung

8
melalui bulu binatang yang terinfeksi dan melekat di pakaian, atau sebagai
kontaminan pada rumah, sumber penularan utama adalah anjing, kucing, sapi,
kuda dan mencit) dan geofilik (transmisi dari tanah ke manusia).
Terjadinya infeksi dermatofita melalui tiga langkah utama, yaitu:
perlekatan pada keratinosit, penetrasi melewati dan di antara sel, serta
pembentukan respon pejamu.
Perlekatan dermatofit pada keratinosit, perlekatan artrokonidia pada
jaringan keratin tercapai maksimal setelah 6 jam, yang dimediasi oleh serabut
dinding terluar dermatofit yang memproduksi keratinase (keratolitik) yang dapat
menghidrolisis keratin dan memfasilitasi pertumbuhan jamur ini di stratum
korneum. Dermatofit juga melakukan aktivitas proteolitik dan lipolitik dengan
mengeluarkan serine proteinase (urokinase dan aktivator plasminogen jaringan)
yang menyebabkan katabolisme protein ekstrasel dalam menginvasi pejamu.
Proses ini juga dipermudah oleh adanya proses trauma atau adanya lesi pada
kulit. Enzim keratolitik yang berdifusi ke jaringan epidermis menimbulkan
peradangan. Respon terhadap inflamasi dapat berupa eritema, papulasi, dan
kadang vesikulasi.
Spora tumbuh dan menembus masuk stratum korneum dengan kecepatan
melebihi proses deskuamasi. Proses penetrasi menghasilkan sekresi proteinase,
lipase, dan enzim musinolitik, yang menjadi nutrisi bagi jamur. Diperlukan waktu
46 jam untuk germinasi dan penetrasi ke stratum korneum setelah spora melekat
pada keratin. Untuk bertahan dalam menghadapi pertahanan imun yang terbentuk
tersebut, jamur patogen menggunakan beberapa cara:
- penyamaran dengan membentuk kapsul polisakarida yang tebal, memicu
pertumbuhan filamen hifa, sehingga jamur dapat bertahan terhadap fagositosis.
- pengendalian, dengan sengaja mengaktifkan mekanisme penghambatan imun
pejamu, yang berakibat aktivasi makrofag akan terhambat.
- penyerangan, dengan memproduksi molekul yang secara langsung merusak
atau memasuki pertahanan imun spesifik dengan mensekresi toksin atau
protease, yang dapat menurunkan barrier jaringan sehingga memudahkan
proses invasi oleh jamur. Pertumbuhan jamur dengan pola radial di dalam

9
stratum korneum menyebabkan timbulnya lesi kulit dengan batas yang jelas
dan meninggi.
Respon imun pejamu terdiri dari dua mekanisme, yaitu imunitas alami
yang memberikan respons cepat dan imunitas adaptif yang memberikan respons
lambat. Pada kondisi individu dengan sistem imun yang lemah cenderung
mengalami dermatofitosis yang berat atau menetap. Pemakaian kemoterapi, obat-
obatan transplantasi dan steroid membawa dapat meningkatkan kemungkinan
terinfeksi oleh dermatofit non patogenik.
Cara penularan
Penularan infeksi jamur dapat terjadi secara langsung maupun tidak
langsung. Penularan langsung melalui epitel kulit dan rambut yang
mengandung jamur baik dari manusia, binatang, atau tanah. Penularan tak
langsung dapat melalui tanaman, kayu, pakaian, dan barang-barang lain
yang dihinggapi jamur, atau dapat juga melalui debu dan air.
Ada beberapa faktor yang dapat mempermudah penularan infeksi
jamur :
1. Faktor virulensi dari jamur
Virulensi jamur tergantung dari sifatnya apakah antropofilik, zoofilik,
atau geofilik. Jamur antropofilik menyebabkan perjalanan penyakit
yang kronik dan residif karena reaksi penolakan tubuh yang sangat
ringan. Sementara jamur geofilik menyebabkan gejala akut ringan
sampai sedang dan mudah sembuh.
2. Keutuhan kulit
Kulit yang intak tanpa adanya lesi lebih sulit untuk terinfeksi jamur.
3. Faktor suhu dan kelembapan
Kondisi tubuh yang banyak berkeringat menyebabkan lingkungan
menjadi lembap sehingga mempermudah tumbuhnya jamur.
4. Faktor sosial ekonomi
Infeksi jamur secara umum lebih banyak menyerang masyarakat
golongan sosial ekonomi menengah ke bawah karena rendahnya
kesadaran dan kurangnya kemampuan untuk memelihara kebersihan

