Anda di halaman 1dari 10

PENDAHULUAN (1)

Bells palsy atau prosoplegia adalah kelumpuhan fasialis akibat paralisis nervus fasial
perifer yang terjadi secara akut dan penyebabnya tidak diketahui (idiopatik) di luar sistem
saraf pusat tanpa disertai adanya penyakit neurologis lainnya.
Paralisis fasial idiopatik atau Bells palsy, ditemukan oleh Sir Charles Bell, dokter dari
Skotlandia. Bells palsy sering terjadi setelah infeksi virus ( misalnya herpes simplex) atau
setelah imunisasi, lebih sering terjadi pada wanita hamil dan penderita diabetes serta
penderita hipertensi Lokasi cedera nervus fasialis pada Bells palsy adalah di bagian perifer
nukleus nervus VII. Cedera tersebut terjadi di dekat ganglion genikulatum.
Salah satu gejala Bells palsy adalah kelopak mata sulit menutup dan saat penderita
berusaha menutup kelopak matanya, matanya terputar ke atas dan matanya tetap kelihatan.
Gejala ini disebut juga fenomena Bell. Pada observasi dapat dilihat juga bahwa gerakan
kelopak mata yang tidak sehat lebih lambat jika dibandingkan dengan gerakan bola mata
yang sehat (lagoftalmos).
DEFINISI (2)
Bell's Palsy (BP) ialah suatu kelumpuhan akut n. fasialis perifer yang tidak diketahui
sebabnya. Sir Charles Bell (1821) adalah orang yang pertama meneliti beberapa penderita
dengan wajah asimetrik, sejak itu semua kelumpuhan n. fasialis perifer yang tidak diketahui
sebabnya disebut Bell's pals.
Pengamatan klinik, pemeriksaan neurologik, laboratorium dan patologi anatomi
menunjukkan bahwa BP bukan penyakit tersendiri tetapi berhubungan erat dengan banyak
faktor dan sering merupakan gejala penyakit lain. Penyakit ini lebih sering ditemukan pada
usia dewasa, jarang pada anak di bawah umur 2 tahun. Biasanya didahului oleh infeksi
saluran napas bagian atas yang erat hubungannya dengan cuaca dingin

