Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENDAHULUAN
Kolestasis masih merupakan permasalahan dibidang ilmu kesehatan anak
disebabkan spektrum penyebabnya sangat luas dengan gejala klinis serupa. Kemajuan
dibidang teknik diagnosa dengan adanya ultrasonografi, skintigrafi, pemeriksaan
histopatologis, dan biologi molekuler tidak serta merta dapat menegakkan diagnosa
dengan cepat sebab pada kelainan ini tidak ada satupun pemeriksaan yang superior.
Kesadaran akan adanya kolestasis pada bayi dengan ikterus berumur lebih dari 14 hari
merupakan kunci utama dalam penegakan diagnosa dini yang berperan penting terhadap
prognosa. 1
Penyebab utama kolestasis adalah hepatitis suatu hepatopati berupa proses
inflamasi nonspesifik jaringan hati karena gangguan metabolik, endokrin, dan infeksi
intra-uterin. Penyebab lainnya adalah obstruksi saluran empedu ekstraheptik dan
sindroma paucity intrahepatik. Kerusakan fungsional dan struktural dari jaringan hati
disamping disebabkan primer oleh proses penyakitnya, juga disebabkan sekunder oleh
adanya kolestasis itu sendiri dimana dalam hal ini yang sangat berperan adalah asam
empedu hidrofobik dengan kapasitas detergenik. Salah satu tujuan diagnostik adalah
membedakan dengan segera apakah kolestasis disebabkan proses intrahepatik atau
ekstrahepatik. Pada kelainan intrahepatik dapat dilakukan tindakan konservatif dan
medikamentosa sedang pada kelainan ekstrahepatik terutama atresia bilier, usia saat
dilakukan pembedahan sangat menentukan prognosis.1
Salah satu fungsi utama dari hati adalah memproduksi dan mensekresi empedu.
Kolestasis terjadi bila terjadi hambatan aliran empedu dan bahan-bahan yang harus
diekskresi hati. Tiga penyebab utama kolestasis adalah sindroma hepatitis neonatal,

obstruksi mekanik dan sindroma paucity saluran empedu intrahepatal. 1Diagnosis dini
kolestasis sangat penting karena terapi dan prognosa dari masing-masing penyebab

sangat berbeda.2 Pada atresia bilier, bila pembedahan dilakukan pada usia lebih dari 8

1
minggu mempunyai prognosa buruk.3 Salah satu tujuan diagnostik yang paling penting
pada kasus kolestasis adalah menetapkan apakah gangguan aliran empedu intrahepatik
atau ekstrahepatik.2

BAB II

PEMBAHASAN

KOLESTIASIS

2.1 Definisi

Kolestasis adalah kegagalan aliran cairan empedu masuk ke dalam duodenum


dalam jumlah yang normal. Secara klinis, kolestasis dapat didefinisikan sebagai
akumulasi zat-zat yang diekskresi ke dalam empedu seperti bilirubin, asam empedu dan
kolesterol di dalam darah dan jaringan tubuh. Berdasarkan rekomendasi North American
Society for Pediatric Gastroenterology, Hepatology and Nutrition (NASPGHAN),
kolestasis apabila kadar bilirubin direk lebih dari 1 mg/dl bila bilirubin total kurang dari
5 mg/dl, sedangkan bila kadar dari bilirubin total lebih dari 5 mg/dl, kadar bilirubin direk
lebih dari 20% dari bilirubin total.1
2.2 Epidemiologi
Kolelitiasis termasuk penyakit yang jarang pada anak. Di Amerika Serikat,
prevalensi kolelitiasis pada anak dilaporkan hanya 0,15-0,22%, sedangkan pada orang
dewasa berkisar 4-11%.4 Ganesh et al4 dalam pengamatannya dari Januari 1999 sampai
Desember 2003 di Kanchi KamakotiChild Trust Hospital, mendapatkan dari 13 675 anak
yang mendapat pemeriksaan ultrasonografi (USG), 43 (0,31%) terdeteksi memiliki batu
kandung empedu. Rasio laki-laki dan perempuan adalah 2,3:1. Median umur untuk anak
laki-laki adalah 5 tahun (3 bulan-14 tahun) dan median umur untuk anak perempuan
adalah 9 tahun (7 bulan-15 tahun). Semua ukuran batu kurang dari 5 mm dan 56%
merupakan batu yang soliter. Empat puluh satu anak (95,3%) dengan gejala asimtomatik
dan hanya 2 anak dengan gejala. 1,2,12
Kolestasis pada bayi terjadi pada 1:25000 kelahiran hidup. Insiden hepatitis
neonatal 1:5000 kelahiran hidup, atresia bilier 1:10000-1:13000, defisiensi -1 antitripsin

2
1:20000. Rasio atresia bilier pada anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1, sedang

pada hepatitis neonatal, rasionya terbalik 5,6,7.


