Anda di halaman 1dari 31

A.

Definisi
Stroke atau cedera cerebrovaskular (CVA) adalah kehilangan fungsi otak
yang diakibatkan oleh berhentinya suplai darah ke bagian otak (Smeltzer, 2001).
Strokemenurut World Health Organization (WHO) adalah sindrom klinis yang
awal timbulnya mendadak, progesif, cepat, berupa defisit neurologis fokal dan/
atau global, yang berlangsung 24 jam atau lebih atau langsung menimbulkan
kematian, dan sematamata disebabkan oleh gangguan peredaran darah otak non
traumatik (Mansjoer A, 2000; Rumantir CU, 2007.). Menurut Price & Wilson
(2005) pengertian dari stroke adalah setiap gangguan neurologik mendadak yang
terjadi akibat pembatasan atau terhentinya aliran darah melalui sistem suplai arteri
otak (Price, 2005).
Stroke adalah masalah neurologik primer di AS dan di dunia. Meskipun
upaya pencegahan telah menimbulkan penurunan pada insiden dalam beberapa
tahun terakhir, stroke adalah peringkat ketiga penyebab kematian, dengan laju
mortalitas 18% sampai 37% untuk stroke pertama dan sebesar 62% untuk stroke
selanjutnya. Terdapat kira-kira 2 juta orang bertahan hidup dari stroke yang
mempunyai beberapa kecacatan; dari angka ini, 40% memerlukan bantuan dalam
aktivitas kehidupan sehari-hari. Di Indonesia, menurut SKRT tahun 1995, stroke
termasuk penyebabkematian utama, dengan 3 per 1000 penduduk
menderitapenyakit stroke dan jantung iskemik.(Smeltzer, 2001).
Stroke non hemoragik atau disebut juga stroke iskemik didefinisikan
sebagai sekumpulan tanda klinik yang berkembang oleh sebab vaskular. Gejala ini
berlangsung 24 jam atau lebih pada umumnya terjadi akibat berkurangnya aliran
darah ke otak, yang menyebabkan cacat atau kematian.Stroke non hemoragik
sekitar 85%, yang terjadi akibat obstruksi atau bekuan di satu atau lebih arteri
besar pada sirkulasi serebrum. Obstruksi dapat disebabkan oleh bekuan (trombus)
yang terbentuk di dalam suatu pembuluh otak atau pembuluh atau organ distal.
Trombus yang terlepas dapat menjadi embolus(Price, 2005).

B. Anatomi Vaskularisasi Otak


Anatomi vaskularisasi otak dapat dibagi menjadi 2 bagian: anterior
(carotid system) dan posterior (Vertebrobasiler). Darah arteri yang ke otak berasal
dari arkus aorta. Di sisi kiri, arteri karotis komunis dan arteri subklavia berasal

1
langsung dari arkus aorta. Di kanan, arteri trunkus brakiosefalika (inominata)
berasal dari arkus aorta dan bercabang menjadi arteri subklavia dextra dan arteri
karotis komunis dextra. Di kedua sisi, sirkulasi darah arteri ke otak di sebelah
anterior dipasok oleh dua arteri karotis interna dan di posterior oleh dua arteri
vertebralis (Price, 2005).

Gambar 1. Anatomi vaskulrisasi otak


Arteri karotis interna bercabang menjadi arteri serebri anterior dan arteri
serebri media setelah masuk ke kranium melalui kanalis karotikus, berjalan dalam
sinus kavernosus, kedua arteri tersebut memperdarahi lobus frontalis, parietal, dan
sebagian temporal (Price, 2005).
Arteri vertebralis berukuran lebih kecil dan berjalan melalui foramen
transversus vertebra servikalis kemudian masuk ke dalam kranium melalui
foramen magnum, arteri tersebut menyatu untuk membentuk arteri basilaris
(sistem vertebrobasiler) taut pons dan medulla di batang otak. Arteri basilaris
bercabang menjadi arteri serebellum superior kemudian arteri basilaris berjalan ke
otak tengah dan bercabang menjadi sepasang arteri serebri posterior (Price, 2005).
Sirkulasi anterior bertemu dengan sirkulasi posterior membentuk suatu
arteri yang disebut sirkulus willisi. Sirkulus ini dibentuk oleh arteri serebri
anterior, arteri komunikantes anterior, arteri karotis interna, arteri komunikantes
posterior, dan arteri serebri posterior. Untuk menjamin pemberian darah ke otak,
setidaknya ada 3 sistem kolateral antara sistem karotis dan sistem vertebrobasiler,
yaitu (Price, 2005):

2
a. Sirkulus Willisi yang merupakan anyaman arteri dasar otak
b. Anastomosis arteri karotis interna dan arteri karotis eksterna di daerah orbital
melalui arteri oftalmika
c. Hubungan antara sistem vertebral dengan arteri karotis interna.

C. Klasifikasi Stroke
Stroke diklasifikasikan sebagai berikut (Israr, 2008):
1. Berdasarkan kelainan patologis
a. Stroke hemoragik, yaitu pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan
keluarnya darah ke jaringan parenkim otak, ruang cairan serebrospinalis
disekitar otak atau kombinasi keduanya. Perdarahan tersebutmenyebabkan
gangguan serabut saraf otak melalui penekanan struktur otak dan juga
olehhematom yang menyebabkan iskemia pada jaringan sekitarnya.
Peningkatan tekanan intracranial pada gilirannya akan menimbulkan
herniasi jaringan otak dan menekan batang otak (Price, 2005).
1) Perdarahan intra serebral
2) Perdarahan ekstra serebral (subarakhnoid)
b. Stroke non-hemoragik (stroke iskemik, infark otak, penyumbatan)
1) Stroke akibat trombosis serebri
2) Emboli serebri
3) Hipoperfusi sistemik

Gambar 2. Stroke non-hemoragik dan stroke hemoragik


2. Berdasarkan waktu terjadinya
1) Transient Ischemic Attack (TIA)
2) Reversible Ischemic Neurologic Deficit (RIND)
3) Stroke In Evolution (SIE) / Progressing Stroke
4) Completed stroke
3. Berdasarkan lokasi lesi vaskuler
a. Sistem karotis
1) Motorik : hemiparese kontralateral, disartria

3
2) Sensorik : hemihipestesi kontralateral, parestesia
3) Gangguan visual : hemianopsia homonim kontralateral, amaurosis fugaks
4) Gangguan fungsi luhur : afasia, agnosia
b. Sistem vertebrobasiler
1) Motorik: hemiparese alternans, disartria
2) Sensorik: hemihipestesi alternans, parestesia
3) Gangguan lain: gangguan keseimbangan, vertigo, diplopia

D. Etiologi
Stroke non-hemoragik bisa terjadi akibat suatu dari tiga mekanisme
patogenik yaitu trombosis serebri atau emboli serebri dan hipoperfusion sistemik
(Sabiston, 1994; Nurarif, 2013).
1. Trombosis serebri merupakan proses terbentuknya thrombus yang membuat
penggumpalan. Trombosis serebri menunjukkan oklusi trombotik arteri karotis
atau cabangnya, biasanya karena arterosklerosis yang mendasari. Proses ini
sering timbul selama tidur dan bisa menyebabkan stroke mendadak dan
lengkap. Defisit neurologi bisa timbul progresif dalam beberapa jam atau
intermiten dalam beberapa jam atau hari.
2. Emboli serebri merupakan tertutupnya pembuluh arteri oleh bekuan darah.
Emboli serebri terjadi akibat oklusi arteria karotis atau vetebralis atau
cabangnya oleh trombus atau embolisasi materi lain dari sumber proksimal,
seperti bifurkasio arteri karotis atau jantung. Emboli dari bifurkasio karotis
biasanya akibat perdarahan ke dalam plak atau ulserasi di atasnya di sertai
trombus yang tumpang tindih atau pelepasan materi ateromatosa dari plak
sendiri. Embolisme serebri sering di mulai mendadak, tanpa tanda-tanda
disertai nyeri kepala berdenyut.
3. Hipoperfusion sistemik adalah berkurangnya aliran darah ke seluruh bagian
tubuh karena adanya gangguan denyut jantung.

