Anda di halaman 1dari 88

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

EVALUASI PROFIL DISOLUSI TABLET LEPAS


LAMBAT TEOFILIN YANG BEREDAR DI
MASYARAKAT

SKRIPSI

HERLINA PERTIWI
1111102000027

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JUNI 2015
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

EVALUASI PROFIL DISOLUSI TABLET LEPAS


LAMBAT TEOFILIN YANG BEREDAR DI
MASYARAKAT

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Farmasi

HERLINA PERTIWI
1111102000027

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN


PROGRAM STUDI FARMASI
JAKARTA
JUNI 2015

ii
iii
iv
v
ABSTRAK

Nama : Herlina Pertiwi


Program Studi : Farmasi
Judul : Evaluasi Profil Disolusi Tablet Lepas Lambat Teofilin yang
Beredar di Masyarakat

Uji disolusi merupakan suatu alat yang sangat penting untuk menggambarkan
kesamaan antara formulasi yang berbeda dari zat aktif. Beberapa produk berbeda
dengan zat aktif yang sama dapat memberikan laju pelepasan yang berbeda
sehingga dapat mebahayakan kesehatan pasien, khusunya untuk obat dengan
indeks terapi yang sempit. Evaluasi profil penting dilakukan untuk memberikan
gambaran mengenai lama waktu obat dilepaskan dari sediaan dan mengetahui
kinetika pelepasan dari suatu produk. Dua nama dagang tablet lepas lambat
teofilin yaitu obat A dan obat B di uji disolusi dengan metode uji disolusi tes 1
yang tercantum dalam United State of Pharmacopeia XXX (USP XXX) yaitu
menggunakan 900 ml medium dapar HCl pH 1,2 untuk satu jam pertama dan
dapar fosfat pH 6,0 untuk tujuh jam berikutnya, apparatus tipe 2 dengan kecepatan
pengadukan 50 rpm selama 8 jam. Kadar teofilin yang terdisolusi diukur dengan
spektrofotometer UV-vis. Hasil uji disolusi menunjukkan bahwa obat A dan obat
B tidak memenuhi kriteria penerimaan persyaratan pelepasan metode disolusi tes
satu yang tercantum dalam USP XXX. Persentase kumulatif teofilin yang terlepas
dari obat A pada jam pertama melebihi rentang penerimaan persyaratan pelepasan,
sedangkan persentase kumulatif teofilin yang terlepas dari obat B kurang dari
rentang penerimaan syarat pelepasan pada jam ke-2, 4, 6, dan 8. Persentase
kumulatif teofilin yang terlepas pada jam ke delapan dari obat A dan obat B
berturut-turut adalah 86,30% dan 68,86%. Kinetika pelepasan obat A cenderung
mengikuti kinetika model Higuchi, sedangkan obat B cenderung mengikuti
kinetika orde nol. Mekanisme pelepasan obat A dan obat B terjadi secara difusi
non-Fick. Analisa statistik data persentase kumulatif teofilin yang terlepas dari
obat A dan obat B menunjukkan bahwa kedua obat tersebut berbeda secara
bermakna. Berdasarkan profil disolusi, obat A memiliki profil disolusi yang lebih
baik dibandingkan dengan obat B.

Kata kunci: tablet lepas lambat teofilin, uji disolusi, spektrofotometri UV-vis.

vi
ABSTRACT

Name : Herlina Pertiwi


Program Study : Pharmay
Title : Evaluation of Dissolution Profiles of Theophylline Sustained
Release Tablets Available in The Market

Dissolution testing is a very important tool used to demonstrate the similarity


between different formulations. The rate of release of the same active substance
could differ between the products, so that it can endangered patient's health,
especially for drugs with a narrow therapeutic range. Evaluation of dissolution
profile can overview of how long the drug will be released from the dosage form
and to know drug release kinetics from the products. Two brands of theophylline
sustained release which are named drug A and drug B were tested for dissolution
using dissolution test methods 1 that is listed in United State of Pharmacopeia
XXX (USP XXX) using 900 ml medium buffer HCl pH 1.2 for first hour dan
buffer fosfat pH 6.0 for the next seven hours, apparatus type 2 with speed of
stirring 50 rpm during 8 hours. The content of theophillyne that has been
dissolved was measured using UV-vis spectrophotometer. The results of
dissolution test showed that drug A and drug B do not meets the range of
acceptances of the requirements released dissolution test methods 1 that is listed
in United State of Pharmacopeia XXX. The cumulative percentage released of
theophylline drug A in first hour more than the range of acceptance of the
requirements released, while drug B the cumulative percentage realesed of
theophylline less than the range of acceptances at 2nd, 4th, 6th, and 8th hours. The
cumulative percentage released of theophylline at the eighth hour of drug A and
drug B respectively were 86.30%, and 68.86%. The release kinetics of drug A
tend to follow the kinetics model of Higuchi, while drug B tend to follow the
kinetic of zero-order. The release mechanism of drug A and drug B that occurred
according non-Fick diffusion. Statistical analysis of the cumulative percentage
release of theophyllnine showed that drug A was significantly different with drug
B. Based on the dissolution profiles, drug A has a better dissolution profile
compared to drug B.

Keyword: sustained release tablets of theophylline, dissolution test, UV-vis


spectrophotometer

vii
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang


telah melimpahkan berbagai macam nikmat, karunia serta kasih sayang-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi dengan
judul Evaluasi Profil Disolusi Tablet Lepas Lambat Teofilin yang Beredar di
Masyarakat. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan
program pendidikikan Strata 1 (S1) pada Program Studi Farmasi, Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Dalam proses perkuliahan hingga penelitian dan penyusunan skripsi ini,
penulis menyadari adanya beberapa pihak yang memberikan kontribusi kepada
penulis. Oleh karena itu, penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada :
1. Ibu Yuni Anggraeni, M.Farm., Apt. selaku pembimbing pertama dan Bapak
Drs. Umar Mansur, M.Sc., Apt selaku pembimbing kedua, yang telah
meluangkan waktu, pikiran dan tenaga serta memberikan ilmu terbaik yang
dimiliki sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
2. Bapak Dr. Arief Sumantri, S.KM., M.Kes selaku Dekan Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Bapak Yardi, Ph.D., Apt selaku ketua Program Studi Farmasi, Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
4. Ibu Nelly Suryani, Ph.D., Apt selaku sekertaris Program Studi Farmasi,
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Bapak dan Ibu staf pengajar yang telah memberikan ilmu pengetauan selama
penulis menempuh pendidikan di Program Studi Farmasi, Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.

viii
6. Kedua orang tua, yang selalu memberikan kasih sayang, semangat, dukungan,
doa dan nasihat tak terhingga yang tak akan pernah mampu penulis
membalas semua itu, dan saudara-saudaraku yang memberikan doa dan
dukungan kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian ini.
7. Laboran Farmasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Kak Rahmadi, Kak Eris,
Kak Rani, Kak Lisna, dan Kak Tiwi yang dengan sabar membantu keseharian
penulis di laboratorium selama penelitian.
8. Teman seperjuangan penelitian, Mufidah dan Wardah, atas kebersamaan,
bantuan serta motivasinya sejak awal penelitian hingga akhir penyelesaian
skripsi ini.
9. Temanku Mufidah, Monic, Asrul, Nanda,Vina, Lela, Titis, Puspita, Nuha,
Wina, Nimah, Mida, Nurul, dan Sutar yang telah menemaniku selama di
perantauan dan di bangku perkuliahan, serta telah memberikan dukungan,
motivasi, hiburan dan masukan kepada penulis selama pengerjaan skripsi dan
selama masa perkuliahan.
10. Teman-teman Tableters, Kingdom, dan PBB yang telah berbagi semangat,
motivasi, canda dan tawa selama melakukan penelitian.
11. Teman-teman Farmasi 2011, terima kasih atas persaudaraan dan kebersamaan
kita dari awal masuk sampai akhir ini, semoga silahturahmi kita biasa tetap
terjaga.
12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang turut
memberikan bantuan dan dukungan dalam penyelesaian skripsi.
Penulis sadar bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kelemahan
dan kekurangan, kritik dan saran pembaca diharapkan penulis untuk memperbaiki
kemampuan penulis. Semoga skripsi ini membawa manfaat bagi pengembangan
ilmu.

Ciputat, 29 Juni 2015

Penulis

ix
x
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ........................................................................................ ii


HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................ iv
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... v
ABSTRAK ........................................................................................................ vi
ABSTRACT ...................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR....................................................................................... viii
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI...................... x
DAFTAR ISI...................................................................................................... xi
DAFTAR GAMBAR......................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL ............................................................................................. xiv
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... xv

BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................. 1


1.1. Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ............................................................................ 3
1.3. Tujuan Penelitian.............................................................................. 3
1.4. Manfaat Penelitian............................................................................ 3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Sediaan Lepas Lambat ..................................................................... 4
2.1.1. Tujuan Sediaan Lepas lambat .............................................. 5
2.1.2. Keuntungan dan Kerugian Sediaan lepas Lambat ............... 6
2.1.3. Klasifikasi Sediaan Lepas Lambat ...................................... 7
2.2. Disolusi ............................................................................................ 8
2.2.1. Definisi ................................................................................ 8
2.2.2. Uji Disolusi In vitro ............................................................. 9
2.2.3. Kriteria Hasil Disolusi Sediaan Lepas Lambat .................... 12
2.2.4. Uji Disolusi Tablet Lepas Lambat Teofilin ......................... 13
2.3. Kinetika Pelepasan Obat Berdasarkan Persamaan Matematika ...... 14
2.3.1. Kinetika Orde Nol ............................................................... 15
2.3.2. Kinetika Orde Satu .............................................................. 15
2.3.3. Model Higuchi ..................................................................... 16
2.3.4. Model Korsmeyer-Peppas ................................................... 16
2.4. Teofilin ............................................................................................ 18
2.4.1. Sifat Fisikokimia ................................................................. 18
2.4.2. Mekanisme Kerja ................................................................ 18
2.4.3. Farmakokinetik .................................................................... 19
2.4.4. Dosis dan Cara Pemberian .................................................. 19
2.4.5. Efek samping........................................................................ 19
2.4.6. Stabilitas Penyimpanan ........................................................ 20
2.5. Spektrofotometri............................................................................... 20
2.5.1. Spektrofotometer UV-Vis ................................................... 20
xi
2.5.2. Hukum Lambert-Beer .......................................................... 22

BAB 3 METODE PENELITIAN..................................................................... 24


3.1. Tempat dan Waktu ........................................................................... 24
3.2. Alat dan Bahan ................................................................................ 24
3.3. Prosedur Kerja.................................................................................. 24
3.3.1. Pemilihan Sampel ................................................................ 24
3.3.2. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Teofilin........... 25
3.3.3. Pembuatan Kurva Kalibrasi Teofilin................................. 25
3.3.4. Penetapan Kadar .................................................................. 25
3.3.5. Keseragaman Sediaan .......................................................... 26
3.3.6. Uji Disolusi Tablet Lepas Lambat Teofilin.......................... 27
3.3.7. Analisa Kinetika Pelepasan Teofilin dari Tablet ................. 28
3.3.8. Analisa Statistik ................................................................... 29

BAB 4 HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 30


4.1. Pemilihan Sampel ............................................................................ 30
4.2. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Teofilin ...................... 30
4.3. Penentuan Kurva Kalibrasi Teofilin ................................................ 31
4.4. Penetapan Kadar Teofilin dalam Tablet........................................... 31
4.5. Keseragaman Sediaan Tablet Lepas Lambat Teofilin ..................... 32
4.5.1. Keragaman Bobot ................................................................ 33
4.5.2. Keseragaman Kandungan .................................................... 33
4.6. Uji Disolusi Tablet Lepas Lambat Teofilin .................................... 34
4.7. Analisa Kinetika Pelepasan Tablet Lepas Lambat Teofilin ............ 42
4.8. Analisa Statistik................................................................................ 43

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................. 45


5.1. Kesimpulan ...................................................................................... 45
5.2. Saran................................................................................................. 45

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 47

LAMPIRAN ...................................................................................................... 51

xii
DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman
2.1. Profil kadar obat dalam darah terhadap waktu dari bentuk sediaan
lepas lambat yang ideal ...................................................................... 4
2.2. Rumus Struktur Teofilin ................................................................... 18
4.1. Profil Disolusi Teofilin Obat A dan Obat B ..................................... 36
4.2. Profil Disolusi Quibron-T/SR dan Theo SR 300 mg ......................... 41
4.3. Profil Farmakokinetik Konsentrasi Teofilin dalam Saliva dari
Quibron-T/SR dan Theo SR 300mg ................................................. 41

xiii
DAFTAR TABEL

Tabel Halaman
2.1. Kondisi yang Dapat Mempengaruhi Pelarutan dan Pelepasan Obat ... 10
2.2. Penerimaan Hasil Uji Disolusi Sediaan Lepas Lambat........................ 13
2.3. Peralatan dan Kondisi Uji Disolusi Tablet Lepas Lambat Teofilin
Pendosisan Tiap 12 jam Menurut USP 30 ........................................... 14
2.4. Rentang Penerimaan Kadar Hasil Uji Disolusi Tablet Lepas Lambat
Teofilin Pendosisan Tiap 12 jam Menurut USP 30.............................. 14
2.5. Rumus Perhitungan Kinetika Obat....................................................... 15
2.6. Hubungan Eksponen Pelepasan (n) dengan Mekanisme Pelepasan..... 17
2.7. Syarat Obat Terlarut Sediaan Lepas Terkendali................................... 17
4.1. Persamaan Regresi Linear Kurva Kalibrasi Teofilin .......................... 31
4.2. Kadar Teofilin dari Obat A dan Obat B .............................................. 32
4.3. Keragaman Bobot Obat A ................................................................... 33
4.4. Keseragaman Kandungan Obat B ....................................................... 34
4.5. Hasil Analisis Kesesuaian Pelepasan Teofilin dari Obat A dengan
Persyaratan USP XXX ........................................................................ 38
4.6. Hasil Analisis Kesesuaian Pelepasan Teofilin dari Obat A dengan
Persyaratan USP XXX ........................................................................ 38
4.7. Kinetika Pelepasan Teofiln dari Obat A dan Obat B ........................... 42

xiv
DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman
1. Bagan Alur Penelitian ......................................................................... 52
2. Sertifikat Analisis Standar Teofilin ..................................................... 53
3. Alat Disolusi......................................................................................... 54
4. Prosedur Pembuatan Larutan NaOH 0,1 N, Dapar HCl pH 1,2, dan
Dapar Fosfat pH 6,0 ............................................................................. 54
5. Panjang Gelombang Maksimum Teofilin ........................................... 55
6. Kurva Kalibrasi Teofilin ..................................................................... 56
7. Data Kurva Kalibrasi Teofilin ............................................................. 57
8. Data Penetapan Kadar Teofilin Obat A dan Obat B ........................... 58
9. Keragaman Bobot Obat A .................................................................... 59
10. Keseragaman kandungan Obat B ........................................................ 60
11. Kurva Kinetika Pelepasan Teofilin ..................................................... 62
12. Data Hasil Analisa Kinetika Pelepasan Teofilin dari Obat A dan
Obat B ................................................................................................. 64
13. Data Persentase Kumulatif Teofilin yang Terlepas dari Hasil Uji
Disolusi Obat A .................................................................................... 65
14. Data Persentase Kumulatif Teofilin yang Terlepas dari Hasil Uji
Disolusi Obat B .................................................................................... 66
15. Data Analisa Statistik Hasil Uji Disolusi Obat A dan Obat B ............. 68

xv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Sediaan padat yang merupakan sediaan konvensional seperti tablet,
kapsul dan granul dirancang untuk melepaskan zat aktif dengan segera sehingga
diabsorbsi masuk kedalam sirkulasi sistemik dengan cepat dan sempurna (Nixon,
1984; Shargel dan Andrew, 1988; Voight, 1994), namun pada beberapa tahun
terakhir telah dikembangkan bentuk sediaan baru dengan memodifikasi laju
pelepasan obat secara terkendali. Salah satu produk pelepasan termodifikasi
adalah sediaan lepas lambat (Sustained release). Bentuk sediaan lepas lambat
yang ideal hendaknya melepaskan suatu dosis terapeutik awal (dosis awal) yang
diikuti oleh suatu pelepasan obat yang lambat dan konstan (dosis penjagaan).
Dosis muatan diberikan untuk mendapatkan kadar aman maksimal sehingga
memberikan efek terapi yang cepat dan kemudian diikuti dengan pelepasan obat
secara konstan sampai akhirnya obat tersebut dieksresikan, sehingga konsentrasi
obat dalam plasma yang konstan dapat dipertahankan dengan fluktuasi yang
minimal (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).
Fokus utama dari formulasi sediaan lepas lambat adalah pengendalian
laju pelepasan obat dari suatu produk (Wolny, Gruchlik, Codurek, Szara, et al.,
2012), karena pengontrolan pelepasan obat dari produk yang tidak tepat dapat
mengakibatkan berkurangnya efikasi atau dapat meningkatkan toksisitas (Mei, et
al., 2010) dan beberapa produk berbeda dengan zat aktif yang sama dapat
memberikan laju pelepasan yang berbeda sehingga dapat membahayakan
kesehatan pasien, khusunya untuk obat dengan indeks terapi yang sempit. Selain
itu, suatu sediaan lepas lambat juga memiliki risiko terjadinya kegagalan sistem
yang menyebabkan terjadinya dose dumping (Wolny, Gruchlik, Codurek, Szara,
et al., 2012).
Uji disolusi in vitro merupakan uji yang digunakan untuk mengetahui
profil pelepasan obat yang dapat menggambarkan profil farmakokinetika obat di
dalam tubuh (Lachman, 1994), di mana laju pelepasan obat dalam cairan saluran

1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


2

cerna merupakan salah satu tahapan penentu (rate limiting step) absorpsi sistemik
obat (Sutriyo, dkk., 2005). Dalam bidang farmasi, uji disolusi sangat penting dan
bermanfaat untuk mengkarakterisasi kinerja suatu produk obat, misalnya untuk
menggambarkan kesamaan antara formulasi yang berbeda dari zat aktif dan
produk obat referensi. Selain itu, terdapat korelasi antara uji in vitro dan in vivo
sehingga disolusi dapat digunakan sebagai uji untuk menggambarkan
bioavaibilitas obat pada manusia dan untuk menentukan bioekivalensi produk
berbeda dengan zat aktif yang sama pada suatu sediaan (Wolny, Gruchlik,
Codurek, Szara, et al., 2012).
Profil pelepasan merupakan salah satu bagian yang penting untuk menilai
keberhasilan suatu formulasi sediaan, terutama untuk formulasi sediaan lepas
lambat, di mana pengontrolan laju pelepasan obat merupakan fokus utamanya,
sehingga dengan adanya informasi profil pelepasan obat dapat diketahui kinetika
laju pelepasan obat dan berapa lama waktu yang dibutuhkan obat untuk lepas dari
sediannya. Namun selama ini masih jarang sekali produsen obat yang
memberikan informasi mengenai profil disolusi dalam lembar informasi obat
maupun dalam media lainnya.
Salah satu obat yang banyak dikembangkan dalam bentuk sediaan lepas
lambat dan tersedia di pasaran adalah teofilin. Teofilin (golongan metilxantin)
merupakan terapi lini pertama dalam terapi asma yang berkhasiat dalam terapi
asma bronkial kronik dan reaksi bronkospasme (Riahi S &Mousavi MF, 2005;
Elis EF, 2004). Sediaan teofilin lepas lambat diindikasikan untuk penderita asma
kronik karena gejala asma ini dapat muncul setiap hari. Saluran pernafasan para
penderita asama kronik sangat hiperaktif sehingga memerlukan stabilisasi
sepanjang waktu. Dengan pemberian sediaan teofilin lepas lambat diharapkan
kadar teofilin dalam dalam darah tetap terjaga sepanjang waktu (Krowczynski,
1987). Teofilin merupakan obat dengan indeks terapi yang sempit, yaitu pada
kadar plasma 10-20 g/ml, sementara pada kadar teofilin lebih dari 20 g/ml
dapat menimbulkan efek toksik dan fluktuasi konsentrasi plasma teofilin yang
dapat menyebabkan variasi respon klinis pada pasien (Boswell-Smith, Cazzola,
Page, 2006; Siepmann-Peppas, 2001; Parvesz et al., 2004). Hal tersebut
menandakan bahwa konsentrasi plasma obat akan berpengaruh terhadap

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


3

efektifitas terapi dan toksisitas, di mana profil pelepasan obat mempengaruhi


absorpsi obat serta pencapaian obat ke sirkulasi sistemik sehingga dapat
mempengaruhi konsentrasi plasma obat.
Berdasarkan uraian diatas, evaluasi profil disolusi penting dilakukan
untuk memberikan informasi mengenai profil disolusi tablet lepas lambat teofilin
yang beredar di masyarakat baik kepada instansi terkait dan tenaga kesehatan
maupun masyarakat. Dalam hal ini, evaluasi profil disolusi dilakukan terhadap
dua nama dagang tablet lepas lambat teofilin yang beredar di masyarakat, yaitu
obat A dengan kandungan 300 mg teofilin dan obat B dengan kandungan 250 mg
teofilin untuk mengetahui apakah kedua produk tersebut memiliki profil disolusi
yang sama dan memenuhi syarat pelepasan tablet lepas lambat teofilin menurut
USP XXX, yaitu berdasarkan metode uji disolusi tes satu.

