Anda di halaman 1dari 14

RETENSIO PLASENTA

I. PENDAHULUAN
Perdarahan postpartum dapat terjadi tiba-tiba, merupakan ancaman hidup, dan
salah satu kedaruratan obstetrik. Pada perdarahan postpartum primer dapat terjadi
kehilangan darah sekitar 500 ml dari traktus genitalia pada 24 jam pertama setelah
kehamilan. Pada perdarahan postpartum sekunder terjadi kehilangan darah yang
banyak pada 24 jam sampai 6 minggu postpartum. 1
Kematian saat melahirkan biasanya menjadi faktor utama mortalitas wanita
muda pada masa puncak produktivitasnya. Tahun 2001, WHO memperkirakan lebih
dari 585.000 ibu per tahunnya meninggal saat hamil dan bersalin. Perdarahan
pascapersalinan adalah sebab penting kematian ibu; kematian ibu yang disebabkan
oleh perdarahan (perdarahan pascapersalinan, placenta previa, solutio plasenta,
kehamilan ektopik, abortus, Retensio placenta dan ruptura uteri) disebabkan oleh
perdarahan pascapersalinan. Selain itu, pada keadaan dimana perdarahan pasca
persalinan tidak mengakibatkan kematian, kejadian ini sangat mempengaruhi
morbiditas nifas karena anemia dapat menurunkan daya tahan tubuh. Perdarahan
pascapersalinan lebih sering terjadi pada ibu-ibu di Indonesia dibandingkan dengan
ibu-ibu di luar negeri. 2
Plasenta biasanya terpisah dari uterus selama proses retraksi uterus dan usaha
ibu atau peregangan tali pusat terkendali dari uterus. Jika plasenta tidak terpisah atau
hanya sebagian terpisah dan terdapat perdarahan, pelepasan plasenta harus
dilakukan.1
Retensio plasenta merupakan salah satu masalah yang masih menjadi penyebab
terbesar terjadinya perdarahan post partum dan kematian maternal.
Menurut Depkes RI, kematian ibu di Indonesia (2002) adalah 650 ibu tiap 100.000
kelahiran hidup dan 43% dari angka tersebut disebabkan oleh perdarahan post
partum. Perdarahan yang disebabkan karena retensio plasenta dapat terjadi karena
plasenta lepas sebagian, yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya. 2

1
II. DEFINISI
Perdarahan postpartum merupakan perdarahan yang banyak yang terjadi setelah
persalinan. Perdarahan dapat terjadi sebelum, selama, atau setelah pelepasan plasenta.
Biasanya kehilangan darah yang terjadi selama kehamilan yang belum berkomplikasi
rata-rata 700 ml, dan kehilangan darah ini biasanya dianggap biasa. Namun, sekrang
ini kriteria perdarahan postpartum apabila kehilangan darah terjadi lebih dari 500 ml.
Kehilangan darah yang terjadi selama 24 jam postpartum disebut early post partum
hemorrhage, jika kehilangan darah antara 24 jam sampai dengan 6 minggu setelah
persalinan disebut late postpartum hemorrhage. 3
Retensio plasenta adalah tertahannya atau belum lahirnya plasenta hingga atau
melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir. Sebab-sebabnya oleh karena plasenta
belum lepas dari dinding uterus atau plasenta sudah lepas akan tetapi belum
dilahirkan. Jika plasenta belum lepas sama sekali, tidak terjadi perdarahan, jika lepas
sebagian terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya. 4

III. EPIDEMIOLOGI
Perdarahan post partum merupakan penyebab kematian utama ibu dalam
persalinan di seluruh dunia. Sekitar paling tidak 25% dari seluruh kematian akibat
persalinan dan sekitar 17% menyebabkan kematian. Menurut data WHO, perdarahan
post partum terjadi sekitar 10-15% pada wanita yang melahirkan dan menyebabkan
kematian sekitar 2%. 5
Perdarahan post partum disebabkan oleh beberapa penyebab, antara lain: atonia
uteri (50%), laserasi jalan lahir (20%), retensio plasenta (10%), Disseminated
Intravascular Coagulation (DIC) jarang terjadi, inverse uterin (jarang), dan kasus lain
yang belum diketahui penyebabnya. 6
Retensio plasenta merupakan penyebab 5-10 % perdarahan postpartum.
Retensio plasenta pada cavum uteri biasanya terjadi pada plasenta accreta, pada
pelepasan manual plasenta, managemen yang salah pada kala III persalinan. 3