10
diri dan lingkungan.
5. Faktor umur dan jenis kelamin
Tinea capitis sering terjadi pada anak-anak dan lebih banyak
ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan perempuan.

2.5. Gejala Klinis


Keluhan gatal terutama bila berkeringat. Oleh karena gatal dan digaruk,
lesi semakin meluas, terutama di daerah kulit yang lembab.
kelainan yang terlihat dalam klinik merupakan lesi bulat atau lonjong, berbatas
tegas terdiri atas eritema, skuama, kadang-kadang dengan vesikel dan papul di
tepi. Daerah tengahnya biasanya lebih tenang. Kadang-kadang terihat erosi dan
krusta akibat garukan. Lesi-lesi pada umumnya merupakan bercak-bercak terpisah
satu dengan yang lain. Kelainan kulit dapat dapat pula terlihat sebagai lesi-lesi
dengan pinggir polisiklik, karena beberapa lesi kulit yang menjadi satu. Khas dari
infeksi ini ada central healing (dibagian tepi meradang dan bagian tengah
tenang).
Pada kasus yang tipikal didapatkan lesi bulla yang berbatas tegas, pada
tepi lesi tampak tanda radang lebih aktif dan bagian tengah cenderung
menyembuh. Lesi yang berdekatan dapat membentuk pola gyrate atau polisiklik.
Derajat inflamasi bervariasi, dengan morfologi dari eritema sampai pustula,
bergantung pada spesies penyebab dan status imun pasien. Pada penyebab zoofilik
umumnya didapatkan tanda inflamasi akut. Pada keadaan imunosupresif, lesi
sering menjadi lebih luas.
Tinea korporis dapat bermanifestasi sebagai gambaran tipikal, dimulai
sebagai lesi eritematosa, plak yang bersisik yang memburuk dan membesar,
selanjutnya bagian tengah dari lesi akan menjadi bentuk yang anular akan
mengalami resolusi, dan bentuk lesi menjadi anular, berupa skuama, krusta,
vesikel, dan papul sering berkembang, khususnya pada bagian tepinya. Kadang-
kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan. Lesi pada umumnya merupakan
bercak terpisah satu dengan yang lainnya.

11
Pada tinea korporis yang menahun, tanda radang akut biasanya tidak
terlihat lagi. Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama
dengan kelainan pada sela paha. Dalam hal ini disebut tinea korporis dan kruris.
Bentuk khas tinea korporis yang disebabkan oleh Trichophyton
concentricum disebut tinea imbrikata. Tinea imbrikata mulai dengan bentuk papul
berwarna coklat, yang perlahan-lahan menjadi besar. Stratum korneum bagian
tengah ini terlepas dari dasarnya dan melebar. Proses ini setelah beberapa waktu
mulai lagi dari bagian tengah, sehingga terbentuk lingkaran-lingkaran skuama
yang konsentris.
Infeksi dermatofit secara zoofilik atau geofilik lebih sering menyebabkan
respon inflamasi daripada yang disebabkan oleh mikroba antropofilik. Umumnya,
pasien HIV-positif atau imunokompromise bisa terlihat dengan abses yang dalam
dan meluas.
Tinea korporis lebih sering ditemukan sebagai asimptomatik atau gatal
ringan. Secara obyektif tipikal lesinya mulai sebagai makula eritematosa atau
papul yang menjalar dan berkembang menjadi anular, dan lesi berbatas tegas,
skuama atau vesikel, tepi yang berkembang dan healing center. Tinea korporis
lebih sering pada permukaan tubuh yang terbuka antara lain wajah, lengan dan
bahu.

