Anda di halaman 1dari 40

BENIGN PROSTAT HIPERPLASIA

Dokter Pembimbing :
dr. Lukman, Sp. B

Disusun Oleh:
Hatfina Izzati
2012730050

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH SEKARWANGI


PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA
2017
BAB I
PRESENTASI KASUS
BENIGN PROSTATE HYPERPLASIA

I.1 Identitas
Nama : Tn. M
Umur : 74 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Petani
Status : Menikah
Tanggal masuk : 26 Febuari 2017

I.2 Anamnesis
Autoanamnesis
A. Keluhan Utama
Tidak bisa buang air kecil sejak 2 bulan SMRS.
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik bedah RSUD Sekarwangi dengan keluhan tidak bisa
kencing sejak 2 bulan SMRS. Sebelumnya pasien merasakan pancaran kencing
melemah dan memerlukan waktu cukup lama apabila ingin buang air kecil sehingga
pasien harus mengejan setiap kali buang air kecil. Selain itu pasien juga merasakan
setiap buang air kecil tidak lampias dan sering terbangun malam hari untuk buang air
kecil. Tidak ada keluhan nyeri pada saat buang air kecil, air kencing tidak terdapat
darah dan pasien masih bisa menahan apabila ingin buang air kecil. Pasien juga
mengatakan tidak ada riwayat trauma atau jatuh sebelumnya. Pasien datang dengan
keadaan sudah terpasang kateter.
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien belum pernah mengalami keluhan serupa.
E. Riwayat Alergi
Belum diketahui
F. Riwayat Pengobatan
Pasien sudah berobat ke poliklinik bedah, namun baru kali ini menyetujui tindakan
operatif
I.3 Pemeriksaan Fisik
A. Keadaan Umum : Baik
B. Vital sign
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 85 x/menit
Pernafasan : 21 x/menit
Suhu : 36,7 C
D. Status Generalisata (Dalam Batas Normal)
Kepala : normocephal
Mata : conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat
isokor, reflek cahaya (+/+)
Hidung : Tidak ada pernafasan cuping hidung, mukosa tidak
hiperemis, sekret tidak ada, tidak ada deviasi septum
Telinga : Simetris, tidak ada kelainan, otore (-/-)
Mulut : Bibir tidak sianosis, gusi tidak ada perdarahan, lidah
tidak kotor,faring tidak hiperemis
Leher : Tidak ada deviasi trakhea, tidak ada pembesaran
kelenjar tiroid dan getah bening, JVP tidak meningkat
Thorax

Paru-paru :
Inspeksi : Bentuk dan pergerakan pernafasan kanan-kiri
simetris
Palpasi : Fremitus taktil simetris kanan-kiri
Perkusi : Sonor pada kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler pada seluruh lapangan
paru, wheezing (-/-), ronkhi (-/-)

Jantung :
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis tidak teraba.
Perkusi : Batas atas sela iga III garis mid klavikula kiri
Batas kanan sela iga V garis sternal kanan
Batas kiri sela iga V garis midklavikula kiri
Auskultasi : Bunyi jantung I II murni, murmur (-)

Abdomen :
Inspeksi : Perut datar simetris.
Palpasi : Hepar dan Lien tidak membesar, nyeri tekan
epigastrium (+), nyeri Lepas (-), defans muskuler (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal

Ekstremitas
Superior : Sianosis (-), oedem (-), ikterik (-)
Inferior : Sianosis (-), oedem (-), ikterik (-)

E. Status Lokalis
Regio Suprapubik
Inspeksi
Tidak tampak adanya massa atau benjolan.
Palpasi
Nyeri tekan (-).
Tidak teraba adanya batu.
Pada Regio Penis tidak teraba batu (pada fossa naviculare).
Tidak terdapat krepitasi (Fraktur).

Regio Anal
- Inspeksi : Bentuk Normal, benjolan (-)
- Rectal Toucher :
Tonus sfingter ani : kuat
Mukosa rectum : licin
Ampula recti : tidak kolaps
Teraba massa :
- pada arah jam 11 sampai jam 1
- permukaan licin
- konsistensi kenyal
- lobus kanan dan kiri simetris
- pole atas teraba
- nodul (-)
Handschoon : darah (-), feses (-)
F. Pemeriksaan Penunjang

I.4 Saran Pemeriksaan


USG Abdomen
BNO

I.5 Diagnosis Banding


Benigna Prostate Hyperplasia
Karsinoma Prostat
Ureterolithiasis
Vesikolithiasis

I.6 Diagnosis Kerja


Benign Prostat Hiperplasia

I.7 Terapi
Pro Operasi : Open Prostatektomi

I.8 Prognosis
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad functionam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad bonam

I.9 Resume
Anamnesis: Pasien datang ke poliklinik bedah RSUD Sekarwangi dengan keluhan
tidak bisa buang air kecil sejak 2 bulan SMRS. Pasien datang ke poliklinik bedah
RSUD Sekarwangi dengan keluhan tidak bisa kencing sejak 2 bulan SMRS.
Sebelumnya pasien merasakan pancaran kencing melemah dan memerlukan waktu
cukup lama apabila ingin buang air kecil sehingga pasien harus mengejan setiap kali
buang air kecil. Selain itu pasien juga merasakan setiap buang air kecil tidak lampias
dan sering terbangun malam hari untuk buang air kecil. Tidak ada keluhan nyeri pada
saat buang air kecil, air kencing tidak terdapat darah dan pasien masih bisa menahan
apabila ingin buang air kecil. Pasien juga mengatakan tidak ada riwayat trauma atau
jatuh sebelumnya. Pasien datang dengan keadaan sudah terpasang kateter.
Pemeriksaan Fisik (Status Lokalis) :
Regio Suprapubik
Inspeksi
Tidak tampak adanya massa atau benjolan.
Palpasi
Nyeri tekan (-).
Tidak teraba adanya batu.
Pada Regio Penis tidak teraba batu (pada fossa naviculare).
Tidak terdapat krepitasi (Fraktur).
Regio Anal
- Inspeksi : Bentuk Normal, benjolan (-)
- Rectal Toucher :
Tonus sfingter ani : kuat
Mukosa rectum : licin
Ampula recti : tidak kolaps
Teraba massa :
- pada arah jam 11 sampai jam 1
- permukaan licin
- konsistensi kenyal
- lobus kanan dan kiri simetris
- pole atas teraba
- nodul (-)
Handschoon : darah (-), feses (-)

Saran Pemeriksaan : USG Abdomen dan BNO


Pada pemeriksaan penunjang: dalam batas normal
Rencana penatalaksanaan : Open Prostatektomi
Prognosis : ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

I. Definisi
Benign Prostate Hyperplasia (BPH) sebenarnya adalah suatu keadaan dimana
kelenjar periuretral prostat mengalami hiperplasia yang akan mendesak jaringan prostat
yang asli ke perifer dan menjadi simpai bedah.

