Anda di halaman 1dari 19

DEMOKRASI

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan

Kelompok 7/A

Enia Hartati Berutu J3E415142

M.Heru Budi P J3E115102

Prasetia J3E215121

Rama Putra Pratama J3E15032

Zhafira Rahmania J3E215137

SUPERVISOR JAMINAN MUTU PANGAN

PROGRAM DIPLOMA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2016
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Menurut Abraham Lincoln demokrasi merupakan pemerintahan yang


berasal dari rakyat,oleh rakyat dan untuk rakyat.

Salah satu pilar demokrarasi adalah prinsip trias politica yang membagi
ketiga kekuasaan politik negara (eksekutif,yudikatif dan legislatif) untuk
mewujudkan dalam jenis lembaga negara yang saling lepas (independen) dan
berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain. Kesejajaran dan idenpendensi
ketiga jenis lembaga negara ini perlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa
mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip cheeks and balances.

Ketiga jenis lembaga-lembaga negara tersebut adalah lembaga-lembaga


pemerintah yang memiliki kewenangan untuk mewujudkan dan melaksanakan
kewenangan eksekutif,lembaga lembaga pengadilan yang berwenang
menyelenggarakan kekuasaan yudikatif dan lembaga-lembaga perwakilan
rakyat(DPR,untuk Indonesia) yang memiliki kewenangan menjalankan kekuasan
legislatif. Di bawah sistem ini, keputusan legislatif di buat oleh masyarakat atau
wakil yang wajib bekerja dan bertindak sesuai aspirasi masyarakat yang
diwakilinya (konstituen) dan yang memilihnya melalui proses pemilihan umum
legislatif selain sesuai hukum dan peraturan.

Selain pemilihan umum legislatif,banyak keputusan atau hasil-hasil


penting ,misanya pemilihan presiden sutau negara, diperoleh melalui pemilihan
umum. Pemilihan umum tidak wajib atau tidak mesti diikuti oleh seluruh warga
negara, Namun oleh sebagian warga yang berhak untuk memilih (memilih hak
pilih).

Kedaulatan rakyat yang dimaksud di sini bukan dalam arti hanya kedaulatan
memilih presiden atau anggota-anggota parlemen secara langsung ,tetapi dalam
arti lebih luas. Suatu pemilihan presiden atau anggota-anggota parlemen secara
langsung tidak menjamin negara tersebut sebagai negara demokrasi sebab
kedaulatan rakyat memilih sendiri secara langsung presiden hanyalah sedikit dari
sekian banyak kedaulatan rakyat. Walaupun perannya dalam sistem demokrasi
tidak besar,suatu pemilihan umum sering dijuluki pesta demokrasi . Ini adalah
akibat cara berpikir lama dari sebagian masyarakat yang masih terlalu tinggi
meletakkan tokoh idola, bukan sistem pemerintahannya yang bagus, sebagai
tokoh impian ratu adil. Banyak negara demokrasi hanya memberikan hak pilih
kepada warga negara yang telah melewati umur tertentu, misalnya umur 18
tahun,dan yang tak memiliki catatan criminal (misalnya narapidana atau bekas
nara pidana.

Mengenai Hak Asasi Manusia (HAM) dalam kehidupan demokrasi terasa


makin mencuat, meski pemahaman terhadapnya belum memuaskan karena banyak
konsepsi yang dikembangkan masih dipahami secara beragam mulai dari
orang/masyarakat awam hingga kalangan yang memahami HAM. HAM yang
bersifat kodrati dan berlaku universal pada hakikatnya berisi pesan moral yang
menghendaki setiap orang baik secara individu ataupun kelompok bahkan
penguasa/pemerintah (negara) harus menghormati dan melindunginya. Pesan
moral yang ada, memang belum mengikat atau belum mempunyai daya ikat
secara hukum untuk dipaksakan pada setiap orang. Ketika ia dimuat (dicantumkan
dan ditegaskan) melalui berbagai piagam dan konvensi internasional, maka semua
orang harus menghormatinya. Paling tidak negara (sebagai yang bertanggung
jawab dalam rangka penghormatan dan pelaksanaan HAM) yang ikut terlibat
dalam atau sebagai peserta konvensi dan terlibat dalam penandatanganannya, juga
terhadap piagam yang telah disetujui bersama itu, akan terikat dan berkewajiban
untuk meratifikasinya ke dalam peraturan perundangan masing-masing negara
bersangkutan. Dalam proses demikian, HAM telah diakomodasi ke dalam hukum.

