Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN

Kecelakaan bisa menimpa siapa saja, dimana saja dan kapan saja. Untuk itu,

kemampuan untuk menghadapi kecelakaan seharusnya dimiliki oleh setiap orang.

Kemampuan tersebut sangat penting, karena selama ini banyak korban jiwa akibat

kecelakaan justru diakibatkan oleh penanganannya yang kurang tepat1.

Sistem kegawatadaruratan medis sebagai pertolongan pertama adalah hal yang

sangat penting dalam kecelakaan. Pertolongan pertama ini punya peran yang penting

dalam mengurangi risiko kematian atau kecacatan korban1.

Melihat permasalahan tingginya angka kejadian trauma dan patah tulang dan

buruknya komplikasi yang akan dialami oleh pasien apabila kejadiaan ini tidak dapat

ditangani dengan baik, diperlukan pemahaman mengenai penyakit ini oleh tenaga medis

agar dapat memberikan penanganan yang lebih komprehensif. Survey primer (ABCDE)

yang baik untuk menyelamatkan nyawa dan survey sekunder yang tepat dibutuhkan

untuk menyelamatkan fungsi ditunjang dengan penanganan definitif 2.

Metode yang paling umum digunakan di Amerika Serikat untuk penilaian awal

dari pasien trauma di uraikan di Amerika College of Surgeon Advanced Trauma Life

Support tentu saja (ATLS). Ini menyediakan metode yang sistematis untuk megevaluasi

trauma pasien, dengan fokus awalnya pada kasus mengancam kehidupan dan diikuti

dengan evaluasi menyeluruh head-to-toe dari pasien untuk mengidentifikasi lukanya3.

Penanganan trauma umumnya bertujuan untuk menyelamatkan jiwa, mencegah

kerusakan organ yang lebih jauh, mencegah kecacatan tubuh dan menyembuhkan. Seperti

kita ketahui, dalam penanganan trauma dikenal primary survey yang cepat dan

dilanjutkan dengan resusitasi kemudian secondary survey dan akhirnya terapi definitif.

1
Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus dikenali dan

resusitasinya diakukan pada saat itu juga. Pada primary survey dikenal system ABCDE

(Airway, Breathing, Circulation, Disability, Exposure,/Environmental control) yang

disusun berdasarkan urutan prioritas penanganan. Jadi prioritas utama penanganan adalah

keadaan menjamin jalan napas terjaga adekuat. Oleh karena itu, trauma jalan napas

adalah keadaan yang memerlukan yang cepat dan efektif untuk menghindari akibat yang

tidak di inginkan3.

Pemeriksaan diawali dengan menanyakan riwayat penderita (anamnesis) dan

dilanjutkan dengan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan-pemeriksaan tertentu

berdasarkan kebutuhan yang diperlukan4.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Primary Survey
Dalam survei primer, saluran napas, pernapasan, dan sirkulasi yang dinilai dan

masalah yang mengancam kehidupan harus langsung didiagnosis dan diobati.

Singkatan yang mudah diingat adalah ABCDE: Airway (saluran napas), Breathing

(pernapasan), Circulation (sirkulasi), Disability (kecacatan), dan Environment

(paparan / kontrol lingkungan).3


Survei primer biasanya memakan waktu tidak lebih dari beberapa menit,

kecuali prosedur yang diperlukan. Survei primer harus diulang saat terjadi perubahan

status pasien, termasuk perubahan status mental, perubahan tanda-tanda vital, atau

pemberian obat baru atau tindakan3


1. Airway
a. Carilah tanda-tanda obstruksi jalan napas:
Obstruksi jalan napas menyebabkan paradoks dada dan gerakan perut

dan penggunaan aksesoris otot-otot pernapasan. Sianosis sentral adalah tanda

akhir dari obstruksi jalan napas. Obstruksi jalan napas lengkap, tidak ada

napas terdengar di mulut atau hidung. Pada obstruksi parsial, udara masuk

berkurang dan sering berisik. Pada pasien yang kritis, penurunan kesadaran

sering menyebabkan obstruksi saluran nafas.


b. Perlakukan sebagai darurat medis:
Obstruksi jalan napas menyebabkan hipoksemia (rendah PaO2) dengan

risiko cedera hipoksia ke otak, ginjal dan jantung, serangan jantung, dan

bahkan kematian. Dalam kebanyakan kasus, metode pembersihan jalan napas

sederhana diperlukan (misalnya manuver pembukaan saluran napas, suction

jalan nafas, pemasangan orofaringeal atau nasofaring tube). Intubasi trakea

mungkin diperlukan jika ini gagal.