II. Anatomi dan Fisiologi


Anatomi
Prostat merupakan kelenjar berbentuk konus terbalik yang dilapisi oleh kapsul

fibromuskuler, yang terletak di sebelah inferior vesika urinaria, mengelilingi bagian

proksimal uretra (uretra pars prostatika) dan berada disebelah anterior rektum. Bentuknya

sebesar buah kenari dengan berat normal pada orang dewasa kurang lebih 20 gram,

dengan jarak basis ke apex kurang lebih 3 cm, lebar yang paling jauh 4 cm dengan tebal

2,5 cm.

Kelenjar prostat terbagi menjadi 5 lobus :


1. lobus medius
2. lobus lateralis (2 lobus)
3. lobus anterior
4. lobus posterior

Selama perkembangannya lobus medius, lobus anterior, lobus posterior akan

menjadi satu dan disebut lobus medius saja. Pada penampang, lobus medius kadang-

kadang tak tampak karena terlalu kecil dan lobus lain tampak homogen berwarna abu-

abu, dengan kista kecil berisi cairan seperti susu, kista ini disebut kelenjar prostat.6

Mc Neal (1976) membagi kelenjar prostat dalam beberapa zona, antara lain
adalah: zona perifer, zona sentral, zona transisional, zona fibromuskuler anterior, dan
zona periuretral. Sebagian besar hiperplasia prostat terdapat pada zona transisional yang
letaknya proksimal dari sfincter eksternus di kedua sisi dari verumontanum dan di zona
periuretral. Kedua zona tersebut hanya merupakan 2% dari seluruh volume prostat.
Sedangkan pertumbuhan karsinoma prostat berasal dari zona perifer.
Prostat mempunyai kurang lebih 20 duktus yang bermuara di kanan dari
verumontanum dibagian posterior dari uretra pars prostatika. Di sebelah depan
didapatkan ligamentum pubo prostatika, di sebelah bawah ligamentum triangulare
inferior dan di sebelah belakang didapatkan fascia denonvilliers.
Fascia denonvilliers terdiri dari 2 lembar, lembar depan melekat erat dengan

prostat dan vesika seminalis, sedangkan lembar belakang melekat secara longgar dengan

fascia pelvis dan memisahkan prostat dengan rektum. Antara fascia endopelvic dan

kapsul sebenarnya dari prostat didapatkan jaringan peri prostat yang berisi pleksus

prostatovesikal.

Pada potongan melintang kelenjar prostat terdiri dari :


1. Kapsul anatomis sebagai jaringan ikat yang mengandung otot polos yang
membungkus kelenjar prostat.
2. Jaringan stroma yang terdiri dari jaringan fibrosa dan jaringan muskuler
3. Jaringan kelenjar yang terbagi atas 3 kelompok bagian:
1. Bagian luar disebut glandula principalis atau kelenjar prostat sebenarnya yang
menghasilkan bahan baku sekret.
2. Bagian tengah disebut kelenjar submukosa, lapisan ini disebut juga sebagai
adenomatous zone
3. Di sekitar uretra disebut periurethral gland atau glandula mukosa yang merupakan
bagian terkecil. Bagian ini serinng membesar atau mengalami hipertrofi pada usia
lanjut.

Pada BPH, kapsul pada prostat terdiri dari 3 lapis :


1. kapsul anatomis
2. kapsul chirurgicum, ini terjadi akibat terjepitnya kelenjar prostat yang sebenarnya
(outer zone) sehingga terbentuk kapsul
3. kapsul yang terbentuk dari jaringan fibromuskuler antara bagian dalam (inner zone)
dan bagian luar (outer zone) dari kelenjar prostat.

BPH sering terjadi pada lobus lateralis dan lobus medialis karena mengandung

banyak jaringan kelenjar, tetapi tidak mengalami pembesaran pada bagian posterior

daripada lobus medius (lobus posterior) yang merupakan bagian tersering terjadinya

perkembangan suatu keganasan prostat. Sedangkan lobus anterior kurang mengalami

hiperplasi karena sedikit mengandung jaringan kelenjar.


Secara histologis, prostat terdiri atas kelenjar-kelenjar yang dilapisi epitel thoraks
selapis dan di bagian basal terdapat juga sel-sel kuboid, sehingga keseluruhan epitel
tampak menyerupai epitel berlapis.

Vaskularisasi
Vaskularisasi kelenjar prostat yanng utama berasal dari a. vesikalis inferior
(cabang dari a. iliaca interna), a. hemoroidalis media (cabang dari a. mesenterium
inferior), dan a. pudenda interna (cabang dari a. iliaca interna). Cabang-cabang dari arteri
tersebut masuk lewat basis prostat di Vesico Prostatic Junction. Penyebaran arteri di
dalam prostat dibagi menjadi 2 kelompok , yaitu:
1. Kelompok arteri urethra, menembus kapsul di postero lateral darivesico prostatic
junction dan memberi perdarahan pada leher buli-buli dan kelompok kelenjar
periurethral.
2. Kelompok arteri kapsule, menembus sebelah lateral dan memberi beberapa cabang

yang memvaskularisasi kelenjar bagian perifer (kelompok kelenjar paraurethral).

Aliran Limfe
Aliran limfe dari kelenjar prostat membentuk plexus di peri prostat yang kemudian

bersatu untuk membentuk beberapa pembuluh utama, yang menuju ke kelenjar limfe iliaca

interna , iliaca eksterna, obturatoria dan sakral.

Persarafan
Sekresi dan motor yang mensarafi prostat berasal dari plexus simpatikus dari
Hipogastricus dan medula sakral III-IV dari plexus sakralis.

Fisiologi
Prostat adalah kelenjar sex sekunder pada laki-laki yang menghasilkan cairan dan
plasma seminalis, dengan perbandingan cairan prostat 13-32% dan cairan vesikula
seminalis 46-80% pada waktu ejakulasi. Kelenjar prostat dibawah pengaruh Androgen
Bodiesdan dapat dihentikan dengan pemberian Stilbestrol.

III. Epidemiologi
Hiperplasia prostat merupakan penyakit pada pria tua dan jarang ditemukan
sebelum usia 40 tahun. Prostat normal pada pria mengalami peningkatan ukuran yang
lambat dari lahir sampai pubertas, waktu itu ada peningkatan cepat dalam ukuran, yang
kontinyu sampai usia akhir 30-an. Pertengahan dasawarsa ke-5, prostat bisa mengalami
perubahan hyperplasia.
Pada usia lanjut beberapa pria mengalami pembesaran prostat benigna. Keadaan
ini dialami oleh 50% pria yang berusia 60 tahun dan kurang lebih 80% pria yang berusia
80 tahun.

