Anda di halaman 1dari 38

MAY

29

FARMAKOKINETIK DAN FARMAKODINAMIK

1. Farmakokinetik

Farmakokinetik atau kinetika obat adalah nasib obat dalam tubuh atau
efek tubuh terhadap obat. Farmakokinetik mencakup 4 proses, yaitu proses
absorpsi (A), distribusi (D), metabolisme (M), dan ekskresi (E). Metabolisme
atau biotransformasi dan ekskresi bentuk utuh atau bentuk aktif merupakan
proses eliminasi obat(Gunawan, 2009).

1.1 Absorpsi
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke
dalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat
adalah saluran cerna (mulut sampai rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Yang
terpenting adalah cara pemberian obat per oral, dengan cara ini tempat absorpsi
utama adalah usus halus karena memiliki permukaan absorpsi yang sangat
luas, yakni 200 meter persegi (panjang 280 cm, diameter 4 cm, disertai
dengan vili dan mikrovili ) (Gunawan, 2009).
Absorpsi obat meliputi proses obat dari saat dimasukkan ke dalam tubuh,
melalui jalurnya hingga masuk kedalam sirkulasi sistemik. Pada level seluler,
obat diabsorpsi melalui beberapa metode, terutama transport aktif dantransport
pasif.
Gambar 1. 1 Proses Absorbsi Obat
a. Metode absorpsi
- Transport pasif
Transport pasif tidak memerlukan energi, sebab hanya dengan proses difusi obat dapat
berpindah dari daerah dengan kadar konsentrasi tinggi ke daerah dengan konsentrasi
rendah. Transport aktif terjadi selama molekul-molekul kecil dapat berdifusi sepanjang
membrane dan berhenti bila konsentrasi pada kedua sisi membrane seimbang.
- Transport Aktif
Transport aktif membutuhkan energy untuk menggerakkan obat dari daerah dengan
konsentrasi obat rendah ke daerah dengan konsentrasi obat tinggi
b. Kecepatan Absorpsi
Apabila pembatas antara obat aktif dan sirkulasi sitemik hanya sedikit sel. Absorpsi
terjadi cepat dan obat segera mencapai level pengobatan dalam tubuh.
- Detik s/d menit: SL, IV, inhalasi
- Lebih lambat: oral, IM, topical kulit, lapisan intestinal, otot
- Lambat sekali, berjam-jam / berhari-hari: per rektal/ sustained frelease.
c. Faktor yang mempengaruhi penyerapan
1. Aliran darah ke tempat absorpsi
2. Total luas permukaan yang tersedia sebagai tempat absorpsi
3. Waktu kontak permukaan absorpsi
d. Kecepatan Absorpsi
1. Diperlambat oleh nyeri dan stress
Nyeri dan stress mengurangi aliran darah, mengurangi pergerakan saluran cerna, retensi
gaster
2. Makanan tinggi lemak
Makanan tinggi lemak dan padat akan menghambat pengosongan lambung dan
memperlambat waktu absorpsi obat
3. Faktor bentuk obat
Absorpsi dipengaruhi formulasi obat: tablet, kapsul, cairan, sustained release, dll)
4. Kombinasi dengan obat lain
Interaksi satu obat dengan obat lain dapat meningkatkan atau memperlambat tergantung
jenis obat

Obat yang diserap oleh usus halus ditransport ke hepar sebelum beredar ke
seluruh tubuh. Hepar memetabolisme banyak obat sebelum masuk ke sirkulasi. Hal ini
yang disebut dengan efek first-pass. Metabolisme hepar dapat menyebabkan obat
menjadi inaktif sehingga menurunkan jumlah obat yang sampai ke sirkulasi sistemik,
jadi dosis obat yang diberikan harus banyak.

1.2 Distribusi

Distribusi obat adalah proses obat dihantarkan dari sirkulasi sistemik ke j


aringan dan cairan tubuh.
Distribusi obat yang telah diabsorpsi tergantung beberapa faktor:
a. Aliran darah
Setelah obat sampai ke aliran darah,
segera terdistribusi ke organ berdasarkan jumlah aliran darahnya. Organ
denganaliran darah terbesar adalah Jantung, Hepar, Ginjal. Sedangkan
distribusi ke organ lain seperti kulit, lemak dan ototlebih lambat

b. Permeabilitas kapiler

Tergantung pada struktur kapiler dan struktur obat

c. Ikatan protein
Obat yang beredar di seluruh tubuh dan berkontak dengan protein dapat terikat atau
bebas. Obat yang terikat protein tidak aktif dan tidak dapat bekerja. Hanya obat bebas
yang dapat memberikan efek. Obat dikatakan berikatan protein tinggi bila >80% obat
terikat protein
1.3 Metabolisme
Metabolisme/biotransformasi obat adalah proses tubuh merubah komposisi obat
sehingga menjadi lebih larut air untuk dapat dibuang keluar tubuh.
Obat dapat dimetabolisme melalui beberapa cara:
a. Menjadi metabolit inaktif kemudian diekskresikan;
b. Menjadi metabolit aktif, memiliki kerja farmakologi tersendiri dfan bisa dimetabolisme
lanjutan.
Beberapa obat diberikan dalam bentuk tidak aktif kemudian setelah
dimetabolisme baru menjadi aktif (prodrugs).
Metabolisme obat terutama terjadi di hati, yakni di membran endoplasmic
reticulum (mikrosom) dan di cytosol. Tempat metabolisme yang lain
(ekstrahepatik) adalah : dinding usus, ginjal, paru, darah, otak, dan kulit, juga di
lumen kolon (oleh flora usus).
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut
lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau
empedu. Dengan perubahan ini obat aktif umunya diubah menjadi inaktif, tapi
sebagian berubah menjadi lebih aktif, kurang aktif, atau menjadi toksik.
Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme:
1. Kondisi Khusus
Beberapa penyakit tertentu dapat mengurangi metabolisme, al. penyakit hepar seperti
sirosis.
2. Pengaruh Gen
Perbedaan gen individual menyebabkan beberapa orang dapat memetabolisme obat
dengan cepat, sementara yang lain lambat.
3. Pengaruh Lingkungan
Lingkungan juga dapat mempengaruhi metabolisme, contohnya: Rokok, Keadaan stress,
Penyakit lama, Operasi, Cedera
4. Usia
Perubahan umur dapat mempengaruhi metabolisme, bayi vs dewasa vs orang tua.

1.4 Ekskresi
Ekskresi obat artinya eliminasi/pembuangan obat dari tubuh. Sebagian besar obat
dibuang dari tubuh oleh ginjal dan melalui urin. Obat jugadapat dibuang melalui paru-
paru, eksokrin (keringat, ludah, payudara), kulit dan taraktusintestinal.
Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat diekskresi
melalui ginjal dalam bentuk utuh maupun bentuk metabolitnya. Ekskresi dalam
bentuk utuh atau bentuk aktif merupakan cara eliminasi obat melui ginjal.
Ekskresi melalui ginjal melibatkan 3 proses, yakni filtrasi glomerulus, sekresi
aktif di tubulus. Fungsi ginjal mengalami kematangan pada usia 6-12 bulan, dan
setelah dewasa menurun 1% per tahun. Ekskresi obat yang kedua penting
adalah melalui empedu ke dalam usus dan keluar bersama feses. Ekskresi
melalui paru terutama untuk eliminasi gas anastetik umum (Gunawan, 2009).
Hal-hal lain terkait Farmakokinetik:
a. Waktu Paruh
Waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan sehingga setengah dari obat dibuang dari
tubuh. Faktor yang mempengaruhi waktu paruh adalah absorpsi, metabolism dan
ekskresi.
Waktu paruh penting diketahui untuk menetapkan berapa sering obat harus diberikan.
b. Onset, puncak, and durasi
Onset adalah Waktu dari saat obat diberikan hingga obat terasa kerjanya. Sangat
tergantung rute pemberian dan farmakokinetik obat
Puncak, Setelah tubuh menyerap semakin banyak obat maka konsentrasinya di dalam
tubuh semakin meningkat, Namun konsentrasi puncak~ puncak respon
Durasi, Durasi kerjaadalah lama obat menghasilkan suatu efek terapi

2. Farmakodinamik

Farmakodinamik adalah subdisiplin farmakologi yang mempelajari


efek biokimiawi dan fisiologi obat, serta mekanisme kerjanya. Tujuan
mempelajari farmakodinamik adalah untuk meneliti efek utama obat,
mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa
serta spektrum efek dan respons yang terjadi (Gunawan, 2009).