2
Retensio plasenta terjadi pada 1-2:100 kelahiran. Faktor resiko termasuk
persalinan pada midtrimester, chorioamnionitis, dan adanya lobus palsenta
tambahan.7

IV. ETIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI


Pada pelepasan plasenta selalu terjadi perdarahan karena sinus-sinus maternalis
di tempat insersinya pada dinding uterus terbuka. Biasanya perdarahan ini tidak
banyak, sebab kontraksi dan retraksi otot-otot uterus menekan pembuluh-pembuluh
darah yang terbuka sehingga lumennya tertutup, kemudian pembuluh darah tersumbat
oleh bekuan darah. Seorang wanita sehat dapat kehilangan 500 ml darah tanpa akibat
buruk. Istilah perdarahan postpartum digunkan apabila perdarahan setelah anak lahir
melebihi 500 ml. Perdarahan primer terjadi dalam 24 jam pertama dan perdarahan
sekunder terjadi setelah itu. Hal-hal yang dapat menyebabkan perdarahan postpartum
yaitu: 1) atonia uteri; 2) perlukaan jalan lahir; 3) terlepasnya sebagian plasenta dari
uterus; 4) tertinggalnya sebagian dari plasenta umpamanya kotiledon atau plasenta
suksenturiata. 4
Kadang-kadang perdarahan disebabkan oleh kelainan proses pembekuan darah
akibat dari hipofibrinogenemia (solusio plasenta, retensi janin mati dalam uterus,
emboli air ketuban). Apabila sebagian plasenta lepas sebagian lagi belum, terjadi
perdarahan karena uterus tidak bisa berkontraksi dan beretraksi dengan baik pada
batas antara dua bagian itu. Selanjutnya apabila sebagian besar plasaenta sudah lahir,
tetapi sebagian kecil masih melekat pada dinding uterus, dapat timbul perdarahan
dalam masa nifas. 4
Apabila plasenta belum lahir setengah jam setelah janin lahir, hal ini dinamakan
retensio plasenta. Sebab-sebabnya ialah: a) plasenta belum lepas dari dinding uterus;
b) plasenta sudah lepas tetapi belum dilahirkan. 4
Jika plasenta belum lepas sama sekali, tidak terjadi perdarhan; jika lepas
sebagian, dapat terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya.
Plasenta belum lepas dari dinding uterus karena; a) kontraksi uterus kurang kuat
untuk melepaskan plasenta (plasenta adhesive); b) plasenta melekat erat pada dinding

3
uterus oleh sebab vili korialis menembus desidua sampai miometrium, sampai di
bawah peritoneum (plasenta akreta-perkret). 4
Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar
disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah dalam
penanganan kala III, sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus
yang menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio plasenta). 4
Beberapa predisposisi terjadinya retensio plasenta adalah :
1. Grandemultipara
2. Kehamilan ganda, sehingga memerlukan implantasi plasenta yang agak luas
3. Kasus inferilitas, karena lapisan endometriumnya tipis
4. Plasenta previa, karena di bagian isthmus uterus, pembuluh darah sedikit,
sehingga perlu masuk jauh ke dalam
5. Bekas operasi pada uterus. 8
Faktor yang mempengaruhi pelepasan plasenta:
Kelainan dari uterus sendiri, yaitu kontraksi uterus kurang kuat untuk
melepaskan plasenta (plasenta adhessiva),
Kelainan dari plasenta, misalnya plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh
sebab villi khorialis menembus desidua sampai miometrium sampai dibawah
peritoneum (plasenta akreta-perkreta)
Kesalahan manajemen kala III persalinan, seperti manipulasi dari uterus yang
tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta dapat menyebabkan
kontraksi yang tidak ritmik, pemberian uterotonik yang tidak tepat waktunya
juga dapat menyebabkan serviks kontraksi (pembentukan constriction ring) dan
menghalangi keluarnya plasenta (inkarserasio plasenta). 4,8