Di Kings College Hospital England antara tahun 1970-1990, atresia bilier 377
(34,7%), hepatitis neonatal 331 (30,5%), -1 antitripsin defisiensi 189 (17,4%), hepatitis

lain 94 (8,7%), sindroma Alagille 61 (5,6%), kista duktus koledokus 34 (3,1%).3,5


Di Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr. Sutomo Surabaya antara tahun 1999-2004
dari 19270 penderita rawat inap, didapat 96 penderita dengan neonatal kolestasis.
Neonatal hepatitis 68 (70,8%), atresia bilier 9 (9,4%), kista duktus koledukus 5 (5,2%),

kista hati 1 (1,04%), dan sindroma inspissated-bile 1 (1,04%).8,14


2.3 Klasifikasi
Berdasarkan lokasi anatominya kolestasis dapat dibagi menjadi 2 yaitu: kolestasis
intrahepatik dan kolestasis ekstrahepatik.
a. Kolestasis intrahepatik
Kolestasis intrahepatik bisa juga disebut dengan kolestasis hepatoseluler.
Kolestasis intrahepatik merupakan 68% dari kasus kolestasis. Kolestasis
intrahepatik terjadi karena kelainan pada hepatosit atau elemen duktus biliaris
intrahepatik. Hal ini mengakibatkan terjadinya akumulasi, retensi serta
regurgitasi bahan-bahan yang merupakan komponen empedu seperti bilirubin,
asam empedu serta kolesterol ke dalam plasma, dan selanjutnya pada
pemeriksaan histopatologis akan ditemukan penumpukan empedu di dalam sel
hati dan sistem biliaris di dalam hati.4,5,6
Obstruksi mekanis saluran empedu ektrahepatik, secara umum kelainan
ini disebabkan lesi konginental atau didapat. Merupakan kelainan
nekroinflamatori yang menyebabkan kerusakan saluran empedu intrahepatic.
Penyebab utama yang pernah dilaporkan adalah proses imunologis, infeksi virus
terutama CMV dan Retro virus tipe 3, asam empedu yang toksik, iskemik dan
kelainan genetic. Biasanya penderita terkesan sehat saat lahir dengan berat
badan lahir, aktifitas dan minum normal. Icterus baru kelihatan setelah beberapa
minggu. 10-20% penderita disertai kelainan konginetal lainnya seperti asplenia,
malrotasi dan gangguan kardiovaskuler. Deteksi dini dari kemunkinan adanya

3
atresia bilier sangat penting sebab efikasi pembedahan hepatic-portoenterestomi
akan menurun apabila dilakukan setelah umur 2 bulan. Pada pemeriksaan USG
terlihat kandung empedu kecil dan atretik disebabkan adanya adanya proses
obliterasi, tidak jelas adanya pelebaran saluran empedu intrahepatic. Gambaran
ini tidak spesifik, kandung empedu yang normal mungkin di jumpai pada
penderita obstruksi saluran empedu ekstrahepatik sehingga tidak menyingkirkan
kemungkinan adanya atresia bilier.8,9
Kolestasis intrahepatik atau disebut juga kolestasis hepatoselular adalah
sindrom klinik yang timbul akibat hambatan sekresi dan atau aliran empedu
yang terjadi pada hati. Pada bayi biasanya terjadi dalam 3 bulan pertama
kehidupan dan disebut juga sebagai sindrom hepatitis neonatal. Keadaan ini
mengakibatkan akumulasi, resistensi, serta regurgitasi bahan-bahan yang
merupakan komponen empedu seperti bilirubin, asam empedu serta kolesterol ke
dalam plasma dan selanjutnya pada pemeriksaan histopatologi akan ditemukan
penumpukan empedu di dalam sel hati dan sistem biliaris di dalam hati.
Penumpukkan bahan yng harus di ekskresikan oleh hati tersebut akan merusak
sel hati dengan berbagai tingkat gejala klinik yang mungkin terjadi serta
pengaruhnya terhadap organ sistemik lainnya tergantung dari lamanya kolestasis
berlangsung serta perjalanan penyakit primer yang menjadi penyebab kolestasis
tersebut.9,12

Secara klinis kolestasis ditandai dengan adanya ikterik, tinja berwarna


pucat atau akolik, dan urin yang berwarna kuning tua seperti teh. Apabila proses
berjalan lama dapat muncul berbagai manifestasi klinis lainnya misalnya
pruritus, gagal tumbuh, dan lainnya akibat dari penumpukkan zat-zat yang
seharusnya diangkut oleh empedu untuk dibuang melalui usus.penebab
kolestasis intrahepatik pada bayi lebih beragam dibandingkan anak yang lebih
besar karena hati bayi masih imatur. Penyebab tersebut antara lain infeksi,
kelaina genetik, endokrin, metabolik, atau tumor. Penelitian mengenai
patofisiologi dan patognesis ini pada tingkat molekuler serta perubahan dalam
tes diagnostik masih terus terjadi secara berkesinambungan.9,11,12

4
Faktor predisposisi terjadinya kolestasis pada neonatus, bayi baru lahir
mengalami suatu periode kolestasis relatif ( kolestasis fisiologi) tanpa menderita
suatu penyakit. Keadaan ini terjadi antara lain karena pada periode tersebut
ukulan pool asam empedu masih kecil, ambilan serta transfotasi asam empedu
belum efisien sehingga bayi tersebut lebih rentan untuk menderita kolestasis
akibat keadaan/penyakit.9,10

Patogenesiskolestasis intrahepatik terjadi akibat gangguan sintesis dan


atau sekresi asam empedu akibat kelainan sel hati, saluran biliaris intrahepatik
serta mekanisme transportasinya didalam hati.1,2,3