3
Pada kasus gawat darurat, seperti pada pasien dengan cedera cervical

terutama pada c1-c3 biasanya membutuhkan bantuan ventilasi mekanik

jangka panjang karena hilangnya inervasi ke diafragma. Pasien tersebut

mungkin akan membutuhkan FES (Functional Electrical Stimulation). Pada

nervus prenicus, untuk mengurangi kebutuhan pasien terhadap ventilasi

mekanik, jika inervasi pada LMN (Lower Motor Neuron) ke diafragma masih

dalam keadaan intak4. Proteksi cervical sangat penting dalam proses

management jalan napas. Pergerakan cervical dapat menyebabkan cedera

spinal. Sehingga pergerakan cervical harus di hindari kecuali jika memang

sangat dibutuhkan untuk menjaga jalan napas. Mekanisme dari trauma, dapat

menggambarkan jika terdapat cedera cervical, namun harus selalu

diasumsikan terdapat cedera spinal hingga terbukti sebaliknya, terutama pada

multi system trauma atau jika terdapat gangguan kesadaran. Imobilisasi dan

proteksi pada spinal harus dipertahankan dan x-ray dapat dilakukan saat

kondisi yang mengancam nyawa sudah ditangani 7.


Metode imobilisasi sementara pada cervical adalah dengan inline

imobilisasi yaitu dengan kepala dan leher ditopang pada posisi netral 13
c. Berikan oksigen dengaan konsentrasi tinggi
Menyediakan oksigen konsentrasi tinggi dengan menggunakan

masker. Pastikan bahwa aliran oksigen yang cukup (biasanya 15 L min) untuk

mencegah turunnya ketersediaan oksigen selama inspirasi. Jika trakea pasien

diintubasi, berikan oksigen konsentrasi tinggi dengan self-inflating bag. Pada

pasien dengan kegagalan pernafasan akut, pertahankan saturasi oksigen 94-

98%. Pada pasien dengan risiko kegagalan pernapasan hiperkapnia

pertahankan saturasi oksigen 88-92%.

2. Breathing

4
a. Lihat , dengar dan rasakan tanda-tanda umum dari gangguan pernapasan:

berkeringat, sianosis sentral, penggunaan otot aksesori pernapasan, dan

pernapasan perut.
b. Hitung tingkat pernapasan. Tingkat normal pernapasan adalah 12-20

kali/menit. Jika pernapasan tinggi (> 25 menit) atau peningkatkan laju

pernapasan merupakan penanda penyakit dan memperingatkan bahwa pasien

dapat memburuk secara tiba-tiba.

c. Nilai kedalaman setiap napas, pola (irama) dari respirasi dan apakah ekspansi

dada sama di kedua sisi.

d. Perhatikan setiap deformitas dada (ini dapat meningkatkan risiko

memburuknya kemampuan untuk bernapas secara normal); mencari

peningkatan pulse vena jugularis (JVP) (misalnya pada asma akut berat atau

tension pneumothorax); mencatat apabila distensi abdomen dapat membatasi

gerakan diafragma, sehingga memburuknya gangguan pernapasan.

f. Dengarkan napas pasien : Bising pernapasan menunjukkan adanya sekresi

jalan nafas, biasanya disebabkan oleh ketidakmampuan pasien untuk batuk

yang cukup atau untuk mengambil napas dalam-dalam. Mengi stridor atau

menunjukkan obstruksi parsial, menyebabkan halangan saluran napas yang

signifikan. .

g. Lakukan perkusi dada: Suara napas yang hipersonor menunjukkan adanya

pneumothoraks, pekak biasanya menunjukkan adanya konsolidasi atau cairan

di pleura.