2.2 Mekanisme Kerja Obat


kebanyakan obat menimbulkan efek melalui interaksi dengan reseptornya
pada sel organism. Interaksi obat dengan reseptornya dapat
menimbulkan perubahan dan biokimiawi yang merupakan respon khas
dari obat tersebut. Obat yang efeknya menyerupai senyawa endogen di
sebut agonis, obat yang tidak mempunyai aktifitas intrinsic sehingga
menimbulkan efek dengan menghambat kerja suatu agonis disebut
antagonis.
2.3 Reseptor Obat
protein merupakan reseptor obat yang paling penting. Asam nukleat juga
dapat merupakan reseptor obat yang penting, misalnya untuk sitotastik.
Ikatan obat-reseptor dapat berupa ikatan ion, hydrogen, hidrofobik,
vanderwalls, atau kovalen. Perubahan kecil dalam molekul obat, misalnya
perubahan stereoisomer dapat menimbulkan perubahan besar dalam
sifat farmakologinya.

2.4 Transmisi Sinyal Biologis


penghantaran sinyal biologis adalah proses yang menyebabkan suatu
substansi ekstraseluler yang menimbulkan respon seluler fisiologis yang
spesifik. Reseptor yang terdapat di permukaan sel terdiri atas reseptor
dalam bentuk enzim. Reseptor tidak hanya berfungsi dalam pengaturan
fisiologis dan biokimia, tetapi juga diatur atau dipengaruhi oleh
mekanisme homeostatic lain. Bila suatu sel di rangsang oleh agonisnya
secara terus-menerus maka akan terjadi desentisasi yang menyebabkan
efek perangsangan.

2.5 Interaksi Obat-Reseptor


ikatan antara obat dengan resptor biasanya terdiri dari berbagai ikatan
lemah (ikatan ion, hydrogen, hidrofilik, van der Waals), mirip ikatan
antara subtract dengan enzim, jarang terjadi ikatan kovalen.

2.6 Antagonisme Farmakodinamik


a. Antagonis fisiologik
Terjadi pada organ yang sama tetapi pada sistem reseptor yang
berlainan.
b. Antagonisme pada reseptor
Obat yang menduduki reseptor yang sama tetapi tidak mampu
menimbulkan efek farmakologi secara instrinsik

2.7 Kerja Obat Yang Tidak Diperantarai Reseptor


a. Efek Nonspesifik Dan Gangguan Pada Membran
b. Perubahan sifat osmotic
c. Diuretic osmotic (urea, manitol), misalnya, meningkatkan osmolaritas filtrate
glomerulus sehingga mengurangi reabsorpsi air di tubuli ginjal dengan akibat terjadi
efek diuretic
d. Perubahan sifat asam/basa
Kerja ini diperlihatkan oleh oleh antacid dalam menetralkan asam lambung.
e. Kerusakan nonspesifik
Zat perusak nonspesifik digunakan sebagai antiseptik dan disinfektan, dan
kontrasepsi.contohnya, detergen merusak intregitas membrane lipoprotein.
f. Gangguan fungsi membrane
Anestetik umum yang mudah menguap misalnya eter,, halotan, enfluran, dan
metoksifluran bekerja dengan melarut dalam lemak membrane sel di SSP sehingga
eksitabilitasnya menurun.
g. Interaksi Dengan Molekul Kecil Atau Ion
Kerja ini diperlihatkan oleh kelator (chelating agents) misalnya CaNa2 EDTA yang
mengikat Pb2+ bebas menjadi kelat yang inaktif pada keracunan Pb.
h. Masuk ke dalam komponen sel
Obat yang merupakan analog puri atau pirimidin dapat berinkoporasi ke
dalam asam nukleat
sehingga mengganggu fungsinya. Obat yang bekerja seperti ini disebut
antimetabolit misalnya
6-merkaptopurin atau anti mikroba lain.

Daftar Pustaka

Gunawan, Gan Sulistia. 2009. Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Diposkan 29th May 2012 oleh ARIF HIDAYATULLAH

0
Tambahkan komentar
Young Nurse 2010

Klasik

Kartu Lipat

Majalah

Mozaik

Bilah Sisi

Cuplikan

Kronologis
1.
JUN

Konsep Kolestasis Neonatus


KONSEP MATERI

1. Pengertian

Mitchel (2008:529) menjelaskan kolestasis neonatal merupakan istilah


nonspesifik untuk kelainan hati dengan banyak etiologi yang mungkin
terdapat pada neonatus. Pada 50% kasus tidak terdapat penyebab yang
bisa diidentifikasi. Pasien penyakit ini ditemukan dengan
hiperbilirubinemin terkonjugasi yang lama (kolestasis neonatal),
hepatomegali dan disfungsi hati dengan derajat yang bervariasi
(misalnya hipoprotrombinemia).

Behrman (1999:1392) mendefinisikan kolestasis neonatus adalah


sebagai peningkatan kadar bilirubin terkonjugasi yang berkepanjangan
dalam serum sesudah umur 14 hari pertama. Kolestasis pada bayi baru
lahir mungkin karena infeksi, genetik, metabolik, atau kelainan yang tidak
ditegaskan yang meningkat karena obstruksi mekanik aliran empedu atau
gangguan fungsional dari fungsi ekskresi hati dan sekresi empedu.

2. Epidemiologi

Arief (2012), Kolestasis pada bayi terjadi pada 1:25000 kelahiran


hidup. Insiden hepatitis neonatal 1:5000 kelahiran hidup, atresia bilier
1:10000-1:13000, defisiensi -1 antitripsin 1:20000. Rasio atresia bilier
pada anak perempuan dan anak laki-laki adalah 2:1, sedang pada
hepatitis neonatal, rasionya terbalik. Di Instalasi Rawat Inap Anak RSU Dr.
Sutomo Surabaya antara tahun 1999-2004 dari 19270 penderita rawat
inap, didapat 96 penderita dengan neonatal kolestasis. Neonatal hepatitis
68 (70,8%), atresia bilier 9 (9,4%), kista duktus koledukus 5 (5,2%), kista
hati 1 (1,04%), dan sindroma inspissated-bile 1 (1,04%).

3. Tanda dan gejala

Tanpa memandang etiologinya, gejala dan tanda klinis utama


kolestasis neonatal adalah ikterus, tinja akolok dan urin yang berwarna
gelap, namun tidak ada satupun gejala atau tanda klinis yang
patognomonik untuk atresia bilier. Keadaan umum bayi biasanya baik.
Ikterus bisa terlihat sejak lahir atau tampak jelas pada minggu ke 3 s/d 5.
Kolestasis ekstrahepatikhampir selalu menyebabkan tinja yang akolik.
Berkurangnya empedu dalam usus juga menyebabkan berkurangnya
penyerapan kalsium dan vitamin D akan menyebabkan pengeroposan
tulang, yang menyebabkan rasa nyeri di tulang dan patah tulang. Juga
terjadi gangguan penyerapan dari bahanbahan yang diperlukan untuk
pembekuan darah. Terdapatnya empedu dalam sirkulasi darah bisa
menyebabkan gatal-gatal (disertai penggarukan dan kerusakan kulit).
Jaundice yang menetap lama sebagai akibat dari kolestasis,
menyebabkan kulit berwarna gelap dan di dalam kulit terdapat endapan
kuningkarena lemak. Gejala lainnya tergantung dari penyebab kolestasis,
bisa berupa nyeri perut, hilangnya nafsu makan, muntah atau demam.

4. Etiologi
Arief (2012) menyatakan untuk tujuan diagnosis dan pengobatan,
penyebab kolestasis dibagi menjadi 2 kelompok:

1. Berasal dari hati

a. Hepatitis
b. Penyakit hati alkoholik
c. Sirosis bilier primer
d. Akibat obat-obatan
e. Akibat perubahan hormon selama kehamilan (kolestasis pada kehamilan)

2. Berasal dari luar hati

a. Batu di saluran empedu


b. Penyempitan saluran empedu
c. Kanker saluran empedu
d. Kanker pankreas
e. Peradangan pankreas

4 Kriteria Kolestasis

Kriteria Ekstrahepatik Intrahepatik

Warna tinja

pucat 79 % 26%

kuning 21% 74%

Berat lahir (g) 3226 45 2678 65

Usia saat tinja dempul 16 1,5 30 2


(hari)
2 minggu 1 bulan

Gambaran hati

Normal 13 % 47 %

Hepatomegali

Konsistensi normal 12 35
Konsistensi padat 63 47

Konsistensi keras 24 6

Sumber: Behrman (1999).