E. Faktor Risiko
Ada beberapa faktor risiko stroke yang sering teridentifikasi pada stroke
non hemoragik, diantaranya yaitu faktor risiko yang tidak dapat di modifikasi dan
yang dapat di modifikasi. Penelitian yang dilakukan Rismanto (2006) di RSUD
Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokertomengenai gambaran faktor-faktor risiko
penderita stroke menunjukan faktor risiko terbesar adalah hipertensi 57,24%,

4
diikuti dengan diabetes melitus 19,31% dan hiperkolesterol 8,97% (Rismanto,
2006; Madiyono, 2003).
Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi (Rismanto; Madiyono, 2003):
1. Usia
Pada umumnya risiko terjadinya stroke mulai usia 35 tahun dan akan
meningkat dua kali dalam dekade berikutnya. 40% berumur 65 tahun dan hampir
13% berumur di bawah 45 tahun. Menurut Kiking Ritarwan (2002), dari
penelitianya terhadap 45 kasus stroke didapatkan yang mengalami stroke non
hemoragik lebih banyak pada tentan umur 45-65 tahun (Madiyono, 2003;
Ritarwan, 2003).
2. Jenis kelamin
Menurut data dari 28 rumah sakit di Indonesia, ternyata bahwa kaum pria
lebih banyak menderita stroke di banding kaum wanita, sedangkan perbedaan
angka kematianya masih belum jelas.Penelitian yang di lakukan oleh Indah
Manutsih Utami (2002) di RSUD Kabupaten Kudus mengenai gambaran faktor-
faktor risiko yang terdapat pada penderita stroke menunjukan bahwa jumlah kasus
terbanyak jenis kelamin laki-laki 58,4% dari penelitianya terhadap 197 pasien
stroke non hemoragiktahun (Madiyono , 2003; Utami, 2002).
3. Herediter
Gen berperan besar dalam beberapa faktor risiko stroke, misalnya
hipertensi, penyakit jantung, diabetes melitus dan kelainan pembuluh darah, dan
riwayat stroke dalam keluarga, terutama jika dua atau lebih anggota keluarga
pernah mengalami stroke pada usia kurang dari 65 tahun, meningkatkan risiko
terkena stroke. Menurut penelitian Tsong Hai Lee di Taiwan pada tahun 1997-
2001 riwayat stroke pada keluarga meningkatkan risiko terkena stroke sebesar
29,3% (Madiyono, 2003; Sinaga, 2008).
4. Ras atau etnik
Orang kulit hitam lebih banyak menderita stroke dari pada kulit putih.
Data sementara di Indonesia, suku Padang lebih banyak menderita dari pada suku
Jawa (khususnya Yogyakarta).

Faktor risiko yang dapat dimodifikasi (Madiyono, 2003):

5
1. Riwayat stroke
Seseorang yang pernah memiliki riwayat stoke sebelumnya dalam waktu
lima tahun kemungkinan akan terserang stroke kembali sebanyak 35% sampai
42%
2. Hipertensi
Hipertensimeningkatkan risiko terjadinya stroke sebanyak empat sampai
enam kali ini sering di sebut the silent killer danmerupakan risiko utama
terjadinya stroke non hemoragik dan stroke hemoragik. Berdasarkan Klasifikasi
menurut JNC 7 yang dimaksud dengan tekanan darah tinggai apabila tekanan
darah lebih tinggi dari 140/90 mmHg, makin tinggi tekanan darah kemungkinan
stroke makin besar karena mempermudah terjadinya kerusakan pada dinding
pembuluh darah, sehingga mempermudah terjadinya penyumbatan atau
perdarahan otak (Madiyono, 2003; Sudoyo, 2006).
3. Penyakit jantung
Penyakit jantung koroner, kelainan katup jantung, infeksi otot jantung,
paska oprasi jantung juga memperbesar risiko stroke, yang paling sering
menyebabkan stroke adalah fibrilasi atrium, karena memudahkan terjadinya
pengumpulan darah di jantung dan dapat lepas hingga menyumbat pembuluh
darah otak.
4. (DM) Diabetes melitus
Kadar gulakosa dalam darah tinggi dapat mengakibatkan kerusakan
endotel pembuluh darah yang berlangsung secara progresif.Menurut penelitian
Siregar F (2002) di RSUD Haji Adam Malik Medan dengan desain case control,
penderita diabetes melitus mempunyai risiko terkena stroke 3,39 kali
dibandingkan dengan yang tidak menderita diabetes mellitus (Madiyono, 2003;
Sinaga, 2008).
5. TIA
Merupakan serangan-serangan defisit neurologik yang mendadak dan
singkat akibat iskemik otak fokal yang cenderung membaik dengan kecepatan dan
tingkat penyembuhan bervariasi tapi biasanya 24 jam.Satu dari seratus orang
dewasa di perkirakan akan mengalami paling sedikit satu kali TIA seumur hidup
mereka, jika diobati dengan benar, sekitar 1/10 dari para pasien ini akan

6
mengalami stroke dalam 3,5 bulan setelah serangan pertama, dan sekitar 1/3 akan
terkena stroke dalam lima tahun setelah serangan pertama (Price, 2005).
6. Hiperkolesterol
Lipid plasma yaitu kolesterol, trigliserida, fosfolipid, dan asam lemak
bebas. Kolesterol dan trigliserida adalah jenis lipid yang relatif mempunyai makna
klinis penting sehubungan dengan aterogenesis. Lipid tidak larut dalam plasma
sehingga lipid terikat dengan protein sebagai mekanisme transpor dalam serum,
ikatan ini menghasilkan empat kelas utama lipuprotein yaitu kilomikron,
lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL), lipoprotein densitas rendah (LDL),
dan lipoprotein densitas tinggi (HDL). Dari keempat lipo protein LDL yang paling
tinggi kadar kolesterolnya, VLDL paling tinggi kadar trigliseridanya, kadar
protein tertinggi terdapat pada HDL. Hiperlipidemia menyatakan peningkatan
kolesterol dan atau trigliserida serum di atas batas normal, kondisi ini secara
langsung atau tidak langsung meningkatkan risiko stroke, merusak dinding
pembuluh darah dan juga menyebabkan penyakit jantung koroner. Kadar
kolesterol total >200mg/dl, LDL >100mg/dl, HDL <40mg/dl, dan trigliserida
>150mg/dl akan membentuk plak di dalam pembuluh darah baik di jantung
maupun di otak. Menurut Dedy Kristofer (2010), dari penelitianya 43 pasien, di
dapatkan hiperkolesterolemia 34,9%, hipertrigliserida 4,7%, HDL yang rendah
53,5%, dan LDL yang tinggi 69,8% (Price, 2005).
7. Obesitas
Obesitas berhubungan erat dengan hipertensi, dislipidemia, dan diabetes
melitus. Prevalensinya meningkat dengan bertambahnya umur. Obesitas
merupakan predisposisi penyakit jantung koroner dan stroke. Mengukur adanya
obesitas dengan cara mencari body mass index (BMI) yaitu berat badan dalam
kilogram dibagi tinggi badan dalam meter dikuadratkan. Normal BMI antara
18,50-24,99 kg/m2, overweight BMI antara 25-29,99 kg/m2 selebihnya adalah
obesitas.
8. Merokok
Merokok meningkatkan risiko terjadinya stroke hampir dua kali lipat, dan
perokok pasif berisiko terkena stroke 1,2 kali lebih besar. Nikotin dan
karbondioksida yang ada pada rokok menyebabkan kelainan pada dinding

7
pembuluh darah, di samping itu juga mempengaruhi komposisi darah sehingga
mempermudah terjadinya proses gumpalan darah.Berdasarkan penelitian Siregar
F (2002) di RSUD Haji Adam Malik Medan kebiasaan merokok meningkatkan
risiko terkena stroke sebesar empat kali (Sinaga, 2008).