1.2. Rumusan Masalah


1. Bagaimana profil disolusi tablet lepas lambat teofilin yang beredar di
masyarakat?
2. Bagaimana kinetika dan mekanisme pelepasan tablet lepas lambat teofilin
yang beredar di masyarakat?
3. Tablet lepas lambat teofilin manakah yang memiliki profil disolusi yang lebih
baik?

3.1. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi dan membandingkan profil
disolusi tablet lepas lambat teofilin yang beredar di masyarakat dengan
menggunakan metode yang ditetapkan USP XXX tahun 2007, yaitu berdasarkan
metode uji disolusi tes satu.

3.2. Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai profil
disolusi sediaan lepas lambat teofilin yang beredar di mayarakat dan memberikan
masukan kepada instansi terkait dan masyarakat mengenai mutu sediaan lepas
lambat teofilin yang beredar di masyarakat.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sediaan Lepas Lambat


Sediaan obat lepas lambat merupakan suatu sediaan obat yang
memungkinkan paling sedikit pengurangan dua kali frekuensi dosis dibandingkan
obat yang ada sebagai suatu sediaan lepas segera. Suatu sediaan lepas lambat
didesain untuk memberikan suatu dosis zat aktif sebagai terapi awal (dosis
muatan) dan diikuti oleh pelepasan zat aktif yang lebih lambat dan konstan (dosis
penjagaan). Dosis muatan diberikan untuk mendapatkan kadar aman maksimal
sehingga memberikan efek terapi yang cepat dan kemudian diikuti dengan
pelepasan obat secara konstan sampai akhirnya obat tersebut diekskresikan.
Kecepatan pelepasan dosis pemeliharaan didesain sedemikian rupa agar jumlah
zat aktif yang hilang dari tubuh karena eliminasi diganti secara konstan. Dengan
memberikan sediaan lepas lambat, konsentrasi zat aktif dalam plasma dapat
dipertahankan selalu konstan dengan fluktuasi minimal (Shargel, Wu-Pong & Yu,
2005; Siregar dan Wikarsa, 2010).
Profil kadar obat dalam darah terhadap waktu pada sediaan konvensional
dan pada sediaan lepas lambat dapat digambarkan sebagai berikut.

[Sumber: Lachman et al., 1986]


Gambar 2.1. Profil Kadar Obat Dalam Darah Terhadap Waktu dari Bentuk
Sediaan Lepas Lambat yang Ideal

4 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


5

Karakteristik obat yang dapat diproduksi sebagai sediaan pelepasan


dimodifikasi adalah sebagai berikut (Lee et al., 1987):
1. Tidak memiliki absorpsi dan ekskresi yang sangat lambat atau sangat cepat,
dan tidak memiliki waktu paruh terlalu cepat (kurang dari dua jam)
2. Dapat diabsorbsi dengan baik pada jalur gastrointestinal, memiliki kelarutan
yang baik, tidak boleh terlalu larut atau terlalu tidak larut
3. Memiliki dosis terapi yang relatif kecil atau harus lebih kecil dari 0,5 gram
4. Memiliki indeks terapeutik yang lebar antara dosis efektif dan dosis toksik,
sehingga obat dapat dikategorikan aman
5. Tidak menimbulkan dose dumping, yaitu lepasnya sejumlah besar obat
dalam sediaan secara serentak
6. Digunakan lebih baik untuk pengobatan penyakit kronik daripada penyakit
akut.

2.1.1. Tujuan Sediaan Lepas Lambat


Tujuan dari sediaan lepas lambat antara lain (Krowcynsk, 1987;
Remington, 2006):
1. Untuk mengurangi frekuensi pemberian dosis dalam satu hari sehingga
meningkatkan kepatuhan pasien.
2. Peda pemberian obat secara parenteral, maka dapat mengurangi frekuensi
injeksi yang seringkali menyakitkan dan dapat menyebabkan injeksi.
3. Untuk mempertahankan kadar terapi obat untuk jangka waktu yang lebih
lama.
4. Mencegah fluktuasi obat di dalam darah
5. Untuk mengurangi efek samping yang tidak diinginkan akibat konsentrasi
obat yang terlalu tinggi di dalam darah.
6. Pada sediaan oral, dapat mengurangi iritasi mukosa yang terjadi karena
konsentrasi obat yang tinggi di dalam saluranan pencernaan.

Namun, tujuan pembuatan bentuk sediaan lepas lambat pada umumnya


adalah mempertahankan konsentrasi zat aktif dalam darah atau jaringan untuk
periode waktu yang diperpanjang. Hal tersebut dapat dicapai dengan mencoba
memperoleh bentuk sediaan dengan kinetika orde nol. Kinetika pelepasan orde nol

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


6

menunjukkan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan tidak bergantung pada
jumlah zat aktif dalam sistem pemberian, atau dapat dikatakan kecepatan
pelepasaannya konstan. Sistem lepas lambat pada umumnya tidak menunjukkan
tipe pelepasan ini, tetapi biasanya meniru kinetika pelepasan orde nol dengan
menyediakan zat aktif dengan pelepasan orde satu yang lambat, yaitu bergantung
pada konsentrasi (Banker dan Rhodes, 1990).

2.1.2. Keuntungan dan Kerugian Sediaan Lepas Lambat


Kelebihan atau manfaat sediaan lepas lambat antara lain (Shargel, Wu-
Pong & Yu, 2004; Robinson and Lee, 1987):
1. Memberikan konsentrasi dan menghasilkan respon klinis yang diperpanjang
dan konstan pada pasien. Hal tersebut dapat memperbaiki efisiensi
pengobatan, yakni optimasi terapi.
2. Memperbesar jarak waktu pemberian yang diperlukan, sehingga dapat
mengurangi jumlah total dosis yang diperlukan per hari dan mengurangi
jumlah total dosis yang diperlukan per hari dan menghindari pemberian obat
pada malam hari. Hal tersebut dapat meningkatkan kepatuhan pasien
3. Mengurangi fluktuasi konsentrasi obat dalam darah.
4. Mengurangi iritasi saluran cerna dan efek samping lain yang berkaitan
dengan dosis.
5. Memberikan keuntungan ekonomis bagi pasien.

Selain itu, bentuk sediaan lepas lambat juga memiliki kekurangan,


diantaranya (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2004; Aulton, 1990):
1. Harga per unit yang pada umumnya lebih mahal daripada bentuk sediaan
konvensional dengan bahan aktif yang sama.
2. Memperlihatkan abosorbsi obat yang berubah-ubah karena berbagai interaksi
obat dengan kandungan saluran cerna dan mengubah motilitas saluran cerna.
3. Jika terjadi reaksi obat yang merugikan (adverse drug reaction) atau
keracunan, pembersihan obat lebih sulit daripada sediaan konvensional.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


7

4. Hanya didesain untuk populasi normal, sehingga keadaan penyakit yang


mengubah disposisi obat (ekskresi dan metabolisme) serta variasi pasien yang
signifikan tidak diperhitungkan.
5. Tidak semua jenis zat aktif dapat diformulasi ke dalam bentuk sediaan lepas
lambat.

2.1.3. Klasifikasi Sediaan Lepas Lambat


Berdasarkan mekanisme pelepasan zat aktif, maka sediaan lepas lambat
dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Sulistiawati, 2006).
1. Sistem pelepasan dengan difusi terkendali
Pada sistem ini kecepatan pelepasan obat melalui membran penghalang inert.
Ada dua tipe yang dikenal yaitu sistem depot (reservoir) dan sistem matriks.
Sistem depot terdiri dari suatu inti obat dan suatu depot yang dikelilingi oleh
membran polimer. Sedangkan sistem matriks terdiri dari obat yang terdispersi
homogen dalam matriks. Ada dua jenis matriks yaitu matriks lipofilik (tidak
mengembang) dan matriks hidrofilik (mengembang).
2. Sistem pelepasan dengan disolusi terkendali
Sistem ini bekerja dengan mengendalikan laju pelarutan obat. Umumnya hal
tersebut dicapai dengan mengurangi laju pelarutan melalui pembentukan
garam atau turunannya, menyalut obat dengan bahan yang lambat larut atau
memuat bentuk sediaan dengan bahan yang lambat melarut.
3. Sistem pelepasan dengan erosi matriks (bioerodibel) dan kombinasi difusi
dan erosi
4. Sistem pelepasan berdasarkan respon terhadap rangsang
5. Sistem ini dibagi menjadi dua. Pertama, sistem pelepasan terkendali
berdasarkan respon terhadap rangsang dari luar. Pada sistem ini laju
pelepasan obat dikendalikan oleh pengaruh lingkungan, seperti tekanan
osmotik, tekanan uap, gaya mekanik, sifat magnetik, perbedaan medan
listrik, pH, ion, enzim, proses hidrasi dan hidrolisis. Kedua, sistem pelepasan
terkendali dengan mekanisme umpan balik. Pada sistem ini pelepasan obat
diatur oleh konsentrasi zat-zat biologis tertentu dalam tubuh melalui

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


8

mekanisme umpan balik. Contoh: pengendalian pelepasan insulin oleh kadar


glukosa darah.

2.2. Disolusi
2.2.1. Definisi
Disolusi merupakan proses dimana sutu bahan kimia atau obat menjadi
terlarut dalam suatu pelarut. Dalam sistem biologis, disolusi obat di dalam
medium cair merupakan kondisi yang mempengaruhi absorbsi sistemik. Laju
disolusi obat-obat dengan kelarutan dalam air yang sangat kecil akan
mempengaruhi laju absorbsi sistemik obat (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).
Noyes dan Whitney menyatakan bahwa tahap disolusi meliputi proses
pelarutan obat pada permukaan partikel padat, yang membentuk larutan jenuh di
sekeliling partikel. Obat yang terlarut dalam larutan jenuh, yang disebut stagnant
layer, berdifusi ke pelarut dari daerah dengan konsentrasi obat tinggi ke daerah
dengan konsentrasi rendah. Keseluruhan laju disdolusi dapat digambarkan oleh
Persamaan Noyes-Whitney (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005):

dM/dt = (D S / h) ( Cs-Cb) ................................................................. (2.1.)

Keterangan: dM/dt = laju pelarutan obat pada waktu t


M = jumlah masa terlarut (mg atau mmol) terhadap t waktu (detik)
D = koefisien laju difusi (cm2/s)
S = luas permukaan partikel (cm2)
h = ketebalan dari lapisan film cair (stagnant layer) yang terbentuk
Cs =konsentrasi obat (sama dengan kelarutan obat) dalam stagnant layer
Cb =konsentrasi obat dalam bagian terbesar pelarut

Dalam banyak uji disolusi kosentrasi pada bulk medium selalu jauh lebih
kecil dibandingkan dengan larutan jenuh (Cs>>Cb). Kondisi ini disebut kondisi
hilang atau sink condition (Mansoor & Beverly, 2003), sehingga Cb bisa
dihilangkan dari persamaan 2.1., sehingga persamaan Noyes-Whitney menjadi
sama dengan persamaan hukum difusi Fick pertama.

dM/dt = DSCs / h ..................................................................... (2.2.)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


9

Persamaan Noyes-Whitney memperlihatkan bahwa pelarutan dalam labu


dapat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia obat, formulasi, dan pelarut. Obat dalam
tubuh, terutama dalam saluran cerna dianggap melarut dalam suatu lingkungan
aqueous. Penetrasi obat melintasi dinding usus dipengaruhi oleh kemampuan
obat berdifusi (D) dan partisi antar membran lipid. Suatu koefisien partisi yang
mendukung (Kminyak/air) akan memudahkan absorpsi obat. Faktor-faktor yang
mempengaruhi disolusi obat dari suatu bentuk sediaan oral padat meliputi (1) sifat
fisika dan kimia bahan obat aktif, (2) sifat bahan tambahan, dan (3) metode
fabrikasi (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).

2.2.2. Uji Disolusi In vitro


Uji disolusi merupakan suatu prosedur kendali kualitas yang penting
untuk produk obat dan sering dikaitkan dengan tampilan produk in vitro. Uji
disolusi dan pelepasan obat merupakan uji in vitro yang mengukur kecepatan dan
tingkat disolusi atau pelepasan komponen obat dari sediaan, biasanya pada
medium cair di bawah kondisi spesifik (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).
Uji disolusi secara in vitro dapat digunakan untuk meramalkan
ketersediaan hayati dan dapat digunakan untuk membedakan perumusan faktor-
faktor yang mempengaruhi bioavailabilitas obat dan sering digunakan untuk
pemantauan stabilitas produk obat dan pengendalian kualitas proses fabrikasisuatu
produk obat (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).
USP-NF (United States Pharmacopeia) mengatur standar untuk uji
disolusi dan pelepasan obat dari sebagian besar produk obat dari sebagian besar
produk obat. Idealnya, metode disolusiin vitroyang digunakan untuk suatu produk
obat tertentu berkorelasi dengan bioavabilitas obat in vivo. Selain itu, metode
disolusi hendaknya mampu membedakan perubahan dalam formulasi produk obat,
di mana uji disolusi dan pelepasan obat menjadi komponen yang penting dalam
pengendalian kualitas dalam proses fabrikasi suatu produk obat yang digunakan
untuk (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005):
1. Keseragaman pelepasan obat dari batch ke batch
2. Stabilitas

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


10

3. Scale up dan perubahan setelah persetujuan (SUPAC-scale up and


postapproval changes)
4. Prediksi tampilan in vivo

Uji disolusi merupakan suatu alat yang penting dalam pengembangan


formulasi, karena suatu metode disolusi yang sesuai dapat mengungkap suatu
masalah formulasi pada suatu produk obat yang dapat mengakibatkan
permasalahan bioavabilitas. Setiap metode disolusi spesifik untuk produk obat dan
formulasinya, sehingga uji disolusi hendaknya mampu membedakan antara
formulasi obat yang dapat diterima dan tidak dapat diterima sebagaimana teramati
oleh perbedaan laju disolusi obat di bawah kondisi percobaan yang sama dan
mampu menggambarkan perubahan formulasi, proses fabrikasi, dan karakteistik
fisika dan kimia obat, seperti ukuran partikel, polimorf dan luas pemukaan.
Pengembangan uji disolusi yang tepat mengharuskan peneliti untuk
mencoba laju pengadukan yang berbeda, media yang berbeda (mencakup volume
dan pH media), dan macam alat pelarutan yang berbeda (Tabel 2.1.). USP-NF
terkini mencantumkan alat disolusi resmi. Setelahhasil uji disolusi yang diperoleh,
kriteria disolusi yang dapat diterima dikembangkan untuk produk obat dan
formulasinya. Kriteria atau spesifikasi ini digunakan untuk menyelidiki masalah
formulasi (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).