h. Lakukan auskultasi dada: pernapasan bronkial merupakan indikasi adanya

konsolidasi paru dengan jalan napas yang paten : hilangnya atau

5
berkurangnya suara napas, mengindikasikan pneumothoraks, konsolidasi

paru, adanya cairan pleura yang disebabkan oleh obstruksi total.

i. Rasakan pada dinding dada untuk mendeteksi adanya emfisema atau

krepitasi (indikasi pneumotoraks).

j. Periksa posisi trakea pada daerah suprasternal: deviasi ke salah satu sisi

menunjukkan pergeseran mediastinum (misalnya pneumothorax, fibrosis

paru atau cairan pleura).

k. Pengobatan spesifik gangguan pernapasan tergantung pada penyebabnya. 7

Daftar dari EMST (Early Management Of Severe Trauma) luka pada dada yang

mengancam hidup yang harus segera ditangani selama survei primer adalah :

Tension pneumothorax

Haemothorax masif

Flail Chest

Tamponade jantung

Multiple Fraktur13

3. Circulation

Hipovolemia karena kehilangan darah mungkin adalah penyebab utama

kematian yang dapat dicegah dari trauma. Ini harus dilakukan segera. Penilaian

ulang sesering mungkin selama resusitasi adalah kunci penanganan yang baik.
Salah satu kesalahan besar dalam manajemen trauma akut adalah

berasumsi bahwa tekanan darah yang normal menunjukkan bahwa sirkulasi

darah normal. Tekanan darah saja bisa sangat salah, sehingga harus

dipertimbangkan dalam parameter penilaian peredaran darah lainnya, termasuk

6
denyut nadi, pengisian kapiler, laju pernapasan, keadaan sadar, urin dan efek

dari cedera harus diidentifikasi.

Pendarahan dapat dikelompokkan menjadi empat kelas, yaitu :

Kelas 1 : Kehilangan darah 10-15%


- Masih bisa di toleransi
- Tekanan darah : Tidak Berubah
Kelas 2 : Kehilangan 20-30% volume darah
- Takikardia ringan
- Tekanan nadi berkurang
- Pengisian kapiler melambat
- Takipneu
- Ansietas

Kelas 3 : Kehilangan 30-40% volume darah

- Hipotensi
- Takikardia
- Confusion
- Pucat
- Oligouria
Kelas 4 : Kehilangan >40% volume darah
- Hemodinamik tidak stabil
- Kardiovaskular kolaps yang tidak bisa diatasi segera
4. Disability
Lakukan pemeriksaan neurologis cepat dengan menilai tingkat kesadaran

dari pasien, ukuran dan reaksi pupil serta fungsi motorik. Glasgow Coma Scale

(GCS) adalah skor yang paling umum digunakan untuk menilai mata, fungsi

motorik dan verbalisasi dari pasien. Setiap kategori memiliki skor dan jumlah

dari 3 skor adalah total GCS. GCS adalah sebagai berikut:

7
Gambar 1. Glasgow Coma

Scale8

Membuka Mata

(E)
Spontan 4 poin
Dengan rangsang

suara 3 poin
Dengan rangsang nyeri 2 poin
Tidak ada respon 1 poin
Gerakan (M)
Mengikuti perintah 6 poin
Melokalisasi nyeri 5 poin
Gerakan menghindar saat diberi rangsang 4 poin
Fleksi abnormal 3 poin
Ekstensi abnormal 2poin
Tidak ada respon 1 poin
Respon Verbal (V)
Orientasi baik 5 poin
Bingung 4 poin
Kata-kata tidak jelas 3 poin
Suara tanpa arti(mengerang) 2 poin
Tidak ada respon 1 poin
5. Exposure
Untuk memeriksa pasien dengan baik, pakaian pasien harus dilepaskan

jika perlu (hargai martabat pasien) dan di tutup setelah melakukan pemeriksaan

namun tetap cegah terjadinya hipotermi.


Selama melakukan survey primer, kondisi yang mengancam jiwa yaitu

identifikasi dan resusitasi dilakukan secara simultan mengikuti urutan ABCDE.

Sistem evaluasi ARM (Awareness, Recognition dan Management) memudahkan

8
dokter yang merawat untuk secepatnya fokus pada masalah lain yang mungkin

terjadi, sebagai contoh :


Awareness- Cedera kepala merupakan penyebab paling sering dari

kesadaran menurun dan obstruksi jalan napas pada korban trauma.