F. Patofisiologi dan Web of Caution


Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang
dikenal sebagai sel glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua orang
memiliki jumlah neuron yang sama sekitar 100 miliar, tetapi koneksi di antara
berbagai neuron berbeda-beda. Pada orang dewasa, otak membentuk hanya sekitar
2% (1200-1400 gram) dari berat tubuh total, tetapi mengkonsumsi sekitar 20%
oksigen dan 50% glukosa yang ada di dalam darah arterial. Dalam jumlah normal
darah yang mengalir ke otak sebanyak 50-60ml per 100 gram jaringan otak per
menit. Jumlah darah yang diperlukan untuk seluruh otak adalah 700-840
ml/menit, dari jumlah darah itu disalurkan melalui arteri karotis interna yang
terdiri dari arteri karotis (dekstra dan sinistra), yang menyalurkan darah ke bagian
depan otak disebut sebagai sirkulasi arteri serebrum anterior, yang kedua adalah
vertebrobasiler, yang memasok darah ke bagian belakang otak disebut sebagai
sirkulasi arteri serebrum posterior, selanjutnya sirkulasi arteri serebrum anterior
bertemu dengan sirkulasi arteri serebrum posterior membentuk suatu sirkulus
Willisi(Sinaga, 2008; Mardjono, 2010).
Gangguan pasokan darah otak dapat terjadi dimana saja di dalam arteri-
arteri yang membentuk sirkulus willisi serta cabang-cabangnya. Secara umum,
apabila aliran darah ke jaringan otak terputus 15 sampai 20 menit, akan terjadi
infark atau kematian jaringan. Perlu di ingat bahwa oklusi di suatu arteri tidak
selalu menyebabkan infark di daerah otak yang diperdarahi oleh arteri tersebut
dikarenakan masih terdapat sirkulasi kolateral yang memadai ke daerah
tersebut.Proses patologik yang sering mendasari dari berbagi proses yang terjadi
di dalam pembuluh darah yang memperdarahai otak diantaranya berupa (Price,
2005):
1. Keadaan penyakit pada pembuluh darah itu sendiri, seperti pada aterosklerosis
dan thrombosis.

8
2. Berkurangnya perfusi akibat gangguan status aliran darah, misalnya syok atau
hiperviskositas darah.
3. Gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari
jantung atau pembuluh ekstrakranium.
Dari gangguan pasokan darah yang ada di otak tersebut dapat menjadikan
terjadinya kelainian-kelainan neurologi tergantung bagian otak mana yang tidak
mendapat suplai darah, yang diantaranya dapat terjadi kelainan di system motorik,
sensorik, fungsi luhur, yang lebih jelasnya tergantung saraf bagian mana yang
terkena.

9
Pathway Stroke Non Hemoragik

Gangguan
komunikasi
verbal

Hambat
an Risik
Mobilita o
s fisik Jatuh,
risiko
Cede

Ketidakseimban
gan nutrisi
kurang dari Gambar 3. Patofisiologi dan Patway Stroke Non-Hemoragik

10
G. Manifestasi Klinis
H.
Gejala stroke non-hemoragik yang timbul akibat gangguan
peredaran darah diotak bergantung pada berat ringannya gangguan
pembuluh darah dan lokasi tempat gangguan peredaran darah terjadi,
kesadaran biasanya tidak mengalami penurunan, menurut penelitian Rusdi
Lamsudi pada tahun 1989-1991 stroke non hemoragik tidak terdapat
hubungan dengan terjadinya penurunan kesadaran, kesadaran seseorang
dapat di nilai dengan menggunakan skala koma Glasgow yaitu (Mansjoer,
2000; Sinaga, 2008):
I. Tabel 1. Skala koma Glasgow (Mansjoer, 2000).
J. Buka mata (E) K. Respon verbal L. Respon
(V) motorik (M)
M. 1. Tidak ada respons 1. Tidak ada suara N. 1. Tidak ada gerakan
2. Respons dengan 2. Mengerang O. 2. Ekstensi abnormal
rangsangan nyeri
3. Buka mata P. 3. Bicara kacau Q. 3. Fleksi abnormal
dengan perintah
R. 4. Buka mata S. 4. Disorientasi tempat T. 4. Menghindari nyeri
spontan dan waktu
U. V. 5. Orientasi baik dan W. 5. Melokalisir nyeri
sesuai
X. Y. Z. 6. Mengikuti perintah
AA. Penilaian skor GCS :
a. Koma (skor < 8)
b. Stupor (skor 8 -10)
c. Somnolent (skor 11-12)
d. Apatis ( skor 12-13)
e. Compes mentis (GCS = 14-15)
AB. Gangguan yang biasanya terjadi yaitu gangguan mototik
(hemiparese), sensorik (anestesia, hiperestesia, parastesia/geringgingan,
gerakan yang canggung serta simpang siur, gangguan nervus kranial, saraf
otonom (gangguan miksi, defeksi, salvias), fungsi luhur (bahasa, orientasi,
memori, emosi) yang merupakan sifat khas manusia, dan gangguan
koordinasi (sidrom serebelar) (Sinaga, 2008; Mardjono, 2010):
1. Disekuilibrium yaitu keseimbangan tubuh yang terganggu yang terlihat
seseorang akan jatuh ke depan, samping atau belakang sewaktu berdiri
2. Diskoordinasi muskular yang diantaranya, asinergia, dismetria dan
seterusnya. Asinergia ialah kesimpangsiuran kontraksi otot-otot dalam
mewujudkan suatu corak gerakan. Dekomposisi gerakan atau gangguan

11
lokomotorik dimana dalam suatu gerakan urutan kontraksi otot-otot baik
secara volunter atau reflektorik tidak dilaksanakan lagi. Disdiadokokinesis
tidak biasa gerak cepat yang arahnya berlawanan contohnya pronasi dan
supinasi.Dismetria, terganggunya memulai dan menghentikan gerakan.
3. Tremor (gemetar), bisa diawal gerakan dan bisa juga di akhir gerakan
4. Ataksia berjalan dimana kedua tungkai melangkah secara simpangsiur dan
kedua kaki ditelapakkanya secara acak-acakan. Ataksia seluruh badan dalam
hal ini badan yang tidak bersandar tidak dapat memelihara sikap yang mantap
sehingga bergoyang-goyang.
AC. Tabel 2. Gangguan nervus kranial (Swartz, 2002).
AD. Nervus AE. Fungsi AF. Penemuan klinis
kranial dengan lesi
AG.I: AH.Penciuman AI. Anosmia (hilangnya
Olfaktorius daya penghidu)
AJ. II: Optikus AK.Penglihatan AL. Amaurosis
AM. III: AN. Gerak mata; kontriksi AO.Diplopia
Okulomotori pupil; akomodasi (penglihatan
us kembar), ptosis;
midriasis; hilangnya
akomodasi
AP. IV: AQ.Gerak mata AR. Diplopia
Troklearis
AS. V: AT. Sensasi umum wajah, AU. mati rasa pada
Trigeminus kulit kepala, dan gigi; wajah; kelemahan
gerak mengunyah otot rahang
AV. VI: Abdusen AW.Gerak mata AX. Diplopia
AY. VII: Fasialis AZ. Pengecapan; sensasi BA. Hilangnya
umum pada platum kemampuan
dan telinga luar; mengecap pada dua
sekresi kelenjar pertiga anterior
lakrimalis, lidah; mulut kering;
submandibula dan hilangnya lakrimasi;
sublingual; ekspresi paralisis otot wajah
wajah
BB. VIII: BC. Pendengaran; BD. Tuli;
Vestibulokok keseimbangan tinitus(berdenging
learis terus menerus);
vertigo;nitagmus
BE. IX: BF. Pengecapan; sensasi BG. Hilangnya daya
Glosofaring umum pada faring pengecapan pada
eus dan telinga; sepertiga posterior
mengangkat palatum; lidah; anestesi pada
sekresi kelenjar farings; mulut
parotis kering sebagian
BH. X: Vagus BI. Pengecapan; sensasi BJ. Disfagia (gangguan
umum pada farings, menelan) suara