EPIDEMIOLOGI (3, 4)
Bells palsy menempati urutan ketiga penyebab terbanyak dari paralysis fasial akut.
Di dunia, insiden tertinggi ditemukan di Seckori, Jepang tahun 1986 dan insiden terendah
ditemukan di Swedia tahun 1997. Di Amerika Serikat, insiden Bells palsy setiap tahun
sekitar 23 kasus per 100.000 orang, 63% mengenai wajah sisi kanan. Insiden Bells palsy
rata-rata 15-30 kasus per 100.000 populasi. Penderita diabetes mempunyai resiko 29% lebih
tinggi, dibanding non-diabetes. Bells palsy mengenai laki-laki dan wanita dengan
perbandingan yang sama. Akan tetapi, wanita muda yang berumur 10-19 tahun lebih rentan
terkena daripada laki-laki pada kelompok umur yang sama. Penyakit ini dapat mengenai
semua umur, namun lebih sering terjadi pada umur 15-50 tahun. Pada kehamilan trisemester
ketiga dan 2 minggu pasca persalinan kemungkinan timbulnya Bells palsy lebih tinggi
daripada wanita tidak hamil, bahkan bisa mencapai 10 kali lipat
Sedangkan di Indonesia, insiden Bells palsy secara pasti sulit ditentukan. Data yang
dikumpulkan dari 4 buah Rumah sakit di Indonesia didapatkan frekuensi Bells palsy sebesar
19,55 % dari seluruh kasus neuropati dan terbanyak pada usia 21 30 tahun. Lebih sering
terjadi pada wanita daripada pria. Tidak didapati perbedaan insiden antara iklim panas
maupun dingin, tetapi pada beberapa penderita didapatkan adanya riwayat terpapar udara
dingin atau angin berlebihan .
ANATOMI (5)
Saraf otak ke VII mengandung 4 macam serabut, yaitu :
1. Serabut somato motorik, yang mensarafi otot-otot wajah (kecuali m. levator palpebrae (n.III),
otot platisma, stilohioid, digastrikus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah).
2. Serabut visero-motorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius superior. Serabut
saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal, dan
glandula submaksilaris serta sublingual dan lakrimalis.
3. Serabut visero-sensorik, yang menghantar impuls dari alat pengecap di dua pertiga bagian
depan lidah.
4. Serabut somato-sensorik, rasa nyeri (dan mungkin juga rasa suhu dan rasa raba) dari
sebagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi oleh nervus trigeminus.
Nervus fasialis (N.VII) terutama merupakan saraf motorik yang menginervasi otot-
otot ekspresi wajah. Di samping itu saraf ini membawa serabut parasimpatis ke kelenjar ludah
dan air mata dank ke selaput mukosa rongga mulut dan hidung, dan juga menghantarkan
sensasi eksteroseptif dari daerah gendang telinga, sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan
lidah, dan sensasi visceral umum dari kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring, dan sensasi
proprioseptif dari otot yang disarafinya.
Secara anatomis bagian motorik saraf ini terpisah dari bagian yang menghantar sensasi
dan serabut parasimpatis, yang terakhir ini sering dinamai saraf intermedius atau pars
intermedius Wisberg. Sel sensoriknya terletak di ganglion genikulatum, pada lekukan saraf
fasialis di kanal fasialis. Sensasi pengecapan daru 2/3 bagian depan lidah dihantar melalui
saraf lingual korda timpani dan kemudian ke ganglion genikulatum. Serabut yang menghantar
sensasi ekteroseptif mempunyai badan selnya di ganglion genikulatum dan berakhir pada
akar desenden dan inti akar decenden dari saraf trigeminus (N.V). hubungan sentralnya
identik dengan saraf trigeminus.
Inti motorik nervus VII terletak di pons. Serabutnya mengitari nervus VI, dan keluar di
bagian leteral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral pons, di antara nervus V
dan nervus VIII. Nervus VII bersama nervus intermedius dan nervus VIII memasuki meatus
akustikus internus. Di sini nervus fasialis bersatu dengan nervus intermedius dan menjadi
satu berkas saraf yang berjalan dalam kanalis fasialis dan kemudian masuk ke dalam os
mastoid. Ia keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stilomastoid, dan bercabang untuk
mersarafi otot- otot wajah.
PATOFISIOLOGI (6)
Para ahli menyebutkan bahwa pada Bells palsy terjadi proses inflamasi akut pada
nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar foramen stilomastoideus. Bells palsy
hampir selalu terjadi secara unilateral. Namun demikian dalam jarak waktu satu minggu atau
lebih dapat terjadi paralysis bilateral. Penyakit ini dapat berulang atau kambuh.
Patofisiologinya belum jelas, tetapi salah satu teori menyebutkan terjadinya proses inflamasi
pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan diameter nervus fasialis sehingga terjadi
kompresi dari saraf tersebut pada saat melalui tulang temporal.
Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal melalui kanalis fasialis yang
mempunyai bentuk seperti corong yang menyempit pada pintu keluar sebagai foramen
mental. Dengan bentukan kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau
iskemik dapat menyebabkan gangguan dari konduksi. Impuls motorik yang dihantarkan oleh
nervus fasialis bisa mendapat gangguan di lintasan supranuklear dan infranuklear. Lesi
supranuklear bisa terletak di daerah wajah korteks motorik primer atau di jaras kortikobulbar
ataupun di lintasan asosiasi yang berhubungan dengan daerah somatotropik wajah di korteks
motorik primer. Karena adanya suatu proses yang dikenal awam sebagai masuk angin atau
dalam bahasa inggris cold. Paparan udara dingin seperti angin kencang, AC, atau
mengemudi dengan kaca jendela yang terbuka diduga sebagai salah satu penyebab terjadinya
Bells palsy. Karena itu nervus fasialis bisa sembab, ia terjepit di dalam foramen
stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan fasialis LMN. Pada lesi LMN bisa terletak di
pons, di sudut serebelo-pontin, di os petrosum atau kavum timpani, di foramen
stilomastoideus dan pada cabang-cabang tepi nervus fasialis. Lesi di pons yang terletak di
daerah sekitar inti nervus abdusens dan fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralisis
fasialis LMN tersebut akan disertai kelumpuhan muskulus rektus lateralis atau gerakan
melirik ke arah lesi. Selain itu, paralisis nervus fasialis LMN akan timbul bergandengan
dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia (tidak bisa mengecap dengan 2/3 bagian depan
lidah). Berdasarkan beberapa penelitian bahwa penyebab utama Bells palsy adalah reaktivasi
virus herpes (HSV tipe 1 dan virus herpes zoster) yang menyerang saraf kranialis. Terutama
virus herpes zoster karena virus ini menyebar ke saraf melalui sel satelit. Pada radang herpes
zoster di ganglion genikulatum, nervus fasialis bisa ikut terlibat sehingga menimbulkan
kelumpuhan fasialis LMN. Kelumpuhan pada Bells palsy akan terjadi bagian atas dan bawah
dari otot wajah seluruhnya lumpuh. Dahi tidak dapat dikerutkan, fisura palpebra tidak dapat
ditutup dan pada usaha untuk memejam mata terlihatlah bola mata yang berbalik ke atas.
Sudut mulut tidak bisa diangkat. Bibir tidak bisa dicucukan dan platisma tidak bisa
digerakkan. Karena lagophtalmos, maka air mata tidak bisa disalurkan secara wajar sehingga
tertimbun disitu.
ETIOLOGI (1)
Penyebab adalah kelumpuhan n. fasialis perifer. Umumnya dapat dikelompokkan sebagai
berikut:

A. Idiopatik
Sampai sekarang belum diketahui secara pasti penyebabnya yang disebut bells palsy. Faktor-
faktor yang diduga berperan menyebabkan Bells Palsy antara lain : sesudah bepergian jauh
dengan kendaraan, tidur di tempat terbuka, tidur di lantai, hipertensi, stres,
hiperkolesterolemi, diabetes mellitus, penyakit vaskuler, gangguan imunologik dan faktor
genetic.
B. Kongenital
a. anomali kongenital (sindroma Moebius)
b. trauma lahir (fraktur tengkorak, perdarahan intrakranial .dll.)
C. Didapat

a. Trauma Penyakit tulang tengkorak (osteomielitis)

b. Proses intrakranial (tumor, radang, perdarahan dll)

c. Proses di leher yang menekan daerah prosesus stilomastoideus)

d. Infeksi tempat lain (otitis media, herpes zoster dll)

e. Sindroma paralisis n. fasialis familial


GEJALA KLINIK (1, 2)
Manifestasi klinik BP khas dengan memperhatikan riwayat penyakit dan gejala
kelumpuhan yang timbul. Pada anak 73% didahului infeksi saluran napas bagian atas yang
erat hubungannya dengan cuaca dingin. Perasaan nyeri, pegal, linu dan rasa tidak enak pada
telinga atau sekitarnya sering merupakan gejala awal yang segera diikuti oleh gejala
kelumpuhan otot wajah berupa :
Kelopak mata tidak dapat menutupi bola mata pada sisi yang lumpuh (lagophthalmos).
Gerakan bola mata pada sisi yang lumpuh lambat, disertai bola mata berputar zXke atas bila
memejamkan mata, fenomena ini disebut Bell's sign
Sudut mulut tidak dapat diangkat, lipat nasolabialis mendatar pada sisi yang lumpuh dan
mencong ke sisi yang sehat.