Sekresi empedu yang normal tergantung dari fungsi beberapa transporter


pada membran hepatosit dan sel epitel duktus biliaris dan pada struktur serta
integritas fungsi aparatus sekresi empedu. Akibatnya, berbagai keadaan penyakit
yang mempengaruhi fungsi normal tersebut akan menimbulkan kolestasis.
Patogenesis kolestasis intrahepatik tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Gangguan transporter (Na+K+ATP-ase dan Na+bile acid co-transporting


protein-NCTP pada membran hepatosit sehingga ambilan asam empedu pada
membran tersebut akan berkurang. Keadaan ini dapat terjadi misalnya pada
penggunaan esterogen atau akibat endotoksin
2. Berkurangnya transport intraseluler karena perubahan keseimbangan kalsium
atau kelainan mikrotubulus akibat toksin atau penggunaan obat
3. Berkurangnya sekresi asam empedu primer atau terbentuknya asam empedu
atipuk di kanalikulus biliaris yang berpotensi untuk mengakibatkan
kolestasis dan kerusakan sel hati. Keadaan ini dapat pula terjadi akibat
penyakit inborn error, kerusakan mikrofilamen perikanalikulus atau
berkurangnya transporter akibat pemakaian androgen, atau pengaruh
endotoksin
4. Meningkatnya permeabilitas jalur paraseluler sehingga terjadi regurgitasi
bahan empedu akibat lesi pada tight junction misalnya pada pemakaian
esterogen

5
5. Gangguan pada saluran biliaris intrahepatik1,2,3,4
Etiologi
Berbagai keadaan diantaranya infeksi, kelainan genetik, metabolik,
endokrin atau imunologi dapat menyebabkan kolestasis intrahepatik untuk bayi
dan anak. Biasanya dalam klinis sukar untuk membedakan bermacam-macam
etiologi kolestasis intrahepatik pada bayi atau sindrom hepatitis neonatal seperti
tercantum dalam tabel 2, sehingga akhirnya lebih dari setengahnya akan dilabel
sebagai idiopatik. Penderita kolestasis yang diklasifikasikan sebagai idiopatik ini
makin berkurang dengan kemajuan teknik pencitraan, bidang virologi serta
pemeriksaan biokimia yang canggih. Untuk infeksi di Asia tampaknya CMV dan
infeksi urinarius merupakan penyebab yang paling sering.

Penyakit Strategi diagnosis utama


1 Infeksi
Toksoplasma IgM-anti toksoplasma
Rubella IgM-anti rubella
Cytomegalovirus Kultur virus urin, IgM anti CMV
Herpes simpleks Mikroskop elektron
Sifilis Ro tulang panjang
Herpes zoster Serologi
Hepatitis B HbsAg, IgM anti HBc, HBV-DNA
Hepatitis C HCV-RNA
HIV Anti-HIV, CD4
Parvovirus B19 IgM antibody
Infeksi lain
Tuberkulosis Mantoux, radiothoraks
Sepsis Kultur darah
Sepsis virus enterik Serologik, kultur virus cairan luiqor

2 Kelainan genetik
Cat eye sindrom Kariotip
Penyakit Byler GGT, tes genetik
3 Kelainan endokrin
Hipopituitarism Kortisol , TSH, T4
hipotiroidism TSH , T4, free T4, T3
4 Paucity duktus biliaris
Sindrom alagile Ekokardiogram
Duktus non Paucity pada biopsi
sindromik
5 Kelainan struktur
Carolli deasease USG

B. Kolestasis Ekstrahepatik

6
Kolestasis ekstrahepatik merupakan 32% dari kasus kolestasis dan
sebagian besar adalah atresia bilier. Kolestasis ekstrahepatik terdapat
penyumbatan atau obstruksi saluran empedu ekstrahepatik. Penyebab utama
kolestasis tipe ini adalah proses imunologis, infeksi virus terutama Cytomegalo
virus, Reo virus tipe 3, asam empedu yang toksik, iskemia dan kelainan genetik.
Akibat dari penyebab tersebut maka akan terbentuk kelainan berupa
nekroinflamasi, yang pada akhirnya menyebabkan kerusakan dan pembuntuan
saluran empedu ekstrahepatik.
Atresia bilier merupakan salah satu contoh kolestasis ekstrahepatik dan
merupakan penyebab yang paling sering ditemukan. Deteksi dini kolestasis
ekstrahepatik yang disebabkan oleh atresia bilier merupakan langkah yang
sangat penting, karena metode pengobatan untuk atresia biler adalah dengan
pembedahan hepatik-portoenterostomi yang biasa dikenal dengan nama operasi
Kasai, operasi ini kurang efektif apabila umur pasien sudah lebih dari 2 bulan.

2.4 Etiologi

7
2.5 Patogenesis
Kolestasis intrahepatik diakibat oleh gangguan sintesis dan atau sekresi asam
empedu akibat kelainan sel hati, saluran biliaris intrahepatik serta mekanisme
transportasinya di dalam hati. Patogenesis kolestasis intrahepatik tersebut dapat
dijabarkan lebih lanjut sebagai berikut: (Putra dan Karyana, 2010; Bisanto, 2011)
a. Gangguan transporter (Na+ K+ATP-ase dan Na+ bile acid co-transporting protein
NCTP)
b. Berkurangnya transport intraseluler yang diakibatkan oleh perubahan keseimbangan
kalsium atau kelainan mikrotubulus akibat toksin atau pengguanaan obat.
c. Sekresi asam empedu primer yang berkurang atau terbentuknya asam empedu atipik di
kanalikulus yang berpotensi untuk mengakibatkan kolestasis dan kerusakan sel hati.
d. Meningkatnya permeabilitas jalur paraselular sehingga terjadi regurgitasi bahan
empedu akibat lesi pada tight junction.
e. Gangguan pada saluran biliaris intrahepatik.