12
laring dan telinga; parau; paralisis
menelan; fonasi; palatum
parasimpatis untuk
jantung dan visera
abdomen
BK. XI: BL. Fonasi; gerakan BM. Suara
Asesorius kepala; leher dan parau; kelemahan
Spinal bahu otot kepala, leher
dan bahu
BN. XII: BO. Gerak lidah BP. Kelemahan dan
Hipoglosus pelayuan lidah
BQ. Gejala klinis tersering yang terjadi yaitu hemiparese yang
dimana pendeita stroke non hemoragik yang mengalami infrak bagian
hemisfer otak kiri akan mengakibatkan terjadinya kelumpuhan pada
sebalah kanan, dan begitu pula sebaliknya dan sebagian juga terjadi
Hemiparese dupleks, pendeita stroke non hemoragik yang mengalami
hemiparesesi dupleks akan mengakibatkan terjadinya kelemahan pada
kedua bagian tubuh sekaligus bahkan dapat sampai mengakibatkan
kelumpuhan.
BR. Penelitian yang dilakukan Sri Andriani Sinaga (2008)
terhadap 281 pasien stroke di Rumah Sakit Haji Medan di dapatkan
hemiparese sinistra yaitu 46,3%, diikuti oleh hemiparese dekstra 31,7%,
tidak tercatat sebanyak 14,2% dan hemiparesese dupleks 7,8%.Gambaran
klinis utama yang berkaitan dengan insufisiensi arteri ke otak mungkin
berkaitan dengan pengelompokan gejala dan tanda berikut yang tercantum
dan disebut sindrom neurovaskular (Price, 2008):
1. Arteri karotis interna (sirkulasi anterior : gejala biasanya unilateral)
a. Dapat terjadi kebutaan satu mata di sisi arteria karotis yang terkena, akibat
insufisiensi arteri retinalis
b. Gejala sensorik dan motorik di ekstremitas kontralateral karena
insufisiensi arteria serebri media
c. Lesi dapat terjadi di daerah antara arteria serebri anterior dan media atau
arteria serebri media. Gejala mula-mula timbul di ekstremitas atas dan
mungkin mengenai wajah. Apabila lesi di hemisfer dominan, maka terjadi
afasia ekspresif karena keterlibatan daerah bicara motorik Broca.
2. Arteri serebri media (tersering)
a. Hemiparese atau monoparese kontralateral (biasanya mengenai lengan)
b. Kadang-kadang hemianopsia (kebutaan) kontralateral

13
c. Afasia global (apabila hemisfer dominan terkena): gangguan semua fungsi
yang berkaitan dengan bicara dan komunikasi
d. Disfasia
3. Arteri serebri anterior (kebingungan adalah gejala utama)
a. Kelumpuhan kontralateral yang lebih besar di tungkai
b. Defisit sensorik kontralateral
c. Demensia, gerakan menggenggam, reflek patologis
4. Sistem vertebrobasilaris (sirkulasi posterior: manifestasi biasanya bilateral)
a. Kelumpuhan di satu atau empat ekstremitas
b. Meningkatnya reflek tendon
c. Ataksia
d. Tanda Babinski bilateral
e. Gejala-gejala serebelum, seperti tremor intention, vertigo
f. Disfagia
g. Disartria
h. Rasa baal di wajah, mulut, atau lidah
i. Sinkop, stupor, koma, pusing, gangguan daya ingat, disorientasi
j. Gangguan penglihatan dan pendengaran
5. Arteri serebri posterior
a. Koma
b. Hemiparese kontralateral
c. Afasia visual atau buta kata (aleksia)
d. Kelumpuhan saraf kranialis ketiga: hemianopsia, koreoatetosis
BS.
BT.
BU. Pemeriksaan
BV. Pemeriksaan
Fisik
BW. Tujuan pemeriksaan fisik adalah untuk mendeteksi
penyebab stroke ekstrakranial, memisahkan stroke dengan kelainan lain
yang menyerupai stroke, dan menentukan beratnya defisit neurologi yang
dialami,pemeriksaan neurologik terdiri dari penilaian hal-hal berikut ini
(Swartz, 2002):
1. Status mental
a. Tingkat kesadaran
b. Bicara
c. Orientasi
d. Pengetahuan kejadian-kejadian mutakhir
e. Pertimbangan
f. Abstraksi
g. Kosakata
h. Respons emosional
i. Daya ingat
j. Berhitung

14
k. Pengenalan benda
l. Praksis (integrasi aktivitas motorik).
2. Nervus kranial
a. Nervus olfaktorius diperiksa tajamnya penciuman dengan satu lubang
hidung pasien ditutup, sementara bahan penciuman diletakan pada lubang
hidung kemudian di suruh membedakan bau.
b. Nervus optikus yang diperikasa adalah ketajaman penglihatan dan
pemeriksaan oftalmoskopi.
c. Nervus okulomotorius yang diperiksa adalah reflek pupil dan akomodasi.
d. Nervus troklearis dengan cara melihat pergerakan bola mata keatas,
bawah, kiri, kanan, lateral, diagonal.
e. Nervus trigeminus dengan cara melakukan pemeriksaan reflek kornea
dengan menempelkan benang tipis ke kornea yang normalnya pasien akan
menutup mata, Pemeriksaan cabang sensoris pasa bagian pipi,
pemeriksaan cabang motorik pada pipi.
f. Nervus abdusen dengan cara pasien di suruh menggerakan sisi mata ke
samping kiri dan kanan.
g. Nervus fasialis di dapatkan hilangnya kemampuan mengecap pada dua
pertiga anterior lidah, mulut kering, paralisis otot wajah.
h. Nervus vestibulokoklearis yang di periksa adalah pendengaran,
keseimbangan, dan pengetahuan tentang posisi tubuh.
i. Nervus glosofaringeus di periksa daya pengecapan pada sepertiga
posterior lidah anestesi pada farings mulut kering sebagian.
j. Nervus vagus dengan cara memeriksa cara menelan.
k. Nervus asesorius dengan cara memeriksa kekuatan pada muskulus
sternokleudomastoideus, pasien di suruh memutar kepala sesuai tahanan
yang di berikan si pemeriksa.
l. Nervus hipoglosus bisa dengan melihat kekuatan lidah, lidah di julurkan
ke luar jika ada kelainan maka lidah akan membelok ke sisi lesi.
BX.
3. Fungsi motorik
a. Masa otot bisa dengan inspeksi.
b. Kekuatan otot, dengan menyuruh pasien bergerak secara aktif melawan
tahanan, bandingkan dengan sisi yang lain. Sekala yang lazim digunakan
yaitu 0: tidak ada kontraksi, 1: hanya ada sedikit kontraksi, 2: gerakan
yang dibatasi oleh gravitasi, 3: gerakan melawan gravitasi, 4: gerakan
melawan gravitasi dengan sedikit tahanan, 5: gerakan melawan gravitasi
dengan tahanan penuh (normal).

