Anda di halaman 1dari 10

TERAPI ANTIEPILEPSI

Nama : Rizka Sekar


NIDM : 26.55.1124.2012
Tanggal : 8 Juni 2016
Pembimbing : dr. Fuad Hanif, Sp. S, M. Kes.

Definisi Epilepsi

Epilepsi adalah suatu kelainan di otak yang ditandai adanya bangkitan epileptik yang berulang
(lebih dari satu episode). International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau
for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 merumuskan kembali definisi epilepsi yaitu suatu kelainan
otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan bangkitan epileptik,
perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang
diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat bangkitan epilepstik
sebelumnya. Sedangkan bangkitan epileptik didefinisikan sebagai tanda dan/atau gejala yang
timbul sepintas (transien) akibat aktivitas neuron yang berlebihan atau sinkron yang terjadi di
otak.

Penggolongan Obat Antiepilepsi

1. Hidantoin

Fenitoin

Fenitoin merupakan obat pilihan pertama untuk kejang umum, kejang tonik-klonik, dan
pencegahan kejang pada pasien trauma kepala/bedah saraf. Fenitoin memiliki range terapetik
sempit sehingga pada beberapa pasien dibutuhkan pengukuran kadar obat dalam darah.
Mekanisme aksi fenitoin adalah dengan menghambat kanal sodium (Na +) yang mengakibatkan
influk (pemasukan) ion Na+ kedalam membran sel berkurang. dan menghambat terjadinya
potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada neuron. Dosis awal penggunaan fenitoin 5
mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 20 mg/kg/hari tiap 6 jam. Efek samping yang sering terjadi
pada penggunaan fenitoin adalah depresi pada SSP, sehingga mengakibatkan lemah, kelelahan,
gangguan penglihatan (penglihatan berganda), disfungsi korteks dan mengantuk. Pemberian
fenitoin dosis tinggi dapat menyebabkan gangguan keseimbangan tubuh dan nystagmus. Salah
satu efek samping kronis yang mungkin terjadi adalah gingival hyperplasia (pembesaran pada
gusi). Menjaga kebersihan rongga mulut dapat mengurangi resiko gingival hyperplasia.

2. Barbiturat

Fenobarbital

Fenobarbital merupakan obat yang efektif untuk kejang parsial dan kejang tonik-klonik. Efikasi,
toksisitas yang rendah, serta harga yang murah menjadikan fenobarbital obat yang penting utnuk
tipe-tipe epilepsi ini. Namun, efek sedasinya serta kecenderungannya menimbulkan gangguan
perilaku pada anak-anak telah mengurangi penggunaannya sebagai obat utama. Aksi utama
fenobarbital terletak pada kemampuannya untuk menurunkan konduktan Na dan K. Fenobarbital
menurunkan influks kalsium dan mempunyai efek langsung terhadap reseptor GABA (aktivasi
reseptor barbiturat akan meningkatkan durasi pembukaan reseptor GABA dan meningkatkan
konduktan post-sinap klorida). Selain itu, fenobarbital juga menekan glutamate excitability dan
meningkatkan postsynaptic GABAergic inhibition. Dosis awal penggunaan fenobarbital 1-3
mg/kg/hari dan dosis pemeliharaan 10-20 mg/kg 1kali sehari. Efek samping SSP merupakan hal
yang umum terjadi pada penggunaan fenobarbital. Efek samping lain yang mungkin terjadi
adalah kelelahan, mengantuk, sedasi, dan depresi. Penggunaan fenobarbital pada anak-anak
dapat menyebabkan hiperaktivitas. Fenobarbital juga dapat menyebabkan kemerahan kulit, dan
Stevens-Johnson syndrome.

