Anda di halaman 1dari 2

1. Apakah tepat facebook disalahkan atas bertebarannya fake news?

Sampai sejauh mana


pihak facebook bertanggungjawab? Jelaskan dari perspektif Indonesia dan Negara lain?

Menurut sepengetahuan saya, bertebarannya fake news atau yang biasa kita kenal dengan
berita hoax bukan saja terjadi di Indonesia, tetapi di Negara lain pun juga pernah mengalami
hal yang serupa.

Bila di Jerman, Pemerintahnya menerapkan denda bagi perusahaan media sosial yang
menyebarkan berita bohong dan tak menghapuskannya dalam waktu 24 jam. Untuk tiap
berita bohong tersebut diterapkan denda hingga 500.000 euro, setara Rp 7 miliar. Perusahaan
media social nya pun diwajibkan untuk mendirikan Unit Penanganan Berita Bohong yang
berkantor di Jerman dan melayani pengaduan selama 24 jam sehari.

Pertanggung jawaban pihak facebook sejauh ini adalah Facebook berusaha untuk
menangani berita palsu dengan merilis alat untuk menyaring berita palsu tersebut. Alat
tersebut dirancang untuk membantu mengidentifikasi dan menyembunyikan berita palsu di
Facebook dalam upaya untuk memadamkan kritik yang semakin vokal terhadap peran
Facebook dalam menyebarkan kebohongan dan propaganda.

Saat ini di Indonesia, pemerintah dan penegak hukum sedang sibuk menangani
penyebaran ujaran kebencian dan berita bohong di media sosial. Namun, yang jadi pokok
bahasan sekaligus fokus tindakannya adalah para pembuat berita bohong atau ujaran
kebencian. Sementara bila merujuk pada Jerman, jelas sekali bahwa fokus penanganannya
justru pada perusahaan penyedia aplikasi media sosial. Apabila misalnya kasus Buni Yani
terjadi di Eropa, fokus penanganan hukum bukan hanya Buni Yani sebagai pribadi, melainkan
juga Facebook sebagai perusahaan penyedia aplikasi media sosial yang dimanfaatkan Buni
Yani.

Dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) kita belum secara spesifik
merumuskan tanggung jawab perusahaan penyedia aplikasi media sosial sehingga penegakan
hukum hanya terfokus kepada pengguna media sosial. UU ITE juga menyamaratakan
pengguna media sosial, perusahaan media sosial, portal berita, e-commerce, perusahaan
mesin pencari (search engine), dan pengelola laman pada satu kategori yang sama:
penyelenggara sistem elektronik. Tanggung jawab perusahaan penyedia aplikasi media social
di Indonesia luput dari perhatian disebabkan karena pada umumnya kita berpikir tentang
media sosial dengan pengandaian lapangan sepak bola. Bagaimana bisa Facebook yang
dengan gratis menyediakan lapangan sepak bola harus ikut dihukum jika terjadi perkelahian
antar-pemain di lapangan itu? Karena sudah begitu baik kepada masyarakat, tidak seharusnya
Facebook dibebani tanggung jawab macam-macam. Hal inilah yang menjadi pandangan
umum tentang media sosial di Indonesia sejauh ini dan juga melandasi sikap dan pandangan
para penegak hukum. Kata sosial dalam istilah media sosial begitu menghegemoni pikiran
masyarakat Indonesia sehingga tidak sadar bahwa yang dihadapi bukan lapangan sepak bola
yang tanpa pemilik dan tanpa otoritas, melainkan sebuah institusi bisnis yang mengambil
banyak keuntungan dari semua aktivitas di lapangan itu.

Di sini, bisa dipetik pelajaran, bahwa media sosial bukan sepenuhnya entitas sosial
yang memberikan fasilitas cuma-cuma kepada masyarakat untuk berkomunikasi dengan cara
yang baru. Media sosial juga entitas ekonomi yang motif utamanya adalah komodifikasi.
Dalam artian Media sosial merekam aktivitas digital para penggunanya, lalu menggunakan
rekaman itu sebagai dasar dari periklanan digital. Dari monetisasi data perilaku penggunanya,
Facebook meraih keuntungan ekonomi sangat besar. Dan Indonesia harus bergegas untuk
mengembangkan infrastruktur yang mendukung pengembangan media digital nasional. Para
pakar menegaskan, hanya ada dua opsi untuk pengembangan mesin pencari dan media sosial
pada level nasional saat ini: terlambat atau sangat terlambat. Mengembangkan mesin pencari
dan media sosial adalah suatu keharusan jika mempertimbangkan betapa strategis kedudukan
keduanya bagi kehidupan ekonomi, politik, dan sosial suatu bangsa. Belajar dari pengalaman
Tiongkok, Jepang, Korea Selatan, Rusia, dan Brasil, mengembangkan mesin pencari dan
media sosial nasional bukan suatu kemustahilan. Jika Tiongkok adalah contoh yang ekstrem
dan sulit ditiru tentang bagaimana menghadapi Google dan Facebook, kita bisa mengambil
contoh Korea Selatan. Tanpa banyak diketahui, Korea Selatan berhasil mengembangkan
mesin pencari (naver.com) dan media sosial (Kakaotalk) lokalnya sehingga Google dan
Facebook tidak jadi penguasa digital di Negeri Ginseng tersebut, seperti yang terjadi di
Indonesia hari ini.

2. 3 contoh kemerdekaan dalam mengelola informasi disertai dasar hukumnya dalam UUD
1945 dan peraturan perundang-undangan nasional?

Anda mungkin juga menyukai