Tabel 2.1. Kondisi yang Dapat Mempengaruhi Pelarutan dan Pelepasan Obat
Bahan obat
- Ukuran partikel - Luas permukaan
- Polimorf - Stabilitas kimia dalam media pelarutan
Media
- Volume - Molaritas
- pH - Ko-solven, enzim/surfaktan yang
ditambahkan
Suhu media
Peralatan
Formulasi produk obat
- Bahan tambahan (lubrikan, bahan
pensuspensi, dll)
Hidrodinamika
- Laju pengadukan - Penempatan tablet dalam wadah
- Bentuk wadah pelarutan Sinker (untuk produk obat floating dan
produk yang menempel pada sisi wadah)
[Sumber: Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005]

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


11

Ukuran dan bentuk wadah dapat mempengaruhi laju dan tingkat


pelarutan. Sebagai contoh, wadah dapat mempunyai rentang ukuran dari beberapa
mililiter sampai beberapa liter. Bentuk wadah dapat mempunyai alas bulat atau
datar, sehingga dalam percobaan yang berbeda, tablet dapat berada dalam posisi
yang berbeda. Volume media yang lazim 500-1000 ml. Obat-obat dengan
kelarutan dalam air yang kecil memerlukan penggunaan wadah yang berkapasitas
sangat besar (sampai 2000 ml) untuk mengamati pelarutan/disolusi yang
bermakna. Pada beberapa kasus, 1% natrium lauril sulfat (SLS) dapat digunakan
sebagai media disoluai untuk obat yang tidak larut air. Kondisi sink adalah suatu
istilah yang merujuk pada suatu volume media yang berlebih yang memungkinkan
obat padat untuk melarut secara terus-menerus. Jika larutan obat menjadi jenuh,
pelarutan obat lebih lanjut tidak akan terjadi. Menurut USP-NF, jumlah media
yang digunakan hendaknya tidak lebih dari tiga kali dari yang diperlukan untuk
membentuk larutan jenuh dari bahan obat (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).
Jumlah pengadukan dan sifat pengaduk mempengaruhi hidrodinamika
sistem, sehingga mempengaruhi laju disolusi. Kecepatan pengadukan harus
dikendalikan dan produk obat memiliki spesifikasi berbeda. Laju pengadukan
rendah (50-75 rpm) lebih membedakan faktor formulasi yang mempengaruhi
pelarutan dibanding laju pengadukan yang lebih tinggi. Akan tetapi, laju
pengadukan yang lebih tinggi diperlukan untuk beberapa formulasi khusus untuk
memperoleh laju pelarutan reprodusibel. Suspensi yang mengandung bahan kental
atau pengental dapat mengendap dalam suatu daerah cone shape difusi terkendali
dalam labu bila laju pengadukan terlalu lambat. Suhu media pelarutan harus
dikendalikan, dan perbedaan suhu harus dihindarkan. Sebagian besar uji disolusi
dilakukan pada 37oC. Namun, untuk produk transdermal, suhu yang
direkomendasikan adalah 32oC (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).
Sifat media disolusi juga akan mempengaruhi uji disolusi. Kelarutan
maupun jumlah obat dalam sediaan harus dipertimbangkan. Media pelarutan
hendaknya tidak jenuh dengan obat. Dalam uji seperti itu biasanya digunakan
suatu volume media yang lebih besar daripada jumlah pelarut yang diperlukan
untuk melarutkan obat secara sempurna. Media mana yang terbaik merupakan
suatu persoalan yang diperdebatkan. Media disolusi dalam beberapa uji pelarutan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


12

USP adalah air yang mengalami deaerasi atau jika didukung oleh karakteristik
kelarutan obat atau formulasi (pH 4-8) atau HCl encer. Kemaknaan dari deaerasi
media harus ditetapkan. Beberapa peneliti telah menggunakan HCl 0,1 N, dapar
fosfat, cairan lambung tiruan, air dan cairan usus tiruan tergantung pada sifat
produk obat dan lokasi dalam saluran cerna di mana diperkirakan obat akan
melarut (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).
Rancangan alat disolusi, bersama faktor-faktor yang digambarkan di atas,
mempunyai pengaruh pada hasil uji disolusi. Tidak satu pun alat uji yang dapat
digunakan untuk seluruh produk obat. Tiap produk obat harus diuji secara
individual dengan uji disolusi yang memberikan korelasi yang paling baik dengan
biavabilitas in vivo (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).
Biasanya, laporan uji disolusi akan menyatakan suatu persentase tertentu
dari jumlah obat yang tertera dalam label produk obat yang harus melarut dalam
suatu selang waktu tertentu. Dalam praktik, jumlah absolut obat dalam produk
obat dari tablet yang satu dengan yang lain dapat bervariasi. Oleh karena itu,
untuk mendapatkan suatu laju pelarutan yang mewakili produk biasanya diuji
sejumlah tablet dari tiap lot (Shargel, Wu-Pong & Yu, 2005).

2.2.3. Kriteria Penerimaan Hasil Uji Disolusi


Kecuali dinyatakan lain dalam masing-masing monografi, persyaratan
dipenuhi jika jumlah zat aktif terlarut dari unit yang diuji memenuhi Tabel
penerimaan. Pengujian dilanjutkan hingga tiga tahap kecuali jika hasil sudah
memenuhi pada tingkat L1 atau L2. Batas jumlah zat aktif terlarut dinyatakan
dalam batasan persentase terhadap jumlah yang tertera pada etiket. Batas meliputi
tiap harga Q1, jumlah zat aktif terlarut pada tiap interval penetapan fraksi terlarut
yang ditetapkan (Ditjem POM, 1995 & The United State Pharmacopeia
Convention, 2014).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


13

Tabel 2.2. Penerimaan Hasil Uji Disolusi Sediaan Lepas Lambat


Tingkat Jumlah
Kriteria
Pengujian yang Diuji
Tidak satu nilaipun yang terletak di luar rentang penerimaan yang
L1 6 dinyatakan dan tidak satupun nilai yang kurang dari jumlah yang
dinyatakan pada waktu penetapan akhir.
Nilai rata-rata dari 12 unit sediaan (L1 + L2) terletak dalam tiap
rentang penerimaan yang dinyatakan dan tidak kurang dari jumlah
yang dinyatakan pada waktu pengujian akhir; tidak satupun yang
L2 6 lebih 10% dari jumlah yang tertera pada etiket di luar tiap rentang
penerimaan yang dinyatakan; dan tidak ada satupun yang lebih 10%
dari jumlah yang tertera pada etiket di bawah jumlah yang
dinyatakan pada waktu pengujian akhir.
Nilai rata-rata dari 24 unit sediaan (L1 + L2 + L3) terletak dalam tiap
rentang penerimaan yang dinyatakan dan tidak kurang dari jumlah
yang dinyatakan pada waktu pengujian akhir; tidak lebih dari 2 dari
24 unit sediaan yang diuji lebih dari 10% dari jumlah yang tertera
L3 12 pada etiket di bawah jumlah yang dinyatakan pada waktu pengujian
akhir; dan tidak satupun dari seluruh unit yang diuji lebih dari 20%
dari jumlah yang tertera pada etiket di luar tiap rentang yang
dinyatakan atau lebih dari 20% dari jumlah yang tertera pada etiket
di bawah jumlah yang dinyatakan pada pengujian akhir.
[Sumber: Ditjem POM, 1995& The United State Pharmacopeia Convention, 2014]

2.2.4. Uji Disolusi Sediaan Lepas Lambat Teofilin


USP 30 (2007) telah mengatur peralatan, kondisi dan penerimaan uji
disolusi tablet lepas lambat teofilin untuk pendosisan tiap 12 jam dan 24 jam.
Tercatat sebanyak 10 metode uji disolusi tablet lepas lambat teofilin yang
ditetapkan USP 30 untuk memenuhi salah satu persyaratan izin edar sebagaimana
yang ditetapkan oleh FDA. Untuk peralatan, kondisi dan penerimaan uji disolusi
tablet lepas lambat teofilin dengan pendosisan tiap 12 jam lebih rinci dijelaskan
dalam Tabel 2.3. dan 2.4.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


14

Tabel 2.3. Peralatan dan Kondisi Uji Disolusi Tablet Lepas Lambat Teofilin
Pendosisan Tiap 12 Jam menurut USP 30

Volume Suhu Kecepatan Detector


pH
Tes Medium medium medium Apparatus pengadukan UV
medium
(ml) (oC) (rpm) (nm)
HCl (jam ke-1) 1,2
1 900 370,5 2 50 271
Fosfat (jam ke 2-8) 6,0
2 Fosfat 4,5 900 370,5 2 75 271
HCl (jam ke-1) 1,2
3 900 370,5 2 50 271
Fofat (jam ke 2-8) 7,5
Fosfat ( 3,5 jam) 3,0
4 900 370,5 2 50 271
Fosfat (jam ke 3,6-5) 7,4
Fosfat ( 3,5 jam) 3,0
5 900 370,5 2 50 271
Fosfat (jam ke 3,6-10) 7,4
7 Fosfat + octocynol 9 4,5 900 370,5 2 50 271
8 Fosfat 7,5 900 370,5 1 100 271
HCl 0,1 N (jam ke-1)
9 7,5 900 370,5 1 50 271
Fosfat (jam ke 2-6)

HCl (jam ke-1) 1,2


10 900 370,5 2 50 271
Fofat (jam ke 2-8) 7,5

Tabel 2.4. Rentang penerimaan kadar hasil uji disolusi tablet lepas lambat
teofilin pendosisan tiap 12 jam menurut USP 30
Waktu Tes
(jam) 1 2 3 4 5 7 8 9 10
1 3-15 10-30 1-17 13-38 10-30 10-40 3-30 5-15 6-27
2 20-40 30-55 30-60 25-50 35-70 15-50 25-45 25-50
3 50-90 50-65
3,5 37-65 30-60 60-90 45-80 65-85
4 50-75 55-80 65 70
5 85-115 50-80
6 65-100 70 85
7 80 65
8 80 80 85 85 80
9
10 80
Keterangan: penerimaan kadar dalam satuan persen (%)

2.3. Kinetika Pelepasan Obat


Kinetika pelepasan zat aktif dari suatu sediaan yang pelepasannya
dimodifikasi dapat diperoleh dengan menggunakan persamaan Higuchi, orde nol,
orde satu, dan Korsmeyer-Peppas (Koester, Ortega, Mayorga, dan Bassani, 2004).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


15

Rangkuman rumus keempat model matematika ditunjukkan pada tabel 2.5


berikut.
Tabel 2.5. Rumus Perhitungan Kinetika Obat

Persamaan y = a + bx
Orde nol Mt/Mo = k0.t
Orde satu Log (100- Mt/Mo) = log 100 k1.t/2,303
Higuchi Mt/Mo= kH.t1/2
Korsmeyer-Peppas ln Mt/Mo= log k + n log t
[Sumber: Wicaksono, Hendradi & Radjaram, 2005; Siepmann & Peppas, 2001; Dash et al., 2010]

Keterangan: Mt = jumlah obat terlarut pada waktu tertentu (%)


Mo = jumlah obat mula-mula dalam larutan, biasanya M0=0 (%)
Mt/Mo = Jumlah obat yang dilepaskan pada waktu t (%)
k0, k1, kH, k = konstanta pelepasan obat
t = waktu (menit)
n = eksponen difusi obat

2.3.1. Kinetika Pelepasan Orde Nol


Disolusi obat dari bentuk sediaan lepas lambat idealnya mengikuti
kinetika orde nol yaitu pelepasan obatnya konstan dari awal sampai akhir (Dash et
al., 2010). Pelepasan obat yang mengikuti kinetika orde nol terjadi melalui
mekanisme erosi. Kinetika ini menggambarkan suatu sistem dimana kecepatan
pelepasan zat aktif yang konstan dari waktu ke waktu tanpa dipengaruhi oleh
konsentrasi zat aktif. Persamaan orde nol diperoleh dari plot persen obat
terdisolusi sebagai fungsi waktu (Wicaksono, Hendradi & Radjaram, 2005;
Koester, Ortega, Mayorga, dan Bassani, 2004).
Kinetika pelepasan orde nol terjadi pada sediaan yang tidak mengalami
disintegrasi seperti sistem penghantaran transdermal, implan, serta sistem
penghantaran lepas terkontrol secara oral (Sinko, 2006).

2.3.2. Kinetika Pelepasan Orde Satu


Pelepasan obat yang mengikuti kinetika orde satu terjadi secara difusi.
Persamaan orde satu diperoleh dari plot log persen sisaobatsebagai fungsi
waktu(Wicaksono, Hendradi & Radjaram, 2005). Kinetika ini menggambarkan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


16

sistem dimana pelepasan zat aktif bergantung pada konsentrasi di dalamnya


(Koester, Ortega, Mayorga, dan Bassani, 2004).
Profil kinetika orde satu ini misalnya dapat dijumpai pada bentuk sediaan
farmasetik yang berisi obat larut air dalam matriks berpori (Mulye dan Turco,
1995), dimana obat yang terlepas sebanding dengan jumlah obat mula-mula dalam
sediaan (Mouzam et al., 2011).

2.3.3. Kinetika Model Higuchi


Higuchi mendeskripsikan pelepasan obat yang terdispersi dalam matriks
tidak larut air sebagai proses difusi. Pelepasan obat yang mengikuti mekanisme
difusi terdapat hubungan linear antara jumlah obat yang dilepaskan terhadap akar
waktu, yang berarti bahwa pelepasan zat aktif dipengaruhi oleh waktu, sehingga
semakin lamazat aktif akan dilepaskan dengan kecepatan rendah yang disebabkan
oleh jarak difusi zat aktif semakin panjang (Siepmann & Peppas, 2001; Banakar,
1992). Jika plot akar waktu terhadap jumlah kumulatif obat terdisolusi
menghasilkan garis lurus dan slopenya (KH)1 atau lebih dari 1, pelepasan obat dan
bentuk sediaan khusus diasurnsikan mengikuti kinetika Higuchi (Mouzam et al.,
2011).

2.3.4. Kinetika Model Korsmeyer-Peppas


Korsmeyer menurunkan hubungan sederhana yang mendeskripsikan
pelepasan obat dari sistem polimer. Dalam menemukan mekanisme pelepasan
obat, data pelepasan obat 60% yang pertama dimasukkan dalam persamaan
Korsmeyer-Peppas. Persamaan Korsmeyer-Peppas diperoleh dari plot log persen
obat terdisolusi sebagai fungsi log waktu (Dash et al., 2010). Pada persamaan
Korsmeyer-Peppas, harus diperhatikan nilai n (eksponen pelepasan) yang
menggambarkan mekanisme pelepasan. Untuk sediaan dengan matriks silindris
seperti tablet, hubungan n dengan mekanisme pelepasan obat dapat dilihat pada
tabel 2.6.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


17

Tabel 2.6. Hubungan Eksponen Pelepasan (n) dengan Mekanisme Pelepasan


n (eksponen pelepasan) Mekanisem Pelepasan
< 0,45 Fickian diffusion
0,45 <n< 0,89 Anomalous (non-fickian) transport
> 0,89 Super case-II transport
[Sumber: Shoaib, Merchat, Tazeen, dan Yousuf, 2006]

Kinetika Korsmeyer Peppas bergantung nilai n. Untuk tablet dengan


matriks silindris, jika nilai n<0,45 maka pelepasan obat terjadi berdasarkan
mekanisme difusi fickian. Akan tetapi jika 0,45<n<0,89 maka pelepasan obat
berdasarkan difusi non-fickian atau anomali, yang menggambarkan pelepasan
obat dikendalikan oleh gabungan difusi dan erosi. Jika nilai n = 0,89 maka
mekanisme pelepasan obat mengikuti orde nol atau disebut juga case II transport,
yang menggambarkan pelepasan obat terjadi akibat erosi polimer matriks. Jika
n>0,89 maka pelepasan obat disebut dengan mekanisme pelepasan obat disebut
dengan mekanisme super case II transport (Shoaib, Merchant, Tazeen, dan
Yousuf, 2006).

Pada sediaan dengan pelepasan dimodifikasi, terdapat aturan untuk


menyatakan jumlah obat terlarut dengan penggunaan sediaan suatu obat yang
dihubungkan melalui frekuensi atau interval pemberian obat, yaitu seperti
ditunjukkan pada Tabel 2.7. Kriteria penerimaan uji disolusi untuk tablet lepas
terkendali adalah sebagai berikut (Banakar, 1992):
1. Pada waktu yang setara dengan 0,25 D : 20-45% terlarut (Q0,25)
2. Pada waktu yang setara dengan 0,5 D: 45-75% terlarut (Q0,5)
3. Pada waktu hingga 1,0 D : tidak kurang dari 75% terlarut (Q1,0)
Dimana D adalah frekuensi dosis lazim yang tertera pada label atau
interval pemberian dosis.

Tabel 2.7. Syarat Obat Terlarut Sediaan Lepas Terkendali


Q Persen Obat Terlarut
Q0,25 2045%
Q0,5 4575%
Q1,0 > 75%

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


18

2.4. Teofilin
2.4.1. Sifat Fisikokimia

[Sumber: Ditjen POM, 1995]


Gambar 2.2 Struktur Teofilin

Teofilin mengandung satu molekul air hidrat atau anhidrat. Teofilin


memiliki nama kimia 1,3dimethyl-3,7dihydro-1Hpurine-2,6-dione dengan
berat molekul 180,17. Mengandung tidak kurang dari 97% dan tidak lebih dari
102,0% C7H8N4O2dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan. Teofilin
merupakan serbuk hablur putih, tidak berbau, rasa pahit danmantap di udara.
Teofilin sukar larut dalam air tetapi lebih mudah larut dalam air panas, mudah
larut dalam larutan alkali hidroksida dan dalam amonium hidroksida, agak sukar
larut dalam etanol dalam kloroform dan dalam eter. Teofilin memiliki nilai pKa
sebesar 8,6. Penyimpanannya dilakukan dalam wadah tertutup rapat (Ditjen POM,
1995; Merck and Co, 1983).

2.4.2. Mekanisme Kerja


Mekanisme kerja teofillin menghambat enzim nukleotida siklik
fosfodiesterase (PDE). PDE mengkatalisis pemecahan AMP siklik menjadi 5-
AMP dan GMP siklik menjadi 5-GMP. Penghambatan PDE menyebabkan
penumpukan AMP siklik dan GMP siklik, sehingga meningkatkan tranduksi
sinyal melalui jalur ini. Teofilin merupakan suatu antagonis kompetitif pada
reseptor adenosin, kaitan khususnya dengan asma adalah pengamatan bahwa
adenosin dapat menyebabkan bronkokonstriksi pada penderita asma dan
memperkuat mediator yang diinduksi secara imunologis dari sel must paru-paru
(Goodman & Gilman, 2007). Teofilin merupakan perangsang SSP yang kuat,
merelaksasi otot polos terutama bronkus (Ganiswarna, 1995).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


19

2.4.3. Farmakokinetik
Teofilin [(3,7-dihidro-1,3-di-metilpurin-2,6-(1H)-dion] atau 1,3-
dimetilxantin salah satu obat yang memiliki indeks terapi sempit yaitu 8-15 mg/L
darah. Potensi toksisitasnya telah diketahui berhubungan dengan kadar teofilin
utuh dalam darah yaitu >20 mg/L (Dollery, 1991). Rasio ekstraksi hepatik teofilin
termasuk rendah, yakni 0,09 (Shargel, Wu-Pong& Yu, 2005), oleh karena itu,
efek potensialnya ditentukan oleh keefektifan sistem oksidasi sitokrom P450 di
dalam hati (Dollery, 1991). Menurut Rahmatini,dkk. (2004) teofilin
dimetabolisme oleh enzim mikrosom hepar sitokrom P450 CYP 1A2.
Teofilin diabsorbsi dengan cepat dan sempura, sehingga kadar puncak
serum dicapai kira-kira hanya 1-2 jam setelah penggunaan oral. Volume
distribusinya mencapai 0,5 L/kg dan mengikuti model 2 kompartemen. Pada berat
badan ideal, klirens teofilin rata-rata 0,04 L/kg/hari. Tetapi, sebenarnya angka ini
sangatlah bervariasi karena banyak hal yang dapat meningkatkannya, seperti
kondisi obesitas, merokok, diet dan penyakit hati. Begitu juga dengan t1/2 nya,
dimana pada pasien dewasa mencapai 8 jam (Winter, 2004).