1.2 Tujuan

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk memberikan


pengetahuan mengenai DEMOKRASI dan keterkaitan dengan masih adanya
HUKUMAN MATI DIINDONESIA. selain itu supaya mahasisa dapat memahami
contoh-contoh kasus pelanggaran sehingga berdampak pada hukuman mati .
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Demokrasi


Demokrasi berasal dari bahasa Yunani demos yang berarti rakyat
dan cretein yang berati kekuasaan atau keaulatan. Demokrasi dapat
diartikan sebagai keadaan negara dengan sistem pemerintahannya berada di
tangan rakyat, kekuasaan tertinggi berada dalam keputusan bersama rakyat,
rakyat berkuasa, pemerintahan rakyat dan kekuasaan oleh rakyat.
Hakikat demokrasi adalah suatu sistem bermasyarakat dan bernegara
serta pemerintahan memberikan penekanan pada keberadaan kekuasaan di
tangan rakyat, baikdalam penyelenggaraan negara maupun pemerintah.
Kekuasaan pemerintahan berada di tangan rakyat mengandung pengertian
yaitu pemerintahan dari rakyat (goverment of the people), pemerintahan
oleh rakyat (goverment by the people), dan pemerintahan untuk rakyat
(goverment for the people).

2.2 Nilai-nilai Demokrasi


Demokrasi tidak akan datang, tumbuh dan berkembang dengan
sendirinya dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara.
Demokrasi memerlukan usaha nyata dari setia warga dan perangkat
pendukungnya yaitu budaya yang kondusif sebagai manifestasi dari suatu
kerangka berpikir dan rancangan masyarakat. Untuk menumbuhkan
keyakinan terhadap sistem demokrasi maka perlu adanya pola perilaku yang
menjadi tuntunan nilai-nilai demokrasi dalam masyarakat. Nilai-nilai
tersebut adalah:
a. Kesadaran akan pluralisme
b. Musyawarah
c. Pertimbangan moral
d. Permufakatan yang jujur dan sehat
e. Pemenuhan segi ekonomi
f. Kerjasama antar warga musyawarah dan sikap mempercayai itikad
baik
g. Pandangan hidup demokratis harus dijadikan unsur yang menyatu
dengan sistem pendidikan

2.3 Jenis-jenis Demokrasi


a. Demokrasi berdasarkan cara menyampaikan pendapat
1) Demokrasi langsung
2) Demokrasi tidak langsung/perwakilan
3) Demokrasi perwakilan dengan isitem pengawasan langsung dari
rakyat
b. Demokrasi berdasarkan prinsip ideologi
1) Demokrasi liberal
2) Demokrasi rakyat/poletar
c. Demokrasi berdasarkan wewenang dan hubungan antar alat
kelengkapan negara
1) Demokrasi sistem parlementer
2) Demokrasi sistem presidensial

2.4 Unsur Penegak Demokrasi


a. Negara hukum
b. Masyarakat madani
c. Infrastruktur politik
d. Pers yang bebas dan bertanggung jawab

