RMR Core Orienting Geotechnic PDF
RMR Core Orienting Geotechnic PDF
DASAR TEORI
3.1 UMUM
22
dilakukan terhadap lereng kerja (working slope) maupun lereng akhir (final
slope).
Klasifikasi massa batuan yang terdiri dari beberapa parameter sangat cocok
untuk mewakili karakteristik massa batuan, khususnya sifat-sifat bidang lemah atau
kekar dan derajat pelapukan massa batuan. Atas dasar ini sudah banyak usulan atau
modifikasi klasifikasi massa batuan yang dapat digunakan untuk merancang
kemantapan lereng. Pada umumnya klasifikasi tersebut mencoba menghubungkan
parameter sudut kemantapan lereng dengan bobot klasifikasi massa batuan untuk
berbagai tinggi lereng. Romana (1985 & 1991) menekankan deskripsi detil dari kekar
untuk melihat potensi kelongsorannya dan pengaruh cara penggalian terhadap
kemantapan lereng.
23
batuan akan membawa komposisi dan struktur yang kompleks terhadap suatu massa
batuan. Melakukan test in-situ pada suatu massa batuan akan menghasilkan variasi yang
luar biasa dari sifat mekanik yang terdapat dalam satu massa batuan dari satu tempat ke
tempat lainnya.
Kurang tersedianya data geologi untuk pengkarakterisasian dari suatu lokasi
batuan akan memberikan halangan utama terhadap proses desain, kontruksi dan operasi
penggalian batuan. Pengembangan dari metode dan teknik pengkarakterisasian suatu
lokasi batuan, serta intepretasi data adalah penelitian utama yang dibutuhkan, bukan
hanya untuk penggalian batuan dalam ukuran besar tapi untuk seluruh bentuk dari
rekayasa batuan (Brown, 1986).
Oleh karena itu, sifat atau karateristik massa batuan tidak dapat diperkirakan
tetapi harus dilakukan pengukuran dari hasil observasi, deskripsi dan melakukan test
langsung maupun tidak langsung yang didukung oleh test laboratorium dengan
menggunakan specimen kecil dari batuan, dimana karakteristik dari parameter massa
batuan akan didapatkan.
Gambar 3.2 Karakteristik batuan in-situ (A.A. Balkema publishers, 2001, pp. 49 97)
24
3.3 BIDANG DISKONTINU
25
Joint berdasarkan lokasi keterjadiannya dapat dikelompokkan menjadi :
Foliation joint adalah bidang diskontinu yang terbentuk sepanjang bidang
foliasi pada batuan metamorf.
Bedding joint adalah bidang diskontinu yang terbentuk sepanjang bidang
perlapisan pada batuan sedimen.
Tectonic joint (kekar tektonik) adalah bidang diskontinu yang terbentuk
karena tegangan tarik yang terjadi pada proses pengangkatan atau tegangan
lateral, atau efek dari tekanan tektonik regional (ISRM, 1975). Kekar
tektonik pada umumnya mempunyai permukaan datar (planar), kasar
(rough) dengan satu atau dua joint set.
3. Fracture
Fracture adalah bidang diskontinu pada batuan yang terbentuk karena adanya
proses pelipatan dan patahan yang intensif (Glossary of Geology, 1980).
Fracture adalah istilah umum yang dipakai dalam geologi untuk semua bidang
diskontinu. Namun istilah ini jarang dipakai untuk kepentingan yang
berhubungan dengan rock engineering dan engineering geology.
4. Crack
Crack adalah bidang diskontinu yang berukuran kecil atau tidak menerus
(ISRM1975). Namun dibeberapa rock mechanic engineer menggunakan istilah
fracture dan crack untuk menjelaskan pecahan atau crack yang terjadi pada saat
pengujian batuan, peledakan dan untuk menjelaskan mekanisme pecahnya
batuan.
5. Rupture
Rupture adalah pecahan atau bidang diskontinu yang terjadi karena proses
ekskavasi atau pekerjaan manusia yang lain.
6. Fissure
Fissure adalah bidang diskontinu yang berukuran kecil, terutama yang tidak
terisi atau terbungkus oleh material isian.
7. Bedding (bidang pelapisan)
Merupakan istilah untuk bidang perlapisan pada batuan sedimen. Bedding
terdapat pada permukaan batuan yang mengalami perubahan ukuran dan
26
orientasi butir dari batuan tersebut serta perubahan mineralogi yang terjadi
selama proses pembentukan batuan sedimen.
8. Seam adalah:
- Zona lempung dengan ketebalan beberapa centimeter (sebagian kecil).
Ketika muncul sebagai zona lemah pada material sedimen, seam bisa
menjadi lebih tebal. Di sisi lain, seam bisa direpresentasikan sebagai sesar
kecil atau zona alterasi sepanjang bidang lemah.
- Bidang perlapisan batu bara pada lapisan-lapisan berbeda yang mudah
terpisahkan (Dictionary of Geological Terms, 1962).
9. Shear adalah bidang pergeseran yang berisi material hancuran akibat tergerus
oleh pergerakan kedua sisi massa batuan dengan ukuran celah yang lebih lebar
dari kekar. Ketebalan material hancuran yang berupa batu atau tanah ini
bervariasi dari ukuran beberapa millimeter sampai meter.
27
3.4 KLASIFIKASI MASSA BATUAN
Agar dapat dipergunakan dengan baik dan cepat maka klasifikasi massa batuan
harus mempunyai beberapa sifat seperti berikut (Bieniawski, 1989) :
Sederhana, mudah diingat dan dimengerti.
Sifat-sifat massa batuan yang penting harus disertakan
Parameter dapat diukur dengan mudah dan murah
Pembobotan dilakukan secara relatif
Menyediakan data-data kuantitatif
Dengan menggunakan klasifikasi massa batuan akan diperoleh paling tidak tiga
keuntungan bagi perancangan kemantapan lereng yaitu (Bieniawski, 1989) :
28
Meningkatkan kualitas hasil penyelidikan lapangan dengan data masukan
minimum sebagai parameter klasifikasi.
Memberikan informasi/data kuantitatif untuk tujuan rancangan
Penilaian rekayasa dapat lebih baik dan komunikasi lebih efektif pada suatu
prooyek.
29
Tabel 3.1 Metode klasifikasi massa batuan utama (mod. Palmstrom, 1995)
Negara
Nama Klasifikasi Penemu Aplikasi Utama Bentuk *) Tipe **)
Asal
Rancangan steel support pada Deskriptif,
Rock Load Theory Terzhagi, 1946 USA Fungsional
terowongan behavioristik
Stand up time Lauffer, 1958 Austria Masukan pada rancangan terowongan Deskriptif General
A recommended rock
Patching and
classification for rock Masukan pada mekanika batuan Deskriptif General
Coates, 1968
mechanical purposes
The Unified classification of Berdasarkan pada partikel dan blok
Deere et al., 1969 USA Deskriptif General
soils and rocks untuk komunikasi
Rock Structure Rating (RSR) Wickham et al., Rancangan steel support pada
USA Numerik Fungsional
concept 1972 terowongan
Mining RMR Laubscher, 1975 Digunakan pada rancangan tambang Numerik Fungsional
Slope mass rating (SMR) Romana, 1985 Spain Digunakan pada rancangan tambang Numerik Fungsional
30
Hubungan antara parameter-parameter masukan dengan berbagai metode
klasifikasi massa batuan diperlihatkan dalam Tabel 3.2.
Tabel 3.2 Hubungan antara parameter masukan dengan metode klasifikasi massa
batuan (Edelbro, 2003)
Pada tahun 1967 D.U. Deere memperkenalkan Rock Quality Designation (RQD)
sebagai sebuah petunjuk untuk memperkirakan kualitas dari massa batuan secara
kuantitatif. RQD didefinisikan sebagai persentasi dari perolehan inti bor (core) yang
secara tidak langsung didasarkan pada jumlah bidang lemah dan jumlah bagian yang
lunak dari massa batuan yang diamati dari inti bor (core). Hanya bagian yang utuh
dengan panjang lebih besar dari 100 mm (4 inchi) yang dijumlahkan kemudian dibagi
panjang total pengeboran (core run) (Deere, 1967). Diameter inti bor (core) harus
berukuran minimal NW (54.7 mm atau 2.15 inchi) dan harus berasal dari pemboran
menggunakan double-tube core barrel.
31
RQD =
Length of core pieces >10cm length 100%
Total length of core run
Metode ini telah dikenal luas sebagai parameter standar pada pekerjaan drill
core logging. Keuntungan utama dari sistem RQD adalah pengerjaan yang sederhana,
hasil yang diinginkan dengan cepat diperoleh, dan juga tidak memakan banyak biaya
(murah). RQD dilihat sebagai sebuah petunjuk kualitas batuan dimana permasalahan
pada batuan seperti tingkat kelapukan yang tinggi, lunak, hancur, tergerus dan
terkekarkan diperhitungkan sebagai bagian dari massa batuan (Deere & Deere, 1988).
Dengan kata lain, RQD adalah ukuran sederhana dari persentasi perolehan batuan yang
baik dari sebuah interval kedalaman lubang bor.
Hubungan antara nilai RQD dan kualitas dari suatu massa batuan diperkenalkan
oleh Deere (1967) seperti Tabel 3.3 berikut ini.
Tabel 3.3 Hubungan RQD dan kualitas massa batuan (Deere, 1967)
Dalam menghitung nilai RQD, metode langsung digunakan apabila core logs
tersedia. Tata cara untuk menghitung RQD menurut Deere diilustrasikan pada Gambar
3.4. Selama pengukuran panjang core pieces, pengukuran harus dilakukan sepanjang
garis tengahnya. Inti bor (core) yang pecah/retak akibat aktivitas pengeboran harus
digabungkan kembali dan dihitung sebagai satu bagian yang utuh. Ketika ada keraguan
apakah pecahan/retakan diakibatkan oleh ektivitas pengeboran atau terjadi secara alami,
pecahan itu bisa dimasukkan kedalam bagian yang terjadi secara alami. Semua
pecahan/retakan yang bukan terjadi secara alami tidak diperhitungkan pada perhitungan
panjang inti bor (core) untuk RQD (Deere, 1967).
32
Berdasarkan pengalaman Deere, semua ukuran inti bor (core) dan teknik
pengeboran dapat digunakan dalam perhitungan RQD selama tidak menyebabkan inti
bor (core) pecah (Deere D. U. and Deere D.W., 1988). Menurut Deere (1988), panjang
total pengeboran (core run) yang direkomendasikan adalah lebih kecil dari 1,5 m
(Edelbro, 2003).
Call & Nicholas, Inc (CNI), konsultan geoteknik asal Amerika,
mengembangkan koreksi perhitungan RQD untuk panjang total pengeboran yang lebih
dari 1,5 m. CNI mengusulkan nialai RQD diperoleh dari persentase total panjang inti
bor utuh yang lebih dari 2 kali diameter inti (core) terhadap panjang total pengeboran
(core run). Metode pengukuran RQD menurut CNI diilustrasikan pada Gambar 3.5.
L = 28 cm L = 28 cm
L=0
L = 11 cm No pieces > 12.2 cm
L=0 L=0
No pieces > 10 cm No pieces > 12.2 cm
L = 20 cm L = 20 cm
L = 25 cm
L = 25 cm
Mechanical Break Caused By Drilling Process Mechanical Break Caused By Drilling Process
L=0 L=0
No Recovery No Recovery
Panjang total pengeboran (core run) = 100 cm Panjang total pengeboran (core run) = 100 cm
Diameter inti bor (core) = 61,11 mm Diameter inti bor (core) = 61,11 mm
Length of core pieces >10cm length Length of core pieces >2 core diameter
RQD = 100% RQD = 100%
Total length of core run Total length of core run
28+11+20+25 28+20+25
RQD = 100% = 84% RQD = 100% = 73%
100 100
Gambar 3.3 Metode pengukuran RQD Gambar 3.4 Metode pengukuran RQD
menurut Deere menurut CNI
33
3.4.1.2 Metode Tidak Langsung
Dalam menghitung nilai RQD, metode tidak langsung digunakan apabila core
logs tidak tersedia. Beberapa metode perhitungan RQD metode tidak langsung :
Menurut Priest and Hudson (1976)
RQD = 100e 0.1 (0.1 + 1)
dimana, = jumlah total kekar per meter.
Menurut Palmstrom (1982)
RQD = 115 3,3 Jv
dimana, Jv = jumlah total kekar per meter3.
Hubungan antara RQD dan Jv dapat dilihat pada Grafik 3.1 di bawah ini.
34
3.4.2 Rock Mass Rating (RMR)
Sistem klasifikasi massa batuan RMR menggunakan enam parameter berikut ini
dimana rating setiap parameter dijumlahkan untuk memperoleh nilai total dari RMR :
1. Kuat tekan batuan utuh (Strength of intact rock material)
2. Rock Quality Designation (RQD).
3. Jarak antar (spasi) kekar (Spacing of discontinuities)
4. Kondisi kekar (Condition of discontinuities)
5. Kondisi air tanah (Groundwater conditions)
35
c
c ( Dl )=
=1
0.778 + l
0.22
D
( )
8 c
c ( Dl = 2 )=
7 + l
2
D
( )
Pada perhitungan nilai RMR, parameter kekuatan batuan utuh diberi bobot
berdasarkan nilai UCS atau nilai PLI-nya seperti tertera pada Tabel 3.4 dibawah ini.
36
b) Rock Quality Designation (RQD)
Pada perhitungan nilai RMR, parameter Rock Quality Designation (RQD) diberi
bobot berdasarkan nilai RQD-nya seperti tertera pada Tabel 3.5 dibawah ini.
37
Kemenerusan (persistence/continuity)
Panjang dari suatu kekar dapat dikuantifikasi secara kasar dengan mengamati
panjang jejak kekar pada suatu bukaan. Pengukuran ini masih sangat kasar dan
belum mencerminkan kondisi kemenerusan kekar sesungguhnya. Seringkali
panjang jejak kekar pada suatu bukaan lebih kecil dari panjang kekar sesungguhnya,
sehingga kemenerusan yang sesungguhnya hanya dapat ditebak. Jika jejak sebuah
kekar pada suatu bukaan berhenti atau terpotong kekar lain atau terpotong oleh
solid/massive rock, ini menunjukkan adanya kemenerusan.
Jarak antar permukaan kekar atau celah (separation/aperture)
Merupakan jarak tegak lurus antar dinding batuan yang berdekatan pada bidang
diskontinu. Celah tersebut dapat berisi material pengisi (infilling) atau tidak.
Kekasaran kekar (roughness)
Tingkat kekasaran permukaan kekar dapat dilihat dari bentuk gelombang
permukaannya. Gelombang ini diukur relatif dari permukaan datar dari kekar.
Semakin besar kekasaran dapat menambah kuat geser kekar dan dapat juga
mengubah kemiringan pada bagian tertentu dari kekar tersebut.
Material pengisi (infilling/gouge)
Material pengisi berada pada celah antara dua dinding bidang kekar yang
berdekatan. Sifat material pengisi biasanya lebih lemah dari sifat batuan induknya.
Beberapa material yang dapat mengisi celah diantaranya breccia, clay, silt,
mylonite, gouge, sand, quartz dan calcite.
Tingkat kelapukan (weathering)
Penentuan tingkat kelapukan kekar didasarkan pada perubahan warna pada
batuannya dan terdekomposisinya batuan atau tidak. Semakin besar tingkat
perubahan warna dan tingkat terdekomposisi, batuan semakin lapuk.
38
Tabel 3.7 Panduan Klasifikasi Kondisi Kekar (Bieniawski, 1989)
Parameter Rating
Panjang kekar <1m 1-3m 3 - 10 m 10 - 20 m > 20 m
(persistence/continuity) 6 4 2 1 0
Jarak antar permukaan kekar Tidak ada < 0.1 mm 0.1 - 1.0 mm 1 - 5 mm > 5 mm
(separation/aperture) 6 5 4 1 0
Sangat kasar Kasar Sedikit kasar Halus Slickensided
Kekasaran kekar (roughness)
6 5 3 1 0
Keras Lunak
Material pengisi Tidak ada
< 5 mm > 5 mm < 5 mm > 5 mm
(infilling/gouge)
6 4 2 2 0
Tidak lapuk Sedikit lapuk Lapuk Sangat lapuk Hancur
Kelapukan (weathering)
6 5 3 1 0
39
Lima parameter pertama mewakili parameter dasar dari sistem klasifikasi ini.
Nilai RMR yang dihitung dari lima parameter dasar tadi disebut RMRbasic. Hubungan
antara RMRbasic dengan RMR ditunjukkan pada persamaan dibawah ini.
Tabel 3.9 Kelas massa batuan, kohesi dan sudut geser dalam berdasarkan nlai RMR
(Bieniawski, 1989)
Profil massa batuan Deskripsi
Rating 100 - 81 80 - 61 60 - 41 40 - 21 20 - 0
Kelas massa batuan Sangat baik Baik Sedang Jelek Sangat jelek
Kohesi > 400 kPa 300 - 400 kPa 200 - 300 kPa 100 - 200 kPa < 100 kPa
Sudut geser dalam > 45 35 - 45 25 - 35 15 - 25 < 15
RMRbasic adalah nilai RMR dengan tidak memasukkan parameter orientasi kekar
dalam perhitungannya. Untuk keperluan analisis kemantapan suatu lereng, Bieniawski
(1989) merekomendasikan untuk memakai sistem Slope Mass Rating (SMR) sebagai
metode koreksi untuk parameter orientasi kekar. Penjelasan mengenai Slope Mass
Rating (SMR) akan dibahas pada bab 3.4.4.
Sedangkan RMRbasic adalah nilai RMRbasic dengan parameter kondisi air
diasumsikan kering. RMRbasic bertujuan untuk melihat kondisi batuan secara alami
tanpa adanya pengaruh air.
40
3.4.4 Slope Mass Rating (SMR)
Besar bobot untuk F1, F2, dan F3 diberikan pada Tabel 3.10 berikut ini.
Tabel 3.10 Bobot pengatur untuk kekar, F1, F2, dan F3 (Romana, 1985)
P |j - s|
> 30 30 - 20 20 - 10 10 - 5 <5
T |j - s - 180|
P/T F1 0.15 0.4 0.7 0.85 1
P |j| < 20 20 - 30 30 - 35 35 - 45 > 45
P F2 0.15 0.4 0.7 0.85 1
T F2 1 1 1 1 1
P j - s > 10 10 - 0 0 0 - (-10) < -10
T j + s < 100 110 - 120 > 120
P/T F3 0 -6 -25 -50 -60
Besar bobot untuk metode penggalian F4 diberikan pada Tabel 3.11 berikut ini.
41
Besar bobot-bobot F1, F2, F3, dan F4 masing-masing menggambarkan :
F1 : menggambarkan keparalelan antara strike lereng dengan strike kekar
F2 : menerangkan hubungan sudut dip kekar sesuai dengan model longsoran
F4 : menggambarkan hubungan sudut dip lereng dengan dip kekar
F4 : faktor penyesuaian untuk metode penggalian yang tergantung pada metode
yang digunakan pada waktu membentuk lereng
Deskripsi kelas-kelas massa batuan berdasarkan nilai Slope Mass Rating (SMR)
diberikan pada tabel 3.12 berikut ini.
Core orienting merupakan salah satu metode pengukuran kekar selain metode
line sampling dan window sampling. Metode ini bertujuan untuk mendapatkan
informasi karakteristik dan orientasi kekar di bawah tanah. Sedangkan metode line
sampling dan metode window sampling bertujuan untuk mengetahui karakteristik dan
orientasi kekar yang ada di permukaan. Cara pengambilan data pada metode line
sampling adalah dengan scan line dimana data-data karakteristik dan orientasi kekar
diukur pada kekar yang memotong tali yang dibentangkan di sepanjang permukaan
batuan. Berbeda dengan metode line sampling, metode window sampling mengukur
data-data karekteristik dan orientasi kekar pada semua kekar yang terlihat jejaknya pada
suatu luasan tertentu.
Pengukuran data-data karakteristik dan orientasi kekar yang digunakan dalam
penelitian tugas akhir ini menggunakan metode core orienting. Alat yang dipergunakan
adalah Ezy Mark Orientor yang patennya dimiliki 2IC Australia. Sedangkan prosedur
42
yang digunakan adalah prosedur core orienting yang dikembangkan oleh Call &
Nicholas, Inc (CNI).
Penjelasan mengenai prosedur core orienting yang dikembangkan oleh CNI
dapat dilihat pada Lampiran A. Tetapi secara garis besar, tahapan pelaksanaan core
orienting yang dikembangkan CNI adalah sebagai berikut :
1. Pengeboran core orienting menggunakan ezy mark tool
2. Rekonstruksi inti bor (core)
3. Pembuatan garis referensi (reference line) yang sejajar sumbu bor (core axis) dan
garis penanda bagian bawah inti bor (bottom line)
4. Pengukuran orientasi relatif terhadap sumbu bor (core axis) yang dinyatakan dalam
angle to core axis () dan circumference angle () yang masing-masing adalah dip
dan dip direction relatif terhadap sumbu bor (core axis)
5. Pengolahan data
Pengolahan data dimaksudkan untuk mengolah hasil pengukuran orientasi relatif
terhadap sumbu bor menjadi orientasi sebenarnya. Pengolahan data ini menggunakan
program komputer dcorcnv yang dikembangkan oleh Call & Nicholas, Inc.
Adapun langkah-langkah pengolahan data menggunakan program komputer dcorcnv
adalah sebagai berikut :
a. Membuat raw data format sebagai input program dcorcnv. Raw data dibuat dari
data Microsoft Excel yang yang berisi data-data pengukuran di lapangan. Tampilan
raw data format dapat dilihat pada Gambar 3.6.
b. Membuat suvey data sebagai input program dcorcnv. Format yang digunakan
dalam pembuatan survey data adalah sebagai berikut :
baris 1 : nama lubang bor atau nama proyek
baris 2 : koordinat lubang bor (easting, northing, elevation)
baris 3 : kedalaman, inklinasi, dan bearing dari lubang bor.
Data kedalaman, inklinasi, dan bearing diperoleh dari data downhole survey
Maxibor. Maxibor merupakan alat untuk melihat arah sebenarnya dari lubang bor.
Biasanya lubang bor akan berbelok arah dan tidak selalu tepat lurus sesuai dengan
rencana arah pengeboran awal. Tampilan survey data dapat dilihat pada Gambar
3.7.
43
c. Kedua input data diatas selanjutnya diolah dengan program komputer dcorcnv
untuk mendapatkan orientasi kekar yang sebenarnya. Tampilan program dcorcnv
dapat dilihat pada Gambar 3.8. Sedangkan tampilan hasil keluaran dari program
dcorcnv yang merupakan orientasi kekar yang sebenarnya dapat dilihat pada
Gambar 3.9.
44
Gambar 3.7 Tampilan program dcorcnv Call & Nicholas, Inc (CNI)
Gambar 3.8 Tampilan hasil keluaran program dcorcnv Call & Nicholas, Inc (CNI)
45