3. Deoksibarbiturat

Primidon

Primidon digunakan untuk terapi kejang parsial dan kejang tonik-klonik. Primidon mempunyai
efek penurunan pada neuron eksitatori. Efek anti kejang primidon hampir sama dengan
fenobarbital, namun kurang poten. Didalam tubuh primidon dirubah menjadi metabolit aktif
yaitu fenobarbital dan feniletilmalonamid (PEMA). PEMA dapat meningkatkan aktifitas
fenobarbotal. Dosis primidon 100-125 mg 3 kali sehari. Efek samping yang sering terjadi antara
lain adalah pusing, mengantuk, kehilangan keseimbangan, perubahan perilaku, kemerahan
dikulit, dan impotensi.

4. Iminostilben

Karbamazepin

Karbamazepin secara kimia merupakan golongan antidepresan trisiklik. Karbamazepin


digunakan sebagai pilihan pertama pada terapi kejang parsial dan tonik-klonik . Karbamazepin
menghambat kanal Na+, yang mengakibatkan influk (pemasukan) ion Na + kedalam membran sel
berkurang dan menghambat terjadinya potensial aksi oleh depolarisasi terus-menerus pada
neuron. Dosis pada anak dengan usia kurang dari 6 tahun 10-20 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 6-
12 tahun dosis awal 200 mg 2 kali sehari dan dosis pemeliharaan 400-800 mg. Sedangkan pada
anak usia lebih dari 12 tahun dan dewasa 400 mg 2 kali sehari. Efek samping yang sering terjadi
pada penggunaan karbamazepin adalah gangguan penglihatan (penglihatan berganda), pusing,
lemah, mengantuk, mual, goyah (tidak dapat berdiri tegak) dan Hyponatremia. Resiko terjadinya
efek samping tersebut akan meningkat seiring dengan peningkatan usia.

Okskarbazepin

Okskarbazepin merupakan analog keto karbamazepin. Okskarbazepin merupakan prodrug yang


didalam tubuh akan segera dirubah menjadi bentuk aktifnya, yaitu suatu turunan 10-
monohidroksi dan dieliminasi melalui ekskresi ginjal. Okskarbazepin digunakan untuk
pengobatan kejang parsial. Mekanisme aksi okskarbazepin mirip dengan mekanisme kerja
karbamazepin. Dosis penggunaan okskarbazepin pada anak usia 4-16 tahun 8-10mg/kg 2 kali
sehari sedangkan pada dewasa, 300 mg 2 kali sehari. Efek samping penggunaan okskarbazepin
adalah pusing, mual, muntah, sakit kepala, diare, konstipasi, dispepsia, ketidak seimbangan
tubuh, dan kecemasan. Okskarbazepin memiliki efek samping lebih ringan dibanding dengan
fenitoin, asam valproat, dan karbamazepin. Okskarbazepin dapat menginduksi enzim CYP450.

Suksimid

Etosuksimid

Etosuksimid digunakan pada terapi kejang absens. Kanal kalsium merupakan target dari
beberapa obat antiepilepsi. Etosuksimid menghambat pada kanal Ca 2+ tipe T. Talamus berperan
dalam pembentukan ritme sentakan yang diperantarai oleh ion Ca 2+ tipe T pada kejang absens,
sehingga penghambatan pada kanal tersebut akan mengurangi sentakan pada kejang absens.
Dosis etosuksimid pada anak usia 3-6 tahun 250 mg/hari untuk dosis awal dan 20 mg/kg/hari
untuk dosis pemeliharaan. Sedangkan dosis pada anak dengan usia lebih dari 6 tahun dan dewasa
500 mg/hari . Efek samping penggunaan etosuksimid adalah mual dan muntah, efek samping
penggunaan etosuksimid yang lain adalah ketidakseimbangan tubuh, mengantuk, gangguan
pencernaan, goyah (tidak dapat berdiri tegak), pusing dan cegukan.

