PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Bells palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis akibat paralisis nervus fasial
perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar sistem
saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya.
Paralisis fasial idiopatik atau Bells palsy, ditemukan oleh Sir Charles Bell, dokter dari
Skotlandia. Bells palsy sering terjadi setelah infeksi virus ( misalnya herpes simplex) atau
setelah imunisasi, lebih sering terjadi pada wanita hamil dan penderita diabetes serta
penderita hipertensi Lokasi cedera nervus fasialis pada Bells palsy adalah di bagian perifer
nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum.
Salah satu gejala Bells palsy adalah kelopak mata sulit menutup dan saat penderita
berusaha menutup kelopak matanya, matanya terputar ke atas dan matanya tetap kelihatan.
Gejala ini disebut juga fenomena Bell. Pada observasi dapat dilihat juga bahwa gerakan
kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat jika dibandingkan dengan gerakan bola mata
yang sehat (lagoftalmos).
DEFINISI (2)
Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak diketahui
sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti beberapa penderita
dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n. fasialis perifer yang tidak diketahui
sebabnya disebut Bell's pals.
Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi anatomi
menunjukkan bahwa BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat dengan banyak
faktor dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada
usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2 tahun. Biasanya didahului oleh infeksi
saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin
EPIDEMIOLOGI (3, 4)
Bells palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut.
Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah
ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bells palsy setiap tahun
sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bells palsy
rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih
tinggi, dibanding non-diabetes. Bells palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan
perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan
terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai
semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester
ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bells palsy lebih tinggi
daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat
Sedangkan di Indonesia, insiden Bells palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang
dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bells palsy sebesar
19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 30 tahun. Lebih sering
terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas
maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara
dingin atau angin berlebihan .
ANATOMI (5)
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator palpebrae (n.III),
otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah).
2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius superior. Serabut
saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan
glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian
depan lidah.
4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba) dari
sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.
Nervus fasialis (N.VII) terutama merupakan saraf motorik yang menginervasi otot-
otot ekspresi wajah. Di samping itu saraf ini membawa serabut parasimpatis ke kelenjar ludah
dan air mata dank ke selaput mukosa rongga mulut dan hidung, dan juga menghantarkan
sensasi eksteroseptif dari daerah gendang telinga, sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan
lidah, dan sensasi visceral umum dari kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring, dan sensasi
proprioseptif dari otot yang disarafinya.
Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang menghantar sensasi
dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai saraf intermedius atau pars
intermedius Wisberg. Sel sensoriknya terletak di ganglion genikulatum, pada lekukan saraf
fasialis di kanal fasialis. Sensasi pengecapan daru 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui
saraf lingual korda timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum. Serabut yang menghantar
sensasi ekteroseptif mempunyai badan selnya di ganglion genikulatum dan berakhir pada
akar desenden dan inti akar decenden dari saraf trigeminus (N.V). hubungan sentralnya
identik dengan saraf trigeminus.
Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI, dan keluar di
bagian leteral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral pons, di antara nervus V
dan nervus VIII. Nervus VII bersama nervus intermedius dan nervus VIII memasuki meatus
akustikus internus. Di sini nervus fasialis bersatu dengan nervus intermedius dan menjadi
satu berkas saraf yang berjalan dalam kanalis fasialis dan kemudian masuk ke dalam os
mastoid. Ia keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stilomastoid, dan bercabang untuk
mersarafi otot- otot wajah.
PATOFISIOLOGI (6)
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bells palsy terjadi proses inflamasi akut pada
nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bells palsy
hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu minggu atau
lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh.
Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi
pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi
kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal.
Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang
mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen
mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau
iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh
nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear dan infranuklear. Lesi
supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar
ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks
motorik primer. Karena adanya suatu proses yang dikenal awam sebagai masuk angin atau
dalam bahasa inggris cold. Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau
mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya
Bells palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen
stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di
pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen
stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di
daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis
fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan
melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan
dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan
lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bells palsy adalah reaktivasi
virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama
virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes
zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan
kelumpuhan fasialis LMN. Kelumpuhan pada Bells palsy akan terjadi bagian atas dan bawah
dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat
ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas.
Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucukan dan platisma tidak bisa
digerakkan. Karena lagophtalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga
tertimbun disitu.
ETIOLOGI (1)
Penyebab adalah kelumpuhan n. fasialis perifer. Umumnya dapat dikelompokkan sebagai
berikut:
A. Idiopatik
Sampai sekarang belum diketahui secara pasti penyebabnya yang disebut bells palsy. Faktor-
faktor yang diduga berperan menyebabkan Bells Palsy antara lain : sesudah bepergian jauh
dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi, stres,
hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan imunologik dan faktor
genetic.
B. Kongenital
a. anomali kongenital (sindroma Moebius)
b. trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.)
C. Didapat
Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi :
a. Lesi di luar foramen stilomastoideus Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat,makanan
berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang.
lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi
maka air mata akan keluar terus menerus.
b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani) Gejala dan tanda klinik seperti pada (a),
ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di
sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya
nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda
timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.
c. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)
Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), (b), ditambah dengan adanya hiperakusis.
d. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c) disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam
liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan konka.
Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di
ganglion genikulatum. Lesi herpetik terlibat di membran timpani, kanalis auditorius eksterna
dan pina.
e. Lesi di daerah meatus akustikus interna, Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c), (d),
ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya nervus akustikus.
DIAGNOSA (4)
A. Anamnesa
- Rasa nyeri
- Gangguan atau kehilangan pengecapan.
- Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di ruangan terbuka
atau di luar ruangan.
- Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran pernafasan,
otitis, herpes, dan lain-lain.
B. Pemeriksaan Fisik
Gerakan volunter yang diperiksa, dianjurkan minimal :
1. Mengerutkan dahi
2. Memejamkan mata
4. Tersenyum
5. Bersiul
C. Pemeriksaan Laboratorium.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis Bells palsy.
D. Pemeriksaan Radiologi.
Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bells palsy. Pemeriksaan CT-Scan dilakukan jika
dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke tulang, stroke, sklerosis multipel dan
AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI pada pasien Bells palsy akan menunjukkan adanya
penyangatan (Enhancement) pada nervus fasialis, atau pada telinga, ganglion genikulatum.
Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul beberapa bulan
setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang salah dari serabut otonom
yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar
ganglion genikulatum.
2. Synkinesis
Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri. selalu timbul
gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan timbul gerakan
(involunter) elevasi sudut mulut,kontraksi platisma, atau berkerutnya dahi. Penyebabnya
adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami regenerasi bersambung dengan
serabut-serabut otot yang salah.
Timbul kedutan pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak terkendali) dan
juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium awal hanya mengenai satu sisi wajah
saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada sisi lainnya. Kelelahan dan kelainan psikis dapat
memperberat spasme ini. Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang
timbul dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian.
DAFTAR PUSTAKA
1. Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta neurologi;
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. hal 297-300
2. Dr P Nara, Dr Sukardi, Bells Palsy, http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/sPalsy.pdf/
sPalsy.html (diakses tanggal 11 desember 2011)
3. Danette C Taylor, DO, MS. 2011, Bell Palsy,
http://emedicine.medscape.com/article/1146903-overview#a0156 (diakses tanggal 22
Desember 2011).
4. Annsilva, 2010, Bells Palsy, http://annsilva.wordpress.com/2010/04/04/bells-palsy-case-
report/ (diakses tanggal 11 desember 2011)
5. Lumbantobing. 2007.Neurologi Klinik.Jakarta: Universitas Indonesia.
6. Irga, 2009, Bells Palsy, http://www.irwanashari.com/260/bells-palsy.html, (diakses tanggal
12 Desember 2011)
7. Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed 5. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal. 174
8. Nurdin, Moslem Hendra, 2010, Bell Palsy, http://coolhendra.blogspot.com/2010/08/bell-
palsy.html (diakses tanggal 12 desember 2011)
9. Sabirin J. Bells Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I. Semarang :
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1990 : 171-81 2
10. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2. Jakarta : Dian Rakyat, 1985
: 311-17