4
V. JENIS RETENSIO PLASENTA
Berdasarkan perlekatannya pada lapisan uterus terapat beberapa jenis retensio
plasenta, antara lain:
1. Plasenta Adhesiva
Adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga menyebabkan
kegagalan mekanisme separasi fisiologis. Tipis sampai hilangnya lapisan
jaringan ikat, sebagian atau seluruhnya sehingga menyulitkan lepasnya plasenta
saat terjadi kontraksi dan retraksi otot uterus.
2. Plasenta Akreta
Adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian lapisan
miornetrium. Hilangnya lapisan jaringan ikat longgar Nitabush sehingga plasenta
sebagian atau seluruhnya mencapai lapisan desidua basalis. Dengan demikian
agak sulit melepaskan diri saat kontraksi atau retraksi otot uterus, dapat terjadi
tidak diikuti perdarahan karena sulitnya plasenta lepas. Plasenta manual sering
tidak lengkap sehingga perlu diikuti dengan kuretase.
3. Plasenta Inkreta
Adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai/memasuki
miometrium. Implantasi jonjot plasenta sampai mencapai otot uterus sehingga,
tidak mungkin lepas sendiri. Perlu dilakukan plasenta manual, tetapi tidak akan
lengkap dan harus diikuti (kuretase tajam dan dalam, histeroktomi).
4. Plasenta Perkreta
Adalah implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan otot hingga
mencapai lapisan serosa dinding uterus. Jonjot plasenta menembus lapisan otot
dan sampai lapisan peritoneum kavum abdominalis. Retensio plasenta tidak
diikuti perdarahan, plasenta manual sangat sukar, bila dipaksa akan terjadi
perdarahan dan sulit dihentikan, atau perforasi. Tindakan definitif: hanya
histeroktomi.

5
5. Plaserita Inkarserata
Adalah tertahannya plasenta di dalam kavum uteri disebabkan oleh kontriksi
osteum uteri. 3,8

VI. DIAGNOSIS
Diagnosis biasanya tidak sulit, terutama apabila timbul perdarahan banyak
dalam waktu pendek. Tetapi bila peradarahan sedikit dalam waktu lama, tanpa
disadari penderita telah kehilangan banyak darah sebelum ia tampak pucat. Nadi serta
pernapasan menjadi lebih cepat dan tekanan darah menurun. Seorang wanita hamil
yang sehaat dapat kehilangan darah sebanyak 10% dari volum total tanpa mengalami
gejala-gejala klinik; gejala baru tampak pada kehilangan darah 20%. Jika perdarahan
berlangsung terus dapat timbul syok. Diagnosis perdarahan postpartum dipermudah
apabila pada tiap-tiap persalinan setelah anak lahir, secara rutin diukur pengeluaran
darah dalam kala III dan satu jam sesudahnya. 4
Irama nadi harus normal dalam 1 jam setelah persalinan. Adanya takikardi yang
persisten mengindikasikan adanya ankompensasi yang signifikan pada kehilangan
darah. Pelepasan plasenta dan kontraksi uterus akan memperbaiki paling sedikit
sekitar 300 ml darah pada sirkulasi ibu. Secara normal hal ini akan menyebabkan
peningkatan tekanan sistolik sekitar 10-20 mmHg pada beberapa jam setelah
persalinan. Karena itu, hipotensi yang persisten mengacu pada adanya kehilangan
darah yang banyak yang memerlukan pengganti. 9
Perdarahan uterus sering dihubungkan dengan atonia uteri, meskipun retensio
plasenta juga dapat terjadi. Untuk menilai terjadinya retensio plasenta, cavum uterus
perlu dieksplorasi. Eksplorasi manual tidak hanya sebagai diagnostik tapi juga terapi.
Dengan melilitkan kasa steril pada tangan, pelepasan fragmen plasenta dan membran
amnion dapat dilakukan. Jika hal ini sulit dilakukan, maka USG transabdominal dan
transvaginal dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis retensio plasenta. 7

6
Gambar 1. Ekslporasi Manual uterus 7

Pemeriksaan USG diperlukan dalam mendukung diagnosa retensio plasenta.