2.5 Prinsip Prinsip Demokrasi


Prinsip merupakan kaidah atau ketentuan dasar yang harus dipegang
dan ditaati. Prinsip demokrasi adalah beberapa kaidah dasar yang harus ada
dan ditaati oleh negara penganut pemerintahan demokratis. Adapun prinsip-
prinsip demokrasi tersebut sebagai berikut:

a. Negara Berdasarkan Konstitusi


Pengertian negara demokratis adalah negara yang pemerintah dan
warganya menjadikan konstitusi sebagai dasar penyelenggaraan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Konstitusi dapat diartikan sebagai
undang-undang dasar atau seluruh peraturan hukum yang berlaku di
sebuah negara. Sebagai prinsip demokrasi, keberadaan konstitusi sangat
penting sebab dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara. Konstitusi
berfungsi untuk membatasi wewenang penguasa atau pemerintah serta
menjamin hak rakyat. Dengan demikian, penguasa atau pemerintah tidak
akan bertindak sewenang-wenang kepada rakyatnya dan rakyat tidak
akan bertindak anarki dalam menggunakan hak dan pemenuhan
kewajibannya.
b. Jaminan Perlindungan Hak Asasi Manusia
Hak asasi manusia (HAM) adalah hak dasar atau hak pokok yang
dimiliki manusia sejak lahir sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa.
Hak asasi manusia mencakup hak untuk hidup, kebebasan memeluk
agama, kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat,
serta hak-hak lain sesuai ketentuan undang-undang. Perlindungan
terhadap HAM merupakan salah satu prinsip negara demokrasi karena
perlindungan terhadap HAM pada hakikatnya merupakan bagian dari
pembangunan negara yang demokratis.

c. Kebebasan Berserikat dan Mengeluarkan Pendapat


Salah satu prinsip demokrasi adalah mengakui dan memberikan
kebebasan setiap orang untuk berserikat atau membentuk organisasi.
Setiap orang boleh berkumpul dan membentuk identitas dengan
organisasi yang ia dirikan. Melalui organisasi tersebut setiap orang dapat
memperjuangkan hak sekaligus memenuhi kewajibannya. Sejarah
demokrasi memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk berpikir
dan menggunakan hati nurani serta menyampaikan pendapat dengan cara
yang baik. Paham demokrasi tidak membatasi seseorang untuk
berpendapat, tetapi mengatur penyampaian pendapat dengan cara bijak.

d. Pergantian Kekuasaan Secara Berkala


Gagasan tentang perlunya pembatasan kekuasaan dalam prinsip
demokrasi dicetuskan oleh Lord Acton (seorang ahli sejarah Inggris).
Lord Acton menyatakan bahwa pemerintahan yang diselenggarakan
manusia penuh dengan kelemahan. Pendapatnya yang cukup terkenal
adalah "ower tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely".
Manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan
kekuasaan, tetapi manusia yang memiliki kekuasaan tidak terbatas pasti
akan menyalahgunakannya.
Pergantian kekuasaan secara berkala bertujuan untuk membatasi
kekuasaan atau kewenangan penguasa. Pergantian kekuasaan secara
berkala dapat meminimalisasi penyelewengan dalam pemerintahan
seperti korupsi, kolusi, dan nepotisme. Pergantian seorang kepala negara
atau kepala daerah dapat dilakukan dengan mekanisme pemilihan umum
yang jujur dan adil.

e. Adanya Peradilan Bebas dan Tidak Memihak


Peradilan bebas adalah peradilan yang berdiri sendiri dan bebas
dari campur tangan pihak lain termasuk tangan penguasa. Pengadilan
bebas merupakan prinsip demokrasi yang mutlak diperlukan agar aturan
hukum dapat ditegakkan dengan baik. Para hakim memiliki kesempatan
dan kebebasan untuk menemukan kebenaran dan memberlakukan hukum
tanpa pandang bulu. Apabila peradilan tidak lagi bebas untuk
menegakkan hukum dapat dipastikan hukum tidak akan tegak akibat
intervensi atau campur tangan pihak di luar hukum oleh karena itu,
peradilan yang bebas dari campur tangan pihak lain menjadi salah satu
prinsip demokrasi.
Peradilan tidak memihak artinya peradilan yang tidak condong
kepada salah satu pihak yang bersengketa di muka persidangan. Posisi
netral sangat dibutuhkan untuk melihat masalah secara jernih dan tepat
Kejernihan pemahaman tersebut akan membantu hakim menemukan
kebenaran yang sebenar-benarnya Selanjutnya, hakim dapat
mempertimbangkan keadaan yang ada dan menerapkan hukum dengan
adil bagi pihak beperkara.