Asam valproat

Asam valproat merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang parsial, kejang absens, kejang
mioklonik, dan kejang tonik-klonik. Asam valproat dapat meningkatkan GABA dengan
menghambat degradasi nya atau mengaktivasi sintesis GABA. Asam valproat juga berpotensi
terhadap respon GABA post sinaptik yang langsung menstabilkan membran serta mempengaruhi
kanal kalium. Dosis penggunaan asam valproat 10-15 mg/kg/hari. Efek samping yang sering
terjadi adalah gangguan pencernaan (>20%), termasuk mual, muntah, anorexia, dan peningkatan
berat badan. Efek samping lain yang mungkin ditimbulkan adalah pusing, gangguan
keseimbangan tubuh, tremor, dan kebotakan. Asam valproat mempunyai efek gangguan kognitif
yang ringan. Efek samping yang berat dari penggunaan asam valproat adalah hepatotoksik.
Hyperammonemia (gangguan metabolisme yang ditandai dengan peningkatan kadar amonia
dalam darah) umumnya terjadi 50%, tetapi tidak sampai menyebabkan kerusakan hati.
Interaksi valproat dengan obat antiepilepsi lain merupakan salah satu masalah terkait
penggunaannya pada pasien epilepsi. Penggunaan fenitoin dan valproat secara bersamaan dapat
meningkatkan kadar fenobarbital dan dapat memperparah efek sedasi yang dihasilkan. Valproat
sendiri juga dapat menghambat metabolisme lamotrigin, fenitoin, dan karbamazepin. Obat yang
dapat menginduksi enzim dapat meningkatkan metabolisme valproat. Hampir 1/3 pasien
mengalami efek samping obat walaupun hanya kurang dari 5% saja yang menghentikan
penggunaan obat terkait efek samping tersebut.

7. Benzodiazepin

Benzodiazepin merupakan agonis GABAA, sehingga aktivasi reseptor benzodiazepin akan


meningkatkan frekuensi pembukaan reseptor GABA. Dosis benzodiazepin untuk anak usia 2-5
tahun 0,5 mg/kg, anak usia 6-11 tahun 0,3 mg/kg, anak usia 12 tahun atau lebih 0,2 mg/kg, dan
dewasa 4-40 mg/hari. Efek samping yang mungkin terjadi pada penggunaan benzodiazepin
adalah cemas, kehilangan kesadaran, pusing, depresi, mengantuk, kemerahan dikulit, konstipasi,
dan mual.

8. Obat antiepilepsi lain

Gabapentin

Gabapentin merupakan obat pilihan kedua untuk penanganan parsial epilepsi walaupun kegunaan
utamanya adalah untuk pengobatan nyeri neuropati. Uji double-blind dengan kontrol plasebo
pada penderita seizure parsial yang sulit diobati menunjukkan bahwa penambahan gabapentin
pada obat antiseizure lain leibh unggul dari pada plasebo. Penurunan nilai median seizure yang
diinduksi oleh gabapentin sekitar 27% dibandingkan dengan 12% pada plasebo. Penelitian
double-blind monoterapi gabapentin (900 atau 1800 mg/hari) mengungkapkan bahwa efikasi
gabapentin mirip dengan efikasi karbamazepin (600 mg/hari). Gabapentin dapat meningkatkan
pelepasan GABA nonvesikel melalui mekanisme yang belum diketahui. Gabapentin mengikat
protein pada membran korteks saluran Ca2+ tipe L. Namun gabapentin tidak mempengaruhi arus
Ca2+ pada saluran Ca2+ tipe T, N, atau L. Gabapentin tidak selalu mengurangi perangsangan
potensial aksi berulang terus-menerus. Dosis gabapentin untuk anak usia 3-4 tahun 40 mg/kg 3
kali sehari, anak usia 5-12 tahun 25-35 mg/kg 3 kali sehari, anak usia 12 tahun atau lebih dan
dewasa 300 mg 3 kali sehari. Efek samping yang sering dilaporkan adalah pusing, kelelahan,
mengantuk, dan ketidakseimbangan tubuh. Perilaku yang agresif umumnya terjadi pada anak-
anak. Beberapa pasien yang menggunakan gabapentin mengalami peningkatan berat badan.