2.4.4. Dosis dan Cara Pemberian Obat


Sediaan lepas lambat teofilin diberikan dengan cara: (1) Sediaan dalam
bentuk kapsul lepas lambat dapat dibuka dan dapat dicampurkan dengan makanan
yang lunak dan tidak panas, misalnya: puding, telan segera dan jangan dikunyah,
tidak direkomendasikan untuk membagi-bagi isi kapsul. (2) Jangan memecah atau
mengunyah sediaan lepas lambat. (3) Untuk menjaga konsistensi kadar obat
dalam darah, sediaan lepas lambat harus selalu diminum sebelum makan, atau
selalu setelah makan.
Dosis pemeliharaan untuk teofilin non-sustained release adalah 200-300
mg, 3-4 kali sehari atau 200-400mg, 2 kali sehari untuk sediaan sustained
released (Winter, 2004).

2.4.5. Efek Samping


Efek samping teofilin merupakan kelanjutan dari efek farmakologik.
Pada kadar serum sekitar 10 g/ml yang merupakan efek terapi, pada beberapa

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


20

orang telah timbul efek samping ringan seperti mual, kadang- kadang muntah atau
sakit kepala. Pada kadar di atas 15 g/ml efek samping menjadi lebih berat,
seperti takikardi, sedangkan di atas 20 g/ml dapat terjadi konvulsi (Sukasediati,
1988).
Efek samping terpenting berupa mual dan muntah, baik pada penggunaan
oral maupun rektal atau parenteral. Pada dosis berlebih terjadi efek-efek sentral
(gelisah, sukar tidur, tremor,dan konvulsi) dan gangguan pernafasan, juga efek
kardiovaskuler seperti takikardia, aritmia, dan hipotensi. Anak kecil sangat peka
terhadap efek samping teofilin(Tjay dan Raharja, 2007).

2.4.6. Stabilitas Penyimpanan


Stabilitas: sediaan eliksir dan tablet atau kapsul lepas lambat harus
disimpan dalam suhu 25C. Jangan gunakan larutan jika terjadi perubahan warna
atau terdapat kristal dalam larutan (Drug Information Handbook International
2008-2009)

2.5. Spektrofotometer
2.5.1. Spektrofotometer UV-Vis
Spektrofotometer serapan merupakan pengukuran suatu interaksi antara
radiasi elektromagnetik dan molekul atau atom dari suatu zat kimia. Teknik yang
sering digunakan dalam analisis farmasi meliputi spektrofotometri ultraviolet,
cahaya tampak, infra merah dan serapan atom. Jangkauan panjang gelombang
untuk daerah ultraviolet adalah 190-380 nm, daerah cahaya tampak 380-780 nm,
daerah inframerah dekat 780-3000 nm, dan daerah inframerah 2,5-40 m atau
4000-250 cm-1 (Ditjen POM, 2014).
Radiasi ultraviolet dan sinar tampak diabsorpsi oleh molekul organik
aromatik, molekul yang mengandung elektron- terkonjugasi dan atau atom
dengan elektron-n yang menyebabkan transisi elektron di orbital terluarnya dari
tingkat energi elektron dasar ke tingkat energi elektron tereksitasi lebih tinggi.
Besarnya serapan radiasi tersebut sebanding dengan banyaknya molekul analit
yang mengabsorpsi sehingga dapat digunakan untuk analisis kuantitatif
(Satiadarma, dkk., 2004).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


21

Gugus fungsi yang menyerap radiasi di daerah ultraviolet dekat dan


daerah tampak disebut gugus kromofor dan hampir semua gugus ini mempunyai
ikatan tak jenuh. Pada kromofor jenis ini transisi terjadi dari *, yang
menyerap pada panjang gelombang maksimum kecil dari 200 nm, misalnya pada
>C=C< dan C C. Kromofor ini merupakan tipe transisi dari sistem yang
mengandung elektron pada orbital molekulnya. Untuk senyawa yang
mempunyai sistem konjugasi, perbedaan energi antara keadaan dasar dan keadaan
tereksitasi menjadi lebih kecil sehingga penyerapan terjadi pada panjang
gelombang yang lebih besar (Dachriyanus, 2004).
Gugus fungsi seperti OH, -O, -NH2, -Cl, dan OCH3 yang mempunyai
elektron-elektron valensi bukan ikatan (memberikan transisi n *) disebut
gugus auksokrom yang tidak dapat menyerap radiasi ultraviolet-sinar tampak,
tetapi apabila gugus ini terikat pada gugus kromofor mengakibatkan pergeseran
panjang gelombang ke arah yang lebih besar (pergeseran batokromik) dengan
intensitas yang lebih kuat. Efek hipsokromik adalah suatu pergeseran pita serapan
ke panjang gelombang lebih pendek, yang sering kali terjadi bila muatan positif
dimasukkan ke dalam molekul dam bila pelarut berubah dari non-polar ke pelarut
polar (Dachriyanus, 2004; Rohmandan Sudjaji, 2007).
Menurut Rohman dan Sudjaji (2007), hal-hal yang harus diperhatikan
dalam analisis spektofotometri ultraviolet adalah:
1. Pemilihan panjang gelombang
Panjang gelombang yang digunakan untuk analisis kuantitatif adalah
panjang gelombang yang mempunyai absorbansi maksimal. Untuk
memperoleh panjang gelombang maksimum, dilakukan dengan membuat
kurva hubungan antara absorbansi dengan panjang gelombang dari suatu
larutan baku pada konsentrasi tertentu. Ada beberapa alasan mengapa harus
menggunakan panjang gelombang maksimal, yaitu :
a. Pada panjang gelombang maksimal, kepekaannya juga maksimal karena
pada panjang gelombang maksimal tersebut, perubahan absorbansi untuk
setiap satuan konsentrasi adalah yang paling besar.
b. Disekitar panjang gelombang maksimal, bentuk kurva absorbansi datar
dan pada kondisi tersebut hukum Lambert-Beer akan terpenuhi.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


22

c. Jika dilakukan pengukuran ulang maka kesalahan yang disebabkan oleh


pemasangan ulang panjang gelombang akan kecil sekali, ketika digunakan
panjang gelombang maksimal.
2. Pembuatan kurva baku
Dibuat seri larutan baku dari zat yang akan dianalisis dengan berbagai
konsentrasi. Masing-masing absorbansi larutan dengan berbagai konsentrasi
diukur, kemudian dibuat kurva yang merupakan hubungan antara absorbansi
dengan konsentrasi.Bila hukum Lambert-Beer terpenuhi maka kurva kalibrasi
merupakan garis lurus.
3. Pembacaan absorbsi sampel atau cuplikan
Absorban yang terbaca pada spektrofotometer hendaknya antara 0,2
sampai 0,8. Anjuran ini berdasarkan anggapan bahwa kesalahan dalam
pembacaan T adalah 0,005 atau 0,5% (Rohman dan Sudjaji, 2007).

2.5.2. Hukum Lambert-Beer


Menurut Hukum Lambert, serapan berbanding lurus terhadap ketebalan
sel yang disinari. Menurut Hukum Beer, yang hanya berlaku untuk cahaya
monokromatik dan larutan yang sangat encer, serapan berbanding lurus dengan
konsentrasi (banyak molekul zat). Kedua pernyataan ini dapat dijadikan satu
dalam Hukum Lambart-Beer, sehingga diperoleh bahwa serapan berbanding lurus
terhadap konsentrasi dan ketebalan sel, yang dapat ditulis dalam persamaan:

A = a.b.c g/liter atau A = .b.c .......................................................... (2.3.)

Keterangan : A = serapan (tanpa dimensi)


a = absoptivitas (g-1 cm-1)
b = ketebalan sel (cm)
C = konsentrasi (g.l-1)
= absorptivitas molar (M-1 cm-1)

Jadi dengan Hukum lambert-Beer konsentrasi dapat dihitung dari


ketebalan sel serapan. Absorptivitas merupakan suatu tetapan dan spesifik untuk
setiap molekul pada panjang gelombang dan pelarut tertentu.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


23

Menurut Roth dan Blaschke (1981), absorptivitas spesifik juga sering


digunakan sebagai ganti absorptivitas. Harga ini memberikan serapan larutan 1%
(b/v) dengan ketebalan sel 1 cm, sehingga diperoleh persamaan:

A= . b. C ..................................................................................... (2.4.)

Keterangan : = absorptivitas spesifik (ml g-1 cm-1)


b = ketebalan sel
C = konsentrasi senyawa terlarut (g/100 ml larutan)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB 3
METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Pelaksanaan Penelitian


Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Formulasi Sedian Padat,
Laboratorium Farmakologi, dan Laboratorium Peneltian II Fakultas Kedokteran
dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
dari bulan Maret hingga Mei 2015.

3.2. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi seperangkat alat
disolusi (Erweka), spektrofotometer UV-Vis (Hitachi), termometer (Erweka), pH-
meter (Horiba), timbangan analitik (Precisa), magnetic stirer (Nuova Strirer),
mikropipet 100-1000 l (Bio Rad), spuit injeksi 5 ml (Terumo), membran
filterukuran 0,45 m (Sartorius), dan alat-alat gelas skala laboratorium.

3.3. Bahan
Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teofilin standar
(PT.Kimia Farma), dua merk tablet lepas lambat teofilin dengan pendosisan setiap
12 jam (Apotek K, Ciputat), kalium dihidrogen fosfat, natrium hidroksida, asam
klorida, kalium klorida, dan aquadest.

3.4. Prosedur Penelitian


3.4.1. Pemilihan Sampel
Sampel obat yang diteliti adalah tablet lepas lambat teofilin dengan
pendosisan setiap 12 jam yang beredar di masyarakat. Kriteria pemilihan sampel
berdasarkan tahun kadaluwarsa yang sama dan berasal dari Apotek yang sama.

24 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


25

3.4.2. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Teofilin


Penentuan panjang gelombang maksimum teofilin dilakukan dengan
menggunakan tiga jenis pelarut, yaitu dalam pelarut NaOH 0,1 N, dapar HCl pH
1,2, dan dapar fosfat pH 6,0.
Teofilin ditimbang seksama sebanyak 50 mg dan dilarutkan dalam 100 ml
pelarut, sehingga diperoleh larutan induk dengan konsentrasi 500 ppm. Dari
larutan induk ini, dibuat larutan 50 ppm dengan mengambil 5 ml dan diencerkan
dengan pelarut hingga 50 ml. Dari larutan 50 ppm kemudian dibuat larutan 12
ppm dengan mengambil 2,4 ml dan diencerkan dengan pelarut hingga 10 ml.
Larutan diamati absorbansinya dengan spektrofometer UV-Vis pada
panjang gelombang 400-200 nm dan ditentukan panjang gelombang
maksimumnya (Mariyam, R., 2011, telah diolah kembali).

3.4.3. Pembuatan Kurva Kalibrasi Teofilin


Pembuatan kurva kalibrasi teofilindilakukan dengan tiga jenis pelarut,
yaitu pelarut NaOH 0,1 N, dapar HCl pH 1,2, dan dapar fosfat pH 6,0.
Kurva kalibrasi dibuat dengan larutan teofilin dengan konsentrasi 1 ppm,
2 ppm, 4 ppm, 8 ppm, 12 ppm, 16 ppm, 18 ppm, dan 20 pmm, yaitu dengan cara
mengambil 0,2 ml; 0,4 ml; 0,8 ml; 1,6 ml; 2,4 ml; 3,2 ml; 3,6 ml; dan 4ml dari
larutan teofilin 50 ppm; masing-masing diencerkan dengan pelarut hingga 10 ml.
Masing-masing larutan diukur serapannya dengan spektrofotometer UV-
Vis pada panjang gelombang 274,4 nm untuk pelarut NaOH 0,1 N, panjang
gelombang 269,8 untuk pelarut dapar HCl pH 1,2, dan panjang gelombang 271,2
nm untuk pelarut dapar fosfat pH 6,0; kemudian dibuat kurva regresi linear antara
kadar teofilin dan serapannya sehingga diperoleh persamaan regresi linear y = a +
bx(Mariyam, R., 2011, telah diolah kembali).

3.4.4. Penetapan Kadar Tablet Teofilin Lepas Lambat


Ditimbang 20 tablet teofilin lepas lambat dan dihitung berat rata-ratanya.
Tablet diserbukkan, ditimbang setara lebih kurang 100 mg teofilin kemudian
dimasukkan ke dalam labu ukur 100 ml dan ditambahkan NaOH 0,1 N hingga
garis batas. Larutan dikocok hingga larut dan disaring. Dari filtrat hasil

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


26

penyaringan diambil 1 ml, kemudian diencerkan dengan NaOH 0,1 N hingga 100
ml. Larutan ini mengandung kurang lebih 10 g/ml teofilin (10 ppm). Serapan
larutan diukur pada panjang gelombang 274,4 nm (Ditjem POM, 1995, telah
diolah kembali). Penetapan kadar ini dilakukan tiga kali.
Tiap tablet teofilin lepas lambat mengandung tidak boleh kurang dari
90,0% dan tidak boleh lebih dari 110,0% teofilin anhidrat dari jumlah teofilin
yang tertera pada etiket (USP XXX,2007).

3.4.5. Keseragaman Sediaan Tablet Teofilin Lapas Lambat


Keseragaman sediaan dapat ditetapkan dengan salah satu dari dua
metode, yaitu keragaman bobot atau keseragaman kandungan. Persyaratan
keragaman bobot dapat diterapkan pada produk yang mengandung zat aktif 50 mg
atau lebih yang merupakan 50% atau lebih dari bobot satuan sediaan.
Keseragaman dari zat aktif lain, jika dalam jumlah lebih kecil, ditetapkan dengan
persyaratan keseragaman kandungan. Untuk penetapan keseragaman sediaan
dipilih tidak kurang dari 30 satuan (Ditjen POM., 1995)
a. Keragaman bobot
Sebanyak 10 tablet lepas lambat teofilin ditimbang seksama satu per satu, dan
bobot rata-rata dihitung. Dari hasil penetapan kadar yang diperoleh, jumlah
zat aktif dalam masing-masing 10 tablet dihitung dengan anggapan zat aktif
terdistribusi homogen.
b. Keseragaman kandungan
Sebanyak 10 tablet lepas lambat teofilin ditetapkan kadarnya satu per satu
dengan menggunakan prosedur penetapan kadar.
Persyaratan keseragaman sediaan dipenuhi, jika jumlah zat aktif 10 satuan
sediaaan seperti yang ditetapkan dari cara keragaman bobot atau dalam
keseragaman kandungan terletak antara 90% hingga 110% dari yang tertera pada
etiket dan simpangan baku relatif kurang dari atau sama dengan 6%. Jika satu
satuan terletak di luar rentang 90% hingga 110% seperti yang tertera pada etiket,
atau jika simpangan baku relatif lebih besar dari 6% atau jika kedua kondisi tidak
dipenuhi, uji 20 satuan tambahan dilakukan. Persyaratan dipenuhi jika tidak lebih

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


27

dari 1 satuan dari 30 terletak di luar rentang 75% hingga 125% dari yang tertera
pada etiket dan simpangan baku relatif dari 7,8%.

3.4.6. Uji Disolusi Tablet Lepas Lambat Teofilin


Uji disolusi tablet lepas lambat teofilin dilakukan sesuai cara yang
tercantum dalam The United States of Pharmacopeia XXX (USP XXX)
berdasarkan tes 1, karena di dalam Farmakope Indonesia edisi IV belum
tercantum prosedur uji disolusi tablet lepas lambat teofilin. Uji disolusi tes 1
dilakukan menggunakan alat uji disolusi tipe 2 (tipe dayung) pada suhu 37
0,5C dengan kecepatan 50 rpm selama 8 jam. Uji disolusi dilakukan pada media
900 ml larutan dapar HCl pH 1,2 selama 1 jam pertama kemudian dilanjutkan
pada medium 900 ml larutan dapar fosfat pH 6,0 selama 7 jam berikutnya.
Larutan dapar HCl pH 1,2 dimasukkan ke dalam enam wadah disolusi dan
dibiarkan hingga suhu 37 0,5 0C. Dari masing-masing tablet lepas lambat
teofilin (obat A dan B), diambil enam tablet dan dimasukkan ke dalam wadah
disolusi yang telah berisi larutan dapar HCl pH 1,2. Setelah satu jam, medium
disaring dengan kertas saring berukuran 0,45m sehingga partikel yang belum
larut dapat tersaring dan meminimalisir kadar yang hilang akibat pergantian
medium. Tablet dan partikel yang tersaring kemudian dimasukkan ke dalam
wadah yang telah berisi larutan dapar fosfat pH 6,0 yang suhunya 37 0,5 0C dan
didisolusi selama tujuh jam.
Proses pengambilan cuplikan sampel dilakukan pada menit ke 15, 30, 45,
60, 120, 240, 300, 360, 420, dan 480 sebanyak 5 ml dengan menggunakan spuit
yang sebelumnya telah dikalibrasi.Setelah pencuplikan sampel dilakukan
penggantian medium disolusi, yaitu dengan menambahkan 5 ml medium disolusi
ke dalam wadah disolusi dengan menggunakan spuit dan kertas penyaring
berukuran 0,45 m bekas mencuplik sampel sebelumnya. Sampel yang telah
dicuplik disaring dengan memasangkan kertas penyaring ke spuit, sebanyak 1 ml
sampel awal dibuang dan sisanya di tampung di dalam tabung reaksi yang bersih.
Kemudian masing-masing sampel dari tiap waktu diencerkan dengan medium
HCl pH 1,2 (untuk sampel cuplikanjam pertama) dan medium fosfat pH 6,0

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


28

(untuk sampel cuplikan jam ke 2-7) hingga kadarnya masuk ke dalam rentang
konsentrasi kurva baku teofilin dalam masing-masing pelarut.
Masing-masing sampel larutan yang telah diencerkan diukur serapannya
dengan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang 269,8 nm untuk
sampel dengan medium dapar HCl pH 1,2 dan pada panjang gelombang 271,2 nm
untuk sampel dengan medium dapar fosfat pH 6,0. Jumlah kumulatif obat yang
dilepaskan dihitung dengan menggunakan persamaan kurva baku teofilin dalam
medium dapar HCl pH 1,2 dan dapar fosfat pH 6,0, kemudian data persen
kumulatif teofilin yang terdisolusi tiap waktu dianalisa dengan uji statistik untuk
mengetahui apakah terdapat perbedaan persentase pelepasan teofilin tiap waktu
antara obat A dan obat B.