f. Penegakan Hukum dan Persamaan Kedudukan Setiap Warga Negara di Depan


Hukum
Hukum merupakan instrumen untuk menegakkan kebenaran dan
keadilan. Oleh karena itu, pelaksanaan kaidah hukum tidak boleh berat
sebelah atau pandang bulu. Setiap perbuatan melawan hukum harus
ditindak secara tegas. Persamaan kedudukan warga negara di depan
hukum akan memunculkan wibawa hukum. Saat hukum memiliki
wibawa, hukum tersebut akan ditaati oleh setiap warga negara.

g. Jaminan Kebebasan Pers


Kebebasan pers merupakan salah satu pilar penting dalam prinsip
prinsip demokrasi. Pers yang bebas dapat menjadi media bagi masyarakat
untuk menyalurkan aspirasi serta memberikan kritikan dan masukan
kepada pemerintah dalam pembuatan kebijakan publik. Di sisi lain, pers
juga menjadi sarana sosialisasi program-program yang dibuat
pemerintah. Melalui pers diharapkan dapat terjalin komunikasi yang baik
antara pemerintah masyarakat.

2.6 Penerapan hukuman mati di Indonesia

Di Indonesia sudah puluhan orang dieksekusi mati mengikuti sistem


KUHP peninggalan kolonial Belanda. Bahkan selama Orde Baru korban
yang dieksekusi sebagian besar merupakan narapidana politik.

Walaupun amandemen kedua konstitusi UUD 45, pasal 28 ayat 1,


menyebutkan:Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan
pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi di depan hukum, dan hak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak
dapat dikurangi dalam keadaan apapun, tapi peraturan perundang-
undangan dibawahnya tetap mencantumkan ancaman hukuman mati bagi
sejumlah kejahatan.

Hingga 2006 tercatat ada 11 peraturan perundang-undangan yang


masih memiliki ancaman hukuman mati, seperti: KUHP, UU Narkotika, UU
Anti Korupsi, UU Anti terorisme, dan UU Pengadilan HAM. Daftar ini bisa
bertambah panjang dengan adanya RUU Intelijen dan RUU Rahasia Negara.

Vonis atau hukuman mati mendapat dukungan yang luas dari


pemerintah dan masyarakat Indonesia. Pemungutan suara yang dilakukan
media di Indonesia pada umumnya menunjukkan 75% dukungan untuk
adanya vonis mati.

Resolusi Komisi HAM 2005/59 memperjelas pembatasan praktek


hukuman mati menurut Kovenan Sipol. Pembatasan praktek hukuman mati
tersebut antara lain:
1) Di negara yang belum menghapuskan hukuman mati, penerapannya
hanya bisa berlaku bagi kejahatan yang paling serius, yang
kategorinya harus sesuai dengan tingkat konsekuensi yang sangat keji.
2) Hukuman mati hanya boleh berlaku bila kejahatan tersebut tercantum
dalam produk hukum tertulis yang tidak bisa bersifat retroaktif
(berlaku surut) pada saat kejahatan tersebut dilakukan. Dan jika di
dalam produk hukum tersebut tersedia hukuman yang lebih ringan,
maka yang terakhir ini yang harus diterapkan.
3) Hukuman mati tidak boleh diterapkan pada anak yang berusia 18
tahun pada saat ia melakukan kejahatan tersebut. Hukuman mati tidak
boleh diterapkan kepada perempuan yang sedang hamil atau ibu yang
baru melahirkan. Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan kepada orang
yang cacat mental atau gila.
4) Hukuman mati hanya boleh diterapkan ketika kesalahan si pelaku
sudah tidak menyediakan sedikitpun celah yang meragukan dari suatu
fakta atau kejadian.
5) Hukuman mati hanya bisa dijatuhkan sesuai dengan keputusan hukum
yang final lewat sebuah persidangan yang kompeten yang menjamin
seluruh prinsip fair trial.
6) Seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengajukan
banding ke pengadilan yang lebih tinggi dan banding tersebut bersifat
imperatif/wajib.
7) Seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengajukan
pengampunan, atau perubahan hukuman. Hal ini harus mencakup
semua jenis kejahatan.
8) Hukuman mati tidak boleh diberlakukan untuk membatalkan upaya
pengajuan pengampunan atau perubahan hukuman.
9) Ketika eksekusi mati dijalankan, metodenya harus seminimal mungkin
menimbulkan penderitaan.