5. Patofisiologi

Mekanisme patogenesis yang paling penting adaah jejas hati akibat


virus atau penyakit hati metabolik. Ada contoh model untuk masing-
masing kemungkinan mekanisme ini. Sebagai contoh penyakit hati
metabolik yang disebabkan oleh kesalahan bawaan (inborn
error) metabolisme asam empedu yang disertai dengan akumulasi asam
empedu primitif toksik dan kegagalan membuat asam empedu koleretik
dan asam empedu trofik normal. Manifestasi klinis dan histologis tidak
spesifik dan sama dengan manifestasi yang terdapat pada jejas
hepatobiliaris neonatus yang lain. Mekanisme autoimun dapat
menimbulkan beberapa bentuk jejas hati neonatus (Behrman,
1999:1392).

6. Komplikasi dan Prognosis


a. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi dari kolestasis neonatus ini adalah
hiperlipidemia/xantelasma dan gagal hati.
b. Prognosis
Keberhasilan portoenterostomi ditentukan oleh usia anak saat dioperasi,
gambaran histologik porta hepatis, kejadian penyulit kolangitis, dan
pengalaman ahli bedahnya sendiri. Bila operasi dilakukan pada usia < 8
minggu maka angka keberhasilannya 71-86%, sedangkan bila operasi
dilakukan pada usia > 8 minggu maka angka keberhasilannya hanya 34-
43,6%. Sedangkan bila operasi tidak dilakukan, maka angka keberhasilan
hidup 3 tahun hanya 10% dan meninggal rata-rata pada usia 12 bulan.
Anak termuda yang mengalami operasi Kasai berusia 76 jam. Jadi faktor-
faktor yang mempengaruhi kegagalan operasi adalah usia saat dilakukan
operasi > 60 hari, adanya gambaran sirosis pada sediaan histologik had,
tidak adanya duktus bilier ekstrahepatik yang paten, dan bila terjadi
penyulit hipertensi portal.

7. Pencegahan
Kolestasis neonatus dapat dicegah dan dihentikan dengan :

1. pengawasan antenatal yang baik


2. menghindari obat yang dapat meningkatan ikterus pada bayi pada masa
kehamilan dan kelahiran, misalnya sulfafurazole,novobiosin,oksitosin dan
lan-lain
3. pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus
4. penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus
5. imunisasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir
6. pemberian makanan yang dini
7. pencegahan infeksi

8. Pengobatan

Pengobatan paling rasional untuk kolestasis adalah perbaikan aliran


empedu ke dalam usus. Pada prinsipnya ada beberapa hal pokok yang menjadi
pedoman dalam penatalaksanaannya, yaitu:
1. Sedapat mungkin mengadakan perbaikan terhadap adanya gangguan aliran
empedu
2. Mengobati komplikasi yang telah terjadi akibat adanya kolestasis
3. Memantau sedapat mungkin untuk mencegah kemungkinan terjadinya keadaan
fatal yang dapat mengganggu proses regenerasi hepar
4. Melakukan usaha-usaha yang dapat mencegah terjadinya gangguan
pertumbuhan
5. Sedapat mungkin menghindari segala bahan/keadaan yang dapat
mengganggu/merusak hepar
Adapun juga pengobatan laiinya yaitu:
1. Terapi medikamentosa yang bertujuan untuk :
a. Memperbaiki aliran bahan-bahan yang dihasilkan oleh hati terutama
asam empedu (asam litokolat), dengan memberikan Fenobarbital 5
mg/kg/BB/hari dibagi 2 dosis per oral. Fenobarbital akan merangsang
enzim glukuronil transferase (untuk mengubah bilirubin indirect menjadi
bilirubin direct); enzim sitokrom P-450 (untuk oksigenisasi toksin), enzim
Kolestiramin 1 gr/kg/BB/hari dibagi 6 dosis atau sesuai jadwal pemberian
susu. Kolestiramin memotong siklus enterohepatik asam empedu
sekunder.
b. Melindungi hati dari zat toksik, dengan memberikan asam
unsodeoksikolat, 3 10 mg/kg/BB/hari dibagi 3 dosis per oral. Asam
unsedeoksikolat mempunyai daya ikat kompetitif terhadap asam litokolat
yang hepatotoksik.
2. Terapi nutrisi, yang bertujuan untuk memungkinkan anak tumbuh dan
berkembang seoptimal mungkin, yaitu :
a. Pemberian makanan yang mengandung medium chain tri-glycerides
(MCT) untuk mengatasi malabsorpi lemak.
b. Penatalaksanaan defisiensi vitamin yang larut dalam lemak.
3. Terapi bedah

Bila semua pemeriksaan yang diperlukan untuk menegakkan


diagnosis atresia bilier hasilnya meragukan, maka Fitzgerald
menganjurkan laparatomi eksplorasi pada keadaan sebagai berikut : Bila
feses tetap akolik dengan bilirubin direct > 4 mg/dl atau terus meningkat,
meskipun telah diberikan fenobarbital atau telah dilakukan uji prednison
selama 5 hari.

9. Pathway

Berat bayi lahir rendah, riwayat keluarga, tinja kuning


Terjadi inflamasi, obstruksi, gangguan metabolik, dan iskemia pada

hati

penurunan aliran empedu dan hiperbilirubinemi terkonjugasi

Kelebihan bilirubin dalam darah

kulit dan selaput lendir

tampak kekuning-kuningan

penurunan aliran

empedu ke usus

hepar tidak mampu mengubah

bilirubin tak terkonjugasi

menjadi bilirubin

terkonjugasi

konsentrasi asam empedu

intraluminal turun
peningkatan bilirubin

diare dan kalsium turun

kulit sangat gatal (pruritus)

Kekurangan Volume Cairan

defisiensi vitamin

larut lemak

Kerusakan Integritas Kulit

malnutrisi hambatan pertumbuhan

Ketidakseimbangan Nutrisi

Kurang dari Kebutuhan Tubuh


ASUHAN KEPERAWATAN

1. Pengkajian keperawatan

1. Anamnesa
a) Data biologis meliputi:
- Identitas klien, biodata umur, pekerjaan, pendidikan, alamat
b) Identitas penanggung
c) Data subjektif
- bagaimana nafsu makan klien
- berapa kali makan dalam sehari
- banyaknya makan dalam satu kali makan
- apakah ada mual muntah
- bagaimana pola eliminasinya
- apakah ada anoreksia
- apakah ada rasa nyeri pada daerah hepar
- apakah ada gatal-gatal pada seluruh tubuh (pruritus)
- bagaimanakah warna fesesnya
- bagaimanakah warna urinnya
d) Data Objektif
- bagaimana nafsu makan klien
- berapa kali makan dalam sehari
- banyaknya makan dalam satu kali makan
- apakah ada mual muntah
- bagaimana pola eliminasinya
- apakah ada anoreksia
- apakah ada rasa nyeri pada daerah hepar
- apakah ada gatal-gatal pada seluruh tubuh (pruritus)
- bagaimanakah warna fesesnya
- bagaimanakah warna urinnya
e) Riwayat kesehatan
- Riwayat kesehatan dahulu
Apakah ada tanda-tanda infeksi dahulu pada ibu, apakah ibu pernah
mengkonsumsi obat-obatan yang dapat meningkatkan ikterus pada bayi.
f) Riwayat kesehatan sekarang
Pada umumnya bayi masuk rumah sakit dengan keluhan tubuh bayi
berwarna kuning dan ada rasa gatal-gatal dari tubuh bayi.
g) Riwayat keluarga
Adanya riwayat keluarga yang menderita kolestasis, maka kemungkinan
besar merupakan suatu kelainan genetik/metabolik.
2. Pengkajian fisik
Meliputi pengkajian komposisi keluarga, lingkungan rumah dan
komunitas, pendidikan dan pekerjaan anggota keluarga, fungsi dan
hubungan anggota keluarga, kultur dan kepercayaan, perilaku yang dapat
mempengaruhi kesehatan, persepsi keluarga tentang penyakit klien dan
lain-lain. Pengkajian secara umum dilakukan dengan metode head to toe
yang meliputi: keadaan umum dan status kesadaran, tanda-tanda vital,
area kepala dan wajah, dada, abdomen, eksteremitas, dan genita-
urinaria.
Pemeriksaan fisik abdomen antaralain:
a) Inspeksi
- lihat keadaan klien apakah kurus, ada edema pada muka atau kaki
- lihat warna rambut, kering dan mudah dicabut
- mata cekung dan pucat
- lihat warna kulit pasien ada warna kuning atau tidak
- lihat seluruh tubuh pasien ada bekas garukan karena gatal-gatal atau tidak
b) Auskultasi
- dengar denyut jantung apakah terdengar bunyi S1, S2, S3 serta S4
- dengarkan bunyi peristaltik usus
- bunyi paru paru terutama weezing dan ronchi
c) Perkusi
- perut apakah terdengar adanya shitting duilnees
- bagaimana bunyinya pada waktu melakukan perkusi
d)Palpasi
- Hati
bagaimana konsistensinya, kenyal, licin dan tajam pada permukaannya,
berapa besarnya dan apakah ada nyeri tekan
- limpa : apakah terjadi pembesaran limpa
- tungkai : apakah ada pembesaran pada tungkai