2.6 Patofisiologi
Empedu adalah cairan yang disekresi hati berwarna hijau kekuningan merupakan

kombinasi produksi dari hepatosit dan kolangiosit. Empedu mengandung asam empedu,

kolesterol, phospholipid, toksin yang terdetoksifikasi, elektrolit, protein, dan bilirubin

terkonyugasi. Kolesterol dan asam empedu merupakan bagian terbesar dari empedu sedang

bilirubin terkonyugasi merupakan bagian kecil. Bagian utama dari aliran empedu adalah sirkulasi

enterohepatik dari asam empedu. Hepatosit adalah sel epetelial dimana permukaan

basolateralnya berhubungan dengan darah portal sedang permukaan apikal (kanalikuler)

berbatasan dengan empedu. Hepatosit adalah epitel terpolarisasi berfungsi sebagai filter dan

pompa bioaktif memisahkan racun dari darah dengan cara metabolisme dan detoksifikasi

intraseluler, mengeluarkan hasil proses tersebut kedalam empedu.1,2,4,5

Salah satu contoh adalah penanganan dan detoksifikasi dari bilirubin tidak terkonyugasi
(bilirubin indirek). Bilirubin tidak terkonyugasi yang larut dalam lemak diambil dari darah oleh
transporter pada membran basolateral, dikonyugasi intraseluler oleh enzim UDPGTa yang

8
mengandung P450 menjadi bilirubin terkonyugasi yang larut air dan dikeluarkan kedalam
empedu oleh transporter mrp2. mrp2 merupakan bagian yang bertanggungjawab terhadap aliran
bebas asam empedu. Walaupun asam empedu dikeluarkan dari hepatosit kedalam empedu oleh
transporter lain, yaitu pompa aktif asam empedu. Pada keadaan dimana aliran asam empedu
menurun, sekresi dari bilirubin terkonyugasi juga terganggu menyebabkan hiperbilirubinemia
terkonyugasi. Proses yang terjadi di hati seperti inflamasi, obstruksi, gangguan metabolik, dan
iskemia menimbulkan gangguan pada transporter hepatobilier menyebabkan penurunan aliran
empedu dan hiperbilirubinemi terkonyugasi.1,2,34

2.6.1 Perubahan fungsi hati pada kolestasis

Pada kolestasis yang berkepanjangan terjadi kerusakan fungsional dan struktural:


A. Proses transpor hati
Proses sekresi dari kanalikuli terganggu, terjadi inversi pada fungsi polaritas dari
hepatosit sehingga elminasi bahan seperti bilirubin terkonyugasi, asam empedu, dan

lemak kedalam empedu melalui plasma membran permukaan sinusoid terganggu.12


B. Transformasi dan konyugasi dari obat dan zat toksik
Pada kolestasis berkepanjangan efek detergen dari asam empedu akan menyebabkan
gangguan sitokrom P-450. Fungsi oksidasi, glukoronidasi, sulfasi dan konyugasi

akan terganggu.13
C. Sintesis protein
Sintesis protein seperti alkali fosfatase dan GGT, akan meningkat sedang produksi

serum protein albumin-globulin akan menurun.14,15

D. Metabolisme asam empedu dan kolesterol


Kadar asam empedu intraseluler meningkat beberapa kali, sintesis asam empedu dan
kolesterol akan terhambat karena asam empedu yang tinggi menghambat HMG-CoA
reduktase dan 7 alfa-hydroxylase menyebabkan penurunan asam empedu primer

9
sehingga menurunkan rasio trihidroksi/dihidroksi bile acid sehingga aktifitas
hidropopik dan detergenik akan meningkat. Kadar kolesterol darah tinggi tetapi

produksi di hati menurun karena degradasi dan eliminasi di usus menurun.14,15


E. Gangguan pada metabolisme logam
Terjadi penumpukan logam terutama Cu karena ekskresi bilier yang menurun.
Bila kadar ceruloplasmin normal maka tidak terjadi kerusakan hepatosit oleh Cu karena
Cu mengalami polimerisasi sehingga tidak toksik

F. Metabolisme cysteinyl leukotrienes


Cysteinyl leukotrienes suatu zat bersifat proinflamatori dan vasoaktif
dimetabolisir dan dieliminasi dihati, pada kolestasis terjadi kegagalan proses sehingga
kadarnya akan meningkat menyebabkan edema, vasokonstriksi, dan progresifitas
kolestasis. Oleh karena diekskresi diurin maka dapat menyebabkan vaksokonstriksi pada
ginjal.