2.7 Contoh kasus hukuman mati di Indonesia

Dilansir dari sebuah blog Feed, pada Minggu 18 Januari 2015


kemarin pemerintah Indonesia melaksanakan eksekusi mati terhadap enam
terpidana narkoba. Eksekusi mati ini jadi langkah awal bentuk ketegasan
pemerintah terhadapa terpidana narkoba. Sebelumnya, Indonesia terakhir
kali melaksanakan eksekusi mati pada November 2013.

Dari enam yang menerima hukuman mati ini, 5 diantaranya dieksekusi


di Nusakambangan dan satu lagi di Boyolali. Minggu pukul 00.30 WIB,
semua eksekusi dilakukan secara bersamaan dalam waktu yang sangat cepat.

2.8 Kontrovensi hukuman mati

Studi ilmiah secara konsisten gagal menunjukkan adanya bukti yang


meyakinkan bahwa hukuman mati membuat efek jera dan efektif dibanding
jenis hukuman lainnya. Survey yang dilakukan PBB pada 1998 dan 2002
tentang hubungan antara praktik hukuman mati dan angka kejahatan
pembunuhan menunjukkan, praktik hukuman mati lebih buruk daripada
penjara seumur hidup dalam memberikan efek jera pada pidana
pembunuhan.

Tingkat kriminalitas berhubungan erat dengan masalah kesejahteraan


dan kemiskinan suatu masyarakat, maupun berfungsi atau tidaknya institusi
penegakan hukum.

Dukungan hukuman mati didasari argumen di antaranya bahwa


hukuman mati untuk pembunuhan sadis akan mencegah banyak orang untuk
membunuh karena gentar akan hukuman yang sangat berat. Jika pada
hukuman penjara penjahat bisa jera dan bisa juga membunuh lagi jika tidak
jera,pada hukuman mati penjahat pasti tidak akan bisa membunuh lagi
karena sudah dihukum mati dan itu hakikatnya memelihara kehidupan yang
lebih luas.

Dalam berbagai kasus banyak pelaku kejahatan yang merupakan


residivis yang terus berulang kali melakukan kejahatan karena ringannya
hukuman. Seringkali penolakan hukuman mati hanya didasarkan pada sisi
kemanusiaan terhadap pelaku tanpa melihat sisi kemanusiaan dari korban
sendiri,keluarga, kerabat ataupun masyarakat yang tergantung pada korban.
Lain halnya bila memang keluarga korban sudah memaafkan pelaku tentu
vonis bisa diubah dengan prasyarat yang jelas.

Hingga Juni 2006 hanya 68 negara yang masih menerapkan praktik


hukuman mati, termasuk Indonesia, dan lebih dari setengah negara-negara
di dunia telah menghapuskan praktik hukuman mati. Ada 88 negara yang
telah menghapuskan hukuman mati untuk seluruh kategori kejahatan, 11
negara menghapuskan hukuman mati untuk kategori kejahatan pidana biasa,
30 negara negara malakukan moratorium (de facto tidak menerapkan)
hukuman mati, dan total 129 negara yang melakukan abolisi (penghapusan)
terhadap hukuman mati.