12
gambar 4. Lokasi predileksi tinea corporis

Gambar 5. Tinea corporis


Pemeriksaan Kulit:
Lokalisasi: Wajah, anggota gerak atas dan bawah, dada, punggung.
Efloresensi: Lesi berbentuk makula / plak yang merah/hiperpigmentasi dengan
tepi aktif dan penyembuhan sentral. Pada tepi lesi dijumpai papula-papula

13
eritematosa atau vesikel. Pada perjalanan penyakit yang kronik dapat dijumpai
likenifikasi. Gambaran lesi dapat polisiklis, anular atau geografis.

Gambar 6 . Tinea korporis. Makula eritematosaberbatas tegas

Gambar 7.Tinea korporis. Makula polisiklis pinggir aktif

14
Gambar 8. Tinea korporis. Makula hiperpigmentasi polisiklis.

2.6. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan KOH

Kulit dibersihkan dengan kapas dan alcohol 70%, tunggu hingga kering,
lalu di kerok dengan scalpel steril pada bagian tepi lesi yang aktif. Sediaan kulit
diletakkan di atas gelas objek, kemudian ditetesi larutan KOH 10% sampai 20%
dan ditutup dengan gelas penutup serta dipanasi diatas api kecil. Pemanasan tidak
boleh sampai mendidih. Kemudian gelas penutup ditekan dengan perlahan-lahan
agar bahan yang sudah lisis menipis dan rata. Selanjutnya diperiksa dibawah
mikroskop dengan pembesaran objektif 10x. Elemen jamur dermatofit tampak
sebagai garis yang memiliki indeks bias yang berbeda dengan sekitarnya. Pada
jarak tertentu dipisahkan oleh sekat atau dijumpai butir-butir yang bersambung
seperti rantai (artrospora).

15
Pemeriksaan KOH yang positif dapat memastikan diagnosis klinis
penyakit kulit akibat jamur. Sedangkan pemeriksaan KOH yang negatif tidak
menyingkirkan diagnosis penyakit tersebut.
Pemeriksaan KOH merupakan pemeriksaan tunggal yang paling penting
untuk mendiagnosis infeksi dermatofit secara langsung dibawah mikroskop
dimana terlihat hifa diantara material keratin.
Gambaran effloresensinya sebagai berikut:
Penyakit jamur Floresensi
Tinea kapitis Hijau, biru kehijauan Kuning keemasan
Pitiriasis versikolor
Bukan Penyakit jamur Effloresensi
Eritasma Obat Merah bata kuning
tetrasiklin

Jika dilakukan pemeriksaan penunjang dengan memeriksa sediaan


langsung kerokan kulit yang ditetesi larutan KOH 10% maka untuk tinea korporis
yang merupakan infeksi oleh dermatosis akan tampak hifa, sebagai gambaran dua
garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan bercabang, maupun spora berderet
(artrospora)pada kelainan kulit yang lama dan/atau sudah diobati.

Gambar 9: Hasil pemeriksaan mikroskopis dengan larutan KOH: hifa yang


panjang dan bercabang

16
Gambar 10: Mikrokonidia yang bergumpal, Makrokonidia yang berbentuk seperti
rokok kadang- kadang terlihat hifa yang spiral

Pemeriksaan biakan
Tujuan pemeriksaan ini yaitu untuk identifikasi spesies jamur penyebab,
membantu menetukan prognosis penyakit dan untuk keperluan studi
epidemioligis.
Cara pemeriksaan: pembiakan dilakukan dengan media agar Sabouraud pada suhu
kamar 25-30o C, kemudian setelah satu minggu dilihat dan dinilai perubahan atau
pertumbuhan jamur. Identifikasi spesies dermatofit ditentukan berdasarkan bentuk
dan warna koloni, selanjutnya dilakukan identifikasi secara mikroskopik.
Kita juga bisa melakukan kultur hasil dari kerokan kulit yang telah
dilakukan. Banyak media kultur standar yang tersedia, biasanya dua kultur dibuat,
satu di media yang mengandung cycloheximide (untuk dermatofita) dan satu
tanpa (ragi dan jamur)