IV. Etiologi
Hingga sekarang masih belum diketahui secara pasti penyebab terjadinya

hiperplasia prostat, tetapi beberapa hipotesis menyebutkan bahwa hiperplasia prostat erat

kaitannya dengan peningkatan kadar dehidrotestosteron (DHT) dan proses aging

(menjadi tua).
Beberapa teori atau hipotesis yang diduga sebagai penyebab timbulnya hiperplasia
prostat adalah:
1. Teori Hormonal
Dengan bertambahnya usia akan terjadi perubahan keseimbangan hormonal, yaitu
antara hormon testosteron dan hormon estrogen. Karena produksi testosteron menurun
dan terjadi konversi testosteron menjadi estrogen pada jaringan adiposa di perifer
dengan pertolongan enzim aromatase, dimana sifat estrogen ini akan merangsang
terjadinya hiperplasia pada stroma, sehingga timbul dugaan bahwa testosteron
diperlukan untuk inisiasi terjadinya proliferasi sel tetapi kemudian estrogenlah yang
berperan untuk perkembangan stroma. Kemungkinan lain ialah perubahan konsentrasi
relatif testosteron dan estrogen akan menyebabkan produksi dan potensiasi faktor
pertumbuhan lain yang dapat menyebabkan terjadinya pembesaran prostat.
Pada keadaan normal hormon gonadotropin hipofise akan menyebabkan produksi
hormon androgen testis yang akan mengontrol pertumbuhan prostat. Dengan makin
bertambahnya usia, akan terjadi penurunan dari fungsi testikuler (spermatogenesis)
yang akan menyebabkan penurunan yang progresif dari sekresi androgen. Hal ini
mengakibatkan hormon gonadotropin akan sangat merangsang produksi hormon
estrogen oleh sel sertoli. Dilihat dari fungsional histologis, prostat terdiri dari dua
bagian yaitu sentral sekitar uretra yang bereaksi terhadap estrogen dan bagian perifer
yang tidak bereaksi terhadap estrogen.

2. Teori Growth Factor (Faktor Pertumbuhan)


Peranan dari growth factor ini sebagai pemacu pertumbuhan stroma kelenjar
prostat. Terdapat empat peptic growth factor yaitu: basic transforming growth factor,
transforming growth factor 1, transforming growth factor 2, dan epidermal
growth factor.

3. Teori peningkatan lama hidup sel-sel prostat karena berkurangnya sel yang mati

4. Teori Sel Stem (stem cell hypothesis)


Seperti pada organ lain, prostat dalam hal ini kelenjar periuretral pada seorang
dewasa berada dalam keadaan keseimbangan steady state, antara pertumbuhan sel
dan sel yang mati, keseimbangan ini disebabkan adanya kadar testosteron tertentu
dalam jaringan prostat yang dapat mempengaruhi sel stem sehingga dapat
berproliferasi. Pada keadaan tertentu jumlah sel stem ini dapat bertambah sehingga
terjadi proliferasi lebih cepat. Terjadinya proliferasi abnormal sel stem sehingga
menyebabkan produksi atau proliferasi sel stroma dan sel epitel kelenjar periuretral
prostat menjadi berlebihan.

5. Teori Dehidrotestosteron (DHT)


Dehidrotestosteron adalah metabolit androgen yang sangat penting pada
pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Dibentuk dari testosteron didalam sel prostat
oleh enzim 5-reduktase dengan bantuan koenzim NADPH.

Pada berbagai penelitian dikatakan bahwa kadar DHT pada BPH tidak jauh
berbeda dengan kadarnya pada prostat normal, hanya pada BPH, aktivitas enzim 5-
reduktase dan jumlah reseptor androgen lebih banyak pada BPH. Hal ini menyebabkan
sel-sel prostat pada BPH lebih sensitif terhadap DHT sehingga replikasi sel lebih
banyak terjadi dibandingkan dengan prostat normal.
Testosteron yang dihasilkan oleh sel leydig pada testis (90%) dan sebagian dari
kelenjar adrenal (10%) masuk dalam peredaran darah dan 98% akan terikat oleh
globulin menjadi sex hormon binding globulin (SHBG). Sedang hanya 2% dalam
keadaan testosteron bebas. Testosteron bebas inilah yang bisa masuk ke dalam target
cell yaitu sel prostat melewati membran sel langsung masuk kedalam sitoplasma, di
dalam sel, testosteron direduksi oleh enzim 5 alpha reductase menjadi 5
dehidrotestosteron yang kemudian bertemu dengan reseptor sitoplasma menjadi
hormone receptor complex. Kemudian hormone receptor complex ini mengalami
transformasi reseptor, menjadi nuclear receptor yang masuk kedalam inti yang
kemudian melekat pada chromatin dan menyebabkan transkripsi m-RNA. RNA ini
akan menyebabkan sintese protein menyebabkan terjadinya pertumbuhan kelenjar
prostat.

6. Teori Reawakening
Mc Neal tahun 1978 menulis bahwa lesi pertama bukan pembesaran stroma pada
kelenjar periuretral (zone transisi) melainkan suatu mekanisme glandular budding
kemudian bercabang yang menyebabkan timbulnya alveoli pada zona preprostatik.
Persamaan epiteleal budding dan glandular morphogenesis yang terjadi pada embrio
dengan perkembangan prostat ini, menimbulkan perkiraan adanya reawakening
yaitu jaringan kembali seperti perkembangan pada masa tingkat embriologik, sehingga
jaringan periuretral dapat tumbuh lebih cepat dari jaringan sekitarnya.
Selain teori-teori di atas masih banyak lagi teori yang menerangkan tentang
penyebab terjadinya BPH seperti; teori tumor jinak, teori rasial dan faktor sosial, teori
infeksi dari zat-zat yang belum diketahui, teori yang berhubungan dengan aktifitas
hubungan seks, teori peningkatan kolesterol, dan Zn yang kesemuanya tersebut masih
belum jelas hubungan sebab-akibatnya.

V. Patofisiologi
Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu
komponen mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan
dengan adanya pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak uretra pars prostatika
sehingga terjadi gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen
dinamik meliputi tonus otot polos prostat dan kapsulnya, yang merupakan alpha
adrenergik reseptor. Stimulasi pada alpha adrenergik reseptor akan menghasilkan
kontraksi otot polos prostat ataupun kenaikan tonus. Komponen dinamik ini tergantung
dari stimulasi syaraf simpatis, yang juga tergantung dari beratnya obstruksi oleh
komponen mekanik.
Berbagai keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan dan resistensi uretra.
Selanjutnya hal ini akan menyebabkan sumbatan aliran kemih. Untuk mengatasi
resistensi uretra yang meningkat, otot-otot detrusor akan berkontraksi untuk
mengeluarkan urine. Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan
anatomik dari buli-buli berupa hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula,
sakula, dan divertikel buli-buli. Fase penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi.
Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan oleh pasien sebagai keluhan pada
saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom (LUTS) yang dahulu
dikenal dengan gejala-gejala prostatismus.
Dengan semakin meningkatnya resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam
fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi
retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi akan diteruskan ke seluruh bagian
buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan pada kedua muara ureter ini
dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau terjadi refluks vesico-
ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter, hidronefrosis,
bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.

VI. Gambaran Klinis


Gejala hiperplasia prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih
maupun keluhan di luar saluran kemih.
1. Gejala pada saluran kemih bagian bawah
Keluhan pada saluran kemih sebelah bawah (LUTS) terdiri atas gejala obstruktif
dan gejala iritatif. Gejala obstruktif disebabkan oleh karena penyempitan uretara pars
prostatika karena didesak oleh prostat yang membesar dan kegagalan otot detrusor
untuk berkontraksi cukup kuat dan atau cukup lama sehingga kontraksi terputus-putus.
Gejalanya ialah :
1. Harus menunggu pada permulaan miksi (Hesistancy)
2. Pancaran miksi yang lemah (weak stream)
3. Miksi terputus (Intermittency)
4. Menetes pada akhir miksi (Terminal dribbling)
5. Rasa belum puas sehabis miksi (Sensation of incomplete bladder
emptying).