Praktek hukuman mati di juga kerap dianggap bersifat bias, terutama


bias kelas dan bias ras. Di AS, sekitar 80% terpidana mati adalah orang non
kulit putih dan berasal dari kelas bawah. Sementara di berbagai negara
banyak terpidana mati yang merupakan warga negara asing tetapi tidak
diberikan penerjemah selama proses persidangan.

Dalam rangka menghindari kesalahan vonis mati terhadap terpidana


mati, sedapat mungkin aparat hukum yang menangani kasus tersebut adalah
aparat yang mempunyai pengetahuan luas dan sangat memadai, sehingga
Sumber Daya manusia yang disiapkan dalam rangka penegakan hukum dan
keadilan adalah sejalan dengan tujuan hukum yang akan menjadi pedoman
di dalam pelaksanaannya, dengan kata lain khusus dalam penerapan vonis
mati terhadap pidana mati tidak adalagi unsur politik yang dapat
memengaruhi dalam penegakan hukum dan keadilan dimaksud.

2.9 Argumentasi Moral Menolak Hukuman Mati

Banyak negara yang sudah melakukan kajian panjang akhirnya


menganggap bahwa hukuman mati adalah tindakan yang biadab dan tidak
berperikemanusiaan.

Penghapusan hukuman mati secara serius dilakukan sejak tahun 1977


dan pada saat itu hanya 9 negara yang menghapus hukuman mati. Kini, 140
negara telah menghapus hukuman mati, artinya hampir dua pertiga negara di
seluruh dunia. Hingga bulan Desember 2014, 98 negara telah menghapus
hukuman mati dengan semua bentuk kejahatan.

Beberapa orang berpendapat hukuman mati tidak dapat dibenarkan


secara moral. Alasan dasar hukuman mati adalah pembalasan dendam atau
anggapan bahwa hukuman harus setimpal dengan perbuatannya. Ini yang
disebut dengan teori retributivism. Teori ini melihat kebelakang (perbuatan
yang telah dilakukan) dan hukuman yang diterima harus sesuai dengan
perbuatan tersebut.

2.10 Argumentasi hukuman mati dari berbagai pandangan

a. Hukuman mati dari sudut pandang konstitusi dan perundang-undangan

Amandemen kedua UUD 1945 dengan tegas menyebutkan bahwa,


Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya. Berikutnya UUD menyatakan, Hak untuk hidup, hak untuk
tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak
untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan
hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut
adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa
pun.

Mengacu pada kedua ayat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa


pandangan tentang hak-hak individu yang dianut oleh Negara Kesatuan
Republik Indonesia mengakui apa yang dikenal oleh para filsuf dengan
Hukum Kodrat, sebagaimana dijelaskan di atas, yang menyatakan bahwa
hak untuk hidup adalah hak yang melekat pada setiap individu yang tidak
dapat dirampas dan dikurang-kurang (non-derogable rights) oleh siapapun,
atas nama apapun dan dalam situasi apapun termasuk oleh negara, atas nama
hukum, agama atau dalam situasi darurat.
Perubahan nilai dasar hukum di atas seharusnya membawa
konsekuensi adanya amandemen terhadap seluruh undang-undang yang
masih memasukkan hukuman mati sebagai salah satu bentuk hukuman
karena sudah bertentangan dengan Konstitusi. Beberapa Undang-undang
yang masih memasukkan hukuman mati sebagai hukuman maksimal dan
harus diamandemen karena bertentangan dengan Konstitusi tersebut di
antaranya adalah:

1) Undang-undang (UU) No 15 Tahun 2003 Tentang Penetapan Perpu No


1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi
Undang-undang.UU ini masih mengadopsi pemberlakuan hukuman mati,
terlihat pada pasal 6, pasal 8, pasal 10, pasal 14, pasal 15, dan pasal 16.