3.4.7. Analisa Kinetika Pelepasan Obat


Untuk mengetahui mekanisme dan kinetika pelepasan teofilin dari tablet
di dalam tubuh dilakukan dengan cara memplotkan hasil disolusi dengan
persamaan kinetika orde nol, kinetika orde satu, Higuchi, dan Korsmeyer-Peppas
(Patel, D.M., Patel, N.M. Patel, N.N. Pandya, P.D. Jogani, 2007)
Persamaan garis regresi linear untuk setiap model kinetika dibuat dengan
cara (Reza, Md Selim, M.A. Quadir, S.S. Haider, 2003):
a. Kinetikaordenol
Hubungan linear untuk pelepasan orde nol ditunjukkan antara jumlah
kumulatif yang dilepaskan matriks dengan waktu.
b. Kinetikaordesatu
Hubungan linear untuk pelepasan orde satu ditunjukkan antara logaritma
persentase kumulatif obat yang tersisa dengan waktu.
c. Kinetika model Higuchi
Hubungan linear untuk pelepasan model Higuchi ditunjukkan
antarapersentase kumulatif obat yang dilepaskan dengan akar waktu disolusi.
d. Kinetika model Korsmeyer-Peppas
Hubungan linear untuk pelepasan Korsmeyer-Peppas ditunjukkan
antaralogaritma persentase kumulatif obat yang dilepaskan <60% dengan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


29

logaritma waktu yang ditunjukkan oleh nilai koefien korelasi mendekati satu
(r2> 0,98).

Untuk menentukan kinetika pelepasan suatu obat, dapat dilihat dari harga
R2 dari persamaan regresi linier yang didapatkan darimasing-masing tablet.
Apabila R2mendekatisatu, maka dianggap kinetikanya mengikut pelepasan dari
persamaan regresi dari orde yang bersangkutan (Wicaksono, Hendradi &
Radjaram, 2005).

3.4.8. Analisa Satatistik


Pengolahan data dilakukan secara statistik dengan menggunakanmetode
uji komparatif Independent Sample Test dengan program SPSS 16. Analisis
statistik dilakukan terhadap data persentase kadar teofilin yang terdisolusi tiap
waktu dari kedua sampel obat, yaitu obat A dan obat B. Sebelum dilakukan uji
komparatif Independent Sample Test, data persentase kadar teofilin yang
terdisolusi tiap waktu dari kedua sampel obat di lakukan uji normalitas distribusi
dengan uji Saphiro Wilk dan uji homogenitas data antar kelompok dengan metode
Levenes Test. Data dikatakan terdistribusi normal dan homogen jika nilai sig
>0,05. Uji komparatif Independent Sample Test dilakukan pada derajat
kepercayaan 0,95 (p = 0,05). Dalam hal rancangan ini dapat diuji data persentase
kadar teofilin yang terdisolusi tiap antar sampel terdapat perbedaan bermakna. Hal
ini dapat diketahui dengan melihat nilai signifikansi (p). Bila nilai p yang
dihasilkan <0,05, maka terdapat perbedaan yang bermakna antar data persentase
kadar teofilin yang terdisolusi tiap waktu antara kedua sampel obat.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pemilihan Sampel


Sampel yang digunakan dalam penelitian ini yaitu tablet lepas lambat
teofilin dengan pendosisan dua kali sehari yang beredar di masyarakat, di mana
terdapat dua merek tablet lepas lambat teofilin yang beredar di masyarakat yaitu
obat A dengan kandungan zat aktif 300 mg dan obat B dengan kandungan zat
aktif sebesar 250 mg. Kriteria pemilihan sampel berdasarkan tempat pembelian
dan tahun kadaluwarsa yang sama, di mana kedua sampel berasal dari Apotek K
di daerah Ciputat dan memiliki tahun kadaluwarsa yang sama, yaitu tahun 2019.
Tempat dan tahun kadaluwarsa yang sama dipilih untuk meminimalkan faktor
kesalahan luar.

4.2. Penentuan Panjang Gelombang Maksimum Teofilin


Penentuan panjang gelombang maksimum teofilin dilakukan dalam tiga
pelarut berbeda, yaitu NaOH 0,1 N, dapar HCl pH 1,2 dan dapar fosfat pH 6,0.
Pengukuran panjang gelombang dilakukan dengan cara scanning pada panjang
gelombang 200-400 nm. Diantara rentang panjang gelombang tersebut dicari
panjang gelombang dengan absorbansi yang paling tinggi.
Dari hasil scanning diperoleh panjang gelombang maksimum teofilin
dalam ketiga pelarut, yaitu 274,4 nm dalam NaOH 0,1 N, 269,8 nm dalam dapar
HCl pH 1,2 dan 271,2 nm dapar fosfat pH 6,0. Panjang gelombang maksimum
teofilin dalam ketiga pelarut tersebut dapat dilihat pada lampiran 5.
Teofilin di dalam dapar HCl pH 1,2 dan dapar fosfat pH 6,0 memiliki
panjang gelombang maksimum 271 nm (USP XXX, 2007), sedangkan teofilin
dalam NaOH 0,1 N memiliki panjang gelombang 274 nm (Florey, 1975).
Berdasarkan hasil pengukuran yang diperoleh, panjang gelombang teofilin dalam
NaOH 0,1 N dan dapar fosfat pH 6,0 mengalami pergeseran batokromik, yaitu
pergeseran panjang gelombang ke arah lebih besar, sedangkan panjang gelombang
teofilin dalam dapar HCl mengalami pergeseran hipsokromik, di mana serapan

30 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


31

bergeser ke panjang gelombang yang lebih pendek, yaitu dari 271 nm menjadi
269,8 nm. Pergeseran panjang gelombang dapat terjadi karena adanya pengaruh
dari pelarut, di mana pelarut sering memberikan pengaruh yang besar pada
kualitas dan bentuk dari spektrum, hal ini dikaitkan dengan perubahan pH dari
pelarut yang digunakan (Moffat et al., 2005).

4.3. Pembuatan Kurva Kalibrasi Teofilin


Kurva kalibrasi digunakan untuk penetapan kadar teofilin dalam tablet
lepas lambat, yang kadarnya dapat dihitung melalui persamaan regresi linier.
Kurva kalibrasi standar teofilin dibuat dalam tiga pelarut, yaitu larutan
NaOH 0,1 N, dapar HCl pH 1,2 dan dapar fosfat pH 6,0. Dari pembuatan kurva
kalibrasi teofilin diperoleh persamaan regresi linear y = a + bx dan koefisien
korelasi (r), di mana y menggambarkan absorbansi dan x menggambarkan
konsentrasi. Persamaan regresi linear teofilin dapat dilihat pada tabel 4.1.,
sedangkan kurva kalibrasi dan data kurva kalibrasiyang lebih lengkap dapat
dilihat pada lampiran 6 dan 7.

Tabel 4.1. Persamaan Regresi Linear Kurva Kalibrasi Teofilin


Pelarut Persamaan Regresi Linear Koefisien Korelasi (r)
NaOH 0,1 N y = 0,0662x + 0,0003 1,0000
Dapar HCl pH 1,2 y = 0,053x + 0,004 0,9994
Dapar Fosfat pH 6,0 y = 0,057x + 0,002 1,0000

Persamaan regresi linear tersebut kemudian digunakan untuk


menetapkan kadar teofilin dalam sampel. Tabel diatas menunjukkan bahwa ketiga
kurva kalibrasi teofilin tersebut memiliki koefisien korelasi (r) yang memenuhi
syarat linearitas yaitu r 0,999 (Snyder, Kirkland dan Glajch, 1997).

4.4. Penetapan Kadar Teofilin dalam Tablet Lepas Lambat


Penetapan kadar zat aktif bertujuan untuk mengetahui apakah kadar zat
aktif yang terkandung didalam suatu sediaan sesuai dengan yang tertera pada
etiket dan memenuhi syarat seperti yang tertera pada masing-masing monografi
(Syamsuni, 2007).

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


32

Penetapan kadar dilakukan dengan menggunakan spektrofometer UV-Vis


dalam pelarut NaOH 0,1 N. Penetapan kadar teofilin dapat dilakukan dengan
spektrofotometri karena memiliki guguskromofor yang berupa ikatan rangkap
terkonjugasi dan gugus auksokrom, sedangkan NaOH 0,1 N digunakan karena
teofilin mudah larut dalam alkali hidroksida. Penggunaan NaOH untuk penetapan
kadar teofilin juga didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh T.N Syaifullah,
dkk. (2006), yang digunakan untuk menetapkan kadar teofilin dalam
mikropartikel.
Hasil penetapan kadar obat A antara 92,30% - 97,82% dan obat B antara
97,76% - 101,17%, sehingga obat A dan obat B memenuhi syarat yang tercantum
pada USP XXX (2007), yaitu tablet lepas lambat teofilin mengandung tidak
kurang dari 90,0% dan tidak lebih dari 110,0% teofilin anhidrat dari jumlah yang
tertera pada etiket. Persyaratan penetapan kadar yang digunakan berdasarkan
USP, hal ini dikarenakan di dalam FI V belum tercantum monografi tablet lepas
lambat teofilin. Hasil penetapan kadar teofilin dari obat A dan B dapat dilihat
pada tabel 4.2.

Tabel 4.2. Kadar Teofilin Obat Adan Obat B


Merek Kadar (%) Rata-rata kadar (%) SD RSD (%)
A 97,82 94,55 2,89 3,07
93,53
92,30

B 97,760 99,57 1,715 1,722


101,17
99,78

4.5. Keseragaman Sediaan Tablet Lepas Lambat Teofilin


Keseragaman sediaan merupakan salah satu uji yang dipersyarakan untuk
suatu sediaan yang mengandung satu zat aktif dan sediaan mengandung dua atau
lebih zat aktif. Keseragaman sediaan dapat ditetapkan dengan salah satu dari dua
metode, yaitu keragaman bobot atau keseragaman kandungan (Ditjem POM,
1995). Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa kandungan zat aktif pada
sampel obat seragam.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


33

4.5.1. Keragaman Bobot


Metode keragaman bobot digunakan untuk menetapkan keseragaman
sediaan obat A, karena obat A yang mengandung 300 mg teofilin memiliki bobot
rata-rata 398,08 mg, sehingga kandungan teofilindalam obat A lebih dari 50% dari
bobot satuan tablet A, yaitu 75,36%. Hasil keragaman bobot obat A dapat dilihat
pada tabel 4.3 dibawah ini.

Tabel 4.3. Keragaman Bobot Obat A


Tablet Bobot Tablet (mg) Kadar Zat Aktif (%)
1 396,6 93,79
2 394,9 93,39
3 407,3 96,32
4 396,8 94,84
5 396,4 94,73
6 399,5 94,47
7 392,8 92,89
8 401,3 94,90
9 400,1 94,62
10 395,1 93,43
Rata-rata 398,08 94,14
SD 0,98
RSD 1,04
( ) (%)
Keterangan : Kadar (%) =
( )

Dari hasil keragaman bobot, dapat diketahui bahwa kesepuluh tablet


yang telah ditimbang memiliki kadar yang sesuai dengan persyaratan keragaman
sediaan yang ditetapkan oleh FI IV, yaitu kadar teofilin terletak antara 90%
hingga 110% dari yang tertera pada etiket, dan memiliki simpangan baku relatif
yang kurang dari 6%, yaitu 1,04%.

4.5.2. Keseragaman Kandungan


Keseragaman sediaan obat B ditetapkan dengan metode keseragaman
kandungan, karena obat B yang mengandung 250 mg teofilin memiliki bobot
satuan rata-rata 591,7 mg yang berarti kandungan teofilin dalam tablet B kurang
dari 50%. Selain itu, obat B merupakan tablet bersalut, dimana metode
keseragaman kandungan digunakan untuk sediaan tablet bersalut untuk penetapan

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


34

keseragaman sediaan (Ditjen POM, 1995). Hasil uji keseragaman kandungan


dapat dilihat pada tabel 4.4 dan data selengkapnya dapat dilihat pada lampiran 10.

Tabel 4.4. Keseragaman Kandungan Obat B


Tablet Kadar (%) Rata-Rata Kadar (%) SD RSD (%)
1 102,08 96,34 3,50 3,63
2 98,45
3 95,59
4 95,87
5 96,77
6 92,62
7 90,86
8 97,09
9 100,67
10 93,41

Dari hasil uji keseragaman kandungan yang dilakukan, menunjukkan


bahwa kesepuluh tablet B memiliki kadar antara 90,86% - 102,08% yang masuk
dalam persyaratan keseragaman kandungan yang ditetapkan oleh FI IV yaitu
kadar terletak antara 90% hingga 110% dari yang tertera pada etiket, dan memiliki
simpangan baku relatif kurang dari 6%, yaitu 3,63%.

Berdasarkan hasil uji keragaman bobot dan keseragaman kandungan,


dapat disimpulkan bahwa obat A dan obat B telah memenuhi persyaratan
keseragaman sediaan. Dengan terpenuhinya persyaratan keseragaman sediaan,
faktor kesalahan yang menyebabkan variasi profil disolusi darisetiap tablet dapat
diminimalkan, di mana faktor perbedaan kadar dari tiap tablet tidak dapat
dijadikan suatu alasan ketika hasil uji disolusi dari tiap tablet bervariasi. Dengan
demikian, obat A dan obat B dapat dilanjutkan ke uji disolusi yang hasilnya dapat
dianalisis tanpa mempertimbangkan besarnya dosis.

4.6. Uji Disolusi Tablet Lepas Lambat Teofilin


Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasidan membandingkan profil
disolusi tablet lepas lambat teofilin yang beredar di pasaran sehingga dapat
diketahui apakah profil disolusi sediaan tersebut memiliki persamaan dan telah
sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh USP XXX, dan melalui profil disolusi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


35

juga dapat diketahui kinetika dan mekanisme pelepasannya. Uji disolusi in vitro
merupakan uji yang digunakan untuk mengetahui profil pelepasan obat yang dapat
menggambarkan profil farmakokinetika obat didalam tubuh (Lachman, 1994), di
mana laju pelepasan obat dalam cairan saluran cerna merupakan salah satu
tahapan penentu (rate limiting step) absorpsi sistemik obat (Sutriyo, dkk., 2005).
Uji disolusi dilakukan berdasarkan metode yang ditetapkan USP XXX.
Dimana di dalam USP terdapat 9 tes metode uji disolusi dengan persyaratan
pelepasan yang bervariasi untuk setiap metodenya. Namun, pada penelitian ini
digunakan metode uji disolusi tes satu, di mana pada tes satu ini menggunakan
alat disolusi tipe 2 (dayung), medium disolusi cairan lambung tiruan (dapar HCl
pH 1,2) dan cairan usus tiruan (dapar fosfat pH 6,0) tanpa enzim sebanyak 900
ml, kecepatan pengadukan 50 rpm, dan suhu 370,5C. Uji disolusi dilakukan
selama delapan jam untuk obat A, di mana satu jam pertama dilakukan pada
medium cairan lambung tiruan dan tujuh jam berikutnya pada medium cairan usus
tiruan, sedangkan untuk obat B dilakukan hingga menit ke-660, yaitu sampai
persentase kadar teofilin yang terdisolusi mencapai 80%. Pencuplikan sampel
dilakukan setiap 15 menit pada satu jam pertama dan setiap 60 menit untuk jam
berikutnya. Volume pencuplikan diambil sebanyak 5 ml dan segera digantikan
dengan medium disolusi baru yang sama sejumlah volume yang dicuplik untuk
menjagaagar volume disolusi tetap, kemudian sampel diukur serapannya pada
panjang gelombang maksimum dan dihitung kadarnya dengan menggunakan
persamaan regresi yang telah ditentukan sebelumnya. Uji disolusi dilakukan
dengan menggunakan 6 tablet pada setiap obat, baik obat A maupun obat B.
Medium uji disolusi yang digunakan berdasarkan medium disolusi yang
tercantum dalam metode uji disolusi tes satu USP XXX, yaitu cairan lambung
tiruan (dapar HCl pH 1,2) dan medium cairan usus tiruan (dapar fosfat pH 6,0)
tanpa enzim. Selain kedua medium tersebut menggambarkan keadaan fisiologis
saluran cerna, sifat medium disolusi merupakan salah satu faktor yang
dipertimbangkan dalam uji disolusi. Media yang digunakan tergantung sifat zat
aktif obat dan lokasi di dalam saluran cerna di mana diperkirakan obat akan
melarut. Zat aktif yang bersifat asam lemah kecepatan disolusinya akan
meningkat di dalam medium dengan pH tinggi, sedangkan zat aktif yang bersifat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


36

basa lemah, kecepatan disolusinyapun akan meningkat di dalam medium dengan


pH rendah (Martin dan Alfred, 1993). Teofilin merupakan golongan alkaloid
derivat xantin yang bersifat basa lemah (Aulton, 1990), sehingga kelarutannya
dipengaruhi oleh sifat medium. Oleh karena itu, penggunaan kedua medium
disolusi dapat digunakan karena hubungannya dengan sifat zat aktif.