15
c. Tonus otot dengan membandingkan gerakan pasif pada otot itu bandingkan
dengan sisi yang lain, lesi neuron motorik atas terjadi peningkatan tonus
tetapi sebaliknya lesi pada neuron motorik bawah menyebabkan
penurunan tonus otot.
4. Reflek
BY. Ada dua jenis reflek yang di periksa yaitu reflek renggang,
atau tendo profunda, dan reflek superfisial. Reflek renggang diantaranya
yaitu reflek biseps, brakioradialis, triseps, patela dan achiles bisa dinilai
berdasarkan sekala 0-4+ yaitu 0: tak ada respon, 1+: berkurang, 2+:
normal, 3+: meningkat, 4+: hiperaktif. Jika reflek hiperaktif merupakan
ciri penyakit traktus ekstrapiramidalis, kelainan elektrolit, hipertiroidisme
dan kelainan metabolik, sedangkan jika reflek berkurangnya reflek
merupakan ciri kelainan sel kornu anterior dan miopati. Reflek superfisial
yang abnormal yaitu reflek babinski, reflek chaddock, reflek openheim.
Reflek babinski untuk menguji radiks saraf pada lumbal lima sampai
sacrum dua, dengan menggores bagian telapak kaki bagian lateral dari
tumit ke arah pangkal jari-jari kaki melengkung ke medial, maka akan
terjadi dorsifleksi ibu jari kakai dengan penyebaran jari-jari lainya. Reflek
chaddock akan terjadi dorsofleksi ketika sisi lateral kaki di gores. Reflek
openheim dengan penekanan tulang kering yang akan menyebabkan
dorsofeksi ibu jari kaki.
5. Fungsi sensorik
a. Sentuhan ringan d. Propriosepsis (sensasi posisi)
b. Sensasi nyeri e. Lokalisasi taktil.
c. Sensasi getar
f.
6. Fungsi serebelar
a. Tes jari ke hidung jika terjadi gangguan di serebelum maka akan melewati
sasaran secara terus menerus dan kadang di sertai tremor.
b. Tes tumit kelutut, pasien di suruh menggeserkan tumit suatu ekstremitas
bawah menuruni tulang kering ekstremitas bawah lainya dengan dimulai
dari lutut, dalam keadaan penyakit serebelum tumitnya bergoyang-goyang
dari sisi ke sisi.
c. Gerakan yang berganti-ganti dengan cepat.

16
d. Tes Romberg dengan cara menyuruh pasien berdiri di depan pemeriksa,
dengan kaki di rapatkan sehingga kedua tumit dan jari-jari kaki saling
bersentuhan tes ini positif jika pasien mulai bergoyang-goyang dan harus
memindahkan kakinya untuk keseimbangan.
e. Gaya berjalan. Hemiplegi cenderung menyeret kakinya. parkinson
cenderung berjalan dengan langkah pendek, diseret, kepala membungkuk
dengan punggung membungkuk dan tergesa-gesa. Ataksia serebelum
berjalan dengan langkah kaki berdasar lebar, kedua kakinya sangat jauh
terpisah ketika berjalan. Foot drop dengan gaya berjalan seperti menampar
yang khas. Ataksia sensoris yaitu berjalan dengan langkah-langkah yang
tinggi.
g. Pemeriksaan Laboratoriumdan Teknik Pencitraan
h. Pemeriksaan laboratorium standar biasanya digunakan
untuk menentukan etiologi yang mencakup urinalisis, darah lengkap,
kimia darah, dan serologi. Pemeriksaan yang sering dilakukan untuk
menentukan etiologi yaitu pemeriksaan kadar gula darah, dan pemeriksaan
lipid untuk melihat faktor risiko dislipidemia :
1. Gula darah
i. Tabel 3. Kadar glukosa darah (Mansjoer, 2000).
j. Kriteria diagnostik DM
k. l. Bu m. Belum n. D
ka pasti DM M
n (mg/dl) (m
D g/d
M l)
(m
g/d
l)
o. Kadar glukosa darah p.
sewaktu
q. Plasma Vena r. <11 s. 110 t. >20
0 199 0
u. Darah kapiler v. <90 w. 90 199 x. >20
0
y. Kadar glukosa darah puasa z.
aa. Plasma vena ab. <11 ac. 110 125 ad. >12
0 6
ae. Darah af. <90 ag. 90 109 ah. >11
0

17
ai. Diabetes melitus merupakan faktor risiko untuk stroke,
namun tidak sekuat hipertensi. Gatler menyatakan bahwa penderita stroke
aterotrombotik di jumpai 30% dengan diabetes mellitus. Diabetes melitus
mampu menebalkan pembuluh darah otak yang besar, menebalnya
pembuluh darah otak akan mempersempit diameter pembuluh darah otak
dan akan mengganggu kelancaran aliran darah otak di samping itu,
diabetes melitus dapat mempercepat terjadinya aterosklerosis (pengerasan
pembuluh darah) yang lebih berat sehingga berpengaruh terhadap
terjadinya stroke (Sinaga, 2008).
2. Profil lipid
aj. Tabel 4. Kadar Lipid Serum Normal (Kristofer, 2010).
ak. Kolesterol Total al. (mg/dl)
am. Optimal an. < 200
ao. Diinginkan ap. 200 239
aq. Tinggi ar. 240
as. LDL at.
au. Optimal av. < 100
aw. Mendekati optimal ax. 100 129
ay. Diinginkan az. 130 159
ba. Tinggi bb. 160 189
bc. Sangat tinggi bd. 190
be. HDL bf.
bg. Rendah bh. < 40
bi. Tinggi bj. 60
bk. Trigliserida bl.
bm. Optimal bn. < 150
bo. Diinginkan bp. 150 199
bq. Tinggi br. 200 449
bs. Sangat tinggi bt. 500
bu. LDL adalah lipoprotein yang paling banyak mengandung
kolesterol. LDL merupakan komponen utama kolesterol serum yang
menyebabkan peningkatan risiko aterosklerosis, HDL berperan
memobilisasi kolesterol dari ateroma yang sudah ada dan
memindahkannya ke hati untuk diekskresikan ke empedu , oleh karena itu
kadar HDL yang tinggi mempunyai efek protektif dan dengan cara inilah
kolesterol dapat di turunkan, namun penurunan kadar HDL merupakan
faktor yang meningkatkan terjadinya aterosklerosis dan stroke.
bv. Pemeriksaan lain yang dapat di lakukan adalah dengan
menggunakan teknik pencitraan diantaranya yaitu (Rubenstein, 2005;
Price, 2005):

18
bw.
1. CT scan
bx. Untuk mendeteksi perdarahan intra kranium, tapi kurang
peka untuk mendeteksi stroke non hemoragik ringan, terutama pada tahap
paling awal. CT scan dapat memberi hasil tidak memperlihatkan adanya
kerusakan hingga separuh dari semua kasus stroke non hemoragik.
2. MRI (magnetic resonance imaging)
by. Lebih sensitif dibandingkan denganCT scan dalam
mendeteksi stroke non hemoragik rigan, bahkan pada stadium dini,
meskipun tidak pada setiap kasus. Alat ini kurang peka dibandingkan
dengan CT scan dalam mendeteksi perdarahan intrakranium ringan.
3. Ultrasonografi dan MRA (magnetic resonance angiography)
bz. Pemindaian arteri karotis dilakukan dengan ultrasonografi
(menggunakan gelombang suara untuk menciptakan citra), MRA
digunakan untuk mencari kemungkinan penyempitan arteri atau bekuan di
arteri utama, MRA khususnya bermanfaat untuk mengidentifikasi
aneurisma intrakranium dan malformasi pembuluh darah otak.
4. Angiografi otak
ca. Merupakan penyuntikan suatu bahan yang tampak dalam
citra sinar-X ke dalam arteri-arteri otak. Pemotretan dengan sinar-X
kemudian dapat memperlihatkan pembuluh-pembuluh darah di leher dan
kepala.
cb.
BZ. Penatalaksanaan
cc. Waktu merupakan hal terpenting dalam penatalaksanaan
stroke non hemoragik yang di perlukan pengobatan sedini mungkin,
karena jeda terapi dari stroke hanya 3-6 jam. Penatalaksanaan yang cepat,
tepat dan cermat memegang peranan besar dalam menentukan hasil akhir
pengobatan (Mansjoer, 2000).
1. Prinsip penatalaksanaan stroke non hemoragik
a. Memulihkan iskemik akut yang sedang berlangsung (3-6 jam pertama)
menggunakan trombolisis dengan rt-PA (recombinan tissue-plasminogen
activator). Ini hanya boleh di berikan dengan waktu onset <3 jam dan hasil