G. Mekanisme kerusakan hati sekunder

1. Asam empedu
Terutama litokolat merupakan zat yang menyebabkan kerusakan hati melalui
aktifitas detergen dari sifatnya yang hidrofobik. Zat ini akan melarutkan kolesterol dan
fosfolipid dari sistim membran sehingga intregritas membran akan terganggu. Maka

fungsi yang berhubungan dengan membran seperti Na+, K+-ATPase, Mg++-ATPase,


enzim-enzim lain dan fungsi transport membran dapat terganggu, sehingga lalu lintas air

dan bahan-bahan lain melalui membran juga terganggu.(28) Sistim transport kalsium
dalam hepatosit juga terganggu. Zat-zat lain yang mungkinberperan dalam kerusakan
hati adalah bilirubin, Cu, dan cysteinyl leukotrienes namun peran utama dalam kerusakan
hati pada kolestasis adalah asam empedu.6,7,8

2 . Proses imunologis
Pada kolestasis didapat molekul HLA I yang mengalami display secara abnormal
pada permukaan hepatosit, sedang HLA I dan II diekspresi pada saluran empedu

10
sehingga menyebabkan respon imun terhadap sel hepatosit dan sel kolangiosit.
Selanjutnya akan terjadi sirosis bilier.3,4

2.7Manifestasi klinis
Bayi ikterus sampai usia dua minggu pada umumnya disebabkan oleh
peningkatan bilirubin indirek dan mencapai kadar puncak pada usia 5-7 hari. Bayi yang
mengalami peningkatan kadar biliribin direk akan mengalami ikterus setelah usia dua
minggu. Manifestasi klinis yang dapat dijumpai pada pasien kolestasis adalah ikterus
atau kulit dan mukosa berwarna ikterus yang berlangsung lebih dari dua minggu, urin
berwarna lebih gelap, tinja warnanya lebih pucat atau fluktuatif sampai berwarna dempul
(akholik).9,11
Pemeriksaan fisik pasien kolestasis dapat dijumpai hepatomegali, splenomegali,
gagal tumbuh, dan wajah dismorfik. Tanda lain yang dapat dijumpai pada pasien dengan
kolestasis adalah hipoglikemia yang biasanya ditemukan pada penyakit metabolik,
hipopituitarisme atau kelainan hati yang berat, perdarahan oleh karena defisiensi vitamin
K, hiperkolesterolemia, xanthelasma, sedangkan kasus asites masih jarang ditemukan.11

2.8Diagnosis
Kolestasis dicurigai apabila terdapat warna ikterus pada kulit atau mukosa yang
tidak menghilang setelah minggu ke-3 kehidupan, pada bayi kurang bulan dan lebih dari
dua minggu pada bayi cukup bulan. Tujuan utama evaluasi bayi dengan kolestasis adalah
membedakan antara kolestasis intrahepatik dengan ekstrahepatik sendini mungkin. Diagnosis
dini obstruksi bilier ekstrahepatik akan meningkatkan keberhasilan operasi. Kolestasis
intrahepatik seperti sepsis, galaktosemia atau endrokinopati dapat diatasi dengan
medikamentosaUntuk mendiagnosis kolestasis dapat dilakukan beberapa langkah seperti:
2.8.1 Anamnesis
1. Riwayat ikterus lebih dari 14 hari, keluarga pasien yang menderita kolestasis,
2. lahir prematur atau berat lahir rendah,
3. riwayat kehamilan dengan infeksi TORCH, hepatitis B, infeksi intrapartum,
pemberian nutrisi parenteral, sepsis dan ISK.

11
4. Bayi dengan atresia bilier biasanya lahir dengan berat badan yang normal,
sedangkan pada bayi dengan kolestasis intrahepatik lahir dengan berat badan
lahir rendah.
5. Adanya ikterus pada bayi usia lebih dari 14 hari, tinja akolis yang persisten
harus dicurigai adanya penyakit hati dan saluran bilier.
6. Pada hepatitis neonatal sering terjadi pada anak laki-laki, lahir prematur atau
berat badan lahir rendah. Sedang pada atresia bilier sering terjadi pada anak
perempuan dengan berat badan lahir normal, dan memberi gejala ikterus dan
tinja akolis lebih awal.12,13
2.8.2 Pemeriksaan fisik
Ikterus merupakan tanda yang paling sering dijumpai pada pasien dengan
kolestasis, dan merupakan pertanda awal untuk mendiagnosis kolestasis. Pada umumnya
gejala ikterik akan muncul pada pasien apabila kadar bilirubin sekitar 7 mg/d.12,13
Pemeriksaan abdomen bisa ditemukan adanya hepatomegali, apabila didapatkan
kosistensi hepar keras, tepi tajam, dan permukaan noduler, hal tersebut dapat
diperkirakan hepar sudah mengalami fibrosis atau sirosis. Hepar yang teraba pada daerah
epigastrium maka dapat dicerminkan sebagai sirosis. Rasa nyeri tekan pada palpasi
merupakan mekanisme peregangan dari kapsula Glissoni yang disebabkan karena edema.
Pasien dengan kolestasis dapat dijumpai juga adanya splenomegali, perdarahan yang
disebabkan oleh defisiensi vitamin K, urin berwarna gelap seperti teh, tinja warnanya
pucat (akholik), sampai bisa didapatkan pasien dengan gagal tumbuh.12,13
Dikatakan pembesaran hati apabila tepi hati lebih dari 3,5 cm dibawah arkus kota
pada garis midklavikula kanan. Pada perabaan hati yang keras, tepi yang tajam dan
permukaan noduler diperkirakan adanya fibrosis atau sirosis. Hati yang teraba pada
epigastrium mencerminkan sirosis atau lobus Riedel (pemanjangan lobus kanan yang
normal). Nyeri tekan pada palpasi hati diperkirakan adanya distensi kapsul Glisson
karena edema. Bila limpa membesar, satu dari beberapa penyebab seperti hipertensi
portal, penyakit storage, atau keganasan harus dicurigai. Hepatomegali yang besar tanpa
pembesaran organ lain dengan gangguan fungsi hati yang minimal mungkin suatu
fibrosis hepar kongenital. Perlu diperiksa adanya penyakit ginjal polikistik. Asites
menandakan adanya peningkatan tekanan vena portal dan fungsi hati yang memburuk.