Recognition- Obstruksi jalan napas dikenali dengan cara melihat,

mendengar, merasakan tanda-tanda klinis yang ada.


Management jalan napas yang terhambat ditangani dengan

menggunakan maneuver tangan sederhana. Intervensi airway lebih lanjut

dengan menggunakan tekhnik bedah airway13

B. Secondary survey

Bagian dari survey sekunder adalah anamnesis dan pemeriksaan fisik.

Tujuan dari survey sekunder adalah mencari cedera - cedera lain yang mungkin

terjadi pada pasien sehingga tidak satupun terlewatkan dan tidak terobati. Apabila

pasien sadar dan dapat berbicara maka kita harus mengambil riwayat AMPLE dari

pasien, yaitu Allergies, Medication, Past Medical History, Last Ate dan Event

(kejadian atau mekanisme kecelakaan). Mekanisme kecelakaan penting untuk

ditanyakan untuk mengetahui dan memperkirakan cedera apa yang dimiliki oleh

pasien, terutama jika kita masih curiga ada cedera yang belum diketahui saat

primary survey. 11

A : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, makanan)

M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang

menjalani/pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau

penyalahgunaan obat

9
P : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang

pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan

herbal)

L : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi

berapa jam sebelum kejadian)

E : Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang

menyebabkan adanya keluhan utama) 11

Anamnesis diambil sesuai dengan aturan yang umum dengan perhatian

utama ditujukan pada sifat-sifat nyeri, kelemahan, kekakuan, pembengkakan,

lamanya gejala dan perkembangannya. 1


Sebagian dari kelainan ortopedi dapat terdiagnosis melalui anamnesis yang teratur

sehingga seorang dokter harus meluangkan waktu yang cukup dalam melakukan

anamnesis, tekun dan menjadikannya kebiasaan. 2


Cara pemeriksaan Fisik dapat dilakukan dengan Look, Feel, Move. Pada

look, kita menilai warna, luka, deformitas, pembengkakan, dan memar. Penilaian

inspeksi dalam tubuh perlu dilakukan untuk menemukan pendarahan eksternal

aktif, begitu pula dengan bagian punggung. Bagian distal tubuh yang pucat

dan tanpa pulsasi menandakan adanya gangguan vaskularisasi. Ekstremitas

yang bengkak pada daerah yang berotot menunjukkan adanya crush injury

dengan ancaman sindroma kompartemen. Pada pemerikasaan Feel, kita

menggunakan palpasi untuk memeriksa daerah nyeri tekan, fungsi neurologi, dan

krepitasi. Pada periksaan Move kita memeriksa Range of Motion dan gerakan

abnormal 11

10
BAB III

PEMBAHASAN

Trauma dapat menyebabkan kematian dalam 4 jam pertama sejak terjadinya

kecelakaan. Kematian akibat trauma dapat terjadi akibat 3 faktor :

1. Antara beberapa detik sampai menit

2. Beberapa menit sampai beberapa hari

3. Beberapa hari atau minggu setelah awal cedera.

Dalam melakukan tindakan, dada, leher, dan perut pasien harus terbuka agar dapat

dilakukan penilaian terhadap dada pasien. Pemeriksaan harus dilakukan secara

sistematis :

1. Look
Pernapasan - Takipneu merupakan indikasi dari hipoksia
Pernapasan dangkal, megap-megap, atau sesak - indikasi gagal napas
Sianosis Indikasi hipoksia
Plethora atau peteki Indikasi asfiksia
Pernapasan Paradoks Pernapasan pendulum dengan tidak sinkronnya

antara dada dan perut menghasilkan pergerakan maju-mundur- merupaka

indikasi gagal napas atau cedera struktural


Inflasi dada yang tidak seimbang merupakan indikasi pneumothoraks

atau flail chest


Cedera akibat penetrasi dinding dada berpotensi untuk menjadi

pneumothoraks
Distensi vena jugular peningkatan tekanan vena merupakan efek

sekunder dari tension pneumothoraks dan tamponade jantung


2. Listen
Hilangnya suara napas Indikasi apneu atau tension pneumothoraks
Bising pernapasan/krepitasi/stridor/wheezing- indikasi sumbatan parsial