Pemeriksaan ini lebih baik dilakukan pada kasus perdarahan yang terjadi beberapa
jam setelah persalinan atau pada perdarahan postpartum yang lama. Pemeriksaan
Doppler transvaginal duplex juga efektif dalam kasus ini. Beberapa bukti
mengindikasikan bahwa sonohysterografi juga membantu dalam mendiagnosa sisa-
sisa jaringan tropoblastik. Jika cavum endometrium telah terlihat kosong, maka
tindakan dilatasi dan kuretase dapat dihindarkan. 3

7
Gambar 2. (A) Retensio plasenta pada pasein dengan Plasenta accreta parsial yang

didiagnosa ketika dilakukan SSTP. (B) pasien yang sama 7 bulan postpartum,
asimptomatik. Tampak retensio plasenta kecil dan kalsifikasi (tanda panah) 10

VII. PENATALAKSANAAN
Terapi terbaik ialah pencegahan. Anemia dalam kehamilan harus diobati karena
perdarahan dalam batas-batas normal dapat membahayakan penderita yang sudah
mengalami anemia. Apabila sebelumnya penderita sudah pernah mengalami
perdarahan postpartum, persalinan harus berlangsung di rumah sakit. Kadar
fibrinogen perlu diperiksa pada perdarahan banyak, kematian janin dalam uterus, dan
solusio plasenta. 4
Dalam kala III uterus jangan dipijat dan didorong ke bawah sebelum plasenta
lepas dari dindingnya. Penggunaan oksitosin sangat penting untuk mencegah
perdarahan postpartum. Sepuluh unit oksitosin diberikan IM segera setelah anak lahir
untuk mempercepat pelepasan plasenta. Sesudah plasenta lahir hendaknya diberikan
0,2 mg ergometrim, intramuscular. Kadang-kadang pemberian ergometrin setelah
bahu depan bayi lahir pada presentasi kepala, menyebabkan plasenta terlepas segera
setelah bayi seluruhnya lahir. Dengan tekanan pada fundus uteri plasenta dapat
dikeluarkan dengan segera tanpa banyak perdarahan. Namun salah satu kerugian dari
pemberian ergometrin setelah bahu lahir adalah kemungkinan terjadinya jepitan

8
terhadap bayi kedua pada persalinan gemelli yang tidak diketahui sebelumnya. Pada
perdarahan yang timbul setelah anak lahir, ada dua hal yang harus dilakukan yakni
menghentikan perdarhan secepat mungkin dan mengatasi akibat perdarahan. Jika
plasenta belum lahir, segera lakukan tindakan untuk mengeluarkannya. 4
Jika plasenta belum lahir setengah jam setelah anak lahir, harus diusahakan
mengeluarkannya. Dapat dicoba dulu parasat Crede, tetapi saat ini tidak digunakan
lagi karena memungkinkan terjadinya inversio uteri. Tekanan yang keras akan
menyebabkan perlukaan pada otot uterus dan rasa nyeri keras dengan kemungkinan
syok. Cara lain untuk membantu pengeluaran plasenta adalah cara Brandt, yaitu salah
satu tangan penolong memegang tali pusat dekat vulva. Tangan yang lain diletakkan
pada dinding perut diatas simfisis sehingga permukaan palmar jari-jari tangan terletak
dipermukaan depan rahim, kira-kira pada perbatasan segmen bawah dan badan rahim.
Dengan melakukan penekanan kearah atas belakang, maka badan rahim terangkat.
Apabila plasenta telah lepas maka tali pusat tidak tertarik ke atas. Kemudian tekanan
di atas simfisis diarahkan ke bawah belakang, ke arah vulva. Pada saat ini dilakukan
tarikan ringan pada tali pusat untuk membantu mengeluarkan plasenta. Tetapi kita
tidak dapat mencegah plasenta tidak dapat dilahirkan seluruhnya melainkan sebagian
masih harus dikeluarkan dengan tangan. Pengeluaran plasenta dengan tangan kini
dianggap cara yang paling baik. Teknik ini kita kenal sebagai plasenta manual. 4
Setelah retensio plasenta ditegakkan, pelepasan plasenta harus segera dilakukan.
Dapat dilakukan ekstraksi manual atau kuretase. Meskipun tindakan kuretase dapat
dilakukan di kamar bersalin, namun adanya perdarahan massif mengharuskan
tindakan tersebut harus dilakukan di kamar operasi. USG transabdominal sangat
membantu untuk memastikan bahwa evakuasi jaringan telah komplit. 7
Injeksi v.umbilikalis dengan larutan salin dan oksitosin efektif dalam
mengurangi tindakan ekstraksi manual pada retensio plasenta. Diperlukan penelitian
lebih lanjut sebelum teknik ini disetujui secara universal. 7
Pasien yang sudah tidak menghrapkan anak lagi, dapat dilakukan histerektomi,
ini merupakan tindakan yang paling aman. Namun jika hal ini tidak dapat dilakukan,
pelepasan sedikit demi sedikit sangat berbahaya, lebih baik membiarkan palsenta