12
Pada neonatus dengan infeksi kongenital, didapatkan bersamaan dengan mikrosefali,
korioretinitis, purpura, berat badan rendah, dan gangguan organ lain.12,14

2.8.3 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan penunjang sangat penting dilakukan untuk mengetahui tipe
kolestasis. Pada pemeriksaan penunjang terdapat beberapa metode pemeriksaan yang
mencakup: pemeriksaan laboratorium, ultrasonografi, biopsi hati dan kolangiografi
intraoperatif.
A. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan kadar bilirubin merupakan pemeriksaan laboratorium rutin yang
dilakukan untuk pasien dengan kolestasis, dengan mengetahui hasil dari
komponen bilirubin kita dapat membedakan antara kolestasis dengan
hiperbilirubinemia fisiologis. Dikatakan kolestasis apabila didapatkan kadar
billirubin direk lebih dari 1 mg/dl bila billirubin total kurang dari 5 mg/dl atau
kadar billirubun direk lebih dari 20% apabila kadar billirubin total lebih dari 5
mg/dl. 12,13
b. Peningkatan kadar SGOT/SGPT >10 kali dengan peningkatan gamma GT <5
kali, lebih mengarah ke suatu kelainan hepatoseluler, sedangkan apabila dari hasil
laboratorium didapatkan peningkatan SGOT/SGPT <5 kali dengan peningkatan
gamma GT >5 kali, hal ini lebih mengarah kepada kolestasis ekstrahepatik.
c. Aminotransferase serum meningkat lebih dari 2-4 kali nilai normal, maka hal ini
menunjukkan adanya proses infeksi.
d. Pemeriksaan alkali phosphatase yang biasanya meningkat pada pasien yang
mengalami kolestasis.
e. Serum lipoprotein-X meningkat pada kolestasis yang disebabkan oleh obstruksi.
f. Peningkatan kolesterol, penurunan kadar albumin, masa protrombin biasanya
normal tetapi mungkin memanjang, yang dapat dikoreksi dengan vitamin K.
g. Kadar gula darah pasien bisa didapatkan hipoglikemia, untuk mendeteksi
kelainan yang berhubungan dengan metabolik.
h. Pemeriksaan TORCH untuk menelusuri terhadap kemungkinan adanya infeksi
Toksoplasma, Cytomegalo virus, Rubella, dan Herpes.
i. Pemeriksaan FT4 dan TSH.

13
j. Pemeriksaan biakan bakteri (biakan urin dan darah).
k. Pemeriksaan hepatitis B dan pemeriksaan kadar -1 antitripsin.
Khusus untuk pemeriksaan tinja biasa disebut dengan pemeriksaan tinja 3 porsi
(dilihat tinja akholik pada tiga periode dalam sehari). Kolestasis ekstrahepatik hampir
selalu menyebabkan manifestasi berupa tinja akholik
Cara pemeriksaan tinja tiga porsi ini adalah :
a. Porsi I diambil pada pukul 06.00 14.00
b. Porsi II diambil pada pukul 14.00 22.00
c. Porsi III diambil pada pukul 22.00 06.00
Ketiga sampel tinja tersebut dimasukan ke dalam wadah yang berwarna gelap
kemudian setiap harinya dievaluasi apabila sudah terkumpul tiga sampel. Apabila dalam
beberapa hari pemeriksaan didapatkan hasil tinja yang berwarna dempul, maka
kemungkinan besar pasien tersebut mengalami kolestasis ekstrahepatik. Pada pasien
dengan kolestasis intrahepatik biasanya hasil pemeriksaan tinja yang diperiksa hasilnya
normal. 13

B. Ultrasonografi
Pemeriksaan ultrasonografi (USG) merupakan salah satu teknik pemeriksaan
untuk mendeteksi kolestasis pada pasien. Dengan pemeriksaan USG dapat diketahui
ukuran, keadaan hati, dan kandung empedu. Pemeriksaan ini relatif murah harganya
dengan teknik yang sangat sederhana, serta efektifitasnya mencapai 80%. Ultrasonografi
dapat mendeteksi adanya tanda triangular cord dibagian atas percabangan vena porta.
Ultrasonografi memiliki sensitivitas 85%, spesifisitas 100%, dan akurasi 95% untuk
mendiagnosis atresia bilier ekstrahepatik. 14
Sebelum dilakukan pemeriksaan USG pasien harus dipuasakan minimal selama 4
jam. Kemudian, setelah pemeriksaan USG yang pertama pasien diberikan minum dan
diperiksa USG kembali. Panjang kandung empedu yang normal akan tampak 1,5 cm,
sedangkan pada 60% pasien atresia bilier ektrahepatik tidak akan tampakPada pasien
dengan kolestasis intrahepatik, pada saat pasien dipuasakan akan terlihat kandung
empedu yang normal dan pada umumnya akan terisi cairan empedu sehingga mudah