Selanjutnya gejala dan tanda klinik lainnya berhubungan dengan tempat/lokasi lesi :
a. Lesi di luar foramen stilomastoideus Mulut tertarik ke arah sisi mulut yang sehat,makanan
berkumpul di antar pipi dan gusi, dan sensasi dalam (deep sensation) di wajah menghilang.
lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak tertutup atau tidak dilindungi
maka air mata akan keluar terus menerus.
b. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani) Gejala dan tanda klinik seperti pada (a),
ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di
sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya
nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di daerah antara pons dan titik di mana korda
timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.
c. Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)
Gejala dan tanda klinik seperti pada (a), (b), ditambah dengan adanya hiperakusis.
d. Lesi di tempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c) disertai dengan nyeri di belakang dan di dalam
liang telinga. Kasus seperti ini dapat terjadi pasca herpes di membran timpani dan konka.
Ramsay Hunt adalah paralisis fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di
ganglion genikulatum. Lesi herpetik terlibat di membran timpani, kanalis auditorius eksterna
dan pina.
e. Lesi di daerah meatus akustikus interna, Gejala dan tanda klinik seperti (a), (b), (c), (d),
ditambah dengan tuli sebagi akibat dari terlibatnya nervus akustikus.
DIAGNOSA (4)
A. Anamnesa
- Rasa nyeri
- Gangguan atau kehilangan pengecapan.
- Riwayat pekerjaan dan adakah aktivitas yang dilakukan pada malam hari di ruangan terbuka
atau di luar ruangan.
- Riwayat penyakit yang pernah dialami oleh penderita seperti infeksi saluran pernafasan,
otitis, herpes, dan lain-lain.
B. Pemeriksaan Fisik
Gerakan volunter yang diperiksa, dianjurkan minimal :

1. Mengerutkan dahi

2. Memejamkan mata

3. Mengembangkan cuping hidung

4. Tersenyum

5. Bersiul

6. Mengencangkan kedua bibir

C. Pemeriksaan Laboratorium.
Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk menegakkan diagnosis Bells palsy.
D. Pemeriksaan Radiologi.
Pemeriksaan radiologi bukan indikasi pada Bells palsy. Pemeriksaan CT-Scan dilakukan jika
dicurigai adanya fraktur atau metastasis neoplasma ke tulang, stroke, sklerosis multipel dan
AIDS pada CNS. Pemeriksaan MRI pada pasien Bells palsy akan menunjukkan adanya
penyangatan (Enhancement) pada nervus fasialis, atau pada telinga, ganglion genikulatum.

DIAGNOSA BANDING (2)


1. Infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom)
Ramsay Hunt Syndrome (RHS) adalah infeksi saraf wajah yang disertai dengan ruam
yang menyakitkan dan kelemahan otot wajah.
Tanda dan gejala RHS meliputi:
Ruam merah yang menyakitkan dengan lepuh berisi cairan di gendang telinga, saluran
telinga eksternal, bagian luar telinga, atap dari mulut (langit-langit) atau lidah
Kelemahan (kelumpuhan) pada sisi yang sama seperti telinga yang terkinfeksi
Kesulitan menutup satu mata
Sakit telinga
Pendengaran berkurang
Dering di telinga (tinnitus)
Sebuah sensasi berputar atau bergerak (vertigo)
Perubahan dalam persepsi rasa

2. Miller Fisher Syndrom


Miller Fisher syndrom adalah varian dari Guillain Barre syndrom yang jarang
dijumpai.Miiler Fisher syndrom atau Acute Disseminated Encephalomyeloradiculopaty
ditandai dengan trias gejala neurologis berupa opthalmoplegi, ataksia, dan arefleksia yang
kuat. Pada Miller Fisher syndrom didapatakan double vision akibat kerusakan nervus cranial
yang menyebabkan kelemahan otot otot mata . Selain itu kelemahan nervus facialis
menyebabkan kelemahan otot wajah tipe perifer. Kelumpuhan nervus facialis tipe perifer
pada Miller Fisher syndrom menyerang otot wajah bilateral. Gejala lain bisa didapatkan rasa
kebas, pusing dan mual.