100
Jumlah Kumulatif Teofilin

90
80
Terdisolusi (%)

70
60
50
40 Obat A
30
Obat B
20
10
0
0 200 400 600 800
Waktu (menit)
(a)
300
Jumlah Kumulatif Teofilin

250
Terdisolusi (mg)

200

150
Obat A
100
Obat B
50

0
0 200 400 600 800
Waktu (menit)
(b)
Keterangan: a) Jumlah kumulatif teofilin terdisolusi (%)
b) Jumlah kumulatif teofilin terdisolusi (mg)

Gambar 4.1. Profil Disolusi Teofilin Obat A dan Obat B

Berdasarkan hasil uji disolusi, kedua sampel obat tablet lepas lambat teofilin
memiliki profil disolusi yang berbeda yang dapat dilihat pada gambar 4.1., dimana
laju disolusi obat A lebih cepat dibandingkan laju disolusi obat B yang terlihat
dari kurva jumlah kumulatifteofilin yang terdisolusi baik dalam bentuk

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


37

persentasemaupun kadar (mg) yang tidak saling berimpit. Kurva jumlah kumulatif
teofilin yang terdisolusi obat A dalam bentuk persentase lebih tinggi dari kurva
yang dimiliki oleh obat B dan perbedaan ketinggian kurva kedua obat makin
terlihat tajam bila dilihat dari kurva jumlah kumulatif teofilin yang terdisolusi
dalam bentuk kadar (mg). Perbedaan ketinggian antara kurva dalam bentuk
persentase dan kadar (mg) antara kedua obat disebabkan oleh jumlah kandungan
zat aktif kedua sampel obat yang berbeda, di mana obat A mengandung 300 mg
teofilin dan obat B hanya mengandung 250 mg teofilin, sehingga berpengaruh
terhadap bentuk kurva jumlah kumulatif teofilin yang terdisolusi dalam bentuk
kadar (mg). Namun perbedaan kandungan zat aktif ini masih berada dalam
rentang dosis terapi teofilin untuk sediaan lepas lambat, yaitu 200-400 mg
(Winter, 2004).
Dalam hal ini, perbedaan profil disolusi dapat disebabkan oleh faktor
formulasi, yang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi laju disolusi
suatu obat. Menurut Iskandarsyah, dkk. (2010), perbedaan bahan baku penyusun
matrix dapat menyebabkan perbedaan laju disolusi obat. Adanya perbedaan profil
disolusi dari obat A dan obat B dapat memberikan profil farmakokinetik dan
efektivitas terapi yang berbeda di antara kedua obat.
Hasil uji disolusi berupa persentase kumulatif kadar teofilin yang terdisolusi
dari masing-masing sampel obat kemudian dianalisis untuk mengetahui apakah
pelepasan teofilin dari sampel obat A dan B sesuai denganpersyaratan pelepasan
tablet lepas lambat teofilin yang disyaratkan oleh USP XXX metode disolusi tes
satu.
Berdasarkan hasil analisis pada tabel 4.5., dapat diketahui bahwa keenam
tablet uji obat A tidak memenuhi persyaratan profil disolusi yang sesuai dengan
persyaratan profil disolusi tablet lepas lambat teofilin menurut USP XXX metode
disolusi tes satu. Hal ini terlihat dari persentase kumulatif teofilin yang terdisolusi
pada jam pertama dari keenam tablet uji obat A yang melepaskan zat aktif lebih
besar dari rentang penerimaan persyaratan pelepasanyang telah ditetapkan oleh
USP XXX, yaitu diantara 3-15%, di mana keenam obat A memiliki persentase
kumulatif teofilin yang terdisolusi pada jam pertama antara 15,75-21,58% dengan
rata-rata 18,67%. Namun untuk persentase kumulatif teofilin yang terdisolusi

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


38

pada jam ke-2, 4, 6, dan 8 dari obat A, keenam tablet uji memenuhi rentang
penerimaan persyaratan pelepasan yang ditetapkan oleh USP XXX.

Tabel 4.5. Hasil analisis kesesuaian pelepasan teofilin dari obat A dengan
persyaratan USP XXX

Kadar Teofilin yang Terlepasi (%) Kesesuaian


Rentang
Jam Tablet Uji Persyaratan
Rata-rata Penerimaan
1 2 3 4 5 6 (%)
1 15,75 16,63 21,58 17,90 20,75 19,44 18,67 3-15 x
2 29,43 32,11 36,99 35,08 30,50 30,48 32,43 20-40
3 40,26 43,78 49,63 44,99 41,81 40,10 43,43 - -
4 52,08 54,47 63,24 54,97 53,55 51,32 54,94 50-75
5 64,00 65,93 70,39 61,31 64,52 61,05 64,53 - -
6 69,88 73,79 79,84 71,64 74,81 71,15 73,52 65-100
7 82,56 81,69 89,55 76,14 83,41 75,73 81,51 - -
8 88,76 84,75 94,55 82,46 84,69 82,59 86,30 >80
Keterangan: = sesuai dengan persyaratan pelepasan
x = tidak sesuai dengan persyaratan pelepasan
- = tidak ada rentang penerimaan persyaratan pelepasan pada jam tersebut

Tabel 4.6. Hasil Analisis Kesesuaian Pelepasan Teofilin dari Obat B dengan
Persyaratan USP XXX
Kadar teofilin yang terlepas (%) Rentang Kesesuaian
Tablet Uji penerimaan persyaratan
Jam (%)
1 2 3 4 5 6 Rata-rata
1 12,36 11,12 12,59 14,49 12,19 11,69 12,41 315
2 23,98 22,97 24,40 26,11 22,87 22,15 23,75 20-40
3 31,64 29,82 31,94 34,32 29,23 29,64 31,10 - -
4 39,29 37,32 40,32 42,51 35,79 38,59 38,97 50-75 x
5 46,49 45,71 48,03 50,85 43,86 45,94 46,81 - -
6 54,60 53,56 57,29 60,23 49,76 53,37 54,64 65-100 x
7 63,76 59,10 65,18 68,52 55,38 58,08 61,67 - -
8 68,41 67,12 71,94 75,01 63,07 67,59 68,86 80 x
Keterangan: = sesuai dengan persyaratan pelepasan
x = tidak sesuai dengan persyaratan pelepasan
- = tidak ada rentang penerimaan persyaratan pelepasan pada jam tersebut

Berbanding terbalik dengan obat A yang tidak memenuhi rentang


penerimaan persyaratan pelepasan pada jam pertama namun memenuhi rentang
penerimaan persyaratan pada jam ke-2, 4, 6, dan 8, berdasarkan hasil analasis

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


39

pada tabel 4.6. diatas, obat B hanya memenuhi rentang penerimaan persyaratan
pelapasan pada jam pertama dan kedua, yaitu dengan rata-rata persentase
kumulatif teofilin yang terdisolusi secara berturut-turut 12,41% dan 23,75%,
sedangkan untuk persentase kumulatif teofilin yang terdisolusi pada jam ke- 4, 6,
dan 8 dari keenam tablet uji lebih kecil dari rentang penerimaan persyaratan
pelepasan yang ditetatapkan oleh USP XXX. Pelepasan zat aktif sebesar 80% dari
obat B tercapai pada jam ke sebelas untuk lima tablet uji, dengan persentase
kumulatif teofilin yang terdisolusi dari tablet uji 1 84,58%, tablet uji 2 85,09%,
tablet uji 3 84,47%, tablet uji 4 84,55%, dan tablet uji 6 88,76% , sedangkan
untuk tablet uji 5 pada jam kesebelas hanya melepas 77,32%. Data lebih lengkap
mengenai persentase kumulatif teofilin yang telepas dari obat B dapat dilihat pada
lampiran 14.
Berdasarkan hasil uji disolusi obat A menunjukkan bahwa pada jam
pertama terjadi pelepasan yang melebihi rentang penerimaan persyaratan
pelepasan, yaitu lebih dari 15%. Pelepasan yang tinggi (burst release) ini terjadi
pada pada medium cairan lambung buatan, di mana teofilin yang merupakan basa
lemah kelarutannya akan meningkat pada pH rendah, kelarutan yang meningkat
akan meningkatkan laju disolusi suatu obat (Martin dan Alfred, 1993).Peristiwa
burst release sering terjadi pada pelepasan awal obat setelah sediaan berada dalam
medium disolusi dan biasanya terjadi dalam waktu yang singkat sebelum laju
pelepasan mencapai profil yang stabil. Peristiwa burst release dapat dianggap
sebagai hal yang tidak diharapkan dalam pembuatan sediaan pelepasan terkendali
jangka panjangdan dalam situasi tertentu merupakan hal yang diharapkan untuk
mendapatkan pelepasan awal yang tinggi (Xiaou dan Christopher, 2001).
Dalam hal ini, teofilin yang merupakan sampel obat yang digunakan untuk
evaluasi profil disolusi merupakan contoh obat dengan indeks terapi yang
sempit,sehingga peristiwa burst release pada obat A diperlukan monitoring untuk
mencapai efek terapi dan mengurangi toksisitas karena pada kadar teofilin lebih
dari 20 g/ml dapat menimbulkan efek toksik dan fluktuasi konsentrasi teofilin
plasma dapat menyebabkan variasi respon klinis pada pasien (Boswell-Smith,
Cazzola, Page, 2006; Siepmann-Peppas, 2001; Parvesz et al., 2004). Namun
berdasarkan uji in vitro/in vivoyang dilakukan oleh Ghorab, et al. (2012) terhadap

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


40

produk lepas lambat teofilin Quibron-T/SR dan Theo SR memberikan informasi


bahwa kedua obat tersebut telah melepas obat lebih dari 80% selama 8 jam
dengan konsentrasi maksimum sebesar 7,50,5 g/ml dan 6,30,4 g/ml, di mana
konsentrasi tersebut masih dalam rentang indeks terapi teofilin yaitu 5-20 g/ml,
sehingga jika pada satu jam pertama obat A mengalami burst release maka tidak
akan menyebabkan tooksisitas karena masih berada dalam rentang indeks terapi.
Tidak tercapainya pelepasan hingga 80% pada akhir waktu pengujian yaitu
pada jam kedelapan pada keenam tablet uji obat B dapat disebabkan oleh adanya
perbedaan faktor formulasi yang menyebabkan laju disolusi obat B lebih lambat
dibandingkan dengan laju disolusi obat A, seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, menurut penelitian yang dilakukan oleh Iskandarsyah, dkk. (2010),
di mana perbedaan bahan baku penyusun matrix dapat menyebabkan perbedaan
laju disolusi obat. Selain itu, bila ditinjau dari analisa kinetika pelepasannya,
konstanta laju disolusi obat B lebih kecil dari obat A sehingga menyebabkan
tingkat pelepasan teofilin dari obat B juga menjadi lebih lambat bila dibandingkan
dengan obat A. Hal tersebutlah yang kemungkinan yang menyebabkan tidak
tercapainya pelepasan zat aktif sebesar 80% pada akhir waktu pengujian.
Pelepasan obat B yang kurang dari rentang penerimaan persyaratan pelepasan,
diperlukan adanya monitoring konsentrasi obat dalam plasma untuk mengetahui
apakah jumlah konsentrasi teofilin di dalam sudah mencapai indeks terapeutik,
karena dikhawatirkan dengan jumlah obat yang terlepas kurang dari rentang
persyaratan makakonsentrasi teofilin plasma tidak dapat mencapai kadar efektif
obat sehingga efek terapi yang diinginkan tidak dapat tercapai.
Berdasarkan jumlah obat yang dilepas, yaitu obat A sebesar 94,93% selama
8 jam dan obat B sebesar 84,13% selama sebelas jam maka dapat diketahui bahwa
tablet lepas lambat teofilin obat A dan B didesain untuk dilepaskan dalam waktu
0-12 jam, sesuai dengan informasi pada lebar informasi obat bahwa kedua obat
tersebut digunakan setiap 12 jam, sehingga setelah 12 jam tidak ada lagi teofilin
yang diabsorbsi dan diperlukan pemberian teofilin dosis kedua. Kurva
farmakokinetik yang dapat diramalkan yaitu, setelah 12 jam pemberian obat akan
terjadi penurunan konsentrasi teofilin dalam plasma yang cukup signifikan.
Konsentrasi teofilin akan terus mengalami penurunan sampai dosis kedua

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


41

diberikan yaitu setelah 12 jam dosis pertama diberikan. Hal ini didukung dengan
hasil uji in vitro dan in vivo obat teofilin lepas lambat, yaitu Quibron-T/SR dan
Theo SR 300 mg di Mesir (Ghorab, et al.., 2012). Profil disolusi dan kurva
farmakokinetik dari produk Quibron-T/SR dan Theo SR 300 mg dapat dilihat
pada gambar 4.2. dan gambar 4.3.

[Sumber: Ghorab,M., Khafagy, E., Kamel, M., dan Gad, S., 2012]

Gambar 4.2. Profil Disolusi Quibron-T/SR dan Theo SR 300 mg

[Sumber: Ghorab,M., Khafagy, E., Kamel, M., dan Gad, S ., 2012]

Gambar 4.3. Profil Farmakokinetik Konsentrasi Teofilin dalam Saliva dari


Quibron-T/SR dan Theo SR 300mg

Berdasarkan hasil penelitian pada gambar 4.2., kedua produk lepas


lambat yaitu Quibron T/SR dan Theo SR selama 8 jam telah melepas teofilin lebih
dari 80%, sesuai dengan syarat pelepasan tablet lepas lambat teofilin menurut
USP metode disolusi tes satu. Dengan pelepasan obat lebih dari 80% selama 8

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


42

jam, kedua obat memberikan konsentrasi maksimum teofilin sebesar 7,50,5


g/ml dan 6,30,4 g/ml yang konsentrasinya semakin menurun setelah t maks (5
jam untuk Quibron-T/SR dan 5,7 jam untuk Theo Sr) tercapai.
FI IV dan USP memberikan kriteria penerimaan hasil uji disolusi tablet
lepas lambat, yaitu dari keenam tablet uji tidak satu pun tablet yang kadarnya
terletak diluar rentang persyaratan kadar yang telah ditetapkan dan kadarnya
kurang dari persyaratan kadar pada waktu penetapan akhir. Berdasarkan kriteria
penerimaan tersebut,obat A dan obat B tidak memenui persyaratan disolusi tes
satu.Obat A tidak memenuhi persyaratan uji disolusi tes satu, karena keenam
tablet obat A persentase kumulatif teofilin yang terdisolusi lebih dari rentang
penerimaan persyaratan pelepasan sedangkan untuk obat B tidak memenuhi
persyaratan uji disolusi tes satukarena persentase kumulatif teofilin yang
terdisolusi pada jam ke-4, 6, dan 8 kurang dari rentang penerimaan persyaratan
pelepasan.

4.7. Analisa Kinetika Pelepasan Tablet Lepas Lambat Teofilin


Berdasarkan hasil uji disolusi obat, dapat diketahui mekanisme pelepasan
obat dari sediaan. Data pelepasan obat yang diperoleh dimasukkan ke dalam
persamaan model matematika, yaitu persamaan orde nol, orde satu, persamaan
higuchi, dan persamaan kosmeyer-peppas (Mouzam et al.., 2011).

Tabel 4.7. Kinetika Pelepasan Teofilin dari Obat A dan Obat B

Kinetika Pelepasan Obat


Obat Parameter
Orde Nol Orde Satu Higuchi Kosmeyer-Peppas
r2 0,986 0,985 0,993 0,995
Difusi dan Erosi
A k 0,175 0,00043 4,486 5,333
(0,45<n<0,89)
n - - - 0,727
r2 0,996 0,991 0,985 0,994
Difusi dan Erosi
B k 0,137 0,00043 3,560 5,728
(0,45<n<0,89)
n - - - 0,758
2
Keterangan:r = koefisien korelasi; k = konstanta pelepasan obat; n = nilai eksponen

Berdasarkan nilai koefisien korelasi (r2) tertinggi pada tabel 4.7.,


menunjukkan bahwa kinetika pelepasan obat A cenderung mengikuti kinetika
Higuchi (r2= 0,993), sedangkan untuk obat B kinetika pelepasannya cenderung

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


43

mengikuti kinetika orde nol (r2 = 0,996). Kinetika pelepasan Higuchi


menggambarkan pelepasan obat dari matriks bergantung pada akar waktu
didasarkan difusi fickian, sedangkan pelepasan obat yang mengikuti kinetika orde
nol memiliki kecepatan pelepasan obat yang tidak bergantung pada konsentrasi
obat dalam sediaan dan selalu konstan dari waktu ke waktu (Mathew, S.T. dan
Devi, S.G., 2007; Prabakaran, D., dkk., 2003).
Hasil ini menunjukkan bahwa profil kinetika pelepasan kedua obat lepas
lambat teofilin yang beredar di masyarakat memiliki perbedaan. Berdasarkan
kinetika laju disolusi, obat A memiliki laju pelepasan obat yang lebih cepat
dibandingkan dengan obat B yang dapat dilihat dari nilai k, sedangkan
berdasarkan pelepasan yang ideal untuk sediaan lepas lambat, obat B yang
pelepasannya cenderung mengikuti kinetika orde nol, memiliki profil kinetika
pelepasan yang lebih baik untuk sediaan lepas lambat dibandingkan dengan obat
A yang pelepasannya berdasarkan kinetika Higuchi. Hal ini karena secara ideal
sediaan lepas lambat hendaknya melepaskan obat pada suatu laju yang konstan,
atau laju orde nol (Shargel, Wu-Pong& Yu, 2004).
Berdasarkan hasil yang ditampilkan pada tabel 4.8., dapat diketahui
bahwa mekanisme pelepasan obat A dan obat B memiliki nilai n berada pada
rentang 0,45< n < 0,89 yang mengidentifikasikan bahwa mekanisme pelepasan
obat mengikuti mekanisme difusi non-Fickian yang menggambarkan pelepasan
obat dikendalikan dengan mekanisme gabungan difusi-erosi, meskipun untuk obat
B yang berdasarkan nilai koefisien korelasi tertinggi kinetika pelepasannya
cenderung mengikuti kinetika Higuchi, di mana pelepasan obat dari matriks
bergantung pada akar waktu didasarkan difusi fickian. (Mathew, S.T. dan Devi,
S.G., 2007; Prabakaran, D., dkk., 2003).