Manifestasi klinis berupa obstruksi pada penderita hipeplasia prostat masih tergantung
tiga faktor, yaitu :
1. Volume kelenjar periuretral
2. Elastisitas leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3. Kekuatan kontraksi otot detrusor
Tidak semua prostat yang membesar akan menimbulkan gejala obstruksi,
sehingga meskipun volume kelenjar periurethral sudah membesar dan elastisitas leher
vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat menurun, tetapi apabila masih dikompensasi
dengan kenaikan daya kontraksi otot detrusor maka gejala obstruksi belum dirasakan.

Gejala iritatif disebabkan oleh karena pengosongan vesica urinaria yang tidak
sempurna pada saat miksi atau disebabkan oleh hipersensitifitas otot detrusor karena
pembesaran prostat menyebabkan rangsangan pada vesica, sehingga vesica sering
berkontraksi meskipun belum penuh.
Gejalanya ialah :
1. Bertambahnya frekuensi miksi (Frequency)
2. Nokturia
3. Miksi sulit ditahan (Urgency)
4. Disuria (Nyeri pada waktu miksi)

Gejala-gejala tersebut diatas sering disebut sindroma prostatismus. Secara klinis derajat
berat gejala prostatismus itu dibagi menjadi :
Grade I : Gejala prostatismus + sisa kencing
Grade II : Gejala prostatismus + sisa kencing > 50 ml
Grade III : Retensi urin dengan sudah ada gangguan saluran kemih b
bagian atas + sisa urin > 150 ml.
Untuk menilai tingkat keparahan dari keluhan pada saluran kemih sebelah bawah,
WHO menganjurkan klasifikasi untuk menentukan berat gangguan miksi yang disebut
Skor Internasional Gejala Prostat atau I-PSS (International Prostatic Symptom Score).
Sistem skoring I-PSS terdiri atas tujuh pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan
miksi (LUTS) dan satu pertanyaan yang berhubungan dengan kualitas hidup pasien.
Setiap pertanyaan yang berhubungan dengan keluhan miksi diberi nilai 0 sampai dengan
5, sedangkan keluhan yang menyangkut kualitas hidup pasien diberi nilai dari 1 hingga 7.
Dari skor I-PSS itu dapat dikelompokkan gejala LUTS dalam 3 derajat, yaitu:
- Ringan : skor 0-7
- Sedang : skor 8-19
- Berat : skor 20-35
Timbulnya gejala LUTS merupakan menifestasi kompensasi otot vesica urinaria
untuk mengeluarkan urin. Pada suatu saat otot-otot vesica urinaria akan mengalami
kepayahan (fatique) sehingga jatuh ke dalam fase dekompensasi yang diwujudkan dalam
bentuk retensi urin akut.
Faktor pencetus
Kompensasi Dekompensasi
(LUTS) Retensi urin
Inkontinensia paradoksa
International Prostatic Symptom Score

Pertanyaan Jawaban dan skor

Keluhan pada bulan Tidak Hampir


<20% <50% 50% >50%
terakhir sekali selalu

a. Adakah anda merasa


buli-buli tidak kosong 0 1 2 3 4 5
setelah berkemih

b. Berapa kali anda 0 1 2 3 4 5


berkemih lagi dalam
waktu 2 menit

c. Berapa kali terjadi arus


urin berhenti sewaktu 0 1 2 3 4 5
berkemih

d. Berapa kali anda tidak


dapat menahan untuk 0 1 2 3 4 5
berkemih

e. Beraapa kali terjadi arus


lemah sewaktu memulai 0 1 2 3 4 5
kencing

f. Berapa keli terjadi


bangun tidur anda
0 1 2 3 4 5
kesulitan memulai untuk
berkemih

g. Berapa kali anda


bangun untuk berkemih di 0 1 2 3 4 5
malam hari

Jumlah nilai :
0 = baik sekali 3 = kurang
1 = baik 4 = buruk
2 = kurang baik 5 = buruk sekali

Timbulnya dekompensasi vesica urinaria biasanya didahului oleh beberapa faktor


pencetus, antara lain:
Volume vesica urinaria tiba-tiba terisi penuh yaitu pada cuaca dingin, menahan
kencing terlalu lama, mengkonsumsi obat-obatan atau minuman yang
mengandung diuretikum (alkohol, kopi) dan minum air dalam jumlah yang
berlebihan
Massa prostat tiba-tiba membesar, yaitu setelah melakukan aktivitas seksual atau
mengalami infeksi prostat akut

Setelah mengkonsumsi obat-obatan yang dapat menurunkan kontraksi otot


detrusor atau yang dapat mempersempit leher vesica urinaria, antara lain:

golongan antikolinergik atau alfa adrenergik.

2. Gejala pada saluran kemih bagian atas


Keluhan akibat penyulit hiperplasi prostat pada saluran kemih bagian atas berupa
gejala obstruksi antara lain nyeri pinggang, benjolan di pinggang (yang merupakan tanda dari
hidronefrosis)., atau demam yang merupakan tanda dari infeksi atau urosepsis.

3. Gejala di luar saluran kemih


Tidak jarang pasien berobat ke dokter karena mengeluh adanya hernia inguinalis atau

hemoroid. Timbulnya kedua penyakit ini karena sering mengejan pada saat miksi sehingga

mengakibatkan peningkatan tekanan intraabdominal.

VII. Diagnosis
a. Anamnesis : gejala obstruktif dan gejala iritatif
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan gambaran tentang keadaan tonus
spingter ani, reflek bulbo cavernosus, mukosa rektum, adanya kelainan lain seperti
benjolan di dalam rektum dan tentu saja teraba prostat. Pada perabaan prostat harus
diperhatikan :
1. Konsistensi prostat (pada hiperplasia prostat konsistensinya kenyal)
2. Adakah asimetris
3. Adakah nodul pada prostate
4. Apakah batas atas dapat diraba
5. Sulcus medianus prostate
6. Adakah krepitasi
Colok dubur pada hiperplasia prostat menunjukkan prostat teraba membesar,
konsistensi prostat kenyal seperti meraba ujung hidung, permukaan rata, lobus kanan
dan kiri simetris, tidak didapatkan nodul, dan menonjol ke dalam rektum. Semakin
berat derajat hiperplasia prostat, batas atas semakin sulit untuk diraba. Sedangkan pada
carcinoma prostat, konsistensi prostat keras dan atau teraba nodul dan diantara lobus
prostat tidak simetris. Sedangkan pada batu prostat akan teraba krepitasi.