2. Diagnosa keperawatan

a. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan perubahan kondisi


metabolik dan perubahan pigmentasi
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake nutrisi inadequat
c. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume
cairan aktif (diare)

3. Perencanaan keperawatan

a. Diagnosa 1
Intervensi:
- Kaji adanya rasa gatal pada pasien
- Kaji warna kulit pasien
- Kaji status nutrisi pasien
- Pantau status nutrisi pasien
- Kaji faktor perkembangan pasien
- Kaji suhu tubuh pasien
b. Diagnosa 2
Intervensi:
- Kaji berat badan pasien
- Kaji suara usus pasien
- Pantau suara usus pasien
- Pantau berat badan pasien
- Pantau masukan nutrisi pasien

c. Diagnosa 3
Intervensi:
- Kaji keluaran urine pasien
- Kaji keluaran feses pasien
- Kaji warna urine pasien
- Kaji warna feses pasien
- Pantau suhu tubuh pasien
- Pantau turgor kulit pasien
- Pantau tanda-tanda vital pasien
- Pantau berat badan pasien

4. Evaluasi keperawatan

a. Diagnosa 1
S : Ibu Pasien Mengatakan Sus, Warna Kulit anak saya masih kuninh
O : Terlihat warna kulit pasien kuning
A : Masalah belum teratasi
P : Lanjutkan Intervensi
b. Diagnosa 2
S : Ibu Pasien Mengatakan Sus, berat badan anak saya menurun
O : berat badan pasien turun dari 600 gram menjadi 500 gram
A : Masalah belum teratasi
P : Lanjutkan Intervensi
c. Diagnosa 3
S : Ibu Pasien Mengatakan Sus, Kencing anak saya keluarnya sedikit
O : kencing pasien 0,1 ml
A : Masalah belum teratasi
P : Intervensi dilanjutkan

DAFTAR PUSTAKA

Arief, Sjamsul. 2012. Deteksi Dini Kolestasis Neonatal. [Serial Online]. Surabaya:
FK UNAIR. Tanggal akses 20 Mei 2012.

Baradero, Mary. 2000. Seri Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Hati. Jakarta:
EGC.

Behrman, Richard E, et al. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Volume 2. Edisi
15. Jakarta: EGC.

Mitchel, Richard N, et al. 2008. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit Robbins &
Cotran. Edisi 7. Jakarta: EGC.

Diposkan 4th June 2012 oleh ARIF HIDAYATULLAH

0
Tambahkan komentar
2.
MAY

29

konsep dasar penyakit seliak


BAB 1. KONSEP DASAR PENYAKIT

1.1 Definisi
Penyakit seliak adalah ketidakmampuan yang menetap dalam mentoleransi
makanan gandum atau gluten rye(gandum hitam). Pemaparan terhadap gluten akan
mengakibatkan kelainan morfologis dan fungsional usus halus proksimal yang dapat
disembuhkan dengan pengeluaran gluten (Hull dan Johnston, 2008). Gluten adalah
sejenis protein yang terdapat pada gandum dan tepung. Sifatnya kenyal dan elastis.
Gluten mengandung komponen protein yang disebut peptida (Oetoro, 2010).
Penyakit seliak menyebabkan perubahan dalam usus halus sehingga terjadi gangguan
penyerapan nutrisi yang masuk ke tubuh sehingga menyebabkan berbagai
gangguan pada fungsi tubuh manusia (Fadhli, 2010).

1.2 Epidemiologi
Angka kejadian penyakit seliak di UK kira-kira 1 dalam 2000 orang dan
angka kejadian ini sama tingginya dengan di Irlandia Barat yaitu 1 dalam 300 orang
(Hull dan Johnston, 2008). Penyakit seliak terjadi pada 1% diantara populasi anak
dan dewasa. Pada usia dewasa, terdapat 2-3 kali lebih banyak perempuan yang
menderita seliak dibandingkan laki-laki. Penyakit ini tidak hanya dikenal di Eropa
tetapi juga di Timur Tengah, Asia, Amerika, dan Afrika. Meskipun banyak manusia
terkena penyakit ini dan angka kejadian semakin meningkat, tetapi masih banyak
terjadi underdiagnosis bahkan di salah satu negara di Eropa dilaporkan terjadi 1
penderita pada 77 orang. Di Indonesia sampai sekarang masih belum diketahui pasti
angka kejadinannya tetapi diduga angkanya tidak jauh dari 1 dibandingkan 100
(Fadhli, 2010).

1.3 Etiologi
Penyakit seliak merupakan penyakit permanen yang bersifat jangka panjang.
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap terjadinya penyakit seliak, yaitu genetik,
lingkungan, dan kepekaan terhadap gluten. Makanan yang mengandung bahan
tersebut adalah roti, biskuit, pasta, saos, dan sebagainya. Proses terjadinya kelainan
ini adalah adanya autoantibodi terhadap gluten yang dapat mengganggu permukaan
usus halus. Gangguan ini menyebabkan lapisan usus yang berjonjot-jonjot menjadi
rata. Permukaan yang rata ini kurang mampu mencerna dan menyerapan makanan
pada penderita penyakit seliak. Berbagai faktor yang dapat mempengaruhi proses
terjadinya penyakit ini diantaranya faktor genetik, faktor lingkungan, dan faktor
imunitas saluran cerna. Faktor genetik yang telah diidentifikasi adalah protein HLA-
DQ2 dan HLA-DQ8 yang merupakan produk dari gen HLA. Faktor lingkungan yang
berpengaruh adalah pemberian ASI eksklusif, pemberian diet gluten terlalu dini atau
terlalu banyak dalam pemberian diet gluten dan infeksi rotavirus saluran cerna pada
usia bayi muda. Berbagai faktor inilah yang ikut menentukan mengapa gejala klinis
pada penderita berbeda dan dangat bervariasi (Fadhli, 2010).

1.4 Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala yang ditunjukkan oleh anak dengan penyakit seliak adalah:
1. gejala tampak pada anak sebelum mencapai usia 2 tahun yaitu setelah pemberian
makanan tambahan (sekitar 4-6 bulan);
2. anak mengalami gagal tumbuh yang progresif sejak saat pengenalan makanan padat
yang mengandung gluten;
3. pubertas terlambat;
4. malabsorbsi terlihat saat saat anak mengalami gagal tumbuh dan pubertas yang
terlambat (Hull dan Johnston, 2008);
5. susah buang air besar;
6. diare;
7. perut kembung yang terasa sakit;
8. sering rewel;
9. nyeri perut
10. sulit makan;
11. sering buang angin;
12. produksi tinja yang banyak, berlemak, pucat, dan sangat berbau busuk serta bila
disiram di dalam kloset terdapat bentukan benda padat yang melayang;
13. di dalam mulut terlihat luka seperti sariawan atau disebut aphthus ulcers;
14. terdapat perubahan warna gigi atau kehilangan enamel gigi;
15. adanya karies gigi atau keropos pada gigi;
16. pada kulit terdapat bintil kemerahan yang agak nyeri dan gatal terutama di daerah
bokong, dada, atau tangan dan kaki bagian luar yang sering disebut dermatitis
herpertiformis;
17. nyeri pada otot, tulang, dan persendian atau kejang pada otot;
18. pada anak perempuan mungkin mengalami gangguan siklus menstruasi, gangguan
infertilitas atau kesulitan mempunyai anak (Fadhli, 2010);
19. saat penyapihan, penyerapan lemak akan terganggu dan sejumlah besar lemak yang
belum tercerna akan diekskresikan ke dalam feses (steatorrhoea) (Hinchliff, 1999);
20. penurunan berat badan;
21. rambut rontok;
22. depresi;
23. anemia;
24. peraeakan pendek;
25. kram otot (Gainer, 2011).