19
CT scan normal, tetapi obat ini sangat mahal dan hanya dapat di lakukan di
rumah sakit yang fasilitasnya lengkap.
b. Mencegah perburukan neurologis dengan jeda waktu sampai 72 jam yang
diantaranya yaitu :
1) Edema yang progresif dan pembengkakan akibat infark. Terapi dengan
manitol dan hindari cairan hipotonik.
2) Ekstensi teritori infark, terapinya dengan heparin yang dapat mencegah
trombosis yang progresif dan optimalisasi volume dan tekanan darah yang
dapat menyerupai kegagalan perfusi.
3) Konversi hemoragis, msalah ini dapat di lihat dari CT scan, tiga faktor
utama adalah usia lanjut, ukuran infark yang besar, dan hipertensi akut, ini
tak boleh di beri antikoagulan selama 43-72 jam pertama, bila ada
hipertensi beri obat antihipertensi.
4) Mencegah stroke berulang dini dalam 30 hari sejak onset gejala stroke
terapi dengan heparin.
2. Protokol penatalaksanaan stroke non hemoragik akut
a. Pertimbangan rt-PA intravena 0,9 mg/kgBB (dosis maksimum 90 mg) 10% di
berikan bolus intravena sisanya diberikan per drip dalam wakti 1 jam jika
onset di pastikan <3 jam dan hasil CT scan tidak memperlihatkan infrak yang
luas.
b. Pemantauan irama jantung untuk pasien dengan aritmia jantung atau iskemia
miokard, bila terdapat fibrilasi atrium respons cepat maka dapat diberikan
digoksin 0,125-0,5 mg intravena atau verapamil 5-10 mg intravena atau
amiodaron 200 mg drips dalam 12 jam.
c. Tekanan darah tidak boleh cepat-cepat diturunkan sebab dapat memperluas
infrak dan perburukan neurologis. Pedoman penatalaksanaan hipertensi bila
terdapat salah satu hal berikut :
1) Hipertensi diobati jika terdapat kegawat daruratan hipertensi neurologis
seperti, iskemia miokard akut, edema paru kardiogenik, hipertensi maligna
(retinopati), nefropati hipertensif, diseksi aorta.
2) Hipertensi diobati jika tekanan darah sangat tinggi pada tiga kali
pengukuran selang 15 menit dimana sistolik >220 mmHg, diastolik >120
mmHg, tekanan arteri rata-rata >140 mmHg.
3) Pasien adalah kandidat trombolisis intravena dengan rt-PA dimana tekanan
darah sistolik >180 mmHg dan diastolik >110 mmHg.

20
cd. Dengan obat-obat antihipertensi labetalol, ACE, nifedipin.
Nifedifin sublingual harus dipantau ketat setiap 15 menit karena
penurunan darahnya sangat drastis. Pengobatan lain jika tekanan darah
masih sulit di turunkan maka harus diberikan nitroprusid intravena, 50
mg/250 ml dekstrosa 5% dalam air (200 mg/ml) dengan kecepatan 3
ml/jam (10 mg/menit) dan dititrasi sampai tekanan darah yang di inginkan.
Alternatif lain dapat diberikan nitrogliserin drip 10-20 mg/menit, bila di
jumpai tekanan darah yang rendah pada stroke maka harus di naikkan
dengan dopamin atau debutamin drips.
d. Pertimbangkan observasi di unit rawat intensif pada pasien dengan tanda
klinis atau radiologis adanya infrak yang masif, kesadaran menurun, gangguan
pernafasan atau stroke dalam evolusi.
e. Pertimbangkan konsul ke bedah saraf untuk infrak yang luas.
f. Pertimbangkan sken resonasi magnetik pada pasien dengan stroke
vetebrobasiler atau sirkulasi posterior atau infrak yang tidak nyata pada CT
scan.
g. Pertimbangkan pemberian heparin intravena di mulai dosis 800 unit/jam,
20.000 unit dalam 500 ml salin normal dengan kecepatan 20 ml/jam, sampai
masa tromboplastin parsial mendekati 1,5 kontrol pada kondisi :
1) Kemungkinan besar stroke kardioemboli
2) TIA atau infrak karena stenosis arteri karotis
3) Stroke dalam evolusi
4) Diseksi arteri
5) Trombosis sinus dura
ce. Heparin merupakan kontraindikasi relatif pada infrak yang
luas. Pasien stroke non hemoragik dengan infrak miokard baru, fibrilasi
atrium, penyakit katup jantung atau trombus intrakardiak harus diberikan
antikoagulan oral (warfarin) sampai minimal satu tahun.
cf. Perawatan umum untuk mempertahankan kenyamanan dan
jalan nafas yang adekuat sangatlah penting. Pastikan pasien bisa menelan
dengan aman dan jaga pasien agar tetap mendapat hidrasi dan nutrisi.
Menelan harus di nilai (perhatikan saat pasien mencoba untuk minum, dan
jika terdapat kesulitan cairan harus di berikan melalui selang lambung atau
intravena. Beberapa obat telah terbukti bermanfaat untuk pengobatan
penyakit serebrovaskular, obat-obatan ini dapat dikelompokkan atas tiga

21
kelompok yaitu obat antikoagulansia, penghambat trombosit dan
trombolitika (Rubenstein, 2005):
1. Antikoagulansia adalah zat yang dapat mencegah pembekuan darah dan di
gunakan pada keadaan dimana terdapat kecenderungan darah untuk membeku.
Obat yang termasuk golongan ini yaitu heparin dan kumarin (Rambe, 2002).
2. Penghambat trombosit adalah obat yang dapat menghambat agregasi trombosit
sehingga menyebabkan terhambatnya pembentukan trombus yang terutama
sering ditemukan pada sistem arteri. Obat yang termasuk golongan ini adalah
aspirin, dipiridamol, tiklopidin, idobufen, epoprostenol, clopidogrel (Rambe,
2002).
3. Trombolitika juga disebut fimbrinolitika berkhasiat melarutkan trombus
diberikan 3 jam setelah infark otak, jika lebih dari itu dapat menyebabkan
perdarahan otak, obat yang termasuk golongan ini adalah streptokinase,
alteplase, urokinase, dan reteplase(Rambe, 2002).
4. Pengobatan juga ditujukan untuk pencegahan dan pengobatan komplikasi
yang muncul sesuai kebutuhan. Sebagian besar pasien stroke perlu melakukan
pengontrolan perkembangn kesehatan di rumah sakit kembali, di samping
melakukan pemulihan dan rehabilitasi sendiri di rumah dengan bantuan
anggota keluarga dan ahli terapi. Penelitian yang dilakukan Sri Andriani
(2008) terhadap 281 pasien stroke di Rumah Sakit Haji Medan di dapatkan
60% berobat jalan, 23,8% meninggal dan sisanya pulang atas permintaan
sendiri(Rambe, 2002).
cg.
CA. Masalah
Keperawatan dan data yang perlu dikaji
ch. Dari seluruh dampak masalah di atas, maka diperlukan suatu
asuhan keperawatan yang komprehensif. Dengan demikian pola asuhan
keperawatan yang tepat adalah melalui proses perawatan yang dimulai dari
pengkajian yang diambil adalah merupakan respon pasien, baik respon
biopsikososial maupun spiritual, kemudian ditetapkan suatu rencana tindakan
perawatan untuk menuntun tindakan perawatan. Dan untuk menilai keadaan
pasien, diperlukan suatu evaluasi yang merujuk pada tujuan rencana perawatan
pasien dengan stroke non hemoragik.
ci. Adapun pengkajian pada pasien dengan stroke adalah:
a. Aktivitas/ Istirahat