Pemeriksaan fisik apabila sudah terjadi kelainan pada traktus urinaria bagian atas
kadang-kadang ginjal dapat teraba dan apabila sudah terjadi pielonefritis akan disertai
sakit pinggang dan nyeri ketok pada pinggang. Vesica urinaria dapat teraba apabila
sudah terjadi retensi total, daerah inguinal harus mulai diperhatikan untuk mengetahui
adanya hernia. Genitalia eksterna harus pula diperiksa untuk melihat adanya
kemungkinan sebab yang lain yang dapat menyebabkan gangguan miksi seperti batu di
fossa navikularis atau uretra anterior, fibrosis daerah uretra, fimosis, condiloma di
daerah meatus.
Pada pemeriksaan abdomen ditemukan kandung kemih yang terisi penuh dan
teraba masa kistus di daerah supra simfisis akibat retensio urin dan kadang terdapat
nyeri tekan supra simfisis.

c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium berperan dalam menentukan ada tidaknya komplikasi.
1. Darah
Ureum dan Kreatinin
Elektrolit
Blood urea nitrogen
Prostate Specific Antigen (PSA)
Gula darah

2. Urin :
Kultur urin + sensitifitas test
Urinalisis dan pemeriksaan mikroskopik
Sedimen
Sedimen urin diperiksa untuk mencari kemungkinan adanya proses infeksi atau
inflamasi pada saluran kemih. Pemeriksaan kultur urine berguna dalam mencari jenis
kuman yang menyebabkan infeksi dan sekaligus menentukan sensitifitas kuman
terhadap beberapa antimikroba yang diujikan.
Faal ginjal diperiksa untuk mengetahui kemungkinan adanya penyulit yang
mengenai saluran kemih bagian atas. Sedangkan gula darah dimaksudkan untuk
mencari kemungkinan adanya penyakit diabetes mellitus yang dapat menimbulkan
kelainan persarafan pada vesica urinaria.

d. Pemeriksaan pencitraan
1. Foto polos abdomen (BNO)
BNO berguna untuk mencari adanya batu opak di saluran kemih, adanya
batu/kalkulosa prostat dan kadangkala dapat menunjukkan bayangan vesica
urinaria yang penuh terisi urin, yang merupakan tanda dari suatu retensi urine.
Selain itu juga bisa menunjukkan adanya hidronefrosis, divertikel kandung kemih
atau adanya metastasis ke tulang dari carsinoma prostat.

2. Pielografi Intravena (IVP)


Pemeriksaan IVP dapat menerangkan kemungkinan adanya:
1. kelainan pada ginjal maupun ureter berupa hidroureter atau hidronefrosis
2. memperkirakan besarnya kelenjar prostat yang ditunjukkan oleh adanya
indentasi prostat (pendesakan vesica urinaria oleh kelenjar prostat) atau ureter
di sebelah distal yang berbentuk seperti mata kail atauhooked fish
3. penyulit yang terjadi pada vesica urinaria yaitu adanya trabekulasi, divertikel,
atau sakulasi vesica urinaria
4. foto setelah miksi dapat dilihat adanya residu urin

3. Sistogram retrograd
Apabila penderita sudah dipasang kateter oleh karena retensi urin, maka
sistogram retrograd dapat pula memberi gambaran indentasi.

4. USG secara transrektal (Transrectal Ultrasonography = TURS)


Untuk mengetahui besar atau volume kelenjar prostat, adanya
kemungkinan pembesaran prostat maligna, sebagai petunjuk untuk melakukan
biopsi aspirasi prostat, menentukan volume vesica urinaria dan jumlah residual
urine, serta mencari kelainan lain yang mungkin ada di dalam vesica urinaria
seperti batu, tumor, dan divertikel.

5. Pemeriksaan Sistografi
Dilakukan apabila pada anamnesis ditemukan hematuria atau pada
pemeriksaan urine ditemukan mikrohematuria. Sistografi dapat memberikan
gambaran kemungkinan tumor di dalam vesica urinaria atau sumber perdarahan
dari atas bila darah datang dari muara ureter, atau batu radiolusen di dalam vesica.
Selain itu juga memberi keterangan mengenai basar prostat dengan mengukur
panjang uretra pars prostatika dan melihat penonjolan prostat ke dalam uretra.

6. MRI atau CT jarang dilakukan


Digunakan untuk melihat pembesaran prostat dan dengan bermacam
macam potongan.

e. Pemeriksaan Lain
1. Uroflowmetri
Untuk mengukur laju pancaran urin miksi. Laju pancaran urin ditentukan
oleh :
daya kontraksi otot detrusor
tekanan intravesica
resistensi uretra
Angka normal laju pancaran urin ialah 10-12 ml/detik dengan puncak laju
pancaran mendekati 20 ml/detik. Pada obstruksi ringan, laju pancaran melemah
menjadi 6 8 ml/detik dengan puncaknya sekitar 11 15 ml/detik. Semakin berat
derajat obstruksi semakin lemah pancaran urin yang dihasilkan.

2. Pemeriksaan Tekanan Pancaran (Pressure Flow Studies)


Pancaran urin melemah yang diperoleh atas dasar pemeriksaan
uroflowmetri tidak dapat membedakan apakah penyebabnya adalah obstruksi atau
daya kontraksi otot detrusor yang melemah. Untuk membedakan kedua hal
tersebut dilakukan pemeriksaan tekanan pancaran dengan menggunakan Abrams-
Griffiths Nomogram. Dengan cara ini maka sekaligus tekanan intravesica dan laju
pancaran urin dapat diukur.

3. Pemeriksaan Volume Residu Urin


Volume residu urin setelah miksi spontan dapat ditentukan dengan cara
sangat sederhana dengan memasang kateter uretra dan mengukur berapa volume
urin yang masih tinggal atau ditentukan dengan pemeriksaan ultrasonografi
setelah miksi, dapat pula dilakukan dengan membuat foto post voiding pada
waktu membuat IVP. Pada orang normal sisa urin biasanya kosong, sedang pada
retensi urin total sisa urin dapat melebihi kapasitas normal vesika. Sisa urin lebih
dari 100 cc biasanya dianggap sebagai batas indikasi untuk melakukan intervensi
pada penderita prostat hipertrofi.

VIII. Kriteria Pembesaran Prostat


Untuk menentukan kriteria prostat yang membesar dapat dilakukan dengan beberapa
cara, diantaranya adalah :
1. Rektal grading
Berdasarkan penonjolan prostat ke dalam rektum :
derajat 1 : penonjolan 0-1 cm ke dalam rektum
derajat 2 : penonjolan 1-2 cm ke dalam rektum
derajat 3 : penonjolan 2-3 cm ke dalam rektum
derajat 4 : penonjolan > 3 cm ke dalam rektum

2. Berdasarkan jumlah residual urine


derajat 1 : <50 ml
derajat 2 : 50-100 ml
derajat 3 : >100 ml
derajat 4 : retensi urin total

3. Intra vesikal grading


derajat 1 : prostat menonjol pada bladder inlet
derajat 2 : prostat menonjol diantara bladder inlet dengan muara ureter
derajat 3 : prostat menonjol sampai muara ureter
derajat 4 : prostat menonjol melewati muara ureter

4. Berdasarkan pembesaran kedua lobus lateralis yang terlihat pada uretroskopi


derajat 1 : kissing 1 cm
derajat 2 : kissing 2 cm
derajat 3 : kissing 3 cm

derajat 4 : kissing >3 cm

IX. Diagnosis Banding


Pada pasien dengan keluhan obstruksi saluran kemih di antaranya:
1. Struktur uretra
2. Batu buli-buli kecil
3. Kanker prostat
4. Kelemahan detrusor, misalnya pada penderita asma kronik yang
menggunakan obat-obat parasimpatolitik.