1.5 Patofisiologi
Penyakit seliak disebabkan oleh interaksi yang kompleks antara sistem
kekebalan tubuh, diet gluten, dan genetik dari individu. Respon imun terhadap gluten
dapat ditemukan dalam gandum dan gandum hitam yang dapat menyebabkan
kerusakan pada usus halus. Masuknya gluten ke dalam saluran pencernaan akan
menyebabkan reaksi autoimun (menyerang sistem kekebalan sendiri) yang merusak
lapisan pelindung dinding usus. Kerusakan ini menyebabkan lapisan usus yang
berjonjot-jonjot menjadi rata sehingga kurang mampu menyerap nutrisi makanan,
yang akhirnya berakibat pada malnutrisi. Jika alergi gluten disebabkan oleh reaksi
antibodi IgE, penyakit seliak disebabkan oleh reaksi antibodi IgA dan IgG.
Beberapa literatur menjelaskan tentang susunan genetik individu dengan
penyakit seliak. Hampir semua pasien dengan penyakit seliak memiliki gen yang
berpasangan dari antigen leukosit manusia (HLA) varian gen atau alel, HLA-DQ2
atau HLA-DQ8. Alel yang umum, muncul sekitar 40% dari populasi di Amerika
(Gainer, 2011).

1.6 Komplikasi dan Prognosis


Gangguan utama dalam penyakit ini adalah gangguan penyerapan nutrisi
tubuh, maka gangguan yang dapat terjadi addalah anemia (kekurangan zat besi),
kadar protein darah menurun drastis, dan akan terjadi penimbunan cairan dan
pembengkakan jaringan atau edema. Pada beberapa penderita, gejala tersebut tidak
nampak sampai mencapai usia dewasa. Bila gangguan sudah terjadi sejak usia anak ,
risiko yang akan terjadi addalah gangguan pada tulang-tulang panjang atau
osteopeni. Gangguan yang terjadi bergantung pada berat dan lamanya kelainan akibat
kadar protein, kalsium, natrium, dan kalium darah yang rendah.
Akibat adanya malabsorbsi dapat terjadi karena kekurangan zat gizi yang
menimbulkan gagal tumbuh atau gangguan peningkatan berat badan dan tinggi
badan. Kekurangan protrombin yang diperlukan dalam proses pembekuan darah akan
menyebabkan penderita mudah menjadi memar dan mudah mengalami perdarahan.
Beberapa peneliti menyebutkan penyakit seliak dapat mengakibatkan
manifestasi neurologi atau gangguan persyarafan, diantaranya adalah epilepsi,
kejang, gangguan belajar, gangguan konsentrasi, depresi, dan pada anak akan sering
rewel yang tidak diketahui sebabnya. Dilaporkan juga adanya gangguan neuropati
perifer dengan gejala kesemutan dan rasa kebas pada kaki dan tangan. Gangguan
neurologis lain dilaporkan adalah mielopati, ensefalitis brainstem, sindrom sereblar,
myoclonic ataxia atau sindrom Ramsay-Hunt dan leukoencefalopati progresif kronik.
Banyak peneliti mengungkapkan bahwa penderita seliak sering dikaitakn
dengan terjadinya penyakit autoimun lainnya, seperti penyakit thyroid, lupus,
diabetes tipe 1, penyakit liver, penyakit pembuluh darah kolagen, reumatoid artritis
atau sindroma sjogrens. Penderita seliak akan 50 kali lebih mudah mengalami
penyakit diabetes dibandingkan orang normal.
Penderita juga 10 kali lebih mudah mengalami imunoglobulin A yang
mengakibatkan daya tahan tubuh seseorang berkurang sehingga mudah terserang
infeksi demam, batuk, dan pilek. Penderita seliak yang tidak tertangani dengan baik
berisiko menimbulkan proses keganasan (kanker) pada saluran cerna seperti
adenocarcinoma dan Enteropathy-Associated T-Cell Lymphoma (Fadhli, 2010).
Kerentanan terhadap penyakit seliak bersifat diturunkan tetapi manifestasi
penyakit mungkin tergantung pada diet awal dan faktor lingkungan. Pemberian air
susu ibu dan pemaparan yang lebih lambat terhadap gluten tempaknya memberikan
proteksi (Hull dan Johnston, 2008).
The American Gastroenterological Association Institute Technical Review on
the Diagnosis and Management of Celiac Disease and its accompanying Medical
Position Statement on the Diagnosis and Management of Celiac Disease serta
sumber daya lainnya menawarkan banyak informasi tentang prevalensi penyakit
seliak. Populasi yang berisiko untuk terkena penyakit seliak yaitu saudara dari
individu dengan penyakit seliak dengan prevalensi 10% dari penyakit seliak, serta
kerabat jauh dengan prevalensi 2,6% hingga 5,5%. Individu dengan anemia
defisiensi besi yang tidak dapat dijelaskan dengan (IDA) tanpa gejala pada usus juga
mengalami peningkatan risiko untuk penyakit seliak sekitar 2% sampai 9%. Individu
dengan IDA dan gejala usus memiliki prevalensi lebih tinggi untuk penyakit celiac
sekitar 10% sampai 15%.
Peningkatan prevalensi penyakit seliak telah diidentifikasi pada orang dewasa
dan anak dengan kondisi medis yang banyak. Orang dewasa dengan diabetes mellitus
tipe 1 memiliki peningkatan prevalensi 2% sampai 5% dan 3% sampai 8% pada
anak. Individu dengan osteoporosis, terutama mereka dengan osteoporosis fase awal
dan osteomalasia memiliki peningkatan prevalensi penyakit seliak sekitar 1,5%
sampai 3%. Prevalensi penyakit seliak pada individu dengan kadar transaminase
tinggi adalah 1,5% sampai 9%, individu dengan hepatitis autoimun 2,9% menjadi
6,4% dan individu dengan PBC hingga 6%. Pada individu dengan penyakit autoimun
tiroid, prevalensi penyakit seliak bervariasi di kisaran 1,5% sampai 6,7%.
Individu dengan gangguan genetik juga memiliki peningkatan risiko penyakit
seliak. Prevalensinya dalam sindrom Down dapat berkisar dari 3% sampai 12%,
sindrom Turner berkisar 2% sampai 10%. Meskipun informasi yang tersedia terbatas,
penyakit seliak telah meningkatkan prevalensi pada individu dengan sindrom
William (sebuah sindrom yang jarang terjadi dengan abnormalitas wajah dan
kardiovaskuler) (Gainer, 2011).

1.7 Pencegahan
Pencegahan yang dapat dilakukan pada anak dengan penyakit seliak adalah:
1. jauhi sereal-sereal yang dicampur dengan gula;
2. perikasa daftar bahan dan hindari merek-merek yang mencantumkan gandum dan
gula (berbentuk sukrosa, maltosa, dextrosa, atau glukosa) (Marsden, 2008).

1.8 Pengobatan
Ada berbagai daerah pengobatan sehingga perawat harus menyadari adanya
bantuan dan dukungan untukinisiasi penilaian pembebasan gluten, diet
dan pengobatan kekurangan gizi (termasuk vitamin D), evaluasi densitas pada tulang,
pemantauan pemulihan, dan pengelolaan gangguan sendi. Perawat juga
harus berhati-hati dalam meninjau resep pasien pada obat yang ditujukan untuk
konten gluten, dan mengganti dengan resep untuk gluten yang lain.
Perawat dapat merujuk pasien yang baru didiagnosa pada ahli gizi yang
memiliki pengetahuan dalam dietsesuai dengan penyakit seliak yang diderita
pasien. Ketaatan terhadap gaya hidup yang bebas dari gluten bukan faktor yang
terlalu penting. Perawat harus menyadari ancaman yang potensial termasuk vitamin,
teh, dan suplemen, serta peralatan masak dan peralatan (seperti
pembuat roti, pemanggang roti, ayam pedaging) di mana sisa-sisa glutentidak
dapat sepenuhnya dihapus. Lipstik dan bahkan perekat pada amplop serta
perangko dapat mengandung gluten.Untuk anak-anak, seni dan
perlengkapan kerajinan mungkin menjadi
sumber gluten karena perilaku tidak mencuci tangan sebelum memakan makanan
ringan atau bekal di sekolah atau pengaturan tempat penitipan anak. Selain itu,
pasien mungkin memiliki kesulitan membaca label makanan, suplemen, dan
obat untuk menentukan apakah produkbebas.
Perawat juga harus memastikan perawatan yang memadai dari anemia
pengobatan B12 dan kekurangan asamfolat, dan pengobatan kekurangan
vitamin lain, khususnya yang dapat larut dalam lemak, seperti A, D, E, dan K. Kadar
kalsium dan kepadatan tulang juga perlu dipantau karena dapat
menyebabkan osteoporosis (Gainer, 2011).