14
terlihat dengan pemeriksaan USG. Setelah pasien diberikan minum, kandung empedu
akan mengalami kontraksi sehingga ukurannya akan lebih kecil dan tidak terlihat dengan
pemeriksaan USG. Kolestasis ekstrahepatik yang disebabkan oleh atresia bilier terjadi
karena adanya proses obstruksi di hati, sehingga pada saat pasien dipuasakan kandung
empedu tidak dapat dilihat dengan pemeriksaan USG. Keadaan lain yang mengarah
kemungkinan atresia bilier, apabila saat puasa kandung empedu terlihat ukurannya kecil
dan setelah diberikan minum ukurannya tidak terjadi perubahan. 11
C. Biopsi hati
Biopsi hati merupakan cara yang paling akurat untuk mendiagnosis bayi dengan
kolestasis. Berdasarkan data-data yang didapatkan dari penelitian sebelumnya, pasien
kolestasis yang disebabkan oleh atresia bilier dapat dideteksi sekitar 90%-95% dengan
biopsi hati. Pada atresia bilier dapat ditemukan gambaran proliferasi duktus biliaris, bile
plug, portal track edema, dan fibrosis. Sedangkan pada pasien dengan hepatitis neonatal
idiopatik dengan metode ini akan didapatkan gambaran pembengkakan sel difus,
transformasi giant cell, dan nekrosis hepatoseluler fokal. 11,12

D. Kolangiografi intraoperatif
Kolangiografi merupakan prosedur yang tidak selalu dikerjakan pada kolestasis,
karena merupakan prosedur yang sulit dan berbahaya, tetapi tingkat akurasinya sangat
tinggi sekitar 98% untuk mendiagnosis atresia bilier. Pemeriksaan dengan metode
kolangiografi intraoperatif sangat tergantungterhadap hasil histopatologi hati. Apabila
dari hasil histopatologi hati mengarah pada atresia bilier atau hasil yang diperoleh masih
belum bisa untuk menyingkirkan atresia bilier, maka diperlukan tindakan laparatomi
eksplorasi. Pada saat dilakukan laparatomi, pemeriksaan langsung terhadap keadaan
kandung empedu dan sistem bilier sangat diperlukan untuk melihat adanya obstruksi
pada sistem bilier.10,11,12
Kolestasis yang disebabkan oleh atresis bilier, kandung empedunya terlihat kecil
dan fibrotik diikuti fibrosis difus sistem bilier ekstrahepatik. Kolangiografi dilakukan
untuk menentukan patensi sistem bilier, sebuah jarum atau kateter diinsersikan ke
kandung empedu, kemudian disuntikan zat kontras sambil diamati dengan fluoroskopi

15
untuk menentukan luasnya obstruksi dan variasi anatominya. Variasi anatomi yang
umum dipakai adalah menurut Japanese Society Of Pediatric Surgeon, yang membagi
keadaan ini menjadi 3 tipe. Tipe 1 atresia meliputi terutama duktus biliaris komunis, tipe
2 atresia bilier naik sampai keduktus hepatikus komunis dan tipe 3 atresia bilier
mengenai seluruh sistem bilier ekstrahepatik.11,12,13

2.9Penatalaksanaan
Secara garis besar tata laksana pasien dengan kolestasis terbagi menjadi dua bagian,
yaitu:2.9.1 Penatalaksanaan kausal
Terapi spesifik kolestasis sangat tergantung dari penyebabnya. Kolestasis
ekstrahepatik yang disebabkan oleh atresia bilier, tindakan operasi Kasai dan
transpalantasi hati merupakan cara yang efektif untuk tata laksananya. Tindakan operasi
Kasai efektif bila dikerjakan pada umur <6 minggu dengan angka keberhasilan mencapai
80-90%, apabila dilakukan pada umur 10-12 minggu angka keberhasilannya hanya
sepertiga saja. Tata laksana kolestasis intrahepatik dengan medikamentosa sesuai dengan
penyebab merupakan tata laksana yang tepat.11,13

2.9.2 Penatalaksanaan suportif


Tata laksana suportif kolestasis bertujuan untuk menunjang pertumbuhan dan
perkembangan seoptimal mungkin. Tata laksana suportif meliputi: (Oswari, 2007; Putra
dan Karyana
A. Medikamentosa5,6,7
Pemberian medikamentosa pada kolestasis bertujuan untuk meningkatkan aliran empedu.
Medikamentosa yang biasanya diberikan antara lain:
a. Asam ursodeoksikolat
Obat ini umumnya digunakan sebagai agen pilihan pertama pada pruritus yang
disebabkan kolestasis. Disamping itupula obat ini berfungsi sebagai
hepatoprotektor. Dosis yang diberikan adalah: 1020 mg/kgBB/Hari.
b. Kolestramin