22
cj. Gejala: merasa kesulitan untuk melakukan aktivitas karena kelemahan,
kehilangan sensasi atau paralisis (hemiplegia), merasa mudah lelah, susah
untuk beristirahat (nyeri/ kejang otot).
ck. Tanda: gangguan tonus otot, paralitik (hemiplegia), dan terjadi kelemahan
umum, gangguan penglihatan, gangguan tingkat kesadaran.
b. Sirkulasi
cl. Gejala: adanya penyakit jantung, polisitemia, riwayat hipotensi postural.
cm.Tanda: hipertensi arterial sehubungan dengan adanya embolisme/
malformasi vaskuler, frekuensi nadi bervariasi, dan disritmia.
c. Integritas Ego
cn. Gejala: perasaan tidak berdaya, perasaan putus asa
co. Tanda: emosi yang labil dan ketidaksiapan untuk marah, sedih, dan
gembira, kesulitan untuk mengekspresikan diri.
d. Eliminasi
cp. Gejala:perubahan pola berkemih
cq. Tanda:distensi abdomen dan kandung kemih, bising usus negatif.
e. Makanan/ Cairan
cr. Gejala:nafsu makan hilang, mual muntah selama fase akut, kehilangan
sensasi pada lidah, dan tenggorokan, disfagia, adanya riwayat diabetes,
peningkatan lemak dalam darah.
cs. Tanda:kesulitan menelan, obesitas.
f. Neurosensori
ct. Gejala:sakit kepala, kelemahan/ kesemutan, hilangnya rangsang sensorik
kontralateral pada ekstremitas, penglihatan menurun, gangguan rasa
pengecapan dan penciuman.
cu. Tanda: status mental/ tingkat kesadaran biasanya terjadi koma pada tahap
awal hemoragis, gangguan fungsi kognitif, pada wajah terjadi paralisis, afasia,
ukuran/ reaksi pupil tidak sama, kekakuan, kejang.
g. Kenyamanan / Nyeri
cv. Gejala:sakit kepala dengan intensitas yang berbeda-beda
cw. Tanda:tingkah laku yang tidak stabil, gelisah, ketegangan pada otot
h. Pernapasan
cx. Gejala:merokok
cy. Tanda: ketidakmampuan menelan/ batuk/ hambatan jalan nafas, timbulnya
pernafasan sulit, suara nafas terdengar ronchi.
i. Keamanan
cz. Tanda:masalah dengan penglihatan, perubahan sensori persepsi terhadap
orientasi tempat tubuh, tidak mampu mengenal objek, gangguan berespons
terhadap panas dan dingin, kesulitan dalam menelan, gangguan dalam
memutuskan.
j. Interaksi Sosial

23
da. Tanda: masalah bicara, ketidakmampuan untuk berkomunikasi
k. Penyuluhan/ Pembelajaran
db. Gejala:adanya riwayat hipertensi pada keluarga, stroke, pemakaian
kontrasepsi oral, kecanduan alkohol.
dc.
CB. Diagnosa
Keperawatan
dd. Masalah keperawatan yang lazim muncul pada stroke
non hemoragik, yaitu (Bulecheck, 2012;Nurarif, 2013) :
1. Hambatanmobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan sensori
persepsi, gangguan neuromuskular, menurunnya kekuatan otot.
2. Defisit perawatan diri mandi berhubungan dengan gangguan
neuromuskular, gangguan muskuluskeletal.
3. Defisit perawatan diri berpakaian berhubungan dengan gangguan
neuromuskular, gangguan muskuluskeletal.
4. Defisit perawatan diri makan berhubungan dengan gangguan
neuromuskular, gangguan muskuluskeletal.
5. Defisit perawatan diri eliminasi berhubungan dengan gangguan
neuromuskular, gangguan muskuluskeletal.
6. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan hemiparesis/
hemiplegia, tidak ada mobilisasi fisik, gangguan sirkulasi, gangguan sensasi.
7. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan
transmisi sensory, perubahan integrasi sensory.
8. Hambatan komunikasi verbal berhubungan denganpenurunan
sirkulasi ke otak, defek anatomis (perubahan neuromuskular pada sistem
penglihatan, pendengaran, dan aparatus fonatori).
9. Kerusakan memori berhubungan dengan gangguan neurologis
(stroke)
10. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan faktor biologi, ketidakmampuan mengunyah.
11. Ketidakefektifan Bersihan Jalan nafas berhubungan dengan spasme
jalan nafas, eksudat di alveoli, disfungsi neuromuskular, sekresi.
12. Risiko jatuh
13. Risiko cedera
14. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral
de.

24
CC. Rencana
Tindakan Keperawatan (secara teoritis) (Nurarif, 2013; Ackley, 2011):
df.
No dg. Diagnosa dh. NOC di. NIC
.
dk. dl. Hambatan do.Setelah dilakukan du.
1. mobilitas tindakan Exercise therapy: 1
fisik keperawatan ambulation
berhubun selama 3 x 24 jam 1. Monitoring tanda-tanda vital
gan gangguan sebelum/sesudah latihan dan
denganke mobilitas fisik lihat respon pasien saat latihan.
2
rusakan teratasi. dv.
sensori dp. 2. Konsultasikan dengan terapi
persepsi, dq. fisik tentang rencana ambulasi
gangguan NOC: sesuai dengan kebutuhan.
neuromus a. Joint dw.
kular, movement: Active dx.
menurunn b. Mobi dy.
ya lity level dz.
kekuatan c. Self ea.
otot. care: ADLs 3. Bantu pasien untuk
3
d. Tran menggunakan tongkat saat
dm.
sfer performance berjalan dan cegah terhadap
dn.
dr. cedera.
ds. 4
eb.
Kriteria Hasil: 4. Kaji kemampuan pasien dalam
a. Pasi mobilisasi dan ROM
en meningkat dalam ec.
aktivitas fisik ed.
b. Men 5. Latih pasien dalam pemenuhan 5
gerti tujuan dari ADLs secara mandiri sesuai
peningkatan mobilitas kemampuan.
c. Mem ee. 6
6. Damping dan bantu pasien saat
verbalisasikan perasaan
mobilisasi dan bantu penuhi
dalam meningkatkan
kebutuhan ADLs pasien
kekuatan dan
ef.
kemampuan berpindah 7
d. Pasi 7. Berikan alat bantu jika pasien
en mampu melakukan memerlukan
eg. 8
aktivitas secara mandiri
8. Ajarkan pasien bagaimana
dt.
merubah posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan
eh. 9
9. Anjurkan pasien untuk
membantu pergerakan dan

25
latihan dengan menggunakan
ekstremitas yang tidak sakit
(ROM)
ei.
es. et. Kerusakan ew. Setelah dilakukan fb. Pressure Management
2. integritas kulit tindakan keperawatan 1. Anjurkan pasien untuk 1
berhubungan selama 3x24 jam, menggunakan pakaian yang
dengan diharapkan integritas kulit longgar.
hemiparesis/ pasien mengalami fc.
fd.
hemiplegia, perbaikan dengan :
2. Hindari kerutan pada tempat 2
tidak ada ex.
ey. NOC : tidur.
mobilisasi fisik,
Integritas jaringan : fe.
gangguan
kulit dan membran ff.
sirkulasi, 3
mukosa 3. Jaga kebersihan kulit agar tetap
gangguan
Wound healing bersih dan kering.
sensasi. fg.
eu. ez.
fa. Kriteria hasil : 4. Mobilisasi pasien (ubah posisi 4
ev.
Luka pasien sudah pasien) setiap dua jam sekali.
tertutup dengan baik fh.
Pasien tidak 5. Monitor kulit dari kemerahan.
fi. 5
mengeluhkan nyeri
6. Oleskan lotion atau minyak/baby
pada luka 6
Kerusakan jaringan oil pada daerah yang tertekan.
fj.
tertangani
Tidak ada tanda/gejala fk.
7. Monitor aktivitas dan mobilisasi
infeksi
pasien.
7
fl.
fm.
8. Monitor status nutrisi pasien.
fn.
fo. 8
9. Memandikan pasien

fx. fy. Hambatan ga. Setelah dilakukan gf. Communication


3. komunikasi verbal tindakan keperawatan Enhancement : Speech Deficit
berhubungan dengan selama 3x24 jam, 1. Beri satu kalimat simple setiap 1
penurunan sirkulasi hambatan komunikasi bertemu jika diperlukan
ke otak (stroke), verbal pasien mengalami gg.
defek anatomis 2. Konsultasikan dengan dokter
penurunan.
fz. kebutuhan terapi wicara. 2
gb.
gc. NOC : gh.