17
Gambar 11 : (a, b): SDA kultur pada hari ke 7 dan 10. (c, d): Hasil kultur dilihat
dari bagian lateral
Pemeriksaan Histologis
Tampak neutrofil di stratum corneum, ini merupakan petunjuk diagnostik
yang penting. Biopsi kulit dengan pewarnaan hematoxylin dan eosin pada tinea
corporis menunjukkan spongiosis, parakeratosis, dan infiltrat inflamasi superfisial
(rembesan sel radang ke permukaan).
Pemeriksaan lainnya dengan lampu wood (sinar ultraviolet), pada tinea
kapitis akan memunculkan fluoresensi berwarna kehijauan.

2.7. Diagnosa Banding


1.Dermatitis seboroik
Kelainan kulit terdiri atas eritema, dan skuama yang berminyak dan agak
kekuningan batasnya agak kurang tegas. Pada daerah supraorbital, skuama-
skuama halus dapat terlihat di alis mata, kulit dibawahnya eritematosa dan gatal,
disertai bercak-bercak skuama kekuningan, dapat terjadi pula blefaritis, yakni
pinggir kelopak mata merah disertai skuama-skuama halus.

Gambar 12. Gambaran efloresensi pada dermatitis seboroid.

2.Psoriasis

18
Psoriasis dapat menyebabkan kebingungan dalam kasus kerana
distribusinya tidak cukup khas. Lesi tipikalnya adalah lesi yang kronis, berulang,
papula dan plak bersisik. Letusan berjerawat dan eritroderma bisa terjadi 3. Ia bisa
terjadi pada lutut, siku dan kulit kepala, dan yang mengenai kuku, terutama jika
pitting hadir, sangat membantu membedakan dalam kasus ini. Psoriasis yang
penyebabnya masih tidak diketahui juga memiliki lesi kulit berupa plak
eritematosa yang sirkumskripta dan tersebar merata, ditutupi oleh skuama tebal,
berlapis-lapis, kasar, dan berwarna putih mengkilat seperti mika. Jika skuama
digores menunjukkan tanda tetesan lilin. Pada psoriasis terdapat 2 fenomena, yaitu
Koebner dan Auspitz. Predileksi penyakit ini biasanya pada perbatasan daerah
scalp dan wajah, ekstremitas bagian ekstensor terutama siku dan lutut, serta
daerah lumbosakral.

Gambar 13: Psoriasis (Lesi primer kemerahan atau warna salmon pink, papula,
droplike, dengan sisik pipih putih keperakan)

19
3.Ptiriasis rosea
Pitiriasis Rosea dimulai dengan sebuah lesi inisial berbentuk eritema dan
skuama halus, umumnya di badan, solitar, berbentuk oval dan anular, dengan
diameter kira-kira 3 cm. Selanjutnya lesi akan memberikan gambaran yang khas
dengan susunan yang sejajar dengan costa hingga menyerupai pohon cemara
terbalik. Tempat predileksi di badan, lengan atas bagian proksimal, dan paha atas.
Pada pasien ini tidak terdapat tampakan khas pitiriasis rosea dengan lesi inisial
dan tampakan pohon cemara terbalik.

20
Gambar 14. Pitiriasis Rosea
4.Dermatitis kontak
Terbatas pada tempat kontak kulit terasa pedih, panas, rasa terbakar,
kelainan yang terlihat berupa eritema edema, bula, mungkin juga nekrosis. Pinggir
kulit berbatas tegas, dan pada umumnya asimetris.