Pada pasien dengan keluhan iritatif saluran kemih, dapat disebabkan oleh :
1. Instabilitas detrusor
2. Infeksi saluran kemih
3. Prostatitis
4. Batu ureter distal
5. Batu vesika kecil.

X. Komplikasi
Hiperplasia prostat dapat menimbulkan komplikasi sebagai berikut :

a. Inkontinensia Paradoks
b. Batu Kandung Kemih
c. Hematuria
d. Sistitis
e. Pielonefritis
f. Retensi Urin Akut Atau Kronik
g. Hidroureter
h. Hidronefrosis
i. Gagal Ginjal

XI. Penatalaksanaan
Hiperplasi prostat yang telah memberikan keluhan klinik biasanya akan
menyebabkan penderita datang kepada dokter. Derajat berat gejala klinik dibagi menjadi
empat gradasi berdasarkan penemuan pada colok dubur dan sisa volume urin, yaitu:
Derajat satu, apabila ditemukan keluhan prostatismus, pada colok dubur ditemukan
penonjolan prostat, batas atas mudah diraba dan sisa urin kurang dari 50 ml.
Derajat dua, apabila ditemukan tanda dan gejala sama seperti pada derajat satu,
prostat lebih menonjol, batas atas masih dapat teraba dan sisa urin lebih dari 50 ml
tetapi kurang dari 100 ml.
Derajat tiga, seperti derajat dua, hanya batas atas prostat tidak teraba lagi dan sisa urin
lebih dari 100 ml
Derajat empat, apabila sudah terjadi retensi urin total.
Organisasi kesehatan dunia (WHO) menganjurkan klasifikasi untuk menentukan

berat gangguan miksi yang disebut WHO PSS (WHO Prostate Symptom Score). Skor ini

berdasarkan jawaban penderita atas delapan pertanyaan mengenai miksi. Terapi non
bedah dianjurkan bila WHO PSS tetap dibawah 15. Untuk itu dianjurkan melakukan
kontrol dengan menentukan WHO PSS. Terapi bedah dianjurkan bila WHO PSS 25 ke
atas atau bila timbul obstruksi.
Pembagian derajat beratnya hiperplasia prostat derajat I-IV digunakan untuk
menentukan cara penanganan, yaitu :
Derajat satu biasanya belum memerlukan tindakan operatif, melainkan dapat
diberikan pengobatan secara konservatif.
Derajat dua sebenarnya sudah ada indikasi untuk melakukan intervensi operatif, dan
yang sampai sekarang masih dianggap sebagai cara terpilih ialah trans uretral
resection (TUR). Kadang-kadang derajat dua penderita masih belum mau dilakukan
operasi, dalam keadaan seperti ini masih bisa dicoba dengan pengobatan konservatif.
Derajat tiga, TUR masih dapat dikerjakan oleh ahli urologi yang cukup
berpengalaman biasanya pada derajat tiga ini besar prostat sudah lebih dari 60 gram.
Apabila diperkirakan prostat sudah cukup besar sehingga reseksi tidak akan selesai
dalam satu jam maka sebaiknya dilakukan operasi terbuka.

Derajat empat tindakan pertama yang harus segera dikerjakan ialah membebaskan

penderita dari retensi urin total, dengan jalan memasang kateter atau memasang

sistostomi setelah itu baru dilakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melengkapi

diagnostik, kemudian terapi definitif dapat dengan TURP atau operasi terbuka.
Terapi sedini mungkin sangat dianjurkan untuk mengurangi gejala, meningkatkan
kualitas hidup dan menghindari komplikasi akibat obstruksi yang berkepanjangan.
Tindakan bedah masih merupakan terapi utama untuk hiperplasia prostat (lebih dari 90%
kasus). Meskipun demikian pada dekade terakhir dikembangkan pula beberapa terapi
non-bedah yang mempunyai keunggulan kurang invasif dibandingkan dengan terapi
bedah. Mengingat gejala klinik hiperplasia prostat disebabkan oleh 3 faktor yaitu
pembesaran kelenjar periuretral, menurunnya elastisitas leher vesika, dan berkurangnya
kekuatan detrusor, maka pengobatan gejala klinik ditujukan untuk :
1. Menghilangkan atau mengurangi volume prostat
2. Mengurangi tonus leher vesika, otot polos prostat dan kapsul prostat
3. Melebarkan uretra pars prostatika, menambah kekuatan detrusor
Tujuan terapi pada pasien hiperplasia prostat adalah menghilangkan obstruksi
pada leher vesica urinaria. Hal ini dapat dicapai dengan cara medikamentosa,
pembedahan, atau tindakan endourologi yang kurang invasif.

Pilihan Terapi pada Hiperplasi Prostat Benigna

Observasi Medikamentosa Operasi Invasif Minimal

Penghambat Prostatektomi TUMT


Watchfull waiting
adrenergik terbuka TUBD

Penghambat Endourologi Strent uretra


reduktase 1. TURP dengan prostacath
Fitoterapi 2. TUIP TUNA
Hormonal 3. TULP (laser)

Terapi Konservatif Non Operatif


1. Observasi (Watchful waiting)
Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan. Nasihat yang diberikan
adalah mengurangi minum setelah makan malam untuk mengurangi nokturia,
menghindari obat-obatan dekongestal (parasimpatolitik), mengurangi minum kopi, dan
tidak diperbolehkan minuman alkohol agar tidak sering miksi. Setiap 3 bulan lakukan
kontrol keluhan (sistem skor), sisa kencing dan pemeriksaan colok dubur.

2. Medikamentosa
Tujuan terapi medikamentosa adalah untuk:
1. mengurangi resistensi leher buli-buli dengan obat-obatan golongan blocker
(penghambat alfa adrenergik)
2. menurunkan volume prostat dengan cara menurunkan kadar hormon
testosteron/dehidrotestosteron (DHT)

Obat Penghambat adrenergik


Dasar pengobatan ini adalah mengusahakan agar tonus otot polos di dalam
prostat dan leher vesica berkurang dengan menghambat rangsangan alpha adrenergik.
Seperti diketahui di dalam otot polos prostat dan leher vesica banyak terdapat reseptor
alpha adrenergik. Obat-obatan yang sering digunakan prazosin, terazosin, doksazosin,
dan alfuzosin. Obat penghambat alpha adrenergik yang lebih selektif terhadap otot
polos prostat yaitu 1a (tamsulosin), sehingga efek sistemik yang tak diinginkan dari
pemakai obat ini dapat dikurangi. Dosis dimulai 1 mg/hari sedangkan dosis tamzulosin
0,2-0,4 mg/hari. Penggunaan antagonis alpha 1 adrenergik untuk mengurangi obstruksi
pada vesica tanpa merusak kontraktilitas detrusor.
Obat-obatan golongan ini memberikan perbaikan laju pancaran urine,
menurunkan sisa urine dan mengurangi keluhan. Obat-obat ini juga memberi penyulit
hipotensi, pusing, mual, lemas, dan meskipun sangat jarang bisa terjadi ejakulasi
retrograd, biasanya pasien mulai merasakan berkurangnya keluhan dalam waktu 1-2
minggu setelah pemakaian obat.