jalan napas, darah dan sekret pada jalan napas, trakea atau bronchial

11
Penurunan suplei udara secara bilateral Indikasi pneumothoraks,

hematothoraks, hemopneumothoraks dan flail chest


3. Feel
Deviasi trakea Indikasi tension pneumothoraks dan pergeseran

mediastinum
Nyeri tekan Indikasi luka memar yang signifikan pada dinding dada atau

fraktur pada tulang rusuk


Krepitasi Indikasi fraktur kosta 10
Adapun luka dada yang mengancam hidup dan segera dipertimbangkan selama survei

primer:
1. Tension Pneumothoraks
Tension pneumothoraks terdiri dari udara yang berada pada rongga pleura yang

menyebabkan kompresi dan kolaps pada paru. Kurangnya Ventilasi menyebabkan

kurangnya perfusi sehingga terjadi hipoksia. Namun, hal yang mengancam jiwa

adalah pergeseran mediastinum menjauhi bagian yang sakit, mengkerutnya pembuluh

darah besar dan obstruksi aliran balik vena ke jantung.


Diagnosis seharusnya sesuai dengan klinis, bukan radiologis dan klinisi harus mencari

secara spesifik 3 tanda cardinal :


- Hilangnya suara napas pada bagian yang terkena pneumothoraks
- Deviasi trakea menjauhi bagian yang terkena pneumothoraks
- Hipersonor pada bagian yang terkena pneumothoraks
Penanganan segera yang dilakukan yaitu dekompresi (needle thoracocentesis) dari

tension pneumothoraks dengan memasukkan kanula berukuran 14 kedalam rongga

pleura melewati intercosta (ICS) 2 pada linea midclavicula. Dekompresi dengan jarum

tidak boleh dilakukan jika tanda yang muncul hanya berkurangnya atau hilangnya

suara pernapasan karena terdapat komplikasi yang berhubungan seperti cedera pada

paru.
2. Hemothoraks Masif
Pada kavitas dada, terdapat ruang potensial yang sangat besar yang mana darah dapat

terkumpul jika terjadi trauma tumpul atau tajam pada dada. 1500 liter atau 1/3 dari

volume darah pasien dapat dengan cepat terkumpul dan menyebabkan hipoksia dan

syok. Hematothoraks yang lebih kecil biasanya terjadi akibat cedera pada parenkim

12
paru, fraktur kosta dan cedera minor pada vena. Perdarahan yang masif biasanya

terjadi akibat cedera pada arteri yang biasanya membutuhkan tindakan bedah dan

lobectomy paru-paru.
Diagnosis dapat berdasarkan adanya hipoksia, menurunnya ekspansi dada, hilangnya

suara napas atau pekak pada perkusi dada dan syok hipovolemia. Perfusi dada dengan

posisi supine mungkin tidak akan menghasilkan suara pekak dan x-ray dengan posisi

supine tidak akan memperlihatkan hematothoraks sedang. Penanganan spesifik adalah

dengan memasukkan drain pada dada, koreksi hipovolemia dan transfusi darah. Jika

total volume drain pada awalnya > 1500 ml atau perdarahan berlanjut dengan 200

ml/jam atau pasien tetap dengan hemodinamik yang tidak stabil, rujukan ke bagian

bedah dan toracotomy menjadi indikasi.


3. Tamponade Jantung
Tamponade jantung merupakan akumulasi darah pada pericardium, membatasi

kemampuan pengisian jantung dan menghasilkan penurunan kardiac output yang

progresif hingga menyebabkan Pulseless Electrical Activity cardiac arrest. Hal ini

lebih sering dihubungkan dengan trauma tajam dibandingkan dengan trauma tumpul,

khusunya luka tusuk diantara garis puting atau scapula dan luka tembak.
Diagnosis klinis dapat menjadi sulit akibat tanda yang tidak kentara dan sulit untuk

diperoleh pada ruang yang terjadi trauma. 3 tanda klasik yang menjadi kriteria

diagnosis berdasarkan Constitute Becks Triad :


- Distensi vena jugular akibat peningkatan tekanan vena
- Suara jantung redup
- Penurunan tekanan darah
4. Fail Chest
Benturan masif pada dinding dada dapat menyebabkan multiple fraktur pada kosta dan

ini lebih sering terjadi pada orang tua yang memiliki tulang rusuk yang fleksibel.