1.9 Pemeriksaan Penunjang


1. Uji skrining;
2. Biopsi jejunum (Hull dan Johnston, 2008).
3. Biopsi duodenum menunjukkan permukaan yang mendatar dengan karakteristik
adanya limfositosis intraephitelial, hiperplasia kripta, atrofi, dan pada pemeriksaan
ulangan ditemukan perbaikan setelah makanan yang mengandung gluten dihentikan;
4. Pemeriksaan darah standar yang dilakukan adalah pemeriksaan antibody endomysial
IgA yang mempunyai petanda spesifik yang tinggi pada penyakit ini dengan akurat
(Fadhli, 2010).

1.10 Implikasi Keperawatan


Perawat harus dapat mendidik pasien tentang konsumsi gluten yang
menyebabkan kerusakan tidak hanya pada saluran usus, tetapi juga pada seluruh
tubuh. Individu dan keluarga harus diajarkan untuk fokus pada apa yang dapat
dimakan daripada apa yang harus dihindari. Lakukan konsultasi dengan ahli gizi
yang memiliki pengetahuan luas sangat membantu meningkatkan pengetahuan
pasien dan keluarga. Adanya dukungan dan advokasi dari kelompok juga dapat
membantu bagi mereka untuk dapat menyesuaikan gaya hidup bebas gluten, dan
perawat harus memberikan informasi kontak untuk kelompok tersebut.
Perawat dapat menjadi penyedia layanan kesehatan primer untuk individu
dengan penyakit seliak selama mereka berpengalaman dalam mendidik pasien dan
mendukung perawatan pasien (Gainer, 2011).

DAFTAR PUSTAKA

Fadhli, A. 2010. Buku Pintar Kesehatan Anak. Yogyakarta: Pustaka Anggrek.


Gainer, C. L. 2011. The Nurse Practitioner: The American Journal of Primary
Healthcare.http://www.nursingcenter.com. [24 Mei 2012].
Hinchliff, S. 1999. Kamus Keperawatan. Edisi 17. Jakarta: EGC.
Hull, D. 2008. Dasar-Dasar Pediatri. Edisi 3.Jakarta: EGC.
Marsden, K. 2008. The Complete Book of Food Combining: Panduan Diet Sehat Terlengkap,
Terbaru, dan Mudah Sekali Dipraktikkan. Bandung: Qanita.
Marsh, M. N. 2000. Celiac Disease: Methods and Protocols. New Jersey: Humana Press.
Oetoro, S. 2010. Awet Muda Berkat Diet Gluten. http://female.kompas.com. [27 Mei 2012].
Diposkan 29th May 2012 oleh ARIF HIDAYATULLAH

0
Tambahkan komentar
3.
MAY

29

FARMAKOKINETIK DAN FARMAKODINAMIK

1. Farmakokinetik

Farmakokinetik atau kinetika obat adalah nasib obat dalam tubuh atau
efek tubuh terhadap obat. Farmakokinetik mencakup 4 proses, yaitu proses
absorpsi (A), distribusi (D), metabolisme (M), dan ekskresi (E). Metabolisme
atau biotransformasi dan ekskresi bentuk utuh atau bentuk aktif merupakan
proses eliminasi obat(Gunawan, 2009).

1.1 Absorpsi
Absorpsi merupakan proses masuknya obat dari tempat pemberian ke
dalam darah. Bergantung pada cara pemberiannya, tempat pemberian obat
adalah saluran cerna (mulut sampai rektum), kulit, paru, otot, dan lain-lain. Yang
terpenting adalah cara pemberian obat per oral, dengan cara ini tempat absorpsi
utama adalah usus halus karena memiliki permukaan absorpsi yang sangat
luas, yakni 200 meter persegi (panjang 280 cm, diameter 4 cm, disertai
dengan vili dan mikrovili ) (Gunawan, 2009).
Absorpsi obat meliputi proses obat dari saat dimasukkan ke dalam tubuh,
melalui jalurnya hingga masuk kedalam sirkulasi sistemik. Pada level seluler,
obat diabsorpsi melalui beberapa metode, terutama transport aktif dantransport
pasif.

Gambar 1. 1 Proses Absorbsi Obat


a. Metode absorpsi
- Transport pasif
Transport pasif tidak memerlukan energi, sebab hanya dengan proses difusi obat dapat
berpindah dari daerah dengan kadar konsentrasi tinggi ke daerah dengan konsentrasi
rendah. Transport aktif terjadi selama molekul-molekul kecil dapat berdifusi sepanjang
membrane dan berhenti bila konsentrasi pada kedua sisi membrane seimbang.
- Transport Aktif
Transport aktif membutuhkan energy untuk menggerakkan obat dari daerah dengan
konsentrasi obat rendah ke daerah dengan konsentrasi obat tinggi
b. Kecepatan Absorpsi
Apabila pembatas antara obat aktif dan sirkulasi sitemik hanya sedikit sel. Absorpsi
terjadi cepat dan obat segera mencapai level pengobatan dalam tubuh.
- Detik s/d menit: SL, IV, inhalasi
- Lebih lambat: oral, IM, topical kulit, lapisan intestinal, otot
- Lambat sekali, berjam-jam / berhari-hari: per rektal/ sustained frelease.
c. Faktor yang mempengaruhi penyerapan
1. Aliran darah ke tempat absorpsi
2. Total luas permukaan yang tersedia sebagai tempat absorpsi
3. Waktu kontak permukaan absorpsi
d. Kecepatan Absorpsi
1. Diperlambat oleh nyeri dan stress
Nyeri dan stress mengurangi aliran darah, mengurangi pergerakan saluran cerna, retensi
gaster
2. Makanan tinggi lemak
Makanan tinggi lemak dan padat akan menghambat pengosongan lambung dan
memperlambat waktu absorpsi obat
3. Faktor bentuk obat
Absorpsi dipengaruhi formulasi obat: tablet, kapsul, cairan, sustained release, dll)
4. Kombinasi dengan obat lain
Interaksi satu obat dengan obat lain dapat meningkatkan atau memperlambat tergantung
jenis obat

Obat yang diserap oleh usus halus ditransport ke hepar sebelum beredar ke
seluruh tubuh. Hepar memetabolisme banyak obat sebelum masuk ke sirkulasi. Hal ini
yang disebut dengan efek first-pass. Metabolisme hepar dapat menyebabkan obat
menjadi inaktif sehingga menurunkan jumlah obat yang sampai ke sirkulasi sistemik,
jadi dosis obat yang diberikan harus banyak.

1.2 Distribusi

Distribusi obat adalah proses obat dihantarkan dari sirkulasi sistemik ke j


aringan dan cairan tubuh.
Distribusi obat yang telah diabsorpsi tergantung beberapa faktor:
a. Aliran darah
Setelah obat sampai ke aliran darah,
segera terdistribusi ke organ berdasarkan jumlah aliran darahnya. Organ
denganaliran darah terbesar adalah Jantung, Hepar, Ginjal. Sedangkan
distribusi ke organ lain seperti kulit, lemak dan ototlebih lambat

b. Permeabilitas kapiler

Tergantung pada struktur kapiler dan struktur obat

c. Ikatan protein
Obat yang beredar di seluruh tubuh dan berkontak dengan protein dapat terikat atau
bebas. Obat yang terikat protein tidak aktif dan tidak dapat bekerja. Hanya obat bebas
yang dapat memberikan efek. Obat dikatakan berikatan protein tinggi bila >80% obat
terikat protein