Obat Penghambat Enzim 5 Alpha Reduktase


Obat yang dipakai adalah finasterid (proskar) dengan dosis 1x5 mg/hari. Obat
golongan ini dapat menghambat pembentukan dehidrotestosteron sehingga prostat
yang membesar dapat mengecil. Namun obat ini bekerja lebih lambat daripada
golongan alpha blocker dan manfaatnya hanya jelas pada prostat yang sangat besar.
Salah satu efek samping obat ini adalah melemahkan libido dan ginekomastia.

Fitoterapi
Merupakan terapi alternatif yang berasal dari tumbuhan. Fitoterapi yang
digunakan untuk pengobatan BPH adalah Serenoa repens atau Saw Palmetto dan
Pumpkin Seeds. Keduanya, terutama Serenoa repens semakin diterima pemakaiannya
dalam upaya pengendalian prostatisme BPH dalam konteks watchfull waiting
strategy.
Saw Palmetto menunjukkan perbaikan klinis dalam hal:
frekuensi nokturia berkurang
aliran kencing bertambah lancar
volume residu di kandung kencing berkurang
gejala kurang enak dalam mekanisme urinaria berkurang.
Mekanisme kerja obat diduga kuat:
menghambat aktivitas enzim 5 alpha reduktase dan memblokir reseptor androgen

bersifat antiinflamasi dan anti oedema dengan cara menghambat aktivitas enzim

cyclooxygenase dan 5 lipoxygenase.

Terapi Operatif
Tindakan operasi ditujukan pada hiperplasi prostat yang sudah menimbulkan penyulit
tertentu, antara lain: retensi urin, batu saluran kemih, hematuri, infeksi saluran kemih,
kelainan pada saluran kemih bagian atas, atau keluhan LUTS yang tidak menunjukkan
perbaikan setelah menjalani pengobatan medikamentosa. Tindakan operasi yang
dilakukan adalah operasi terbuka atau operasi endourologi transuretra.
1. Prostatektomi terbuka
a.1. Retropubic infravesica (Terence Millin)
Keuntungan :
Tidak ada indikasi absolut, baik untuk adenoma yang besar pada subservikal
Mortaliti rate rendah
Langsung melihat fossa prostat
Dapat untuk memperbaiki segala jenis obstruksi leher buli
Perdarahan lebih mudah dirawat
Tanpa membuka vesika sehingga pemasangan kateter tidak perlu selama bila
membuka vesika

Kerugian :
Dapat memotong pleksus santorini
Mudah berdarah
Dapat terjadi osteitis pubis
Tidak bisa untuk BPH dengan penyulit intravesikal
Tidak dapat dipakai kalau diperlukan tindakan lain yang harus dikerjakan dari
dalam vesika
Komplikasi : perdarahan, infeksi, osteitis pubis, trombosis

a.2. Suprapubic Transvesica/TVP (Freeyer)


Keuntungan :
Baik untuk kelenjar besar
Banyak dikerjakan untuk semua jenis pembesaran prostat
Operasi banyak dipergunakan pada hiperplasia prostat dengan penyulit : batu
buli, batu ureter distal, divertikel, uretrokel, adanya sistostomi, retropubik sulit
karena kelainan os pubis, kerusakan sphingter eksterna minimal.

Kerugian :
Memerlukan pemakain kateter lebih lama sampai luka pada dinding vesica
sembuh
Sulit pada orang gemuk
Sulit untuk kontrol perdarahan
Merusak mukosa kulit
Mortality rate 1 -5 %

Komplikasi :
Striktura post operasi (uretra anterior 2 5 %, bladder neckstenosis 4%)
Inkontinensia (<1%)
Perdarahan
Epididimo orchitis
Recurent (10 20%)
Carcinoma
Ejakulasi retrograde
Impotensi
Fimosis
Deep venous trombosis

a.3. Transperineal
Keuntungan :
Dapat langssung pada fossa prostat
Pembuluh darah tampak lebih jelas
Mudah untuk pinggul sempit
Langsung biopsi untuk karsinoma

Kerugian :
Impotensi
Inkontinensia
Bisa terkena rektum
Perdarahan hebat

Merusak diagframa urogenital

b. Prostatektomi Endourologi
b.1. Trans Urethral Resection of the Prostate (TURP)
Yaitu reseksi endoskopik malalui uretra. Jaringan yang direseksi hampir
seluruhnya terdiri dari jaringan kelenjar sentralis. Jaringan perifer ditinggalkan
bersama kapsulnya. Metode ini cukup aman, efektif dan berhasil guna, bisa terjadi
ejakulasi retrograd dan pada sebagaian kecil dapat mengalami impotensi. Hasil
terbaik diperoleh pasien yang sungguh membutuhkan tindakan bedah. Untuk
keperluan tersebut, evaluasi urodinamik sangat berguna untuk membedakan
pasien dengan obstruksi dari pasien non-obstruksi. Evaluasi ini berperan selektif
dalam penentuan perlu tidaknya dilakukan TUR.
Saat ini tindakan TUR P merupakan tindakan operasi paling banyak
dikerjakan di seluruh dunia. Reseksi kelenjar prostat dilakukan trans-uretra
dengan mempergunakan cairan irigan (pembilas) agar supaya daerah yang akan
direseksi tetap terang dan tidak tertutup oleh darah. Cairan yang dipergunakan
adalah berupa larutan non ionik, yang dimaksudkan agar tidak terjadi hantaran
listrik pada saat operasi. Cairan yang sering dipakai dan harganya cukup murah
adalah H2O steril (aquades).
Salah satu kerugian dari aquades adalah sifatnya yang hipotonik sehingga
cairan ini dapat masuk ke sirkulasi sistemik melalui pembuluh darah vena yang
terbuka pada saat reseksi. Kelebihan air dapat menyebabkan terjadinya
hiponatremia relatif atau gejala intoksikasi air atau dikenal dengan sindroma TUR
P. Sindroma ini ditandai dengan pasien yang mulai gelisah, kesadaran somnolen,
tekanan darah meningkat, dan terdapat bradikardi.
Jika tidak segera diatasi, pasien akan mengalami edema otak yang akhirnya
jatuh dalam keadaan koma dan meninggal. Angka mortalitas sindroma TURP ini
adalah sebesar 0,99%. Karena itu untuk mengurangi timbulnya sindroma TUR P
dipakai cairan non ionik yang lain tetapi harganya lebih mahal daripada aquades,
antara lain adalah cairan glisin, membatasi jangka waktu operasi tidak melebihi 1
jam, dan memasang sistostomi suprapubik untuk mengurangi tekanan air pada
buli-buli selama reseksi prostat.