Multiple fraktur, baik itu anterior dan posterior dada dapat menimbulkan hilangnya

integritas struktural pada dinding dada dan terdapat sebuah segmen yang melayang

sehingga saat pasien melakukan inspirasi segmen yang melayang tertarik kedalam

13
sehingga paru tidak dapat berinflasi (pernapasan paradoxical). Hal ini dapat

menyebabkan hipoksia dan gangguan ventilasi. Diagnosis dapat berdasarkan

pemeriksaan klinis, rontgen dada untuk melihat fraktur dan memar pada paru dan

pemeriksaan gas darah untuk mengukur hipoksia. Penanganan suportif yaitu dengan

pemberian oksigen dan analgetik. Hipoksia berat membutuhkan pemasangan intubasi

dan ventilasi hingga luka memar dan nyeri dapat dikontrol dengan baik. Pemberian

cairan intravena perlu dibatasi untuk menghindari kelebihan cairan dan memburuknya

hipoksia 11
5. Multiple Fraktur
Fraktur Pelvis
- Stable Ring Injury : Pasien tidak mengalami syok berat namun merasakan nyeri

saat mencoba berjalan. Terdapat nyeri tekan yang terlokalisasi namun jarang

terdapat kerusakan pada organ bagian dalam dari pelvis. Foto polos pelvis dapat

memperlihatkan fraktur.
- Unstable Ring Injury : Pasien biasanya mengalami syok berat, mengalami nyeri

yang hebat dan tidak dapat berdiri. Pasien juga tidak dapat buang air kecil. Nyeri

tekan biasanya menyebar dan merasakan sangat nyeri saat bergerak. Salah satu

dari tungkai mungkin akan mengalami anastesi karena cedera nervus sciatic.
- Haemodynamic Instability : Fraktur akibat benturan keras pada pelvis merupakan

cedera yang sangat serius dan memiliki risiko kerusakan organ visceral, organ

intraabdomen, dan perdarahan retroperitoneal, syok, sepsis dan ARDS. Pasien

harus diperiksa secara berulang untuk mencari tanda hilangnya darah dan

hipovolemik.
Penanganan tidak perlu menunggu diagnosis pasti, sangat penting untuk

mengatur prioritas dan bertindak sesuai informasi yang ada sambil menunggu

diagnosis pasti. Penanganan dalam konteks ini merupakan kombinasi dari diagnosis

dan pengobatan.

14
Enam pertanyaan yang harus ditanyakan dan jawabannya dapat menentukan

tindakan :
1. Apakah airway aman?
2. Apakah ventilasi paru adekuat?
3. Apakah pasien kehilangan darah?
4. Apakah terdapat cedera intraabdomen?
5. Apakah terdapat cedera pada kantong kemih atau uretra?
6. Apakah fraktur pelvis stabil atau tidak stabil?
Pasien dengan cederan berat, langkah pertama yang harus dipastikan

adalah jalan napas aman dan ventilasi tidak terganggu, resusitasi harus dimulai

segera dan mengontrol perdarahan yang aktif. Pasien kemudian secepatnya

diperiksa untuk mencari multiple fraktur dan jika perlu, fraktur yang terasa nyeri

harus di spalak dan x-ray pelvis harus segera dilakukan. Pada pasien dengan cedera

yang sangat berat, eksternal fiksasi secepat mungkin merupakan cara efektif untuk

mengurangi perdarahan dan mengatasi syok.


Fraktur Femur
Pemasangan traksi disertai dengan spalak merupakan pertolongan pertama

pada pasien dengan fraktur batang femur. Hal ini dilakukan pada tempat terjadinya

kecelakaan dan sebelum pasien dipindahkan.