9
yang nantinya akan mengalami atrofi dengan memberikan antibiotik untuk
mengontrol infeksi. 3
Banyak kesulitan dialami dalam pelepasan plasenta pada plasenta akreta.
Plasenta hanya dapat dikeluarkan sepotong demi sepotong dan bahaya perdarahan
serta perforasi mengancam. Apabila terjadi kesulitan-kesulitan seperti ini, sebaiknya
usaha mengeluarkan plasenta secara bimanual harus dihentikan, lalu dilakukan
histerektomi. 4

VIII. DIAGNOSIS BANDING


Retensio plasenta didiagnosis banding dengan perdarahan postpartum lainnya,
antara lain:
1. Atonia uteri
Atonia uteri merupakan penyebab terbanyak perdarahan postpartum. Faktor
risiko diantaranya persalinan yang cepat atau panjang, korioamnionitis, obat-
obatan (MgSO4, agonis -adrenergik, halothane), dan overdistended uterus.
Gejala klinis berupa uterus yang lunak yang teraba di bawah umbilikus. Pada
atonia uteri dapat dilakukan massase uterus dan pemberian obat-obatan
uterotonik (seperti oksitosin, metilergometrin, atau karbopros). 6
2. Laserasi Vagina dan Perineum
Faktor risiko terjadinya laserasi vagina antara lain persalinan pervaginam yang
tidak terkontrol, persalinan yang sulit, dan persalinan pervaginam operatif. Dari
pemeriksaan klinis dapat ditemukan laserasi pada saat kontraksi uterus.
Penanganan dapat dilakukan surgical repair.6
3. DIC (Disseminated Intravascular Coagulation)
Faktor risiko terjadinya DIC antara lain abruptio plasenta, preeklamsia berat,
emboli cairan amnion, dan kematian janin yang lama. Untuk mendiagnosa DIC
dari pemeriksaan klinis didapatkan perdarahan menyeluruh (generalized
bleeding) yang terjadi ketika kontraksi uterus. 6

4. Inversio Uteri

10
Inversio uteri merupakan kasus yang jarang terjadi. Faktor risiko terjadinya
antara lain kelemahan myometrium dan riwayat inversio uteri sebelumnya. Pada
pemeriksaan klinis tampak massa uterus disertai perdarahan pada vagina dan
uterus tidak dapat terpalpasi pada abdomen. Inversio uteri ditangani dengan
melakukan replacement dengan meninggikan/mengangkat forniks vagina dan
mendorong uterus ke atas, kemudian diberikan injeksi oksitosin. 6
5. Idiopatik
Jika telah dilakukan pemeriksasn yang teliti dan hati-hati namun penyebab
perdarahan masih belum dapat diketahui, dapat dilakukan laparotomi dan
pembedahan secara bilateral meligasi arteri uterina atau arteri iliaca interna.
Tindakan histerektomi merupakan pilihan terakhir. 6

IX. KOMPLIKASI DAN PROGNOSIS


Setelah perdarahan masif ketika melahirkan, akan terjadi kompensasi tubuh
berupa anemia atau penyakit terkait lainnya untuk menunjukkan kondisinya yag
mulai memburuk. Anemia dan kehilangan darah yang massif dapat menyebabkan ibu
mudah demam dan infeksi. Morbiditas dihubungkan dengan tindakan transfusi oleh
virus atau adanya reaksi transfusi, hal ini jarang terjadi dan tidak signifikan. 3
Hipotensi postpartum berhubungan dengan nekrosis total atau parsial dari
kelenjar pituitary dan dapat menyebabkan postpartum panhypopituitarisme atau
Sheehans sindrom, yang dikarakteristikkan dengan gejala berupa kegagalan laktasi,
amenore, penurunan ukuran payudara, rambut pubis dan axilla rontok, hipotiroidisme,
dan insufisiensi adrenal. Kondisi ini jarang terjadi, sekitar < 1 dari 10.000 kelahiran.
Wanita yang mengalami hipotensi postpartum dan menyusui secara aktif mungkin
jarang menderia Sheehans sindrom. Hipotensi juga dapat menyebabkan gagal ginjal
akut dan kerusakan sistem organ lainnya. Pada perdarahan postpartum yang ekstrim,
histerektomi dapat mengontrol perdahan postpartum yang sulit dihentikan. 3,4
Jika perdarahan terus terjadi dan tidak tertangani, setelah terjadi hipotensi,
anemia, kemudian dapat terjadi shock hipovolemik yang dapat menyebabkan
kematian jika tidak segera tertangani dan perdarahan terus berlanjut. Menurut data

11
WHO, perdarahan post partum terjadi sekitar 10-15% pada wanita yang melahirkan
dan menyebabkan kematian sekitar 2%. 5
Prognosis tergantung pada penyebab perdarahan, jumlah darah yang hilang
yang disesuaikan dengan proporsi berat badan pasien, komplikasi medis, dan
kesuksesan terapi kuratif. 9

DAFTAR PUSTAKA

12
1. Pitkin J, Peattie A, MagowanA. Obstetrics and Gynecologic an Illustrated Colour
Text. Churchill Livingstone: An imprint of Elsevier Science Limited.; 2003. pp.
60-1
2. Rahma RT. Retensio plasenta [on line]. 2012. [citied April 3th 2012]. Available
from: http://www.irma1985.wordpress.com/2010/1106contoh-seminar-kasus-
retensio-plasenta.html
3. DeCherney A, Nathan L, Goodwin M, Laufer N. Current Diagnosis & Treatment
Obstetrics & Gynecology, Tenth Edition. United State of America: The McGraw-
Hill Companies; 2007. pp. 201-5
4. Martohoesodo S, Abdullah MN. Gangguan dalam kala III persalinan. Dalam:
Prawirohardjo S. Ilmu Kebidanan. Jakarta: Tridasa Printer; 2002. pp. 656-9
5. Szymanski LM, Bienstock JL. Complication of labor and delivery. In: Fortner
KB, Szymanski LM, Fox HE, Wallach EE, editors. Johns Hopkins Manual of
Gynecology and Obstetrics, The, 3rd Edition. Maryland: Lippincott Williams &
Wilkins; 2007. pp. 234-7
6. Sakala EP, Penalver M. USMLE Step 2 CK Lecture Notes Obstetrics and
Gynecology. California: Kaplan Inc; 2005. pp. 99-100
7. Francis KE, Foley MR. Antepartum and postpartum haemorrhage. In: Galan H,
Goetzel L, Landon M, Jauniaux E, editors. Obstetrics: Normal and Problem
Pregnancies, 5th ed. Churchill Livingstone: An Imprint of Elsevier; 2007. pp. 466
8. Fazriyanti R. Retensio plasaenta [on line]. 2012. [citied April 13 th 2012].
Available from: http://www.princess.wordpress.com/2012/01retensio-
plasenta.html
9. Pernoll, Martin. Benson and Pernolls handbook of Obstetrics and Gynecology,
Tenth Edition. New York: McGraw-Hill Medical Publishing Division; 2001. pp.
325-7
10. Spirt BA, Gordon LP. Sonography of placenta. In: Fleischer AC, Manning FA,
Jeanty P, Romero R. Sonography in Obstetrics & Gynecology: principles and
practice, 6th Edition. New York: McGraw-Hill Medical Publishing Division;
2001. pp. 124-5

13
14

Anda mungkin juga menyukai