26
Sensory function : 3. Dorong pasien untuk
speech berkomunikasi secara
Fear self control perlahandan untuk mengulangi 3
gd. permintaan.
ge. Kriteria Hasil gi.
Komunikasi : 4. Dengarkan dengan penuh 4
penerimaan, perhatian.
interpretasi dan gj.
ekspresi pesan lisan, gk.
5. Berdiri di depan pasien ketika 5
tulisan, dan non
berbicara.
verbal meningkat.
gl.
Komunikasi ekspresif
gm.
(kesulitan berbicara) : 6
6. Gunakan kartu baca, kertas,
ekspresi pesan verbal
pensil, bahasa tubuh, gambar,
dan atau non verbal
daftar, kosakata bahasa asing,
yang bermakna.
Pengolahan computer, dan lain-lain untuk
memfasilitasi komunikasi dua
informasi : pasien 7
arah yang optimal.
mampu untuk
gn.
memperoleh, 7. Ajarkan bicara dari esophagus,
mengatur, dan jika diperlukan.
menggunakan go. 8
informasi. 8. Berikan pujian positive, jika
diperlukan.
gp. 9
gq.
9. Anjurkan kunjungan keluarga
secara teratur 1
gr.
gs.
10.Anjurkan ekspresi diri dengan
cara lain dalam menyampaikan
informasi (bahasa isyarat)
hi. hj. Kerusakan hk. Setelah dilakukan hp. Neurologi monitoring
4. memori tindakan keperawatan 1. Memantau ukuran pupil, bentuk, 1
berhubungan dengan selama 4x24 jam, pasien simetri, dan reaktivitas.
gangguan menunjukkan penurunan hq.
neurologis. 2. Memantau tingkat kesadaran. 2
kerusakan memori.
hr.
hl.
3. Memantau tingkat orientasi.
hm. NOC :
Perfusi jaringan hs. 3
serebral ht.
Level bingung akut 4. Memantau GCS
hn. hu.
ho. Kriteria hasil 5. Memonitor memori baru, 4
Mampu untuk rentang perhatian, memori
melakukan proses masa lalu, suasana hati, dan

27
mental yang kompleks perliaku. 5
Orientasi kognitif hv.
Kondisi neurologis : 6. Memonitor tanda vital.
kesadaran hw.
7. Memonitor status pernapasan
Kondisi neurologis : 6
hx.
kemampuan sistem hy.
saraf perifer dan 8. Memantau refleks kornea.
sistem saraf pusat hz. 7
untuk menerima, ia.
memproses, dan 9. Memantau otot dan gerakan
memberi respon motorik. 8
terhadap stimuli ib.
internal dan eksterna. 10.Memantau untuk gemetar
9
ic.
id.
11.Memantau simetri wajah. 1
ie.
if.
12.Memantau tonjolan lidah.
1
ig.
ih.
13.Memantau tanggapan 1
pengamatan.
ii.
ij.
14.Memantau untuk gangguan 1
visual.
ik.
il.
15.Catatan keluhan sakit kepala. 1
im.
in.
16.Memantau karakteristik 1
berbicara : kelancaran,
keberadaan aphasias, atau kata
temuan kesulitan.
io. 1
17.Memantau adanya paresthesia :
mati rasa dan kesemutan.
ip.
18.Memantau respon babinski
iq. 1
ir.
19.Meningkatkan frekuensi
pemantauan neurologis
is.

28
20.Hindari kegiatan yang 1
meningkatkan tekanan
intrakranial.
it. 1
21.Beritahu dokter dari perubahan
kondisi pasien.
iu.
22.Melakukan protokol darurat. 2

29
jr. Daftar Pustaka
js.
jt. Ackley BJ, Ladwig GB. Nursing Diagnosis Handbook. An Evidance-
Based Guide to Planning Care. Ninth Edition. United States of Amerika:
Elsevier, 2011.
ju.
jv. Israr YA. Stroke. Riau: Faculty of Medicine, 2008. http://case-s-t-r-o-k-
e.pdf Diakses pada 1 Juni 2013.
jw.
jx. Kneafsey R: A systematic review of nursing contributions to mobility
rehabilitation: examining the quality and content of the evidence, J Clin
Nurs 16(11c):325-340, 2007.
jy.
jz. Kristofer D. Gambaran Profil Lipid Pada Penderita Stroke Di Rumah Sakit
Umum Pusat Haji Adam Malik Medan Tahun 2009. Medan: FK USU,
2010. http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/21421 Diakses pada 1
Juni 2013.
ka.
kb. Madiyono B & Suherman SK. Pencegahan Stroke & Serangan Jantung
Pada Usia Muda. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2003.
kc.
kd. Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan. Kapita Selekta
Kedokteran edisi ketiga jilid 2. Jakarta: Media Aesculapius, 2000.
ke.
kf. Mardjono M & Sidharta P. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta: Dian Rakyat,
2010.
kg.
kh. Nurarif AH, Hardhi K. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosis Medis dan Nanda Nic Noc. Jilid 2. Yogyakarta: Mediaction,
2013.
ki.
kj. Price, Sylvia A, Lorraine MW. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit. Jakarta: EGC, 2005.
kk.
kl. Rambe AS. Obat Obat Penyakit Serebrovaskular. Medan: FK USU, 2002.
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/3458. Diakses pada 1 Juni
2013.
km.
kn. Rismanto.Gambaran Faktor-Faktor Risiko Penderita Stroke Di Instalasi
Rawat Jalan Rsud Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto Tahun 2006.
Semarang: FKM UNDIP, 2006.
http://www.fkm.undip.ac.id/data/index.php?action=4&idx=3745.Diakses
pada 1 Juni 2013.
ko.
kp. Ritarwan K. Pengaruh Suhu Tubuh Terhadap Outcome Penderita Stroke
Yang Dirawat Di Rsup H. Adam Malik Medan. Medan: FK USU, 2003.
kq.
kr. Rubenstein D, Waine D & Bradley J. Kedokteran Klinis Edisi Ke 6.
Jakarta: Penerbit Erlangga, 2005.
ks.
kt. Rumantir CU. Gangguan peredaran darah otak. Pekanbaru: SMF Saraf
RSUD Arifin Achmad/FK UNRI. Pekanbaru, 2007.
ku.
kv. Sabiston. Buku Ajar Bedah Bagian 2. Jakarta:EGC, 1994.
kw.
kx. Sinaga SA. Karakteristik Penderita Stroke Rawat Inap Di Rumah Sakit
Haji Medan Tahun 2002-2006. Medan: FKM USU, 2008.
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/16617. Diakses pada 1 Juni
2013.
ky.
kz. Smeltzer SC, Brenda GB. Keperawatan Medikal-Bedah edisi 8 vol.1. Jakarta:
EGC, 2001.
la.
lb. Sudoyo AW. Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006.
lc.
ld. Swartz MH. Buku Ajar Diagnostic Fisik. Jakarta: EGC ,2002.
le.
lf. Utami IM. Gambaran Faktor - Faktor Risiko Yang Terdapat Pada Penderita
Stroke Di RSUD Kabupaten Kudus. Semarang: FK UNDIP, 2002.
http://eprints.undip.ac.id/4021/1/2042.pdf . Diakses pada 1 Juni 2013.
lg.
lh. Yeom HA, Keller C, Fleury J: Intervention for promoting mobility in
community-dwelling older adults, J Am Acad Nurse Pract 21 (2):95-100,
2009.
li.
lj.
lk.
ll.
lm.
ln.
lo.
lp.

lq.

lr.

Anda mungkin juga menyukai