Lamotrigin

Lamotrigin merupakan obat antiepilepsi generasi baru dengan spektrum luas yang memiliki
efikasi pada parsial dan epilepsi umum. Lamotrigin tidak menginduksi atau menghambat
metabolisme obat anti epilepsi lain. Mekanisme aksi utama lamotrigin adalah blokade kanal Na,
menghambat aktivasi arus Ca2+ serta memblok pelepasan eksitasi neurotransmiter asam amino
seperti glutamat dan aspartat. Dosis lamotrigin 25-50 mg/hari. Penggunaan lamotrigin umumnya
dapat ditoleransi pada pasien anak, dewasa, maupun pada pasien geriatri. Efek samping yang
sering dilaporkan adalah gangguan penglihatan (penglihatan berganda), sakit kepala, pusing, dan
goyah (tidak dapat berdiri tegak). Lamotrigin dapat menyebabkan kemerahan kulit terutama pada
penggunaan awal terapi 3-4 minggu. Stevens-Johnson syndrome juga dilaporkan setelah
menggunakan lamotrigin.

Levetirasetam

Levetiracetam mudah larut dalam air dan merupakan derifat pyrrolidone ((S)-ethyl-2-oxo-
pyrrolidine acetamide). Levetirasetam digunakan dalam terapi kejang parsial, kejang absens,
kejang mioklonik, kejang tonik-klonik. Mekanisme levetirasetam dalam mengobati epilepsi
belum diketahui. Namun pada suatu studi penelitian disimpulkan levetirasetam dapat
menghambat kanal Ca2+ tipe N dan mengikat protein sinaptik yang menyebabkan penurunan
eksitatori (atau meningkatkan inhibitori). Proses pengikatan levetiracetam dengan protein
sinaptik belum diketahui. Dosis levetirasetam 500-1000 mg 2 kali sehari. Efek samping yang
umum terjadi adalah sedasi, gangguan perilaku, dan efek pada SSP. Gangguan perilaku seperti
agitasi, dan depresi juga dilaporkan akibat penggunaan levetirasetam.
Topiramat

Topiramat digunakan tunggal atau tambahan pada terapi kejang parsial, kejang mioklonik, dan
kejang tonik-klonik. Topiramat mengobati kejang dengan menghambat kanal sodium (Na+),
meningkatkan aktivitas GABA, antagonis reseptor glutamat AMPA/kainate, dan menghambat
karbonat anhidrase yang lemah. Dosis topiramat 25-50 mg 2 kali sehari. Efek samping utama
yang mungkin terjadi adalah gangguan keseimbangan tubuh, sulit berkonsentrasi, sulit
mengingat, pusing, kelelahan, paresthesias (rasa tidak enak atau abnormal). Topiramat dapat
menyebabkan asidosis metabolik sehingga terjadi anorexia dan penurunan berat badan.

Tiagabin

Tiagabin digunakan untuk terapi kejang parsial pada dewasa dan anak 16 tahun. Tiagabin
meningkatkan aktivitas GABA, antagonis neuron atau menghambat reuptake GABA. Dosis
tiagabin 4 mg 1-2 kali sehari. Efek samping yang sering terjadi adalah pusing, asthenia
(kekurangan atau kehilangan energi), kecemasan, tremor, diare dan depresi. Penggunaan tiagabin
bersamaan dengan makanan dapat mengurangi efek samping SSP.

Felbamat

Felbamat bukan merupakan pilihan pertama untuk terapi kejang, felbamat hanya digunakan bila
terapi sebelumnya tidak efektif dan pasien epilepsi berat yang mempunyai resiko anemia
aplastik. Mekanisme aksi felbamat menghambat kerja NMDA dan meningkatkan respon GABA.
Dosis felbamat untuk anak usia lebih dari 14 tahun dan dewasa 1200 mg 3-4 kali sehari. Efek
samping yang sering dilaporkan terkait dengan penggunaan felbamat adalah anorexia, mual,
muntah, gangguan tidur, sakit kepala dan penurunan berat badan. Anorexia dan penurunan berat
badan umumnya terjadi pada anak-anak dan pasien dengan konsumsi kalori yang rendah. Resiko
terjadinya anemia aplastik akan meningkat pada wanita yang mempunyai riwayat penyakit
cytopenia.