16
Obat ini dapat digunakan untuk menghilangkan gatal-gatal dan menghalangi
sirkulasi enterohepatik. Dosis: 0,25-0,5 g/kgbb/hari.
B. Nutrisi 5,6,7
Kekurangan energi protein (KEP) sering terjadi sebagai akibat dari kolestasis.
Penurunan eksresi asam empedu menyebabkan gangguan pada lipolisis intraluminal,
solubilisasi dan absorbsi trigliserid rantai panjang. Bayi dengankolestasis membutuhkan
asupan kalori yang lebih tinggi dibanding bayi normal untuk mengejar pertumbuhan.
Untuk menjaga tumbuh kembang bayi seoptimal mungkin dengan terapi nutrisi,
digunakan formula khusus dengan jumlah kalori 120-150% dari kebutuhan normal serta
vitamin, mineral dan trace element:
a. Kebutuhan kalori umumnya dapat mencapai 130-150% kebutuhan bayi normal
sesuai dengan berat badan ideal. Kebutuhan protein 2-3 gr/kgbb/hari.
b. Vitamin yang larut dalam lemak: vitamin A 5000-25000 IU/hari, vitamin D
Calcitriol 0,05-0,2 ug/kgbb/hari, vitamin E 25-50 IU/kgbb/hari, dan vitamin K 2-
5 mg (IM) selama 3 hari berturut-turut apabila pasien dengan pemanjangan faal
hemostasis, pasien tanpa pemanjangan faal hemostasis berikan vitamin K 2-5 mg
(IM) setiap 2-3 minggu.
c. Dukungan psikologis dan edukasi keluarga terutama penderita dengan kelainan
hati yang progresif yang memerlukan transplantasi hati. 5,6

2.10Prognosis
Prognosis pasien kolestasis sangat tergantung dari jenis kolestasis. Prediktor
untuk prognosis buruk adalah: ikterus hebat yang berlangsung lebih dari 6 bulan, tinja
dempul, riwayat penyakit dalam keluarga, hepatomegali persisten, dan terdapatnya
inflamasi hebat pada hasil biopsi hati. Pada pasien atresia bilier ada beberapa faktor yang
berpengaruh untuk hasil yang baik, diantaranya: pengalaman operator, sentral rujukan,
luasnya kerusakan hati pada saat operasi dan frekuensi kolangitis. Pada sindrom hepatitis
neonatal akibat infeksi mempunyai prognosislebih baik dibandingkan dengan atresia
bilier atau sindrom hepatitis neonatal akibat metabolik maupun genetik. Hal ini
dihubungkan dengan tersedianya antimikroba spesifik. Angka kesembuhan kolestatik
intrahepatik akibat infeksi berkisar 60-80%.5,6

17
DAFTAR PUSTAKA

1. Permana HB, Sutaryo, Urgasena IDG dkk, Buku Ajar Hepatologianak.


2ndedisi. IkatanDokterAnak Indonesia. 2011

18
2. Jufrie , M Buku Ajar Gastroenterology-hepatologi. Jakarta
:BalaiPenerbitIkatanDokterAnak Indonesia 2009. Halaman 374-387
3. Hegar, Badriuldr. Sp.A, Pudjiadi, Antonius H, dr. Sp.A.Handryastuti,
Setyodr. Sp.A, SalimahIdris, Nikmah dr. Sp.A, Gandaputra, Ellen dr.
Sp.A. Devita H, Eva dr. Sp.APedomanPelayananMedis IDAIedisi II,
Jakarta. 2011. Halaman 114-122
4. Hegar, Badriuldr. Sp.A, Pudjiadi, Antonius H, dr. Sp.A. Handryastuti,
Setyodr. Sp.A, SalimahIdris, Nikmah dr. Sp.A, Gandaputra, Ellen dr.
Sp.A. Devita H, Eva dr. Sp.APedomanPelayananMedis IDAI edisi I,
Jakarta. 2009. Halaman 170-174
5. Robert M, Kliegman, MD. Nelson Text Book of Pediatric Edition 20.
Kanada. Elsevier, 2016. Halaman 674-675
6. News C, Sinarta PHD, Cholestasis in Infancy. Pediatric Rev. 2009.
Halaman 233-240
7. Arce DA, Costa H, Schwarz SM, Hepatobiliary disease in children.
Clinic in Family practice 2010. 30-36
8. Tjay T,H, Raharja K. Obat-obatpenting, edisi VI Cetakan I, Jakarta :
PT ElexMediKomputindo 2012.Halaman 202-204
9. Feldman A and Sokol R. 2013 Neonatal Cholestasis, Newreview, page
63-73
10. Aronson P and Werner H. 2011, Netters Pediatric, USA: Elsevier
page 67-72
11. Desmet VJ. Callea F. Cholestatic Syndrome of Infancy and Childhood.
DalamZakim D. Boyer TD, penyuting. Hepatology A. Textbook of
Liver disease. Edisi 2.Philadelphia Saunders. 2009. Halaman 89-95
12. William W. Hay. Levin, Myron J. Deterding, Robin R. Abzug, Mark J.
Current Diagnosis and Treatment Pediatrics 22 nd Edition. Mc. Graw
Hill Education. Colorado. 2014. Halaman695-714
13. Ibrahim, MagedZakaria. Dr. Neonatologists Pocket Drug Reference
6th Edition. UniversitasKairo, Mesir. 2015. Halaman 67-68
14. Pomeranz, Albert J. Sabnis, Svapna. Busey, Sharon L and Kliegman,
Robert M. Pediatric Decision-Making Strategies second Edition.
Elsevier SaundersPhiladelphia. 2016. Halaman 112-121
15. Robert EA. The Jaundice Baby. Dalam : Kelly DA, penyunting.
Diseases of The Liver and Billiary System in Children, Edisike 5.
Oxford.2011. halaman 11-15

19

Anda mungkin juga menyukai