4.8. Analisa Statistik


Analisis statistik dilakukan dengan memasukkan data persentase teofilin
yang terdisolusi tiap waktu dari obat A dan obat B. Sebelum dilakukan uji statistik
komparatif Independent Sample Test dilakukan uji normalitas Saphiro-Wilk untuk
menilai distribusi data dan uji homogenitas dengan metode Levenes Test untuk
mengetahui variasi data antarkelompok, karena syarat dapat dilakukannya uji

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


44

komparatif Independent Sample Test adalah data harus terdistribusi normal dan
terdapat kesamaan varians antarkelompok.
Berdasarkan hasil uji normalitas Saphiro-Wilk, semua data kecuali pada
menit ke-15 dan menit ke-180 menunjukkan nilai p>0,05 yang berarti bahwa
semua data pada tiap waktu memiliki data yang terdistribusi normal. Untuk hasil
uji homogenitas data dengan metode Levenes Test menunjukkan nilai p>0,05
pada semua data kecuali pada menit ke-60 yang menandakan bahwa terdapat
kesamaan varians antarkelompok atau yang berarti semua data homogen. Data
yang memiliki distribusi data yang normal dan kesamaan varians antar kelompok
dilanjutkan ke uji Independent Sample Test untuk melihat ada tidaknya perbedaan
yang bermakna antara persentase teofilin yang terlepas diantara kedua obat,
sedangkan untuk data yang tidak terdistribusi normal dan tidak homogen, yaitu
data pada menit ke-15, 60, dan 180 di gunakan uji non-parameterik Mann-
Whitney untuk melihat adanya perbedaan antarkelompok.
Dari uji komparatif Independent Sample Test dan uji non-parameterik
Mann-Whitney terhadap data persentase teofilin yang terdisolusi tiap waktu dari
obat A dan obat B dihasilkan nilai p<0,05 yang berarti bahwa persentase teofilin
yang terdisolusi tiap waktu antara obat A dan obat B berbeda secara signifikan.
Berdasarkan hasil statistik ini, dapat disimpulkan bahwa profil disolusi teofilin
obat A dan B berbeda secara signifikan. Data hasil uji statistik dapat dilihat pada
lampiran 15.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


BAB 5
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
1. Profil disolusi obat A berbeda dengan profil disolusi obat B dilihat dari
persentase kumulatif teofilin yang terdisolusi, di mana persentase kumulatif
teofilin yang terdisolusi pada jam ke delapan obat A dan B berturut-turut
adalah 94,926% dan 68,861%.
2. Profil disolusi obat A dan B tidak memenuhi rentang penerimaan persyaratan
pelepasan tablet lepas lambat teofilin menurut metode disolusi tes satu yang
tertera pada USP XXX tahun 2007, di mana keenam tablet obat A memiliki
persentase kumulatif teofilin yang terdisolusi lebih dari rentang penerimaan
pada jam pertama, sedangkan pada obat B keenam tablet memiliki persentase
kumulatif teofilin yang terdisolusi kurang dari rentang penerimaan pada jam
ke- 4, 6, dan 8.
3. Profil kinetika pelepasan teofilin dari tablet menunjukkan bahwa kinetika
pelepasan obat A cenderung mengikuti kinetika pelepasan model Higuchi,
sedangkan obat B cenderung mengikuti kinetika orde nol.
4. Mekanisme pelepasan teofilin dari tablet obat A dan obat B cenderung
mengikuti mekanisme pelepasan difusi non-Fick yang menggambarkan
pelepasan obat dikendalikan melalui gabungan mekanisme difusi dan erosi.
5. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa tablet lepas lambat teofilin obat A dan
B memiliki perbedaan yang signifikan dilihat dari persentase kadar teofilin
yang terdisolusi tiap waktu.
6. Obat A memiliki profil disolusi yang lebih baik dibandingkan dengan obat B
berdasarkan pemenuhan rentang penerimaan persyaratan pelepasan menurut
USP XXX metode disolusi tes satu

5.2. Saran
1. Perlu dilakukan uji disolusi dengan menggunakan metode uji disolusi tes
lainnya yang tertera pada USP XXX tahun 2007 untuk mengetahui profil

45 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


46

disolusi tablet lepas lambat teofilin yang beredar di masyarakat memenuhi


persyaratan metode uji disolusi tes berapa.
2. Untuk produsen obat perlu mencantumkan profil disolusi pada lembar
informasi obat mengingat pentingnya profil disolusi terutama untuk produk
sediaan lepas lambat.
3. Perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh waktu penyimpanan terhadap
profil disolusi untuk mengetahui apakah waktu penyimpanan mempengaruhi
profil disolusi suatu sediaan lepas lambat, mengingat pentingnya profil
disolusi pada formulasi sediaan lepas lambat.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


47

DAFTAR PUSTAKA

Aulton, M.E. (1990) Pharmaceutics: The Science of Dosage Form Design.


Churchill Livingstone.
Auterhoff H dan K. H. Kovar. (2002). Identifikasi Obat terbitan ke-5. Terjemahan
oleh : Sugiarso N. C. Bandung: ITB.
Banakar, U.V. (1992). Pharmaceutical Dissolution Testing. New York: marcel
Dekker, Inc.
Banker, G.S. and Rhodes, C.T. (1990). Modern Pharmaceutics Second Edition
Revised and Expanded. Marcel Dekker, Inc.
Boswell-Smith, V., Cazzola, D., Page, C.P. (2006). Are Phosphodiesterase 4
Inhibitors Just More Theophylline. J. Allergy Clin. Immunol, v. 117, p.
1237-1234,.
Cohen, J.L.,(1975), Theophylline, in Florey, K., Analytical of Drug Substances
Vol.4, Academic Press, New York, p.483.
Dachriyanus. (2004). Analisis Struktur Senyawa Organik Secara Spektroskopi.
Cetakan I. Padang: Andalas University Press.
Dash, S., Murthy, P.N., Nath, L., Chowdhury, P. (2010). Kinetic Modeling on
Drug Release from Controlled Drug Delivery Systems.Acta Poloniae
Pharmaceutics-Drug Research,67(3), 217-223.
Ditjem POM. (1995). Farmakope Indonesia edisi IV. Jakarta: Depkes RI
Ditjen POM. (2014). Farmakope Indonesia Edisi V. Jakarta: Depkes RI
Dollery, C. (1991). Therapeutic Drugs. Edinburgh: Churchill Livingstone.
Elis EF. (2004). Theophylline. In: Lieberman P, Anderson JA, editors. Current
Clinical Practice: Allergic Disease: Diagnosis and Treatment. New
Jersey: Humana Press. P. 344-359.
Ganiswarna, Sulistia G. (1995). Farmakologi dan Terapi. Jakarta: UI Press.
Ghorab,M., Khafagy, E., Kamel, M., dan Gad, S. (2012). Formulation,
Characterization And Comparative In Vitro In Vivo Evaluation Of
Sustained Release Theophylline Tablets. Int J Pharm Pharm Sci, Vol 4,
Issue 3, 721-728
Goodman & Gilman. (2007). Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10. diterjemahkan
oleh Amalia. Jakarta: EGC.
Krowczynski, L. (1987). Extended Release Dosage Form. Boca Raton: CRC
Press, 39.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


48

Lachman, L., H.A. Lieberman, & J.L. Ksning. (1986). The Theory and Practice of
Industrial Pharmacy. Philadelpia: Lea & Febringer. Page: 317-324.
Lee, V.H. & J.R. Robinson. (1987). Controlled Drug Delivery: Fundamentals and
Application. Ed 2. Resvised and Expanded. Marcel New York: Dekker
Inc. Page: 6-7, 97-103, 119.
Mansoor, M. & Beverly, J.S. (2003). The Applied Physical PharmacyMcGraw-
Hill Professional.
Mariyam, Rina. (2011). Preparasi dan Karakterisasi Kitosan Suksinatsebagai
Matriks pada Tablet Enterik Lepas Lambat. Skripsi Sarjana Farmasi.
FMIPA, Universitas Indonesia, Depok.
Mathew, S.T. & Devi, S.G. (2007). Formulation and Evaluation of Ketorolac
Tromethamineloaded Albumin Microspheres for Potential Intramuscular
Administration. AAPS PharmSciTech. 8(1): Artikel 14.
Mei, Ling, Chen., et al. (2010). Challenges and Opportunities in Establishing
Scientific and Regulatory Standards for Assuring Therapeutic Equivalence
of Modified Release Products : Workshop Summary Report. The AAPS
Journal, Vol.12 No.3.
Moffat, Anthony C, M. Osselton, D & Widdo, B. (2005). Clarkes Analysis of
Druds and Poisons 3rd Edition. London: Pharmaceutical Press.
Mouzam, I., Dehghan, M. H. G., Asif, S., Sahuji, T., Chudiwal, P. (2011).
Development of a Novel Floating Ring Capsule-Type Dosage Form for
Stomach Spesific Delivery.Saudi Pharmaceutical Journal.
Mulye, N.V., & Turco, S.J. (1995). A Simple Model Based on First Order
Kinetics to Explain Release of Highly Water Soluble Drugs From Porous
Dicalciumphosphate Dihydrate Matrices. Drug Dev. Ind. Pharm., 21,
843-953.
Nixon, J.R. (1984). Release Characteristics of Microencapsules. Dalam:
Biomedical Application of Microencapsulation. Editor. Franklin, Lim.
Florida: CRC Press.
Patel, D.M., N.M. Patel, N.N. Pandya, P.D. Jogani. (2007). Formulation and
Optimization of Carbamazepine Floating Tablets. Indian J. Of Pharm.
Sci. 69 (6): 763-767
Prabakaran, D., Singh, P., Kanaujia, P. And Vyas, S.P. (2003). Effect of
Hydrophyllic Polymer on The Release Diltiazem Hydrochloride from
elementary Osmotic Pumps. International Journal of Pharmaceutics,
173-179.
Rahmatini, dkk., 2004, dalam dalam Wulandari, Retno. (2009). Profil
Farmakokinetik Teofilin yang Diberikan secara Bersamaan dengan Jus
Jambu Bji (Psidium Guajava L.) pada Kelinci Jantan. Skripsi Sarjana

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


49

Farmasi. Fakultas Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta,


Surakarta
Remington, J.P. (2000). The Science and Practice of Pharmacy. Maryland:
Lippncott William & Wilsinki.
Reza, Md Selim, M.A. Quadir, S.sS. Haider. (2003). Comparative Evaluation of
Plastic, Hydrofobic, and Hydrophilic Polymers as Matrices for
Controlled-Release Drug Delivery. J. Of Pharm. Sci. 6(2): 274-291
Riahi S, Mousavi MF. (2005). A Novel Potentiometric Sendor for Selective
Determination of Theophylline: Theoritical and Practical Investigation.
Anal Chem Acta. 548: 192-198.
Robinson, J.R. and Lee, V.H.L. (1987). Controlled Drug Delivery, Fundamental,
and Aplications Second edition. Resived and Expanded. Marcel Dekker.
Rohman dan Sudjadi. (2007). Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Sinko, P.J. (2006). Martins Physical Pharmacy and Pharmaceutical Sciences:
Physical Chemical and Biopharmaceutical Principles in The
Pharmaceutical Sciences. 5thEd. Philadelphia: Williams dan Wilkins.
Page: 337-351.
Shargel, L., Wu-Pong, Susanna, & Yu, B.C. Andrew. (2004). Biofarmasetika dan
Farmakoknetika Terapan Edisi Kelima. Alih Bahasa: Fasich, Budi
Suprapti. Pusat penerbitan dan Percetakan Universitas Airlangga:
Surabaya.
Shoaib, H.M., Merchant, H.A., Tazee, J., dan Yousuf, R.I. (2006). Once-daily
tablet formulation and in vitro release evaluation of cefpodoxime using
hydroxipropyl methylcellulose: A technical note. AAPS PharmSciTech; 7
(3) Article 78.
Siregar, C. J. P. Dan Wikarsa, S. (2010). Optimasi Formula Sediaan Tablet Lepas
Lambat Teofilin dengan Bahan Matrix HPMC, NA CMC, dan Xanthan
Gum. Majalah Farmasi Indonesia, 3, No. 2, 143-148.
Snyder, L.R., J.J. Kirkland, and J.L. Glajch. (1997). Practical HPLC Method
Development. 2nd Edition. New York: John Willey & Sons, Inc. p. 119-
144, 643-728, 736.
Sukasediati, 1988, dalam Wulandari, Retno. (2009). Profil Farmakokinetik Teofili
yang Diberikan secara Bersamaan dengan Jus Jambu Bji (Psidium
Guajava L.) pada Kelinci Jantan. Skripsi Sarjana Farmasi. Fakultas
Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.
Sulistiawati, F. (2006). Evaluasi karakteristik Sediaan Granul Mukoadhesif
Menggunakan Gelatin Ikan Tuna (Thunnus Alalunga) sebagai Pembawa.
Tesis. FMIPA Universitas Indonesia, Depok.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


50

The United States Pharmacopeial Convention. (2007). The United States


Pharmacopeia., Ed 30. Canada: Webcom Limited.
Tjay, Drs. Tan Hoan dan Rahardja, Drs. Kirana. (2007). Obat-Obat Penting :
Khasiat, Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya. Jakarta: PT. Gramedia.
T.N. Syaifullah, Lisa Andina, dan Siti Zahliyatul. (2006). Miroenkapsulasi
Teofilin dengan Protein Kedelai Hitam (Glycine max) sebagai Penyalut
Menggunakan Metode Denaturasi. Jurnal Bahan Alam Indonesia ISSN
1412-2855 Vol. 6, No. 1.
Voight, R. (1994). Buku Pelajaran Teknologi Farmasi Edisi V. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
Watson, David. (2010). Analisis Farmasi. Jakarta: EGC.
Wicaksono, Y., Hendradi, E., & Radjaram, A. (2005). Analisis Proses Lepas
Lambat Na diklofenak dari Tablet Matrik Berbasis Etilselulosa-
Polivinilpirolidon K-30. Seminar Nasional MIPA.
Winter (2004) dalam Wulandari, Retno. (2009). Profil Farmakokinetik Teofili
yang Diberikan secara Bersamaan dengan Jus Jambu Bji (Psidium
Guajava L.) pada Kelinci Jantan. Skripsi Sarjana Farmasi. Fakultas
Farmasi, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Surakarta.

Xiaou, Huang and Christopher S.Brazel. (2001). On the importance and


mechanism of burst release in matrix-controlled drug delivery systems.
USA : Journal of Controlled Release 73 ; 121-136.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


51

LAMPIRAN

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


52

Lampiran 1. Bagan Alur Penelitian

Tablet Lepas Lambat Teofilin


(A dan B)

Penentuan Panjang Gelombang Maksimum

Pelarut NaOH 0,1 N

Pelarut dapar HCl pH 1,2

Pelarut dapar fosfat pH 6,0

Pembuatan Kurvak Kalibrasi

Pelarut NaOH 0,1 N

Pelarut dapar HCl pH 1,2

Pelarut dapar fosfat pH 6,0

Penetapan Kadar

Uji Keseragaman Sediaan

Uji Disolusi
Kinetika Orde Nol

Kinetika Orde Satu


Analisa Statistik Evaluasi Profil
Pelepasan Obat Kinetika Kinetika Model
Pelepasan Obat Higuchi

Kinetika model
Korsmeyer-Peppas

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


53

Lampiran 2. Sertifikat Analisis Standar Teofilin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


54

Lampiran 3. Alat Disolusi

Lampiran 4. Prosedur Pembuatan Larutan NaOH 0,1 N, Dapar HCl pH 1,2 dan
Dapar Fosfat pH 6,0

(a) Larutan NaOH 0,1 N


Sebanyak 4 gram NaOH ditimbang, kemudian dilarutkan dengan aquadest
sebanyak 1 L.
(b) Larutan dapar HCl pH 1,2
Sebanyak 250 ml KCl 0,2 M dicampurkan dengan 425 ml HCl 0,2 M,
kemudian ditambahkan aquadest hingga 1 L.
(c) Larutan dapar fosfat pH 6,0
Sebanyak 250 ml KH2PO4 0,2 M dicampurkan dengan 28 ml NaOH 0,2 M,
kemudian ditambahkan aquadest hingga 1 L.

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


55

Lampiran 5. Panjang Gelombang Maksimum Teofilin

(a) Panjang gelombang maksimum teofilin dalam NaOH 0,1N

(b) Panjang gelombang maksimum teofilin dalam dapar HCl pH 1,2

(c) Panjang gelombang maksimum teofilin dalam dapar fosfat 6,0

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


56

Lampiran 6. Kurva Kalibrasi Teofilin

(a) Kurva kalibrasi teofilin dalam NaOH 0,1N


1,4
1,2
1
Absorbansi
0,8
0,6
y = 0,0662x + 0,0003
0,4 R = 1,0000
0,2 R = 1,0000

0
0 5 10 15 20
Konsentrasi (ppm)

(b) Kurva kalibrasi teofilin dalam dapar HCl pH 1,2


1,2
1
0,8
Absorbansi

0,6
0,4 y = 0,053x + 0,004
R = 0,9997
0,2 R = 0,9994
0
0 5 10 15 20
Konsentrasi (ppm)

(c) Kurva kalibrasi teofilin dalam dapar fosfat pH 6,0


1,2
1
0,8
Absorbansi

0,6
0,4 y = 0,057x + 0,002
R = 1,0000
0,2 R = 1,0000
0
0 5 10 15 20
Konsentrasi (ppm)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


57

Lampiran 7. Data Kurva Kalibrasi Teofilin

(a) Data kurva kalibrasi teofilin dalam medium NaOH 0,1N


Konsentrasi Absorbansi
0,0 0,000
1,0 0,068
2,0 0,133
4,0 0,264
8,0 0,529
12,0 0,794
16,0 1,056
18,0 1,194

(b) Data kurva kalibrasi teofilin dalam medium dapar HCl pH 1,2
Konsentrasi Absorbansi
0,0 0,000
1,0 0,057
2,0 0,116
4,0 0,225
8,0 0,436
12,0 0,657
16,0 0,839
20,0 1,083

(c) Data kurva kalibrasi teofilin dalam medium dapar fosfat pH 6,0
Konsentrasi Absorbansi
0,0 0,000
1,0 0,059
2,0 0,118
4,0 0,236
8,0 0,466
12,0 0,696
16,0 0,923
18,0 1,039

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


58

Lampiran 8. Data Penetapan Kadar Tablet Lepas Lambat Teofilin

Absorbansi C Kadar Kadar Rata-rata RSD


Merek SD
(A) (ppm) (mg) (%) Kadar (%) (%)
A 0,648 9,782 97,82 97,82 94,55 2,898 3,065
0,619 9,353 93,53 93,53
0,611 9,230 92,30 92,30
B 0,647 9,776 97,760 97,760 99,57 1,715 1,722
0,670 10,117 101,17 101,17
0,661 9,978 99,78 99,78

Perhitungan persen kadar uji penetapan kadar

Perhitungan penetapan kadar obat A:


Hasil absorbansi yang diperoleh dari penetapan kadar obat A(1) adalah 0,648 dan
persamaan regresi linier yang didapatkan dari kurva kalibrasi teofilin dalm NaOH
0,1 N adalah y = 0,0662x + 0,0003.