1.3 Metabolisme
Metabolisme/biotransformasi obat adalah proses tubuh merubah komposisi obat
sehingga menjadi lebih larut air untuk dapat dibuang keluar tubuh.
Obat dapat dimetabolisme melalui beberapa cara:
a. Menjadi metabolit inaktif kemudian diekskresikan;
b. Menjadi metabolit aktif, memiliki kerja farmakologi tersendiri dfan bisa dimetabolisme
lanjutan.
Beberapa obat diberikan dalam bentuk tidak aktif kemudian setelah
dimetabolisme baru menjadi aktif (prodrugs).
Metabolisme obat terutama terjadi di hati, yakni di membran endoplasmic
reticulum (mikrosom) dan di cytosol. Tempat metabolisme yang lain
(ekstrahepatik) adalah : dinding usus, ginjal, paru, darah, otak, dan kulit, juga di
lumen kolon (oleh flora usus).
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar (larut
lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal atau
empedu. Dengan perubahan ini obat aktif umunya diubah menjadi inaktif, tapi
sebagian berubah menjadi lebih aktif, kurang aktif, atau menjadi toksik.
Faktor-faktor yang mempengaruhi metabolisme:
1. Kondisi Khusus
Beberapa penyakit tertentu dapat mengurangi metabolisme, al. penyakit hepar seperti
sirosis.
2. Pengaruh Gen
Perbedaan gen individual menyebabkan beberapa orang dapat memetabolisme obat
dengan cepat, sementara yang lain lambat.
3. Pengaruh Lingkungan
Lingkungan juga dapat mempengaruhi metabolisme, contohnya: Rokok, Keadaan stress,
Penyakit lama, Operasi, Cedera
4. Usia
Perubahan umur dapat mempengaruhi metabolisme, bayi vs dewasa vs orang tua.

1.4 Ekskresi
Ekskresi obat artinya eliminasi/pembuangan obat dari tubuh. Sebagian besar obat
dibuang dari tubuh oleh ginjal dan melalui urin. Obat jugadapat dibuang melalui paru-
paru, eksokrin (keringat, ludah, payudara), kulit dan taraktusintestinal.
Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat diekskresi
melalui ginjal dalam bentuk utuh maupun bentuk metabolitnya. Ekskresi dalam
bentuk utuh atau bentuk aktif merupakan cara eliminasi obat melui ginjal.
Ekskresi melalui ginjal melibatkan 3 proses, yakni filtrasi glomerulus, sekresi
aktif di tubulus. Fungsi ginjal mengalami kematangan pada usia 6-12 bulan, dan
setelah dewasa menurun 1% per tahun. Ekskresi obat yang kedua penting
adalah melalui empedu ke dalam usus dan keluar bersama feses. Ekskresi
melalui paru terutama untuk eliminasi gas anastetik umum (Gunawan, 2009).
Hal-hal lain terkait Farmakokinetik:
a. Waktu Paruh
Waktu paruh adalah waktu yang dibutuhkan sehingga setengah dari obat dibuang dari
tubuh. Faktor yang mempengaruhi waktu paruh adalah absorpsi, metabolism dan
ekskresi.
Waktu paruh penting diketahui untuk menetapkan berapa sering obat harus diberikan.
b. Onset, puncak, and durasi
Onset adalah Waktu dari saat obat diberikan hingga obat terasa kerjanya. Sangat
tergantung rute pemberian dan farmakokinetik obat
Puncak, Setelah tubuh menyerap semakin banyak obat maka konsentrasinya di dalam
tubuh semakin meningkat, Namun konsentrasi puncak~ puncak respon
Durasi, Durasi kerjaadalah lama obat menghasilkan suatu efek terapi

2. Farmakodinamik

Farmakodinamik adalah subdisiplin farmakologi yang mempelajari


efek biokimiawi dan fisiologi obat, serta mekanisme kerjanya. Tujuan
mempelajari farmakodinamik adalah untuk meneliti efek utama obat,
mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui urutan peristiwa
serta spektrum efek dan respons yang terjadi (Gunawan, 2009).
2.2 Mekanisme Kerja Obat
kebanyakan obat menimbulkan efek melalui interaksi dengan reseptornya
pada sel organism. Interaksi obat dengan reseptornya dapat
menimbulkan perubahan dan biokimiawi yang merupakan respon khas
dari obat tersebut. Obat yang efeknya menyerupai senyawa endogen di
sebut agonis, obat yang tidak mempunyai aktifitas intrinsic sehingga
menimbulkan efek dengan menghambat kerja suatu agonis disebut
antagonis.

2.3 Reseptor Obat


protein merupakan reseptor obat yang paling penting. Asam nukleat juga
dapat merupakan reseptor obat yang penting, misalnya untuk sitotastik.
Ikatan obat-reseptor dapat berupa ikatan ion, hydrogen, hidrofobik,
vanderwalls, atau kovalen. Perubahan kecil dalam molekul obat, misalnya
perubahan stereoisomer dapat menimbulkan perubahan besar dalam
sifat farmakologinya.

2.4 Transmisi Sinyal Biologis


penghantaran sinyal biologis adalah proses yang menyebabkan suatu
substansi ekstraseluler yang menimbulkan respon seluler fisiologis yang
spesifik. Reseptor yang terdapat di permukaan sel terdiri atas reseptor
dalam bentuk enzim. Reseptor tidak hanya berfungsi dalam pengaturan
fisiologis dan biokimia, tetapi juga diatur atau dipengaruhi oleh
mekanisme homeostatic lain. Bila suatu sel di rangsang oleh agonisnya
secara terus-menerus maka akan terjadi desentisasi yang menyebabkan
efek perangsangan.

2.5 Interaksi Obat-Reseptor


ikatan antara obat dengan resptor biasanya terdiri dari berbagai ikatan
lemah (ikatan ion, hydrogen, hidrofilik, van der Waals), mirip ikatan
antara subtract dengan enzim, jarang terjadi ikatan kovalen.

2.6 Antagonisme Farmakodinamik


a. Antagonis fisiologik
Terjadi pada organ yang sama tetapi pada sistem reseptor yang
berlainan.
b. Antagonisme pada reseptor
Obat yang menduduki reseptor yang sama tetapi tidak mampu
menimbulkan efek farmakologi secara instrinsik

2.7 Kerja Obat Yang Tidak Diperantarai Reseptor


a. Efek Nonspesifik Dan Gangguan Pada Membran
b. Perubahan sifat osmotic
c. Diuretic osmotic (urea, manitol), misalnya, meningkatkan osmolaritas filtrate
glomerulus sehingga mengurangi reabsorpsi air di tubuli ginjal dengan akibat terjadi
efek diuretic
d. Perubahan sifat asam/basa
Kerja ini diperlihatkan oleh oleh antacid dalam menetralkan asam lambung.
e. Kerusakan nonspesifik
Zat perusak nonspesifik digunakan sebagai antiseptik dan disinfektan, dan
kontrasepsi.contohnya, detergen merusak intregitas membrane lipoprotein.
f. Gangguan fungsi membrane
Anestetik umum yang mudah menguap misalnya eter,, halotan, enfluran, dan
metoksifluran bekerja dengan melarut dalam lemak membrane sel di SSP sehingga
eksitabilitasnya menurun.
g. Interaksi Dengan Molekul Kecil Atau Ion
Kerja ini diperlihatkan oleh kelator (chelating agents) misalnya CaNa2 EDTA yang
mengikat Pb2+ bebas menjadi kelat yang inaktif pada keracunan Pb.
h. Masuk ke dalam komponen sel
Obat yang merupakan analog puri atau pirimidin dapat berinkoporasi ke
dalam asam nukleat
sehingga mengganggu fungsinya. Obat yang bekerja seperti ini disebut
antimetabolit misalnya
6-merkaptopurin atau anti mikroba lain.