Gambar 15. Gambaran kontak dermatitis pada orang dewasa dengan


penampakan eritema edema dengan pinggir lesi berbatas tegas.
2.8. Penatalaksanaan

1. Umum

21
Menjaga kebersihan agar tetap sehat dan terhindar dari infeksi kulit
Mengganti pakaian tiap berkeringat dan mandi dengan air bersih
Tidak saling tukar menukar dalam menggunakan peralatan pribadi
(handuk, pakaian, alat cukur, dan lain-lain)
Memperkuat daya tahan tubuh, seperti mengonsumsi buah-buahan,
multivitamin, dan beristirahat cukup
Menghindari pakaian yang tidak menyerap keringat.
Khusus
Topikal
- Derivat azol misalnya mikonazol 2%, klotrimasol 1%, ketokonazol 1%
- Salep Whitfield
- Asam benzoate 6-12%
- Asam salisilat 2-4% (4,7)
Sistemik
- Griseofulvin 500 mg sehari untuk dewasa, sedangkan anak-anak 10-25
mg/kgBB sehari. Lama pemberian griseofulvin pada tinea korporis
adalah 3-4 minggu, diberikan bila lesi luas atau bila dengan pengobatan
topikal tidak ada perbaikan.

- Pada kasus yang resisten terhadap griseofulvin dapat diberikan derivat


azol seperti ketokonazol 200 mg per hari selama 2-4 minggu pada pagi
hari setelah makan, itrakonazol 100-200 mg/hari selama 2-4 minggu
atau 200 mg/hari selama 1 minggu, flukonazol 150 mg 1x/mgg
selama 2-4 minggu, terbinafin 250 mg/hari selama 1-2 minggu.

- Antibiotika diberikan bila terdapat infeksi sekunder.

Pencegahan
Untuk mencegah terkena infeksi tinea corporis:
1. Menjaga kebersihan diri dengan mandi setelah beraktivitas dan
berkeringat.
2. Mengeringkan badan dengan baik setiap setelah mandi.

22
3. Mencuci pakaian, sprei, dan barang-barang pribadi lainnya secara
rutin.
2.9. Prognosis

Untuk tinea korporis yang bersifat lokal, prognosisnya akan baik dengan
tingkat kesembuhan 70-100% setelah pengobatan dengan azol topikal atau
allilamin atau dengan menggunakan anti jamur sistemik.

23
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien


Nama : Ny. X
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 50 Tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Petani
Alamat : Bukittinggi
Suku : Minang

3.2. Anamnesis
Seorang pasien perempuan usia 55 tahun datang ke poli klinik Kulit dan Kelamin
RS Achmad Mochtar Bukittinggi pada tanggal 5 Mei2017 dengan :
1. Keluhan Utama
Bercak merah gatal di punggung sejak 2 minggu yang lalu

2. Riwayat Penyakit Sekarang


- Bercak merah gatal di punggung sejak 2 minggu yang lalu

- Awalnya bintik merah, membesar dan gatal di waktu siang berkeringat


dan malam awal tidur
- Pasien bekerja di ladang dari jam 8 pagi sampai 4 sore
- Pasien mengganti pakaian di ladang sekali sehari
- Pasien mandi 2 kali sehari tapi handuknya sama dengan yang dipakai
suaminya
3. Riwayat penyakit dahulu
Pasien belum pernah menderita penyakit yang sama

24
4. Riwayat penyakit keluarga :

Tidak ada keluarga yang menderita penyakit yang sama.


Pemeriksaan fisik
Status Generalisata
Keadaan umum : Tampak sakit ringan
Kesadaran : compos mentis cooperative
Status gizi : Baik
Pemeriksaan Thoraks : diharapkan dalam batas normal
Pemeriksaan Abdomen : Diharapkan dalam batas normal

Status Dermatologikus
Lokasi : Punggung kiri
Distribusi : Terlokalisir
Bentuk : teratur
Susunan : Anular
Batas : Tegas
Ukuran : lentikular, Plakat
Efloresensi : skuama,plak eritem, makula hiperpigmentasi

25
3.5 Status Venerologikus
Kelainan selaput : Tidak ditemukan kelainan
Kelainan kuku : Tidak ditemukan kelainan
Kelainan rambut : Tidak ditemukan kelainan
Kelainan kel.limfe : Tidak terdapat pembesaran KGB

3.6 Pemeriksaan Penunjang


Tidak dilakukan
3.7. Diagnosis Kerja
Diagnosis Kerja : Tinea Korporis
3.8. Diagnosis Banding
Diagnosis Banding : Psoriasis, Ptiriasis, dermatitir seboroik

3.9.Penatalaksanaan

1. Penatalaksanaan umum
- Jangan menggaruk daerah lesi
- Memotong kuku dan menjaga kebersihan kuku

26
- Mandi dengan bersih
- Stelah mandi badan dipastikan kering
- Jangan menggunakan handuk secara bersama
- Jangan memakai pakaian yang lembab
- Mengkonsumsi makanan bergizi, sayuran dan buah-buahan

2. Penatalaksanaan Khusus
Topikal
- Ketokonazol cream 2 %, 2 x sehari ( pada lesi setelah mandi )
Sistemik :
- Ketokonazol 1x200 mg selama 2 minggu.
- Cetirizine 1 x 10 mg

3.10. Prognosis

Quo ad vitam : Bonam


Quo ad functionam : Bonam
Quo sanationam : Bonam
Quo ad cosmetikum : Bonam

3.11.Resep
RSUD Achmad Mochtar
Ruangan/Poliklinik : Kulit dan Kelamin
Dokter : dr.Y
SIP No : 3103/SIP/2016

Bukittinggi, 5 Mei 2017

R/ Ketokonazol tab 200 mg No. XV

27
S1dd tab 1

R/ Cetirizine tab 10 mg No. XV


S1dd tab 1

R/ Ketokonazol cream 2% tube No.I


Sue (2x sehari sesudah mandi)

Pro : Ny. X
Umur : 50 Tahun
Alamat : Bukittinggi

BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Tinea korporis adalah penyakit dermatofit pada kulit glabrosa, selain kulit
kepala, wajah, kaki, telapak tangan dan kaki, janggut dan lipatan paha.Manifestasinya
akibat infiltrasi dan proliferasinya pada stratum korneum dan tidak berkembang pada
jaringan yang hidup. Metabolisme dari jamur dipercaya menyebabkan efek toksik dan
respon alergi. Tinea korporis umumnya tersebar pada seluruh masyarakat tapi lebih
banyak pada didaerah tropis.
Tinea korporis lebih sering ditemukan sebagai asimptomatik atau gatal ringan.
Secara obyektif tipikal lesinya mulai sebagai makula eritematosa atau papul yang
menjalar dan berkembang menjadi anular, dan lesi berbatas tegas, skuama atau

28
vesikel, tepi yang berkembang dan healing center. Tinea korporis lebih sering pada
permukaan tubuh yang terbuka antara lain wajah, lengan dan bahu.
Untuk tinea korporis yang bersifat lokal, prognosisnya akan baik dengan
tingkat kesembuhan 70-100% setelah pengobatan dengan azol topikal atau allilamin
atau dengan menggunakan anti jamur sistemik.

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A. Hamzah M. Alsah S. 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit dan
Kelamin: edisi keempat. Jakarta: fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2. Djuanda, Adhi. 2009. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelaamin Edisi kelima. Balai
Penerbit FKUI: Jakarta.
3. Sukanto, martodihardjo, dan Zulkarnain. 2005. Pedoman Diagnosis dan
Terapi Bag/SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi III. RSU dr.
Soetomo: Surabaya.
4. Murtiastutik, Dewi; et al. 2011. Penyakit Kulit dan kelamin Edisi 2. Surabaya.
DEP/SMF Kesehatan Kulit dan kelamin FK UNAIR RSUD dr. SOETOMO
5. Universitas Sumatera Utara. http://respiratory.usu.ac.id. Tinea korporis.
Diakses pada tanggal 5-5-2017, pukul 12.00.

29
6. Universitas Sumatera Utara. http://respiratory.usu.ac.id. Tinea korporis..
Diakses pada tanggal 5-5-2017, pukul 13.00
7. Adhi Juanda , Mochtar Hamzah, Siti Aisah. Buku Ajar Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. Edisi ke-7 FKUI 2015.
8. Syarif Amir dkk. Farmakologi dan terapi edisi 5. FKUI. 2011

30

Anda mungkin juga menyukai