Kadar terbaca (g/ml) Kadar sebenarnya (kadar sebelum pengenceran)


y = 0,0662x + 0,0003 Kadar = Kadar terbaca x Faktor pengenceran
0,648 = 0,0662x + 0,0003 = 9,782 g/ml x 100
x = 0,6477 / 0,0662 Kadar = 978,2 g/ml
x = 9,782 g/ml

Kadar dalam 100 ml


Kadar = Kadar sebenarnya x 100 ml
= 978,2 g/ml x 100 ml
Kadar = 97.820 g
Kadar = 97,82 mg

Kadar dalam satu tablet


( )
Kadar = x Kadar dalam 100 ml
( )
,
= x 97,82 mg
,

Kadar = 293,467 mg

Kadar teofilin dalam tablet (%) Kadar teofilin dalam tablet (%)
( ) ( )
Kadar = ( )
x 100 % Kadar = 100 %
( )
, ,
= x 100 % = x 100 %

Kadar = 97,82 % Kadar = 97,82 %

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


59

Lampiran 9. Keragaman Bobot Obat A

Tablet Bobot Tablet (mg) Kadar Zat Aktif (%)


1 396,6 93,79
2 394,9 93,39
3 407,3 96,32
4 396,8 94,84
5 396,4 94,73
6 399,5 94,47
7 392,8 92,89
8 401,3 94,90
9 400,1 94,62
10 395,1 93,43
Rata-rata 398,08 94,14
SD 0,98
RSD (%) 1,04

Perhitungan kadar pada keragaman bobot obat A

( ) (%)
Kadar (%) =
( )

Contoh perhitungan kadar pada keragaman bobot obat A tablet 1:


Hasil penimbangan tablet 1 yaitu 396,6 mg dan dengan bobot rata-rata 20 tablet
pada penetapan kadar yaitu 399,82 mg. Diketahui kadar teofilin pada penetapan
kadar obat A adalah 94,55 %, sehingga kadar (%) dapat dihitung dengan cara
sebagai berikut:

( ) (%)
Kadar (%) =
( )
,
Kadar (%) = x 94,55 %
,

Kadar (%) = 93,79 %

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


60

Lampiran 10. Keseragaman Kandungan Obat B

Rata-rata
Absorbansi C Kadar
Tablet kadar
(A) (ppm) (%)
(%)
1-1 0,682 10,297 102,97 102,08
1-2 0,670 10,118 101,18
2-1 0,646 9,76 97,60 98,45
2-2 0,657 9,929 99,29
3-1 0,634 9,574 95,74 95,59
3-2 0,632 9,544 95,44
4-1 0,631 9,538 95,38 95,87
4-2 0,638 9,636 96,36
5-1 0,657 9,931 99,31 96,77
5-2 0,624 9,432 94,23
6-1 0,604 9,123 91,23 92,62
6-2 0,622 9,401 94,01
7-1 0,598 9,039 90,39 90,86
7-2 0,605 9,133 91,33
8-1 0,652 9,850 98,50 97,09
8-2 0,633 9,568 95,68
9-1 0,659 9,955 99,55 100,67
9-2 0,674 10,178 101,78
10-1 0,627 9,471 94,71 93,41
10-2 0,613 9,210 92,10
Rata-rata 96,34
SD 3,50
RSD (%) 3,63

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


61

(Lanjutan)

Perhitungan kadar uji keseragaman kandungan obat B

Perhitungan kadar uji keseragaman kandungan obat B tablet 1-1:


Hasil absorbansi yang diperoleh dari penetapan kadar obat A(1) adalah 0,682 dan
persamaan regresi linier yang didapatkan dari kurva kalibrasi teofilin dalm NaOH
0,1 N adalah y = 0,0662x + 0,0003.

Kadar terbaca (g/ml) Kadar sebenarnya (kadar sebelum pengenceran)


y = 0,0662x + 0,0003 Kadar = Kadar terbaca x Faktor pengenceran
0,682 = 0,0662x + 0,0003 = 10,297 g/ml x 100
x = 0,6817 / 0,0662 Kadar = 1.029,7 g/ml
x = 10,297 g/ml

Kadar dalam 100 ml


Kadar = Kadar sebenarnya x 100 ml
= 1.029,7 g/ml x 100 ml
Kadar = 102.970 g
Kadar = 102,97 mg\

Kadar dalam satu tablet


( )
Kadar = x Kadar dalam 100 ml
( )
,
= x 102,97 mg
,

Kadar = 257,425 mg

Kadar teofilin dalam tablet (%)


( )
Kadar = x 100 %
( )
,
= x 100%

Kadar = 102,97%

Kadar teofilin dalam tablet (%)


( )
Kadar = 100%
( )
,
= x 100%

Kadar = 102,97%

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


62

Lampiran 11. Kurva Kinetika Pelepasan Teofilin

(a) Kurva kinetika orde nol


100
90
80 y = 0,175x + 8,620
R = 0,986
70
60
FTT (%)

50
40 y = 0,137x + 4,782
30 R = 0,996

20
10
0
0 100 200 300 400 500 600
Waktu (menit)

Obat A Obat B Linear (Obat A) Linear (Obat B)

(b) Kurva kinetika orde satu


2,50
y = -0,001x + 2,004
2,00 R = 0,991
Log FST (%)

1,50

1,00 y = -0,001x + 2,024


R = 0,985

0,50

0,00
0 100 200 300 400 500 600
Waktu (menit)

Obat A Obat B Linear (Obat A) Linear (Obat B)

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


63

(c) Kurva kinetika model Higuchi


100
90
80
70 y = 4,586x - 14,9
60 R = 0,993
FTT (%)

50
40
30 y = 3,560x - 13,22
20 R = 0,985

10
0
0,000 5,000 10,000 15,000 20,000 25,000
Akar waktu (menit1/2)

Obat A Obat B Linear (Obat A) Linear (Obat B)

(d) Kurva kinetika model Korsmeyer-Peppas


2,000
1,800
y = 0,727x - 0,006
1,600 R = 0,995
1,400
Log FTT (%)

1,200
1,000
y = 0,758x - 0,215
0,800
R = 0,994
0,600
0,400
0,200
0,000
0,000 0,500 1,000 1,500 2,000 2,500 3,000
Log waktu (menit)

Obat A Obat B Linear (Obat A) Linear (Obat B)

Keterangan: FTT = Fraksi Teofilin Terdisolusi; FST = Fraksi Sisa Teofilin

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


64

Lampiran 12. DataHasil Analisa Kinetika Pelepasan Teofilin Obat A & Obat B

Kinetika Obat A Obat B


Orde nol y = 0,175x + 8,620 y = 0,137x + 4,782
r2 = 0,986 r2 = 0,996
k = 0,175 k = 0,137
Orde satu y = -0,001x + 2,024 y = -0,001x + 2,004
r2 = 0,985 r2 = 0,991
k = 0,00043 k = 0,00043
Higuchi y = 4,586x -14,39 y = 3,560x 13,22
r2 = 0,993 r2 = 0,985
k = 4,586 k = 3,560
Korsmeyer-Peppas y = 0,727x + 0,006 y = 0,758x - 0,215
r2 = 0,995 r2 = 0,994
k = 5,333 k = 5,728

Perhitungan Nilai Koefisien dari Beberapa Model Kinetika


Persamaan y = a + bx
Orde nol Mt/Mo = k0.t
Orde satu Log (100- Mt/Mo) = log 100 k1.t/2,303
Higuchi Mt/Mo= kH.t1/2
Korsmeyer-Peppas ln Mt/Mo= log kkp + n log t

Dengan mengolah data hasil disolusi menjadi persmaan y = a + bx, maka dapat
dihitung nilai koefisien laju pelepasan (k) dan eksponen difusi (n) sebagai berikut:

Orde nol : k0 = b

Orde satu: : k1 = -b / 2,303

Higuchi : kH = b

Korsmeyer-Peppas : kkp = 10n ; n = b

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


65

Lampiran 13. Data Persentase Kumulatif Teofilin yang Tedisolusi Tiap Waktu dari Hasil Uji Disolusi Obat A
Kadar teofilin yang terdisolusi (%)
Waktu Rentang Penerimaan
Tablet Uji SD RSD (%)
(menit) Rata-rata Tes 1 (USP XXX)
1 2 3 4 5 6
15 5,77 6,29 9,28 7,67 8,47 8,54 7,67 - 1,38 14,83
30 9,00 9,61 12,77 11,02 12,35 11,97 11,12 - 1,53 12,00
45 12,43 12,40 17,68 14,87 16,43 15,70 14,92 - 2,15 12,15
60 15,75 16,63 21,58 17,90 20,75 19,44 18,67 3-15% 2,31 10,71
120 29,43 32,11 36,99 35,08 30,50 30,48 32,43 20-40% 2,98 8,06
180 40,26 43,78 49,63 44,99 41,81 40,10 43,43 - 3,60 7,25
240 52,08 54,47 63,24 54,97 53,55 51,32 54,94 50-75% 4,30 6,80
300 64,00 65,93 70,39 61,31 64,52 61,05 64,53 - 3,43 4,88
360 69,88 73,79 79,84 71,64 74,81 71,15 73,52 65-100% 3,58 4,49
420 82,56 81,69 89,55 76,14 83,41 75,73 81,51 - 5,13 5,73
480 88,76 84,75 94,55 82,46 84,69 82,59 86,30 80% 4,64 4,91
*Kadar (%) teofilin yang terdisolusi > syarat pelepasan pada menit ke 60, sehingga tablet A tidak memenuhi tes 1

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


66

Lampiran 14. Data Persentase Kumulatif Teofilin yang Terdisolusi Tiap Waktu dari Hasil Uji Disolusi Obat B
Kadar teofilin yang terdisolusi (%)
Waktu Rentang Penerimaan
Tablet Uji SD RSD (%)
(menit) Rata-rata Tes 1 (USP XXX)
1 2 3 4 5 6
15 5,50 5,13 4,86 6,72 4,96 5,04 5,37 - 2,13 39,61
30 7,71 7,63 7,70 8,89 7,60 6,51 7,64 - 0,75 9,86
45 10,29 9,66 10,54 11,59 9,67 9,35 10,18 - 0,82 8,04
60 12,36 11,12 12,59 14,50 12,19 11,69 12,41 3-15% 1,15 9,27
120 23,98 22,97 24,40 26,11 22,87 22,15 23,75 20-40% 1,41 5,95
180 31,64 29,82 31,94 34,32 29,23 29,64 31,10 - 1,93 6,21
240 39,29 37,32 40,32 42,51 35,80 38,60 38,97 50-75% 2,34 6,01
300 46,49 45,71 48,03 50,85 43,86 45,94 46,81 - 2,39 5,11
360 54,60 53,56 57,29 60,23 49,76 53,37 54,64 65-100% 3,60 6,58
420 63,76 59,10 65,18 68,52 55,38 58,08 61,67 - 4,95 8,03
480 68,41 67,12 71,94 75,01 63,07 67,59 68,86 80% 4,14 6,01
540 71,22 75,18 77,94 80,30 68,51 75,25 74,73 - 4,31 5,77
600 80,21 81,24 80,22 82,81 72,61 84,75 80,31 - 4,15 5,17
660 84,58 85,09 84,47 84,55 77,32 88,76 84,13 - 3,72 4,42
*Kadar (%) teofilin yang terdisolusi < syarat pelepasan pada menit ke-240, 360, dan 480 sehingga tablet B tidak memenuhi tes 1

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


67

Perhitungan % jumlah kumulatif teofilin yang terlepas dari tablet

Xt =(V1 . C)+(V2 . 0 C)
(n-1)

Xt
% KPA = 100%
Xo

Keterangan :
Xt = Jumlahkumulatif teofilin yang terdisolusi pada waktu t
Xo = Jumlah teofilin yang terterapadaetiket
(Obat A = 300 mg; Obat B = 250 mg)
C = Konsentrasi teofilin yang terdisolusi pada waktu t
V1 = Volume medium disolusi (900 ml)
V2 = Volume cairan yang disampling (5 ml)
% KPA = % kumulatif pelepasan teofilin

Contoh perhitungan % kumulatif teofilin yang terlepas dari tablet 1 Obat A:

Waktu C Xt
(menit) (ppm) (mg)
15 19,240 (19,24 ppm 900 ml) + 0 = 17,316
30 29,880 (29,88 ppm 900 ml) + (0 + 17,316) = 26,988
45 41,145 (41,145 ppm 900 ml) + (0 + 17,316 + 26,988) = 37,031
dst

% kumulatif pelepasan teofilin pada menit ke-15:


Xt
% KPA = 100%
Xo
,
= 100%

% KPA = 5,77 %

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


68

Lampiran 15. Data Hasil Analisa Statistik Uji Disolusi Obat A dan Obat B
(a) Uji Normalitas Saphiro-Wilk
Tests of Normality

Merek_O Kolmogorov-Smirnova Shapiro-Wilk


bat Statistic df Sig. Statistic df Sig.
*
Menit_15 Obat A .219 6 .200 .921 6 .515
Obat B .299 6 .102 .754 6 .022
Menit_30 Obat A .210 6 .200* .915 6 .467
Obat B .314 6 .065 .865 6 .207
Mneit_45 Obat A .210 6 .200* .914 6 .464
Obat B .234 6 .200* .907 6 .417
Menit_60 Obat A .149 6 .200* .953 6 .763
Obat B .272 6 .189 .898 6 .361
Menit_120 Obat A .241 6 .200* .891 6 .325
Obat B .210 6 .200* .941 6 .664
Menit_180 Obat A .178 6 .200* .899 6 .367
Obat B .398 6 .004 .687 6 .004
Menit_240 Obat A .330 6 .039 .793 6 .051
Obat B .116 6 .200* .995 6 .998
Menit_300 Obat A .176 6 .200* .914 6 .465
Obat B .221 6 .200* .944 6 .689
Menit_360 Obat A .200 6 .200* .906 6 .413
Obat B .189 6 .200* .970 6 .896
Menit_420 Obat A .189 6 .200* .920 6 .504
Obat B .198 6 .200* .960 6 .822
Menit_480 Obat A .298 6 .105 .841 6 .132
Obat B .210 6 .200* .967 6 .872
a. Lilliefors Significance Correction

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


69

(b) Uji Homogenitas Metode Levenes Test

Test of Homogeneity of Variance


Levene Statistic df1 df2 Sig.
Menit_15 Based on Mean 3.261 1 10 .101
Based on Median 2.664 1 10 .134
Based on Median and with
2.664 1 9.305 .136
adjusted df
Based on trimmed mean 3.326 1 10 .098
Menit_30 Based on Mean 4.749 1 10 .054
Based on Median 3.955 1 10 .075
Based on Median and with
3.955 1 9.115 .078
adjusted df
Based on trimmed mean 4.744 1 10 .054
Mneit_45 Based on Mean 4.798 1 10 .053
Based on Median 4.177 1 10 .068
Based on Median and with
4.177 1 6.774 .082
adjusted df
Based on trimmed mean 4.793 1 10 .053
Menit_60 Based on Mean 5.129 1 10 .047
Based on Median 5.106 1 10 .047
Based on Median and with
5.106 1 9.772 .048
adjusted df
Based on trimmed mean 5.166 1 10 .046
Menit_120 Based on Mean 4.082 1 10 .071
Based on Median 1.843 1 10 .204
Based on Median and with
1.843 1 6.608 .219
adjusted df
Based on trimmed mean 3.653 1 10 .085
Menit_180 Based on Mean 1.574 1 10 .238
Based on Median .408 1 10 .537
Based on Median and with
.408 1 5.721 .548
adjusted df
Based on trimmed mean 1.037 1 10 .333
Menit_240 Based on Mean .590 1 10 .460
Based on Median .360 1 10 .562
Based on Median and with
.360 1 6.615 .569
adjusted df
Based on trimmed mean .468 1 10 .509
Menit_300 Based on Mean .389 1 10 .547
Based on Median .455 1 10 .515
Based on Median and with
.455 1 9.386 .516
adjusted df
Based on trimmed mean .400 1 10 .541

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


70

Levene Statistic df1 df2 Sig.

Menit_360 Based on Mean .000 1 10 .994


Based on Median .002 1 10 .967
Based on Median and with
.002 1 9.992 .967
adjusted df
Based on trimmed mean .000 1 10 .999
Menit_420 Based on Mean .082 1 10 .780
Based on Median .098 1 10 .760
Based on Median and with
.098 1 8.241 .762
adjusted df
Based on trimmed mean .069 1 10 .799
Menit_480 Based on Mean .120 1 10 .736
Based on Median .004 1 10 .949
Based on Median and with
.004 1 9.336 .950
adjusted df
Based on trimmed mean .081 1 10 .782

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


71

(c) Uji Komparatif Independent Sample Test

Independent Samples Test


Levene's Test for
Equality of Variances t-test for Equality of Means
Mean Std. Error 95% Confidence Interval of the Difference
F Sig. t df Sig. (2-tailed) Difference Difference Lower Upper
Menit_15 Equal variances assumed 3.261 .101 3.653 10 .004 2,30483 ,63088 ,89915 3,71052
Equal variances not assumed 3.653 7.406 .007 2,30483 ,63088 ,82946 3,78020
Menit_30 Equal variances assumed 4.749 .054 4.945 10 .001 3,44717 ,69706 1,89403 5,00031
Equal variances not assumed 4.945 7.281 .001 3,44717 ,69706 1,81169 5,08264
Mneit_45 Equal variances assumed 4.798 .053 5.048 10 .001 4,73617 ,93825 2,64561 6,82672
Equal variances not assumed 5.048 6.423 .002 4,73617 ,93825 2,47650 6,99583
Menit_60 Equal variances assumed 5.129 .047 5.949 10 .000 6,26700 1,05338 3,91993 8,61407
Equal variances not assumed 5.949 7.338 .000 6,26700 1,05338 3,79925 8,73475
Menit_120 Equal variances assumed 4.082 .071 6.447 10 .000 8,68517 1,34711 5,68362 11,68672
Equal variances not assumed 6.447 7.141 .000 8,68517 1,34711 5,51243 11,85791
Menit_180 Equal variances assumed 1.574 .238 3.936 10 .003 15,66350 3,97929 6,79710 24,52990
Equal variances not assumed 3.936 6.540 .006 15,66350 3,97929 6,11815 25,20885
Menit_240 Equal variances assumed .590 .460 7.993 10 .000 15,96700 1,99761 11,51605 20,41795
Equal variances not assumed 7.993 7.726 .000 15,96700 1,99761 11,33194 20,60206
Menit_300 Equal variances assumed .389 .547 10.366 10 .000 17,71867 1,70930 13,91010 21,52723
Equal variances not assumed 10.366 8.922 .000 17,71867 1,70930 13,84680 21,59054
Menit_360 Equal variances assumed .000 .994 9.036 10 .000 18,71717 2,07130 14,10202 23,33231
Equal variances not assumed 9.036 10.000 .000 18,71717 2,07130 14,10201 23,33232

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


72

Menit_420 Equal variances assumed .082 .780 6.815 10 .000 19,84300 2,91156 13,35565 26,33035
Equal variances not assumed 6.815 9.988 .000 19,84300 2,91156 13,35456 26,33144
Menit_480 Equal variances assumed .120 .736 6.871 10 .000 17,44350 2,53881 11,78668 23,10032
Equal variances not assumed 6.871 9.874 .000 17,44350 2,53881 11,77685 23,11015

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta


73

(d) Uji Komparatif Non-Parametrik Mann-Whitney

Ranks
Merek_Obat N Mean Rank Sum of Ranks
Menit_15 Obat A 6 9.17 55.00
Obat B 6 3.83 23.00
Total 12
Menit_60 Obat A 6 9.50 57.00
Obat B 6 3.50 21.00
Total 12
Menit_180 Obat A 6 9.50 57.00
Obat B 6 3.50 21.00
Total 12

Test Statisticsb
Menit_15 Menit_60 Menit_180
Mann-Whitney U 2.000 .000 .000
Wilcoxon W 23.000 21.000 21.000
Z -2.562 -2.882 -2.882
Asymp. Sig. (2-tailed) .010 .004 .004
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .009a .002a .002a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Merek_Obat

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Anda mungkin juga menyukai