2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 104 tentang


Kejahatan Terhadap Keamanan Negara dan pasal 340 tentang pembunuhan
berencana masih mencantumkan hukuman mati sebagai hukuman
maksimum. Saat ini sedang dilakukan proses penyusunan amandemen
KUHP tersebut, yang diharapkan kedepan lebih maju dan tidak lagi
menempatkan hukuman mati sebagai hukuman maksimum.

3) Undang-undang No 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika. Pasal 59


Tentang Tindak Pidana juga menetapkan hukuman mati sebagi hukuman
maksimal.

4) Undang-undang No 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi


Manusia. Pasal 36, 37 dan 41 undang-undang tersebut menyatakan adanya
hukuman mati bagi pelanggarnya. Dalam kasus ini, banyak pihak
menyesalkan munculnya pasal-pasal ini bertentanga dengan seluruh
instrumen hukum HAM internasional yang menjadi rujukannya yang
menghapuskan hukuman mati.

b. Hukuman mati dari sudut pandang hukum HAM Internasional

Hukuman mati merupakan salah satu isu yang paling kontroversial


dalam Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang telah
diratifikasi oleh pemerintah Indonesia (International Covenant on Civil and
Political Rights). Meski diakui hak hidup sebagai non-derogable rights (hak
yang tidak dapat dikurang-kurangi), pada Pasal 6 (ayat 2, 4, dan 5) secara
tekstual dinyatakan bahwa hukuman mati masih diperbolehkan. Sementara
itu pada Pasal 6 (ayat 6) kembali ditegaskan adanya semangat Kovenan ini
untuk secara bertahap dan progresif menghapuskan praktek hukuman mati.
Baru pada Protokol Tambahan Kedua Kovenan Internasional Hak-hak Sipil
dan Politik (Second Optional Protocol to the International Covenant on
Civil and Political Rights; aiming at the abolition of the death penalty) yang
diadopsi oleh Resolusi Mejelis Umum PBB pada 15 Desember 1989, secara
tegas praktek hukuman mati tidak diperkenankan. Tafsir progresifnya secara
implisit menunjukkan bahwa sebenarnya Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik
bukan membenarkan praktek hukuman mati, namun lebih menegaskan
bahwa Kovenan ini berusaha semakin memperketat dan memperkecil
lingkup praktek hukuman mati. Hal ini didasari pada argumen bahwa pada
waktu penyusunan Kovenan ini, mayoritas negara di dunia masih
mempraktekan hukuman mati, namun semakin hari negara yang
memberlakukan abolisi (penghapusan) hukuman mati semakin bertambah
dan bahkan hingga hari ini justru mayoritas negara di dunia adalah
kelompok abolisionis. Sebelumnya pada tahun 1950 Konvensi HAM Eropa,
European Convention on Human Rights/Convention for The Protection of
Human Rights and Fundamental Freedoms pada Pasal 2-nya menegaskan
larangan hukuman mati. Konvensi regional Eropa ini merupakan treaty
HAM tertua dan ide penghapusan hukuman mati berangkat dari Konvensi
ini. Ketentuan hukuman mati kemudian juga dihapuskan diberbagai
mekanisme pengadilan HAM internasional meskipun juridiksinya
mencakup kejahatan paling berat dan serius di bawah hukum internasional.
Statuta Tribunal HAM Internasional ad hoc untuk Negara-Negara Bekas
Yugoslavia (Statute of International Criminal Tribunal for the Former
Yugoslavia/ICTY) dan Rwanda (Statue of International Criminal Tribunal
for Rwanda/ICTR). Demikian pula ketentuan ini ditiadakan pada Statua
Roma Mahkamah Pidana Internasional (Rome Statute of the International
Criminal Court), yang merupakan Pengadilan HAM Internasional yang
permanen.