Keuntungan :
Luka incisi tidak ada
Lama perawatan lebih pendek
Morbiditas dan mortalitas rendah
Prostat fibrous mudah diangkat
Perdarahan mudah dilihat dan dikontrol

Kerugian :
Teknik sulit
Resiko merusak uretra
Intoksikasi cairan
Trauma sphingter eksterna dan trigonum
Tidak dianjurkan untuk BPH yang besar
Alat mahal
Ketrampilan khusus

Komplikasi:
Selama operasi: perdarahan, sindrom TURP, dan perforasi
Pasca bedah dini: perdarahan, infeksi lokal atau sistemik
Pasca bedah lanjut: inkontinensia, disfungsi ereksi, ejakulasi retrograd, dan
striktura uretra.

b.2. Trans Urethral Incision of Prostate (TUIP)


Metode ini di indikasikan untuk pasien dengan gejala obstruktif, tetapi ukuran
prostatnya mendekati normal.Pada hiperplasia prostat yang tidak begitu besar dan
pada pasien yang umurnya masih muda umumnya dilakukan metode tersebut atau
incisi leher buli-buli atau bladder neck incision (BNI) pada jam 5 dan 7. Terapi ini
juga dilakukan secara endoskopik yaitu dengan menyayat memakai alat seperti
yangg dipakai pada TUR P tetapi memakai alat pemotong yang menyerupai alat
penggaruk, sayatan dimulai dari dekat muara ureter sampai dekat ke
verumontanum dan harus cukup dalam sampai tampak kapsul prostat.
Kelebihan dari metode ini adalah lebih cepat daripada TUR dan menurunnya
kejadian ejakulasi retrograde dibandingkan dengan cara TUR.

b.3. Trans Urethral Laser of the Prostate (Laser prostatectomy)


Oleh karena cara operatif (operasi terbuka atau TUR P) untuk mengangkat
prostat yang membesar merupakan operasi yang berdarah, sedang pengobatan
dengan TUMT dan TURF belum dapat memberikan hasil yang sebaik dengan
operasi maka dicoba cara operasi yang dapat dilakukan hampir tanpa perdarahan.
Waktu yang diperlukan untuk melaser prostat biasanya sekitar 2-4 menit untuk
masing-masing lobus prostat (lobus lateralis kanan, kiri dan medius). Pada waktu
ablasi akan ditemukan pop corn effect sehingga tampak melalui sistoskop terjadi
ablasi pada permukaan prostat, sehingga uretra pars prostatika akan segera
menjadi lebih lebar, yang kemudian masih akan diikuti efek ablasi ikutan yang
akan menyebabkan laser nekrosis lebih dalam setelah 4-24 minggu sehingga
hasil akhir nanti akan terjadi rongga didalam prostat menyerupai rongga yang
terjadi sehabis TUR.
Keuntungan bedah laser ialah :
Tidak menyebabkan perdarahan sehingga tidak mungkin terjadi
retensi akibat bekuan darah dan tidak memerlukan transfusi
Teknik lebih sederhana
Waktu operasi lebih cepat
Lama tinggal di rumah sakit lebih singkat
Tidak memerlukan terapi antikoagulan
Resiko impotensi tidak ada
Resiko ejakulasi retrograd minimal

Kerugian :
Penggunaan laser ini masih memerlukan anestesi (regional).

3. Invasif Minimal
1. Trans Urethral Microwave Thermotherapy (TUMT)
Cara memanaskan prostat sampai 44,5C 47C ini mulai diperkenalkan
dalam tiga tahun terakhir ini. Dikatakan dengan memanaskan kelenjar periuretral
yang membesar ini dengan gelombang mikro (microwave) yaitu dengan gelombang
ultarasonik atau gelombang radio kapasitif akan terjadi vakuolisasi dan nekrosis
jaringan prostat, selain itu juga akan menurunkan tonus otot polos dan kapsul
prostat sehingga tekanan uretra menurun sehingga obstruksi berkurang. lanjut
mengenai cara kerja dasar klinikal, efektifitasnya serta side efek yang mungkin
timbul.
Cara kerja TUMT ialah antene yang berada pada kateter dapat memancarkan
microwave kedalam jaringan prostat. Oleh karena temperatur pada antene akan
tinggi maka perlu dilengkapi dengan surface costing agar tidak merusak mucosa
ureter. Dengan proses pendindingan ini memang mucosa tidak rusak tetapi penetrasi
juga berkurang.
Cara TURF (trans Uretral Radio Capacitive Frequency) memancarkan
gelombang radio frequency yang panjang gelombangnya lebih besar daripada
tebalnya prostat juga arah dari gelombang radio frequency dapat diarahkan oleh
elektrode yang ditempel diluar (pada pangkal paha) sehingga efek panasnya dapat
menetrasi sampai lapisan yang dalam. Keuntungan lain oleh karena kateter yang
ada alat pemanasnya mempunyai lumen sehingga pemanasan bisa lebih lama, dan
selama pemanasan urine tetap dapat mengalir keluar.

2. Trans Urethral Ballon Dilatation (TUBD)


Dilatasi uretra pars prostatika dengan balon ini mula-mula dikerjakan
dengan jalan melakukan commisurotomi prostat pada jam 12.00 dengan jalan
melalui operasi terbuka (transvesikal).
Prostat di tekan menjadi dehidrasi sehingga lumen uretra melebar. Mekanismenya :
1. Kapsul prostat diregangkan
2. Tonus otot polos prostat dihilangkan dengan penekanan tersebut
3. Reseptor alpha adrenergic pada leher vesika dan uretra pars prostatika dirusak

3. Trans Urethral Needle Ablation (TUNA)


Yaitu dengan menggunakan gelombang radio frekuensi tinggi untuk
menghasilkan ablasi termal pada prostat. Cara ini mempunyai prospek yang baik
guna mencapai tujuan untuk menghasilkan prosedur dengan perdarahan minimal,
tidak invasif dan mekanisme ejakulasi dapat dipertahankan.

4. Stent Urethra
Pada hakekatnya cara ini sama dengan memasang kateter uretra, hanya saja
kateter tersebut dipasang pada uretra pars prostatika. Bentuk stent ada yang spiral
dibuat dari logam bercampur emas yang dipasang diujung kateter (Prostacath).
Stents ini digunakan sebagai protesis indwelling permanen yang ditempatkan dengan
bantuan endoskopi atau bimbingan pencitraan. Untuk memasangnya, panjang uretra
pars prostatika diukur dengan USG dan kemudian dipilih alat yang panjangnya
sesuai, lalu alat tersebut dimasukkan dengan kateter pendorong dan bila letak sudah
benar di uretra pars prostatika maka spiral tersebut dapat dilepas dari kateter
pendorong. Pemasangan stent ini merupakan cara mengatasi obstruksi infravesikal
yang juga kurang invasif, yang merupakan alternatif sementara apabila kondisi
penderita belum memungkinkan untuk mendapatkan terapi yang lebih invasif.

Anda mungkin juga menyukai