TATA LAKSANA (1, 8)


1. Istirahat terutama pada keadaan akut
2. Medikamentosa
a. Pemberian kortikosteroid (perdnison dengan dosis 40 -60 mg/hari per oral atau 1
mg/kgBB/hari selama 3 hari, diturunkan perlahan-lahan selama 7 hari kemudian), dimana
pemberiannya dimulai pada hari kelima setelah onset penyakit, gunanya untuk meningkatkan
peluang kesembuhan pasien.
Dasar dari pengobatan ini adalah untuk menurunkan kemungkinan terjadinya kelumpuhan
yang sifatnya permanen yang disebabkan oleh pembengkakan nervus fasialis di dalam kanal
fasialis yang sempit.
b. Penggunaan obat- obat antivirus . Acyclovir (400 mg selama 10 hari) dapat
digunakan dalam penatalaksanaan Bells palsy yang dikombinasikan dengan prednison atau
dapat juga diberikan sebagai dosis tunggal untuk penderita yang tidak dapat mengkonsumsi
prednison.Penggunaan Acyclovir akan berguna jika diberikan pada 3 hari pertama dari onset
penyakit untuk mencegah replikasi virus.
c. Perawatan mata:
Air mata buatan: digunakan selama masa sadar untuk menggantikan lakrimasi yang hilang.
Pelumas digunakan saat tidur: Dapat digunakan selama masa sadar jika air mata buatan
tidak mampu menyedikan perlindungan yang adekuat. Satu kerugiannya adalah pandangan
kabur.
Kacamata atau tameng pelindung mata dari trauma dan menurunkan pengeringan dengan
menurunkan paparan udara langsung terhadap kornea
3. Fisioterapi
Sering dikerjakan bersama-sama pemberian prednison, dapat dianjurkan pada stadium akut.
Tujuan fisioterapi untuk mempertahankan tonus otot yang lumpuh. Cara yang sering
digunakan yaitu : mengurut/massage otot wajah selama 5 menit pagi-sore atau dengan
faradisasi.
4. Operasi
Tindakan operatif umumnya tidak dianjurkan pada anak-anak karena dapat menimbulkan
komplikasi lokal maupun intracranial.
Tindakan operatif dilakukan apabila :
tidak terdapat penyembuhan spontan
tidak terdapat perbaikan dengan pengobatan prednison

KOMPLIKASI (2, 9,10)


1. Crocodile tear phenomenon.

Yaitu keluarnya air mata pada saat penderita makan makanan. Ini timbul beberapa bulan
setelah terjadi paresis dan terjadinya akibat dari regenerasi yang salah dari serabut otonom
yang seharusnya ke kelenjar saliva tetapi menuju ke kelenjar lakrimalis. Lokasi lesi di sekitar
ganglion genikulatum.

2. Synkinesis

Dalam hal ini otot-otot tidak dapat digerakkan satu per satu atau tersendiri. selalu timbul
gerakan bersama. Misal bila pasien disuruh memejamkan mata, maka akan timbul gerakan
(involunter) elevasi sudut mulut,kontraksi platisma, atau berkerutnya dahi. Penyebabnya
adalah innervasi yang salah, serabut saraf yang mengalami regenerasi bersambung dengan
serabut-serabut otot yang salah.

3. Tic Facialis sampai Hemifacial Spasme

Timbul kedutan pada wajah (otot wajah bergerak secara spontan dan tidak terkendali) dan
juga spasme otot wajah, biasanya ringan. Pada stadium awal hanya mengenai satu sisi wajah
saja, tetapi kemudian dapat mengenai pada sisi lainnya. Kelelahan dan kelainan psikis dapat
memperberat spasme ini. Komplikasi ini terjadi bila penyembuhan tidak sempurna, yang
timbul dalam beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian.