Zonisamid
Zonisamid merupakan suatu turunan sulfonamid yang digunakan sebagai terapi tambahan kejang
parsial pada anak lebih dari 16 tahun dan dewasa. Mekanisme aksi zonisamid adalah dengan
menghambat kanal kalsium (Ca2+) tipe T. Dosis zonisamid 100 mg 2 kali sehari. Efek samping
yang umum terjadi adalah mengantuk, pusing, anorexia, sakit kepala, mual, dan agitasi.

Tabel I. Pilihan obat untuk gangguan kejang spesifik

Tipe Seizure Terapi Pilihan Pertama Obat Alternatif


Seizure Parsial Karbamazepin Gabapentin
Fenitoin Topiramat
Lamotrigin Levetiracetam
Asam valproat Tiagabin
Okskarbanzepin Primidon
Fenobarbital
Felbamat
Kejang Umum Absens Asam valproat Lamotrigin
Etosuksimid Levetiracetam
Mioklonik Asam valproat Lamotrigin
Klonazepam Topiramat
Felbamat
Zonisamid
Levetiracetam
Tonik-klonik Fenitoin Lamotrigin
Karbamazepin Topiramat
Asam valproat Primidon
Fenobarbital
Okskarbanzepin
Levetiracetam
Daftar Pustaka

Browne TR., Holmes GL., 2000, Epilepsy: Definitions and Background. In: Handbook of
Epilepsy, 2nd edition, Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins, P., 1-18.

Fisher RS., Boas WE., Blume W., Elger C., Genton P., Lee P., et al., 2005, Epileptic seizures and
epilepsy: definition proposed by the International League Against Epilepsy (ILAE) and the
International Bureau for Epilepsy (IBE), Epilepsia; 46 (4): 470-2.

Goodman and Gilman, 2007, Dasar Farmakologi Terapi, vol. 1, EGC, Jakarta, 506-531.

Commission on Classification and Terminology of the International League Against Epilepsy,


1981, Proposal for Revised Clinical and Electroencephalographic Classification of
Epileptic Seizures, Epilepsia, 22: 489501.

Commission on Classification and Terminology of the International League Against Epilepsy,


1982, Proposal for Revised Classification of Epilepsies and Epileptic Syndromes,
Epilepsia, 30: 389399.

Wibowo, S., dan Gofir, A., 2006, Obat Antiepilepsi, Pustaka Cendekia Press, Yogyakarta, 85.

Gidal, B.E., and Garnett, W.R., 2005, Epilepsy, in Pharmacotherapy: A Phathophisiology


Approach, Dipiro, J.T., et al (eds) McGraw Hill, New York, 1023-1048.

Lacy, Charles F., 2009, Drug Information Handbook, American Pharmacists Association.

Dillon and Sander, 2003, Clinical Pharmacy and Therapeutics, Third edition, Churchill
livingstone, New York, 465-468, 472-477.

Rainer Surges, Kirill E., Volynski and Matthew C., Walker, 2008, Is Levetiracetam Different
from Other Antiepileptic Drugs? Levetiracetam and its Cellular Mechanism of Action in
Epilepsy Revisited Rainer Surges, Therapeutic Advances in Neurological Disorders, 1(1) 13-24.

McNemara, J.O., 2008, Dasar Farmakologi Terapi, Edisi 10, vol 1, diterjemahkan oleh alih
bahasa sekolah farmasi ITB, EGC, Jakarta, 1517, 522, 524.
Harsono, 2007, Epilepsi, edisi kedua, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 7-8, 65-66,
144.

Anda mungkin juga menyukai