Hubungan antara fraktur batang femur dengan cedera lainnya, termasuk

kepala, dada, abdomen dan pelvis, meningkatkan potensi berkembangnya emboli

lemak, ARDS dan kegagalan mullti organ. Risiko dari komplikasi sistemik dapat

dikurangi dengan stabilisasi fraktur segera. Konsekuensi dari pasien dengan cedera

multiple, terutama pasien dengan trauma dada berat harus dilakukan stabilisasi

dengan memasang fiksasi ekternal. Indikasi untyuk dilakukan traksi adalah :


1. Fraktur pada anak-anak
2. Kontraindikasi terhadap anastesi
3. Kurangnya kemampuan petugas atau fasilitas untuk dilakukan internal

fiksasi

Fraktur Tibia

15
Dalam pengaruh anestesi, dilakukan aspirasi pada sendi dan secara perlahan

diubah kedalam posisi ekstensi penuh. Seringkali, fragmen fraktur kembali ke

posisi semula dan pada hasil x-ray terlihat bahwa fraktur berkurang. Sepanjang

lutut tetap dalam keadaan ekstensi penuh, elevasi fragmen dalam jumlah kecil

dapat diterima jika terdapat blok terhadap ekstensi penuh atau fragmen tulang

masih bergeser, operasi untuk reduksi penting untuk dilakukan. Fragmen biasanya

berukuran lebih besar dari yang diperkirakan. Biasanya ditahan dengan

menggunakan screw kecil.

BAB IV
KESIMPULAN

16
Penanganan trauma umumnya bertujuan untuk menyelamatkan jiwa, mencegah

kerusakan organ yang lebih jauh, mencegah kecacatan tubuh dan menyembuhkan. Dalam

penanganan kasus pada pasien yang datang di Instalasi Gawat Darurat,terutama pada

pasien yang emergency, seharusnya langkah yang harus segera dilakukan yaitu

melakukan penilaian terhadap Primary Survey dan Secondary Survey. Dalam survei

primer, saluran napas, pernapasan, dan sirkulasi yang dinilai dan masalah yang

mengancam kehidupan harus langsung didiagnosis dan diobati. Singkatan yang mudah

diingat adalah ABCDE: Airway (saluran napas), Breathing (pernapasan), Circulation

(sirkulasi), Disability (kecacatan), dan Environment (paparan / kontrol lingkungan)

disusun berdasarkan urutan prioritas penanganan. Jadi prioritas utama penanganan adalah

keadaan menjamin jalan napas terjaga adekuat. Apabila pasien sadar dan dapat berbicara

maka kita harus mengambil riwayat AMPLE dari pasien, yaitu Allergies, Medication,

Past Medical History, Last Ate dan Event (kejadian atau mekanisme kecelakaan).

Mekanisme kecelakaan penting untuk ditanyakan untuk mengetahui dan memperkirakan

cedera apa yang dimiliki oleh pasien, terutama jika kita masih curiga ada cedera yang

belum diketahui saat primary survey.

DAFTAR PUSTAKA

1. Humas-UI. 2013. Penanganan Kedaruratan Pada Kecelakaan 2013.


Universiitas Indonesia. www.ui.ac.id

17
2. Parahitaa,PS. 2010. Penatalaksanaan Kegawatdaruratan Pada Cedera Fraktur

Ekstremitas. Bagian/SMF Ilmu Anastesi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran

Universitas Udayana/Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar


3. North Memorial. Trauma Update. Volume 1 July 2008
4. Mc, K. 2015. Functional Outcomes Per Level Of Spinal Cord Injury. . Medscape

Referece Drugs, Disease and Prosedure


5. NN. 2016. Trauma Assesment .
6. Rasjad, C. 2009. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta. Yasif Watampone
7. Resuscitation Council (UK). Guidelines and Guidance. http//The ABCDE

Aprroach.2015
8. Dang,CV. 2015. The Polytraumatized Patient. Medscape Referece Drugs, Disease

and Prosedure
9. Griggs,W. 2001. Early Management Of The Acute Severe Trauma Patient, ADF

Helath Vol 2.
10. NN. 2016. Secondary Survey IGD
11. ATLS. 2012. Advance Trauma life Support. American College Of Surgeon.

Student Course Manual


12. Zunder I. 2012. Anasthesia And Critical Care. Initia Trauma Assesment The

Anaesthetists Care
13. Solomon, L. 2010. Apleys System Of Orthopedics And Fracture.

18

Anda mungkin juga menyukai