Untuk memahami teks pada Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan


Politik tentang hukuman mati, PBB juga mengeluarkan sebuah panduan
berjudul Jaminan Perlindungan bagi Mereka yang Menghadapi Hukuman
Mati (Safeguards Guaranteeing Protection of the Rights of Those Facing the
Death Penalty) melalui Resolusi Dewan Ekonomi Sosial PBB 1984/50,
tertanggal 25 Mei 1984). Panduan ini memperjelas pembatasan praktek
hukuman mati menurut Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik.
Pembatasan praktek hukuman mati tersebut antara lain:

1) Di negara yg belum menghapuskan hukuman mati, penerapannya


hanya bisa berlaku bagi kejahatan yang paling serius, yang kategorinya
harus sesuai dengan tingkat konsekwensi yang sangat keji.

2) Hukuman mati hanya boleh berlaku bila kejahatan tersebut tercantum


dalam produk hukum tertulis yang tidak bisa bersifat retroaktif (berlaku
surut) pada saat kejahatan tersebut dilakukan. Dan jika di dalam produk
hukum tersebut tersedia hukuman yang lebih ringan, maka yang terakhir ini
yang harus diterapkan.

3) Hukuman mati tidak boleh diterapkan pada anak yang berusia 18


tahun pada saat ia melakukan kejahatan tersebut. Hukuman mati tidak boleh
diterapkan kepada perempuan yang sedang hamil atau ibu yang baru
melahirkan. Hukuman mati tidak boleh dijatuhkan kepada orang yang cacat
mental atau gila.

4) Hukuman mati hanya boleh diterapkan ketika kesalahan si pelaku


sudah tidak menyediakan sedikitpun celah yang meragukan dari suatu fakta
atau kejadian.

5) Hukuman mati hanya bisa dijatuhkan sesuai dengan keputusan hukum


yang final lewat sebuah persidangan yang kompeten yang menjamin seluruh
prinsip fair trial, paling tidak sesuai dengan Pasal 14[20] Kovenan
Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik, termasuk pada setiap kasus yang
diancam hukuman mati, seorang terdakwa harus disediakan pembelaan
hukum yang memadai.

6) Seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengajukan


banding ke pengadilan yang lebih tinggi dan banding tersebut bersifat
imperatif/wajib.

7) Seseorang yang dijatuhi hukuman mati berhak untuk mengajukan


pengampunan, atau perubahan hukuman. Hal ini harus mencakup semua
jenis kejahatan.

8) Hukuman mati tidak boleh diberlakukan untuk membatalkan upaya


pengajuan pengampunan atau perubahan hukuman.

9) Ketika eksekusi mati dijalankan, metodenya harus seminimal mungkin


menimbulkan penderitaan.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan

3.2 Saran
Bagi aparat penegak hukum, khususnya bagi para pembuat produk hukum
hendaknya lebih memperhatikan aspek kemanusiaan dalam hal membuat suatu
rumusan yang berisi tentang pidana mati, dan juga terhadap aparat penegak
hukum harus lebih memperhatikan aspek kedepan beserta alasan tentang
penerapan pidana mati.

Bagi seluruh masyarakat hendaknya mematuhi hukum yang bertujuan untuk


mencapai keadilan dal ketertiban, karena dengan tertibnya hukum dapat tercipta
suatu kondisi yang nyaman, serta memperhatikan ketentuan internasional hak
asasi manusia dalam penerapan pidana mati
DAFTAR PUSTAKA

Affandi, Wahyu. Berbagai Masalah Hukum di Indonesia. Bandung: Penerbit:


Alumni. 1982
Anonim. 2012. Hukuman Mati di Indonesia Sebagai Yurisprudensi.
http://www.academia.edu [Diakses pada 27 Mei 2016]

Anonim. 2015. Demokrasi dan Hukuman Mati.


https://decungkringo.wordpress.com [Diakses pada 27 Mei 2016]
Lase, Rhius. 2015. Eksekusi Mati dan Menegakkan Hukum NKRI.
http://celotehlestarius.blogspot.co.id [Diakses pada 27 Mei 2016]
Tusriyem. 2015. Prinsip-prinsip Demokrasi. http://evastickt.blogspot.com
[Diakses pada 27 Mei 2016]

Anda mungkin juga menyukai