PROGNOSIS (3, 6,7)


Walaupun tanpa diberikan terapi, pasien Bells palsy cenderung memiliki prognosis yang
baik. Dalam sebuah penelitian pada 1.011 penderita Bells palsy, 85% memperlihatkan tanda-
tanda perbaikan pada minggu ketiga setelah onset penyakit. 15% kesembuhan terjadi pada 3-
6 bulan kemudian.
Sepertiga dari penderita Bells palsy dapat sembuh seperti sedia kala tanpa gejala sisa. 1/3
lainnya dapat sembuh tetapi dengan elastisitas otot yang tidak berfungsi dengan baik.
Penderita seperti ini tidak memiliki kelainan yang nyata. 1/3 sisanya cacat seumur hidup.
Penderita Bells palsy dapat sembuh total atau meninggalkan gejala sisa. Faktor resiko
yang memperburuk prognosis Bells palsy adalah:
1. Usia di atas 60 tahun
2. Paralisis komplit
3. Menurunnya fungsi pengecapan atau aliran saliva pada sisi yang lumpuh,
4. Nyeri pada bagian belakang telinga dan
5. Berkurangnya air mata.
Pada penderita kelumpuhan nervus fasialis perifer tidak boleh dilupakan untuk
mengadakan pemeriksaan neurologis dengan teliti untuk mencari gejala neurologis lain.
Pada umumnya prognosis Bells palsy baik: sekitar 80-90 % penderita sembuh dalam waktu 6
minggu sampai tiga bulan tanpa ada kecacatan. Penderita yang berumur 60 tahun atau lebih,
mempunyai peluang 40% sembuh total dan beresiko tinggi meninggalkan gejala sisa.
Penderita yang berusia 30 tahun atau kurang, hanya punya perbedaan peluang 10-15 persen
antara sembuh total dengan meninggalkan gejala sisa. Jika tidak sembuh dalam waktu 4
bulan, maka penderita cenderung meninggalkan gejala sisa, yaitu sinkinesis, crocodile tears
dan kadang spasme hemifasial.
Penderita diabetes 30% lebih sering sembuh secara parsial dibanding penderita
nondiabetik dan penderita DM lebih sering kambuh dibanding yang non DM. Hanya 23 %
kasus Bells palsy yang mengenai kedua sisi wajah. Bells palsy kambuh pada 10-15 %
penderita. Sekitar 30 % penderita yang kambuh ipsilateral menderita tumor N. VII atau tumor
kelenjar parotis.
KESIMPULAN (1)
Bells palsy adalah kelumpuhan akut dari nervus fasialis VII yang dapat menyebabkan
gangguan pada indera pengecapan , yaitu pada dua per tiga anterior lidah.Penyakit ini lebih
sering ditemukan pada usia dewasa dan jarang pada anak.
Diagnosis dapat ditegakkan secara klinik setelah kausa yang jelas untuk lesi n. fasialis perifer
disingkirkan. Terapi yang dianjurkan saat ini ialah pemberian prednison, fisioterapi dan kalau
perlu operasi

DAFTAR PUSTAKA

1. Djamil Y, A Basjiruddin. Paralisis Bell. Dalam: Harsono, ed. Kapita selekta neurologi;
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.2009. hal 297-300
2. Dr P Nara, Dr Sukardi, Bells Palsy, http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/sPalsy.pdf/
sPalsy.html (diakses tanggal 11 desember 2011)
3. Danette C Taylor, DO, MS. 2011, Bell Palsy,
http://emedicine.medscape.com/article/1146903-overview#a0156 (diakses tanggal 22
Desember 2011).
4. Annsilva, 2010, Bells Palsy, http://annsilva.wordpress.com/2010/04/04/bells-palsy-case-
report/ (diakses tanggal 11 desember 2011)
5. Lumbantobing. 2007.Neurologi Klinik.Jakarta: Universitas Indonesia.
6. Irga, 2009, Bells Palsy, http://www.irwanashari.com/260/bells-palsy.html, (diakses tanggal
12 Desember 2011)
7. Weiner HL, Levitt LP. Ataksia. Wita JS, editor. Buku Saku Neurologi. Ed 5. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2001. Hal. 174
8. Nurdin, Moslem Hendra, 2010, Bell Palsy, http://coolhendra.blogspot.com/2010/08/bell-
palsy.html (diakses tanggal 12 desember 2011)
9. Sabirin J. Bells Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I. Semarang :
Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1990 : 171-81 2
10. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2. Jakarta : Dian Rakyat, 1985
: 311-17

Anda mungkin juga menyukai