Daftar Pustaka
Gunawan, Gan Sulistia. 2009. Farmakologi dan Terapi edisi 5. Jakarta: Departemen
Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Diposkan 29th May 2012 oleh ARIF HIDAYATULLAH

0
Tambahkan komentar
4.
MAY

29

PENGGUNAAN APD

A. ALAT PELINDUNG DIRI (APD)

Alat pelindung diri merupakan suatu cara yang digunakan dalam sebuah
kegiatan salah satunya di rumah sakit. Paparan dan resiko bahaya yang ada
ditempat kerja tidak selalu dapat dihindari, sehingga APD perlu digunakan bagi
para pekerja.
Adapun pengertian alat pelindung diri menurut A.M Sugeng Budianto,
(2005) yang dimaksud alat pelindung diri adalah seperangkat alat yang
digunakan tenaga kerja untuk melindungi sebagian atau seluruh tubuhnya dari
adanya potensi atau bahaya arau kecelakaan kerja.
Sedangkan Dr.Milos Nedved dan Dr. Soemanto, Imam Khasani
menyatakan, alat pelindung diri adalah alat yang mempunyai kemampuan untuk
melindungi seseeorang dalam pekerjaan yang fungsinya mengisolasi tenaga
kerja dari bahaya di tempat kerja.
Definisi APD dalam HSE regulasi adalah semua peralatan yang melindungi
pekerja selama bekerja termasuk pakaian yang harus di pakai pada saat
bekerja,pelindung kepala (helmet),sarung tangan (gloves),pelindung mata (eye
protection),pakaian yang bersifat reflektive,sepatu,pelindung pendegaran (hearing
protection) dan pelindung pernapasan (masker). (HSE,1992)
Penggunaan APD di tempat kerja di sesuaikan dengan pajanan bahaya yang di
hadapi di area kerja. Berikut adalah jenis bahaya dan APD yang diperlukan:
Tabel . Jenis bahaya dan APD yang diperlukan

No Tubuh Yang Bahaya APD


Dilindungi

1 Mata Percikan bahan kimia, debu, proyektil, safety spectacles, goggles,


gas, uap, radiasi faceshields, visors.
2 Kepala Kejatuhan benda, benturan, rambut Helmet
tertarik mesin
3 Sistem Debu, gas, uap, fume, kekurangan Respirator, masker, alat bantu
pernapasan oksigen pernapasan
4 Melindungi Panas berlebihan, tumpahan atau Cover all, pakaian anti
badan percikan bahan kimia panas/api
5 Tangan Panas, terpotong, bahan kimia, sengatan Sarung tangan, mitten, hand
listrik pad, sleeve
6 Kaki Tumpahan bahan kimia, tertimpa benda, Sepatu safety
sengatan listrik

B. KUALITAS DAN KUANTITAS ALAT PELINDUNG DIRI (APD)

Menurut A.M Sugeng Budianto dalam buku Bunga Rampai dan Hiperkes
dan KK (2005), APD yang baik adalah dapat melindungi tenaga dari bahaya
akibat kerja, kecuali bila tidak digunakan dengan sempurna. Penggunaan yang
tidak benar akan memberikan hal yang membahayakan bagi tenaga kerja.
Menurut Suma`mur (1996) alat-alat pelindung diri yang digunakan oleh
pekerja harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Enak dipakai
2. Tidak menggangu kerja
3. Memberikan perlindungan efektif terhadap jenis bahaya.
Bila dapat diterima oleh tenaga kerja, maka alat tersebut akan
digunakan secara rutin oleh tenaga kerja dan dapat dipastikan mengurangi
kecelakaan akibat kerja. Alat pelindung diri yang diterima memiliki persyaratan
sesuai dengan ukuran masing-masing tenaga kerja, sehingga alat yang
diinvestasikan sesuai dengan jumlah tenaga kerja.

C. BAHAN GAS, KIMIA, DAN BIOHAZARD BERBAHAYA


KELAS 1 : MUDAH MELEDAK

Semua bahan atau benda yang dapat menghasilkan efek ledakan, termasuk bahan
yang dalam campuran tertentu atau jika mengalami pemanasan, gesekan, tekanan
dapat mengakibatkan peledakan. Contoh: Amonium nitrate, Amonium perchlorate,
amonium picrate, detonator untuk ammunisi, diazodinitrophenol, dinitropenol,
dynamite, bubuk mesiu, picric acid, (TNT, Nitro Glycerine, Amunisi, bubuk untuk
blasting)

KELAS 2 : GAS-GAS
Terdiri dari :

Gas yang mudah terbakar (acetelyne, LPG, Hydrogen, CO, ethylene, ethyl flouride,
ethyl methyl ether, butane, neopentane, propane, methane, methyl chlorodiline,
thinner, bensin.

Gas bertekanan yang tidak mudah terbakar (oksigen, nitrogen, helium, argon, neon,
nitrous oxide, sulphur hexafolride)

Gas Beracun (chlorien, methil bromide, nitric oxide, ammonium-anhidrous, arsine,


boron trichloride carbonil sulfit, cyanogen, dll

KELAS 3 : CAIRAN YANG MUDAH MENYALA (FLAMMABLE GAS)

Cairan yang mudah menyala bila kontak dengan sumber penyalaan

Cairan yang mempunyai titik penyalaan kurang dari 610 C

Uap dari bahan yang termasuk kelas ini dapat mengakibatkan pingsan bahkan
kematian

Contoh: petrol, acetone, benzene, butanol, chlorobenzene, 2 chloropropene ethanol,


carbon disuliphide, di-iso-propylane
KELAS 4: PADATAN YANG MUDAH MENYALA (FLAMMABLE SOLIDS)

Bahan padat yang mudah menyala (flammable solids)

Bahan padat yang mudah menyala bila kontak dengan sumber penyalaan dari luar
seperti percikan api atau api. Bahan ini siap menyala jika mengalami gesekan

Contoh: sulpur, pospor, picric acid, magnesium, alumunium powder, calcium


resinate, celluloid, dinitrophenol, hexamine.

Bahan Padat yang Mudah Terbakar secara spontan (spontaneously


Combustible Substances)
Bahan padat kelas ini dalam keadaan biasa mempunyai kemampuan yang besar
untuk terbakar secara spontan. Beberapa jenis mempunyai kemungkinan besar untuk
menyala sendiri ketika lembab atau kontak dengan udara lembab juga dapat
menghasilkan gas beracun ketika terbakar
Contoh: carbon, charcoal-non-activated, carbon black, alumunium alkyls,
phosphorus

Bahan yang berbahaya ketika basah (Dangerous when wet)

Padatan atau cairan yang dapat menghasilkan gas mudah terbakar ketika kontak
dengan air

Bahan ini juga meningkatkan gas beracun ketika kontak dengan kelembaban, air atau
asam

Contoh :calcium carbide, potassium phosphide, potassium, maneb, magnesium


hydride, calcium manganese silicon, boron trifluoride dimethyl etherate, barium,
aluminium hydride.

KELAS 5 : BAHAN BEROKSIDASI (OXIDIZING AGENT)

Bahan yang bersifat mengoksidasi


Bahan ini dapat menimbukan api ketika kontak dengan material yang mudah
terbakar dan dapat menimbulkan peledakan.

Contoh: calcium hypochlorite, sodium peroxide, ammonium dichromate, ammonium


perchlorate, chromium nitrate, copper chlorate, ferric nitrate, potassium bromate,
tetranitromethane, zinc permanganate

Organic peroxides
Dapat membantu pembakaran dari material yang mudah terbakar. Jika terpapar panas
atau api pada waktu yang lama dapat mengakibatkan peledakan. Jika bereaksi
dengan material yang lain efeknya akan lebih berbahaya. Dekomposisi dari bahan
ini dapat menghasilkan racun dan gas yang mudah terbakar
Contoh : benzol peroxides, methyl ethyl ketone peroxide, dicetyl perdicarbonate,
peracetic acid.

KELAS 6 : BAHAN BERACUN ATAU MENGAKIBATKAN INFEKSI

Poisonous (Toxic) Substances


Bahan yang dapat menyebabkan kematian atau cidera pada manusia jika tertelan,
terhirup atau kontak dengan kulit

Contoh : cyanohydrin, calcium cyanide, carbon tetrachloride, dinitrobenzenes,


epichlorohydrin mercuric nitrate, dll

Harmful (Toxic) Substances


Bahan yang dapat membahayakan pada manusia jika tertelan, terhirup atau kontak
dengan kulit
Contoh: acrylamide, 2-amino-5-diethylamino pentane, amonium fluorosilicate,
chloroanisidines dll

Bahan yang dapat mengakibatkan infeksi


Bahan yang mengandung organisme penyebab penyakit
Contoh : tisue dari pasien, tempat pengembang biakan virus, bakteri, tumbuhan atau
hewan

KELAS 7 : BAHAN YANG BERADIASI

Bahan yang mengandung material atau combinasi dari material yang dapat
memancarkan radiasi secara spontan

Contoh : uranium, 90Co, tritium, 32P, 35S, 125I, 14C

DAFTAR PUSTAKA
http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/4s1kedokteran/207311061/BAB-2.pdf
http://www.ekologi.litbang.depkes.go.id/data/vol%205/Dian_1.pdf
Diposkan 29th May 2012 oleh ARIF HIDAYATULLAH

0
Tambahkan komentar

Memuat
Template Dynamic Views. Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai